Kesenjangan antara Kebutuhan dan Kapasitas Transfer Fiskal di Indonesia Jaka Sriyana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
[email protected] Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang dapat menjamin terciptanya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata, baik antar daerah maupun antar individu. Dari sudut pandang ekonomi, otonomi daerah belum menghasilkan keluasan kewenangan daerah dalam merencanakan dan mengalokasikan sumber- sumber keuangan yang berasal dari daerah sendiri. Artinya masih terjadi ketergantungan fiskal dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar, khususnya bagi kabupaten. Hal ini mencerminkan bahwa kapasitas fiskal daerah secara rata-rata masih rendah. Selain itu antar kota/kabupaten juga terjadi disparitas kapasitas fiskal yang tinggi sehingga menghasilkan kesenjangan capaian pembangunan antar daerah. Pada sisi lain masing-masing pemerintah kota/kabupaten menghadapi berbagai masalah mendasar yang menuntut peningkatan anggaran daerah. Salah satu masalah yang akan menimbulkan potensi peningkatan pembiayaan yang sangat besar adalah meningkatnya secara jumlah penduduk. Kondisi ini akan menuntut peningkatan pembiayaan pemerintah daerah pada berbagai bidang. Penelitian ini merancang kapasitas transfer fiskal, khususnya Dana Alokasi Umum (DAU), yang merupakan bagian terbesar transfer fiskal pemerintah pusat kepada daerah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kombinasi deskriptif dan analisis kuantitatif. Dari hasil kajian ini diketahui bahwa kapasitas transfer fiskal dari pemerintah pusat tidak sebanding dengan perkembangan kebutuhan fiskal kota dan kepada kabupaten. Perkembangan kapasitas transfer fiskal semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan fiskal di daerah. ----------------------------------------------Kata Kunci: Otonomi, Fiskal, Ekonomi, Daerah, Transfer JEL: H.53; H.62; C.22
PENDAHULUAN Latar belakang Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang dapat menjamin terciptanya peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam lima tahun terakhir ini. Berdasarkan UU No 32 dan No 33 tahun 2004, otonomi di Indonesia dapat dimaknai dari dua sisi, yaitu sisi politik dan sisi ekonomi. Secara politik pelaksanaan otonomi telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam kewenangan daerah
provinsi maupun kota/kabupaten untuk merencanakan dan mengambil berbagai kebijakan pemerintahan. Namun dari sudut pandang ekonomi tidak menunjukkan adanya keluasan kewenangan daerah dalam merencanakan dan mengalokasikan sumbersumber keuangan yang berasal dari daerah. Artinya masih terjadi ketergantungan keuangan (fiskal) dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Kebijakan transfer fiskal dari pemerintah pusat ke daerah, sesuai dengan UU 32/2004 dan UU 33/2004, pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan ketahanan fiskal yang berkesinambungan (fiscal sustainability) dalam konteks kebijakan ekonomi makro, memperkecil ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical imbalance), mengoreksi ketimpangan antar daerah dalamkemampuan keuangan (horizontal imbalance), meningkatkan akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah daerah, dan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, serta (vi) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik (demokratisasi). Evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah sejauh ini menunjukkan berbagai masalah yang muncul, yaitu masih dominannya faktor non ekonomi dalam penentuan dana transfer, belum terciptanya pemerataan alokasi DAU kepada daerah, terciptanya disparitas kapasitas fiskal antara kota dan kabupaten (Simanjuntak, 2005). Mengingat bahwa dana transfer merupakan porsi terbesar dari pendapatan daerah, maka besaran dana tersebut akan sangat menentukan capaian hasil pembangunan. Hofman, et.al (2006) dalam evaluasinya terhadap kebijakan transfer fiskal di Indonesia menjelaskan bahwa pelaksanaan tranfer fiskal dalam bentuk block grant (Dana Alokasi Uumum) belum mampu mencapai tujuan utamanya, yaitu menciptakan
pemerataan kapasitas fiskal antar daerah sehingga akan berdampak pada tercapainya kinerja pembangunan di daerah. Hal ini disebabkan oleh, pertama, adanya faktor politik yang sangat dominan dalam penentuan transfer fiskal. Kedua, besaran dana transfer tidak mampu mengatasi kebutuhan belanja daerah (fiscal needs). Meningkatnya kebutuhan belanja daerah ditengarai sebagai akibat tingginya pertambahan jumlah penduduk serta terjadinya transisi demografi di daerah. Permasalahan transisi demografi bersifat alamiah dan akan terjadi di semua negara yang mengalami perubahan karakteristik demografi sebagai akibat kemajuan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Indonesia, yang memiliki jumlah penduduk besar, juga akan menghadapi masalah ini. Pengelolaan fiskal merupakan aspek penting dalam mendorong perekonomian suatu negara. Kondisi fiskal yang tercermin di dalam anggaran pemerintah yang baik, kuat dan memiliki ketahanan (strength) serta berkelanjutan (sustainability) yang baik akan semakin mendukung kinerja perekonomian nasional. Kebijakan fiskal memiliki berbagai tujuan dalam mengarahkan aktivitas ekonomi negara, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, stabilisasi harga, pemerataan distribusi pendapatan, dan peningkatan kesempatan kerja di daerah. Kesinambungan fiskal merupakan salah satu ukuran kinerja utama dari kondisi ketahanan fiskal suatu negara. Kesinambungan fiskal menunjukkan adanya kemampuan jangka panjang pemerintah dalam membiayai kebutuhan belanjanya. Kesinambungan fiskal ini dapat diukur dengan menggunakan indikator surplus primer dan rasio utang terhadap PDB. Kondisi defisit, surplus ataupun keseimbangan primer (primary balance) dalam anggaran pemerintah merupakan indikator utama dalam pengukuran ketahanan fiskal. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ketahanan fiskal suatu negara berkaitan
dengan kemampuan menutup kebutuhan anggaran pemerintah, termasuk kebutuhan transfer kepada daerah. Paper ini bertujuan menganalisis kesenjangan antara kebutuhan transfer fiskal kepada daerah, khususunya transfer DAU, dan kapasitas tranfer yang dimiliki oleh pememrintah pusat.
Kajian Pustaka Dalam sistem hubungan keuangan pusat-daera yang sentralistik, kebijakan belanja pemerintah daerah sangat tergantung pada alokasi yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah. Kewenangan daerah sangat terbatas dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan. Alasan yang mendukung sentralisasi adalah pemerintah pusat dapat mengalokasikan anggaran yang ada guna menghasilkan barang dan jasa yang bisa dimanfaatkan secara nasional. Sedangkan alasan utama sistem pemerintahan desentralistik yaitu pertimbangan efisiensi, akuntabilitas, kemampuan pengelolaan, dan otonomi. Jalan desentralisasi ditempuh untuk melepaskan diri dari perangkap
pengelolaan
pemerintahan
yang
tidak
efektif
dan
tidak
efisien,
ketidakstabilan ekonomi makro, dan tidak memadainya pertumbuhan ekonomi (Hamid, 2005). Menurut Tanzi (2000), desentralisasi pemerintahan dan fiskal didorong oleh desakan untuk menyediakan pelayanan pemerintah yang lebih efisien. Namun dalam perpajakan dan pengelolaan sumber di daerah sebagian masih diatur di pusat, sumber dana dari pusat tetap penting untuk mendukung kegitatan di daerah. Transfer ini sangat penting dalam melaksanakan desentralisasi di Asia. Sedangkan Hofman, et.al., (2006) menyatakan bahwa pemerintah pusat harus memperhatikan dua prinsip dalam
menangani masalah pajak, yaitu prinsip efisiensi administrasi perpajakan, dan prinsip menyelaraskan pendapatan dengan kebutuhan pengeluaran. Prinsip efisiensi ini mudah berpindah-pindah seperti pajak perusahaan dan pajak pendapatan pribadi, pajak penjualan yang bertingkat-tingkat seperti pajak pertambahan nilai harus ditangani Pusat. Sebaliknya, pajak bangunan, pajak izin usaha, dan pajak-pajak yang relatif kecil lebih efektif untuk ditangani oleh daerah. Pemerintahan yang desentralistik, pemanfaatan alokasi dana oleh Pusat lebih banyak ditentukan oleh Daerah. Alokasi ini ditentukan oleh faktor kapasitas fiskal, yang mencerminkan kemampuan suatu daerah untuk mendanai jasa pelayanan publik yang harus disediakan pemerintah, dan kebutuhan fiskal menunjukan total pengeluaran yang dibutuhkan suatu daerah untuk melaksanakan aktifitas di daerahnya. Variabel yang umum dalam menghitung kapasitas fiskal adalah pendapatan per kapita, penjualan eceran per kapita, dan perkiraan pajak per kapita. Hal ini bermanfaat untuk menentukan besar kemampuan pemerintah daerah menyediakan pelayanan publik bagi penduduknya (Hamid, 2005). Hamid (2005) menjelaskan ada tiga alasan melakukan alokasi antar pemerintah, yaitu pertama, terdapat ketidakseimbangan fiskal vertikal. Seperti di Indonesia, terjadi karena Pemerintah Pusat menguasai pajak-pajak utama, sehingga sumber pajak yang dikuasai daerah tidak memadai untuk mendanai berbagai pengeluarannya. Kedua, ketidakseimbangan fiskal horizontal, yakni perbedaan kapasitas dan kebutuhan fiskal antardaerah. Ketiga, efek pelimpahan antardaerah, yakni eksternalitas ekonomis dan eksternalitas disekonomis dari suatu kegiatan di suatu daerah pada daerah lainnya. Misalnya di Australia, transfer fiskal dirancang mengatasi ketidakseimbangan fiskal
vertikal antara Pemerintah Pusat dengan Negara bagian, serta ketidakseimbangan fiskal horizontal antara sesama Negara bagian. Persoalan yang sering muncul dalam kaitan alokasi dana dari pusat adalah formula yang digunakan, dalam rangka mewujudkan pemerataan daerah. Dalam kenyataan, penyusunan kebijakan tidak mudah dan harus memperhatikan banyak faktor agar alokasi betul-betul efektif mencapai tujuannya. Menurut Hofman, et.al., (2006) ada empat kriteria untuk menilai efektifitas sistem transfer dari pusat ke daerah, yaitu pertama, pemerintah daerah harus dapat membiayai seluruh pengeluarannya untuk pelayanan jasa publik dari sumber penerimaannya. Kedua, formula harus mendorong tidak terjadinya anggaran yang defisit. Pemerintah daerah harus tetap mengoptimalkan pajak daerah dan mengontrol pengeluarannya. Ketiga, formula dana transfer haruslah berbanding lurus dengan kebutuhan fiskal daerah dan berbanding terbalik dengan kapasitas
fiskal
daerah.
Keempat,
adanya
transparansi
untuk
mewujudkan
ketidakstabilan. Hal ini berarti formula alokasi harus diumumkan secara terbuka dan formula ini harus digunakan untuk jangka waktu beberapa tahun. Secara teoritik, dana alokasi ini dibagi menjadi dua macam, yaitu berupa bantuan bersyarat dan bantuan tidak bersyarat. Bantuan bersyarat dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yaitu pemerintah pusat akan memberikan bantuan sejumlah dana kepada daerah untuk setiap alokasi yang dibelanjakan daerah untuk kegiatan tertentu, misal untuk sektor pendidikan, kesehatan; pemerintah menetapkan batas maksimum bantuan kepada daerah; dan pemerintah pusat menawarkan dana bantuan untuk dibelanjakan pada sektor publik yang spesifik. Sedangkan bantuan tidak bersyarat Pemerintah Pusat memberikan keleluasaan bagi Daerah untuk memanfaatkan bantuan tersebut. Alasan
pemberian bantuan tidak bersyarat ini adalah untuk mewujudkan pemerataan dalam kapasitas fiskal dari daerah-daerah guna menjamin penyediaan jasa publik yang layak bagi masyarakatnya. Beberapa alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pusat ke daerah yaitu, pertama, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan pajak utama negara sehingga pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwewenang untuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan Kedua, untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horizontal. Kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah bersangkutan, sehingga berimplikasi kepada besarnya basis pajak di daerahdaerah bersangkutan. Di sisi lain, daerah-daerah juga sangat bervariasi dilihat dari kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi dan pelayanan publik. Ketiga, yang menambah penting peran transfer dari pemerintah pusat dalam konteks ini adalah adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Dengan tercapainya standar pelayanan minimum kepada masyarakat berarti kebijakan transfer fiskal menunjukkan keberhasilannya. Keempat, untuk mengatasi persoalan yang timbul dari menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik (interjurisdictional spill-over effects). Beberapa jenis pelayanan publik di setiap wilayah memiliki "efek menyebar" (atau eksternalitas) ke wilayah-wilayah lainnya dan tidak bisa dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat
daerah tertentu saja. Oleh karena itulah, pemerintah pusat perlu untuk memberikan semacam insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan-pelayanan publik demikian dapat terpenuhi di daerah. Kelima,
untuk
stabilisasi
dari
pemerintah
pusat.
Kecermatan
dalam
mengkalkulasi amat diperlukan agar tindakan menaikkan/menurunkan dana transfer itu tidak berakibat merusak atau bertentangan dengan alasan-alasan sebelumnya di atas. Tujuan umum dari transfer dana pcmerintah pusat adalah untuk meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal vertikal, meniadakan atau meminimumkan ketimpangan fiskal horizontal; dan menginternalisasikan/memperhitungkan sebagian atau seluruh limpahan manfaat kepada daerah yang menerima limpahan manfaat tersebut. Selain ketiga hat di atas, kerap pula dikemukakan bahwa pertimbangan pemberian transfer pusat adalah dalam rangka menjamin tetap baiknya kinerja fiskal pemerintah daerah. Artinya, transfer ini dimaksudkan agar pemerintah daerah terdorong untuk secara intensif menggali sumber-sumber penerimaannya (sesuai dengan kriteria yang berlaku), sehingga hasil yang diperoleh menyamai (bahkan melebihi) kapasitasnya.
Tabel 1. Transfer Fiskal di Berbagai Negara. TUJUAN
FAKTOR ALOKASI
Mencapai tingkat kemampuan penyediaan jasa/pelayanan publik yang sama/mirip
Indikator kebutuhan belanja (expenditure needs). Penduduk, anak usia sekolah, lansia, tingkat buta huruf, kemiskinan, kematian, bayi, luas wilayah, (secara terpisah atau kombinasi), atau standar belanja nasional. Indikator kapasitas fisikal: atau jumlah pendapatan yang diperoleh dari basis pajak daerah dengan menerapkan tingkat tariff efektif rata-rata dan tax effort (tingkat sampai dimana daerah memanfaatkan sebagai basis pajak yang dimilikinya).
Mencapai tingkat kemampuan penyedian pelayanan publik yang sama/ mirip
CONTOH NEGARA India, Italia, Spanyol
Kanada
Mencapai tingkat kemampuan penyediaan pelayanan publik yang sama/mirip pada tingkatan kemampuan perpajakan yang sama Distribusi dengan cara membagi sama per kepala
Kesenjangan Fisikal (Fiscal Gap) = kebutuhan belanja – kapasitas Fisikal, atau dengan berbagai kombinasi lain dari kebutuhan dan kapasitas.
Australia, Cina, Jerman, Jepang, Korea Selatan, Latvia, Rusia, Inggris Raya
Jumlah penduduk
Beberapa jenis transfer di kanada, Ekuador, Estonia, Jerman, Hungaria, dan Inggris.
Mengisi/ menutupi “celah anggaran” (budget gap)
Jumlah transfer disini adalah selisih antara jumlah belanja/pengeluaran yang sudah dianggarkan dengan jumlah penerimaan sendiri dan bagi hasil
Beberapa segera bekas pecahan Uni Sovyiet dan Eropa Timur
Sumber: Mertinez (2001)
Menurut Martinez (2001) ada tiga cara penetapan dana yang dialokasikan melalui transfer fiskal antarpemerintah, yaitu menurut persentase tetap dari penerimaan pemerintah pusat, mengikuti suatu dasar ad hoc, yaitu dengan cara yang sama seperti untuk jenis-jenis pengeluaran anggaran yang lain, dan atas dasar mekanisme formula, yaitu menurut persentase dari pengeluaran daerah tertentu yang dibayar oleh pusat, atau yang berhubungan dengan beberapa ciri umum daerah penerima. Formula transfer fiskal dapat dihitung berdasarkan pendekatan kesenjangan fiskal sebagai berikut: Tri = Ni-Ci-OTRi Di mana: Tri adalah transfer untuk daerah i Ni adalah kebutuhan fiskal untuk daerah i Ci adalah kapasitas fiskal daerah i OTRi adalah transfer yang bersifat khusus Dalam kenyataannya, tidak selalu kebutuhan transfer untuk daerah bisa dipenuhi, karena dana transfer yang tersedia di pusat tidak memadai untuk memenuhi kesenjangan
fiskal setiap daerah, transfer yang diterima hanya sebagian, sehingga persamaannya adalah: Tri = a (Ni-Ci)-OTRi Sistem transfer dari pusat ke daerah dengan desain yang baik merupakan syarat suksesnya pelaksanaan desentralisasi. Pengalaman dan praktik transfer pusat ke daerah di beberapa Negara dapat dijadikan sebagai rujukan (Martinez, 2001). Sebagai contoh, ketimpangan transfer di Cina terjadi justru pada tahun 1978 hingga awal abad 21 di mana kinerja ekonomi Cina sangat bagus yaitu dengan pertumbuhan ekonomi seputar 79% per tahun. Di daerah Selatan dan Timur (terutama sepanjang pantai) relatif jauh lebih makmur dibandingkan dengan daerah pedalaman. Persoalan Cina ini lebih pada ketimpangan horizontal (antar-daerah) dari pada ketimpangan vertical (antara pusat dan daerah). Sebab, sumber-sumber pendapatan yang diserahkan kepada daerah sudah cukup besar sehingga jika dibandingkan dengan kewajiban belanja yang diembannya relatif seimbang. Pada dasarnya ada 3 mekanisme sistem transfer fikal di Cina, yaitu pertama, berdasar perjanjian lama tahun 1988-1993. Di sini, setelah 1994, pemerintah daerah (provinsi dengan kota-kota dengan status independen) terus mengirimkan pendapatan (setelah dipotong bagian daerah seperti misalnya 25% dari PPN) ke pusat atau menerima transfer dari pusat sesuai dengan kontrak fiskalnya tahun 1993. Kedua, adalah pengembalian pendapatan (returned revenue) dari pusat sesuai perhitungan yang menjamin bahwa daerah akan menerima tidak kurnag dari perolehannya tahun 1993. Jumlah yang dikembalikan adalah 30% dari kenaikan PPN dan bea cukai atas basis tahun 1993. Kedua transfer di atas adalah transfer yang bersifat umum (bock grant), dan
merupakan mayoritas dari total transfer pusat ke daerah. Beberapa kelemahan dari jenis tranfer umum di Cina ini adalah desainnya lebih didominasi oleh upaya untuk mengakomodasi kepentingan atau tntutan daerah tertentu, dan kriteria transfer cenderung ad hoc, di mana pengukuran kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal yang dalam sistem saat ini kurang memuliki dasar/basis ilmu ekonomi dan keuangan negara. Sementara itu mekanisme ketiga mencakup berbagai trasfer dengan tujuan khusus, seperti proyek pendidikan, subsidi harga, proyek ingkungan, bencana alam, dan pengembangan daerah miskin. Untuk contoh negara lain, seperti Filipina yang pada tahun 1991 mengeluarkan undang-undang menyangkut pemerintah daerah termasuk aspek keuangannya (Local Government Code 1991) yang mulai efektif tahun 1993. Regulasi ini menyerahkan sebagian fungsi kepada daerah berikut aspek pembiayaannya. Bersamaan dengan transfer fungsi ini juda dilaksanakan transfer pegawia, dan ditingkatkannya bagian penerimaan negraa untuk daerah termausk di dalamnya transfer dari pemerintah pusat. Beberapa karakteristik yang menarik dari sistem transfer di Filipina ini adalah formulanya sederhana dan mudah dipahami, Formula tersebut merupakan hasil negosiasi politik yang panjang di mana uoaya untuk mengubahnya bisa berakibat pada munculnya formula yang kurang dapat diterima banyak pihak, dan Distribusi yang demikian ternyata cukup memeratakan. Ada 3 elemen transfer pusat ke daerah, pertama, transfer umum yang didesain untuk membantu daerah-daerah terbelakang menggunakan bagian-bagian dari PPh dan cukai. Kedua, transfer dari pemerintah federal kepada badan pembangunan negara bagian. Ketiga, pinjaman daerah yang mesti disetujui pemerintah pusat. Sumber dana yang diigunakan untuk trasfer oleh komisi keuangan adalah 77,5%
dari PPh dan 47,5% dari penerimaan cukai. Distribusi dana ini untuk mengurangi perbedaan tingkat kualitas pelayanan publik, dengan cara memperhitungkan kebutuhan belanja setiap negara bagian dengan memperhitungkan jumlah penduduk, usia sekolah, jumlah penduduk usia lanjut, tingkat kemiskinan, tingkat kematian bayi, dan luas wilayah. Beberapa kajian menunjukkan bahwa redistribusi ini cukup menciptakan pemerataan dalam arti distribusi yang dilakukan berkorelasi negatif dengan pendapatan per kapita dari tiap negara bagian. Kasus lain yang mneunjukkan adanya perbedaan transfer adalah di negara Brazil. Adanya demokratisasi dan desentralisasi di Brazil menyebabkan meningkatnya porsi bagi hasil dan transfer yang bersifat umum (block grant) dalam sistem hubungan keuangan pusat dan daerah di sana. Secara garis besar, transfer untuk negara bagian bersumber dari 21,5% PPh dan PPn barang-barang industri. Sementara untuk pemerintah daerah bersumber dari 22,5% PPh dan PPn barang-barang industri. Dana untuk negara bagian dubagikan berdasarkan jumlah penduduk dan pendapatan perkapita (95%) dan berdasarkan luas wilyah (5%). Sementara dana untuk peerintah daerah dibagikan dengan pertimbangan: kepada ibukota negara bagian menggunakan penduduk dan pendapatan perkapita (10%) dan negara municipalities lain yang bukan ibukota negara bagian berdasarkan penduduk (90%). Beberapa kelemahan sistem ransfer Brazil adalah beberapa koefisien untuk distribusi vertikal adalah tetap (fixed) sesuai dengan konstitusi. Dari sudut pandang anggaran ini menguntungkan, namun dari sisi pemerintah federal rigiditas semacam ini mengurangi mereka untuk menggunakan anggaran sebagai instrumen fiskal untuk stabilisasi makroekonomi, koefisien-koefisien untuk distribusi horizontal adalah hasil
negosiasi politik, dan tidak ada hubungannya dengan kapsitas pajak mauoun upaya pajak (tax effort) ataupun terhadap kebutuhan pengeluaran, dan sistem yang ada sekarang tidak memberikan hasil yang nyata/meyakinkan bahwa upaya untuk mengurangai ketimpangan daerah yang cukup tinggi telah berhasil. Keberhasilan transfer fiskal dipengaruhi oleh kapasitas fiskal negara dan kebutuhan fiskal masing-masing daerah yang dalam perhitungannya pada umumnya ditentukan oleh pemerintah pusat. Dengan kata lain, kesenjangan fiskal yang tidak lain adalah perbedaan kapasitas fiskal nasional dan kebeutuhan fiskal daerah merupakan faktor terpenting sebagai dasar alokasi transfer fiskal. Untuk itu, fokus kajian ini adalah memproyeksikan kapasitas fiskal dan memprediksi kebutuhan fiskal daerah secara total sehingga dapat dihitung kesenjaangan antara kebutuhan dan kapasitas transfer fiskal.
METODE Kondisi keuangan negara, baik dari aspek kapasitas penerimaan maupun kebutuhan belanja, tergantung pada berbagai variabel ekonomi dan non ekonomi. Salah satu faktor yang dominan adalah perkembangan jumlah dan struktur penduduk. Pola hubungan antara dampak kedua perkembangan tersebut dengan keuangan negara menjelaskan bahwa perubahan struktur penduduk akan mempengaruhi dua sisi keuangan negara, yaitu penerimaan dan pengeluaran. Pada sisi pengeluaran, perubahan jumlah dan struktur penduduk akan meningkatkan anggaran untuk pembiayaan belanja pememrintah. Dampak pada sisi penerimaan akan terjadi dua kemungkinan, yaitu penerimaan negara justru cenderung menurun jika perubahan struktur penduduk tidak produktif yang meningkat. Perubahan struktur penduduk tidak produktif yang meningkat akan mengakibatkan penurunan tingkat tabungan masyarakat. Penurunan tingkat
tabungan masyarakat ini disebabkan oleh penurunan jumlah penduduk yang bekerja (labor force) dan peningkatan rasio ketergantungan. Penurunan labor force ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, sehingga menurunkan tax base yang pada akhirnya menurunkan penerimaan pajak. Sebaliknya jika jumlah penduduk produktif meningkat, maka akan memiliki potensi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan penerimaan pajak. Pada kajian ini digunakan metode overlapping loss generation (OLG) untuk menganalisis proyeksi penerimaan negara sebagai basis penghitungan kapaistas fiskal nasional. Untuk menganalisis perkembangan kebutuhan belanja digunakan analisisi trend perkembangan kebutuhan dana alokasi umum.
Proyeksi Kapasitas Fiskal Nasional Untuk melakukan simulasi kapasitas fiskal nasional dengan pendekatan overlapping loss generation (OLG) pada prinsipnya melibatkan variabel penduduk sebagai fakor dominan seperti dikemukakan oleh Shimasawa (2004). Penurunan jumlah penduduk bekerja ( N tw ) akan memperlambat pertumbuhan output, dan mengakibatkan penurunan tingkat konsumsi dan asset. Penurunan tersebut berdampak pada penurunan negara/kapasitas fiskal ( T ) dan menambah defisit anggaran negara. penerimaan t
Kenaikan jumlah penduduk akan menaikan proporsi pengeluaran negara terhadap
produk nasional ( gt ) dan menambah subsidi (SubP). Secara notasi, berbagai persamaan yang digunakan untuk melakukan simulasi dijelaskan sbeagai berikut: output: Y F(K,L) (X N w ) K1 Persamaan t t t t
(1)
Belanja Pemerintah: Gt gtYt
(2)
pajak: Tt to Yt Penerimaan
(3)
Potensi kapasitas fiskal nasional: Tt Tax NonTax
(4)
Persamaan utang pemerintah: Bt bt Y ,
(5)
Utang luar negeri: RW ,t
(6)
Persamaan defisit anggaran: DBt 1 [(1 RW ,t )Bt ] Gt SubP Tt
(7)
Berdasarkanpersamaan tersebut dapat dilakukan simulasi kapasitas fiskal nasional berdasarkan data-data secara komprehensif. Berbagai variabel yang dibutuhkan untuk analisis dan sumber data adalah: Jenis Data
Keterangan
Sumber Data
Y
Pendapatan Nasional
BPS
K
Kapital
BPS
N
Jumlah penduduk
BPS
G
Belanja Pemerintah
BPS dan Depkeu
SubP
Subsidi Pemerintah
Depkeu
R
Utang Luar negeri
Bank Indonesia dan BPS
S
Tabungan
Bank Indonesia dan BPS
T
Penerimaan Pajak
Depkeu
B
Total utang pemerintah
Depkeu
Defisit anggaran
Depkeu
DB
Pendekatan Kebutuhan Fiskal Studi ini mencoba memformulasikan kebutuhan transfer dari pusat ke daerah, yang dalam hal ini dilihat dari Dana Alokasi Umum dengan memasukkan variabel kapasitas fiskal, jumlah penduduk, dan ketergantungan fiskal daerah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kesenjangan fiskal, yaitu: DAUi = FNi - FCi
di mana: DAUi adalah Dana Alokasi Umum yang diterima Daerah i FNi adalah kebutuhan fiskal daerah i FCi adalah kapasitas fiskal daerah i Untuk maksud tersebut perlu ditentukan variabel-variabel yang digunakan dan formula perhitungan dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskalnya. Studi ini mencoba memodifikasi model transfer yang sudah ada dengan memasukkan variabel penduduk dan ketergantungan fiskal. Model yang dimodifikasi adalah model transfer DAU seperti yang dikemukanan oleh Hamid (2005). Dalam model tersebut variabel yang digunakan. untuk menentukan besarnya kebutuhan fiskal adalah Jumlah Penduduk (P), Ketergantungan Fiskal (KtF), dan Kapasitas Fiskal Daerah (KpF). Dengan menggunakan variabel-variabel tersebut, dirumuskan formula untuk melakukan simulasi Kebutuhan Fiskal daerah ke-i (FNi) sebagai berikut: FNi = α0 + α1P + α2 KtF + α3 KpF Ketergantungan fiskal merupakan selisih antara total belanja daerah dikurangi pendapatan asli daerah (PAD), sednagkan kapsitas fiskal dihitung berdasarkan UU No. 33/2004, yang dirumuskan: KFi= PADi + PBBi + BPHTBi + PPhit + SDAi Agar alokasi DAU sebesar persentase tertentu dari penerimaan dalam negeri dapat mencukupi secara tepat DAU semua daerah, maka jumlah dari besarnya DAU aktual (aDAU) yang diterima semua daerah sama dengan kapasitas fiskal untuk transfer sesuai dengan UU No 33 Tahun 2004, yaitu 26% dari total penerimaan pemerintah pusat.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Kapasitas Fiskal Nasional Hasil simulasi dnegan berdasarkan aplikasi metode OLG ditampilkan pad Tabel 2. Penerimaan total mengalami peningkatan sampai tahun 2015, namun mulai tahun 2020 mengalami penurunan. Sebaliknya, pengeluaran pemerintah di luar cicilan utang justru mengalami peningkatan. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini disebabkan oleh peningkatan pada berbagai komponen pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan akibat perkembangan jumlah penduduk. Akibatnya potensi defisit
mengalami
peningkatan sehingga akan mempengaruhi kapasitas fiskal pememrintah.
Tabel 2. Berbagai Indikator Proyeksi Fiskal (% dari PDB, kecuali disebut lain) Indikator Fiskal
2005
2010
2015
2020
2025
A. Penerimaan pajak
13.2
15.43
15.81
15.81
15.24
B. Asumsí pertumbuhan ekonomi
5%
5%
5%
5%
5%
C. Simulasi PDB (Trilyun)
2624.0
3348.0
4487.0
5727.0
7310.0
D. Tax Ratio
16.56
17.62
17.95
18.47
19.06
E. Penerimaan Total
19.60
21.92
22.38
22.38
22.01
F. Belanja non Cicilan Utang
18.40
19.58
19.94
20.52
21.17
Grafik 1. Data Simulasi Penerimaan Total Pemerintah 23 22
Persen dari PDB
21 20 19 18 17 16 15 1995
2000
2005
2010
2015
2020
Penerimaan Total
Grafik 2. Data Simulasi Belanja non Cicilan Utang
2025
22
Persen dari PDB
20 18 16 14 12 10 1995
2000
2005
2010
2015
2020
2025
Belanja non Utang
Grafik 3. Data Simulasi Keseimbangan Primer 6
Persen dari PDB
5 4 3 2 1 0 1995
2000
2005
2010
2015
Keseimbangan Primer
2020
2025
Grafik 4. Data Simulasi Penerimaan, Belanja dan Keseimbangan Primer 24
Persen dari PDB
20 16 12 8 4 0 1995
2000
2005
2010
2015
2020
2025
Penerimaan Total Belanja non Utang Keseimbangan Primer
Kapasitas Transfer Fiskal Kapasitas transfer fiskal dihitung berdasarkan kapsitas fiskal nasional, sednagkan kapasitas fiskal nasional diperoleh dari proyeksi penenrimaan pajak. Adapun hasil simulasi penerimaan pajak ditampilkan pada Grafik 5. Berikut.
Grafik 5. Data Simulasi Pajak dan Penerimaan Pemerintah
24
Persen dari PDB
20 16 12 8 4 0 1995
2000
2005
2010
2015
2020
2025
Penerimaan Pajak Penerimaan Total Penerimaan selain Pajak
Karena penurunan pajak dipengaruhi oleh perubahan struktur penduduk berupa berkurangnya presentase penduduk produktif , maka usaha untuk meningkatkan pajak sebaiknya dilakukan dengan meningkatkan produktifitas tenaga kerja dan usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi nasional, sehingga dengan jumlah tenaga kerja yang berkurang tersebut dapat dihasilkan output yang lebih besar.
Dilihat dari aspek penerimaan pajak, walaupun mengalami peningkatan namun peningkatan penerimaan pajak tidak sebesar peningkatan pengeluaran pemerintah sehingga semakin lama penerimaan pajak tidak mamapu memenuhi kebutuhan dana pemerintah untuk menutup pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain dari tahun ke tahun keuangan negara tidak mengalami sustainability yang semakin baik tetap justru semakin buruk. Ini artinya keuangan negara semakin terancam. Pemerintah menghadapi kekurangan dana untuk menutup kebutuhan pengeluaran pemerintah guna memenuhi
pelayanan kepada masyarakat baik dalam rangka belanja operasional maupun belanja publik. Implikasi dari penurunan pajak tentu saja adalah pada penerimaan total. Karena pajak merupakan sumber utama penerimaan pemerintah, maka adanya peningkatan penerimaan pajak yang tidak signifikan juga akan berakibat pada pnerimanan pemerintah total yang juga tidak mampu menutup pengeluaran negara total. Dengan kata lain pemerintah akan mengalami defisit yang semakin besar dari tahun ke tahun. Ini tentu saja akan menimbulkan beban keuangan negara yang semain besar dari tahun ke tahun berikutnya.Besarnya beban keuangan pemerintah yang harus ditanggung dapat dilihat pada data-data hasil simulasi penerimaan total pemerintah. Atas dasar data hasil simulasi penerimaan pajak dan penerimaan lainnya, maka dapat dihitung penerimaan total pememrintah. Angka ini dapat dinominalkan dengan mengalikan dengan nilai PDB hasil perhitungan dengan mengasumsikan ilai rata-rata perumbuhan ekonomi 6% per tahun. Dari hasil nilai PDB ini, maka dapat dihitung nilai kapasitas fiskal nasional. Dari nilai kapasitas fiskal nasional ini dapat dihitung pula nilai kapasitas transfer pemerintah pusat ke daerah, yaitu sebesar 26% dari nilai penerimaan total domestik. Angka ini didasarkan pada UU No 33 Tahun 2004 yang efektif diberlakukan sejak tahun 2007. Hasil perhitungan kapasitas transfer disajikan pada Grafik 6.
Grafik 6. Data Simulasi Penerimaan Pemerintah dan KapasitasTransfer
Rp. Triliyun
1.800,00 1.600,00 1.400,00 1.200,00 1.000,00 800,00 600,00 400,00 200,00 0,00 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 Tahun
Penerimaan Total Pemerintah
Kapasitas Transfer
Kesenjangan antara Kebutuhan dan Kapasitas Transfer Fiskal Pada bagian ini dipaparkan hasil analisis hasil simulasi kebutuhan DAU, kapasitas transfer yang dimiliki pememrintah serta gap antar kebutuhan dan kapasitas tranfer fiskal. Dari hasil analisis diketahui bahwa gap tersebut semakin besar dalam kurun waktu lima belas tahun sejak tahun 2010.
Tabel 3.Data Hasil Simulasi Kebutuhan DAU, Kapasitas Transfer dan Gap DAU Tahun 2006-2025 TAHUN
KEBUTUHAN DAU (TRILYUN RUPIAH)
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
145.7825 160.5292 176.7676 194.6486 214.3383 236.0198 259.8944
KAPASITAS TRANSFER (26% PENERIMAAN TOTAL, TRILYUN RUPIAH) 161,96 172,99 184,70 197,12 210,31 221,74 233,79
GAP ANTARA KEBUTUHAN DAN KAPASITAS TRANSFER DAU 7.932425 2.471443 -4.028297 -14.27976 -26.10442
2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025
286.1841 315.1332 347.0106 382.1125 420.7653 463.3279 510.1960 561.8050 618.6346 681.2128 750.1211 825.9999 909.5542
-39.69412 -55.26317 -73.04057 -94.44254 -118.7053 -146.1679 -177.1760 -212.1350 -252.6746 -298.2028 -349.2711 -406.4899 -470.5142
246,49 259,87 273,97 287,67 302,06 317,16 333,02 349,67 365,96 383,01 400,85 419,51 439,04
Grafik 7. Kebutuhan DAU dan Kapasitas Transfer Fiskal 1000 900
Trilyun Rupiah
800 700 600 500 400 300 200 100 08
10
12
14
16
Kebutuhan T ransfer DAU
18
20
22
24
Kapasitas T ransfer DAU
KESIMPULAN Dari hasil studi dapat diketahui bahwa Indonesia mengalami tekanan kuat kepada peningkatan belanja pemerintah dan peningkatan defisit anggaran. Kondisi ini mengakibatkan terancamnya kemampuan fiskal nasional, baik pemerintah pusat maupun pememrintah daerah di Indonesia dalam jangka panjang. Dampak nyata yang terjadi
berkaitan dengan transfer fiskal adalah menurunnya kapasitas transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Penerimaan total mengalami peningkatan sampai tahun 2015, namun mulai tahun 2020 mengalami penurunan. Sebaliknya, pengeluaran pemerintah justru mengalami peningkatan. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini disebabkan oleh peningkatan pada berbagai komponen pengeluaran pemerintah. Akibatnya surplus primer (primary surplus) mengalami penurunan sampai tahun 2025. Akibat berikutnya adalah kapasitas transfer tidak dapat mengikuti kebutuhan DAU seiring dengan peningkatan belanja pemerintah kota/kabupaten. Kondisi ini menuntut adanya peningkatan penerimaan pemerintah, khususnya penerimaan dari pajak. Karena pada masa mendatang jumlah tenaga kerja mengalami penurunan, maka untuk meningkatkan penerimaan pajak perlu adanya kebijakan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga akan dihasilkan peningkatan output nasional. Kebijakan ini untuk meningkatkan kondisi tax financed dan menurunkan debt financed. Penurunan penerimaan pajak dan peningkatan pengeluaran pemerintah telah mengakibatkan penurunan kemandirian fiskal, baik dari ukuran rasio pajak-belanja non utang maupun ukuran rasio pajak-belanja total. Kedua variabel yang mencerminkan kemampuan keuangan negara dalam membiayai pengeluaran tersebut terus menerus mengalami penurunan dalam kurun waktu 2015-2025. Oleh karena itu untuk menjaga tax financed perlu dilakukan kebijakan peningkatan produktivitas alokasi pegeluaran pemerintah. Secara ringkas perlu adanya kebijakan penguatan hubungan kausalitas antara pajak dan pengeluaran pemerintah.Ini bertujuan agar alokasi pengeluaran
pemerintah dapat meningkatkan aktivitas ekonomi yang dapat menjadi sumber-sumber pajak baru. Dilihat dari aspek penerimaan pajak, walaupun mengalami peningkatan namun peningkatan penerimaan pajak tidak sebesar peningkatan pengeluaran pemerintah sehingga semakin lama penerimaan pajak tidak mamapu memenuhi kebutuhan dana pemerintah untuk menutup pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain dari tahun ke tahun keuangan negara tidak mengalami sustainability yang semakin baik tetap justru semakin buruk. Ini artinya keuangan negara semakin terancam. Pemerintah menghadapi kekurangan dana untuk menutup kebutuhan pengeluaran pemerintah guna memenuhi pelayanan kepada masyarakat baik dalam rangka belanja operasional maupun belanja publik. Untuk meningkatkan pemerintah, maka selain peningkatan penerimaan pajak juga dapat dilakukan dengan kebijakan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Pemerintah juga perlu membuat formula baru transfer fiskal dengan mempertimbangan kapasitas fiskal kabupaten/kota yang rendah. Selain itu juga perlu desain transfer fiskal yang mempertimbangkan tingkat ketergantungan fiskal. Pelaksanaan transfer DAU berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 perlu disiasati dengan memasukkan aspek transisi demografi pada aspek penduduk, jadi bukan jumlah penduduk, tetapi tingkat kecepatan transisi demografi menuju AP. Kebijakan praktis yang perlu dilakukan adalah revisi UU No 33 Tahun 2004 tentang formula penetapan DAU dengan memasukkan aspek transisi demografi, peningkatan besaran dana trasfer fiskal ke daerah (dari 26%) untuk meningkatkan kapasitas fiskal di daerah, peningkatan pemerataan transfer fiskal dengan mempertimbangkan ketergantungan fiskal daerah, mengurangi fluktuasi jumlah dana
DAU untuk menghindari dampak fluktuasi ini terhadap anggaran daerah, melakukan pergeseran dari alokasi anggaran administrasi yang terlalu besar menuju penerapan kebijakan pemberian layanan masyarakat dan berpihak pada masyarakat miskin. ------------------------------------Artikel ini merupakan bagian dari penelitian yang dibiayai oleh Skim Penelitian Prioritas Nasional, Dirlitabmas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Penidikan Nasional, Republik Indonesia, Tahun 2010-2011.
Daftar Pustaka Berument, Hakan, 1994, Political Parties and Government Financing: Empirical Evidence for Industrialized Coutries, Southern Economic Journal, 61: 511-518.
Department of Economics and Social Affairs Population Division – UN, 2001.World Population Ageing: 1950 – 2050, New York: United Nation. Departemen Keuangan, 2005, Nota Keuangan dan Rancangan APBN, Berbagai Edisi, Jakarta, Indonesia, http://depkeu.go.id/notakeuangan/ Departemen Keuangan, 2004, Naskah Akademis Undang-Undang Sitem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Jakarta Departemen Keuangan, 2005, Statistik Ekonomi dan Keuangan,Jakarta, Indonesia, http://depkeu.go.id/statistikekonomi/ Departemen Keuangan, 2007, Dampak Ageing Population terhadap Keuangan Negara, Laporan Penelitian, Kerjasama BKF-PPE FE UII Yogyakarta. Hamid, Edy Suandi, 2005, Formula Alternatif Dana Alokasi Umum, UII Press, Yogyakarta. Cetakan Pertama. Higgins, M. 1998, „Demography, national savings and international capital flows‟, International Economic Review, vol. 39, no. 2, pp. 343–69. Hofman, Bert., Kadjatmiko, Kai Kaiser, dan Bambang Suharnoko Sjahrir, 2006, Evaluating Fiscal Equalization in Indonesia, World Bank Policy Research Working Paper 3911, Mertinez , Jorge -Vazquez, 2001, Principles for the Design of equalization Grants, Indonesia, Workshop on Decentralization in Indonesia, May.
Masson, P, Bayoumi, T. and Samiei, H. 1995, International Evidence on the Determinants of Private Saving, International Monetary Fund Working Paper no. 95/51, May. Simanjuntak, R.A., dan Djoko Hidayanto, 2005, Dana Alokasi Umum di Masa Depan, dalam Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan dan Prospek Di Era Otonomi Daerah, LPEM Universitas Indonesia, Jakarta. Shimasawa, Manabu. 2004, Population Ageing, Policy Reforms and Endogenous
Growth in Japan: A Computable Overlapping Generations Approarch, Economic and Social Reasearch Institute, Tokyo, Japan. Tanzi, Vito, and Ludger Schuknecht, 2000, Public Spending in the 20th Century (Cambridge,U.K.: Cambridge University Press).