PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERBASIS KARAKTER : SEBUAH EVALUASI KINERJA Dr. Esti Ismawati, MPd. Program Studi Magister Pendidikan Bahasa, Program Pascasarjana, Universitas Widya Dharma Klaten
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis pendidikan karakter di SMA – SMK di Kabupaten Klaten. Instrumen penelitian berupa angket, wawancara, dan tes. Dari analisis hasil penelitian yang dilakukan pada Tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis pendidikan karakter di SMA SMK Kabupaten Klaten belum menghasilkan capaian sesuai dengan indikator ideal yang ditetapkan. Kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran tersebut di antaranya dalam penyusunan RPP (karakter hanya sekedar menempel tanpa dibreakdown), dalam pemilihan bahan pembelajaran, dalam pemilihan strategi atau metode, dan dalam evaluasi. Pendidikan karakter yang dimasukkan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia baru memperoleh capaian 14 butir dari 18 butir yang diinternalisasi dalam diri siswa. Keempat butir karakter yang belum menjadi bagian dalam pribadi siswa adalah (1) kreatif, (2) curiousity atau rasa ingin tahu, (3) cinta tanah air, dan (4) gemar membaca.
Pendahuluan Sejak tahun pelajaran 2011/2012 Depdiknas telah berketetapan bahwa materi pendidikan karakter akan diberikan mulai jenjang PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga perguruan tinggi. Implementasi pendidikan karakter dalam kurikulum dapat melalui tiga jalur, yakni (1) integrasi dalam mata pelajaran, (2) integrasi dalam muatan lokal, dan (3) kegiatan pengembangan diri. Tulisan ini berfokus pada butir (1) yakni integrasi pendidikan karakter dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Sudah tiga tahun berlalu sejak dicanangkan pendidikan karakter masuk dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, tetapi hingga saat ini cerita sukses mengenai hasil pembelajaran dimaksud sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan belum juga kunjung tiba. Persoalannya adalah, mengapa cerita sukses itu belum juga hadir?. Indikator apa saja yang sesungguhnya sulit dicapai?. Bagaimana realitas pembelajaran bahasa dan sastra di SMA – SMK di kabupaten Klaten sesuai dengan capaian penelitian tahun pertama Hibah Bersaing DIKTI?. Tulisan ini akan membahas satu persatu butir-butir dimaksud. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan (nilai, moral, norma) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (Rencana Aksi Nasional, 2010). Karakter dapat dimaknai sebagai kumpulan kualitas terbaik yang mungkin dimiliki seorang manusia, misalnya kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan kesederhanaan. Karakter juga mencakup integritas, moral yang baik dan terhormat yang diramu dengan tepat bersama kecerdasan dan kepandaian. Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
67
seluruh warga sekolah untuk memberikan keputusan baik buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter, 2010). Nilai-nilai karakter yang mesti dikembangkan meliputi nilai religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Pelaku pendidikan karakter harus dimulai dari guru/dosen. Guru/dosen tidak hanya dituntut mampu mengajarkan konsep karakter tetapi juga harus mampu menempa dirinya agar berkarakter. Menjadi guru/dosen Bahasa dan Sastra Indonesia yang berkarakter dapat dimulai dari cara mengajar, cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara mencari tambahan penghasilan, dan seterusnya hingga cara hidup sehari-hari. Ciri guru/dosen yang berkarakter di antaranya tidak menyukai tindak-tanduk yang bersifat instant, tidak memudahkan hal-hal yang prinsip (nggampangke), tidak mau sembrono terutama pada penyimpangan-penyimpangan, konsisten (istiqomah pada yang baik), disiplin, dan kreatif. Pendidikan karakter mengedepankan contoh dan perilaku. “Kita tidak perlu mencari model pendidikan karakter karena basis kekuatan karakter bangsa telah kita miliki. Salah satu faktor dalam pendidikan karakter adalah kemampuan untuk memberikan apresiasi kepada orang lain dalam arti yang positif” (Kompas.com, 6 Desember 2010). Kebijakan Nasional tentang Pembangunan Karakter Bangsa didasai oleh 4 nilai karakter esensial, yaitu: (1) Tangguh; (2) Jujur; (3) Cerdas; dan (4) Peduli sebagai perwujudan yang terintegrasi dari karakter religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan/nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Syawal: 2012). Depdiknas (2011) menerbitkan Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter dalam KTSP. Imlementasi Pendidikan Karakter dapat melalui tiga jurus, tampak dalam tabel 1 berikut ini: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KTSP 1. Integrasi dalam Mata Pelajaran 2. Integrasi dalam Muatan Lokal 3. Kegiatan Pengembangan Diri
68
Mengembangkan Silabus dan RPP pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan Ditetapkan oleh Satuan Pendidikan/Daerah. Kompetensi dikembangkan oleh Satuan Pendidikan/Daerah Pembudayaan dan Pembiasaan Pengkondisian Kegiatan rutin Kegiatan spontanitas Keteladanan Kegiatan terprogram Ekstra Kurikuler Pramuka; PMR; UKS; Olah raga; Seni; OSIS Bimbingan Konseling Pemberian layanan bagi peserta didik yang mengalami masalah.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
Menurut Rahayu (2012) pelaksanaan pendidikan karakter diawali dari paradigma, tujuan, materi, dan strategi implementasinya. Sebagai paradigma, pendidikan karakter mencakup lebih dari sekadar pengetahuan dasar tentang moral yang baik. Pendidikan karakter bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik kepada peserta didik. Berangkatnya memang dari moral absolute, namun peserta didik harus memahami betul dasar-dasar tentang yang baik dan yang benar (what is good and right). Dengan demikian mereka menjadi paham (domein kognitif, setara dengan moral knowing) tentang benar salah atau baik buruk, mampu merasakan (domein afektif, setara dengan moral feeling) nilai-nilai itu, dan dapat melaksanakannya (domein psikomotor, setara dengan moral action) dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter erat kaitannya dengan kebiasaan (habit) yang harus terus menerus dipraktikkan, baik dalam lingkup informal, formal, dan nonformal, secara sinergis dan terpadu, dan yang paling penting adalah keteladanan dan contoh. Strategi pendidikan karakter dapat melalui tiga pilar, yakni kurikulum, tokoh panutan (model), dan metode pembelajaran. Prinsip pengembangan pendidikan karakter adalah, (1) berkelanjutan, (2) melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah, (3) nilai-nilai tidak diajarkan namun dikembangkan melalui proses belajar, (4) menerapkan PAIKEM. Sedangkan pendekatan pendidikan karakter dapat menggunakan (1) pengembangan proses pembelajaran baik di kelas, di sekolah, maupun di luar sekolah, (2) pengembangan budaya satuan pendidikan, (3) integrasi dalam mata pelajaran, (4) integrasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, (5) program pengembangan diri melalui kegiatan rutin sekolah, kegiatan spontan, keteladanan, dan pengkondisian, (6) dukungan orang tua dan masyarakat. Semuanya harus bersinergi. Secara mikro pendidikan karakter dapat dilaksanakan melalui proses pembelajaran di setiap satuan pendidikan termasuk SMA-SMK. Untuk itu materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran (dalam hal ini pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia) perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh tataran internalisasi, dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik seharihari di masyarakat. Besarnya kompetensi nilai-nilai karakter siswa dapat diketahui melalui pengukuran secara afektif dengan menekankan aspek religiusitas, kejujuran, nasionalisme. Proses penanaman nilai-nilai dalam pendidikan karakter meliputi pemahaman, tata cara merawat dan menghidupkan nilai-nilai, dan melatihkan nilai-nilai secara nyata. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan (nilai, moral, norma) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (Rencana Aksi Nasional, 2010). Ia dapat dimaknai sebagai kumpulan kualitas terbaik yang mungkin dimiliki seorang manusia misalnya seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan kesederhanaan. Karakter juga mencakup integritas, moral yang baik dan terhormat diramu dengan tepat bersama kecerdasan dan kepandaian. Oleh karena itu pendidikan karakter bangsa yang dilandasi Pancasila di dalamnya mencakup berbagai macam komposisi nilai, antara lain nilai agama, nilai moral, nilai-nilai umum, dan nilai-nilai kewarganegaraan yang dalam penerapan praktisnya di masyarakat akan mengalami perubahan secara dinamis walaupun jiwa dan nilai-nilai itu
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
69
sendiri tetap sama. Hal ini disebabkan karena nilai-nilai tertentu mungkin lebih relevan pada masa tertentu, sedangkan dalam situasi lain mungkin nilai yang lain akan lebih cocok untuk diterapkan. Kebijakan Nasional (2010) tentang Pembangunan Karakter Bangsa diorientasikan dalam nilai-nilai 4 karakter esensial, yaitu: (1) Tangguh; (2) Jujur; (3) Cerdas; dan (4) Peduli, sebagai perwujudan yang terintegrasi dari 18 karakter sebagai berikut: 1. Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja Keras: perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6. Kreatif: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis: cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa Ingin Tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan (nasionalisme): cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah Air: cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12. Menghargai Prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/Komunikatif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14. Cinta Damai: sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15. Gemar Membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai 16. Peduli Lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya untuk memperbaiki kerusak an alam yang terjadi.
70
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
17. Peduli Sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung Jawab : sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya ia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa (Syawal: 2012). Harus diakui bahwa hingga saat ini, di Indonesia belum ada konsep dan sistem yang memadai untuk membangun karakter melalui pendidikan. Belum ada konsep dan praktik pendidikan karakter yang dapat menjadi instrumen untuk mengelola keberagaman (the art of managing diversity); bagaimana beragam suku, bahasa, budaya, agama, dan tradisi masyarakat tidak saling bertabrakan tetapi justru saling melengkapi dan menyempurnakan (Rahayu, 2012). Sebagai paradigma, pendidikan karakter mencakup lebih dari sekadar pengetahuan dasar tentang moral yang baik. Pendidikan karakter bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik kepada peserta didik. Berangkatnya memang dari moral absolute, namun peserta didik harus memahami betul dasar-dasar tentang yang baik dan yang benar (what is good and right). Dengan demikian mereka menjadi paham (domein kognitif, setara dengan moral knowing) tentang benar salah atau baik buruk, mampu merasakan (domein afektif, setara dengan moral feeling) nilai-nilai itu, dan dapat melaksanakannya (domein psikomotor, setara dengan moral action) dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter erat kaitannya dengan kebiasaan (habit) yang harus terus menerus dipraktikkan, baik dalam lingkup informal, formal, dan nonformal, secara sinergis dan terpadu, dan yang paling penting adalah keteladanan dan contoh. Strategi pendidikan karakter dapat melalui tiga pilar, yakni kurikulum, tokoh panutan (model), dan metode pembelajaran (Rahayu, 2012). Prinsip pengembangan pendidikan karakter adalah, (1) berkelanjutan, (2) melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah, (3) nilai-nilai tidak diajarkan namun dikembangkan melalui proses belajar, (4) menerapkan PAIKEM. (DBE2, 2010). Sedangkan pendekatan pendidikan karakter dapat menggunakan (1) pengembangan proses pembelajaran baik di kelas, di sekolah, maupun di luar sekolah, (2) pengembangan budaya satuan pendidikan, (3) integrasi dalam mata pelajaran, (4) integrasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, (5) program pengembangan diri melalui kegiatan rutin sekolah, kegiatan spontan, keteladanan, dan pengkondisian, (6) dukungan orang tua dan masyarakat (Rahayu, 2012). Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga sekolah (warga belajar) untuk memberikan keputusan baik buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter, 2010). Nilai-nilai karakter yang dikembangkan meliputi nilai religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Pelaku pendidikan karakter harus dimulai dari guru/dosen. Guru/dosen tidak hanya mengajarkan konsep karakter tetapi harus mampu menempa dirinya agar berkarakter. Menjadi guru/
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
71
dosen bahasa dan sastra Indonesia yang berkarakter dapat dimulai dari cara mengajar, cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara mencari tambahan penghasilan, dst hingga cara hidup sehari-hari. Ciri guru/dosen yang berkarakter di antaranya (1) tidak menyukai tindak-tanduk yang bersifat instant, tidak memudahkan hal-hal yang prinsip (nggampangke), tidak mau sembrono terutama pada penyimpangan-penyimpangan, konsisten (istiqomah pada yang baik), disiplin, dan sebagainya. Inilah indikator-indikator yang dimaksud di atas. Salah satu faktor dalam pendidikan karakter adalah kemampuan untuk memberikan apresiasi kepada orang lain dalam arti yang positif (Kompas.com, 6 Desember 2010). Pendidikan karakter tidak akan membebani guru dan murid, dosen dan mahasiswa, karena pendidikan karakter dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran yang sudah ada di sekolah/ kampus. Hal-hal yang ada dalam pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam kurikulum tetapi selama ini tidak dikedepankan dan diajarkan secara tersurat. Seharusnya nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran/mata kuliah itu disampaikan dengan jelas kepada siswa sehingga dapat berintegrasi menjadi budaya sekolah/budaya kampus. Integrasi pendidikan karakter ke dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dilaksanakan dengan melakukan intervensi. Tindakan ini bertujuan mengembangkan interaksi pembelajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan penerapan pengalaman belajar terstruktur. Guru perlu memastikan bahwa pembelajaran akan berdampak instruksional dan berdampak pengiring bagi pembentukan karakter. Proses pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam pembelajaran Sastra Indonesia dilakukan melalui pencantuman ke dalam silabus dan RPP kemudian dioperasionalkan dalam langkah-langkah pembelajaran. Caranya (adaptasi dari Whitley 2007 dalam Rahayu, 2012) antara lain dengan cheerleading (memberi applause), praise-and-reward (memuji dan memberi hadiah), define-and-drill (mendefinisikan dan melatihkan), forced formality (formalitas yang dipaksakan misalnya dalam penegakan disiplin), dan penobatan siswa berkarakter terbaik bulan ini. Teknik yang digunakan dalam cheerleading dapat memakai poster, baliho, spanduk, banner, textline, tentang nilai-nilai karakter yang dipraktikkan, yang ditempel di sudut-sudut kelas sesuai dengan tema tertentu pada bulan itu. Misalnya, bulan Mei temanya tentang pendidikan dan patriotisme. Bulan April temanya kesetaraan dan pelestarian bumi. Bulan Agustus tentang nasionalisme. Bulan Desember tentang rasa hormat dan cinta ibu, tentang hak asasi manusia, dan seterusnya. Indikator inilah yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA – SMK di Kabupaten Klaten. Hasil dan Pembahasan Dari hasil penelitian yang dilakukan Tahun 2014 diketahui bahwa, pertama, dari 18 karakter yang wajib dibelajarkan (religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu (curiousity), semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial) ternyata baru 14 karakter yang terinternalisasi dalam pribadi guru dan siswa di Klaten. 4 karakter yang belum dimiliki oleh siswa justru karakter yang mencerminkan kesiapan manusia Indonesia untuk menghadapi era mondial, yakni kreatif, curiousity, cinta tanah air, dan gemar membaca. Empat karakter inilah yang membedakan manusia lama dan baru. Kedua, karakter dalam RPP hanya ditempelkan saja, tanpa dibreakdown dengan komponen 72
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
lain seperti bahan ajar, evaluasi, dan proses pembelajaran. Mestinya sejak pemetaan indikator, pembuatan silabus pembelajaran, RPP, pengembangan materi dan media, LKS, kisi-kisi soal, instrumen penilaian, unjuk kerja, dan proses pembelajaran sudah mengedepankan karakter yang akan disasar. Dikaitkan dengan pendekatan yang harus digunakan dalam kurikulum 13, yakni scientific approach, lima komponen yang mestinya dilaksanakan yakni : MENGAMATI (observing), MENANYA (questioning), MENALAR (reasoning), MENCOBA (experienting), dan MEMBENTUK JEJARING (networking) juga belum tampak, apalagi mengaitkan dengan karakter sasaran. Kegiatan pembelajaran yang meliputi : Pendahuluan èapersepsi, motivasi, orientasi; Isi è eksplorasi, elaborasi, konfirmasi; Penutup è refleksi, konklusi, RTL; juga belum tampak antara proses pembelajaran dengan karakter sasaran. Ketiga, bahan ajar kurikulum bahasa Indonesia 2013 yang berbasis teks, yang terdiri atas teks deskripsi, penceritaan (recount), prosedur, laporan, eksplanasi, eksposisi, diskusi, surat, iklan, catatan harian, negosiasi, pantun, dongeng, anekdot, fiksi sejarah, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yakni (1).Teks cerita è teks sastra è teks naratif dan teks non naratif, (2).Teks faktual è teks laporan dan teks prosedural, (3).Teks tanggapan è teks transaksional dan teks ekspositori (nomor 2 dan 3 : teks non sastra) belum juga mengaitkan dengan karakter yang akan disasar. (Catatan : Jenis Teks dibedakan atas dasar : (1) Tujuan Teks è fungsi sosial teks. (2) Struktur Teks è tata organisasi. (3) Ciri-ciri kebahasaan Teks. Beda teks berarti beda tujuan, struktur, ciri-ciri kebahasaan). Keempat, 4 tahap pembelajaran Bahasa Indonesia : yakni (1) Pembangunan konteks è dilakukan guru dan siswa untuk mengarahkan pemikiran ke dalam pokok persoalan yang akan dibahas pada setiap pelajaran. (2) Pemodelan teks è berisi pembahasan teks yang disajikan sbg model pembelajaran è pembahasan semua aspek kebahasaan. (3) Pembuatan teks secara bersama-sama è Guru dan siswa menyusun teks seperti dalam model. (4) Pembuatan teks secara mandiri è siswa secara mandiri mengaktualisasi diri dg menggunakan dan mengkreasikan teks sesuai ciri dalam teks, juga belum terkait dengan karakter yang akan dikembangkan atau dibangun. Simpulan Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis pendidikan karakter belum mencapai hasil maksimal sesuai dengan indikator yang ditetapkan. Penyebabnya ada 4, yakni pada tataran penyusunan RPP, pemilihan bahan, pemilihan strategi atau metode, dan pada tataran evaluasi. Saran yang direkomendasikan adalah perlunya pendampingan dari Perguruan Tinggi (khususnya IKIP, STKIP, FKIP, dan LPTK) untuk mengupdate model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis pendidikan karakter. Bibliografi DBE2. 2010. Pembelajaran Aktif di Sekolah dan Kunjungan Sekolah. Materi TOT Nasional. Jakarta: USAID. DBE2. 2010. Pembelajaran Aktif di Perguruan Tinggi (ALFHE). Materi TOT Nasional. Jakarta: USAID. Depdiknas. 2010. Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter. Jakarta.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”
73
Gall, D.Meredith, Joyce P Gall & Walter R.Borg. 2003. Educational Research an Introduction. New York: Pearson Publishing. Ismawati, Esti. 2013. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Ombak. (Anggota IKAPI). ISBN 978602-7544-96-3. Ismawati, Esti. 2012. Telaah Kurikulum dan Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Ombak. (Anggota IKAPI). ISBN 602-7544-10-4. Ismawati, Esti. 2011. Pengajaran Apresiasi Sastra Berbasis Pendidikan Karakter. Makalah Seminar Internasional. Semarang: UNNES. Joyce, Bruce, Marsha Weil, Emily Calhoun. 2009. Models of Teaching. Edisi Delapan. Penerjemah Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kompaskom. 6 Desember 2010. ”Pendidikan Karakter”. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. 2006. Jakarta: BNSP. Lestyarini, Beniati. 2012. ”Penumbuhan Semangat Kebangsaan untuk Memperkuat Karakter Indonesia melalui Pembelajaran Bahasa” dalam Jurnal Pendidikan Karakter. Yogyakarta: LPPMP UNY. Oemarjati, Boen S. 2005. Pengajaran Sastra pada Pendidikan di Indonesia: Quo Vadis. Dalam index.asp?act=detail&idrec=213, diakses 3 Maret 2013. Oemarjati, Boen S. 2010. Dengan Sastra Menapaki Proses Kreatif sebagai Basis Ketangguhan Watak. Makalah Utama Seminar Internasional PIBSI 32. Yogyakarta: Unwidha. Rahayu, Yuni Sri, dkk. 2012. Jejak Budaya dalam Karakter Siswa Indonesia. Surabaya: UNESA. Rendra, WS. 1975. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Balai Pustaka. Sugiyanto. 2010. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: PSG Rayon 113. Suwarna, Purwadi, dan Veny Indria Ekowati. 2012. ”Pemberdayaan Karakter Hormat dengan Implementasi Tata Bahasa dan Tata Krama dalam Perkuliahan Ekspresi Lisan III” dalam Jurnal Pendidikan Karakter. Yogyakarta: LPPMP UNY. Syawal, Gultom. 2012. Ujian Nasional sebagai Wahana Evaluasi Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa. Makalah Utama Semnas. Yogyakarta: Pascasarjana bekerjasama dengan HEPI DIY. Triyono, Sulis. 2012. ”Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa Jerman” dalam Jurnal Pendidikan Karakter. Yogyakarta: LPPMP UNY. Wagiran. 2012. ”Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemayu Hayuning Bawana (Identifikasi Nilai-nilai Karakter Berbasis Budaya)” dalam Jurnal Pendidikan Karakter. Yogyakarta: LPPMP UNY.
74
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ”Pembelajaran Bahasa untuk Meningkatkan Kualitas Manusia Indonesia yang Berkarakter dalam Era Mondial”