Pembangunan Wlayah Lingkages" "Rural- UrbanEconomic Konsep& UrgBnsinya DalamMemperkuat Pembangunan lhsa lBagianPeilamadari Dua Tulisanl
In.Arvrorulus TaRlcaru") Ir. AntoniusTarigan, M.Si adalah Kasubdit Kelembagaan Kerjasama Pembangunan, Direktorat kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Kantor Meneg PPN/ Bappenas & Mahasiswa Program Doktor Universitas Indonesia Konsentrasi Kebijakan Publik-red
Pengantar Pada dasarnya tidak ada satu teori atau pendekatan tunggal yang digunakan dalam rangka pembangunan perdesaan (desa). Berbagai konsep pembangunan desa yang telah dilaksanakan pemerintah sejak tahun lima puluhan selalu mengalami dinamika dan perubahan serta senantiasadisesuaikan dengan fingkat perkembangan masyarakat. T. Hanafiah (1989),mencatat beberapa konsep dan pendekatan pembangunan perdesaan (desa) yang pernah dilakukan di negara kita dan beberapa negara lain diantaranya adalah : (a) Pengembangan Masyarakat (Community Deaelopment),(b) Pembangunan Desa Terpadu (IntegratedRural Deaelopment),(c) Pembukaan Daerah Baru & Mendorong Migrasi Penduduk serta Pengelompokan Permukiman Kecil, (d) Pembangunan Pertanian, (e) Industri Perdesaan,(f) Kebutuhan Dasar Manusia (Basic Needs- Strategy),(g) Pusat Pertumbuhan & Wilayah Pengembangan (IntegmtedArea Deuelopment),(h) Pendekatan Agropolitan. Paparan singkat ini mencoba mengangkat pengalaman empiris beberapa negara diantaranya Thailand, Nepal, Laos PDR, dan Indonesia dalam mengaplikasikan pendekatan "rural-urban economiclinkages" dalam konteks pengembangan wilayah. Dengan berbagai spritualitas inherennya, diharapkan pendekatan ini dapat menjadi "pcrangka! intervensi lrang cukuP handal" walaupun mungkin "tidak sufisien" dalam mengatasi problema pembangunan desa (perdesaan)di tanah air kita.
J0
- P"r.n""n"un Pembangunan l{o.3(Vtanuad- Maret2fi)3
Pembangunan Wlayah Pendahuluan Latar Belakans Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu upaya kreasi pencerahan yang dilaksanakan secaraterencanadan sistematisserta dilakukan oleh segenapaktor dalam suatu negara untuk mencapai suatu kehidupan masyarakat yang dipandang lebih baik. Cara pandang seperti ini menempatkan pembangunan sebagai instrumen antara untuk mewujtidkan sasaranyang lebih tinggi, yaitu perwujudan potensi-potensi inheren manusia menuju pencapaian eksistensi dalam arti yang seluas-luasnya.Menurut Amartya (7999), pembangunan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses peningkatan kebebasan manusia dalam berbagai bentuk yang bukan saja penting secara sendiri-sendiri, tetapi juga saling mendukung. Pembangunan berorientasi pertumbuhan (growth) yang selama ini diterapkan negaranegara berkembang termasuk negara Indonesia telah membawa sejumlah perubahan yang cukup signifikan. Disamping berbagai prestasi yang berhasil diraih, tercatat pula sejumlah potret kelam yang turut memperburuk citra pembangunan dengan orientasi di atas. Semakin panjangnya barisan kemiskinan, meningkatnya pengangguran, beban hutang luar negeri yang semakin menggila, dan berbagai ketimpangan merupakan hasil akhir yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan itu sendiri. Manfaat pembangunan lebih dirasakan oleh kelompok masyarakat Iapisan atas, sehingga jurang kesenjangan sosial dan ekonomi semakin menganga pula. Orientasi pertumbuhan hanya mendorong perkembangan usaha dan industri skala besar, sehingga terjadi kesenjanganyang semakin lebar antara usaha skala kecil dan mikro (UKM) dan usaha menengah-besar(UMB). Tidak ketinggalan pendekatan sektoral yar,g diharapkan dapat membentuk keterkaitan ternyata telah menumbuhkan ego sektoral yang juga menyebabkan ketimpangan sektoral. Krisis moneter yang meluas menjadi krisis ekonomi sejak tahun 7997 tunft pula memberikan kontribusi nyata penyebab kemunduran berbagai kegiatan ekonomi berupa terganggunya kegiatan produksi, distribusi dan konsurrrsi. Kemunduran drastis berbagai kegiatan ekonomi ini telah mengakibatkan melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power)yang disebabkan oleh berkurangnya sumber pendapatan masyarakat, sementara harga-harga kebutuhan hidup terus meningkat. Sejalan dengan berbagai permasalqhan tersebut, terdapat persoalan yang sebefulnya memerlukan penanganan serius dan sangat penting, yakni adanya kesenjangan antar desa-kota (khususnya antara sektor pertanian dan industri) serta kesenjangan antar daerah. Kesenjangandesa-kota yang selama ini terjadi merupakan salah satu hambatan bagi suatu daerah untuk ikut terjun ke dalam msinstreameconomy.Secara empiris, kesenjangan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : (i). Sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, khususnya kesenjanganpendapatan antara rumah tangga di perkotaan dan di perdesaan; (ii). Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumahtangga atau masyarakat, khususnya pada sektor-sektor ekonomi yang menjadi basis ekspor dengan orientasi pasai dalam negeri (domestik) ; (iii).Potensi regional (SDA, SDM, Dana, Lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi. Pada daerah-daerah yang beruntung memiliki sumberdaya berbasis ekspor, maka daerah-daerahini secararelatif lebih makmur dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak.memiliki sumberdaya yang dapat dipasarkan keluar ; dan (iv). Kondisi kelembagaanyang membentuk jaringan
Perencanaan Pembangunan Ho.30/Januari- MarcfmOf - 3 1
Pembangunan tlUilayah kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Adanya kerangka kelembagaan yang kokoh akan sangat mempengaruhi posisi tawar-menawar dengan pihak pemasok maupun pihak pembeli (Bintoro, 2002).
Permasalahan Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pertumbuhan (grozoth), turut pula memperparah ketimpangan wilayah khususnya antara desa-kota, Investasi ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) mayoritas diarahkan untuk melayani daerah perkotaan yang relatif memiliki pertumbuhan cepat. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai tambah yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari perdesaan. Dalam konteks demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh kota terhadap desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata, sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri. Disamping itu, adanya aliran produk/jasa perkotaan yang harus dibayar oleh masyarakat perdesaan melalui aliran dana/kapital dari desa ke kota. Kondisi ini secara umum dikenal dengan rendahnya nilai tukar (terms of trade) produk/jasa (dalam bentuk dana/kapltal) masyarakat perdesaan terhadap poduk/jasa perkotaan (Haeruman, 2001). Dengan kata lain, dari sisi ekonomi terjadi arus pembentukan surplus (nilai tambah) yang cenderung eksplotatif dimana desa menjual produk mentahnya ke kota dengan murah, dan selanjutnya melalui proses pengolahan (off-farm) kota menjadikan desa sebagai Pasar dengan margin harga yang lebih besar. Belum lagi jumlah kredit dan pinjaman yang disalurkan ke perdesaan jauh lebih kecil dari jumlah dana yang ditabung masyarakat perdesaan melalui perbankan, sehingga yang terjadi adalah subsidi desa terhadap kota. Permasalahan lainnya yang cukup menonjol adalah pembangunan perdesaan yang selama ini sangat kuat bernuansa modernisasi yang dikombinasikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar. Dalam konteks tersebut desa dipandang memiliki karakteristik keterbelakangan yang sebenarnya lebih merupakan "visi kota", dan dalam upaya mengatasi keterbelakangan ini dominasi peran negara sangat dominan lewat jargon "pembangunisme" (IJsman, Hastu P dan Bayu Krisna M, 2002). Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Propenas, Bab IX Pembangunan Daerah dengan tegas menyebutkan : sebagian besar masyarakat perdesaan saat ini masih berada pada pola kehidupan dan budaya perdesaan yang mengandalkan sumber kehidupan dari pertanian subsisten atau buruh tani yang pendapatannya tidak pasti dan rendah. Disamping itu, kehidupan sosial ekonomi masyarakat perdesaan relatif tertinggal dibanding daerah perkotaan yang disebabkan oleh lapangan kerja dan kegiatan usaha yang tidak kompetitif dan tidak memberikan pendapatan masyarakat yang layak, kondisi pelayanan pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, rendahnya tingkat pelayanan Prasarana dan sarana permukinan, adanya penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh kelompok pengusaha besar, serta peraturan-peraturan yang menghambat. Pertentangan dan ketimpangan antara kawasan perkotaan (urban area) dan kawasan kawasan perdesaan (rural aren) tidak saja terjadi dalam tataran praktek operasional namun juga telah merambah kedalam tataran teoritik - akademik. Di satu sisi, fenomena terjadinya "pemihakan" yung berlebihan terhadap upaya - upaya pembangunan kawasan perkotaan secara akademik telah diklaim oleh Lipton (7977) sebagai urban bias, yang nota
J2
- P"nn"un ^ Pembangunan No.30/Januari- Maret2fl)3
I Wilayah Fembangunan bene telah banyak merugikan penanganan kawasan perdesaan. Dalam konteks Asia, Fu-Chen Lo (1981),menegaskan bahwa permasalahan dan penanganan perkotaan dan perdesaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mengambil contoh kasus kemiskinan, Fu-Chen Lo melihat bahwa kemiskinan perkotaan (urban poaerty) ternyata berakar pada kemiskinan perdesaan (rural poaerty). Kesadaran tentang perlunya keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan pada giiirannya melahirkan pemikiran rural-urban linkagesyang secara teoritis bertujuan untuk mendorong kegiatan masyarakat di kedua kawasan tersebut dalam kesatuan sistem ekonomi dan sosial yang saling menguntungkan. Walaupun pemikiran tersebut secara tegas telah diartikulasikan dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), tantangan kedepan adalah bagaimana mewujudkan keterkaitan ekonomi tersebut yang ditandai sejumlah indikator diantaranya terbangunnya akses ke pasar, penguasaan informasi'& teknologi, jaringan pemasaran,berkembangnya jaringan kerja produksi, pengolahan dan pemasaran, distribusi input, modal, surnber daya manusia, sebagai prasyarat kunci untuk membangun perdesaan. Beberapapertanyaan fundamental yang sering muncul dan mendesak untuk dijawab adalah antara lain mengapa keterkaitbn mengalami pasang surut, siapa yang mendapatkan keuntungan maupun kerugian dengan adanya keterkaitan itu, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perubahan, hubungan antara faktor eksogen dan endogen dalam sebuah perubahan, apakah wilayah yang memiliki keterkaitan lebih baik jika dibandingkan dengan wilayah yang tidak terkait, bagaimana upaya-upaya agar keterkaitan tersebut meniadi semakin baik.
Pengedian Desa & Perdesaan Pengertian desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan ailIage, d.an sering pula dibandingkan dengan kota (townlcity) dan perkotaan (urban). Perdesaan (rural) menurut S. Wojowasito dan W.J.S Poerwodarminto (1972) diartikan seperti desa atau seperti di desa" dan perkotaan (urban) diartikan "seperti kota atau seperti di kota". Berdasarkan batasan tersebut, perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat, sedangkan desa dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial. Dalam kaitan ini suatu daerah perdesaan dapat mencakup beberapa desa. Menurut Roucek & Warren (7962), masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) peranan kelompok primer sangat besar; (2) faktor geografik sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat; (3) hubungan lebih bersifat intim dan aweq (4) struktur masyarakat bersifat homogen; (5) tingkat mobilitas sosial rendah; (6) keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonorni; (7) proporsi jumlah anak cukup besar dalam struktur kependudukan. Pitinn A. Sorokin dan Carle C. Zirnrnerman (dalam T. L. Smith & P.E. Zop,1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desatan kota, yaitu mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, differensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dan solidaritas sosial.
llo. 3(V lanuari - Maret 20OS PerencanaanPembangunan
-
33
Pembangunan Wilayah Egon E. Bergel (7995) mendefinisikan desa sebagai setiap permukiman para petani. Sedangkan Koentjaraningrat (7977) mendefinisikan desa sebagai komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat. Paul H. Landis (7948) mendefinisikan desa menjadi tiga menurut tujuan analisis, yaitu: (1) analisis statistik; desa didefinisikan sebagaisuatu lingkungan dengan penduduk kurang dari 2.500 orang (2) analisis sosial-psikologik; desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan bersifat informal diantara sesama warganya, dan (3) analisis'ekonomi; desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan dengan penduduknya tergantung kepada pertanian. Berbagai pengertian tersebut tidak dapat diterapkan secarauniversal untuk desadesa di Indonesia karena kondisi yang sangat.beragamantara satu dengan yang lainnya. Bagi daerah yang lebih maju khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali, antara desa dan kota tidak lagi terdapat perbedaan yang jelas sehingga pengertian dan karakteristik tersebut menjadi tidak berlaku. Namun, bagi daerah yang belum berkembang khususnya desa-desa di luar Pulau Jawa dan Pulau Bali, pengertian tersebut masih cukup relevan.
Rural-Urban Linekases : Isu dan Konsep Desa dan kota mempunyai peran yang sama-samapenting dalam pengembangan ekonomi suatu wilayah. Jika peran desa dan kota tersebut dapat berjalan dengan baik, hubungan keterkaitan (ekonomi) antara desa dan kota dapat tercapai. Pentingnya keterkaitan desa-kota ini dalam jaringan wilayah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dikemukakan oleh Mike Douglass (1998) melalui konsep Agropolitan. Konsep ini menekankan bahwa pengembangan desa dapat tercapai dengan baik apabila desa tersebut dikaitkan dengan pengembangan kota dalam wilayah tersebut. Fungsi kota lebih dititik beratkan sebagai pusat kegiatan non pertanian dan pusat administrasi, bukan sebagai pusat pertumbuhan, sementara itu kecamatan (district) justru yang memiliki fungsi sebagai unit pengembangan. Isu tentang keterkaitan desa-kota sudah lama mendapat perhatian kalangan analis pembangunan. Isu tersebut muncul sejalan dengan kenyataan empiris akan ketidakterpisahannya keterkaitan antara desa dan kota yang juga mencakup masalah urbanisasi. Keterkaitan tersebut semakin meluas di berbagai level, baik antara desa dan kota itu sendiri, maupun antara kota kecil dengan kota besar, antar desa, dan antar kota yang merentang di dalam satu negara maupun antar negara. Keterkaitan antara desakota antara lain terlihat dari realitas bahwa penduduk desa menjadi konsumen barang dan jasa pelayanan perkotaan sementara masyarakat kota juga menjadi konsumen jasa dan barang hasil produksi perdesaan. Terlepas dari banyaknya kritikan atas pola keterkaitan yang terbangun, interaksi antara desa-kota bersifat saling menguntungkan dalam suatu iklim sirnbiosis mutualisme (Lo & Salih, 1978). Lebih lanjut , Lo & Salih mengelaborasi bahwa dalam perekonomian yang masih sederhana, masyarakat desa cenderung memproduksi dan menjual hasil pertaniannya secaramandiri ke wilayah-wilayah sekitarnya yang relatif berdekatan. Mereka juga dapat menjualnya kepada para pedagang yang kemudian menjualnya secara langsung atau dengan sedikit pengolahan ke berbagai pasar, baik pasar lokal maupun,pasar yang jauh. Sebaliknya,petani di wilayah pedesaanjuga membutuhkan barang dan jasa yang tidak bisa dihasilkannya sendiri, seperti sabun, minyak, atau pada tingkatan perkembangan yang lebih tinggi, kendaraan bermotor, pelayanan perbankan atau pinjaman keuangan.
o/, Pemcanaan PembangunanNo. 30/lanuari - Maret 2fi)3 J'I
', ',i.;i;.,:i,',:i:i.;. '.;ti;i iilr;:.'::.lij j
Pembangunan Wlayah
a:
Dengan demikian, pola interaksi antara desa-kota serta dasar interaksi (kebutuhan) yang melandasinya selalu bersifat dinamis, bergerak dari waktu ke waktu sesuai tingkatan kemajuan suatu masyarakat. Keterkaitan tersebut digambarkan oleh Mike Douglass (1998) sebagaimana yang terdapat pada pada tabel 1 dibawah. l-.rlx l i . [tcterl';rit ;rrrcllr': I nl c r Llulr*n,ch:nri l' f .)cse-li nr ;i, irrrll\i
lil,(rr
-iiir:i l ri r';;i1: : ru::rp,:r::r',i. i,1at,*:i;i,;.,,, i ii,i,:i illrii
Irrtr:rtlrlrr:rrilcrrsi
- **r
4-*
i ] r : i , ; n ; rj i ! a : ; ii r f r ' r ; i i t ; ; 1 tr tl i ; r q ,rr1 ' . 1i 1;j 1i
i ) r ' i : 1 ! ' . r :;' r' i i : r r : 1r i t ' : , : , ,: t t ^ ; " ' fr ' i , t i i i i i l t i l t , n . r , t i i i l t k ' , l r i 1 " . r t ' " . r i , , r r ri t i . : l; i i . l . :; Li rt d i l , l l;
* lriFrrl ttr"itti',:i*i - ; l n . t f r : i lr I i ! l l ; i r ' . i ,: it . ir r f r 1 " , " t r i i * i : .f l , . - I . .l t ' , i r r 1 : i .iri i : r f : : ; i - J i t i ' , r . n r ; ; lli4 l r: , r : i l , : r r - . : ,1. ,i , il,,ri,tl,,si 'iitlr,t'",.,ii
-
1ti(]l 1;
{-}
i i
l:i{)lrll jq'li ';i '
l : o t , . . i rr! i i i t r l r - 'r: i l i . " , r ';rl , t l i . r : I
- l],r1;rr",;irr:r 1:,rir,r,l . l o t ' i . i r , r , r r . r i : ri i i i . r l r . rl . tr: r t . : r r : i r r i l r l r i . : , l t t , ;rrl'l i tl.r:i;irl:r: i r:i:.tr';r",i i : r t l : : r t r : l r i : i r ; i . . : .l,i l r ' t r':j,.: { i l l r ' ! ) l i : } { l ' i i. } h ; i I " t i , 1 t 1 t r : t l . r e l l r ; l r i i ; l i i * r l r rr : ,iljrii.:r'i;r lil.!L.il{ r"t.;r:r iirr;
- lii ilrinrkr.r-rrilt'l,r , in:;crrtii lrr'r'rJr"rhr:i - I tun.t.iirlili,r.rr *.1;r:r i<.irpr
:,., -fd;;i$;t; *1 ;ii"in ; ;',:r'ir.ipi ill,;..;-
ti;;;"i;;;i;,rr*i,i': :'"i,lr:r.,ii,i,,r,i ir: 1,,'r:ri,,ii -
l;lrrrgsi [.],rr*
il;;ffi"i.;;"l';ffi,rfrli'.',,,,,',
-
i ;Ji:rrr rrii:,::;l:rr.ii:,'-It Ir'r l:-riiit ;r;rrr i. Llr,.r i'"'ir . . i . , , , , : i i l : , . r Iri r r n , ; r ; : 1 1 { . t l i i i
- . l ; t r L u i i l . , r r i r r g - lr i i i r ) - [ r r ] , r t , 1 r j i r r i r j nl:rtlt'1.:r',arrrl r
"i'lt r;m il;;;;;iil;;;i ryil j ;','ri"rr:,;,r
.t.....-.............1
-i ii;:;ii I
j irlrl.iii,ul;,r:rr,,,,ir:r,,i:r,,i*rr;-ilf"rr..,., 1
t l ( " : ' l I ; l \ l 1I ( ' 1 ] i l l t -r,i i i l i i , , , , l
,1,t:r i'. r:,1-,,J,1; ,il iij :l'l::ll
Keterkaitan antara desa-kota juga harus dipahami dalam kerangka berpikir ekonomi Politik sebagai suatu hubungan vis a vis: budaya asli versus budaya kolonial, budaya maju (kota) versus budaya terbelakang (desa), dan sebagainya. Struktur tersebut mengalami Perubahan akibat tuntutan diversifikasi, spesialisasi,serta difusi inovasi yang melanda hampir semua wilayah. Klasifikasi antara wilayah desa dan kota sangat penting dilakukan untuk menentukan jenis intervensi apa yang akan .diberikan. Kedua wilayah tersebut memiliki interdependensi yang tinggi dalam rantai keterkaitan permintaan dan penawaran. Di samPing Pertimbangan ekonomi seperti sudah diuraikan di atas, keterkaitan antara kedua wilayah tersebut juga penting untuk mengatasi masalah urbanisasi yang memiliki implikasi Politik. Karenanya, keterkaitan desa kota tidak sekedar membawa implikasi ekonomi tetapi juga dampak politik. Untuk memPermudah pemetaan keterkaitan desa-kota yang sangat kompleks itu, terdapat beberapa jenis keterkaitan sebagai basis analisis kuantitatif dan kualitatif. Keterkaitan fisik seperti jaringan jalan, irigasi, atau jaringan transportasi dan komunikasi lainnya berkaitan dengan hubungan ekonomi (konsumsi dan pelayanan). Rondinelli (1985) dan Kammeier & Neubauer (1985) menjelaskan tipe keterkaitan tersebut sebagaimana yang terdapat pada tabel,2.
Perencanaan Pembangunan tlo.3(VJanuari- M arAZnS - 35
'I
abcl?r K*terklritr$I"jrn*r*f]*cir-K*ra$eFa*ilit**TerXx*it di Fusrt Kota
'I'Jpe Kt'arr&a.ilarr I, lirt*rh;rit;selisik
;1,ilrt*r.lt.tit*r
J';li;r.r:s Arr$hrnron heror**pi ll#** trxllt;nl Iaripud E1:.rd#gir ilt t,lrri*pr:trt'llri
tLunrxrri
Ptrls1r'3'11 r\llr.rn hdm lxenhrh *+:t b*tr$e xntlra It,l ttrilaitxn psxluir:li F,lll h.r,::r:fi^r,ttlst d*ll luliutprr *lisr$ gnrr.!;ilijarl Sttr{trpr{tii Aiir;rrr lcr,;;radit:;rs ssfolr:rd,"k* . interre,qir,rn:t.l Kurtr&*i*n sil*r,r
$d*l:rBitnsr 3. Kstfi'kr;?cul1 Ft:nriu{rilr
Iirtl* rnitrlrcr:i Fulirlr.mn&rlrrqr;rr 'hrt rJl
't, li+t*rh*lirrr Trkn
ir
ir!loriie:!1r*t'+r)*i T'lhr:;rlrgi $iile*r kigxri $ir*rn TclkLrm. F*l:l kun.juntr;r.* Prri* KekalrJux$r i(i*rr, ritr;;rl"lk*ivr*n ,*fi$ar Li:i*r;rkvik*& Nttprik rrrqir:l AliL*$. .drn j,rri$Srs.
5. .Kctrrhrirani:rtsr,lkri k-l*r,i|3
*, ltdftrtfi pstrnva*;rn
(tr*gl:,1
kreriitclsn J;rrin6an Il*::tr*rirtl Kct*rir;Lt*rrrerlrlir.iirksri. *!arl*k:;t**:sl trr*ilt:ih.tn iii+trxnptl;ry,tnrn ir**-hsrrn fnl: 6r:1ll,urs* prr:{*ri<xr;J. F.r.,*:*rri;rl dr* r;rlinill. Tip* li*trrtnil.*n 7. 5.**rkdt*x ?r:liiiXl Arhnirr.irrr;rt*f,r}lilr{".:rgi,ril1$ri{rr*l
lincifitrr LlrnurnKotr.
Iil*mrn
f,lerron
Iie*ilin* l{S**usuntuh.}r*r[rniurr, nurnuf*ktus*drn ftng*itnhxl l\rr*r i*o
. Akr*s {icliitrr*:h.:r**pjal*n n:***!* efa* lLc{rrk;arLru i::tr;r rl*ll in[#i rific*r t&ryikuta Sli*ir,m l'"tt *ul, rxmrnil. " &ktc* ru*nuiu ftrtrr:haitrn rr*nrprr,ni hi.t"trxJrhuhao,[ic.nd,rr*. unlrx {irtjsr*, I*rrr. dar*t}
!l*r,tr l:;rdrfi hrlrrs*$lri il,la:px*cnl*n.utr&
WI{*pr:r*u.prrt:rnl'm
" ^ Airn peniuehn.;Igrc xkrp,,rr-i.r*10r'r - hrxrlirrspcal'c.li ur: inpur pEflilnliirl " i:ari$itr,i pu*:lr*li*n rl;rlr 1xr:rw*urn perrirue'rper-rrnian , (hrrltr hr*dit rinr*k rr**b:r f'rrjrtlrrliiit ri;n *r*Xr"rkmit l.rir:.n-vr
{: F:rilir.u !r*nsp':irrari 'll*ruplr !:,lmwat*n,l*n 6rrlrri{r*n $;ur:"rrirnl;;n prh $ rlnn T FlniIiurvk*ru*rr*t* Grrrnl:l,enr"tiid"rlxh +!rhrlg: X"*i;ilit:*; Suxfuilt H*r|rr:r.*,lk.lu.l:r F*ilitat rnpl* ***r$i
llllMJ $i.n:rik"dtp+r FrtrtiIil*rlr+rrrxgan, inr,fi*rasidslr fidrlilrrhxn $*hrd:rli Rrutr*h*ktr. klirrih $*siiit*su}frtrmdm pi.rr M*sJir ru$iiiia $*tilit lx'rlr*.rnrr:ri:rri
N";r, Iiamr ri*::gan l).:iin 3 riru: fi -.I-icl*k"rrln hrilit*q h*:u*li untuk ri:*srlruhi pvnril.*r*;arld*r* yr*g mn*ingk;u
" .{vplx**tx*girlm lxilit"rr hhu*** rurar*h &n r*;rq*fatrill Jxng;il*hxn yrrrt;t*hn - I\uilir:xne&*lsh leh:rr*s il;ln.;:el:* ihrli $rrfiitltHn.
linrititlri Faiili.taxllhucgx ufltuk |}crt:*trirn. Uluttm Kstl rurnu{.tk1ntn.rlo*.llnlg*lnbm l}*rtwi*n (.hrrrn;t* iirn ;rgx-n ;qe:r. K.t.t!e$r {rltinai ke{fttrl}f rrf,li,}r p{ln,fi i!:!iM. suh-n*xir:rrnl (odminisrr*rloKthu*;*nm, l(*sr:la*trn,. Ilrtinri*srr*rr.. pe;rt*likxr;r:u,
Kfi erh.;i**rr str*l*tr.rt;.rl rt-irrafi relsti;irirt 'Rl1rr'ifltsh llrr*rrirpi.";rrlux* Fff*n*:it$l!rifi! rrr;iijll.!tijrrr lrupfunr**t;uii) .li;un*rSu;ang ii,rls o{li rtt;rlr" $*rikrtllunr.h ;:*irlurtrl*rr-sLlpervi,ri lirrl+lr.rn**ltsirlrt*t ilur;rJil**l .p..:lisi iuri*s.lak:ri it xtai kxpurus.:ur p*triri& trllttrlilSl
tipe keterkaitan di atas didasarkan pada pendekatan "l-Irban Functions in _ flasifikasi Rural Deaelopment" (UFRD): Keterkaitan tersebut terkadang bersifat satu arah seperti keterkaitan ekonomi atau fisik, tetapi bisa juga bersifat tausal seperti keterkaitan transportasi dengan jasa transportasi, produksi, dan fasilitas penya;paian jasa. Tipe keterkaitan juga berkaitan dengan tingkat kemajuan suatu masyarakat. Pada saat daerah yang relatif terbelakang masih mengandalkan keterkaitan konsumsi dan jasa tradisional,
- PerncanEanPembangunan l{o. 3{Vlanuad - Marct 2flt3
Pembangunan Wilayah
Padadaerah-daerah yangberuntung memiliki sumber dayaberbasis ekspor, makadaerah-daerah ini secararelatiflebihmakmurdibandingkan yangtidakmemilikisumber dengan daerah-daerah daya yangdapatdipasarkan keluar
wilayah yang sudah maju lebih terfokus pada keterkaitan produksi dengan keterkaitan ke depan (forward lingkage)dan ke belakang (backwardlingkage)yang kompleks. Sementara ifu, keterkaitan finansial akan melanda semua wilayah bersamaan meningkatnya proses desentralisasi (otonomi). Bersamaan dengan dinamika pembangunan, keterkaitan desa-kota mengalami perubahan substansi dan bentuk. Karenanya selalu terdapat berbagai variasi keterkaitan, baik di dalam suatu wilayah, di dalam suatu negara, maupun antar wilayah dan antar negara. Hal itu sangat bergantung pada faktor pembangunan sosiaf ekonomi, dan politik di wilayah bersangkutan. Untuk itu, keterkaitan perlu diperlakukan sesuai kondisi suatu wilayah tanpa perlu menerapkan generalisasi. Keterkaitan desa-kota perlu dipahami dalam suatu rentang wilayah yang relatif tanpa batas. Karenanya, para analis pembangunan tidak perlu lagi membuat dikotomi antara pembangunan desa dan pembangunan kota. Demikian halnya dengan pemahaman yang komprehensif tentang dimensi ekonomis dan finansial, spasial dan sosial, serta dimensi-dimensi relevan lainnya dalam pembangunan regional. Semuanya harus diperhatikan dan diperlakukan sebagai satu kesatuan. Kecenderungan lama akan pengkotak-kotakan analisis perlu segera ditinggalkan. Dengan memperhatikan kompleksitas tersebut, maka upaya pembangunan desakota harus mengandalkan pada kekuatan sendiri. Metode analisis serta perencanaan dan implementasi yang digunakan haruslah cukup sederhana agar bisa dikelola secara mandiri. Beberapa metode yang berhubungan dengan keterkaitan antara lain dapat dilihat pada tabel 3 berikut (Bendavid-Ya1,1983;799L:29-43).
Percncanaan Pembangunan lto. 3UJanuari. M aTAZWS - 37
Pembangunan Wilayah ,:llt:'
l. ,ir.ri,rli:;r"c i r : t * l r u r r ] i r k l i r n p r i r * l r " i i , l t i , , t . , r i ' , t . , i i t j t ( l ' r ) t r ( ) r t r r, l . r ' r rt * , r l i t ' ; f i irr-'irItlluu'!.n lrir)t ;i].
\'tr:"i,r:l I r:"Lx5l .jtrrili:r..'li:r1.+:;l(t1j}ili .ilr11jlr5,.{j il:rrgsrrrir;ri:l1t-j *rr.s I| 1'rnrukint":'n,'1crlg;rn|x'..l:,.rg.l.i"i1411'iip*|le!,t)uJi}'rur"rpiliJ:rlrcr>cakrtntu i t r t ' r : q q t t n , t l , " , l[t*t] i t t i i s r ' , ; r r r , :
kuputr:l,rn i lx"rll:r1r11i),r,1
$lilrlrtir':r:t'L,l,rn I lLilrii,; $i;rI r,riit;n"
il"*iJ'
Kild;r*i"iii"^
irr!rrrrii'rllip.rli.tl:]li..,,i.t\'lrtgt,lr:eili;tL.:lriukl.,*ll1ir.t1t'tli'u*:r .$:LrJli!,:"j(i|'1t|,Ltsl1:i:t;tl;"L'.lrrris:liln'ti;'t)'':;il:rl;1i
inLrrrt:;:si',',trrsl.,;lili
,'\ljlrLrih:rKrrt,r'h,lir;rn i. 1:.,1!t\:tiin,iil
$rr:olii.t'rrr;r1q irnilr;*l pqfrlli,ll:r.i,idrn t,i:tllirj.'r{:tl
: prrntinrt"r'trr ,t)t;rr lr:rttli
'rr'ilttt...lt
prtr;rL'.
l
^,tlrr*o;5iiir,r, t ;tttr'1.,,t:,.rtttj^ ",rr:r{ir li n i ut rgi rrrJ h l nr.'r! t ;lrii1.., r: l r.l,i ii;t: ilrdrp,ri:Irtfrt t ri,;lt rt.lrttlirr r.ir:;. * l i . q ' r , r : ; i : . ;.rr . i r rri : ; : s tr ' , t : i
1 .ljs.(r' rr 'l ]t lr| ;. r i: r tl .' tl l: ti; l. lrbLL) llri ri li1, ' tur tl "i :i l rr '.]it| :1l <
i
I
.li.,.'r 'i,';i,vr'.rrr,rui{,} j:;lli*ltrr^,!r;:f,.ii"1)) :trrit;tglrh*s,is. unruir ttr,:ilisuk rucnli.nll:lr'r:rln;;1..;ilt.tr.n ir:'rl:Li,rli"rt lsotr hqt:il)j;ulg'h*r$'. 'l;lring,lrr
j:r.4lr Llr:;c,hxt Lit:',',lrtnt:rurr;tkrrilrnqi.rn, irttrgrrl d;rr'lriirr.:isi
ir:li.rrrttal . ' . . t: t t ' ; . i : tf , , , l it i k , i . r r : r . 1 ' 1111. r, i : , 1 5 i !r*grIt.'ilurrli,rsil,rn tl,r:rhlrrir,ilriinrtitusi,.:rt,rl-lr,rlil,trt nr,r:;r-itini i ' . r i : Xl r r r r i i ; r t r : l ' , : r : : i ; l ] trrnr?.r,i?11 r t, n . , "1i tt , t . - iiri:ir.iii,lrr ii;:r irlrrrFtl.r F * t , r l : , , r , , t t ' , i , r nt t i r r i ; r ' t . i c , t n 1 1i : r , : r r . i , r - . . , t . lrsl i{;:i tur ' . r l i , r i t ; "t ,i e I r l r ' . l r : r r i; : l i r , r : o r
Metode-metode di atas disusun dalam bentuk "Tool Box" dengan teknik analisis yang mudah diterapkan. Kecendemngan orientasi kebijakan juga diperhitungkan seperti desentralisasi,kepemerintahan dan pengentasankemiskinan. Metode tersebut juga semakin menuntut para perencana pembangunan untuk memperhatikan aspek spasial dalam pembangunan yang cenderung mengabaikan keterkaitan antara desa-kota. Dengan menggunakan metode-metode di atas, tekanan harus lebih banyak diberikan pada aspek permintaan wilayah desa.Hal ini berkaitan juga dengan daya beli dan perilaku sosial dari para pengguna jasa serta permintaan akan barang ekonomis yang disuplai oleh pusat (kota). Dengan memperhatikan kelemahan tersebut, maka keterkaitan desa-kotaperlu disertai dengan langkah CapacityBuilding (CB) sg6rtrimana dipromosikan ILO dengan IntegratedRural AccessibilityPlanning (IRAP) yang berhasil diterapkan di beberapa negara
J8
- P"rtn"un""n Pembangunan No.30/Januari- Marct2fl)3
Pembangunan Wilayah Asia. Terdapat 4 elemen kunci dalam pendekatan tersebut yang menggabung antara (1) perencanaan tingkat lokal, (2) penciptaan lapangan kerja, (3) CB bagi usaha kecil, dan (4) pemeliharaan berbasis lokal (ILO-ASIST, 2002).
Strategi KeterkaitanDesa-Kota Salah satu tujuan pembangunan perdesaan adalah mempercepat kemajuan kegiatan ekonomi dan industrialisasi perdesaan, dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan, penyediaan bahan pangan dan bahan lain untuk kebutuhan konsumsi dan produksi melalui : keterkaitan wilayah perdesaan dan perkotaan. penguatan Pengelolaan ekonomi lokal. serta peningkatan kapasita lembaga dan organisasi ekonomi mas]rarakat perdesaan. Sementara itu pembangunan perkotaan berorientasi kepada peningkatan kualitas pelayanan kepada daerah sekitarnya, perdesaan dan kaitan dengan sistem ekonomi nasional dan global yang menjamin kelangsungan hidup ekonomi lokal dan kesempumaan fungsi ekonomi nasional dalam mensejahterakan masyarakat umum. Didasarkan pada tujuan tersebut, dalam strategi pembangunan perdesaan harus memprioritaskan komponen-komponen pembangunan yang meliputi : (1) prasarana dan sarana sistem agribisnis; (2) pengembangan industri kecil dan rumah tangga; (3) penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat; (4) pengembangan jaringan produksi dan Pemasaran; (5) penguasaan teknologi tepat guna; (6) pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Disamping keenam komponen dalam program prioritas tersebut, secara khusus pembangunan perdesaan harus juga menekankan pada upaya peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok masyarakat dan keluarga miskin secara terpadu dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin. Herman Flaeruman (2001) menjelaskan bahwa adanya desa dan kota dalam perr,r'ujudan daerah merupakan dampak dari berbagai kegiatan sosial dan ekonomi yang terbentuk dalam suatu wilayah. Desa sebagai pusat produksi dan kota sebagai pusat pelayanan dan pasar. Dalam upaya untuk mengembangkan keterkaitan desa-kota diperlukan tiga tahapan, sebagaiman digambarkan dalam gambar-1.
PeencanaanPcnrbangunanllo. 3Ulanuari - Marct mo3 - J!
Wilayah Pembangunan '.
r,,t
t
i"l
i:'
ll:
:;r
:
, : i , , , r i irt, : , ' . , : :
r1,iri1;rjt.l)('rir:i;;,;til.i,rl,iut.lt"r'igil':titlt:lIililt-lrt,l,lih"l)lii
l-.)'":*rr
I dr'"rp;m : h : r 1 r i t r L li lJ*rr;r
l r t r t l r r : t t l ; t r : r : r r r{ [ t ] , l i K . : r r r i t r ; r ; u{rP l t l
K.r1:itrrl I i)rrrrt
l l ; r l , i r S , r i n i 4t l ) $ l
$lttl,::'ipi;llirrrr A rrrn [Jalil; : , i : r t t l t r ' ' . r1 . , 1 ' " r , t l r r r , : t j : t irl i.lr t ; f " - ' ' l r r l "l .. t r r r : i *li.r,r, * i , r t r r l , r l .' .. i . , . r , l . r r r1 . , , i . r ] . . ' r j r ! l ' . r r l ir l ; r t !l l i - ' , , t i r r ' j ' : ' J i ' 1
Secaratradisional hubungan desa-kota diindikasikan dengan adanya aliran produk/ jasa perkotaan yang harus "d7bayar" oleh masyarakat perdesaan melalui aliran dana/ kapital dari desa ke kota. Kondisi ini secaraumum dikenal dengan rendahnya nilai tukar (termsof trade)produk/jasa (dalam bentuk dana/kapital) masyarakatperdesaanterhadap produk/jasa perkotaan. Pendekatan KDK diharapkan dapat menaikkan nilai tukar produk/jasa masyarakat perdesaan melalui : (1) upaya memindahkan proses produksi dari kota ke desa untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk/jasa yang dihasilkan oleh masyarakat perdesaan melalui bantuan modal, sarana produksi dan pelatihan; (2) memperpendek jalur produksi, distribusi, dan pemasaran produk/jasa masyarakat perdesaan untuk mengurangi biaya ekonomi tinggi melalui pembentukan satuan partisipatif bagi pengembangan produk/jasa secara spesifik. Jasaini dibangun di perkotaan; (3) memberikan aksesyang lebih besar bagi masyarakat perdesaan terhadap faktor-faktor produksi barang/jasa seperti modal, bahan baku, teknologi, sarana dan prasarana. Hal ini akan merangsang SDM di perdesaan untuk lebih produktif dalam mengembangkan usahanya, sehingga desa memiliki daya tarik untuk investasi produksi dan tenaga kerja. Disamping itu adanya dukungan informasi khususnya informasi pasar. Lebih lanjut Herman Flaeruman (2001)mengelaborasibahwa berdasarkan kondisi obyektif masyarakat perdesaan yang ada maka upaya implementasi Pendekatan KDK tersebut di atas memerlukan adanya bantuan mediasi, fasditator, dan katalis untuk memdampingi masyarakatperdesaan.Agar segenapupaya implementasi dapat dilakukan secara terintegrasi maka secara empiris dibutuhkan 3 (tiga) tahap bagi pemberdayaan masyarakat perdesaan sebagaiberikut: (1) tahap pemberdayaan kelompok masyarakat perdesaan; (2) tahap memitrakan kelompok masyarakat tersebut dengan pihak Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK); (3) tahap peningkatan daya saing bagi
No.30/tanuari- Maret2(X)3 40 - F"."n""n""n Pembangunan
Fembangunan Wlayah kesinambungan dan bagi pencapaian kelayakan komersial dan usaha bisnis lokal yang telah dimitrakan tersebut. Tahapan implementasi KDK ini dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan potensi masyarakat yang ada. Sebagai contoh, untuk masyarakat di Pulau Jawa dan Pulau Bali, tahap implementasi relatif dapat langsung diterapkan pada tahap kemitraan fungsional atauapun tahap peningkatan daya saing. Dengan telah tercapainya kelayakan komersial dan kesinambungan kebijakan dan kelembagaan pengembangan ekonomi lokal, maka akan dapat menaikkan 'terms of trade" produk/jasayang dihasilkan masyarakat perdesaan terhadap produk/jasa perkotaan. Kenaikan "termsof trade"produk/jasa perdesaanterhadap produk/jasa perkotaan ini dalam kondisi riil adalah terciptanya arus balik dana/kapital dari desa ke kota menjadi dari kota ke desa. Sejalan dengan pemikiran tersebut, berdasarkan pengalaman penulis dan rekanrekan (Konsultan di Bappenas) dari tahun 7gg8- 2002 khususnya sejak menangangi proSram-program pembangunan perdesaan melalui Biro Pembangunan Dati tr dan Perdesaan (Kerjasama Bappenas, UNDP, UN-Habitat, ESCAP, FAO) memotret Keterkaitan Ekonomi Desa Kota sebagaimanayarrg terdapat pada gambar 2. i ii',:t..:'\..,r:r
Kcodisi
ltrrur
:
' IIir:lr.in $]),1. ' l'ir1iv,,11;n* 5;..)i"l r:rlirrp I }lnirt 1:r.l,,hr'trli\ r lirrrr,iliii llrl;rr tier.r:;:1 | trirfrrrrr,
Perencanaan Pembangunan llo,30/lanuari - M aTAZWS - 4l
''''
Pembangunan Wilayah
,; #i
Berangkat dari kondisi riil di lapang, maka sangat dibutuhkan "Iembagaintermediary" yang berfungsi sebagai lembaga penghubung kepentingan desa-kota. Disamping itu lembaga ini dapat menjadi lembaga kolaborasi semua stakeholders (pemerintah, masyarakat, swasta) desa-kota sehingga semua aspirasi dan kepentingan dapat terwadahi. Dengan kata lain, hubungan desa-kota menjadi dinamis yang ditandai dengan berfungsinya desa-kota sesuai perannya (konkibusinya) masing-masing. Disamping itu, keterkaitan ekonomi kedua wilayah tersebut dapat ditandai dengan desa memiliki daya tarik untuk investasi produksi dan tenaga kerja sedangkan kota memiliki daya tarik sebagai tempat pemasaran. Lembaga intermediary dapat memberikan layanan pengembangan bisnis meliputi (1) layanan informasi; (2) layanan konsultasi; (3) layanan pelatihan; (4) pendampingan; (5) kontak bisnis; (6) fasilitasi dalam memperluas akses ke Pasar; (7) fasilitasi dalam pengembangan organisasi dan managemen; (8) fasilitasi memperoleh permodalan; (9) fasilitasi dalam pengembangan teknologi; (10) penyusunan proposal pengembangan bisnis. Sementara itu, Kawik Sugiana (2001) mengembangkan model pengembangan desakota yang saling bermanfaat dan produktif sebagaimanatedapat pada gambar 3.
I
ll*rNrr itrr it;1il l_t.k*JrtrrIlrd:r l I t r ' 1 11 1l i * 1 i l r r | ; t r r r , r r r , i \ o r r f . r r n r
lJ rttl lt ksi I irt)f ( ;rn i r l
d i lrvr,rd r:s:lrrr
Irrq:onrr hagi r rrrtrulr I jurrdg;r r.li 1:*rrl*su.lur
In(xttrrc lllqi
rrrtnlrh tirxgX;t
P * r t j 1 t : } r r i t r x nk n n s r r r n s i
rli 1rr:rchr"..nrurrrr irltlltrri dj grr:rlcrLIa;rrr
h ;rgi l,i
H**i;ttillr lilerrurlri Nutr -Fittlrr r . t iK o t r l l t : s * r , K r : r : ; r n ! : r t r r r , P tr dt.s;rrtrt
l r r t r r r i r r t ri r ; r r rn : k u p l r l r r d x p r n i l t l h * i trtll I -l nfr n
l/> 't4 Percncanaan Pembangunan N,o.3o/ranuari- Maret2003
Pembangunan Wilayah Dari model tersebut, asumsinya adalah penekanan pada saat pelaksanaan bergeser dari pembangunan kerangka kelembagaan ke sangat perlunya faktor permintaan bagi produk-produk daerah tersebut. Hal ini sangat berkaitan dengan terjadinya keterkaitan desa-kota, dimana tanpa permintaan yang memadai maka komoditi yang dipilih untuk dikembangkan tidak dapat berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Model dari konsep ini juga menggunakan model basis ekspor terutama pada manfaat dampak. berganda yang diterima oleh sektor rumah tangga di perdesaan. Gambar 3, "Virtuous Circle Model", di atas lebih menjelaskan efek domino dari pengeluaran sektor rumah tangga di perdesaan pada saat sektor ini mendapat pendapatan. Seperti terlihat dalam model lingkaran manfaat di atas, ada dua jenis permintaan akan produk pertanian yang dapat menghasilkan keterkaitan desa-kota di suatu daerah : Pertama adalah perrhintaan dari dalam daerah tersebut itu sendiri akan produk pertanian' Hal ini dijelaskan dalam diagram di atas sebagai pengeluaran bagi makanan. Kedua,adalah permintaan dari luar daerah akan produk pertanian. Kedua jenis permintaan tersebut akan menghasilkan putaran berganda tambahan. Pendapatan yang didapat oleh sektor rumah tangga di perdesaan, sebagian akan dikeluarkan sebagai konsumnsi non-makanan dan akan dibelanjakan di sektor usaha di kota besar, kota kecil, dan desa-desa di daerah itu sendiri. Hal ini juga memperlihatkan bahwa ada dua jenis permintaan dari luar daerah akan produk-produk non-pertanian, dengan dampak perputaran yang mirip dengan dua jenis permintaan akan pertanian. (Bagiankeduadari tulisan ini akandimuat padaedisi3lmendatang).
PerencanaanPembangunanll,o.3(yJanuari - M araZWS - 43