PEMBELAAN EDDIE WIDIONO Majelis Hakim yang kami Muliakan. Assalamulaikum wwr. Selayaknya sebelum saya memulai pembelaan diri atas dakwaan-dakwaan dan tuntutan JPU, ke hadapan Bapak-bapak Hakim saya mengawali dengan uraian mengenai diri saya sendiri, tidak dengan tujuan yang lain selain untuk memberikan gambaran bagaimana nilai-nilai kehidupan yang saya anut, bagaimana latar belakang pengetahuan dan pengalaman hidup saya, yang kiranya akan sedikit banyak membantu menjelaskan mengapa saya mengambil suatu keputusan atau memilih suatu positioning atas permasalahan yang dihadapi PLN semasa tugas saya selaku Direktur Utama PLN. 1. Saya dilahirkan ditengah keluarga pejuang kemerdekaan RI. Saya dilahirkan sebagai anak ke-7 (bungsu) dari keluarga Soewondho. Ayah menghabiskan sebagian karir kerjanya, diawali sebagai dokter hewan di Jawa Timur yang berakhir pada masa penjajahan Jepang dimana beliau masuk PETA (Pembela Tanah Air). Ayah kemudian masuk TNI di awal perang kemerdekaan, dan melanjutkan karir militernya hingga mengajukan pensiun pada tahun 1959 dengan pangkat terakhir Kolonel. Saya beruntung dilahirkan di keluarga besar yang menjunjung tinnggi nilai-nilai perjuangan membela NKRI, dan nilai-nilai kepahlawanan. Dari keluarga besar ayah, selain beliau sendiri, saya memiliki dua paman dengan karir militer. Bahkan, salah satu paman mencapai karir tertinggi: Bintang Empat (Jenderal) dalam jajaran TNI AD. Beliau sekarang masih menjadi salah satu sesepuh TNI AD. Dua anggota keluarga kandung terdekat, satu dari pihak ayah dan satu dari pihak ibu, gugur dan mendapat penghargaan Negara, dan namanya diabadikan sebagai pahlawan di tempat umum. 2. Bersekolah untuk dapat segera memperbaiki nasib keluarga. Saya dibesarkan dalam keluarga yang relatif berkecukupan, namun Ibu selalu mengajarkan dan menerapkan kesederhanaan. Beliau adalah sosok yang sangat rendah hati dan murah hati, tak segan-segan membantu orang lain maupun keluarga yang lebih membutuhkan. Dari beliau saya mengenal sikap tawakkal yang seolah tak berbatas, meskipun beliau sendiri adalah seorang ibu yang senantiasa bekerja keras untuk masa depan keluarga dan anak-anaknya. Dalam ukuran yang relatif, beliau adalah seorang yang religius dalam sikap hidupnya, sama sekali tidak mengutamakan kehidupan duniawi. Saya diajarkan untuk tidak pernah mengambil apapun yang bukan hak saya, karena menurut beliau justru manusia harus mampu membersihkan diri dari pikiran dan sifat-sifat buruk, agar dapat menjadi tumpuan bagi kehidupan masyarakat di sekeliling kita. Ibu juga mengharuskan kami untuk bekerja keras, beliau memilih sekolah dimana kami harus bekerja keras untuk dapat naik kelas atau memperoleh nilai yang baik. Pengetahuan adalah suatu kebutuhan mutlak dalam pola hidup yang menjadi impian beliau, dimana anakanaknya dapat berperan memberi dan membawa kemajuan bagi masyarakat, tidak mengambil dan menikmati sendiri apa yang menjadi hak masyarakat. Saya berhasil menamatkan seluruh pendidikan sejak Sekolah Dasar sampai pendidikan tinggi di sekolah-sekolah yang dikenal luas karena mutunya. Gelar S1 saya raih pada usia 23 tahun dari ITB (Institut Teknologi Bandung),
jurusan Elektroteknik – Teknik Tenaga Listrik. Saya memilih bersekolah di ITB dan berusaha untuk segera selesai karena saya ingin segera mandiri agar tidak membebani keluarga. 3. Bekerja di PLN mengemban misi keluarga. Dalam memilih pekerjaan sayapun tidak lepas dari pengaruh nilai yang dianut keluarga. Meskipun sudah diterima sebagai calon pegawai suatu perusahaan Internasional, saya diminta oleh keluarga, khususnya seorang kakak kandung ayah, untuk menjadi penerus dirinya yang telah pensiun sebagai pegawai menengah PLN, namun sempat mendapat penghargaan 50 tahun mengabdi kelistrikan. Beliau menugaskan saya untuk meneruskan pengabdian keluarga bagi Bangsa Indonesia melalui PLN. Meskipun pada awalnya saya masuk PLN hanya untuk menghormati permintaan beliau, namun justru setelah beliau wafat saya menyadari kebenaran kata-kata beliau mengenai pengabdian di PLN. 4. Bekerja mengejar target dan dikejar re-organisasi. Saya mengawali karir bekerja di Proyek Induk Pembangkit Termal Jabar Jaya, suatu unit PLN setingkat PLN Wilayah yang bertanggung jawab membangun Pembangkit Tenaga Listrik berupa PLTG, PLTU, PLTP dan PLTP. Pada masa itu pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik hampir selalu terlambat dibandingkan dengan peningkatan pemakaian tenaga listriknya. Akibatnya, hampir selalu pembangunan dilakukan di masa krisis, saat pemadaman bergilir diberlakukan. Dalam siklus proyek, perubahan organisasi adalah sesuatu yang pasti terjadi, dan dalam setiap perubahan organisasi seringkali terjadi pergeseran nilai-nilai yang dianut oleh pimpinan proyek. Berlaku profesional dan mampu menjelaskan tindak dan keputusan yang pernah dilakukan adalah suatu keharusan bagi para tenaga ahli yang bekerja dari proyek satu ke proyek lainnya. Saya termasuk sedikit dari pegawai PLN yang ikut membangun proyek-proyek besar pada masanya. PLTP Kamojang (1 x 30 + 2 x 55)MW, PLTG Priok 4 x 50 MW, PLTU Muara Karang (3 x 100 + 2 x 200)MW dan PLTU Suralaya Tahap I & II (4 x 400 MW) adalah sebagian dari proyek-proyek dimana saya berkontribusi dalam pembangunannya, dan memberikan rasa bangga menjadi pegawai PLN yang telah menghasilkan proyek-proyek yang bermanfaat bagi masyarakat. Pengalaman bekerja mengejar target penyelesaian suatu proyek yang mempunyai dampak langsung terhadap krisis yang dialami masyarakat membuat saya sangat menjunjung tinggi arti dari suatu keputusan yang diambil pada saat yang tepat, karena saya memahami bahwa bila pengambilan keputusan ini ditunda, akan timbul dampak berganda atau spiraling effect yang akan membuat permasalahan berkembang menjadi lebih besar dari seharusnya. Saya melihat dan belajar bagaimana senior-senior saya membuat keputusan-keputusan penting dalam kesendirian, bukan karena tidak adanya tim pendukung, tetapi karena bagaimanapun juga resiko pengambilan keputusan berada di pundak pengambil keputusan yang membubuhkan tanda tangan pada keputusan yang diambilnya itu. 5. Disekolahkan PLN Diluar Negeri, Mencicipi Proses Restrukturisasi. Karir lapangan saya jalani selama 10 tahun pertama dari masa tugas saya. Menjelang tahun ke-10 saya dihadapkan pada pilihan karir yang sulit, sehubungan dengan adanya re-organisasi di PLN Proyek: Kembali ke lapangan atau masuk organisasi baru yang bernama Pusat Pelayanan Enjinering. Sementara saya sendiri merasakan bahwa berkarir 10 tahun dan bekerja keras bersama kawan-kawan sejawat tidak membuat PLN makin maju dan sehat. Saya mulai gelisah
karena merasakan ada yang salah dalam manajemen PLN, yang saya tidak bisa temukan jawabannya. Saya merasa bahwa Allah telah membawa saya untuk berkarya di PLN, dan saya harus jalani ini sampai diujung karya saya. Akhirnya saya melamar beasiswa untuk bersekolah di luar negeri dibidang manajemen. Alhamdullilah setelah melalui perjuangan yang cukup berat, saya ditugaskan untuk bersekolah S2 di Imperial College London, meskipun tidak di bidang Manajemen seperti yang saya cita-citakan, tapi kesempatan ini saya pergunakan dengan sebaikbaiknya. Bersekolah selama 1½ tahun di luar negeri membawa banyak pengalaman bagi saya, khususnya karena saat saya di Inggris ketika itu, PM Margaret Thatcher baru saja mengumumkan White Paper on Electricity Supply Industry yang menggambarkan rencananya untuk memecah Central Electricity Generating Board (CEGB) menjadi beberapa perusahaan dan mengenakan suatu kebijakan kompetisi untuk pembangkit tenaga listrik. Dunia Kelistrikan terpana oleh keberanian Inggris merombak perusahaan dan industri yang sudah berdiri berpuluh tahun lamanya, dan melakukan perombakan yang belum pernah berani dilakukan Negara lain. Sayapun pada waktu itu (tahun 1987) turut terkagum-kagum, dan baru 10 tahun kemudian saya dapat melihat bahwa langkah yang dikagumi banyak orang itu mungkin bukan merupakan langkah terpandai yang dapat dilakukan oleh Inggris. 6. Menjadi Direksi, dihantam rugi, ditantang restrukturisasi. Sepulang dari Inggris saya sempat bergabung dalam Pusat Pelayanan Enjinering dan kemudian menjadi Kepala Dinas Operasional PLN Pusat, dimana saya mengalami masa 3 Direktur Utama yang berbeda. Dalam periode 1988-1994, saya mengalami masa PLN tumbuh sebagai semikorporat. Saya sempat kuliah lagi,dengan biaya sendiri, mengambil S2 Manajemen Bisnis, ilmu yang saya harapkan dapat membantu saya memahami mengenai manajemen PLN. Dari Prasetiya Mulya inilah baru saya mengenal seluk beluk menjalankan suatu perusahaan. Berbekal ilmu ini, tidaklah sulit bagi saya untuk masuk jajaran manajemen. Karir yang saya jalani setelah 18 tahun berkelana di berbagai jenis pekerjaan: saya menjadi Direktur Niaga dan Pengembangan Usaha PT PLN PJB I di tahun 1995. PT PLN PJB I adalah anak perusahaan yang dibentuk dari Unit Pembangkitan Jawa Bagian Barat, suatu unit operasional yang mengoperasikan hampir 5000 MW dari sekitar 9000 MW kapasitas Pembangkit di Jawa pada saat itu. Disanalah saya mulai menghadapi permasalahan Change Management (merubah mental pegawai dari unit operasional yang statis menjadi suatu korporasi yang harus siap berkompetisi). Direktorat Niaga dan Pengembangan Usaha diharapkan menjadi ujung tombak perubahan itu. Disanalah saya menerapkan konsep-konsep Pengembangan Usaha , membangun kerjasama dengan pihak swasta. Problem yang terberat dalam pekerjaan ini justru terletak pada bagaimana merubah mental PLN agar tidak selalu merasa sebagai pihak pemberi kerja yang harus diistimewakan, mental pengembangan usaha adalah mental partnership, masing-masing mengkontribusikan kelebihannya secara maksimal dan membagi laba sesuai sahamnya. Tahun 1998, pada saat PLN mulai mengalami dampak negatif dari krisis moneter yang menyebabkan kerugian PLN, saya diangkat menjadi Direktur Pemasaran PLN. Saya adalah Direktur Pemasaran PLN yang pertama, dan alasan PLN membutuhkan seorang Direktur Pemasaran adalah agar ada Direktur yang khusus menangani masalah TDL, pencitraan dan hubungan investor. Sejak 1996 kondisi PLN tahun demi tahun semakin memburuk.
Majelis Hakim yang Mulia, Sampai disini saya telah menceritakan latar belakang sesosok Eddie Widiono. Namun untuk menceriterakan dari kehidupan sebagai Dirut PLN sampai dihadapkan di depan Majelis Hakim yang Mulia dan terhormat ini, ijinkan saya untuk menceriterakan suatu kejadian yang saya alami beberapa saat yang lalu:
Hubungan dengan Pak Margo Santoso Di suatu hari di akhir tahun 2009, seorang kawan menelepon setengah berbisik, menanyakan kesediaan saya untuk bertemu dengan Pak Margo. Saya setujui permintaan itu dengan janji menemuinya di ruang kerja seorang kawan di bilangan Kebayoran Baru. Saat saya masuk ke ruangan saya melihat sosok pak Margo yang kurus. Meskipun bibirnya tersenyum, tapi saya bisa melihat raut-raut kebingungan di matanya. Kami saling bersalaman dan saya menanyakan kabar beliau. Saya mendengar jawaban dengan suara bergetar, “saya sudah nggak kuat pak Eddie, kenapa semua jadi begini?” Beliau melanjutkan, terisak . “Saya sudah nggak tahan pak, hampir 30 kali saya sudah dipanggil dan saya ditanya macam-macam pak, tapi akhirnya mereka bilang bahwa yang mereka inginkan cuma Pak Eddie. Bapak harus cari solusi politik pak, mereka betul-betul jahat.” Saya terpaku, bibir terasa kering. “Saya? kenapa saya? Kita kan sama-sama sudah pensiun dari PLN, bagaimana saya akan mencari solusi politik?” Saya tidak punya resep lain menghadapi situasi seperti ini kecuali coba menyarankan agar beliau bersabar. Itulah saat terakhir saya bertemu beliau sebelum bertemu lagi di muka persidangan ini. Sesudah pertemuan 2009 itu beliau menghindari bertemu saya, telepon saya pun tidak diterima. Saya sadar suatu proses yang tidak saya harapkan tengah berjalan dan tidak ada yang dapat saya lakukan kecuali menyiapkan diri menghadapi prahara. Ingatan saya melayang, 32 tahun bekerja di PLN, 10 tahun dalam posisi manajemen puncak. Menyelesaikan renegosiasi 27 IPP, membawa PLN keluar dari lumpur kerugian 26 Trilyun di tahun 2000, mengatasi 25 daerah krisis listrik, apakah semua prestasi itu akan sirna oleh suatu proses rekayasa? Apakah saya menjadi target operasi KPK? Sekelumit cerita tentang Pak Margo di atas barangkali belum bisa menggambarkan bagaimana pola hubungan saya dengan beliau. Pak Margo adalah salah seorang senior yang saya hormati. Usianya hampir 5 tahun lebih tua dari saya. Lima kali menjabat Pemimpin Wilayah bukan sesuatu yang mudah dicapai. Saya kenal pak Margo semenjak beliau menjabat Pemimpin Wilayah Kalimantan Selatan dan posisi saya sebagai Kepala Dinas Operasional di PLN Pusat, bertugas melayani kebutuhan operasional Wilayah. Hubungan kami baik sekali, dengan kesabaran dan keterbukaan beliau saya banyak belajar bagaimana bertugas di Direktorat Operasional yang langgam kerjanya sangat berbeda dengan Direktorat Pembangunan, tempat saya mengawali karir di PLN, dan berlanjut hingga beliau menjadi Pemimpin Wilayah Jawa Timur. Setelah itu saya bertugas di Anak Perusahaan PT PJB I, sehingga saya jarang bertemu beliau di kantor. Pada waktu saya diangkat menjadi Direktur Pemasaran, beliau menjabat KaDiv Pengembangan Usaha yang merupakan salah satu Divisi dibawah Direktur Pemasaran. Beberapa bulan setelah saya menjadi Dirsar, beliau dilantik menjadi Pemimpin Distribusi Jakarta Raya.
Kondisi PLN Memasuki Abad 21 Sejak Krismon 1997 kondisi keuangan PLN terus memburuk. Kejatuhan nilai rupiah menyebabkan biaya operasi PLN meningkat, karena sebagian besar biaya, misal biaya bahan bakar, spare parts maupun pembelian tenaga listrik terkait dengan nilai dollar, sedangkan pendapatan PLN dalam rupiah. Ancaman kerugian besar tidak saja datang dari biaya operasi, tetapi juga dari cicilan hutang. Seperti diketahui, sampai tahun 1998 sebagian besar pembangunan sarana dibiayai dari hutang pemerintah dalam mata uang asing dan di terus pinjamkan ke PLN dalam bentuk rupiah. Atas saran Bank Dunia, penerusan pinjaman rupiah tadi suku bunganya dikaitkan dengan nilai tukar dollar ke rupiah. Rumusan suku bunga tadi mempunyai faktor penyesuai yang merupakan rata-rata tertimbang (moving average) dari nilai tukar selama 3 tahun. Akibat rumusan ini, pada saat nilai tukar rupiah anjlok dari Rp 1.700,-/$ menjadi Rp. 10.000,-/$, suatu perubahan sebesar lebih dari 6 kali lipat (600%), maka suku bunga rata-ratanya menjadi 200% pertahun. Belum lagi adanya denda keterlambatan pembayaran. Semua ini menyebabkan hutang PLN ke Pemerintah meningkat dengan cepat, kerugian PLN ditahun 2000 saja dihitung secara akuntansi mencapai Rp. 26 Trilyun. Hal inilah yang menimbulkan kerugian bagi PLN, dan bukan kasus-kasus korupsi. Dampak dari peningkatan hutang ini adalah PLN kehilangan kredibilitas untuk mencari pinjaman, dan proyek-proyek kelistrikan terhambat. Daerah krisis listrik meningkat jumlahnya menjadi 25 daerah. Ancaman lain dari hilangnya kredibilitas ini adalah klaim dari pemasok bahan bakar gas dan listrik swasta. Pada tahun-tahun itu karena keterlambatan pembayaran gas, jaminan bank PLN sempat ada yang dicairkan oleh suatu Bank di Amerika. Perhitungan potensi klaim listrik swasta di tahun itu menunjukkan angka ancaman mencapai 133,5 Milyar dollar.
Langkah-langkah Penyelamatan PLN Terlambat Berkembangnya Krismon menjadi krisis multi dimensi di Republik Indonesia konon akibat pengambilan keputusan-keputusan penting yang harusnya dilakukan untuk mencegah perambatan krisis terlambat diambil. Hal yang sama juga terjadi di PLN. Di tahun 1999, Bank Dunia menghentikan pembayaran pinjaman-pinjamannya ke pemerintah RI termasuk PLN. Termasuk yang dihentikan adalah rencana pencairan pinjaman 32,9 Juta $ untuk membiayai roll-out SIMPEL RISI dan paket 250 Juta Dollar untuk melaksanakan program ITSP (Information Technology Strategic Plan) hasil studi Andersen Consulting tahun 1996.
Bank Dunia Menyarankan Restrukturisasi dan Privatisasi Sementara itu, sebenarnya sejak 1994 Bank Dunia telah menyarankan dengan kuat kepada Pemerintah Indonesia untuk meniru langkah 2 negara maju, yaitu membuka pasar listriknya untuk investasi swasta dan melepaskan peran Negara di sektor ketenagalistrikan dari pembuat kebijakan, pengatur dan pemain menjadi hanya pembuat kebijakan. Pengatur adalah suatu badan yang disebut regulator, sedangkan pemain adalah perusahaan-perusahaan swasta, meskipun tidak tertutup kemungkinan negara memiliki sebagian kecil sahamnya. Dengan demikian, perlu dilakukan pengaturan-pengaturan baru untuk menarik investor swasta, yang pada saat itu sesuai konsep Bank Dunia adalah mempromosikan kompetisi dengan cara melakukan unbundling atau pemecahan sektor ketenagalistrikan secara vertikal, dan untuk mempercepat masuknya swasta
tersebut mereka akan diijinkan memiiki aset tertentu milik pemerintah / PLN melalui “outright sale” atau “strategic partnering”. Layaklah bila salah seorang Komisaris PLN pada saat pelantikan saya sebagai Dirsar menyampaikan bahwa “Direksi ini akan dinilai keberhasilannya dari berapa cepat mereka bisa memecah belah PLN“. Seperti diketahui, langkah privatisasi sudah lama ditempuh Indonesia sejak zaman Soeharto sebagai syarat untuk menerima bantuan-bantuan hutang. Terakhir, kebijakan privatisasi juga kembali ditegaskan pada tahun 1997 melalui kesepakatan yang disebut LoI (Letter of Intent), dan ditandatangani antara Direktur Pelaksana IMF, Michael Camdessus dengan Presiden Soeharto. Selama periode suratmenyurat antara 1998-1999 itu, Menko Perekonomian Ginanjar membuat laporan yang ekstensif tentang agenda privatisasi BUMN, juga tentang situasi finansial masing-masing perusahaan negara tersebut, antara lain Bulog, Pertamina dan PLN. Untuk memuluskan privatisasi, Bank Dunia menggariskan perlunya dilakukan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan termasuk Restrukturisasi Korporat (PLN). Dengan restrukturisasi sektor hendak dicapai suatu industri ketenagalistrikan yang efisien melalui kompetisi para pemainnya, dan iklim persaingan maupun kompetisi dicapai melalui kebijakan-kebijakan Pemerintah yang implementasinya diawasi oleh Badan Regulator Independen sehingga terlepas dari politisasi. Empat tujuan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan adalah pemulihan kelayakan keuangan, kompetisi, transparansi, serta partisipasi swasta yang efisien. Studi mengenai Restrukturisasi Sektor dilakukan oleh konsultan Coopers and Lybrand, konsultan ini merekomendasikan agar sistem kelistrikan interkoneksi Jawa Bali diubah menjadi sektor usaha komersial agar swasta dapat ikut berusaha dan menginvestasikan dananya. Selanjutnya Struktur Industri yang direkomendasikan di Jawa Bali adalah Single Buyer Trading Model (SB) – untuk jangka pendek dan menengah dan Multiple-Buyer-Multiple Seller (MBMS). Diatas kertas, “Re-strukturisasi Korporat PLN” berarti dipisahkannya aset-aset Pembangkitan Tenaga Listrik dari PLN menjadi anak-anak perusahaan, demikian pula aset Transmisi dan Distribusi akan dipisahkan menjadi anak perusahaan sendiri, sementara akan dibentuk anak perusahaan baru di bidang Penjualan Eceran Energi Listrik (retail). Tujuannya adalah menghapus monopoli PLN dan membangun sistem kompetisi di sektor ketenagalistrikan di sisi pembangkitan dan penjualan retail, kecuali transmisi dan distribusi yang dibiarkan tetap dimonopoli oleh BUMN. Pada prakteknya, “re-strukturisasi” adalah pekerjaan yang amat besar, dan sesusah apapun pekerjaan yang menyangkut aset tangible (riil/nyata), yang jauh lebih sulit adalah mempersiapkan hal-hal yang bersifat intangible (tidak kasat mata). Yang terutama harus dirombak adalah mental birokrat, menunggu perintah dan tidak berinisiatif; menjadi mental korporat yang senantiasa mencari dan menemukan peluang, serta inovatif. Suatu racikan yang pas antara kadar pemberian otoritas, arahan yang longgar, ketegasan terhadap pelanggaran aturan (tegas tapi tidak ketat) harus ditemukan untuk menumbuhkan sifat yang dibutuhkan.
Majelis Hakim yang Mulia, Sampai disini saya telah menjelaskan latar belakang situasi menjelang tahun 2000- 2001, periode yang dianggap penting oleh JPU dalam kaitannya dengan perkara Outsourcing Roll Out CIS RISI. Sedemikian pentingnya, sehingga dari 43 butir tuntutan, 30 butir diantaranya menyangkut periode 20002001, padahal kejadian yang dianggap merugikan terjadi dalam kurun waktu 2003-2006. JPU telah berusaha keras mengkaitkan diri saya dengan setiap proses sedemikian rupa seolah saya menjadi “dalang” dari kegiatan yang melanggar hukum: menguntungkan orang lain dan diri sendiri. Dalam upaya mana JPU mengabaikan fakta bahwa bagi perusahaan sebesar dan sepenting PLN, dinamika di luar perusahaan turut menentukan dalam proses pengambilan keputusan internal. JPU juga telah merendahkan profesionalisme pegawai-pegawai PLN, seolah mereka bekerja tanpa motif pengabdian masyarakat dan berfikir dalam konteks kepentingan diri sendiri semata. Saya membantah rekayasa ini, yang garis besarnya kami sampaikan nanti dan detilnya masuk dalam pembelaan oleh Penasehat Hukum. Saya berpandangan bahwa untuk menilai secara obyektif perkara ini, maka seluruh rentang waktu antara tahun 1994 sampai 2006 harus dikupas untuk menemukan benang merah rangkaian kejadian yang disangkakan telah menyebabkan kerugian Negara. Dalam rentang waktu itu, peran Bank Dunia, program restrukturisasi dan paket pemulihan keuangan PLN saling berkait, sehingga akhirnya membawa kepada kebijakan-kebijakan yang antara lain menyangkut Outsourcing Roll Out CIS RISI ini. Gagalnya pendanaan Bank Dunia untuk mendanai sistem informasi di PLN Disjaya, sementara program restrukturisasi PLN di Disjaya, yang juga dilaksanakan atas saran kuat Bank Dunia pada tahun 2000, telah mencapai momentum yang membutuhkan sistem informasi yang dimaksud, menyebabkan PLN Disjaya terjerumus dalam situasi kehilangan kendali atas pendapatannya. Hal ini dapat merusak dukungan terhadap program kenaikan TDL dan menghancurkan program pemulihan keuangan PLN. Bila ini terjadi, tidak saja PLN kehilangan predikat “Wajar Tanpa Pengecualian” dari KAP, tetapi dikhawatirkan akan mempersulit renegosiasi Listrik Swasta yang dapat meningkatkan klaim listrik swasta dari sejumlah 550 juta Dollar yang telah sampai di tahap arbitrase internasional bisa meningkat mencapai milyaran Dollar. Untuk menghadapi situasi krisis ini, Direksi PLN mengambil rangkaian kebijakan Desentralisasi Kewenangan Operasional dari PLN Pusat kepada Unit-unit Wilayah, a.l. dengan mengeluarkan SK 075/010/DIR/2000, menyetujui rencana penerapan sistim informasi pelanggan yang diusulkan Disjaya melalui surat 575/061/D.IV/2001 tanggal 31 Mei 2001, yaitu pola OSCO, untuk selanjutnya diusulkan ke Dekom. Penerapan pola OSCO ini sesuai kesepakatan rapat Direksi 8 Mei 2001, hanyalah merupakan solusi sambil menunggu realisasi pendanaan Bank Dunia untuk CIS IBP yang diperkirakan baru akan menghasilkan implementasinya tahun 2005. Tidak diperolehnya dukungan Dekom terhadap pola OSCO, menyebabkan Direksi mengambil kebijakan mencoba mempercepat program CIS IBP dengan biaya APLN, yang dilaksanakan di AP Cimahi Kota dan meminta Disjaya untuk menegosiasi ulang perubahan OSCO menjadi non-OSCO dengan developer terkait. Negosiasi ulang yang dilaksanakan tahun 2002 gagal mencapai kesepakatan dan diminta oleh Dekom untuk dihentikan di akhir tahun 2002. Kegagalan demi kegagalan yang dialami Disjaya menyebabkan pada tahun 2003, GM Disjaya mengambil inisiatif untuk kembali ke pola Outsourcing dan membentuk Tim Penunjukkan Langsung tanpa
melibatkan personil PLN Pusat. Setelah menyelesaikan negosiasi, Disjaya mengusulkan Outsourcing Roll Out CIS RISI ke Direksi melalui Diraga, yang mana usulan tersebut akhirnya disetujui dan diteruskan ke Dekom, yang menghasilkan dukungan dan tanggapan dari Dekom dalam RUPS RKAP 2004. Atas usulan dan tanggapan mana Kuasa Pemegang Saham memutuskan untuk memerintahkan pelaksanaan Outsourcing yang dapat meningkatkan nilai perusahaan. Perencanaan dan proses penganggaran kegiatan ini telah masuk dalam RKAP tahun 2002 s/d 2006 yang disetujui oleh RUPS, dan Pelaksanaan Outsourcing Roll Out CIS RISI ini dilaporkan secara terbuka melalui Laporan Manajemen yang ditandatangani oleh Direksi dan Dekom, dan menjadi dasar bagi pemberian “acquit et de charge”, pembebasan tanggung jawab dari RUPS. Hasil dari implementasi Outsourcing Roll out ini terbukti telah menguntungkan PLN, bermanfaat bagi pelanggan dan masyarakat dalam bentuk peningkatan pelayanan, penurunan susut dan pencegahan kebocoran dana pelanggan, dan menguntungkan Negara karena menghindarkan PLN dari investasi atas sistim informasi yang disarankan dalam ITSP, yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan PLN, setelah UU Kelistrikan 20/2002 dicabut oleh Mahkamah Konstitusi akhir 2004.
Bantahan-bantahan atas Uraian JPU dalam Surat Tuntutan Bab IV. Analisa Fakta: 1. Bahwa Benar Terdakwa sejak 31 Juli 1998 menjabat selaku Direktur Pemasaran (Dirsar) PT. PLN (Persero) dan pada tahun 2000 sampai dengan 2008 menjabat selaku Direktur Utama (Dirut) PT PLN (Persero). Saya mulai menjabat Dirut PLN sejak tahun 2001 bukan tahun 2000. 2. Bahwa benar Ir Gani Abdul Gani adalah Direktur Utama ( Dirut) PT Netway Utama dan juga salah seorang tenaga Dosen di Politeknik ITB yang diikut sertakan untuk mengerjakan aplikasi SIMPEL RISI tersebut Tidak ada bantahan. 3. Bahwa benar Terdakwa pada sekitar bulan September 2000 telah bersepakat dengan Ir. Gani Abdul Gani untuk merencanakan implementasi aplikasi SIMPEL RISI yang sudah ada tersebut di seluruh Kantor Cabang/Rayon PT. PLN Disjaya dan Tangerang melalui perjanjian kerjasama antara PT. PLN Disjaya dan Tangerang dengan PT. Netway Utama dengan meminta Ir. Gani Abdul Gani membuat proposal serta melakukan presentasi terlebih dahulu di PT PLN Disjaya dan Tangerang. Saya menolak keras dakwaan ini. Saya baru mengenal Gani Abdul Gani pada pertengahan tahun 2000, saya tidak terlibat dalam kontrak kerjasama Politeknik ITB dengan PLN Disjaya, dan bidang IT bukanlah bidang keahlian maupun bidang tanggung jawab saya selaku DIRSAR. Saya tidak berhasil menemukan sumber dakwaan ini, karena baik dari BAP maupun keterangan saksi Gani Abdul Gani, Margo Santoso, Pandu Angklasito, Azis Sabarto maupun Dodoh Rahmat tidak pernah mengetahui adanya kesepakatan yang dituduhkan itu. Lebih tidak masuk akal lagi bila disebutkan bahwa kesepakatan itu untuk merencanakan implementasi aplikasi SIMPEL RISI yang sudah ada tersebut ke seluruh kantor cabang/rayon PT PLN Disjaya. a) Pada tahun 2000 tersebut sudah tidak ada lagi kantor cabang/rayon di Disjaya, karena sejak tahun 1999 Disjaya telah mengalami restrukturisasi dari 7 cabang dan 35 rayon menjadi 35 Area Pelayanan dan 4 Area Jaringan. (BAP Tunggono p.12, GAG sd 1Nov). b) Sebagai konsekuensi dari restrukturisasi tersebut, SIMPEL RISI sudah tidak sesuai lagi, sehingga ditahun 2000 tersebut dikembangkan menjadi CIS RISI yang jumlah aplikasinya jauh lebih banyak. (Tedy Triheryadi Sd 1 Nov) 4. Bahwa benar kontrak yang dimaksud oleh saksi Gani Abdul Gani adalah kontrak kerjasama antara PT PLN Disjaya dan Tangerang dengan Politeknik ITB Bandung sejak tahun 1994 dengan beberapa perubahannya terkait pembuatan dan pengembangkan aplikasi Sistem Informasi Manajemen Pelanggan - Rencana Induk Sistem Informasi (SIMPEL RlSI) yang memiliki fungsi dan fitur mencakup: (i) Fungsi pelayanan pelanggan, (ii) Fungsi pembacaan meter, (iii) Fungsi proses rekening, (iv) Fungsi distribusi dan posting rekening, (v) Fungsi penagihan, dan (vi) Fungsi pemutusan sementara dan penanganan
tunggakan, sesuai dengan Pedoman dan Petunjuk Tata Usaha Pelanggan Manual (TULMAN) dalam Lampiran Keputusan Direksi No. 021.K/0599/DIR/1995 tanggal 23 Mei 1995, yang pada tahun 1999 aplikasi SIMPEL RlSI telah berhasil diimplementasikan di 9 (sembilan) lokasi dalam wilayah PT PLN Disjaya dan Tangerang, yaitu : Kantor Disjaya dan Tangerang; Kantor Cabang Gambir, Kantor Cabang Tangerang, Kantor Rayon Cempaka Putih, Kantor Rayon Kyai Tapa, Kantor Rayon Cengkareng, Kantor Rayon Serpong, Kantor Rayon Cikupa dan Kantor Rayon Sepatan dan seluruh hasil pekerjaan SIMPEL RlSI telah pula diserahterimakan oleh Politeknik ITB kepada Margo Santoso selaku General Manajer PT (Persero) PLN Disjaya dan Tangerang dan telah pula dilaporkan oleh saksi Margo Santoso kepada terdakwa selaku Dirsar PT PLN saat itu.
Saya membantah bahwa pada tahun 1999 Saksi Margo Santoso telah melaporkan keberhasilan implementasi SiIMPEL RISI kepada saya selaku DIRSAR. Karena pada pertengahan tahun 2000 saksi mengeluh karena tidak berhasil menutup kontrak dengan Politeknik, padahal sudah 4 kali amandemen. Selanjutnya baru pada akhir tahun 2000 Margo Santoso membentuk Tim EOSPKP yang tujuannya a.l melakukan evaluasi atas implementasi SIMPEL RISI tersebut. Saksi Dodoh Rahmat dalam persidangan menerangkan bahwa laporan Tim EOSPKP tanggal 14 Desember menyimpulkan bahwa tidak selesainya pekerjaan SIMPEL RISI karena ada kewajiban dari masing-masing pihak yang belum terlaksana yang intinya komunikasi yang kurang baik antara para pihak.
5.
Bahwa benar selanjutnya pada sekitar bulan September 2000, ketika kontrak kerjasama antara PT. PLN Disjaya dengan Politeknik ITB akan berakhir, saksi Gani Abdul Gani mendatangi saksi Margo Santoso di Kantor PLN (Persero) Disjaya dan Tangerang menyampaikan tawaran untuk membentuk perusahaan patungan antara PT. Netway Utama dengan PT. (Persero) PLN Disjaya dan Tangerang guna menangani pelayanan pelanggan di PT. (Persero) PLN Disjaya dan Tangerang dengan mengimplementasikan aplikasi SIMPEL RISI yang sudah ada di Kantor Cabang/Rayon PT PLN Disjaya dan Tangerang. Atas tawaran tersebut saksi Margo Santoso meminta saksi Gani Abdul Gani membuat proposal tertulis serta me1akukan presentasi terlebih dahulu, yang mana kemudian saksi Gani Abdul Gani mempersiapkan proposal kegiatan Roll Out CIS RISI di PT. PLN Disjaya dan Tangerang yang pelaksanaannya direncanakan selama 5 (lima) tahun (multiyears) dengan asumsi biaya sebesar Rp 905.608.262.568,00 (sembilan ratus lima milyar enam ratus delapan juta dua ratus enam puluh dua ribu lima ratus enam puluh delapan rupiah ). Saya tidak mengetahui hal ini, namun bila dikaitkan dengan dakwaan sebelumnya, yaitu adanya kesepakatan Gani Abdul Gani dengan saya maka terlihat bahwa JPU ragu-ragu atas kebenaran dari dua dakwaan ini. Logikanya, bila telah terjadi kesepakatan dengan Dirsar seperti dituduhkan maka Disjaya akan minta presentasi proposal, dan setelah mendapat presentasi proposal baru minta Netway presentasi proposal yang sama di Pusat. Keterangan saksi Dodoh dalam BAPnya menyebutkan bahwa yang bersangkutan mendapat dokumen CIS Outsourcing Solution for PLN dan OSCO-Executive Summary dari Margo Santoso sekitar tanggal 14 September 2001 dan
presentasi dilakukan di Disjaya tanggal 21 September 2001. Bila benar dokumen itu yang dipresentasikan, maka menjadi tidak benar dan tidak masuk akal bahwa rencananya adalah implementasi SIMPEL RISI di seluruh Wilayah Disjaya dengan biaya Rp 905 Milyar. Tampak sekali JPU berusaha mengesankan adanya kesepakatan jahat menguras uang PLN melalui suatu skema mark up yang luar biasa. Keterangan saksi Gani Abdul Gani dalam sidang 1 November 2011 mengungkapkan bahwa yang masuk dalam scope proposal awal (Sept. 2000) adalah SIMPEL RISI diganti produk IBP asing (belum dipastikan programnya), seluruh investasi hardware dan komunikasi diganti baru dan dibiayai Netway, SDM disediakan Netway .
6. Setelah presentasi tersebut saksi Margo Santoso memberikan tanggapan untuk penawaran kerjasama yang disampaikan oleh PT. Netway Utama adalah kewenangan Direksi PT (Persero) PLN dan saksi Margo Santoso juga menyampaikan kepada saksi Gani Abdul Gani agar melakukan presentasi di depan para Direksi PT PLN dengan alasan karena proposal tersebut berhubungan dengan kontrak kerjasama untuk kurun waktu 5 (lima) tahun dan biayanya cukup besar maka kewenangan untuk memutuskannya ada pada Direksi PT (Persro) PLN. Pada saat itu saksi Gani Abdul Gani menyatakan di depan forum bahwa proposal yang baru dipresentasikannya tersebut sudah diketahui oleh terdakwa selaku Direktur Pemasaran dan Distribusi di PT (Persero) PLN dan terdakwa yang meminta saksi Gani Abdul Gani untuk melakukan presentasi di PT (Persero) PLN Disjaya dan Tangerang. Bila membaca alasan Margo Santoso untuk minta Netway presentasi di PLN Pusat setelah melakukan presentasi di Disjaya, maka saya dapat melihat munculnya suatu penjelasan yang kurang masuk akal juga, yaitu alasan yang digunakan adalah karena nilainya yang besar, dan karena sifat multiyears. Nilai yang besar tidak menyebabkan suatu pekerjaan harus dilakukan di PLN Pusat, SK 075/010/DIR/2000 tanggal 5 Mei 2000 mengatur bahwa untuk APLN hak dan kewenangan pengadaan oleh pemimpin unit tidak lagi mempunyai batas atas, oleh karenanya alasan karena besarnya nilai pekerjaan yang dikemukakan Margo Santoso tidak dapat diterima. Alasan multiyears juga tidak menyebabkan pekerjaan itu hanya menjadi wewenang PLN Pusat, karena selaku GM Disjaya Margo Santoso juga menandatangani kontrak-kontrak pekerjaan multiyears, semisal penyediaan tenaga kerja cater, yang selalu dilaksanakan secara mulityears tanpa ijin khusus dari PLN Pusat, Dekom maupun RUPS. Alasan yang tepat mengenai pelaporan ke Pusat sebenarnya adalah karena kontrak CIS akan merupakan kontrak Outsourcing yang pertama kali diterapkan di PLN Distribusi. Saya membantah keterangan yang menyatakan bahwa saya sudah tahu adanya presentasi di Disjaya, pada saat itu (tanggal 21 September 2001) tidak ada yang memberitahu saya akan adanya presentasi itu. Saya tidak tahu mengapa atau apakah benar saudara Gani Abdul Gani mengatakan itu di depan forum Disjaya. Saya tidak menemukan bahwa Gani mengkonfirmasi keterangan Margo Santoso dan Dodoh Rahmat ini.
7. Bahwa kemudian sekitar tanggal 21 September 2000 Terdakwa mengundang saksi Gani Abdul Gani untuk menyampaikan presentasi terhadap proposal yang diajukannya di ruang
rapat Direktur Pemasaran PT PLN, sehingga saksi Gani Abdul Gani kembali mempresentasikan proposal rencana kerjasama Roll Out CIS RISI tersebut di hadapan Terdakwa dan beberapa pejabat PT PLN Pusat serta PT PLN Disjaya dan Tangerang, yang mana Terdakwa menyetujui proposal tersebut dengan meminta saksi Gani Abdul Gani mengajukan penawaran ke PT PLN Disjaya dan Tangerang. Selain itu Terdakwa memerintahkan Margo Santoso melakukan kajian atas proposal PT Netway Utama yang diajukan saksi Gani Abdul Gani serta melaporkan hasilnya langsung kepada Terdakwa. Proposal Netway Sept. 2000 disiapkan oleh Netway sendiri. Menurut keterangan saksi Margo Santoso dan Dodoh Rahmat pertama kali dipresentasikan di hadapan manajemen Disjaya yaitu tanggal 21 Sept. 2000 (BAP Dodoh Rahmat 5 April 2010 p.4), hal mana dibenarkan oleh Margo Santoso dalam BAP 10 Maret 2010 p.12, serta merupakan rangkaian pertemuan Gani Abdul Gani dengan Margo Santoso, diawali saat penjelasan keterlambatan SIMPEL RISI dalam rapat internal Disjaya, dilanjutkan dengan kedatangan Gani Abdul Gani sebulan kemudian menjelaskan peran Netway dan Politeknik ITB dalam pengerjaan SIMPEL RISI (BAP Margo Santoso 10 Maret 2010, p.10). Saya tidak tahu apa yang dipresentasikan di Disjaya, namun Dodoh Rahmat dalam BAP tersebut diatas menyebutkan proposal Netway menyangkut: 1. CIS Resource Sharing Model for PLN dan 2. Executive proposal summary : CIS Outsourcing di PT. PLN. Seingat saya judul dokumen yang saya terima dalam presentasi Netway adalah CIS Outsourcing Solution for PLN. Saat dipresentasikan di PLN PUSAT fokusnya bukan pada aplikasi programnya, tetapi pada paradigma outsourcing dengan tujuan membawa PLN dari situasi saat itu secara bertahap sampai berhasil mengimplementasikan CIS IBP dalam periode tertentu. Ide utamanya adalah kerjasama outsourcing, dimana Netway menawarkan untuk melakukan investasi di bidang hardware dan infrastruktur, serta mempertanggung jawabkan pelaksanaan implementasi CIS dalam suatu Service Level Agreement. Sebagai imbalannya, Netway mengusulkan dibayar sejumlah tertentu (asumsinya waktu itu Rp.5000/pelanggan-bulan). Netway juga menyebutkan adanya peluang PLN Disjaya memiliki saham 5 s/d 15 persen dalam tahap I Outsourcing (5 tahun), dan besar saham itu dapat dinegosiasikan lebih lanjut setelah masa pengembalian investasi Netway. Sesuai TUPOKSI saya selaku Dirsar, saya melihat bahwa, i.
ii. iii.
iv.
Bila dilaksanakan sesuai proposal, maka usulan ini dapat membantu PLN untuk meningkatkan pelayanan pada konsumen tanpa PLN harus melakukan investasi awal (Sejak 1998 PLN dalam keadaan rugi yang terus meningkat dan tidak mampu menyediakan dana investasi). Usulan ini juga membuka peluang pengembangan Usaha bagi ICON+, anak perusahaan PLN di bidang telematika, didirikan 2010). Saya tidak terlalu memperhatikan aspek program aplikasi yang akan diterapkan dalam usulan itu, karena kebijakan IT berada di tangan DIRREN dan saya tahu bahwa Gani Abdul Gani telah mempunyai akses yang cukup baik di DITREN, terbukti dengan adanya dukungan Bank Dunia pada mereka. Belakangan saya mendapat masukan dari VP Akuntansi yang menyatakan bahwa Disjaya mengalami masalah rekonsiliasi keuangan yang cukup parah (senilai hampir 800 milyar
v.
vi.
Rupiah) akibat restrukturisasi sehingga mengancam perolehan kualifikasi Wajar Tanpa Pengecualian dari KAP Hans Tuanakotta Mustofa & Deloitte yang mengaudit PLN untuk TA 2000. Dirkeu dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan perlunya peningkatan pengamanan pendapatan, utamanya karena PLN tengah mengupayakan kenaikan TDL yang merupakan satu-satunya cara tercepat untuk menutup laju kerugian secara riil. Usulan ini sesuai dengan arahan-arahan Dirut (Pak Kuntoro M.) dalam menghadapi krisis keuangan PLN, yaitu agar mencari upaya-upaya terobosan, bekerjasama dengan swasta dalam program-program investasi untuk menjaga momentum pertumbuhan (Pengantar Dirut dalam RUPS RKAP 2001) dan arahan Dekom bahwa PLN harus mengurangi ketergantungan pada pendanaan pemerintah dan bahwa Ditsar menjadi ujung tombak kerjasama PLN dengan swasta (pendapat Dekom RUPS RKAP 2001). Ia juga sesuai dengan kebijakan PLN untuk meningkatkan efisiensi usaha sekaligus meningkatkan pelayanan dalam rangka menyongsong keluarnya keputusan pemerintah mengenai kenaikan TDL. Oleh karenanya respon saya selaku DIRSAR dalam presentasi yang dilakukan tgl 27 Sept. 2000 adalah secara umum saya melihat proposal tersebut mempunyai unsur strategis, yaitu kesesuaian dengan arah baru program-program PLN dan membuka peluang pengembangan usaha. Namun demikian saya juga mengetahui bahwa cara pandang baru seperti diatas memerlukan dukungan dari manajemen atas dan menengah di lingkungan PLN Pusat, sehingga memerlukan upaya sosialisasi yang tidak sedikit.
Sesuai dengan kebijakan Desentralisasi pada saat itu, inisiatif harus tetap berada di tangan Disjaya sebagai user dari jasa Outsourcing ini, dan Ditsar PLN Pusat hanya memfasilitasi sosialisasi dan perijinan-perijinan yang dibutuhkan. Presentasi di PLN Pusat menurut hemat kami masih berupa penyampaian gagasan, dan belum mendefinisikan dengan jelas lingkup (misalnya mengenai aplikasi program yang akan dikembangkan dan diserahkan ke PLN masih sebatas menyebutkan CIS sekelas Industrial Best Practice, dan tidak mengacu pada produk tertentu), belum menyebutkan harga (hanya angka ancar-ancar Rp 5.000,-/pelanggan bulan), secara garis besar menyatakan membutuhkan masa kontrak 5 tahun untuk pengembalian investasi. Sebelum memberikan respon sebagaimana lazimnya saya minta tanggapan Margo Santoso dan Azis Sabarto, dan keduanya mendukung presentasi tersebut dengan menyampaikan bahwa Disjaya mempunyai keterbatasan dalam SDM ahli IT sehingga membutuhkan layanan seperti disampaikan Netway (BAP Azis Sabarto 6 Mei 2010 p.9). Karenanya, respon Dirsar atas presentasi adalah mempersilahkan Netway melanjutkan koordinasinya dengan Disjaya. Tidak ada respon yang dapat disimpulkan sebagai komitmen PLN Pusat, sebagai permintaan kepada Netway atau sebagai perintah khusus kepada Disjaya, respon saya bersifat umum, bernada positif. Tidak benar ada permintaan kepada Netway agar mengajukan penawaran atas aplikasi/program CIS RISI kepada Disjaya maupun perintah kepada PLN Disjaya untuk melakukan pengkajian terhadap penawaran proposal CIS RISI tersebut (BAP Margo Santoso 22 Maret 2010, p.6), saya hanya memuji gagasan Netway dan mempersilahkan melanjutkan rencana kerjasamanya dengan PLN Disjaya (BAP Gani Abdul Gani 21 Mei 2010 p.32, BAP Supanca 25 Mei 2010 p.9).
Saya tidak dapat menyetujui atau membuat kesepakatan apapun atas suatu gagasan yang masih berada pada tahap awal seperti itu, meskipun untuk menunjukkan kesiapan mereka dalam presentasi tersebut dikatakan dan ditunjukkan kesiapan Netway dari segi teknis berupa informasi-
informasi detil yang mereka peroleh mengenai kondisi AP-AP Disjaya, sehingga sekurangnya dari aspek hardware dan infrastruktur mereka dapat membuat “User hardware & infrastructure requirement”. Informasi tersebut tidak saya perhatikan karena masuk dalam wilayah DIVSI/DITREN untuk kelak mendefinisikannya. Presentasi gagasan yang menyertakan informasi detil dan diberikan dalam bahasa Inggris memberikan indikasi bahwa Netway menyajikan proposal ini sebagai alternatif atas program roll-out CIS yang rencananya didanai Bank Dunia namun tertunda karena situasi makro-ekonomi Indonesia. Seingat saya untuk presentasi Netway di PLN Pusat tidak dikeluarkan undangan khusus karena sifatnya yang merupakan perkenalan gagasan, dan presentasi semacam ini merupakan salah satu kegiatan rutin DITSAR yang merupakan gerbang masuk pertukaran gagasan dengan pihak swasta. Presentasi ini saya laporkan dalam sidang Direksi kepada Dirut (Kuntoro M.), saya tidak ingat tanggal rapatnya, dan tidak memiliki notulennya. Hal ini tidak aneh karena pada masa itu pak Kuntoro sangat enggan membubuhkan tandatangan pada minuta rapat Direksi. Saya sudah berusaha mencarinya tetapi mendapat jawaban dari Pak Murtaqi (Sekper pada masa itu) bahwa catatan-catatan rapat Direksi pada periode itu disimpan oleh seorang staf Sekper yang kemudian hilang dengan meninggalnya staf tersebut karena sakit. Dalam rapat tersebut saya memperoleh ijin untuk mejalankan pola outsourcing di Unit Distribusi, suatu kebijakan yang merupakan perluasan dari kebijakan yang sama di Unit-unit Pembangkitan PLN (Kebijakan Total Maintenance Contract telah dijalankan sejak 1995 dan pada tahun 2000 terdapat sekurangnya 11 kontrak outsourcing TMC tersebut di Unit-unit Pembangkitan PLN (RKAP 2001 )). Keberadaan rapat tersebut dikonfirmasi oleh dua saksi yaitu saksi Tunggono (BAP 6 Mei 2010 p.23 dan keterangan di depan sidang) dan Azis Sabarto (BAP 6 Mei 2010 p.9 dan keterangan di depan sidang).
8. Bahwa benar dalam rangka memenuhi permintaan terdakwa, pada tanggal 27 September 2000 saksi Gani Abdul Gani menyampaikan surat penawaran PT. Netway Utama Nomor : NET.DIR/l/0019/IX/2000 kepada GM PT PLN Disjaya dan Tangerang yang tembusannya ditujukan kepada terdakwa, selanjutnya saksi Margo Santoso melaporkan hasil kajian atas proposal dan surat penawaran PT. Netway Utama kepada terdakwa dengan surat Nomor : 1308/0611D.lVI2000 tanggal 6 Oktober 2000 yang isinya memohon ijin untuk mengirimkan Letter of Intent kepada PT Netway Utama terkait permintaan konfrrmasi formal dari PT. PLN Disjaya dan Tangerang dalam bentuk Pernyataan Minat (Letter of Intent) agar dapat mempersiapkan pembahasan ruang lingkup pekerjaan (scope of works), kesepakatan tingkat layanan (service level agreement) dan model pembiayaan (financial model). Dakwaan JPU yang ini mempunyai kekeliruan yang cukup fatal karena surat Netway No. NET.DIR/l/0019/IX/2000 kepada GM PT. PLN Disjaya dengan tembusan kepada Dirsar bukanlah surat penawaran, melainkan permohonan konfirmasi formal dari PLN untuk memulai klarifikasi, kualifikasi dan negosiasi mengenai Scope of Work, Service Level Agreement dan
Financial Model. Oleh karena itu tidak mungkin surat ini dibuat dalam rangka memenuhi keinginan terdakwa, apalagi bila melihat posisi Dirsar dalam menanggapi perkembangan ini.
9. Bahwa benar selanjutnya terdakwa tanpa sepengetahuan dan persetujuan Direksi PT. PLN Pusat memerintahkan saksi Aziz Sabarto membuat surat Nomor : 4323/060/DITSAR/2000 tanggal 13 Oktober 2000 ditujukan kepada OM PT. PLN Disjaya dan Tangerang yang isinya memberikan ijin kepada PT PLN Disjaya dan Tangerang menempuh cara outsourcing terkait rencana implementasi CIS RISI di PT. PLN Disjaya dan Tangerang serta memerintahkan mempersiapkan anggarannya dengan sasaran implementasi Januari 2001, padahal di dalam surat yang diajukan OM PT. PLN Disjaya dan Tangerang kepada terdakwa tidak ada permintaan ijin menempuh cara Outsourcing. Selang tidak lama setelah tanggal surat tersebut saya menerima surat dari GM Disjaya yaitu surat No. 1308/061/D.IV/2000, tanggal 6 Oktober 2000 perihal CIS Outsourcing Solution dan isinya meminta ijin untuk mengirimkan Letter of Intent untuk memulai pembicaraan lebih lanjut dengan Netway menyangkut Scope of Works, Service Level Agreements dan Financial Model. Saya minta Kdivyan, Sdr. Azis Sabarto untuk menyiapkan jawaban berdasarkan hasil konsultasi dengan Direksi diatas dan selanjutnya saya tandatangani dengan No. 4323/060/DITSAR/2000, tanggal 13 Oktober 2000 (BAP Azis Sabarto 6 Mei 2010 p.9). Menerbitkan surat mengenai outsourcing pelayanan pelanggan pada PLN Distribusi merupakan bagian dari Tupoksi Dirsar, sehingga tidak diperlukan ijin dari Direksi lain, apalagi ijin ini bersifat ijin prinsip saja dan tidak/belum berakibat terjadinya perikatan hukum yang membutuhkan komitmen sumber daya perusahaan. Surat ini berfokus pada ijin outsourcing karena membalas surat GM Disjaya perihal CIS Outsourcing Solution. Ijin Outsourcing untuk PLN Distribusi belum pernah dikeluarkan oleh Direksi dan sifat pemberian ijin Outsourcing dalam surat ini merupakan ijin prinsip belaka. Meskipun tidak ada kata-kata permintaan ijin Outsourcing dalam surat Disjaya, pemberian ijin prinsip Outsourcing ini merupakan payung hukum bagi PLN Disjaya untuk bertemu dan membahas rencana Outsourcing dengan pihak manapun. Saya menganggap permintaan ijin mengeluarkan Letter of Intent untuk negosiasi Outsourcing Solution sebelum memperoleh ijin prinsip Outsourcing merupakan proses yang tidak benar. Pemberian ijin prinsip Outsourcing ini disertai arahan untuk sifat strategis dari kebijakan outsourcing yang ditempuh PLN dan pada objektif dari outsourcing itu sendiri, yaitu mencapai peningkatan pelayanan, peningkatan efisiensi dengan cepat ditengah keterbatasan pendanaan PLN dan perkembangan teknologi IT yang cepat. Karena sifat ijin prinsip ini masih umum, maka dalam surat tersebut tidak disebut nama Netway. Seperti layaknya suatu kegiatan, maka dalam surat ini ditekankan perlunya melakukan perencanaan kegiatan dan anggaran. Mengingat waktu sudah pertengahan Oktober dan merupakan masa-masa akhir proses penyusunan RKAP, maka kegiatan perencanaan ini perlu diprioritaskan.
Secara khusus saya minta untuk tidak menyebut kata “Letter of Intent” dalam surat ini karena kosakata baku dari LoI ini mengandung suatu makna keterikatan dari pihak yang mengeluarkan LoI, meskipun masih sebatas bersifat moral kepada pihak Netway. Letter of Intent biasanya dibutuhkan oleh rekanan sebagai bukti adanya kesepakatan-kesepakatan dengan pihak lain (pemberi kerja), meskipun masih diperlukan adanya ratifikasi dari atasan para pihak sebelum dituangkan menjadi Dokumen Kontrak. Bukti semacam ini dapat digunakan untuk memulai pengurusan pendanaan oleh rekanan dengan bank/institusi pemberi pinjaman lainnya, sehingga memperpendek masa mobilisasi.
10. Untuk menyiapkan anggaran sebagaimana perintah terdakwa tersebut, saksi Margo Santoso pada tanggal 2 Oktober 2000 menerbitkan SK GM PT PLN Disjaya dan Tangerang Nomor : 121.K/021/PD.IV/2000 tentang Pembentukan Tim Evaluasi Outsourcing Sistem Penunjang Kinerja Perusahaan (EOSPKP) yang diketuai saksi Dodoh Rahmat dengan tugas me1akukan penelitian terhadap proposal PT Netway Utama, Se1ain itu saksi Margo Santoso juga mengarahkan Tim EOSPKP agar mendukung keinginan terdakwa untuk mewujudkan rencana Outsourcing implementasi CIS RISI tersebut, karena itu Tim EOSPKP da1am 1aporannya merekomendasi usulan implementasi CIS RlSI dengan po1a kerjasama antara PT. PLN Disjaya dan Tangerang dengan PT. Netway Utama dalam bentuk perusahaan bersama (outsorcing company) untuk jangka waktu se1ama 5 (lima) tahun dengan biaya sebesar Rp 905.608.262.568,00 (sembilan ratus lima milyar enam ratus delapan juta dua ratus enam puluh dua ribu lima ratus enam puluh delapan rupiah) sebagaimana proposal yang diajukan PT Netway Utama walaupun Tim tidak pernah melakukan evaluasi terhadap kualifikasi perusahaan, reputasi dan pengalaman kesuksesan PT. Netway Utama. Kembali JPU melakukan kesalahan fatal dalam menuliskan dakwaan ini. Surat Dirsar yang menyebutkan perencanaan anggaran bertanggalkan 13 Oktober 2000, 11 hari setelah GM mengeluarkan SK pembentukan Tim EOSKP tanggal 2 Oktober 2000, sehingga tidak mungkin surat Dirsar menjadi pemicu pembentukan Tim EOSPKP. Keterangan saksi Azis Sabarto dalam sidang 27 September 2011 menerangkan bahwa dalam surat No. 4323 tanggal 13 Oktober 2000 tidak membicarakan mengenai (besar) anggaran. Saksi Dodoh Rahmat (20 Sept. 2011) menjelaskan bahwa tidak ada arahan terdakwa terhadap tim EOSPKP. Saksi Margo Santoso menjelaskan didepan sidang bahwa yang ia maksud sebagai perintah atau arahan terdakwa adalah kata-kata “rencana implementasi berikut anggarannya dengan sasaran implementasi 2001”. Tidak ada fakta yang mendukung bahwa Outsourcing Implementasi CIS RISI merupakan keinginan terdakwa, rangkaian kejadian sebelumnya menunjukkan bahwa pembicaraanpembicaraan pada tahap ini masih menyangkut OSCO dengan tujuan akhir penerapan CIS IBP, bukan CIS RISI.
11. Terdakwa pada sekitar bulan Januari 2001 kembali mengundang saksi Gani Abdul Gani untuk melakukan presentasi atas penawaran PT. Netway Utama di Kantor PT PLN Pusat dihadapan terdakwa yang juga dihadiri beberapa pejabat PT PLN Pusat bidang
pemasaran dan distribusi serta bidang teknologi, pejabat PT PLN Disjaya dan Tangerang antara lain : saksi Margo Santoso dan saksi Dodoh Rahmat dan pejabat PT. Netway Utama, setelah penyampaian presentasi terdakwa menyatakan bahwa “ini adalah peluang bagi PLN dalam memenuhi kebutuhan sistem informasi pelanggan yang terintegrasi dengan resiko kegagalan yang ditanggung oleh PT. Netway Utama”, sehingga selanjutnya terdakwa dalam beberapa kesempatan rapat di Kantor Pusat PT. PLN yang juga dihadiri saksi Margo Santoso dan saksi Dodoh Rahmat menegaskan bahwa “secara teknis proposal PT Netway Utama merupakan peluang bisnis yang menarik dan dapat menguntungkan kedua belah pihak dengan kerjasama dalam bentuk joint investment project atau joint venture company dalam mengembangkan sistem pelayanan pelanggan dan tawaran PT Netway Utama sudah dikenal di PLN Disjaya dalam mengerjakan SIMPEL RlSI sebagai pelaksana atas kontrak Politeknik ITB dengan PT PLN Disjaya”. Presentasi Netway di PLN Pusat setelah presentasi pertama 27 September 2000 merupakan realisasi atas arahan dalam surat 13 Otober 2000 untuk melakukan langkah sosialisasi. Presentasi ini diperlukan karena sejak keluarnya surat GM Disjaya Desember 2000 telah terjadi silang pendapat yang cukup tajam di PLN Pusat. Presentasi dengan model pendekatan pengembangan usaha ini merupakan sesuatu hal yang baru di PLN, sehingga masih banyak yang berfikir dalam konsep pengadaan. Saya tidak ingat memberi komentar diatas, tetapi bilapun benar diucapkan, maka hal ini merupakan pendapat yang muncul dari pengalaman saya, dan bukan merupakan suatu ajakan melawan hukum. Dakwaan diatas berasal dari BAP Margo Santoso 15 Maret 2010, dikesankan disana seolah-olah pertemuan-pertemuan itu membicarakan mengenai proposal/penawaran dari Netway dan berlangsung dalam kurun waktu antara keluarnya surat No.36/160/DITSAR/2001, 15 Januari 2001 sampai dengan laporan akhir hasil analisa/kajian tim yaitu 9 Maret 2001. Rapat-rapat dengan topik seperti itu hanya rapat Tim EOSPKP. Seingat saya, Dirsar tidak pernah menghadiri rapat-rapat tim EOSPKP, hal mana dikonfirmasi oleh saksi Sdr. Syarif Maulana dan Budi Harsono. Meskipun demikian saya merasa tidak ada yang salah dalam kutipan statement itu, karena memang dari sudut pandang manajemen, proposal tersebut bila berhasil direalisasikan seperti yang dijanjikan, akan memberi manfaat yang besar bagi upaya peningkatan efisensi dan pelayanan sekaligus membuka peluang pengembangan usaha. Statement itu diperlukan untuk mengubah pola pandang “pengadaan”, seolah-olah PLN memberi kemudahan pada Netway, padahal kenyataannya proposal Netway adalah kerjasama PLN dengan swasta yang sedang digalakkan sebagai suatu kebijakan PLN (Mengacu pada Risalah RUPS RKAP 2001).
12. Pada tanggal 15 Januari 2001 terdakwa menerbitkan surat Nomor: 36/160/DITSAR/2001 yang ditujukan kepada GM PT PLN Disjaya dan Tangerang isinya antara lain memerintahkan PT PLN Disjaya dan Tangerang melanjutkan negosiasi dengan PT. Netway Utama serta menugaskan Tim IBP (Industrial Best Practise Program) CIS di PT. PLN Pusat sebagai pengarah teknis, dan untuk memenuhi perintah terdakwa tersebut saksi Margo Santoso pada tangal 24 Januari 2001 memperbaharui susunan Tim Pengarah dalam Tim EOSPKP dengan menerbitkan SK Nomor: 004.K/021/PD.IV/2000.
Dalam situasi konflik seperti itulah saya memutuskan untuk meminta pak Azis Sabarto kembali mengkonsepkan surat No.36/160/DITSAR/2000 tanggal 15 Januari 2001, dimana dalam surat tersebut saya berusaha mengkoreksi posisi Disjaya dalam negosiasi dengan memberi batasanbatasan yang harus diperhatikan Disjaya dalam merencanakan CIS Outsourcing. Batasan-batasan yang diberikan adalah: i.
Lingkup pekerjaan yang direncanakan adalah Persiapan Menuju CIS IBP, jadi tidak sampai CIS IBP yang definisi dan requirement-nya sedang dikerjakan TIM CIS IBP.
ii.
Bentuk kegiatan adalah Joint Investment, dimana PLN Disjaya sebagai pemberi kerja “buyer”, dan PLN, anak perusahannya, YPK dan Koperasi sebagai co-investor.
iii.
Kesempatan sebagai investor diutamakan diberikan pada pihak yang telah mengembangkan CIS bersama PLN Disjaya.
iv.
Investor diberi kesempatan memperoleh keuntungan yang wajar, tetapi agar dicegah melakukan mark-up, karenanya setiap investasi harus dilaksanakan dengan transparan.
v.
Komitmen masa kontrak maksimum 3 tahun (ini disebabkan adanya rencana tender CIS IBP pada tahun 2004), bila menginginkan perpanjangan harus mengikuti seleksi CIS IBP.
vi.
Oleh karena belum masuk RKAP 2001, maka bila akan diimplementasikan di tahun 2001 harus disesuaikan dengan kemampuan anggaran Operasi Disjaya yang ada.
vii.
Pusat akan menugaskan Tim IBP untuk memberikan arahan teknis. Karena surat ini merespon surat GM Disjaya No. 2762/060/D.IV/2000, tanggal 21 Desember 2000, yang intinya meminta persetujuan DIRSAR atas usulan kerjasama Outsourcing, maka surat DIRSAR tersebut adalah isyarat belum disetujuinya usulan Disjaya dan saran untuk memperbaikinya, dan tidak tepat bila dikatakan sebagai perintah DIRSAR melanjutkan negosiasi.
13. Bahwa benar pada sekitar bulan Februari 2001 dalam pertemuan di Ruang Rapat DIRSAR PT. PLN Pusat yang dihadiri antara lain : saksi Azis Sabarto, saksi Sunggu Aritonang, Supanca, saksi Margo Santo so, saksi Dodoh Rahmat, saksi Pandu Angklasito dan Antoni Dewono, terdakwa memerintahkan agar CIS Outsourcing yang ditawarkan PT Netway Utama diimplementasikan sesegera mungkin, sehingga atas perintah terdakwa tersebut saksi Margo Santoso mengarahkan Tim EOSPKP me1akukan evaluasi sehingga hasil evaluasi Tim EOSPKP akhirnya memberikan. Dakwaan ini dibuat berdasar keterangan Margo Santoso dalam BAP 22 Maret 2010 p.5, merujuk pada pertemuan Margo Santoso dengan Eddie Widiono di ruang kerja DIRUT pertengahan bulan Februari 2001. Saya menyangkal keterangan ini, dengan alasan :
1. Bulan Feb. 2001 saya masih menjabat Dirsar, sehingga tidak mungkin Margo Santoso menghadap saya di ruang kerja Dirut sebagaimana diterangkan. 2. Tidak ada keterangan saksi lain yang membenarkan cerita ini. Sdr. Dodoh bahkan dalam BAP 13 April 2010, p.9 memberi keterangan bahwa Margo Santoso-lah yang menyatakan bahwa implementasi harus dilaksanakan sesegera mungkin. 3. Permintaan implementasi sesegera mungkin berlawanan dengan isi surat 36/160/DITSAR/2000 tanggal 15 Januari 2001 yang dikeluarkan oleh terdakwa karena masih panjang nya proses yang harus ditempuh untuk suatu proyek pengembangan usaha melalui Joint Venture. 4. Setelah bulan Februari 2001, Disjaya masih mengeluarkan 2 (dua) surat permohonan persetujuan lagi ke Direksi, sehingga total ada 4 (empat) surat permohonan yang tidak dikabulkan oleh Direksi karena masih banyaknya hal-hal yang perlu diperbaiki dan dimintakan ijin ke Dekom.
14. Pada sekitar bulan Mei 2001 dalam rapat dengan jajaran direksi untuk membahas pelaksanaan kerjasama Outsourcing Roll Out CIS RISI antara PT PLN Disjaya dan Tangerang dengan PT Netway Utama yang dihadiri terdakwa dan pejabat PT PLN Disjaya dan Tangerang, saksi Hardiv Harris Situmeang selaku Direktur Perencanaan telah menyarankan agar pekerjaan Outsourcing Roll Out CIS RISI dilakukan melalui proses tender sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, namun terdakwa tetap berkeinginan mempertahankan penunjukan PT Netway Utama sebagai partner kerjasama PT PLN Disjaya dan Tangerang dalam pekerjaan Outsourcing Roll Out CIS RISI dan memerintahkan saksi Margo Santoso melanjutkan proses negosiasi dan membuat kajian hukum dalam rangka mendukung proses penunjukan langsung. Rapat Direksi 8 Mei seingat saya adalah Rapat Strategi dalam rangka konsolidasi Direksi setelah saya menggantikan pak Kuntoro pada bulan Maret sebelumnya. Kondisi PLN pada waktu itu adalah masih dalam kondisi kritis, ancaman klaim listrik swasta mencapai lebih dari 100 Milyar dollar, kerugian besar masih membayang, namun titik terang recovery mulai tampak dengan disetujuinya kenaikan tariff berkala, meskipun kekompakan direksi dibawah pimpinan Dirut baru masih dipertanyakan. Pak Hardiv baru direhabilitasi jabatan DIRRENnya, setelah akhir 1999 yang bersangkutan mengundurkan diri, sehingga beliau sepanjang tahun 2000 praktis tidak mengikuti dari dekat permasalahan Netway. Dalam rapat tersebut memang benar ada saran untuk tender, tetapi rapat sependapat bahwa yang perlu ditender adalah CIS IBP, bukan pemilihan partner OSCO (dengan Netway). Setahu saya, pemilihan partner bisnis didasarkan atas kesesuaian kekuatan dan kelemahan dari kedua belah pihak menghadapi suatu opportunity. Suatu analisa SWOT yang mempunyai kedalaman cukup sudah memadai untuk membuat keputusan pemilihan partner. Pemilihan partner dengan cara tender adalah hal yang setahu saya tidak biasa dilakukan. Ada kekhawatiran DIRREN bahwa OSCO (dengan Netway) ini akan diteruskan sebagai kandidat untuk menjadi pemenang CIS IBP, kekhawatiran mana tidak beralasan karena dalam surat No.36/160/DITSAR /2001 tanggal 15 Januari 2001 butir (e), sebagai DIRSAR saya telah mensyaratkan OSCO (dengan Netway) harus mengikuti proses seleksi untuk CIS IBP. Direksi juga membuka kemungkinan didirikannya OSCO dengan vendor lain agar obyektivitas proses
seleksi terjaga. Karena alasan keuangan dan perkiraan kembalinya Bank Dunia baru akan terjadi 2003, maka tender CIS IBP baru akan dilaksanakan tahun 2004. Direksi menyadari bahwa tanpa OSCO (dengan Netway) Disjaya exposed terhadap kemungkinan munculnya skandal keuangan baru (setelah “Katyanto gate” tahun 2000) sampai 2004 dengan dampak yang dapat mengagalkan kenaikan berkala TDL. Sesi strategis ini menguak adanya persamaan dan perbedaan pendapat diantara peserta, yaitu Direktur beserta VP-VP nya, yaitu: a) Ada kesamaan pendapat bahwa suatu bentuk CIS sangat diperlukan untuk diimplementasikan, khususnya di Disjaya yang merupakan “etalase” kesiapan menjalankan program restrukturisasi PLN yang diawali dengan pemulihan keuangan melalui kenaikan TDL. Pada saat mencapai tahap strategic partnering, adanya CIS memberi jaminan yang lebih baik atas kepastian pendapatan JEDU yang diharapkan akan menaikkan nilai JEDU dimata investor. Kesamaan yang lain adalah anggapan bahwa CIS IBP merupakan pilihan terbaik. Sayangnya kondisi keuangan PLN tidak memungkinkan pengadaan CIS IBP dengan anggaran yang ada, sehingga bergantung pada ketersediaan pinjaman Bank Dunia. Karena pinjaman tersebut baru akan mengalir setelah UU Kelistrikan yang baru di sahkan, diperkirakan tahun 2002, maka pinjaman baru akan siap 2003 dan pengadaan tahun 2004. Implementasi CIS IBP diperkirakan baru akan terjadi implementasinya tahun 2005. b) Perbedaan pendapat terletak pada apa yang dapat dilakukan s/d 2005, periode dimana TDL naik secara berkala dan kemampuan PLN mencegah kebocoran pendapatan menjadi penentu dukungan pemerintah dan legislatif terhadap program-program renegosiasi listrik swasta, revaluasi aset, konversi hutang (PLN ke pemerintah) menjadi saham. Ada 3 kelompok pemikiran, yaitu ada yang mengusulkan untuk tidak melakukan penunjukan langsung dalam jumlah yang besar karena berpotensi dipermasalahkan dan mengusulkan agar langsung melakukan tender CIS IBP. Kelompok tersebut berada dalam lingkungan Direktorat Perencanaan, yang melihat bahwa CIS belum proven dan sulit dikembangkan menjadi CIS IBP, antara lain sdr. Asjhari (VP IT). Kelompok ini berbeda pendapat dengan kelompok lain, yaitu mereka yang pernah bertugas dilapangan dan menggunakan TUL 94 manual dan merasa bahwa CIS RISI sudah merupakan langkah maju yang realistis mengingat kebutuhan mengamankan pendapatan dan meningkatkan pelayanan, meningkatkan koordinasi internal dengan menggunakan database pelanggan yang sama dan menurunkan susut jaringan non teknis. Kelompok ini utamanya berada di Disjaya dan Divisi Pelayanan Pelanggan (sdr. Azis Sabarto). Kelompok pemikiran yang lain lagi menyatakan bahwa solusinya harus dilaksanakan dengan anggaran investai yang minim dan harus mampu mengamankan pelaksanaan kenaikan TDL yang merupakan satu-satunya harapan PLN untuk dapat tegak lagi dalam waktu singkat setelah mengalami kerugian lebih dari 23 Trilyun di tahun 2000. Pemikiran ini muncul dari kalangan Direktorat Keuangan PLN Pusat (sdr. Parno Isworo). Selaku Dirut saya melihat bahwa terlalu tinggi resiko yang dihadapi PLN bila tidak mengambil tindakan apapun selain menunggu sampai tahun 2005. Saya mempertimbangkan bahwa asumsi implementasi CIS IBP tahun 2005 pun terlalu optimis karena dasarnya adalah loan Bank Dunia, padahal loan tersebut selalu dikaitkan dengan kemajuan proses Restrukturisasi Sektor Kelistrikan yang saat itu masih menjadi polemik masyarakat. Menciptakan ketergantungan pada loan Bank Dunia pun saya anggap riskan terhadap tekanan Bank Dunia yang menyulitkan Direksi PLN.
Perbedaan pendapat ini belum dapat terjembatani oleh Direksi , dan keadaan ini berlangsung terus sampai awal Agustus 2001. Dalam kurun waktu Maret s/d Agustus 2001 GM Disjaya mengirimkan 2 surat, yaitu surat No. 301/060/D.IV/2001 tanggal 14 Maret 2001, ditujukan pada DIRSAR, dan surat No. 575/060/D.IV/2001 tanggal 31 Mei 2001 ke DIRUT. Surat 301 kembali menyimpulkan bahwa solusi Netway telah selaras dengan kebutuhan Disjaya, dan bertentangan dengan arahan DIRSAR dalam surat No.36/060/D.IV/ 2001 tetap berpendapat bahwa alternatif masa kontrak 5 tahun tetap yang terbaik. Selanjutnya Disjaya meminta persetujuan Direksi agar kerjasama dapat dijalankan dalam bentuk JO (KSO) dulu sambil menunggu OSCO. Surat No. 575 memperhatikan diskusi dan rapat-rapat di PLN Pusat meminta persetujuan Direksi untuk penunjukan langsung Netway sebagai Partner dalam kerjasama CIS Outsourcing dan penerbitan Letter to Proceed. Sejak diangkat menjadi Dirut PLN tanggal 6 Maret 2001, kesibukan saya meningkat sangat tinggi, sehubungan dengan banyaknya agenda yang harus diselesaikan PLN dan memerlukan prioritas perhatian Dirut, yaitu a.l. Renegosiasi Listrik Swasta, khususnya dengan PLTGU Sengkang, PLTU Paiton, PLTP Darajat, PLTP Salak dan PLTP Dieng Patuha. Hampir semua renegosiasi terhenti karena penggantian Dirut dan hampir semua menunggu langkah-langkah awal dari Dirut baru untuk menentukan posisi negosiasi mereka lebih lanjut. Masalah lain adalah Keppres kenaikan TDL berkala yang saat itu sedang menjadi perhatian masyarakat konsumen. Tak kalah pentingnya adalah masalah pengalihan hutang PLN yang timbul karena denda keterlambatan cicilan. Karena hitungan denda dihitung dengan formula yang sangat memberatkan PLN (bunga dalam rupiah mencapai 180% pertahun), maka PLN minta agar hutang tersebut dihapuskan atau sekurangnya dikonversikan menjadi Penyertaan Modal Pemerintah. Jabatan DIRSAR lowong sampai akhirnya pada akhir Juli 2001 diisi oleh Pak Tunggono yang oleh pemegang saham dimutasi dari jabatannya selaku Direktur Operasi. Oleh karena itu kedua surat Disjaya diatas tidak memperoleh respon dari saya selaku Dirut. Saya membantah dakwaan diatas yang menyebutkan adanya perintah Dirut untuk melanjutkan negosiasi dan membuat kajian hukum. Tidak ditemukan keterangan saksi yang dapat dijadikan dasar dakwaan ini. BAP Margo Santoso 24 Maret 2010, p.4 btr.4 menyebutkan bahwa saran untuk menggunakan jasa RSP diperoleh dari Azis Sabarto dan bukan dari Dirut, pada tanggal 21 Mei 2001. BAP sdr. Dodoh 16 April 2010 p.11 hanya menyebutkan bahwa pada tanggal 21 Mei 2001 setelah rapat di PLN PUSAT beliau diajak menemui RSP oleh pak Margo Santoso, dalam sidang 20 September 2011 saksi menyatakan tidak tahu akan adanya arahan Dirut seperti itu, padahal yang bersangkutan hadir dalam rapat. Demikian pula saksi Pandu Angklasito. BAP sdri. Nuraini dari RSP tanggal 22 April 2010 p.7 menyebutkan bahwa sebelum surat No.546/060/D.IV/2001 tanggal 22 Mei 2001 diterima, telah terjadi beberapa kali pertemuan antara PLN Disjaya (Sdr Margo, Sdr Dodoh dan sdr Pandu ) dengan pihak RSP (Nuraini dan Sunaryo), berarti sebelum saran penggunaan jasa RSP dari Azis Sabarto. BAP Rex Panambunan juga tidak menyebutkan adanya perintah Dirut, meskipun pada keterangannya juga menyatakan tidak tahu adanya pembicaraan-pembicaraan sebelumnya antara Nuraini, Sunaryo dengan Dodoh dan Pandu.
15. Bahwa benar atas perintah terdakwa tersebut, saksi Margo Santoso pada tanggal 22 Mei 2001 mengirim surat Nomor: 546/060/D.lV/2001 kepada Kantor Hukum Reksa Paramitra milik Yayasan Pendidikan dan kesejahteraan PT PLN Persero yang melampirkan dokumen proposal PT N etway Utama, dengan permintaan agar dilakukan kajian hukum guna mendukung penunjukan PT Netway Utama sebagai partner kerjasarna dalam Outsourcing Roll Out CIS RISI, sehingga pada tanggal 29 Mei 2001 Kantor Hukum Reksa Paramitra menerbitkan Legal Memorandum Pengembangan Proyek Teknologi Informasi pada PT PLN Disjaya dan Tangerang yang memberikan pendapat bahwa penunjukan lang sung PT Netway Utama sebagai partner dalam kerjasama Outsourcing Roll Out CIS RISI dapat dilaksanakan . Surat Dirsar No. 36/160/DITSAR/2001 tgl 15 Januari 2001, yang mengarahkan bentuk kerjasama Joint Venture Company dengan ICON+ sebagai co-investor, dan kontrak OSCODisjaya dibatasi selama 3 tahun nampaknya belum dapat diterima oleh Netway dan Disjaya. Disjaya berusaha agar masa kontrak tetap 5 tahun, dan mereka mengusulkan bentuk JO mendahului bentuk JVC dengan alasan untuk mempercepat implementasinya. Usulan bentuk JO mendahului JVC itu tertuang dalam surat No.575/060/D.IV/2001 tanggal 31 Mei 2001. Legal Memorandum RSP dilampirkan dalam surat tersebut untuk memperkuat argumentasi. Saya membantah pernah memerintahkan Disjaya meminta legal opinion dari RSP, saya juga tidak sependapat dengan saran RSP untuk memulai dengan JO sambil menunggu JVC. Sebagai bukti, saya tidak pernah menyetujui bentuk JO mendahului JVC, karena tanpa coinvestor dilibatkan bentuk JO sangat rawan benturan kepentingan antara Disjaya sebagai pemberi kerja dengan Disjaya atau ICON + sebagai partner JO. Dalam bentuk Joint Operation pekerjaan dibagi diantara kedua partner JO dan masing-masing mempunyai tanggung jawab terpisah, karenanya transparansi biaya Netway tidak akan diperoleh. Berbeda dengan JV dimana kedua partner membentuk satu perusahaan dimana orang-orang dari keduanya didudukkan, bentuk JV mempunyai transparansi biaya yang lebih tinggi daripada JO. Karena itu dakwaan bahwa permintaan kajian hukum berasal dari Dirut tidak benar , karena tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak ada saksi-saksi yang mendukung teori tersebut.
16. Setelah Terdakwa menerima laporan dari saksi Margo Santoso tentang hasil kajian hukum dari Kantor Hukum Reksa Paramitra berikut Berita Acara Pengusulan PT Netway Utama sebagai Partner dalam KeIjasama Outsourcing Roll Out CIS RISI Nomor : 001.BAJ060ffIM-EOSPKPI2001 yang dibuat Tim EOSPKP tanggal 28 Mei 2001 dan laporan tentang adanya permintaan saksi Gani Abdul Gani untuk melaksanakan pekerjaan penyesuaian, dukungan operasi dan pemeliharaan aplikasi SIMPEL RISI yang telah terpasang di beberapa lokasi Unit Pelayanan (UP) PT PLN Disjaya dan Tangerang terkait perubahan Tarif Dasar Listrik (TDL) tahun 2001, terdakwa mempersilahkan saksi Margo Santoso menunjuk langsung PT Netway Utama untuk melaksanakan pekerjaan penyesuaian, dukungan operasi dan pemeliharaan aplikasi SIMPEL RISI tersebut,
sehingga saksi Margo Santoso bersama saksi Gani Abdul Gani pada tanggal 4 Juli 2001 menandatangani Surat perjanjian kerjasama No.135.1 PJ/061/D.lV/2001 dengan nilai Rp 8.580.000.000,(delapan milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah) untuk jangka waktu pekerjaan dari tanggal 14 Juni 2001 sid 13 Maret 2002, selain itu juga menandatangani beberapa perjanjian lain terkait penyesuaian TDL tersebut, yaitu : i. Surat perjanjian kerjasama No.050.1 PJ/061/D.lV/2002 tanggal14 Maret 2002 dengan nilai Rp 4.395.000.000,- (empat milyar tiga ratus sembilan puluh lima juta rupiah) untuk jangka waktu pekerjaan dari tanggal14 Maret 2002 s/d 13 Desember 2002. ii. Surat perjanjian keIjasama No.242.1 PJ/061/D.lV/2001 tanggal 30 Juli 2001 dengan nilai Rp 2.061.026.000,- (dua milyar enam puluh satu juta dua puluh enam ribu rupiah) untuk jangka waktu pekerjaan dari tanggal 25 Juli 2002 sld 25 Desember 2002. iii. Surat perjanjian kerjasama No.576. Pj/061/D.lV/2001 tanggal 27 Desember 2002 dengan nilai Rp 5.992.067.000,- (lima milyar sembilan ratus sembilan puluh dua juta enam puluh tujuh ribu rupiah) untuk jangka waktu pekerjaan dari tanggal 27 Desember 2002 s/d 26 September 2003. iv. Surat perjanjian kerjasama No.025.3 PJ/061/D.IV/2003 tanggal 23 Januari 2003 dengan nilai Rp 1.925.688.000,- (satu milyar sembilan ratus dua puluh lima juta enam ratus delapan puluh delapan ribu rupiah) untuk jangka waktu pekerjaan dari tanggal 27 Januari 2003 sid 28 Juli 2003. v. Surat perjanjian kerjasama No.323.A Pj/061/D.lV/2003 tanggal 29 September 2003 dengan nilai Rp 3.993.037.000,- (tiga milyar sembilan ratus sembilan puluh tiga juta tiga puluh tujuh ribu rupiah ) RISI. No. Pihak Kesatu: 323A.PJ/0611D.IVI2003 - dan Nomor Pihak Kedua: 649INETIPJNIIXl2003 tanggal 29 September dan lampirannya. Dakwaan ini berasal dari keterangan sdr Margo Santoso dalam BAP tgl 29 April 2010 p.9, dimana Margo Santoso menyatakan telah lapor dan dapat pengarahan dari Dirut. Keterangan ini saya bantah, karena hal-hal sbb: 1. Pengadaan pekerjaan Dukungan Operasi, didanai dari Anggaran Operasi APLN, sehingga berdasar SK 038/092/DIR/1998 jo. SK 075/010/DIR/2000 kewenangannya telah didelegasikan ke GM Disjaya. Tidak ada aturan yang mengharuskan GM lapor atau meminta ijin Direksi apalagi Dirut untuk pekerjaan dalam jenis dan ukuran ini. Kalau sifatnya konsultasi maka seharunya dilakukan kepada Direktur yang menanggung jawabi masalah teknis IT (DIRREN) atau masalah Pelayanan Pelanggan (DIRSAR, saat itu sdh dijabat sdr Tunggono) 2. Tidak ada saksi lain yang mendukung cerita Margo Santoso diatas. KDivyan sdr. Azis Sabarto yang lebih sering bertemu Margo Santoso dalam rapat-rapat juga menyatakan tidak pernah diberitahu sebelumnya mengenai rencana tersebut (BAP Margo Santoso 6 Mei 2010 p.21.) Keterangan Saksi Budi Harsono dan Dodoh Rahmat juga tidak membenarkan keterlibatan Dirut. Saksi Gani Abdul Gani dalam sidang 1 Nop 2011 menyatakan tidak pernah minta kepada terdakwa agar diberi pekerjaan dukungan operasi dan terdakwa tidak mengetahui mengenai 6 kontrak ini. 3. Saya mengetahui Netway telah ditunjuk sebagai rekanan pada tanggal 10 Agustus 2001, hampir sebulan setelah kontrak ditandatangani pada saat Margo Santoso mengkoreksi surat saya ke Setwapres dan menyatakan bahwa Netway dapat disebut sebagai rekanan karena telah ditunjuk oleh Disjaya.
4. Kontrak-kontrak selanjutnya pun tidak pernah dikonsultasikan atau dilaporkan pada saya selaku Dirut. Seluruh penunjukan langsung Dukungan Operasi ( 6 kontrak) yang ditandatangani oeh MS tidak dikonsultasikan ke Dirut, tidak ada keterlibatan apapun dari terdakwa, butir dakwaan ini tidak relevan dengan terdakwa .
18. Bahwa benar ternyata penunjukan langsung PT Netway Utama dengan surat perjanjian kerjasama No.13S.1 Pj/061/D.lV/2001 tersebut kemudian dijadikan alasan bahwa PT Netway Utama adalah rekanan yang melaksanakan SIMPEL RISI sehingga seolah-olah hanya PT Netway Utama yang dapat melakukan pekerjaan Roll Out CIS RISI karena saksi Gani Abdul Gani menyatakan bahwa PT Netway Utama yang memiliki IPR atas program aplikasi tersebut. Dakwaan JPU ini sangat manipulatif, karena mengabaikan banyak fakta yang diperoleh dari para saksi, yaitu: 1. Penunjukan langsung Dukungan Operasi kontrak No.13S.1 Pj/061/D.lV/2001 merupakan kewenangan GM dan diputuskan dalam kaitan situasi mendesak karena kenaikan TDL. 2. Tidak benar penunjukkan langsung ini digunakan sebagai alasan pembenar bahwa SIMPEL RISI dikerjakan oleh Netway karena setahu saya kontrak diatas tidak diacu dalam kajian legal RSP mengenai Implementasi proyek CIS Outsourcing di Disjaya. 3. JPU juga mengabaikan fakta adanya surat Politeknik ITB No. 252.I/N09.R/LL/2001 perihal pengembangan SIMPEL RISI, yang tidak pernah dicabut atau dinyatakan palsu, berdasar keterangan saksi Bambang Budiono, dan saksi Conny K. Wachjoe, PhD sehingga tidak dapat dikatakan sebagai surat hasil “rekayasa”. Surat itu membenarkan kerjasama antara Politeknik dengan Netway dalam kontrak-kontrak pembangunan SIMPEL RISI. 4. Kesaksian Sdr Teddy Triheryadi 1 Nop 2011 membenarkan kerjasama tersebut dan sdr. Bagja Rasa menyatakan mengetahui adanya kerjasama Netway – Politeknik ITB. 5. Kesaksian Gani Abdul Gani 1 Nov 2011 menyebutkan bahwa kerjasama itu, pada waktu masih dalam konsep disain, pengerjaannya didominasi oleh tenaga ahli Politeknik ITB, tetapi memasuki fasa pemrograman banyak menggunakan tenaga programmer Netway.
19. Pada sekitar tanggal l0 Agustus 2001 terdakwa menemui saksi Sofyan Djalil selaku Pjs. Komisaris Utama PT PLN dan saksi Purwanto selaku Sekretaris Dewan Komisaris PT PLN untuk meminta persetujuan atas usulan pelaksanaan Outsourcing Roll Out CIS RISI di PT PLN Disajaya dan Tangerang yang menunjuk PT Netway Utama selaku partner kerjasama, namun Dewan Komisaris meminta agar terdakwa menyampaikan permintaan tersebut dengan penjelasan tertulis. Meskipun apa yang ditulis dalam dakwaan tersebut mengenai tanggal dan yang ditemui adalah benar, tapi tujuan pertemuan tersebut tidak benar untuk minta persetujuan Outsourcing Roll Out CIS RISI. Pada saat itu belum ada pekerjaan yang berjudul “Outsourcing Roll Out CIS RISI”,
karena yang ada baru rencana pembentukan JV OSCO dimana Netway diusulkan menjadi partner JV. Direksi bahkan belum pernah menyetujui atau membahas proses pengadaan jasa Outsourcing OSCO oleh Disjaya. Hal itu baru akan dibahas setelah ide pembentukan JV mendapat persetujuan Dekom dan RUPS. Juga tidak benar bahwa Dekom yang meminta agar dibuat surat tertulis, karena sebagai Direktur yang mempertanggung jawabkan GCG, sudah tentu Dirut tahu bahwa usulan ke Dekom selalu harus dalam bentuk tertulis. Tujuan menemui Pjs. Komut dan Sesdekom adalah untuk melaporkan hasil rapat Direksi yang diperluas dengan Pengurus DPP SP tanggal 9 Agustus 2001 mengenai surat kaleng berlogo SP PLN yang menyatakan proses penunjukan Netway tidak transparan. SP diundang selain untuk mengkonfirmasi surat kaleng itu juga untuk menyaksikan bahwa proses pengambilan keputusan Direksi berlangsung transparan dan tanpa tekanan. Mengingat situasi yang sensitif pada saat itu, saya tidak menginginkan membuat laporan tertulis yang detil kepada Dekom mengenai bagaimana kami berhasil memperoleh pengakuan DPP SP bahwa Surat Kaleng itu bukan merupakan refleksi dari posisi SP terhadap Direksi maupun program OSCO CIS RISI. Selanjutnya Dirut mengirimkan surat kepada Komisaris Utama PLN No. 2117/061/Dirut/2001 tanggal 14 Agustus 2001 yang isinya melaporkan hasil Rapat Direksi tanggal 7 dan 9 Agustus 2001, dimana dilaporkan kepada Komut bahwa rapat direksi memutuskan untuk mengijinkan PLN Disjaya melanjutkan OSCO dengan ketentuan : a) Implementasi dibatasi pada lingkup RISI tidak termasuk IBP, b) Proses penunjukan langsung PT Netway Utama sebagai partner dalam KSO didasarkan pada ketentuan yang berlaku. c) PT. ICON + ditunjuk mewakili PLN sebagai JV Partner. Melalui surat ini, Direksi mohon kepada Dekom untuk dapat menyetujui keputusan dalam rapat Direksi tersebut dan mohon untuk dapat menjelaskan dihadapan Dekom. Dalam surat tersebut jelas bahwa direksi tidak mengeluarkan suatu tanggapan atau keputusan yang dapat diartikan persetujuan suatu nilai kontrak tetapi lebih kepada persetujuan prinsip atas langkah yang dilakukan oleh PLN Disjaya. Sesuai ketentuan yang berlaku pada saat itu GM PLN Disjaya bertanggung jawab penuh atas kegiatan operasional termasuk proses pengadaan dan upaya untuk mencapai harga kontrak yang terbaik bagi perusahaan, hal mana sejalan dengan ketentuan dalam SK Direksi nomor 075/010/DIR/2000 yang merupakan revisi atas SK Direksi nomor 038/092/DIR/1998 serta sejalan dengan kebijakan Dirut terdahulu, sdr. Kuntoro yang mendelegasikan seluruh kewenangan operasional kepada Unit-unit Bisnis.
20. Bahwa benar atas permintaan Dekom tersebut, terdakwa kemudian menyampaikan surat Nomor : 2117/061/DIRUT/2001 tertanggal 14 Agustus 2001 yang isinya menjelaskan bahwa proses penunjukan langsung PT Netway Utama sebagai Partner dalam KSO (Kerja Sama Operasi) telah didasarkan pada ketentuan perundangundangan yang berlaku dengan melampirkan pendapat hukum dari Kantor Hukum Reksa Paramitra, padahal surat itu dibuat tanpa melalui persetujuan rapat direksi.
Surat 2117/061/DIRUT/2001 isinya menyampaikan perkembangan permasalahan Outsourcing IT di PLN Disjaya menyangkut surat jawaban kepada Setwapres dan keputusan Direksi mengenai usulan Disjaya yang telah disampaikan melalui surat 31 Mei 2001, karenanya surat tersebut dapat dikeluarkan oleh DIRUT sesuai Anggaran Dasar 1998 tentang kewenangan Dirut mewakili perusahaan (pasal 11 ayat 12), lagipula komunikasi Direksi Dekom adalah sesuatu yang bersifat rutin dan surat hanya merupakan salah satu bentuk penyampaian selain rapat-apat koordinasi Dekom-Direksi. JPU juga telah salah mengartikan surat tersebut karena surat itu tidak menyatakan bahwa Direksi telah menyimpulkan bahwa KSO tersebut teah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi menyatakan bahwa persetujuan penunjukan Netway sebagai JV partneritu mempunyai syarat yaitu Disjaya harus dapat menunjukkan bukti-bukti penunjukkan ini telah sesuai ketentuan yang berlaku. Sehingga dakwaan yg menyebutkan “isinya menjelaskan bahwa proses penunjukan langsung PT Netway Utama sebagai Partner dalam KSO (Kerja Sama Operasi) telah didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku adalah rekaan JPU yang tidak benar.
21. Terhadap surat terdakwa tersebut Dewan Komisaris melalui surat Nomor : 109/DKPLN/2001 tanggal 22 Agustus 2001 memberikan tanggapan antara lain bahwa kajian hukum atas implementasi Outsourcing Roll Out CIS RISI yang ada masih belum komprehensif sehingga perlu dilengkapi dengan kajian aspek kepemilikan, aspek hak milik intelektual dari CIS RISI, aspek harga yang masih terlalu tinggi. Aspek jangka waktu pekerjaan dan penjelasan lebih lanjut tentang persyaratan yang telah dipenuhi dalam kaitan penunjukan langsung sebagaimana ketentuan SK Direksi PT. PLN (Persero) Nomor : 038.K/920/DIR/1998. Tanggapan Dekom diatas diberikan melalui surat 109/DK-PLN/2001, 22 Agustus 2001, dimana Dekom menghargai upaya direksi PLN untuk meningkatkan/perbaikan terhadap kinerja PLN termasuk peningkatan informasi pelanggan terutama pada PLN Disjaya, sekaligus Dekom juga memberikan rambu -rambu perlunya azas kehati hatian, perlunya pembuktian bahwa sistem telah proven, pendalaman kajian hukum serta pemilihan mitra kerja. Selain itu juga Dekom juga berpendapat bahwa Roll Out CIS RISI dapat ditempuh dengan 2 pola yakni OSCO atau Non OSCO, sehubungan dengan hal itu PLN diminta membuat analisis yang komprehensif. Dekom menyampaikan bahwa dalam hal penunjukan langsung aspek harga harus dapat dipertanggung jawabkan bahwa cost structure mitra kerja harus at cost, transparent dan auditable. Dakwaan jaksa pada butir ini mengandung kesalahan yaitu menggunakan istilah “Outsorcing Roll Out CIS RISI” untuk penamaan kegiatan, sehingga seolah-olah masalah yang dihadapi adalah masalah pengadaan, padahal yang benar adalah Implementasi CIS Outsourcing dengan melalui pola KSO dan JVC yang masalahnya merupakan masalah pemilihan mitra JVC. Selain itu, dalam surat ini tidak ada pernyataan Dekom bahwa harganya terlalu tinggi, karena memang belum ada proposal harga yang disetujui Direksi dan diteruskan ke Dekom. Pendapat mengenai harga masih normatif dan dinyatakan dalam Butir 8 surat Dekom yaitu: “Dalam hal Penunjukan langsung OSCO, aspek harga harus dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu Dekom berpendapat bahwa cost structure mitra kerja yang dilakukan harus at cost, transparent
dan auditable.” Hal ini akan mudah dicapai bila PLN berhasil menempatkan ICON + menjadi partner JV sesuai keputusan Rapat Direksi 9 Agustus 2001. Dapat diperkirakan apa tujuan JPU menyelipkan kalimat yang tidak benar itu didalam dakwaan ini.
22. Bahwa benar pada tanggal 11 September 2001 terdakwa mengirimkan kembali surat Nomor: 2360/090/DIRUT/2001-R kepada Dewan Komisaris PT PLN (Dekom) yang isinya antara lain menjelaskan bahwa pemilik Intellectual Property Rights (lPR) atas aplikasi CIS RISI adalah PT Netway Utama dan penunjukan langsung PT Netway Utama telah sesuai dengan SK Direksi PT. PLN (Persero) Nomor: 038.K/920/DIR/1998, padahal saat itu belum ada kajian hukum mengenai aspek IPR dan IPR yang menurut terdakwa milik PT Netway Utama sama sekali belum terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI). Dasar dari penjelasan dalam surat saya No. 2360/090/DIRUT/2001-R butir (3) yaitu Kajian atas kepemilikan hak intelektual atas CIS RISI, menjawab butir 5 surat Dekom PLN. Adapun dasar penjelasan saya tersebut yakni "pada dasarnya pemilik IPR adalah Netway namun DISJAYA mempunyai hak untuk menyebar luaskan CIS RISI ini diseluruh UP Disjaya.penjelasan lebih rinci dapat dilihat dari legal opininya RSP", adalah penjelasan sdr.MARGO SANTOSO dalam rapat direksi PLN tanggal 7 Agustus 2001 bahwa "setelah 5 tahun; software (dimiliki) dengan Right to use for PLN (Khusus software RISI Right to use for PLN Disjaya)” . Pada waktu sdr.MARGO SANTOSO menjelaskan hal tersebut seingat saya tidak ada yang menyanggah dan kehadiran RSP dalam rapat tersebut. Atas permintaan dari PLN Disjaya, maka saya mengangap bahwa penyampaian dan sdr.MARGO SANTOSO selaku GM PLN Disjaya telah dikaji secara hukum oleh RSP. Pencantuman kata "penjelasan lebih rinci dapat dilihat dari legal opininya RSP" adalah meskipun legal opininya bertanggal sesudah tanggal surat tersebut, merupakan opini yang konsisten disampaikan RSP pada GM Disjaya dan diteruskan kepada Direksi PLN. Saya tidak mempunyai informasi mengenai kapan sebenarnya kajian hukum IPR itu dibuat oleh RSP, atau apakah ada suatu versi awal dari dokumen kajian yang ditunjukkan atau dimiliki salah seorang staf yang ikut menyusun surat itu, tetapi substansi dari informasi yang disampaikan dalam surat ini adalah valid dan dapat dipertahankan. Secara faktual meskipun PLN sebagai pemesan Software aplikasi memang mempunyai hak kontraktual atas produk SIMPEL RISI itu, namun secara ethical sulit untuk memungkiri peran Politeknik ITB, Netway maupun personil penciptanya. Ini dikarenakan pembuatan aplikasi program ini serupa dengan karya arsitektur yang secara “distinct” mempunyai ciri dari penciptanya.
23. Untuk mendukung surat terdakwa Nomor : 236010901DIRUI/2001-R Kepada Dekom tersebut, saksi Margo Santoso pada tanggal 13 September 2001 mengajukan surat Nomor : 972/060/D.lV/2001 kepada Kantor Hukum Reksa Paramitra untuk meminta kajian hukum mengenai aspek IPR atas aplikasi CIS RISI dan Penunjukan Langsung PT Netway Utama, dan pada saat bersamaan atau tanggal 13 September 2001 tersebut saksi Gani Abdul Gani
mengajukan permohonan pendaftaran ciptaan ke Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKl) untuk mendukung aspek kepemilikan IPR terkait penunjukan langsung PT. Netway Utama dengan menyerahkan Compact Disk (CD) berisi perangkat lunak dengan nama Customer Care Billing System (CCBS) dan Buku Manual atau Petunjuk Pengoperasian CCBS yang seluruh struktur data dan stored procedure dari SIMPEL RISI. Dari dokumen tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan antara SIMPEL RISI dan CCBS kata-katanya sama persis sampai salah ketik antara CCBS dengan SIMPEL RISI juga sama. Bahwa untuk softwarenya sendiri Ahli membandingkan daftar yang ada di dokumen baik di CCBS maupun SIMPEL RISI dan dari hasil perbandingan tersebut Ahli temukan bahwa tabel-tabelnya, store procedure dan triggernya sama. Store procedure adalah sebuah program yang ditempatkan dalam server pengolah database yang kemudian dieksekusi dari mesin pengguna. Kebutuhan akan adanya kajian IPR menjadi nyata setelah surat DEKOM mengangkat masalah itu melalui surat Nomor : 109/DK-PLN/2001 tanggal 22 Agustus 2001, jadi kurang tepat kalau dikatakan surat Margo Santoso kepada RSP untuk meminta kajian hukum dikatakan seolah kepentingannya adalah untuk mendukung surat terdakwa semata. Saksi Gani Abdul Gani dalam sidang 1 November 2011 menyatakan bahwa pendaftaran HAKI adalah bersifat arbitrary, tidak merupakan suatu keharusan hukum dan yang didaftarkan adalah CCBS yang merupakan produk generik dari SIMPEL RISI. Saksi Muhammad Husen Hidayat dalam sidang 1 November 2011 menjelaskan bahwa yang didaftarkan adalah CCBS dalam bentuk produk SIMPEL RISI tetapi telah dihapuskan hal-hal yang spesifik PLN. Dari penjelasan ini sangat mungkin bahwa ada komponen salah ketik yang sama dari keduanya, tapi yang sangat jelas adalah SIMPEL RISI tanpa program yang spesifik PLN tidak lagi dapat disebut SIMPEL RISI karena telah kehilangan karakter spesifik PLN-nya.
24. Selain itu, sebagai dukungan atas permintaan kajian hukum dari Kantor Hukum Reksa Paramitra, saksi Gani Abdul Gani merekayasa surat dari Politeknik ITB Nomor : 252.1/N09.R/LL/2001 tanggal 8 Agustus 2001 dengan cara meminta tanda tangan dari saksi Conny Kurniawan Wahyu selaku Pembantu Direktur I Bidang Akademik Politeknik ITB Bandung. yang mana dalam surat tersebut menyatakan bahwa pek:erjaan SIMPEL RISI sebagaimana surat perjanjian kerjasama antara Politeknik ITB dengan PT PLN Disjaya Nomor : 20S.PJ/056/1996/M dan Nomor :24/SPlPoli-ITB/g/XII/96 tanggal 24 Desember 1996 dikerjakan oleh PT Netway Utama bersama dengan Politeknik ITB, padahal saksi Gani Abdul Gani hanyalah salah seorang dosen Politeknik ITB yang diikutsertakan dalam pekerjaan pembuatan aplikasi tersebut dan keikutsertaannya bukan sebagai Direktur Utama PT NetwayUtama. Dakwaan ini tidak relevan diajukan kepada terdakwa, apa yang terjadi di Politeknik ITB adalah masalah intern Politeknik.
25. Bahwa benar berdasarkan surat dari saksi Margo Santoso Nomor 972/060/D.lV/2001 tanggal 13 September 2001 serta dukungan data dan dokumen dari saksi Gani Abdul Gani, Kantor Hukum Reksa Paramitra membuat kajian hukum dengan kesimpulan bahwa Pemilik IPR CIS RlSI adalah PT Netway Utama dan penunjukan langsung PT Netway Utama sudah sesuai dengan ketentuan SK Direksi PT. PLN Nomor : 038.K/920/ DIR/1998, yang mana pada tanggal 17 September 2001 kajian hukum tersebut diserahkan kepada saksi Margo Santoso dan kemudian saksi Margo Santoso menyampaikannya kepada terdakwa. Seperti penjelasan saya diatas, kajian hukum IPR bukan dibuat untuk mendukung surat Dirut, melainkan suatu kebutuhan Disjaya untuk menentukan sikapnya mengenai IPR. Berbekal kajian tadi dan pernyataan Netway bahwa yang mereka daftarkan adalah CCBS, GM Disjaya berikutnya, sdr Fahmi Mohtar pada tahun 2006 mendaftarkan hak cipta CIS RISI atas nama PLN dan memperoleh pengakuan. Dakwaan diatas yang seolah kajian hukum IPR oleh RSP adalah untuk kepentingan terdakwa adalah suatu bentuk rekayasa JPU yang menyesatkan.
26. Bahwa benar sebagai jawaban atas surat terdakwa Nomor : 2360/090/DIR/2001-lR tanggal 11 September 2001, Dewan Komisaris pada tanggal 28 September 2001 kembali mengirimkan surat Nomor : 123/DK-PLN/2001-Rhs perihal proyek IT PLN Disjaya yang ditandatangani saksi Sofyan Djalil selaku Pelaksanan Harian Komisaris Utama, isinya antara lain menyatakan : biaya dengan pola OSCO terlalu tinggi jika dibandingkan dengan pola Non-OSCO yang telah berhasil dilakukan di UPP Bandung sehingga Dewan Kornisaris berpendapat pekerjaan Outsourcing Roll Out CIS RISI sebaiknya dilakukan dengan cara Non OSCO dengan konsultan dari Politeknik ITB sebagaimana kontrak sebelumnya dan apabila menerapkan kontrak OSCO lebih dari satu tahun harus melalui persetujuan RUPS dan dilakukan dengan cara pelelangan terbuka. Kebijakan penunjukan langsung yang diusulkan Direksi tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam SK Direksi PT. PLN Nomor : 038.K/920/DIR/1998. Surat Dekom ini memang mengagetkan Direksi karena nadanya sangat berbeda dari surat sebelumnya. Dalam surat ini Komisaris telah menyatakan pendapat bahwa Dekom memilih pola non-OSCO atas pertimbangan harga. Penanda tangan surat ini, saksi Sofyan Djalil dalam keterangan dimuka sidang 11 Oktober 2011 menyatakan bahwa surat ini disusun setelah Sekdekom mendengar pendapat VP IT, dan Sekdekom juga mengunjungi UP Bandung Timur serta memperoleh informasi bahwa di Bandung Timur CIS nya dibuat dengan biaya Rp. 800 juta untuk 600.000 pelanggan, jauh dibawah biaya sebesar Rp. 700 Milyar yang dalam pemahaman Dekom diajukan untuk OSCO. Informasi yang diperoleh Sekdekom tersebut tidak akurat dan tidak pernah dikonfirmasikan ke Direksi sebelum ditulis dalam surat Dekom ini Dekom memilih mendengarkan pendapat VP IT yang dalam Rapat Direksi 7 Agustus menunjukkan pilihannya kepada menenderkan CIS IBP.daripada meroll-out CIS RISI. Angka Financial Model yang dikutip (Rp.700 Milyar – Rp. 900 Milyar) merepresentasikan lingkup pekerjaan yang jauh lebih besar (mencakup biaya investasi Hardware, infrastruktur dan
biaya operasi SDM IT selama 5 tahun), sedangkan Rp. 800 juta hanya biaya konsultan saja. Saksi Sofyan Djalil dan Purwanto menyatakan bahwa angka tersebut mereka terima saja tanpa meneliti lebih dalam. Dekom mempermasalahkan penunjukkan langsung ke Netway, tetapi menyarankan penunjukkan langsung Politeknik ITB sebagai konsultan. Padahal aturan yang memberikan hak khusus pada institusi pendidikan telah dicabut tahun 1998, sehingga resiko menunjuk langsung Politeknik atau Netway sama saja.
27. Terdakwa sampai dengan tanggal 22 Oktober 2001 tidak memberikan jawaban atas surat Dewan Komisaris Nomor : 12/DK-PLN/2001-Rhs tersebut sehingga Dewan Komisaris kembali mengirim surat Nomor : 132/DK-PLN/2001 tanggal 22 Oktober 2001 yang ditandatangani Endro Utomo Notodisuryo selaku Komisaris Utama. Seperti dijelaskan diatas surat No.123 dari Dekom mengagetkan Direksi karena Dekom telah menyatakan pendapatnya secara prematur. Direksi berpendapat bahwa perlu dilakukan konsolidasi internal agar Dekom tidak mempunyai pandangan keliru mengenai langkah-langkah yang dilakukan Direksi. Tgl 4 Oktober 2001 direksi melakukan rapat dengan mengundang GM Disjaya dan Disjabar untuk memperoleh gambaran mengapa Dekom bisa mengeluarkan pendapat seperti itu. Dengan kembalinya Komut dari berobat Direksi sebenarnya berharap suasana dialog bisa dibangkitkan, tetapi ternyata surat Komut malah memberikan tenggat waktu bagi Direksi dalam member jawaban, sesuatu hal yang tidak sesuai dengan peran pengawasan dan kesetaraan posisi antara Dekom dengan Direksi.
28. Bahwa benar pada tanggal 01 November 2001 terdakwa mengirimkan surat Nomor: 297 /1090/Dirut/2001 sebagai jawaban atas surat Dewan Komisaris Nomor: 132/DK-PLN/2001, di dalam surat tersebut terdakwa menyatakan bahwa Proyek Roll Out CIS RISI adalah yang paling memungkinkan pada saat itu dan penunjukan langsung yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan. Surat ini bersifat sangat teknis dan melampirkan tabel perbandingan antara CIS RISI dengan CIS Bandung Timur
29. Bahwa benar atas jawaban terdakwa tersebut, Dewan Komisaris kembali melakukan rapat internal tanggal 7 November 2001 dan rapat konsultasi terbatas antara Dewan Komisaris dengan terdakwa selaku Dirut pada tanggal 8 November 2001 di Hotel Bimasena Jakarta dan dalam rapat tersebut disimpulkan bahwa penjelasan biaya masih belum akurat dan ada discrepancy antara kontrak awal pengembangan CIS I RISI oleh Politeknik ITB dengan pengembangan software lanjutan dalam rangka Roll Out CIS RISI yang dilakukan oleh pihak lain sehingga Dewan Komisaris belum dapat memberikan persetujuannya. Jawaban atas surat DEKOM tersebut kami berikan melalui surat No. 2971/090/Dirut/2001-R tanggal 1 November 2001. Jawaban tersebut rupanya tidak memuaskan Komut, sehingga Dirut dipanggil untuk menghadiri rapat konsultasi dengan DEKOM tanggal 8 November 2001 di BIMASENA ENERGY Dalam Rapat Konsultasi dimana DEKOM minta Direksi hanya diwakili
DIRUT tanpa anggota Direksi maupun staf, beberapa pertanyaan dan pemyataan dikeluarkan a.1. sbb : 1. KOMUT bertanya mengapa Direksi/Dirut begitu keras mempertahankan pentingnya pendekatan OSCO. Pertanyaan tersebut saya jawab bahwa ditengah kepungan permasalahan yang dihadapi PLN, Direksi harus memilih suatu strategi untuk lepas dari kepungan tersebut dan mempertahankan semaksimal mungkin. Strategi JV-OSCO-Roll Out CIS RISI telah dibicarakan dalam beberapa rapat Direksi dan selaku Dirut saya beranggapan telah diperbaiki diperkaya dan diterima sebagai strategi pilihan direksi dan karenanya saya harus berusaha menjelaskannya sebaik mungkin kehadapan DEKOM . 2. KOMUT mengingatkan bahwa DEKOM berhak memecat DIREKSI bila dianggap menyalah gunakan kewenangannya atau melanggar aturan. Saya menanggapinya dengan menyatakan mengakui hak DEKOM tersebut dan siap menerima putusan DEKOM. 3. KOMUT minta DIRUT menarik seluruh usulan menyangkut OSCO dengan alasan telah menimbulkan citra negatif bagi PLN, saya menjawab bahwa Direksi akan loyal terhadap putusan DEKOM namun karena korespondensi sudah sangat banyak mengenai hal ini, mohon putusan DEKOM disampaikan dalam bentuk surat. 4. Atas jawaban saya ini KOMUT nampak menjadi sangat emosional (marah) sehingga untuk mencegah situasi memburuk, dua anggota komisaris (Bpk. Martono Hadianto dan Bpk. Yamin) minta rapat diskors dan saya diajak keluar untuk berbicara dengan mereka berdua. Diluar rapat kedua anggota DEKOM ini mengingatkan saya untuk bersabar dan tidak terpancing emosi, yang mana saya jawab bahwa saya sangat menghargai KOMUT, namun tidak memahami mengapa KOMUT harus emosional menghadapi masalah ini, karena hemat saya Direksi kooperatif dengan arahan-arahan DEKOM dan sangat terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Saya berjanji tidak akan terpancing dan kembali mengulang pemyataan saya bahwa Direksi akan menaati apapun arahan DEKOM selama itu disampaikan secara formal. 5. Selesai jeda skors tersebut kami kembali ke ruang rapat dan mendapati bahwa KOMUT telah meninggalkan rapat. Pak Sofyan Jalil menyatakan bahwa KOMUT akan berangkat keluar negeri dan menugaskan beliau untuk memimpin rapat selanjutnya. 6. Rapat dilanjutkan dengan pemyataan pak Sofyan Jalil yang intinya menyatakan bahwa DEKOM tetap berpendapat bahwa roll out sangat diperlukan, tetapi pola non-OSCO lebih tepat dipilih untuk meredakan gejolak. Saya tidak menyampaikan tanggapan lain selain bahwa DIRUT akan menjalankan arahan DEKOM, serta mohon agar dibuatkan notulen rapat yang jelas, sehingga langkah selanjutnya yang diambil DIREKSI tidak bertentangan dengan keinginan DEKOM. Seingat saya tidak ada anggota DEKOM yang menyatakan keberatan atas hasil rapat konsultasi ini. 7. Notulen rapat DEKOM yang ditandatangani bpk Sofyan Jalil kami terima beberapa hari berselang dan setelah kami pelajari memang menggambarkan hasil akhir dari rapat konsultasi tersebut. Dalam notulen tersebut tidak disinggung permintaan KOMUT untuk
menarik usulan, tetapi memtberi batasan lingkup hanya pada Roll Out Software dan implementasinya. Investasi Hardware dan operasional support dikeluarkan dari lingkup diatas. Pertemuan dan kesepakatan 8 November 2001 menutup peluang proposal OSCO yang digagas Netway pada September 2000. Hal ini dibenarkan oleh kesaksian saksi Parno Isworo di sidang 23 November 2011, dan juga oleh saksi Gani Abdul Gani dalam sidang 1 November 2011 yang menyatakan bahwa proposal 2000 tidak disetujui Dekom dan diganti proposal 2002. Sebagai akibat dari tidak disetujuinya OSCO, rencana membuat perusahaan patungan dibatalkan.
30. Bahwa benar meskipun belum mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris, pada tanggal 23 November 2001 terdakwa memberitahukan saksi Margo Santoso selaku GM PT PLN Disjaya dan Tangerang melalui surat Nomor : 3163/070/Sekper/2001 yang isinya menyatakan bahwa Dewan Komisaris telah menerima dan mendukung rencana Outsourcing Roll Out CIS RISI dan menyetujui permintaan PT PLN Disjaya dan Tangerang untuk melanjutkan negosiasi dengan PT Netway dan meminta saksi Margo Santoso agar melanjutkan proses negosiasi tersebut dengan menyertakan Pejabat Kantor Pusat. Dakwaan ini sekali lagi menunjukkan karakter manipulatif dari JPU. Dalam Surat No. 3163/070/SEKPER/2001 tertulis kata-kata: “bahwa pada dasarnya Dekom dapat menerima dan mendukung rencana Roll Out CIS RISI tersebut karena akan dapat mengatasi permasalahan…dst.” Tentu maknanya menjadi berbeda bila ditulis: “Meskipun belum mendapat persetujuan dari Dekom…terdakwa memberitahukan saksi Margo Santoso ….bahwa Dekom telah menerima dan mendukung rencana Outsourcing Roll Out CIS RISI..” Surat No. 3163/070/SEKPER/2001 ini disusun berdasarkan notulen Rapat Konsultasi Terbatas Dekom – Dirut tgl 8 November 2011 di Bimasena. Surat Dirut No. 3163/070/DIRUI/2001 tanggal 23 November 2001 ditujukan pada GM Disjaya, untuk menjawab surat GM Disjaya No. 575/060/D.lV/2001 tanggal 31 Mei 2001. Surat tersebut berisikan hal-hal sb.b: a. Ijin untuk melanjutkan negosiasi dengan batasan-batasan yang disampaikan DEKOM. b. Pembentukan Tim Negosiasi yang beranggotakan PLN Disjaya dan PLN Pusat. c. Disjaya diminta melaporkan hasilnya Januari 2002. Surat ini tidak menyebutkan ijin mengeluarkan Letter to Proceed yang diminta Disjaya karena berkonotasi pengikatan hukum awal antara Disjaya dengan Netway (serupa dengan Letter of Intent yang diminta Disjaya diakhir tahun 2000). Ijin yang diberikan adalah untuk melanjutkan negosiasi, dengan pengertian bahwa dengan berubahnya skema OSCO menjadi non-OSCO maka melalui negosiasi dengan Netway dapat diperoleh cost structure terkait pola yang baru ini, untuk itu sesudah memperoleh informasi perlu segera disampaikan ke Direksi agar secepatnya dilaporkan kembali ke Dekom. Surat ini juga bukan surat Perintah Penunjukan langsung. Kata-kata Kontrak dengan Netway adalah roll out software dan implementasinya dimaksudkan untuk menjelaskan scope yang
dapat ditawarkan ke Netway dan bukan berarti memerintahkan untuk Penunjukan Langsung. Tujuan dimasukkannya Tim Pusat adalah untuk transparansi dan soisalisasi, dengan demikian tidak lagi ada kesenjangan informasi seperti yang terjadi di pertengahan 2001 antara Direksi dengan Dekom.
31. Bahwa benar berdasarkan surat terdakwa tersebut, saksi Margo Santoso membentuk Tim Re-evaluasi dan Negosiasi dengan menerbitkan SK GM PT PLN Disjaya dan Tangerang Nomor: 005.K/021/GMD.IV/2002 tangga131 Januari 2002 dengan tugas melakukan kajian ulang atas hasil analisa Tim EOSPKP, yang mana Tim tersebut sejak tanggal 1 Februari 2002 melakukan pertemuan-pertemuan dengan saksi Gani Abdul Gani yang seluruh biayanya ditanggung oleh PT Netway Utama, sehingga pada tanggal 13 Desember 2002 Tim membuat laporan dengan kesimpulan antara lain : − Penunjukan langsung PT Netway Utama secara hukum dapat dibenarkan untuk Roll Out dengan teknologi yang sudah ada client server bukan dengan teknologi three-tier; − Jangka waktu Outsourcing Roll Out CIS RISI adalah 24 bulan; − Biaya personil dan non-personil hasil negosiasi dengan PT Netway Utama disepakati sebesar Rp 155.000.000.000,- (seratus lima puluh lima milyar rupiah) dihitung berdasarkan harga satuan yang diajukan oleh PT. Netway Utama dan untuk sementara dianggap sebagai take home pay karena PT. Netway Utama belum dapat menyerahkan payroll; − Biaya lisensi sebesar Rp 35.000.000.000,- (tiga puluh lima milyar) tidak dapat dijustifikasi oleh Tim karena belum mempunyai dasar perhitungan sesuai dengan Peraturan Pemerintah dan bersifat sangat spesifik. Pembentukan Tim Re-evaluasi dan Negosiasi (RE & N) merupakan konsekuensi dari diikutinya saran Dekom untuk menggunakan pola non-OSCO. Pola OSCO yang dievaluasi oleh Tim EOSPKP, hasilnya perlu dievaluasi ulang sebelum renegosiasi oleh Tim baru. Dengan injeksi anggota Tim dari Pusat diharapkan akan ada peningkatan kualitas dan percepatan diseminasi informasi. Dirut tidak pernah mendapat laporan bahwa biaya negosiasi ditanggung oleh Netway. “Negosiasi berjalan terbuka dan sangat intensif,” demikian keterangan Gani Abdul Gani dalam sidang 1 November 2011. Dalam pelaksanaan tugasnya, Tim ini mengalami perbedaan pendapat yang tajam sehingga ada anggota yang berasal dari PLN Pusat mengundurkan diri (Sdr. Saibun). Hal ini dikonfirmasi oleh saksi Syarif Maulana dalam sidang 8 November 2011. Akibatnya Tim tidak dapat memenuhi jadwal waktu yang digariskan dalam surat Dirut No. 3163/070/DIRUT/2001 tanggal 23 November 2001 ( Lapor kembali Januari 2002).
Tim baru lapor kembali Juli/Agustus 2002 melalui surat serta mohon keputusan Direksi atas masalah royalty teknologi three-tier. Saya menolak membuat keputusan teknis berdampak keuangan, dan menyarankan menghubungi direktur teknis terkait untuk keputusannya. Pada bulan Desember 2002, Tim membuat laporan akhir kepada GM dengan kesimpulan menghentikan negosiasi.
32. Bahwa benar Terdakwa setelah menerima laporan Tim Re-evaluasi dan Negosiasi, memerintahkan saksi Margo Santoso menggunakan laporan Tim tersebut sebagai dasar pelaksanaan pengadaan Jasa Outsourcing Roll Out CIS RISI PT PLN Disjaya dengan metode penunjukan langsung, yang mana kemudian saksi Margo Santoso menerbitkan SK GM PT PLN Disjaya dan Tangerang Nomor 007.l.K/021/GMD.IV/2003 tanggal 31 Januari 2003 tentang Pembentukan Tim Penunjukan Langsung dan Nota Dinas Nomor : 002.3/061/D.IV/2003 tanggal 17 Pebruari 2003 yang isinya memerintahkan Tim Penunjukan Langsung segera memproses administrasi dan negosiasi pengadaan jasa pekerjaan tersebut dengan cara penunjukan lang sung kepada PT Netway Utama. Sekali lagi JPU melakukan rekayasa dalam dakwaan ini. Saya membantah keras telah memerintahkan saksi Margo Santoso menggunakan laporan Tim RE & N sebagai dasar pelaksanaan pengadaan Jasa Outsourcing Roll Out CIS Risi PT PLN Disjaya dengan metode Penunjukan langsung. Dalam BAP nya, pak Margo menyatakan bahwa dasar Pembentukan Tim PL adalah surat 3162/010/SEKPER/2001.Tidak ada keterangan saksi yang menyebutkan perintah untuk menggunakan laporan Tim RE & N. Dalam sidang pak Margo menyatakan bahwa hal mana didukung oleh saksi Budi Harsono pada sidang 18 Oktober 2011.
33. Bahwa benar Tim Penunjukan Langsung tidak melakukan tahapan-tahapan prosedur untuk melaksanakan proses penunjukan langsung, melainkan hanya melaksanakan tugastugas administratif dalam rangka penyusunan dan penandatangan dokumen pengadaan secara formalitas, sedangkan dalam penyusunan HPS (Harga Perkiraan Sendiri) Tim hanya menggunakan data audited payroll yang diberikan PT Netway Utama tanpa melakukan klarifIkasi kebenarannya, sehingga kemudian tanpa melakukan proses negosiasi yang benar Tim menetapkan harga penawaran senilai Rp 142.791.000.000.(seratus empat puluh dua milyar tujuh ratus sembilan puluh satujuta rupiah) yang dicantumkan dalam BA Negosiasi Harga Nomor: 01/BA-NH/TPLCIS-RlSI/KD/2003 tanggal 22 Mei 2003. Keterangan saksi-saksi tidak mendukung dakwaan bahwa tim PL tidak melaksanakan tahapantahapan proseduril. Keterangan saksi Budi Harsono dalam BAP p.59 menjelaskan bahwa negosiasi teknis untuk memperoleh besarnya jumlah man month sebelum penyusunan HPS diperbolehkan, dan Tim tidak melakukan klarifikasi kebenaran audited payroll karena telah diaudit oleh KAP sehingga KAP yang menjamin kebenarannya. Saksi Syarief Maulana dalam Sidang 8 November 2011 menyatakan bahwa pengalaman saksi dalam pengadaan IT di PLN, misalnya ERP, menggunakan metodologi yang sama. Keterangan Saksi Sunggu Anwar
Aritonang dalam sidang 18 Oktober 2011 menyatakan bahwa dalam proses pengadaan di PLN tanggung jawab tertinggi ada di Tim Pengadaan. Tim adalah independen dan tidak bisa diintervensi siapapun. Saksi Margo Santoso dalam sidang 20 September 2011 menyatakan tidak ada persetujuan dari terdakwa mengenai HPS. 34. Bahwa benar Hasil kerja Tim Penunjukan Langsung beserta seluruh dokumen pengadaan tersebut oleh saksi Margo Santoso dilaporkan kepada saksi Sunggu Anwar Aritonang selaku Direktur Niaga dan Pelayanan Pelanggan melalui surat Nomor: 1240.1/061/D.IV/2003 tanggal 11 Juni 2003 dan surat Nomor: 1798/061/D.IV/2003 tanggal 16 September 2003 yang tembusannya juga disampaikan kepada terdakwa. Laporan hasil kerja Tim Penunjukan langsung oleh GM Disjaya kepada Diraga Ir. Sunggu Anwar Aritonang adalah sesuai prosedur dan Tupoksi Direktorat Niaga dan Pelayanan Pelanggan. Laporan tadi dimaksudkan untuk mendapatkan persetujuan Direksi. Tembusan surat itu disampaikan kepada seluruh anggota Direksi termasuk Dirut.
35. Bahwa benar se1anjutnya pada tanggal 9 Oktober 2003 terdakwa menerbitkan SK Dirut PT PLN Nomor : 1335.K/440/DIR/2003 yang mengangkat saksi Fahmi Mochtar selaku GM PT PLN Disjaya dan Tangerang menggantikan saksi Margo Santoso dan terdakwa melalui Sunggu Aritonang memerintahkan agar saksi Margo Santoso membuat pemyataan yang isinya seolah-olah menerangkan bahwa proses kajian terhadap proposal PT Netway Utama dan proses penunjukan langsung yang telah dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan, sehingga pada tanggal 10 Oktober 2003 saksi Margo Santoso menandatangani konsep Surat Pemyataan Nomor : 014.Spn/061/D.lV/2003 yang diterimanya dari Ronal Djaja Ibrahim se1aku Manajer Marketing PT Netway Utama. Lagi-lagi dakwaan yang manipulatif . Saya membantah pernah memerintahkan sdr. Sunggu Anwar Aritonang agar saksi Margo Santoso membuat pernyataan. Tidak ada keterangan saksi yang membenarkan hal ini. Saksi Sunggu Anwar Aritonang dalam sidang 18 Oktober 2011 menyatakan bahwa surat pernyataan itu adalah ketentuan baku dan saksi yang meminta kepada Margo. Saksi Margo Santoso dalam sidang 20 September 2011 menyatakan tidak mengetahui adanya perintah Dirut melalui Sunggu Anwar Aritonang mengenai surat pernyataan. Saya tidak pernah mengetahui bahwa konsep Surat Pernyataan itu diterimanya dari Ronal Djaja Ibrahim.
36. Bahwa benar pada tanggal 14 Oktober 2003 melalui surat Nomor : 02924/061/Dirut/2003 terdakwa kembali mengajukan permintaan ijin prinsip kepada Dewan Komisaris PT PLN untuk menunjuk langsung PT Netway Utama dalam me1aksanakan implementasi Outsourcing Roll Out CIS RISI di PT PLN Disjaya secara multiyears atau dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan yang anggarannya sudah diajukan dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) Tahun 2004 sebesar Rp 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah), namun Dewan Komisaris melalui surat Nomor : 18.Pst/DK-PLN/2003 tanggal 7
November 2003 memberikan jawaban bahwa Dewan Komisaris belum dapat memberikan persetujuan terhadap harga kontrak yang diajukan terdakwa dan meminta agar dilakukan penelitian kewajaran harga melalui independent review dari pihak ketiga serta meminta agar hasilnya dilaporkan kembali kepada Dewan Komisaris. Dakwaan ini mempunyai banyak kekeliruan yaitu a.l: 1. Meskipun surat ini ditandatangani oleh terdakwa selaku Dirut tetapi substansinya telah dibahas dalam rapat Direksi 8 & 16 September 2003. Konsep surat ini juga dipersiapkan di Diraga sesuai Tupoksi nya. Oleh karena itu bukan terdakwa yang mengajukan permintaan, tetapi Direksi PLN yang diwakili oleh terdakwa. 2. Yang diminta bukan “ijin prinsip penunjukan langsung”, karena istilah itu tidak dikenal dalam Anggaran Dasar PLN maupun SK 038/920/DIR/1998. Sesuai yang tertulis yang diminta adalah persetujuan multi years (AD PLN 1998 pasal 11 ayat 9e.) 3. Surat jawaban Dekom No.18.Pst/DK-PLN/2003 tgl 7 November 2003 jelas-jelas menyebutkan adanya persetujuan prinsip terhadap usulan Direksi, tetapi minta dinegosiasi ulang harga. 4. Kata-kata yang tertulis dalam surat jawaban itu mengenai independent review adalah “Untuk melaksanakan butir 1 sampai 4 diatas, Direksi dapat meminta independent review dari pihak ketiga ……”, yang berarti tidak harus dilaksanakan. Perlu disampaikan bahwa PLN Disjaya telah menggunakan independent review dari konsultan Prosys dan hal itu telah dilaporkan dalam rapat Konsultasi Dekom-Direksi tanggal 7 November 2003 oleh Diraga. Rapat ini juga menentukan waktu satu minggu bagi Direksi untuk menyampaikan kembali jawabannya, sehingga atas pertimbangan waktu penggunaan independent review yang lain tidak dilakukan (Rekaman RKDD 7 November 2003)
37. Atas surat Nomor : 18.Pst/DK-PLN/2003 tanggal 07 November 2003, saksi Sunggu Anwar Aritonang dengan sepengetahuan terdakwa meminta saksi Fahmi Mochtar melakukan negosiasi ulang harga kontrak dengan PT Netway Utama, sehingga saksi Fahmi Mochtar memerintahkan Tim Penunjukan Langsung yang diketuai saksi Budi Harsono melakukan negosiasi ulang, yang mana kemudian tanpa melibatkan Anggota Tim Panitia lainnya saksi Budi Harsono dan saksi Gani Abdul Gani menyepakati penurunan harga kontrak dari senilai Rp 142.791.000.000.- (seratus em pat puluh dua milyar tujuh ratus sembilan puluh satu juta rupiah) menjadi Rp.137.132.000.000 (seratus tiga puluh tujuh milyar seratus tiga puluh dua juta rupiah) yang dicantumkan dalam Berita Acara Nomor : 02/BA-NH/TPLCISRISI/KD/2003 tanggal 12 November 2003. Hasil kesepakatan penurunan harga kontrak tersebut dilaporkan oleh saksi Fahmi Mochtar kepada terdakwa melalui surat Nomor : 2087/061/DIV/2003 tanggal 13 November 2003. Dakwaan ini tidak tepat dikaitkan dengan terdakwa, permintaan untuk negosiasi ulang disampaikan oleh Komut, sdr. Andung Nitimihardja dalam RKDD 7 November, diformilkan dalam surat Dekom No. 18.Pst/DK-PLN/2003 dan langsung ditindak lanjuti oleh Diraga dengan surat No.00765/334/DITNIAGA/2003 ke GM Disjaya pada tanggal yang sama (7 November
2003 ). Seluruh rangkaian kejadian tersebut tidak saya ketahui karena saya berada dalam kondisi cuti Umroh. Berita Acara Negosiasi Ulang tersebut ditandatangani oleh seluruh anggota Tim PL sehingga tidak tepat dikatakan bahwa negosiasi ini tidak melibatkan anggota Tim lainnya.
38. Bahwa benar Terdakwa tanpa sepengetahuan direksi mengirimkan surat Nomor 03282/061/Dirut/2003 tanggal14 November 2003 kepada Dewan Komisaris PT PLN untuk meminta persetujuan ijin Roll Out CIS RISI dengan menyatakan bahwa direksi berkesimpulan harga kontrak senilai Rp 137.132.000.000,- (seratus tiga puluh tujuh milyar seratus tiga puluh dua juta rupiah) adalah wajar, padahal penentuan harga tersebut tidak melalui rapat Direksi. Surat 03282/061/Dirut/2003 dikonsep oleh Direktorat Niaga dan Pelayanan Pelanggan dan diparaf oleh DD STI sdr. Zulkifli dan Diraga sdr. Sunggu Anwar Aritonang sebelum ditandatangani terdakwa. Oleh karenanya tidak tepat dikatakan bahwa surat dibuat tanpa sepengetahuan Direksi. Dalam RKDD 7 Nov 2011 bagaimana melaporkan hasil negosiasi tersebut juga dibahas, Komut minta mengingat keterbatasan waktu agar langsung dikirim oleh Direksi ke Dekom. Kewajaran harga yang dinyatakan dalam surat itu didukung oleh : 1. Pernyataan kewajaran harga dalam Surat Pernyataan No. 014.Spn/061/D.IV/2003 btr. 4 ditandatangani oleh Margo Santoso. 2. Laporan proses negosiasi ulang Pengadaan Jasa Outsourcing Pekerjaan Roll Out CIS RISI PT. PLN (PERSERO) Distribusi Jakarta Raya Dan Tangerang oleh Tim Penunjukan Langsung Pengadaan Jasa Outsourcing Pekerjaan Roll Out Cis·Risi butir 5. BENCH MARKING menyebutkan “dari kajian, tim menyimpulkan bahwa harga kesepakatan yang diperoleh sebesar Rp.137.132.000.000,- sudah merupakan harga least cost dengan membandingkan dengan proposal yang serupa.” Penentuan harga sudah tidak memerlukan rapat Direksi lagi karena Direksi sudah pernah menyetujui harga yang lebih tinggi, dan pada saat permintaan negosiasi ulang Dekom dan Direksi sudah mengetahui keterbatasan waktu yang ada. Laporan GM Disjaya mengenai hasil Negosiasi Ulang No. 2087/061/D.IV/2003 kepada Diraga juga ditembuskan ke seluruh anggota Direksi.
39. Bahwa benar atas dasar surat terdakwa Nomor : 03282/061/Dirut/2003 tersebut, Dewan Komisaris melalui surat Nomor : 19.Pst/DK-PLN/2003 tanggal 21 November 2003 memberikan jawaban bahwa Dewan Komisaris menilai masih perlu dilakukan penghematan terhadap beberapa 37unsur biaya seperti biaya sewa kendaraan, biaya kantor, biaya komunikasi dan training board sehingga belum dapat memberikan persetujuan, namun terdakwa menyatakan kepada GM PT PLN (Persero) Disjaya dan Tangerang melalui surat Nomor : 03618/061/Dirut/2003 tanggal 22 Desember 2003
yang isinya seolah-olah Dewan Komisaris telah 38memberi persetujuan sehingga untuk efektifitas pelaksanaan Outsourcing Roll Out CIS RISI terdakwa memerintahkan saksi Fahmi Mochtar membentuk Kepanitiaan yang baru dengan melibatkan anggota Tim yang lama dan yang baru. Dalam membuat dakwaan ini JPU tidak melihat rangkaian kejadian yang mendahuluinya, JPU juga menuliskan kata-kata “…sehingga Dekom belum dapat memberikan persetujuan” dan meletakkannya sedemikian sehingga seolah-olah dalam surat Dekom memang tertulis kata itu padahal tidak ada. Mengenai isi surat 03618/061/DIRUT/2003 ada kata-kata “isinya seolah-olah Dewan Komisaris telah memberikan persetujuan…”, padahal persetujuan Dekom telah diberikan dalam surat 18.Pst/DK-PLN/2003 meskipun dengan catatan diminta melakukan negosiasi ulang pada Biaya Langsung Personil dan Biaya Langsung Non Personil, khususnya hardware dan diminta menyampaikan hasilnya kembali kepada Dekom dalam waktu 1 minggu. Catatan Dekom tersebut telah dipenuhi. Surat Dekom No. 19.Pst/DK-PLN/2003 melanjutkan persetujuan dengan menyebutkan “Dekom pada prinsipnya dapat mendukung……, namun menilai masih dapat dilakukan penghematan …”. Tidak ada permintaan untuk menegosiasikan ulang seperti pada surat no 18.K, yang ada adalah kalimat “Sehubungan dengan itu (Yang dimaksudkan adalah sehubungan dengan penilaian Dekom diatas ), sesuai kesepakatan dalam rapat, agar kontrak disusun dengan pola on actual basis…….dst. “ Surat 03618/061/DIRUT/2003 seperti juga surat-surat sebelumnya, diparaf oleh DD STI dan Diraga, dicatat oleh sekretaris Dirut sebagai surat dengan konseptor Diraga, sebelum diajukan dan ditandatangani Dirut.
40. Bahwa benar Terdakwa selama masa proses penyusunan kontrak berulangulangmenghubungi saksi Fahmi Mochtar dan mendesak agar segera menandatangani kontrak dengan PT Netway Utama dan untuk itu terdakwa menerbitkan Surat Kuasa Khusus (SKK) Nomor : 0016-l.SKu/020/Dirut/2004 tanggal 26 Maret 2004, yang mana berdasarkan SKK tersebut pada tanggal 29 April 2004 saksi Fahmi Mochtar bersama saksi Gani Abdul Gani menandatangani surat perjanjian kerjasama Outsourcing Roll Out CIS RISI antara PLN Disjaya dengan PT Netway Utama Nomor: PLN Disjaya 122.PJ/061/D.IV/2004 dan Nomor : PT Netway Utama Nomor : 800/Net/PJR/IV/2004 yang jangka waktu pelaksanaannya 24 bulan (multiyears). Saya membantah dakwaan yang menyatakan selama masa proses penyusunan kontrak saya berulang-ulang menghubungi saksi Fahmi Mochtar dan mendesak agar segera menandatangani kontrak dengan PT Netway Utama . Tidak ada keterangan saksi yang mendukung dakwaan ini. Saksi Fahmi Mochtar dalam sidang 11 Oktober 2011 menyatakan bahwa pernah secara kebetulan bertemu terdakwa bukan di kantornya secara khusus, tetapi kebetulan saja dan terdakwa menanyakan apakah kontrak sudah ditandatangani, dan dijawab belum. Saksi Nuraini,
sebagai tim hukum Disjaya pada masa penyusunan kontrak, dalam sidang 04 Oktober 2011 menyatakan tidak mengetahui adanya desakan terdakwa pada GM Disjaya. Penandatangan Surat Kuasa Khusus saya lakukan atas permintaan GM Disjaya melalui surat, dengan alasan Tim Penyusun Kontrak menyarankan hal itu karena melihat adanya pembatasanpembatasan dalam SKU dan karena adanya kebutuhan untuk mendaftarkan CIS RISI di HAKI sebagai milik PLN yang kemungkinannya akan melalui proses pengadilan. Kesaksian Fahmi Mochtar dalam sidang 11 Oktober 2011 mengkonfirmasi hal ini. Sebelum menandatangani saya bertanya dulu kepada Sdr Rex Panambunan yang menjabat sebagai Kepala Satuan Hukum PLN Pusat, dan ybs menyetujui serta memaraf dokumen SKK tersebut sebelum saya tanda tangani.
41. Bahwa benar atas penandatanganan surat perjanjian kerjasama Outsourcing Roll Out CIS RISI tersebut PT Netway Utama mendapatkan pembayaran secara bertahap sejak bulan Juni 2004 sampai dengan bulan Mei 2006 hingga seluruhnya berjumlah Rp 92.278.045.753,26 (sembilan puluh dua milyar dua ratus tujuh puluh delapan juta empat puluh lima ribu tujuh ratus lima puluh tiga rupiah dua puluh enam sen) setelah dipotong pajak. Saya tidak berada dalam posisi membenarkan atau menyalahkan butir ini. Kewenangan mengawasi dan membayar kontrak-kontrak di Disjaya ada pada GM Disjaya dan managermanager nya. Dirut tidak terkait dalam proses pembayaran ini.
42. Bahwa benar berdasarkan Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengadaan Outsourcing Roll Out Customer lriformation System - Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) pada PT PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang Tahun 2004 -2006 yang terlampir dalam surat Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor : SR176/D6/02/2011 tanggal 16 Februari 2011 kepada Pimpinan KPK diketahui bahwa seharusnya pembebanan biaya riil atas pengadaan tersebut hanyalah sebesar Rp 46.089.008.416,67 (Empat Puluh Enam Milyar Delapan Puluh Sembilan Juta Delapan Ribu Empat Ratus Enam Belas Rupiah Enam Puluh Tujuh Sen) sehingga selisih antara yang telah dibayarkan kepada PT Netway Utama dengan Riil pengeluaran untuk pelaksanaan kerjasama Outsourcing Roll Out CISI RISI tersebut sebesar Rp. 46.189.037.336,59.- (empat puluh enam milyar seratus delapan puluh sembilan juta tiga puluh tujuh ribu tiga ratus tiga puluh enam rupiah lima puluh sembilan sen) telah memperkaya saksi Gani Abdul Gani atau PT Netway Utama karena mendapatkan keuntungan yang tidak seharusnya dan oleh karenanya telah mengakibatkan kerugian negara c.q. PT. PLN (Persero) Disjaya dan Tangerang Rp. 46.189.037.336,59.- (Empat Puluh Enam Milyar Seratus Delapan Puluh Sembilan Juta Tiga Puluh Tujuh Ribu Tigaratus Tigapuluh Enam Rupiah Lima puluh Sembilan Sen )
43. Bahwa benar berdasarkan data Business Plan 2005 -2007 PT Netway Utama tercatat ada pemberian-pemberian uang kepada Pejabat PT PLN antara lain : kepada terdakwa sebesar Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah), Margo Santoso sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan Fahmi Mochtar sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) yang dananya berasal dari hasil pembayaran PT PLN Disjaya dan Tangerang kepada PT N etway Utama, sehingga telah memperkaya diri terdakwa atau orang lain yaitu Margo Santoso atau Fahmi Mochtar. Dakwaan ini sangat tidak beralasan, saya membantah telah menerima uang apapun dari PT Netway. Atas apa yang disebut sebagai dokumen Business Plan 2005-2007 tersebut: 1. Tidak ada saksi yang membenarkan adanya realisasi pembayaran seperti itu. 2. Tidak ada nama ataupun inisial nama Eddie Widiono dalam dokumen tersebut, JPU berasumsi bahwa yang dimaksud PLN 1 adalah terdakwa. Penyebutan PLN 1 untuk Dirut meniru kebiasaan aparat kemanan bukan kelaziman dan tidak dikenal di PLN. 3. Saksi Gani Abdul Gani, Saksi Ricky Singh Bedi, Saksi Sri Wahyuningsih dari PT Netway dalam kesaksian dimuka persidangan menyatakan tidak pernah ada realisasi pembayaran seperti itu. 4. Saksi Sunggu Anwar Aritonang, saksi Margo Santoso, Saksi Fahmi Mohtar dan saksi Budi Harsono menyatakan tidak mengetahui adanya pembayaran seperti dimaksud.
Bahasan Analisa Yuridis 1. Hal 601. Mengenai kaitan Outsourcing Roll Out CIS RISI dengan SK 138.K/010/DIR/2002. Tampak sekali JPU menggunakan SK ini untuk mencapai suatu kesimpulan bahwa modus operasi di CIS RISI dengan CMS adalah serupa. Saya membantah hal ini, karena setelah meneliti kontrak Outsourcing Roll Out CIS RISI tidak diketemukan referensi terhadap SK 138.K/010/DIR/2002. Demikian pula dalam kajian Hukum Remy & Darus yang dilakukan setelah SK 138 dikeluarkan juga tidak disinggung sama sekali SK dimaksud. Oleh karena itu semua argumentasi JPU menyangkut SK 138 tidak relevan dengan pengadaan Outsourcing Roll Out CIS RISI. Seperti telah saya jelaskan dalam kesaksian thd perkara CMS lahirnya SK 138 adalah karena PLN perlu mengantisipasi UU Tenaga Kerja yang membatasi masa kerja TKWT ( tenaga harian ) selama 2 tahun dengan perpanjangan maksimum 1 tahun, dan bila lebih lama dari itu harus diangkat sebagai pegawai tetap, padahal PLN mempunyai 140.000 tenaga harian. 2. Hal 603.alinea 2. Saya membantah bahwa kata-kata sebagai mana dinyatakan pada alinea 2 pernah saya katakan.
3. Hal 603 alinea 3. JPU mengabaikan fakta bahwa presentasi-presentasi yang dilakukan pada tahun 2000 dan 2001 adalah proposal Joint Venture OSCO dan bukan presentasi proses pengadaan. Komentar-komentar saya terhadap suatu keinginan swasta untuk bekerja sama dengan PLN berada dalam koridor TUPOKSI Dirsar sebagai pintu masuk kerjasama dengan swasta, dan sesuai
dengan arahan RUPS RKAP 2001 yang menugaskan Direksi untuk mencari terobosan kerjasama dengan swasta menyikapi situasi krisis yang dihadapi PLN ( copy RUPS RKAP 2001 terlampir). 4. Hal 603 alinea 4. JPU mengabaikan keputusan Rapat Direksi 7 & 9 Agustus 2001. Sdr Juanda belum menjadi direksi pada waktu itu. BAP Sdr Parno 22 Oktober 2010 pertanyaan 29 butir d bila dibaca teliti akan terlihat bahwa faktanya memang ada pengambilan keputusan dimaksud., komentar selanjutnya adalah interprestasi sdr Parno sendiri. Sdr. Hardiv tidak hadir dalam rapat tersebut karena tugas ke Batam, diwakili oleh VP IT (sdr Asjhari) dan tidak menyatakan dissenting. Saksi Tunggono hadir dan memberi komentar dalam rapat tanggal 7 Agustus 2001 bersama Aswani mengisi daftar hadir hanya tidak ingat (Catatan rapat dan daftar hadir terlampir). Anggota-anggota Direksi menyatakan tidak tahu adanya surat itu tetapi hadir dalam rapat Direksi Dekom 16 Agustus 2001 yang membahas isi surat tersebut. (risalah RKDD 16 Agustus terlampir ) 5. Hal 604 alinea 2. Butir ini tidak pernah muncul dalam dakwaan sebelumnya. JPU tidak melampirkan data pelanggaran kontrak dimaksud.
6. Hal 605 alinea terahir. Saya menyangkal keterangan Gani tersebut, namun seandainyapun sangkalan ini tidak diperhitungkan, arahan untuk mengadakan presentasi di Disjaya terlebih dahulu sudah sesuai dengan kebijakan desentralisasi dan SK 075/010/DIR/2000. 7. Hal 606 alinea 1. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa Outsorcing Roll Out CIS RISI dikatakan melanggar SK 138 padahal penggunaan cara penunjukkan langsung disana dikatakan sebagai “dapat “ , tidak harus, dan tidak ada detil cara pelaksanaan kecuali pada SK 038/920/DIR/1998 jo SK 075/010/DIR/1998. Berdasarkan SK-SK itu kewenangan ada pada GM dan Dirut hanya berada pada posisi minta ijin Dekom untuk kontrak multiyears. 8. Hal 606 , Alinea 2, 3 dan 4. Tim-tim yang dimaksud adalah tim yang ditunjuk berdasar keahlian oleh GM Disjaya, Direksi tidak boleh dan memang tidak melakukan intervensi apapun terhadap keputusan tim. Pembina Tim adalah GM Disjaya.
9. Hal 607 . alinea 3. Perjanjian multi years. Sejak awal dalam RKAP 2002 kepada RUPS telah disampaikan bahwa program ini adalah multi years dengan dana Anggaran Operasional dan hal ini telah disetujui Oleh RUPS. JPU menyatakan seolah-olah tidak ada ijin RUPS atas program ini, hal mana tidak sesuai dengan fakta bahwa : a. Program dan anggaran disetujui dalam RKAP 2002, 2003, 2004 (keterangan saksi Suyud dan Parno Isworo dalam sidang) b. Dilaporkan dalam Laporan Manajemen th. 2004, 2005 dan 2006 ( terlampir ) c. Bahwa ketentuan Anggaran Dasar ps 11 ayat 9.e pelaksanaanya secara penuh ( dengan surat khusus dari Menteri Negara BUMN) baru terbatas pada ijin listrik swasta, dan sulit dilaksanakan secara penuh sehingga Dekom memberi kelonggaran-kelonggaran (RKDD 16 Agustus 2001 butir 4; pendapat Dekom dlm RUPS RKAP 2003 butir 4.1; ) demikian pula pemegang saham ( transkrip RUPS 2005 )
d. Karena prosesnya telah dilaksanakan dengan transparan dan dengan sepengetahuan Dekom maupun RUPS hal ini tidak pernah dipermaslahkan atau dianggap sebagai pelanggaran oleh RUPS selaku pemegang kekuasaan tertinggi. 10. Hal 608 alinea 2, SKK dikeluarkan atas permintaan GM melalui surat tertulis untuk alasan yang jelas. Anggaran Dasar pasal 11 ayat 12. mengijinkan hal ini. 11. Hal 608 alinea 3. Saya membantah telah menerima uang sebesar Rp 2 Milyar seperti dikatakan disini.
12. Hal 609. Alinea 1 & 2JPU tidak memberikan fakta2 pendukung atas keterkaitan pekerjaan CMS dan Lampung dengan Outsourcing Roll Out CIS RISI . 13. Hal 609 . Alinea 3. JPU tidak mempertimbangkan kaitan kebutuhan mendesak dan spesifik yang ada dalam pertimbangan2 Legal Opinion dan bersikukuh dengan interpretasi yang sempit tanpa mempertimbangkan profesionalisme. Meskipun benar siapa saja bila belajar dapat membuat program computer yang dimaksud, tetapi secara professional hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa ada yang mau menanggung waktu dan biaya untuk mempelajarinya. Implementasi CIS RISI atas alasan-alasan yang saya sampaikan diatas sudah sangat mendesak dan bila tidak dilakukan akan menimbulkan kerugian dalam jumlah yang lebih besar dari itu. Keterangan saksi Ahli Agung Harsoyo menyatakan bahwa pilihan mroll out CIS RISI sudah tepat dan biayanya jauh lebih murah dari referensi-referensi yang digunakan. Hasilnya pun terbukti menguntungkan.
14. Hal 610. Alinea 3. Pengambilan keputusan Outsourcing Roll Out CIS RISI dilakukan tahun 2003 sehingga UU 10 tahun 2004 tidak dapat diberlakukan. 15. Hal 614 alinea 1. Saya menarik pengakuan mengenal yang bernama Mustafa Sulaiman Swaket, pada waktu ditanyakan oleh JPU saya berfikir JPU salah membaca nama yang benar. Tetapi dalam surat tuntutan ternyata benar yang disebut adalah nama sdr. Mustafa Sulaiman Swaket. Saudara ipar istri saya bernama Mustafa Salim, sudah pernah diminta keterangan dan namanya sudah terdaftar dalam daftar saksi, sehingga sepatutnya JPU mengetahui nama itu. Karena nama yang berbeda dan tidak ada referensi pada kesaksian Sdr. Mustafa Salim maka saya berkesimpulan bahwa yang dimaksud JPU adalah orang yang berbeda dengan yang saya maksud sebagai saudara ipar istri saya.
16. Hal 621 butir b, perhitungan man month oleh ahli Yudo Giri Sucahyo. Saya akan langsung kepada kesimpulan saja mengenai hal ini, karena kami sampaikan secara mendetail, karena ini tentunya adalah inti dari permasalahan. Perbedaan hitungan man month terjadi akibat: 1. Beda pemahaman kondisi awal. Tiga bulan pertama pelaksanaan kontrak sudah terlihat ada gap yang cukup besar. Man month yang dialokasi dalam kontrak 300 man month, yang diakui oleh saksi hanya 73 man month untuk semua kategori. Hal ini menyampaikan kenyataan bahwa:
a. Target single billing harus jalan dalam 6 bulan. Dan selama proses, tidak boleh mengganggu penerbitan rekening. Jadwal single billing yang sangat ketat membutuhkan persiapan yang matang pada 3 bulan pertama. b. Model PID, model SOP, model Help Desk, implementasi operasi Help Desk, Data Center dan lain-lain juga perlu disiapkan pada masa itu. c. Kondisi awal infrastruktur. Infrastruktur dan hardware milik PLN tidak standar, tidak ada dokumentasi dan tidak siap dioperasikan. Belum ada ruang khusus untuk infrastruktur di masing-masing Area Pelayanan. d. Kondisi awal kesiapan SDM PLN. Hanya ada 7 asisten manajer komersial yang tersedia dan berlatar belakang IT. 28 tenaga tambahan yang dibutuhkan tidak mempunyai latar belakang IT. Masih ada end user PLN yang belum terbiasa dengan TUL 94, karena masih menggunakan TUL 84. Aplikasi lokal yang tersedia masih DOS-based, belum Windows. 2. Beda pemahaman mengenai lingkup. Ahli tidak mempertimbangkan, bahwa apapun kondisi awalnya, rekanan harus menjamin tercapainya Service Level Agreement atau menghadapi resiko kena penalti. Saksi ahli juga tidak mempertimbangkan bahwa interupsi pada operasi tidak diperkenankan atau harus diupayakan sekecil mungkin karena kerugian karena terganggunya operasi jauh lebih tinggi daripada biaya kontrak. Saksi ahli juga tidak mempertimbangkan fungsi Netway sebagai single planned applyingsystem integrator, yang berani bertanggung jawab untuk menjalankan fungsi koordinasi dan integrasi dari pekerjaan sub-sistem menjadi sebuah sistem. 3. Beda level teknologi. SIMPEL RISI dikerjakan pada akhir tahun 1990-an, dimana di Indonesia operating system-nya masih didominasi oleh DOS, dan softwarenya memiliki kemampuan yang terbatas. CIS RISI dikembangkan tahun 2000-an. Perkembangan IT sekarang sudah sedemikian maju sehingga apa-apa yang dulu diklasifikasikan sebagai task yang rumit dan membutuhkan man month yang banyak saat ini dipersepsikan mudah dilaksanakan. 4. Beda perkiraan kemampuan tenaga ahli. Mengumpulkan 200-an tenaga ahli dengan masa mobilisasi 2 bulan untuk pekerjaan hanya 2 tahun tentu tidaklah mudah dan tidak mungkin mengeluarkan tenaga yang mempunyai kemampuan tinggi, sehingga dapat dilepaskan untuk pekerjaan dengan supervisi dan pengawasan minimum. Sulit dipahami mengapa tidak memperhitungkan man month untuk manajemen dalam aktivitas yang demikian besar. Satu-satunya penjelasan adalah karena mereka tidak berpengalaman dalam proyek yang mereka nilai sendiri luar biasa besar. Bila dirunut perbedaan tersebut berakar pada pemilihan metode yang dipilih ahli dalam melaksanakan tugasnya. Metodenya melihat metodologi melihat jadwal, melihat pekerjaan yang ada, dan sewajarnya berapa orang yang mestinya diturunkan. Metode dimaksud tetap digunakan untuk mengevaluasi adanya kerugian Negara, ataupun kemahalan suatu kontrak Roll-Out karena: 1. Berfokus pada interpretasi ahli atas metodologi kontrak. Konsistensi antara interpretasi tersebut dengan jadwal kontrak dengan penempatan tenaga kerja manning schedule, sehingga menghasilkan man month yang oleh ahli dikatakan sebagai sewajarnya. Dari sini dihitung dua hal, Biaya Langsung Personil dan Biaya Langsung Non Personil yang terkait dengan jumlah man month yang sewajarnya tersebut.
2. Kegiatan apapun yang disebutkan dalam kontrak tetapi diluar interpretasi awal dan diluar pengetahuan ahli, tidak peduli bermanfaat atau tidak bagi PLN, masyarakat atau Negara, dianggap sebagai suatu kemahalan. Fokus metode ini sangat sempit, yaitu dari aspek Teknologi Informasi secara sempit, dan mengabaikan fakta bahwa teknologi ini dimaksudkan untuk tujuan peningkatan efisiensi PLN. Jaminan diperolehnya performance PLN yang lebih baik melalui pengamanan pendapatan dan peningkatan produk pemasaran serta perbaikan pelayanan masyarakat melalui akurasi data. Metode ini jelas tidak jujur dan tidak adil! Tidak jujur, karena PLN, masyarakat maupun Negara memetik manfaat dari kegiatan yang dilakukan perusahaan, tetapi tidak mengakui usaha yang dilakukan oleh Netway merupakan usaha yang sah dan berhak mendapat imbalan dan dilindungi oleh Undang-Undang. Tidak adil, karena melupakan pihak-pihak yang telah membuat kebijakan dan menjalankan kebijakan sebagai pihak yang berada di luar Hukum. Padahal kebijakan tersebut jelas-jelas menimbulkan manfaat dan tidak terbukti memperkaya para pihak.
Majelis Hakim yang Mulia, Demikianlah uraian pembelaan kami atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara Outsourcing Roll Out CIS RISI. Kami telah menyampaikan bantahan-bantahan kami atas dakwaan JPU yang tidak berdasar fakta, bertentangan dengan fakta-fakta persidangan, tidak mempertimbangkan situasi sebenarnya dalam pengambilan keputusan. Kami telah menunjukkan bukti-bukti bahwa proses yang terjadi pada tahun 2000-2001 yang banyak dikupas oleh Jaksa Penuntut Umum adalah berbeda dalam proposal, berbeda dalam tujuan akhir, berbeda pula pihak-pihak yang mengambil keputusan penting sehingga tidak seharusnya kebijakan itu seluruhnya dianggap sebagai satu kesatuan dan ditimpakan tanggung jawabnya pada kami. Kami telah menunjukkan bahwa perhitungan kerugian Negara yang titik awalnya adalah kajian oleh Ahli Pusilkom sdr. Yudho Giri Sucahyo telah dilakukan dengan ceroboh, tidak profesional dan tidak pernah memenuhi asas aspersi sehingga tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bukti dalam perkara ini. Kami telah pula menanggapi tuduhan terkait aliran dana yang tidak didasarkan pada fakta maupun pengakuan dan terjadinya “error in persona” yang menunjukan dakwaan itu sangat lemah dan tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam keputusan perkara ini. Ata dasar pertimbangan diatas kami mohon kepada Majelis Hakim agar kepada kami dapat dijatuhkan vonis bebas murni atas nama hukum dan keadilan. Kami percaya bahwa Majelis akan mempertimbangkan permohonan kami dengan seksama dan memutuskan dengan rasa keadilan atas perkara yang kami hadapi ini. Seraya berdoa kepada Allah agar diberi keputusan yang se-adil-adil nya, kami tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada Majelis Hakim yang Mulia, khususnya Bapak Hakim Ketua yang telah memimpin persidangan dengan bijak dan profesional, serta kepada Jaksa Penuntut Umum, kepada para Saksi maupun Ahli yang telah berkontribusi dan juga kepada para Penasehat Hukum yang telah membantu kami didalam maupun diluar persidangan. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada insan media yang telah bersusah payah hadir dan mewartakan jalannya persidangan sehingga dapat dikuti dengan baik diseluruh nusantara. Akhirnya terimasih yang mendalam kami sampaikan kepada keluarga besar PLN, segenap handai taulan, kakak-kakak, adik-adik, istri dan anak yang setia mendampingi dan mendukung dalam masa-masa sulit ini. Wassalamualaikum wwr.