PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,990C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah tropis yaitu sekitar 25-28 0C (Williamson dan Payne, 1993). Selama penelitian, semua domba yang digunakan mengalami pertumbuhan dan dalam keadaan sehat. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan Bahan Kering Zat Makanan BK Abu PK LK SK Beta-N TDN* Ca P Keterangan :
Perlakuan P1 P2 P3 --------------------------- % BK --------------------------61,05 55,54 58,05 9,82 8,48 10,55 13,52 15,51 16,27 5,72 3,89 4,44 20,14 20,25 19,76 50,81 51,87 48,99 65,48 61,99 62,17 0,59 1,00 0,57 0,45 0,69 0,48
P1 : rumput lapang + 100% ransum komersil, P2 : rumput lapang + 90% konsentrat komersial + 10% tepung ikan, P3 = rumput lapang + 85% konsentrat komersial + 15% bungkil kedelai. *) Hasil Perhitungan menurut Hartadi et al., (1980). BK : Bahan Kering, PK : Protein Kasar, LK : Lemak Kasar, SK : Serat Kasar, TDN : Total Digestibility Nutrient, Ca : kalsium, P : Phospor.
Berdasarkan hasil analisis proksimat, kandungan zat makanan yang diharapkan dapat isoprotein, tetapi ternyata berbeda, terutama kandungan protein kasar pada perlakuan substitusi sumber protein tepung ikan. Hal ini dikarenakan kandungan protein tepung ikan yang digunakan masih dibawah standar NRC (2006). Kandungan protein tepung ikan yang diharapkan yaitu sekitar 66% bahan kering (NRC, 2006), tetapi kandungan protein tepung ikan pada penelitian ini adalah 34,88% bahan kering (Hasil Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, 2011). 20
Kandungan substitusi bungkil kedelai sudah sesuai dengan diharapkan, bungkil kedelai pada penelitian memiliki protein kasar sekitar 49,01% bahan kering (Hasil Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, 2011), sedangkan yang diharapkan sekitar 49% bahan kering (NRC, 2006). Konsumsi Bahan Kering Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak untuk mencukupi kebutuhan pokok dan keperluan produksi (Tillman et al., 1998). Rata-rata konsumsi bahan kering ransum, konsentrat, dan rumput lapang domba laktasi yang dihasilkan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Konsumsi Bahan Kering Domba Laktasi Peubah
P1
Konsumsi BK Rumput (g/e/h) Konsentrat (g/e/h) Ransum (g/e/h) Total Ransum (%BB) Keterangan :
Perlakuan P2
365,23±46,85 342,60±45,65 614,28±103,23 557,70±71,70 979,51±117,24 900,30±103,70 3,37 2,91
P3 310,08±81,56 577,48±34,36 887,56±80,93 2,91
Rataan 339,31±60,60 583,15±73,76 922,46±103,17 3,06
P1 : rumput lapang + 100% konsentrat komersial, P2 : rumput lapang + 90% konsentrat komersial + 10% tepung ikan, P3 : rumput lapang + 85% konsentrat komersial + 15% bungkil kedelai, BB : Bobot Badan, BK : Bahan Kering
Berdasarkan analisis ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap keseluruhan data konsumsi bahan kering induk domba selama laktasi. Hal ini menunjukkan bahwa ransum yang mendapatkan substitusi tepung ikan dan bungkil kedelai sebagai sumber protein memiliki palatabilitas sama dengan ransum tanpa substitusi sumber protein. Hal ini sesuai dengan pernyataan Church dan Pond (1988), palatabilitas pakan dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum. Konsumsi bahan kering induk laktasi tanpa substitusi sumber protein 979,51±117,24 g/ekor/hari, substitusi tepung ikan 900,30±103,70 g/ekor/hari, dan substitusi bungkil kedelai 887,56±80,93 g/ekor/hari dengan rata-rata 922,46±103,17 g/ekor/hari. NRC (2006) menyatakan bahwa induk domba dengan bobot badan 25 kg beranak tunggal membutuhkan konsumsi bahan kering 704,17 g/ekor/hari. Mathius (1996) menambahkan bahwa induk domba laktasi mengkonsumsi bahan kering 893,083 g/ekor/hari. Rata-rata konsumsi bahan kering induk laktasi pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan NRC (2006) dan Mathius (1996). Tingginya konsumsi bahan 21
kering induk ini dipengaruhi oleh genetik dan kualitas pakan yang digunakan, serta lingkungan yang berbeda (Forbes, 2007). Persentase bahan kering yang dikonsumsi berdasarkan bobot badan berkisar 2,91% - 3,37% bobot badan. Rata-rata persentase bahan kering berdasarkan bobot badan pada induk yang mendapatkan substitusi tepung ikan sama dengan substitusi bungkil kedelai yaitu 2,91% dari bobot badan, sedangkan induk tanpa substitusi sumber protein rata-rata sekitar 3,37% dari bobot badan. Menurut NRC (2006), domba laktasi dengan bobot badan 25 kg beranak tunggal membutuhkan bahan kering sekitar 2,19% dari bobot badan. Rata-rata konsumsi bahan kering induk laktasi pada penelitian lebih tinggi dari yang disarankan NRC (2006) sehingga kebutuhan konsumsi bahan kering sudah sesuai dengan standar NRC (2006). Pola Konsumsi Bahan Kering Tingkat konsumsi bahan kering induk domba selama laktasi umumnya mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan Forbes (2007) yang menyatakan bahwa konsumsi bahan kering selama laktasi mengalami peningkatan dikarenakan kebutuhan zat makanan induk domba laktasi meningkat. Peningkatan kebutuhan zat makanan ini digunakan untuk memulihkan kondisi pasca melahirkan, memperbaiki jaringan reproduksi setelah melahirkan, dan untuk produksi susu (NRC, 1985). Pola konsumsi bahan kering ransum pada domba laktasi selama penelitian disajikan pada Gambar 4.
Konsumsi BK (g/ekor/hari)
1100 1000 900
P1 P2
800
P3 700 600
1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu
Gambar 4. Grafik Pola Rataan Konsumsi Bahan Kering Selama Pemeliharaan. 22
Gambar 4 memperlihatkan rata-rata konsumsi bahan kering induk yang tidak mendapatkan substitusi sumber protein cenderung lebih tinggi dibandingkan induk pada perlakuan lainnya. Hal ini diduga tingkat kebutuhan belum tercukupi karena rendahnya kualitas ransum pada perlakuan tanpa substitusi sumber protein sehingga diperlukan kuantitas yang lebih tinggi. Rata-rata konsumsi bahan kering induk yang tidak mendapatkan substitusi sumber protein yaitu 979,51±117,24 g/ekor/hari, induk yang mendapatkan substitusi tepung ikan yaitu 900,30±103,70 g/ekor/hari, sedangkan konsumsi bahan kering induk yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai yaitu 887,56±80,93 g/ekor/hari. Konsumsi Protein dan Energi (TDN) Konsumsi protein dan energi (TDN) ransum domba laktasi pada penelitian ini tercantum pada Tabel 6. Tabel 6. Konsumsi Protein dan Energi (TDN) Domba Laktasi Zat Makanan PK TDN
Ransum Penelitian P1 P2 P3 ----------- g/ekor/hari ----------132,43±15,85 139,55±16,08 144,40±13,16 623,94±74,68 574,57±66,18 555,86±50,67
Rataan 138,82±14,87 584,79±66,80
Keterangan : P1 : rumput lapang + 100% konsentrat komersial, P2 : rumput lapang + 90% konsentrat komersial + 10% tepung ikan, P3 : rumput lapang + 85% konsentrat komersial + 15% bungkil kedelai, PK : Protein Kasar, TDN : Total Digestibility Nutrient.
Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi protein kasar dan energi (TDN). Rata-rata konsumsi harian protein kasar dan TDN yaitu masing-masing 138,82±14,87 g/ekor/hari dan 584,79±66,80 g/ekor/hari. Jumlah tersebut sesuai dengan standar NRC (2006) yaitu protein kasar sekitar 137,36 g/ekor/hari dan TDN sekitar 404,17 g/ekor/hari. Mathius (1996) melaporkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan harian induk domba laktasi diperlukan protein kasar sekitar 138-238 g/ekor/hari dan 13,4 MJ/kg BK. Menurut Ismoyo (2011), konsumsi protein kasar dan TDN domba lokal laktasi masing-masing berkisar 122,75 g/ekor/hari dan 541.71 g/ekor/hari. Santi (2011) yang menyatakan konsumsi protein kasar dan TDN domba lokal laktasi sekitar 86,35 g/ekor/hari dan 353,75 g/ekor/hari. Sudjatmogo (1998) juga menyatakan bahwa kebutuhan protein
23
kasar dan TDN domba lokal laktasi masing-masing berkisar 103,81 g/hari/ekor dan 503,21-559,64 g/ekor/hari. Konsumsi Air Minum Air merupakan komponen utama dalam metabolisme tubuh ternak. Menurut Church dan Pond (1988), kekurangan air dalam tubuh akan menurunkan konsumsi pakan dan produktivitas ternak sampai mengakibatkan kematian ternak. Konsumsi air minum domba laktasi tercantum pada Gambar 5. Konsumsi Air Minum (liter//ekor/hari)
2 1,75 1,5
1,72
1,87
1,5
1,25 1 0,75 0,5 0,25 0
Gambar 5.
P1
P2
P3
Diagram Konsumsi Air Minum Domba Laktasi Selama Pemeliharaan.
(■) P1 : Rumput Lapang + 100% Konsentrat Komersial; (■) P2 : Rumput Lapang + 90% Konsentrat Komersial + 10% Tepung Ikan; (■) P3 : Rumput Lapang + 85% Konsentrat Komersial + 15% Bungkil Kedelai.
Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi air minum domba lokal selama laktasi. Konsumsi air minum induk domba yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai cenderung lebih tinggi dibandingkan induk perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena tingkat konsumsi protein induk dengan substitusi bungkil kedelai lebih tinggi dibandingkan induk lainnya sehingga dibutuhkan air minum yang lebih tinggi untuk mengeluarkan hasil metabolisme N melalui urin (Parakkasi, 1999). Peningkatan kadar protein didalam pakan akan meningkatkan kadar urea di dalam darah. Urea tersebut sebagian besar tidak digunakan oleh ternak sehingga diekresikan ke dalam urin. Menurut Promkot dan Wanapat (2005), semakin tinggi protein pada pakan, maka semakin tinggi urea di dalam darah. Rata-rata konsumsi air minum induk tanpa substitusi sumber protein sebesar 1,5±0,28 liter/hari, substitusi tepung ikan sebesar 1,72±0,22 liter/hari, dan 24
substitusi bungkil kedelai sebesar 1,87±0,25 liter/hari, sedangkan rata-rata konsumsi air minum pada penelitian yaitu 1,70±0,28 liter/ekor/hari. Menurut NRC (1985), domba laktasi yang mempunyai bobot badan 25 kg membutuhkan air minum sebesar 0,72 sampai 1,62 liter/hari. Rata-rata konsumsi air minum induk domba laktasi pada penelitian ini lebih tinggi dari yang disarankan NRC (2006). Tinggi konsumsi air minum pada penelitian ini dikarenakan suhu lingkungan. Semakin tinggi suhu lingkungan, maka konsumsi air minum semakin tinggi (Parakkasi, 1999). Performa Induk Domba Laktasi Performa induk domba laktasi yang diamati pada penelitian ini diantaranya bobot sesaat setelah melahirkan, bobot sapih induk, dan penyusutan bobot badan induk sampai sapih. Penampilan produksi induk domba pada penelitian ini tercantum pada Tabel 7. Tabel 7. Performa Induk Domba Laktasi Peubah Bobot Badan (kg/ekor) Sesaat setelah melahirkan Sapih Penyusutan bobot badan induk (%) Keterangan :
P1
Perlakuan P2
P3
Rataan
24,20±2,95 22,40±3,21
24,80±3,35 23,40±4,28
23,40±2,97 23,40±2,88
24,13±2,92 23,07±3,28
7,38
5,78
0
4,39
P1 : rumput lapang + 100% konsentrat komersial, P2 : rumput lapang + 90% konsentrat komersial + 10% tepung ikan, P3 : rumput lapang + 85% konsentrat komersial + 15% bungkil kedelai, BB = Berat Badan.
Penyusutan Bobot Badan Induk Prasapih Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyusutan bobot badan induk prasapih. Adanya penyusutan bobot badan induk domba laktasi menandakan bahwa zat makanan belum mencukupi kebutuhan domba laktasi sehingga cadangan lemak dalam tubuh digunakan untuk produksi susu, pemulihan pasca melahirkan, perbaikan jaringan reproduksi setelah melahirkan, dan mempersiapkan perkawinan selanjutnya (NRC, 1985). Rata-rata penyusutan bobot badan induk pada perlakuan tanpa substitusi sumber protein sebesar 7,38%; substitusi tepung ikan sebesar 5,78%; dan substitusi bungkil kedelai sebesar 0%. Induk yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai tidak mengalami penyusutan bobot badan sampai sapih. Hal ini diduga dikarenakan induk yang mendapatkan 25
substitusi bungkil kedelai memiliki tingkat degradasi protein lebih tinggi dibandingkan induk perlakuan lainnya, terutama degradasi bungkil kedelai. Menurut Cleale et al. (1987), tingkat degradasi bungkil kedelai mencapai 68,6%, sedangkan tepung ikan sebesar 22% (Sardiana, 1984). Protein bahan makanan yang mudah didegradasi sebagian besar hanya akan memberikan protein mikroba kepada induk semang, sedangkan protein yang tahan didegradasi dapat memberikan protein mikroba dan protein yang lolos dari degradasi mikroba sehingga produksi protein lebih tinggi (Sutardi, 1979). Sardiana (1984) menyatakan bahwa konsumsi dari induk yang mengkonsumsi ransum mengandung tepung ikan memiliki tingkat degradasi lebih rendah, diduga mengakibatkan rendahnya efisiensi pertumbuhan mikroba, disamping itu pengolahan tepung ikan dengan suhu yang tinggi akan menyebabkan kelarutan protein menurun, sehingga akan menurunkan efek fermentasi dalam rumen. Rata-rata penyusutan dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian Santi (2011) yang menyatakan domba lokal yang mengkonsumsi protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari mengalami penyusutan sebesar 11,16%. Hal ini dikarenakan ransum yang digunakan pada penelitian ini memiliki kualitas lebih baik dibandingkan pada penelitian Santi (2011). Performa Anak Domba Prasapih Bobot Lahir Anak Bobot lahir merupakan bobot anak pada saat dilahirkan, namun secara teknis lapangan penimbangan anak domba setelah lahir seringkali sulit dilakukan, sehingga bobot anak yang ditimbang dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto, 1994). Bobot lahir anak yang mendapatkan ransum substitusi sumber protein pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6.
26
Bobot Lahir (kg/ekor)
12
10,33
10
11,32
8,92
8 6 4 2 0
Gambar 6.
n=7
n=6
n=6
P1
P2
P3
Diagram Bobot Lahir Anak. (■) P1 : Rumput Lapang + 100% Konsentrat Komersial; (■) P2 : Rumput Lapang + 90% Konsentrat Komersial + 10% Tepung Ikan; (■) P3 : Rumput Lapang + 85% Konsentrat Komersial + 15% Bungkil Kedelai, n= jumlah anak.
Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot lahir anak. Induk yang mendapatkan substitusi tepung ikan cenderung mempunyai bobot lahir anak yang lebih berat dibandingkan induk perlakuan lainnya. Rata-rata bobot lahir anak perlakuan tanpa substitusi sumber protein yaitu 2,29±0,52 kg, substitusi tepung ikan yaitu 2,96±0,81 kg, dan substitusi bungkil kedelai 2,76±0,78 kg dengan rata-rata semua perlakuan adalah 2,67±0,72 kg/ekor. Pada penelitian ini, bobot lahir anak lebih tinggi dibandingkan penelitian bobot lahir domba di UP3 Jonggol pada penelitian Harahap (2008) yaitu 1,90±0,56 kg. Menurut Santi (2011), bobot lahir anak domba lokal yang induknya mendapatkan ransum mengkonsumsi protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari yaitu 2,79 kg/ekor. Pada penelitian ini, bobot lahir tidak seluruhnya dipengaruhi oleh perlakuan substitusi sumber protein. Hal ini dikarenakan perlakuan substitusi sumber protein dilakukan pada 133±8,29 hari kebuntingan sehingga respon perlakuan belum terlihat pada bobot lahir anak. Menurut Pulina (2004), fase pertengahan kebuntingan (dua sampai tiga bulan kebuntingan) merupakan fase yang mempengaruhi bobot lahir anak karena terjadi perkembangan plasenta yang dipengaruhi oleh zat makanan. Bobot Sapih Anak Bobot sapih anak merupakan bobot badan saat anak domba mulai dipisahkan dari induknya. Bobot sapih anak menggambarkan produksi susu dari 27
induk, biasanya produksi induk yang tinggi dapat menghasilkan bobot sapih anak yang tinggi. Bobot sapih anak pada penelitian ini disajikan pada Gambar 7. 11,32
Bobot Sapih (kg/ekor)
12 10
10,33 8,92
8 6 4 2 0
Gambar 7.
n=7
n=6
n=6
P1
P2
P3
Diagram Bobot Sapih Anak. (■) P1 : Rumput Lapang + 100% Konsentrat Komersial; (■) P2 : Rumput Lapang + 90% Konsentrat Komersial + 10% Tepung Ikan; (■) P3 : Rumput Lapang + 85% Konsentrat Komersial + 15% Bungkil Kedelai, n= jumlah anak.
Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot sapih anak. Rata-rata bobot sapih anak perlakuan tanpa substitusi sumber protein yaitu 8,92±2,15 kg, substitusi tepung ikan yaitu 10,33±3,14 kg, dan substitusi bungkil kedelai 11,32±3,20 kg. Induk yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai mempunyai bobot sapih anak cenderung lebih tinggi dibandingkan induk perlakuan lainnya. Hal ini diduga dikarenakan produksi susu induk dan kualitas ransum pada perlakuan substitusi bungkil kedelai lebih tinggi dibandingkan induk perlakuan lainnya. Menurut Freer dan Dove (2002), kebutuhan nutrisi anak prasapih hanya dipenuhi oleh susu yang dihasilkan induk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot sapih anak secara umum adalah 10,19±2,84 kg. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan bobot sapih domba lokal di UP3 Jonggol pada penelitian Harahap (2008) dan Saputra (2008), bahwa bobot sapih anak domba Jonggol dari induk yang dipelihara secara ekstensif yaitu berkisar 3,46-6,58 dan 4,53-7,38 kg/ekor, sedangkan menurut Santi (2011), domba lokal yang mengkonsumsi protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari memiliki bobot sapih anak rata-rata 10,88±0,92 kg/ekor.
28
Pertambahan Bobot Badan Anak Domba Prasapih Pertambahan bobot badan merupakan salah satu ukuran kecepatan pertumbuhan dalam waktu tertentu. Pertambahan bobot badan harian anak domba disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pertambahan Bobot Badan Anak Domba Peubah
PBB Hari Ke 0-28 PBB Hari Ke 29-56 PBB Anak Hari 0-56 Keterangan :
Perlakuan P1 P2 P3 ------------ g/ekor/hari -----------(n=7) (n=6) (n=6) 134,21±42,77 137,82±59,34 171,03±50,40 102,50±42,04 125,36±42,99 134,46±39,63 118,35±40,49 131,59±46,07 152,75±43,92
Rataan
147,68±50,48 120,77±40,93 134±42,91
P1 : rumput lapang + 100% konsentrat komersial, P2 : rumput lapang + 90% konsentrat komersial + 10% tepung ikan, P3 : rumput lapang + 85% konsentrat komersial + 15% bungkil kedelai, PBB = Pertambahan Bobot badan, n = Jumlah anak.
Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan bobot badan anak domba. Induk yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai cenderung memiliki pertambahan bobot badan anak yang lebih tinggi dibandingkan induk perlakuan lainnya. Hal ini diduga dikarenakan produksi susu yang dihasilkan oleh induk domba perlakuan substitusi bungkil kedelai (1019,19 g/ekor/hari) lebih tinggi dibandingkan substitusi tepung ikan dan tanpa substitusi sumber protein, yaitu masing-masing 864,175 dan 903,45 g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan anak umur 0-28 hari lebih tinggi dibandingkan umur 29-56 hari. Rata-rata pertambahan bobot badan anak 0-28 hari sebesar 147,68±50,48 g/ekor/hari, sedangkan hari ke 29-56 sebesar 120,77±40,93 g/ekor/hari. Hal tersebut disebabkan produksi susu induk 0-28 hari (1030,01 g/ekor/hari) lebih tinggi bila dibandingkan dengan 28-56 hari (827,86 g/ekor/hari). Dove (1988) menyatakan bahwa untuk membentuk 1 kg bobot badan, anak domba membutuhkan konsumsi susu sebanyak 6 kg. Pertambahan bobot badan penelitian ini lebih baik dibandingkan hasil penelitian Saputra (2008) yang menggunakan domba lokal di UP3 Jonggol berumur dua tahun dengan induk digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola yaitu sebesar 75,3±6,6 g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan penelitian ini juga lebih rendah dibandingkan penelitian Santi (2011) yang menyatakan pertambahan bobot badan anak domba lokal yang mengkonsumsi 29
protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari yaitu sebesar 162,81 g/ekor/hari pada umur 0-28 hari dan umur 28-56 sebesar 127,28 g/ekor/hari. Hal ini menandakan bahwa peningkatan kualitas pakan dapat meningkatkan pertambahan bobot badan anak prasapih. Pendugaan Produksi Susu Induk Produksi susu merupakan banyaknya air susu yang keluar dari induk semenjak anak lahir hingga proses menyusui anaknya. Produksi susu pada penelitian ini tercantum pada Gambar 8.
Produksi Susu (kg/ekor/hari)
1,4 1,2
1,15
1,04
1
0,91
0,8 0,6 0,4 0,2 0
Gambar 8.
n=7
n=6
n=6
P1
P2
P3
Diagram Pendugaan Produksi Susu Induk. (■) P1 : Rumput Lapang +
100% Konsentrat Komersial; (■) P2 : Rumput Lapang + 90% Konsentrat Komersial + 10% Tepung Ikan; (■) P3 : Rumput Lapang + 85% Konsentrat Komersial + 15% Bungkil Kedelai, n= jumlah anak.
Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi susu induk umur 0-28 hari. Rata-rata produksi susu induk perlakuan tanpa substitusi sumber protein sebesar 1035,47±197,25 g/ekor/hari, substitusi tepung ikan sebesar 905,49±269,02 g/ekor/hari, dan substitusi bungkil kedelai sebesar 1149,09±92,88 g/ekor/hari dengan rata-rata 1030,01±211,83 g/ekor/hari. Induk yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai memiliki produksi susu lebih tinggi dibandingkan induk perlakuan lainnya. Tingkat degradasi protein pada bungkil kedelai yang tinggi dapat memberikan protein mikroba dan protein yang lolos dari degradasi mikroba (Sutardi, 1979). Sardiana (1984) menyatakan subtitusi tepung ikan sebagai salah satu sumber protein tahan terhadap degradasi mengakibatkan terjadi defisiensi nitrogen dalam rumen sehingga mengakibatkan 30
rendahnya efisiensi pertumbuhan mikroba, disamping itu pengolahan tepung ikan dengan suhu yang tinggi mengakibatkan kelarutan protein menurun. Santi (2011) menyatakan bahwa produksi susu induk domba yang mengkonsumsi protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari yaitu 976,85 g/ekor/hari. Tingginya produksi susu pada penelitian ini dibandingkan penelitian Santi (2011) dikarenakan kualitas ransum pada penelitian ini lebih baik dibandingkan ransum yang digunakan pada penelitian Santi (2011) dengan domba perlakuan yang sama. Menurut Gatenby (1986), produksi susu salah satunya dipengaruhi oleh zat makanan yang dikonsumsi oleh induk domba laktasi. Produksi susu induk 0-28 hari lebih tinggi dibandingkan produksi susu 29-56 hari. Rata-rata produksi susu induk 0-28 hari adalah 1030,01±211,83 g/ekor/hari, sedangkan hari ke 29-56 sebesar 827,86±142,11 g/ekor/hari. Hal ini sesuai dengan Frimawaty (1998), domba lokal mengalami puncak laktasi pada hari ke-35 laktasi atau sekitar minggu ketiga sampai keempat laktasi, kemudian mengalami penurunan produksi susu. Induk domba yang mendapatkan pakan dengan kualitas yang baik akan mencapai puncak laktasi lebih lambat bila dibandingkan dengan induk domba yang mendapatkan pakan dengan kualitas yang lebih rendah (Poli, 1998). Produksi susu pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Santi (2011), produksi susu induk domba lokal 0-28 hari dan 29-56 hari yang mengkonsumsi protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari yaitu masing-masing 976,85 dan 763,69 g/ekor/hari. Mortalitas Anak Prasapih Mortalitas anak sampai sapih adalah persentase kematian anak yang didapatkan dari jumlah anak yang mati dibagi jumlah anak yang dilahirkan. Kematian anak ini memperlihatkan berapa besar daya hidup anak setelah dilahirkan sampai sapih. Hasil penelitian ini tidak terdapat mortalitas anak sampai sapih, namun terdapat salah satu induk pada perlakuan substitusi bungkil kedelai mengalami abnormal. Hal ini dikarenakan induk tidak mau menyusui salah satu anak kembar tiga.
31
Efisiensi Penggunaan Pakan Efisiensi penggunaan pakan merupakan pertambahan bobot badan dibagi dengan jumlah konsumsi bahan kering. Pertambahan bobot badan untuk domba laktasi dari penjumlahan penyusutan bobot badan induk dan pertambahan bobot badan anak pra sapih. Hal ini dikarenakan zat makanan ransum domba laktasi sebagaian besar untuk produksi susu dibandingkan proses lainnya di dalam tubuh sehingga sangat mempengaruhi pertumbuhan anak (Gatenby, 1986). Efisiensi penggunaan pakan domba laktasi tercantum dalam Gambar 9 0,2
Efisiensi Penggunaan Pakan
0,17 0,15 0,11 0,1
0,05
0
Gambar 9.
0,09
P1
P2
P3
Diagram Efisiensi Penggunaan Pakan Domba Laktasi. (■) P1 : Rumput Lapang + 100% Konsentrat Komersial; (■) P2 : Rumput Lapang + 90% Konsentrat Komersial + 10% Tepung Ikan; (■) P3 : Rumput Lapang + 85% Konsentrat Komersial + 15% Bungkil Kedelai.
Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap efisiensi penggunaan pakan domba laktasi. Pada penelitian ini, efisiensi pakan induk tanpa substitusi sumber protein 0,09±0,06; substitusi tepung ikan 0,11±0,06; dan substitusi bungkil kedelai 0,17±0,05 dengan rata-rata 0,12±0,06. Induk yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai memiliki efisiensi pakan cenderung lebih tinggi dibandingkan induk perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan kualitas ransum pada induk mendapatkan substitusi bungkil kedelai lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Ismoyo (2011) menyatakan efisiensi pengunaan pakan pada domba laktasi yang mengkonsumsi protein kasar dan TDN domba lokal laktasi masing-masing berkisar 122,75 g/ekor/hari dan 541.71 g/ekor/hari sekitar 0,154. Rata-rata efisiensi penggunaan pakan pada penelitian ini lebih rendah
32
dibandingkan Ismoyo (2011). Rendahnya nilai efisiensi pakan pada penelitian ini salah satu dipengaruhi oleh kualitas pakan yang dikonsumsi (Parakkasi, 1999). Hubungan Bobot Lahir dengan Bobot Sapih Anak Bobot sapih anak dipengaruhi oleh salah satunya bobot lahir anak. Menurut Siregar (2003), bobot lahir anak yang rendah akan menghasilkan bobot sapih yang rendah, sebaliknya bobot lahir yang tinggi akan menghasilkan bobot sapih yang tinggi. Hubungan antara bobot lahir dan bobot sapih anak disajikan pada Gambar 10. 16
Bobot Sapih (kg/ekor)
14 12 10 8 6
y = 2,7276x + 2,8974 R = 0,6913
4 2 0
0
1
2
3
4
5
Bobot Lahir (kg/ekor)
Gambar 10. Grafik analisis Regresi dan Korelasi Bobot Lahir Anak dengan Bobot Sapih Anak Gambar 10 menunjukkan bahwa nilai korelasi antara bobot lahir dengan bobot sapih anak pada penelitian ini sebesar 0,6913. Nilai tersebut menunjukkan bahwa bobot lahir dan bobot sapih anak memiliki tingkat hubungan yang kuat (Sugiyono, 2006). Nilai pada penelitian menunjukkan korelasi positif antara bobot lahir dengan bobot sapih anak. Hal ini ditunjukkan pada persamaan regresi linier yaitu y = 2,7219x + 2,9168 dengan y adalah bobot sapih dan x adalah bobot lahir. Nilai tersebut menunjukkan semakin tinggi bobot lahir maka akan menghasilkan bobot sapih yang tinggi. Menurut Santi (2011), hubungan antara bobot lahir dan bobot sapih anak domba lokal yang mengkonsumsi protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari memiliki tingkat hubungan kuat berkorelasi positif dengan nilai 0,873. Ismoyo (2011) juga menambahkan bahwa domba lokal yang mengkonsumsi protein kasar dan TDN domba lokal laktasi masing-masing 33
berkisar 122,75 g/ekor/hari dan 541.71 g/ekor/hari memiliki tingkat hubungan bobot lahir dan bobot sapih yang kuat dengan nilai 0,85. Hubungan Pertambahan Bobot Badan Anak dengan Produksi Susu Induk 0-28 Hari Pertambahan bobot badan anak umur 0-28 hari sangat dipengaruhi oleh produksi susu yang dihasilkan oleh induk selama 28 hari. Menurut Freer dan Dove (2002), kebutuhan zat makanan anak domba hanya dipenuhi dari susu yang dihasilkan induk. Hubungan antara pertambahan bobot badan anak dengan produksi susu induk disajikan pada Gambar 11. 7
PBB Anak (kg/ekor)
6
y = 0,1355x + 0,2282 R = 0,5683
5 4 3 2 1 0
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Produksi Susu (kg/ekor)
Gambar 11. Grafik analisis Regresi dan Korelasi Antara Pertambahan Bobot Badan Anak dengan Produksi Susu Induk 0-28 Hari. PBB : Pertambahan Bobot Badan. Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai korelasi antara pertambahan bobot badan anak dan produksi susu induk pada penelitian ini sebesar 0,5683. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kedua variabel memiliki tingkat hubungan sedang (Sugiyono, 2006). Tingkat hubungan sedang pada penelitian ini dipengaruhi oleh tipe kelahiran. Tipe kelahiran tunggal memiliki pertambahan bobot badan anak lebih tinggi dibandingkan tipe kelahiran kembar, tetapi memiliki produksi susu induk lebih rendah dibandingkan tipe kelahiran kembar (Suryadi, 2002). Nilai penelitian ini menunjukkan hubungan positif. Hal tersebut sesuai dengan persamaan linier yaitu y = 0,1354x + 0,2292 dengan y adalah pertambahan bobot badan anak selama 0-28 hari dan x adalah produksi susu induk selama 0-28 hari. 34
Perbandingan Performa Anak Prasapih Berdasarkan Tipe Kelahiran Tipe kelahiran induk akan berpengaruh terhadap performa anak prasapih. Performa anak terdiri atas pertambahan bobot badan dan bobot sapih anak. Performa anak prasapih berdasarkan tipe kelahiran disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Performa Anak Prasapih Berdasarkan Tipe Kelahiran Peubah
Tunggal (n=3) 60
P1
Kembar (n=2) 40
Tipe Kelahiran P2 Tunggal Kembar (n=4) (n=1) 80 20
Tunggal (n=4) 80
P3
Kembar (n=1) 20
Rasio Tunggal : Kembar (%) Bobot Badan (kg/ekor) Lahir 2,31 2,26 3,26 1,77 3,10 1,42 Hari Ke-28 6,78 4,95 7,63 3,60 8,49 3,80 Sapih 10,35 6,78 11,60 5,25 12,71 5,73 PBB Harian (g/ekor/hari) 143,55 80,55 148,93 62,21 171,70 76,95 Keterangan : P1 : Rumput Lapang + 100% Konsentrat Komersial; P2 : Rumput Lapang + 90% Konsentrat Komersial + 10% Tepung Ikan; P3 : Rumput Lapang + 85% Konsentrat Komersial + 15% Bungkil Kedelai; PBB = Pertambahan Bobot Badan, n = jumlah induk
Berdasarkan tipe kelahiran, rata-rata tipe kelahiran tunggal lebih tinggi dibandingkan tipe kelahiran kembar. Induk yang tidak mendapatkan substitusi sumber protein memiliki tipe kelahiran kembar lebih tinggi dibandingkan induk perlakuan
lainnya.
Menurut
Tomaszewska
(1991),
tipe
kelahiran
dapat
mempengaruhi bobot lahir, bobot sapih, dan pertambahan bobot badan anak prasapih. Rata-rata performa anak prasapih dengan tipe kelahiran tunggal lebih baik dibandingkan anak kembar. Hal ini ditunjukkan pada pertambahan bobot badan anak dan bobot sapih pada tipe kelahiran tunggal lebih berat dibandingkan tipe kelahiran kembar. Hal ini diduga dipengaruhi oleh produksi susu yang dihasilkan induk karena pada anak bertipe tunggal tidak mengalami persaingan dalam mendapatkan susu dari induknya (Tomaszewska, 1991). Rata-rata pertambahan bobot badan anak tunggal dan kembar yaitu masing-masing 155,74 dan 75,06 g/ekor/hari, sedangkan bobot sapih yaitu masing-masing 11,66 dan 6,13 kg/ekor. Ismoyo (2011) dalam penelitiannya dengan menggunakan domba lokal yang mengkonsumsi protein kasar dan TDN domba lokal laktasi masing-masing berkisar 122,75 g/ekor/hari dan 541.71 g/ekor/hari memiliki rata-rata pertambahan bobot badan anak tunggal dan kembar yaitu masing-masing 152,45 dan 131 g/ekor/hari, sedangkan bobot sapih anak yaitu 35
masing-masing 10,91 dan 8,33 kg/hari. Santi (2011) juga menyatakan bahwa induk domba yang mengkonsumsi protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari memiliki bobot sapih anak tunggal dan kembar yaitu masing-masing 10,28 dan 6,12 kg/ekor. Perbandingan Performa Anak Prasapih Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis kelamin anak berpengaruh performa anak prasapih. Performa anak terdiri atas pertambahan bobot badan dan bobot sapih anak. Menurut Ilham (2008), jenis kelamin anak dapat mempengaruhi bobot lahir, pertambahan bobot badan, bobot sapih anak. Performa anak prasapih berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Performa Anak Prasapih Berdasarkan Jenis Kelamin Peubah Bobot Badan (kg/ekor) Lahir Hari Ke-28 Bobot Sapih PBB Harian (g/ekor/hari) Keterangan :
Jantan (n=4) 2,24 6,34 9,60 131,51
P1
Betina (n=3)
Jenis Kelamin P2 Jantan Betina (n=5) (n=1)
Jantan (n=5)
2,35 4,93 6,58 75,61
2,80 6,39 9,28 115,85
2,39 6,65 9,840 133,17
2,61 5,80 10,50 140,89
P3
Betina (n=1) 2,83 8,75 13,10 183,48
P1 : Rumput Lapang + 100% Konsentrat Komersial; P2 : Rumput Lapang + 90% Konsentrat Komersial + 10% Tepung Ikan; P3 : Rumput Lapang + 85% Konsentrat Komersial + 15% Bungkil Kedelai; PBB = Pertambahan Bobot Badan, n = Jumlah Anak yang dilahirkan
Berdasarkan jenis kelamin, rata-rata performa anak pra sapih berkelamin jantan lebih baik dibandingkan jenis kelamin betina. Hal ini ditunjukkan pertambahan bobot badan dan bobot sapih anak jenis kelamin jantan lebih berat dibandingkan jenis kelamin betina. Rata-rata pertambahan bobot badan anak jantan dan betina yaitu masing-masing 126,51 dan 110,24 g/ekor/hari, sedangkan bobot sapih yaitu masing-masing 9,57 dan 8,67 kg/ekor. Baliarti (1981) melaporkan bahwa anak domba jantan memiliki berat sapih lebih tinggi dibandingkan anak domba betina. Ismoyo (2011) dalam penelitiannya dengan menggunakan domba lokal yang mengkonsumsi protein kasar dan TDN domba lokal laktasi masing-masing berkisar 122,75 g/ekor/hari dan 541,71 g/ekor/hari memiliki rata-rata pertambahan bobot badan anak jantan dan betina yaitu masing-masing 154,70 dan 147,81 g/ekor/hari, sedangkan bobot sapih anak yaitu masing-masing 10,57 dan 9,96 kg/hari. Santi 36
(2011) juga menyatakan bahwa induk domba yang mengkonsumsi protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari memiliki bobot sapih anak tunggal dan kembar yaitu masing-masing 9,18 dan 8,25 kg/ekor. Rata-rata pertambahan bobot badan dan bobot sapih berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pada penelitian Ismoyo (2011) dan lebih rendah dibandingkan pada penelitian Santi (2011). Hal ini dikarenakan ransum pada penelitian memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan penelitian Ismoyo (2011) dan lebih rendah dibandingkan penelitian Santi (2011) sehingga mempengaruhi produksi susu induk. Income Over Feed Cost (IOFC) Income Over Feed Cost merupakan salah satu cara menghitung keuntungan secara sederhana pada pemeliharaan domba. Analisis ini didasarkan pada harga jual domba dan biaya pakan. Output yang didapatkan dari induk domba laktasi adalah anak domba lepas sapih. Induk domba dipersiapkan untuk perkawinan selanjutnya sehingga keuntungan hanya dipengaruhi oleh bobot sapih anak. Semakin tinggi bobot sapih anak, maka semakin tinggi keuntungan yang didapatkan. Besarnya IOFC pada penelitian ini disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Analisis Income Over Feed Cost (IOFC) Uraian Pengeluaran* Rumput Lapang Konsentrat Komersil Pakan Substitusi Tepung Ikan Bungkil Kedelai Total Penerimaan** IOFC***
P1
Pelakuan P2 P3 ---------- Rupiah/ekor/hari ----------
384,25 1.344,84
360,44 1.225,14 698,08
1.729,09 5368,40 3639,31
2.283,67 5512,80 3229.13
326,23 1139,41 824,19 2.288,82 6842,20 4552,38
Keterangan : *) Pengeluaran diperoleh dari penjumlahan biaya pakan. Biaya Pakan saat penelitian antara lain: • Harga rumput lapang Rp 200,-/kg • Harga konsentrat komersial Rp 1.950,-/kg • Harga tepung ikan Rp 10.000,-/kg • Harga bungkil kedelai Rp 8.000,-/kg **) Penerimaan diperoleh dari nilai PBBH anak dikalikan harga jual anak domba. Harga jual yang berlaku saat penelitian (2012) Rp 40.000,-/kg bobot hidup. ***) IOFC = Penerimaan – Pengeluaran
37
Penghitungan IOFC dilakukan untuk mengetahui nilai ekonomi pakan terhadap pendapatan karena biaya pakan berkisar antara 60% - 80% dari keseluruhan total biaya produksi. Rata-rata biaya pakan pada penelitian ini adalah Rp 2.100,53. Biaya pakan yang tertinggi yang dikeluarkan selama penelitian adalah induk yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai, dan terendah pada induk yang tidak mendapatkan substitusi sumber protein. Hal tersebut menunjukkan semakin tinggi biaya pakan, maka semakin tinggi kualitas pakan yang diberikan ternak sehingga penerimaan semakin tinggi. Induk yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai memiliki nilai IOFC lebih tinggi dibandingkan induk perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena kualitas ransum yang tinggi dibandingkan perlakuan lainnya sehingga mempengaruhi pertambahan bobot badan anak.
38