TINJAUAN PUSTAKA
H u b u n ~ a nAntara Tempemtur Linekunszan dan Kebutuhan Zat-zat Makanan Indonesia terletak di daerah tropis yang mempunyai rataan temperatur dan kelembaban udara yang tinggi.
Rata-
an temperatur harian pada dataran rendah adalah 29
OC
dengan kisaran minimum 25 OC dan maksimum 34 OC dan pada dataran tinggi rataan temperatur adalah 22.5 OC pada kisaran 19 OC minimum dan 26 OC maksimum (Soeharsono, 1976). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelembaban udara berkisar antara 70% - 97% pada dataran rendah
dan
67% - 96% pada
dataran tinggi. Menurut El Boushy dan Marle (1978) zona kenyamanan (comfort zone) ternak unggas adalah antara 15O - 25 OC. Oleh karena ternak unggas termasuk pada kelompok hewan homeoterm, maka semakin tinggi atau semakin rendah temperatur lingkungan di luar zona terrnonetral, maka ternak unggas akan menderita cekaman.
Salah satu implikasi dari ce-
kaman tersebut adalah semakin besar cekaman yang dialami oleh unggas, maka semakin rendah pula konsumsi ransum. Hal ini berarti bahwa semakin berkurang pula konsumsi zatzat makanan yang berakibat pada kekurusan dan rendahnya produksi.
Oleh karena itu biasanya dalam peternakan ung-
gas masalah cekaman selalu dihubungkan dengan penurunan produksi atau performans yang buruk.
Pendapat ini tampak-
nya belum cukup untuk memberi jawaban yanq memuaskan. Pengaruh cekaman lingkungan terhadap pertumbuhan fisik secara fisiologis bukan merupakan pengaruh secara
langeung.
Pengaruh cekaman lingkungan yang tinggi secara
langsung terutama adalah mempunyai efek terhadap fungsi beberapa organ tubuh seperti jantung dan alat pernafasan yang menyebabkan naiknya temperatur tubuh.
Variabel
tersebut di atas adalah merupakan cermin dari aktifitas metabolisme, sehingga laju metabolisme basal pada temperatur lingkungan yang tinggi menjadi naik Burger, 1 9 6 4
; Payne 1966; Reece dan
(Linsley dan
Deaton, 1969).
Naiknya laju metabolisme basal ini menurut Fuller dan Mora (1973) disebabkan karena bertambahnya penggunaan energi
akibat bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung serta bertambahnya sirkulasi darah periferi.
Melihat
hasil tersebut nampaknya bahwa pada temperatur lingkungan yang tinggi di atas termonetral mengakibatkan kebutuhan energi akan lebih tinggi pula.
Namun demikian bahwa
dengan adanya heat increament sebagai akibat pencernaan makanan dan metabolisme zat-zat makanan akan menimbulkan beban panas bagi ternak unggas yang pada gilirannya metabolisme aktif menjadi berkurang.
Berkurangnya metabolisme
aktif karena temperatur lingkungan panas ini cukup menonjol dapat dilihat manifestasi berupa menurunnya aktifitas makan dan minum. Untuk mengatasi menurunnya konsumsi ransum pada unggas yang dipelihara pada temperatur lingkungan panas, kita dapat melakukan dengan cara mengurangi heat increament dari ransum.
Bila ha1 ini dijalankan tanpa mengurangi
konsumsi energi, maka tingginya energi metabolis dalam ransum tidak menjadi masalah
(Fuller dan Mora, 1973).
Dari penelitian-penelitian tentang ransum, ternyata heat increament
dari lemak ternyata paling rendah dibandingkan
dengan karbohidrat dan protein (Mitchell, 1964).
Hal ini
telah dibuktikan oleh Fuller dan Mora (1973) bahwa tingginya energi metabolis dalam ransum yang berasal dari lemak, tidak menurunkan konsumsi ransum.
Hasil yanq diperoleh
ini merupakan salah satu jawaban mengapa hasil-hasil penelitian sebelumnya tidak konsisten dan kadang-kadang bertolak belakang.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut
di atas nampaknya bahwa mekanisme pengaturan energi terhadap konsumsi ransum tidak ditentukan oleh jumlah Energi Metabolis, melainkan juga oleh jenis bahan yang menghasilkan energi metabolis tersebut. Kebutuhan energi metabolis pada ayam petelur tipe medium yang dipelihara pada temperatur lingkungan rendah (17' C)
adalah 2800 kkal EM/kg ransum atau 360 kkal EM/ekor/ha-
ri, sedangkan pada ayam petelur tipe ringan adalah sebesar 2900
kkal/kg ransum atau 320 kkal EM/ekor/hari (Scott et
a l , 1982).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsumsi ransum
ayam petelur yang dipelihara pada temperatur lingkungan yang rendah sebesar 9 0 gram sampai 117 gram per ekor per hari dibandingkan dengan yang dipelihara pada temperatur lingkungan panas lebih rendah yaitu sebesar 82 gram sampai 105
gram.
Hurwitz et al.
(1973) menyatakan bahwa terdapat
interaksi antara temperatur lingkungan dan umur terhadap kebutuhan asam amino dan konsumsi energi.
Pada suasana
temperatur lingkungan yang tinggi kebutuhan asam-asam amii
no dalam ransum akan meningkat. Fisiolo~iCekaman
Kemampuan dari ternak untuk mengaklimatisasi terhadap berbagai temperatur lingkungan telah banyak dilakukan peneliti.
Secara umum dapat dikatakan bahwa karena unggas
termasuk hewan homeoterm maka unggas sangat sulit mengadaptasikan diri terhadap perubahan temperatur lingkungan. Pernyataan ini didukung oleh Sykes (1983) bahwa ayam kurang toleran terhadap perubahan temperatur lingkungan, Penyebab cekaman pada unggas antara lain adalah perubahan temperatur lingkungan, tinggi tempat (altitude), bahan yang mengandung racun, ketakutan, hiperaktif dan defisiensi zat-zat makanan (Ewing, 1963). Apabila ayam dihadapkan pada suatu stressor (faktor penyebab stres) seperti perubahan temperatur lingkungan yang tinggi atau lebih rendah dari termonetral, maka secara cepat terjadi perubahan dari hormon endokrin terutama terjadi pada fase alarm.
Pada fase ini ditandai dengan
peningkatan tekanan darah, kontraksi otot, percepatan respirasi dan kandungan glukosa dalam darah meningkat. Hormon yang mempunyai peranan terhadap rase alarm ini adalah hormon adrenalin yang dihasilkan pada ujung syaraf dan hormon
norephinephrine
(nor adrenalin) yang dihasilkan oleh
medulla adrenal (Ganong, 1963).
Lebih lanjut dinyatakan
bahwa selama fase alarm maka hormon yang ikut berperan adalah berasal dari hypotalamus. kan corticotropin realising anterior.
Hypotalamus mengsekresi-
faktor
( C R F ) k e hipofise
Selanjutnya hipofise anterior mensintesa adeno-
corticotropin
(ACTH) dan selanjutnya disekresikan keselu-
ruh pembuluh darah.
Jaringan kortiko adrenal bertanggung
jawab terhadap ACTH dengan peningkatan sintesa dan pelepasan hormon steroid.
Pada ayam maka hasil akhir adalah di-
tandai dengan peningkatan hormon kortikosteron dan kortisol dalam darah. Frankel (1970) menyatakan bahwa hormon kortikosteron dan kortisol diklasifikasikan sebagai glukokostikoid dan terutama bertanggung jawab terhadap fase resisten yaitu setelah
fase alarm.
Peranan utama dari k o r t i k o s d o n dan
kortisol adalah perubahan metabolik pada peristiwa g l u coneogenesis yaitu perubahan dari non karbohidrat yaitu
protein yang masuk ke dalam darah dan diubah menjadi energi.
Balnave (1974) menyatakan bahwa selain hormon korti-
kosteron dan kortisol ternyata hormon tiroksin dan adrenalin sangat berperan dalam pengaturan temperatur tubuh. Aktifitas kedua hormon tersebut akan meningkat apabila temperatur lingkungan rendah dan sebaliknya akan menurun apabila temperatur lingkungan tinggi. Hormon tiroid bentuk aktif sebagai triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4) mempunyai peranan dalam fisiologi
tubuh.
Pada ayam perbandingan kedua hormon tersebut
adalah 6:4 (Wentworth dan Mellen, 1961). Itulah sebabnya pada ayam untuk mengetahui kandungan hormon tiroid dilakukan dengan mengukur tiroksin.
Beberapa faktor yang rnempe
ngaruhi sekresi hormon tiroid antara lain adalah kontrol dari hipofise yaitu sekresi dari TSH yang akan menurun apabila produksi tiroksin tinggi
(Erickson, Cavalerieri
dan Rosenberg, 1982; Farmer et al, 1973).
Pengaruh ling-
kungan seperti lamanya penyinaran merupakan
salah satu
rangsangan terhadap fungsi kelenjar tiroid pada beberapa spesies ternak.
Panjang hari dapat menghambat katabolisme
hormon tiroid di perifer (Farmer, et al., 1973). Temperatur lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap sekresi hormon tiroid.
Gregerman dan Crowder (1963)
melaporkan bahwa tikus yang mendapat perlakuan cekaman panas yang tinggi maka sekresi hormon tiroid sdalah rendah
.
Struktur Vitamin C dan Sifat Biokirnia Pada penyusunan ransum konvensional para ahli menganggap bahwa vitamin C merupakan salah satu vitamin yang tidak diperhitungkan.
Hal ini disebabkan karena sebagian
besar masih menganut hasil penelitian antara tahun 1920 1930 (Pardue dan Thaxton, 1986).
Perkembangan selanjutnya
dinyatakan bahwa vitamin C dipandang perlu diperhitungkan dalam penyusunan ransum terutama pada kondisi kondisi tertentu seperti temperatur lingkungan tinggi, nutrisi yang
kurang baik dan masalah penyakit karena kemampuan ayam untuk mensintesis vitamin C dalam tubuhnya tidak d a p a t memenuhi kebutuhannya.
lagi
Pemberian vitamin C pada ayam yang
dipelihara pada temperatur lingkungan tinggi ternyata dapat meningkatkan resistensi terhadap panas dan menurunkan tingkat kematian (Thornton, 1962 ; Perek dan Kendler, 1962 ; Lyle dan Moreng, 1968).
0
0
// C---OH
( 2 ~ + ) -4
H-
C
H - C
I H - C - H
I I CH20H
O H - C - H
I
CHZOH
Asam Askorbat Ilustrasi 1.
Asam Dehydroskorbat
Perubahan Bentuk Asam Askorbat Menjadi Bentuk Asam Dehydroaskorbat
Struktur vitamin C pada dasarnya mirip dengan struktur monosakharida, mudah mengalami oksidasi menjadi bentuk dehydro seperti terlihat pada Ilustrasi 1
(Harper et al.,
1979). Proses oksidasi asam askorbat rnenjadi asam dehydroaskorbat terjadi dalam
ginjal
lanjut dinyatakan bahwa lebih dominan.
(Christensen, 1983).
di dalam darah bentuk
Selanjutnya Hornig
Lebih
tereduksi
(1975) menyatakan bahwa
asam askorbat masuk k e dalam jaringan melalui suatu proses
dengan memerlukan sejumlah energi dan sangat sensitif terhadap ion sodium, sedangkan asam dehydroaskorbat melalui proses difusi. Gugus enadiol pada asam askorbat mempunyai peran dalam fungsi fisiologis, yaitu pada gugus ini terjadi pelepasan
ion hidrogen untuk menghasilkan
bentuk dehydro
(Harper et al., 1979). Asam askorbat juga mernpunyai sejumlah reaksi positif, sehingga memungkinkan untuk memiliki beberapa derivat (Hornig et al., 1983).
Salah satu dari komponen tersebut
adalah asam askorbat 2-sulfat yang mempunyai aktivitas vitamin C secara biologis pada ikan salmon, akan tetapi pada bangsa kera tidak memiliki anti skorbut (Machlin et al., 1976). Secara kimiawi bentuk vitamin C
yang stabil terha-
dap oksidasi adalah bentuk dehydroaskorbat.
Bentuk dehy-
droaskorbat terdapat dalam konsentrasi yang kecil pada jaringan, ha1 ini merupakan gambaran adanya sistem oksidasi/reduksi.
Proses oksidasi lebih lanjut akan menghasilkan
asam L-treonat dan karbon dioksida dan asam oksalat.
atau asam L-treonat
Pada proses oksidasi asam askorbat
rnenjadi bentuk asam dehydroaskorbat akan terbentuk asam semi dehydroaskorbat yang bersifat radikal bebas.
Bentuk
tersebut tidak reaktif serta tidak mengganggu keseimbangan antara asam askorbat dan asam dehydroaskorbat. Pada tingkat sel maka asam askorbat terkait dalam transport elektron melalui semi dehydroaskorbat (Weis, 1975).
Biosintesis Vitamin C
Pada kondisi linqkungan yang normal biosintesis vitamin C pada ternak pada umumnya terdapat dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya, akan tetapi pada beberapa kondisi tertentu seperti pada temperatur linqkungan tinggi ternyata sintesis vitamin C tidak cukup ditandai denqan defisiensi vitamin C yang segera terlihat pada ternak (Christensen.1983).
I
H - C
H O - C
H - C
-OH
I
- H
II-
-OH
H - C
I
-
7.
1
- O H
CH20H
D
L-asam gulonat ---, L-gulono gulonat lakton Keto gulono lakton
H -
HO Spesies yang t i d a k m i l i k i L-gulmo t a k t o n oksidase
Tapak J a l a n Pentosa Fosfat
Glukosa
-
L-Asam Askorbat (Vitamin C )
Ilustrasi 2.
Proses Pembentukan vitamin C dalam Hati
Tapak jalan dari biosintesis vitamin C yang berasal dari luar tubuh adalah dengan cara perubahan a!--qulonolac-
ton menjadi 2-keto-a-gulonat sasi spontan
menjadi
yang terjadi secara isomeri-
bentuk tautomerik
a-asam askorbat.
cr-asam
askorbat dibentuk di dalam hati dari bentuk D--glu-
kosa melalui suatu reaksi seperti terlihat pada Ilustrasi 2.
Pada umumnya ternak berlambung sederhana dan ternak
ruminansia mampu untuk mensintesis vitamin C dalam tubuhnya sendiri.
Hal ini disebabkan karena di dalam tubuhnya
terdapat enzim a-qulonolactone 1984).
oxidase
(Sauberlich,
Tingkat kemampuan ini teryata berbeda antara spe-
sies dan jenis hewannya (Chatterjee, 1973).
Selanjutnya
dikatakan bahwa ayam mempunyai kemampuan untuk melakukan biosintesis vitamin C pada organ ginjal.
Kandungan vita-
min C dalam hati menurun sejalan dengan meningkatnya umur. Hornig dan Frigg (1979) menyatakan pada ayam umur muda kecepatan biosintesisnya masih lambat, selanjutnya akan meningkat sampai umur 3 0 hari dan kemudian akan menurun setelah umur 40 hari. Hasil penelitian pada saat ini membuktikan bahwa ayam tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mensintesis vitamin C dalam jumlah yang cukup apabila mendapat cekaman panas (Hornig dan Frigg, 1979). Percobaan pada hewan tikus menunjukkan bahwa
laju
biosintesis vitamin C ternyata dapat dirangsang dengan pemberian obat tertentu (Stare, 1961).
Umumnya faktor
cekaman pada tikus seperti pemuasaan, obat-obatan atau pengaruh lingkungan (cekaman panas) diketahui menyebabkan terjadinya adaptasi dalam meningkatkan aktivitas enzim yang terkait dalam biosintesis vitamin C untuk memenuhi
kebutuhannya.
Akan tetapi pada kondisi cekaman yang ter-
lalu berat, laju biosintesisnya tidak dapat memenuhi kebutuhan vitamin C dalam tubuhnya .(Zannoni et dl., Stubs dan
riff in, 1973; Stare,
1978;
1961).
Menurut Hornig dan Griff (1979) menyatakan bahwa pada kondisi cekaman panas yang tinggi, ayam tidak mampu lagi mensintesis vitamin C yang cukup untuk kebutuhan hidupnya. Kechnik dan Sykes (1979) melakukan percobaan pada ayam yang diinfeksi dengan Eimeria avervulina
(koksidiosis
usus) menyebabkan penurunan konsentrasi vitamin C pada plasma dan beberapa jaringan.
Pada pemberiaan vitamin C
sebanyak 1000 mg/kg ransum ternyata mampu mencegah penurunan vitamin C dalam plasma dan jaringan serta membantu kembali perbaikan usus. Metabolisme dan Absomsi Vitamin C
Kemampuan ternak untuk mengabsorpsi vitamin C ternyata berbeda-beda.
Pada manusia absorpsi vitamin C terjadi
pada duodenum dan ileum, sedangkan pada tikus absorpsi terutama terjadi di ileum (Hornig, 1975).
Absorpsi vita-
min c dalam usus halus tikus melalui suatu proses yang pasif, ha1 ini berarti bahwa pada spesies hewan tertentu yang tidak terkena skorbut mempunyai mekanisme absorpsi vitamin C dengan cara difusi (spencer et dl.,
1963).
Suatu percobaan pada ayam dengan menggunakan asam askorbat yang berlabel
(c-14
)
membuktikan bahwa setelah
delapan jam pemberian dosis tunggal, maka konsentrasi tertinggi terdapat dalam hati.
Pada pemberian asam askorbat
melalui intravenus maka jumlah asam askorbat dalam hati sebesar lo%, sedangkan apabila diberikan melalui oral jumlah askorbat dalam hati hanya ssbesar 5%.
Pada organ lim-
pa dan ginjal konsentrasi askorbat hanya berkisar 1% dari dosis yang diberikan (Hornig dan Frigg, 1979).
Rendahnya
konsentrasi askorbat dalam ginjal disebabkan oleh karena vitamin tersebut setelah dibiosintesis kemudian diangkut k e organ-organ lain di seluruh tubuh. yang dilakukan oleh Burns et
Suatu percobaan
al., (1951) untuk mengetahui
metabolisme vitamin C dengan menggunakan
radio aktif
(-14c) asam askorbat melalui suntikan pada marmot.
Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa 66% dari asam askorbat yang berlabel tersebut ditemukan sebagai (-14c) karbon dioksida, 10% pada urin dan kurang dari 1% pada feses. Hasil yang diperoleh ini menunjukkan bahwa rantai karbon mengalami oksidasi secara luas menjadi karbon dioksida. Puncak radioaktif pada C 0 2 dicapai lebih awal dibandingkan dengan puncak radioaktif pada plasma dan jaringan yang mengandung vitamin C konsentrasi tinggi.
Hasil penelitian
ini menyimpulkan bahwa metabolisme vitamin C yang pertama terjadi pada dinding usus sebelum mencapai sistem sirkulasi.
Bila dibandingkan dengan hasil penelitian secara in
vivo, katabolisme vitamin C pacla marmot dan tikus maka sebagian terbesar menjadi
C02
(Curtin dan King,
1955).
Radioaktif yang ditemukan pnda urin setelah mendapat asam askorbat adalah 10% dalam bentuk asam askorbat
(-14c)
+
asam dehydroaskorbat, 2%-3%
dalam bentuk asam 2,3-diketo
gulonat dan 7% dalam bentuk asam oksalat.
Sedangkan meta-
bolit lain yang diisolasi dari urin tikus dan marmot adalah 2-0-metil askorbat, asam sakharo askorbat (Tolbert et dl.,
1976) dan asam askorbat 2-sulfat (Baker et dl.,
1971)
dalam jumlah yang sangat kecil. Salah satu fungsi utama dari vitamin C diduqa adalah sebagai kosubstrat dari enzim dopamin &hydroxilase berperan dalam sintesis norephineprin.
Dopamin J3
silase mengubah dopamin menjadi nor-adrenalin.
yang
hidrok-
Pada reak-
si ini vitamin C bertindak sebagai donor ion hidrogen dan atom
Cu pada enzim tersebut digunakan sebagai intermediet
yang menerima elektron dari vitamin C (Ullrich dan Duppel, 1975).
Hasil penelitian yang dilakukan Tolbert et al.
(1979) telah menunjukkan bahwa injeksi asam askorbat ke dalam otak mempengaruhi aktifitas dopamin sehingga meningkatkan metabolismenya menjadi noradrenalin.
Submanian
(1977) melaporkan kemungkinan adanya hubungan antara asam
askorbat dan amin biogenik dan menunjukkan bahwa apabila terjadi kekurangan vitamin C akan menimbulkan perubahan distribusi asam amino menjadi prekursor neurotransmiter di dalam otak. Asam askorbat tidak menstimulir aktifitas sistem oksigenase, akan tetapi apabila terjadi kekurangan vitamin c
pada marmot menyebabkan menurunnya aktifitas metabolisme kolesterol (Bjorkhem dan Kallner, 1976 ;
Ginter, 1978)
sehingga menimbulkan akumulasi kolesterol di dalam jaringan dan serum.
Harris et al.,
(1979) menyatakan bahwa ak-
tifitas kolesterol 74-hidroksilase hati menurun sebanyak 46% pada marmot setelah 10 hari diberikan ransum tanpa
vitamin C.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengaruh vitamin
C pada metabolisme lemak membuktikan bahwa hipovitaminosis
c mempunyai implikasi terhadap resiko patoqenesis penyakit arteri koroner. Sintesis kortikosteroid dalam kelenjar adrenal membutuhkan tahap hidroksilasi.
Stimulasi kelenjar adrenal
dengan ACTH mengakibatkan penurunan konsentrasi asam askorbat adrenal (Kitabchi dan West, 1975).
Kitabchi (1967)
mengajukan suatu hipotesis bahwa konsentrasi asam askorbat yang tinggi pada kelenjar adrenal akan menghambat steroidogenesis.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa asam askorbat
menghambat enzim yang merubah kolesterol menjadi pregnenolon.
Asam askorbat menghambat aktifitas C-21 hidroksilase
dan 11-#
hidroksilase dalam tapak jalan steroid (Kitabchi,
1967).
Fungsi Vitamin C
Beberapa peneliti beranggapan bahwa terdapat sejumlah fungsi dari vitamin C, akan tetapi mereka belum bisa menetapkan
karena
hasil-hasil penelitian belum
mampu
untuk
mengungkapkan tapak jalan aktifitas biokimia dari vitamin C.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa kemungkinan besar vita-
min C mempunyai peranan dalam metabolisme steroid terutama dalam sintesis hormon steroid pada bagian korteks adrenal melalui proses hidroksilasi.
Vitamin C juga mempunyai pe-
ranan dalam sintesis serabut kolagen yang normal dengan cara katalisis hidroksi-prolin, reaksi ini digunakan untuk membentuk jaringan adiposa, tulang dan gigi; berfungsi sebagai anti oksidan ;oksidasi dan reduksi dari berbagai enzim (Herlyn dan Glaser, 1977).
Apabila terjadi defisiensi
asam askorbat dalam tubuh, maka ha1 ini menyebabkan berkurangnya hidroksilasi molekul-molekul prolin dalam protokolagen yang akhirnya akan mengakibatkan gangguan pembentukan serabut-serabut kolagen yang tidak larut yang mengakibatkan jaringan pelindung tidak stabil.
Bates (1979) le-
bih lanjut menyatakan bahwa kegagalan penyembuhan pada kasus luka, gusi dan perubahan tulang pada beberapa spesies ternak yang mengalami defisiensi vitamin C sebagai akibat dari menurunnya serabut kolagen. Studi pada marmot telah mengungkapkan peranan asam askorbat pada reaksi hidroksilase yaitu berupa penurunan asam askorbat telah mengakibatkan turunnya karnitin otot kerangka dan jantung (Hughes, 1981).
Rendahnya sintesis
karnitin otot kerangka mempengaruhi kemampuan otot untuk melakukan kontraksi secara terus menerus.
Kekurangan kar-
nitin pada sel-sel otot ini ternyata dapat dipacu dengan pemberian asam askorbat.
Thornton (1961) menyatakan bahwa ayam petelur yang dipelihara pada temperatur lingkungan 35 OC tamin C terganggu.
Lebih lanjut
sintesis vi-
.dinyatakan bahwa kadar
vitamin C dalam darah juqa menurun dibandingkan dengan yang dipelihara pada temperatur lingkungan 21 "C.
Mening-
katnya temperatur lingkungan ternyata mengurangi juga konsentrasi vitamin C dalam serum tikus (Squib et al.,
1955).
Vitamin C dan Kualitas Telur
Thornton dan Morenq
(1959) menyatakan
bahwa a s a m
askorbat mempunyai penqaruh penting terhadap metabolisme kalsium, ha1 ini ditunjukkan dengan peningkatan kualitas kerabang telur pada ayam yang diberi ransum mengandung vitamin C. Menurut Creswell (1979) bahwa fenomena yang umum dijumpai di daerah tropis adalah kualitas kerabang telur yang tipis.
Cheng et al.
(1990) menyatakan bahwa kalsium
merupakan unsur yang penting dalam pembentukan kulit telur clan
terdapat
dalam
bentuk
CaC03.
Pembentukan kalsium
karbonat sangat erat huburigannnya dengan ketersediaan kalsium dalam darah, karbon dioksida dan ion karbonat darah. Karbon dioksida selain berasal dari darah, juga berasal dari metabolisme sel-sel dalam kelenjar kulit telur. dangkan ion karbonat diduga bonat kulit telur. nyawa
Se-
membantu pembentukan ion kar-
Bikarbonat merupakan gabungan dari se-
C02 dan H20, dan dalam pembentukannya dipengaruhi
oleh enzim karbonik anhidrase.
Menurut Cheng et al. bahwa pada
(1990)
dan
~ i f r iet d l .
(1977)
kondisi temperatur lingkungan yang tinggi akan
terjadi peningkatan pengeluaran panas antara lain melalui proses penguapan air melalui saluran pernafasan, sehingga menyebabkan berkurangnya ion C02 dan HC03- dalam darah, sehingga akan menyebabkan rendahnya daya buffer ion tersebut.
Hal ini yang menyebabkan rendahnya pula daya buffer
ion hidrogen yang diperoleh selama pembentukan kulit telur, sehingga mempengaruhi ion karbonat dalam cairan uterus.
Ini berarti bahwa suplai ion karbonat tidak cukup
dalam pembentukan CaC03 dalam uterus.
Oleh karena itulah
kulit telur d i daerah tropis biasanya tipis atau lembek. Lebih lanjut dinyatakan bahwa temperatur tubuh ayam yang mendapatkan suplementasi vitamin C nyata lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan vitamin C. Menurut Coates (1984) papa kondisi cekaman panas maka
i
kebutuhan vitamin C akan menlngkat, baik untuk pertumbuhan, produksi telur dan kualitas kerabang. terjadinya perubahan vitamin
C
Oleh karena itu
dalam jaringan dan plasma
yang disebabkan oleh perubahan temperatur lingkungan yang tinggi dapat diatasi melalui suplementasi vitamin C dari luar
. Dorr dan Nockels (1971) menyatakan bahwa suplementasi
vitamin C pada ayam petelur masih menunjukkan hasil yang bervariasi.
Thornton dan Moreng (1959) melaporkan bahwa
ada beberapa pengaruh yang baik dari suplementasi vitamin
C terhadap kulit telur.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pa-
da suplementasi vitamin C sebesar 44 ppm dalam ransum yang mengandung protein 13% dapat meningkatkan ketebalan kerabang telur.
sebaliknya Arscott et al. (1962) menyatakan
bahwa suplementasi vitamin C tidak memberikan pengaruh terhadap kualitas telur.
Terjadinya perbedaan hasil ini
kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan stressor yang diperoleh ayam Kendler
petelur.
Hal ini diperkuat oleh Perek dan
(1962) menyatakan bahwa suplementasi vitamin C
akan semakin nyata memberikan pengaruh terhadap kualitas kulit telur sejalan dengan meningkatnya temperatur lingkungan.
Herrick dan Nockels (1969) menyatakan bahwa sup-
lementasi vitamin C nyata meningkatkan kualitas telur kendatipun telur tersebut disimpan sampai dua minggu dibandingkan dengan telur yang berasal dari ayam yang tidak mendapatkan suplementasi vitamin C. Nockels
(1973) mela-
porkan bahwa suplementasi vitamin C sebanyak 1322 ppm pada ransum ayam petelur yang mengandung
protein
15% dapat
meningkatkan kualitas telur.
Vitamin C Sebapai Pemacu Pertumbuhan Penelitian mengenai peranan vitamin C sebagai pemacu pertumbuhan belum menunjukkan hasil yang konsisten. et al.
Sifri
(1977) melaporkan bahwa suplementasi vitamin C
da-
lam ransum puyuh tidak menunjukkan peningkatan pertumbuhan.
Akan tetapi Dorr dan Balloun (1976) menyatakan bahwa
suplementasi vitamin C 3000 ppm dapat meningkatkan pertumbuhan anak kalkun.
Ayam leghorn jantan yang mendapatkan
suplementasi vitamin C, terjadi peningkatan berat tubuh mulai pada minggu ke-3, ke-7 dan
minggu ke-17, sedangkan
pada ayam betina terjadi peningkatan berat tubuh pada minggu ke-3 dan minggu ke-7 Pardue et al.
(Scheming dan Nokels, 1978).
(1985) menyatakan bahwa ayam
jantan
yang memperoleh 1000 ppm vitamin C yang didedah pada temperatur lingkungan yang tinggi, pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan ayam yang tidak mendapatkan suplementasi vitamin
C.
Ichsan (1990) melaporkan bahwa pemberian vitamin C sebanyak 1000 ppm pada temperatur lingkungan 33 OC menghasilkan pertumbuhan yang baik dibandingkan dengan tanpa diberi tambahan vitamin C.
Pemberian vitamin C pada tempe-
ratur lingkungan tersebut meningkatkan kadar vitamin plasma, kadar vitamin vitamin
C
C
kelenjar adrenal dan seba-
liknya menurunkan kadar kolesterol kelenjar adrenal.
Vitamin C dan Cekaman Menurut Selye (1973) bahwa cekaman adalah merupakan kumpulan respons bertahan (defence respons) terhadap suatu stimulus. maupun
Sedangkan stimulusnya baik perubahan internal
perubahan
eksternal
termasuk defisensi
zat-zat
makanan, temperatur lingkungan atau perubahan fisiologis disebut sebagai stressor.
Jadi apabila ternak dihadapkan
kepada suatu stressor, bermacam-macam praduga yang akan timbul sebagai respons dan respons ini yang disebut sebaqai cekaman (stres). Beberapa stressor seperti linqkungan, penyakit dan zat makanan diketahui mengubah penggunaan dan/atau sintesis vitamin C pada ternak unggas.
Dvorak (1974) melapor-
kan bahwa babi yang dipuasakan nyata menurunkan vitamin C pada hati.
Ayam yang dipuasakan selama 5 hari ternyata
mengakibatkan penurunan vitamin C pada hati dan jejunum (Kecknik dan Sykes, 1978). Suplemetasi vitamin C nyata meningkatkan resistensi terhadap penyakit (Hill dan Garren, 1955) , meningkatkan respons kekebalan (Pardue dan Thaxton, 1984).
Ayam pete-
lur yang didedah pada temperatur lingkunqan yanq tinggi ternyata mampu melepaskan panas dan temperatur tubuhnya lebih rendah dibandingkan dengdn kontrol (Thornton, 1962 ; Ahmad et al.,
1967).
Penurunan tingkat kematian sebagai
akibat cekaman panas juga telah dilaporkan pada ayam yang mendapat suplementasi vitamin C (Perek dan Kendler, 1955). Siege1
(1971) menyatakan bahwa
penurunan
vitamin
C di
dalam kelenjar adrenal telah dinyatakan sebagai respons cekaman yang klasik pada ayam. Alberets et d l .
l(1983) menyatakan bahwa sel-sel
limfosit dibagi dalam dua kelas yaitu sel T yang dikembangkan dalam
kelenjar thimus dan sel B diproduksi pada
bursa fabrisius.
Pada bangsa unggas sel B lebih banyak
berperan dibandingkan dengan sel T.
McCorkle e t d l .
(1980) menyimpulkan bahwa vitamin C dapat memodulasi R-limfosit
tetapi tidak dapat memodulasi T-limfosit.
Glick et al. (1956) menyatakan bahwa bursa fabrisius merupakan organ limfo epithel pada unggas muda, mempunyai kemampuan menghasilkan antibodi.
Laporan selanjutnya menya-
takan bahwa bursa fabrisius berfungsi juga dalam mempertahankan konsentrasi vitamin C dalam kelenjar adrenal. Thornton (1962) melaporkan bahwa suplementasi vitamin C
44
mg/kg ransum pada ayam petelur yang dipelihara pada
temperatur lingkungan 2 4 . 4 O
-
26. l o C tidak memberikan
pengaruh terhadap temperatur tubuh.
Akan tetapi pada ayam
yang dipelihara pada temperatur ligkungan 37.8 OC memberikan pengaruh yang nyata lebih rendah terhadap temperatur tubuh dibandingkan dengan kontrol.
Lebih lanjut dinyata-
kan bahwa konsumsi oksigen juga nyata lebih
rendah pada
ayam yang diberi vitamin C dibandingkan dengan kontrol. Suplementasi vitamin C nyata membatasi meningkatnya t e m p e r a t u r t u b u h a y a m L e g h o r n y a n g d i d e d a h p a d a t e m p e r a t u r ling-
kungan 2 g 0 C. Kolesterol dan Strukturnva
Kolesterol merupakan suatu jenis sterol (Zoosterol) yang banyak dijumpai pada jaringan tubuh telur, susu dan hasil produksinya.
hewan, kuning
Kolesterol merupakan
hasil dari sintesis metabolisme yang normal dalam tubuh,
akan tetapi dapat juga didapatkan dari bahan makanan yang berasal dari hewan.
Kolesterol terdapat. dalam bentuk be-
bas dan teresterifikasi dengan asam
1-emak (Lehninger,
1972).
Struktur kolesterol merupakan derivat dari inti perhidrosiklopentanopenantren
yang mengandung sebuah gugus
hidroksil alkohol pada atom C dan sebuah cabang rantai alifatik yang terdiri dari 8 buah atom karbon pada atom C17
Kolesterol mempunyai sebuah ikatan rangkap pada atom
C 1 7 -C15
dan C6
yang ditandai dengan akhiran sistimatik
"ene"; posisi ketidak jenuhan pada intinya tersebut ditandai dengan simbol serta nomor atom karbon pada
ikatan
rangkap atau dengan meletakkan nomor atom karbon pada ikatan rangkap di belakang akhiran "ene".
Rumus molekul
kolesterol adalah C27H460, dengan berat molekul 386,64 dan perbandingan C
: H
: 0 adalah 83.87%
(Fruton and Simmonds, 1962)
: 11.99%
: 4.14%
.
Sintesa kolestrol terjadi di dalam hati melalui suatu tingkatan reaksi lebih dari 30 tahapan dengan zat asal asetat (-COOH).
Asetat dihasilkan dari metabolisme tubuh
yaitu hampir dari seluruh metnbolisme lemak, karbohidrat dan protein. Kolesterol berfungsi pada pembentukan asam empedu, yang dibutuhkan untuk mengemulsi lemak pada usus halus. Kolesterol diperlukan juga pada sintesa hormonal, yang merupakan unsur penting pada dinding sel.
Kolesterol bebas dan kolesterol ester terikat dengan empedu, membentuk senyawa protein yang larut dalam plasma darah.
Kolesterol dengan fosfolipida di dalarn plasma ter-
ikat dengan protein dan beredar sebagai satuan-satuan lipoprotein.
Lipoprotein adalah suatu senyawa yang terdiri
dari protein, fosfolipida, lemak netral, kolesterol bebas dam kolesterol ester. Plasma kolesterol terdapat dalam dud bentuk lipoprotein yang dibedakan berdasarkan kepadatannya yaitu lipoprotein yang kepadatannya jarang atau disebut sebagai LDL (Low Density Lipoprotein) dan lipoprotein yang mempunyai kepadatan tinggi disebut HDL (High Density Lipoprotein). LDL mempunyai struktur 78-lipoprotein
dan kolesterol
sebagian besar terdapat dalam bentuk LDL, sedangkan HDL mempunyai struktur 7a-lipoprotein
dan hanya terdapat se-
dikit dalam kolesterol. Kolesterol LDL mempunyai sifat yang berbahaya pada pembuluh darah dan jantung.
Pada penyakit yang disebabkan
dengan naiknya kadar kolesterol maka serum darah terlihat naiknya kadar LDL.
Kolesterol HDL sebaliknya dapat menu-
runkan kolesterol LDL secara lambat.
Kolesterol HDL tidak
diperoleh dalam ransum akan tetapi disintesis dalam tubuh (Briggs dan Brotherton, 1970).
Sifat Sifat Koiesteroi dan Sumbernva Kolesterol adalah senyawa yang tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol yanh dipanaskan pada temperatur 80 OC.
Kolesterol larut dalam pelarut organik seperti
kloroform, ether, pyridine, benzena, petrolium eter dan lemak. Kolesterol termasuk lemak yang tidak tersaponifikasi, dapat diekstraksi dari jaringan tubuh hewan dengan petrolium eter, kloroform dan benzena.
Proses pengendapan da-
pat dilakukan dengan digitonin dan memberikan warna merah dengan larutan rosanilin dalam kloroform.
Dalam jaringan
tubuh hewan kolesterol terdapat bersama-sama dengan sterol lain yang jenuh yaitu kolestanol (dehydrokolesterol) dan koprostanol. Kolesterol merupakan molekul monohidrat, berbentuk kristal jarum ortombik berwarna putih dan mempunyai sifat optik aktif dengan spesifik rotasi ( c Y ) ~ ~ ' - 39.5O(dalam larutan kloroform). peratur 70°
-
80
OC,
Menjadi bentuk anhydrous pada temdan mencair pada temperatur 150 OC
serta terdekomposisi pada temperatur 360 OC al.,
(Windholz et
1976).
Metaboliime Kolesterol Sterol yang terdapat di alam mempunyai varietas dan jenis yang bermacam-macam.
Kolesterol dapat langsung di-
serap yaitu melalui limpa dan sekitar 50 % dari kolesterol
yang diserap adalah dalam bentuk teresterifikasi, jumlah terbesar kolesterol dalam plasma darah dalam bentuk ester asam lemak.
Saluran usus juga mengandung sterol dehy-
drogenase yang merupakan katalis bagi perubahan kolesterol menjadi 7-dehydrokolesterol.
Beberapa kolesterol yang
terdapat d i dalam feses hewan antara lain adalah koprostanol, yang terjadi karena adanya reaksi antara bakteri dalam saluran pencernaan dengan kolesterol.
Bakteri ter-
sebut membentuk koprostanol yang berasal dari kolesterol
fi melalui bentuk yang keluar bersama
a
-
kolestenon.
Sterol-sterol lain
feses adalah 7-dehydrokolesterol,
- kolestenol dan kolestanol.
Hasil-hasil perubahan metabolisme kolesterol yang penting adalah
asam empedu dan hormon-hormon steroid.
Beberapa zat yang timbul karena proses oksidasi kolesterol adalah bersifat karsinogenik dalam hewan percobaan dan zat ini merupakan proses metabolisme yang tidak normal dari kolesterol (Fruton and Simmonds, 1962).
Biosintesis Kolesterol dan Faktor vanz M e m n e n ~ a r u h iK e c e ~ a t a nS i n t e s i ~ Kolesterol Semua atom karbon dari kolesterol didapat dari Acetyl Co-A. Harnpir semua jaringan diketahui dapat mensintesis kolesterol dari asetat seperti adrenal korteks, usus, jaringan syaraf, dinding arteri, alat-alat reproduksi.
Akan
tetapi sintesis kolesterol yang paling banyak terdapat di hati.
Enzim-enzim yang berperan dalam sintesis kolesterol
bergabung dengan partikel sitoplasma (rnikrosome).
0leh
karena itu sintesis kolesterol yang dikatalis oleh enzim mempunyai ketergantungan pada kofaktor yang ada dalam mikrosome. Tapak jalan yang terjadi antara asetat dan kolesterol pertama-tama adalah melibatkan 7-B-metilglutaril
Co-A.
terbentuknya 8-hidroksi
Senyawa tersebut pada dasarnya
adalah diperoleh dari tiga molekul acetyl Co-A.
Senyawa
tersebut juga dihasilkan sebagai intermedia dalam metabofi-hidroksi-8-metilglutaril
lisme pemecahan Leusin.
CoA
adalah prekursor terdekat dari asam mevalonat, dibentuk dengan pengaruh katalis yang mengandung sulfihidril, TPNH yang memerlukan enzim B-hidroksi-B-metilglutaril duktase.
Reaksi
tersebut
ternyata
COA re-
mengakibatkan pengu-
rangan sebuah gugus karboksil dari hidruksi-metilglutaril CO--A. Hasil penelitian pada hewan percoban yang tanpa diberi ransum menunjukkan bahwa di dalam hati terjadi penurunan sintesis kolesterol dan turunnya aktifitas Jhidroksi+-metilglutaril
CO--Areduktase.
Biosintesis sterol terjadi dari enam unit lima atom karbon yang salah satunya diturunkan dari mevalonat.
Asam
mevalonat di fosforifikasi dengan ATP dalam tiga reaksi yang menggunakan katalis dengan tiga macam berbeda yaitu dengan tingkat pembentukan 5 - profosfo
wa
terakhir
-, dan
enzim yang 5
-
5-pirofosfc3-3-fosfo-mevalonat.
tersebut merupakan
intermedia
yang
fosfo-, Senyasecara
simultan akan mengalami kehilangan fosfat tersier dan mengalami dekarboksilasi menjadi dimetilalil-pirofosfat dengan penambahan sebuah proton pada pusat ikatan ranqkap metilene karbon, yang kemudian diikuti dengan hilanqnya sebuah proton dari atom C2.
Kedua isomer tersebut adalah
senyawa-senyawa yang terpenting dalam sintesis poli
iso
prenoid yang merupakan dasar dari reaksi berikutnya yang melibatkan ikatan karbon ke karbon dalam reaksi biosintesis pembentukan sterol (Lehninger, 1972 Kecepatan
) .
sintesis kolesterol didalam tubuh dipenga-
ruhi oleh banyaknya suplai kolesterol yang tersedia dalam ransum.
Artinya bahwa sintesis kolesterol akan ditekan
dengan adanya ransum yang banyak mengandung kolesterol atau dengan pengambilan squalene atau sterol lain yang dapat di konversi menjadi kolesterol. Sebaliknya apabila kolesterol yang terdapat dalam ransum dikurangi, maka biosintesis kolesterol akan dirangsang dalam jumlah yang sar.
be-
Perubahan tingkat kolesterol dalam darah merupakan
respons yang berhubungan dengan perubahan derajad an dari asam lemak dalam ransum.
kejenuh-
Makin banyak asam lemak
jenuh dalam ransum, maka konsentrasi serum kolesterol semakin tinggi (White et al.,
1964).
Kolesterol Dalam Telur Komposisi telur dipengaruhi oleh
beberapa
faktor
antara lain adalah jenis dan jumlah ransum yang diberikan,
umurunggas, temperaturlingkungan, kecepatanbertelurdan p e nyakit (Romanoff and Romanoff, 1963).
Pada dasarnya telur
terdiri dari tiga bagian yaitu : Kuning telur (Yolk), putih telur (albumen) dan kulit telur.
Ketiga
bagian ter-
sebut berbeda satu sama lain baik struktur maupun susunan kimianya. Komposisi kuning telur lebih kompleks dibandingkan dengan bagian lainnya seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1.
Persentase Kandungan Kuning Telur
Komponen
Persentase
(%)
Air Bahan Padat Bahan Organik = Protein = Lemak = Karbohidrat Bahan in organik Sumber : Romanoff dan Romanoff (1963)
Lebih lanjut Romanoff dan Romanoff
(1963) menyatakan
bahwa perbandingan antara protein dan lemak dalam kuning telur adalah 1 : 2 dan dalam bentuk lipoprotein.
Adapun
komposisi dari lemak kuning telur seperti terlihat pada Tabel
2.
Lebih lanjut Romanoff dan Romanoff
(1963)
menyatakan
bahwa sekitar 84% dari kolesterol yang terdapat dalam
kuning telur dalarn bentuk bebas dan sisanyn dalam bentuk ester.
Rasio antara bentuk bebas dan bentuk ester agak
bervariasi tergantung pada strain unggas.
Dengan dernikian
maka kandungan kolesterol dalam telur-sedikit bervariasi karena dipengaruhi oleh strain.
Kolesterol yang berada
dalam kuning telur di peroleh dari ransum yang dikonsumsi dan pada saat sintesis selama proses pembentukan kuning telur. Tabel 2 .
Komposisi Lemak Dalam Kuning Telur
Komponen
(%)
Persentase Lemak ( % )
Gliserida Fosfolipida Kolesterol Serebrosida Sumber : Romanoff clan Romanoff
(1963)
Albumen atau putih telur terdiri dari protein dan air dengan perbandingan sekitar L
:
8 dan 92% dari padatan
(11% dari keseluruhan) adalah protein, sisanya sebagian adalah karbohidrat dan ion-ion anorganik.
Kolesterol da-
lam albumin diperkirakan sangat kecil atau bahkan tidak ada
(Bell and Breeman, 1971).
Kolesterol dan Vitamin C
Penelitian tentang pengaruh pemberi-an vitamin C t e r hadap beberapa jenis ternak dalam usaha menurunkan kandungan kolesterol telah banyak dilakukan antara
lain
Hasil yang diperoleh ada-
dilakukan oleh Nockels, (1973).
lah ayam petelur yang mendapatkan suplementasi vitamin C dapat menurunkan kandungan kolestrol dal.am jaringan. neliti lain yaitu Sokoloff et al.
Pe-
(1967) melaporkan bahwa
pemberian vitamin C nyata menurunkan kandungan kolesterol dalam darah, trigliserida dan lipase pada tikus dan kelinci.
Lebih lanjut King et a1
.
(1955) melaporkan
pemberian vitamin C nyata menurunkan sintesis
bahwa
kolesterol
dalam kelenjar adrenal marmot. Beberapa teori yang berhubungan dengan mekanisme asam askorbat yang menyebabkan berkurangnya kolesterol dalam. darah antara lain dikemukakan oleh Kitabchi (1967) bahwa pemberian asam askorbat pada sapi menyebabkan tingginya kandungan asam askorbat dalam adrenal yang mengatur terjadinya peristiwa streidogenesis dengan card menghambat sistem hidroksilase.
Lebih lanjut Su1imovic:i dan Boyd (1968)
mengemukakan bahwa asam askorbat dalam jaringan ovari tikus kemungkinan berperan sebagai agen pereduksi dan menghambat mata rantai dan pemecahan enzim pembentukan kolesterol . Peranan dari mikrosomal sitokrome P-450 hati yaitu enzim oksigenase-7a-
hidroksilase
yang merubah
asam
empedu menjadi kolesterol.
Vitamin C tidak secara lang-
sung menstimulasi aktifitas sistem oxygenase, akan tetapi percobaan pada marmot membuktikan bahwa kelebihan vitamin C nyata menurunkan aktifitas dari metabolisme kolesterol
sehingga mengakibatkan terjadinya akumulasi kolesterol dalam jaringan dan plasma darah (Ginter, 1978 ; Hornig dan Weiser, 1976).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa percobaan
pada marmot yang tidak mendapatkan suplementasi vitamin C telah terjadi penurunan sekitar 46% aktifitas dari hepatic kolesterol
7cr-hydroxylase.
Metabolisme
asam
empedu
sangat nyata lebih rendah sebagai akibat dari rendahnya s t a t u s vitamin C
.
Bobek, 1981)
(Harris et a1
,
1979
; Ginter
dan