42
PEMBAHASAN Pemeriksaan Lapangan Pemeriksaan lapang dilakukan disetiap wilayah untuk mengetahui kondisi wilayah serta potensi wilayah tersebut. Pemeriksaan lapang dilakukan untuk mengetahui kelas kesesuaian lahan. Pemeriksaan yang umum dilakukan pada pemeriksaan lahan adalah jenis tanah, temperatur tanah, ketersediaan air, kelembaban tanah, tekstur tanah, bahan kasar tanah, pH tanah, koefisien tukar kation (KTK), toksisitas, variabel penyiapan tanah, bahaya banjir, bahaya erosi, dan lain sebagainya. Hasil pemeriksaan lapang adalah diketahuinya kelas kesuaian lahan yang meliputi kelas kesesuaian lahan S1, S2, S3 dan N. Kelas kesesuaian lahan S1 merupakan lahan yang sangat baik untuk pengusahaan pertanian sedangkan kelas kesesuaian lahan N merupakan kelas lahan yang tidak dianjurkan untuk pengusahaan pertanian. Pemeriksaan lapang yang dilakukan di PT Dupont tidak menentukan kelas kesesuaian lahan tetapi dilakukan untuk mengetahui kelayakan lahan yang akan bekerja sama dengan perusahaan. Pemeriksaan lapang di PT Dupont meliputi pemetaan wilayah sarana irigasi, pola tanam, ketinggian tempat, areal pertanian potensial, areal potensial penanaman jagung, jalan angkutan panen dan upah tenaga kerja pada setiap wilayah. Berdasarkan pemeriksaan lapang yang dilakukan perusahaan, wilayah yang mengikuti kerjasama dengan perusahaan adalah lahan yang mempunyai potensi wilayah lebih dari 15 hektar, memiliki saluran irigasi dan memiliki akses yang cukup baik dengan jalan. Pemeriksaan sarana irigasi dilakukan karena perusahaan tidak akan melakukan kerja sama pada wilayah dengan kondisi lahan pertanian tanpa irigasi atau lahan tadah hujan karena kondisi lahan tersebut dianggap tidak dapat mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal. Pola tanam di setiap wilayah perlu diketahui untuk mengetahui sejarah lahan, apabila sejarah lahan diketahui diharapkan dapat memprediksi produksi yang dihasilkan serta prediksi serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Kondisi lahan yang ditanam palawija sebelum penanaman jagung akan lebih baik dibandingkan lahan yang sebelumnya ditanam padi. Lahan yang ditanam palawija sebelumnya lebih mudah diolah dan
43
setelah pengolahan lahan tersebut mempunyai aerasi yang lebih baik dibandingkan dengan lahan yang sebelumnya ditanam padi. Kondisi lahan yang baik dapat membantu meningkatkan produksi tanaman. Lahan sebelumnya ditanam palawaija juga perlu diketahui komoditas palawija tersebut. Lahan yang sebelumnya ditanam komoditas jagung memiliki potensi yang lebih besar terkena seangan OPT khususnya penyakit bulai yang merupakan penyakit tular tanah dan benih. Pemeriksaan sejarah lahan diharapkan dapat memberikan informasi kepada perusahaan sehingga perusahaan memiliki cara tepat dalam memproduksi benih sehingga dihasilkan benih dengan produksi tinggi dan bermutu baik. Pemeriksaaan terhadap upah tenaga kerja dilakukan sebagai dasar penyusunan biaya detasseling karena perusahaan bertanggung jawab terhadap kegiatan detasseling. Pemeriksaan ini harus dilakukan dengan baik karena hal tersebut berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Pertemuan dengan Petani Pertemuan antara perusahaan dan petani dilakukan sebagai langkah awal dalam penandatanganan kontrak kerjasama. Pertemuan ini dilakukan pada setiap wilayah yang telah memenuhi kelas sesuaian lahan pada pemeriksaan lapang. Pertemuan terbuka bagi seluruh petani. Koordinator desa mengundang secara resmi ketua kelompok tani, broker, petani yang mempunyai pengaruh besar dalam kelompok, wakil perusahaan, kepala daerah serta perwakilan dinas pertanian setempat. Pada umumnya, pertemuan dengan petani dihadiri oleh petani dengan kepemilikan lahan yang luas. Petani yang memiliki lahan sempit mewakilkan kehadiranya kepada petani yang memiliki lahan yang luas yaitu dengan kepemilikan lahan kurang lebih satu hektar. Pertemuan antara perusahaan dengan petani menegaskan system kerjasama yang dilakukan oleh perusahaan dengan petani. Pada pertemuan ini juga dibahas tentang peraturan tanam yang harus dilakukan dan produksi benih oleh petani yang bersedia bekerja sama dengan perusahaan. Hak dan kewajiban petani serta perusahaan dijelaskan sehingga petani mengetahui dengan jelas mengenai
44
kegiatan yang harus dilakukan dan semua yang harus diterima oleh petani. Penentuan harga jagung gelondong per kilogram juga ditentukan pada pertemuan ini. Apabila kesepakatan telah dicapai dan disepakati bersama petani dan perusahaan maka seluruh peraturan yang berlaku bagi seluruh petani dalam satu wilayah. Perusahaan juga turut mengundang saksi untuk memperkuat status hukum perjanjian. Saksi yang ditunjuk oleh perusahaan adalah dinas pertanian setempat, kepala desa dan wakil dari perusahaan. Petani yang diharapkan hadir oleh pihak perusahaan adalah petani yang memiliki pengaruh besar. Secara khusus petani diundang untuk mengikuti pertemuan. Pertemuan serta penandatanganan kontrak kerja sama tidak dapat dilakukan apabila saksi tidak hadir. Kesepakatan kerjasama berlaku pada seluruh petani pada satu wilayah, sehingga petani dilarang melakukan kerjasama dengan pihak ketiga khususnya perusahaan benih jagung lainnya atau menanam jagung varietas lain. Hal tersebut bertujuan untuk mengisolasi tanaman jagung varietas W45 dari tanaman jagung lainsehingga kemurnian genetik benih yang dihasilkan dapat terjaga. Produksi Benih Jagung Hibrida Persiapan Lahan Persiapan lahan di PT Dupont untuk penanaman jagung adalah dengan menggunakan sistem bedengan. Penggunaan sistem bedengan diharapkan dapat memudahkan dalam mengatur jarak tanam sehingga dapat mengatur kerapatan populasi tanaman. Selain itu penggunaan bedengan juga diharapkan dapat meningkatkan persentase daya tumbuh benih. Daya tumbuh benih yang tinggi akan menjaga jumlah populasi tanaman sehingga akan berpengaruh positif terhadap produksi tanaman jagung. Peningkatan persentase daya tumbuh disebabkan oleh adanya peningkatan aerasi dan drainase tanah serta terjaganya kelembaban tanah pada lahan yang menggunakan bedengan. Perbedaan persentase daya tumbuh benih pada lahan dengan bedengan dan tanpa bedengan dapat dilihat pada Gambar 17.
45
Persentase (%)
120
100
100
94 80
80
78
60 40 20 0 Bedengan 1
Bedengan 2
Tanpa Bedengan 1 Tanpa Bedengan 2
Gambar 17. Daya Tumbuh Benih Pada Lahan Bedengan dan Tanpa Bedengan Bedengan 1 pada Gambar 17 merupakan bedengan dengan tinggi 25 cm, bedengan 2 merupakan bedengan dengan tinggi 15 cm, tanpa bedengan 1 merupakan lahan tanpa pengolahan tanah bekas penanaman padi sedangkan tanpa bedengan 2 merupakan lahan bekas penanaman cabai. Berdasarkan Gambar 17 dapat diketahui bahwa daya tumbuh benih di lahan dengan menggunakan bedengan adalah 100 % dan 94 %. Daya tumbuh benih pada lahan dengan bedengan lebih tinggi dibandingkan dengan lahan tanpa mengggunakan bedengan. Ketinggian bedengan juga berpengaruh terhadap daya berkecambah benih. Bedengan dengan tinggi 25 cm mempunyai daya tumbuh yang lebih besar dibandingkan dengan bedengan yang tingginya 15 cm. Daya berkecambah awal benih yaitu 98 % (Tabel 2). Hasil uji nilai tengah pada lahan yang menggunakan dan lahan tanpa bedengan terhadap daya tumbuh benih dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Uji-t Pengaruh Bedengan Terhadap Daya Tumbuh Benih Perlakuan Bedeng (a) Tanpa Bedeng (b) a vs b
Daya Tumbuh (%)± ST Dev 97 ± 3.8 79 ± 1.6
Hasil Uji-t 8.6**
Keterangan : (**) : nilai rataan menunjukkan perbedaan sangat nyata menurut uji-t pada taraf 1%.
Berdasarkan hasil uji nilai tengah pada penggunaan bedengan terhadap daya tumbuh benih yang tersaji pada Tabel 4, diketahui bahwa lahan dengan bedengan menunjukkan perbedaan sangat nyata pada taraf 1%. Bedengan meningkatkan daya tumbuh benih secara signifikan dengan rata-rata daya tumbuh sebesar 97 ± 3.8 dibandingkan lahan tanpa bedengan dengan rata-rata daya tumbuh benih 79 ± 1.6. Tingginya daya tumbuh benih di lahan yang
46
menggunakan bedeng diduga disebabkan oleh sifat fisik tanah pada bedengan lebih baik sehingga benih dapat dengan mudah menyerap air, unsur hara, udara dan panas. Selain itu bedengan juga dapat mencegah penggenangan air yang dapat menyebabkan pembusukan dikarenakan benih terlalu banyak menyerap air (Harjadi, 2002). Daya tumbuh benih di lapangan tinggi maka populasi tanaman tiap hektar dapat dipertahankan sesuai rekomendasi sehingga hasil tanaman yang panen tidak menurun. Hasil tanaman yang optimal ini sesuai dengan hasil penelitian Tawainga et al. (2000) bahwa pengolahan lahan dapat meningkatkan produksi jagung dan menurunkan penggunaan material kimia pada pertanaman jagung. Ortega et al. (2000) menyatakan bahwa daya tumbuh benih juga dipengaruhi jumlah N tersedia dalam tanah yang dapat diserap benih untuk berkecambah. Penggunaan bedengan dapat meningkatkan efisiensi nitrogen sebanyak 3 % dan penyerapan nitrogen sebanyak 10 %. Sharma (2003), menambahkan bahwa penggunaan bedengan dapat meningkatkan aerasi pada zona perakaran, menjaga kelembaban tanah dan dapat menurunkan aliran permukaan (run off) saat musim hujan dan mencegah terjadinya genangan air yang menyebabkan kelembaban terlalu tinggi. Bedengan menurunkan aliran permukaan sehingga pupuk yang diberikan pada tanaman tidak mudah tercuci. Apabila tanaman dapat menyerap input produksi dengan baik maka tanaman dapat tumbuh dengan baik dan dapat berproduksi secara maksimal
Produktivitas (ton/ha)
(Gambar 18). 8 6
7,36
6,75 4,5
5,114
4
Bedengan
2
Tanpa bedengan
0 Ngebruk
Tenggong
Gambar 18. Hasil Panen Pertanaman dengan Lahan Bedengan dan Tanpa Bedengan
47
Penggunaan bedengan dapat meningkatkan produksi jagung di lahan Sumber Pucung. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa produksi tanaman jagung pada bedengan lebih tinggi daripada produksi tanaman tanpa menggunakan bedengan. Perbedaan hasil panen tongkol jagung dengan menggunakan bedengan dan tanpa bedengan untuk wilayah Ngebruk dan Tenggong adalah sebesar 2.25 ton/ha. Pengaruh penggunaan sistem bedeng terhadap hasil panen tongkol jagung dapat diketahui dengan cara pengujian data dengan uji nilai tengah seperti yang tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Uji-t Pengaruh Penggunaan Bedengan Terhadap Hasil Panen Tongkol Jagung. Perlakuan Bedeng (a) Tanpa Bedeng (b) a vs b
Rata-Rata Panen (ton/ha) ± ST Dev 7.03 ± 0.62 4.85 ± 2.03
Hasil Uji-t 2.32*
Keterangan : (*) : nilai rataan menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji-t pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel 5, penggunaan bedengan menghasilkan hasil panen tongkol jagung lebih tinggi yaitu 7.03 ± 0.62 ton/ha dibandingkan tanpa penggunaan sistem bedeng dengan hasil panen 4.85 ± 2.03 ton/ha. Perbedaan hasil panen antara lahan bedeng dengan lahan tanpa bedeng cukup signifikan. Hal ini berdasarkan hasil uji nilai tengah terhadap hasil panen lahan dengan bedengan dan tanpa bedengan menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5%. Penggunaan bedengan dapat mengurangi penggenangan air dilahan pada musim hujan sehingga dapat membantu fase perkecambahan tanaman, khususnya pada tanaman serealia yang sangat sensitif terhadap genangan air (Bakker et al., 2005). Semakin tinggi jumlah tanaman yang tumbuh dan berkembang pada lahan maka produksi yang dihasilkan juga semakin meningkat. Penanaman Faktor yang mempengaruhi penyerapan unsur hara selain morfologi tumbuhan itu sendiri adalah keberadaan tumbuhan lain yang ikut membutuhkan hara. Persaingan dalam mendapatkan hara yang dibutuhkan berkaitan dengan kecukupan hara sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kompetisi antar tanaman mengakibatkan hambatan pertumbuhan
48
terhadap tanaman jagung. Hambatan dapat berupa berkurangnya intensitas cahaya karena naungan, atau menipisnya ketersedian hara dan air karena dekatnya perakaran dua tanaman yang berdampingan (Hairiah et al. 2000). Pertumbuhan relatif dan hasil bersih fotosintesa per unit daun sangat ditentukan oleh jumlah populasi tanaman tiap luas lahan. Pertumbuhan optimum tercapai apabila luas daun per unit area berada pada kondisi maksimum. Jadi untuk meningkatkan hasil pertanian kerapatan tanam harus mendapat perhatian yang serius (Jumin, 2008). Hal tersebut mendasari PT Dupont menggunakan kerapatan populasi tertentu untuk memaksimalkan produktivitas tanaman jagung. Penanaman satu benih per lubang tanam merupakan cara untuk mengatur kerapatan tanam sehingga dapat mengurangi persaingan antar tanaman. Tidak adanya persaingan maka tanaman dapat menyerap input produksi dengan baik yang dapat meningkatkan produksi tanaman. Dengan menggunakan cara tanam tersebut diharapkan tanaman dapat tumbuh normal dan memiliki waktu anthesis yang sama. Tanaman abnormal yang ditunjukkan dengan kekerdilan akan memperlambat waktu anthesis. Apabila anthesis tidak serempak maka polinasi akan terganggu sehingga menyebabkan tongkol jagung tidak terisi penuh yang menyebabkan hasil panen menurun. Tanaman abnormal yang tumbuh kerdil juga diduga menurunkan hasil produksi benih karena tanaman yang tumbuh kerdil sulit menghasilkan tongkol jagung yang normal. Cara penanaman satu benih per lubang pada setiap wilayah dapat diketahui dengan cara membandingkan kebutuhan benih dengan penggunaan benih tiap hektar. Persentase total penggunaan benih tetua yaitu 120 % dengan perhitungan kehilangan hasil sebesar 20 % yang meliputi benih tidak tumbuh sebesar 5 %, rouging 10 % dan serangan OPT 5 %. Jika total penggunaan benih sebesar 120 % benih, maka populasi tetua sebesar 84 000 tanaman tiap hektar. Tabel 6 merupakan perhitungan kebutuhan benih untuk tetua jantan dan tetua betina varietas W45.
49
Tabel 6. Kebutuhan Benih Tetua Varietas W45 per Hektar di PT Dupont No
Uraian
1
Persentase penggunaan benih tetua Penurunan populasi Populasi tetua jantan tiap hektar Jumlah benih/kg Penggunaan benih tetua jantan Populasi tetua betina tiap hektar Jumlah benih/kg Penggunaan benih tetua betina Total penggunaan benih tetua
2 3 4
Persentase
Jumlah
Kebutuhan Benih (kg/ha)
120 % 20 % 14 000 4 500 3.1 70 000 4 500 15.6 18.7
Sumber : Kantor Lahan Produksi Sumber Pucung
Persentase total penggunaan benih tetua yaitu 120 % dengan perhitungan kehilangan hasil sebesar 20 % yang meliputi benih tidak tumbuh sebesar 5 %, rouging 10 % dan serangan OPT 5 %. Jika total penggunaan benih sebesar 120 % benih, maka populasi tetua sebesar 84 000 tanaman tiap hektar. Rasio penanaman tetua betina dan tetua jantan berdasarkan peraturan tanam adalah 5:1, sehingga populasi tetua betina sebesar 70 000 tanaman/ha sedangkan tetua jantan sebesar 14 000 tanaman/ha. Dengan perkiraan jumlah benih tiap tetua per kilogram 4 500 benih/kg maka dapat diketahui penggunaan benih tetua jantan sebesar 3.1 kg/ha dan tetua betina sebesar 15.6 kg/ha. Jumlah total penggunaan benih tetua tiap hektar sebesar 18.7 kg yang terdiri dari 3.1 kg benih tetua jantan dan 15.6 kg tetua betina. Penyulaman tidak dilakukan karena telah diperhitungkan penurunan populasi sebesar 20 %. Penyulaman tetua betina tidak dilakukan karena penyulaman diduga akan menyebabkan tanaman tidak tumbuh serasi. Hal tersebut akan menyebabkan anthesis tanaman sulaman lebih lambat, sehingga pada saat kegiatan detasseling bunga jantan tidak tercabut, hal ini dapat mengakibatkan pernyerbukan sendiri (selfing). Penanaman jagung sesuai rekomendasi perusahaan tidak dapat tercapai di lahan produksi Sumber Pucung. Hal tersebut dapat diketahui pada penggunaan benih tetua pada wilayah Sumber Pucung lebih tinggi dibandingkan dengan
50
rekomendasi perusahaan. Rata-rata penggunaan benih tetua di setiap wilayah produksi tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Luas Area Tanam dan Jumlah Penggunaan Benih Tetua di Lahan Produksi Sumber Pucung PT Dupont
Nama wilayah
Ngebruk Jatikerto Selatan Tenggong Jatikerto Utara Senggreng Ternyang Slorok Turus Total Rata-rata
Area Tanam (ha) 23.06 23.80 15.74 58.83 35.35 18.38 30.00 28.25 233.40
Total Penggunaan Benih Tetua Benih Benih Betina Jantan (kg) (kg) 414.20 95.50 458.00 102.50 281.04 66.22 1 096.00 243.20 638.50 156.00 302.30 71.50 535.00 116.50 446.80 113.40 4 171.84 964.82
Rata-rata Penggunaan Benih Tetua Benih Benih Total Betina Jantan (kg/ha) (kg/ha) (kg/ha) 17.96 4.14 22.10 19.24 4.31 23.55 17.86 4.21 22.06 18.63 4.13 22.76 18.06 4.41 22.48 16.45 3.89 20.34 17.83 3.88 21.72 15.82 4.01 19.83 17.73
4.12
21.85
Sumber : Kantor Lahan Produksi Sumber Pucung (per Juli 2010)
Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa Jatikerto Selatan merupakan daerah dengan penggunaan benih tetua terbesar, yaitu 23.55 kg/ha sedangkan Turus merupakan daerah dengan penggunaan benih tetua terkecil dengan rata-rata penggunaan benih tetua sebesar 19.83 kg/ha. Tingginya penggunaan benih tetua di Jatikerto Selatan lebih disebabkan oleh kebiasaan tanam petani, dimana petani masih menanam benih lebih dari satu benih per lubang tanam. Rata-rata penggunaan benih tetua disetiap daerah tanam juga lebih besar jika dibandingkan dengan penggunaan benih tetua yang telah direkomendasikan perusahaan (Tabel 6). Pada dasarnya perusahaan telah melakukan antisipasi pada saat penanaman yaitu dengan memberikan 3/4 dari total kebutuhan benih petani yang ditujukan untuk menekan penggunaan benih yang berlebihan. Kontrol penanaman kepada petani juga dilakukan pada saat penanaman untuk memastikan petani menanam satu benih setiap satu lubang tanam. Kegiatan panen yang dilakukan di lahan produksi Sumber Pucung hingga akhir bulan Juli 2010 baru dapat dilakukan di tiga wilayah produksi, yaitu wilayah
51
Ngebruk, Tenggong dan Jatikerto Selatan. Hasil Panen tongkol jagung di tiga wilayah tersaji pada Gambar 19. 7,08
Produktivitas (ton/ha)
8 5,63
6
4,75
4 2 0 Jatikerto Selatan
Ngebruk
Tenggong
Gambar 19. Hasil Panen Tongkol Jagung di Lahan Produksi Sumber Pucung Gambar 19 menunjukkan total hasil panen tongkol jagung di tiga wilayah Sumber Pucung. Wilayah Tenggong memiliki rata-rata produktivitas paling tinggi diantara tiga wilayah produksi yang telah melakukan kegiatan panen hingga bulan Juli 2010 yaitu 7.08 ton/ha. Rata-rata roduktivitas terendah yaitu wilayah Ngebruk dengan produktivitas rata-rata 4.75 ton/ha. Perbedaan produktivitas antara wilayah Tenggong dengan wilayah Ngebruk sebesar 2.33 kg/ha sedangkan perbedaan ratarata produktivitas wilayah Tenggong dan Jatikerto Selatan sebesar 1.45 ton/ha. Perbedaan produktivitas antar wilayah cukup signifikan, hal tersebut dapat dilihat dari uji nilai tengah terhadap data panen tiap wilayah yang tersaji pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji-t Perbandingan Produktivitas Rata-Rata Antar Wilayah Produksi Benih Perlakuan Jatikerto Selatan (a) Ngebruk (b) Tenggong (c) a vs b a vs c b vs c
Bobot Tongkol (ton/ha) ± ST Dev 5.63 ± 2.64 4.75 ± 1.60 7.08 ± 3.65
Hasil Uji-t
0.26tn -0.24* -2.93**
Keterangan : (*) : nilai rataan menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji-t pada taraf 5 %. (**) : nilai rataan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata menurut uji-t pada taraf 1 %. (tn) : nilai rataan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata menurut uji-t pada taraf 5 %.
Hasil uji-t terhadap perbandingan hasil panen di ketiga wilayah tersebut menunjukkan bahwa perbedaan hasil panen di wilayah Jatikerto Selatan sebesar
52
5.63 ± 2.64 ton/ha dan Ngebruk sebesar 4.75 ± 1.60 ton/ha tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Perbandingan hasil panen wilayah Jatikerto Selatan dan Tenggong dengan hasil panen 7.08 ± 3.65 ton/ha cukup signifikan karena berbeda nyata pada taraf 5 % bedasarkan uji nilai tengah. Hasil panen wilayah Ngebruk dan Tenggong memiliki perbedaan yang sangat signifikan karena hasil uji-t menunjukkan sangat nyata berdasarkan uji-t pada taraf 1 %. Peraturan tanam bertujuan untuk meningkatkan hasil benih sehingga didapatkan keuntungan maksimal bagi kedua belah pihak (perusahaan dan petani plasma). PT Dupont menggunakan cara penanaman satu benih per lubang tanam untuk mengatur jumlah populasi maksimal dalam tiap hektar per tanaman. Rekomendasi hasil panen jagung yang digunakan PT Dupont dapat dilihat pada Tabel 5. Rekomendasi hasil panen tersebut merupakan hasil panen berdasarkan pada penerapan aturan tanam yaitu 70 000 populasi tetua betina dan 14 000 populasi tetua jantan per hektar dengan perkiraan kehilangan populasi sebesar 20 % (Tabel 6). Pengaruh penggunaan benih terhadap hasil panen jagung dapat diketahui dengan melakukan uji nilai tengah yang tersaji pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Uji-T Pengaruh Penggunaan Benih Terhadap Hasil Panen Tongkol Jagung di PT Dupont Indonesia Perlakuan P1 P2 P3 P1 vs P2 P1 vs P3 P2 vs P3
Bobot Tongkol (ton/ha)±ST Dev 6.31 ± 3.74 4.38 ± 2.05 4.53 ± 1.10
Hasil Uji-t
1.84tn 0.92tn -0.18tn
Keterangan : (tn) : nilai rataan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata menurut uji-t pada taraf 5 %. P1 : Penggunaan benih 21 – 22 kg/ha P2 : Penggunaan benih 22 – 23 kg/ha P3 : Penggunaan benih 23 – 24 kg/ha
Untuk mengetahui lebih lanjut maka dilakukan uji-t pada penggunaan benih tetua terhadap hasil panen tongkol jagung. Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa penggunaan benih tidak berpengaruh nyata terhadap hasil panen menurut uji-t pada taraf 5 %. Penggunaan 21-22 kg/ha benih memiliki rata-rata panen yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan benih 21-22 kg/ha dan 22-23 kg/ha yaitu
53
6.31 ton/ha. Akan tetapi pada P1 standar deviasi data juga sangat besar yaitu 3.74. Hasil panen tongkol jagung varietas W45 berdasarkan rekomendasi perusahaan tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil Panen Tongkol Jagung Berdasarkan Rekomendasi Peraturan Tanam di PT Dupont Hasil Panen Tongkol Jagung (kg/ha)
Jumlah Tetua Bertongkol Ganda (%)
Minimal
Tengah
Tertinggi
5 10 15 20 25 30 35
5 312 5 071 4 850 4 648 4 462 4 290 4 132
5 578 5 578 5 578 5 578 5 578 5 578 5 578
5 871 6 197 6 562 6 972 7 437 7 968 8 581
Sumber : Kantor PT Dupont (2010)
Hasil panen jagung pada saat kegiatan magang di wilayah Ngebruk sebesar 4.75 ton/ha, Jatikerto Selatan 5.63 ton/ha dan produktivitas wilayah Tenggong yaitu 7.08 ton/ha. Hasil panen jagung di wilayah Tenggong sesuai dengan rekomendasi perusahaan, yaitu hasil panen dengan persentase tetua bertongkol ganda sebesar 25 % (Tabel 10). Penggolongan wilayah Tenggong pada rekomendasi perusahaan dengan persentase tetua bertongkol dua 25 % didasarkan pada pengamatan yang telah dilakukan. Hasil panen wilayah Ngebruk dan Jatikerto Selatan tidak dapat mencapai rekomendasi tertinggi perusahaan diduga karena berat tongkol yang dihasilkan setiap tanaman lebih ringan dibandingkan dengan rekomendasi perusahaan. Berdasarkan rekomendasi perusahaan, setiap satu kilogram berisi 10 tongkol jagung, sedangkan berdasarkan pengamatan saat kegiatan panen, setiap satu kilogram terdiri atas 13 - 14 tongkol jagung dengan panjang tongkol 13 - 15 cm. `
Persentase tetua betina bertongkol dua hingga mencapai 35 % apabila
populasi tanaman tiap hektar terkendali serta pemberian input produksi yang baik dan seimbang. Populasi yang tidak terlalu rapat akan memberikan ruang tumbuh bagi tanaman sehingga tanaman dapat menyerap input produksi dengan baik sehingga merangsang tanaman tetua betina jagung membentuk dua tongkol.
54
Semakin tinggi persentase tetua betina menghasilkan dua tongkol maka hasil panen tongkol jagung semakin tinggi. Pemeliharaan Tanaman Penggunaan pupuk N, P, dan K lengkap berpengaruh positif terhadap daya tumbuh benih yaitu masih diatas 80 %. Tanaman yang dipupuk N dan P atau N dan K daya tumbuhnya 60 % dan tanaman yang tidak dipupuk daya tumbuhnya 40 % setelah periode simpan 16 bulan (Syafruddin dan Saenong, 2005). Pemupukan N, P, dan K di lakukan oleh perusahaan untuk menjaga daya berkecambah benih tetua jantan dan betina diatas 98 %. Penggunaan dosis pupuk di PT Dupont adalah 400 kg/ha urea dan 400 kg/ha pupuk majemuk N-P-K-S (15-15-15-10) dan 8 liter/ha pupuk daun dan bunga (hara makro dan mikro). Penggunaan pupuk di PT Dupont sudah tepat dengan menggunakan pupuk majemuk N, P dan K sehingga benih hasil produksi perusahaan diharapkan memiliki viabilitas yang tinggi. Akan tetapi, jumlah pupuk N yang diaplikasikan pada produksi benih di lahan Sumber Pucung di PT Dupont berlebihan karena berdasarkan rekomendasi pemupukan Departemen Pertanian (2010) untuk Kabupaten Malang sebesar 200 - 300 kg/ha urea, 100 kg/ha SP 36 dan 50 kg/ha KCL. Pemberian dosis N yang relatif tinggi, dapat memperpanjang periode vegetatif tanaman, sehingga dapat mengurangi daya hasil tanaman. Masa periode vegetatif tanaman yang panjang dapat menghambat proses pemasakan bunga jantan dan masa reseptif bunga betina. Apabila proses sinkronisasi bunga pada tetua tidak berjalan dengan baik maka dapat menurunkan daya hasil karena penyerbukan tidak berjalan dengan baik sehingga pengisian tongkol jagung tidak sempurna. Dosis pemupukan N yang terlalu tinggi tanpa disertai penambahan pemupukan kalium sebagai pemacu perkembangan jaringan mekanis tanaman dapat menurunkan ketahanan tanaman terhadap serangan OPT. Serangan OPT dapat mengurangi areal yang dapat terpanen sehingga mengurangi produksi tanaman jagung.
55
Bulai merupakan salah satu penyakit tanaman dalam
produksi benih
jagung hibrida PT Dupont periode tanam 2010. Penyakit bulai menyerang hampir di setiap wilayah produksi benih akan tetapi epidemi penyakit terjadi pada wilayah Senggreng dengan luas satu hektar. Di wilayah Senggreng belum dilakukan kegiatan panen, akan tetapi sudah dapat dipastikan satu hektar pertanaman jagung tidak dapat di panen akibat serangan hama bulai. Terjadinya epidemi di wilayah Senggreng dikarenakan faktor lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit bulai. Sejarah lahan, tingginya intensitas hujan serta dosis pemupukan N yang berlebih menyebabkan tanaman mudah terserang penyakit. Berdasarkan survey area yang dilakukan, sebelum pertanaman jagung, lahan ditanam jagung manis yang juga terserang penyakit bulai. Pengendalian penyakit bulai menggunakan fungisida dengan bahan aktif mankozeb 64 % dan mesohoksan 4 % yang diaplikasikan pada saat tanaman berumur 14 HST atau 21 HST. Fungisida ini akan lebih baik diaplikasikan sebelum benih ditanam karena fungisida tersebut merupakan fungisida perlakuan benih. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi diduga mendukung meningkatkan serangan penyakit bulai. Intensitas curah hujan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Curah Hujan dan Hari Hujan di Lahan Produksi Sumber Pucung Bulan Januari Februari Maret April Mei
Curah Hujan (mm) 260 282 243 269 220
Hari Hujan 15 14 12 15 9
Curah Hujan Tertinggi (mm) 57 65 84 50 76
Sumber : BMG 2010, Stasiun Sumber Pucung
Tabel 11 menunjukkan bahwa intensitas hujan cukup tinggi pada awal penanaman hal tersebut dapat membuat iklim mikro pada lahan sangat baik untuk perkembangbiakan cendawan penyebab penyakit. Selain itu hujan membantu dalam penyebaran penyakit bulai yaitu melalui percikan air. Tikus merupakan salah satu hama pada produksi benih jagung hibrida PT Dupont periode tanam 2010. Hama tikus pada pertanaman jagung dapat
56
menurunkan produksi tanaman.Serangan tikus terjadi di dua daerah, yaitu Tenggong dan Jatikerto Selatan dengan luas serangan secara berturut-turut 6.01 ha dan 4.06 ha. Serangan hama tikus yang tinggi diduga disebabkan karena tidak adanya pemberaan setelah penanaman padi dimana pada saat penanaman padi serangan hama tikus cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan tanaman jagung menjadi makanan alternatif bagi hama tikus setelah seluruh pertanaman padi terpanen seluruhnya. Panen yang telah dilakukan di wilayah Tenggong pada periode Juli 2010 seluas 2.64 ha wilayah yang tidak dapat dipanen karena serangan tikus seluas 0.51 ha. Pada wilayah Jatikerto Selatan panen hingga juli 2010 seluas 5.47 ha dengan area yang dapat terpanen 3.89 hektar sedangkan area yang tidak terpanen akibat serangan hama tikus seluas 1.58 ha. Sinkronisasi Tetua Tanaman jagung merupakan tanaman protandry, dimana masa anthesis bunga jantan 1 - 3 hari sebelum rambut bunga betina muncul (silking). Apabila sinkronisasi antara tetua jantan dan betina berlangsung dengan baik maka tongkol jagung akan terisi sempurna. Hal tersebut berarti produksi jagung akan meningkat apabila sinkronisasi tetua berjalan dengan baik. Pada hasil pengamatan terhadap jumlah bunga terhadap 450 tanaman contoh (Lampiran 9), dapat diketahui bahwa proses pembungaan tanaman di lahan tercapai dalam waktu 6 - 7 hari setelah anthesis bunga jantan pada tetua jantan. Berdasarkan rekomendasi perusahaan pertanaman jagung dikatagorikan sinkron apabila selisih persentase jumlah tetua jantan anthesis dan tetua betina reseptif pada pengamatan kurang dari 10 %. Apabila pengamatan menunjukkan persentase lebih dari 10 % maka pertanaman tidak sinkron sehingga perlu perubahan rasio tanam pada penanaman berikutnya untuk memperbaiki persentase sinkronisasi tetua. Pengamatan terhadap jumlah bunga yang reseptif dan anthesis menunjukkan bahwa sinkronisasi pada pertanaman jagung tercapai cukup baik. Hanya pada umur 56 HST pertanaman kurang sinkron, hal ini ditunjukkan dengan selisih persentase jumlah tetua jantan anthesis dan jumlah tetua betina reseptif
57
sebesar 11 %. Hasil Pengamatan jumlah bunga dapat di analisis dengan menggunakan uji-F dan uji lanjut DMRT pada taraf 5 % untuk mengetahui lebih lanjut sinkronisasi antara tetua. Hasil uji-f pengamatan tersaji pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil Uji F Jumlah Bunga Betina dan Jantan pada Pengamatan Sinkronisasi Umur Tanam 53 54 55 56 57 58 59 60
Jumlah Bunga Betina Reseptif 2.3a 8.3a 15.3a 28.3b 37.7b 43.0b 48.7a 50.0a
Jumlah Bunga Jantan I Anthesis 1.0a 9.3a 21.3a 37.7a 45.0a 49.3a 50.0a 50.0a
Jumlah Bunga Jantan II Anthesis 0.0a 0.0b 2.0b 8.7c 21.3c 33.7c 47.0b 50.0a
Keterangan : nilai rataan pada baris yang sama yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5 %.
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa pada umur 56 – 58 hari, sinkronisasi antara tetua betina dan tetua jantan I menunjukkan perbedaan yang nyata,berdasarkan uji lanjut DMRT, hal ini berarti sinkronisasi antar tetua kurang sempurna. Hasil analisis menunjukkan bahwa masa anthesis tetua jantan I dan silking tetua betina terjadi pada saat umur tanaman 53 hari, sedangkan masa anthesis tetua jantan II terjadi pada umur 55 hari. Hal tersebut terjadi karena rasio penanaman 0-0-2, dimana tetua jantan II ditanam dua hari setelah penanaman tetua betina dan tetua jantan I. Pada saat bunga jantan belum anthesis, tetua betina dan jantan I masih sinkron yang dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan yang nyata antara waktu sinkroniasi bunga betina dan bunga jantan I. Sinkronisasi antar tetua tidak tercapai pada saat tanaman berumur 56 – 58 hari karena hasil uji lanjut (Tabel 12) menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf 5% antara tetua betina dan jantan I dan jantan II. Penetapan perbedaan waktu tanam antara tetua jantan I dan tetua jantan II tidak berpengaruh terhadap sinkronisasi tanaman karena hasil rataan berdasarkan hasil uji lanjut pada umur 56 - 58 hari untuk tiap tetua berbeda nyata. Adanya perbedaan waktu tanam antara tetua jantan II diharapkan dapat memperpanjang waktu penyerbukan sehingga
58
tongkol jagung dapat terisi sempurna dengan bulir jagung yang rapat. Apabila pertanaman tidak sinkronan maka dapat dirubah rasio penanaman tetua jantan dan betina. Berdasarkan Tabel 12 perubahan rasio tanam dapat dilakukan dengan cara menunda penanaman tetua betina dan tetua jantan 1. Pemanenan Pemanenan jagung pada produksi benih dilakukan saat benih telah masak fisiologis, yaitu kadar air berkisar antara 25 - 30 % (Kuswanto, 2003). Perusahaan menetapkan kadar air benih pada saat jagung panen berkisar 30 – 40 %. Panen jagung varietas W45 dilakukan pada umur antara 105 - 115 hari. Karena pada umur tersebut jagung dianggap telah masak fisiologis. Pemanenan juga dapat dilakukan apabila 80 % dari populasi telah masak berdasarkan stadia panen yang disusun oleh perusahaan (Tabel 3). Stadia panen yang disusun perusahaan digunakan untuk menghindari jagung dipanen terlalu muda atau jagung dipanen lewat masak. Pemanenan yang dilakukan oleh perusahaan sudah cukup tepat apabila pemanenan dilakukan terlalu awal maka biji yang dihasilkan mempunyai kadar air tinggi sehingga vigor benih tidak maksimal (Kuswanto, 2003). Pemanenan jagung yang terlalu muda juga akan mudah mengalamu kerusakan fisik dan mekanis saat transportasi. Sebelum kegiatan panen, pelaporan waktu panen disampaikan kepada administrator kantor 3 – 7 hari sebelumnya. Pelaporan panen bertujuan untuk mengatur jadwal penerimaan benih di pabrik pengolahan. PT Dupont membuat jadwal penerimaan benih dari lahan produksi hasil panen dari satu lahan produksi tidak tercampur dengan lahan produksi yang lain. Kegiatan panen dilakukan oleh petani setelah mendapat informasi waktu panen dari perusahaan. Hasil panen petani dipisahkan antara yang bermutu baik dan kurang baik. Hasil panen yang bermutu baik adalah hasil panen yang memiliki penampakan baik tanpa ada cacat akibat serangan OPT serta memiliki kemurnian genetik yang baik. Hasil panen yang bermutu kurang baik adalah hasil panen terserang OPT, kemurnian genetiknya diragukan akibat selfing dan biji pada tongkol telah berkecambah (pre germ). Hasil panen dibeli perusahaan sesuai
59
perjanjian yang berlaku baik yang bermutu baik atau kurang baik. Pemisahan hasil panen ditujukan untuk menghindari panen yang bermutu baik tercemar OPT atau kerusakan lainya akibat pencampuran hasil panen. Pemisahan panen juga dilakukan untuk memudahkan proses pengolahan pada pabrik pengolahan. Panen yang bermutu kurang baik akan dipilah dan dipipil secara manual. Hasil panen yang kemurnian genetiknya diragukan dimusnahkan atau di jual perusahan oleh pihak yang ditunjuk perusahaan. Pembayaran hasil panen dilakukan PT dupont setelah benih di timbang pada pabrik pengolahan. Pembayaran dilakukan perusahaan melalui kantor pos. Jumlah uang yang dibayarkan oleh perusahaan merupakan jumlah seluruh pendapatan petani dari hasil panen dikurangi dengan pinjaman petani. Pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan selambat-lambatnya satu minggu setelah hasil panen petani diangkut menuju pabrik. Alur Benih Tetua Benih merupakan faktor utama yang penting pada kegiatan produksi benih. Penggunaan benih yang tepat sesuai dengan rekomendasi perusahaan dapat memberikan keuntungan bagi petani serta perusahaan. Penggunaan benih yang tepat dapat meningkatkan hasil produksi petani karena dengan menggunakan benih yang tepat maka populasi suatu tanaman tidak terlalu rapat sehingga persaingan antar tanaman tidak terlalu tinggi. Penggunaan benih yang tepat oleh petani juga menguntungkan perusahaan. Apabila petani menggunakan benih sesuai dengan kebutuhanya maka perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk penyediaan benih tetua. Jumlah kebutuhan benih tetua yang digunakan petani dapat dikendalikan melalui peran serta koordinator desa serta koordinator wilayah. Koordinator desa perlu melakukan pengecekan ulang terhadap luas lahan petani sebelum mengajukan permintaan benih dan koordinator wilayah turut mengecek kembali sehingga benih yang diambil sesuai dengan kebutuhan petani. Saat benih diambil dari gudang produksi, koordinator desa harus melakukan pengecekan kembali terhadap identitas benih. Apabila ditemukan lot benih tetua tahun sebelumnya maka harus dilakukan pengecekan terhadap daya tumbuh
60
benih. Apabila daya tumbuh benih tetua dibawah 80 % maka harus dilaporkan kepada administrasi dan mengembalikan lot benih tersebut untuk ditukar dengan lot benih tetua yang baru. Saat pembagian benih, koordinator desa membagikan 80 % dari kebutuhan petani. Hal ini dilakukan agar petani dapat menyesuaikan penggunaan benih. Pada saat kegiatan pengawasan tanam dilakukan untuk mengawasi kegiatan penanaman petani dan memastikan petani menggunakan jarak tanam yang tepat serta cara tanam satu benih per lubang sehingga sehingga benih yang digunakan tidak berlebih. Analisis Usaha Tani Analisis usaha tani jagung dihitung selama satu musim tanam. Sistem usaha tani jagung disusun dengan membandingkan antara pembenihan jagung berdasarkan asumsi perusahaan dengan penanaman jagung konvensional sesuai kegiatan petani dilapangan. Analisis usaha tani dihitung selama satu musim tanam. Analisis usaha tani dapat dilihat pada Lampiran 10 dan Lampiran 11. Analisis usaha tani pembenihan jagung merupakan hasil analisis usaha tani berdasarkan dengan luasan lahan satu hektar dengan daya panen 7 ton gelondong jagung. Rata-rata hasil panen didasarkan pada potensi tanaman jagung varietas W45. Analisis jagung hibrida secara konvensional didasarkan kepada wawancara terhadap petani dengan daya mencapai 7 ton pipilan kering. Hasil analisis usaha tani pada pembenihan jagung hibrida menunjukkan total biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan total biaya pada budidaya jagung konvensional. Hal ini karenakan beberapa komponen biaya seperti benih, fungisida bahan aktif mankozeb 64 % dan mesohoksan 4 %, serta rodentisida diberikan perusahaan secara gratis. Total biaya pada pembenihan jagung yaitu sebesar Rp. 8 003 000,- sedangkan total biaya pada budidaya jagung konvensional sebesar Rp. 8 278 000,-. Komponen pendapatan pembenihan jagung pada kerja sama dengan PT Dupont, petani mendapatkan keuntungan tambahan, yakni Rp. 800 000,- yang meliputi kompensasi perusahaan terhadap pembabatan tetua jantan serta penjual
61
brangkasan tetua jantan. Harga yang disepakati pada pembenihan jagung di PT Dupont yaitu Rp. 3 000,- sudah dapat memberikan keuntungan jika hasil panen petani mencapai 7 ton gelondong jagung. Keuntungan yang didapat petani apabila hasil panen jagung mencapai 7 ton yaitu Rp. 13 797 000,-. Keuntungan tersebut akan lebih baik dibandingkan dengan budidaya jagung secara konvensional yaitu Rp.7 822 000,-. Karena keuntungannya yang jauh lebih tinggi maka petani di wilayah Sumber Pucung cenderung mengikuti sistem kerja sama pembenihan jagung hibridadengan perusahaan dibandingkan membudidayakan jagung secara konvensional. Kendala umum dilapangan yaitu petani merasa dirugikan. Hal tersebut dikarenakan
petani menambahkan input produksi khususnya pupuk dengan
harapan hasil semakin tinggi. Dosis pupuk berdasarkan rekomendasi perusahaan sudah sangat tinggi apabila petani menambahkan dosis pemupukan maka hasil yang didapatkan akan semakin menurun.
Berdasarkan hasil penelitian Djalil
(2003) pemberian pupuk yang tinggi tidak akan meningkatkan hasil tanaman jagung. Pemberian 50 kg/ha KCL sudah cukup memberikan sokongan terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Peningkatan dosis pupuk akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan total pendapatan apabila hasil panen tidak sesuai harapan sehingga keuntungan yang didapatkan sangat rendah.