Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
PEMANFAATAN SUMBER DAYA GENETIK PALA MELALUI EKSPLORASI DAN PEMILIHAN BLOK PENGHASIL TINGGI TANAMAN PALA DI MALUKU UTARA M. HADAD EA1, M. ASSAGAF2, I.M.J. MEJAYA2, N.R. AHMADI2 dan TRISILAWATI OCTIVIA 1 1 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Jl. Tentara Pelajar No. 10 Kanpus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor 2 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 10 Kanpus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor
ABSTRAK Indonesia sejak merdeka sampai saat ini masih menguasai 70% pasar dunia pala, yang dikenal dengan Pala Banda, namun dengan kualitas nomor 2. Rendahnya kualitas dapat disebabkan biji ataupun fuli campuran berbagai jenis/tipe dan aksesi, serangan penyakit busuk buah muda, banyak pohon tua yang berumur ratusan tahun mati karena hama penggerek batang, terbatasnya program rehabilitasi dan peremajaan dan banyak lahan pala telah beralih fungsi. Dalam upaya mengatasi hal tersebut serta untuk membangkitkan kembali kejayaan pala di Maluku Utara maka Pemerintah Daerah memfokuskan perhatiannya terhadap konservasi, pelestarian dan perkembangan pala serta mempertahankannya sebagai tanaman spesifik lokasi Maluku Utara, yang dapat meningkatkan kesejahteraan petaniny. Metode yang digunakan pada kegiatan tahun 2006 meliputi: a). Survei BPT dan eksplorasi pohon induk, b). Pengumpulan benih bahan tanaman untuk kebun pembibitan, dan c). Survei lokasi kebun pembibitan kebun induk dan taksiran areal pengembangan. Hasil kegiatan ini adalah terpilihnya 9 Blok Penghasil Tinggi (BPT) dengan 556 pohon induk yang tersebar di: 1). Marikrubu Hamadal sebanyak 125 pohon, 2). Togafo Salim 125 pohon, 3). Togafo Malan 100 pohon, 4). Jaya Senen 35 pohon; 5). Jaya Ali 26 pohon, 6). Amasing Hakim 15 pohon, 7). Waigitang Lutfi 10 pohon, 8). Moti Tadenas 45 pohon dan 9). Banemo Sulaiman 75 pohon. Benih sampel dari BPT 5.000 butir yang akan dibibitkan di KP Bacan dan di Kebun Prima Tani Jaya Tidore. Sedangkan untuk perluasan, peremajaan dan rehabilitasi kebun pala ditaksir tersedia lahan sebanyak 50.000 ha, yang tersebar di Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Makian. Kata kunci: Myristica fragrans, blok penghasil tinggi, pohon induk, benih
PENDAHULUAN Indonesia sejak merdeka sampai saat ini masih menguasai volume ekspor pala terbesar, yang dikenal dengan nama pala Banda, tapi dengan kualitas nomor 2. Sebaran utama tanaman pala di Propinsi Maluku Utara, Maluku, Irian Jaya, dan Sulawesi Utara dan telah menjadi salah satu mata pencaharian penting para petaninya (HADAD dan HAMID, 1992). Propinsi Maluku Utara disamping sebagai salah satu tempat asal juga merupakan sentra produksi utama tanaman pala di dunia (HIENE, 1997). Di daerah ini usahatani pala telah menjadi salah satu mata pencaharian pokok masyarakat. Areal pengembangannya mencapai 16.796 ha dengan produksi 2.443 ton atau produksi rataannya 492,83 kg/ha biji dan fuli (DISBUN MALUKU UTARA, 2005). Berkurangnya produksi dan mutu pala disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
tercampurnya biji dan fuli, pertanaman pala di lapang banyak yang sudah tua (berumur ratusan tahun) yang mati karena serangan hama penggerek batang, tidak adanya tindakan intensifikasi, terbatasnya program rehabilitasi atau peremajaan dan banyak lahan kebun pala telah beralih fungsi. HIENE (1927) mendapatkan bahwa di daerah Maluku Utara banyak pohon tua yang berumur 100 – 350 tahun, dengan ragam jenis yang tinggi. Dalam upaya membangkitkan kembali kejayaan pala di Maluku Utara khususnya dan Indonesia pada umumnya, maka Pemda dan masyarakat Maluku Utara menetapkan tanaman pala sebagai salah satu komoditas prioritas agrobisnis dan tanaman spesifik lokasi Maluku Utara. Tanaman ini diharapkan menjadi andalan nasional sebagai komoditas ekspor potensial yang akan meningkatkan nilai tambah dan pendapatan serta kesejahteraan petaninya.
93
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Untuk mencapai hal tersebut telah dilakukan langkah - langkah: 1) Eksplorasi dan pembibitan turunan pala; 2) Memulai konservasi plasma nutfah tanaman pala di Kebun Percobaan Bacan; Halmahera Selatan; 3) Pemilihan Blok Penghasil Tinggi dan calon Pohon Induk di beberapa sentra produksi. 4) Survei calon lokasi pembangunan Kebun Induk sebagai sumber benih pala dimasa depan Pelaksanaan kegiatan ini diawali dengan Survei Pemilihan Blok Penghasil Tinggi (BPT), kemudian pemilihan calon Pohon Induk dilanjutkan seleksi ulang sebagai usulan Pohon Induk Unggul dan dilakukan eksplorasi tanaman pala. Dimasa depan genetik pohon induk tersebut dipilih sebagai bahan tanaman untuk uji multilokasi. Melalui uji multilokasi dihasilkan varietas unggul yang dilepas. Selanjutnya melalui penggunaan 5 atau 6 varietas unggul inilah dibangun kebun induk komposit sebagai kebun induk sumber benih unggul BPT. Pohon induk dan Kebun Induk Komposit atau Kebun sumber benih diarahkan dimiliki oleh para petani sebagai penangkar benih profesional yang dibina oleh Dinas Perkebunan, BPTP Maluku Utara dan BalaiBalai penelitian. Diharapkan melalui pembinaan penangkaran benih bersertifikat maka industri perbenihan di Indonesia akan maju BAHAN DAN METODE Kegiatan dilaksanakan di Pulau Ternate, Tidore, Moti, Bacan, Makian dan Halmahera Tengah (Patani), selama 6 bulan (bulan Juli sampai dengan Nopember 2006). Survei dan pemilihan lokasi didasarkan kepada hasil study pustaka dan informasi dari kontak para ahli. Lokasi dipilih di 4 lokasi sentra produksi pala. Pertambahan lokasi dimungkinkan bila dalam perjalanan di lapangan ditemukan potensi yang baru tanpa menambah resiko. Selanjutnya dilakukan pemilihan respoden sebagai nara sumber, yang didasarkan kepada kepemilikan kebun pala dan atau penggarap lahan pala yang tergabung dalam kelompok pengkajian dan penelitian, atau anggota petani kooperator dari kelompok tani pala.
94
Kegiatan berikutnya adalah survei pemilihan lokasi BPT dan pohon induk dilaksanakan dengan cara menseleksi pohon pala di beberapa sentra. Karakter utama pohon induk didasarkan atas produktivitas buah pala yaitu: diatas 3.000 – 4.000 butir/pohon/tahun pada umur tanaman 10 tahun dan diatas 5.000 butir/pohon/tahun, umur tanaman diatas 15 tahun, memiliki biji besar, fuli cukup tebal dan aroma yang khas. Jumlah calon pohon induk sekitar 250 – 300 pohon. Pemilihan BPT dan pohon induk menggunakan Hand out Daftar isian (kuisioner) seperti tercantum dalam lampiran. Biji/benih sebagai sampel yang berasal dari BPT dan Pohon induk berjumlah 2.500 - 3.000 butir, dibeli dari para pemilik pala. Untuk bahan tanaman dalam kebun bibit. HASIL DAN PEMBAHASAN Kedudukan Perkebunan Pala di Maluku Utara Posisi pertanaman pala terhadap pertanaman perkebunan lainnya lingkup Maluku Utara menunjukan bahwa perkebunan pala merupakan komoditi nomor 3 setelah kelapa, dan kakao. Sedangkan posisinya terhadap pertanaman pala di Indonesia menunjukkan bahwa: Areal di Maluku Utara merupakan no 2 terluas setelah Sulawesi Utara (16.870 ha). Sentra produksi lainnya terdiri atas NAD (11.551 ha), Maluku (5.650 ha), Sumatera Barat (3.592 ha); Irian Jaya (3.054), Sulawesi Selatan (2.370 ha), Jawa Barat (2.054 ha), Sulawesi Tengah (717 ha) dan Jawa Tengah (686 ha) (DITJENBUN, 2005). Dari data areal pengembangan dan produksinya nampaknya perpalaan di Maluku Utara sangat berpengaruh terhadap naik turunnya ekspor dan harga pasarnya di dalam maupun luar negeri. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Maluku Utara tahun 2005, tanaman pala menyebar di tiap Kabupaten dan Kota lingkup Propinsi Maluku Utara (Tabel 1) dengan luas yang signifikan yaitu 750 – 3.200 ha. Gambaran data ini menunjukan tanaman pala merupakan potensi geografi spesifik Maluku Utara yang perlu dipertahankan dan tingkatkan. Selain itu, peluang ditemukannya
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
varietas unggul pala di daerah ini memungkinkan karena banyak tersedia pohon pala yang telah berumur ratusan tahun. Populasi di sentra produksi produksi Sentra produksi pala yang disurvei meliputi Pulau Ternate, Moti Tidore, Makian, Bacan dan Halmahera Tengah (Patani). Hasil pengamatan terhadap kebun di sentra produksi pala tersebut mendapatkan populasi tanaman pala memadai sebagai calon-calon blok penghasil tinggi pala, seperti tercantum dalam Tabel 2. Berbeda dengan pertanaman pala di Ternate, Tidore, dan Moti, Pertanaman pala di Bacan (kecuali di Amasing) relatif kurang memenuhi persyaratan sebagai calon pohon induk. Karena sentra yang dikunjungi, kurang memadai sebagai pohon induk dan jumlahnya terbatas serta tanahnya sudah beralih fungsi. Walaupun demikian berdasarkan informasi ASMAN et al. (1989) dan HADAD et al. (1991), di Bacan terdapat kultivar Pala Bacan Besar dan Pala Bacan Kecil serta Pala Kupal yang menunjukan biji besar, dengan fuli yang tebal dengan pertumbuhan yang baik. Masyarakat menginformasikan di Gunung Sibela terdapat hutan pala dan hutan cengkeh yang sulit dijamah manusia. Berarti perlu diadakan penelusuran lanjutan yang lebih mendalam dengan waktu yang memadai, sehingga dapat mengumpulkan dan konservasi berbagai aksesi dan jenis pala yang masih ada. Kondisi pertanaman pala yang terdapat di Kupal, Tomori dan Papaloang saat ini ternyata
hampir hilang. Beberapa pohon yang tersisa pertumbuhannya merana tidak terurus dan hampir mati. Hal ini menunjukan betapa penting konservasi untuk dilakukan agar tidak kehilangan momen. Permasalahan hama penyakit yang telah menurunkan produksi dengan hama penggerek batang yang mematikan pohon pala tua dan penyakit busuk buah yang mengakibatkan gugur buah muda pala, sebaiknya ditanggulangi dengan eradikasi dan menggunakan pestisida nabati. Calon kebun blok penghasil tinggi (BPT) Dari 18 lokasi sentra produksi pala terdapat > 18 populasi pala, menampung sekitar 2.618 pohon pala, masing-masing berumur di antara 35 – 180 tahun. Para kontak tani sebagai responden/narasumber berjumlah 48 KK. Hasil pemilihan secara kasat mata satu persatu pohon, terhadap populasi 2.618 pohon, tercantum dalam Tabel 3. Menunjukan kondisi pertanaman umumnya baik, dengan ketinggian pohon > 8 m, berumur > 15 tahun, yang berarti sudah memadai sebagai calon pohon induk. Demikian pula bentuk dan berat dari buah, fuli dan biji pala dari tiap calon pohon induk tercantum dalam Lampiran, menunjukan bahwa biji termasuk kelompok berbiji sedang sampai besar dengan ketebalan fuli sedang. Penamaan kultivar sengaja dipilih berdasarkan nama lokasi, yang akan menunjukan kekhasannya sebagai spesifik lokasi, bila terpilih sebagai pohon induk akan diusulkan menggunakan nama lokasi tersebut.
Tabel 1. Areal dan produksi perkebunan pala tahun 2005 di Maluku Utara No
Kabupaten/Kota
1 Halmahera Utara 2 Halmahera Selatan 3 Halmahera Timur 4 Halmahera Barat 5 Halmahera Tengan 6 Kepulauan Sula 7 Kota Ternate 8 Kota Tidore Jumlah
TBM 1,021 421 335,5 302 2,328 825 150 1,303
Areal (Ha) TM TTR 1,341 148 1,328 244 669,5 0.0 847 162 1,877 507 241 0 464 138 1,855 0
Jumlah 2,510 1,993 1,005 1,311 4,712 1,066 752 3,158 16.327
Produksi Produktivitas Petani pemilik (Ton) (Ton/Ha) (KK) 857 757 702 428 498 68 580 680 4.570
0,64 0,57 1,05 0,51 0,27 0,81 1,25 0,37
2,019 2,495 288 1,004 3,784 432 1,904 880 12.806
95
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Tabel 2. Sentra produksi dan calon blok penghasil tinggi tanaman pala Lokasi/Sentra produksi
Populasi BPT Kultivar
Pemilik
Moya Kecamatan Bergunung, terjal, Ternate Utara 300 – 450 m dpl. Kota Ternate monokultur dan polikultur
3- 6 variasi aksesi
Kadir; Arifin; Konso; H. Alihadi; Ati Muhamad
Populasi calon pohon induk 245 pohon. Umur 60 – 180 tahun
Marikrubu Kecamatan Ternate Selatan Kota Ternate
Bergunung, terjal, 200 – 350 m dpl. monokultur dan polikultur
3-6 variasi aksesi
Hamadal; Joni; Ahmad; H. Amisi; Taher Tungo
350 pohon. Umur 60 – 180 tahun
Sulamadaha Kecamatan Pulau Ternate Guay Kananga. Kel Togafo. Kecamatan Pulau Ternate Maliaro Kecamatan Ternate Selatan Kota Ternate Jaya Kec. Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan
Miring – agak datar, 20 – 150 m dpl. polikultur Bergunung, miring 15 – 300 m dpl. polikultur
2-4 variasi aksesi
AdeTorua; Abu Jamrud; Noch Mhmud; H. Sidik Salim Anto; Malan Kasing
80 pohon. Umur 60 -90 tahun 240 pohon. Umur 80 – 160 tahun
Noch Mahmud
60 pohon. Umur 70 – 100 tahun
Yunus Ibrahim; Ahmad; Ade Said; Kamarudin H; Ali M;. Senen; Ramli Idris Abdulah
545 pohon. Umur 60 – 180 tahun
Ome Kec. Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan Afa-Afa Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan Gurabunga Kec. Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan Kupal Kecamatan Bacan Tengah Papaloang Desa Makian Kec. BacanTengah Amasing Kali Kecamatan Bacan Tengah Tomori Kec. Bacan Tengah Waigitan Kec Pulau Makian Waigitan Kec Pulai Makian Kelurahan Moti Kec. Pulau Moti Kelurahan Moti Kec. Pulau Moti Desa Banemo Kecamatan Patani Jumlah
96
Topografi
Bergunung, terjal, 100 – 250 m dpl. monokultur dan polikultur Bergunung, terjal, 100 – 550 m dpl. monokultur dan polikultur Miring 100–150 m dpl. monokultur dan polikultur Bergunung, terjal, 150 – 250 m dpl monokultur dan polikultur Bergunung, terjal, 450 – 700 m dpl. monokultur dan polikultur Miring 10–50 m dpl. monokultur dan polikultur Miring 10–50 m dpl. monokultur dan polikultur Miring 10–50 m dpl. monokultur dan polikultur Miring 10–50 m dpl. monokultur dan polikultur Bergunung; 10–30m Polikultur Bergunung; 20–30 m. polikultur Bergunung, 10 – 100 m dpl Bergunung, 10 – 100 m dpl Bergunung;10–30 m Polikultur 17 Lokasi
3 – 9 variasi aksesi
2-4 variasi aksesi
3 – 7 variasi aksesi
2-3 variasi aksesi
3 – 5 variasi aksesi
3 – 5 variasi aksesi
2-3 variasi aksesi 4 variasi aksesi 2-3 variasi aksesi 2-3 variasi aksesi 2 variasi aksesi 2 variasi aksesi 2-3 variasi aksesi 2-3 variasi aksesi 2 variasi aksesi 3 - 9 Variasi Aksesi
Moya biji besar, sedang dan kecil. Ketebalan fuli cukup, sedang; putih dan merah Marikrubu; biji besar, sedang dan kecil. Ketebalan fuli cukup, sedang; putih dan merah Sulamadaha; biji sedang dan kecil; fuli cukup dan sedang Togafo; biji besar, sedang ; kecil; fuli cukup dan sedang; merah dan putih Marikrubu; biji besar, sedang, kecil; fuli cukup; sedang; merah dan putih Jaya Tidore; biji besar; sedang, kecil fuli cukup; sedang. Merah dan putih Ome biji besar dan kecil fuli cukup dan sedang Afa-Afa; biji besar; kecil sedang, fuli cukup sedang. Merah/ putih Gurabunga biji besar; sedang, kecil fuli cukup; sedang. Merah/ putih. Kupal. Biji sedang, dan kecil fuli sedang Kecil Papaloang. Biji sedang, dan kecil fuli sedang kecil Amasing biji sedang, dan kecil fuli sedang kecil Amasing biji sedang, dan kecil fuli sedang kecil Moya, Ternate. Rica Moya, Ternate, Rica Moti, Ternate Moti, Ternate Patani Spesifik Lokasi
30 pohon. Umur 35 tahun
Wahab Saleh; Ibrahim 315 pohon. Umur 60 – 180 th Lahabato; H. Saraha; Sobari Mahipa
M. Darus
115 pohon. Umur 60 – 180 tahun
25 pohon Umur 100 tahun Pawi Kaplale 20 pohon Umur 90 tahun Hakim Oderamida 30 pohon Umur 80 tahun Rustam Ola bahim 20 pohon Umur 80 tahun Noch Juma; 58 pohon Lukman A; Rusdi Idris Umur 50 th Lutfi Hasan; 85 pohon. HM Latif; Abdurahim Umur 36 th Solahu Saleh; 40 pohon Hawa Jati Umur 30 th H. Alim Tandemas 110 pohon Umur 40 th Sulaiman 150 pohon umur 90 th 44 Kontak Tani 2.618 Pohon
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Usaha penyediaan sumber benih berupa BPT, merupakan sebagai langkah awal menuju industri benih yang lebih baik. Oleh karena itu perbaikan varietas kearah penemuan varietas unggul baru harus terus digalakan. Dengan pertimbangan lokasi dan transportasi yang masih sulit maka hasil analisis calon BPT dan calon pohon induk dari sentra produksi dipilih dan diperoleh 10 BPT dari 18 lokasi sentra produksi dengan 556 pohon calon pohon induk. Secara kebetulan sebagian besar para pemilik kebun BPT tersebut adalah juga berperan sebagai penangkar bibit tanaman perkebunan dan kehutanan. Mereka pada umumnya sudah memahami teknik perbenihan. Sehingga mempermudah transper teknologi menuju industri perbenihan dan agroindustri. Kewajiban instansi terkait selanjutnya adalah pembinaan dan pengawasan yang teratur. Dari 10 responden yang ditanya keinginannya untuk dikukuhkan sebagai penangkar hanya 9 orang yang menyetujui. Oleh karena itu dalam usulan SK pengukuhannya, hanya 9 calon penangkar yang diusulkan. Pengalaman dimasa lalu selesai penentuan BPT, maka selesai pula pekerjaan tersebut, sehingga yang dihasilkan benih makin lama menurun kuantitas maupun kualitasnya.
Belajar dari pengalam tersebut sebaiknya untuk masa yang akan datang hal ini jangan terulang lagi dan sebaiknya Kebun BPT dan pohon induknya perlu dipelihara secara intensif dan lanjutkan pula pengamatan lebih mendalam tentang kandungan unsur kimia, produktivitas, ketahanan hama penyakitnya dari tiap-tiap pohon induknya. Untuk menemukan pohon yang memiliki sifat yang unggul. Bila telah ditemukan sifat yang unggul maka persiapkanlah untuk uji multilokasi menuju pelepasan varietas unggul. Untuk legalisasi dan keberlanjutannya maka hasil analisis calon BPT dan calon pohon induk tersebut, perlu dikukuhkan dalam bentuk SK Kepala Dinas Propinsi sebagai benih sumber. Calon pohon induk Hasil pengamatan morfologi (karakter) dan enumerator calon pohon induk di tiap sentra produksi tercantum dalam Tabel 4. Pertanaman pala milik petani yang disurvei menunjukan pertumbuhan yang baik walaupun tanpa intensifikasi. Terkecuali di Papaloang, dan Tomori Bacan Tengah, karena sebagian lahannya sudah beralih fungsi menjadi perkotaan, sehingga pertumbuhan palanya merana tanpa pemeliharaan.
Tabel 3. Calon blok penghasil tinggi dan pohon induk hasil eksplorasi tahun 2006 No.
Kabupaten
Kecamatan/Desa
Nama pemilik
1.
Kota Ternate
2.
Kota Ternate
3. 4. 5.
Kota Ternate Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan Kota Tidore Kepulauan Halmahera Selatan Halmahera Selatan Kota Ternate Halmahera Tengah Total 10 BPT
Kota Ternate Selatan/Marikrubu Kota Ternate Utara/ Moya Pulau Ternate/Togafo Pulau Ternate/Togafo Tidore Utara/Jaya
Hamadal Minggu Marikrubu Hamadal Kadir Moya Kadir Salim Anto Togafo Salim Malan Kasim Togafo Malan Senen Karim Jaya Senen
Tidore Utara/Jaya
Ali Muhamad
Bacan/Amasing
Hakim
Makian/Waigitang
Lutfi Hasan
Moti/Moti Kota Banemo Patani
Hakim Tadenas Sulaiman
6 Kecamatan
10 petani
6. 7 8. 9 10
BPT
Pohon Kode/nomor induk pohon induk 125 H 1-85 50
-
125 100 35
S 1-75 M 1-85 N 1-65
Jaya 26 Ali Amasing Hakim 15
A 1-56
Waigitang Lutfi Moti Tadenas Banemo Patani Sulaeman 10 BPT
10
L 1- 10
45 75
T 1- 55 B1-75
C 1-25
606
97
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Selain itu di setiap lokasi pernampilan morfologi dari pertanaman palanya menunjukkan mahkota pohonnya antara silindris dan piramidal, panjang cabang diatas 500 cm dengan umur diatas 30 tahun dan produksi diatas 5.000 biji/pohon/tahun. Volume/besaran bijinya menunjukan antar kelas sedang, karena jumlah biji kering/kg-nya berkisar antara 190 – 250 biji. Sedangkan yang termasuk biji besar jumlah biji kering/kg-nya berkisar antara 160 – 190 butir ditemukan di BPT Marikrubu, dan Togafo. Walaupun demikian penampilan pertanaman seperti ini, kecuali di Mapaloang dan Tomori Bacan Tengah semuanya memadai sebagai calon BPT. Kelemahan umum dalam BPT, belum murni dan masih ada campuran dari pohon yang kurang baik. Untuk dilakukan seleksi negatif tidak mungkin karena pemilik tidak akan menyetujuinya. Oleh karena itu pengamatan yang lebih mendalam dari setiap pohon sebaiknya diamati; seperti produksi selama 3-4 tahun berturut-turut, kandugan kimia dan ketahanannya terhadap hama penyakit, sehingga mempermudah dalam melaksanakan seleksi antar individu. Hal ini memerlukan waktu yang lama dan dana yang besar. Permasalahan umumnya adalah serangan hama penyakit, karena hampir disetiap lokasi telah ditemukan hama penggerek batang dan busuk buah. Kedua organisme pengganggu ini dapat menurunkan produksi, karena hama penggerek ternyata dapat mematikan pohon pala yang telah berumur ratusan tahun dan penyakit busuk buah mengakibatkan buah muda jatuh. Selama ini karakter utama kandungan biji pala ditentukan oleh kadar minyak atsiri dan miristisinnya. Hasil analisi kandungan kimia dari biji pala asal BPT Moya, Togafo, Marikrubu dan Jaya Tidore tercantum dalam Tabel 5. Kandungan kadar minyaknya umumnya relatif sama berkisar antara 6.86 – 7.42, yang terendah berasal dari Jaya Tidore dan tertinggi berasal dari Togafo. Sedangkan dari Moya dengan Marikrubu sama 7.38. Selisih angka sedemikian diabaikan sehingga diangap sama.
98
Kadar Miristisin tertinggi dari biji pala yang berasal dari BPT Togafo sebanyak 7,68 nyata lebih tinggi dari pada Moya, Marikrubu dan Jaya. Kadar terendah terdapat dari Jaya Tidore yakni 3,10. Sedangkan Moya dan Marikrubu sama 3,68. Hal ini mungkin disebabkan sampel dari Togafo lebih homogen, sebab penampilan sampel yang diperoleh pada saat survei, menunjukan bahwa sampel dari Togafo lebih seragam dibanding yang lainnya. Sampel diambil dari campuran individu pohon yang ada dalam BPT tersebut. Demikian pula hasil pengamatan yang membandingkan pala Banda yang terdapat di Banda dengan yang di Ternate, Bacan dan Tidore secara campuran per ekotipe tercantum dalam Tabel 6. Menunjukkan bahwa Bobot basah fuli pala kemudian bobot biji kering, daging biji, hasil buah/pohon; biji kering/ pohon; fuli kering/pohon; kadar minyak dari biji pala muda dan kadar komponen atsiri utama (miristisin, elimisin, safrol dan eugenol) menunjukan pala campuran asal Ternate lebih tinggi dibanding asal Tidore. Penyebab demikian belum diketahui dengan pasti apakah hal ini karena genetik atau faktor agroklimat (budidaya dan lingkungan). Padahal kondisi tanah di Ternate dan Tidore menujukan kondisi netral sampai agak basa (pH 7 – 7,8). Kondisi ini sangat baik untuk pertumbuhan tanaman dan berpeluang semua nutrisi dapat diserap tanaman. Demikian pula pola budidayanya di kedua tempat ini relatif sama, tanpa pemupukan dengan vegetasi dan kemiringan yag hampir sama pula. Demikian pula hasil pengamatan yang membandingkan pala Banda yang terdapat di Banda dengan yang di Ternate, Bacan dan Tidore secara campuran per ekotipe tercantum dalam Tabel 7. Menunjukan bahwa Bobot basah fuli pala kemudian bobot biji kering, daging biji, hasil buah/pohon; biji kering/ pohon; fuli kering/pohon; kadar minyak dari biji pala muda dan kadar komponen atsiri utama (miristisin, elimisin, safrol dan eugenol) menunjukan pala campuran asal Ternate lebih tinggi dibanding asal Tidore.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Tabel 4. Karakter morfologi pohon, cabang, daun, buah dan produksi, serta hama penyakit tanaman pala dari calon pohon induk pada populasi di BPT Lokasi BPT (kultivar)
Bentuk, tinggi dan lingkar pohon
Sudut tinggi I dan panjang cabang
Moya Kec. Ternate Utara Kota Ternate Marikrubu Kec. Ternate Selatan Kota Ternate Sulamadaha Kec Pulau Ternate
Silindris dan piramid, 20 – 25 m; dan 126 cm Silindris dan piramid, 16 - 24 m; dan 136 cm Silindris dan piramid, 17 – 20 m dan 132 cm Silindris dan piramid, 17 – 19 m dan 130 cm Silindris dan piramid, 16 – 20 m dan 132 cm
85o; 120 cm; 1100 cm
30–40 kg; 5.800– 7.700 butir
193 – 210
90o; 180 cm; 960 cm
6.250–7.500 butir
179 – 200
80o 190 cm; 850 cm
5.000–6.500 butir
215 – 240 butir
90o; 180 cm; 650 cm
6.000–7,700 butir
176 – 205
85o; 180 cm; 550 cm
5.800–7.250 butir
201 – 240 butir
Silindris dan piramid, 17 – 20 m dan 117 cm Silindris dan piramid, 13 - 15 m dan 75 cm
85o 100 cm; 660 cm
5.500–7.300 butir
200 – 235 butir
90o; 65 cm; 560 cm
3.000–4.100 butir
234 – 259 butir
Silindris dan piramid, 85o 120 cm; 590 cm 16 – 21 m dan 132 cm Silindris dan piramid, 90o; 295 cm; 680 cm 18 – 21 m dan 176 cm
5.500–7.300 butir
200 – 235 butir
5.500–7.300 butir
200 – 235 butir
Silindris dan piramid, 85o; 275 cm; 260 cm
2500–3.000 butir
210 – 250 butir
Papaloang Desa Makian BacanTengah Amasing Kali Kec Bacan Tengah
Silindris dan piramid, 80 o; 175 cm; 250 cm
3.000–4000 butir
200 – 235 butir
85o; 150 cm; 520 cm
3100–4500 butir
234 – 259 butir
Tomori Kec Bacan Tengah
Silindris dan piramid, 85o; 126 cm; 290 cm
2100–3.000 butir
200 – 235 butir
Waigitan Kec Pulau Makian
Silindris dan piramid, 90o; 175 cm; 650 cm
3000 – 4500 butir
210 – 235 butir
Lokasi BPT (kultivar) Waigitan Kec Pulau Makian
Bentuk, tinggi dan lingkar pohon Silindris dan piramid
Sudut tinggi I dan panjang cabang 85o;210 cm; 570 cm
Produksi/pohon/ tahun 4000 – 4500 butir
Biji/kg kering 234 – 259 butir
Kelurahan Moti Kec. Pulau Moti
Silindris dan piramid, 90o; 150 cm; 650 cm
3000 – 5000 butir
200 – 235 butir
Kelurahan Moti Kec. Pulau Moti
Silindris dan piramid,
85o;125 cm; 750 cm
4000 – 5000 butir
200 – 235 butir
Desa Banemo Kec Patani
Silindris dan piramid
90o; 250 cm; 840 cm
4000 – 6000 butir
197 – 235 butir
Guay Kananga. Kel Togafo. Kec. Pulau Ternate Maliaro Kecamatan Ternate Selatan Kota Ternate Jaya. Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan Ome Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan Afa-Afa Kecamatan Tidore Utara Kota Tidore Kepulauan Gurabunga Kecamatan Tidore Utara Kota Kepulauan Kupal Kec. Bacan Tengah
Silindris dan piramid
Produksi/pohon/ Biji/kg kering Hama dan tahun penyakit Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Hama dan Penyakit Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah Penggerek batang dan busuk buah
99
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Tabel 5. Hasil pemeriksaan kandungan kimia dari biji pala asal BPT Moya, Togafo, Marikrubu dan Jaya Tidore (dengan alat GC) Jenis pemeriksaan (%) Kadar Air Minyak atsiri Kadar Abu Karbohidrat Kadar lemak Miristisin Protein
Moya 9,78 7,38 1,48 15,84 36,05 3,68 6,43
Penyebab kondisi tersebut belum diketahui dengan pasti apakah karena genetik atau faktor agroklimat (budidaya dan lingkungan). Padahal kondisi tanah di Ternate dan Tidore menujukan kondisi netral sampai agak basa (pH 7 – 7,8). Kondisi ini sangat baik untuk pertumbuhan tanaman dan berpeluang semua nutrisi dapat diserap tanaman. Demikian pula pola budidaya di kedua tempat tersebut relatif sama, tanpa pemupukan dengan vegetasi dan kemiringan yang hampir sama pula. Bila hal ini disebabkan faktor genetik maka pemilihan pengembangan perlu dipilih benih yang berasal dari BPT terbaik seperti Togafo atau Marikrubu. Namun dalam kasus kayu manis kadar kandungan minyak atsiri dipengaruhi oleh ketinggian tempat diatas permukaan laut, artinya kandungan minyak atsiri pada tanaman kayu manis bukan faktor penentu genetik. Sedangkan pada kasus tanaman pala belum diketahui dengan pasti bahwa kandungan minyak atsiri merupakan faktor genetik atau bukan. Calon lokasi kebun konservasi koleksi, pembibitan dan kebun induk Lokasi pembibitan dan tempat penampungan konservasi koleksi plasma nutfah tanaman pala akan dilakukan di 2 lokasi, yakni di 1). Kebun Percobaan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan. Pemilihan lokasi ini didasarkan kepada agroklimat yang sesuai untuk pertumbuhan pala dengan topografi miring sampai bergunung, tanahnya subur karena bukaan baru, ketinggian tempatnya sekitar 15 – 300 m dpl. Iklimnya termasuk kategori tipe B menurut SCHMIDT dan
100
Hasil pemeriksaan Togafo Marikrubu 10,48 10,96 7,42 7,38 1,64 1,50 27,76 25,68 32,24 33,13 7,68 3,68 6,25 6,04
Jaya Tidore 12,26 6,86 2,00 23,09 34,99 3,10 5,85
FERGUSON. Areal kebun memadai sekitar 200 ha, kepemilikan tanahnya jelas milik Departemen Pertanian/Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara. 2). Di Kebun Prima Tani Kelurahan Jaya Kota Ternate Kepulauan. Lokasi calon kebun pembibitan pala di KP. Bacan telah disiapkan 3 – 5 ha sedangkan untuk Kebun Induk Pala disediakan 5 – 10 ha. Areal kebun ini mudah dikunjungi karena telah tersedia sebagian jalan beraspal dan tanah berkoral. Fasilitas rumah jaga tersedia dan jaringan sarana irigasi untuk pengairan perlu diperbaiki. Pembibitan dari sampel pohon induk dalam BPT Lokasi kebun yang sudah dicadangkan untuk kebun pembibitan, konservasi dan kebun induk adalah Kebun Pecobaan Bacan Milik Departemen Pertanian di Labuha. Bahan yang pertama disiapkan adalah yang berasal dari 6 BPT sentra produksi yang dikunjungi, sebanyak 5.000 butir. Tiap benih pala dipilih yang terbaik kemudian dibibitkan dan dijadikan bahan tanaman untuk pengembangan dan pembangunan Kebun Induk. Benih yang sudah disiapkan adalah sebagai berikut: 1. Benih asal BPT Marikrubu sebanyak 2.000 butir 2. Benih asal BPT Togafo sebanyak 2.000 butir 3. Benih asal BPT Jaya sebanyak 500 butir 4. Benih asal BPT Moti sebanyak 250 butir 5. Benih asal BPT Papaloang sebanyak 250 butir Jumlah benih sebanyak 5.000 butir.
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Tabel 6. Diskripsi pala Banda (M. fragrants Houtt) di BPT Banda, Ternate dan Tidore (Banda sebagai pembanding) Deskripsi lingkungan dan lokasi A. Karakterisasi/evaluasi lokasi 1. Lokas 1.1. Letak lintang 1.2. Letak bujur 1.3. Elevasi (m dpl) 1.4. Nama tempat atau lokasi 2. Waktu tanam (tahun) 3. Waktu panen (bulan) 4. Lingkungan evaluasi Lingkungan tempat karakterisasi dilakukan 5. Daya kecambah benih (%) Batas waktu perkecambahan 6 minggu 6. Pertumbuhan di lapangan (%) Bibit yang tumbuh dan berkembang normal 7. Jarak tanam 7.1. Jarak antar baris (m) 7.2. Jarak dalam baris (m) 8. Pemupukan B. Data karakteritik lokasi 1. Karakteristik lokasi 1.1. Topografi 1.2. Bentuk lahan dataran tinggi (sifat fisiografi umum) 2. Kemiringan (derajat) 3. Bentuk kemiringan Bentuk bentuk umum pada arah vertikal dan horizontal 4. Vegetasi dominan di lokasi dan sekelilingnya 5. Kekerasan tanah 6. Drainase tanah 7. Salinitas tanah (μS/cm) 8. Kualitas air tanah 9. Kedalaman tanah sampai permukaan air tanah (cm) 10. Kelengasan tanah 11. Kemasahan/pH tanah pada kedalaman sekitar perakaran tanaman 12. Tingkat erosi tanah 13. Warna matrik tanah Warna tanah di daerah perakaran, memakai bagan warna Munsel soil coler charts 14. Kelas tekstur tanah Gunakan metode segitiga tekstur tanah 14.1.1. kelas ukuran partikel tanah
Banda 4o32’39,7” LS 129o54’39,4” BT 20 – 250 Pulau Banda dan Ambon Antara 1950–1980 Maret, Juli, November Lapang
Ekotipe Ternate
Tidore
02o23’04,6” LU 02o16’04,6” LU 126o33’23,5” BT 126o34’23,5” BT 25 – 300 25 – 350 Ternate dan Bacan Tidore Antara 1960–1980 Antara 1970–1985 Maret dan Juli Maret dan Juli Lapang Lapang
85
81
83
82
78
79
6–8 8 Tidak ada pemupukan
6–8 8 Tidak ada pemupukan
6–8 8 Tidak ada pemupukan
Berbukit Pegunungan
Bergunung > 30% Pegunungan
Bergunung Pegunungan
10 – 40o Tak beraturan
25 – 40o Tak beraturan
15 – 40o Tak beraturan
Kemiri dan kelapa
Pohon buah (durian)
Mudah diolah Baik 141 – 156 Segar > 150
Mudah diolah Baik 137 – 144 Segar > 150
Pohon buah (durian) Mudah diolah Baik 285 Segar > 150
Lembab 6,5 – 7,3
Lembab 7,0 – 7,4
Lembab 7,8
Rendah Coklat kemerahan
Rendah Rendah Coklat kemerahan Coklat kemerahan
Lempung berpasir
Lempung berpasir Lempung berpasir
Pasir: Debu: Liat (62.3:22.4:15.4)
Pasir: Debu: Liat (64.5:25.1:10.4)
Pasir: Debu: Liat (65.2:15.6:19.2)
101
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Lanjutan Tabel 6 Deskripsi lingkungan dan lokasi 15. Sumber/ketersediaan air 16. Kesuburan tanah berdasarkan kondisi vegetasi dan tanaman indikator 17. Iklim lokasi 17.1. Suhu rata-rata (oC) 17.2. Curah hujan (mm/tahun) 17.3. Kecepatan angin (m/detik) 17.4. Kelembaban relatif (%) Nyatakan dalam kisaran/bulan 17.5. Penyinaran matahari (%) Deskripsi Tanaman C. Deskriptor tanaman 1. Pohon 1.1. Umur pohon (tahun) 1.2. Jenis bibit 1.3. Vigor 1.4. Lebar kanopi (m) 1.5. Tinggi pohon (m) 1.6. Bentuk pohon 1.7. Permukaan batang 1.8. Lingkar batang (cm) Diukur 50 cm diatas permukaan tanah 1.9. Pola percabangan 1.10. Pola penyebaran percabangan 1.11. Sudut cabang utama (o) 1.12. Warna ranting dan daun muda 1.13. Permukaan ranting muda 1.14. Bentuk daun 1.15. Bentuk pangkal daun 1.16. Panjang daun (cm) 1.17. Indeks ukuran daun 1.18. Warna daun tua 1.19. Alur pada tangaki daun 1.20. Sudut tangkai daun 1.21. Tepi daun 1.22. Jumlah tulang daun primer 1.23. Relief pertulangan daun permukaan atas 1.24. Bentuk ujung daun 1.25. Tekstur daun 1.26. Aroma daun
102
Banda Tadah hujan Sedang
Ekotipe Ternate Tadah hujan Sedang
Tidore Tadah hujan Sedang
26.5 2500 – 2900 3.0 82 – 84
26.6 2400 2.8 86 – 90
26.6 2400 2.7 86 – 90
56 – 57
43 – 68
43 – 68
20 – 50 Generatif (biji) Kekar – sedang 3.5 – 4.5 6 – 12 Agak piramidal Sedang 30 – 50
25 – 50 Generatif (biji) Kekar – Sedang 3.6 – 4.6 6 – 12 Agak piramidal Sedang 30 – 50
25 – 50 Generatif (i biji) Sedang 3.5 – 4.0 6 – 12 Agak piramidal Sedang 30 – 50
Ekstensif Agak horizontal
Ekstensif Agak horizontal
Ekstensif Agak horizontal
Sedang (45 – 90o) Hijau
Sedang (45 – 90o) Hijau
Sedang (45 – 90o) Hijau
Licin (glabrous) Obovat Runcing 12.5 2.45 – 2.52 Hijau Tidak ada Sedang (45 – 90o) Rata 14 – 20 Datar
Licin (glabrous) Obovat Runcing 13.5 2.09 – 2.88 Hijau Tidak ada Sedang (45 – 90o) Rata 14 – 18 Datar
Licin (glabrous) Obovat Runcing 12.7 2.91 Hijau Tidak ada Sedang (45 – 90o) Rata 14 – 22 Datar
Runcing Agak keras Sedang
Runcing Agak keras Sedang
Runcing Agak keras Sedang
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Lanjutan Tabel 6 Deskripsi lingkungan dan lokasi 2.
Bunga 2.1. Umur mulai berbunga (tahun) 2.2. Musim berbunga utama 2.3. Pola pembungaan 2.4. Sifat meranggas daun 2.5. Posisi bunga 2.6. Diameter bunga 2.7. Warna bunga 2.8. Tipe bunga 2.9. Jumlah bunga per rangkaian 2.10. Panjang tangkai bunga (mm) 2.11. Bentuk stilus bunga
3.
Banda
Tidore
5–7
5–7
5–7
Desember, April Sepanjang tahun Tidak ada Subterminalaksilar
Desember, April Sepanjang tahun Tidak ada Aksilar
Desember, April Sepanjang tahun Tidak ada Subterminal
Kuning gading
Kuning gading – kuning kehijauan Sebagian besar diosius Betina: 1 – 3 Jantan: 3 – 5 10 – 14
Kuning gading Sebagian besar diosius Betina: 1 – 3 Jantan: 3 – 5 11 – 16
Sangat pendek (<2 mm) Ada Ada
Sangat pendek (<2 mm) Ada Ada
Februari dan Juni Tidak jelas batasnya Secara terus menerus 1.15 – 1.25
Februari dan Juni Tidak jelas batasnya Secara terus menerus 1.25
12.65 – 49.19
40.07
Menonjol Bulat Sedang 2.04 – 2.22 2.2 – 3.4
Menonjol Bulat Sedang 0.22 – 1.96 2.0 – 2.2
Menonjol Bulat Sedang 2.29 2.2
Coklat
Coklat
Coklat
Sebagian besar diosius Betina: 2 – 3 Jantan: 3 – 7 12 – 17 Sangat pendek (<2 mm)
2.12. Ada/tidaknya polen 2.13. Ada/tidaknya nektar bunga 2.14. Ada/tidaknya perhiasan bunga (periantum) Buah 3.1. Umur mulai berbuah pertama 3.2. Lama waktu dari pembungaan hingga buah masak (bulan) 3.3. Musim berbuah 3.3.1. Mulai berbuah bulan) 3.3.2. Akhir berbuah (bulan)
Februari dan Juni Tidak jelas batasnya
3.4. Sifat perbuahan
Secara terus menerus
3.5. Bentuk buah (ID buah) 3.6. Permukaan kulit buah 3.7. Keseragaman ukuran buah 3.8. Bobot buah (g) Rata-rata hasil dari 50 buah 3.9. Bentuk pangkal buah 3.10. Bentuk pangkal buah 3.11. Glosi kulit buah 3.12. Panjang tangkai buah (cm) 3.13. Diameter tangkai buah (mm) pada bagian tengah 3.14. Warna tangkai buah pada buah matang yang ternaungi
Ekotipe Ternate
Ada Ada Tidak ada
5 6-7
1.18 – 1.25 Halus Tinggi 46.98 – 63.26
103
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Lanjutan Tabel 6 Deskripsi lingkungan dan lokasi 3.15. Warna kulit buah matang 3.16. Tingkat diskolorisasi buah setelah 1 jam 3.17. Warna diskolorisasi 4.
Biji 4.1. Bentuk biji (ID biji) 4.2. Bobot kering biji dengan batok (g) 4.3. Bobot kering biji tanpa batok (g) 4.4. Warna biji tua
4.5. Permukaan kulit biji tua Arilus atau fuli 5.1. Warna fuli 5.2. Bobot basah fuli (g) Deskripsi Evaluasi 1 Produksi 1.1. Hasil per pohon 1.1.1. Hasil buah 1.1.2. Hasil biji kering 1.1.3. Hasil fuli kering 1.2. Karakteristik produksi 1.3. Produksi (kg/tahun/ha) 1.3.1 Hasil biji kering 1.3.2. Hasil fuli kering 1.4. Lama buah bertahan di pohon hingga panen (bulan) 1.5. Kadar minyak (%) 1.5.1. Biji pala tua 1.5.2. Biji pala muda 1.5.3. Fuli 1.6. Kadar komponen atsiri utama (%) 1.6.1. Miristisin 1.6.2. Elemisin 1.6.3. Safrol 1.6.4. Eugenol
Banda Kuning gading Tinggi
Ekotipe Ternate Kuning gading Tinggi
Coklat kemerahan
Coklat kemerahan
Coklat kemerahan
1.19 – 1.26 6.38 – 7.13
1.22 – 1.29 5.58 – 6.11
1.4 5.46
2.28 – 4.48
3.68 – 4.21
3.56
Hitam kecoklatan
Hitam kecoklatan
Glosi
Glosi
Hitam kecoklatan Glosi
Merah darah 2.94 – 4.78
Merah darah 1.32 – 2.10
Merah darah 1.25
100.65 – 167.16 9.60 – 13.98 1.61 – 2.51 Terus menerus
73.35 – 89.17 6.33 – 7.48 0.72 – 1.15 Terus menerus
70.68 6.28 0.69 Terus menerus
711 – 1398 234 – 296 7–9
1148 – 1313 131 – 196 7–9
1110 127 7–9
11.69 – 11.92 12.82 – 13.07 20.42 – 21.00
7.95 – 8.64 11.99 – 13.32 19.53 – 21.98
9.61 11.99 21.01
13.54 – 13.76 0.67 – 0.94 2.44 – 2.46 0.55 – 0.90
11.30 – 11.42 6.71 – 7.21 2.57 – 3.37 1.77 – 1.80
5.97 3.56 1.49 9.82
Tidore Kuning gading Tinggi
5.
Areal pengembangan pala Untuk mengetahui peluang areal pengembangan pala telah dilakukan analisa terhadap data sekunder yang dimiliki oleh Disbun Propinsi Maluku Utara. Arealnya cukup memadai bila hanya dilakukan di sentra produski Propinsi Maluku Utara. Berdasarkan
104
data SUBDIN PERKEBUNAN PROPINSI MALUKU UTARA (2005) tercantum dalam Tabel 7. Luas yang belum dimanfaatkan berjumlah 1.758.313 ha yang tersebar 7 Kabupaten/Kota. Bila dari sejumlah ini dijadikan areal pengembangan sebanyak 17.000 ha dengan bahan tanaman menggunakan 2-3 varietas unggul, berarti sudah meningkatkan produksi
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
dan ekspor sekitar 300% karena areal sebesar itu sama dengan areal pala di Maluku Utara sekarang. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan langsung selama kunjungan dan hasil diskusi dengan para kontak tani, responden dan para Kepala Desa/Kelurahan, diperoleh informasi taksiran calon areal pengembangan, peremajan dan rehabilitasi sekitar 2.700 ha (Tabel 8). Kondisi kultur teknis pala di Maluku Utara Keadaan perkebunan pala di sentra produksi yang dikunjungi, umumnya menunjukkan pola tanam sedikit bersifat polikultur. Sebab dominasi tanaman yang dibudidayakan adalah pala, sedangkan tanaman lainnya kelapa, mangga atau cengkeh. Tanaman tumpangsarinya relatif sedikit antara lain sayur-sayuran dan palawija. Terbatasnya tanaman tumpangsari karena umumnya kanopi tanaman pala sudah hampir bersentuhan. Umur pertanaman pala umumnya sudah lanjut/diatas 30 tahun bahkan ada yang ratusan tahun.
Topografi tempat tumbuh tanaman pala umumnya dari yang miring sampai terjal bergunung. Sesungguhnya lahan dengan kemiringan diatas 45%, sudah dilarang untuk tempat pembudidayaan tanaman. Namun karena pertanaman pala merupakan tanaman alami di Maluku Utara sehingga sudah berperan sebagai tanaman reboisasi. Perakaran tanaman pala cukup kuat dan memanjang. Jarang ditemukan tanaman pala yang rebah/ tumbang walaupun ditanam ditebing. Pemeliharaan umumnya dilakukan terbatas pada penyiangan, bahkan jarang/tidak dipupuk anorganik, sehingga dapat dikatakan pertanaman pala di Maluku Utara sudah menerapkan budidaya organik. Gangguan hama penyakit yang banyak ditemukan adalah serangan hama penggerek batang dan penyakit busuk buah. Pohon berumur ratusan tahun banyak yang mati mengering dengan gejala lubang gerekan pada batang, merupakan gejala serangga hama penggerek. Upaya penanggulangan belum pernah dilakukan. Sehingga sangat mengkhawatirkan dapat mematikan sebagian besar tanaman pala tua.
Tabel 7. Lahan potensial untuk peluasan tanaman perkebunan Propinsi Maluku Utara tahun 2000 No Kabupaten Kota 1 Halmahera Utara 2 Halmahera Selatan 3 Halmahera Timur 4 Halmahera Barat 5 Halmahera Tengan 6 Kepulauan Sula 7 Kota Ternate 8 Kota Tidore Jumlah
Lahan potensial (Ha) 602.388 991.056 650.620 159.308 227.665 389.232 179.663 3.190.923
Perkebunan rakyat (Ha) 48.506 40.044 13.665 23.796 21.434 79.714 4.433 60.235 291.827
Sumber: SUBDIN PERKEBUNAN MALUKU UTARA, 2005
Tabel 8. Taksiran calon areal pengembangan pala di Sentra No. 1. 2. 3. 4. 5 6. 7
Kabupaten Kota Ternate Kota Ternate Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan Halmahera Selatan Halmahera Selatan Kota Ternate Jumlah
Kecamatan Kota Ternate Selatan Kota Ternate Utara Pulau Ternate Tidore Utara Bacan Pulau Makian Moti/Moti Kota 7 Kecamatan
Taksiran areal (ha) 50 50 50 500 – 1.000 1000 – 2.000 1.000 – 1.500 50 – 100 2.700 – 4.000
105
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kegiatan ini dilaksanakan dalam 4 tahap yakni: a). Survei BPT dan eksplorai pohon induk. b). Pengumpulan benih bahan tanaman untuk kebun pembibitan. c). Survei lokasi kebun pembibitan kebun induk dan taksiran areal pengembangan. dan d). Survei pola perdagangan pala di Maluku Utara. Hasil survei BPT dan eksplorasi pohon induk pala menghasilkan: 9 BPT yang tersebar di: 1). BPT Marikrubu Hamadal sebanyak 125 pohon, 2). Togafo Salim 125 pohon, 3). Togafo Malan 100 pohon, 4). Jaya Senen 35 pohon; 5). Jaya Ali 26 pohon, 6). Amasing Hakim 15 pohon, 7). Waigitang Lutfi 10 pohon, 8). Moti Tadenas 45 pohon dan 9). Banemo Sulaiman 75 pohon. Jumlah 10 BPT dengan 556 pohon induk. Jumlah benih sampel dari tiap BPT untuk pembibitan diperoleh 5.000 butir dan akan dibibitkan di KP Bacan.dan di Kebun Prima Tani Jaya Tidore, masing-masing 2.500 butir. Survey lokasi kebun dan taksiran areal untuk pengembangan, peremajaan dan rehabilitasi diperoleh data sementara yakni untuk Kebun pembibitan dan kebun induk dicadangkan di KP Bacan milik Departemen Pertanian dengan luas memadai dan lokasi yang strategis. Sedangkan untuk taksiran perluasan, peremajaan dan rehabilitasi kebun pala ditaksir tersedia lahan sebanyak 5.000 ha, yang tersebar di Ternate, Tidore, Bacan, Moti dan Makian. Saran Pengamatan dan pemeliharaan BPT dan pohon induk perlu terus dilanjutkan secara teratur agar diperoleh benih yang baik dan sehat. Pembinaan kepada penangkar dan pengelola BPT perlu ditingkatkan dan diperluas dengan pendalam teknik dan cara berbisnis. Pembangunan kebun bibit dan kebun induk sebaiknya segera direalisasikan mulai tahun 2007.
Provinsi Maluku Utara. BAPPEDA Provinsi Maluku Utara dengan Pusat Penelitian Pembangunan Daerah Universitas Khairun. Ternate. ANONIMOUS. 1974. Pedoman teknik budidaya pala. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta : 56. ANONIMOUS. 2005. Perbandingan Harga per Bulan Beberapa Kebutuhan Pokok Masyarakat di Kota Ternate Tahun 2003 – 2005. Subdin Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku Utara. Ternate. ANONIMOUS. 2003. Budidaya Pala. Circular No. 5. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO). Balitbangtan, Bogor. ANONIMOUS 2006. Prospek Rempah Indonesia. Sinar Tani hlm 11 Edisi 9 – 15 Agustus 2006 No. 3162 Tahun XXXVI. PT. Duta Karya Swasta. Jakarta. ASMAN. A., M. TOMBE, M. E. ESTER.S.R. DJIWANTI dan D. SITEPU. 1992. Identifikasi dan Biologi Penyakit pala di Sumatra Barat. Laporan hasil Penelitian Balitro. CERE. 1961. Plant Taxonomy. Prentice. Hall Inc. Englewood Cliffs. N. Jersey. DE GUZMAN C.C., and SIEMONSMA J.S. 1999. Spices. Plant Resources of South-East Asia (Prosea No. 13). Bogor. DINAS PERTANIAN dan KETAHANAN PANGAN DAERAH PROVINSI MALUKU UTARA. 2006. Laporan Tahunan 2005. Ternate. DITJEN PERKEBUNAN. 2005. Statistik Perkebunan Indonesia. Deptan, Jakarta. EMMYZAR. MS, R. ROSMAN, dan H. MUHAMMAD. 1989. Tanaman Pala. Perkembangan Penelitian Agronomi Tanaman Rempah dan Obat. Edisi Khusus Littro vol. V. No. 1. 1989. 5 hlm. HADAD, M. E.A. dan A. HAMID. 1990. Mengenal berbagai Plasma Nutfah Pala di Daerah Maluku Utara. Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Bogor. VIII: 1213 – 1222.
DAFTAR PUSTAKA
HADAD, M. E.A. 1991. Keragaan Plasma Nutfat Pala di Propinsi Maluku Hasil Eksplorasi dan Pelestarian 1990/1991. Makalah pada Seminar Plasma Nutfah Tanaman Hortikultura, industri dan pangan. Puslitbangtan. September 1991 Bogor: 12.
ADAM, MUKHTAR, NAJIB ACHMAD, dan AMRAN HUSEN. 2005. Potensi Unggulan Daerah
HADAD, M. E.A. dan SYAKIR. M. 1992. Pengadaan Bahan Tanaman Pala. Perkembangan
106
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Penelitian Tanaman Pala dan Kayumanis. Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Balittro vol. VIII No. 1, 1992, hlm. 1-7.
MARKS, S., J, POMEROY. 1995. International Trade in Nutmeg and Mace: Issues and Options for Indonesia. Bull. Indo Economic Studies 31 (3): 103-118.
HADAD, M. E.A., I MARZUKI, M. SYUKUR, dan M. ASSAGAF. 2006. Potensi dan Pengembangan Pala di Maluku Utara. Bogor. (Un publish).
PURSEGLOVE, J.W., E.G. BROWN, S.L. GREEN, and S.R.J. ROBBINS. 1995. Spices. Longkan, New York. hlm.175-228.
HERNANI dan RISFAHERI. 1990. Pengaruh Cara Penempatan Bahan pada Penyulingan Biji Pala terhadap Rendemen dan Mutu Minyaknya. Medkom Puslitbangtri No. 5. hlm. 93-98.
RIDLEY, H. N. 1912. Spices. Mac Millan Co., St. Merten’s Street London.
HEYNE, K., 1927. De Nuttings Planten Van Nederlandesh Indish. Ruygrok and Co. Batavia ; 196.
ROSMAN, R., EMMYZAR, dan MADE TASMA. 1989. Studi Kesesuaian Lahan dan Iklim Tanaman Pala (Myristica fragrans). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
IPBGR. 1980. Tropical Fruits Descriptors. IBPGR. Southeast Asia Regional Committee. LABORATORIUM BPPMB PERINDAG TERNATE. 2005. Realisasi Pengujian Pala dan Fuli Tahun 2005. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Ternate. Ternate. LUBIS, YACOB, M. 1992. Budidaya Tanaman Pala. Perkembangan Penelitian Tanaman Pala dan Kayumanis Edisi Khusus Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Balittro vol. VIII No.1. 1992, hlm. 8 – 20.
RISMUNANDAR. 1987. Budidaya dan Tataniaga Pala. Penebar Swadaya, Jakarta.
RUKMANA, RAHMAT. 2004. Usahatani Pala. Aneka Ilmu. Semarang. SAS. 1996. Statistical Analysis System. SAS Institute Inc., Cary, NC, USA. SOMAATMADJA, D. 1984. Penelitian dan Pengembangan Pala dan Fuli. Komunikasi No.215. BBIHP, Bogor. 18 hlm. SUNANTO, HATTA. 1993. Budidaya Pala Komoditas Ekspor. Kanisius. Yogyakarta.
MANDANG – SUMARAW, S. 1981. Penyakit–penyakit Jamur pada Buah Pala di Kabupaten Minahasa. Makalah Kongres Nasional VI, PFI, Bukit Tinggi, 11-13 Mei, 12p.
STECCHINI, M.L, I. SARAIS, and P. GIAVEDONI. 1993. Effect of Essential Oils on Aeromonas hydrophyla in a Culture Medium and in Cooked Pork. J. Food Protection 56(5):406409.
MANDANG – SUMARAW, S. 1985. Biologi Penyebab Penyakit Busuk Buah Pala Khususnya Busuk Kering. Tesis S3 UGM. (Un publish).
TROJER, L.R. 1976. Agroclimate Map of Sumatera, Kalimantan, Maluku, and Irian. Central Res. Inst. Agric. Bogor No. 17.
107