DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP BELANJA MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA : ANALISIS DATA PROVINSI
NOR QOMARIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Dampak Transfer Fiskal Terhadap Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia : Analisis Data Provinsi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016
Nor Qomariyah NIM H453130251
RINGKASAN NOR QOMARIYAH. Dampak Transfer Fiskal terhadap Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia : Analisis Data Provinsi. (SUHARNO sebagai Ketua, D.S PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menciptakan distribusi pendapatan yang merata (Todaro dan Smith, 2006). Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi diindikasikan dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kemiskinan merupkan permasalahan mendasar dalam pembangunan yang saat ini tengah melanda bangsa Indonesia dan negara berkembang pada umumnya. Kondisi kemiskinan di Indonesia pada era desentralisasi fiskal mengalami penurunan dari 16.66 persen pada tahun 2004 menjadi 11.47 persen pada tahun 2013. Akan tetapi jumlahnya masih cukup tinggi, bahkan dapat dibilang masih jauh dari target yang ditentukan dalam RPJMN yaitu 8.0 hingga 10 persen, lebihlebih terhadap target MDGs dimana pada tahun 2015 kemiskinan di Indonesia di targetkan turun menjadi 7.5 persen. Tidak tercapainya target kemiskinan di Indonesia dikarenakan laju penurunan kemiskinan samakin melambat, ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin besar diduga menjadi penyebab melambatnya laju penurunan kemiskinan tersebut. Kemiskinan sekaligus ketimpangan dapat diturunkan melalui pertumbuhan pro poor, yaitu pertumbuhan yang berpihak kepada mayoritas penduduk miskin, dengan pertumbuhan pro poor maka terjadi perbaikan pendapatan masyarakat miskin melalui penggunaan tenaga kerja yang intensif. Pertumbuhan pro poor akan tercipta jika pemerintah memperioritaskan pembangunan pada sektor pertanian dan infrastrkur. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah salah satu dana transfer fiskal pada era desentralisasi yang tujuannya untuk mendanai sarana prasaran khusus daerah yang menjadi prioritas nasional termasuk untuk mendanai sektor infrastruktur dan pertanian. Peningkatan DAK akan berdampak langsung terhadap pembanguna ekonomi daerah maupun nasional. Tujuan studi ini untuk (1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah pada era desentralisasi fiskal, (2) Menganalisis dampak transfer fiskal berupa DAK bidang infrastruktur dan pertanian terhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi (kinerja output sektoral, penyerapan tenaga kerja sektoral, ketimpangan dan kemiskinan). Penelitian dilakukan dengan membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan menggunakan data panel 19 propinsi di Indonesia pada tahun 2009-2013. Data yang terkumpul diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu data provinsi yang memiliki proporsi PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah. Model diestimasi menggunakan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Simulasi historis dilakukan untuk mengetahui dampak perubahan dari skenario peningkatan DAK infrastruktur jalan dan irigasi masing-masing 150 persen, peningkatan DAK bidang pertanian 75 persen, dan peningkatan belanja modal 40 persen.
Hasil estimasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, DAK bidang infrastruktur berpengaruh positif terhadap belanja modal, selanjutnya belanja modal berpengaruh positif terhadap output baik di sektor pertanian maupun non pertanian, output sektoral tersebut berpengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja sektoral, sedangkan kemiskinan dipengaruhi secara positif oleh variabel indeks gini yang mencerminkan ketimpangan dan di pengaruhi secara negatif oleh variabel upah. Hasil simulasi baik di daerah PDRB sektor pertanian tinggi maupun rendah menunjukkan, (1) pada simulasi 1 dan 2 yaitu peningkatan DAK infrastruktur jalan dan irigasi baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah dapat meningkatkan kapasitas fiskal dan belanja modal, menurunkan jumlah penyerapan tenaga kerja pertanian, menurunkan jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan, ketimpangan menurun di daerah pertanian tinggi namun di daerah pertanian rendah tidak mengalami perubahan, (2) simulasi 3 yaitu peningkatan DAK bidang pertanian menurunkan besarnya dana perimbangan, meningkatkan belanja modal, menurunkan penyerapan tenaga kerja pertanian pada daerah pertanian rendah, namun penyerapan tenaga kerja di daerah pertanian tinggi tidak mengalami perubahan, selain itu juga menurunkan share PDRB sektor pertanian, menurunkan indeks gini (hanya di daerah pertanian tinggi) dan menurunkan jumlah penduduk miskin, (3) sedangkan simulasi 4, yaitu peningkatan belanja modal menurunkan DAK bidang infrastruktur (jalan, irigasi, dan lainnya), berdampak langsung terhadap peningkatkan kinerja perekonomian suatu daerah melalui kenaikan output sektoral dalam hal ini sektor pertanian dan non pertanian. Upah sektor pertanian di daerah pertanian tinggi dan tenaga kerja pertanian di daerah pertanian rendah menurun, share PDRB sektor pertanian pada kedua klasifikasi daerah menurun tetapi secara totalnya mengalami peningkatan. Sedangkan dampaknya terhadap jumlah penduduk miskin secara total baik di daerah pertanian tinggi maupun di daerah pertanian rendah sama-sama mengalami penurunan.
Kata kunci : Dana Alokasi Khusus, Kemiskinan, Ketimpangan, Pertumbuhan Ekonomi Sektoral, Transfer Fiskal
SUMMARY NOR QOMARIYAH. The Impact of Transfer Fiscal on Capital Expenditure and Economic Development in Indonesia. Supervised by SUHARNO and D.S PRIYARSONO. National economic development goal is to improve the welfare of society and to create equitable distribution of income (Todaro and Smith, 2006). In other words, the success of economic development is indicated by the reduction of poverty and income inequality. Poverty is fundamental problem in the economic development of Indonesia and other developing countries in general. Poverty in Indonesia on fiscal decentralization era has been decline from 16.66 percent in 2004 into 11.47 percent in 2013. But the poverty rate are still high, it can be said that is still far from the targets RPJMN is 8.0 to 10 percent, and MDGs target on 2015 is 7.5 percent. Not achieving the target of poverty in Indonesia because the decline of poverty the slower, its is caused by income inequality grow to larger. The poverty and inequality of income can be reduced through pro-poor growth, ie growth that support the economic of poor community majority, with a pro-poor growth, the improvement of incomes of the poor through the use of labor intensive. Pro-poor growth will be created if the government prioritize the development to the agricultural sector and infrastructure. Special Allocation Fund (DAK) is a transfer of funds in the fiscal decentralization era with aims to fund local development which become special priority of nation including to fund the infrastructure and agriculture sectors. Increased of DAK will directly impact to economy development of regional and national. The objectives of this study are to : (1) analyze the factors affected fiscal, economic growth, income inequality and poverty in Indonesian provinces both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GDRP is high or low on the fiscal decentralization era, (2) analyze the impact of transfer fiscal on capital spending and development economic (economic growth, income inequality and poverty). This study used the simultaneous equation models with Two Stage Least Square (2SLS) methode. It used panel data 19 provinces in Indonesia on 2009-2013. The provinces where classified into two groups, based on the contribution of agriculture sector to the respective regional economy, ie provinces in the areas where the contribution of the agricultural sector to GDRP is high and low. Historical simulations conducted to determine the impact of a change of scenario increase DAK infrastructure of road and irrigation respectively 150 percent, increasing DAK of agriculture 75 percent and increasing capital spending 40 percent. The results of the study showed that DAK infrastructure positive effect on capital expenditure, then the capital spending has positive effect on the output both sectoral of agriculture and non-agriculture, then the sectoral outputs has positive effect on the sectoral employment, the wage has negative while the income inequality has positive effect on number of poverty. The simulation results both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP was high or low:, (1) the simulation 1 and 2 increase of DAK road and irrigation infrastructure can increased fiscal capacity and capital spending, decreased the agriculture employment, but reduced rural and urban poverty both in the areas
where the contribution of the agricultural sector to GRDP is high or low, (2) the simulation 3 increase of DAK agriculture can decreased equalization funds from central government, increased capital spending, decreased agricultural employment both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP is either high or low, while also can decrease the share of the GDRP of agriculture, decreased the gini index (only in the area the high agricultural sector) and reduce rural and urban poverty both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP was high or low, and (3) the result of simulation 4 increase capital spending, can decrease variables of fiscal that DAK infrastructure (roads, irrigation, and others), can increase outputs sectoral are GRDP of agriculture and non-agriculture, and then can decrease the wage in the high agriculture area and employment of agriculture in the low agriculture area, but can reduce rural and urban poverty in total both in the areas where the contribution of the agricultural sector to GRDP is high or low
Keywords: Specific Allocation Fund, Poverty, Inequality, economic growth, Transfer Fiscal.
.
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP BELANJA MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA : ANALISIS DATA PROVINSI
NOR QOMARIYAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Wiwiek Rindayanti, MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alaatas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judulpenelitian ini adalah DampakTransfer Fiskal terhadap Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia : Analisis Data Provinsi. Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi pembimbing dan bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Dr Ir Suharno, M Adev selaku ketua komisi pembimbing, dan Prof Dr Ir D.S Priyarsono, MS selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber inspirasi bagi penulis dalam perjalanan penyusunan tesis. 2. Dr Ir Wiwiek Rindayanti, Msi selaku penguji Luar Komisi dan Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis. 3. Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB atas perhatian dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga ilmu yang di dapatkan oleh penulis dapat diamalkan dengan baik. Selanjutnya juga kepada Kepala Tata Usaha program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian beserta staff atas pelayanan akademik dan kemahasiswaan. 4. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB. 5. Seluruh anggota keluarga penulis, terutama kedua orang tua tercinta Bapak Sudin dan Ibu Arsina, Adik tersayang Mahmud atas doa dan kasih yang tulus yang selalu tercurahkan kepada penulis. 6. Bapak Saefudin dan Bapak Sumedi dari Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) atas diskusi dan sharing pengalamannya sehingga menjadi pelajaran berharga bagi penulis selama proses penyelsaian tesis. 7. Teman-teman Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) angkatan 2013 yang telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti perkuliahan hingga terselesaikannya tesis ini. 8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusuan tesis ini. Segala kekurangan yang terdapat pada tesis ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Februari 2016
Nor Qomariyah
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Keterbatasan
xii xiii xiv xv 1 1 5 8 8 8
2 TINJAUAN PUSTAKA 10 Desentralisasi Fiskal 10 Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi : Ketimpangan dan Kemiskinan 13 Investasi Publik,Pertumbuhan Ekonomi,dan Pengentasan Kemiskinan 14 Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan, dan Kemiskinan 15 3 KERANGKA TEORI Desentralisasi Fiskal Pengeluaran Pemerintah Konsep Infrastruktur Pertumbuhan Ekonomi Teori Pertumbuhan Solow Teori Pertumbuhan Endogen Konsep Kemiskina Konsep Ketimpangan Pendapatan Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian
18 18 21 22 23 24 26 28 29 31 32
4 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis
34 34 35
5 GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL, BELANJA MODAL, DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH Profil Kinerja Fiskal Pengeluaran Daerah Kinerja Perekonomian Tenaga Kerja dan Upah Sektoral Kemiskinan
45 46 53 55 56 58
6 HASIL ESTIMASI MODEL Blok Kinerja Fiskal Daerah Penerimaan Daerah Blok Kinerja Perekonomian Output Sektoral Blok Indeks Gini dan Kemiskinan
61 63 63 67 73
7 DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP BELANJA MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH 76 Validasi Model Transfer fiskal, Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi Daerah 76 Simulasi Historis Tahun 2009-2013 78 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
86 86 87 89 93 139
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
27
Kelompok provinsi dengan proporsi pdrb sektoral pertanian tinggi rendah, serta rata-rata proporsi pdrb sektor pertanian tahun 2009-2013 Rata-rata per tahun pendapatan pemerintah daerah selama 2009-2013 Rata-rata per tahun kontribusi unsur pendapatan daerah 2009-2013 Rata-rata per tahun kontribusi dana perimbangan daerah tahun 20092013 Rata-rata per tahun kontribusi dana alokasi khusus 2009-2013 Rata-rata per tahun kontribusi dak bidang infrastruktur 2009-2013 Rata-rata per tahun nilai dan kontribusi unsur-unsur pengeluaran pemerintah daerah selama 2009-2013 Rata-rata per tahun kontribusi belanja langsung tahun 2009-2013 Rata-rata per tahun total pdrb dan share pdrb sektor pertanian dan non pertanian 2009-2013 Rata-rata per tahun total tenaga kerja dan proporsi sektor pertanian dan non pertanian 2009-2013 Rata-rata proporsi upah sektor pertanian dan non pertanian di daerah Rata-rata per tahun pengeluaran penduduk perkotaan, pengeluaran penduduk pedesaan, dan indeks gini tahun 2009-2013 Rata-rata per tahun pengeluaran penduduk perkotaan, pengeluaran penduduk pedesaan, dan indeks gini tahun 2009-2013 Keragaan umum model transfer fiskal, perekonomian, ketimpangan, dan kemiskinan daerah tahun 2009-2013 Hasil uji multikolinieritas Hasil estimasi dan elastisitas variabel dana dak bidang infrastruktur jalan, irigasi, dan lain-lain Hasil estimasi variabel pendapatan asli daerah (PAD) Hasil estimasi dan elastisitas variabel belanja modal Hasil estimasi variabel pdrb sektor pertanian dan non pertanian Hasil estimasi dan elastisitas variabel penyerapan tenaga kerja sektoral Hasil estimasi dan elastisitas variabel upah sektoral Hasil estimasi dan elastisitas variabel indeks gini Hasil estimasi dan elastisitas variabel jumlah penduduk miskin di pedesaan dan perkotaan Hasil validasi model perekonomian dan kemiskinan provinsi di indonesia pada daerah pdrb sektor pertanian tinggi tahun 2009-2013 Hasil validasi model kinerja perekonomian provinsi di indonesia pada daerah pdrb sektor pertanian rendah tahun 2003-2011 Dampak peningkatan dana alokasi khusus (DAK) bidang infrastruktur jalan terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan dan kemiskinan di daerah tahun 2009-2013 Dampak peningkatan dana alokasi khusus (DAK) bidang infrastruktur irigasi terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan dan kemiskinan di daerah tahun 2009-2013
dan 45 46 48 49 50 52 53 54 55 56 57 58 59 61 62 64 65 66 68 71 72 73 75 77 78
79
81
28 Peningkatan dana alokasi khusus bidang pertanian (DAKPER) terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan, dan kemiskinan di daerah tahun 2009-2013 29 Dampak peningkatan belanja modal terhadap perekonomian sektoral, ketimpangan dan kemiskinan di daerah tahun 2009-2013
82 84
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Tingkat kemiskinan desa-kota tahun 2009-2013 di Indonesia Tingkat kemiskinan sektoral pada tahun 2013 di beberapa provinsi di Indonesia Jumlah penduduk miskin dan tingkat penurunan kemiskinan dari tahun 2004-2014 Model pertumbuhan solow : output dan investasi The poverty-growth-inequality triangle Kurva lorenz Alur kerangka pemikiran Tahapan penyusunan model Diagram keterkaitan antar variabel dalam model fiskal, perekonomian, dan kemiskinan di daerah Rata-rata pendapatan pemerintah daerah pdrb sektor pertanian tinggi dan rendah tahun 2009-2013 Rata-rata kapasitas fiskal daerah pdrb sktor pertanian tinggi dan rendah tahun 2009-2013 Rata-rata DAK bidang infrastruktur per tahun selama tahun 20092013 Rata-rata DAK infrastruktur bidang pertanian per tahun selama tahun 2009-2013
2 3 6 25 30 31 33 36 44 47 48 51 51
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan pembangunan ekonomi ialah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta menciptakan distribusi pendapatan yang merata (Todaro dan Smith, 2006). Dengan perkataan lain, keberhasilan pembangunan ekonomi di indikasikan dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kebijakan desentralisasi fiskal dilakukan bertujuan untuk mempercepat tercapainya tujuan pembangunan ekonomi nasional terutama menyangkut kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas layanan pemerintah terhadap masyarakat. Oleh karena itu evaluausi terkait efektivitas kebijakan desentralisasi fiskal dalam menyelesaikan permasalahan pembangunan perlu untuk dilakukan. Kemiskinan merupkan permasalahan mendasar dalam pembangunan, yang saat ini tengah melanda bangsa Indonesia dan negara berkembang pada umumnya. Data jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 11.47 persen atau sekitar 28.55 juta jiwa (BPS, 2013), walaupun telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun namun jumlah tersebut masih cukup tinggi, bahkan dapat dibilang masih jauh dari target yang ditentukan dalam RPJMN yaitu 8.0 hingga 10 persen, lebih-lebih terhadap target MDGs dimana pada tahun 2015 kemiskinan di Indonesia di targetkan turun menjadi 7.5 persen. Namun kedua target tersebut tidak pernah tercapaidi karenakan beberapa hal, di antaranya pada beberapa tahun terakhir ini penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia bergerak dengan lambat, bahkan pada tahun 2012 dan 2013 kurang dari 1.0 point persen yaitu masing-masing hanya turun 0.5 dan 0.6 poin persen. Kedua periode tersebut merupakan penurunan paling kecil selama satu dekade. Melambatnyatingkat penurunan kemiskinan tersebut diduga karena adanya ketimpangan pendapatan yang semakin besar. Hal ini dibuktikan dari angka indeks gini ratio pada tahun 2013 mencapai 0.413, angka ini merupakan angka terbesar dari sebelumnya 0.37 pada tahun 2006 dan 0.35 pada tahun 1996. Kondisi yang demikian menjadi tantangan bagi pembangunan saat ini dan kedepannya, karena dapat berdampak sangat buruk terhadap perekonomian dan pembangunan nasional, yaitu berupa instabilitas sosial, ketidakpastian, dan tragedi kemanusiaan seperti kelaparan, tingkat kesehatan yang rendah dan gizi buruk. Bila keadaan tersebut terus berlanjut, maka pada akhirnya akan mengganggu keamanan, stabilitas ekonomi makro dan kelangsungan pemerintahan yang ada (Muslianti, 2011). Menurut de Janvry dan Sadoulet (2010), pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu transfer pendapatan (cash transfer) dan pertumbuhan pro-poor. Transfer pendapatan kepada penduduk miskin seperti bantuan atau subsidi pemerintah yang dilakukan dalam berbagai bentuk mislanya RASKIN (beras untuk rumahtangga miskin), JAMKESMAS (jaminan kesehatan masyarakat), BLT (Bantuan Langsung Tunai)dan sebagainya dapat mengatasi permasalahan kemiskinan dengan cepat, akan tetapi memerlukan dana besar dan program redistribusi yang tepat sasaran. Selain itu cara ini juga
2
kurang efektif diterapkan jika penduduk miskin memiliki potensi kerja sehingga tidak dapat menurunkan tingkat kemiskinan secara berkelanjutan. Sedangkan pada pertumbuhan pro-poor akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan penduduk miskin melalui pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Menurut Whitfield (2008), pertumbuhan pro-poor adalah pertumbuhan ekonomi yang difokuskan pada mayoritas penduduk miskin yaitu masyarakat yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan bekerja pada sektor pertanian (terlihat pada gambar 1 dan 2). Perbaikan pendapatan pada sektor pertanian dan penggunaan tenaga kerja yang intensif akan berdampak langsung terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Berdasarkan data BPS (2013) dari 28.55 juta orang miskin di Indonesia, 17.92 juta orang (63%) hidup dan tinggal di pedesaan dengan pertanian sebagai sumber pendapatan utamanya (Siregar dan Wahyuniarti, 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa hasil-hasil pembangunan di Indonesia lebih menguntungkan sektor-sektor non-pertanian yang mendominasi struktur ekonomi perkotaan. Sementara itu, pengentasan kemiskinan di Indonesia akan terwujud jika diprioritaskan pada pembangunan pertanian di kawasan pedesaan (Sumedi, 2013 dan Lisna, 2014).Berdasarkan beberapa studi sebelumnya menyatakan bahwa pembangunan sektor pertanian mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam mengentaskan kemiskinan baik di pedesaan maupun secara total (Ravallion, 2002; Yudhoyono, 2004; Budiyanto, 2014; Lisna, 2014). Menurut Lisna (2014), untuk mencapai pertumbuhan pro-poor hanya di capai melalui pembangunan pertanian dan infrastruktur sebagaimana yang di rekomendasikan Balisacan, et al. (2003) dan OECD (2006 dan 2009).
Kota
Desa
total
TINGKAT KEMISKINAN
70 60 50 40 30 20 10 0 2009
2010
2011
2012
2013
TAHUN
Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 1. Tingkat kemiskinan desa- kota 2009- 2013 di Indonesia
3
100
Tidak Bekerja *)
Pertanian
Non Pertanian
80 60 40 20 0
Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 2. Tingkat kemiskinan sektoral pada tahun 2013 di beberapa Provinsi di Indonesia Dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama sektor paertanian, maka teori ekonomi pada umumnya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi menekankan pentingnya akumulasi terhadap barang modal. Menurut Solow (1950), pertumbuhan ekonomi tergantung pada penyediaan faktor produksi (penduduk, tenaga kerja, akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Sedangkan menurut teori Harrod-Domar, investasi terhadap capital stock (barang modal) memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi baik di negara maju maupun negara berkembang. Infrastruktur dapat digolongkan sebagai barang modal atau capital stock.Infrastruktur menjadi faktor penggerak pertumbuhan ekonomi dan faktor kunci dalam mendukung pembangunan nasional (BAPPENAS, 2003). Hasil penelitian Yanuar (2006) menunjukkan bahwa infrastruktur secara parsial memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan output baik pada sektor pertanian maupun non-pertanian. Infrastruktur pertanian seperti jalan dan jembatan akan meningkatkan akses petani dalam pendistribusian hasil produksi maupun dalam akses menuju tempat kegiatan ekonominya. Sehingga dapat memicu terciptanya efisiensi biaya produksi yang nantinya akan menjadikan harga jual produk yang kompetitif. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Fan (2002) di India, dimana ditemukan bahwa pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur pertanian seperti pengeluaran untuk R & D, irigasi, infrastruktur pedesaan (termasuk jalan dan listrik), pendidikan dan pembangunan pedesaan telah berkontribusi terhadap pertumbuhan produktivitas pertanian dan sebagian besar juga berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan. Munnel (1992), menyatakan bahwa untuk mempercepat stimulus ekonomi, investasi publik pada infrastruktur memberikan efek positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yang selanjutnya pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap penurunan kemiskinan (Siregar dan Wahyuniarti, 2007).Oleh
4
karena itu dibutuhkan investasi infrastruktur yang cukup besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi disetiap daerah, melihat infrastruktur ini termasuk barang publik yang manfaatnya tidak hanya di nikmati atau di rasakan secara pribadi saja maka pengadaannya harus dilaksanakan oleh pemerintah melalui pengeluaran pembangunan yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberlakukan sejak tahun 2001 melalui pengalihan sebagian kewenangan pengelolaan keuangan kepada pemerintah daerahyang diikuti dengan adanya transfer fiskal, pada dasarnya bertujuan untuk efisiensi penyediaan pelayanan sektor publik di daerah terutama infrastrukturagar dicapai kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa pemerintah daerah memiliki pengetahuan yang lebih baik terhadap kondisi masyarakat dan potensi daerahnya, dengan demikian kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan layanan publik yang lebih baik (Bjornestad, 2009). Salah satu bentuk komitmen pemerintah pusat dalam kebijakan desentralisasi fiskal adalah mengalokasikan anggaran transfer fiskal dalam APBN. Menurut World Bank (2008) pada dasarnya jenis-jenis transfer fiskal dapat dikelompokkan kedalam dua kategori besar yakni dana transfer yang bersifat block grant dan specific grant. Block grant adalah dana trasnsfer fiskal ditujukan untuk mengatasi ketidakseimbangan horizontal (horizontal imbalance) antar pemerintah daerah dalam mewujudkan pemerataan kemampuan keuangan antar pemerintah daerah, yang dikenal dengan DAU (Dana Alokasi Umum). Specific grantadalah dana transfer fiskal di tujukan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, yang dikenal sebagai DAK (Dana Alokasi Khusus). Secara rinci sistem transfer fiskal tersebut memiliki beberapa tujuan utama, diantaranya (1) mengurangi ketimpangan fiskal vertikal (vertical fiscal imbalances) diantara berbagai tingkat pemerintahan yang ada melalui DAU; (2) menyeimbangkan kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam hal ’service delivery’ melalui DAU; (3) mendorong pengeluaran daerah pada prioritas pembangunan nasional melalui DAK; (4) mendorong pencapaian standar pelayanan minimum melalui DAK (Sidik, 2004). DAK sebagai salah satu bentuk pendanaan desentraslisasi fiskal di alokasikan pada dasarnya untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah yang menjadi prioritas nasional untuk menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah dan pelayanan antar sektor. DAK dapat dijadikan kompensasi atas kekurangan pembiayaan pembangunan fisik dan pelayanan masyarakat di daerah. Selain itu DAK juga digunakan sebagai sumber pendanaan dalam membiayai pengadaan infrastruktur pekerjaan umum selain dana yang berasal dari APBN. Walaupun jumlah DAK sangat kecil dibandingkan DAU namun DAK berkontribusi signifikan terhadap pembangunan daerah karena menjadi komponen dari belanja modal (BAPPENAS, 2011; Sumedi, 2013). Menurut lembaga penelitian SMERU (Syaikhu dkk, 2008) bahwa DAK merupakan salah satu sumber pendanaan untuk belanja modal. Sementara DAUsudah terjadi penyimpangan dari fungsi dan tujuan awalnya, berdasarkan hasil studi empiris sebelumnya antara lain yang di lakukan oleh Afrizawati (2012) dan Kuncoro (2004) menemukan bahwa DAU menimbulkan fenomena flaypaper effect di beberapa daerah di Indonesia, yaitu
5
kondisi dimana pemerintah daerah merespon DAU secara berlebihan untuk membaiyai sebagian besar belanja daerahnya. Sementara belanja daerah tersebut di alokasikan pada sektor-sektor yang tidak berdampak besar terhadap pertumbuhan pro-poor. Sedangkan bagidaerah-daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, DAU hanya terpakai untuk membiayai belanja rutin. Menurut hasil temuan World Bank (2007), lebih dari setengah DAU digunakan untuk membiayai belanja pegawai sehingga tidak berdampak terhadap pertumbuhan sektor riil. Hal ini mengindikasikan bahwa peran DAU terhadap pertumbuhan pro-poor masih rendah meskipun komposisi DAU pada total pendapatan daerah paling besar yang menyebabkan keuangan daerah tergantung pada DAU. Tingginya kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pengeluaran daerahnya merupakan penyebab dari adanya fenomena flaypaper effect yang saat ini sudah menjadi sulit untuk diatasi. Dengan demikian DAK menjadi bagian solusi pendanaan infrastrukturatau belanja modal didaerah melihat pola umum belanja daerah yang menempatkan belanja pegawai dalam porsi yang dominan. DAK dapat dijadikan kompensasi atas kekurangan pembiayaan pembangunan fisik dan pelayanan masyarakat di daerah. Meskipun dalam jumlah yang terbatas (hanya sekitar 7%) dibandingkan DAU (70%) dan DBH (23%) dari total dana perimbangan, namun DAK berkontribusi signifikan terhadap pembangunan daerah. Atas dasar inilah maka penulis terdorong untuk mengkaji dampak transfer fiskal yang dikhususukan pada DAK terhadap pembangunan ekonomi daerah pada khususnya dan nasional pada umumnya. Rumusan Masalah Sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal pemerintah daerah mempunyai kewenangan mengelola daerahnya serta menggali potensinya untuk meningkatkan penerimaan daerah. Ketersediaan anggaran yang terbatas, pemerintah daerah diharapkan mampu mengalokasikannya pada sektor-sektor yang tepat, dan membelanjakan pada bidang-bidang yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat, sehingga dapat berdampak terhadap tumbuhnya kegiatan ekonomi yang kemudian dapat meningkatakan pendapatan masyarakat.Berdasarkan data BPS dan KEMENKEU(2013) pada masa desentralisasi fiskal, laju pertumbuhan ekonomi nasional meningkat secara berfluktuasi dari 4.77 persen pada tahun 2009 menjadi 6.35 persen pada tahun 2011 dan mengalami penurunan menjadi 5.9 persen pada tahun 2013.Sementara itu,kemiskinan mengalami penurunan dari 32.53 (14.15%) pada tahun 2009 menjadi 28.55 (11.47%) pada tahun 2013 seperti yang terlihat pada gambar 3.Gambar tersebut menjelalskan bahwa selama sepuluh tahun terakhir (2004-2014) kemiskinan di Indonesia memilikitrend yang terus menurun, akan tetapi semakin lama laju penurunan kemiskinan semakin melambat serta belum pernah mencapai target yang sudah ditentukan sebagaimana yang tercantum di dalam visi pembangunan nasional.
6
Namunsemakin besarnya GDP Indonesia justru membuat kesenjangan pendapatan antara penduduk semakin tinggi. Salah satu indikator yang biasa dipakai untuk mengukur ketimpangan pendapatan penduduk suatu negara adalah gini ratio. Pada tahun 2009 gini ratio Indonesia sebesar 0.35 dan melonjak menjadi 0.41 pada tahun 2011 dan bertahan hingga tahun 2014.Menurut Todaro dan Smith (2006) angka tersebut sudah tidak lagi mencerminkan distribusi pendapatan masyarakat yang relatif tidak merata.
Sumber : Badan Pusat statistik
Gambar 3. Jumlah penduduk miskin dan tingkat penurunan kemiskinan selama tahun 2004-2014 Selain itu, data fiskal menunjukkan bahwa setelah di terapkan kebijakan desentralisasi fiskal, pengeluaran daerah untuk keperluan belanja rutin cenderung mengalami peningkatan yang sangat besar, sebaliknya share pengeluaran pembangunan di dalam keseluruhan pengeluaran kabupaten/kota cenderung mengecil. Disamping itu dalam penetapan jumlah maupun struktur alokasi pengeluaran belanja pada masing-masing sektor pembangunan, sebagian pemerintah daerah tidak melakukan kajian mendalam tentang dampaknya terhadap perekonomian. Alokasi pengeluaran belanja pada tiap-tiap sektor pembangunan lebih didasarkan pada pemerataan pada masing-masing sektor atau kepentingan politik pejabat-pejabat daerah (Rindayati, 2009 danBudiyanto, 2014). Pada era desentralisasi fiskal rata-rata proporsi belanja infrastruktur terhadap belanaja negara dalam APBN selama tahun 2009-2013 hanya sebesar 9.1 persen. Sementara rata-rataproporsi alokasi belanja modal kementerian pertanian terhadap belanja negara selama tahun 2009-2013 hanya sebesar 0.08 persen (Kementerian Keuangan dan kemeterian pertanian, 2013). Hal ini menunjukkan bahwamasih rendahnya alokasi anggaran untuk pendanaan sektor infrastruktur dan juga sektor pertanian. Padahal kedua sektor tersebut merupakan faktor penggerak pertumbuhan ekonomi pro poor yang efektif dalam pengentasan kemiskinan. Selain itu terkait dengan pengelolaan transfer fiskal oleh pemerintah daerah terdapat indikasi bahwa dana transfer tersebut lebih banyak dialokasikan untuk sektor non-pertanian, terlihat dari peningkatan PDRB dan jumlah tenaga kerja pada sektor non pertanian yang lebih besar dibandingkan di sektor pertanian,
7
keberpihakan pemerintah daerah pada sektor-sektor non pertanian diduga menjadi penyebab lambatnnya penurunan tingkat kemiskinan pada masa desentralisasi fiskal. Dengan demikiandapat dikatakan bahwa transfer fiskal di Indonesia justru memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan (Nanga, 2006). Fakta di lapang juga menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur terutama di sektor pertanian mengalami kondisi under investment(BPS dan World Bank, 2006) sekaligus miss investment(Darsono, 2008). Pada era desentralisasi, kondisi infrastruktur pertanian sebagian besar (70%) semakin buruk terutama jalan pedesaan dan jaringan irigasi. Saat ini sebanyak 55 persen (2.7 juta Ha) daerah Irigasi yang menjadi tanggung jawab Provinsi dan Kabupaten/Kota periode 2009-2013 dalam kondisi rusak (kementerian PU, 2014 dan BAPPENAS, 2013). Alokasi belanja modal untuk pembangunan dan perawatan irigasi pada tahun 2011 hanya sekitar Rp 3 trilun, Sehingga sektor pertanian yang perannya sangat penting menjadi terbelakang dan mengalami pertumbuhan yang lambat. Dalam periode 2005-2009 rata-rata produktivitas sektor pertanian mencapai sekitar Rp.6.7 juta per tenaga kerja dan naik menjadi sekitar Rp. 7.9 juta per tenaga kerja dalam kurun waktu 2010-2013. Meskipun mengalami kenaikan produktivitas, namun dibandingkan dengan sektor lain, produktivitas sektor pertanian relatif masih tertinggal (BAPPENAS, 2013) Di sisi lain, pemerintah pusat telah mengalokasikan dana alokasi khusus untuk membiayai sarana prasarana di daerah,yang di antaranya berupa DAK bidang infrastruktur dan bidang pertanian yang bertujuan untuk membiayai sarana dan prasaran fisik pada sektor pertanian dan infrastruktur (jalan, irigasi dan sanitasi dan air minum)yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Alokasi DAK ini merupakan salah satu upaya pemerintah pusat mendorong daerah dalam memepertahankan kinerja bidang infrastruktur dan bidang pertanian di daerah. Akan tetapi jumlah DAK tersebut dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mempunyai porsi yang sangat kecil, pada tahun 2005 proporsi alokasi DAK terhadap total APBN masih di bawah 1.0 persen. Sementara proporsi DAU terhadap total belanja APBN sebesar hampir 22 persen. Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pertanyaan yang mendasari penelitian ini adalah : 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di daerah? 2. Bagaimana dampak transfer fiskal berupa danaalokasi khusus bidang infrastruktur dan pertanianterhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi (kinerja output sektoral, penyerapan tenaga kerja sektoral, ketimpangan dan kemiskinan)?
8
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak alokasi dana infrastruktur terhadap pengentasan kemiskinan sektoral sedangkan tujuan spesifik dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal, perekonomian sektoral, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah. 2. Menganalisis dampak transfer fiskal berupa DAK bidang infrastruktur dan pertanian terhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi (kinerja output sektoral, penyerapan tenaga kerja sektoral, ketimpangan dan kemiskinan) Manfaat Penelitian Penelitian mengenai dampak transfer fiskal (DAK) terhadap pembangunan perekonomian daerah di Indonesia diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dalam studi ini. Manfaat tersebut antara lain: 1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pembuat kebijakan terkait pengalokasian transfer fiskal terutama DAK dalam rangka untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya dalam pengentasan kemiskinan 2. Sebagai referensi pembanding atau studi pustaka bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan dampak transfer fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, ketimpangan dan kemiskinan. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ini mencoba menggali lebih detail terkait dengan dampak transfer fiskal yang di khususkan untuk mendanai sarana prasaran fisik di daerah yang dikenal dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap pembangunan ekonomi daerah, yang di rinci pada sektor utama perekonomian, ketimpangan dan kemiskinan. Walaupun angkanya sangat kecil yaitu hanya mempunyai proporsi tujuh persen dari total dana perimbangan dan dibawah satu persen dari total APBN (pada tahun 2005), namun DAK mempunyia dampak yang sangat signifikan terhadap pembangunan. Hal ini didasarkan bahwa peran transfer fiskal dari pemerintah pusat yang berupa DAK ini mempunyai tujuan salah satunyauntuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum atau ketersediaan infrastruktur dasar di setiap daerah. Selain itu dana yang digunakan untuk membiayai infrastruktur pekerjaan umum di daerah selain berasal dari APBN juga berasal dari DAK. Oleh karena data belanja infrastruktur dari pemerintah pusat yang digunakan untuk memenuhi permodelan dalam penelitian ini adalah data DAK, yaitu berupa alokasi dana dari APBN kepada provinsi/kabupaten/kota yang tujuannya untuk membantu pemerintah daerah dalam membiayai sarana dan prasarana fisik di daearah. Selain menggunakan DAK bidang infrastruktur, penelitian ini juga secara menggunakan DAK bidang pertanian yang secara khusus untuk melihat dampaknya terhadap sektor pertanian. Pemilihan sektor pertanian menjadi fokus, karena sektor ini memiliki posisi strategis dalam perekonomian dan juga sebagian besar penduduk miskin berada pada sekor pertanian, sehingga penelitian ini dapat dikaitkan langsung terhadap
9
pengentasan kemiskinan. Periode data yang digunakan selama 5 tahun mulai tahun 2009 sampai 2013. Digunakannya data tahun 2009 sampai 2013 dikarenkan bahwa kewenangan daerah secara utuh dalam mengelola potensi daerahnya melalui pemungutan kepada masyarakat daerah dimulai setelah adanya undangundang pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan komponen utama pendapatn asli daerah, yang kemudian dana tersebut digunkan sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan daerah. Penelitian ini dilakukan pada 19 provinsi yang diklasifikasikan menjadi daerah pertanian tinggi dan daerah pertanian rendah, dimana provinsi-provinsi tersebut mempunyia kapasitas fiskal yang relatif masih rendah. Klasifikasi dilakukan dengan membandingkan share PDRB pertanian di suatu provinsi dengan rata-rata share PDRB pertanian seluruh provinsi periode 2009-2013. Jika share PDRB pertanian lebih besar dari rata-ratashare PDRB pertanian seluruh provinsi maka provinsi tersebut diklasifikasikan sebagai provinsi pertanian tinggi, sebaliknya jika lebih kecil dari rata-rata seluruh provinsi diklasifikasikan sebagai provinsi pertanian rendah (Budiyanto, 2014). Selain itu dari beberapa studi sebelumnya salah satunya hasil kajian Lisna (2014) terdapat faktabahwa daerah pertanian tinggi rata-rata kapasitas fiskalnya lebih rendah dibandingkan dengan daerah pertanian tinggi. Sedangkan daerah pertanian tinggi selain mempunyai kapasitas fiskal yang rendah juga sarat dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Atas dasar inilah maka alokasi dana infrastruktur yang berasal dari DAK penting untuk dilihat, karena berdasarkan peraturanyang ada, daerah yang mempunyai kapasitas fiskalrendah dan tingkat kemiskinan yang tinggi mendapatkan dana DAK yang lebih besar, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga klasifikasi ini dilakukan dengan alasan bahwa ada perbedaan yang cukup besar terkait karakteristik fiskal, perekonomian, dan kemiskinan antara provinsi pertanian tinggi dan provinsi pertanian rendah. Selain itu ruang lingkup penelitian ini juga melihat dampaknya terhadap kinerja sektoral, dalam hal ini kinerja sektoral dilihat dari sektor pertanian dan non pertanian. Sektor pertanian yang di maksud adalah total nilai produksi dari sub sektor di bawahnya. Sedangkan output non pertanian adalah penjumlahan dari nilai PDRB sektor-sektor perekonomian selain sektor pertanian. Klasifikasi ini digunakan untuk melihat keterkaitan alokasi DAK(bidang infrastruktur dan bidang pertanian) terhadapkinerja perekonomian sektoral. Kinerja perekonomian di dekati dengan kinerja output, penyerapan tenaga kerja, dan upah sektoral. Sedangkan kemiskinan di dekati dengan indeks gini dan jumlah penduduk miskin di pedesaan dan perkotaan, dimana di asumsikan dalam penelitian inipenduduk miskin pedesaan bekerja di sektor pertanian sedangkan penduduk msikin perkotaan bekerja di sektor non pertanian.
10
2 TINJAUAN PUSTAKA Desentralisasi Fiskal Banyak bukti empiris menunjukkan bahwa tingginya ketergantungan pada transfer ternyata berhubungan negatif dengan dampaknya terhadap pembangunan (Mello & Barenstrein, 2001 dan Sumedi, 2014). Hasil ini menunjukkan bahwa perilaku pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi oleh sumber pendanaanya. Pemerintah daerah akan lebih berhati-hati dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri dibandingkan daripada uang yang diterima dari pusat. Faktor ini menyebabkan pemerintah daerah cenderung lebih boros menggunakan anggaran transfer dibandingkan dengan anggaran yang diperoleh dari pendapatan daerah. Sebelumnya Bradford and Oates (1971), memprediksi bahwa transfer pusat ke daerah adalah identik dengan pendapatan daerah, karena fungsi anggaran adalah identik, sehingga pemerintah daerah seharusnya memiliki propensity to spend yang sama untuk kedua jenis sumber anggaran ini. Namun kenyataanya tidak demikian, propensity to spend anggaran transfer pusat lebih besar dibandingkan dengan anggaran dari sumber daerah sendiri Meskipun hasil analisis empiris, tidak menunjukkan hasil yang konsisten bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap perekonomian, namun banyak pemerintahan meyakini bahwa desentralisasi ini merupakan strategi yang yang harus ditempuh untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Secara konseptual, desentralisasi fiskal memiliki potensi berdampak pada pengurangan kemiskinan, namun proses tersebut tidak berjalan secara serta merta. Bila kemiskinan menjadi target pemerintah, sistem desentralisasi fiskal perlu di arahkan pada pengurangan kemiskinan melalui insentif fiskal. Iimi (2005) juga mengatakan bahwa, hasil berbagai penelitian empiris menunjukkan bahwa masih terdapat kontroversi hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataanya, desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks dan meliputi berbagai aspek. Penelitian lain yang mendukung konsep desentralisasi fiskal, misalnya yang dilakukan oleh Huther and Shah (1998), yang melalui korelasi sederhana menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki korelasi positif dengan kualitas pemerintahan yang mendorong pembangunan ekonomi. Penelitian Akai and Sakata (2002) dan Lin and Liu (2000) juga nununjukkan hasil yang sejalan dengan teori, bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Davoodi and Zou (1998) melakukan penelitian untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dengan data berbagai negara pada periode 1970-1989, dan menunjukkan adanya hubungan negatif secara signifikan antara desentralisai fiskal dan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Hasil yang berlawanan dengan teori ini diduga disebabkan karena ukuran desentralisasi fiskal tidak berhasil menangkap secara utuh dampak kesejahteraan dari modal dan pengeluaran rutin. Kemungkinan lain adalah pemerintah daerah tidak responsif terhadap kewenangan dan tugas yang diemban, dan juga kapasitasnya yang kurang memadahi untuk mengelola desentralisasi yang diberikan. Ezcurra (2010) melakukan penelitian khusus pada negara-negara maju yang tergabung dalam OECD, untuk menganalisis hubungan antara
11
desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi pada 21 negara OECD, pada periode 1990 sampai 2005. Hasil analisis menujukkan adanya hubungan negatif antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang dianalisis. Iimi (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan dari berbagai hasil penelitian yang menunjukkan kondisi sebaliknya dari teori. Pertama, desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks untuk ditangkap melalui variabel dan data empiris pada tingkat agregat, karena meliputi banyak dimensi, antara lain politik, fiskal, dan administrasi. Desentralisasi fiskal juga menyangkut dua sisi, yaitu pengeluaran, terutama dalam rangka penyediaan layanan publik dan pendapatan, yaitu pengelolaan sumber-sumber penerimaan daerah, terutama pajak. Kedua, bahwa pemerintah daerah memiliki permasalahan terkait dengan kapasitas dalam perencanaan dan implementasi program pembangunan, utamanya terkait dengan kemampuan dan pengalaman sumberdaya manusia. Ketiga, bahwa secara teori, diasumsikan bahwa penduduk secara bebas berpindah antar daerah, karena perbedaan layanan publik, sehinggamenimbulkan persaingan antara pemerintah daerah untuk menyediakan layanan publik yang baik, merupakan asumsi yang tidak masuk akal, karena mobilitas penduduk relatif mahal, dan terdapat ikatan emosional dengan wilayah asal, sehingga pemerintah daerah dapat berperilaku tidak responsif terhadap preferensi masyarakat setempat. Sedangkan studi-studi empiris terkait dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya dengan fokus yang berbeda. Studi terdahulu yang fokus pada aspek transfer fiskal antara lain Sinaga dan Siregar (2003), Nanga (2006), Usman (2006) dan Ariyanto (2002). Sinaga dan Siregar (2003) meneliti dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pembangunan ekonomi daerah di beberapa provinsi di Indonesia. Beberapa temuan penting yaitu penerapan desentralisasi fiskal berdampak memperbaiki kinerja perekonomian daerah yang diindikasikan oleh output dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar sebagai akibat perbaikan kinerja fiskal berupa meningkatknya pengeluaran pemerintah daerah. Selanjutnya, kinerja perekonomian dan kinerja fiskal daerah yang lebih baik berdampak menurunkan tingkat kemiskinan daerah. Akan tetapi, penerapan desentralisasi fiskal belum efektif mengurangi kesenjangan ekonomi antar daerah yang diduga karena kurang tepatnya formula dana perimbangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Namun demikian, meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah yang mengindikasikan membaiknya kinerja fiskal daerah dapat dipandang dari sisi yang berbeda. Hal tersebut dapat saja terjadi karena besarnya meningkatnya sumber penerimaan daerah khususnya dari transfer DAU. Hal ini justru dapat menjadi indikasi bahwa kinerja fiskal daerah karena pemerintah daerah tergantung pada DAU sehingga kurang berupaya meningkatkan PAD. Nanga (2006) meneliti dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di perkotaan dan pedesaan di Indonesia dengan pendekatan ekonometrik sistem persamaan simultan menggunakan data panel konsolidasi fiskal kabupaten/kota di 25 provinsi di Indonesia tahun 1999-2002. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikasi kuat transfer fiskal dalam berbagai bentuknya lebih menguntungkan sektor-sektor non-pertanian. Hal ini tercermin dari PDRB dan penyerapan tenaga
12
kerja di sektor non-pertanian yang meningkat lebih besar dibandingkan sektor pertanian sehingga berdampak memperburuk tingkat kemiskinan pedesaan setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal. Sebaliknya, tingkat kemiskinan di perkotaan berkurang yang diduga karena kondisi sarana dan prasarana yang lebih baik dibandingkan pedesaan. Selain itu, efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan sangat dipengaruhi ketimpangan pendapatan sehingga kenaikan pendapatan per kapita tidak mampu menurunkan kemiskinan karena pada saat yang bersamaan pertumbuhan ekonomi meningkatkan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian, studi tersebut menyimpulkan bahwa transfer fiskal berdampak memperburuk kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Namun, penelitian tersebut tidak dianalisis secara sektoral sehingga dampaknya pada sektor pertanian hanya diindikasikan oleh perubahan kemiskinan di pedesaan. Meskipun studi-studi tersebut menunjukkan dampak penerapan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia tetapi umumnya dilakukan pada masa awal desentralisasi fiskal dengan membandingkan dampak sebelum dan sesudahnya. Selain itu, studi-studi tersebut umumnya lebih fokus pada transfer fiskal. Hasilhasil studi tersebut juga tidak memberi satu kesimpulan yang sama terkait tujuan pembangunan ekonomi yaitu perbaikan kinerja perekonomian dan pengentasan kemiskinan. Studi terbaru yang terkait adalah yang dilakukan oleh Sumedi (2013) dan Lisna (2014). Lisna (2013) meneliti tentang dampak kapasitas fiskal terhadap perekonomian dan kemiskinan sektoral daerah pada 23 provinsi di Indonesia selama tahun 2006-2011 menyimpulkan bahwa kinerja fiskal daerah di Indonesia umumnya rendah dan keuangan daerah sangat tergantung pada DAU sedangkan kapasitas fiskal rendah dan berkurang. Pertumbuhan ekonomi daerah terindikasi tidak pro-poor karena meskipun tingkat kemiskinan (headcount index) berkurang tetapi ketimpangan pendapatan (Indeks Gini) dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian meningkat. Belanja pertanian dan infrastruktur merupakan faktor-faktor penting yang dapat meningkatkan pertumbuhan pro-poor, sehingga bepengaruh menurunkan tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan proporsi penduduk miskin rumahtangga pertanian. Sumedi (2013) meneliti tentang dampak pengeluaran pemerintahterhadap perekonomian daerah dan kemiskinan dalam kerangka desentralisasi fiskal menggunakan data panel (pool data), dengan unit data tingkat provinsi dan deret waktu tahun 2005-2010. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa struktur penerimaan daerah sebagian besar masih bersumber dari dana perimbangan, sehingga ketergantungan fiskal daerah kepada pemerintah pusat masih tinggi. Pengeluaran pemerintah daerah masih lebih dominan untuk pengeluaran rutin, dibandingkan dengan pengeluaran pembangunan, faktor potensi penerimaan daerah (PDRB), dana perimbangan dari pusat dan kebutuhan fiskal daerah saling mempengaruhi, dan secara bersama berpengaruh terhadap pengeluaran pemerintah daerah. Alokasi dana pembangunan atau belanja modal memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, IPM, dan pengurangan kemiskinan. Peningkatan DAK akan lebih mendorong kinerja perekonomian daerah karena peruntukannya yang lebih berorientasi pada program-program pembangunan tertentu, sehingga peningkatkan komponen DAK dalam struktur dana perimbangan dapat lebih mendorong alokasi anggaran pembangunan daerah dibandingkan dengan meningkatkan DAU. Sehingga dari
13
hasil penelitian Sumedi ini muncul rekomendasi penelitian lanjutan yaitu perlu dilakukan kajian nasional dengan pemilahan DAK menurut sektor atau peruntukannya, untuk dapat melihat lebih detail pengaruh komponen DAK terhadap perekonomian daerah. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi : Ketimpangan dan Kemiskinan Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam membangun perekonomian nasional meskipun tingkat kemiskinan penduduk terbanyak terdapat pada sektor ini. Pada tahap awal pembangunan, sektor pertanian merupakan segmen terbesar dan menjadi inti perekonomian. Arti penting sektor pertanian juga terletak pada hubungannya dengan produksi pangan, penyedia pangan untuk seluruh penduduk bangsa, bahkan pakar pembangunan ekonomi meyakini bahwa pertanian tetap menjadi penyedia sumber utama bahan pangan, bahan baku industri, penyedia lapangan kerja, kesempatan berusaha, penghasil devisa negara, sumber permintaan bagi produk-produk industri dan jasa dalam negeri (Udoh, 2011). Sektor pertanian jika kinerjanya di optimalkan mampu menjadi solusi bagi permasalahan ekonomi seperti pengangguran, inflasi, kemiskinan, pertumbuhan dan pemerataan dan lain-lain. Beberapa studi empiris terdahulu menunjukkan peran pertumbuhan antar wilayah dan antar sektor pada kemiskinan. Ravallion dan Datt (2002) yang melakukan penelitian empiris di India menemukan: (1) pertumbuhan ekonomi di pedesaan berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; (2) pertumbuhan ekonomi di perkotaan hanya berdampak mengurangi kemiskinan di perkotaan; (3) pertumbuhan ekonomi sektor-sektor primer dan tersier berdampak mengurangi kemiskinan di pedesaan dan perkotaan; (4) pertumbuhan ekonomi sektor pertanian berdampak besar mengurangi kemiskinan; dan (5) pertumbuhan ekonomi sektor-sektor non-pertanian berdampak mengurangi kemiskinan secara bervariasi dan sangat tergantung pada urbanisasi, disparitas perkotaan-pedesaan, dan hasil-hasil pertanian. Sedangkan studi lainnya menemukan bahwa sektor pertanian mempunyei pengaruh yang lebih besar dalam mengentaskan kemiskinan baik di pedesaan maupun secara total (Ravallion, 2002 ; Yudhoyono, 2014; Budiyanto, 2014; Lisna, 2014). Demikian juga, penelitian Eastwood dan Lipton (2001) terhadap data empiris beberapa negara menemukan bahwa perbaikan produktivitas tenaga kerja pertanian lebih mendorong pertumbuhan pro-poor dibandingkan perbaikan sektor non-pertanian. Tetapi, pengaruh perbaikan sektor pertanian di negara-negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan tinggi relatif rendah bahkan tidak ada. Penelitian mengenai keterkaitan pertumbuhan antar sektor dan kemiskinan dilakukan oleh Warr (2006) terhadap data empiris di tujuh negara yaitu Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina, Kamboja, Laos, dan Vietnam untuk menganalisis peran tingkat dan komposisi sektoral pertumbuhan ekonomi pada perubahan insiden kemiskinan absolut. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui penyebab perubahan kemiskinan yang bervariasi antar negara dan antar waktu pada beberapa dekade terakhir di Asia Tenggara. Berdasarkan hasil analisis
14
statistik dengan membagi sektor ekonomi menjadi sektor pertanian, sektor indsutri, dan sektor jasa-jasa disimpulkan bahwa pengurangan kemiskinan terutama disebabkan oleh tingkat pertumbuhan agregat. Sementara perubahan pertumbuhan sektoral hanya memberi dampak sangat kecil, dimana penurunan kemiskinan sangat terkait dengan pertumbuhan pertanian dan jasa-jasa, tetapi tidak terkait pertumbuhan industri. Temuan tersebut mendukung hipotesis bahwa kebijakan substitusi impor untuk mendorong industrialisasi tidak meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin karena tidak memberi kontrbusi cukup untuk memperluas permintaan sumber daya utama yang mereka miliki yaitu tenaga kerja tidak terampil (unskilled labor). Penelitian serupa dilakukan Suryahadi, et al. (2009) di Indonesia tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan dengan mendekomposisi keduanya ke dalam sektor-sektor pertanian, industri, dan jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan sektor jasa-jasa di pedesaan mengurangi kemiskinan di semua sektor baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sementara, pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan berpengaruh paling besar pada kemiskinan di hampir semua sektor. Temuan lainnya adalah pertumbuhan pertanian di pedesaan sangat besar pengaruhnya dalam mengurangi kemiskinan pedesaan yang merupakan kantong kemiskinan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan cara paling efektif untuk mempercepat pengentasan kemiskinan adalah fokus pada pertumbuhan sektor pertanian di pedesaan dan pertumbuhan sektor jasa-jasa di perkotaan dan pedesaan. Sedangkan Yudhoyono (2004) menunjukkan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi, upah, dan dummy reformasi. Sedangkan di daerah perkotaan dipengaruhi oleh pengeluaran untuk infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dummy reformasi dan dummy desentralisasi. Selain itu, dikemukakan bahwa kombinasi skenario peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian sebesar 15 persen dan peningkatan upah sebesar 20 persen, merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek yang potensial terutama dalam mengurangi kemiskinan. Meskipun studi-studi tersebut dapat menunjukkan keterkaitan pertumbuhan ekonomi sektoral dan kemiskinan tetapi tidak terkait kebijakankebijakan fiskal yang dapat mempercepat pengentasan kemiskinan melalui keterkaitan sektoral tersebut. Oleh karena itu, penelitian mengenai dampak kebijakan fiskal terutama setelah dikaitkan dengan adanya desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan sektoral melalui efek pertumbuhan pro-poor yang menguntungkan kelompok penduduk miskin mayoritas yaitu penduduk miskin yang hidup dari pertanian dipandang perlu untuk dilakukan. Investasi Publik, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pengentasan Kemiskinan Ada banyak sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, namun dalam penelitian ini secara khusus menelaah tentang peranan dana alokasi khusus yang ditujukan untuk membiayai infrastruktur di daerah, dimana infrastruktur tersebut merupakan sumber daya yang efektif untuk meningkatkna pertumbuhan ekonomi. Ada bukti teoritis dan emperis yang sangat kuat tentang hubungan positif antara ketersediaan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Secara teoritis, dapat dikatakan semua
15
kegiatan ekonomi masyarakat modern membutuhkan infrastruktur sebagai prasayarat bagi keberlangsungannya. Dengan demikian secara umum dapat ditunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas infrastruktur berdampak positif terhadap berbagai ukuran kinerja perekonomian. Investasi infrastruktur yang merupakan investasi publik berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pendekatan yang digunakan untuk mengukur manfaat infrastruktur adalah dengan menggunakan model fungsi produksi, yaitu rumusan hubungan teknis antara output maksimum dengan input-input produksi. Dalam hal ini output nasional (atau regional) di andaikan merupakan fungsi dari modal publik dan faktor-faktor yang berpengaruh lainnya. Infrastruktur memengaruhi pertumbuhan dengan memfasilitasi produktifitas melalui penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Munnel (1992) juga menganalisis kebijakan pemerintah dalam hal investasi infrastruktur dan kaitannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam memberikan stimulus ekonomi yang cepat, investasi publik pada infrastruktur memiliki efek positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur, selain memiliki pengaruh pada aspek ekonomi, juga memiliki dampak pada aspek sosial, antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, diukur dengan adanya penurunan kemiskinan, pemerataan dan redistribusi pendapatan. Fan, et al. (2002) menganalisis peranan pertumbuhan, ketimpangan dan pengeluaran pemerintah melalui investasi publik di daerah pedesaan Cina dalam mengurang kemiskinan. Fan, et al. mengembangkan model persamaan simultan untuk mengestimasi efek perbedaan jenis pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mendorong investasi yang juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini, tidak hanya berperan dalam meningkatkan pertumbuhan, namun juga mampu mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan Cina. Variabel yang digunakan adalah totalfactor productivity, upah, tenaga kerja non pertanian, irigasi publik dan swasta, luas lahan, luas jalan, sanititasi dan lain-lain. Sari (2011), menganalisis pengaruh program pembangunan infrastruktur terhadap penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal, penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh program pembangunan infrastruktur dan kaitannya terhadap perekonomian, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Berdasarkan hasil estimasi disimpulkan bahwa peningkatan investasi infrastruktur dan penurunan ketimpangan distribusi pendapatan menyebabkan kenaikan PDRB per kapita serta penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan dan Kemiskinan Lin (2003) mengemukakan hasil studinya yang dilakukan di Cina selama periode 1985-2001, bahwa pertumbuhan ekonomi secara efektif mengurangi kemiskinan. Tetapi pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi juga dapat menciptakan ketidakmerataan pendapatan sehingga menurunkan keefektifan
16
upaya untuk mengurangi kemiskinan. Hipotesis kuznets (1995) bahwa pada awal pembangunan ekonomi, setiap kenaikan pendapatan nasional perkapita akan diikuti dengan ketidakmerataan pendapatan. Namun pada akhirnya ketika pendapatan sudah mencapai titik tertentu nilai korelasi mendekatin nol, kemudian menjadi negatif, yakni pembagunan ekonomi selanjutnya mengakibatkan peningkatan pendapatan per kapita yang disertai distribusi pendapatan yang lebih baik. Secara umum para ekonomi sepakat bahwa pertumbuhan diperlukan untuk mengurangi kemiskinan (Perry, et al, 2006). Manfaat dari pertumbuhan ekonomi yang cepat menyebar kependuduk pada semua tingkat pendapatan. Fenomena tersebut dikenal dengan trickle down effect, pertumbuhan ekonomi yang tinggi meningkatkan kaspasitas ekonomi sebesar peningkatan pendapatan per kapita dan selanjutnya hal itu mengurangi kemiskinan, ternyata diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan instrumen yang baik untuk mengurangi kemiskinan. Namun berdasarkna fakta dilapang bahwa kemiskinan tidak hanya dapat direduksi oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga oleh perbaikan distribisi pendapatan (Bourguinin, 2004). Distribusi pendapatan yang baik membantu penduduk kelompok berpendapatan rendah untuk meningkatkan pendapatannya sehingga mereka dapat keluar dari kemiskinan. Ravallion (2006) melakukan studi tentang dampak ketidakmerataan pendapatan terhadap kemiskinan di India dan Cina dalam tahun 1980-2000. Dia memperoleh temuan yang mirip dengan temuan Lin, yakni pertumbuhan ekonomi mengurangi kemiskinan di dua negara tersebut, dan penurunan ketimpangan juga mengurangi kemiskinan. Lebih lanjut dia juga melaporkan bahwa upaya mengurangi kemiskinan memerlukan kombinasi pertumbuhan ekonomi, kebijakan ekonomi yang berpihak pada kaum miskin (pro-poor). Selain itu Hidayat dan Patunru (2007) menemukan bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia mencipatakan ketidakmerataan pendapatan. Pada tingkat provinsi, tetapi hal itu dapat menurunkan kemiskinan, meskipun demikain fenomena tersebut ternyata tidak efektif menurunkan kemiskinan. Iradian (2005), dalam studi mengenai peranan pertumbuhan, ketimpangan dan pengeluaran pemerintah menunjukkan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan, perubahan ketimpangan pendapatan yang didekati dengan variabel indeks gini dan perubahan pengeluaran pemerintah yang diukur melalui persentasenya terhadap PDB. Iradian (2005) menggunakan dua metode ekonometrik, yakni Ordinary Least Square (OLS) dan Generalized Method of Moment (GMM). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa koefisien regresi dari pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan dan perubahan ketimpangan pendapatan signifikan secara statistik dalam mengurangi kemiskinan. Hasil penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya mengunakan fixed effect model menyimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang didekati dari besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), namun besarnya pengaruh tersebut relatif tidak besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruhnya masing-masing relatif kecil. Peningkatan pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri terhadap PDRB juga cukup signifikan mengurangi kemiskinan.
17
Pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan jika di sertai dengan penurunan ketimpangan sebaliknya penurunan kemiskinan akan sulit terjadi jika di sertai pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan adanya peningkatan ketimpangan pendapatan. Hajiji (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan, namun ketimpangan pendapatan tersebut tidak memiliki efek yang signifikan pada tingkat kemiskinan. Penelitian tersebut menggunakan analisis regresi data panel untuk melihat hubungan antara pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa efek positif dari pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan mendominasi efek negatif dari adanya ketimpangan pendapatan
18
3 KERANGKA TEORI Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab keuangan dan kemampuan pemerintah daerah yang bertujuan memperbaiki kinerja keuangan melalui peningkatan keputusan dalam menciptakan penerimaan dan pengeluaran yang rasional. Oleh karena itu, desentralisasi fiskal diterapkan melalui pengaturan kembali terhadap instrumen-instrumen pengeluaran pemerintah, penerimaan pemerintah, dan transfer fiskal antar tingkatan pemerintahan. Secara lebih spesifik, desentralisasi fiskal mengacu pada prinsip-prinsip dan praktek-praktek tanggung jawab fungsional atau pengeluaran pemerintah, tugas-tugas pendapatan (revenue assignments), dan perbaikan ketidakseimbangan vertikal dan horizontal. Dalam arti yang lebih luas, desentralisasi fiskal adalah pemberdayaan fiskal pemerintah daerah pada tingkatan yang lebih rendah. Fritzen (2006) mendefinisikan bahwa desentralisasi fiskal adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan share pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah. Desentralisasi fiskal juga menentukan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menentukan pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah, secara agregat dan detail. Namun hakekat sebenarnya desentralisasi fiskal bukan sekedar realokasi sumberdaya antar pemerintah pusat dan daerah, namun menyangkut juga perubahan konfigurasi institusi pemerintah, hubungan dan pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah. Desentralisasi fiskal juga menyangkut pemberdayaan pemerintah daerah dalam manajemen barang publik untuk mendukung pembangunan. Berdasarkan konsep dan teori yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan layanan publik karena melalui peningkatan efisiensi alokasi, yaitu dengan semakin sesuainya ketersediaan barang publik dengan preferensi lokal. Demikian halnya terjadi peningkatan akuntabilitas, penyederhanaan birokrasi dan menurunnya biaya layanan publik sehingga kesejahteraan masyarakat sebagaimana tujuan pembangunan dapat dicapai. Penerapan desentralisasi fiskal pada negara berkembang bertujuan untuk mendukung pengentasan kemiskian dan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, hal ini memerlukan dukungan pemerintah daerah dalam pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan, dalam mencapai efisiensi alokasi sumberdaya dan penyediaan layanan publik yang lebih baik. Desentralisasi, atau distribusi fungsi administrasi dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu: (1) desentralisasi politik, yaitu transfer kewenangan politik kepada pemerintah daerah, misalnya dalam pemilihan kepala daerah dan perwakilan rakyat, (2) desentralisasi fiskal, yaitu adanya realokasi sumberdaya yang mendukung pemerintah daerah dapat berperan dengan baik, (3) desentralisasi administrasi, yaitu transfer pengambilan keputusan, sumberdaya, dan juga tanggung jawab dalam penyediaan layanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
19
Berbagai kajian dampak desentralisasi terhadap perekonomian dijelaskan dengan teori federalisme fiskal yang menyatakan bahwa desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas alokasi sumber daya untuk barang dan jasa publik tertentu seperti barang publik daerah karena: (1) pemerintah daerah dapat lebih baik jika dikelola menurut daerah dan letak geografisnya; (2) pemerintah daerah memiliki posisi lebih baik untuk mengenali preferensi dan kebutuhan daerah; dan (3) tekanan dari persaingan yurisdiksi yang mendorong pemerintah daerah untuk menjadi inovatif dan memiliki akuntabilitas bagi warga dan penduduknya (Oates, 1972). Teori federalisme fiskal Musgrave (1959) dan Oates (1972) tersebut lebih menekankan pentingnya pengalihan tugas penerimaan dan pengeluaran melalui revenue assignments dan expenditure assignments antar tingkat pemerintahan sehingga desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Jika pemerintah daerah berwenang membuat peraturan ekonomi lokal maka campur tangan pemerintah pusat harus dibatasi. Untuk menyelaraskan kepentingan pemerintah daerah dan kemakmuran ekonomi daerah, teori federalisme fiskal mengacu pada dua mekanisme yaitu interaksi horizontal antar pemerintah daerah dan interaksi vertikal antar tingkat pemerintahan. Interaksi horizontal terjadi melalui mekanisme persaingan antar pemerintah daerah dalam menyediakan permintaan pasar yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Interaksi vertikal terjadi melalui mekanisme keterkaitan penerimaan dan pengeluaran daerah yang erat dimana transfer yang besar dari pemerintah pusat akan menimbulkan disinsentif bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah. Dengan demikian, menurut teori ini keterkaitan penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah serta pembatasan redistribusi pemerintah pusat kepada daerah akan menciptakan insentif bagi pemerintah daerah dalam melakukan reformasi orientasi pasar. Salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal adalah transfer fiskal antar tingkatan pemerintah (intergovenmental fiscal tranfers). Berdasarkan kebutuhan pemerintah dalam penyelenggaraan wilayahnya, pemerintah pusat bertanggung jawab melakukan pembiayaan bagi pembangunan daerah melalui transfer ke daerah. Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Pada prinsipnya, tujuan utama implementasi transfer adalah mengurangi ketidakseimbangan fiskal. baik secara horizontal maupun secara vertikal. Sungguhpun demikian, alokasi transfer di negara-negara sedang berkembang pada umumnya lebih banyak didasarkan pada aspek belanja tetapi kurang memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak lokal. Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintah daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar lagi dari pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara lebih optimal (Kuncoro, 2004) Menurut World Bank, intergovernmental fiscal transfer merupakan sumber penerimaan utama bagi pemerintah daerah (subnational government) di negaranegara berkembang. Fungsi utama transfer adalah menjaga efisiensi dan kesetaraan lokal fiskal dan penyediaan layanan kesehatan pemerintah subnasional. Berbagai literatur ekonomi publik dan keuangan negara menyebutkan
20
beberapa alasan perlunya dilakukan transfer dana dari pusat ke daerah (Siddik, 2004), yaitu: 1. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal vertikal. Di banyak negara, pemerintah pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Jadi, pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang besar penerimaannya relatif kurang signifikan. Kekurangan sumber penerimaan daerah relatif terhadap kewajibannya ini akan menyebabkan dibutuhkannya transfer dana dari pemerintah pusat. 2. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal horizontal. Kenyataan empirik di berbagai negara menunjukkan bahwa kapasitas atau kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi, tergantung kepada kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah. Ini semua berimplikasi kepada besar tidaknya basis pajak di daerah-daerah bersangkutan. Di sisi lain, daerah-daerah juga sangat bervariasi dilihat dari kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi dan pelayanan publik. Ada daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan anak-anak serta remaja, yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas, dimana sarana-prasarana transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum memadai. 3. Adanya kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan bantuan (subsidi) agar dapat mencapai standar pelayanan minimum itu. Jika dikaitkan dengan postulat Musgrave (1983) yang menyatakan bahwa peran redistributif (pemerataan) dari sektor publik akan lebih efektif dan cocok jika dijalankan oleh pemerintah pusat, maka penerapan standar pelayanan minimum di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah pusat. Menurut World Bank (2008) pada dasarnya jenis-jenis transfer dapat dikelompokkan kedalan dua kategori besar yakni transfer tanpa syarat (unconditional transfer, general purpose grant, block grant) dan transfer dengan syarat (conditional grant, categorical grant, specific purpose grant). Ciri dari unconditional transfer adalah daerah atau lokal memiliki keleluasaan penuh dalam mengelola dan mengalokasi dana yang ditransfer dari pusat. Tujuan dari transfer ini adalah horizontal equalization transfer. Sedangkan ciri dari conditional grant adalah transfer yang syarat dan ketentuannya telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan seringkali tujuan dari transfer ini dianggap penting oleh pemerintah pusat dan akan tetapi bisa saja dianggap tidak penting oleh pemerintah daerah. Conditional Grant ini dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yakni : (1) Matching Grants, adalah transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan suatu jenis urusan atau program tertentu. Tujuan mengatasi eksternalitas akibat pelayanan publik disuatu daerah dapat diselesaikan dengan matching grant. (2) Non-matching Grants, adalah transfer dari pusat untuk menambah dana penyelenggaraan sustu jenis urusan atau program tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa pemerintah daerah sendiri telah atau akan mengalokasikan sumber dananya dengan jumlah besar atau
21
kecil urusan atau program tertentu. Tujuan mengatasi eksternalitas akibat pelayanan publik disuatu daerah dapat diselesaikan dengan matching grant. Sedangkan menurut Siddik (2004) jenis transfer antar pemerintahan di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu revenue sharing (Dana Bagi Hasil), general purpose grant (Dana Alokasi Umum), dan specific purpose grant (Dana Alokasi Khusus). Lebih lanjut lagi Siddik mengemukakan bahwa terdapat enam (6) tujuan utama transfer antar pemerintahan di Indonesia, yaitu: 1. Untuk mengatasi kesenjangan fiskal secara vertikal di antar tingkat pemerintahan (DAU, dana bagi hasil). 2. Menyamakan kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam memberikan layanan kepada masyarakat (DAU). 3. Mendorong pengeluaran daerah pada prioritas pembangunan nasional (DAK). 4. Mempromosikan pencapaian standar minimum bagi infrastruktur yang ada (DAK). 5. Sebagai kompensasi untuk biaya yang melampaui batas di daerah-daerah utama (DAK). 6. Merangsang tanggung jawab daerah (DAK). 7. Merangsang mobilisasi pendapatan (Dana Bagi Hasil, DAU, DAK). Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Pengeluaran pemerintah menyangkut pengeluaran untuk membiayai program-program untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan. Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pemeliharaan dan penyelenggaraan pemerintah yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi dan pengeluaran rutin lainnya. Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan umum yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik maupun non fisik yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Peranan anggaran pembangunan lebih ditekankan pada upaya penciptaan kondisi yang stabil dan kondusif bagi berlangsungnya proses pemulihan ekonomi dengan tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam kaitan dengan pengelolaan APBN secara keseluruhan dengan keterbatasan sumber pembiayaan yang tersedia maka pencapaian sasaran pembangunan harus dilakukan seoptimal mungkin. Sehubungan dengan hal tersebut formulasi distribusi dan alokasi dari penentuan besarnya pengeluaran memegang peranan penting dalam pencapaian target kebijaksanaan fiskal. Kebijakan alokasi pengeluaran pemerintah daerah merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang pemerintahan yang sudah diserahkan kepada daerah melalui otonomi daerah atau desentralisasi (Saragih, 2003). Belanja langsung dalam sistem anggaran pemerintah menunjukkan pengeluaran pembangunan yang digunakan untuk program-program pembangunan yang hasilnya dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Komposisi belanja langsung terdiri dari belanja
22
pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Belanja modal menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya). Aset tetap/aset lainnya tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja atau dipergunakan oleh masyarakat/publik (Nota Keuangan dan RAPBN 2013). Anggaran belanja modal tersebut, bersama-sama dengan anggaran belanja barang, akan dialokasikan ke berbagai program pembangunan sesuai dengan tema dan prioritas pembangunan yang telah ditetapkan. Konsep Infrastruktur Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut pandang dan kepentingannya. Tidak ada kesamaan pandangan antar lembaga, negara dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi, infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam aktivitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini mendorong timbulnya pembedaan infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi (economic overhead capital) dan infrastruktur sosial (social overhead capital) (Torrissi, 2009). Infrastruktur ekonomi seperti jalan, jaringan irigasi, pelabuhan, lapangan terbang, jaringan listrik, dan jaringan komunikasi, merupakan jenis infrastruktur yang berperan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga dan pemerintah, dan sekaligus berfungsi sebagai input dalam proses produksi pada berbagai aktivitas ekonomi. Infrastruktur sosial seperti jasa pendidikan dan pelayanan kesehatan, berperan untuk meningkatkan kualitas SDM yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kesehatan dan produktivitas tenaga kerja. Menurut ahli keuangan, mendefinisikan infrastruktur berdasarkan kemampuannya dalam meningkatkan penerimaan dan derajat profitabilitas atau tingkat subsidi yang diperlukan suatu jenis infrastruktur. Para politisi dan ahli administrasi publik umumnya mendefinisikan infrastruktur dari perspektif kepemilikan dan pelaku yang bertanggung jawab menyediakannya. Dari sisi ini, infrastruktur dapat dibedakan menjadi public infrastructure dan private infrastructure. Para ahli konstruksi umumnya menfokuskan pada karakteristik fisik dari suatu jaringan atau aset infrastruktur seperti jalan, rel kereta, pelabuhan dan peralatan pemeliharaannya, pembangkit tenaga listrik, jaringan komunikasi dan sebagainya. Penyedia jasa infrastruktur lebih menitikberatkan perhatiannya pada kebutuhan masyarakat terhadap ketersediaan infrastruktur dan tujuan komersial dari proyek infrastruktur yang dikerjakannya. Pengguna jasa infrastruktur seperti rumahtangga, perusahaan dan pemerintah, tidak terlalu peduli dengan berbagai definisi dan klasifikasi infrastruktur. Mereka lebih memperhatikan kemungkinan terbaik yang dapat diperoleh dari ketersediaan infrastruktur, dengan jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau (Delis, 2008). Investasi di bidang infrastruktur sering dibedakan antara jasa infrastruktur dan fasilitas infrastruktur. Jasa infrastruktur merupakan penawaran komoditas jasa yang dihasilkan dari penyediaan infrastruktur seperti listrik, air bersih, saluran limbah, informasi dan jasa pengangkutan. Penelitian ini memfokuskan perhatian pada konsep infrastruktur dari sisi ilmu ekonomi yang menempatkan infrastruktur sebagai barang modal fisik. Dengan perspektif ini, infrastruktur berguna dalam
23
memenuhi konsumsi bagi rumahtangga, produsen dan pemerintah serta berperan sebagai input dalam proses produksi. Pembiayaan infrastruktur bersumber dari kebijakan stimulus fiskal yang dilaksanakan pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak negatif krisis ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia tahun 2009. Pengklasifikasian infrastruktur menjadi infrastruktur publik dan infrastruktur privat berkaitan dengan pengkategorian barang atas barang publik dan barang privat. Klasifikasi infrastruktur tidak berkenaan dengan kepemilikan barang. Tidak ada persoalan yang berarti tentang pemilik fasilitas infrastruktur, karena pada akhirnya jasa infrastruktur digunakan oleh semua individu. Bagaimana setiap individu mengkonsumsi jasa infrastruktur dan bagaimana kesediaan konsumen tersebut membayar kompensasi kepada pihak penyedia merupakan indikator kunci dalam pembuatan keputusan investasi infrastruktur. Karakteristik konsumsi akan menentukan luasnya cakupan dan permintaan jasa infrastruktur dan menjadi pokok dalam menggerakkan investasi dalam bidang infrastruktur. Dilihat dari fungsinya infrastruktur merupakan penunjang kegiatan sektor-sektor lainnya dan dapat membantu mengefisienkan alokasi sumbersumber ekonomi untuk menghasilkan output yang optimal. Dengan fungsi demikian jasa yang dihasilkan oleh infrastruktur harus disediakan dalam jumlah yang mencukupi dan merata antar sektor maupun lokasi, agar kegiatan di semua sektor dapat berjalan dengan baik. Pada tahap awal proses pembangunan, peran jasa infrastruktur sebagai the promoting sector lebih menonjol daripada perannya sebagai the serving sector. Sebagai sektor pendorong sektor lainnya, infrastruktur selalu dibangunmendahului pembangunan sektor-sektor lainnya. Pada kondisi awal inilah peranpemerintah dalam penyediaan infrastruktur lebih dominan. Pada tahap selanjutnyaketika ekonomi telah berjalan normal, sehingga membutuhkan jasa infrastrukturyang cukup, maka swasta mulai berperan secara berkesinambungan. Kondisi inididukung oleh tingkat profitabilitas yang dapat diperoleh oleh pihak swasta atas investasinya di bidang infrastruktur tersebut. Pertumbuhan Ekonomi Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Tiga komponen pertumbuhan ekonomi yang penting bagi setiap masyarakat adalah: 1. Akumulasi modal, dimana akumulasi modal termasuk di dalamnya semua investasi baru dalam tanah, peralatan fisik dan sumberdaya manusia melalui perbaikan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan keja. 2. Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja 3. Kemajuan teknologi yang secara luas diartikan sebagai cara baru dalam menyelesaikan pekerjaan.
24
Sukirno (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara. Pendapatan nasional atau jumlah seluruh output barang dan jasa ini dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto (PDB). PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007) Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan dalam penghitungan PDB, yaitu pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran. Metode penghitungan PDB terbagi menjadi dua jenis, yaitu atas dasar harga berlaku yang menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi dengan mengalikan total nilai tambah dengan harga pada tahun berjalan dan atas dasar harga konstan yang dihitung dengan mengalikan seluruh nilai tambah dari hasil kegiatan ekonomi dengan harga pada tahun dasar. Data PDB yang digunakan untuk mengukur besaran nilai pertumbuhan ekonomi adalah PDB atas dasar harga konstan. Nilai PDB pada dasarnya merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari masing-masing provinsi/kabupaten di suatu negara (BPS, 2005). Pengaruh peningkatan investasi infrastruktur yang akan diteliti dalam studi kali ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator pembangunan ekonomi. Indikator pembangunan ekonomi diukur melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja perekonomian (Sen, 1988). Teori Pertumbuhan Solow Model pertumbuhan Solow adalah model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang sangat populer. Model ini menekankan proses pertumbuhan ekonomi pada sisi penawaran yang merupakan proses peningkatan output per kapita dalam jangka panjang sebagai hasil interaksi faktor-faktor produksi yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi. Model pertumbuhan Solow merupakan fungsi produksi agregat yang dapat dinyatakan sebagai berikut (Dornbusch, et al., 2008): Y = A.F(K, N) .............................................................................................. (3.1) Dimana, Y : output K : akumulasi modal N : tenaga kerja A : teknologi
25
Model pertumbuhan Solow diawali dengan asumsi sederhana yaitu tidak ada perbaikan teknologi sehingga perekonomian akan mencapai tingkat output dan modal jangka panjang yang disebut steady-state equilibrium (keseimbangan yang mapan). Kondisi steady-state equilibrium tercapai ketika pendapatan per kapita (Y/N = y) dan modal per kapita (K/N = k) stabil atau konstan yaitu tidak ada lagi variabel ekonomi per kapita yang berubah (Δy = 0 dan Δk = 0). Ilustrasi pada Gambar 4 menunjukkan kondisi steady-state equilibrium yang dilambangkan oleh y* dan k*. Kondisi steady-state equilibrium dapat dicapai ketika tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang. Artinya, investasi yang dibutuhkan untuk menambah modal bagi tenaga kerja baru dan untuk mengganti mesin-mesin yang sudah usang sama dengan jumlah tabungan. Implikasinya adalah : (1) jika tabungan melebihi investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita (k) dan ouput per kapita (y) meningkat; (2) jika tabungan kurang dari investasi yang dibutuhkan maka modal per kapita (k) dan output per kapita (y) berkurang.
Sumber: Dornbusch, et al. (2008)
Gambar 4. Model pertumbuhan solow: output dan investasi Asumsi lainnya adalah fungsi produksi Constant Returns to Scale (CRS) yaitu y = f(k) dimana k adalah modal per kapita. Asumsi CRS berimplikasi pada produk marjinal modal (MPK) yang berkurang (diminishing positive marginal product of capital). Ini berarti penambahan modal per kapita akan meningkatkan output per kapita dengan laju yang menurun. Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan contoh sederhana yang memenuhi asumsi ini, yaitu: θ 1-θ Y = AK N .................................................................................................... (3.2) Fungsi produksi per kapitanya adalah: θ 1-θ θ -θ θ θ y = Y/N = AK N /N = AK N /N = A(K/N) = Ak .............................. (3.3) Investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan modal per kapita (k) pada tingkat tertentu tergantung pada pertumbuhan populasi n (= ΔN/N) dan tingkat depresiasi d. Dengan asumsi n dan d konstan, investasi yang dibutuhkan
26
untuk mempertahankan modal per kapita sebesar k adalah I = (n+d)k. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa tidak ada sektor pemerintahan dan perdagangan luar negeri atau arus modal dan tabungan adalah bagian konstan dari pendapatan (s) maka tabungan per kapita adalah sy. Karena pendapatan sama dengan produksi maka: sy = sf(k) ............................................................................................. (3.4) Perubahan modal per kapita (Δk) adalah kelebihan tabungan yang melebihi investasi yang dibutuhkan yaitu: Δk = sy – (n+d)k ........................................................................................ (3.5) Selanjutnya, kondisi steady-state (Δk = 0) terjadi pada y* dan k* yang memenuhi: sy* = sf(k*) = (n+d)k* .............................................................................. (3.6) Solusi steady-state pada Gambar 4 menunjukkan bahwa kurva sy adalah tingkat tabungan di setiap rasio modal per tenaga kerja. Garis lurus (n+d)k adalah investasi yang dibutuhkan untuk mempertahankan rasio modal per tenaga kerja (k) agar konstan dengan memasok mesin-mesin sebagai pengganti mesin yang usang atau sebagai tambahan modal bagi tenaga kerja baru. Perpotongan kurva dan garis tersebut di titik C menunjukkan tabungan dan investasi yang dibutuhkan seimbang dengan steady-state modal sebesar k*. Sementara steady-state pendapatan terletak pada fungsi produksi di titik D. Pada gambar tersebut ditunjukkan ketika sy melebihi investasi yang dibutuhkan (sy > (n+d)k) maka k akan meningkat dan perekonomian bergerak ke kanan. Teori Pertumbuhan Endogen Teori pertumbuhan endogen pada dasarnya lahir untuk mengkritisi model pertumbuhan Solow. Setelah mengamati ketimpangan pendapatan antar negara. Teori pertumbuhan endogen ini berupaya untuk menjelaskan berbagai faktor yang menentukan besar kecilnya tingkat pertumbuhan GDP. Salah satu tujuan dari teori pertumbuhan adalah menjelaskan kenaikan yang berkelanjutan dalam standar kehidupan. Model pertumbuhan Solow menunjukkan, bahwa pertumbuhan berkelanjutan itu harus berasal dari kemajuan teknologi, tetapi dari mana kemajuan teknologi berasal, masih menjadi tanda tanya. Dalam model Solow, hal tersebut, hanya diasumsikan saja. Model teori pertumbuhan endogen, menolak asumsi model Solow tentang perubahan teknologi yang berasal dari luar (eksogen) (Mankiw, 2007). Selain itu, menurut Todaro and Smith (2009), perilaku aliran modal negara-negara berkembang yang aneh (dari negara miskin ke negara kaya) juga turut memicu hadirnya teori pertumbuhan endogen (endogenous growth) atau sering juga disebut teori pertumbuhan baru (new growth theory). Todaro and Smith (2006), selanjutnya menjelaskan, bahwa teori pertumbuhan baru ini memberikan kerangka teoritis untuk menganalisis pertumbuhan endogen, yaitu pertumbuhan GNP yang persisten, yang ditentukan oleh sistem yang mengatur proses produksi dan bukan oleh kekuatan-kekuatan di luar sistem. Berlawanan dengan teori neo kalsik tradisional, model-model ini menganggap, bahwa pertumbuhan GNP merupakan konsekuensi alamiah dari keseimbangan jangka panjang. Motivasi utama dari teori baru ini adalah untuk menjelaskan perbedaan tingkat pertumbuhan antar negara maupun faktor-faktor yang memberi proporsi lebih besar dalam pertumbuhan yang diobservasi. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa, teori pertumbuhan endogen berusaha untuk menjelaskan faktor-
27
faktor yang menentukan besara λ, yaitu tingkat pertumbuhan GDP yang tidak dijelaskan dan dianggap sebagai variabel eksogen dalam perhitungan teori pertumbuhan neoklasik Solow (residu Solow). Untuk menjelaskan teori ini, dimulai dengan fungsi produksi sederhana: Y= AK.................................................................................................. (3.7) dimana: Y = output, K = persediaan modal, dan A = konstanta yang mengukur jumlah output yang diproduksi untuk setiap unit modal. Dari fungsi produksi tersebut dapat dilihat, bahwa fungsi produksi tersebut tidak menunjukkan muatan dari pengembalian modal (marginal product of capital) yang akan semakin menurun (diminishing return to scale). Satu unit modal tambahan memproduksi unit output tambahan sebesar A, tanpa memperhitungkan berapa banyak modal yang ada. Ketiadaan pengembalian modal (marginal product of capital) yang akan semakin menurun (diminishing return to scale) ini merupakan perbedaan penting antara model pertumbuhan endogen dan model Solow (Mankiw, 2007). Selanjutnya kita amati bagaimana fungsi produksi tersebut berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Kita asumsikan sebagian pendapatan ditabung dan diinvestasikan, maka akumulasi modal dapat dijelaskan melalui persamaan berikut: ΔK = sY-δK ................................................................................... (3.8) Persamaan tersebut menyatakan perubahan persediaan modal (ΔK) sama dengan investasi (sY) dikurangi depresiasi (δK). Menggabungkan persamaan ini dengan fungsi produksi Y =AK, maka diperoleh: ΔY/K = ΔK/K = sA-δ .................................................................. (3.9) Persamaan tersebut menunjukkan apa yang menentukan tingkat pertumbuhan output ΔY/Y. Perhatikan, selama sA>δ, pendapatan perekonomian tumbuh selamanya, meskipun tanpa asumsi kemajuan teknologi eksogen. Dengan demikian, dengan melakukan perobahan secara sederhana terhadap fungsi produksi dapat mengubah secara dramatis prediksi tentang pertumbuhan ekonomi. Dalam model Solow, tabungan akan mendorong pertumbuhan untuk sementara, tetapi pengembalian modal (marginal product of capital) yang akan semakin menurun (diminishing return to scale) pada akhirnya akan mendorong perekonomian mencapai kondisi mapan di mana pertumbuhan hanya bergantung pada kemajuan teknologi eksogen. Sebaliknya, dalam model pertumbuhan endogen, tabungan dan investasi bisa mendorong pertumbuhan berkesinambungan. Model pertumbuhan ini menganggap perubahan teknologi sebagai sebuah hasil endogen dari investasi publik dan swasta dalam sumberdaya manusia dan industri padat pengetahuan. Untuk menolak asumsi pengembalian modal (marginal product of capital) yang akan semakin menurun (diminishing return to scale) pada model Solow, maka dalam model pertumbuhan endogen, K dalam fungsi produksi , tidak hanya mencakup persediaan pabrik dan peralatan perekonomian, tetapi harus lebih luas dari itu yaitu dengan memandang atau memasukkan ilmu pengetahuan sebagai modal. Ilmu pengetahuan adalah input penting dalam produksi perekonomian, baik produksi barang dan jasanya maupun produksi ilmu pengetahuan barunya. Model pertumbuhan endogen mendorong peran aktif kebijakan publik dalam merangsang pembangunan ekonomi melalui investasi langsung maupun tidak
28
langsung dalam pembentukan sumberdaya manusia dan mendorong investasi swasta asing dalam berbagai industri padat pengetahuan seperti industri perangkat lunak komputer dan telekomunikasi. Berkaitan dengan ini, maka pemerintah dapat mengambil peran, dengan menyediakan barang-barang publik (infrastruktur) atau dapat juga dengan mendorong atau menarik investasi swasta untuk menanamkan modalnya pada industri-industri yang padat pengetahuan (knowledge-intensive industries), dimana sumberdaya manusia dapat diakumulasikan dan akhirnya diperoleh skala hasil yang semakin meningkat (increasing returns to scale). Konsep Kemiskinan Pada tahun 1990, World Bank mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi standar hidup minimal. Tidak jauh berbeda dengan definisi World Bank, UNDP juga mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi kekurangan pendapatan dan kesulitan ekonomi. Namun, kemiskinan juga dipandang sebagai suatu keadaan dimana kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan atau air minum yang bersih, atau untuk mempengaruhi proses politik dan faktor lainnya yang penting bagi manusia. Dengan kata lain, UNDP memandang kemiskinan sebagai suatu masalah multidimensi yaitu tidak hanya terbatas pada kekurangan pendapatan dan sumber daya ekonomi. Definisi kemiskinan lainnya juga dapat didasari pada jenis kemiskinan secara konseptual yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (Todaro, 2006). Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan seseorang untuk mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Dengan demikian, maka penduduk dikatakan miskin secara absolut jika pendapatannya di bawah garis kemiskinan. Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif didefinisikan sebagai kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan (BPS, 2009). Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan atau pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”. Dalam hal mengidentifikasi dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.
29
Adapun definisi kemiskinan yang banyak digunakan di Indonesia terutama dalam pengukuran kemiskinan secara nasional adalah definisi yang dikembangkan oleh BPS. Definisi kemiskinan BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik kebutuhan dasar makanan (2100 kcal/cap/hari) maupun kebutuhan dasar bukan makanan. Menurut BPS, komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan bukan pangan yang disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Adapun jenis pangan yang diperhitungkan sebagai kebutuhan dasar adalah padi-padian dan hasil-hasilnya, ubi-ubian dan hasil-hasilnya, ikan dan hasil-hasil ikan lainnya, daging, telur, susu dan hasil dari susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, konsumsi lainnya, makanan yang sudah jadi, minuman yang mengandung alkohol, tembakau, dan sirih. Sedangkan jenis kebutuahan dasar bukan pangan adalah perumahan, bahan bakar, penerangan, dan air; barang-barang dan jasa; pakaian, alas kaki, dan tutup kepala; barang-barang yang tahan lama; keperluan pesta dan upacara. Konsep Ketimpangan Pendapatan Glaeser (2006) menyatakan ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property rights. Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada adanya disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini didapat setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan ratarata populasi sehingga membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan. Ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka konseptual the poverty-growthinequality triangle untuk melihat hubungan antara ketiga variabel. Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu: 1. Terjadinya inefisiensi ekonomi. 2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.
30
Sumber: Bourguignon (2004)
Gambar 5. The poverty-growth-inequality triangle Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan, selain itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank Dunia dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif mudah dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau pendapatan, sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat secara riil. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini dalam mengukur ketimpangan pendapatan. Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara nol dan satu. Nilai indeks gini nol artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan sempurna) sedangkan nilai satu artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah, sedang atau tinggi. Pengelompokkan yang dilakukan sesuai dengan ukuran ketimpangan yang digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0.50 hingga 0.70, sedangkan untuk negara-negara yang distribusi pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0.20 hingga 0.35 (Todaro dan Smith, 2006). Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz sebagaimana di ilustrasikan pada gambar 6. Indeks gini dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz berada (luas bidang BCD). Rumus indeks gini dapat dijelaskan sebagai berikut: Indeks gini =
..................................................................... (3.10)
31
Gambar 5 Kurva Lorenz
Sumber: Todaro dan Smith (2006)
Gambar 6. Kurva lorenz Kerangka Pemikiran Kebijakan fiskal adalah suatu bentuk intervensi pemerintah dalam perekonomian dengan maksud agar perekonomian tidak menyimpang dari kondisi yang diinginkan. Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pengeluaran atau belanja pemerintah, secara nasional jumlah dan struktur pengeluaran pemerintah dituangkan dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN), sedangkan untuk di daerah dituangkan dalam anggaran pendapatan belanja negara (APBD) (Budiyanto, 2014). Dalam upaya memberikan masukan untuk perbaikan strategi dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam mengefektifkan program yang dilaksanakan terkait dengan pengentasan kemiskinan pada era desentralisasi ini, maka kiranya diperlukan suatu studi mengenai efek danatransfer dari pemerintah pusat ke daerah yang dalam hal ini berupa dana alokasi khusus (DAK) yangditujukan untuk mendanai kegiatana khusus yang berupa sarana dan prasarana fisik di daerah terhadap pencapaian tujuan-tujuan prioritas pembangunan nasional, yang dilihat dari kinerja fiskal, kenaikan output, penyerapan tenaga kerja, ketimpangan dan kemiskinan. Kerangka pemikiran yang di bangun berdasarkan gabungan dari fenomena yang ada, teori dan tinjuan pustaka terdahulu sebagaimana yang di gambarkan dalam gambar 7. Adanya permasalahan pembangunan dalam hal ini adalah kemiskinan pemerintah merasa perlu untuk menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal. Salah satu bentuk komitmen pemerintah pusat dalam kebijakan desentralisasi fiskal adalah mengalokasikan anggaran transfer fiskal dalam APBN yang diberikan kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri dari
32
DAU, DAK, dan DBH. Dana transfer ini masuk ke dalam APBD di daerah sebagai komponen dari penerimaan daerah. Selanjutnya penerimaan tersebut di gunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan daerah yang di alokasikan ke dalam pengeluaran daerah. Pengeluaran daerah yang berdampak langsung terhadap pembangunan adalah masuk ke dalam kategori belanja modal. Dengan adanya tambahan belanja modal akibat penambahan penerimaan dari transfer fiskal maka akan mempengaruhi kinerja perekonomian, yaitu terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi yang di ukur dari peningkatan PDRB sektoral (pertanian dan non pertanian) yang selanjutnya juga berpengaruh terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja dan upah di masing-masing sektor tersebut. Output yang lebih besar akan meningkatkan tenaga kerja dan upah riil sehingga meningkatkan pendapatan perkapita penduduk di daerah tersebut. Penggunaan indikator upah riil karena lebih mampu menggambarkan daya beli penduduk sehingga lebih mencermikan tingkat pendapatan penduduk. Pendapatan penduduk yang lebih besar akan meningkatkan daya beli sehingga pengeluaran untuk konsumsi meningkat. Dalam kemiskinan, pengeluaran per kapita yang lebih besar di atas garis kemiskinan menggambarkan kondisi masyarakat yang tidak miskin sehingga kemiskinan aka berkurang. Sementara itu adanya pertumbuhan ekonomi sektoral akan berpengaruh terhadap kondisi ketimpangan antar sektor, menurut hipotesis kuznet bahwa pertumbuhan yang lebih besar pada sektor primer yaitu sektor pertanian lebih efektif memperbaiki distribusi pendapatan. Sehingga adanya pertumbuhan ekonomi sektoral yang sekaligus di sertai dengan adanya distribusi pendapatan yang merata maka akan memperbaiki kondisi ke miskinan di daerah khususnya dan Indonesia pada umumnya. Berikut digambarkan kerangka pemikiran penelitian, seperti tergambar pada gambar 4 di bawah. Hipotesis Penelitian Hipotesis umum yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Semakin besar jumlah alokasi transfer fiskal yang berupa dana alokasi khusus maka akan meningkatkan belanja modal pemerintah daerah dalam APBD. 2. Kenaikan jumlah belanja modal pemerintah daerah akan meningkatkan kinerja perekonomian daerah yaitu PDRB dan penyerapan tenaga kerja meningkat. 3. Kenaikan kinerja oerekonomian akan meningkatkan upah ataupun pendapatan perkapita yang kemudian akan menurunkan ketimpangan dan kemiskinan.
33
Fenomena Kemiskinan
Desentralisasi Fiskal
Transfer Fiskal (DAK) Belanja Modal Daerah
PDRB sektor Pertanian
Aspek pertumbuhan
PDRB sektor non Pertanian
Total PDB Penyerapan TK Pertanian
Penyerapan TK non Pertanian
Upah Aspek Pemerataan Pertanian
Distribusi Pendapatan (Gini)
Kemiskinan
Implementasi Kebijakan
Gambar 7. Alur Kerangka pemikiran
Upah Non Pertanian
34
4 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Kajian ini menggunakan data sekunder dari tiga sumber utama yaitu Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (DJPK KEMENKEU RI), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KEMEN-PUPERA), dan Badan Pusat Statistik (BPS). Data yang digunakan adalah data panel yang terdiri dari 19 provinsi di Indonesia selama periode tahun 2009-2013 yang mencakup aspek-aspek fiskal, perekonomian, ketimpangan dan kemiskinan. Meskipun selama periode penelitian sudah terbentuk 33 provinsi secara definitif namun guna memenuhi keperluan analisis maka hanya di gunakan 19 provinsi yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Lamapung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, dan Papua.Sedangkan privinsi lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam analisis dikarenakan terdapat perbedaan karakteristik data fiskal yang cukup besar. Selanjutnya data yang terkumpul dari setiap provinsi dikelompokkan menjadi dua kategori: (1) daerah pertanian tinggi merupakan provinsi yang memiliki share PDRB pertanian lebih besar dibandingkan rata-rata share PDRB pertanian seluruh provinsi, (2) daerah pertanian rendah meruapakan provinsi yang memiliki share PDRB pertanian lebih kecil dari rata-rata share PDRB pertanian seluruh provinsi. Sedangkan yang keduanya masih tergolong daerah yang mempunyai kapasitas fiskal relatif kecil. Data Dana Alokasi Khusu (DAK) bidang infrastruktur dan bidang pertanian digunakan untuk proxy transfer fiskal ke daerah yang bertujuan untuk pembangunan infrastruktur (sarana dan prasarana fisik). Data fiskal yang digunakan adalah data agregat realisasi APBD provinsi dan seluruh APBD kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan yang meliputi pendapatan dan pengeluaran daerah. Data pendapatan daerah di bagi lagi berdasrakan unsur-unsur nya, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan pendapatan lain-lain yang sah. Dana perimbangan di bagi berdasarkan komponen Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil. Sedangkan Dana Alokasi khusus di bagi menjadi DAK bidang infrastruktur dan pertanian. DAK bidang infrastruktur dibagi menjadi komponen DAK infrastruktur jalan, irigasi dan lain-lain (air dan sanitasi). Data pengeluaran daerah terdiri dari komponen pengeluaran tidak langsung dan pengeluaran langsung. Pengeluaran langsung di bagi menjadi belanja modal dan non modal (barang dan pegawai). Data perekonomian meliputi PDRB sektoral, jumlah penyerapan dan upah tenaga kerja sektoral. Klasifikasi sektoral mengacu pada sembilan lapangan usaha sesuai Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Untuk keperluan penelitian ini dikelompokkan menjadi sektor pertanian dan non pertanian. Sektor pertanian merupakan agregasi dari nilai produksi sub sektor-sub sektor di bawahnya. Sedangkan output non pertanian adalah penjumlahan dari PDRB sektor-sektor perekonomian selain sektor pertanian. Data ketenagakerjaan
35
meliputi jumlah dan upah tenaga kerja sektoral yang dikumpulkan oleh BPS. Klasifikasi ketenagakerjaan sektoral dalam penelitian ini disesuaikan dengan klasifikasi sektoral yang digunakan yaitu sektor pertanian dan non pertanian. Sedangkan konsep tenaga kerja adalah penduduk yang usia 15 tahun ke atas yang sedang bekerja pada saat survei di lakukan BPS. Data pengeluaran penduduk perkapita adalah rata-rata pengeluaran penduduk untuk konsumsi makanan dan non makanan per bulan yang di peroleh dari hasil survei yang dilakukan BPS. Pada penelitian ini rata-rata pengeluaran perkapita tidak menggunakan per sektor, namun berdasarkan kawasan perdesaan dan perkotaan. Hal ini dikarenakan data pengeluaran per kapita sektoral tidak di olah dan dipublikasikan oleh BPS. Sehingga asumsi yang di bangun dalam penelitian ini bahwa pengeluaran penduduk sektor pertanian di wakili dengan pengeluaran penduduk pedesaan, sedangkan pengeluaran penduduk sektor non pertanian di wakili oleh pengeluaran penduduk perkotaan. Selanjutanya data pengeluaran per kapita di pedesaan dan perkotaan menjadi data dasar dalam perhitungan indikator-indikator kemiskinan, sehingga data kemiskinan pun menggunakan data jumlah penduduk miskin pedesaan dan perkotaan karena data kemiskinan sektoral juga tidak dihitung oleh BPS.Data indeks gini digunakan untuk mewakili variabel ketimpangan sektoral. Metode Analisis Untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan sistem persamaan simultan. Model dibentuk berdasarkan studi literatur dan kerangka teori yang digunakan untuk menentukan keterkaitan antara variabel satu dengan lainnya maka dapat disusun suatu penyederhanaan yang dapat menggambarkan fenomena nyata. Dengan adanya suatu penyederhanaan dari fenomena nyata tersebut maka dapat dibentuk suatu model pendekatan kuantitatif sehingga dapat diestimasi secara akurat. Model ekonometrika adalah suatu model statistika yang menghubungkan peubah-peubah ekonomi dari suatu fenomena ekonomi yang mencakup unsur stokastik (Intriligator, 1978). Selanjutnya dikatakan suatu model yang baik harus dapat memenuhi kriteria: ekonomi, statistika dan ekonometrika (Koutsoyiannis, 1977). Tahapan dalam analisis model ekonometrika adalah sebagai berikut: spesifikasi model, identifikasi model, validasi, dan simulasi atau implementasi kebijakan berdasarkan parameter-parameter yang telah ditaksir. Berikut adalah tahapan analisis yang dilakukan. Spesifikais model Tahap spesifikasi model merumuskan persamaan-pesamaan matematis yang menggambarkan hubungan antara berbagai variabel ekonomi. Model yang dibentuk dalam penelitian ini terdiri dari 3 blok persamaan, yaitu blokkinerja fiskal daerah, blok perekonomian yang terdiri dari persamaan output dan tenaga kerja sektoral, dan upah sektoral, serta blok kemiskinan yang terdiri dari persamaan indeks gini dan kemsikinan pedesaan dan perkotaan.
36 Fenomena
Seleksi Variabel yang Relevan dengan Justifikasi Teori dan Penelitian Terdahulu
Model Ekonomi
Menggunakan Sistem Persamaan Simultan (Simultaneous Equations Model)
Spesifikasi Model
Pengumpulan Data
Estimasi Parameter Model Menggunakan 2SLS
Evaluasi
Kriteria Statistik (F dan t hitung)
Kriteria Ekonomi (Tanda dan Besaran)
Tidak
Kriteria Ekonometrika (Penyimpangan Asumsi)
Go
Simulasi Kebijakan
Gamba 8. Tahapan penyusunan model (di adopsi dari Sinaga, 1998)
37
A. Blok Kinerja Fiskal Persamaan dalam blok fiskal dikategorikan sebagai penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Transfer Fiskal/Dana Perimbangan (DAPER) beserta komponenkomponennya yang salah satunya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam hal ini DAK terdiri dari infrastruktur jalan, irigasi dan lainnya. Ketiganya merupakan persamaan struktural yang mengacu dari penelitian Sumedi (2013), yaitu DAK dipengaruhi oleh kapasitas fiskal, dan jumlah orang miskin. Dimana jika daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi maka mendapatkan DAK kecil dan sebaliknya. Sedangkan PAD merupakan persamaan struktural yang diduga dipengaruhi oleh variabel PDRB dan pengeluaran daerah. Sumber-sumber PAD terkait dengan kemampuan ekonomi penduduk. Berdasarkan penelitian Sumedi (2013) bahwa unsur-unsur dari PAD dipengaruhi oleh PDRB. Kemudian pengeluaran daerah yang terdiri dari belanja modal, dimana prinsip pengeluaran merupakan fungsi dari penerimaan. Belanja modal merupakan persamaan struktural dipengaruhi oleh unsur-unsur penerimaan, yaitu PAD, DAK bidang infrastruktur, DAU dan DBH. Persamaan ini merujuk dari penelitian Lisna (2014), Budiyanto (2014) dan Sumedi (2014). 1. DAK Bidang Infrastruktur Jalan (DINFR) DJLNit = a0 + a1KAPFISit + a2TPOVit + a3LWit + a4Dit + a5LDJLNit + μ1 Hipotesis : a1,<0, a2, a3, a4 >0, 0
0, 00, 00
.
38
9. Kapasitas Fiskal (KAPFIS) KAPFISit = PDDit - DAKit - DAUit - PDLit 10. Belanja Langsung (BL) BLit = MDLit + NMDLit 11. Belanja Modal (MDL) MDLit = e0 + e1PADit + e2INFRit + e3DAUit + e4DBHit + e5Dit + e6LMDLit + μ5 Hipotesis : e1, e2, e3, e4, e5>0, 0<e6 <0 12. Pengeluaran Daerah (PLD) PLDit = BLit + BTLit Keterangan : DJLN DIRGS DINFLL KAPFIS TPOV LW INFR DAK DAKPER DAKLL DAPER DAU DBH PDD PDL BL MDL NMDL BTL PLD
= Dana Alokasi Khusus Bidang Infratruktur Jalan (juta Rp) = Dana Alokasi Khusus Bidang Infratruktur Irigasi (juta Rp) = Dana Alokasi Khusus Bidang Infratruktur Lain-lain (juta Rp) = Kapasitas Fiskal (juta Rp) = Total Penduduk Miskin (Jiwa) = Luas Wilayah (juta Rp) = Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur (juta Rp) = Dana Alokasi Khusus (juta Rp) = Dana Alokasi Khusus Bidang Pertanian (juta Rp) = Dana Alokasi Khusus Bidang Lainnya (juta Rp) = Dana Perimbangan (juta Rp) = Dana Alokasi Umum (juta Rp) = Dana Bagi Hasil (juta Rp) = Pendapatan Daerah (juta Rp) = Pendapatan Daerah dari lainnya (juta Rp) = Belanja Langsung (juta Rp) = Belanja Modal (juta Rp) = Belanja Non Modal (juta Rp) = Belanja Tidak Lnagsung (juta Rp) = Pengeluaran Daerah (juta Rp)
B. Blok Perekonomian Persamaan output diwakili dengan nilai Produk Domestik Regionla Bruto (PDRB) yang terdiri dari PDRB sektor pertanian dan non pertanian, keduanya diduga dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja dan belanja modal. Pemilihan variabel tersebut berdasarkan teori Solow, dimana pertumbuhan ekonomi merupakan hasil interaksi faktor-faktor produksi yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi (Dornbusch, et al., 2008). Sedangkan persamaan tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja sektor pertanian dan non pertanian yang keduanya diduga dipengaruhi oleh upah dan PDRB masing-masing sektor. Peningkatan permintaan tenaga kerja tergantung pada penerimaan yang diperoleh perusahaan dari penjualan output yang dihasilkan oleh tenaga kerja tersebut (Bellante, 1990 dalam
39
Budiyanto, 2014). Selain itu penyerapan tenaga kerja juga diduga dipengaruhi oleh upah. Perusahaan akan menyesuaikan jumlah tenaga kerja yang digunakan sesuai dengan biaya (upah) tenaga kerja. Apabila upah meningkat, perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang digunakan (Branson, 1979). Sebagai salah satu faktor produksi, tenaga kerja mendapatkan balas jasa produksi dalam bentuk upah. Secara alami meningkatnya produksi akan meningkatkan penerimaan sehingga upah riil yang diterima tenaga kerja juga meningkat. Dengan demikian, pada penelitian ini upah sektoral diduga dipengaruhi oleh PDRB sektoral dalam hal ini PDRB per kapita sektoral. selain itu berdasarkan Shenggen Fan (2002) bahwa upah di pedesaan di tentukan oleh investasi pemerintah terhadap jalan. Sehingga dalam penelitian ini upah sektoral diduga dipengaruhi oleh PDRB sektoral dan total panjang jalan. 13. Output Sektor Pertanian (PDRBA) PDRBAit = f0 + f1TKAit + f2DAKPERit + f3DMDLit + f4LLSIit + f5TJLNit + f6Dit +μ6 Hipotesis : f1, f2, f3, f4, f5, f6>0 14. Output Sektor non Pertanian (PDRBNA) PDRBNAit = g0 + g1TKNAit + g2MDLit + g3TJLNit + g4Dit +μ7 Hipotesis : g1, g2, g3, g4>0 15. Total PDRB (TPDRB) PDRBit = PDRBAit + PDRBNAit 16. Tenaga Kerja Sektor Pertanian (TKA) TKA = h0 + h1UPHAit + h2PDRBAit + h3Dit + h4LTKAit +μ8 Hipotesis : h1 <0, h2, h3>0, 0< h4 >0 17. Tenaga Kerja Sektor non Pertanian (TKNA) TKNAit = i0 + i1UPHNAit + i2PDRBNAit + i3Dit + i4LTKNAit +μ9 Hipotesis : i1 <0, i2, i3>0, 0< i4 >0 18. Total Tenaga Kerja (TTK) TTKit = TKAit + TKNAit 19. Upah Tenaga Kerja Sektor Pertanian (UPHA) UPHAit = j0 + j1PDRBAit + j2TJLN + j3Dit + j4LUPHAit +μ10 Hipotesis : g1, g2, g3 >0, 00 20. Upah Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian (UPHNA) UPHNA it = k0+ k1 PDRBNAit+ k2TJLN + k3 D + k4 LUPHNAit+μ11 Hipotesis : k1, k2, k3 >0, 00
40
21. Share PDRB Sektor Pertanian (SPDRBA) SPDRBAit = PDRBA/PDRB *100 22. Share PDRB Sektor Non Pertanian (SPDRBNA) SPDRBNAit= PDRBNA/PDRB*100 Keterangan : PDRBAit = Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (juta rupiah) PDRBNAit = Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian (juta rupiah) TKAit = Tenaga Kerja sektor Pertanian (jiwa) TKNAit = Tenaga Kerja non Pertanian (jiwa ) UPHit = Tingkat Upah (ribu rupiah) UPHAit = Upah Sektor Pertanian (ribu rupiah) UPHNAit = Upah Sektor Non Pertanian(ribu rupiah) TJLN = Total Jalan (km) SPDRBAit = Share Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian (persen) SPDRBNAit = Share Produk Domestik Regional Bruto Sektor Non Pertanian (persen) C. Blok Kemiskinan Indeks gini merupakan nilai yang menentukan ketimpangan suatu daerah dengan yang lainnya. Indeks gini sangat berkaitan dengan kemiskina, untuk mengurangi kemsikinan maka indeks gini harus bernilai kecil. Indeks gini diduga dipengaruhi oeh kontribusi PDRB sektoral pada total PDRB berdasarkan asumsi hipotesis Kuznets (1955) yaitu sektor tradisional di pedesaan memiliki ketimpangan pendapatan rendah, sedangkan sektor modern di perkotaan memiliki ketimpangan pendapatan tinggi. Dengan demikian, jika share PDRB sektor pertanian sebagai sektor yang mendominasi struktur ekonomi di pedesaan lebih besar diduga menurunkan Indeks Gini yang berarti ketimpangan pendapatan lebih rendah. Namun, jika share PDRB non pertanian sebagai sektor yang mendominasi struktur ekonomi di perkotaan lebih besar diduga meningkatkan Indeks Gini yang berarti ketimpangan pendapatan semakin besar. Sedangkan untuk persamaan kemiskinan diduga dipengaruhi oleh upah masing-masing sektoral (Yudhoyono, 2004 dan Yannizar 2012), pengeluaran penduduk pedesaan dan perkotaan dan indeks gini (Lisna, 2014 dan Nanga, 2006). 23. Indeks Gini (GINI) GINIit =l0 + l1SPDRBAit + l2SPDRBNAit + l3Dit + l4LGINIit+μ12 Hipotesis : l1, l3 >0, l3<0, 00 24. Kemiskinan Pedesaan (POVD) POVDit = m0 + m1UPHAit+ m2PENGDESit + m3GINIit + m4Dit + m5LJMPDit +μ13 Hipotesis : m1, m2 <0, m3, m4 >0, , 0<m5>0
41
25. Kemiskinan Perkotaan (POVK) POVKit = n0 + n1UPHNAit + n2PENGKOTit + n3GINIit + n4Dit + n5LJPMKit + μ14 Hipotesis : n1, n2 <0, n3, n4 >0, , 00 26. Total Jumlah Penduduk Miskin (TPOV) TPOV = POVDit + POVKit Keterangan: GINIit POVDit POVKit PENGDES PENGKOT
= Indeks Gini = Jumlah Penduduk Miskin di Pedesaan = Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan = Pengeluaran Rata-Rata Penduduk Pedesaan = Pengeluaran Rata-Rata Penduduk Perkotaan
Identifikasi dan Estimasi Model Identifikasi sangat terkait dengan estimasi. Identifikasi dapat dilakukan dengan memeriksa spesifikasi model struktural atau dengan memeriksa model yang direduksi. Rumus identifikasi model adalah : (K – M) ≥ (G – 1) ........................................................................... (4.1) Dimana: K : Total peubah dalam model (peubah endogen dan predetermine) M :Jumlah peubah endogen dan eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi G : Total persamaan (jumlah peubah endogen) dalam model Jika (K – M) = (G – 1), maka persamaan dalam model exactly identified (K – M) < (G – 1), maka pesamaaan dalam model unidentified (K – M) > (G – 1), maka pesamaaan dalam model over identified Jika persamaan teridentifikasi tepat (exactlyidentified) maka estimasi dapat dilakukan dengan metode IndirectLeastSquares (ILS), namun jika teridentifikasi berlebih (overidentified) dapat digunakan beberapa metode antara lain twostageleastsquares (2SLS) dan maximumlikelihood (Koutsoyiannis, 1997). Perbedaan mendasar dari kedua metode ini adalah metode MaximumLikelihood memerlukan sampel besar dan variabel-variabel berdistribusi multivariate normal. Sedangkan metode 2SLS tidak memerlukan asumsi distribusi apapun dan dapat digunakan untuk sampel kecil (Sulistiyawan, 2009). Selain itu, metode 2SLS menghasilkan estimasi konsisten dan efisien serta konsep dan komputasinya lebih sederhana (Koutsoyiannis, 1977). Model transfer fiskal terhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi daerah terdiri dari 26 variabel endogen dan 23 variabel predetermined (10 variabel lag endogen dan 13 variabel eksogen) sehingga total keseluruhan variabel ada 49 variabel dalam model (K), 3 sampai 6 variabel endogen dan eksogen dalam suatu persamaan struktural, dan 26 variabel endogen atau jumlah persamaan dalam model. Berdasarkan kriteria identifikasi diketahui jumlah variabel (endogen dan eksogen) yang dikeluarkan dari setiap persamaan (K-M) lebih besar dari jumlah variabel endogen dalam model dikurangi satu (G-1) yang berarti model
42
teridentifikasi berlebih (overidentified) sehingga dapat diestimasi dengan metode 2SLS (Two Stage Least Square). Validasi Model Untuk mengetahui apakah suatu model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan dan non kebijakan, maka perlu dilakukan suatu validasi model dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana persamaan tersebut dapat mewakili dunia nyata. Kriteria statistika yang digunakan untuk validasi model nilai pendugaan model ekonometrika adalah Root Mean Square Error (RMSE), Root Mean Square Percent Error (RMSPE) dan Theil’s Inequality Coefficient (U). Kriteria-kriteria tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan : RMSE RMSPE U Yts Yta T
............................................................
(4.2)
..........................................................
(4.3)
..................................................................
(4.4)
= Akar tengah kuadrat galat simulasi (Root Mean Square Error) = Akar tengah kuadrat persen galat (Root Mean Square Percent Error) = Koefisien ketidaksamaan Theil (Theil’s Inequality Coefficient) = Nilai pendugaan model stY = Nilai pengamatan contoh atY = Jumlah pengamatan dalam simulasi
Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari nilai aktualnya dalam ukuran relatif (persen) atau seberapa dekat nilai dugaan tersebut mengikuti perkembangan nilai aktualnya. Sedangkan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model dalam menganalisis simulasi peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 0 dan 1. Jika U = 0 maka pendugaan model tersebut sempurna dan jika U = 1 maka pendugaan model naïf. Untuk melihat keeratan arah (slope) antara nilai aktual dengan hasil yang 2 disimulasi, ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasinya (R ). Pada dasarnya 2 semakin kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s serta makin besar R , maka pendugaan model semakin baik.
43
Simulasi Model Tahapan terakhir adalah simulasi model yang hasilnya nanti akan menjadi implikasi kebijakan yang bisa diterapkan dalam dunia nyata, skenario simulasi yang dibangun berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Maka simulasi kebijakan yang dilakukan seperti berikut : 1. Simulasi kebijakan alokasi DAK bidang infrastrktur jalan 150 peren 2. Simulasi kebijakan alokasi DAK bidang infrastrktur irigasi 150 peren. 3. Simulasi kebijakan alokasi DAK bidang Pertanian 75 peren. 4. Simulasi kebijakan belanja modal 40 persen Simulasi tersebut dilakukan atas dasar bahwa pembiayaan infrastruktur khususnya di daerah masih rendah. Secara nasional idealnya adalah 5.0 persen dari PDB akan tetapi data saat ini menunjukkan masih kurang dari 5.0 persen. Karena data yang digunakan adalah data DAK, maka peningkatan 150 persen masih dapat diterima mengingat saat ini alokasi DAK dari APBN tidak sampai satu persen dari APBN sementara terhadap dana perimbangan hanya sekitar 7.0 persen. Sehingga besarannya perlu ditingkatkan secara signifikan, mengingat juga adanya rencana kebijakan pemerintah kedepanakan meningkatkan DAKdalam jumlah besar karena melihat dampaknya terhadap pembiayaan modal dan perekonomian daerah sangat signifikan. Akhir-akhir ini juga terdapat pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan ke dalam DAK sehingga anggaran dana untuk alokasi DAK masih memadai dan cukup besar. Selain itu berdasararkan penelitian yang dilakukan Bappenas (2011) simulasi peningkatan DAK yang cukup besar juga pernah dilakukan yaitu, dari mulai 10 persen hingga 80 persen, akan tetapi hasilnya tidak berdampak secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehingga dalam penelitian ini skenario simulasi yang dilakukan adalah meningkatkan DAK bidang infrastruktur jalan dan irigasi hingga 150 persen.
PAD
DAU DAK
TPDRB
KAPFIS
BL
MDL
DBH
DAKPER
INFR
DAKLL
PDRBNA
PDRBA
LPENGKOT
DINFLL
DIRGS
DJLN
LLSI
TJLN
LW
TKNA
TKA
POVK
UPHNA
UPHA
POVD
LPENGDES
GINI
TPOV
Gambar 9. Diagram keterkaitan antar variabel dalam model transfer fiskal terhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi daerah
NMDL
PLD
PDL
DAPER
PDD
45
5 GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL, BELANJA
MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH Secara administratif, Indonesia terdiri dari daerah provinsi dan kabupaten. Dalam kajian ini data kabupaten dan provinsi digabung menjadi satu. Provinsiprovinsi tersebut dikelompokkan menjadi provinsi yang memiliki proporsi PDRB sektor pertanian tinggi dan provinsi yang memiliki proporsi PDRB sektor pertanian rendah sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya. Analisis deskriptif dilakukan dengan mengkaji variabel fiskal, perekonomian, ketimpangan dan kemiskinan. Oleh karena itu, agar terbanding antar waktu maka analisis deskriptif ini menggunakan variabel-variabel riil menggunakan formula IHK. Sedangkan data PDRB menggunakan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000. Tabel 1 Kelompok provinsi dengan proporsi PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah, serta rata-rata proporsi PDRB sektor pertanian tahun 2009 – 2013 No. Provinsi Rata-rata proporsi PDRB sektor pertanian (%) A. PDRB pertanian tinggi 1 Aceh 26.74 2 Sumatera Utara 23.31 3 Sumatera Barat 22.95 4 Jambi 29.82 5 Lampung 38.29 6 Kalimantan Barat 24.72 7 Kalimantan Tengah 29.97 8 Kalimantan Selatan 23.25 9 Sulawesi Tengah 38.96 10 Sulawesi Selatan 27.67 11 Nusa Tenggara Barat 24.43 Rata-rata 28.19 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 19.62 13 Jawa Barat 11.63 14 Jawa Tengah 18.02 15 D.I Yogyakarta 16.52 16 Jawa Timur 14.40 17 Bali 19.18 18 Sulawesi Utara 18.34 19 Papua 17.29 Rata-rata 16.87 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi yang memiliki proporsi PDRB sektor pertanian tertinggi adalah Sulawesi Tengah, yaitu sebesar 38.96 persen sedangkan provinsi yang memiliki proporsi PDRB sektor pertanian terendah adalah Jawa Barat, yaitu sebesar 11.63 persen. PDRB provinsi-provinsi yang memiliki proporsi PDRB sektor pertanian rendah lebih banyak di sumbang oleh sektor jasa, pertambangan ataupun industri.
46
Profil Kinerja Fiskal Profil kinerja fiskal daerah dapat ditinjau dari sumber-sumber pendapatan dan pengeluaran daerah. Pendapatan daerah di peroleh dari sumber daya keuangan lokal dan transfer dari pemerintah pusat. Sumber daya lokal dalam hal ini adalah pendapatan asli daerah (PAD) dan dana bagi hasil (DBH) yang apabila keduanya di jumlahkan menjadi kapasitas fiskal. Kapasitas fiskal adalah salah satu alokator pengurang dalam formula DAK dimana daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang lebih besar akan menerima DAK lebih kecil. Pendapatan Daerah Pendapatan daerah yang dimaksud dalam kajian ini terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Tabel 2 Rata-rata per tahun pendapatan pemerintah daerah selama 2009-2013 No. Provinsi
Rata-rata pendapatan Rata-rata kapasitas fiskal daerah (PDD) daerah (KAPFIS) (Rp miliar) (Rp miliar) A. PDRB pertanian tinggi 1 Aceh 16157.92 3098.55 2 Sumatera Utara 20365.59 5266.91 3 Sumatera Barat 10274.70 1830.64 4 Jambi 4728.26 1968.58 5 Lampung 9469.25 2008.51 6 Kalimantan Barat 8768.88 1683.00 7 Kalimantan Tengah 8022.07 1807.07 8 Kalimantan Selatan 9654.87 3993.75 9 Sulawesi Tengah 6194.83 928.10 10 Sulawesi Selatan 15022.05 3369.25 11 Nusa Tenggara Barat 6350.46 1342.32 Rata-rata 10455.35 2481.52 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 14615.87 6937.18 13 Jawa Barat 41187.24 14945.55 14 Jawa Tengah 33349.55 8100.64 15 D.I Yogyakarta 5275.69 1484.69 16 Jawa Timur 43439.00 13831.57 17 Bali 8658.56 3613.36 18 Sulawesi Utara 6572.16 986.41 19 Papua 14141.46 2151.74 Rata-rata 20904.94 6506.39 Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Rata-rata pendapatan daerah antara daerah pertanian rendah lebih besar dua kali lipat di bandingkan dengan daerah pertanian tinggi. Rata-rata pendapatan daerah tertinggi yaitu provinsi Jawa Timur yaitu sebesar Rp. 43 439.00 Miliyar.
47
Rata-rata pendapatan pertahun
Sedangkan rata-rata pendapatan daerah terendah yaitu provinsi Jambi yaitu sebesar Rp. 4 728.26 Miliyar. Jika di lihat dari kapasitas fiskal menunjukkan bahwa daerah pertanian rendah mempunyai kapasitas fiskal lebih besar hampir tiga kali lipat di bandingkan daerah pertanian tinggi, dimana provinsi Jawa Barat mempunyai kapasitas fiskal daerah tertinggi yaitu sebesar Rp. 14945.55 Miliyar, sementara provinsi yang mempunyai kapasitas fiskal terkecil adalah Sulawesi Tengah yaitu sebesar Rp. 928.10 Miliyar. Kondisi ini berkebalikan dengan data tentang kontribusi sektor pertanian tinggi dan rendah yang terdapat pada Tabel 1. Artinya bahwa daerah yang kontribusi sektor pertaniannya paling tinggi mempunyai kapasitas fiskal paling rendah yaitu provinsi Sulawesi Tengah. Sedangkan daerah yang mempunyai kontribusi sektor pertaniannya paling rendah mempunyai kapasitas fiskal paling tinggi yaitu provinsi Jawa Barat. Berdasarkan tampilan grafik pada gambar 10 dan 11 menunjukkan bahwa selama periode 2009- 2013 rata-rata pendapatan daerah dan kapasitas fiskal di daerah pertanian rendah lebih besar di bandingkan daerah pertanian tinggi dan mempunyai trend yang meningkat. Walaupun keduanya mempunyai rata-rata pertumbuhan positif, namun masih lebih besar rata-rata pertumbuhan kapasitas fiskal di daerah pertanian rendah.
30000000 25000000 20000000
PT
15000000
PR
10000000 5000000 0 2009
2010
2011
2012
2013
Axis Title
Keterangan: PT = daerah PDRB sektor pertanian tinggi PR = daerah PDRB sektor pertanian rendah Gambar 10. Rata-rata pendapatan pemerintah daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah tahun 2009 – 2013
48
12000000 10000000 8000000
Juta
PR
6000000
PT
4000000 2000000 0 2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Keterangan: PT = daerah PDRB sektor pertanian tinggi PR = daerah PDRB sektor pertanian rendah Gambar 11. Rata-rata kapasitas fiskal daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah tahun 2009 – 2013 Komponen pendapatan daerah terdiri dari pendapatn asli daerah (PAD), dana perimbangan (DAPER), dan lain-lain pendapatan yang sah (PDLL). Tabel 3 Rata-rata per tahun kontribusi unsur pendapatan daerah 2009-2013 No. Provinsi PAD 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18 19
A. PDRB pertanian tinggi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Jambi Lampung Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat Rata-rata B. PDRB Pertanian rendah Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Bali Sulawesi Utara Papua Rata-rata
Kontribusi (%) DAPER
PDLL
7.23 19.11 13.44 17.90 13.91 12.73 10.83 18.83 9.48 16.01 13.79 13.93
60.17 66.73 73.95 93.24 71.24 77.06 80.53 67.17 79.55 68.53 74.14 73.85
32.60 14.17 12.60 -11.14 14.85 10.21 8.64 14.00 10.97 15.46 12.06 12.22
14.09 26.67 18.64 23.16 25.19 36.70 10.21 4.69 19.92
75.59 56.00 66.06 61.68 59.90 48.65 78.52 65.31 63.96
10.33 17.33 15.30 15.16 14.91 14.66 11.27 30.01 16.12
Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK)
49
Kontribusi ketiga komponen unsur-unsur pendapatan daerah antara daerah pertanian tinggi dan rendah berbeda-beda, dimana daerah pertanian rendah mempunyai PAD yang lebih besar (19.92%) di bandingkan daerah pertanian tinggi (13.39%), hal ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya disebabkan karena PAD merupakan komponen kapasitas fiskal. Sedangkan sebaliknya daerah pertanian tinggi mempunyaai porsi dana perimbangan lebih besar (73.85%) di bandingkan daerah pertanian rendah (63.95%). Bagi daerah yang mempunyai kontribusi PAD rendah maka daerah tersebut mengandalkan pendanaan untuk belanja kebutuhan daerah berasal dari dana perimbangan. Sementara provinsi dengan struktur ekonomi yang di dominasi oleh sektor non pertanian mempunyai sumber daya lokal berupa PAD yang besar, artinya provinsi-provinsi tersebut cenderung lebih mampu membiayai pembangunan daerahnya dengan dana yang diperoleh dari sumber daya lokal. Tabel 4 Rata-rata per tahun kontribusi dana perimbangan daerah 2009-2013 di daerah pertanian tinggi dan rendah No. Provinsi DAK
Kontribusi (%) DAU
A. PDRB pertanian tinggi Aceh 8.14 72.02 Sumatera Utara 8.79 81.09 Sumatera Barat 9.53 84.56 Jambi 8.13 63.57 Lampung 9.54 80.22 Kalimantan Barat 10.17 81.44 Kalimantan Tengah 7.05 78.43 Kalimantan Selatan 6.34 60.11 Sulawesi Tengah 9.96 83.12 Sulawesi Selatan 9.76 80.87 Nusa Tenggara Barat 9.16 80.93 Rata-rata 8.78 76.94 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 5.77 50.08 13 Jawa Barat 6.25 76.58 14 Jawa Tengah 7.76 83.69 15 D.I Yogyakarta 6.26 85.66 16 Jawa Timur 10.31 78.59 17 Bali 7.06 82.58 18 Sulawesi Utara 12.27 81.62 19 Papua 15.65 66.88 Rata-rata 8.92 75.71 Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Keterangan: DAK = dana alokasi khusus DAU = dana alokasi umum DBH = dana bagi hasil 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
DBH 19.85 10.13 5.91 28.29 10.24 8.39 14.52 33.55 6.91 9.37 9.91 14.28 44.16 17.17 8.55 8.08 11.10 10.35 6.11 17.47 15.38
50
Berdasarkan Tabel 4 terlihat komposisi dana perimbangan antara daerah pertanian tinggi dan pertanian rendah menunjukkan bahwa perbedaan kontribusi DAU, DAK dan DBH tidak terlalu besar. Hal ini bisa dilihat dari besarnya DAK daerah pertanian rendah (8.92%) hanya sedikit lebih besar daripada daerah pertanian tinggi (8.78%), walaupun seharusnya tidak demikian, karena kapasitas fiskal daerah pertanian rendah lebih besar di bandingkan daerah pertanian tinggi. Namun jika dilihat dari besaran DAK masing-masing daerah menunjukkan daerah pertanian rendah tetap mendapatkan rata-rata alokasi DAK per tahun selama 2009-2013 lebih rendah daripada rata-rata DAK pertanian tinggi, hanya saja Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Papua yang mendapatkan lebih besar daripada rata-rata DAK daerah pertanian tinggi. DAU di daerah pertanian tinggi (76.94%) sedikit lebih besar daripada daerah pertanian rendah (75.71%), Hal ini menunjukkan bahwa walaupun sebelumnya besarnya rata-rata kapasitas fiskal di daerah pertanian rendah hampir tiga kali lipat di bandingkan daerah pertanian tinggi, namun besarnya rata-rata DAU menunjukkan perbeadaan yang tidak terlalu besar. Artinya bahwa dalam hal ini besarnya kapasitas fiskal tidak selalu menjadi acuan utama dalam penentuan komponen-komponen dana perimbangan, masih terdapat kriteria lainnya seperti luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk yang ada di daerah tersebut. Sebagaimana komponen dana perimbangan sebelumnya, perbedaan besarnya ratarata DBH juga kecil. Akan tetapi rata-rata porsi DBH di daerah pertanian rendahmasih lebih besar (15.38%) di bandingkan daerah pertanian tinggi (14.28%). Tabel 5 Rata-Rata per tahun kontribusi dana alokasi khusus (DAK) 2009-2013 No.
Provinsi
Kontribusi (%) INFR
A. PDRB pertanian tinggi Aceh 30.61 Sumatera Utara 24.37 Sumatera Barat 28.68 Jambi 27.43 Lampung 22.67 Kalimantan Barat 25.11 Kalimantan Tengah 34.65 Kalimantan Selatan 28.21 Sulawesi Tengah 27.45 Sulawesi Selatan 25.79 Nusa Tenggara Barat 26.81 Rata-rata 27.44 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 21.85 13 Jawa Barat 13.37 14 Jawa Tengah 19.82 15 D.I Yogyakarta 25.97 16 Jawa Timur 12.16 17 Bali 29.87 18 Sulawesi Utara 24.72 19 Papua 32.25 Rata-rata 22.50 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
DAKPER 8.44 6.82 7.20 10.69 8.09 9.19 12.62 9.69 9.67 7.92 6.85 8.84 9.54 4.66 5.82 5.59 3.92 7.12 8.07 5.25 6.25
51
Keterangan: INFR = dana alokasi khusus bidang infrastruktur DAKPER = dana alokasi khusus bidang pertanian
Juta
Tabel 5 menunjukkan bahwa komponen DAK yang berupa DAK bidang infrastruktur dan DAK bidang pertanian lebih besar di daerah pertanian tinggi dengan rata-rata masing-masing 27.44 persen dan 8.84 persen. Hal ini tentu saja terjadi pada daerah pertanian tinggi karena struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian. Selain itu hal ini juga berarti bahwa kondisi infrastruktur dan sarana prasaran pertanian di daerah pertanian tinggi menunjukkan kondisi yang kurang baik sehingga perlu di tingkatkan melalui dana DAK. Namun berdasarkan data (gambar 12 dan 13) menunjukkan bahwa daerah pertanian rendah mendapatkan rata-rata DAK infrastruktur dan DAK pertanian per tahun selama 2009-2013 selalu lebih besar di bandingkan daerah pertanian tinggi.
90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0
PT PR
2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Gambar 12. Rata-rata DAK bidang infrastruktur per tahun selama tahun 20092013
300000 250000
Juta
200000
PT
150000
PR
100000 50000 0 2009
2010
2011
2012
2013
Tahun
Gambar 13. Rata-rata DAK bidang pertanian per tahun selama tahun 2009-2013
52
Tabel 6 Rata-rata per tahun kontribusi DAK bidang infrastruktur 2009-2013 di Daerah Pertanian Tinggi dan Rendah No. Provinsi DJLN
Kontribusi (%) DIRGS DINFLL
A. PDRB pertanian tinggi Aceh 61.31 23.34 15.34 Sumatera Utara 66.48 17.64 15.88 Sumatera Barat 60.97 23.59 15.44 Jambi 66.27 18.92 14.80 Lampung 65.74 19.18 15.08 Kalimantan Barat 66.01 20.52 13.47 Kalimantan Tengah 66.73 22.89 10.38 Kalimantan Selatan 63.53 22.35 14.12 Sulawesi Tengah 64.07 23.68 12.24 Sulawesi Selatan 63.06 23.13 13.80 Nusa Tenggara Barat 56.34 28.31 15.34 Rata-rata 63.68 22.14 14.17 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 66.72 15.55 17.73 13 Jawa Barat 51.35 25.12 23.53 14 Jawa Tengah 52.33 27.52 20.15 15 D.I Yogyakarta 52.64 28.46 18.90 16 Jawa Timur 52.92 26.19 20.89 17 Bali 56.77 28.51 14.72 18 Sulawesi Utara 64.90 19.70 15.40 19 Papua 76.27 10.46 13.27 Rata-rata 59.24 22.69 18.07 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Keterangan: DJLN = dana alokasi khusus bidang infrastruktur jalan DIRGS = dana alokasi khusus bidang infrastruktur irigasi DINFLL = dana alokasi khusus bidang infrastruktur lain-lain 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
DAK infrastruktur adalah salah satu bidang DAK ditujukan untuk pembangunan dan rehabilitasi jalan, irigasi dan infrastruktur lain-lain (air minum dan sanitasi). DAK infrastruktur jalan sedikit lebih besar di daerah pertanian tinggi di bandingkan daerah pertanian rendah, dan sebaliknya DAK infrastruktur irigasi sedikit lebih besar di daerah pertanian rendah. Dalam hal ini provinsi Papua mendapatkan DAK infrastruktur jalan paling besar dan mendapatkan DAK infrastruktur irigasi paling kecil. Pengeluaran Dearah Analisis deskriptif pada kinerja fiskal dari sisi pengeluaran juga perlu dilakukan karena merupakan faktor penting yang dapat mendorong perekonomian daerah.
53
Tabel 7 Rata-rata per tahun nilai dan kontribusi unsur-unsur pengeluaran pemerintah daerah selama 2009 – 2013 di daerah pertanian tinggi dan rendah No. Provinsi
Kontribusi (%) BTL BL
Pengeluaran Daerah (PLD) (Rp. Miliar) A. PDRB pertanian tinggi 1 Aceh 16527.02 48.49 2 Sumatera Utara 20740 56.77 3 Sumatera Barat 1886.27 50.28 4 Jambi 7321.76 47.77 5 Lampung 9568.59 57.75 6 Kalimantan Barat 8873.50 49.23 7 Kalimantan Tengah 8243.95 45.78 8 Kalimantan Selatan 9513.83 49.74 9 Sulawesi Tengah 6212.03 52.50 10 Sulawesi Selatan 15056.08 56.76 11 Nusa Tenggara Barat 6251.84 61.68 Rata-rata 10017.72 52.43 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 14685.51 46.87 13 Jawa Barat 41812.35 63.59 14 Jawa Tengah 35600.82 67.33 15 D.I Yogyakarta 5222.38 65.08 16 Jawa Timur 44253.63 61.41 17 Bali 8718.79 66.27 18 Sulawesi Utara 6522.7 52.88 19 Papua 19965.71 41.99 Rata-rata 22097.74 58.18 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Keterangan: BTL = Belanja tidak langsung BL = Belanja langsung
51.51 43.23 49.72 52.23 42.25 50.77 54.22 50.26 47.50 43.24 38.32 47.57 53.13 36.41 32.67 34.92 38.59 33.73 47.12 58.01 41.82
Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa besarnya pendapatan daerah ataupun besarnya kapasitas fiskal yang dimiliki daerah berpengaruh terhadap besarnya alokasi pengeluaran daerah. Rata-rata pengeluaran daerah pertanian rendah dua kali lebih besar di bandingkan daerah pertanian tinggi. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang mempunyai rata-rata pengeluaran per tahunnya paling besar yaitu Rp. 44253.63 Miliyar. Sedangkan provinsi yang mempunyai rata-rata pengeluaran daerah paling kecil adalah Sumatera Barat yaitu sebesar Rp. 1886.27 Miliyar. Sedangkan komponen pengeluaran daerah sebagaiman komponen dalalm format APBD terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Data pada Tabel di atas menunjukkan bahwa belanja tidak langsung di daerah pertanian rendah mempunyai porsi lebih besar di bandingkan belanja langsung, dan tentu sebaliknya pada daerah pertanian tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa daerah pertanian rendah belum mengoptimalkan besarnya pengeluaran daerahnya untuk belanja yang berhubungan langsung dengan kegiatan sektor riil.
54
Tabel 8 Rata-rata per tahun kontribusi belanja langsung tahun 2009-2013 di daerah pertanian tinggi dan rendah No. Provinsi
Kontribusi (%) NMDL
A. PDRB pertanian tinggi Aceh 58.96 Sumatera Utara 51.73 Sumatera Barat 51.04 Jambi 44.89 Lampung 53.59 Kalimantan Barat 51.65 Kalimantan Tengah 42.13 Kalimantan Selatan 47.18 Sulawesi Tengah 52.05 Sulawesi Selatan 53.90 Nusa Tenggara Barat 48.57 Rata-rata 50.52 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 45.25 13 Jawa Barat 57.26 14 Jawa Tengah 60.80 15 D.I Yogyakarta 66.65 16 Jawa Timur 59.37 17 Bali 57.76 18 Sulawesi Utara 48.00 19 Papua 49.91 Rata-rata 55.63 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Keterangan: NMDL = Belanja langsung non modal MDL = Belanja langsung modal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
MDL 41.04 48.27 48.96 55.11 46.41 48.35 57.87 52.82 47.95 46.10 51.43 49.48 54.75 42.74 39.20 33.35 40.63 42.24 52.00 50.09 44.37
Komponen belanja langsung terdiri dari belanja non modal (dalam hal ini adalah belanja pegawai dan barang) dan belanja modal. Tabel 8 menunjukkan porsi belanja non modal lebih besar pada daerah pertanian rendah di bandingkan daerah pertanian tinggi, dan sebaliknya. Sedangkan proporsi belanja modal pada daerah pertanian tinggi lebih besar di bandingkan daerah pertanian rendah. Hal ini mendukung penjelasan sebelumnya bahwa daerah pertanian rendah tidak mengoptimalkan pengeluaran atau belanja daerahnya untuk sektorl riil. Kinerja Perekonomian Output Sektoral Daerah (PDRB Sektoral ) Kinerja perekonomian suatu daerah dapat di ukur dari nilai PDRB daerah tersebut. Berdasarkan Tabel 9 menunjukkan bahwa total PDRB pada daerah pertanian rendah sebesar Rp. 141 924.90 Miliyar jauh lebih besar di bandingkan dengan daerah pertanian tinggi Rp. 40 438.22 Miliyar. Selain itu share sektor non
55
pertanian mendominasi perekonomian daerah baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah, hanya saja nilainya masih lebih besar di daerah pertanian rendah di bandingkan dengan daerah pertanian tinggi. Sebaliknya pada sektor pertanian nilainya lebih besar di daerah pertanian tinggi di bandingkan daerah pertanian rendah. Tabel 9 Rata-rata per tahun total tenaga kerja dan proporsi sektor pertanian dan non pertanian 2009 – 2013 No. Provinsi
Kontribusi (%) SHPDRBA SHPDRBNA
Total PDRB (Rp. Miliar) A. PDRB pertanian tinggi 1 Aceh 34905.60 26.74 2 Sumatera Utara 125978.80 23.31 3 Sumatera Barat 41477.00 22.95 4 Jambi 19012.20 29.82 5 Lampung 41022.60 38.29 6 Kalimantan Barat 32248.20 24.72 7 Kalimantan Tengah 20190.60 29.97 8 Kalimantan Selatan 32577.60 23.25 9 Sulawesi Tengah 19412.20 38.96 10 Sulawesi Selatan 58373.20 27.67 11 Nusa Tenggara Barat 19622.40 24.43 Rata-rata 40438.22 28.19 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 74710.40 19.62 13 Jawa Barat 397306.60 11.63 14 Jawa Tengah 199168.40 18.02 15 D.I Yogyakarta 22222.80 16.52 16 Jawa Timur 368643.40 14.40 17 Bali 30903.60 19.18 18 Sulawesi Utara 19884.20 18.34 19 Papua 22559.80 17.29 Rata-rata 141924.90 16.87 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Keterangan: SHPDRBA = Share PDRB Pertanian SHPDRBNA = Share PDRB Non Pertanian
73.26 76.69 77.05 70.18 61.71 75.28 70.03 76.75 61.04 72.33 75.57 71.81 80.38 88.37 81.98 83.48 85.60 80.82 81.66 82.71 83.13
Tenaga Kerja dan Upah Sektoral Penyerapan tenaga kerja di artikan sebagai banyaknya orang yang bekerja pada berbagai sektor perekonomian. Kaitannya dengan tujuan kajian ini, banyaknya orang yang bekerja di kelompokkan kedalam 2 sektor perekonomian, yaitu tenaga kerja sektor pertanian (TKA) dan tenaga kerja sektor non pertanian (TKNA). Tabel 10 menunjukan bahwa rata-rata serapan tenaga kerja di provinsi pertanian rendah (8.21 juta jiwa ) jauh lebih besar di bandingkan daerah pertanian tinggi (2.39 juta jiwa). Rata-rata proporsi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian lebih besar di daerah PDRB pertanian tinggi di bandingkan di daerah PDRB pertanian rendah, dan sebaliknya rata-rata penyerapan proporsi tenaga
56
kerja sektor non pertanian lebih besar di daerah PDRB sektor pertanian rendah di bandingkan di daerah PDRB sektor pertanian tinggi. Sedangkan jika dilihat terhadap masing-masing provinsi menunjukkan bahwa porsi TKA lebih kecil di bandingkan porsi TKNA baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah kecuali provinsi Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, dan Papua. Provinsi-provinsi tersebut merupakan daerah pertanian tinggi yang diduga belum mengalami transformasi tenaga kerja. Padahal daerah-daerah tersebut sudah mengalami transformasi produksi dari sektor pertanian (sektor tradisional) ke non pertanian (sektor modern). Sehingga kondisi demikian yang menyebabkan ketidakseimbangan ekonomi yang akan menyebabkan ketimpangan dan kemiskinan. Tabel 10 Rata-rata per tahun total tenaga kerja dan proporsi tenaga kerja sektor pertanian dan non pertanian 2009 – 2013 di derah pertanian tinggi dan rendah No. Provinsi
Kontribusi (%) Total Tenaga Keja TKA TKNA (Rp. Juta) A. PDRB pertanian tinggi 1 Aceh 1.80 47.27 52.73 2 Sumatera Utara 5.89 44.90 55.10 3 Sumatera Barat 2.03 41.74 58.26 4 Jambi 1.39 54.35 45.65 5 Lampung 3.49 51.97 48.03 6 Kalimantan Barat 2.10 60.19 39.81 7 Kalimantan Tengah 1.05 55.51 44.49 8 Kalimantan Selatan 1.78 41.49 58.51 9 Sulawesi Tengah 1.14 55.31 44.69 10 Sulawesi Selatan 3.61 46.92 53.08 11 Nusa Tenggara Barat 2.00 45.19 54.81 Rata-rata 2.39 48.42 51.58 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 3.67 55.34 44.66 13 Jawa Barat 20.17 21.45 78.55 14 Jawa Tengah 15.93 33.71 66.29 15 D.I Yogyakarta 1.84 27.86 72.14 16 Jawa Timur 19.06 38.50 61.50 17 Bali 2.20 28.80 71.20 18 Sulawesi Utara 1.21 35.72 64.28 19 Papua 1.63 71.08 28.92 Rata-rata 8.21 33.18 66.82 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Keterangan: TKNA = Tenaga kerja non pertanian TKA = Tenaga kerja sektor pertanian
57
Tabel 11 Rata-rata proporsi upah sektor pertanian dan non pertanian di daerah pertanian tinggi dan rendah tahun 2009-2013 di daerah pertanian tinggi dan rendah No. Provinsi UPHA UPHNA A. PDRB pertanian tinggi 1 Aceh 6.80 11.56 2 Sumatera Utara 9.53 12.95 3 Sumatera Barat 7.97 13.50 4 Jambi 8.32 12.19 5 Lampung 5.97 9.25 6 Kalimantan Barat 9.87 12.50 7 Kalimantan Tengah 11.24 14.70 8 Kalimantan Selatan 8.47 13.59 9 Sulawesi Tengah 6.87 12.28 10 Sulawesi Selatan 7.24 13.32 11 Nusa Tenggara Barat 5.06 9.80 Rata-rata 7.94 12.33 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 8.58 12.47 13 Jawa Barat 4.73 12.71 14 Jawa Tengah 4.60 9.77 15 D.I Yogyakarta 5.42 11.77 16 Jawa Timur 5.68 10.23 17 Bali 7.91 14.37 18 Sulawesi Utara 8.55 14.07 19 Papua 14.49 22.41 Rata-rata 7.50 13.47 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Keterangan: GKK = Garis kemiskinan perkotaan GKD = Garis kemiskinan pedesaan Kemiskinan Daerah Tabel 11 menunjukkan bahwa rata-rata upah sektor pertanian jauh lebih kecil di bandingkan upah sektor non pertanian baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah. Sedangkan berdasarkan klasifikasi daerah menunjukkan bahwa proporsi rata-rata upah di daerah pertanian rendah lebih besar di bandingkan daerah pertanian tinggi. Namun jika dilihat pada rata-rata proporsi pertahun masing-masing provinsi menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di daerah pertanian rendah mempunyai rata-rata proporsi upah per tahun lebih kecil di bandingkan rata-rata proporsi per tahun provinsi di daerah pertanian tinggi kecuali provinsi Papua dan Sumatera Selatan. Rata-rata proporsi upah sektor pertanian terbesar terdapat pada provinsi Papua, sedangkan yang terendah terdapat pada provinsi Jawa Barat. Pengeluaran per kapita menjadi salah satu indikator dalam mengukur kemiskinan. Menurut Ravallion (1995) pengeluaran konsumsi per kapita lebih mencerminkan kesejahteraan dari pada pendapatan meskipun keduanya berasal
58
dari sumber data yang sama. Pada penelitian ini pengeluaran per kapita tidak menggunakan per sektor, namun menggunakan klasifikasi berdasarkan kawasan perdesaan dan perkotaan. Hal ini dikarenakan data pengeluaran per kapita sektoral tidak di olah dan dipublikasikan oleh BPS. Sehingga asumsi yang di bangun dalam penelitian ini bahwa pengeluaran penduduk sektor pertanian di wakili dengan pengeluaran penduduk pedesaan, sedangkan pengeluaran penduduk sektor non pertanian di wakili oleh pengeluaran penduduk perkotaan. Tabel 12 menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk perkotaan lebih besar di bandingkan pengeluaran penduduk pedesaan baik di daerah pertanian tinggi dan rendah. Hal ini sudah terlihat adanya ketimpangan sebagaimana yang di gambarkan data indeks gini pada kolom sampingnya. Data indeks gini menunjukkan baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah sama-sama menggambarkan adanya ketimpangan yang cukup tinggi, walaupun kondisi ketimpangannya masih lebih besar terjadi pada daerah pertaian rendah. Hal ini sesuai dengan hipotesis Kuznets yang menyatakan bahwa perekonomian tradisional yang didominasi sektor pertanian memiliki ketimpangan pendapatan yang lebih rendah di bandingkan perekonomian modern yang didominasi sektor non pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan penduduk provinsi pertanian rendah lebih tidak merata. Tabel 12 Rata-rata per tahun pengeluaran penduduk perkotaan, pengeluaran penduduk pedesaan dan indeks gini tahun 2009-2013 di daerah pertanian tinggi dan rendah No. Provinsi Kontribusi (%) PENGKOT PENGDES GINI A. PDRB pertanian tinggi 1 Aceh 5.86 4.91 0.32 2 Sumatera Utara 6.08 4.44 0.35 3 Sumatera Barat 7.11 4.79 0.34 4 Jambi 6.28 4.59 0.32 5 Lampung 5.87 3.56 0.36 6 Kalimantan Barat 7.03 4.84 0.37 7 Kalimantan Tengah 7.02 5.48 0.32 8 Kalimantan Selatan 7.82 5.67 0.37 9 Sulawesi Tengah 6.37 5.62 0.38 10 Sulawesi Selatan 6.74 4.29 0.41 11 Nusa Tenggara Barat 4.77 3.48 0.36 Rata-rata 6.45 4.70 0.35 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 6.26 4.25 0.29 13 Jawa Barat 6.53 3.96 0.39 14 Jawa Tengah 5.20 3.59 0.36 15 D.I Yogyakarta 6.73 4.08 0.41 16 Jawa Timur 5.64 3.47 0.35 17 Bali 8.49 5.26 0.38 18 Sulawesi Utara 6.80 5.39 0.38 19 Papua 9.12 5.31 0.42 Rata-rata 6.85 4.41 0.37 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
59
Keterangan: PENGKOT PENGDES
= Pengeluaran penduduk perkotaan = Pengeluaran penduduk pedesaan
Pada kajian ini, ukuran kemiskinan menggunakan kriteria BPS. Badan Pusat Statsitik (BPS) mendefinisikan kemiskinan dengan membuat kriteria besarannya pengeluaran per orang per hari sebagai bahan acuan. Berdasarkan data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa pendudduk miskin pedesaan jauh lebih besar di bandingkan di perkotaan baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah. Sedangkan secara absolut jumlah penduduk miskin terbesar berada di Provinsi Jawa Timur, akan tetapi secara proporsi provinsi papua mempunyai proposi penduduk miskin pedesaan terbesar yaitu 96.07 persen, dapat dikatakan bahwa hampir semua penduduk miskin di Provinsi Papua berada di pedesaan. Tabel 13 Rata-rata per tahun pengeluaran penduduk perkotaan, pengeluaran penduduk pedesaan dan indeks gini tahun 2009-2013 di daerah pertanian tinggi dan rendah No. Provinsi
Jumlah Penduduk Kontribusi (%) Miskin (Juta Jiwa) POVK POVD A. PDRB pertanian tinggi 1 Aceh 0.88 19.31 80.69 2 Sumatera Utara 1.44 46.98 53.02 3 Sumatera Barat 0.44 31.45 68.55 4 Jambi 0.26 41.46 58.54 5 Lampung 1.15 23.66 76.34 6 Kalimantan Barat 0.40 20.99 79.01 7 Kalimantan Tengah 0.15 22.91 77.09 8 Kalimantan Selatan 0.19 33.83 66.17 9 Sulawesi Tengah 0.44 13.42 86.58 10 Sulawesi Selatan 0.97 16.00 84.00 11 Nusa Tenggara Barat 0.93 51.37 48.63 Rata-rata 0.66 29.22 70.78 B. PDRB Pertanian rendah 12 Sumatera Selatan 0.99 38.38 61.62 13 Jawa Barat 5.58 53.57 46.43 14 Jawa Tengah 5.18 41.23 58.77 15 D.I Yogyakarta 0.57 54.43 45.57 16 Jawa Timur 5.31 33.76 66.24 17 Bali 0.17 53.43 46.57 18 Sulawesi Utara 0.33 26.45 73.55 19 Papua 1.04 3.93 96.07 Rata-rata 2.40 38.15 61.85 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Keterangan: PENGKOT = Pengeluaran penduduk perkotaan PENGDES = Pengeluaran penduduk pedesaan Sedangkan provinsi yang memiliki proporsi penduduk miskin pedesaan terendah adalah provinsi jawa barat yaitu 46.43 persen, dimana kedua provinsi tersebut yaitu provinsi Jawa Barat dan Papua merupakan daerah pertanian rendah.
60
Selain itu rata-rata proporsi penduduk miskin perkotaan lebih besar di daerah pertanian rendah di bandingkan pertanian tinggi, dan sebaliknya proporsi penduduk miskin pedesaan di daerah pertanian tinggi lebih besar di bandingkan di daerah pertanian rendah. Hal ini menunujukkan bahwa sebagai daerah dengan PDRB sektor pertanian rendah maka jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan tentunya lebih besar dibanding dengan di daerah PDRB sektor pertanian tinggi. Dengan demikian, distribusi penduduk miskin perkotaan pada daerah PDRB sektor pertanian rendah juga lebih besar dibanding di daerah PDRB sektor pertanian tinggi. Sebaliknya, rata-rata distribusi penduduk miskin pedesaan lebih besar di daerah PDRB sektor pertanian tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan dan perkembangan sektor non pertanian belum mampu menurunkan proporsi penduduk miskin di perkotaan secara signifikan. Demikian juga pembangunan dan perkembangan sektor pertanian belum mampu menurunkan proporsi penduduk miskin di pedesaan secara signifikan. Sehingga secara keseluruhan data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa daerah pertanian tinggi mempunyai jumlah penduduk miskin lebih besar di bandingkan daerah pertanian tinggi.
61
6 HASIL ESTIMASI MODEL Estimasi model ekonometrika merupakan bagian dari prosedur yang harus ditempuh untuk melakukan simulasi. Hasil estimasi model ekonometrika dapat di manfaatkan untuk tujuan prediksi atau mendapatkan koefisien parameter yang nantinya dapat digunakan pada tahap simulasi model jika dipandang telah memenuhi berbagai macam persyaratan teoritis dan praktis berkenaan dengan teori ekonomi dan ekonometrika. Aspek yang menjadi perhatian utama dalam penelitian model ekonometrika adalah kesesuaian tanda pada setiap koefisien variabel eksogen dengan sifat hubungan antar variabel yang dikehendaki teori ekonomi (Yannizar, 2012). Validitas sebuah model dapat dilihat dari koefisien determinasi (R2) dan uji baku signifikansi pengaruh variabel-variabel pengamatan baik secara parsial maupun uji secara bersama-sama menggunakan kriteria Thitung dan F-statistik serta kemampuan memenuhi asumsi-asumsi klasik. Tabel 14 Keragaan umum model transfer fiskal, perekonomian, ketimpangan dan kemiskinan daerah tahun 2009-2013 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12 13. 14.
DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA UPHA UPHNA PAD GINI POVD POVK
DAK Bidang Infrastruktur Jalan DAK Bidang Infrastruktur Irigasi DAK Bidang infrastruktur lain-lain Belanja Modal PDRB Sektor Pertanian PDRB Sektor Non Pertanian Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tenaga Kerja Sektor Non Pertanian Upah sektor Pertanian Upah Non Pertanian Pendapatan Asli Daerah Indeks Gini Jumlah kemiskinan di Pedesaan Jumlah Kemiskinan di Perkotaan
R2 0.70 0.68 0.65 0.92 0.94 0.96 0.98 0.99 0.13 0.87 0.91 0.23 0.97 0.44
F Value 33.2 38.09 32.76 126.85 178.32 425.05 741.29 1449.06 2.65 118.80 244.28 7.35 398.80 13.97
Pr > F <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.0402 <.0001 <.0001 0.0002 <.0001 <.0001
Hasil estimasi model menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2 ) dari tiap-tiap persamaan cukup besar. Sekitar sembilan persamaan struktural (65%) memiliki nilai koefisien determinasi lebih dari 0.70, dan hanya tiga persamaan struktural (21%) yang memiliki nilai koefisien determinasi kurang dari 0.50. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa variabel-variabel penjelas yang ada dalam persamaan mampu menjelaskan dengan baik variabel endogen (endogenous variable), artinya telah memenuhi syarat kecocokan model (goodness of fit). Nilai R2 yang kecil terdapat pada persamaan upah sektor pertanian dan dua persamaan pada blok ketimpangan dan kemiskinan kecuali persamaan jumlah penduduk miskin di pedesaan. Nilai R2 yang kecil pada yang terjadi pada indikator-indikator kemiskinan juga ditemukan pada studi-studi empiris terdahulu, antara lain Nanga (2006) di Indonesia; Fan, et al. (2006) di Mesir; Daniels (2011) di Uganda; dan Lisna (2014) di Indonesia.
62
Tabel 15 Hasil uji multikolinieritas Persamaan
Predeterminan
DAK jalan
Kapasitas Fiskal Total penduduk miskin Luas wilayah Dummy Lag DAK jalan
DAK Irigasi
Kapasitas Fiskal Total penduduk miskin Dummy
DAK infras.lainnya
PDRB pertanian
PDRB non pertanian
1.216
Tenaga Kerja Pertanian
2.248 1.3626
2.433 4.146
Upah Sektor Pertanian
5.760 1.4030
1.902
Kapasitas Fiskal
1.198
Total penduduk miskin
2.818
Lag DAK infras. lain-lain Pendapatan asli daearah DAK infrastruktur Dana alokasi khusus
Persamaan
1.983
Lag DAK irigasi
Dummy
Belanja Modal
VIF
1.3137
2.301
Upah Sektor Non Pertanian
Lag upah sektor non pertanian Pendapatan asli daerah
2.741 2.359 1.314
Dana bagi hasil
1.972
Dummy Lag belanja modal Tenaga kerja pertanian
1.3574
Belanja modal
1.076
DAK Pertanian Luas lahan sawah irigasi
1.259
5.157
Indeks Gini
Kemiskinan Pedesaan
9.587
8.279
Total jalan
1.429
Dummy Tenaga kerja non pertanian Belanja modal
1.3787
Total jalan
1.994
2.503 1.857
Kemiskinan Perkotaan
Predeterminan
VIF
Upah pertanian Lag PDRB pertanian
1.000
Dummy Lag tenaga kerja pertanian Lag PDRB pertanian
1.256
Total Jalan
1.453
Dummy Lag upah sektor pertanian Produktivitas non pertanian
1.187
Total jalan
1.117
Dummy
1.060
9.161
9.829 1.943
1.321 1.687
1.650 Total PDRB
6.045
Pengeluaran daerah
6.313
Dummy Share PDRB pertanian Share PDRB non pertanian
1.303
Dummy Upah sektor pertanian Lag pengeluaran penduduk pedesaan Pertumbuhan indeks gini
2.682
Dummy Lag kemiskinan pedesaan Upah noon pertanian Lag pengeluaran perkotaan Perubahan indeks gini
1.307
Dummy
1.072
3.128 1.301
1.006 1.219 1.014
1.543 1.033 1.032 1.035
63
Namun demikian, seluruh hasil uji F dalam penelitian ini menunjukkan signifikan secara statistik pada taraf α = 0.0001 kecuali upah sektor pertanian signifikan pada taraf α = 0.04. Selain itu nilai statistik F cukup besar berkisar antara 2.65 sampai 1449.06, berarti variasi variabel-variabel penjelas dalam setiap persamaan secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi variabel endogennya, pada taraf α = 0.0001 dan upah sektor pertanian pada taraf α = 0.04. Evaluasi kriteria ekonometrika di lihat dari kemampuan model dalam memenuhi uji asumsi klasik, dalam hal ini salah satu uji asumsi klasik yang di gunakan adalah uji multikolinieritas. Uji multikolinieritas merupakan uji untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang linier antar variabel bebas dalam persamaan. Kriteria yang digunakan yaitu nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang menggambarkan kenaikan varians dari dugaan parameter antar peubah penjelas. Jika niali VIF kurang dari angka 10 maka tidak terdapat indikasi multikoliniritas sehingga taksiran parameter baik. Tabel 15 di atas menunjukkan bahwa variabel pada masing-masing persamaan dalam model mempunyai nilai VIF kurang dari angka 10, artinya tidak ada indikasi penyimpangan asumsi klasik terkait dengan hubungan antar variabel bebas dalam satu persamaan. Blok Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal dalam hal ini di sajikan dalam persamaan penerimaan dan belanja daerah. Total penerimaan pemerintah disajikan dalam persamaan identitas, yang mana merupakan penjumlahan dari pendapatan asli daerah (PAD), dan Dana Perimbangan dari pemerintah pusat (DAPER), dan lain-lain pendapatan PAD yang sah (PADL). Sedangkan Pengeluaran (belanja) daerah juga disajkan dalam persamaan identitas yaitu penjumlahan dari belanja langsung (BL) dan tidak langsung (BTL). Penerimaan Daerah Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Hasil Estimasi menunjukkan bahwa kapasitas fiskal (KAPFIS) yang mencerminkan kemampuan keuangan daerah berpengaruh terhadap besarnya alokasi dana transfer dari pusat ke daerah. Daerah yang mempunyai kapasitas fiskal rendah maka mendapatkan alokasi DAK yang lebih besar, dan begitu sebaliknya. Hasil estimasi pada Tabel 16 sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini, yaitu kapasitas fiskal berpengaruh negatif terhadap besarnya DAK jalan. Kapasitas fiskal dalam hal ini merupakan penjumlahan dari PAD dan dana bagi hasil (DBH). Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Sumedi (2013). Hal yang sama juga terjadi pada persamaan DAK irigasi dan DAK infrastrukrur lainnya dimana kapasitas fiskal juga mempunyai pengaruh negatif pada kedua persamaan tersebut. Koefisien parameter kapasitas fiskal yang dihasilkan dalam penelitian ini sangat kecil, begitu juga dengan nilai elastisitas jangka pendek dan jangka panjangnya, pada persamaan DAK infrastruktur lainnya masing-masing sebesar 0.02 dan -0.06, sedangkan pada infrastruktur jalan dan irigais hasilnya tidak signifikan. Artinya besarnya DAK infrastruktur lainnya akan berkurang 2.0 persen jika kapasitas fiskal suatu daerah naik sebesar 100 persen. Hal ini menunjukkan rendahnya responsibilitas DAK infrastruktur lainnya terhadap
64
perubahan kapasitas fiskal. Begitu juga pada DAK infrastruktur jalan dan irigasi. Sehingga besar kecilnya kapasitas fiskal pada suatu daerah tidak terlalu berpengaruh dalam peningkatan besarnya DAK infrastruktur. Dengan demikina berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kapasitas fiskal tidak menjadi pertimbangan utama dalam menentukan besarnya DAK infrastruktur yang diberikan kepada daerah, baik itu infrastruktur jalan, irigasi dan infrastruktur lain-lain. Hal ini dikarenakan dalam penentuan DAK terdapat kriteria lainnya, yaitu kriteria khusus dan teknis yang tidak menjadi bagian dalam penelitian ini. Tabel 16 Hasil estimasi dan elastisitas variabel dana dak bidang infrastruktur jalan, irigasi dan lain-lain DAK Jalan Variable
Parameter Estimate Intercept 10093.38 DKAPFIS -0.00058 TPOV 0.006916 LW 377.7009 D 2509.63 LDJLN 0.588367 R-Square 0.70344 DAK Infrastruktur Irigasi (IRGS)
Elastisitas
Pr > |t| J.Pendek 0.4789 0.9216 0.1238 0.0002 0.8382 <.0001
0.077461 0.222651
J. Panjang
0.188181 0.540896
Parameter Variabel Estimate Intercept 7580.396 LKAPFIS -0.00039 LTPOV 0.006975 D 6557.807 LDIRGS 0.495227 R-Square 0.68213 DAK Infrastruktur lain-lain
Pr > |t|
Elastisitas J.Pendek J. Panjang
0.0916 0.6524 0.0018 0.0857 <.0001
0.234013
Parameter Estimasi 9384.437 -0.00201 0.002991 -1814.81 0.580293 0.64857
Pr > |t|
Elastisitas J. Pendek J. Panjang
Variabel Intercept DKAPFIS TPOV D LDINFLL R-Square
0.0094 0.1785 0.0306 0.5561 <.0001
-0.02822 0.13065
0.4636
-0.06725 0.311306
Faktor lainnya adalah jumlah penduduk miskin (TPOV) yang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi DAK bidang infrastruktur jalan, irigasi, dan infrastruktur lainnya sebagaimana hipotesis yang di harapkan, hal ini dikarenakan salah satu peruntukan DAK adalah percepatan pengentasan
65
kemiskinan. Daerah dengan jumlah penduduk miskin besar maka mendapatkan DAK infrastruktur yang besar pula. Koefisien parameter variabel jumlah penduduk miskin dari ketiga persamaan tersebut sangat kecil, dimana koefisien parameter DAK jalan dan irigasi mempunyai nilai yang besarnya hampir sama, sedangkan DAK lainnya nilainya paling kecil yaitu 0.0029. Artinya jika jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak 1000 jiwa maka besarnya DAK lain-lain meningkat sebesar 2.9 juta. Koefisien elastisitas yang juga kecil menunjukkan rendahnya responsibilitas DAK infrastruktur terhadap perubahan jumlah penduduk miskin di suatu daerah, terutama pada besarnya DAK infrastruktur jalan, koefisien elastisitasnya hanya sebesar 0.077. Artinya jika jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 10 persen, maka besarnya DAK infrastruktur jalan naik sebesar 0.7 persen. Selain itu, pada persamaan DAK jalan terdapat juga variabel luas wilayah yang berpengaruh positif dan signifikan. Artinya semakin besar luas wilayah di suatu daerah menyebabkan kebutuhan terhadap infrastruktur jalan semakin besar, sehingga mendapatkan DAK jalan yang juga besar. Variabel dummy menunjukkan tanda yang positif pada DAK jalan dan irigasi, hal ini menunjukkan ada perbedaan besarnya DAK jalan dan irigasi antara provinsi pertanian tinggi dengan provinsi pertanian rendah. Sedangkan pada DAK infrastruktur lainnya tidak ada perbedaan yang nyata antar keduanya. Sedangkan variabel lag endogen pada ketiga persamaan DAK bidang infrastruktur, semuanya berpengaruh positif dan signifikan. Artinya besarnya DAK infrastruktur tahun berjalan di pengaruhi oleh informasi dan data DAK infrastruktur pada tahun sebelumnya. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD) diperoleh dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Untuk itu, dalam konteks desentralirasi pemerintah daerah di tuntut untuk bisa mengembangkan dan meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki untuk membiayai kegiatan daerah. Besarnya PAD akan menggambarkan kemandirian suatu daerah. Tabel 17. Hasil estimasi dan elastisitas variabel pendapatan asli daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah Variable Parameter Estimate Intercept 39618.84 TPDRB 0.021447 PLD 0.0709 D -77988.4 R-Square 0.91054
Pr > |t| 0.9054 <.0001 0.0041 0.785
Elastisitas J.Pendek 0.649123 0.389705
Hasil estimais pada Tabel 17 menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah memberikan respon positif dan signifikan pada taraf α = 1.0 persen terhadap variabel total PDRB dengan koefisien elastisitasnya sebesar 0.64. Artinya jika peningkatan total PDRB sebesar 10 persen maka mampu meningkatkan PAD
66
sebesar 6.4 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa total PDRB masih perlu di tingkatkan untuk menambah pendapatan asli daerah. Selain itu, PAD juga dipengaruhi oleh variabel pengeluaran daerah (PLD), dimana penerimaan merupakan fungsi dari pengeluaran. PLD berpengaruh positif sebagaimana hipotesis yang di harapkan dan signifikan pada taraf α = 1.0 persen. Jika pengeluaran daerah naik maka besarnya PAD juga meningkat. Niali elastisitas sebesar 0.38 menunjukkan bahwa perubahan PAD kurang responsif terhadap perubahan variabel pengeluaran daerah. Dimana jika PLD naik 10 persen maka PAD merespon hanya sebesar 3.8 persen. Sedangkan variabel dummy bernilai negatif dan tidak signifikan, hal ini berarti tidak ada perbedaan yang nyata besarnya PAD anatara daerah pertanian tinggi dengan daerah pertanian rendah. Belanja Modal Besarnya pengeluaran terutama pengeluaran modal tergantung pada penerimaan. Oleh karena itu belanja modal daerah dalam penelitian ini di duga dipengaruhi oleh unsur-unsur penerimaan daerah yaitu pendapatan asli daerah (PAD), DAK infrastruktur, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Tabel 18. Hasil estimasi dan elastisitas variabel belanja modal Belanja Modal Variable Intercep PAD INFR DDAU DBH D LMDL R-Square
Parameter Estimate -37038.6 0.120538 2.387266 0.071231 0.149938 -25893.3 0.726168 0.91688
Pr > |t| 0.8641 0.001 0.0309 0.3644 0.058 0.8804 <.0001
Elastisitas J.Pendek J. Panjang 0.110937 0.155795
0.405129 0.568943
0.072386
0.264343
Peran stimulus fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi akan lebih efektif jika tersedianya alokasi belanja modal yang cukup. Hasil estimasi menunjukkan bahwa seluruh variabel penjelas yang digunakan berpengaruh positif terhadap belanja modal sebagaimana hipotesis yang di harapkan, sedangkan dari signifikansi variabel hanya DAU yang pengaruhnya tidak signifikan terhadap belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya DAU yang merupakan komponen terbesar dari dana transfer ke daerah tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap belanja modal. Kondisi ini dapat dijelaskan dari temuan Lisna (2014) bahwa pemerintah daerah mempergunakan setengah dari DAU untuk membiayai gaji pegawai negeri sipil (PNS). Temuan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian World Bank (2007) yang juga menyatkan bahwa lebih dari setengah kenaikan DAU yang seharusnya untuk meningkatkan pelayanan masyarakast justru digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah daerah. Hal ini mengindikasikan bahwa DAU lebih diutamakan untuk kebutuhan
67
administrasi pemerintah daerah atau belanja rutin daripada kebutuhan pembiayaan pembnagunan daerah. Sementara DAK infrastruktur mempunyai pengaruh paling besar terhadap belanja modal, dan nilai elastisitas jangka panjangnya cukup besar yaitu 0.57. Hal ini dapat diartikan dalam jangka panjang apabila DAK infrastruktur dinaikkan 10 persen maka akan menambah belanja modal sebesar 5.7 persen. Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan Situngkir (2009) yang menyatakn bahwa DAK berpengaruh positif dan signifikan terhadap anggaran belanja modal. Sementara lembaga penelitian SMERU (Syaikhu dkk, 2008) juga menyatakan bahwa DAK merupakan salah satu sumber pendanaan untuk belanja modal. Hal ini menunjukkan bahwa DAK infrastruktur memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi anggaran pengeluaran daerah melalui belanja modal. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap belanja modal adalah pendapatan asli daerah, PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Hal ini dikarenakan PAD merupakan sumber pembiayaan bagi pemerintah daerah dalam menciptakan barang modal, termasuk infrastruktur daerah. Semakin baik PAD suatu daerah maka semakin besar pula alokasi belanja modalnya (Ardhani 2011). Temuan ini dapat mengindikasikan bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor penentu dalam menentukan belanja modal sesuai dengan PP No 58 tahun 2005 yang menyatakan bahwa APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan. Setiap penyusunan APBD, alokasi belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan PAD yang diterima. Sehingga apabila Pemda ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka Pemda harus menggali PAD yang sebesar-besarnya (Wandira, 2013). Dana bagi hasil (DBH) yang merupakan unsur dana perimbangan berpengaruh positif dan juga signifikan terhadap belanja modal. Dana bagi hasil bersama PAD dapat menggambarkan besarnya kapasitas fiskal daerah. Sehingga jika DBH suatu daerah besar maka berdasarkan temuan ini sudah bisa dipastikan belanja modal akan meningkat, namun respon peningkatannya kecil karena DBH mempunyai nilai koefisien parameter dan koefesien elastisitas yang kecil. Jika DBH ditingkatkan 10 persen maka belanja modal hanya meingkat 0.7 persen. Belanja modal pada tahun sebelumnya juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap belanja modal tahun berjalan. Artinya, pemerintah menggunakan datadata atau pengalaman tahun sebelumnya dalam menggunakan belanja modalnya. Sedangkan dummy variabel bertanda negatif dan tidak signifikan artinya tidak ada perbedaan yang nyata kaitannya dengan belanja modal antara daerah pertanian tinggi dengan daerah pertanian rendah. Blok Kinerja Perekonomian (Output, Tenaga Kerja dan Upah Sektoral) Analisis dampak alokasi DAK infrastruktur terhadap perekonomian di dekati salah satunya dengan kinerja output atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dalam hal ini dikalsifikaikan ke dalam sektor pertanian dan non pertanian. Klasifikasi ini digunakan untuk menggambarkan keterkaitan alokasi DAK infrastruktur dengan kinerja perekonomian sektoral. Dalam hal ini output sektor pertanian merupakan agregasi dari nilai produksi sub sektor-sub sektor di
68
bawahnya. Sedangkan output sektor non pertanian adalah penjumlahan dari PDRB sektor-sektor perekonomian selain sektor pertanian. Hasil estimasi parameter variabel yang berpengaruh terhadap PDRB sektor pertanian dan non pertanian dapat dilihat pada Tabel 18, komponen PDRB sektor pertanian terdiri dari variabel tenaga kerja sektor pertanian (TKA), DAK bidang pertanian (DAKPER), belanja modal (MDL), luas lahan sawah irigasi (LLSI), dan total jalan (TJLN). Secara keseluruhan hasil estimasi parameter memberikan pengaruh positif dan signifikan, hanya variabel total jalan yang tidak memberikan pengaruh secara signifikan. Persamaan PDRB sektor non pertanian di dekati dengan variabel tenaga kerja non pertanian (TKNA), belanja modal (MDL) dan total panjang jalan (TJLN), semuanya berpengaruh positif dan signifikan sesuai hipotesis dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut di antaranya dipilih berdasarkan dari teori Solow yang menyatakan bahwa proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang merupakan hasil interaksi faktor-faktor produksi yaitu modal, tenaga kerja, dan teknologi (Dornbusch, et al., 2008). Tabel 19. Hasil estimasi dan elastisitas variabel PDRB sektor pertanian dan non pertanian PDRB sektor pertanian Variable Parameter Estimate Intercept -3139857 TKA 5.063561 DAKPER 2584221 DMDL 2.136819 LLSI 19.72399 TJLN 36.42456 D 2075896 R-Square 0.93942 PDRB sektor non Pertanian Variabel Intercept TKNA LMDL LTJLN D R-Square
Parameter Estimate -2.32E+07 19.18972 6.627932 850.3962 1850907 0.95991
Pr > |t|
Elastisitas J.Pendek
0.0803 <.0001 0.0748 0.0022 0.0002 0.2434 0.0478b
0.611665 0.163716 0.031537 0.299051
Pr > |t|
Elastisitas J. Pendek
0.0006 <.0001 0.0003 0.0072 0.7515
0.851943 0.273195 0.213212
Hasil estimasi menunjukkan koefisien parameter tenaga kerja sektor pertanian (TKA) bertanda positif dan signifikan pada taraf 1.0 persen, dan variabel tenaga kerja sektor pertanian mempunyai elastisitas terbesar dari variabel-variabel lainnnya di dalam persamaan, yaitu 0.6 persen. Artinya jika TK pertanian naik sebesar 10 persen berpotensi meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar 6.0 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa tambahan penggunaan tenaga kerja di sektor pertanian masih dapat meningkatkan PDRB sektor pertanian. Hasil
69
ini sejalan dengan dengan hasil penelitian Lisna (2014) dan Budiyanto (2014). Dengan demikian tambahan tenaga kerja di sektor pertanian hendaknya dialokasikan pada daerah-daerah yang mempunyai lahan pertanian yang masih luas. Hal ini diharapkan dengan tambahan tenaga kerja pada daerah yang lahan pertaniannya luas tersebut akan menjadikan pengusahaan pertanian menjadi lebih intensif sehingga produksi dan produktivitasnya meningkat. Selanjutnya pengaruh dana alokasi khusus bidang pertanian (DAKPER) terhadap PDRB sektor pertanian berpengaruh positif dan signifikan pada taraf 10 persen. Berdasarkan nilai koefisien parameter menunjukkan bahwa DAK bidang pertanian memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap PDRB sektor pertanian. Namun, koefisien elastisitas yang kecil menunjukkan rendahnya responsibilitas PDRB sektor pertanian terhadap besarnya perubahan DAK bidang pertanian. Artinya, DAK bidang pertanian yang lebih besar tidak terlalu berdampak meningkatkan PDRB sektor pertanian, begitu juga DAK bidang pertanian yang rendah tidak terlalu berdampak menurunkan penerimaan PDRB sektor pertanian. Sedangkan luas lahan sawah irigasi (LLSI) berpengaruh positif dan signifikan pada taraf α = 1.0 persen dengan koefisien elastisitas sebesar 0.29 persen, sedikit lebih responsif di bandingkan nilai elastisitasnya DAK bidang pertanian. Luas lahan irigasi menjadi proksi dari input produksi sebagaimana di dalam teori produksi, semakin meningkat input produksi maka jumlah output akan meningkat. Sedangkan pada persamaan PDRB sektor non pertanian koefisien parameter tenaga kerja non pertanian (TKNA) mempunyai hubungan positif dan signifikan pada taraf 1.0 persen, dan koefisien elastisitasnya juga mempunyai nilai terbesar di bandingkan dengan variabel lainnya yaitu sebesar 0.85 persen. Artinya jika tenaga kerja ditingkatkan sebesar 1.0 orang maka PDRB sektor non pertanian naik sebesar 19.19 juta rupiah, peningkatannya hampir 5 kali lipat lebih besar di bandingkan peningkatan PDRB sektor pertanian. Jika dilihat tingkat elastisitasnya maka peningkatan 10 persen TK non pertanian berpotensi meningkatkan PDRB sektor non pertanian sebesar 8.5 persen. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sumedi (2014), dimana PDRB sektor non pertanian dalam penelitian tersebut dilihat dari pejumlahan nilai PDRB sektor industri dan sektor jasa, kedua sektor tersebut mempunyai nilai elastisitas tenaga kerja terbesar di bandingkan dengan variabel lainnya, masing-masing yaitu 0.87 persen dan 0.925 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor non pertanian masih butuh penambahan tenaga kerja untuk meningkatakn PDRB nya. Dari hasil estimasi kedua persamaan ini menunjukkan bahwa baik sektor pertanian maupun non pertanian sama-sama bersifat padat karya (labour intensive). Adapun variabel belanja modal dapat digunakan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur atau prasarana dan sarana publik, sehingga dapat mendorong pertumbuhan produksi barang dan jasa dengan lebih cepat dan efisien. Oleh karenanya belanja modal di harapkan berdampak pada peningkatan kinerja sektor riil, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi meningkat dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja serta pengurangan kemiskinan. Dalam penelitian ini pengaruh variabel belanja modal terhadap PDRB sektor pertanian mempunyai pengaruh positif dan signifikan pada taraf 1.0 persen, namun mempunyai koefisien parameter estimasi dan elastisitas yang kecil. Padahal besarnya belanja modal sangat menentukan besarnya output ekonomi termasuk PDRB sektor
70
pertanian. Respon PDRB sektor pertanian terhadap peningkatan belanja modal sebesar 10 persen hanya meningkat sebesar 0.3 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya belanja modal belum cukup mampu mendorong PDRB sektor pertanian. Berbeda halnya dengan PDRB sektor non pertanian, dimana koefisien parameter dan tingkat elastisitasnya lebih besar daripada sektor pertanian, serta mempunyai pengaruh positif dan signifikan pada taraf 1.0 persen. Berdasarkan hasil estimasi, jika belanja modal dinaikkan 10 persen maka PDRB sektor non pertanian memberikan respon peningkatan sebesar 2.7 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa belanja modal daerah lebih condong pada pembiayaan tehadap sektor non pertanian. Selanjutnya variabel total panjang jalan mempunyai pengaruh yang positif terhadap PDRB sektor pertanian maupun PDRB sektor non pertanian, namun terhadap PDRB sektor pertanian tidak signifikan. Hal ini diduga bahwa keberadaan panjang jalan belum dimanfaatkan secara maksimal oleh kegiatan di sektor pertanian. Dalam penelitian ini total panjang jalan merupakan penjumlahan dari panjang jalan nasional, panjang jalan provinsi dan panjang jalan kabupaten. Variabel dummy menunjukkan bahwa PDRB sektor pertanian berbeda signifikan antara daerah pertanian tinggi dengan daerah pertanian rendah, sementara PDRB sektor non pertaniannya bebeda tidak signifikan antara daerah pertanian tinggi dan daerah pertanian rendah. Tenaga Kerja Sektoral Kinerja perekonomian sektoral daerah dapat juga ditinjau dari jumlah tenaga kerja sektoral. Pada analisis dampak DAK infrastruktur terhadap perekonomian, yaitu pada penyerapan tenaga kerja juga dilakukan pemilihan berdasarkan dua sektor utama, yaitu pertanian dan non pertanian. Secara statistik dan teori, penyerapan tenaga kerja dipengaruhi oleh upah dan PDRB. Sebagaimana hukum permintaan, jika harga naik maka barang yang diminta akan turun. Begitu juga tenaga kerja, jika upah naik maka penyerapan tenaga kerja akan turun, upah berpengaruh negatif terhadap sektor pertanian sesuai dengan hipotesis dalam penelitian ini. Elastisitas jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar - 0.127 persen dan - 0.896 persen serta secara statistik signifikan pada taraf α = 10 persen. Artinya jika rata-rata upah naik 10 persen maka respon penurunan tenaga kerja sektor pertanian sebesar 1.27 persen, dalam jangka panjang penurunannya lebih responsif yaitu sebesar 8.9 persen. Sedangkan pada penyerapan tenaga kerja non pertanian upah yang digunakan merupakan rasio upah terhadap upah tahun sebelumnnya, hasil estimasinya menunjukkan koefisien parameter negatif dan signifikan pada taraf α = 10 persen, niali elastisitas jangka pendek dan jangka panjang masing-masing sebesar -0.38774 persen dan -2.677 persen, dimana elastisitas jangka panjang menunjukkan sangat elastis. Hal ini mengindikasikan adanya kenaikan rata-rata upah akan mendorong pengusaha sektoral untuk mengurangi input tenaga kerja. Selanjutnya faktor lain yang juga berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja adalah PDRB masing-masing sektoral, dimana PDRB sektor pertanian pada tahun sebelumnya berpengaruh positif sebagaimana hipotesis yang di harapkan dan signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja sektor pertanian pada taraf α = 10 persen, koefisien parameter dan elastisitas yang kecil menunjukkan bahwa pengaruh PDRB sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja kecil. Namun
71
dalam jangka panjang kenaikan PDRB sektor pertanian sebesar 10 persen akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sebesar 63 persen. Sedangkan pengaruh PDRB sektor non pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor non pertanian positif juga signifikan pada taraf α = 1.0 persen. Koefisien parameter estimasinya lebih kecil dari pada penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, akan tetatap dalam jangka panjang penyerapan tenaga kerja non pertanian lebih responsif terhadap besarnya PDRB nya, yaitu nilai koefisien elastisitas jangka panjang sebesar 0.96 persen, artinya jika PDRB sektor non pertanian meningkat 10 persen dalam jangka panjang akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian sebesar 9.6 persen. Dummy variabel menunjukkan tidak ada perbedaan penyerapan tenaga kerja di daerah pertanian rendah dan di daerah pertanian tinggi. Di daerah pertanian rendah yang sektor industri dan jasanya relatif lebih maju belum cukup mampu memberikan efek penyerapan tenaga kerja yang besar. Hal ini diduga bahwa sektor industri dan jasa di daerah tersebut hanya membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai keterampilan tertentu. Tabel 20. Hasil estimasi dan elastisitas variabel penyerapan tenaga kerja sektoral Tenaga Kerja Pertanian Variable Parameter Estimate Intercept 281444.6 UPHA -228124 LPDRBA 0.01101 D -23714.2 LTKA 0.858153 R-Square 0.97662 Tenaga Kerja Non Pertanian Variabel Intercept RUPHNA PDRBNA D LTKNA R-Square
Parameter Estimate 1263240 -1150185 0.00622 -87346.6 0.855178 0.9879
Pr > |t|
Elastisitas J.Pendek
0.0703 0.0946 0.1082 0.7484 <.0001
Pr > |t| 0.0686 0.0855 0.0081 0.512 <.0001
-0.12714 0.090205
J. Panjang - 0.8963 0.635931
Elastisitas J.Pendek J. Panjang -0.38774 0.140103
- 2.67737 0.967417
Upah Sektoral Informasi tingkat upah sangat penting untuk mengevaluasi tingkat hidup dan kondisi kehidupan tenaga kerja beserta anggota rumahtangganya (Lisna, 2014). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan rata-rata upah sebagai proksi pendapatan untuk menggambarkan daya beli penduduk. Hal ini didasari hipotesis bahwa tingkat upah akan mempengaruhi kemiskinan. Hasil estimasi pada tabel 20 menunjukkan bahwa PDRB sektor pertanian berpengaruh positif dan signifikan pada taraf α = 10 persen terhadap rata-rata upah sektor pertanian. Nilai koefisien parameter dan elastisitas kecil baik dalam jangka pendek maupun jangka
72
panjangnya, hal ini menunjukkan rendahnya responsibilitas upah pertanian terhadap perubahan PDRB sektor pertania. Artinya, PDRB sektor pertanian yang lebih besar tidak terlalu berdampak meningkatkan upah sektor pertanian, begitu juga sebaliknya. Hal ini diduga perubahan upah masih butuh penyesuaian, bersifat kaku, artinya tidak mudah mengalami kenaikan atau penurunan. Hasil temuan ini juga sejalan dengan temuan Lisna (2014), pengaruh PDRB terhadap upah juga mempunyai koefisien dan parameter yang kecil. Tabel 21. Hasil estimasi dan elastisitas variabel upah sektoral Upah Pertanian Variable Intercept LPDRBA TJLN D LUPHA R-Square Upah Non Pertanian Variabel Intercept PRDKNA TJLN D LUPHNA R-Square
Parameter Estimate 0.607184 5.72E-09 -3.36E-06 0.039755 0.047176 0.12990 Parameter Estimate 1.63225 0.055865 -6.91E-06 -0.32415 0.804576 0.87001
Pr > |t|
Elastisitas J.Pendek
<.0001 0.071 0.156 0.5812 0.0019
Pr > |t| 0.0099 0.0081 0.3636 0.1979 <.0001
0.084147 -0.06181
J. Panjang 0.088314 -0.06487
Elastisitas J.Pendek J. Panjang 0.104844
0.536494
Sedangkan hasil estimasi pada persamaan upah non pertanian, variabel produktivitas mempunyai hubungan positif dan signifikan pada taraf α = 0.01 serta mempunyai nilai elastisitas jangka panjang yang cukup elastisis yaitu sebesar 0.53 persen. Artinya jika produktivitas tenaga kerja meningkat sebesar 10 persen maka upah akan meningkat sebesar 5.3 persen. artinya responsibilitas upah sektor non pertanian terhadap produktivitas tenaga kerjanya hanya hanya terjadi pada jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan upah sektor non pertanian dalam jangka panjang lebih mengutamakan produktivitas tenaga kerjanya dalam meningkatkan upah. Temuan ini sejalan dengan Malik dan Ahmed (2000) yang dilakukan di Pakistan, menyatakan ada hubungan positif output dan upah riil baik total maupun sektoral. Selain itu, variabel total panjang jalan juga mempunyai hubungan negatif akan tetapi tidak seignifikan. Artinya bahwa semakin panjang jalan maka akan mengurangi upah baik di sektor pertanian dan non pertanian. Hal ini berarti bahwa daerah-daerah yang memiliki total jalan yang lebih panjang belum secara maksimal memanfaatkan potensi sumber daya panjang jalan untuk menghasilkan dan meningkatkan upah sektoral. Temuan ini bertentangan dengan hasil penelitian Shenggen Fan (2002) yang menyatakan bahwa besarnya investasi pemerintah
73
terhadap jalan meningkatkan upah di pedesaan. Namun karena nilai koefisien parameter dan elastisitasnya kecil maka panjang jalan tidak terlalu memberikan pengaruh besar terhadap penurunan upah, hal ini diduga karena panjang jalan lebih dekat pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja. Oleh karena demikian maka hal ini diduga bahwa akibat panjang jalan maka semua orang mempunyai akses yang lebih besar untuk terjun ke dunia kerja, akibatnya penawaran tenaga kerja semakin meningkat dan pada akhirnya akan berdampak terhadap penurunan upah. Sedangkan variabel upah tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap besarnya upah pertanian maupun non pertanian. Hal ini menunjukkan baik perusahaan pertanian ataupun non pertanian dalam meningkatkan upah akan melihat pada kebiasaan atau informasi upah pada tahun sebelumnya. Dummy variabel upah sektor pertanian menunjukkan ada perbedaan namun tidak signifikan antara upah sektor pertanian di daerah pertanian tinggi dengan daerah pertanian rendah. Sedangkan pada persamaan upah sektor non pertanian menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara upah di daerah pertanian tinggi dan dan upah di daerah pertanian rendah. Daerah pertanian rendah merupakan daerah yang lebih dominan sektor non pertaniannya (industri, jasa dan lainnya), sehingga upah sektor non pertanian memungkinkan akan lebih besar di daerah pertanian rendah. Blok Indeks Gini dan Kemiskinan Indeks gini Indeks Gini merupakan ukuran ketimpangan pendapatan penduduk diduga dipengaruhi oeh kontribusi PDRB sektoral pada total PDRB berdasarkan asumsi hipotesis Kuznets (1955) yaitu sektor tradisional di pedesaan memiliki ketimpangan pendapatan rendah, sedangkan sektor modern di perkotaan memiliki ketimpangan pendapatan tinggi. Dengan demikian, jika share PDRB sektor pertanian sebagai sektor yang mendominasi struktur ekonomi di pedesaan lebih besar diduga menurunkan indeks gini yang berarti ketimpangan pendapatan lebih rendah. Namun, jika share PDRB sektor non pertanian sebagai sektor yang mendominasi struktur ekonomi di perkotaan lebih besar diduga meningkatkan Indeks Gini yang berarti ketimpangan pendapatan semakin besar. Tabel 22. Hasil estimasi dan elastisitas variabel indeks gini Indeks Gini Variable Intercept LSPDRBA GSPDRBNA D R-Square
Parameter Estimate 0.397198 -0.0004 0.005921 -0.02883 0.23452
Pr > |t| <.0001 0.6447 0.165 0.0157
Elastisitas J.Pendek
0.00388
Studi-studi terdahulu, antara lain Kakwani (1993), Bourguignon (2004), dan Warr (2006), menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan dapat mengurangi
74
peran pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan yang diukur dari indeks gini. Hasil estimasi pada Tabel 22 menunjukkan indeks gini dipengaruhi oleh share PDRB sektor pertanian dan share PDRB sektor non pertanian, dimana share PDRB sektor pertanian yang lebih besar akan menurunkan indeks gini. Sebaliknya, share PDRB sektor non pertanian yang lebih besar berpotensi meningkatkan indeks gini. Hasil estimasi walaupun share PDRB sektor pertanian tidak signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan, namun tanda negatif menunjukkan bahwa meningkatnya PDRB sektor pertanian akan menurunkan ketimpangan. Saat ini indeks gini sudah mencapai angka yang cukup tinggi yaitu 0.41. Menurut Todaro dan Smith (2006) range pada angka tersebut sudah mencerminkan distribusi pendapatan masyarakat yang relatif tidak merata. Sedangkan share PDRB sektor non pertanian berpotensi meningkatkan ketimpangan karena nilai koefisien parametrer nya bertanda positif, namun respon meningkatnya indeks gini akibat peningkatan share PDRB sektor non pertanian dilihat dari nilai koefisien elastisitasnya memberikan pengaruh yang kecil. Dengan demikian ketimpangan pendapatan dapat berkurang jika pemerintah daerah memprioritaskan pembangunan di sektor pertanian. Sedangkan variabel dummy bertanda negatif yang berarti bahwa indeks gini di daerah pertanian tinggi dan di daerah pertanian rendah tidak ada perbedaan yang nyata. Artinya baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah sama-sama mempunyia tingkat ketimpangan yang hampir sama. Kemiskinan Pedesaan dan Perkotaan Hasil estimasi dari persamaan jumlah penduduk miskin di pedesaan bertanda negatif menunjukkan bahwa rata-rata upah sektor pertanian dan pengeluaran penduduk per kapita pedesaan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin pedesaan. Namun variabel pengeluran penduduk tidak signifikan. Nilai koefisien elastisitas jangka pendek variabel upah sebesar -0.20389, artinya jika variabel tersebut ditingkatkan sebesar 10 persen maka jumlah penduduk miskin di pedesaan akibat peningkatan upah sektor pertanian menurun sebesar 2.0 persen. Sedangkan dalam jangka panjang variabel upah sangat elastis, bahkan dapat menurunkan jumlah penduduk miskin di pedesaan hingga mencapai 29 persen jika upah dinaikkan sebesar 10 persen. Hal yang sama juga terjadi pada persamaan jumlah penduduk msikin di perkotaan, dimana upah sektor non pertanian dan pengeluaran penduduk perkotaan mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan. Temuan ini sejalan dengan penelitian Nanga (2006) dan Lisna (2014). Artinya jika kedua variabel tesebut meningkat maka akan menyebabkan jumlah penduduk miskin diperkotaan menurun, dan dalam jangka panjang nilai elastisitas kedua variabel tersebut sangat elastis, karena nilai koefisien elastisitasnya lebih dari 1.0 persen, yaitu masing-masing sebesar -2.15 persen dan -1.59 persen. Hal ini menjelaskan bahwa apabila upah non pertanian ataupun pengeluaran penduduk perkotaan di naikkan 10 persen maka akan mengurangi jumlah penduduk miskin diperkotaan sebesar 21.5 persen (akibat peningkatan upah non pertanian) dan 15.9 persen (yang di akibatkan peningkatan pengeluaran penduduk perkotaan). Selanjutnya pengaruh variabel indeks gini yang menjelaskan kondisi ketimpangan suatu daerah terhadap kemiskinan, berdasarkan hasil estimasi
75
menunjukkan hubungan yang positif dengan jumlah penduduk miskin pedesaan maupun perkotaan. Jika indeks gini besar maka akan menyebabakan jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan semakin meningkat. Sebab indeks gini yang besar mengurangi keefektifan pertumbuhan ekonomi dalam mengentaskan kemsikinan. Akan tetapi dilihat dari signifikansinya indeks gini berpengaruh tidak signifikan terhadap jumlah penduduk miskin baik di perkotaan maupun pedesaan. Tabel 23. Hasil estimasi dan elastisitas variabel jumlah penduduk miskin di pedesaan dan perkotaan Jumlah Penduduk Miskin di Pedesaan Variable Parameter Estimate Intercept 204134.9 UPHA -170825 LPENGDES -7169.8 GGINI 547.2295 D 10183.23 LPOVD 0.931896 R-Square 0.96608 Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan Variable Intercept UPHNA LPENGKOT DGINI D R-Square
Parameter Estimate 2959071 -86572.1 -129319 83653.55 -883640 0.44036
Pr > |t|
Elastisitas J.Pendek
0.1924 0.0576 0.7885 0.7425 0.8364 <.0001
Pr > |t|
-0.20389
J. Panjang -2.99379
Elastisitas J.Pendek
<.0001 0.012 0.078 0.231 <.0001
-2.15034 -1.59669
Sedangkan penduduk miskin pedesaan pada tahun sebelumnya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap besarnya jumlah penduduk miskin tahun berjalan. Variabel dummy pada persamaan jumlah penduduk miskin dipedesaan berhubungan positif, artinya ada perbedaan jumlah penduduk miskin pedesaan di daerah pertanian tinggi dan rendah, dimana dari hasil temuan ini dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk miskin pedesaan lebih besar di daerah pertanian tinggi. Sedangkan jumlah penduduk miskin perkotaan menunjukkan bahwa baik di daearh pertanian tinggi maupun di daerah pertanian rendah tidak ada perbedaan yang nyata, artinya jumlah penduduk miskin perkotaan sama besarnya antara kedua klasifikasi daerah tersebut.
76
7 DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP BELANJA MODAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI Simulasi kebijakan bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai alternatif kebijakan dengan cara mengubah nilai variabel kebijakan. Dalam penelitian ini simulasi yang dilakukan adalah simulasi historis, yaitu simulasi yang bertujuan untuk meninjau kembali kebijakan masa lalu atau menjawab pertanyaan “what if” dan “goal seeking” (Sitepu dan Sinaga 2006). Skenario simulasi dilakukan pada variabel DAK bidang jalan, irigasi dan pertanian, serta terhadap variabel belanja modal. Suatu skenario dianggap paling baik jika memberi dampak paling besar dan tidak menimbulkan trade-off antar variabel. Ulasan variabel-variabel endogen yang menggambarkan adanya dampak pada kinerja fiskal dilihat dari komponen penerimaan daerah (dilihat dari pendapatan asli daerah dan transfer DAK) dan pengeluaran daerah (belanja modal), dampak pada kinerja perekonomian dapat dilihat dari variabel PDRB sektoral, jumlah tenaga kerja, dan upah serta dampak pada kemiskinan dapat dilihat dari variabel indeks gini, jumlah penduduk miskin perkotaan dan pedesaan. Akan tetapi sebelum melakukan alternatif simulasi kebijakan terlebih dahulu dilakukan validasi model untuk mengevaluasi apakah nilai esimasi sesuai dengan nilai aktual masing-masing variabel endogen (Pindyck dan Rubinfield, 1991). Validasi Model Transfer fiskal, Belanja Modal dan Pembangunan Ekonomi DaerIndikator validasi statistik yang digunakan dalam kajian ini adalah membandingkan antara nilai actual mean dan predicted mean variabel endogen, untuk mengetahui nilai masing-masing variabel endogen hasil estimasi mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan. Selain itu digunakan statistik proporsi bias (UM), proporsi distribusi (UD) dan statistik Theil’s inequality coefficient (U) dan nilai RSMPE untuk mengevaluasi kemampuan model bagi analisis simulasi historis. Pada dasarnya semakin kecil selisih antara actual mean dan predicted mean dan semakin kecil nilai U-Theil’s, maka estimasi model semakin baik. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Jika U = 0 maka estimasi model sempurna, jika U = 1 maka estimasi model naif. Sedangkan RSMPE digunakan untuk mengukur sejauh mana nilai-nilai variabel endogen hasil simulasi relatif menyimpang dari nilai-nilai aktualnya. Hasil validasi model transfer fiscal terhadap belanja modal dan pembangunan ekonomi daerah di Indonesia pada daerah PDRB sektor pertanian tinggi dan rendah tahun 2009 – 2013 disajikan pada Tabel 23 dan 24. Tabel tersebut menunjukkan bahwa secara umum, rata-rata nilai prediksi dari varibel endogenus mendekati rata-rata nilai aktualnya. Hampir semua nilai statistik proporsi bias (UM) mendekati nol, dan nilai proporsi distribusi (UD) mendekati satu, berarti model tidak terdapat bias sistemik. Sedangkan nilai U-Theil’s jika mendekati nol maka model dianggap baik, jika mendekati satu maka model dianggap kurang mampu menjelaskan data yang sebenarnya (Sitepu dan Sinaga, 2006). Hasil validasi menunjukkan hanya persamaan jumlah penduduk miskin, baik di daerah PDRB sektor pertanian tinggi maupun rendah, lebih dari 0.30.
77
Hal tersebut dikarenakan variasi data variabel penduduk miskin perkotaan sangat besar. Nilai RSMPE secara keseluruhan juga menunjukkan nilai yang kecil atau bisa dibilang relatif tidak menyimpang. Dengan demikian berdasarkan hasil validasi ini, secara keseluruhan dapat dikatakan model ini cukup baik digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan. Tabel 24 Hasil validasi model perekonomian dan kemiskinan provinsi di indonesia pada daerah PDRB sektor pertanian tinggi tahun 20092013 No
Variabel Endogen
1 2 3 4 5 6 7
DAK Infra Jalan DAK Infra Irigasi DAK Infra lain-lain DAK Infrastruktur Total DAK Dana Perimbangan Pendapatan Asli Daerah Kapasitas Fiskal Pendapatan Daerah Modal Belanja Langsung Pengeluaran Daerah
8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26
Actual Mean
Predicted Mean
Bias (UM)
Dist. (UD)
Koef. U
RSMPE
Blok Kinerja Fiskal 105438 105460 36249 36239.3 23277.2 23287 164965 164986 638973 582218 7601442 7544687 1592125 1591995
0.00 0.00 0.00 0.00 0.39 0.39 0.00
0.95 1.00 1.00 0.99 0.48 0.36 1.00
0.1796 0.157 0.1691 0.1656 0.0691 0.0056 0.1228
41.2750 41.3953 39.3090 38.1954 11.7761 1.0299 36.9669
2613052 10992787 2287875 4840751 10418120
0.00 0.01 0.00 0.00 0.00
1.00 0.97 1.00 0.99 0.97
0.0789 0.0204 0.0967 0.0449 0.0207
20.0160 4.6463 31.7422 15.0161 7.2756
0.8
0.1279
38.9442
0.87
0.0995
28.0790
1.00 1.00 1.00
0.0774 0.1196 0.035
20.2912 22.9795 7.4262
1.00
0.042
8.4120
0.91
0.0438
16.1788
0.97 0.29
0.0336 0.1629
9.2855 38.2862
0.29
0.0689
13.4029
0.97 0.87
0.0391 0.1882
8.1007 1007.9
0.57
0.3919
185.7
0.81
0.2046
90.3432
2612923 10935902 2287911 4840787 10418157
Blok Perekonomian Sektoral PDRB sektor 11068432 11065624 0.00 pertanian PDRB sektor non 30515750 30512112 0.00 Pertanian Total PDRB 41584182 41577736 0.00 Upah Pertanian 1.0164 1.0188 0.00 Upah Non 12.3626 12.3213 0.00 Pertanian Tenaga Kerja 1149478 1148923 0.00 Pertanian Tenaga Kerja Non 1252262 1252246 0.00 Pertanian Total Tenaga Kerja 2401740 2401170 0.00 Share PDRB sektor 27.9256 30.4901 0.07 pertanian Share PDRB sektor 72.0744 69.5099 0.07 non Pertanian Blok Ketimpangan dan Kemiskinan Indeks Gini 0.3616 0.3615 0.00 Jumlah Pdd Miskin 441090 440677 0.00 Pedesaan Jumlah Pdd Miskin 199186 202762 0.00 Perkotaan Total Penduduk 640277 643439 0.00 Miskin
78
Tabel 25 Hasil validasi model kinerja perekonomian provinsi di indonesia pada daerah PDRB sektor pertanian rendah tahun 2003 – 2011 No
Variabel Endogen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
DAK Infra Jalan DAK Infra Irigasi DAK Infra lain-lain DAK Infrastruktur Total DAK Dana Perimbangan Pendapatan Asli Daerah Kapasitas Fiskal Pendapatan Daerah Modal Belanja Langsung Pengeluaran Daerah
13 14
PDRB sektor pertanian PDRB sektor non Pertanian Total PDRB 1.45E+08 1.45E+08 Upah Pertanian 1.008 1.0091 Upah Non Pertanian 13.5735 13.4937 Tenaga Kerja Pertanian 2661482 2661230 Tenaga Kerja Non 5553285 5553294 Pertanian Total Tenaga Kerja 8214767 8214523 Share PDRB sektor 16.6853 19.0543 pertanian Share PDRB sektor non 83.3147 80.9457 Pertanian Blok Gini dan Kemiskinan Indeks Gini 0.3935 0.3934 Jumlah Pdd Miskin 1345872 1345688 Pedesaan Jumlah Pdd Miskin 916176 923083 Perkotaan Total Penduduk Miskin 2262048 2268770
15 16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26
Actual Mean
Predicted Mean
Blok Kinerja Fiskal 130475 130519 44458.7 44433.5 36999.7 37020.9 211933 211974 1151897 1087830 13154201 13090134 4785812 4785749 6798595 6798532 21724236 21660106 4050562 4050653 9267806 9267897 23134929 23135020 Blok Perekonomian 20924313 20923039 1.24E+08 1.24E+08
Bias (UM)
Dist. (UD)
Koef. U
RSMPE
0.00 0.00 0.00 0.00 0.34 0.34 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.98 1.00 0.99 0.97 0.38 0.55 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
0.1467 0.1384 0.1743 0.1421 0.0373 0.0035 0.1387 0.1044 0.0335 0.0893 0.0387 0.0151
58.8719 51.7475 62.5284 51.4550 10.6241 1.0909 126.3 43.9749 11.2263 28.4146 10.1605 3.5242
0.00 0.00
0.98 1.00
0.0716 0.0874
28.7756 59.1946
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
1.00 0.99 0.96 1.00 1.00
0.0807 0.1437 0.0447 0.0572 0.0483
52.7505 34.2243 9.0457 21.6386 27.3352
0.00 0.09
1.00 0.10
0.0307 0.2086
10.4123 47.4258
0.09
0.10
0.0475
9.3942
0.00 0.00
0.95 0.98
0.0403 0.0383
8.3318 40.5676
0.00
1.00
0.3527
526.0
0.00
0.58
0.1462
207.3
Simulasi Historis Tahun 2009-2013 Hasil dari skenario simulasi akan menjadi implikasi kebijakan yang bisa diterapkan dalam dunia nyata. Skenario simulasi dalam penelitian ini yaitu peningkatan alokasi dana bidang infrastruktur jalan, irigasi sebesar 150 persen, bidang DAK 75 persen, dan belnaja modal sebesar 40 persen. Hasil simulasi dijelaskan pada tebel-tebel berikut.
79
Tabel 26 Dampak peningkatan dana alokasi khusus (DAK) bidang infrastruktur jalan terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan dan kemiskinan di dearah tahun 2009-2013 Nilai Dasar Pertanian Pertanian Variabel Endogen Satuan tinggi rendah Blok Pendapatan dan Penerimaan Daerah DJLN DAK Infra Jalan Rp Juta 105460 130519 DIRGS DAK Infra Irigasi Rp Juta 36239.3 44433.5 DINFLL DAK Infra lain-lain Rp Juta 23287 37020.9 INFR DAK Infrastruktur Rp Juta 164986 211974 DAK Total DAK Rp Juta 582218 1087830 DAPER Dana Perimbangan Rp Juta 7544687 1309013 Pendapatan Asli PAD Daerah Rp Juta 1591995 4785749 KAPFIS Kapasitas Fiskal Rp Juta 2612923 6798532 PDD Pendapatan Daerah Rp Juta 1093590 2166010 MDL Modal Rp Juta 2287911 4050653 BL Belanja Langsung Rp Juta 4840787 9267897 PLD Pengeluaran Daerah Rp Juta 1041815 2313502 Blok Perekonomian PDRBA PDRB sektor pertanian Rp Juta 1106562 2092303 PDRB sektor non PDRBNA Pertanian Rp Juta 3051211 1.2E+08 TPDRB Total PDRB Rp Juta 4157773 1.4E+08 UPHA Upah Pertanian Rp Juta 1.0188 1.0091 UPHNA Upah Non Pertanian Rp Juta 12.3213 13.4937 TKA Tenaga Kerja Pertanian Jiwa 1148923 2661230 Tenaga Kerja Non TKNA Pertanian Jiwa 1252246 5553294 TTK Total Tenaga Kerja Jiwa 2401170 8214523 Share PDRB sektor persen 19.0543 SPDRBA pertanian 30.4901 Share PDRB sektor persen 80.9457 SPDRBNA non Pertanian 69.5099 Blok Gini dan Kemiskinan GINI Indeks Gini persen 0.3615 0.3934 Jumlah Pdd Miskin POVD Pedesaan Jiwa 440677 1345688 Jumlah Pdd Miskin POVK Perkotaan Jiwa 202762 923083 TPOV Total Penduduk Miskin Jiwa 643439 2268770
Perubahan (persen) Pertanian tinggi
Pertanian rendah
150.000 0.000 -0.430 95.788 27.144 0.518
150.000 0.000 -0.345 92.247 17.975 1.494
4.040 3.706 1.869 16.734 7.909 3.675
1.237 0.871 1.176 11.700 5.114 2.049
7.345
4.809
0.280 8.214 0.452 0.007 -0.092
0.153 0.822 0.565 0.165 -0.049
0.356 0.141
0.176 0.103
4.127
0.288
-1.810
-0.068
-5.090
0.000
-0.180
-0.073
-0.803 -0.377
-0.210 -0.129
Peningkatan DAK bidang infrastruktur jalan sebesar 150 persen akan menurunkan porsi DAK bidang infrastruktur lainnya pada daerah pertanian tinggi dan rendah masing-masing sebesar 0.43 persen dan 0.35 persen. Selanjutnya meningkatkan besarnya alokasi DAK bidang infrastruktur, total DAK, dana perimbangan, pendapatan daerah, dan pengeluaran pemerintah daerah baik di daerah pertanian tinggi maupun daerah pertania rendah. Peningkatan DAK bidang infrastruktur jalan meningkatkan total DAK bidang infrastruktur dan total DAK masing-masing hingga mencapai 95 persen dan 27 persen (pada daerah pertanian tinggi) dan 92 persen dan 17 persen (daerah pertanian rendah). Hal ini
80
dikarenakan kontribusi dari DAK jalan terhadap total DAK bidang infrastruktur cukup besar, yaitu 60.4 persen. Sedangkan dampaknya terhadap perekonomian yaitu meningkatkan PDRB dan upah sektoral. Sebagai akibat dari kenaikan tingkat upah yang lebih besar di sektor pertanian menyebabkan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian menurun baik di daerah pertanian rendah maupun daerah pertanian tinggi. Sedangkan penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian semakin meningkat, sehingga adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian yang porsinya lebih besar dibandingkan dengan penurunan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian maka total penyerapan tenaga kerja meningkat. Indeks gini di dearah pertanian tinggi terjadi penurunan sebesar 5.1 persen sedangkan di daerah pertanian rendah tetap, hal ini dikarenakna share PDRB sektor pertanian terhadap total PDRB di dearah pertanian tinggi semakin meningkat, sehingga terjadi penurunan ketimpangan. Kemudian berdampak terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan hasil simulasi adanya peningkatan infrastruktur jalan ini menunjukkan bahwa daerah pertanian tinggi mempunyai dampak yang lebih besar di bandingkan daerah pertanian rendah. Hasil simulasi Tabel 27 meninujukkan bahwa peningkatan DAK irigasi sebesar 150 persen akan mengurangi porsi DAK jalan dan DAK lain-lain. Akan tetapi dapat meningkatkan DAK bidang infrastruktur dan total DAK, dan dana perimbangan, pendapatan asli daerah, kapasitas fiskal dan pendapatan daerah baik di daerah pertanian tinggi dan daearh pertanian rendah. Sebagaimana pada simulasi peningkatan DAK jalan, dampak simulasi DAK irigasi terhadap perekonomian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan PDRB sektoral, karena DAK irigasi mempunyai hubungan langsung dengan sektor pertanian sehingga peningkatan PDRB sektor pertanian lebih besar dari pada PDRB sektor non pertanian baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah. Sedangkan jika dilihatnya berdasarkan klasifikasi daerah, maka peningkatan PDRB sektoral di daerah pertanian tinggi lebih besar di bandingkan di daerah pertanian rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan DAK irigasi sangat berdampak positif terhadap pembangunan pertanian di daerah pertanian tinggi. Kemudian jika dilihat dampak simulasi DAK irigasi terhadap penyerapan tenaga kerja, maka justru tenaga kerja sektor pertanian mengalami penurunan di kedua klasifikasi daerah tersebut, hal ini diduga karena adanya kenaikan upah pada sektor pertanian sebagaimana juga terjadi pada simulasi DAK jalan, dimana kaitannya dapat dijelaskan dari hasil estimasi pada pembahasan sebelumnya yang menunjukkan bahwa PDRB sektor pertanian berpengaruh signifikan terhadap upah sektor pertanian, kemudian upah sektor pertanian sangat signifikan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian. Artinya bahwa peningkatan PDRB sektor pertanian akibat adanya kenaikan DAK irigasi dapat meningkatkan upah, selanjutnya upah tersebut dapat menurunkan jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Namun karena penurunan tenaga kerja sektor pertanian masih lebih kecil di bandingkan peningkatan tenaga kerja sektor non pertanian sehingga penyerapan tenaga kerja total tetap mengalami peningkatan. Daerah pertanian tinggi mengalami peningkatan share PDRB sektor pertanian terhadap total PDRB, dan sebaliknya terjadi penurunan share PDRB sektor non pertanian terhadap total PDRB. Kondisi ini berdampak terhadap
81
penurunan indeks gini atau ketimpangan pendapatan. Berbeda dengan yang terjadi di daerah pertanian rendah, dimana share PDRB sektor pertanian terhadap total PDRB mengalami penurunan, dan sebaliknya share PDRB sektor non pertanian terhadap total PDRB mengalami peningkatan. Sehingga dampaknya terhadap indeks gini menurun pada daerah pertanian tinggi dan tidak mengalami perubahan pada daerah pertanian rendah. Hal ini berdampak terhadap penurunan jumlah penduduk miskin pedesaan, perkotaan dan secara total di daerah pertanian tinggi, sedangkan di daerah pertanian rendah menunjukkan jumlah penduduk miskin di pedesaan tidak mengalami perubahan, penurunan jumlah penduduk miskin perkotaan hanya sebesar 0.002 persen sedangkan penurunan jumlah penduduk miskin secara total hanya 0.001 persen, keduanya sama-sama memperlihatkan penurunan kemiskinan yang sangat kecil. Tabel 27 Dampak peningkatan dana alokasi khusus (DAK) bidang infrastruktur irigasi terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan dan kemiskinan di dearah tahun 2009-2013 Nilai Dasar Pertanian Pertanian Variabel Endogen Satuan tinggi rendah Blok Pendapatan dan Penerimaan Daerah DJLN DAK Infra Jalan Rp Juta 105460 130519 DIRGS DAK Infra Irigasi Rp Juta 36239.3 44433.5 DINFLL DAK Infra lain-lain Rp Juta 23287 37020.9 INFR DAK Infrastruktur Rp Juta 164986 211974 DAK Total DAK Rp Juta 582218 1087830 DAPER Dana Perimbangan Rp Juta 7544687 1309013 PAD Pendapatan Asli Daerah Rp Juta 1591995 4785749 KAPFIS Kapasitas Fiskal Rp Juta 2612923 6798532 PDD Pendapatan Daerah Rp Juta 1093590 2166010 MDL Modal Rp Juta 2287911 4050653 BL Belanja Langsung Rp Juta 4840787 9267897 PLD Pengeluaran Daerah Rp Juta 1041815 2313502 Blok Perekonomian PDRBA PDRB sektor pertanian Rp Juta 1106562 2092303 PDRB sektor non PDRBNA Pertanian Rp Juta 3051211 1.2E+08 TPDRB Total PDRB Rp Juta 4157773 1.4E+08 UPHA Upah Pertanian Rp Juta 1.0188 1.0091 UPHNA Upah Non Pertanian Rp Juta 12.3213 13.4937 TKA Tenaga Kerja Pertanian Jiwa 1148923 2661230 Tenaga Kerja Non TKNA Pertanian Jiwa 1252246 5553294 TTK Total Tenaga Kerja Jiwa 2401170 8214523 Share PDRB sektor SPDRBA pertanian persen 30.4901 19.0543 Share PDRB sektor non SPDRBNA Pertanian persen 69.5099 80.9457 Blok Gini dan Kemiskinan GINI Indeks Gini persen 0.3615 0.3934 Jumlah Pdd Miskin POVD Pedesaan Jiwa 440677 1345688 Jumlah Pdd Miskin POVK Perkotaan Jiwa 202762 923083 TPOV Total Penduduk Miskin Jiwa 643439 2268770
Perubahan (persen) Pertanian Pertanian tinggi rendah -0.012 150.000 -0.171 32.930 9.332 0.178 1.495 1.372 0.654 5.759 2.722 1.265
0.000 150.000 -0.001 0.314 0.061 0.005 0.005 0.003 0.004 0.040 0.017 0.007
2.529
0.016
0.280 3.340 0.157 0.007 -0.032
0.002 0.004 0.002 0.002 0.000
0.356 0.170
0.002 0.001
1.069
-0.054
-0.469
0.013
-5.090
0.000
-0.062
0.000
-0.803 -0.296
-0.002 -0.001
82
Selanjutnya simulasi pada peningkatan DAK bidang pertanian sebesar 75 persen menyebabkan dana infrastruktur jalan dan infrastruktur lain-lain semakin menurun, namun DAK irigasi tidak mengalami perubahan. Penurunan kedua DAK bidang infrastruktur tersebut menyebabkan DAK bidang infrastruktur juga menurun, akibtnya DAK dan dana perimbangan juga mengalami penurunan. Sedangkan pendapatan asli daerah tidak terkena dampak langsung dari penurunan DAK tersebut sehingga pendapatan asli daerah semakin meningkat dan pendapatan daerah juga meningkat baik di daerah pertanian tinggi maupun daerah pertanian rendah. Dampak 28 Peningkatan dana alokasi khusus bidang pertanian (DAKPER) terhadap belanja modal, perekonomian sektoral, ketimpangan dan kemiskinan di dearah tahun 2009-2013 Nilai Dasar Pertanian Pertanian Variabel Endogen Satuan tinggi rendah Blok Pendapatan dan Penerimaan Daerah DJLN DAK Infra Jalan Rp Juta 105460 130519 DIRGS DAK Infra Irigasi Rp Juta 36239.3 44433.5 DINFLL DAK Infra lain-lain Rp Juta 23287 37020.9 INFR DAK Infrastruktur Rp Juta 164986 211974 DAK Total DAK Rp Juta 582218 1087830 DAPER Dana Perimbangan Rp Juta 7544687 1309013 PAD Pendapatan Asli Daerah Rp Juta 1591995 4785749 KAPFIS Kapasitas Fiskal Rp Juta 2612923 6798532 PDD Pendapatan Daerah Rp Juta 1093590 2166010 MDL Modal Rp Juta 2287911 4050653 BL Belanja Langsung Rp Juta 4840787 9267897 PLD Pengeluaran Daerah Rp Juta 1041815 2313502 Blok Perekonomian Daerah PDRBA PDRB sektor pertanian Rp Juta 1106562 2092303 PDRBNA PDRB sektor non Pertanian Rp Juta 3051211 1.2E+08 TPDRB Total PDRB Rp Juta 4157773 1.4E+08 UPHA Upah Pertanian Rp Juta 1.0188 1.0091 UPHNA Upah Non Pertanian Rp Juta 12.3213 13.4937 TKA Tenaga Kerja Pertanian Jiwa 1148923 2661230 TKNA Tenaga Kerja Non Pertanian Jiwa 1252246 5553294 TTK Total Tenaga Kerja Jiwa 2401170 8214523 Share PDRB sektor SPDRBA pertanian persen 30.4901 19.0543 Share PDRB sektor non SPDRBNA Pertanian persen 69.5099 80.9457 Blok Indeks Gini dan Kemiskinan GINI Indeks Gini persen 0.3615 0.3934 Jumlah Pdd Miskin POVD Pedesaan Jiwa 440677 1345688 Jumlah Pdd Miskin POVK Perkotaan Jiwa 202762 923083 TPOV
Total Penduduk Miskin
Jiwa
643439
2268770
Perubahan (persen) Pertanian Pertanian tinggi rendah -0.011 0.000 -0.036 -0.012 -0.003 0.000 0.161 0.148 0.017 0.008 0.004 0.002
-0.010 0.000 -0.037 -0.013 -0.002 0.000 0.085 0.060 0.019 0.011 0.005 0.002
0.004 0.280 0.785 0.000 0.007 0.000 0.356 0.185
0.005 0.153 0.124 0.000 0.165 0.000 0.176 0.119
-0.701
-7.597
0.308
1.788
-5.090
0.000
0.000
0.000
-0.803
-0.210
-0.253
-0.085
Dampak kenaikan DAK bidang pertanian (DAKPER) terhadap kinerja fiskal ini mengindikasikan bahwa persentase kenaikan DAK bidang pertanian sebesar 75 persen dalam simulasi ini akan sangat mengurangi porsi DAK bidang
83
infrastruktur terutama DAK jalan, dimana DAK jalan mempunyai porsi tertinggi dalam DAK infrastruktur, yaitu 60.4 persen. Sehingga hal ini wajar ketika DAK bidang infrastruktur menurun yang selanjutnya juga menurunkan DAK total (porsi DAK bidang infrastruktur terhadap DAK total sebesar 30.6 persen), dan akibatnya juga berdampak terhadap penurunan dana perimbangan. Saat dana perimbangan mengalami penurunan, sebaliknya pendapatan asli daerah (PAD) mengalami peningkatan baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah walaupun dengan peningkatan yang kecil yaitu masing-masing 0.161 persen dan 0.085 persen. Hasil temuan ini dapat menjelaskan bahwa penambahan DAK bidang pertanian sebesar 75 persen dalam penelitian ini dapat mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat yang dibuktikan dengan menurunnya dana perimbangan, sementara disisi lain PAD meningkat. Oleh karena peningkatan PAD lebih besar daripada penurunan dana perimbangan maka pendapatan daerah dalam simulasi ini tetap mengalami peningkatan baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah. Selanjutnya dampak terhadap kinerja perekonomian, menunjukkan bahwa peningkatan PDRB sektor pertanian jauh lebih kecil dibandingkan PDRB sektor non pertanian baik di dearh pertanian tinggi maupun rendah. Kondisi ini dapat dijelaskan dari hasil estimasi bahwa nilai elastisitas DAK bidang pertanian terhadap PDRB sektor pertanian cukup kecil, yaitu hanya 0.16 persen. Sedangkan penjelasan dari peningkatan PDRB sektor non pertanian yang lebih besar dapat dijelaskan dari pengaruh belanja modal. Berdasarkan hasil estimasi pada pembahasan sebelumnya (Table 19) menunjukkan koefisien parameter dan nilai elastisitas belanja modal terhadap PDRB sektor non pertanian lebih besar dibandingkan pengaruhnya terhadap PDRB sektor pertanian. Upah sektor pertanian tidak mengalami perubahan dari adanya dampak DAK bidang pertanian, hal ini diduga karena peningkata PDRB yang kecil dan juga pada dasarnya upah bersifat kaku dan lebih ditentukan dari pihak perusahaan. Jika dibandingkan dari penelitian sebelumnya (Lisna, 2014) bahwa PDRB sektor pertanian yang lebih besar menyebabkan perbaikan upah riil sektor pertanian. Artinya bahwa PDRB sektor pertanian mempunyai andil dalam naik turunnya upah sektor pertanian. Kemudian hal ini juga berdampak pada tidak berubahnya penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan jumlah kemiskinan pedesaan pada daerah pertanian tinggi. Hal yang sama juga di alami daerah pertanian rendah bahkan mengalami penurunan jumlah penyerapan tenaga kerja. Karena peningkatan PDRB sektor pertanian yang lebih kecil di bandingkan peningkatan PDRB sektor non pertanian pada kedua klasifikasi daerah dalam penelitian ini, maka porsi PDRB sektor pertanian terhadap total PDRB mengalami penurunan. Namun indeks gini menurun pada dearah pertanian tinggi dan tidak mengalami perubahan pada daerah pertanian rendah menyebabkan jumlah kemiskinan di kedua klasifikasi daerah tersebut sama-sama mengalami penurunan, namun penurunannya lebih besar pada daerah pertanian tinggi. Hasil simulasi pada peningkatan belanja modal berdampak pada penurunan beberapa variabel kinerja fiskal yaitu DAK bidang infrastruktur (jalan, irigasi, dan lainnya), sedangkan pada daerah pertanian rendah total DAK dan dana perimbangan juga mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya peningkatan belanja modal berdampak terhadap peningkatkan kinerja perekonomian suatu daerah melalui kenaikan output sektoral dalam hal ini sektor pertanian dan non pertanian, yang selanjutnya peningkatan PDRB tersebut
84
meningkatkan pendapatan asli daerah dan kapasitas fiskal daerah. Akibat semakin meningkatnya kapasitas fiskal tersebut maka sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa semakin besar kapasitas fiskal suatu daerah maka mendapatkan dana perimbangan atau transfer dana dari pemerintah pusat semakin kecil, oleh karena itu DAK infrastruktur, DAK total dan dana perimbangan mengalami penurunan. Hasil temuan ini menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan belanja modal sebesar 40 persen oleh pemerintah daerah maka akan memberikan dampak terhadap kemandirian suatu daetah akibat kienrja perekonomiannya membaik. Tabel 29 Dampak peningkatan belanja modal terhadap perekonomian sektoral, ketimpangan dan kemiskinan di dearah tahun 2009-2013 Variabel Endogen
DAK Infra Jalan DAK Infra Irigasi DAK Infra lain-lain DAK Infrastruktur Total DAK Dana Perimbangan Pendapatan Asli Daerah Kapasitas Fiskal Pendapatan Daerah Modal Belanja Langsung Pengeluaran Daerah PDRB sektor pertanian PDRB sektor non Pertanian Total PDRB Upah Pertanian Upah Non Pertanian Tenaga Kerja Pertanian Tenaga Kerja Non Pertanian Total Tenaga Kerja Share PDRB sektor pertanian Share PDRB sektor non Pertanian Indeks Gini Jumlah Pdd Miskin Pedesaan Jumlah Pdd Miskin Perkotaan Total Penduduk Miskin
Nilai Dasar Pertanian Pertanian Tinggi Rendah Blok Fiskal Rp Juta 105460 130519 Rp Juta 36239.3 44433.5 Rp Juta 23287 37020.9 Rp Juta 164986 211974 Rp Juta 582218 1087830 Rp Juta 7544687 1309013 Rp Juta 1591995 4785749 Rp Juta 2612923 6798532 Rp Juta 1093590 2166010 Rp Juta 2287911 4050653 Rp Juta 4840787 9267897 Rp Juta 1041815 2313502 Blok Perekonomian Rp Juta 1106562 2092303 Rp Juta 3051211 1.2E+08 Rp Juta 4157773 1.4E+08 Rp Juta 1.0188 1.0091 Rp Juta 12.3213 13.4937 Jiwa 1148923 2661230 Jiwa 1252246 5553294 Jiwa 2401170 8214523 Satuan
Perubahan (persen) Pertanian Pertanian Tinggi Rendah -1.249 -0.193 -2.075 -1.133 0.373 0.115 17.976 16.837 2.477 40.000 19.075 9.149
-0.115 0.000 -2.104 -0.438 -0.085 -0.007 7.422 5.225 1.636 40.000 17.481 7.003
2.107 20.470 59.245 -0.098 1.948 1.132 2.496 1.843
1.537 8.790 7.734 0.178 1.835 -0.016 1.079 0.724
19.0543
-13.612
-16.752
persen 69.5099 80.9457 Blok Indeks Gini dan Kemiskinan persen 0.3615 0.3934
5.971
3.943
-5.035
0.000
persen
30.4901
Jiwa
440677
1345688
1.653
-0.023
Jiwa Jiwa
202762 643439
923083 2268770
-11.526 -2.500
-2.323 -0.959
Walaupun hasil simulasi menurunkan upah sektor pertanian pada pertanian tinggi dan tenaga kerja pada pertanian rendah serta share PDRB sektor pertanian di kedua klasifikasi daerah menurun namun secara totalnya mengalami peningkatan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah elastisitas belanja modal terhadap PDRB sektor pertanian masih
85
sangat kecil jika dibandingkan terhadap PDRB sektor non pertanian. Sedangkan dampaknya terhadap jumlah penduduk miskin baik di daerah pertanian tinggi ataupun daerah pertanian rendah semuanya mengalami penurunan yang cukup besar di bandingkan dengan ketiga skenario simulasi sebelumnya ataupun jika di bandingkan dengan kondisi riil rata-rata penurunan kemiskinan selama tahun 2009-2013 yaitu sebesar 0.143 persen. Oleh karena itu skenario peningkatan belanja modal adalah skenario terbaik yang di hasilkan dalam penelitian ini.
86
8 SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Simpulan Berdasarkan hasil estimasi parameter dan simulasi kebijakan dapat disimpulkan bahwa: 1. Kinerja fiskal daerah dapat dilihat dari persamaan DAK bidang infrastruktur (jalan, irigasi dan lainnya) yang dipengaruhi oleh variabel jumlah penduduk miskin, dan luas wilayah (hanya terdapat pada DAK jalan), dan lag DAK infrastruktur masing-masing bidang; Pendapatan Asli daerah (PAD) dipengaruhi oleh variabel total PDRB dan pengeluaran daerah. Sedangkan belanja modal dipengaruhi oleh variabel pendapatan asli daerah, DAK infrastruktur, dana bagi hasil dan lag . 2. Kinerja perekonomian sektoral dapat dilihat dari persamaan output atau PDRB sektor pertanian dan non pertanian. Output sektor pertanian dipengaruhi oleh variabel tenaga kerja pertanian, DAK bidang pertanian, selisih belanja modal dengan tahun sebelumnya, dan luas lahan sawah irigasi. Kemudian dilihat dari persamaan sektor non pertanian, yang dipengaruhi oleh variabel tenaga kerja non pertanian, belanja modal pada tahun sebelumnya, dan total panjang jalan pada tahun sebelumnya. Pada persamaan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dipengaruhi oleh variabel upah sektor pertanian dan PDRB sektor pertanian pada tahun sebelumnya. Sedangkan pada persamaan tenaga kerja sektor non pertanian dipengaruhi oleh rasio upah terhadap upah tahun sebelumnya dan PDRB sektor non pertanian. Persamaan upah sektoral dipengaruhi oleh PDRB, total panjang jalan (berpengaruh negatif) dan upah sektoral pada tahun sebelumnya. 3. Kemiskinan dilihat dari persamaan indeks gini yang dipengaruhi oleh variabel share PDRB sektor non pertanian. Persamaan jumlah penduduk miskin di pedesaan dipengaruhi oleh upah sektor pertanian dan jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya. Sedangkan persamaan jumlah penduduk miskin perkotaan dipengaruhi oleh variabel oleh variabel upah sektor non pertanian, dan pengeluaran penduduk perkotaan tahun sebelumnya. 4. Peningkatan DAK jalan baik di daerah pertanian tinggi maupun rendah dapat meningkatkan kapasitas fiskal dan belanja modal, menurunkan jumlah penerapan tenaga kerja pertanian namun penyerapan tenaga kerja secara total meningkat, meningkatkan share PDRB sektor pertanian, menurunkan jumlah kemiskinan pedesaan dan perkotaan, menurunkan ketimpangan di daerah pertanian tinggi namun di daerah pertanian rendah ketimpangan tidak mengalami perubahan. Secara keseluruhan peningkatan variabel-variabel dalam model akibat peningkatan DAK jalan lebih besar terjadi pada daerah pertanian rendah di bandingkan daerah pertanian tinggi. 5. Peningkatan DAK irigasi meningkatkan kinerja fiskal daerah, menurunkan tenaga kerja sektor pertanian, dan menurunkan kemiskinan pada kedua klasifikasi daerah. PDRB sektor non pertanian dan indeks gini mengalami penurunan di daerah pertanian tinggi. Sedangkan di daerah pertanian rendah share PDRB sektor pertanian menurun serta ketimpangan tidak mengalami perubahan. Secara keseluruhan peningkatan variabel-variabel dalam model
87
akibat penambahan DAK irigasi lebih besar terjadi pada daerah pertanian rendah di bandingkan daerah pertanian tinggi. 6. Peningkatan DAK bidang pertanian menurunkan besarnya dana perimbangan, menurunkan penyerapan tenaga kerja pertanian pada daerah pertanian rendah, namun penyerapan tenaga kerja di daerah pertanian tinggi tidak mengalami perubahan, selain itu juga menurunkan share PDRB sektor pertanian, menurunkan indeks gini (hanya di daerah pertanian tinggi) dan menurunkan kemiskinan, namun jumlah penduduk miskin di pedesaan tidak mengalami perubahan. justru menurunkan PDRB sektor pertanian. 7. Hasil simulasi pada peningkatan belanja modal berdampak pada penurunan beberapa variabel kinerja fiskal yaitu DAK bidang infrastruktur (jalan, irigasi, dan lainnya). Peningkatan belanja modal berdampak terhadap peningkatkan kinerja perekonomian suatu daerah melalui kenaikan output sektoral dalam hal ini sektor pertanian dan non pertanian. Upah sektor pertanian pada pertanian tinggi dan tenaga kerja pertanian pada pertanian rendah menurun, serta share PDRB sektor pertanian pada kedua klasifikasi daerah menurun namun secara totalnya mengalami peningkatan. Sedangkan dampaknya terhadap jumlah penduduk miskin secara total baik di daerah pertanian tinggi dan rendah samasama mengalami penurunan. 8. Secara keseluruhan hasil simulasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa skenario simulasi 1 dan 2 yaitu peningkatan DAK jalan dan irigasi memberikan dampak yang lebih besar terhadap sektor pertanian baik di daerah pertanian tinggi dan rendah. Sementara skenario 3 dan 4 yaitu peningkatan DAK bidang pertanian dan belanja modal memberikan dampak yang lebih besar terhadap sektor non pertanian. Skenario Sedangkan secara keseluruhan jika dilihat berdasarkan klasifikasi daerah pertanian tinggi dan rendah maka dari keempat skenario simulasi tersebut dampaknya terlihat lebih besar pada daerah pertanian tinggi di bandingkan dengan daerah pertanian rendah, karena penurunannya cukup besar jika dibandingkan dengan kondisi riil rata-rata penurunan kemiskinan selama tahun 2009-2013. Saran Implikasi kebijakan dan rekomendasi penelitian lanjutan Guna mencapai tujuan pembangunan ekonomi nasional maupun daerah (meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan pendapatan dan menurunkan kemiskinan) pada era desentralisasi fiskal maka pemerintah pusat kembali harus meningkatkan transfer dana kepada daerah tertentu yang membutuhkan layanan dasar dalam tingkat standar pelayanan minimum melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus (DAK), dalam hal ini adalah DAK bidang infrastruktur dan pertanian dengan memperbaiki formula distribusinya. Artinya bahwa dana DAK tersebut dialokasikan kepada daerah untuk memenuhi kondisi ideal, yaitu seluruh penduduk Indonesia dapat menikmati layanan dasar masyarakat dalam tingkat standar pelayanan minimum (SPM) yang sama sebagaimana tujuan utama DAK. Mengingat kapasitas fiskal yang dihasilkan dalam penelitian ini tidak berpengaruh nyata terhadap besar kecilnya DAK, maka formula yang digunakan seharusnya menitikberatkan kepada pemenuhan kebutuhan sarana prasaran dasar daerah sehingga tercipta layanan dasar
88
masyarakat yang menyeluruh dan dapat di akses oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian kesenjangan baik antar daerah maupun antar penduduk dapat di minimalsir bahkan menjadi tiada. Sementara untuk pemerintah daerah, karena dalam konteks era desentralisasi fiskal, maka pemerintah daerah juga diharuskan melakukan alokasi dan pemanfaatan dana sebaik mungkin sesuai dengan potensi daerah masing-masing. Mengingat dalam beberapa tahun terakhir penurunan kemiskinan melambat dan indeks gini meningkat maka maka yang harus dilakukan adalah merevisi struktur anggaran belanja untuk kegiatan yang dapat mengurangi jumlah penduduk kemiskinan melalui peningkatan belanja modal yang terbukti berdampak efektif terhadap kinerja sektor riil terutama sektor pertanian yang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat miskin di pedesaan. Untuk mencapai kondisi yang demikian maka harus juga didukung dengan pemahaman pemerintah daerah terhadap tata kelola ekonomi daerah yang baik. Sebagai rekomendasi untuk penelitian lanjutan maka hendaknya dimasukkan juga faktor penerapan tata kelola ekonomi daerah untuk mendapatkan formulasi kebijakan yang komprehensif terkait implementasi pengelolaan dana transfer DAK di daerah. Selain itu disagregasi cakupan wilayah penelitian juga penting untuk dilakukan dengan menggunakan data level pemerintahan kabupaten/kota mengingat cakupan alokasi DAK ini sampai pada level kabupaten/kota. Sehingga rumusan kebijakna yang dihasilkan nantinya dapat langsung menyentuh masyarakat miskin yang tersebar di kawasan pemerintahan level kabupaten/kota.
89
DAFTAR PUSTAKA Akai N, M Sakata. 2002. Fiscal Decentralization Countributes to Economic Growth: Evidence from State-Level Cross-Section Data for the United States. Journal of Urban Economics, 52(1) :93-108. Afrizawati. 2012. Analisis Flypaper Effect pada Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi, 2(1): 21-30. Ariyanto B. 2002. Studi Transfer Pemerintah dalam Era Desentralisasi di Indonesia: Kasus Dana Perimbangan. [Tesis]. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Depok. Balisacan AM, EM Pernia, A Asra. 2003. Revisiting Growth and Poverty Reduction in Indonesia: What Do Subnational Data Show? Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38(2): 201-22. BAPPENAS. 2011. Analisis Perspektif, Permasalahan dan Dampak Dana Alokasi Khusus (DAK). White Paper. Bjornestad L. 2009. Fiscal Decentralization, Fiscal Incentives, and Pro-Poor Outcomes: Evidence from Vietnam. ADB Economic Working Paper Series, No. 168, Asian Development Bank, Metro Manila. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS. Bourguignon F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. World Bank, Washington, D.C. Bradford DF and WE Oates. 1971. An analysis of revenue sharing in a New Approach to Collective Fiscal Decisions. Quarterly Journal of Economics, 85(3): 416-439 Budiyanto. 2014. Dampak Pengeluaran Pemerintah Daerah untuk Sektor Pertanian dan Industri terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi di Indonesia. Kebijakan Ekonomi dan Keuangan. 18(3): 197 - 208 Calderon, César and Luis Serven. 2004. The Effects of Infrastructure Development on Growth and Income Distribution. World Bank Policy Research Working Paper, 3400. Darsono M, Tambunan H, Siregar, dan DS Priyarsono. 2008. Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian dengan Penekanan Agroindustri di Indonesia. Forum Pascasarjana, 31(3): 201-214. Davoodi H and H. Zou. 1998. Fiscal Decentralization and Economic Growth: A Cross-Country Study. Journal of Urban Economics, 43(2) : 244–257. Dornbusch R, S Fischer, R Startz. 2008. Macroeconomics. Tenth edition. McGraw-Hill International Edition, Singapore. Eastwood R and M Lipton. 2001. Pro-poor Growth and Pro-Growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications. Asian Development Review, 18(2): 1-37. Fan S. 2002. Growth, Inequality, and Poverty in Rural China, The Role of Public Investment. International Food Policy Research Institute. Washington DC Glaeser EL. 2006. Inequality.Barry R Weingast BR, Wittman DA, editor. The Oxford Handbook of Political Economy: Oxford University Press Inc.New York.
90
Hajiji A. 2009. Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Kemiskinan di Provinsi Riau, 2002-2008 [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Huther J and A Shah. 1998. Applying a Simple Measure of Good Governance to the Debate on Fiscal Decentralization. Working paper No. 1894, The World Bank Policy Research, Washington, DC. Iimi A. 2005. Decentralization and Economic Growth Revisited: An Empirical Note. Journal of Urban Economic, 57: 449-460. Iradian G. 2004. Poverty, Inequality, and Growth in Armenia Cross-Country Evidence. IMF Working Paper;04/05. Middle East and Central Asia Department, International Monetary Fund. Jasmina Thia. 2001. “Analisa Peringkat Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten/Kota”. Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 49(4). Kementerian Keuangan. 2012. Nota Keuangan Republik Indonesia, 2011, Kementerian Keuangan, Jakarta. Kementerian Pekerjaan Umum. 2012. Arahan Kebijakan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur Tahun Anggaran 2015, Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta. Kodoatie RJ. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kuncoro H. 2004. Pengaruh Transfer Antar Pemerintah Pada Kinerja Fiskal Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 9(1): 47-63. Kuotsoyiannis A. 1978. Theory of Echonometrics. Second Edition. Harper & Row Publisher, Inc, USA. Kuznets S. 1955. Economic Growth and Income Inequality. The American Economic Review, 45(1): 1-28. Lin JY and Z Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China. Economic Development and Cultural Change, 49(1):1-21. Lin BQ. 2003. Economic Growth, Income Inequality, and Poverty Reduction in People’s Republic of China. Asian Development Review. 20(2) : 105-124. Asian Development Bank, Manila. Lisna, 2014. Dampak kapasitas Fiskal terhadap Perekonomian dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: Bogor Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga Mello Jr L.R.D and M. Barenstrein. 2001. Fiscal Decentralization and Governance: A Cross-Country Analysis, Working Paper, International Monetary Fund, Washington DC. Muslianti. D. 2011. Dampak Kebijakan Fiskal Daerah terhadap Kemiskinan di Indonesia Pada Masa Desentralisasi Fiskal. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Musgrave, R.A. 1959. The Theory of Public Finance. McGraw-Hill, New York. Munnell AH. 1992. Policy Watch: Infrastructure Investment and Economic Growth. The Journal of Economic Perspectives, 6(4): 189-198 Nanga, Muana. 2006. Dampak Transfer Fiskal terhadap Kemiskinan Di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
91
Oates, W. 1972. Fiscal Federalism. Harcourt Brace Jovanovich Inc., New York. Pindyck, R.S. and D.L. Rubinfield. 1998. Econometric Model and Economics Forecast. Fourth Edition. Irwin McGraw-Hill Book Co, Singapore. Priyarsono. 2014. Beberapa Masalah dan Kebijakan Publik Tentang Infrastruktur: Tinjauan Dari Perspektif Ilmu Ekonomi. Orasi Ilmiah Guru Besar IPB. Bogor: IPB Press. Ravallion, M, G. Datt. 2002. Why has economic growth been more pro-poor in some states of India than others? Journal of Development Economics, 68(2): 381-400. Ravallion, M. 2006. Poverty Lines in Theory and Practice : Living Standards Measurement Study, World Bank : Working Paper No. 13, 1998. Sari. 2011, Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penuruna Kemiskinan Di Kabupaten Tertinggal. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sinaga BM dan H Siregar. 2003. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah di Indonesia. Laporan penelitian. Institut Pertanian Bogor. Siregar H dan Dwi W. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. IPB dan Brighten Institute. Seneviratne D. 2013. Infrastructure and Income Distribution in ASEAN-5: what are the links? IMF Working Paper 13/41. Sepulveda, Christian F., Martinez-Vazquez, Jorge. 2010. The Consequences of Fiscal Decentralizationon Poverty and Income Inequality. International Studies Program Working Paper 10-02. Andrew Young School of Policy Studies:Georgia State University. Stern NH. 2002. “A Strategy for Development”. World Bank. Washington DC, USA. Sidik M. 2004. Indonesia’s Imbalance Decentralization and Its Future Direction for A Greater Taxing Power to Sub-National Governments. Dalam Subiyantoro dan Rihpat (Eds) Kebijakan Fiskal : Pemikiran, Konsep, dan Implementasi. Edisi Revisi. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Suhendra dan Susi. 2004. Analisis Struktur Sektor Pertanian Indonesia: Analisis Mod Input-Output, Jurnal Ekonomi & Bisnis, 9(2) : 55- 65. Sukirno S. 2012. Pengantar Ekonomi Makro, Raja Grafindo Pustaka, Jakarta. Sumedi. 2013. Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap Perekonomian Daerah dan Kemiskinan dalam Kerangka Desentralisasi Fiskal. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suryahadi A, D. Suryadarma, and S Sumarto. 2009. The Effects of Location and Sectoral Components of Economic Growth on Poverty: Evidence from Indonesia. Journal of Development Economics, 89(1) : 109-117. Tambunan T H T. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian Di Indonesia. Ghalia Indonesia: Jakarta Todaro MP dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jakarta: Erlangga. Torrisi and Gianpiero. Public Infrastructure: Definition, Classification And Measurement Issues, University Of Catania, Faculty Of Economics, Januari 2009. Mpra.Ub.Uni-Muenchen.De/12990/1/Survey_Infra_Def.Pdf
92
Warr P. 2006. Poverty and Growth in Southeast Asia. ASEAN Economic Bulletin, 23(3): 279-302. Whitfield L. 2008. Pro-Poor Growth: a review of contemporary debates. Working Paper. Danish Institute for International Studies (DIIS), Copenhagen. World Bank. 1990. World Development Report: Poverty, New York: Oxford University Press World Bank. 2000. World Development Report 2006. Oxford University Press, Oxford. Yannizar. 2012. Dampak Alokasi Pengeluaran Dana Pembangunan Pemerintah Daerah dan Investasi Swasta terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan Kemiskinan Provinsi Jambi. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Yudhoyono SB. 2004. Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
95
Lampiran 1. Program Estimasi Model Transfer Fiskal, Perekonomian, dan Ketimpangan dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Tinggi dan Rendah Tahun 2009-2013 dengan Metode 2SLS Prosedur SYSLIN pada software SAS/ETS 9.3. DATA SASUSER.ESTIMASI; SET SASUSER.GABUNG; PROC SORT DATA=SASUSER.ESTIMASI OUT=SASUSER.GABUNGAN; BY PROV TAHUN; RUN; PROG SYSLIN 2SLS DATA=SASUSER.GABUNGAN OUTEST=HASIL; ENDOGENOUS DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA PAD TKA TKNA UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA PRDKNA; INSTRUMENTS LW POP DAU DBH LLSI TJLN DAKPER PDL DAKLL NMDL BTL PRDKNA D LDJLN LDIRGS LDINFLL LMDL LPDRBA LPDRBNA LTKA LTKNA LUPHA LUPHNA LPAD LGINI LPOVD LPOVK; /*PERSAMAAN STRUKTURAL*/ MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL MODEL
DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA UPHA UPHNA PAD GINI POVD POVK
= = = = = = = = = = = = = =
DKAPFIS TPOV LW D LDJLN /DW; LKAPFIS LTPOV D LDIRGS /DW; DKAPFIS TPOV D LDINFLL /DW; PAD INFR DDAU DBH D LMDL /DW; TKA DAKPER DMDL LLSI TJLN D /DW; TKNA LMDL LTJLN D /DW; UPHA LPDRBA D LTKA /DW; RUPHNA PDRBNA D LTKNA /DW; LPDRBA TJLN D LUPHA /DW; PRDKNA TJLN D LUPHNA /DW; TPDRB PLD D /DW; LSPDRBA GSPDRBNA D /DW; UPHA LPENGDES GGINI D LPOVD /DW; UPHNA LPENGKOT DGINI D /DW;
/*persamaan identitas*/ IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY IDENTITY RUN;
PDD = PAD + DAPER + PDL; DAPER = DAU + DAK + DDBH; DAK = INFR + DAKPER + DAKLL; INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TPOV = POVD + POVK; TTK = TKA + TKNA; SPDRBA = SPDRBA; SPDRBNA = SPDRBNA; PRDKNA = PRDKNA;
96
Lampiran 2. Program Validasi Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpanga dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Tinggi tahun 2009-2013 dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.3 Data SASUSER.OLAH1; SET SASUSER.TESIS; /*create variabel*/ INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; DAK = INFR + DAKPER + DAKLL; DAPER = DAU + DAK + DBH; PDD = PAD + DAPER + PDL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TPOV = POVD + POVK; TTK = TKA + TKNA; SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; RUN; /*VARIABEL LAG*/ DATA SASUSER.PROV_1**; SET SASUSER.OLAH1; IF PROV NE 1** THEN DELETE; DKAPFIS = (KAPFIS-LKAPFIS); LDJLN = LAG(DJLN); LKAPFIS = LAG (KAPFIS) LTPOV = LAG(TPOV); LDIRGS = LAG(DIRGS); LDINFLL = LAG(DINFLL); DDAU = (DAU-LDAU); LNMDL = LAG(NMDL); DNMDL = (NMDL-LNMDL) LTJLN = LAG(TJLN); LPDRBA = LAG(PDRBA); LTKA = LAG(TKA); LTKNA = LAG(TKNA); LUPHA = LAG(UPHA); LUPHNA = LAG(UPHNA); RUPHNA = (UPHNA/LUPHNA); SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; LSPDRBA = LAG(SPDRBA); GSPDRBNA = (DSPDRBNA/LSPDRBNA)*100; LPENGDES = LAG(PENGDES); LPENGKOT = LAG(PENGKOT) GGINI = (DGINI/LGINI)*100; LPOVD = LAG(POVD); DGINI = (GINI-LGINI); RUN;
Catatan : Tanda (**) adalah disesuaikan dengan banyaknya jumlah provinsi yang di analisis,dalam hal ini provinsi pertanian tinggi kodenya dari angka 1 sampai 11 maka dibuatlah “variabel lag” dari provinsi 1 hingga provinsi ke 11 sebagaimana yang telah di contohkan di atas.
TITLE 'HASIL VALIDASI'; DATA SASUSER.GABUNG;
97
SET SASUSER.PROV_1 SASUSER.PROV_2 SASUSER.PROV_3 SASUSER.PROV_4 SASUSER.PROV_5 SASUSER.PROV_6 SASUSER.PROV_7 SASUSER.PROV_8 SASUSER.PROV_9 SASUSER.PROV_10 SASUSER.PROV_11; DATA SASUSER.ESTIMASI; SET SASUSER.GABUNG; PROC SORT DATA=SASUSER.ESTIMASI OUT=SASUSER.GABUNGAN; BY PROV TAHUN; RUN; proc simnlin data=SASUSER.gabungan dynamic simulate stat outpredict theil; ENDOGENOUS DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA PRDKNA; INSTRUMENTS LW POP DAU DBH LLSI TJLN PDL DAKPER DAKLL BTL PRDKNA NMDL D LDJLN LDIRGS LDINFLL LMDL LPDRBA LPDRBNA LTKA LTKNA SPDRBA LUPHA LUPHNA LPAD LGINI LPOVD LPOVK LKAPFIS LTPOV LDAU LTJLN LSPDRBA LPENGDES LPENGKOT GSPDRBNA DKAPFIS LTPOV RUPHNA DMDL DDAU ; Parm A0 A1 A2 A3 A4 A5
10093.38 -0.00058 0.006916 377.7009 2509.630 0.588367
E0 E1 E2 E3 E4 E5 E6
-3139857 5.063561 2584221 2.136819 19.72399 36.42456 2075896
I0 I1 I2 I3 I4
B0 B1 B2 B3 B4
7580.396 -0.00039 0.006975 6557.807 0.495227
F0 F1 F2 F3 F4
-2.316E7 19.18972 6.627932 850.3962 1850907
J0 J1 J2 J3 J4
C0 C1 C2 C3 C4
9384.437 -0.00201 0.002991 -1814.81 0.580293
G0 G1 G2 G3 G4
281444.6 -228124 0.011010 -23714.2 0.858153
K0 K1 K2 K3
D0 D1 D2 D3 D4 D5 D6
-37038.6 0.120538 2.387266 0.071231 0.149938 -25893.3 0.726168
H0 H1 H2 H3 H4
1263240 -1150185 0.006220 -87346.6 0.855178
L0 L1 L2 L3
0.607184 5.724E-9 -3.36E-6 0.039755 0.047176
1.632250 0.055865 -6.91E-6 -0.32415 0.804576
M0 M1 M2 M3 M4 M5
204134.9 -170825 -7169.80 547.2295 10183.23 0.931896
N0 N1 N2 N3 N4
2959071 -86572.1 -129319 83653.55 -883640
39618.84 0.021447 0.070900 -77988.4
0.397198 -0.00040 0.005921 -0.02883
; DJLN = a0 + a1 * DKAPFIS + a2 * TPOV + a3 * LW + a4 *D + a5 * LDJLN; DIRGS = b0 + b1 * LKAPFIS + b2 * LTPOV + b3 * D + b4 * LDIRGS; DINFLL = c0 + c1 * DKAPFIS + c2 * TPOV + c3 * D + c4 * LDINFLL; MDL = d0 + d1 * PAD + d2 * INFR + d3 * DDAU + d4 * DBH + d5 * D + d6 * LMDL; PDRBA = e0 + e1 * TKA + e2 * DAKPER + e3 * DMDL + e4 * LLSI+ e5 * TJLN + e6 *D; PDRBNA = f0 + f1 * TKNA + f2 * LMDL + f3 * LTJLN + f4 * D; TKA = g0 + g1 * UPHA + g2 * LPDRBA + g3 * D + g4 * LTKA; TKNA = h0 + h1 * RUPHNA + h2 * PDRBNA + h3 * D + h4 * LTKNA; UPHA = i0 + i1 * PDRBA + i2 * TJLN + i3 * D + i4 * LUPHA; UPHNA = j0 + j1 * PRDKNA + j2 * TJLN + J3 * D + j4 * LUPHNA;
98
PAD = k0 GINI = l0 POVD = m0 m5 *LPOVD; POVK = n0
+ k1 * + l1 * + m1 *
TPDRB LSPDRBA UPHA
+ n1 *
UPHNA
+ k2 * PLD + k3 * D; + l2 * GSPDRBNA + l3 * D; + m2 * LPENGDES + m3 * GGINI
PDD = PAD + DAPER + PDL; DAPER = DAU + DAK + DBH; DAK = INFR + DAKLL + DAKPER; INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TTK = TKA + TKNA; TPOV = POVD + POVK; SPDRBA = PDRBA / TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA / TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; run;
+ n2 *
+ m4 * D +
LPENGKOT + n3 * DGINI + n4 * D ;
99
Lampiran 3. Program Validasi Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpanga dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Rendah tahun 2009-2013 dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.3 Data SASUSER.OLAH1; SET SASUSER.TESIS; /*create variabel*/ INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; DAK = INFR + DAKPER + DAKLL; DAPER = DAU + DAK + DBH; PDD = PAD + DAPER + PDL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TPOV = POVD + POVK; TTK = TKA + TKNA; SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; RUN; /*VARIABEL LAG*/ DATA SASUSER.PROV_12**; SET SASUSER.OLAH1; IF PROV NE 12** THEN DELETE; DKAPFIS = (KAPFIS-LKAPFIS); LDJLN = LAG(DJLN); LKAPFIS = LAG (KAPFIS) LTPOV = LAG(TPOV); LDIRGS = LAG(DIRGS); LDINFLL = LAG(DINFLL) DDAU = (DAU-LDAU) LNMDL = LAG(NMDL); DNMDL = (NMDL-LNMDL) LTJLN = LAG(TJLN); LPDRBA = LAG(PDRBA); LTKA = LAG(TKA); LTKNA = LAG(TKNA); LUPHA = LAG(UPHA); LUPHNA = LAG(UPHNA); RUPHNA = (UPHNA/LUPHNA); SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; LSPDRBA = LAG(SPDRBA) GSPDRBNA = (DSPDRBNA/LSPDRBNA)*100; LPENGDES = LAG(PENGDES) LPENGKOT = LAG(PENGKOT) GGINI = (DGINI/LGINI)*100; LPOVD = LAG(POVD); DGINI = (GINI-LGINI); RUN;
Catatan : Tanda (**) adalah disesuaikan dengan banyaknya jumlah provinsi yang di analisis, dalam hal ini provinsi pertanian rendah kodenya dari angka 12 sampai 19 maka dibuatlah “variabel lag” dari provinsi ke 12 hingga provinsi ke 19 sebagaimana yang telah di contohkan di atas
TITLE 'HASIL VALIDASI2'; DATA SASUSER.GABUNG;
100
SET SASUSER.PROV_12 SASUSER.PROV_13 SASUSER.PROV_14 SASUSER.PROV_15 SASUSER.PROV_16 SASUSER.PROV_17 SASUSER.PROV_18 SASUSER.PROV_19; DATA SASUSER.ESTIMASI; SET SASUSER.GABUNG; PROC SORT DATA=SASUSER.ESTIMASI OUT=SASUSER.GABUNGAN; BY PROV TAHUN; RUN; proc simnlin data=SASUSER.gabungan dynamic simulate stat outpredict theil; ENDOGENOUS DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA PRDKNA; INSTRUMENTS LW POP DAU DBH LLSI TJLN PDL DAKPER DAKLL BTL PRDKNA NMDL D LDJLN LDIRGS LDINFLL LMDL LPDRBA LPDRBNA LTKA LTKNA SPDRBA LUPHA LUPHNA LPAD LGINI LPOVD LPOVK LKAPFIS LTPOV LDAU LTJLN LSPDRBA LPENGDES LPENGKOT GSPDRBNA DKAPFIS LTPOV RUPHNA DMDL DDAU ; Parm A0 A1 A2 A3 A4 A5
10093.38 -0.00058 0.006916 377.7009 2509.630 0.588367
E0 E1 E2 E3 E4 E5 E6
-3139857 5.063561 2584221 2.136819 19.72399 36.42456 2075896
I0 I1 I2 I3 I4
B0 B1 B2 B3 B4
7580.396 -0.00039 0.006975 6557.807 0.495227
F0 F1 F2 F3 F4
-2.316E7 19.18972 6.627932 850.3962 1850907
J0 J1 J2 J3 J4
C0 C1 C2 C3 C4
9384.437 -0.00201 0.002991 -1814.81 0.580293
G0 G1 G2 G3 G4
281444.6 -228124 0.011010 -23714.2 0.858153
K0 K1 K2 K3
D0 D1 D2 D3 D4 D5 D6
-37038.6 0.120538 2.387266 0.071231 0.149938 -25893.3 0.726168
H0 H1 H2 H3 H4
1263240 -1150185 0.006220 -87346.6 0.855178
L0 L1 L2 L3
0.607184 5.724E-9 -3.36E-6 0.039755 0.047176
1.632250 0.055865 -6.91E-6 -0.32415 0.804576
M0 M1 M2 M3 M4 M5
204134.9 -170825 -7169.80 547.2295 10183.23 0.931896
N0 N1 N2 N3 N4
2959071 -86572.1 -129319 83653.55 -883640
39618.84 0.021447 0.070900 -77988.4
0.397198 -0.00040 0.005921 -0.02883
; DJLN = a0 + a1 * DKAPFIS + a2 * TPOV + a3 * LW + a4 *D + a5 * LDJLN; DIRGS = b0 + b1 * LKAPFIS + b2 * LTPOV + b3 * D + b4 * LDIRGS; DINFLL = c0 + c1 * DKAPFIS + c2 * TPOV + c3 * D + c4 * LDINFLL; MDL = d0 + d1 * PAD + d2 * INFR + d3 * DDAU + d4 * DBH + d5 * D + d6 * LMDL; PDRBA = e0 + e1 * TKA + e2 * DAKPER + e3 * DMDL + e4 * LLSI+ e5 * TJLN + e6 *D; PDRBNA = f0 + f1 * TKNA + f2 * LMDL + f3 * LTJLN + f4 * D; TKA = g0 + g1 * UPHA + g2 * LPDRBA + g3 * D + g4 * LTKA; TKNA = h0 + h1 * RUPHNA + h2 * PDRBNA + h3 * D + h4 * LTKNA; UPHA = i0 + i1 * PDRBA + i2 * TJLN + i3 * D + i4 * LUPHA; UPHNA = j0 + j1 * PRDKNA + j2 * TJLN + J3 * D + j4 * LUPHNA; PAD = k0 + k1 * TPDRB + k2 * PLD + k3 * D;
101
GINI = l0 + l1 * POVD = m0 + m1 * *LPOVD; POVK = n0 + n1 *
LSPDRBA UPHA
+ l2 * + m2 *
GSPDRBNA + l3 * D; LPENGDES + m3 * GGINI
UPHNA
+ n2 *
LPENGKOT + n3 * DGINI + n4 * D ;
PDD = PAD + DAPER + PDL; DAPER = DAU + DAK + DBH; DAK = INFR + DAKLL + DAKPER; INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TTK = TKA + TKNA; TPOV = POVD + POVK; SPDRBA = PDRBA / TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA / TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; run;
+ m4 * D + m5
102
Lampiran 4. Hasil Estimasi Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpangan dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Tinggi dan Rendah Tahun 2009-2013 dengan Metode 2SLS Prosedur SYSLIN pada software SAS/ETS 9.3.
1. Persamaan DAK Infrastruktur Jalan HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DJLN DJLN DJLN
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 70 75
3.377E11 1.424E11 4.799E11
6.755E10 2.0341E9
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
45100.9130 115979.985 38.88681
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
33.21
<.0001
0.70344 0.68226
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept DKAPFIS TPOV LW D LDJLN
1 1 1 1 1 1
10093.38 -0.00058 0.006916 377.7009 2509.630 0.588367
14177.66 0.005840 0.004440 95.64837 12245.98 0.119306
0.71 -0.10 1.56 3.95 0.20 4.93
0.4789 0.9216 0.1238 0.0002 0.8382 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.052828 76 -0.18692
Variable Label Intercept LW D
103
2. Persamaan DAK Infrastruktur Irigasi HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DIRGS DIRGS DIRGS
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 71 75
2.848E10 1.327E10 4.175E10
7.1199E9 1.8692E8
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
13671.9397 39705.7205 34.43317
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
38.09
<.0001
0.68213 0.66422
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept LKAPFIS LTPOV D LDIRGS
1 1 1 1 1
7580.396 -0.00039 0.006975 6557.807 0.495227
4432.820 0.000853 0.002144 3762.412 0.095575
1.71 -0.45 3.25 1.74 5.18
0.0916 0.6524 0.0018 0.0857 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.231824 76 -0.15483
Variable Label Intercept D
104
3. Persamaan DAK Infrastruktur Lain-lain HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
DINFLL DINFLL DINFLL
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 71 75
1.737E10 9.4105E9 2.677E10
4.3417E9 1.3254E8
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
11512.6722 29055.1133 39.62357
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
32.76
<.0001
0.64857 0.62877
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept DKAPFIS TPOV D LDINFLL
1 1 1 1 1
9384.437 -0.00201 0.002991 -1814.81 0.580293
3513.395 0.001480 0.001355 3068.323 0.104449
2.67 -1.36 2.21 -0.59 5.56
0.0094 0.1785 0.0306 0.5561 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.766108 76 -0.01992
Variable Label Intercept D
105
4. Persamaan Belanja Modal HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
MDL MDL MDL
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 69 75
3.039E14 2.755E13 3.312E14
5.066E13 3.993E11
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
631930.520 3030059.13 20.85539
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
126.85
<.0001
0.91688 0.90965
Parameter Estimates Variable Intercept PAD INFR DDAU DBH D LMDL
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1 1 1
-37038.6 0.120538 2.387266 0.071231 0.149938 -25893.3 0.726168
215674.9 0.035192 1.083629 0.078009 0.077773 171495.8 0.091533
-0.17 3.43 2.20 0.91 1.93 -0.15 7.93
0.8641 0.0010 0.0309 0.3644 0.0580 0.8804 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.965083 76 0.012591
Variable Label Intercept PAD DBH D
106
5. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Pertanian/Output Pertanian HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PDRBA PDRBA PDRBA
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
6 69 75
1.524E16 9.826E14 1.621E16
2.539E15 1.424E13
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
3773718.72 15218276.3 24.79728
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
178.32
<.0001
0.93942 0.93415
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept TKA DAKPER DMDL LLSI TJLN D
1 1 1 1 1 1 1
-3139857 5.063561 2584221 2.136819 19.72399 36.42456 2075896
1769118 0.784088 1428283 0.671790 4.981641 30.95762 1030165
-1.77 6.46 1.81 3.18 3.96 1.18 2.02
0.0803 <.0001 0.0748 0.0022 0.0002 0.2434 0.0478
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.872643 76 0.562925
Variable Label Intercept TKA DAKPER LLSI TJLN D
107
6. Persamaan Produk Domestik Regional Bruto Non Pertanian/Output Non Pertanian HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PDRBNA PDRBNA PDRBNA
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 71 75
7.361E17 3.074E16 7.664E17
1.84E17 4.329E14
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
20806997.5 69833578.9 29.79512
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
425.05
<.0001
0.95991 0.95766
Parameter Estimates Variable Intercept TKNA LMDL LTJLN D
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
-2.316E7 19.18972 6.627932 850.3962 1850907
6490205 0.862265 1.738578 307.3008 5823420
-3.57 22.25 3.81 2.77 0.32
0.0006 <.0001 0.0003 0.0072 0.7515
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.695671 76 0.644733
Variable Label Intercept TKNA D
108
7. Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
TKA TKA TKA
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 71 75
2.372E14 5.68E12 2.429E14
5.93E13 8E10
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
282839.159 1786110.93 15.83548
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
741.29
<.0001
0.97662 0.97530
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept UPHA LPDRBA D LTKA
1 1 1 1 1
281444.6 -228124 0.011010 -23714.2 0.858153
153173.4 134628.1 0.006768 73652.77 0.054217
1.84 -1.69 1.63 -0.32 15.83
0.0703 0.0946 0.1082 0.7484 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.690622 76 -0.34623
Variable Label Intercept UPHA D
109
8. Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja Non Pertanian HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
TKNA TKNA TKNA
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 71 75
1.446E15 1.771E13 1.464E15
3.615E14 2.495E11
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
499498.185 3063219.07 16.30632
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
1449.06
<.0001
0.98790 0.98722
Parameter Estimates Variable Intercept RUPHNA PDRBNA D LTKNA
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
1263240 -1150185 0.006220 -87346.6 0.855178
683158.6 659449.8 0.002281 132521.4 0.053100
1.85 -1.74 2.73 -0.66 16.11
0.0686 0.0855 0.0081 0.5120 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.284287 76 -0.14362
Variable Label Intercept PDRBNA D
110
9. Persamaan Upah Pertanian HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
UPHA UPHA UPHA
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 71 75
0.850910 5.699597 6.550507
0.212728 0.080276
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.28333 1.01285 27.97360
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
2.65
0.0402
0.12990 0.08088
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept LPDRBA TJLN D LUPHA
1 1 1 1 1
0.607184 5.724E-9 -3.36E-6 0.039755 0.047176
0.144377 3.123E-9 2.342E-6 0.071729 0.014662
4.21 1.83 -1.43 0.55 3.22
<.0001 0.0710 0.1560 0.5812 0.0019
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.520902 76 -0.27721
Variable Label Intercept TJLN D
111
10. Persamaan Upah Non Pertanian HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
UPHNA UPHNA UPHNA
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 71 75
516.4543 77.16518 593.6195
129.1136 1.086834
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1.04251 12.87242 8.09881
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
118.80
<.0001
0.87001 0.86269
Parameter Estimates Variable Intercept PRDKNA TJLN D LUPHNA
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
1 1 1 1 1
1.632250 0.055865 -6.91E-6 -0.32415 0.804576
0.615965 0.020494 7.555E-6 0.249388 0.053570
2.65 2.73 -0.91 -1.30 15.02
0.0099 0.0081 0.3636 0.1979 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.768058 76 -0.40074
Variable Label Intercept PRDKNA TJLN D
112
11. Persamaan Pendapatan Asli Daerah HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
PAD PAD PAD
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 72 75
8.448E14 8.3E13 9.293E14
2.816E14 1.153E12
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
1073649.26 2936835.29 36.55803
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
244.28
<.0001
0.91054 0.90681
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept TPDRB PLD D
1 1 1 1
39618.84 0.021447 0.070900 -77988.4
332030.3 0.002665 0.023934 284837.9
0.12 8.05 2.96 -0.27
0.9054 <.0001 0.0041 0.7850
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
1.318295 76 0.322535
Variable Label Intercept D
113
12. Persamaan Indeks Gini HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
GINI GINI GINI
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
3 72 75
0.020660 0.067435 0.088095
0.006887 0.000937
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
0.03060 0.37504 8.16016
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
7.35
0.0002
0.23452 0.20263
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept LSPDRBA GSPDRBNA D
1 1 1 1
0.397198 -0.00040 0.005921 -0.02883
0.014742 0.000853 0.004221 0.011645
26.94 -0.46 1.40 -2.48
<.0001 0.6447 0.1650 0.0157
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.943056 76 0.494764
Variable Label Intercept D
114
13. Persamaan Jumlah Penduduk Miskin di Pedesaan HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
POVD POVD POVD
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
5 70 75
6.81E13 2.391E12 7.039E13
1.362E13 3.415E10
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
184806.988 822050.789 22.48121
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
398.80
<.0001
0.96608 0.96366
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept UPHA LPENGDES GGINI D LPOVD
1 1 1 1 1 1
204134.9 -170825 -7169.80 547.2295 10183.23 0.931896
155105.7 88498.42 26622.02 1659.040 49115.08 0.025952
1.32 -1.93 -0.27 0.33 0.21 35.91
0.1924 0.0576 0.7885 0.7425 0.8364 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
2.635565 76 -0.31887
Variable Label Intercept UPHA D
115
14. Persamaan Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan HASIL ESTIMASI The SYSLIN Procedure Two-Stage Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
POVK POVK POVK
Analysis of Variance Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
Model Error Corrected Total
4 71 75
1.915E13 2.434E13 4.305E13
4.788E12 3.428E11
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
585528.162 501076.711 116.85400
R-Square Adj R-Sq
F Value
Pr > F
13.97
<.0001
0.44036 0.40883
Parameter Estimates Variable
DF
Parameter Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept UPHNA LPENGKOT DGINI D
1 1 1 1 1
2959071 -86572.1 -129319 83653.55 -883640
403835.5 33575.75 72430.67 69193.90 140911.1
7.33 -2.58 -1.79 1.21 -6.27
<.0001 0.0120 0.0785 0.2307 <.0001
Durbin-Watson Number of Observations First-Order Autocorrelation
0.624955 76 0.685767
Variable Label Intercept UPHNA D
116
Lampiran 5. Hasil Validasi Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpangan dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Tinggi tahun 2009-2013 dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.3 HASIL VALIDASI The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SASUSER.GABUNGAN
Solution Summary Variables Solved Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
27 NEWTON 1E-8 8.25E-15 2 88 2
Observations Processed Read Solved Failed Variables GINI POVD POVK Solved For PRDKNA
55 44 11
DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA HASIL VALIDASI
117
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Variable DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA
N Obs
N
Mean
Actual Std Dev
44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44
44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44
105438 36249.0 23277.2 2287875 11068432 30515750 1149478 1252262 1592125 1.0164 12.3626 0.3616 441090 199186 10992787 7601442 638973 164965 2613052 41584182 4840751 10418120 640277 2401740 27.9256 72.0744
46883.8 14903.8 11208.4 1146198 7082800 24113157 621382 786373 1081330 0.2665 1.7349 0.0300 298149 191969 5183157 3022759 272641 70394.8 1416909 30893442 2590804 5680404 427294 1383325 5.4477 5.4477
Predicted Mean Std Dev 105460 36239.3 23287.0 2287911 11065624 30512112 1148923 1252246 1591995 1.0188 12.3213 0.3615 440677 202762 10935902 7544687 582218 164986 2612923 41577736 4840787 10418157 643439 2401170 30.4901 69.5099
33247.4 8800.1 7275.3 1032118 4993772 25867237 613860 815135 984238 0.0901 1.5120 0.00528 304142 231010 5094685 2975530 231625 46055.3 1317405 30251221 2485672 5579705 453304 1406133 8.9522 8.9522
118
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Statistics of fit Variable DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA PRDKNA
N
Mean Error
Mean % Error
Mean Abs Error
Mean Abs % Error
RMS Error
RMS % Error
44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44
21.3418 -9.7874 9.8043 36.1839 -2808.0 -3637.9 -554.6 -15.6190 -129.3 0.00242 -0.0413 -0.00014 -412.8 3575.6 -56884.7 -56755.5 -56755.5 21.3586 -129.3 -6445.9 36.1839 36.1839 3162.8 -570.3 2.5645 -2.5645 -0.7382
10.7797 11.8754 11.9912 8.4255 11.1334 -0.00466 0.6153 0.4556 8.7569 5.1412 0.1785 0.6062 148.3 8.2810 0.00588 -0.6518 -7.5845 10.4161 3.4122 2.0461 3.6428 1.6126 5.4302 0.2238 11.6858 -3.1514 -0.2814
31927.4 9287.5 6552.9 402061 2166969 5812793 76171.8 104007 357437 0.1683 0.6803 0.0219 68421.2 175968 383378 71287.9 71287.9 44985.4 357437 6175788 402061 402061 220298 143171 7.8265 7.8265 4.4689
31.9946 29.6146 30.0880 22.7840 24.0132 22.5212 6.6480 11.1552 27.1605 16.8075 5.6819 6.1406 162.5 134.1 3.6468 0.8947 10.4469 28.7159 15.3408 16.8300 10.7975 5.1458 48.9648 6.8390 29.5292 10.8068 18.7855
40529.4 11991.7 8482.5 489279 3225084 7814990 109436 129886 464447 0.2478 0.8709 0.0283 200215 227519 492674 91175.2 91175.2 58003.5 464447 7955921 489279 489279 317396 186326 9.8063 9.8063 5.8863
41.2750 41.3953 39.3090 31.7422 38.9442 28.0790 8.4120 16.1788 36.9669 22.9795 7.4262 8.1007 1007.9 185.7 4.6463 1.0299 11.7761 38.1954 20.0160 20.2912 15.0161 7.2756 90.3432 9.2855 38.2862 13.4029 24.4451
R-Square 0.2353 0.3376 0.4139 0.8135 0.7878 0.8925 0.9683 0.9721 0.8112 0.1151 0.7422 0.0881 0.5386 -.4373 0.9908 0.9991 0.8856 0.3053 0.8901 0.9321 0.9635 0.9924 0.4354 0.9814 -2.316 -2.316 0.0469
119
The SAS System The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics
Variable DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA PRDKNA
N 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44
MSE
1.6426E9 1.438E8 71952585 2.394E11 1.04E13 6.107E13 1.198E10 1.687E10 2.157E11 0.0614 0.7585 0.000801 4.009E10 5.176E10 2.427E11 8.3129E9 8.3129E9 3.3644E9 2.157E11 6.33E13 2.394E11 2.394E11 1.007E11 3.472E10 96.1634 96.1634 34.6480
Corr (R) 0.52 0.58 0.64 0.90 0.91 0.95 0.98 0.99 0.90 0.34 0.86 0.34 0.77 0.42 1.00 1.00 0.97 0.56 0.94 0.97 0.98 1.00 0.74 0.99 0.19 0.19 0.55
Bias (UM) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.39 0.39 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.07 0.07 0.02
Reg (UR) 0.05 0.00 0.00 0.00 0.20 0.13 0.00 0.09 0.00 0.00 0.00 0.03 0.13 0.43 0.02 0.26 0.13 0.01 0.00 0.00 0.01 0.03 0.19 0.03 0.64 0.64 0.25
Dist (UD) 0.95 1.00 1.00 1.00 0.80 0.87 1.00 0.91 1.00 1.00 1.00 0.97 0.87 0.57 0.97 0.36 0.48 0.99 1.00 1.00 0.99 0.97 0.81 0.97 0.29 0.29 0.74
MSE Decomposition Proportions Var Covar Inequality Coef (US) (UC) U1 U 0.11 0.25 0.21 0.05 0.41 0.05 0.00 0.05 0.04 0.50 0.06 0.74 0.00 0.03 0.03 0.26 0.20 0.17 0.04 0.01 0.05 0.04 0.01 0.01 0.12 0.12 0.00
0.89 0.75 0.79 0.95 0.59 0.95 1.00 0.95 0.96 0.50 0.93 0.26 1.00 0.97 0.96 0.35 0.41 0.83 0.96 0.99 0.95 0.96 0.99 0.99 0.81 0.81 0.98
0.3519 0.3065 0.3290 0.1916 0.2462 0.2018 0.0840 0.0881 0.2422 0.2360 0.0698 0.0780 0.3774 0.8270 0.0406 0.0112 0.1315 0.3240 0.1567 0.1542 0.0893 0.0413 0.4138 0.0674 0.3448 0.1357 0.2357
0.1796 0.1570 0.1691 0.0967 0.1279 0.0995 0.0420 0.0438 0.1228 0.1196 0.0350 0.0391 0.1882 0.3919 0.0204 0.0056 0.0691 0.1656 0.0789 0.0774 0.0449 0.0207 0.2046 0.0336 0.1629 0.0689 0.1194
120
Lampiran 6. Hasil Validasi Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpangan dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Rendah Tahun 2009-2013 dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.3 HASIL VALIDASI The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SASUSER.GABUNGAN
Solution Summary Variables Solved Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
27 NEWTON 1E-8 1.61E-10 4 66 2.0625
Observations Processed Read Solved Failed Variables GINI POVD POVK Solved For PRDKNA
40 32 8
DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA
121
The SAS SYSTEM The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Variable DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA
N Obs
N
Mean
Actual Std Dev
32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
130475 44458.7 36999.7 4050562 20924313 1.239E8 2661482 5553285 4785812 1.0080 13.5735 0.3935 1345872 916176 21724236 13154201 1151897 211933 6798595 1.4482E8 9267806 23134929 2262048 8214767 16.6853 83.3147
109802 31597.8 24012.6 2646851 19880837 1.3677E8 2436139 5942505 4718091 0.3358 3.7547 0.0315 1287641 1015138 16413009 9162004 1019054 148021 5620519 1.5612E8 6132055 16548682 2213230 8096422 2.6670 2.6670
Predicted Mean Std Dev 130519 44433.5 37020.9 4050653 20923039 1.2389E8 2661230 5553294 4785749 1.0091 13.4937 0.3934 1345688 923083 21660106 13090134 1087830 211974 6798532 1.4482E8 9267897 23135020 2268770 8214523 19.0543 80.9457
92060.6 27751.1 17397.6 2526820 19994500 1.3226E8 2400164 5883176 4375778 0.1227 3.7977 0.00470 1257798 489318 16251619 9124359 956809 118048 5439055 1.5102E8 6056151 16533628 1547932 8039519 8.0969 8.0969
122
The SAS SYSTEM The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Statistics of fit Variable
N
Mean Error
Mean % Error
Mean Abs Error
Mean Abs % Error
DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA
32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
44.7133 -25.1422 21.2269 91.0740 -1274.0 -3156.0 -251.9 8.6569 -63.0658 0.00107 -0.0798 -0.00009 -184.0 6907.0 -64130.3 -64067.3 -64067.3 40.7979 -63.0658 -4430.0 91.0740 91.0740 6723.0 -243.2 2.3690 -2.3690
18.9861 14.5985 26.7028 5.2745 2.0511 3.1052 5.3830 8.6837 34.5148 8.8532 -0.1001 0.6252 9.5895 227.8 -1.7013 -0.4366 -4.2485 17.4968 4.1814 2.8996 1.2071 0.1289 113.4 2.5682 14.0536 -2.8505
30722.6 10865.9 11216.7 571574 2924189 24343502 225761 463708 1361714 0.1999 0.9117 0.0274 96749.7 719363 1342108 80682.0 80682.0 46721.3 1361714 26210806 571574 571574 756378 380951 4.6873 4.6873
35.6346 35.3734 43.9488 18.1833 19.9649 41.8325 14.0025 16.3755 66.8895 21.7815 6.6660 7.0786 19.4520 357.9 8.2237 0.7933 8.8073 32.1451 31.9775 37.2142 7.0922 2.6494 133.8 7.7067 27.9936 5.6459
RMS Error 48151.0 14731.2 14765.2 854902 4109021 31687118 408632 777515 1817901 0.2984 1.2560 0.0317 140803 845279 1807064 110648 110648 70882.1 1817901 33795224 854902 854902 858552 701128 7.8308 7.8308
RMS % Error R-Square 58.8719 51.7475 62.5284 28.4146 28.7756 59.1946 21.6386 27.3352 126.3 34.2243 9.0457 8.3318 40.5676 526.0 11.2263 1.0909 10.6241 51.4550 43.9749 52.7505 10.1605 3.5242 207.3 10.4123 47.4258 9.3942
0.8015 0.7756 0.6097 0.8923 0.9559 0.9446 0.9710 0.9823 0.8468 0.1848 0.8845 -.0495 0.9877 0.2843 0.9875 0.9998 0.9878 0.7633 0.8920 0.9516 0.9799 0.9972 0.8447 0.9923 -7.899 -7.899
123
The SAS SYSTEM The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Theil Forecast Error Statistics
Variable DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA PRDKNA
N
MSE
32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
2.3185E9 2.1701E8 2.1801E8 7.309E11 1.688E13 1.004E15 1.67E11 6.045E11 3.305E12 0.0890 1.5776 0.00101 1.983E10 7.145E11 3.265E12 1.224E10 1.224E10 5.0243E9 3.305E12 1.142E15 7.309E11 7.309E11 7.371E11 4.916E11 61.3211 61.3211 76.8483
Corr (R) 0.90 0.88 0.78 0.94 0.98 0.97 0.99 0.99 0.92 0.44 0.94 -0.09 0.99 0.54 0.99 1.00 1.00 0.88 0.94 0.98 0.99 1.00 0.95 1.00 0.35 0.35 0.80
Bias (UM) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.34 0.34 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.09 0.09 0.03
MSE Decomposition Proportions Reg Dist Var Covar Inequality Coef (UR) (UD) (US) (UC) U1 U 0.02 0.00 0.01 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.04 0.05 0.02 0.00 0.00 0.11 0.28 0.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.42 0.00 0.81 0.81 0.57
0.98 1.00 0.99 1.00 0.98 1.00 1.00 1.00 1.00 0.99 0.96 0.95 0.98 1.00 1.00 0.55 0.38 0.97 1.00 1.00 1.00 1.00 0.58 1.00 0.10 0.10 0.40
0.13 0.07 0.19 0.02 0.00 0.02 0.01 0.01 0.03 0.49 0.00 0.69 0.04 0.37 0.01 0.11 0.31 0.17 0.01 0.02 0.01 0.00 0.58 0.01 0.47 0.47 0.30
0.87 0.93 0.81 0.98 1.00 0.98 0.99 0.99 0.97 0.51 0.99 0.31 0.96 0.63 0.99 0.55 0.36 0.83 0.99 0.98 0.99 1.00 0.42 0.99 0.44 0.44 0.68
0.2842 0.2715 0.3363 0.1775 0.1434 0.1732 0.1141 0.0964 0.2726 0.2813 0.0893 0.0804 0.0762 0.6235 0.0667 0.0069 0.0724 0.2756 0.2074 0.1601 0.0773 0.0302 0.2734 0.0613 0.4636 0.0939 0.3380
0.1467 0.1384 0.1743 0.0893 0.0716 0.0874 0.0572 0.0483 0.1387 0.1437 0.0447 0.0403 0.0383 0.3527 0.0335 0.0035 0.0373 0.1421 0.1044 0.0807 0.0387 0.0151 0.1462 0.0307 0.2086 0.0475 0.1663
124
Lampiran 7. Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2009-2013 Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpangan dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Tinggi dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.3 Contoh: Skenario SIM-01 Peningkatan DAK bidang infrastruktur jalan (DJLN) 150 persen Data SASUSER.OLAH1; SET SASUSER.TESIS; /*create variabel*/ INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; DAK = INFR + DAKPER + DAKLL; DAPER = DAU + DAK + DBH; PDD = PAD + DAPER + PDL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TPOV = POVD + POVK; TTK = TKA + TKNA; SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; RUN; /*VARIABEL LAG*/ DATA SASUSER.PROV_1*; SET SASUSER.OLAH1; IF PROV NE 1* THEN DELETE; /*SIM-01*/ DJLN = 2.5*DJLN /*SIM-02*/ /*DIRGS = 2.5*DIRGS; */ /*SIM-03*/ /*DAKPER = 1.75; */ /*SIM-04*/ /*MDL = 1.4; */ DKAPFIS = (KAPFIS-LKAPFIS); LDJLN = LAG(DJLN); LKAPFIS = LAG (KAPFIS); LTPOV = LAG(TPOV); LDIRGS = LAG(DIRGS); LDINFLL = LAG(DINFLL) DDAU = (DAU-LDAU) LNMDL = LAG(NMDL); DNMDL = (NMDL-LNMDL); LTJLN = LAG(TJLN); LPDRBA = LAG(PDRBA); LTKA = LAG(TKA); LTKNA = LAG(TKNA); LUPHA = LAG(UPHA); LUPHNA = LAG(UPHNA); RUPHNA = (UPHNA/LUPHNA); SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; LSPDRBA = LAG(SPDRBA); GSPDRBNA = (DSPDRBNA/LSPDRBNA)*100; LPENGDES = LAG(PENGDES); LPENGKOT = LAG(PENGKOT); GGINI = (DGINI/LGINI)*100; LPOVD = LAG(POVD); DGINI = (GINI-LGINI);
125
RUN;
Catatan : Tanda (**) adalah disesuaikan dengan banyaknya jumlah provinsi yang di analisis,dalam hal ini provinsi pertanian tinggi kodenya dari angka 1 sampai 11 maka dibuatlah “variabel lag” dari provinsi 1 hingga provinsi ke 11 sebagaimana yang telah di contohkan di atas. TITLE 'HASIL SIMULASI1'; DATA SASUSER.GABUNG; SET SASUSER.PROV_1 SASUSER.PROV_2 SASUSER.PROV_3 SASUSER.PROV_4 SASUSER.PROV_5 SASUSER.PROV_6 SASUSER.PROV_7 SASUSER.PROV_8 SASUSER.PROV_9 SASUSER.PROV_10 SASUSER.PROV_11; DATA SASUSER.ESTIMASI; SET SASUSER.GABUNG; PROC SORT DATA=SASUSER.ESTIMASI OUT=SASUSER.GABUNGAN; BY PROV TAHUN; RUN; proc simnlin data=SASUSER.gabungan dynamic simulate stat outpredict theil; ENDOGENOUS /*DJLN*/ DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA PRDKNA; INSTRUMENTS DJLN LW POP DAU DBH LLSI TJLN PDL DAKPER DAKLL BTL PRDKNA NMDL D LDJLN LDIRGS LDINFLL LMDL LPDRBA LPDRBNA LTKA LTKNA SPDRBA LUPHA LUPHNA LPAD LGINI LPOVD LPOVK LKAPFIS LTPOV LDAU LTJLN LSPDRBA LPENGDES LPENGKOT GSPDRBNA DKAPFIS LTPOV RUPHNA DMDL DDAU ; Parm A0 A1 A2 A3 A4 A5
10093.38 -0.00058 0.006916 377.7009 2509.630 0.588367
E0 E1 E2 E3 E4 E5 E6
-3139857 5.063561 2584221 2.136819 19.72399 36.42456 2075896
I0 I1 I2 I3 I4
B0 B1 B2 B3 B4
7580.396 -0.00039 0.006975 6557.807 0.495227
F0 F1 F2 F3 F4
-2.316E7 19.18972 6.627932 850.3962 1850907
J0 J1 J2 J3 J4
C0 C1 C2 C3 C4
9384.437 -0.00201 0.002991 -1814.81 0.580293
G0 G1 G2 G3 G4
281444.6 -228124 0.011010 -23714.2 0.858153
K0 K1 K2 K3
D0 D1 D2 D3 D4 D5 D6 ;
-37038.6 0.120538 2.387266 0.071231 0.149938 -25893.3 0.726168
H0 H1 H2 H3 H4
1263240 -1150185 0.006220 -87346.6 0.855178
L0 L1 L2 L3
0.607184 5.724E-9 -3.36E-6 0.039755 0.047176
1.632250 0.055865 -6.91E-6 -0.32415 0.804576
M0 M1 M2 M3 M4 M5
204134.9 -170825 -7169.80 547.2295 10183.23 0.931896
N0 N1 N2 N3 N4
2959071 -86572.1 -129319 83653.55 -883640
39618.84 0.021447 0.070900 -77988.4
0.397198 -0.00040 0.005921 -0.02883
/*DJLN = a0 + a1 * DKAPFIS + a2 * TPOV + a3 * LW + a4 *D + a5 * LDJLN; */ DIRGS = b0 + b1 * LKAPFIS + b2 * LTPOV + b3 * D + b4 * LDIRGS;
126
DINFLL = c0 + c1 * MDL = d0 + d1 * d5 * D + d6 * LMDL; PDRBA = e0 + e1 * e5 * TJLN + e6 *D; PDRBNA = f0 + f1 * TKA = g0 + g1 * TKNA = h0 + h1 * UPHA = i0 + i1 * UPHNA = j0 + j1 * PAD = k0 + k1 * GINI = l0 + l1 * POVD = m0 + m1 * POVK = n0 + n1 *
DKAPFIS PAD
+ c2 * + d2 *
TPOV INFR
TKA
+ e2 *
DAKPER + e3 *
TKNA UPHA RUPHNA PDRBA PRDKNA TPDRB LSPDRBA UPHA UPHNA
+ f2 * + g2 * + h2 * + i2 * + j2 * + k2 * + l2 * + m2 * + n2 *
LMDL + f3 * LTJLN + f4 * D; LPDRBA + g3 * D + g4 * LTKA; PDRBNA + h3 * D + h4 * LTKNA; TJLN + i3 * D + i4 * LUPHA; D + j3 * LUPHNA; PLD + k3 * D; GSPDRBNA + l3 * D; LPENGDES + m3 * GGINI + m4 * D + m5 *LPOVD; LPENGKOT + n3 * DGINI + n4 * D ;
PDD = PAD + DAPER + PDL; DAPER = DAU + DAK + DDBH; DAK = INFR + DAKLL + DAKPER; INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TTK = TKA + TKNA; TPOV = POVD + POVK; SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBA/TKNA; run;
+ c3 * + d3 *
D + c4 * LDINFLL; DDAU + d4 * DBH + DMDL
+ e4 * LLSI+
127
Lampiran 8. Program Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2009-2013 Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpangan dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Rendah dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.3
Contoh: Skenario SIM-01 Peningkatan DAK bidang infrastruktur jalan (DJLN) 150 persen Data SASUSER.OLAH1; SET SASUSER.TESIS; /*create variabel*/ INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; DAK = INFR + DAKPER + DAKLL; DAPER = DAU + DAK + DBH; PDD = PAD + DAPER + PDL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TPOV = POVD + POVK; TTK = TKA + TKNA; SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; RUN; /*VARIABEL LAG*/ DATA SASUSER.PROV_1*; SET SASUSER.OLAH1; IF PROV NE 1* THEN DELETE; /*SIM-01*/ DJLN = 2.5*DJLN /*SIM-02*/ /*DIRGS = 2.5*DIRGS; */ /*SIM-03*/ /*DAKPER = 1.75; */ /*SIM-04*/ /*MDL = 1.4; */ DKAPFIS = (KAPFIS-LKAPFIS); LDJLN = LAG(DJLN); LKAPFIS = LAG (KAPFIS) LTPOV = LAG(TPOV); LDIRGS = LAG(DIRGS); LDINFLL = LAG(DINFLL) DDAU = (DAU-LDAU) LNMDL = LAG(NMDL); DNMDL = (NMDL-LNMDL) LTJLN = LAG(TJLN); LPDRBA = LAG(PDRBA); LTKA = LAG(TKA); LTKNA = LAG(TKNA); LUPHA = LAG(UPHA); LUPHNA = LAG(UPHNA); RUPHNA = (UPHNA/LUPHNA); SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; LSPDRBA = LAG(SPDRBA) GSPDRBNA = (DSPDRBNA/LSPDRBNA)*100; LPENGDES = LAG(PENGDES) LPENGKOT = LAG(PENGKOT) GGINI = (DGINI/LGINI)*100;
128
LPOVD = LAG(POVD); DGINI = (GINI-LGINI); RUN;
Catatan : Tanda (**) adalah disesuaikan dengan banyaknya jumlah provinsi yang di analisis,dalam hal ini provinsi pertanian tinggi kodenya dari angka 12 sampai 19 maka dibuatlah “variabel lag” dari provinsi 12 hingga provinsi ke 19 sebagaimana yang telah di contohkan di atas. TITLE 'HASIL SIMULASI2'; DATA SASUSER.GABUNG; SET SASUSER.PROV_12 SASUSER.PROV_13 SASUSER.PROV_14 SASUSER.PROV_15 SASUSER.PROV_16 SASUSER.PROV_17 SASUSER.PROV_18 SASUSER.PROV_19 DATA SASUSER.ESTIMASI; SET SASUSER.GABUNG; PROC SORT DATA=SASUSER.ESTIMASI OUT=SASUSER.GABUNGAN; BY PROV TAHUN; RUN; proc simnlin data=SASUSER.gabungan dynamic simulate stat outpredict theil; ENDOGENOUS /*DJLN*/ DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA PRDKNA; INSTRUMENTS DJLN LW POP DAU DBH LLSI TJLN PDL DAKPER DAKLL BTL PRDKNA NMDL D LDJLN LDIRGS LDINFLL LMDL LPDRBA LPDRBNA LTKA LTKNA SPDRBA LUPHA LUPHNA LPAD LGINI LPOVD LPOVK LKAPFIS LTPOV LDAU LTJLN LSPDRBA LPENGDES LPENGKOT GSPDRBNA DKAPFIS LTPOV RUPHNA DMDL DDAU ; Parm A0 A1 A2 A3 A4 A5
10093.38 -0.00058 0.006916 377.7009 2509.630 0.588367
E0 E1 E2 E3 E4 E5 E6
-3139857 5.063561 2584221 2.136819 19.72399 36.42456 2075896
I0 I1 I2 I3 I4
B0 B1 B2 B3 B4
7580.396 -0.00039 0.006975 6557.807 0.495227
F0 F1 F2 F3 F4
-2.316E7 19.18972 6.627932 850.3962 1850907
J0 J1 J2 J3 J4
C0 C1 C2 C3 C4
9384.437 -0.00201 0.002991 -1814.81 0.580293
G0 G1 G2 G3 G4
281444.6 -228124 0.011010 -23714.2 0.858153
K0 K1 K2 K3
0.607184 5.724E-9 -3.36E-6 0.039755 0.047176
1.632250 0.055865 -6.91E-6 -0.32415 0.804576
M0 M1 M2 M3 M4 M5
204134.9 -170825 -7169.80 547.2295 10183.23 0.931896
N0 N1 N2 N3 N4
2959071 -86572.1 -129319 83653.55 -883640
39618.84 0.021447 0.070900 -77988.4
D0 -37038.6 H0 1263240 L0 0.397198 D1 0.120538 H1 -1150185 L1 -0.00040 D2 2.387266 H2 0.006220 L2 0.005921 D3 0.071231 H3 -87346.6 L3 -0.02883 D4 0.149938 H4 0.855178 D5 -25893.3 D6 0.726168 ; /*DJLN = a0 + a1 * DKAPFIS + a2 * TPOV + a3 * LW + a4 *D + a5 * LDJLN; */ DIRGS = b0 + b1 * LKAPFIS + b2 * LTPOV + b3 * D + b4 * LDIRGS; DINFLL = c0 + c1 * DKAPFIS + c2 * TPOV + c3 * D + c4 * LDINFLL;
129
MDL = d0 + d1 * d5 * D + d6 * LMDL; PDRBA = e0 + e1 * e5 * TJLN + e6 *D; PDRBNA = f0 + f1 * TKA = g0 + g1 * TKNA = h0 + h1 * UPHA = i0 + i1 * UPHNA = j0 + j1 * PAD = k0 + k1 * GINI = l0 + l1 * POVD = m0 + m1 * POVK = n0 + n1 *
PAD
+ d2 *
INFR
TKA
+ e2 *
DAKPER + e3 *
TKNA UPHA RUPHNA PDRBA PRDKNA TPDRB LSPDRBA UPHA UPHNA
+ f2 * + g2 * + h2 * + i2 * + j2 * + k2 * + l2 * + m2 * + n2 *
LMDL + f3 * LTJLN + f4 * D; LPDRBA + g3 * D + g4 * LTKA; PDRBNA + h3 * D + h4 * LTKNA; TJLN + i3 * D + i4 * LUPHA; D + j3 * LUPHNA; PLD + k3 * D; GSPDRBNA + l3 * D; LPENGDES + m3 * GGINI + m4 * D + m5 *LPOVD; LPENGKOT + n3 * DGINI + n4 * D ;
PDD = PAD + DAPER + PDL; DAPER = DAU + DAK + DDBH; DAK = INFR + DAKLL + DAKPER; INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TTK = TKA + TKNA; TPOV = POVD + POVK; SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBA/TKNA; run;
+ d3 *
DDAU + d4 * DBH + DMDL
+ e4 * LLSI+
130
Lampiran 9. Program Validasi Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpanga dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Rendah tahun 2009-2013 dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.3 Data SASUSER.OLAH1; SET SASUSER.TESIS; /*create variabel*/ INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; DAK = INFR + DAKPER + DAKLL; DAPER = DAU + DAK + DBH; PDD = PAD + DAPER + PDL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TPOV = POVD + POVK; TTK = TKA + TKNA; SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; RUN; /*VARIABEL LAG*/ DATA SASUSER.PROV_12*; SET SASUSER.OLAH1; IF PROV NE 12* THEN DELETE; DKAPFIS = (KAPFIS-LKAPFIS); LDJLN = LAG(DJLN); LKAPFIS = LAG (KAPFIS) LTPOV = LAG(TPOV); LDIRGS = LAG(DIRGS); LDINFLL = LAG(DINFLL) DDAU = (DAU-LDAU) LNMDL = LAG(NMDL); DNMDL = (NMDL-LNMDL) LTJLN = LAG(TJLN); LPDRBA = LAG(PDRBA); LTKA = LAG(TKA); LTKNA = LAG(TKNA); LUPHA = LAG(UPHA); LUPHNA = LAG(UPHNA); RUPHNA = (UPHNA/LUPHNA); SPDRBA = PDRBA/TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA/TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; LSPDRBA = LAG(SPDRBA) GSPDRBNA = (DSPDRBNA/LSPDRBNA)*100; LPENGDES = LAG(PENGDES) LPENGKOT = LAG(PENGKOT) GGINI = (DGINI/LGINI)*100; LPOVD = LAG(POVD); DGINI = (GINI-LGINI); RUN; TITLE 'HASIL VALIDASI2'; DATA SASUSER.GABUNG; SET SASUSER.PROV_12 SASUSER.PROV_13 SASUSER.PROV_14 SASUSER.PROV_15 SASUSER.PROV_16 SASUSER.PROV_17 SASUSER.PROV_18 SASUSER.PROV_19; DATA SASUSER.ESTIMASI; SET SASUSER.GABUNG; PROC SORT DATA=SASUSER.ESTIMASI OUT=SASUSER.GABUNGAN; BY PROV TAHUN; RUN;
131
proc simnlin data=SASUSER.gabungan dynamic simulate stat outpredict theil; ENDOGENOUS DJLN DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA TKA TKNA PAD UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA PRDKNA; INSTRUMENTS LW POP DAU DBH LLSI TJLN PDL DAKPER DAKLL BTL PRDKNA NMDL D LDJLN LDIRGS LDINFLL LMDL LPDRBA LPDRBNA LTKA LTKNA SPDRBA LUPHA LUPHNA LPAD LGINI LPOVD LPOVK LKAPFIS LTPOV LDAU LTJLN LSPDRBA LPENGDES LPENGKOT GSPDRBNA DKAPFIS LTPOV RUPHNA DMDL DDAU ; Parm A0 A1 A2 A3 A4 A5
10093.38 -0.00058 0.006916 377.7009 2509.630 0.588367
E0 E1 E2 E3 E4 E5 E6
-3139857 5.063561 2584221 2.136819 19.72399 36.42456 2075896
I0 I1 I2 I3 I4
B0 B1 B2 B3 B4
7580.396 -0.00039 0.006975 6557.807 0.495227
F0 F1 F2 F3 F4
-2.316E7 19.18972 6.627932 850.3962 1850907
J0 J1 J2 J3 J4
C0 C1 C2 C3 C4
9384.437 -0.00201 0.002991 -1814.81 0.580293
G0 G1 G2 G3 G4
281444.6 -228124 0.011010 -23714.2 0.858153
K0 K1 K2 K3
D0 D1 D2 D3 D4 D5 D6 ;
-37038.6 0.120538 2.387266 0.071231 0.149938 -25893.3 0.726168
H0 H1 H2 H3 H4
1263240 -1150185 0.006220 -87346.6 0.855178
L0 L1 L2 L3
0.607184 5.724E-9 -3.36E-6 0.039755 0.047176
1.632250 0.055865 -6.91E-6 -0.32415 0.804576
M0 M1 M2 M3 M4 M5
204134.9 -170825 -7169.80 547.2295 10183.23 0.931896
N0 N1 N2 N3 N4
2959071 -86572.1 -129319 83653.55 -883640
39618.84 0.021447 0.070900 -77988.4 0.397198 -0.00040 0.005921 -0.02883
DJLN = a0 + a1 * DKAPFIS + a2 * TPOV + a3 * LW + a4 *D + a5 * LDJLN; DIRGS = b0 + b1 * LKAPFIS + b2 * LTPOV + b3 * D + b4 * LDIRGS; DINFLL = c0 + c1 * DKAPFIS + c2 * TPOV + c3 * D + c4 * LDINFLL; MDL = d0 + d1 * PAD + d2 * INFR + d3 * DDAU + d4 * DBH + d5 * D + d6 * LMDL; PDRBA = e0 + e1 * TKA + e2 * DAKPER + e3 * DMDL + e4 * LLSI+ e5 * TJLN + e6 *D; PDRBNA = f0 + f1 * TKNA + f2 * LMDL + f3 * LTJLN + f4 * D; TKA = g0 + g1 * UPHA + g2 * LPDRBA + g3 * D + g4 * LTKA; TKNA = h0 + h1 * RUPHNA + h2 * PDRBNA + h3 * D + h4 * LTKNA; UPHA = i0 + i1 * PDRBA + i2 * TJLN + i3 * D + i4 * LUPHA; UPHNA = j0 + j1 * PRDKNA + j2 * TJLN + J3 * D + j4 * LUPHNA; PAD = k0 + k1 * TPDRB + k2 * PLD + k3 * D; GINI = l0 + l1 * LSPDRBA + l2 * GSPDRBNA + l3 * D; POVD = m0 + m1 * UPHA + m2 * LPENGDES + m3 * GGINI + m4 * D + m5 *LPOVD; POVK = n0 + n1 * UPHNA + n2 * LPENGKOT + n3 * DGINI + n4 * D ; PDD = PAD + DAPER + PDL; DAPER = DAU + DAK + DBH; DAK = INFR + DAKLL + DAKPER; INFR = DJLN + DIRGS + DINFLL; KAPFIS = PDD-DAK-DAU-PDL; TPDRB = PDRBA + PDRBNA; BL = MDL + NMDL; PLD = BL + BTL; TTK = TKA + TKNA; TPOV = POVD + POVK;
132
SPDRBA = PDRBA / TPDRB*100; SPDRBNA = PDRBNA / TPDRB*100; PRDKNA = PDRBNA/TKNA; run;
133 Lampiran 10. Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2009-2013 Model Transfer Fiskla Fiskal, Perekonomian, Ketipangan dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Tinggi dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.3 Contoh: Skenario SIM-01 Peningkatan DAK bidang Infrastruktur Jalan (DJLN) 150 persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations Number of Statements
26 26 74 26 26
The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SASUSER.GABUNGAN
Solution Summary Variables Solved Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
25 NEWTON 1E-8 5.773E-9 6 137 3.113636
Observations Processed Read Solved Failed Variables Solved For
55 44 11
DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA PAD TKA TKNA UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA
134 HASIL SIMULASI The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Variable DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA PAD TKA TKNA UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA
N Obs
N
44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44
44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44 44
Actual Mean Std Dev 36249.0 23277.2 2287875 11068432 30515750 1592125 1.1495 1.2523 1.0164 12.3626 0.3616 0.4411 0.1992 10992787 7601442 638973 164965 2613052 41584182 4840751 10418120 0.6403 2.4017 27.9256 72.0744
14903.8 11208.4 1146198 7082800 24113157 1081330 0.6214 0.7864 0.2665 1.7349 0.0300 0.2981 0.1920 5183157 3022759 272641 70394.8 1416909 30893442 2590804 5680404 0.4273 1.3833 5.4477 5.4477
Predicted Mean Std Dev 36239.5 26935.1 2677463 11065668 30512143 1619616 1.1489 1.2522 1.0188 12.3222 0.3615 0.4407 1.4224 10107010 6688173 744002 326770 1622246 41577810 5230339 10807709 1.8631 2.4012 30.4901 69.5099
8800.2 7292.8 1161300 4993772 25867234 996171 0.6139 0.8151 0.0901 0.5691 0.00528 0.3041 0.1224 4992792 2939547 310180 126344 1045480 30251218 2642537 5739294 0.3530 1.4061 8.9522 8.9522
Label DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA PAD TKA TKNA UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK
135 Lampiran 11. Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 2009-2013 Model Kapasitas Fiskla Fiskal, Perekonomian, Ketipangan dan Kemiskinan di Daerah Pertanian Rendah dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.3 Contoh: Skenario SIM-01 Peningkatan DAK bidang Infrastruktur Jalan (DJLN) 150 persen The SAS System The SIMNLIN Procedure Model Summary Model Variables Endogenous Parameters Equations Number of Statements
26 26 74 26 26
The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Data Set Options DATA=
SASUSER.GABUNGAN
Solution Summary Variables Solved Solution Method CONVERGE= Maximum CC Maximum Iterations Total Iterations Average Iterations
25 NEWTON 1E-8 6.248E-9 12 113 3.53125
Observations Processed Read Solved Failed Variables Solved For
40 32 8
DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA PAD TKA TKNA UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA
136 HASIL SIMULASI The SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Descriptive Statistics Variable DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA PAD TKA TKNA UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK SPDRBA SPDRBNA
N Obs
N
32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32 32
Actual Mean Std Dev 44458.7 36999.7 4050562 20924313 1.239E8 4785812 2.6615 5.5533 1.0080 13.5735 0.3935 1.3459 0.9162 21724236 13154201 1151897 211933 6798595 1.4482E8 9267806 23134929 2.2620 8.2148 16.6853 83.3147
31597.8 24012.6 2646851 19880837 1.3677E8 4718091 2.4361 5.9425 0.3358 3.7547 0.0315 1.2876 1.0151 16413009 9162004 1019054 148021 5620519 1.5612E8 6132055 16548682 2.2132 8.0964 2.6670 2.6670
Predicted Mean Std Dev 44434.5 41145.2 4531723 20923061 1.2389E8 4819859 2.6612 5.5533 1.0091 13.516 0.3934 1.3457 2.3019 19857341 11253258 1287623 411767 4795974 1.4482E8 9748967 23616090 3.6476 8.2145 19.0542 80.9458
27752.0 17305.5 2790928 19994500 1.3226E8 4381112 2.4002 5.8832 0.1227 1.2372 0.00470 1.2578 0.1661 15355241 8197626 1074330 294389 4250554 1.5102E8 6284773 16679151 1.3321 8.0395 8.0967 8.0967
Label DIRGS DINFLL MDL PDRBA PDRBNA PAD TKA TKNA UPHA UPHNA GINI POVD POVK PDD DAPER DAK INFR KAPFIS TPDRB BL PLD TPOV TTK
137
Lampiran 12. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 20092013 Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpangan Kemiskinan dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian Tinggi dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.1.3
Variabel Endogen DJLN DIRGS DINFLL INFR DAK DAPER PAD KAPFIS PDD MDL BL PLD PDRBA PDRBNA TPDRB UPHA UPHNA TKA TKNA TTK SHPDRBA SHPDRBNA GINI POVD POVK TPOV
Keterangan
DAK Infra Jalan DAK Infra Irigasi DAK Infra lain-lain DAK Infrastruktur Total DAK Dana Perimbangan Pendapatan Asli Daerah Kapasitas Fiskal Pendapatan Daerah Modal Belanja Langsung Pengeluaran Daerah PDRB Pertanian PDRB Non Pertanian Total PDRB Upah Pertanian Upah Non Pertanian Tenaga Kerja Pertanian Tenaga Kerja Non Pertanian Total Tenaga Kerja share PDRB Pertanian share PDRB Non Pertanian Indeks Gini Jumlah Pdd Miskin Pedesaan Jumlah Pdd Miskin Perkotaan Total Penduduk Miskin
Sim1 150.000 0.000 -0.430 95.788 27.144 0.518 4.040 3.706 1.869 16.734 7.909 3.675 7.345 0.280 8.214 0.452 0.007 -0.092 0.356 0.141 4.127 -1.810 -5.090 -0.180 -0.803 -0.377
Perubahan (%) Sim3 Sim2 -0.012 -0.011 150.000 0.000 -0.171 -0.036 32.930 -0.012 9.332 -0.003 0.178 0.000 1.495 0.161 1.372 0.148 0.654 0.017 5.759 0.008 2.722 0.004 1.265 0.002 2.529 0.004 0.280 0.280 3.340 0.785 0.157 0.000 0.007 0.007 -0.032 0.000 0.356 0.356 0.170 0.185 1.069 -0.701 -0.469 0.308 -5.090 -5.090 -0.062 0.000 -0.803 -0.803 -0.296 -0.253
Sim4 -1.249 -0.193 -2.075 -1.133 0.373 0.115 17.976 16.837 2.477 40.000 19.075 9.149 2.107 20.470 59.245 -0.098 1.948 1.132 2.496 1.843 -13.612 5.971 -5.035 1.653 -11.526 -2.500
138
Lampiran 13. Rekapitulasi Hasil Simulasi Historis Skenario Tunggal Tahun 20092013 Model Transfer Fiskal, Perekonomian, Ketimpangan Kemiskinan dan Kemiskinan Sektoral Daerah di Provinsi Pertanian Rendah dengan Metode Solusi Newton Prosedur SIMNLIN pada software SAS/ETS 9.3 Variabel Endogen DJLN DIRGS DINFLL INFR DAK DAPER PAD KAPFIS PDD MDL BL PLD PDRBA PDRBNA TPDRB UPHA UPHNA TKA TKNA TTK SHPDRBA SHPDRBNA GINI POVD POVK TPOV
Keterangan DAK Infra Jalan DAK Infra Irigasi DAK Infra lain-lain DAK Infrastruktur Total DAK Dana Perimbangan Pendapatan Asli Daerah Kapasitas Fiskal Pendapatan Daerah Modal Belanja Langsung Pengeluaran Daerah PDRB Pertanian PDRB Non Pertanian Total PDRB Upah Pertanian Upah Non Pertanian Tenaga Kerja Pertanian Tenaga Kerja Non Pertanian Total Tenaga Kerja share PDRB Pertanian share PDRB Non Pertanian Indeks Gini Jumlah Pdd Miskin Pedesaan Jumlah Pdd Miskin Perkotaan Total Penduduk Miskin
Sim1 150.000 0.000 -0.345 92.247 17.975 1.494 1.237 0.871 1.176 11.700 5.114 2.049 4.809 0.153 0.822 0.565 0.165 -0.049 0.176 0.103 0.288 -0.068 0.000 -0.073 -0.210 -0.129
Perubahan (%) Sim3 Sim2 0.000 -0.010 150.000 0.000 -0.001 -0.037 0.314 -0.013 0.061 -0.002 0.005 0.000 0.005 0.085 0.003 0.060 0.004 0.019 0.040 0.011 0.017 0.005 0.007 0.002 0.016 0.005 0.002 0.153 0.004 0.124 0.002 0.000 0.002 0.165 0.000 0.000 0.002 0.176 0.001 0.119 -0.054 -7.597 0.013 1.788 0.000 0.000 0.000 0.000 -0.002 -0.210 -0.001 -0.085
Sim4 -0.115 0.000 -2.104 -0.438 -0.085 -0.007 7.422 5.225 1.636 40.000 17.481 7.003 1.537 8.790 7.734 0.178 1.835 -0.016 1.079 0.724 -16.752 3.943 0.000 -0.023 -2.323 -0.959
139
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Desa Ketapang Timur, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Jawa Timur pada 22 November 1991, sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Sudin dan Ibu Arsina. Pendidikan Sekolah Dasar hingga jenjang Sekolah Menengah Atas diselesaikan di Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Lulus sekolah dasar di SD Negeri I Ketapang Timur tahun 2003, lulus Madrasah Tsanawiyah Miftahul Iman tahun 2006 dan SMA Negeri 1 Ketapang –Sampang tahun 2009. Selanjutnya pada tahun 2009, penulis melanjutkan jenjang pendidikannya di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura (UTM) di Kabupaten Bangkalan, lulus pada tahun 2013. Selama perkuliahan (S1) penulis aktif di organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus antara lain Himpunan Mahasiswa Agribisnis, BEM Fakultas Pertanian, BEM Universitas, Paduan Suara, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Selain itu penulis pernah menjadi asisten dosen di beberapa mata kuliah : Statistik, Aplikasi Komputer, Metode Riset Bisnis, Studi Kelayakan Bisnis, Agribisnis Pangan, dan Kimia Anorganik. Pada tahun 2013 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikannya dan diterima sebagai mahasiswa pascasarjana di program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa program pascasarjana dalam negeri (BPPDN) Dikti. Selama perkuliahan (S2) penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMMPAS) dan Forum Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (FORUM WACANA IPB)