MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
PEMBELAAN IBNU RUSYD TERHADAP PEMIKIRAN FILOSOF Rizal Mubit Abstrak : Ibnu Rusyd adalah ulama yang dikenal sebagai filosof. Salah satu alasannya adalah karyanya, yakni Tahafut Tahafut yang membantah pemikiran Imam Ghozali dalam kitab Tahafut Falasifah. Kitab tersebut banyak dianggap sebagai polemik filosofis antara Imam Ghozali dan Ibnu Rusyd. Hal-hal yang dilanggar oleh para filsuf menurut Al Ghazali ada 20 persoalan yaitu 16 dalam bidang metafisika dan 4 dibidang fisika namun dari 20 hal tersebut ada 17 hal digolongkan dalam Ahl al Bida’ dan berkenaan dengan 3 hal lainnya para filusuf dikatakan sebagai orang kafir yaitu qidamnya alam, pengetahuan Tuhan dan tentang bangkitnya jasmani. Sehubungan dengan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali itu, Ibnu Rusyd tampil membela para filosof dari serangan dan pengkafiran, dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku tahafut al-tahafut kekacauan dalam kekacauan, yang menunjukan secara tegas bahwaAlGhazalilah yang sebenarnya yang dalam kekacauan pemikiran bukan para filosof. Kata Kunci: Imam Ghazali, Ibnu Rusyd, Filosof
PENDAHULUAN Sebagian besar umat Islam di Indonesia lebih mengenal sosok Imam AlGhazali sebagai seorang sufi dibandingkan sebagai seorang filosof. Magnum opusnya, Ihya‟ ulumiddin lebih banyak dikaji di pesantren maupun perguruan tinggi Islam dibandingkan dengan buku-buku filsafatnya seperti Maqasid al-Falasifat, Tahafut alFalasifah atau ‘Mi’yar al-Ilm. Kalau saja, tiga kitab yang tersebut di atas lebih banyak dikaji, tentu Imam Ghozali juga akan masyhur sebagai seorang filosof tidak hanya sebagai seorang ahli tasawuf. Berbeda dengan Ibnu Rusyd. Ia lebih dikenal sebagai seorang filosof. Salah satu alasannya adalah karyanya, yakni Tahafut Tahafut yang membantah pemikiran Imam Ghozali dalam kitab Tahafut Falasifah. Kita boleh berasumsi bahwa terjadi
133
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
konflik paradigma antara Imam Ghozali dan Ibnu Rusyd walaupun keduanya adalah ilmuwan Islam yang memiliki pengetahuan yang luas. Kendati demikian, perlu dipahami bahwa apabila bisa memahami Imam Ghozali maupun Ibnu Rusyd dan mengetahui siapa dan bagaimana latar belakangnya, maka tidak akan ada istilah polemik dalam pemikiran mereka. Hanya saja, harus diakui bahwa terdapat perbedaan dalam argumentasi. Dengan latar belakang keilmuan yang berbeda, tentunya akan menghasilkan nilai yang berbeda pula. Terdapat banyak permasalahan dari kedua tokoh tersebut mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan, khususnya dalam bidang teologis yang berkaitan dengan pencipta, ciptaan dan penciptaan. Penulis akan mengulas dengan ringkas polemik filosofis antara Imam Ghozali dan Ibnu Rusyd agar terdapat pemahaman terdapat pemikiran filosof muslim yang sudah mayhur tersebut. BIOGRAFI DAN KARYA IMAM GHOZALI Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam. Dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan dalam tahun 450 H (1053 M). Ayahnya bekerja membuat pakaian dari bulu wol dan dijualnya di pasar Thusia. Pada masa kecilnya Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani, kemudian pergi ke Durjan dan belajar pada Imam Abi Nasar al-Ismaili. Proses belajar Ghazali kemudian ke Imam Haramain dalam mazhab Syafi'i. Setelah menimba ilmu pada guru-guru besar, maka Ghazali berangkat ke Askar (Afghanistan) menemui temannya yang menjadi perdana menteri Nizamul Mulk. Pada akhirnya, Imam Ghozali diangkat menjadi Rektor Universitas Nizhamiyyah. Kemampuan Ghazali dalam fiqh kemudian menghasilkan sebuah kitab; al-Basith, alWasith, al-Wajish, al-Khulashah. Kemampuan dalam pertarungan pemikiran
134
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
menghasilkan sebuah kitab yang monumental; seperti Ihya 'Ulumudiin, Thabaqat, Maqashid al-Falasifah, Tahafur al-Falasifah, Al-Munqidz min adh-Dhalal.1 Kemampuan Imam Ghazali mencakup dalam berbagai aspek, bahkan dalam lapangan ekonomi Ghazali mempunyai kemampuan yang mendalam yang melahirkan kitab; al-Ilmu, Asrar az-Zakat, Kasbu al-Maisyah, al-Halal wa al-Haram, al-Bukhlu dan as-Zuhd. Kedalaman dan keluasan pemikiran Al-Ghazali tertuang dalam ungkapan dari Rektor al-Azhar, Mustafa al-Maraghi yang mengatakan; "Ketika seseorang menyebut nama Al-Ghazali, akan terbetik di dalam benaknya berbagai cabang pengetahuan. Seakan Ghazali bukan sosok pribadi , melainkan kesatuan dari pribadi-pribadi. Sehingga asy-Suyuthi mengelari Al-Ghazali sebagai pembaharu abad ke lima hijriyah. Ghazali hidup dalam situasi pertarungan pemikiran baik oleh kalangan filsafat, Mu'tazilah, Bathiniyyah-Syiah, maupun serangan pemikiran dari luar berupa pemikiran Nasrani dan tantangan fisik dari tentara Salibiyah. Yang membuat jalan hidupnya berubah dan mengalami pergeseran dari seorang ilmuwan, fuqaha, politisi, sampai ke sufi. Dalam masalah politik Ghazali mengarang sebuah buku yang monumental seperti kitab al-Muhtazir (sebuah nama khilafah zaman Abbasiyah akhir) untuk menentang invasi pemikiran dan fisik. Ghazali memandang keberadaan pemerintahan kekhilafahan menjadi vital sekali, sehingga Ghazali harus mendukung mati-matian kekhilafahan al-Muhtazir. Meskipun sang Khalifah sendiri masih berusia sangat muda untuk jabatan khalifah.2
1 Lihat keterangan ini dalam buku Ihya Ulumudin, atau komentar dari Yusuf Qardhawy, AlGhazali Antara Pro dan Kontra, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997.
2Lihat ulasan Zainal Abidin Ahmad tentang kitab al-Muhtazir dalam Zainal Abidin Ahmad, Negara Bermoral Menurut Al-Ghazali, Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
135
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
Kitab lain yang berkaitan dengan politik-ekonomi adalah kitab Al-Iqtishad fi alIqtiqad, di mana memberikan penjelasan bahwa keberadaan kepala negara adalah sangat penting dalam usaha mengatur tata keteraturan di masyarakat.3 Karya gemilang dari Ghazali itu sendiri dapat difahami karena kuatnya pemikiran Ghazali dalam penguasaan metodologi, terutama ilmu ushul-fiqh yang memang telah ia pelajari semenjak kecil, seperti al-Mankhul dan al-Mus-tashfa. Kemampuan Al-Ghazali ini menempatkan dirinya sebagai pemikir dan pembela Islam dalam khasanah ilmu pengetahuan dengan mendapat gelaran Hujjatul Islam. BIOGRAFI IBNU RUSYD DAN KARYANYA Nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd dengan gelar Abul Walied. Ibn Rusyd lahir pada tahun 520 H/ 1126 M di kota Cordova ibu kota Andalusia wilayah ujung barat benua Eropa. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol).4 Ibn Rusyd adalah seorang filosof Islam terbesar yang di belahan barat dunia di Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “Averrois”. Keluarga Ibn Rusyd sejak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh keilmuan. Kakeknya menjabat sebagai Qadhi di Cordova dan meninggalkan karya-karya ilmiah yang berpengaruh di Spanyol, begitu pula ayahnya. Maka Ibn Rusyd dari kecil tumbuh dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang besar sekali perhatiannya kepada ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab Qanun karya Ibn Sina dalam kedokterandan filsafat di kota kelahirannya sendiri.5 Keluarga Ibn Rusyd yang besar mengutamakan ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi ilmuan. Faktor lain bagi keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kejeniusan otaknya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai lihat dalam M. Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Islam dan Barat, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1996, hal 89 yang mengutip pendapat Ghazali dalam kitab Al-Iqtishad wa al-Iqtiqad. 3
4 5
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004) h. ibid
136
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab dan lainnya. Ibn Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar terhadap perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari Andalusia (Spanyol) ke seluruh negeri-negeri Eropa, dan itulah yang menjadi pokok pangkal kebangkitan bangsa-bangsa Barat. Pada tahun 1169 M. Ibn Tufail membawa Ibn Rusyd (ketika itu umurnya 43 tahun) ke hadapan sultan yang berpikiran maju dan memberi perhatian kepada bidang ilmu, yaitu Abu Ya‟qub Yusuf yang memberinya tugas untuk menyeleksi dan mengkoreksi berbagai syarah (komentar) dan tafsir karya-karya Aristoteles, sehingga ungkapan-ungkapannya lebih kena dan bersih dari banyak cacat karena keteledoran transkrip maupun kekeliruan para penulis sejarah dan penafsir lainnya. Ketika Ibn Tufail memasuki usia senja tahun 1182 M., Ibn Rusyd (dalam usia 56 tahun) menempati jabatan sebagai dokter pribadi Sultan Ya‟qub di istana Marakish. Sebagai seorang filosof pengaruhnya di kalangan istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan fukaha. Bahkan ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, Sebagai akibatnya ia ditangkap dan dan diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena daerah Cordova Tindakan kaum ulama dan fukaha tidak hanya sampai di situ, bahkan membawa pengaruh yang menyebabkan kaum filosof tidak disenangi lagi.6 Di kalangan ilmuwan muslim, Ibnu Rusyd dikenal sebagai seorang ulama yang mampu memadukan antara agama dan filsafat guna mencerahkan dan membela dirinya dari dakwaan zindiq dan keluar dari agama. Hal ini juga memberi penjelasan bahwa kesibukannya dengan filsafat tidaklah membuat aqidah dan agamanya menjadi rusak. Sebab filsafat tidaklah bertentangan dengan agama, sedang agama tidak mengingkari filsafat, bahkan justru menganjurkan dan menyerukannya, karena agama memerintahkan untuk meneliti dan merenungkan alam rayaa (al falaq, kosmos), jiwa-
6 Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang; Dina Utama Semarang, 1993), h.86
137
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
jiwa, wujud-wujud (eksistensi). Secara umum berfilsafat itu tak lain adalah meneliti wujud-wujud dari sisi penunjukannya atas adanya Pencipta.7 Dalam memadukan agama dan filsafat ini dibahas dalam buku Fashl al-Maqal, di mana filsafat dinyatakan tidak bertentangan dengan agama karena fungsi filsafat tidak lain hanyalah untuk memikirkan yang maujud agar membawa kepada ma‟rifat pada Allah. Dan al-Quran dengan berbagai ayatnya menganjurkan manusia untuk bernazhar. Kalau kelihatannya ketidakserasian antara zhahir nash wahyu dengan hasil nazhar (filsafat) itu, maka jalan keluarnya adalah dengan jalan ta‟wil. Dalam memahami Qur‟an ini, manusia terbagi kepada tiga golongan yaitu burhaniyyun, jadaliyyun dan khithabiyyun. Ibnu Rusyd juga menghasilkan banyak karya tulis. Suatu ketika semua buku Ibn Rusyd diperintahkan untuk dibakar oleh orang-orang yang dengki kepadanya, kecuali mengenai ilmu-ilmu kedokteran, matematika dan astronomi. Ia pun diumumkan keseluruh negeri sebagai penyeleweng dan menjadi kafir. Setelah Ibn Rusyd dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana pada tahun 1198 dalam usia 72 tahun.8 Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap aristoteles, maka tidak mengherankan jika dia memberi perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku yang lain yang diulasnya adalah buku Karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, Al-Farabi, Ibn Sina, AlGhazali, dan Ibn Bajjah.9 Ibnu Rusyd banyak mengarang buku-buku dan risalah tentang hukum islam, kedokteran, astronomi, teologi, filsafat dan ilmu-ilmu lain yang dikenal pada masanya. Namun sebagian besar karangan-karangannya masih dalam bahasa Ibrani atau Latin.10 Produktifitas karangan-karangannya itu karena dia memang sosok yang mengabdikan ilmu baik lewat belajar mengajar, membaca dan mengarang buku.Tidak
Abdul Maqsud Abdul Ghani Abdul Maqsud, Agama dan Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 6b 8 ibid 9 Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 1991) h. 10 M.Yusuf Musa, Bayn al-Din wa al-Falsafat Fi Ra‟yi Ibn Rusyd wa Falasifat al „Asr al Wasith, (Kairo: Dar al-Malarif,1980), h. 44 7
138
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
satu haripun yang lewat tanpa belajar kecuali dua malam saja, yaitu malam perkawinannya dan meninggalnya sang ayah.11 Diantara karya-karyanya, ada yang hasil karyanya sendiri dan ada yang merupakan ulasan terhadap karya Aristoteles, sehingga ia disebut komentator Aristoteles. Karya-karya aslinya dari Ibn Rusyd yang penting, yaitu: 1. Tahafut al-Tahafut12 2. Kulliyat fit Thib (Aturan Umum Kedokteran), terdiri atas 16 jilid. 3. Mabadiul Falasifah, Pengantar Ilmu Filsafat. Buku ini terdiri dari 12 bab. 4. Tafsir Urjuza, Kitab Ilmu Pengobatan. 5. Taslul, Tentang Ilmu kalam. 6. Kasful Adillah, Sebuah buku Skolastik, buku filsafat dan agama. 7. Muwafaqatil hikmatiwal Syari‟ah, persamaan filsafat dengan agama. 8. Bidayatul Mujtahid, perbandingan mazhab dalam fiqh dengan menyeutkan alasanalasannya masing- masing. 9. Risalah al-kharaj (tentang perpajakan) 10. Al-da‟awi, dan lain-lain.13 ARGUMEN AL-GHAZALI TENTANG KESALAHAN PARA FILOSOF Al-Ghazali merupakan tokoh penentang dan penyanggah falsafah yang paling brilian. Oliver Leaman dalam Pengantar Filsafat Islam menulis bahwa Al-Ghazali seringkali menyerang para filosof dengan dasar argumen yang mereka pergunakan sendiri, sambil menyampaikan pendapatnya secara filosofis dengan menyatakan bahwa tesis-tesis utama mereka adalah tidak benar dilihat dari sudut-sudut dasar logika itu sendiri.
11 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Ibnu Rusyd Filsof Islam Terbesar di Barat(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.32 12 (The incoherence of the incoherence = kacau balau yang kacau). Sebuah buku yang sampai ke Eropa, dengan rupa yang lebih terang, daripada buku-bukunya yang pernah dibaca oleh orang Eropa sebelumnya. Dalam buku ini kelihatan jelas pribadinya, sebagai seorang muslim yang saleh dan taat pada agamanya. Buku ini lebih terkenal dalam kalangan filsafat dan ilmu kalam untuk membela filsafat dari serangan Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah. 13
Thawil Akhyar Dasoeki, Kompilasi.................., h. 86
139
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
Sebagai contoh, dalam bukunya The Incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh pernyataan yang ia coba buktikan kesalahannya. Dalam Tahafut al Falasifah, Imam Ghazali mengatakan bahwa para filosof telah banyak mengungkapkan argumentasi yang bertentangan dengan Al Qur‟an sehingga dia menganggap para filusuf telah mengingkari Al Qur‟an bahkan Imam Ghozali mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir. Adapun hal-hal yang dilanggar oleh para filsuf menurut Al Ghazali ada 20 persoalan yaitu 16 dalam bidang metafisika dan 4 dibidang fisika namun dari 20 hal itu 17 hal digolongkan dalam Ahl al Bida’ dan berkenaan dengan 3 hal lainnya para filusuf dikatakan sebagai orang kafir. Perincian 20 persoalan di atas adalah sebagai berikut : 1.
Alam qadim
2.
Keabadian alam, masa dan gerak
3.
Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaanNya; uangkapan ini bersifat metaforis (Tuhan sebagai pencipta bukan penggerak)
4.
Demonstrasi/pembuktian eksistensi Penciptaan alam (pembuktian tentang penciptaan alam)
5.
Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud (mereka melakukan pengandaian dalam memberikan argomentasi)
6.
Penolakan akan sifat-sifat Tuhan.
7.
Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan.(allah terbagi kedalam al-jin)
8.
Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi.
9.
Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh
140
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
10. Argumen rasional tentang sebab dan Pencipta alam. Tidak ada perubahan yang ada hanyalah penciptaan 11. Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara universal. 12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri 13. Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum. 14. Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya. (bergerak dengan kemauanya) 15. Tujuan yang menggerakkan? 16. Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula.? 17. Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa 18. Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh dan bukan tubuh. 19. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.(tidak mungkin hancur) 20. Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani.14 Tujuh belas di antaranya menimbulkan bid‟ah karena dianggap menyimpang dari ajaran yang asli, yakni Alquran. Dan, tiga di antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia kategorikan sebagai orang yang kafir, bahkan dengan tuduhan yang lebih berat lagi.15
14 15
Imam Al-Gozali, Tahafut al-Falasifah, (Bandung: Pustaka Marja, 2000), h. 55 Ibid, h. 301
141
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
Tiga hal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pendapat Filosof Tentang Qidamnya Alam Al-Ghazali berpendapat bahwa pemikiran para filosof tentang metafisika bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, ia mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Paltonisme muslim, Ibnu Sina dan Al-Farabi dalam masalah alam tidak bermula (qadim), Tuhan tidak mengetahui perincian sesuatu yang bersifat partikular dan tidak adanya kebankitan jasmani.16 Di kalangan pemikir Yunani seperti Aristoteles, alam adalah qadim dalam arti kata tidak ada awalnya. Paham ini juga dianut para filosof muslim seperti Ibnu Sina dan Al Farabi. Mereka membuat beberapa alasan yaitu: pertama, Mustahil secara mutlak yang baharu muncul dari yang qadim dan kedua, Tuhan lebih dahulu daripada alam. Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filosof Muslim. Para filosof Muslim, diwakili oleh Ibnu Sina dan al-Farabi, berpendapat bahwa alam itu azali, atau qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya.17 Al-Ghazali menegaskan bahwa alam semesta ini adalah ciptaan tuhan dan oleh karena itu alam semesta ini bersifat baru al-Ghazali membedakan tuhan dengan alam semesta yaitu dengn keqadimanya dan kebaruan alam, oleh sebab itu wujud tuhan yang qodim menjadi sebab bagi wijud yang baru, dan sesuatu yang baru membutuhkan terhadap sesuatu yang menjadikannya.18 Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II (Jakarta: UI-Press, 1979), h. 65 Imam Al-Ghazali, Tahafut. . . . . . , h. 61 18 Ibid, h. 64 16 17
142
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filosof Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam. Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut para filosof Muslim, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah dari pada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta. Luar, karena kehendak sendiri itulah yang menjadi sumber dari pembedaan itu, than memilih saat tertentu bagi penciptaan alam semesta, tidak ada cara dalam menjelaskan pilihan tuhan dalam hal apapun. Al-Ghazali
menjawab
alasan-alasan
para
filosof
tersebut
dengan
membedakan antara iradat yang qadim dengan apa yang dikehendakinya. Kehendak Allah yang azali adalah mutlak, artinya bisa memilih sewaktu-waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena sebab tersebut adalah kehendakNya sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak lagi bebas.19 Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman melainkan dari segi zat, seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau dari segi kausalitasnya, seperti dahulunya gerakan seseorang atas gerakan bayangannya, sedang gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai dan sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman. Berarti Tuhan lebih dahulu daripada alam dan zaman, dari segi zaman, bukan dari segi zat, maka artinya sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman dimana (tidak ada) murni terdapat didalamnya sebagai hal yang mendahului wujud alam. Mengenai pandangan yang keliru dari para filosof ini, Al-Ghazali mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filosof terdapat dalam ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti 19
A.Ahmadi, Filsafat Islam (Semarang: Toha Putra, 1988), h.216.
143
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam logika. Maka, dalam banyak hal mereka berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan metafisik. Ajaran Aristoteles tentang masalah-masalah ini, sebagaimana yang dilansir oleh Farabi dan Ibnu Sina, mendekati inti pokok ajaran filsafat Islam”. 2. Pendapat Filosof Tentang Pengetahuan Tuhan Mengenai pengetahuan Tuhan, para filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil kecuali yang dengan cara kulliy. Dengan alasan yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu bergantung kepada yang diketahui atau dengan kata lain perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi. Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak gerhana dan gerhana akan hilang. Sebelumnya kita mengetahui gerhana itu tidak ada dan ketika terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi mengetahui adanya gerhana, lalu ketika gerhana berlalu, pengetahuan kita berubah jadi mengetahui tidak ada gerhana lagi. Dari contoh ini bisa menunjukkan pengetahuan yang satu bisa menggantikan pengetahuan yang lain. Tuhan mengetahui gerhana dengan segala sifat-sifatNya, pengetahuan yang azali, abadi dan tidak berubah-ubah seperti hukum alam yang menguasai terjadinya gerhana. Jadi Ilmu Tuhan mengetahui sejak azali karena sebab-sebab yang ditimbulkan oleh sebab-sebab lain yang sifatnya juz‟i. Menurut Al-Ghazali, Ilmu adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat. Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaan-Nya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada yang berdiri di sebelah kanan kita kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka sebenarnya yang berubah adalah kita bukan Dia. 3. Pendapat Filosof Tentang Bangkitnya Jasmani Para filosof berkeyakinan bahwa alam akhirat adalah alam keruhanian, bukan materil. Karena perkara keruhanian lebih tinggi nilainya daripada alam
144
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
materil. Karena itu pikiran tidaklah mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya.20 Pada intinya menurut mereka mustahil manusia dibangkitkan kembali dengan jasad yang semula, sebab jasad tersebut telah hancur dan terurai menjadi bahan makanan dan menjadi bagian dari tubuh makhluk lain seperti hewan, tumbuhan atau bahkan manusia lainnya. Ada dua puluh pemikiran filosof yang disanggah oleh Imam Ghozali. Dari kedua puluh pemikiran tersebut ada tiga masalah yang dianggap menjadikan seseorang dianggap kafir. Yakni masalah keazalian alam, masalah tentang Allah yang tidak mengetahui partikular yang tercipta dari individu-individu dan pengingkaran terhadap kebangkitan raga.21 Kendati demikian, Imam Ghozali menegaskan bahwa dia tidak ingin terlibat dalam pengkafiran serta menilai mana yang benar dan mana yang salah agar pembahasan tentang dua puluh pemikiran para filosof tidak menyimpang. 22 Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan dengan ajaran Alquran. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam Alquran. PEMBELAAN IBNU RUSYD TERHADAP PEMIKIRAN FILOSOF Melalui buka Tahafut Al-Falasifah, kekacauan pemikiran para filosof, AlGhazali melancarkan kritik keras terhadap para filosof dalam 20 masalah, tiga dari masalah tersebut menurut Al-Ghazali dapat menyebabkan kekfiran, permasalahan dimaksud,: Pertama: Qidamnya alam, Kedua; tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, ketiga: tidak adanya pembangkitan jasmani. Sehubungan dengan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali itu, Ibnu Rusyd tampil membela para filosof dari serangan dan pengkafiran, dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku tahafut al-tahafut kekacauan dalam kekacauan, yang menunjukan secara tegas bahwaAl-Ghazalilah yang sebenarnya yang dalam kekacauan Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah................., h. 213 Ibid, 301 22 Ibid, 302 20 21
145
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
pemikiran bukan para filosof, berikut penjelasan Ibnu Rusyd terhadap Al-Ghazali dalam tiga masalah tersebut. 1. Pendapat Filosof Tentang Qidamnya Alam Pendapat filosof bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi islam, sebab menurut konsep teologi islam, tuhan adalah pencipta, yang di maksud pencipta adalah, mengadakan sesuatu dari tiada, (creation ex nihilio), kalau alam tidak dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian tuhan bukanlah pencipta, pendapat seperti ini membawa kekufuran, demikian gugatan Al-Ghazali, dalam kitabnya tahafut alfalasifah. Ibnu Rusyd, begitu pula para filosof lainnya berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada atau kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada. Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.23 Pernyataan bahwa creatio ex nihilio tidak didukung oleh dasar syari‟at yang kuat, disanggah oleh Ibn Rusyd. Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari dirinya, dan kemudian dijadikanlah alam ini. Ini kata Ibn Rusyd hanyalah merupakan pendapat dan Interpretasi kaum teolog.24 Ibnu Rusyd begitu pula para filosof lainya berpendapat bahwa creation ex nihilio, tidak mungkin terjadi dari yang tidak ada (al-„adam) dari kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada, (alwujud), yang mungkin terjadi ialah”ada”, yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk yang lain. Pernyataan bahwa creation ex nihilio tidak di dukung oleh dasar syariat, yang kuat, di sanggah oleh Ibnu Rusyd, tidak ada ayat yang mengatakan bahwa tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari dirinya, dan kemudian barulah dijadikan ala mini kata Ibnu Rusyd hanyalah merupakan pendapat dan interpretasi kaum teolog.
23 De Boer, T.J., Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, terjemahan Arab oleh Abd. Al-Hadi Abu Raidah. (Kairo: Lajnah al-Ta‟lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1938), h. 260. 24 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme, h. 44.
146
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
2. Pendapat Filosof Tentang Pengetahuan Tuhan Masalah yang kedua yang di gugat oleh Al-Ghazali dan dianggapnya dapat membawa kekufuran ialah masalah tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Pernyataan yang mengatakan bahwa tuhan hanya mengetahu tentang dirinya tetapi pengetahuan nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan sebab menurut Al-Ghazali setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak tuhan dan juga setiap yang terjadi di ala mini atas kehendaknya, tentunya seluruhnya itu diketahui oleh tuhan, sebab yang berkehendakharuslah mengetahui yang dikehendakinya, jadi tuhan tentunya mengetahuisegala sesuatu secara rinci. Kalau Al-Ghazali mengatakan menurut para filosof tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, maka oleh Ibnu Rusyd dijawab, Al-Ghazali dalam hal ini salah faham, sebab para filosof tidak ada yang pernah mengataka demikian, yang ada adalah pendapat mereka bahwa, pengetahuan tentang perincian yang terjadi, di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia, tentang perincian itu, jadi menurut Ibnu Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filosof timbul dari penyamaan pengetahuan tuhan dengan pengetahuan manusia, pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh dari indra, dan dengan panca indra ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu, selalu berubah dan berkembang, sesuai dengan pengindraan, yang dicernanya, sedangkan pengetahuan tentang kulliyah, diperoleh melalui akal, dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincianrincian (juziyah) yang materi itu. Selanjutnya, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa, penegetahuan tuhan merupakan sebab (bagi wujudnya perincian) yang tidak berubah oleh perubahan yang dialami juziyah. Tuha juga mengetahui apa-apa yang terjadi dan sesuatu yang telah terjadi, penegetahuan tuha tidak dibatasi oleh waktu, yang telah lampau, sekaranmg, dan akan datang, pengetahuannya bersifat qadim, yang semenjak azali tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, betapapun kecilnya, meskipun demikian pengetahuan tuhan tdak dapat diberi sifat, kulliyah atau juziyah, sebab kedua sifat itu merupakan kategori-kategori, manusia, bukan merupakan kategori ilahi sebenarnya bentuk pengetahuan tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh tuhan sendiri.
147
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
Demikian Ibnu Rusyd berkesimpulan bahwa tuhan mengetahui segala sesuatu, tetapi dengan cara yang berbeda, dengan cara manusia mengetahui disebabkan pengetahuan tuhan menjadai sebab adanya segala sesuatu, sedangkan pengetahuan manusia, yang serba terbatas adalah effek dari pada adanya segala sesuatu di ala mini, yang dapat ditangkapnya melalui indra. 3. Pendapat Filosof Tentang Bangkitnya Jasmani Masalah ketiga yang digugat oleh Alghazali, dan dianggapnya dapat membawa kekafiran ialah pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani di akhirat oleh para filosof, al-ghzali dalam kita Tahafut al-Falasifah telah mengkafirka filosof yang mengatalkan bahwa di akhirat nanti mansuia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani. Pengkafiran ini, menurut Al-Ghazali karena pendapat para filosof tersebut sangant bertentangan dengan ayat-ayat a;-quran yang dengan jelas dan tegas menyatajan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani di dalam surga, atau kesengsaraan jasmani di neraka. Ajaran al-qur‟an dalam masalah ini tidak dapat ditakwilkan. Dalam membantah gugatan dan vonis Al-Ghazali, Ibnu Rusyd bahwa filosof tidak menolak adanya kebangkitan bahkan semua agama samawi mengakuai kebangkitan ukhrowi, hanya saja sebgaian berpendapat bahwa kwbangkita tersebut dalam bentuk rohani, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa, dalam bentuk rohani dan jasmani sekaligus. Meskipun Ibnu Rusyd cendrung berpendapat bahwa kebangkitan di akhirat nanti dalam wujud rohani saja, ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama rohani. Kalupun kebangkitang ukhrowi tersebut dalam bentuk fisik dimana ruh-ruh akan menyatu kembali dengan jasad debagiman keadaanya semula di dunia. Tetapi jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia itu sendiri, sebab jasad yang di dunia telah hancur dan lenyap disebabkan kemtian, sedangkan yang hancur mustahil kembali seperti semula. Para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena meraka menganggap hal tersebut mustahil, menurut mereka unsure-unsur fisik manusia yang telah mati akan diproses oleh alam.proses alam panjanng tersebut, tidak menutup kemungkinan merubah unsure pertama menjadi bagian dari fisik mansia yang lain, dengan demikian jika kebangkitan ukhrowi manusia dalm bentuk fisiknya yang semuala, maka terdapat
148
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
kemungkinan manusia yang dibangikitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna. Ibnu Rusyd sendiri melihat bahw adanya pertentangan did lam pendapat AlGhazali dalam bukunya tahafuth al-falasifah, Al-Ghazali mengatakan bahwa, kebangkitan tidak hanya dalam bentuk rohani, tetapi dalam tulisannya, yang lain pada buku yang berbeda, ia mengatakan bahwa kebangkitan, bagi kaum sufi akn terjadi hanya dalam bentuk rohani tidak dalam bentuk jasmani karena itu, alghazali telah membatalkan sendiri gugatan dan vonisnya terhadap para fisuf, sejarah kehidupan Al-Ghazali menunjukan bahwa ia terakhir adalah sebagai tokoh sufi. Sunguh pun Demikian Ibnu Rusyd berpendapat bahwa, bagi orang awam soal pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam bentuk ruhani, karena pembangkitan jasmani lebih mendorong bagi kaum awam untuk melakukan pekerjaan baik dan meninggalkan perbuatan jahat. PENUTUP Dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan kaum filosof tentang arti baru dan qadim. Baru menurut Al-Ghazali berarti mewujudkan dari tiada, sedangkan menurut kaum filosof kata itu berarti mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan qadim menurut Al-Ghazali ialah suatu yang berwujud tanpa sebab, sedangkan menurut kaum filosof adalah tidak selalu tanpa sebab bisa juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab. Al-Ghazali telah salah memahami pendapat para filosof, bahwa sebenarnya para filosof tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang sifatnya particular, namun untuk mengetahui hal itu Tuhan dapat mengetahuinya dengan pengetahuan tuhan yang sifatnya Kully. Dalam persoalan jasmani, Ibn Rusyd dan Al-Ghazali tidak jauh berbeda karena Ibn Rusyd tidak menafsirkan adanya kebangkitan jasmani dan ruhani, tetapi itu dipergunakan untuk penjelasan bagi orang awam karena hal-hal yang bersifat ruhani jauh lebih tinggi daripada hal-hal yang bersifat materil.
149
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
Kesimpulannya, Kontroversi Pemikiran filsafat antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, bukan terletak pada konsep filsafat, tetapi terletak pada terdapatnya perbedaan anggapan terhadap eksistensi filsafat itu sendiri. Al-Ghazali adalah orang yang menentang filsafat dan menyerang filosof tertentu dengan tuduhan “Kafir”, sementara Ibnu Rusyd adalah seorang filosof Islam yang dituntut untuk membela keberadaan filsafat. Jadi meskpun dari kedua judul kitab tersebut mengindikasikan meletusnya api peperangan antara al-Ghazali di satu sisi dan Ibnu Rusyd, yang mewakili filosof lain. Namun sebenarnya itu hanyalah bunyi terompet pertanda perang. Adapun perang yang sebenarnya adalah perang ide, gagasan, nalar dan pemikiran serta perang dalil. Inilah yang dapat ditelusuri pada ruas kedua tokoh tersebut.
150
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Ibnu Rusyd, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 ___________, Negara Bermoral Menurut Al-Ghazali, Jakarta, Bulan Bintang, 1979. Al-Gozali, Imam. Tahafut al-Falasifah, Bandung: Pustaka Marja, 2000. Azhar, M. Filsafat Politik: Perbandingan Islam dan Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Dasoeki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang: Dina Utama Semarang, 1993 Hadiwijoyo, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius,1980. Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Iqbal, Muhammad. Ibnu Rusyd dan Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004. Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1984 Maqsud, Abdul Ghani. Agama dan Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Musa, M.Yusuf, Bayn al-Din wa al-Falsafat Fi Ra’yi Ibn Rusyd wa Falasifat al ‘Asr al Wasith, Kairo: Dar al-Malarif, 1980. Qardhawy, Yusuf. Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Rusyd, Ibn. Tahafut at-Tahafut, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II. 2010
151