PENAMBAHAN MINYAK BIJI BUNGA MATAHARI PADA RANSUM INDUK DOMBA TERHADAP KECERNAAN ZAT MAKANAN DAN KOMPOSISI SUSU
YUSTI PUJIAWATI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penambahan Minyak Biji Bunga Matahari pada Ransum Induk Domba terhadap Kecernaan Zat Makanan dan Komposisi Susu adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Yusti Pujiawati NIM D24090071
ABSTRAK YUSTI PUJIAWATI. Penambahan Minyak Biji Bunga Matahari pada Ransum Induk Domba terhadap Kecernaan Zat Makanan dan Komposisi Susu. Dibimbing oleh KUKUH BUDI SATOTO dan LILIS KHOTIJAH. Tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji dan mengevaluasi kualitas pakan dengan pemberian minyak biji bunga matahari level berbeda terhadap kecernaan zat makanan dan komposisi susu. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan yaitu P0 (tanpa penambahan minyak biji bunga matahari), P1 (penambahan 2% minyak biji bunga matahari), P2 (penambahan 4% minyak biji bunga matahari), P3 (penambahan 6% minyak biji bunga matahari). Data yang diperoleh kemudian di analisis menggunakan analisis varian (ANOVA) dan ketika data menunjukan perbedaan nyata, maka dianalisis lanjut menggunakan polinomial ortogonal. Hasil menunjukan bahwa penggunaan minyak biji bunga matahari tidak berpengaruh pada kecernaan zat makanan, TDN, konsumsi dan absorpsi mineral (Ca:P) dan komposisi susu. Penggunaan minyak biji bunga matahari sangat berpengaruh pada konsumsi lemak (P<0.01). Penambahan 6% minyak biji bunga matahari belum mempengaruhi kecernaan zat makanan dan komposisi susu. Kata kunci: induk domba, kecernaan zat makanan, komposisi susu, minyak biji bunga matahari ABSTRACT YUSTI PUJIAWATI. Addition Sunflower Seed Oils on Ewes Diet to Nutrient Digestibility and Milk Composition. Supervised by KUKUH BUDI SATOTO and LILIS KHOTIJAH. A study was conducted using sheep to observe and to evaluate the quality of ration with different sunflower seed oil on digestibility nutrients and milk composition. This study used Completely Randomized Design (CRD) with 4 treatments, ie P0 (without the addition of sunflower seed oil or control), P1 (the addition of sunflower seed oil at 2%), P2 (the addition of sunflower seed oil at 4%), P3 (the addition of sunflower oil at 6%) and 3 replications. The data obtained from the study were analyzed using analysis of variance (Analysis of Variance/ANOVA) and when the result of the analysis showed significant differences, it will be followed by Ortogonal Polynomial Test. The result showed that the treatments did not significantly effect (P>0.05) nutrient digestibility, total digestibility nutrient, absorpstion minerals (Ca and P) and milk composition. The treatments significantly effect (P<0.01) fat intake. The addition of 6% sunflower oil has not affected the digestibility of nutrients and milk composition Keywords: digestibility nutrients, ewe, milk composition, sunflower seed oil
PENAMBAHAN MINYAK BIJI BUNGA MATAHARI PADA RANSUM INDUK DOMBA TERHADAP KECERNAAN ZAT MAKANAN DAN KOMPOSISI SUSU DOMBA
YUSTI PUJIAWATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama NIM
: Penambahan Minyak Biji Bunga Matahari pada Ransum Induk Domba terhadap Kecernaan Zat Makanan dan Komposisi susu. : Yusti Pujiawati : D24090071
Disetujui oleh
Ir Lilis Khotijah, MSi Pembimbing II
Ir Kukuh Budi Satoto, MS Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr Ir Idat Galih Permana, MScAgr Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 hingga Februari 2013 ini ialah kecernaan zat makanan akhir kebuntingan dan komposisi susu, dengan judul Penambahan Minyak Biji Bunga Matahari pada Ransum Induk Domba terhadap Kecernaan Zat Makanan dan Komposisi Susu. Penelitian ini bertujuan untuk mencari level optimal penggunaan minyak biji bunga matahari juga pengaruhnya terhadap kecernaan zat makanan dan komposisi susu induk. Tujuan jangka panjang yaitu adanya peningkatan pemanfaatan sumber daya lemak nabati berupa minyak biji bunga matahari untuk menunjang performa reproduksi ternak. Penulis berharap semoga karya ilmiah dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis. Bogor, Agustus 2013 Yusti Pujiawati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN Bahan Ternak Ransum Kandang dan Peralatan Lokasi dan Waktu Prosedur Pemeliharaan Koleksi Feses Pengambilan Sampel Susu Rancangan Percobaan dan Analisa Data HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi Zat Makanan Konsumsi Protein Kasar Konsumsi Serat Kasar Konsumsi Lemak Kasar Konsumsi Beta-N Konsumsi Mineral Ca dan P Kecernaan Zat Makanan dan Total Digestible Nutrient Konsumsi Bahan Kering dan Zat Makanan pada Fase Laktasi Komposisi Susu SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP UCAPAN TERIMA KASIH
xi xi 1 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 4 4 4 5 5 5 6 6 7 8 9 11 11 11 11 14 17 17
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Susunan konsentrat perlakuan Kandungan zat makanan konsentrat dan hijauan Konsumsi bahan kering Konsumsi zat makanan Kecernaan zat makanan dan Total Digestible Nutrient Rataan konsumsi bahan kering dan zat makanan selama fase laktasi Analisis komposisi susu
2 2 4 4 7 8 9
DAFTAR LAMPIRAN 1. Sidik ragam konsumsi bahan kering akhir kebuntingan 2. Sidik ragam konsumsi protein kasar akhir kebuntingan 3. Sidik ragam konsumsi serat kasar akhir kebuntingan 4. Sidik ragam konsumsi lemak kasar akhir kebuntingan 5. Sidik ragam konsumsi bahan ekstrak tanpa nitrogen 6. Sidik ragam kecernaan bahan kering 7. Sidik ragam kecernaan protein kasar 8. Sidik ragam kecernaan serat kasar 9. Sidik ragam kecernaan lemak kasar 10. Sidik ragam kecernaan bahan ekstrak tanpa nitrogen 11. Sidik ragam Total digestible nutrient 12. Sidik ragam penyerapan Ca 13. Sidik ragam penyerapan P 14. Sidik ragam lemak susu 15. Sidik ragam protein susu 16. Sidik ragam laktosa susu 17. Sidik ragam konsumsi bahan kering fase laktasi 18. Sidik ragam konsumsi Protein kasar fase laktasi 19. Sidik ragam konsumsi serat kasar fase laktasi 20. Sidik ragam konsumsi lemak kasar fase laktasi 21. Sidik ragam konsumsi bahan ekstrak tanpa nitrogen
14 14 14 14 14 14 14 14 15 15 15 15 15 15 15 15 16 16 16 16 16
PENDAHULUAN Domba Garut termasuk domba lokal ekor tipis yang banyak dikembangkan sebagai penghasil daging atau sebagai ternak aduan. Bobot Domba Garut jantan mencapai 60-80 kg, sedangkan bobot Domba Garut betina mencapai 30-40 kg (Mulyono 2005). Domba Garut memiliki kemampuan untuk menghasilkan anak lebih dari satu perkelahiran (prolific). Pemberian pakan yang berkualitas akan menunjang fungsi reproduktif dari Domba Garut. Beberapa fase kritis dalam fase hidup ternak antara lain awal kebuntingan, akhir kebuntingan dan laktasi. Fase akhir kebuntingan merupakan fase dengan perkembangan fetus yang sangat cepat (Pulina 2004). Menurut Alabama Cooperative Extension System (2007) pada akhir kebuntingan domba (50 hari akhir masa kebuntingan) gizi sangat berperan penting karena 70% dari pertumbuhan fetus terjadi pada fase ini. Kekurangan zat makanan pada fase akhir kebuntingan dikhawatirkan mempengaruhi bobot lahir, produksi susu, bobot sapih dan daya tahan tubuh anak. Konsumsi pakan saat bunting lebih banyak dibandingkan konsumsi pakan saat tidak bunting pada pemberian ransum dengan sumber karbohidrat yang berbeda (Santi 2011). Fase laktasi merupakan fase dengan kebutuhan zat makanan terbanyak. Menurut Robinson (1986), fase laktasi merupakan periode dimana induk domba membutuhkan nutrisi pada tingkat yang tertinggi. Kebutuhan zat makanan yang banyak pada fase laktasi diperlukan untuk menunjang pengadaan air susu induk. Asam lemak tidak jenuh merupakan salah satu zat makanan pendukung fungsi reproduktif ternak. Minyak biji bunga matahari merupakan salah satu sumber potensial asam lemak tidak jenuh. Menurut Tambun (2006), minyak biji bunga matahari mengandung asam lemak tidak jenuh (PUFA) berupa linoleat atau omega-6 (18:2n-6) 67.50%, oleat (C18:1n-6) 18.70% dan vitamin E tinggi. Asam lemak tidak jenuh paling dominan dalam minyak biji bunga matahari adalah asam linoleat. Asam linoleat berperan sebagai komponen membran sel yang meregulasi metabolisme sel, prekursor sintesis prostaglandin dan asam lemak rantai panjang lainnya penting dalam fungsi fisiologis saat pertumbuhan, reproduksi dan laktasi (Mayes 1996). Asam linoleat juga diketahui sebagai prekursor asam α-linolenat (18:3n-3), asam eikosapentatonoat (20:5n-3), asam dokosahesanoat (22:6n-3) (Ginsberg dan Kamally 2000). Penggunaan minyak biji bunga matahari dikhawatirkan mengganggu proses pencernaan fermentatif dalam rumen. Menurut Palmquist (1994) adanya asam lemak bebas yang berlebih akan mengubah pola fermentasi secara umum. Pengukuran konsumsi zat makanan pada dua fase yaitu fase akhir kebuntingan dan fase laktasi bertujuan untuk mengevaluasi kecukupan zat makanan pada fase tersebut dan menggambarkan kemampuan induk domba untuk memanfaatkan zat makanan yang dikonsumsi menjadi susu. Kecernaan zat makanan pada ruminansia sangat bergantung pada aktivitas mikroba rumen. Perubahan pola fermentasi diduga akan berdampak pada komposisi susu. Penambahan minyak biji bunga matahari sebagai sumber asam lemak tidak jenuh juga memungkinkan untuk meningkatkan atau menurunkan kadar lemak susu induk. Penelitian ini bertujuan untuk mencari level optimal penggunaan minyak biji bunga matahari dalam ransum induk dan pengaruhnya terhadap kecernaan zat makanan akhir kebuntingan juga komposisi susu.
2
METODE PENELITIAN Bahan Ternak Domba Garut bunting yang telah dilakukan USG (ultrasonography) sebelumnya. Rataan bobot badan 22.4±1.6 kg sejumlah 12 ekor. Ransum Ransum disusun dengan kadar TDN 70%-75% dan protein kasar 14%. Ransum yang diberikan berkonsep isoprotein. Ransum yang diberikan terdiri atas hijauan dan konsentrat dengan perbandingan 30:70. Hijauan diberikan sama setiap perlakuan yaitu 30% dari total ransum. Susunan konsentrat perlakuan disajikan pada Tabel 1 dan kandungan zat makanan konsentrat dan hijauan disajikan pada Tabel 2. Tabel 1 Susunan konsentrat perlakuan Pakan P0 34.3 57.1 6.4 0.0 0.7 0.7 0.7
Onggok B.Kelapa B.Kedelai M.Matahari CaCO3 Garam Premix
Perlakuan Jumlah (%) bahan pakan P1 P2 32.4 30.3 57.1 57.1 6.4 6.4 2.9 5.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
P3 27.6 57.1 6.4 8.6 0.7 0.7 0.7
Tabel 2 Kandungan zat makanan konsentrat dan hijauan Zat Makanan Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN Kalsium (Ca) Fosfor (P)
P0 86.90 21.45 3.79 21.74 70 0.97 1.07
Konsentrat P1 P2 --------------------%----------------85.63 87.00 24.81 19.95 4.65 7.49 26.51 21.00 71.3 73 1.17 1.07 0.94 0.89
P3 87.16 20.41 8.05 24.75 74.7 0.98 0.88
Hijauan 20.18 12.88 0.76 33.20 55.01 0.63 0.35
Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Insititut Pertanian Bogor (2012)
Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan berupa kandang individu yang dilengkapi dengan satu tempat makan, satu tempat minum, serta alat penampung feses. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan kapasitas 5 kg untuk ransum, timbangan bobot badan digital, termometer dan higrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban kandang. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Kandang B. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni 2012 hingga Februari 2013.
3 Prosedur Pemeliharaan Domba ditimbang bobot badan awalnya kemudian dimasukkan dalam kandang individu. Ransum diberikan sebanyak 3 %BB. Pemberian rumput diberikan tiga kali yaitu pagi, siang dan sore hari. Pemberian konsentrat perlakuan diberikan dua kali pada siang hari. Koleksi Feses Koleksi feses dilakukan selama tiga hari pada fase akhir kebuntingan (50 hari sebelum kelahiran). Kandang individu telah dimodifikasi dengan menambahkan alas bambu bersekat sehingga mampu menampung feses. Sampel feses diambil kurang lebih 10% dari total feses. Sampel feses dijemur dan dimasukkan dalam kantong plastik berlabel. Sampel feses kering matahari dimasukkan dalam oven 60oC kemudian dimasukkan dalam eksikator hingga mencapai bobot konstan. Sampel dikompositkan dan digiling untuk analisis proksimat. Pengambilan Sampel Susu Pengambilan sampel susu pada fase awal laktasi. Awal laktasi ditentukan dengan melihat tanggal kelahiran domba. Sampel susu mulai diambil pada hari ke-7 pasca melahirkan. Pada hari ke-7 diperkirakan induk domba sudah tidak memproduksi kolostrum lagi, sehingga yang disekresi berupa susu. Sampel susu diperah secara manual yang ditampung dalam botol steril kemudian disimpan dalam freezer. Sampel susu diambil pada siang hari atau sampel susu relatif. Sampel diambil bertahap setiap minggu. Pada akhir pengambilan sampel susu dikompositkan. Sampel susu dianalisis menggunakan alat milkotester. Rancangan Percobaan dan Analisa Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) 4 perlakuan dan 3 ulangan untuk peubah konsumsi zat makanan, koefisien cerna zat makanan, total digestible nutrient (TDN) dan absorpsi Ca:P, sedangkan untuk peubah komposisi susu hanya menggunakan 3 perlakuan (P0, P2, P3) dan 3 ulangan. Hal ini berdasarkan jumlah domba pada fase laktasi. Perlakuan yang diberikan adalah ransum dengan kadar minyak biji bunga matahari yang berbeda, yaitu: P0 = Pemberian ransum tanpa minyak biji bunga matahari P1 = Pemberian ransum dengan 2% minyak biji bunga matahari P2 = Pemberian ransum dengan 4% minyak biji bunga matahari P3 = Pemberian ransum dengan 6% minyak biji bunga matahari Dengan model matematik sebagai berikut (Steel dan Torrie 1993): yij = µ + τi + Ɛij yij = Respon amatan pada ransum ke-i dan ulangan ke-j µ = Rataan umum pengamatan τi = pengaruh pemberian ransum ke-i (i= 1,2,3) Ɛij = Pengaruh galat ransum ke-i (i= 1,2,3) dan ulangan ke-j (j=1,2,3,4) Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati, maka data yang diperoleh akan dianalisis sidik ragam (ANOVA), jika didapatkan data yang berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut Polinomial Ortogonal.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi bahan kering tidak dipengaruhi oleh penambahan minyak biji bunga matahari (P>0.05). Tabel 3 Konsumsi bahan kering Perlakuan
Konsumsi (g ekor-1 hari -1) BK BK hijauan BK konsentrat Rasio BK H:K BK (BB%)
P0 911.35±44.72 248.19±16.20 663.15±28.93 27:73 3.04±0.15
P1 943.48±197.30 348.73±204.03 594.75±23.16 36:64 3.14±0.66
P2 993.34±43.54 239.82±29.60 753.51±16.16 24:76 3.31±0.14
P3 895.76±186.84 204.19±41.20 691.57±147.09 23:77 2.99±0.62
P0: ransum tanpa penambahan minyak biji bunga matahari, P1: 2% minyak biji bunga matahari, P2: 4% minyak biji bunga matahari, P3: 6% minyak biji bunga matahari. H: hijauan, K: konsentrat
Rataan konsumsi bahan kering adalah 895.76-993.34 g ekor-1 hari -1 atau 2.99%-3.31% dari bobot badan. Konsumsi bahan kering hijauan adalah 204.19348.73 g ekor-1 hari-1, sedangkan untuk konsentrat adalah 594.75-753.51 g ekor-1 hari-1. Rasio konsumsi bahan kering untuk hijauan dan konsentrat adalah 2336:64-77. Nilai konsumsi bahan kering tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Karolita (2011) pada domba akhir kebuntingan yang diberi ransum onggok dan jagung yaitu sebesar 477.45-498.65 g ekor-1 hari-1 atau 2.5% dari bobot badan. Rataan konsumsi bahan kering sesuai dengan standar kebutuhan zat makanan menurut NRC (2006) untuk domba dengan bobot badan 20kg-30kg adalah 600-900 g ekor-1 hari-1 atau 3%-5% dari bobot badan, selain itu juga sesuai dengan standar kebutuhan zat makanan menurut Kearl (1982) pada domba dengan bobot badan 30 kg dan pertambahan bobot badan 125 g adalah 940 g ekor-1 hari-1. Konsumsi Zat Makanan Secara umum konsumsi zat makanan tidak dipengaruhi oleh penambahan minyak biji bunga matahari (P>0.05), kecuali untuk lemak kasar. Tabel 4 Konsumsi zat makanan Konsumsi -1
-1
PK (g ekor hari ) PK (%BK) SK (g ekor-1 hari-1) SK (%BK) LK (g ekor-1 hari-1) LK (%BK) Beta-N (g ekor-1 hari-1) Beta-N (%BK) Ca (g ekor-1 hari-1) P (g ekor-1 hari-1) Rasio Ca:P
Perlakuan P0 P1 P2 173.91±8.22 168.69±25.04 181.25±6.67 19.08±0.04 18.02±1.02 18.25±0.13 226.56±11.55 273.00±65.89 237.87±12.69 24.65±0.06 27.76±1.08 23.14±0.25 27.05±1.21a 30.30±1.56a 58.30±1.40b 2.97±0.01 3.28±0.50 5.87±0.13 423.19±20.73 407.41±90.73 450.20±199.86 46.43±0.01 43.11±0.55 45.32±0.01 7.99±0.38 9.13±1.22 9.60±0.34 7.98±0.36 6.62±0.71 7.57±0.23 1.0:1.0 1.4:1 1.3:1
P3 167.45±35.13 18.69±0.07 238.94±49.63 23.33±0.13 57.26±12.15a 6.40±0.07 378.36±78.78 42.23±0.05 8.09±1.70 6.81±1.44 1.2:1
P0: ransum tanpa penambahan minyak biji bunga matahari, P1: 2% minyak biji bunga matahari, P2: 4% minyak biji bunga matahari, P3: 6% minyak biji bunga matahari.aAngka-angka yang berbeda pada baris yang sama menunjukan sangat berbeda nyata (P<0.01). PK : protein kasar, SK : serat kasar, LK: lemak kasar, Beta-N: Bahan ekstrak tanpa nitrogen.
5 Konsumsi Protein Kasar Penambahan minyak biji bunga matahari tidak mempengaruhi konsumsi protein kasar (P>0.05). Konsumsi protein adalah 167.45-181.25 g ekor-1 hari-1 atau 18.02-19.02 %BK. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Karolita (2011) yaitu 76.20-77.30 g ekor-1 hari-1, juga lebih tinggi dari penelitian Annet et al. (2008) pada domba bunting yang diberi pakan dengan kandungan PK 19.70% yaitu berkisar 135-158 g ekor-1 hari-1. Konsumsi protein kasar akhir kebuntingan (Tabel 4) lebih banyak dibandingkan standar kebutuhan zat makanan menurut Kearl (1982) yaitu 103 g ekor-1 hari-1 akan tetapi lebih sedikit dari standar menurut NRC (2006) untuk domba akhir kebuntingan dengan bobot badan 30kg-40kg yaitu 187-202 g ekor-1 hari-1. Kebutuhan protein pada domba akan meningkat selama periode kebuntingan terutama pada fase akhir kebuntingan (Cowan et al. 1981; Robinson 1986). Fase akhir kebuntingan membutuhkan asupan zat makanan lebih banyak yang salah satunya digunakan untuk pertumbuhan fetus. Kebutuhan protein kasar pada awal kebuntingan menurut NRC (2006) adalah 156 g ekor-1 hari-1, sedangkan menurut Kearl (1982) adalah 75-133 g ekor-1 hari-1. Kebutuhan protein kasar pada akhir kebuntingan lebih tinggi dibandingkan awal kebuntingan (NRC 2006; Kearl 1982). Menurut Pulina (2004) fase akhir kebuntingan merupakan fase dengan pertumbuhan fetus tercepat. Konsumsi Serat Kasar Konsumsi serat kasar tidak dipengaruhi oleh penambahan minyak biji bunga matahari (P>0.05). Konsumsi serat kasar (Tabel 4) berkisar antara 237.87-273.00 g ekor-1 hari-1 atau 23.14-27.76 %BK. Konsumsi serat kasar lebih banyak dibanding kebutuhan serat kasar domba dalam ransum yaitu 18% (Hemawan 2009). Ternak ruminansia memiliki kemampuan untuk mencerna serat dengan bantuan mikroba dalam rumen. Walaupun demikian kandungan serat kasar yang tinggi akan menurunkan jumlah zat makanan yang dicerna. Serat kasar yang terlalu tinggi akan mengurangi konsumsi dari nutrisi dapat dicerna, karena konsumsi bahan bulky yang sulit dicerna harus dibatasi (Maynard dan Loosly 1979). Serat kasar yang tercerna akan diubah menjadi produk berupa VFA atau energi. Serat kasar dalam rumen akan menghasilkan proporsi asetat yang lebih tinggi dibanding karbohidrat non-struktral (Dijkstra 1994). Konsumsi Lemak Kasar Penambahan minyak biji bunga matahari secara sangat nyata (P<0.01) mempengaruhi konsumsi lemak kasar. Konsumsi lemak kasar lebih banyak pada ransum yang ditambahkan minyak biji bunga matahari dibandingkan dengan ransum kontrol. Hal ini terkait erat dengan kandungan lemak kasar dalam ransum yang meningkat seiring dengan penambahan minyak biji bunga matahari. Konsumsi lemak kasar pada penambahan 4% minyak biji bunga matahari lebih banyak dibandingkan pada penambahan 6% minyak biji bunga matahari. Hal ini dapat dilihat pada kurva konsumsi lemak kasar (Gambar 1) dengan persamaan kuadratik yaitu y= -0.980x2+15.14x+5.584 (R2= 0.998). Penurunan konsumsi lemak kasar pada penambahan 6% minyak biji bunga matahari diduga disebabkan oleh penurunan konsumsi bahan kering, meskipun konsumsi bahan kering tidak berbeda nyata, akan tetapi konsumsi bahan kering pada penambahan 6% minyak
6
konsumsi lemak (g ekor-1 hari-1
biji bunga matahari lebih sedikit dibandingkan pada penambahan 4% minyak biji bunga matahari (Tabel 3). 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00
y = -0,980x2 + 15,14x + 5,584 R² = 0,998
20,00 10,00 0,00 0
1
2
3
4
5
6
7
level minyak biji bunga matahari (%)
Gambar 1 Kurva konsumsi lemak Konsumsi Beta-N Penambahan minyak biji bunga matahari tidak mempengaruhi konsumsi Beta-N (P>0.05). Konsumsi Beta-N berkisar antara 378.36-450.20 g ekor-1 hari-1 atau 42.23-46.43 %BK, meskipun konsumsi Beta-N tidak berbeda nyata tetapi konsumsi Beta-N menurun pada level 6% minyak biji bunga matahari. Konsumsi Beta-N sejalan dengan penggunaan onggok dalam ransum yang menurun seiring dengan bertambahnya level minyak biji bunga matahari. Onggok merupakan sumber karbohidrat yang juga sumber Beta-N bagi ternak. Penggunaan onggok dalam pakan ternak dapat menurunkan biaya ransum (Rasyid et al. 1995). Menurut Karolita (2011) onggok sesuai sebagai sumber energi untuk domba bunting. Konsumsi Mineral Ca dan P Konsumsi mineral Ca dan P tidak menunjukan perbedaan nyata (P>0.05). Konsumsi mineral Ca dan P adalah 7.99-9.60 g ekor-1 hari-1 dan 6.62-7.98 g ekor-1 hari-1. Standar kebutuhan mineral Ca dan P untuk domba menurut NRC (2006) adalah 4-6.70 g ekor-1 hari-1 dan 1.90-3.20 g ekor-1 hari-1. Konsumsi mineral Ca dan P pada Tabel 4 lebih banyak dibandingkan standar kebutuhan menurut NRC (2006) dan standar kebutuhan menurut Kearl (1982) yang menyatakan bahwa kebutuhan mineral Ca dan P adalah 5.9 g ekor-1 hari-1 dan 3.3 g ekor-1 hari-1. Rataan rasio Ca:P adalah 1.2:1, nilai ini masih rendah dibandingkan NRC (2006) yaitu 3:1. Kandungan fosfor dalam ransum diduga terlalu tinggi, sehingga terjadi ketidakseimbangan rasio. Rasio Ca:P yang rendah bersifat menghambat penyerapan mineral Ca dalam tubuh. Kekurangan mineral Ca dan P akan menstimulasi tubuh untuk mengambil mineral Ca dan P dari tulang induk domba (NRC 2006).
7 Kecernaan Zat Makanan dan Total Digestible Nutrient Kecernaan zat makanan tidak dipengaruhi oleh penambahan minyak biji bunga matahari (P>0.05). Kecernaan bahan kering pada penelitian ini berkisar 74.85%-85.73%. Kecernaan bahan kering sejalan dengan konsumsi bahan kering yang juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Zain (1999) menyatakan jika konsumsi ransum berkorelasi positif dengan kecernaan ransum. Pada penelitian Kolver et al (2002) menyatakan bahwa penambahan asam lemak esensial sebanyak 3.3% bahan kering tidak berpengaruh pada kecernaan bahan kering dan kecernaan serat. Meskipun tidak memberikan pengaruh nyata, penambahan minyak biji bunga matahari pada level 6% menurunkan bahan kering tercerna sebanyak 3.66 g ekor-1 hari-1 terhadap perlakuan kontrol. Tabel 5 Kecernaan zat makanan dan total digestible nutrient Peubah BKC g ekor-1 hari-1 KCBK (%) PKC g ekor-1 hari-1 KCPK (%) SKC g ekor-1 hari-1 KCSK (%) LKC g ekor-1 hari-1 KCLK (%) Beta-NC g ekor-1 hari-1 KCBeta-N (%) Ca-T g ekor-1 hari-1 KTCa (%) P-T g ekor-1 hari-1 KTP (%) Rasio Ca:P TDN (kg) TDN (%)
P0 682.05±45.17 74.85±3.77 140.72±8.66 80.89±2.15 134.41±14.19 59.28±4.95 24.96±0.93 92.40±5.68 357.54±16.71 84.52±3.17 5.31±0.69 66.72±11.14 7.07±0.18 88.55±1.75 1.3:1.0 0.69±0.04 68.88±4.01
Perlakuan P1 P2 P3 790.65±172.51 761.72±62.25 678.39±101.52 83.73±1.97 76.68±5.49 76.54±6.45 146.02±21.31 146.57±11.80 134.15±22.12 86.60±1.34 80.84±5.26 80.71±4.52 220.18±59.20 151.52±21.49 158.61±17.57 80.62±4.01 63.72±8.89 67.52±8.79 28.05±1.07 55.58±1.50 56.70±11.99 92.60±1.67 95.35±2.13 99.06±0.75 357.47±83.20 378.35±19.50 308.50±50.18 87.62±0.84 84.05±3.05 82.23±5.68 6.90±0.71 5.81±1.13 4.85±0.54 75.70±3.65 60.49±11.34 62.27±9.10 5.96±0.51 6.52±0.34 5.82±1.14 90.10±2.07 86.21±5.11 86.09±2.45 0.9:1.0 1.1:1.0 1.2:1.0 0.79±0.16 0.80±0.05 0.73±0.12 78.68±16.47 80.15±5.50 72.88±11.63
P0: ransum tanpa penambahan minyak biji bunga matahari, P1: 2% minyak biji bunga matahari, P2: 4% minyak biji bunga matahari, P3:6% minyak biji bunga matahari, KC: koefisien cerna, KT: koefisien terserap, BKC: bahan kering tercerna, PKC: protein kasar tercerna, SKC: serat kasar tercerna, LKC: lemak kasar tercerna, Beta-N C: bahan ekstrak tanpa nitrogen tercerna, Ca-T: kalsium terserap, P-T: Fosfor terserap.
Kecernaan protein (Tabel 5) adalah 80.71%-86.60%. Nilai ini lebih tinggi dibanding kecernaan protein pada penelitian Karolita (2011) yaitu 57.71%70.79%. Kecernaan lemak kasar berkisar antara 92.40%-99.60%. Kecernaan lemak kasar tidak dipengaruhi perlakuan, akan tetapi kecernaan lemak kasar meningkat sebanyak 6.6% terhadap ransum kontrol. Hal ini diduga karena kandungan lemak kasar yang meningkat dalam ransum perlakuan. Kecernaan lemak kasar pada penambahan 6% minyak biji bunga matahari mencapai nilai 99.06%, hal ini menunjukan bahwa penambahan lemak melebihi 6% tidak efisien didukung dengan adanya penurunan konsumsi lemak pada perlakuan yang sama. Lemak yang dicerna dan diserap akan dideposit dalam tubuh. Menurut Ponnampalan et al. (2002) bila asam lemak jenuh yang diberikan berlebih dari kebutuhan maka akan dideposit sebagai trigliserida cadangan, sedangkan kelebihan PUFA terutama n-3 sebagian besar dideposit dalam fosfolipid struktural. Fosfolipid merupakan lipid dominan dalam sel yang berperan penting untuk menunjang metabolisme sel. Kandungan TDN (total digestible nutrient) berkisar antara 68.88%-80.15%. Kandungan TDN ini masih
8 mencukupi kebutuhan domba bunting menurut Ensminger dan Olentine (1980) yaitu kebutuhan TDN untuk domba bunting kurang lebih 66%. Rasio mineral Ca dan P tercerna masih rendah dibandingkan standar NRC (2006) yang menetapkan rasio mineral Ca:P adalah 3:1. Penyerapan mineral Ca terjadi dalam usus halus yang dipengaruhi kebutuhan tubuh terhadap Ca, vitamin D, protein dan laktosa (Ensminger 2002). Penyerapan mineral P tidak bergantung pada bentuk senyawa fosfor yang dimakan, tetapi pada kelarutannya apabila kontak dengan villi usus (Tillman et al. 1991). Kondisi fisiologis ternak menentukan kebutuhan kalsium. Pada hewan betina kebutuhan kalsium akan mengalami peningkatan pada akhir kebuntingan dan laktasi (Yafizham 2006) dan pada saat ini terjadi peningkatan efisiensi apsorpsi Ca (NRC 1985). Kebutuhan mineral Ca dan P pada domba bunting diperlukan untuk menghindari masalah kesehatan ketika laktasi (McDowell et al. 1993). Kekurangan Ca dan P akan menstimulasi tubuh untuk mengambil mineral Ca dan P dari tulang induk domba (NRC 2006). Konsumsi Bahan Kering dan Zat Makanan pada Fase Laktasi Konsumsi zat makanan pada fase laktasi menentukan kemampuan induk domba untuk memenuhi produksi susu. Tabel 6 Rataan konsumsi bahan kering dan zat makanan selama fase laktasi Konsumsi (g ekor-1 hari-1) Bahan kering Abu Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Beta-N
P0 932.24±14.68 62.13±2.28 176.79±5.23 27.27±0.66 233.26±9.54 432.45±9.46
Perlakuan P2 869.09±56.55 58.00±3.73 154.55±10.42 47.18±3.42 215.06±13.38 466.88±34.42
P3 852.39±87.55 52.43±4.98 153.46±17.78 48.91±7.08 233.50±21.94 440.37±66.80
P0: ransum tanpa penambahan minyak biji bunga matahari, P2: 4% minyak biji bunga matahari, P3: 6% minyak biji bunga matahari.
Pengukuran konsumsi bahan kering dan zat makanan pada fase laktasi hanya dilakukan pada perlakuan P0, P2 dan P3. Hal ini disebabkan karena mortalitas anak domba yang tinggi pada perlakuan P1 (2% minyak biji bunga matahari) yang mengakibatkan produksi susu induk menjadi terhenti. Konsumsi bahan kering pada fase laktasi berkisar antara 852.39-932.24 g ekor-1 hari-1. Konsumsi bahan kering sesuai dengan standar kebutuhan menurut Kearl (1982) yang menyatakan bahwa kebutuhan bahan kering untuk domba dengan bobot 20 kg dan pertambahan bobot badan 100 g adalah 900 g ekor-1 hari-1. Konsumsi protein fase laktasi pada penelitian ini berkisar antara 153.46-176.79 g ekor-1 hari-1. Konsumsi protein pada penelitian ini masih sesuai dengan kebutuhan protein untuk induk domba laktasi yaitu 103 g (Kearl 1982). Konsumsi serat kasar adalah 215.06-233.50 g ekor-1 hari-1. Konsumsi serat kasar menurun dibandingkan pada akhir kebuntingan. Serat kasar memiliki fungsi untuk menjaga saluran pencernaan, juga berkaitan dengan prekursor lemak susu yang berupa hasil perombakan serat dalam rumen yaitu asam asetat. Konsumsi lemak kasar pada fase laktasi tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Konsumsi lemak kasar pada penelitian ini adalah 27.27- 48.91 g ekor-1 hari-1. Konsumsi lemak kasar pada fase laktasi lebih sedikit dibandingkan konsumsi lemak kasar pada akhir kebuntingan. Meskipun konsumsi lemak kasar pada fase laktasi tidak dipengaruhi perlakuan, akan tetapi konsumsi lemak kasar pada
9 ransum yang ditambahkan minyak biji bunga matahari lebih banyak dibandingkan konsumsi lemak kasar pada ransum kontrol. Peningkatan kandungan lemak kasar ransum berdampak pada peningkatan lemak darah. Lemak darah bersama dengan glukosa dan asetat merupakan prekursor utama sintesis lemak susu (Rook dan Thomas 1983). Cadangan lemak tubuh pada saat fase laktasi akan digunakan sebagai sumber energi untuk memenuhi produksi susu (Cowan et al. 1981). Konsumsi Beta-N fase laktasi berkisar antara 432.45-466.88 g ekor-1 hari-1. Konsumsi Beta-N fase laktasi meningkat dibanding konsumsi Beta-N akhir kebuntingan. Konsumsi Beta-N pada fase laktasi berkaitan dengan pemenuhan prekursor laktosa susu atau gula susu. Beta-N dalam tubuh akan dirombak menjadi glukosa yang diserap dan diedarkan oleh darah. Peningkatan konsumsi Beta-N maka meningkat pula komponen glukosa darah. Karbohidrat atau Beta-N pada ternak ruminansia akan dirombak menjadi asam propionat. Propionat merupakan prekursor utama pembentukan glukosa (Matras dan Preston 1983) dan glukosa darah merupakan prekursor utama laktosa (Bergman 1983). Konsumsi abu berkaitan dengan konsumsi mineral pakan. Konsumsi abu tidak dipengaruhi oleh penambahan minyak biji bunga matahari (P>0.05), akan tetapi konsumsi abu paling rendah terdapat pada perlakuan penambahan 6% minyak biji bunga matahari. Hal ini juga sejalan dengan kandungan mineral susu pada perlakuan P3 lebih rendah dibanding perlakuan lainnya. Konsumsi dan penyerapan mineral Ca dan P (Tabel 5) pada perlakuan 6% minyak biji bunga matahari lebih rendah. Mineral Ca dan P pada fase kebuntingan dan laktasi sangat penting untuk pertumbuhan fetus saat bunting dan memenuhi kebutuhan mineral dalam susu. Semua mineral yang terkandung dalam susu yakni Ca (kalsium) K (kalium), Na (natrium), P (fosfor) dan Mg (magnesium) diserap langsung oleh sel sekresi dari dalam darah (Sodiq dan Abidin 2002). Unsur primer yang terdapat dalam susu seperti glukosa, asam amino, asam lemak dan mineral berasal dari darah (Yafizham 2006). Komposisi Susu Komposisi susu sangat tergantung pada ketersediaan prekursornya. Susu domba dibandingkan dengan susu sapi dan susu kambing memiliki kandungan protein dan lemak yang lebih tinggi (Pulina dan Nudda 2004). Tabel 7 Analisis komposisi susu Peubah Total Padatan (%) Berat Jenis (%) Lemak (%) Protein (%) Laktosa (%) Mineral (%)
P0 17.88±2.64 1.034±0.003 6.93±0.70 6.27±0.52 3.76±0.43 1.08±0.14
Perlakuan P2 18.40±2.56 1.040±0.011 6.31±0.89 6.50±1.57 4.48±1.37 1.10±0.29
P3 17.77±2.11 1.034±0.004 7.27±1.93 5.77±0.57 3.77±0.50 0.96±0.10
Standar(*) 17.5 1.037 6.5 5.5 4.8 0.92
P0: ransum tanpa penambahan minyak biji bunga matahari, P2: 4% minyak biji bunga matahari, P3: 6% minyak biji bunga matahari.(*) Pulina dan Nudda (2004)
Komposisi susu tidak dipengaruhi oleh penambahan minyak biji bunga matahari (P>0.05). Kandungan lemak susu berkisar antara 6.93%-7.72%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan kandungan lemak susu menurut Pulina dan Nudda (2004) yang menyatakan kandungan lemak susu domba adalah 6.5%. Meskipun tidak berbeda nyata, penambahan minyak biji bunga matahari meningkatkan kandungan lemak susu sebanyak 1.22% terhadap kontrol. Hal ini terkait dengan
10 meningkatnya prekursor lemak susu. Pada penelitian Ashes et al. (1992) terjadi peningkatan kadar lemak susu sebesar 10% melalui pemberian suplemen biji canola terproteksi formaldehida. Menurut McDonald dan Scott (1977) komposisi lemak dan asam lemak susu bergantung pada komposisi lemak bahan pakan yang digunakan. Pernyataan ini didukung pula oleh pendapat Rumetor (2008) bahwa komposisi susu dipengaruhi oleh zat makanan tersebut akan digunakan sebagai prekursor dalam sintesis susu. Kecernaan lemak yang tinggi kemungkinan meningkatkan jumlah prekursor komposisi susu. Pada fase awal laktasi atau pasca melahirkan, zat makanan dalam ransum akan digunakan pertama untuk mencapai puncak produksi, kemudian persistensi, pemulihan kondisi pasca melahirkan dan yang terakhir adalah kadar lemak susu. Asam lemak rantai pendek disintesis dari asetat dan β-hidroxybutirate di dalam kelenjar mammae dan asam lemak rantai panjang berasal dari sirkulasi darah yang diperoleh dari hasil mobilisasi jaringan adiposa, ransum dan lemak yang disintesa di dalam hati (Chase 2000). Sekitar 50% asam lemak susu disintesa dalam kelenjar mammae dimana dari asetat 40%, β-hydroxybutirate 10% dan sisanya (50%) dari trigliserida kilomikron dan LDL (Low Density Lipoprotein) plasma darah (Kaufmann dan Hagemeister 1987). Kadar protein susu pada penelitian ini tidak menunjukan perbedaan nyata (P>0.05). Kadar protein susu berkisar antara 5.77%-6.50%. Kandungan protein susu lebih tinggi dibandingkan kandungan protein susu menurut Pulina dan Nudda (2004) yaitu 5.5%. Kandungan protein susu tidak dipengaruhi oleh penambahan minyak biji bunga matahari. Hal ini disebabkan karena pengaruh pakan terhadap kadar protein susu cenderung kecil sehingga efeknya tidak terlalu nyata. Keragaman kadar protein susu lebih kecil dibandingkan lemak susu, karena protein susu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genentik daripada faktor lingkungan diantaranya pakan (Le Jaounen 1974). Menurut Pulina (2008) kandungan protein susu lebih dipengaruhi oleh polimorfisme lokus αS1-casein, sedangkan konsentrasi laktosa, mineral dan komponen solid lainnya dipengaruhi langsung oleh zat makanan yang dikonsumsi. Laktosa susu erat kaitannya dengan konsumsi Beta-N ransum. Laktosa susu disintesis dari glukosa darah yang dialirkan menuju sel sekretori pada kelenjar ambing (Apdini 2011). Glukosa merupakan monosakarida yang diperoleh dari perombakan karbohidrat pakan. Karbohidrat diperoleh dari serat dan karbohidrat non-serat yang dinyatakan sebagai Beta-N. Kandungan laktosa susu pada peneltian ini berkisar 3.76%-4.48%. Nilai ini lebih rendah dibandingkan penelitian Pulina dan Nudda (2004) yang memperoleh kandungan laktosa domba sebesar 4.8%. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan pakan yang diberikan. Parameter total padatan pada penelitian ini berkisar antara 17.77%-18.40%, sedangkan menurut Pulina dan Nudda (2004) total padatan pada susu domba adalah 17.5%. Kandungan mineral susu pada perlakuan P2 sejalan dengan konsumsi abu pada perlakuan yang sama. Konsumsi abu pada fase laktasi mengindikasikan jumlah mineral yang diserap oleh tubuh. Semua mineral yang terkandung dalam susu yakni Ca (kalsium) K (kalium), Na (natrium), P (fosfor) dan Mg (magnesium) diserap langsung oleh sel sekresi dari dalam darah (Sodiq dan Abidin 2002).
11
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penambahan minyak biji bunga matahari hingga 6% belum mempengaruhi kecernaan zat makanan dan komposisi susu induk. Penambahan minyak biji bunga matahari hingga level 6% tidak efisien ditinjau dari segi konsumsi lemak kasar. Berdasarkan hasil penelitian, penambahan 4% minyak biji bunga matahari memberikan dampak positif terhadap konsumsi, kecernaan zat makanan dan komposisi susu. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap kecernaan serat kasar yang terdiri atas kecernaan ADF dan NDF pakan. Penelitian komposisi susu dapat dilakukan dengan mengukur penurunan komposisi susu per minggu. Perlu dilakukan penelitian eksplorasi minyak nabati lain sebagai sumber asam lemak tidak jenuh.
DAFTAR PUSTAKA Alabama Cooperative Extension System. 2007. Reproductive management of sheep and goats [internet]. [diunduh 2013 April 18]. Tersedia pada: www.aces.edu. Annett RW, Carson AF, Dawson LER. 2008. Effects of digestible ungradable protein (DUP) supply and fish oil supplements of ewes during late pregnancy on colostrum production and lamb output. J Anim Feed Sci Tech. 146: 270-288 Apdini TAP. 2011. Pemanfaatan pellet Indigofera sp. pada kambing perah peranakan etawah dan saanen di peternakan Bangun Karso farm. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ashes JR. Welch PSTV, Gulati SK, Scott TW, Brown GH. 1992. Manipulation of the fatty acid composition of milk by feeding protected canola seeds. J Dairy Sci. 75:1090-1096. Bergman EI. 1983. Glucose. In. Riis, P.M (ed). Dynamic Biochemistry of Animal Production. Netherlands (NL). Elsevier Science. Chase LE. 2000. Dairy feeding programs and milk composition. Dalam: Overton T. (Ed). Total Dairy Nutrition. New York (US). Department of Animals Sciences. Cornell University. Cowan RT, Robinson JJ, McHattie I, Pennie K. 1981. Effects of protein concentration in the diet on milk yield, change in body composition and the efficiency of utilization of body tissue for milk production in ewes. Anim. Prod. 33:111-120. Dijkstra Y. 1994. Production and Absorption of Volatile Fatty Acids in the Rumen. Livestock Prod Sci. 39:61-69 Ensminger EM, Olentine GC. 1980. Feeds and Nutrition-Complete. California (US). Ensminger Publishing. Ensminger EM. 2002. Sheep and Goat Science. 6th edition. Danville (US). Interstate Publishers.
12 Ginsberg HN, Karmally W. 2000. Nutrition, lipids, and cardiovascular disease. Di dalam: Stipanuk MH, editor. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Philadelphia (US): W.B. Saunders Co. pp. 917-944. Hermawan MU. 2009. Performa produksi domba ekor tipis jantan pada berbagai level substitusi kulit singkong terhadap rumput dalam ransum. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor Karolita J. 2011. Konsumsi dan kecernaan zat makanan pada domba lokal bunting yang mendapat ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kaufmann W, Hagemeister H. 1987. Composition of Milk. Dalam: Gravert HO. (Ed). Dairy Cattle Production. New York (US). Elsevier Science. Kearl LC. 1982. Nutrient Requirement of Academic in Developing Countries International Feed Stufs. United States (US). Agriculture Experiment Station Utah State University Logam. Kolver ES, de Veth MJ, Roche JR, Chand A. 2002. Enhancing ruminal concentrations of conjugated linoleic acid and vaccenic acid. J.Anim.Sci . 80-85 (1):183. Le Jaouen JC. 1974. Simposium on Goat Breeding in Mediterrannian Countries. Madrid (ES). EAAP and Spanish National Comitte Animal Production. Matras J, Preston RL. 1983. The role of glucose infusion on the metabolism of nitrogen in ruminat. J Anim Sci. 67:1642-1642. Mayes PA. 1996. Lipid transport and storage. Dalam. Murry RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. (eds). Harper Biochemistry. 24th edition. London (GB). Prentice Hall International, Inc. Maynard LA, Loosly JK. 1979. Animal Nutrition. 4th edition. New York (US). McGrow Hill Book Company, Inc. McDonald IW, Scott TW. 1977. Foods of ruminant origin with elevated content of polyunsaturated fatty acids. Word Rev. Nutr. Diet. 26:144. McDowell LR, Conard JH, Hembry FG. 1993. Minerals for Grazing Ruminants in Tropical Region. 2nd edition. Florida (US). University of Florida, IFAS. Mulyono S. 2005. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Jakarta (ID) Penerbar Swadaya. [NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. Washington (US). National Academy Press. [NRC] National Research Council. 2006. Nutrient Requirement of Sheep. Washington (US). National Academy Press. Palmquist DL. 1994. The role of dietary fats in efficiency of ruminants. J. Nutr. 124: 1377S-1382S. Pulina G. 2004. Dairy Sheep Nutrition. Walingford (US). CABI Publishing. Pulina G, Nudda A. 2004. Milk production. Dalam : Pulina G, Bencini R (Editors). Dairy Sheep Nutrition. Walingford (US). CABI Publishing. Pulina G, Nudda A, Battacone G, Fancellu S, Francesconi AHD. 2008. Nutrition and Quality of Goat’s Milk. Di dalam: Cannas A, Pulina G. editor. Dairy Goats Feeding and Nutritions. Wallingford (US). CABI International. Ponnampalan EN, Sinclair AJ, Hosking BJ, Egan AR. 2002. Effects of dietary lipid type on muscle fatty acid composition, carcass leanless, and meat toughness in lamb. J Anim Sci. 80:628-636 Rasyid N, Sudarmadji B, Sriyana. 1995. Pembuatan dan Pemanfaatan Onggok sebagai Pakan Ternak. Malang (ID). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Karangploso.
13 Robinson JJ. 1986. Formulation of feeding strategies for sheep. Dalam: Livingstone, R.M. (Ed). Proc. Evaluation Modern Aspects-Problem-Future Trends. The Rowett Res. Ins. Feed Publication 81: 76-92. Rook JAF, Thomas PC. 1983. Nutritional Physiology of Farm Animals. 1st ed. Longman, London and New York (US). Rumetor SD. 2008. Suplementasi daun bangun-bangun (Coleus ambonicus Lour) dan zinc-vitamin E dalam ransum untuk memperbaiki metabolisme dan produksi susu kambing peranakan etawa.[disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Santi NEK. 2011. Penampilan reproduksi induk pertumbuhan anak domba lokal yang mendapat ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok. [skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Sodiq A, Abidin Z. 2002. Penggemukan Domba: Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis. Jakarta (ID). Agromedia Pustaka. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah: M. Syah. Jakarta (ID). PT. Gramedia Pustaka Utama. Tambun R. 2006. Textbook bunga matahari. Dalam: Buku Ajar Teknologi Oleokimia.Medan (ID). Universitas Sumatera Utara. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosekojo S. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID). Gadjah Mada University Press. Yafizham CE. 2006. Gambaran kalsium darah pada periode kebuntingan dan kandungan kalsium dalam susu pada kambing peranakan etawah.[skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Zain M. 1999. Pengaruh taraf bungkil biji kapuk dalam ransum kambing perah laktasi terhadap kecernaan dan karakteristik kondisi rumen. J Pet Ling. 5:32–34.
14
LAMPIRAN Lampiran 1 Sidik ragam konsumsi bahan kering akhir kebuntingan Sumber Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 16712.21 155464.7 172176.9
KT 5570.738 19433.09 15652.45
Fhitung 0.286662
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
Db: derajat bebas, JK: jumlah kuadrat, KT: kuadrat tengah.
Lampiran 2 Sidik ragam konsumsi protein kasar akhir kebuntingan Sumber Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 354.2242 3945.70 4299.93
KT 118.0747 493.2127 390.9024
Fhitung 0.239399
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
Lampiran 3 Sidik ragam konsumsi serat kasar akhir kebuntingan Sumber Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 17749.63 13034.20 4715.425
KT 5916.542 1629.275 428.675
Fhitung F 0.05 3.6313951374.066181
F 0.01 7.590992
Lampiran 4 Sidik ragam konsumsi lemak kasar akhir kebuntingan Sumber Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 2558.25 306.8621 2865.112
KT 852.7499 38.35776 260.4647
Fhitung 22.23148
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
Lampiran 5 Sidik ragam konsumsi bahan ekstrak tanpa nitrogen Sumber Perlakuan Galat Total
db 3 8 11
JK 8139.772 30525.78 38665.56
KT 2713.257 3815.723 3515.051
Fhitung 0.711073
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
Lampiran 6 Sidik ragam kecernaan bahan kering Sumber Perlakuan Galat Total
db 3 8 11
JK 139.858 179.93 319.79
KT 46.61935 22.49152 29.07184
Fhitung 2.0727523
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
Lampiran 7 Sidik ragam kecernaan protein kasar Sumber Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
Sumber Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 75.28507 109.0245 184.3096
KT 25.09502 13.62807 16.75542
Fhitung 1.841422
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
Lampiran 8 Sidik ragam kecernaan serat kasar JK 742.8418 537.9963 1280.838
KT 247.6139 67.24954 116.4398
Fhitung 3.682017
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
15 Lampiran 9 Sidik ragam kecernaan lemak kasar Sumber Perlakuan Galat Total
Db 3 8 11
JK 87.02464 80.429 167.4536
KT 29.00821 10.05362 15.22306
Fhitung 2.885349
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
Lampiran 10 Sidik ragam kecernaan bahan ekstrak tanpa nitrogen Sumber Perlakuan Galat Total
db 3 8 11
JK 45.04637 104.8889 149.9353
KT 15.01546 13.11112 13.63048
Fhitung 1.145246
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
Lampiran 11 Sidik ragam total digestible nutrient Sumber Perlakuan Galat Total
db 3 8 11
JK 142.6385 562.5809 705.2194
KT 47.54617 70.32261 64.11085
Fhitung 0.676115
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
Lampiran 12 Sidik ragam penyerapan kalsium (Ca) Sumber Perlakuan Galat Total
db 3 8 11
Sumber Perlakuan Galat Total
db 3 8 11
Sumber Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 6.94099 5.07 12.01
KT 2.313663 0.633701 1.091873
Fhitung 3.651033
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
Lampiran 13 Sidik ragam penyerapan fosfor (P) JK 2.93091 3.42 6.36
KT 0.97697 0.428054 0.577758
Fhitung 2.282353
F 0.05 4.066181
F 0.01 7.590992
F 0.05 5.143253
F 0.01 10.92477
F 0.05 5.143253
F 0.01 10.92477
F 0.05 5.143253
F 0.01 10.92477
Lampiran 14 Sidik ragam lemak susu JK 1.433252 17.6519 19.08515
KT 0.716626 2.941983 2.385644
Fhitung 0.243586
Lampiran 15 Sidik ragam protein susu Sumber Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
Sumber Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 0.804578 6.394587 7.199165
KT 0.402289 1.065765 0.899896
Fhitung 0.377465
Lampiran 16 Sidik ragam laktosa susu JK 1.132856 4.643309 5.776165
KT 0.566428 0.773885 0.722021
Fhitung 0.731928
16 Lampiran 17 Sidik ragam konsumsi bahan kering fase laktasi Sumber Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 10835.76 23843.27 34679.03
KT 5417.881 3973.878 4334.879
Fhitung 1.363374
F 0.05 5.143253
F 0.01 10.92477
Lampiran 18 Sidik ragam konsumsi protein kasar fase laktasi Sumber Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 1039.389 904.2633 1943.653
KT 519.6947 150.7106 242.9566
Fhitung 3.448297
F 0.05 5.143253
F 0.01 10.92477
Lampiran 19 Sidik ragam konsumsi serat kasar fase laktasi Sumber Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 671.6058 1502.591 2174.196
KT 335.8029 250.4318 271.7746
Fhitung 1.340896
F 0.05 5.143253
F 0.01 10.92477
Lampiran 20 Sidik ragam konsumsi lemak kasar fase laktasi Sumber Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 867.1406 124.544 991.6845
KT 433.5703 20.75733 123.9606
Fhitung 3.497647
F 0.05 5.143253
F 0.01 10.92477
Lampiran 21 Sidik ragam konsumsi bahan ekstrak tanpa nitrogen Sumber Perlakuan Galat Total
db 2 6 8
JK 7312.774 4377.256 11690.03
KT 3656.387 729.5427 1461.254
Fhitung 5.011889
F 0.05 5.143253
F 0.01 10.92477
17
RIWAYAT HIDUP HIDU Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 bulan Mei tahun 1991 dan diberi nama Yusti Pujiawati. Penulis merupakan anak pertama dari bapak Toha Aliatin dan Ibu Rina Kartini.. Penulis menyelesaikan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1 Maja pada tahun 2003-2006 kemudian sekolah menengah mene atas di SMA Negeri 1 Maja pada tahun 2006-2009 2009 dan diterima di Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni 2009 departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan. Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah aktif di organisasi Gentra Kaheman tahun tah 2010-2012 2012 dan pernah aktif di or organisasi Himpunan Mahasiswa Nutrisi Nut dan Makanan Ternak (HIMASITER) 2010 2010-2011, selain itu juga aktif di organisasi kedaerahan yaitu Himpunan Mahasiswa Majalengka (HIMMAKA) 2010-2011. 2010 Penulis juga berkesempatan menjadi asisten ten praktikum mata kuliah Fisiologi Nutrisi Ternak tahun 2013. Penulis merupakan penerima erima beasiswa bimbingan pelajar (BBM) tahun 2011 2011-2013.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillaahirabbil’aalamiin,, segala puji dan syukur penulis panjatkan Alhamdulillaahirabbil’aalamiin kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan pertolongan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Kukuh Budi Sat Satoto MS. selaku pembimbing akademik dan pembimbing penelitian atas bimbingan, motivasi, perhatian dan kesabarannya kes serta Ir. Lilis Khotijah M.Si selaku pembimbing anggota atas bimbingan, nasehat dan ilmunya dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tugas akhir ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat MScAgr, selaku dosen penguji penguji seminar dan sidang, juga kepada Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto MscAgr, selaku dosen penguji sidang dan ucapan terima kasih juga kepada Ir. Widya Hermana M.Si selaku dosen panitia sidang atas saran dan masukan untuk karya tulis ini. ini Ucapan terima kasih yang yang tiada terhingga penulis haturkan kepada Bapak Toha Aliatin dan Ibu Rina Kartini tercinta yang senantiasa enantiasa mendoakan untuk kesuksesan penulis. Terima kasih kepada adik-adik tersayang Elgi Hardiani dan Fikar Rehandsyah yang senantiasa memberikan motivasi, keceriaan keceriaan dan doanya. Penulis ucapkan terima t kasih kepada Asep S dan Sugih atas bantuannya selama penelitian di laboratorium lapang, Pak Darmawan dan Bu Dian yang telah membantu selama penelitian di laboratorium. Terima kasih kepada C Citra, Resti, Ani, Evi, Adi, Rully, y, Cipta dan Meta M dalam penelitian minyak biji bunga matahari atas kerjasama dan kekompakannya selama penelitian sampai penulisan tugas akhir ini. Teman-teman teman tercinta Uti, Za, Wuri, Didi, Inong, Indah, Ruri, Lina, Alfin dan Linda, inda, terima kasih atas semangat dan kebersamaannya. rsamaannya. Terima kasih juga kepada INTP 46 atas kebersamaannya. Penulis is berharap karya tulis ini dapat bermanfaat. Penulis