Pembahasan kasus sstroke Maya pe pasien. Translate warna UNGU
In this case report, the patient is a 42 years old female with right side body weakness that occur suddenly in the morning, when she wake up from her sleep. This manifestation is in concordance with WHO stroke definition, which is a brain malfunction that occur suddenly with focal or global clinical sign that last for 24 hour, that can end by death due to brain circulation malfunction. This malfunction can be either subarachnoid, or intracerebral bleeding or cerebral infarction. Dalam laporan kasus ini, pasiennya adalah wanita berumur 42 tahun dengan kelemahan tubuh sebelah kanan yang terjadi secara tiba-tiba pada pagi hari ketika baru bangun tidur. Manifestasi klinis ini sesuai dengan definisi stroke yang dikemukakan oleh WHO, yaitu gangguan otak fokal maupun global yang terjadi secara tiba-tiba selama 24 jam, yang dapat diakhiri oleh kematian oleh karena gangguan peredaran darah otak. Gangguan ini dapat berupa perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral, ataupun infark serebral. From anamnesis we can find that the patient had no headache, vomitting, decrease of conciousness, or any history that could lead to ischemic stroke. This finding is also confirmed by physical examination, neuromuscular examination and other supporting examination. Dari anamnesis kita dapatkan bahwa pasien tidak mengalami sakit kepala, muntah, penurunan kesadaran, ataupun riwayat apapun yang mengarah ke stroke iskemik. Penemuan ini juga ditunjang dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan neuromuskular, dan pemeriksaan penunjang lainnya. The aim of physical rehabilitation is to help the patient to increase functional status as high as possible, by preventing complitation that could lead to disability dan dependency. Rehabilitation for stroke patient must start as soon as possible. There is a strong connection between the onset of rehabilitation with the rehab outcome in stroke patients. In this case report, medical rehabilitation phase, strarting from acute phase in the hospital to the sub acute phase until the long term handling at the patient house will be discussed occordingly. Avoiding complication of long term bed rest will be the goal of acute phase rehabilitation.
Yujuan dari rehabilitasi fisik yaitu untuk menolong pasien agar dapat meningkatkan status fungsional setinggi mungkin, yaitu dengan cara mencegah komplikasi yang dapat mengarah ke kecacatan dan ketergantungan. Rehabilitasi pada pasien stroke harus dimulai sedini mungkin. Ada hubungan yang kuat antara onset dari rehabilitasi dengan hasil rehab pada pasienpasien stroke. Dalam Laporan kasus ini, fase rehabilitasi medis dimulai dari fase akut dalam rumah sakit sampai dengan fase sub akut hingga penanganan jangka panjang dirumah pasien akan didiskusikan secara berturut-turut. Major risk factors that was discovered from this case anamnesis is the history of uncontrolled hypertension (200/100 mmHg) even with medication. Stroke incidence will decrease if the patient blood pressure can be maintain below 140/90 mmHg. The other risk factor that was found is hipercholesterolemia. This patient had a total cholesterol level > 250 with a habbit of eating greasy food. From the reference we knew that there was a positive connection between the increase of lipid plasma level and the increase of lipoprotein with the development of cerebrovascular aterosclerosis. This also means that there is a positive connection between the total cholesterol and trigliserid level with stroke risk, but there is a negative connection between the increase of HDL level with the stroke risk level. Faktor-faktor risiko besar yang ditemukan dalam anamnesis kasus ini adalah hipertensi tak terkontrol (200/100 mmHg) walaupun dengan penggunaan obat. Insidensi stroke akan menurun jika tekanan darah pasien dapat dijaga dibawah 140/90 mmHg. Faktor risiko lain yang ditemukan juga adalah hiperkolesterolemia. Pasien ini memiliki total kolesterol > 250 dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak. Dari referensi kita dapat mengetahui bahwa terdapat hubungan yang positif antara peningkatan kadar lemak plasma dan lipoprotein dengan perkembangan proses atherosklerosis serebrovaskuler. Hal ini juga berarti bawha ada hubungan yang positif antara total kadar kolesterol dan trigliserida dengan risiko stroke, akan tetapi ada hubungan negatif antara peningkatan kadar HDL dengan risiko stroke. The weakness of the right side of the body and other right side cranial nerve, shows that the lession is on the left hemisfer of the brain. The brain is fed by two pairs of artery, which is vertebralis artery that feed the brain stem, cerebelum and the posterior side of hemisfer, and the second one is carotis artery that serve both hemisfer, right and left. Cerebral blood flow is influenced by 3 factors, that is blood pressure, blood vessel resistence, and blood viscosity along
with coagulity. Autoregulation of brain vasculer system functions normally when sistemic blood pressure is between 50 – 150 mmHg. If the CO2 level increases and the O2 level decreases, blood pH level will decrease and vasodilatation occur along with increase of CBF. On the contrary if CO2 level decreases and the O2 level increases than the blood pH level will increase, this resulted the occurance of vasocontriction dan decrease of CBF. The decrease of CBF will decrease the brain perfussion, and at the end giving the patient ischemic stroke manifestation. Kelemahan tubuh sebelah kanan dan gangguan nervus kranialis sebelah kanan menunjukan bahwa lesi terdapat pada bagian hemisfer kiri otak. Otak didukung oleh 2 pasang arteri diantarannya adalah arteri vertebralis mengalirkan darah ke batang otak, serebelum, dan sisi posterior dari hemisfer, dan arteri karotis yang mengalirkan darah menuju kedua hemisfer kanan dan kiri. Aliran darah serebral dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu tekanan darah, resistansi pembuluh darah, dan kekentalan darah bersama dengan tingkat koagulitasnya. Proses autoregulasi dari sistem vaskuler otak berfungsi secara normal ketika tekanan darah sistemik berada pada rentang 50 – 150 mmHg. Jika kadar CO 2 meningkat dan kadar O2 menurun, akan terjadi penurunan pH darah sehingga akan terjadi vasodilatasi berasa dengan peningkatan CBF. Sebaliknya ketika kadar CO2 menurun dan kadar O2 meningkat, akan terjadi vasokonstriksi dan penurunan CBF. Penurunan CBF ini akan menurunkan tingkat perfusi otak, dan pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya manifestasi klinis stroke iskemik. At the case of ischemic stroke, the blood flow to the brain is stopped because of aterosclerosis or a thrombus that clog blood vessel to the brain. Almost all of the patient or 83% of the patient had this type of stroke.
Figure 1. Non haemoraghic stroke
Dalam kasus stroke iskemik, aliran darah otak terhenti dikarenakan oleh atherosklerosis ataupun trombus yang menyumbat pembuluh barah otak. Hampir semua pasien atau 83% dari pasien mendapatkan tipe stroke seperti ini. In this patient, weakness comes slow, showing a stroke evolution or a progressing stoke. In this state the neurological deficit that occur will continue towards the worse until it reach a complete stroke.The disability of this patient was assessed by neromuscular examination, and come up as dekstra hemiparesis accompanied by N.VII and VIII dextra. Pada pasien ini, kelemahan tubuh terjadi secara lambat, menunjukan sebuah evolusi stroke atau stroke progresif. Pada keadaan ini defisit neurologis yang terjadi akan terus berkembang kearah yang lebih buruk sampai pada keadaan stroke komplit. Tingkat kecacatan pasien dinilai dengan pemeriksaan neuromuskuler, dan disimpulkan sebagai hemiparesis dekstra yang disertai dengan lesi N.VII dan VIII dekstra. Pada pemeriksaan pertama kali hari ke dua setelah onset, ditemukan tanda-tanda vital Tekanan darah 200/100 mmHg, Nadi 68 x/menit, Respirasi 24 x/menit, Suhu badan 36, 0C.. Pada penderita ini pemeriksaan motorik ditemukan penurunan gerakan ekstermitas dekstra, kekuatan otot menurun pada ekstermitas dekstra baik superior maupun inferior. Hasil pemeriksaan
laboratorium dari hematologi dan kimia klinik semua dalam batas normal, kecuali pada kalium serum 2,9 mmol/L (penurunan dari nilai normal). Pada pemeriksaan EKG dan rontgen thorax dalam batas normal. CT-Scan menunjukkan gambaran hiperdens dikelilingi gambaran hipodens di lobus frontoparietal sinistra..12 berdasarkan pemeriksaan maka diagnosis klinis: hemparesis dexta + disatria ec SNH hari ke 4,Dari pemeriksaan fisik didapatkan lengan dan tungkai mengalami kelumpuhan yang tidak sama berat (lengan lebih berat sehingga diagnosis topisnya kortikal. Diagnosis etiologi yaitu stroke hemoragik karena pada pemeriksaan CT-Scan menunjukkan gambaran hipodens dan hiperdens di lobus frontoparietal sinistra. Diagnosis fungsional adalah disabilitas immobilisasi (transfer, ambulasi dan self care), namun pada follow-up mulai ada perbaikan Tonus otot menurun(flaksid) pada ekstermitas superior dan inferior dekstra, karena masih dalam fase Brunnstorm I. Namun selama proses pemulihan (0-6 bulan kemudian) tonus otot nampak meningkat sesuai dengan Brunsnstrom. Setelah penanganan rehabilitasi medic 2 bulan Nampak dari flaksid timbul spastisitas dan timbul pola sinergi flexor dan extensor dan akhirnya terjadi gerakan volunteer.Brunnstrom mengembangkan pemeriksaan fungsi motorik penderita hemiplegia menurut fase penyembuhan motoric sebagai berikut: Fase 1
: tidak ada gerakan otot ( flaksid)
Fase 2
: tampak sedikit spastik
Fase 3
: spastisitas menonjol, ada gerakan volunteer, tetapi dengan pola sinergi
Fase 4
: mulai ada gerakan volunter yang selektif diluar sinergi flexor dan extensor
Fase 5
: spastisitas menurun, aktifasi otot kebanyakan selektif
Fase 6
: gerakan otot sudah terkoordinasi Pada awal pemeriksaan , pasien memiliki problem antara lain gerakan ekstermitas
superior dan inferior dekstra menurun, gangguan mobilisasi (transfer dan ambulasi), gangguan Aktifitas Kehidupan Sehari-hari (berpakaian, makan, self care), gangguan emosi/psikologis, kecemasan pasien dan keluarga atas biaya pengobatan. Masalah terberat selain kelumpuhan pada pasien ini, adalah masalah psikologi dan sosial .Penderita sangat tertekan dengan keadaannya karena dia merupakan wanita aktif dengan usia produktif. Data menunjukan lebih 50% penderita stroke mengalami depresi
setelah terkena stroke yang pada akhirnya menghambat proses
penyembuhan bagi pasien sendiri. Masalah terberat selain kelumpuhan pada pasien ini, adalah
masalah psikologi dan sosial. Pada penderita ini, Proses kesembuhan motorik nampak sangat lambat di ruangan tidak nampak peningkatan kekuatan otot, demikian juga untuk 2 bulan pertama, namun pada bulan ke 3 perkembangan sangat cepat pada anggota gerak bawah dulu dibandingkan anggota gerak atas. Sampai bulan ke 3 kekuatan otot ekstremitas atas masih 0/2/2/1 dengan fungsi tangan (grip/ sferical, grasp) yang sangat kurang. Namun sensoriknya sudad kembali normal padabulan ke 2. Hal tersebut mungkin disebabkan kelumpuhan anggota gerak atas lebih berat dan tangan membutuhkan gerakan-gerakan halus dan tangkas untuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari. Kepustakaan mengatakan gerakan volunteer bagian proksimal biasanya kembali lebih dahulu. Kesembuhan fungsional umumnya berlanjut meningkat pada 6 bulan sampai 1 tahun pasca stroke. Untuk tujuan tersebut, kami membahas penanganan kasus panjang penderita dengan post SNH, untuk melihat tahap tahap rehabili Sasaran utama jangka panjang
rehabilitasi stroke yang hendak dicapai pada pasien
ini
ditetapkan sebagai berikut 1. Mencegah, mengenal dan menangani kondisi-kondisi medik penyerta stroke termasuk mencegah serangan ulang stroke, memperbaiki hidrasi dan nutrisi 2. Memaksimalkan kemandirian fungsional melalui berbagai program latihan 3. Memfasilitasi terjadinya adaptasi kehidupan psikologis dan sosial baik pada penderita dan keluarga 4. Mendorong reintegrasi di masyarakat dan tempat kerja 5. Memperbaiki kualitas hidup penderita Dengan sasaran itu, maka untuk tahap awal diruangan setelah pasien stabil dan tanpa komplikasi dilakukan 1. Pada fase akut, penderita dirawat selama 2 minggu di bangsal (IRINA F Neuro) diberikan Early rehabilitation yang harus diberikan sedini mungkin untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, sedangkan early mobilitation harus menunggu sampai kondisi stabil. Adapun tingkatan waktu dari stroke dibagi menjadi : - fase akut
: waktu 6 jam sampai 2 minggu serangan stroke.
- fase subakut
: waktu 2 minggu sampai 3-6 bulan.
- fase kronik
: waktu lebih dari 6 bulan
The goals of acute stroke management are: (a) to limit or reverse neurologic damage through thrombolysis or neuroprotection, and (b) to monitor and prevent secondary stroke complications . 3 Untuk itu selama pasien diruangan diberikan program : 1.
Pada fase akut, penderita dirawat selama 2 minggu di bangsal (IRINA F Neuro) diberikan
Early rehabilitation yang harus diberikan sedini mungkin untuk mencegah komplikasi lebih lanjut, sedangkan early mobilitation harus menunggu sampai kondisi stabil. Adapun tingkatan waktu dari stroke dibagi menjadi : - fase akut
: waktu 6 jam sampai 2 minggu serangan stroke.
- fase subakut
: waktu 2 minggu sampai 3-6 bulan.
- fase kronik
: waktu lebih dari 6 bulan
The goals of acute stroke management are: (a) to limit or reverse neurologic damage through thrombolysis or neuroprotection, and (b) to monitor and prevent secondary stroke complications . 3 Tujuan dari manajemen stroke akut adalah: a) Untuk membatasi atau mengembalikan kerusakan saraf yang telah terjadi melalui trombolisis ataupun neuroproteksi, dan b) Untuk memonitor dan mencegah komplikasi stroke sekunder.3 Untuk itu selama pasien diruangan diberikan program 1) Breathing excerice dan penanganan problem respirasi dapat diberikan sedini mungkin : dampak dari tirah baring dan stroke dapat menyebabkan vital kapasitas, residual volume, dan konsumsi oksigen rendah, yang berakibat gangguan ventilasi / perfusi dan disfungsi pernafasan. Dampak lebih lanjut mengakibatkan perfusi ke otak menurun dan meningkatkan impairment. Dengan breathing excersice dan mobilisasi dini yang baik
akan dapat memperbaiki pemulihan neurologis dan fungsional serta mencegah impairment yang berat. 2) Latihan LGS pasif,ataupun aktif dibantu untuk membertahankan lingkup gerak sendi. mencegah kontraktur sendi dan mengembalikan fungsi motor. 3) Properbed positioning,(posisi di tempat tidur yang benar) Rehabilitasi medik tidak diberikan pada stroke fase hiperakut (waktu 6 jam pertama dari dimulainya onset serangan stroke Mencegah dekubitus pada tempat-tempat yang menonjol. Rehabilitasi di tempat tidur dimulai dengan pengaturan posisi baring (positioning) yaitu penderita diletakkan dalam posisi melawan pola spastisitas yang nantinya timbul 4) Latihan mobilisasi seperti latiham duduk bertahap, tidak hanya membantu mencegah hipotensi postural orthostatic, statis vena pada tungkai yang paralisis dan kelemahan yang berat, tapi juga meningkatkan rasa sehat dari pasien serta untuk persiapan penderita belajar transfer dan ambulasi. . Pada pasien ini sudah dilakukan mobilisasi karena sudah melewati 2 hari pasca stroke, diawali dengan latihan duduk bertahap, menghindari hiptensi orthostatik, diikuti latihan pindah tempat (transfer) : kursi roda ke tempat tidur, kursi roda ke kasur latihan Dikatakanpada SNH mobilisasi baru boleh diberikan setelah 2 x 24 jam, dengan kondisi hemodinamik stabil. Berbeda dengan Stroke Hemoragik harus lebih hati-hati mengingat dapat terjadinya stroke in evolution. Pada progressing stroke menunggu sampai completed stroke. Mobilisasi dini dapat diberikan jika keadaan hemodinamik stabil, pada hari ke 5 ( lewat hari keempat / 96 jam ). (11) Penanganan pada penderita stroke terdiri dari terapi medikamentosa dan program rehabilitasi. Medikamentosa diberikan dari bagian Neurologi yang sesuai dengan penyebab penyakit pada penderita ini yaitu stroke non hemoragik disertai pemberian anti hipertensi . Tujuan diberikannya terapi medikamentosa pada pasien stroke adalah untuk mempertahankan sirkulasi dan oksigenasi, tekanan darah dan curah jantung yang adekuat, mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan level tekanan darah dan kolestrol normal. penderita setelah keluar rumah sakit stabil tanpa komplikasi
pneumonia, dekubitus,namun
keadaan motorik pada eksremitas superior dan inferior masih tetap ,namun penderita bisa ambulasi dengan wheel chair. Panduan pnanganan stroke rehabilitasi pada fase akut mengikuti bagan dibawah ini:short goalnya mengikuti bagan dibawah ini
Stroke Rehabilitation Algorithm in Sub Acute/ Recovery Phase 9 STROKE REHABILITATION
DISABILITIES
IMPAIRMEN T
-
PATHOLOGY
-
Diagnosis, etiology
-
Communication Cognitive Swallowing function Mobilization/ambula tion ADL Bladder & Bowel control Emotional/behavior
-
RBM Other institution
Location, PROGNOSIS
Evaluatio
Functional
GOAL
INTERVENTI ON
Evaluatio n
Yes
HANDICAP Reachab le
Yes
Psycho social vocational
No
No
Finish Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke PERDOSRI 2004
Algoritma Rehabilitasi Stroke pada Fase Sub Akut/ Pemulihan 9 REHABILITASI STROKE
KETIDAKMAMPUAN
IMPAIRMEN T PATOLOGI Diagnosis, etiologi
-
Komunikasi Kognitif Fungsi menelan Mobilisasi/berjalan ADL Kontrol BAK/BAB Emosi/perilaku dll
-
RBM Institusi lain
Lokasi, tingkat keparahan PROGNOSIS
Evaluasi
Fungsional Evaluasi TUJUAN
Ya
INTERVENSI HANDICAP
tidakk
tercapai
Ya
Psikososial vokasional
tidak
Finish Konsensus Nasional Rehabilitasi Stroke PERDOSRI 2004
Pada kontrol pertama pasien ke poli IKFR evaluasi didapatkan penderita masih dengan keadaan seperti saat keluar rumah sakit, ambulasi dengan kursi roda, problem kelemahan pada sisi kanan, gangguan emosi/psikologis, kecemasan pasien dan keluarga atas biaya pengobatan sehingga secara garis besar program yang diberikan pada pasien ini adalah terapi latihan dan modalitas panas (infra red) dan pemberian NEMS untuk otot dengan kekuatan otot 0. Namun seiring waktu dan latihan yang dilakukan secara aktif oleh pasien dirumah, maka pada kontrol terakhir (fase kronik) kemampuan fungsional pasien meningkat secara signifikan . Mulai dari keadaan flaksid pada bulan bulan awal, dan terjadi peningkatan fungsional bermakna setelah bulan ke tiga, dan pada bulan ke 6 pasien suda dengan kekuatan otot penuh, bisa mandiri dan bisa melakukan kegiatan seharari hari tanpa dibantu. Program latihan pada fase sub akut (mulai 2 minggu sampai 6 bulan) pada penderita ini adalah sebagai berikut: 1) Awalnya diberikan pemberian modalitas panas /infra red selama 30 menit, dengan jarak 50-60 cm, yang suhunya disesuaikan dengan toleransi penderita, karena kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah masih 0. Tujuannya pemberian modalitas ini adalah untuk meningkatkan temperatur intramuskular sebelum menjalankan program latihan, dimana dengan meningkatnya temperatur ini memberikan pengaruh positif dalam kemampuan komponen elastin dan kolagen untuk mengalami deformasi serta meningkatkan kemampuan organ tendon golgi untuk secara refleks merelaksasi otot. Peningkatan temperatur juga dapat dicapai dengan low intensity warm up.21 2) Pemberian elektrik terapi secara trans kutaneus dengan tujuan untuk menstimulasi saraf dan otot menggunakan elektroda permukaan. Untuk electrical stimulasi kami menggunakan Transcutaneus electrical stimulasi (TES) yang stimulasinya diatur sebagai NMES(neuro electrical stimulation) yang bertujuan untuk menstimulasi otot yang masih
intak dengan sistem saraf motorik. Tujuannya adalah untuk menguatkan otot yang masih lemah dan untuk membantu memulihkan kontrol motorik. Pada pasien ini berdasarkan evaluasi komponen performa didapati adanya peningkatan kekuatan otot, meningkatnya kemampuan ambulasi. Sesuai kepustakaan, pasien stroke secara tipikal akan mengalami perubahan dalam tonus otot, kekuatan otot serta daya tahan (endurance) yang menurun. Keadaan ini apabila tidak ditangani dengan berjalannya waktu akan menyebabkan kekakuan otot..22 Kelemahan dialami oleh sekitar 80% sampai 90% penderita stroke.23 Dalam kasus ini juga didapati gambaran yang sama dan pada pasien karena nampak flasid pada otot extremitas inferior dekstra, namun setelah diberikan program seperti diatas dalam 2 bulan maka mulai nampak peningkatan kekuatan ototnya.nampak untuk extremitas inferior lebih dulu menunjukan hasil yang baik, pada bulan ke 3 pasien sudah bisa jalan mandiri, dengan terhindar dari pola sinergik stroke.Latihan peningkatan kekuatan otot dan latihan dengan aktivitas fungsional yang meningkatkan motor demand ekstermitas yang terlibat dan didapati hasil berupa peningkatan kekuatan otot. Setelah kekuatan otot ekstremitas inferior membaik dengan TES,IR,ketahanan berdiri di standing chair , latihan penguatan otot panggul dengan briging excersice maka dilanjutkan dengan latihan ambulasi secara bertahap, selalu dimulai dalam parallel bars (palang sejajar,latihan aktifitas hidup sehari-hari di bagian Terapi Okupasi. Latihan ambulasi secara bertahap, dimulai dalam parallel bars (palang sejajar). Latihan ambulasi di luar parallel bars dengan alat bantu : walker ,latihan naik dan turun tangga dan lanjutkan dirumah dengan latihan aktifitas hidup sehari-hari melibatkan keluarga dirumah serta dilanjutkan dengan latihan ambulasi mandiri untuk menghilangkan ketergantungan. Evaluasi fungsional sejak konsul awal sampai 6 bulan post stroke adalah sebagai berikut: 1) Awalnya penderita total dependen dengan kekuatan otot 0/0/0/0 dan extremitas inferior 1/1/1/1 . Setelah 1 bulan terjadi peningkatan otot 0/0/1/1 dan 3/3/2/2. Dalam kemampuan mobilitas, pasien sebelumnya imobile dan diberikan program yang bertujuan untuk meningkatkan performa. Pasien selanjutnya mengalami kemajuan dari imobile menjadi berjalan mandiri. 2) Setelah latihan kontinyu,pasien bisa jalan mandiri meskipun dengan hemiplegik gait berupa sirkumduksi saat berjalan. Sirkumduksi terjadi akibat kurangnya fleksi hip, fleksi knee dan dorsofleksi ankle tapi tidak didapati keterbatasan LGS. Pada penderita ini
diberikan program latihan gait. Selanjutnya pada akhir follow-up hemiplegik gait sudah tidak ada,tidak tampak sirkumduksi lagi. 3) Penilaian aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) pada pasien ini menggunakan barthel index (BI). BI adalah gold standard untuk penilaian AKS. Pada awal pemeriksaan pasien tergolong dalam severe disabled dan pada akhir follow-up pasien sudah mandiri 4) Dalam kasus ini juga sebagai bagian dari gangguan AKS adalah ekstermitas superior dekstra . Awalnya kekuatan otot ekstremitas superior kanan dengan kekuatan otot 0/0/0/0 setelah diberikan terapi rehabilitasi medik, berangsur meningkat sampai 5/5/5/5. Namum kemampuan ketrampilan tangan sampai saat ini masih belum setangkas sebelum sakit. Awalnya karena nonuse, maka terjadi atrofi dari otot ekstremitas superior dextra, namun tidak sampai terjadi terjadi kontraktur karena terus dilakukan latihan LGS dan penguatan pasif dengan bantuan tangan sehat, selanjutnya diupayakan tangan sakit untuk berkontraksi dan melakukan fungsinya secara mandiri. Dipakai teknik
Constraint-
Induced Movement Therapy (CIM) untuk meningkatkan pemulihan sensorimotorik sesudah stroke. Pasien biasanya diajarkan untuk, tidak menggunakan lengan yang sehat dengan berbagai macam alat bantu untuk AKS tetapi
menggunakan lengan yang
hemiplegi.27 Meskipun ada kepustakaan yang menyatakan bahwa pemulihan fungsi tangan pada sebagian besar pasien terjadi pada 3 bulan pertama dan sesudah itu tidak ditemukan lagi perbaikan bermakna,29 pada pasien ini, pemulihan fungsional ekstremitas atat baru dimulai pada bulan ke 3. Hal ini sangat bermakna setelah kami memberikan edukasi melakukan miror therapi , nampak perbaikan yang bermakna fungsional ekstremitas atas. The mirror therapy program (MTP) was first introduced by Ramachandran in 1996 . Mirror therapy has also been reported to enhance upperlimb motor recovery and self-care ability in patients with subacute stroke especialy enhanced the motor function of distal part of the upper limbs in acute stroke patients. 17 suggested the effectiveness of upperlimb mirror therapy combined with a standard rehabilitation program in subacute stroke patients and reported an increase of 36% in both Brunnstrom upper-limb motor recovery stages and hand motor recovery stages. Sutbeyaz et al9 Mirror Therapy Program (MTP) pertama kali diperkenalkan oleh Ramachandran pada tahun 1996. Terapi cermin telah dikabarkan dapat meningkatkan kemampuan pemulihan motorik anggota gerak atas dan kemampuan self-care dalam pasien dengan stroke sub-akut dan terutama peningkatan fungsi motorik anggota gerak atas bagian distal
dari pasien dengan stroke akut. Keefektifan dari terapi cermin anggota gerak atas yang dikombinasikan dengan program rehabilitasi standar pada pasien dengan stroke subakut telah dilaporkan dengan adanya peningkatan 36% dari kedua fase/tingkatan pemulihan motorik oleh Brunnstrom yaitu pemulihan motorik anggota gerak atas dan pemulihan motorik tangan. Sutbeyaz et al.9 5) Terapi Okupasi berupa latihan aktifitas hidup sehari-hari bersifat daily basis, intervensi terapi okupasi yang difokuskan pada aktivitas personal dalam kehidupan sehari-hari, didapatkan hasil pasien tersebut agar menjadi lebih mungkin untuk independen dalam melakukan aktivitas.28 Latihan AKS bertujuan mendapatkan aktifitas berulang sehingga timbul koordinasi neuromuskuler yang menghasilkan integrasi stimuli sensoris dengan respon motoris pola gerakan yang lancar. Praktek repetitive task-related activities, yang diprogramkan pada pasien ini akan membangun kemampuan ketramplilan tangan.26 Proses pemulihan yang dipakai menggunakan kombinasi terapi neurofisiologik/neurodefelopmental, dengan tujuan mempercepat pemulihan penderita. Pemulihan berdasarkan Brunstrom dibagi menjadi: 1. Flaksiditas (segera setelah onset) 2. Spastisitas muncul pola sinergi dasar, dapat timbul gerakan volunter minimal. 3. Pasien mempunyai kontrol volunter terhadap sinergis, peningkatan spastisitas. 4. Beberapa pola gerakan selain sinergi dapat dikuasai, penurunan spastisitas. 5.Jika terus berlanjut, kombinasi gerakan yang lebih kompleks dipelajari ,penurunan spastisitas lebih lanjut. 6. Hilangnya spastisitas 7. tercapai fungsi normal Pada pasien ini, dengan latihan teratur, mengikuti perkembangan brunstrom, maka terjadi pemulihan yang signifikan nampak dari peningkatak kekuatan otot maupun peningkatan Barthel index. 6) Program speech therapy diberikankarena terdapat disartria akibat kelumpuhan nervus 7 dan XII dextra. . Tujuan terapi ini adalah (1) untuk menstimuli proses yang terganggu dan memajukan reorganisasi fungsional, (2) mengajarkan penggunaan kemampuan yang tersisa sebagai strategi kompensasi untuk komunikasi, (3) menyediakan edukasi dan konseling dan mempromosikan penyesuaian antara pasien dengan keluarga, (4) untuk menghilangkan “kebiasaan buruk” yang mempengaruhi suksesnya komunikasi, (5) untuk mempromosikan lingkungan yang
komunikasi yang cocok, dan (6) menyediakan
dukungan psikologis dan memperbaiki sikap, moral, dan faktor sosial lainnya dari pasien
(contohnya terapi wicara dapat digunakan sebagai saluran perhatian dan energi untuk hasil akhirnya ke arah yang membangun, dengan begitu mengurangi depresi). 7) Evaluasi psikologis agar penderita dan keluarga tetap bersemangat dalam melakukan terapi. Peranan edukasi untuk integrasi program latihan yang diberikan ke dalam AKS pasien memiliki peran besar. Sebagaimana dinyatakan dalam kepustakaan bahwa program latihan yang diberikan dilakukan secara bersama-sama dengan usaha pasien sendiri mempercepat pemulihan.
Pada pasien ini
awalnya sangat depresi dengan
sakitnya, namun dengan edukasi dan motivasi dari psikolog serta kemajuan yang nampak, maka timbul kemauan untuk berusaha mengikuti nasehat yang diberikan begitu juga dengan mengikuti program terapi. Meskipun demikian, tetap diberikan program psikologi untuk menambah dan menjaga motivasi pasien dalam mengikuti program yang diberikan sebagaimana dalam kepustakaan dinyatakan bahwa untuk force production dibutuhkan suatu mental force berupa a power of will. 32 Hasil yang telah dicapai juga dapat menjadi motivasi bagi penderita. Sampai saat ini
penderita ini masih terus
diberikan program rehabilitasi tetapi lebih difoluskan pada aktifitas rumahnya,untuk lebih meningkatkan kemampuan fungsionalnya, sebagaimana dinyatakan dalam kepustakaan bahwa terbukti melalui berbagai pemeriksaan di otak yang menunjukkan adanya perubahan neuroplastik sehubungan dengan intervensi rehabilitasi pada tingkat anatomi/fisiologi. Demikian kami melaporkan penanganan yang komprehensif dari penderita post SNH , dengan penanganan Tim Rehab maka dari fungsional yang sangat disable penderita bisa mandiri .