PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER OLEIN UNTUK PEMBUATAN HEAVY DUTY CLEANER
RACHMANIA WIDYASTUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Agustus 2012
Rachmania Widyastuti F351090071
ABSTRACT
RACHMANIA WIDYASTUTI. F351090071. Utilization of Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) from Olein based Methyl Ester in Heavy Duty Cleaner Making. Under the Direction of ANI SURYANI and ERLIZA HAMBALI.
The industry related to materials that are very difficult to remove in the cleaning process, such as crude oil, grease, oil, or other materials need heavy duty cleaning products that can handle the difficulty in cleaning. Cleaning products that have a tough task to clean the dirt is sometimes called a heavy duty cleaner. This product is effective for cleaning storage tank, reception tank, pipes, floors, equipment or machinery. Just like any other cleaning products, in the formulation of heavy duty cleaner needed surfactant. The purposes of this research were to obtain heavy duty cleaner utilizing methyl ester sulfonic acid (MESA) from olein based methyl ester, to know the performance generated from heavy duty cleaner, and financial feasibility information of heavy duty cleaner industry. This research started with preparation of C16 dominant methyl ester, olein based methyl ester, MESA production by sulphonating methyl ester with SO3 as reactant in a single tube falling-film reactor, then followed by MESA characterization. Furthermore, continued with heavy duty cleaner making and characterisazion. Design of the research was using factorial completely rendomized with two factors including type of MESA and NaOH concentration. The type of MESA consist of four levels (MESA olein off grade, MESA olein steady state, MESA olein C16 dominant off grade and MESA olein C16 dominant steady state). NaOH concentration consist of four levels ( 35%, 40%, 45% and 50%). Washing capasity value was chosen as key parameter because it was representing the performance of heavy duty cleaner in removing impurity. Based on variance analysis, MESA types gave significance influence to the value of product washing capasity, whereas NaOH concentration was not giving significance influence. The highest washing capasity average value was generated from MESA olein dominant C16 steady state type. The results showed that heavy duty cleaner which used MESA olein dominan C16 steady state type with 35% NaOH concentration was resulting 98,11% emultion stability, 9 ml/ ml 0,1% sample solution foaming capacity, 13,75% foam stability, and 91,31% washing capasity was the best composition obtain. Based on four investment criteria, those were NPV (Rp 19.210.855.000), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) and PBP (5,36 years) show that it is feasible to run. Key word: heavy duty cleaner, MESA, heavy duty cleaner composition
RINGKASAN
RACHMANIA WIDYASTUTI. F351090071. Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner. Dibimbing oleh ANI SURYANI dan ERLIZA HAMBALI.
Industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sangat sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti minyak mentah, gemuk, oli, atau bahan lainnya membutuhkan produk pembersih yang mampu menangani kesulitan dalam pembersihannya. Produk pembersih yang memiliki tugas berat untuk membersihkan kotoran-kotoran tersebut pada umumnya disebut dengan heavy duty cleaner. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki timbun, tangki penerimaan, pipa, lantai, peralatan ataupun mesin. Sama seperti produk pembersih lainnya, dalam formulasi heavy duty cleaner dibutuhkan surfaktan. Surfaktan yang populer digunakan adalah petroleum sulfonat. Salah satu contohnya yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS). Surfaktan ini diproduksi dari fraksi minyak bumi. Minyak bumi bersifat tidak terbarukan (non renewable) dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan bahan baku lain yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah. Olein sawit mengandung asam lemak dominan C16 dan C18. MES C16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C18 dan C14. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein dominan C16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein. Mehtyl ester sulfonic acid (MESA) merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. Selain itu MESA berwarna gelap. Senyawa pemberi warna gelap pada MESA merupakan senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Warna gelap (hitam) pada MESA inilah yang menjadi pertimbangan MESA tidak digunakan sebagai bahan baku produk pembersih perkakas rumah tangga atau untuk pembersih kain. Oleh karena itu diperlukan alternatif pemanfaatan, salah satunya yaitu mencoba mengaplikasikan MESA sebagai cleaning agent untuk industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti industri perminyakan. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mendapatkan heavy duty cleaner dengan memanfaatkan methyl ester sulfonic acid (MESA) dari metil ester olein, mengetahui kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan dan mengetahui informasi kelayakan finansial dari industri heavy duty cleaner. Produk heavy duty cleaner terbaik ditentukan berdasarkan pengukuran sifat fisikokimia dan kinerja dari heavy duty cleaner yang dihasilkan. Pengukuran sifat fisikokima meliputi viskositas, bobot jenis dan stabilitas emulsi. Pengukuran kinerja dari heavy duty cleaner yang dihasilkan meliputi daya pembusaan, stabilitas busa dan daya cuci.
Penelitian ini diawali dengan persiapan fraksinasi metil ester dominan C16, pembuatan surfaktan MESA dengan mereaksikan metil ester dengan SO3 pada reaktor single tube falling film, lalu karakterisasi MESA. Selanjutnya dilakukan pembuatan dan analisis sifat fisik dan kinerja heavy duty cleaner. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor, yaitu jenis MESA dan konsentrasi NaOH. Jenis MESA terdiri dari empat taraf, yaitu MESA olein off grade, MESA olein steady state, MESA olein dominan C16 off grade dan MESA olein dominan C16 steady state. Konsentrasi NaOH terdiri dari empat taraf, yaitu 35%, 40%, 45% dan 50%. Nilai daya cuci dipilih sebagai parameter penentu karena mewakili kinerja dari heavy duty cleaner dalam menghilangkan kotoran. Berdasarkan analisis keragaman, jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap nilai daya cuci produk, sedangkan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai rata-rata daya cuci tertinggi yaitu pada jenis MESA olein dominan C16 steady state. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa heavy duty cleaner yang menggunakan jenis MESA olein dominan C16 steady state dengan konsentrasi NaOH 35% menghasilkan stabilitas emulsi 98,11%, daya pembusaan 9 ml/ ml larutan sampel 0,1%, stabilitas busa 13,75% dan daya cuci 91,31% sudah dapat digunakan. Berdasarkan empat kriteria investasi yang digunakan yaitu NPV (Rp 19.210.855.000), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) dan PBP (5,36 tahun) menunjukkan bahwa industri heavy duty cleaner layak untuk dijalankan. Kata kunci: heavy duty clenaer, MESA, komposisi heavy duty cleaner
C
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan daan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID (MESA) DARI METIL ESTER OLEIN UNTUK PEMBUATAN HEAVY DUTY CLEANER
RACHMANIA WIDYASTUTI
Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ika Amalia Kartika, STP, MT
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis
: Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner
Nama
: Rachmania Widyastuti
NIM
: F351090071
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, MSi Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Machfud, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Ujian : 29 Juni 2012
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penelitian ini berhasil diselesaikan. Judul
yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Pemanfaatan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Olein untuk Pembuatan Heavy Duty Cleaner. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan dorongan, bantuan serta masukan sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, Msi selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat; staf di Laboratorium SBRC LPPM IPB dan Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian, PT Mahkota Indonesia; rekan-rekan di Departemen Teknologi Industri Pertanian angkatan 2009. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karenanya kritik dan
saran sangat penulis harapkan guna menyempurnakan
penulisan ini. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Rachmania Widyastuti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandarjaya, Lampung Tengah pada tanggal 23 Juli 1986. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDK No. 3 Bandarjaya Lampung Tengah dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 3 Terbanggi Besar Lampung Tengah. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri I Terbanggi Besar Lampung Tengah dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Lampung melalui SPMB di jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian serta meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian (STP) di Universitas Lampung tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan program S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
ix
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1.2. Tujuan ............................................................................................ 1.3. Hipotesa ......................................................................................... 1.4. Ruang Lingkup ...............................................................................
1 2 3 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Heavy Duty Cleaner ........................................................................ 2.2. Surfaktan ........................................................................................ 2.3. Metil Ester Olein ............................................................................ 2.4. Methyl Eter Sulfonic Acid (MESA) ................................................. 2.5. Kajian Analisis Finansial ................................................................
5 8 13 18 22
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat ......................................................................... 3.2. Bahan dan Alat ............................................................................... 3.3. Metode Penelitian............................................................................ 3.3.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16................ 3.3.2. Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein ............................ 3.3.3. Proses Produksi dan Analisis Methyl Ester Sulfonic Acid .......................................................................................... 3.3.4. Proses Pembuatan dan Analisis Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner ..................................................... 3.4. Rancangan Percobaan...................................................................... 3.5. Analisis Finansial ............................................................................ IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16 ...................... 4.2. Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein dan Metil Ester Olein Dominan C16 ................................................................................... 4.3. Sifat fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid.................................... 4.4. Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner .................................... 4.4.1. Stabilitas Emulsi ..................................................................... 4.4.2. Daya Pembusaan...................................................................... 4.4.3. Stabilitas Busa ........................................................................ 4.4.4. Daya Cuci ............................................................................... 4.5. Penentuan Produk dari Kinerja Terbaik ...........................................
25 25 25 26 26 26 27 28 29
33 35 38 41 41 42 44 45 47
4.6. Aspek Finansial Heavy Duty Cleaner dari MESA Olein Terbaik ............................................................................................ 4.6.1. Asumsi Analisis Finansial ..................................................... 4.6.2. Biaya Investasi ....................................................................... 4.6.3. Penyusutan ............................................................................ 4.6.4. Biaya Operasional ................................................................. 4.6.5. Harga Penjualan dan Perkiraan Penerimaan ........................... 4.6.6. Modal Kerja ........................................................................... 4.6.7. Pembiayaan ........................................................................... 4.6.8. Proyeksi Laba Rugi ............................................................... 4.6.9. Break Even Point (BEP) ....................................................... 4.6.10. Kriteria Kelayakan Investasi .................................................
48 48 50 56 56 60 61 61 63 63 64
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan .................................................................................... 5.2. Saran ..............................................................................................
67 67
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
69
LAMPIRAN .................................................................................................
75
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi heavy duty cleaner ................................................................
5
2 Komposisi heavy duty exothermic all-purpose cleaning .........................
5
3 Komposisi heavy duty degreaser cleaning ...............................................
6
4 Komposisi heavy duty degreaser cleaning ..............................................
6
5 Komposisi heavy duty aerosol cleaner ...................................................
7
6 Karakteristik larutan kaustik soda 50%...................................................
8
7 Komposisi asam lemak beberapa produk kelapa sawit ............................
15
8 Karakteristik metil ester sulfonat (MES).................................................
22
9 Titik didih asam lemak pada berbagai tekanan .......................................
33
10 Sifat fisiko kimia metil ester olein dan metil ester dominan C16 ..............
35
11 Sifat fisik methyl ester sulfonic acid .......................................................
40
12 Rincian modal investasi (dalam ribuan rupiah) ......................................
50
13 Rincian biaya pembelian alat dan mesin (dalam ribuan rupiah)...............
51
14 Rincian biaya bangunan (dalam ribuan rupiah) .......................................
53
15 Harga sewa lahan industri heavy duty cleaner (dalam ribuan rupiah) ..................................................................................................
53
16 Rincian biaya perlengkapan (dalam ribuan rupiah) ................................
54
17 Rincian biaya prainvestasi (dalam ribuan rupiah) ..................................
55
18 Rincian bunga selama pembangunan pabrik (dalam ribuan rupiah) ..................................................................................................
55
19 Rincian biaya tenaga kerja tak langsung (dalam ribuan rupiah) ...............
57
20 Rincian biaya tenaga kerja langsung (dalam ribuan rupiah) ...................
57
21 Biaya bahan baku, bahan penolong dan utilitas produksi dalam ribuan rupiah) ........................................................................................
58
22 Kebutuhan utilitas kantor (dalam ribuan rupiah) .....................................
58
23 Rincian biaya pemeliharaan (dalam ribuan rupiah) .................................
59
24 Rincian biaya asuransi (dalam rupian rupiah) ........................................
59
25 Rincian pajak (dalam ribuan rupiah) .......................................................
60
26 Harga dan penerimaan (dalam ribuan rupiah) ........................................
61
27 Struktur pembiayaan (dalam ribuan rupiah) ...........................................
62
28 Angsuran modal investasi tetap (dalam ribuan rupiah) ...........................
62
29 Angsuran modal kerja (dalam ribuan rupiah) ..........................................
62
30 Proyeksi laba rugi (dalam ribuan rupiah) ...............................................
63
31 Analisis BEP (dalam ribuan rupiah) .......................................................
64
32 Kriteria kelayakan investasi ...................................................................
64
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Molekul air ditarik oleh molekul air yang lain dengan kekuatan yang sama dalam tiga arah (Hargreaves 2003) ........................................
9
2 Ilustrasi pembentukan micelle (Hargreaves 2003) ..................................
10
3 Mekanisme pembersihan oleh surfaktan (Hargreaves 2003) ...................
11
4 Diagram alir proses produksi biodiesel ..................................................
14
5 Reaksi transesterifikasi pada proses produksi biodiesel .........................
15
6 Molekul asam lemak .............................................................................
16
7 Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C16 .......................
18
8 Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES (Watkins, 2001) .......................
19
9 Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungerman, 1979) .................................................................................
19
10 Diagram alir proses pembuatan heavy duty cleaner ................................
27
11 Produk fraksinasi metil ester olein .........................................................
34
12 Bahan baku pembuatan Methyl Ester Sulfonic Acid ...............................
36
13 Grafik komposisi FAME hasil fraksinasi metil ester olein .....................
37
14 Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester .............
39
15 Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan heavy duty cleaner .................................................................................
43
16 Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai stabilitas busa heavy duty cleaner .................................................................................
45
17 Grafik pengaruh jenis MESA terhadap daya cuci heavy duty cleaner ...................................................................................................
47
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Prosedur analisis metil ester olein ..........................................................
77
2 Diagram alir pengolahan methyl ester sulfonic acid ...............................
78
3 Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA) ..............................
80
4 Prosedur analisis produk heavy duty cleaner ..........................................
82
5 Proses fraksinasi metil ester olein ..........................................................
83
6 Proses produksi methyl ester sulfonic acid (MESA) ..............................
84
7 Proses pembuatan heavy duty cleaner ....................................................
85
8 Hasil analisis ragam terhadap stabilitas emulsi heavy duty cleaner ........
86
9 Analisis daya pembusaan dan stabilitas busa pada heavy duty cleaner ...................................................................................................
87
10 Data hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya pembusaan heavy duty cleaner ...............................................................
88
11 Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas busa heavy duty cleaner ............................................
89
12 Analisis daya cuci pada heavy duty cleaner ............................................
90
13 Data hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya cuci heavy duty cleaner .................................................................................
91
14 Spesifikasi mesin dan peralatan pada produksi heavy duty cleaner ...................................................................................................
92
15 Penyusutan dan nilai sisa (dalam ribuan rupiah) ....................................
93
16 Rincian biaya operasional (dalam ribuan rupiah) ...................................
95
17 Neraca masa industri heavy duty cleaner ...............................................
97
18 Rincian modal kerja (dalam ribuan rupiah) ............................................
98
19 Proyeksi arus kas (dalam ribuan rupiah) ................................................
99
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang sangat sulit dihilangkan dalam proses pembersihannya, seperti minyak mentah, gemuk, oli, atau bahan lainnya membutuhkan produk pembersih yang mampu menangani kesulitan dalam pembersihannya.
Produk
pembersih
yang
memiliki
tugas
berat
untuk
membersihkan kotoran-kotoran tersebut pada umumnya disebut dengan heavy duty cleaner.
Produk ini efektif untuk membersihkan tangki timbun, tangki
penerimaan, pipa, lantai, peralatan ataupun mesin. Sama seperti produk pembersih lainnya, dalam formulasi heavy duty cleaner dibutuhkan surfaktan. Surfaktan yang populer digunakan adalah petroleum sulfonat. Salah satu contohnya yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS). Surfaktan ini diproduksi dari minyak bumi. Minyak bumi bersifat tidak terbarukan (non renewable) dan tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu dimanfaatkan bahan baku lain yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah. Olein sawit mengandung asam lemak dominan C16 dan C18. Hui (1996) menyatakan bahwa alkil ester asam lemak C14, C16 dan C18 baik digunakan untuk bahan baku surfaktan karena mampu memberikan tingkat detergensi yang terbaik, mampu mempertahankan aktivitas enzim dan memiliki toleransi terhadap ion Ca lebih baik. Watkins (2001) menyatakan bahwa metil ester palmitat (C16) merupakan salah satu komponen metil ester yang sangat baik apabila digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan surfaktan metil ester sulfonat (MES). Asam lemak C16 dan C18 mampu memberikan tingkat detergensi yang tinggi sehingga potensial sebagai bahan baku pembuatan surfaktan. MES C16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C18 dan C14. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein dominan C16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein. Melalui aplikasi teknologi tersebut maka dapat memperbaiki karakteristik metil ester, terutama sebagai bahan baku surfaktan.
Mehtyl ester sulfonic acid (MESA) merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. Selain itu MESA berwarna gelap. Selain itu MESA berwarna gelap. Senyawa pemberi warna gelap pada MESA merupakan senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (Yamada and Matsunani (1996); Roberts et al. (2008). Warna gelap (hitam) pada MESA inilah yang menjadi pertimbangan MESA tidak digunakan sebagai bahan baku produk pembersih perkakas rumah tangga atau untuk pembersih kain. Oleh karena itu diperlukan alternatif pemanfaatan, salah satunya yaitu mencoba mengaplikasikan MESA sebagai cleaning agent untuk industri yang berkaitan dengan bahan-bahan yang
sulit
dihilangkan
dalam
proses
pembersihannya,
seperti
industri
perminyakan. Susi (2010) telah melakukan kajian terhadap proses aging pasca sulfonasi metil ester olein sawit menggunakan Singletube Falling Film Reactor (STFR) dan pengaruhnya terhadap karakteristik MESA dengan kondisi proses sulfonasi terbaik yaitu kontak gas SO3 dan metil ester olein dilakukan pada laju alir 50 ml/menit, suhu input 100⁰ C, MESA diakumulasikan pada proses sulfonasi 2-3 jam serta suhu aging 80⁰ C selama 60 menit. Kondisi proses ini menghasilkan MESA yang memiliki karakteristik bahan aktif 23,04%, viskositas 96,5 cP, pH 0,76, bilangan iod 21,09 mg I/g, bilangan asam 14,02 mg KOH/g, warna (Klett) 630, emulsi 85,45% dan stabil selama 10,53 menit. 1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan heavy duty cleaner dengan memanfaatkan methyl ester sulfonic acid (MESA) dari metil ester olein, mengetahui kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan dan mengetahui informasi kelayakan finansial dari industri heavy duty cleaner.
1.3. Hipotesa Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini yaitu MESA olein dan MESA olein dominan C16 dengan kualitas off grade dan steady state diduga mempunyai karakteristik yang berbeda, sehingga akan berpengaruh terhadap kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan. 1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Persiapan fraksinasi metil ester olein dominan C16 2. Analisis sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester olein dominan C16 3. Proses sulfonasi metil ester dengan menggunakan gas SO3 4. Analisis sifat fisikokimia beberapa jenis surfaktan methyl ester sulfonic acid 5. Proses Pembuatan heavy duty cleaner 6. Analisis sifat fisik dan kinerja heavy duty cleaner 7. Analisis finansial produksi heavy duty cleaner
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Heavy Duty Cleaner Dalam industri produk pembersih, heavy duty cleaner merupakan agen pembersih yang digunakan untuk membersihkan kotoran-kotoran berat seperti minyak mentah, oli, dan gemuk. Produk ini efektif untuk membersihkan tangki penyimpanan, tangki penerimaan, pipa, lantai, peralatan dan mesin. Ada beberapa contoh formula heavy duty cleaner, salah satu komposisi heavy duty cleaner yaitu formula yang berasal dari Flick (1999) seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi heavy duty cleaner Bahan Water Na4EDTA (Ethylenediaminetetracetic acid) TKPP (Tetra Potassium Pyrophosphate) Pilot SXS-40 KOH, 45% Calamide C
Konsentrasi (%) 74 2 4 5 10 5
Selain itu sudah ada beberapa paten untuk produk heavy duty cleaner. Selwyn et al. (1974) telah mempatenkan heavy duty exothermic all-purpose cleaning composition. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi heavy duty exothermic all-purpose cleaning Bahan Sodium hidroksida Sodium bisulfat Sodium dodecyl benzene sulfonate Dye Sodium ddichloroisocinaturate Dedusting oil Sumber: Selwyn et al. (1974)
Konsentrasi (%) 49,60 47,44 1,70 0,01 1,00 0,25
Produk heavy duty cleaner ini memiliki manfaat sebagai bahan pembersih rambut, saluran dan karat, yang di dalamnya terdiri dari campuran bahan aktif yang penting, bahan asam dan alkali kaustik, yang ketika kontak dengan air, mampu menghasilkan cairan panas. Cairan ini dapat digunakan dalam pelarutan
atau penghancuran lemak, minyak, kotoran, rambut dan karat. Bahan lainnya yang terkandung pada produk heavy duty cleaner ini yaitu surfaktan yang cocok, agen pemutihan, germisida, dan sejenisnya. Ahmed (2000) telah mempatenkan heavy duty degreaser cleaning compositions and methods of using the same. Penemuan ini berhubungan dengan komposisi heavy duty degreaser clener dan metode untuk penggunannya. Penemuan ini khususnya berhubungan dengan komposisi pembersih yang berguna untuk membersihkan minyak, pelumas dan saluran pembuangan gas pada otomotif dan industri. Selain itu juga dapat digunakan untuk membersihkan minyak atau shortening yang tertinggal pada alat penggorengan atau peralatan masak lainnya. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi heavy duty degreaser cleaning Bahan EDTA-Na4 (30%) HP3PO4 (75%) Sulfonic L12-6 Neodol 91-2.5 Sodium xylene Sumber: Ahmed (2000)
Konsentrasi (%) 13,65 4,52 2,03 2,03 15,10
Palmore (2011) telah mempatenkan vissualy enhancing heavy duty degreaser-cleaning composition. Penemuan ini berhubungan dengan komposisi pembersih gemuk atau pembersih pada umumnya, khususnya yangberhubungan dengan komposisi pembersih gemuk atau pembersih yang berguna untuk menghilangkan minyak dan mentega dari permukaan logam. Komposisi dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi heavy duty degreaser cleaning Bahan Sodium hidroksida Trisodium fosfat Tripotasium fosfat Polychlorinated copper phthalocyanine Sumber: Palmore (2011)
Konsentrasi (%) 90,0 8,5 1,0 0,5
Strand et al. (1972) telah mempatenkan heavy duty aerosol cleaner. Komposisi heavy duty aerosol cleaner diadaptasi untuk membersihkan lantai dengan permukaan yang keras tanpa efek yang merugikan pada lantai tersebut. Pembersih ini terdiri dari suspensi thixotropic bentonit, partikel abrasif, agen untuk pencegahan korosi, minimal satu asam lemak alkanolamide lebih tinggi untuk menghasilkan busa, dan air yang cukup untuk menghasilkan viskositas yang diinginkan. Formula dari produk ini ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Formulasi heavy duty aerosol cleaner Bahan Bentonit Isopropyl alcohol Amonium hidroksida, 28% Silika Coconut fatty acid diethanol amide Sumber: Strand et al. (1972)
Konsentrasi (%) 24 13 6 72 5,1
Pada penelitian ini, selain menggunakan surfaktan methyl ester sulfonic acid (MESA), dalam komposisinya terdapat NaOH. NaOH adalah zat padat rapuh berwarna putih yang sangat kuat dalam menyerap kelembaban dan karbon dioksida dari udara. Istilah lain untuk NaOH adalah kaustik soda. Istilah kaustik soda digunakan karena sifatnya yang korosif terhadap kulit. Penggunaan tradisionalnya dalam bidang sabun, tekstil dan pengolahan minyak bumi masih menonjol (Austin 1984). Menurut Buehr (1962), Salah satu konsumen terbesar kaustik soda adalah industri pulp dan kertas. Industri ini menggunakan kaustik soda dalam pembuatan pulp dan proses pemutihan, de-inking limbah kertas, dan pengolahan limbah cair. Kaustik soda adalah bahan baku dasar dalam pembuatan berbagai bahan kimia, yaitu digunakan sebagai perantara dan reaktan dalam proses yang menghasilkan pelarut, plastik, serat sintetis, pemutih, perekat, pelapis, herbisida, pewarna, tinta, dan kegiatan farmasi yang berkaitan dengan aspirin. Kaustik soda, sebagai larutan 50%, merupakan cairan yang tidak berbau dan tidak berwarna. Pada semua bentuk, kaustik soda sangat korosif dan reaktif. Larutan kaustik soda bereaksi dengan logam seperti aluminium, magnesium, seng,
timah,
kromium,
perunggu,
kuningan,
tembaga,
dan
campuran
mengandung logam-logam ini. Kaustik soda dapat bereaksi dengan kebanyakan jaringan hewan, termasuk kulit, kulit manusia, dan mata (Anonimb 2009). Karakteristik larutan kaustik soda disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik larutan kaustik soda 50% Boiling Point
289°F (143°C)
Melting Point
Mengkristal mulai suhu 54 – 49°F (12 – 15°C)
Solidification Point
41°F (5°C)
Daya larut
Larut dalam air, alkohol dan gliserol
Specific Gravity (Air = 1)
1,53 pada suhu 60°F (15,6°C)
pH
>14,0 pada suhu 20°C
Sumber: Anonim (2009b) Kaustik soda berfungsi sebagai penetralisir sifat keasaman yang dimiliki oleh MESA. Bahan ini berbentuk lempengan atau padatan tipis-tipis (flake). Sebelum direaksikan dengan MESA, flake tersebut harus dilarutkan dengan air. Jika larutan yang diinginkan berkadar 40% maka perbandingan antara lempengan kaustik dengan air kurang lebih adalah 40:60 (perbandingan pendekatan). 2.2. Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan senyawa organik yang dalam molekulnya memiliki sedikitnya satu gugus hidrofilik dan satu gugus hidrofobik. Apabila ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antarmuka cairan tersebut. Antarmuka adalah bagian dimana dua fasa saling bertemu/kontak. Permukaan yaitu antarmuka dimana satu fasa kontak dengan gas, biasanya udara (Shaw 1980). Surfaktan memiliki kecenderungan terabsorpsi pada permukaan atau antar muka sistem, sehingga dapat mempengaruhi energi bebas permukaan antarmuka sistem, seperti pada permukaan campuran minyak dan air yang tidak saling campur tetapi terpisah karena perbedaan berat jenis. Bagian kepala bersifat yang hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor yang bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri (Hui 1996; Hasenhuettl 1997).
Surfaktan sebagai bahan aktif dalam deterjen memiliki fungsi tertentu dalam proses pencucian. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan, berperan dalam peristiwa adsoprsi, pembentukan micelle dan deterjensi. 1. Penurunan Tegangan Permukaan Menurut Hargreaves (2003), tegangan permukaan merupakan gaya yang terjadi di antara molekul dalam cairan. Setiap molekul dalam cairan mengalami gaya dalam tiga dimensi (arah) dari molekul tetangga. Molekul yang berada di permukaan cairan mengalami defisiensi di posisi atas, tetapi kuat di tiga arah lainnya seperti diilustrasikan pada gambar di bawah ini. Gambar 1 menyajikan interaksi antar molekul air yang menyebabkan terjadinya tegangan permukaan.
Gambar 1. Molekul air ditarik oleh molekul air yang lain dengan kekuatan yang sama dalam tiga arah (Hargreaves 2003) Sebagian besar surfaktan, pada tingkat 0.1%, akan mengurangi tegangan permukaan air dari 72 menjadi 32 mN m-1 (dyne cm-1). Hal ini terjadi karena molekul-molekul dalam sebagian besar cairan saling tertarik satu sama lain oleh gaya van der Walls yang menggantikan ikatan hidrogen air (Hargreaves 2003). Surfaktan digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan media cair (Cooper dan Zajic 1980). Hal ini disebabkan oleh kehadiran gugus hidrofilik dan hidrofobik dalam satu molekul yang menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antar fasa yang berbeda tingkat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dengan air atau udara dengan air. Pembentukan film pada antar muka ini dapat menurunkan energi antar muka dan menyebabkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Georgeiou et al. 1992). 2. Adsorpsi
Ketika molekul surfaktan berada di dalam air, gugus hidrofilik ditarik menuju molekul air (molekul polar ditarik molekul polar yang lain). Kondisi kontradiktif terjadi karena molekul surfaktan lebih memilih berada dalam permukaan cairan dimana orientasi gugus lipofilik jauh dari air. Efek molekul pada permukaan dikenal sebagai adsorpsi dan menjadi dasar untuk mengetahui perilaku molekul surfaktan. Akibat dari mekanisme ini adalah efek terhadap tegangan permukaan dapat terjadi dalam waktu singkat (Hargreaves 2003). Bagian hidrokarbon dari molekul surfaktan berperan dalam kelarutan dalam minyak karena kelompok ionik (polar) memiliki afinitas terhadap air untuk menarik rantai hidrokarbon nonpolar ke dalam larutan. Hal ini terjadi dalam rentang waktu yang lebih lama, didorong oleh hidrasi dari kelompok kepala hidrofilik. Kontribusi kecil juga diperoleh dari gaya van der Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik (Durbut 1999). 3. Pembentukan Micelle Pada konsentrasi yang cukup tinggi, molekul-molekul surfaktan akan beragregat membentuk sebuah struktur melingkar yang disebut micelle, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi keluar micelle. Agregasi molekul surfaktan didorong oleh adanya gaya van der Waals yang terjadi sepanjang ekor lipofilik dan gaya tolak ionik dari gugus hidrofilik. Ilustrasi pembentukan micelle dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Ilustrasi pembentukan micelle (Hargreaves 2003) Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan critical micelle concentration (CMC). Pada konsentrasi surfaktan dibawah CMC, tegangan permukaan dan antar muka turun dengan meningkatnya konsentrasi, namun pada saat konsentrasi mencapai taraf CMC atau lebih tinggi dari itu, tidak terjadi penurunan tegangan permukaan dan antar muka atau penurunannya sangat rendah (Schueller dan Romanousky 1998).
4. Deterjensi Deterjensi adalah proses penghilangan kotoran dari suatu permukaan. Adapun hal-hal yang harus menjadi perhatian dalam proses ini, antara lain: sifat alamiah kotoran, substrat atau permukaan dimana kotoran menempel, proses yang dilibatkan dalam penghilangan kotoran, jenis air yang digunakan dan juga suhu. Proses pencucian yang efektif harus menunjukkan fungsi-fungsi dasar selama proses penghilangan kotoran, antara lain netralisasi komponen-komponen kotoran yang bersifat asam, emulsifikasi minyak dan lemak, deflokulasi partikel kotoran, pengendapan kotoran dan pencegahan proses redeposisi (Anonim 2009a). Bagaimana deterjen bekerja merupakan kajian yang kompleks karena melibatkan banyak fungsi bahan yang berbeda, variasi substrat dan campuran berbagai jenis pengotor (soiling). Efektifitas dalam menurunkan tegangan antarmuka antara air, partikel pengotor (soil) dan subtrat (permukaan bahan yang dicuci) merupakan faktor penting agar proses wetting dapat diperoleh (Hargreaves 2003). Molekul yang diadsorpsi pada tegangan antarmuka air-udara tidak secara langsung berpengaruh terhadap deterjensi, tetapi membentuk busa yang berperan sebagai indikator yang menunjukkan deterjen telah digunakan. Surfaktan dengan konsentrasi tinggi (nilai CMC yang tinggi) akan efektif dalam proses deterjensi (Hargreaves 2003). Mekanisme pembersihan oleh surfaktan ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3 mengilustrasikan oily soil dihilangkan dari substrat (permukaan bahan yang dicuci) yang melibatkan molekul surfaktan di dalam air. Pada gambar, ekor lipofilik ditarik menuju oily soil dan teradsorpsi ke dalamnya dengan kepala hidrofilik mengarah ke luar menuju air. Oily soil terdispersi ke dalam air dengan cara yang hampir sama dengan formasi emulsi oil-in-water (O/W). Secara simultan, molekul surfaktan teradsorbsi menuju permukaan subtrat dengan gugus hidrofilik mengarah ke air, mencegah oily soil teredeposisi kembali. Ketika konsentrasi surfaktan dalam jumlah tinggi membentuk misela, sebagian oily soil
dapat dihilangkan dengan cara solubilisasi membentuk busa mikro-emulsi (Hargreaves 2003).
Gambar 3. Mekanisme pembersihan oleh surfaktan (Hargreaves 2003). Surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi ke dalam empat kelompok dasar, yaitu : (a) berbasis minyak lemak, seperti mono gliserida, digliserida, poligliserol ester, fatty alkohol sulfat, fatty alkohol etoksilat, MES, dietanolamida, sukrosa ester, dan sebagainya, (b) berbasis karbohidrat, seperti alkil poliglikosida dan N-metil glukamida, (c) ekstrak bahan alami, seperti lesitin dan saponin, serta (d) biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme, seperti rhamnolipida, sophorolipida, lipopeptida, threhaloslipida dan sebagainya (Flider 2001). Pada penelitian ini surfaktan yang digunakan adalah methyl ester sulfonic acid (MESA). MESA merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). Pada proses sulfonasi secara kontinyu, sebelum mencapai kondisi steady state produk yang dihasilkan belum dapat diaplikasikan. Jika kondisi steady state dicapai pada jam ke-6, maka MESA sebelum jam ke-6 akan terbuang dan produk ini disebut MESA off grade. MESA ini di produksi dari metil ester olein. Olein sawit memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku surfaktan di Indonesia. Produk surfaktan yang dihasilkan akan memiliki kelebihan, yaitu lebih ramah lingkungan, tahan terhadap salinitas tinggi dan air sadah. 2.3. Metil Ester Olein Menurut SNI (1999), metil ester adalah ester yang dibuat melalui proses esterifikasi asam lemak dengan metil alkohol dan berbentuk cairan. Metil ester diproduksi melalui proses transesterifikasi menggunakan metanol atau disebut
metanolisis. Proses metanolisis terhadap minyak atau lemak akan menghasilkan metil ester dan gliserol melaui pemecahan molekul trigliserida. Metil ester mampu dihasilkan dengan beberapa teknik baik menggunakan konversi enzimatik maupaun proses kimiawi. Konversi menggunkan proses biologi digunakan enzim lipase dalam menghasilkan biodiesel. Proses produksi biodiesel
dengan
enzim
lipase
ini
disebut
sebagai
lipase-catalyzed
transesterification (Mittelbach 1990). Secara kimiawi, proses pembuatan biodiesel bisa dilakukan dengan esterifikasi-transesterifikasi kimiawi (dua tahap) dan poses transesterifikasi langsung (satu tahap). Proses dua tahap biasanya dilakukan untuk sumber minyak nabati dengan kadar FFA (free fatty acid) tinggi. Meher et al. (2006) menyebutkan proses esterifikasi minyak kedelai menggunakan katalis H2SO4 sebanyak 1% dan rasio molar Sementara itu, tahap transesterifikasi langsung digunakan jika kandungan FFA sangat kecil (Nimcevic et al. 2000). Menurut Ma dan Hanna (2001), minyak dengan FFA kurang dari 1% dapat dikonversi menjadi metil ester menggunakan katalis basa, sedangkan Ramadhas et al. (2005) dan Sahoo et al. (2007) mensyaratkan FFA kurang dari 2%. Skema diagram produksi biodiesel menurut Gerpen (2005) dapat dilihat pada Gambar 4. Biodiesel akhir Metanol Minyak
Reaktor
Separator
Metil ester
Katalis
Asam Asam lemak bebas
Penghilangan metanol
Pengering
Netralisasi dan pencucian
Gliserol (50%) Asam Acidulation dan pemisahan
Air cucian
Air
Rektifikasi metanol/air
Penghilangan metanol Penyimpanan metanol
Gambar 4. Diagram alir proses produksi biodiesel
Air
Transesterifikasi merupakan reaksi kimia antara trigliserida dan alkohol dengan adanya katalis untuk menghasilkan mono-ester atau biodiesel (Sharma dan Singh 2009). Menurut Ma dan Hanna (2001), sumber alkohol yang digunakan dapat bermacam-macam. Apabila direaksikan dengan metanol, maka akan didapat metil ester, apabila direaksikan dengan etanol akan didapat etil ester. Metanol lebih banyak digunakan sebagai sumber alkohol karena rantainya lebih pendek, lebih polar dan harganya lebih murah dari alkohol lainnya. Menurut Hui (1996), transesterifikasi menjadi proses paling efektif untuk mengkonversi trigliserida (minyak atau lemak) menjadi molekul ester. Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol gliserol dengan alkohol sederhana seperti metanol atau etanol dengan bantuan katalis seperti sodium metilat, NaOH atau KOH. Menurut Vicente et al. (2004) katalis KOH memberikan yield metil ester lebih tinggi yaitu sekitar 91,67% dibandingkan dengan katalis NaOH (85,9%). Darnoko dan Cheryan (2000) telah melakukan proses transesterifikasi secara kontinyu menggunakan suhu proses 60oC, waktu proses 1 jam dengan menggunakan katalis KOH 1% (w/w) terlarut dalam metanol dengan perbandingan rasio mol reaktan antara metanol dengan minyak sebesar 6:1 menghasilkan rendemen sebesar 95%. Jumlah katalis yang diperlukan dalam proses transesterifikasi adalah sebesar 0,7% sampai dengan 1,5% dan menurut Leung dan Guo (2006) jumlah katalis KOH yang diperlukan sebanyak 1,1%, sedangkan katalis NaOH yang diperlukan sebanyak 1,5%. Reaksi transesterifikasi antara trigliserida minyak nabati menjadi aklil ester atau biodiesel dapat dilihat pada Gambar 5 (Knothe 2004).
O CH2–O–C–R │ O CH–O–C–R + │ O CH2–O–C–R Trigliserida (Minyak Nabati)
katalis 3 R’OH
Alkohol
CH2–OH O │ 3 R’–O–C–R + CH–OH │ CH2–OH Alkil Ester (Biodiesel)
Gliserol
Gambar 5. Reaksi transesterifikasi pada proses produksi biodiesel Secara umum proses fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0,5% limbah. Olein sawit merupakan fraksi cair yang dihasilkan dari proses fraksinasi minyak sawit setelah melalui pemurnian. Karakteristik fisik olein sawit bersifat cair pada suhu ruang, berbeda dengan stearin sawit yang bersifat padat pada suhu ruang. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit Asam Lemak
Jenis Bahan CPO a)
PKO b)
Olein c)
Stearin c)
PFAD d)
Laurat (C12:0)
< 1,2
40 – 52
0.1 – 0.5
0.1 – 0.6
0.1 – 0.3
Miristat (C14:0)
0.5 – 5.9
14 – 18
0.9 – 1.4
1.1 – 1.9
0.9 – 1.5
Palmitat (C16:0)
32 – 59
7–9
37.9 – 41.7
47.2 – 73.8
42.9 – 51.0
< 0.6
0,1 – 1
0.1 – 0.4
0.05 – 0.2
-
Stearat (18:0)
1.5 – 8
1–3
4.0 – 4.8
4.4 – 5.6
4.1 – 4.9
Oleat (18:1)
27 – 52
11 – 19
40.7 – 43.9
15.6 – 37.0
32.8-39.8
Linoleat (C18:2)
5.0 – 14
0.5 – 2
10.4 – 13.4
3.2 – 9.8
8.6-11.3
Linolenat (C18:3)
< 1.5
0.1 – 0.6
0.1 – 0.6
0.2 – 0.5
0.1 – 0.6
Palmitoleat (C16:1)
Arachidonat (C20:0)
Sumber : a) Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992). b) Swern (1979). c) Basiron (1996). d) Hui (1996). Dari Tabel 7 menunjukkan bahwa olein sawit lebih didominasi oleh C18 dan C16. Metil ester asam lemak C16 merupakan salah satu bahan baku pembuatan surfaktan dengan nilai tambah yang tinggi. Diketahui bahwa surfaktan dari C16 mempunyai daya detergensi yang tinggi. Biodiesel dari minyak sawit memiliki kandungan fraksi metil ester palmitat (C16:0) dan metil ester oleat (C18:1) paling dominan masing-masing sekitar 40-47% dan 36-44% (Knothe 2008). Komponen ini sangat baik apabila digunakan secara spesifik untuk produk turunan berikutnya.
Panjang rantai dan letak ikatan rangkap menentukan sifat fisik baik asam lemak maupun trigliserida itu sendiri. Distribusi asam lemak jenuh (ikatan tunggal) dan asam lemak tidak jenuh (ikatan rangkap) dalam gliserol dalam minyak nabati tidak terjadi secara acak, namun ditentukan oleh enzim lipase selama proses biosintesis pada jaringan tanaman sawit (Mittelbach dan Remschmidt 2006). Setiap asam lemak memiliki sifat spesifik meski memiliki jumlah karbon yang sama. Ada tidaknya ikatan rangkap sangat berpengaruh terhadap sifat asam lemak tersebut. Gambar 6 adalah beberapa molekul asam lemak penyusun trigliserida minyak (Cole dan Thompson 2001).
1 ikatan rangkap cis
(a)
(b)
2 ikatan rangkap cis
(c)
Gambar 6. Molekul asam lemak (Asam stearat C18:0 (a); Asam oleat C18:1 (b); Asam linoleat C18:2 (c)) Ketiga asam lemak diatas memiliki jumlah atom karbon yang sama yaitu 18 atom. Hal yang membedakan adalah ketidakjenuhan dilihat dari ada tidaknya ikatan rangkap. Asam stearat tidak memiliki ikatan rangkap dan disebut sebagai molekul asam lemak jenuh. Berbeda dengan asam lemak stearat, asam lemak oleat memiliki 1 ikatan rangkap cis dan asam linoleat memiliki 2 ikatan rangkap cis. Ikatan ini mempengaruhi struktur dan titik beku. Ketaren (1996), menyebutkan bahwa panjang rantai dan kejenuhan molekul minyak dan lemak mempengaruhi sifat fisiko kimia secara keseluruhan meliputi densitas, bilangan iod, bilangan penyabunan, bilangan asam, titik didih, titik nyala, titik beku, dan sifat yang lainnya. Menurut Watkins (2001), surfaktan MES dengan bahan baku dominan metil ester palmitat memiliki sifat deterjensi yang sangat baik. Sementara itu Knothe (2008) juga menyebutkan bahwa biodiesel yang memiliki kandungan metil ester
oleat (C18:1) dominan sangat baik apabila digunakan sebagai bahan bakar. Karakteristik melting point metil ester oleat pada suhu -20oC cocok untuk pemanfaatan bahan bakar pada suhu rendah. Viskositas kinematik C18:1 meningkat dari 4,51 mm2/s pada suhu 40oC menjadi 21,33 mm2/s pada suhu -10oC. Selain itu juga C18:1 sebagai bahan bakar yang menghasilkan emisi NOx paling kecil dibandingkan metil ester lainya. Salah satu pendekatan yang dapat diaplikasikan untuk mendapatkan metil ester olein dominan C16 antara lain melalui fraksinasi metil ester olein. Teknologi fraksinasi merupakan salah satu teknik dalam pemisahan komponen melalui perbedaan titik didih. Teknologi Fraksinasi juga umum dikenal dengan istilah distilasi. Distilasi pada suhu rendah memiliki keuntungan yaitu mencegah
pembentukan
produk
polimer,
mencegah
kerusakan
produk,
menghasilkan rendemen yang tinggi, menghasilkan produk dengan kemurnian yang tinggi dan dapat diaplikasikan pada kapasitas yang besar (Lee et al. 2004). Melalui aplikasi teknologi tersebut maka dapat memperbaiki karakteristik metil ester, terutama sebagai bahan baku surfaktan. 2.4. Methyl Ester Olein Sulfonic Acid (MESA) Surfaktan yang digunakan dalam penelitian ini adalah MESA yang merupakan produk antara yang dihasilkan selama proses sulfonasi untuk menghasilkan metil ester sulfonat (MES). MES merupakan surfaktan anionik yang sejak tahun 1990an mulai digunakan sebagai bahan baku dalam industri detergen bubuk. Surfaktan ini termasuk ke dalam kelompok surfaktan anionik. Surfaktan anionik adalah senyawa yang bermuatan negatif dalam bagian aktif permukaan (surface-active) atau pusat hidrofiliknya (misalnya RCOO-Na, R adalah fatty hydrophobe). Surfaktan ini memiliki sifat dispersi yang paling baik dan dalam bentuk larutan dapat mengalami ionisasi. MESA yang digunakan pada penelitian ini dibuat dari metil ester olein dan metil ester olein dominan C16 hasil fraksinasi. Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C16 ditunjukkan pada Gambar 7. CH3 – (CH2)13 – CH – COOCH3 SO3H
Gambar 7. Struktur kimia MESA dari metil ester olein dominan C16 Proses sulfonasi menghasilkan produk turunan yang terbentuk melalui reaksi kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak (fatty acid), ester, dan alkohol lemak (fatty alcohol). Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah minyak yang mengandung ikatan rangkap ataupun grup hidroksil pada molekulnya. Bahan baku minyak yang digunakan pada industri adalah minyak berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap (Bernardini 1983).
Distribusi asam lemak yang
beragam dan tingginya komponen asam lemak tidak jenuh, yaitu oleat sekitar 25,19%, menyebabkan tingginya peluang SO3 melekat pada ikatan rangkap ME. Berger (2009) menyebutkan surfaktan yang paling sesuai untuk aplikasi EOR adalah surfaktan anionik yang diturunkan dari asam lemak tidak jenuh, karena efektif dalam menurunkan tegangan antarmuka dan tahan terhadap suhu dan salinitas tinggi serta mempunyai kemampuan adsorpsi yang tinggi pada batuan reservoir. Proses sulfonasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam sulfat, sulfit, NaHSO3, atau gas SO3 dengan ester asam lemak (Bernardini, 1983; Watkins 2001). Reaksi sulfonasi menggunakan gas SO3 merupakan reaksi yang paling efektif dibandingkan dengan menggunakan reagen sulfonasi lainnya. Metode sulfonasi dengan menggunakan SO3 merupakan proses yang sedang menjadi fokus perhatian saat ini. Hal ini disebabkan karena penggunaan SO3 sebagai agen sulfonasi menghasilkakn reaksi sulfonasi yang zero waste. Gas SO3 yang dimasukkan ke dalam sistem reaksi akan bergabung dengan molekul alkil ester menjadi alkil ester sufonat, sedangkan sisa gas SO3 yang tidak bergabung akan dikembalikan lagi ke dalam sistem reaksi melalui mekanisme loop (Foster 1996). Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES dapat dilihat pada Gambar 8. O SO3
+
Sulfur trioksida
Rn
C Metil ester
OCH3
Rn-
C
C
OCH
SO2O Metil ester sulfonat
Gambar 8. Reaksi sulfonasi untuk pembuatan MES (Watkins 2001) Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1) gugus karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap) (Gambar 9).
Gambar 9. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungermann 1979) Menurut Stein dan Bumann (1975), suhu dan rasio mol reaktan merupakan faktor penting dalam proses sulfonasi dimana peningkatan suhu dapat mempercepat laju reaksi dengan meningkatkan jumlah fraksi molekul yang mencapai energi aktivasi, sementara rasio mol reaktan harus dikendalikan dalam proses sulfonasi karena kelebihan reaktan (SO3) akan menyebabkan pembentukan produk samping. Kajian sulfonasi minyak nabati untuk menghasilkan surfaktan MES telah di lakukan oleh beberapa peneliti. Pore (1976) melakukan reaksi sulfonasi alkil αsulfopalmitat dengan menggunakan natrium bisulfit pada suhu antara 60 – 100oC dengan waktu reaksi 3 sampai 6 jam tanpa pemurnian menghasilkan tegangan permukaan 40,2 mN/m dan 9,7 mN/m. Sheats dan MacArthur (2002) mengkaji pengaruh suhu dan rasio mol reaktan dalam proses sulfonasi untuk menghasilkan MES dengan mereaksikan gas SO3 dan metil ester dalam tubullar falling film reactor pada perbandingan reaktan gas SO3 dan metil ester 1,2:1 hingga 1,3:1 pada suhu 50 – 60oC. Proses sulfonasi menggunakan Falling Film Reactor (FFR) dengan laju sekitar 0,1 kg mol per jam. Suhu masuk gas SO3 ke dalam reaktor adalah 42oC dan suhu masuk untuk metil ester sekitar 40 – 56oC.
Baker (1993) melakukan proses sulfonasi dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO3 dan alkil ester yaitu 1,1:1 hingga 1,4:1, pada suhu 75 – 79oC selama 20 – 90 menit. Smith dan Stirton (1967) mensulfonasi metil, etil dan isopropil ester asam palmitat dan stearat secara langsung melalui penambahan SO3 cair pada rasio molar 2,4 : 1 pada suhu 60oC dan mereesterifikasi menggunakan metil, etil atau isopropil alkohol sebelum netralisai untuk meningkatkan rendemen alpha sulfo fatty acid hingga 70 – 80% dan menurunkan produk samping disodium sulfofatty acid (disalt). Sulfonasi ester dimulai dengan pembentukan komplek SO3 dengan eter. Pembentukan komplek ini mengaktifkan atom H pada posisi alpha. Kondisi sulfonasi terbaik untuk menghasilkan produk sulfonat menggunakan bahan baku metil stearat yaitu pelarut CCL4 1 g, suhu sulfonasi 60 oC, selama 1 jam dan meresterifikasi menggunakan 40 ml alkohol selama 4 jam produk yang dihasilkan terdiri dari 90% sodium alpha sulfonat dan 1% garam disodium. Mujdalipah (2010) melakukan kajian terhadap proses produksi Methyl Ester Sulfonic Acid dari metil ester olein dengan kodisi proses sulfonasi terbaik menggunakan STFR slaka 5 L pada suhu proses sulfonasi 90oC dan lama proses sulfonasi 90 menit. Kondisi ini menhasilkan MESA yang memiliki karakteristik kadar air 0,49%, pH 2,66, bilangan asam 24,88 ml NaOH/g sampel, kadar bahan aktif 31,44%, dan bilangan iod 11,95 mg I/ g sampel. MESA yang dihasilkan memiliki kinerja menurunkan tegangan permukaan air dari 65,22 dyne/cm menjadi 37,08 dyne/cm serta menurunkan IFT antara minyak dan air formasi dari 30 dyne/cm menjadi 2,99 dyne/cm atau menurunkan IFT air – minyak sebesar 90,03%. Susi (2010) melakukan kajian terhadap proses aging pasca sulfonasi metil ester olein sawit menggunakan Singletube Falling Film Reactor (STFR) dan pengaruhnya terhadap karakteristik MESA dengan kondisi proses sulfonasi terbaik yaitu kontak gas SO3 dan metil ester olein dilakukan pada laju alir 50 ml/menit suhu input 100⁰ C, MESA diakumulasikan pada proses sulfonasi 2-3 jam serta suhu aging 80⁰ C selama 60 menit. Kondisi proses ini menghasilkan MESA yang memiliki karakteristik bahan aktif 23,04%, viskositas 96,5 cP, pH
0,76, bilangan iod 21,09 mg I/g sampel, bilangan asam 14,02 mg KOH/g, warna (Klett) 630, emulsi 85,45% dan stabil selama 10,53 menit. Proses sulfonasi akan menghasilkan produk berwarna gelap, sehingga dibutuhkan proses pemurnian, meliputi pemucatan dan netralisasi (Watkins 2001). Oleh karena itu diperlukan tahap pemurnian. Pemurnian bertujuan untuk mengurangi warna gelap akibat terbentuknya komponen warna dan menghasilkan MES yang memiliki daya kinerja yang lebih baik. Sherry et al. (1995) melakukan proses pemurnian palm C16 – 18 kalium metil ester sulfonat (KMES) yang diteliti tanpa proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan mencampurkan ester sulfonat dengan 10 – 15 persen metanol di dalam digester dan dilanjutkan dengan proses netralisani berupa penambahan 50% KOH. Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat deterjensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water), ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat deterjensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium dan kandungan garam (di-salt) lebih rendah. Karakteristik MES dari berbagai bahan baku dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Karakteristik surfaktan metil ester sulfonat (MES) Metil Ester Karakteristik Rendemen MES (%b/b) Disodium karboksi sulfonat (di-salt) (b/b) Metanol (%b/b) Hidrogen peroksida (%b/b) Air (%b/b) Petroleum ether extractables (PEX) (%b/b) Sodium karboksilat (%b/b) Sodium sulfat (%b/b) Sodium metil sulfat (%) pH
C12 – C14
C16
C18
70,7 2,1 0,46 0,10 14,0 2,6
80,3 5,5 0,18 0,04 0,7 3,2
78,4 4,8 0,23 0,02 1,8 3,9
Lemak Tallow 77,9 4,74,7 0,22 0,02 1,6 2,8
0,16 1,99 8,0 5,0
0,29 2,07 7,7 5,6
0,29 2,83 7,8 5,6
0,29 2,85 9,5 4,3
Klett color 5% aktif Sumber: MacArthur et al. (2002)
11
35
79
168
2.5. Kajian Analisis Finansial Aspek finansial adalah suatu analisis yang membandingkan antara biaya dan manfaat untuk menentukan apakah suatu proyek akan menguntungkan selama umur proyek (Husnan dan Suwarsono 2000). Menurut Kasmir dan Jakfar (2006), penelitian dalam aspek finansial dilakukan untuk menilai biaya-biaya yang akan dikeluarkan dan meneliti seberapa besar pendapatan yang akan diterima jika proyek dijalankan. Menurut Umar (2005), tujuan menganalisis aspek keuangan dari studi kelayakan proyek bisnis adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yangdiharapkan dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan, serta ketersediaan dana, biaya modal, kemampuan proyek untuk membayar kembali dana tersebut dalam waktu yang telah ditentukan dan menilai apakah proyek akan dapat berkembang terus. Ditambahkan pula oleh Suratman (2002) bahwa aspek keuangan berkaitan dengan bagaimana menentukan kebutuhan jumlah dana dan pengalokasianya serta mencari sumber dana yang efisien, sehingga memberikan tingkat keuntungan yang menjanjikan bagi investor. Tingkat keuntungan yang menjanjikan bagi investor adalah tingkat keuntungan yang diukur berdasarkan kas bukan berdasarkan laba akuntansi. Evaluasi aspek finansial dilakukan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan. Selain itu juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana yang menguntungkan (Djamin 1984). Dari aspek finansial dapat diperoleh gambaran tentang struktur pemodalan bagi perusahaan yang mencakup seluruh kebutuhan modal untuk dapat melaksanakan aktivitas mulai dari perencanaan sampai pabrik beroperasi. Secara umum, biaya dikelompokkan menjadi biaya investasi dan biaya modal kerja. Kemudian dilakukan penilaian aliran dana yang diperlukan dan kapan dana tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan jumlah waktu yang ditetapkan, serta apakah proyek tersebut menguntungkan atau tidak ( Edris 1993). Penentuaan apakah suatu proyek investasi dikatakan layak diperlukan teknik-teknik kriteria penilaian investasi yang didasarkan pada aliran kas proyek yang bersangkutan. Pada umumnya metode yang biasa digunakan dalam
penentuan kriteria investasi adalah Payback Period, Net Present Value, Internal Rate of Return, dan Profitability Index, serta Break Even Point (Umar 2005). III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - September 2011 di laboratorium SBRC Institut Pertanian Bogor dan PT Mahkota Indonesia. 3.2. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester olein, gas SO3, dan NaOH. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa antara lain KOH, H2SO4 95%, metanol, HCl, phenolphtalein, Na2SO4, pati, air suling (aquades), sikloheksan, asam asetat glasial 96%, kalium iodida, Na2S2O3, K2Cr2O7, larutan Wijs, toluen, kloroform, petroleum eter, indikator metilene blue, dan Cetyltrimethylammonium Bromide (CTAB) dan xylen. Alat yang digunakan dalam penelitian ini merupakan peralatan proses dan peralatan analisa. Alat proses yang digunakan adalah reaktor sulfonasi STFR (Single Tube Falling Film Reactor) dan hotplate stirrer. Peralatan analisa yang digunakan antara lain yaitu viscometer brookfield, tensiometer Du Nouy, blender, pH meter, timbangan analitik, sudip, gelas kimia 100 ml, gelas kimia 300 ml, gelas kimia 500 ml, gelas kimia 1000 ml, erlenmeyer 500 ml, erlenmeyer 1000 ml, pipet 1 ml, pipet 5 ml, pipet 10 ml, pipet 25 ml, gelas arloji, pengaduk gelas, botol sampel, jirigen 5 L, jirigen 20 L. 3.3. Metode Penelitian Tahapan proses yang dilakukan pada penelitian ini yaitu persiapan fraksinasi metil ester olein dominan C16, analisis sifat fisikokimia bahan baku sulfonasi, proses produksi Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA), analisis sifat fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid yang dihasilkan, proses pembuatan heavy duty cleaner dan analisis sifat fisik serta kinerja heavy duty cleaner yang dihasilkan. 3.3.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16 Proses fraksinasi metil ester dilakukan menggunakan fractional distillation system. Kondisi prosesnya menggunakan tekanan 37,5 mmHg dan suhu 235oC selama 12 jam. Prosedur pengoperasian alat fraksinasi yaitu memasukkan sampel metil ester ke dalam boiling vessel melalui iinput valve, kemudian semua valve ditutup. Setelah itu pompa vakum dijalankan dan boilling vessel dipanaskan
menggunakan burner yang dihubungkan dengan tabung gas sampai suhu yang diinginkan tercapai. Setelah suhu terccapai, valve reflux dibuka beberapa saat untuk menstabilkan proses dan meningkatkan kemurnian produk. Tahapan selanjutnya valve reflux ditutup dan valve menuju tangki penampung dibuka, serta sirkulasi air dijalankan untuk mendinginkan reflux. 3.3.2. Analisis Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein Tahapan ini dilakukan untuk mengetahui sifat fisikokimia dari metil ester minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku. Analisis meliputi densitas, viskositas, bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan dan komposisi asam lemak. Prosedur analisis metil ester olein dapat dilihat pada Lampiran 1. 3.3.3. Proses Produksi dan Analisis Sifat Fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid Proses produksi MESA dilakukan melalui proses sulfonasi dengan menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Terdapat tiga reaksi yang terjadi dalam reaktor, yaitu: kontak antara fase gas dan liquid, penyerapan gas SO3 dari fase gas dan reaksi dalam fase liquid. Metil ester dipompakan ke head reactor, masuk ke liquid chamber dan mengalir turun membentuk liquid film dengan ketebalan tertentu yang dibentuk oleh corong head. Diagram alir pengolahan metil ester olein menjadi MESA dapat dilihat pada Lampiran 2. Kondisi proses produksi MESA menggunakan laju alir umpan 50 ml/menit, gas SO3 1/4 valve dan akumulasi MESA selama 1 jam pada sulfonasi 2 – 3 jam, kemudian di aging pada suhu 80oC selama 60 menit. MESA yang dihasilkan dianalisis sifat fisikokimianya meliputi tegangan permukaan, densitas dan viskositas. Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA) dapat dilihat pada Lampiran 3. 3.3.4. Proses pembuatan dan Analisis Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner Pada penelitian ini faktor perlakuan yang diujikan adalah jenis MESA dan konsentrasi NaOH. Jenis MESA yang digunakan yaitu MESA olein off grade,
MESA olein steady state, MESA olein dominan C16 off grade dan MESA olein dominan C16 steady state dan konsentrasi NaOH yang digunakan yaitu 35%, 40%, 45% dan 50%. Proses pembuatan heavy duty cleaner dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan penyusunnya hingga homogen dan mencapai pH 7. Proses pertama yang dilakukan dalam pembuatan heavy duty cleaner adalah membuat larutan NaOH sesuai konsentrasi yang ditentukan. Larutan NaOH yang telah dibuat ditambahkan ke dalam surfaktan pada suhu 60 – 80oC sambil dilakukan pengadukan. Diagram alir proses formulasi heavy duty cleaner dapat dilihat pada Gambar 10.
NaOH
Air
Homogenasi NaOH 35%, 40%, 45% dan 50%
MESA
Homogenasi Heavy Duty Cleaner
Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan heavy duty cleaner Heavy duty cleaner yang dihasilkan dianalisis sifat fisiknya meliputi stabilitas emulsi dan kinerja heavy duty cleaner yang meliputi daya pembusaan, stabilitas busa, daya cuci. Setelah itu dibandingkan dengan produk yang ada di pasaran dengan parameter sifat fisik dan kinerja yang sama. Prosedur analisis heavy duty cleaner dapat dilihat pada Lampiran 4. 3.4. Rancangan Percobaan Dalam proses produksi heavy duty cleaner menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL). Faktorial dengan 2 perlakuan yaitu jenis surfaktan MESA dan konsentrasi NaOH.
Jenis surfaktan MESA terdiri dari 4 taraf, yaitu:
M1
: MESA olein off grade
M2
: MESA olein steady state
M3
: MESA olein dominan C16 off grade
M4
: MESA olein dominan C16 steady state
Konsentrasi NaOH terdiri dari 4 taraf , yaitu: N1
: 35%
N2
: 40%
N3
: 45%
N4
: 50% Percobaan dilakukan 2 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan Anova, untuk mengetahui perbedaan perlakuan dilakuan uji Jarak Berganda menurut Duncan pada taraf 5%. Model rancangan percobaannya adalah sebagai berikut: Yijk = µ + Mi + Nj + MNij + εijk Yij
= Variabel respon percobaan karena pengaruh jenis MESA taraf ke-i, konsentrasi NaOH taraf ke-j dan ulangan ke-k dengan i = 1, 2, 3, 4; j = 1, 2, 3, 4 dan k = 1, 2
µ
= Pengaruh rata-rata yang sebenarnya
Mi
= Pengaruh jenis MESA pada taraf ke-i
Nj
= Pengaruh konsentrasi NaOH pada taraf ke-j
MNij = Interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH εijk
= Pengaruh galat dari faktor M taraf ke-i, faktor N taraf ke-j dan ulangan ke-k
3.5. Analisis Finansial Kajian analisis ini dilakukan untuk menduga kelayakan dari desain proses produksi pada industri. Langkah pertama yang perlu dilakukan yaitu pengamatan terhadap keseluruhan tahapan simulasi proses. Prosedur untuk menentukan simulasi proses meliputi penentuan bahan yang digunakan, penentuan kapasitas
produksi, pemilihan unit operasi yang sesuai, serta penentuan kondisi input yang diinginkan (temperatur, waktu, formula dan kondisi lainnya). Menurut Gray et al. (1993), dalam rangka mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar penerimaan atau penolakan atas pengurutan suatu proyek, telah dikembangkan berbagai cara yang dinamakan kriteria investasi. Metode penilaian yang digunakan untuk menentukan kelayakan investasi ini meliputi: net present value, internal rate of return, benefit cost ratio, break even point, pay back period. 1. Net Present Value (NPV) Menurut Soeharto (1999), NPV didasarkan pada konsep mendiskonto seluruh aliran kas masuk dan keluar selama umur proyek (investasi) ke nilai sekarang, kemudian menghitung angka neto maka akan diketahui selisihnya dengan memakai dasar yang sama yaitu harga pasar (saat ini). Rumus NPV yaitu sebagai berikut.
Keterangan (C)t
= aliran kas masuk tahun ke-t
(Co)t
= aliran kas keluar tahun ke-t
n
= umur unit usaha hasil investasi
i
= arus pengembalian (rate of return)
t
= waktu
Indikasinya, NPV = positif, usulan dapat diterima, semakin tinggi nilai NPV maka semakin baik NPV = negatif, usulan ditolak NPV = 0 berarti netral 2. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) adalah arus pengembalian yang menghasilkan NPV aliran kas masuk=aliran kas keluar. Untuk IRR ditentukan terlebih dahulu
NPV=0, kemudian dicari berapa besar arus pengembalian (diskonto) (i) agar hal tersebut terjadi. Rumus IRR yaitu sebagai berikut.
Keterangan (C)t
= aliran kas masuk tahun ke-t
(Co)t
= aliran kas keluar tahun ke-t
i
= arus pengembalian (diskonto)
n
= tahun
Indikasinya, IRR > arus pengembalian (i) yang diinginkan (required rate of return), maka diterima IRR < arus pengembalian (i) yang diinginkan (required rate of return), maka ditolak. 3. Benefit/Cost Ratio (B/C Ratio ) Menurut Soeharto (1999), Benefit/cost ratio adalah perbandingan manfaat terhadap biaya. Pada proyek-proyek swasta benefit umumnya berupa pendapatan minus biaya di luar biaya pertama (misalnya untuk produksi dan operasi. Rumus B/C ratio yaitu sebagai berikut.
keterangan B/C ratio = Benefit cost ratio R
= Nilai sekarang pendapatan
(C)op
= Nilai sekarang biaya (di luar biaya pertama)
Cf
= Biaya pertama
Indikasinya, B/C ratio > 1 usulan diterima B/C ratio < 1 usulan ditolak B/C ratio = 1 netral
4. Pay Back Period (PBP) Pay Back Period menurut Soeharto (1999) adalah jangka waktu yang digunakan untuk mengembalikan modal investasi, dihitung dari aliran kas bersih. Aliran kas bersih sendiri adalah selisih pendapatan dikurangi pengeluaran pertahun. Bila aliran kas tiap tahunnya berubah-ubah maka rumusnya sebagai berikut:
Keterangan Cf
= Biaya pertama
An
= Aliran kas pada tahun n
n
= Tahun pengembalian ditambah 1
5. Break even point (BEP) Menurut Ibrahim (2003), Break even point adalah titik pulang pokok dimana total revenue sama dengan total cost. Semakin besar keuntungan yang diterima maka semakin cepat waktu pengembalianya. Rumus untuk menghitung BEP yaitu sebagai berikut. BEP (jumlah produksi) = BEP (rupiah) =
Keterangan a : biaya tetap b : biaya variabel per unit p : harga per unit q : jumlah produksi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Persiapan Fraksinasi Metil Ester Olein Dominan C16 Kinerja proses fraksinasi terbaik adalah mendapatkan kondisi proses dengan tekanan paling rendah sehingga suhu proses tidak terlalu tinggi dan produk tidak mengalami kerusakan karena panas, sehingga didapatkan rendemen metil ester olein dominan C16 paling tinggi. Selain itu, parameter penting lainnya adalah diukur dari kemurnian produk yang dihasilkan dari proses fraksinasi ini. Pemilihan kondisi proses fraksinasi dilakukan melalui pendekatan beberapa literatur. Knothe (2002) menyebutkan bahwa pada tekanan 747,04 mmHg (996 mbar) titik didih metil ester palmitat adalah 416,5oC. Hasil uji kinerja fraksinasi dengan menggunakan suhu 250oC, ditemukan polimer yang merupakan biodiesel rusak akibat pemansasan terlalu tinggi, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemakaian suhu 250oC untuk fraksinasi yang tidak sesuai. Pendekatan lain yang digunakan adalah menentukan titik didih metil ester palmitat dari asam lemak palmitat menurut Tabel 9. Alat fractional distillation system dan produk metil ester dominan C16 dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 9. Titik didih asam lemak pada berbagai tekanan Tekanan
Titik Didih Asam Lemak
(mmHg)
C6:0
C8:0
C10:0
C12:0
C14:0
C16:0
C18:0
1
61,7
87,8
120,3
130,2
149,2
167,4
183,6
2
71,9
97,9
121,13
141,8
161,1
179,0
195,9
4
82,8
109,1
132,7
154,1
173,9
192,2
209,2
8
94,6
121,3
145,5
167,4
187,6
206,1
224,1
16
107,3
134,6
159,4
181,8
202,4
221,5
240,0
32
120,8
149,2
174,6
197,4
218,3
238,4
257,1
64
136,0
165,3
191,3
214,6
236,3
257,1
276,8
128
152,5
183,3
209,8
234,3
257,3
278,7
299,7
256
171,5
203,0
230,6
256,6
281,5
303,6
324,8
512
192,5
225,6
254,9
282,5
309,0
332,6
355,2
760
205,8
239,7
270,0
298,9
326,2
351,5
376,1
Sumber : Gunstone et al. (1994) Berdasarkan Tabel 9, titik didih asam lemak palmitat dengan tekanan 16-32 mmHg berkisar antara 221,5-238,4oC. Melalui asosiasi dengan kemampuan vakum alat fraksinasi sebesar 20–31 mmHg, maka dipilih rentang suhu yang digunakan 225-235oC dengan lama proses 10 dan 12 jam. Setiap satuan running fraksinasi digunakan 50 l sampel metil ester. Proses fraksinasi ini menghasilkan dua fraksi metil ester yang memiliki sifat berbeda, yaitu metil ester hasil fraksinasi (HF) dan metil ester sisa fraksinasi (SF). HF merupakan destillate atau produk metil ester yang teruapkan pada penggunaan suhu fraksinasi. SF merupakan metil ester yang tidak teruapkan selama proses fraksinasi karena memiliki titik didih yang lebih tinggi. Produk fraksinasi metil ester olein dapat dilihat pada Gambar 11.
(a)
(b)
Gambar 11. Produk fraksinasi metil ester olein (Metil ester HF (a); Metil ester SF (b))
Kondisi proses fraksinasi terbaik ditunjukkan dengan kemurnian produk tertinggi yang diharapkan. Hasil proses fraksinasi yang mampu menghasilkan fraksi metil ester palmitat (C16:0) terbaik pada suhu 235oC selama 12 jam dengan
kemurnian 80,17 % (b/v). Proses fraksinasi berpengaruh pada perubahan sifat fisikokimia metil ester. Metil ester hasil fraksinasi (HF) mengalami beberapa perubahan diantaranya penurunan densitas, penurunan bilangan iod, penurunan bilangan asam, kadar FFA serta derajat asam. 4.2.
Sifat Fisikokimia Metil Ester Olein dan Metil Ester Dominan C16 Metil ester olein dalam penelitian ini digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan methyl ester sulfonic acid. Metil ester dominan C16 diperoleh dari proses frakasinasi, yang kemudian diberikan pengujian sifat fisikokimia terhadap kedua jenis metil ester olein tersebut. Sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester olein dominan C16 disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Sifat fisikokimia metil ester olein dan metil ester dominan C16 Parameter Densitas (g/cm3) Bilangan Iod (mg Iod/g) Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) Bilangan Asam (mg KOH/g) FFA (%) Komposisi asam lemak (%) Laurat (C12:0) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Stearat (C18:0) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) Arachidat (C20:0)
Metil Ester Olein 0,87 ± 0,001 57,14 ± 0,33
Metil Ester Dominan C16 0,864 ± 0,001 26,61 ± 4,59
96,90 ± 0,11
184,33
0,27 ± 0,01 0,12 ± 0,01
0,12 ± 0,009 0,06 ± 0,004
0,21 0,62 29,64 3,20 29,89 11,95 0,24 0,41
1,05 80,17 0.41 14,31 4,10 -
Metil ester olein dominan C16 memiliki nilai densitas lebih rendah dibandingkan dengan metil ester olein. Nilai densitas yang kecil berakibat pada nilai viskositas yang rendah juga. Metil ester olein dominan C16 memiliki viskositas yang lebih cair dibandingkan dengan metil ester olein. Hal ini disebabkan karena metil ester dominan C16 tersusun oleh komponen Palm Fatty Acid Distillate (FAME) dengan berat molekul yang lebih rendah. Bahan baku pembuatan methyl ester sulfonic acid dapat dilihat pada Gambar 12.
Bilangan iod yang dihasilkan dari metil ester olein dominan C16 lebih rendah dibandingkan dengan metil ester olein. Hal ini menunjukkan bahwa dalam metil ester olein dominan C16 lebih didominasi oleh metil ester dengan ikatan jenuh (ikatan tunggal). Mittelbach (1994) dan Worgette et al. (1998) menyatakan bahwa bilangan iod merupakan gambaran banyaknya komponen ikatan tidak jenuh dalam biodiesel. Merurut Ketaren (2008), bilangan iod adalah jumlah (g) iod yang dapat diikat oleh 100 g lemak. Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak yang tidak jenuh akan bereaksi dengan iod atau senyawa-senyawa iod. Gliserida dengan tingkat ketidakjenuhan yang tinggi, akan mengikat iod dalam jumlah yang lebih besar.
(a)
(b)
Gambar 12. Bahan baku pembuatan Methyl Ester Sulfonic Acid (Metil ester olein (a); Metil ester olein dominan C16 (b)) Bilangan penyabunan adalah jumlah mg KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu g minyak atau lemak. Apabila sejumlah contoh minyak atau lemak disabunkan dengan larutan KOH berlebihan dalam alkohol maka KOH akan bereaksi dengan trigliserida, yaitu tiga molekul KOH bereaksi dengan satu molekul minyak atau lemak. Larutan alkali yang tertinggal ditentukan dengan titrasi menggunakan asam, sehingga jumlah alkali yang turut bereaksi dapat diketahui (Ketaren 2008). Bilangan penyabunan dari metil ester olein dominan C16 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan metil ester olein yaitu 184,33 mg KOH/g.
Bilangan asam adalah jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari 1 g minyak atau lemak. Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak atau lemak. Nilai bilangan asam untuk metil ester olein dominan C16 lebih rendah dibandingan bilangan asam metil ester olein. Semakin rendah bilangan asam yang dihasilkan semakin rendah pula kandungan free fatty acid. Kadar asam lemak bebas atau free fatty acid (FFA) memperlihatkan penurunan pada metil ester olein dominan C16 dibandingkan dengan metil ester olein. Rendahnya nilai FFA diakibatkan karena rendahnya kadar asam lemak bebas dalam metil ester olein dominan C16. Kemurnian metil ester palmitat yang terkandung dalam metil ester olein dominan C16 adalah 80,17% (b/v). Hal ini berarti dalam 100 ml metil ester terdapat 80,17 g fraksi metil ester palmitat. Nilai ini didapat dari analisis menggunakan gas kromatografi. Kandungan metil ester dominan palmitat sangat baik apabila diaplikasikan sebagai bahan baku untuk pembuatan surfaktan MES khususnya untuk produk pencuci dan pembersih (washing and cleaning product). Kondisi ini didukung oleh Watkins (2001) yang menyatakan bahwa pemanfaatan metil ester palmitat (C16) sebagai bahan baku surfaktan akan memberikan sifat deterjensi paling baik, kemudian diikuti oleh metil ester miristat (C14) dan metil ester oleat (C18). Komposisi FAME metil ester hasil fraksinasi ditunjukkan pada Gambar 13.
Kondisi Proses (suhu (oC) - waktu (jam))
Gambar hasil analisis gas kromatografi terhadap komposisi Gambar11 13.menunjukkan Grafik komposisi FAME hasil fraksinasi metil ester olein
Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa metil ester hasil fraksinasi mengandung metil ester palmitat (C16:0) secara dominan. Pada metil ester hasil fraksinasi, selain metil ester palmitat terdapat metil ester lain yang mampu terbaca oleh GC, yaitu metil ester miristat (C14:0), metil ester stearat (C18:0), metil ester oleat (C18:1), metil ester linoleat (C18:2). 4.3.
Sifat Fisikokimia Methyl Ester Sulfonic Acid Surfaktan methyl ester sulfonic acid pada penelitian ini dibuat sebagai bahan
aktif dalam heavy duty cleaner. Methyl ester sulfonic acid yang digunakan merupakan hasil sulfonasi metil ester olein tanpa fraksinasi dan hasil fraksinasi (MESA olein dominan C16). Methyl ester sulfonic acid diproduksi menggunakan reaktor Singletube falling film dengan tinggi reaktor 6 m dan diameter dalam 25 mm yang dikembangkan oleh Hambali et al. (2009). Gas SO3 sebagai agen pensulfonasi diperoleh dari PT. Mahkota Indonesia. Gas SO3 yang dihasilkan memiliki konsentrasi 25 – 26%. Oleh karena itu diperlukan instalasi pensuplai udara kering untuk mengencerkan gas SO3 menjadi 4 – 7% agar dapat digunakan dalam proses sulfonasi metil ester. Proses produksi methyl ester sulfonic acid (MESA) dan produk yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 6. Pada proses sulfonasi, gas SO3 dialirkan dalam tube, di dinding bagian dalam reaktor dialirkan metil ester olein dalam bentuk film tipis. Kedua bahan tersebut mengalir. Kontak antara metil ester olein dan gas SO3 dimulai dari puncak reaktor dan mengalir membentuk film tipis ke seluruh permukaan menuruni reaktor. Karakteristik reaktor harus dapat menghasilkan ketebalan film metil ester yang tepat dan konstan, sehingga kontak dengan gas SO3 terjadi merata di sepanjang tube. Ketebalan lapisan film harus dijaga konstan sepanjang tube ketika dilakukan sulfonasi. Apabila film yang terbentuk menebal pada beberapa tempat dan menipis di tempat lain, metil ester akan mengalir melalui lintasan tertentu di dalam dinding reaktor. Lapisan film yang menipis pada bagian reaktor dapat mengering dan terbentuk kerak. Pembentukan kerak menyebabkan MESA tidak dapat dikeluarkan dan dapat pula menghambat aliran bahan baku. Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester (MacArthur et al. 1998) dapat dilihat pada Gambar 14.
O R – CH2 – C – OCH3 (I) + SO3
O R – CH2 – (C – OCH3): SO3 (II)
O
O
R – CH2 – (C – OCH3): SO3 (II) + SO3
R – CH – (C – OCH3): SO3 (III) SO3H
O R – CH – (C – OCH3): SO3 (III) SO3H
O R – CH – C – OCH3 (IV) + SO3 SO3H
Gambar 14. Tahapan reaksi pembentukan MESA pada sulfonasi metil ester Absorpsi SO3 oleh metil ester dalam singletube falling film reactor (STFR) ditunjukkan oleh mekanisme reaksi yang cepat yang membentuk produk intermediet (II), biasanya dilukiskan sebagai satu sulfonated anhydride. Sulfonated anhydride dapat bereaksi kembali dengan molekul SO3 kedua melalui bentuk enol-nya. Molekul sulfonated anhydride yang membawa dua unit SO3, dapat kehilangan satu unit SO3 yang dapat bereaksi dengan molekul metil ester lain. Untuk itu perlu digunakan SO3 berlebih. dalam kondisi reaksi yang setimbang, produk intermediet (II) tersebut akan mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk produk intermediet (III). Selanjutnya, produk intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan melepaskan gugus SO3. Dengan terlepasnya gas SO3 selama proses aging tersebut, maka terbentuklah methyl ester sulfonic acid (MESA) (IV). SO3 yang dilepaskan lalu akan mengkonversi sisa produk intermediet (II) membentuk produk intermediet (III). Produk intermediet (III) kemudian dikonversi menjadi MESA (IV) (MacArthur et al. 1998). Sifat Fisiko kimia methyl ester sulfonic acid yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 11. Densitas merupakan salah satu sifat dasar fluida yang didefinisikan massa per satuan volume sampel pada suhu 25oC. Efek temperatur pada densitas cairan tidak dapat diabaikan karena cairan akan meregang mengikuti perubahan temperatur. Hasil analisis densitas pada MESA dengan kualitas offgrade
menghasilkan nilai densitas yang lebih rendah dibandingkan dengan MESA dengan kualitas steadystate. Peningkatan densitas terjadi karena semakin banyaknya gugus SO3 yang terikat dengan metil ester, sehingga meningkatkan pembentukan MESA. Menurut MacArthur et al. (1998), mekanisme reaksi bertahap pembentukan MESA pada reaktor sulfonasi akan mempengaruhi penambahan gugus SO3H- yang terbentuk, sehingga menambah berat molekul senyawa dan meningkatkan densitas. Tabel 11. Sifat fisik methyl ester sulfonic acid Parameter
Densitas (g/cm3) Viskositas (cP) Tegangan Permukaan (dyne/cm)
MESA Olein MESA Olein MESA Olein Offgrade Steadystate dominan C16 Offgrade 0,96 1,01 0,95
MESA Olein dominan C16 steadystate 0,96
14
28
10
12
38,8
37,7
36,0
35,0
Viskositas atau kekentalan suatu cairan merupakan sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran molekul atau gaya antarmolekul. Terikatnya gugus sulfonat pada metil ester menjadikan MESA cenderung memiliki ukuran molekul yang lebih besar sehingga memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakunya. Analisis viskositas MESA yang diperoleh menunjukkan variasi rata-rata 10 cP – 28 cP. Peningkatan viskositas MESA disebabkan oleh terikatnya gugus sulfonat pada rantai hidrokarbon metil ester. Semakin banyak gugus SO3 yang terikat pada metil ester, mengakibatkan peningkatan bobot molekul. Semakin besar bobot molekul, viskositas cairan akan menjadi lebih tinggi. Viskositas tinggi disebabkan adanya gaya tarik menarik antarmolekul yang besar dalam cairan, rantai molekul yang tidak teratur, serta suhu sehingga molekul lebih sulit bergerak. Tegangan
permukaan
merupakan
fenomena
akibat
adanya
ketidakseimbangan antara gaya-gaya yang dialami oleh molekul-molekul yang berada di permukaan antara molekul-molekul cairan dengan udara akibat gaya tarik menarik antara molekul-molekul cairan lebih besar dibanding pada gas.
Resultan gaya yang terjadi pada molekul-molekul di permukaan cenderung menggerakkan
molekul-molekul tersebut
menuju pusat
cairan
sehingga
menggerakkan cairan berperilaku membentuk lapisan tipis yang menyelimuti seperti kulit (Rosen 2004). Tegangan permukaan air sebelum ditambahkan surfaktan MESA sebesar 50,63 dyne/cm. Hasil analisis tegangan permukaan air dengan beberapa jenis MESA bervariasi antara 35,0 – 38,8 dyne/cm. 4.4.
Sifat Fisik dan Kinerja Heavy Duty Cleaner Analisis sifat fisik yang dilakukan terhadap heavy duty cleaner yaitu
stabilitas emulsi, sedangkan kinerjanya yaitu daya pembusaan, stabilitas busa dan daya cuci. Proses pembuatan heavy duty cleaner dapat dilihat pada Lampiran 7. 4.4.1.
Stabilitas Emulsi Emulsi merupakan sistem dispersi yang terdiri dari dua cairan yang imisibel
(tidak dapat bercampur), dimana droplet suatu cairan (fase terdispersi) terdispersi pada cairan media yang lain (fase kontinyu). Untuk mendispersikan dua cairan yang imisibel diperlukan komponen ketiga yaitu emulsifier. Dalam penyimpanan beberapa proses kerusakan emulsi dapat terjadi dimana tergantung pada distribusi ukuran partikel dan perbedaan densitas antara droplet dan medium (Tadros 2005). Stabilitas
emulsi
menunjukkan
ketahanan
emulsi
dalam
kondisi
penyimpanan yang berubah-ubah, sehingga komponen-komponen aktifnya tidak hilang, rusak atau berkurang akibat perubahan suhu atau lamanya penyimpanan. Kestabilan suatu emulsi dipengaruhi oleh tegangan permukaan antar kedua fasa, sifat zat yang teradsoprsi pada lapisan interfasial, besar muatan listrik partikel, ukuran partikel, volume fasa terdispersi, viskositas medium pendispersi, perbedaan densitas kedua fasa serta kondisi penyimpanan (Bennet 1947; Rieger dan Rhein 1995). Nilai stabilitas emulsi produk yang dihasilkan berkisar antara 96,74% 99,49% (Lampiran 8 a). Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan memiliki nilai stabilitas emulsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk pembanding (75,55%). Hasil penelitian yang diperoleh Susi (2010), stabilitas emulsi MESA dari metil ester olein yang dinetralkan menggunakan NaOH yaitu berkisar antara 63,6 – 95,0%. Berdasarkan analisa keragaman
(Lampiran 8 b), jenis MESA, konsentrasi NaOH dan interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap stabilitas emulsi produk. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Menurut Schick (1987), stabilitas emulsi akan mencapai maksimum apabila gaya tolak antara globula-globula fase terdispersi mencapai maksimum, sebaliknya gaya tarik-menarik akan mencapai minimum dimana gaya tarikmenarik berasal dari gaya Van der Waals. Nilai stabilitas emulsi dari heavy duty cleaner menujukkan peningkatan sejalan dengan kemampuan surfaktan MESA dalam menurunkan tegangan permukaan. Menurut Sibuea (2008), tegangan permukaan air dapat turun dikarenakan molekul surfaktan terorientasi dan teradsorbsi pada permukaan larutan dengan gugus hidrofobik menghadap udara. Gaya kohesif cairan yang tinggi menyebabkan gaya kohesif hidrokarbon lebih rendah dari tegangan air, sehingga tegangan permukaan turun. Semakin tinggi kemampuan menurunkan tegangan permukaan, maka semakin tinggi stabilitas emulsi. 4.4.2.
Daya Pembusaan Pembentukan busa disebabkan oleh adanya surfaktan yang menguatkan area
lemah pada molekul air dan menurunkan tegangan permukaan air yang menyebabkan busa dapat terbentuk pada permukaan air. Busa yang berbentuk gelembung disebabkan adanya udara yang mengisi ruang tengah dari busa, sehingga bila tekanan udara dalam busa terlalu tinggi maka akan menekan lapisan film dinding-dinding busa, dan gelembung busa akan pecah. Analisis daya pembusaan dilakukan untuk mengetahui kemampuan heavy duty cleaner untuk menghasilkan busa. Hasil pengukuran daya pembusaan dinyatakan sebagai volume busa selama 0,5 menit. Pengukuran daya pembusaan dapat dilihat pada Lampiran 9. Nilai daya pembusaan produk yang dihasilkan berkisar antara 9 ml/200 ml larutan sampel 0,1% - 55 ml/200 ml larutan sampel 0,1% (Lampiran 10 a). Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan memiliki nilai daya pembusaan yang lebih rendah dibandingkan dengan produk pembanding (315 ml/200 ml larutan sampel 0,1%). Kemampuan untuk menghasilkan busa yang banyak tidak dapat dijadikan parameter untuk menghasilkan produk
pembersih dengan kualitas tinggi. Adanya persepsi konsumen bahwa semakin banyak busa maka akan semakin baik daya cuci produk pembersih tersebut, merupakan pernyataan yang tidak benar. Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 10 b), jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap daya pembusaan produk, sedangkan konsentrasi NaOH dan interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan ditunjukkan pada Gambar 15.
M1 = MESA olein off grade ; M2 = MESA olein steady state ; M3 = MESA olein dominan C16 off grade ; M4 = MESA olein dominan C16 steady state
Gambar 15. Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan heavy duty cleaner Hasil uji Duncan (Lampiran 10 c) menunjukkan bahwa jenis MESA olein offgrade (M1) berbeda nyata dari jenis MESA lainnya. Nilai rata-rata daya pembusaan yang dihasilkan dari perlakuan jenis MESA olein offgrade menunjukkan angka yang paling besar yaitu 48,44 ml/200 ml larutan sampel 0,1%. Menurut Cavitch (2001), setiap asam lemak memberikan sifat yang berbeda pada sabun yang dihasilkan. Asam lemak dengan rantai karbon 12-14 memberikan fungsi yang baik untuk pembusaan sementara asam lemak dengan rantai karbon 16-18 baik untuk kekerasan dan daya detergensi. MESA olein offgrade memiliki nilai daya pembusaan paling tinggi dikarena jenis MESA ini dibuat dari metil
ester olein yang belum difraksinasi, sehingga masih mengandung asam lemak C12 dan C14 yang memiliki fungsi baik dalam pembusaan, berbeda dengan MESA olein dominan C16 yang dibuat dari metil ester olein hasil fraksinasi dengan kandungan dominan C16 yang memberikan sifat baik untuk kekerasan dan daya detergensi. 4.4.3.
Stabilitas Busa Analisis stabilitas busa dilakukan untuk mengetahui kemampuan deterjen
cair dalam mempertahankan kestabilan busa yang dihasilkan. Analisis ini dilakukan berurutan dengan analisis daya pembusaan. Stabilitas busa disebabkan adanya penambahan NaOH yang menaikkan kerapatan muatan negatif diantara dinding busa sampai kapasitas optimum dari dinding busa, sehingga stabilitas busa meningkat. Kenaikan muatan negatif membentuk gaya tolak menolak diantara lapisan buih, yang menyebabkan antar buih tidak saling menyatu Stabilitas busa dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu (MPOB 2001 dalam Sidik 2009). Nilai stabilitas busa produk yang dihasilkan berkisar antara 8,85% - 61,90% (Lampiran 11 a). Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 11 b), jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap stabilitas busa produk, sedangkan konsentrasi NaOH dan interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya pembusaan ditunjukkan pada Gambar 16. Hasil uji Duncan (Lampiran 11 c) menunjukkan bahwa formula heavy duty cleaner yang menggunakan jenis MESA olein off grade (M1) berpengaruh nyata terhadap stabilitas busa dibandingankan dengan jenis MESA yang lain. Nilai ratarata daya pembusaan jenis MESA olein off grade yaitu 50%. Nilai stabilitas busa tertinggi dihasilkan dari produk dengan formula yang menggunakan jenis MESA olein off grade dan konsentrasi NaOH 50%, yaitu 61,90%. Nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai stabilitas busa yang dihasilkan oleh produk pembanding (46,02%).
M1 = MESA olein off grade ; M2 = MESA olein steady state ; M3 = MESA olein dominan C16 off grade ; M4 = MESA olein dominan C16 steady state
Gambar 16. Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai stabilitas busa heavy duty cleaner Nantakupa (2010) telah melakukan formulasi produk pembersih sebagai biodegradable hard surface cleaner menggunakan kombinasi surfaktan metil ester sulfonat (MES) dan sodium lauryl ether sulphate (SLES) dan menghasilkan stabilitas busa 92,50%. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan nilai stabilitas heavy duty cleaner yang dihasilkan. Nilai stabilitas busa yang tinggi dapat diperoleh dengan menggunakan dua jenis surfaktan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonim (2008) dalam Nantakupa (2010), bahwa campuran dua jenis surfaktan mampu meningkatkan stabilitas busa. Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi stabilitas busa yaitu kerapatan muatan di antara molekul-molekul surfaktan (kapasitas dinding busa) dan elastisitas dinding busa. Selain itu pengukuran stabilitas busa dapat dipengaruhi oleh suhu saat pengukuran, kecepatan pengocokan dan kecepatan angin saat pengukuran. 4.4.4.
Daya Cuci Proses pembersihan terjadi melalui pembentukan micelle oleh surfaktan
yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antar muatan (Lynn 1996). Proses pencucian menggunakan larutan heavy duty cleaner terhadap pipa yang sudah diberi
pengotor oli bekas dapat dilihat pada Lampiran 12. Nilai daya cuci produk yang dihasilkan berkisar antara 80,12% - 94,73% (Lampiran 13 a). Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 13 b), jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap nilai daya cuci produk, sedangkan konsentrasi NaOH dan interaksi antara jenis MESA dan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya cuci ditunjukkan pada Gambar 17.
M1 = MESA olein off grade ; M2 = MESA olein steady state ; M3 = MESA olein dominan C16 off grade ; M4 = MESA olein dominan C16 steady state
Gambar 17. Grafik pengaruh jenis MESA terhadap nilai daya cuci heavy duty cleaner Hasil uji Duncan (Lampiran 13 c) menunjukkan bahwa jenis MESA olein off grade (M1) berpengaruh nyata terhadap nilai daya cuci. Nilai rata-rata daya cuci yang dihasilkan dari formula yang menggunakan jenis olein off grade yaitu 82,52%. Nilai ini merupakan nilai terendah dari nilai daya cuci yang menggunakan MESA jenis lain. Nilai rata-rata daya cuci tertinggi yaitu pada jenis MESA olein dominan C16 steady state (M4). Nilai daya cuci tertinggi dihasilkan oleh MESA olein dominan C16 steady state dengan NaOH 50% (94,73%). Nilai ini sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai daya cuci yang dihasilkan oleh produk pembanding (95,58%). Jika dilihat pada Gambar 17, heavy duty cleaner yang menggunakan MESA off grade menghasilkan nilai daya cuci yang lebih rendah dibandingkan dengan
heavy duty cleaner yang menggunakan MESA steady state. Hal ini diduga karena kadar bahan pengotor meningkat, sehingga mempengaruhi daya adsorbsi dari surfaktan. Peningkatan kadar bahan pengotor juga mengganggu pembentukan micelle karena molekul surfaktan sudah mengadsorbsi bahan pengotor. Pada MESA off grade masih terkandung metil ester yang belum terkonversi menjadi MESA karena belum tersulfonasi secara sempurna. Kandungan metil ester ini yang dapat meningkatkan kadar bahan pengotor sehingga mengurangi kinerja surfaktan dalam proses pembersihan. 4.5.
Penentuan Produk dari Kinerja Terbaik Untuk mendapatkan produk heavy duty cleaner terbaik dari seluruh
perlakuan yang dicobakan diperlukan metode penentuan yang dapat mewakili sifat fisikokimia dan kinerja heavy duty cleaner yang terbaik. Dalam memilih perlakuan terbaik digunakan parameter-parameter yang diujikan pada produk heavy duty cleaner yang dihasilkan, yaitu stabilitas emulsi, daya pembusaan, stabilitas busa dan daya cuci. Nilai kepentingan tertinggi diberikan pada daya cuci karena parameter uji ini mewakili kinerja heavy duty cleaner dalam menghilangkan kotoran. Pada hasil uji daya cuci didapatkan daya cuci terbaik pada produk yang menggunakan jenis MESA olein dominan C16 steady state (M4). Stabilitas emulsi diberikan kepentingan tinggi karena parameter ini dapat mewakili ketahanan produk ketika disimpan pada suhu dan lama penyimpanan yang bervariasi. Pada uji stabilitas emulsi didapatkan hasil uji tertinggi yang sama, yaitu pada produk yang menggunakan jenis MESA olein dominan C16 steady state (M4). Daya pembusaan dan stabilitas busa mendapat tingkat kepentingan lebih rendah. Kebanyakan konsumen berpikir bahwa daya pembusaan berhubungan dengan tingginya tingkat deterjensi. Pada kenyataannya, busa tidak berhubungan langsung dengan deterjensi dalam pembersihan. Tingkat pembusaan yang berlebihan dapat menyebabkan surface active cleaning agent tertentu membentuk konsentrat dalam busa, sehingga mengurangi kontak dengan kain yang akan dibersihkan (Hui 1996). Namun dikarenakan konsumen dari cleaning agent ini adalah pihak industri, sehingga daya dan stabilitas busa tidak terlalu dipentingkan.
Konsentrasi NaOH yang digunakan pada pembuatan heavy duty cleaner tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua parameter yang diujikan pada produk yang dihasilkan. Oleh karena itu dari empat konsentrasi NaOH (35%, 40%, 45% dan 50%), dipilih konsentrasi terendah untuk digunakan dalam pembuatan heavy duty cleaner, yaitu NaOH 35%. Dari penentuan produk terbaik diperoleh bahwa produk menggunakan MESA olein dominan C16 dengan konsentrasi NaOH 35% sudah dapat digunakan dalam pembuatan heavy duty cleaner. 4.6. Aspek Finansial Heavy Duty Cleaner dari MESA Olein Terbaik Aspek finansial mengkaji mengenai perkiraan modal investasi, biaya operasional, struktur pembiayaan, rencana penerimaan, proyeksi laba rugi, proyeksi arus kas dan kriteria investasi. 4.6.1.
Asumsi Analisis Finansial Penentuan aspek finansial ini menggunakan beberapa asumsi untuk
memudahkan perhitungan. Asumsi-asumsi yang digunakan dijelaskan sebagai berikut: 1. Analisis finansial dilakukan selama 10 tahun. Mempertimbangkan umur ekonomis mesin dan peralatan sekitar 10 tahun. 2. Jumlah hari kerja 300 hari dalam setahun. Direncanakan dalam satu minggu terdiri 6 hari produksi 3. Kapasitas terpasang 20 ton/hari 4. Produksi pada tahun ke-1 hingga ke-2 adalah 90% dari kapasitas terpasang, tahun ke-3 hingga ke-10 adalah 100% dari kapasitas terpasang. 5. Harga bangunan: 8.
Ruang proses produksi
: Rp 2.000.000/m2
9.
Ruang nonproduksi
: Rp 1.000.000/m2
6. Harga yang ditetapkan oleh PT. Mahkota Indonesia antara lain: Harga sewa lahan
: Rp 250.000/m2/tahun
Harga SO3
: Rp 4.375/kg
Harga udara kering
: Rp 1.000/kg
Harga Steam
: Rp 1.300/kg
Harga air
: Rp 12.500/m3
Harga listrik
: Rp 700/kwh
7. Harga bahan tambahan Harga NaOH 8. Harga Metil ester olein
: Rp 3.000/kg : Rp 15.000/kg
9. Berdasarkan perkiraan biaya menurut Peters et al. (2004), maka penetapan biaya adalah sebagai berikut: 10. Biaya instalasi pemipaan industri bahan berbentuk cair sebesar 68% dari harga pembelian mesin dan peralatan produksi 11. Biaya instalasi listrik 11% dari harga pembelian mesin dan peralatan produksi 12. Kontingensi 10% dari harga pembelian mesin dan peralatan produksi 13. Biaya asuransi 1% dari awal pembelian barang yang diasuransikan 14. Biaya laboratorium ditetapkan sebesar 10% dari biaya operator 15. Biaya distribusi dan pemasaran ditetapkan sebesar 2% dari biaya total produksi 10. Penyusutan menggunakan Straight Line Methode 16. Nilai sisa mesin dan peralatan, instalasi pemipaan, instalasi listrik, perlengkapan dan kendaraan ditetapkan sebesar 10% dari harga awal pembelian 17. Nilai sisa bangunan sebesar 50% dari harga pembangunan 18. Umur ekonomis mesin dan peralatan, pemipaan, instalasi listrik, kendaraan dan perlengkapan adalah 10 tahun 19. Umur ekonomis bangunan adalah 20 tahun 11. Besarnya pajak ditetapkan sebagai berikut: Pajak bumi dan bangunan sebesar 0,1% dari total investasi (UU no 26 tahun 2000) Pajak kendaraan sebesar 0,5% dari harga pembelian (UU no 22 tahun 1999) Pajak penghasilan untuk perusahaan sebesar 25% (www. pajak.goid) 12. Skema pembiayaan investasi adalah 65% dari pembiayaan bank dan 35% dari pembiayaan sendiri. Skema pembiayaan ini mengacu pada skema
pembiayaan maksimum yang ditawarkan oleh Bank Mandiri. Bunga 12% berdasarkan bunga pada Bank Mandiri untuk industri turunan kelapa sawit. 13. Pembayaran kredit menggunakan metode sliding rate 14. Jangka waktu pembayaran kredit modal investasi tetap adalah lima tahun, sedangkan kredit modal kerja selama dua tahun. 4.6.2.
Biaya Investasi Sebelum industri heavy duty cleaner ini dapat berjalan, terdapat modal yang
harus dikeluarkan pada awal pendirian. Modal ini dinamakan modal investasi yang terdiri dari modal investasi tetap dan modal kerja. Modal investasi tetap berhubungan dengan kebutuhan manufakturing dan fasilitas pabrik. Modal investasi tetap terdiri atas biaya untuk pembelian peralatan dan mesin, pemasangan dan instalasi pemipaan dan listrik, bangunan, lahan, perlengkapan, pembelian
kendaraan,
biaya
kontingensi
dan
termasuk
bunga
selama
pembangunan atau IDC (interest during construction) yang diperhitungkan sebesar 10% dalam satu tahun. Modal kerja merupakan modal yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan operasional industri. Modal ivestasi yang diperlukan untuk mendirikan industri ini ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12. Rincian modal investasi (dalam ribuan rupiah) No A. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 B.
Komponen Modal investasi tetap Biaya Pembelian Alat dan Mesin Biaya Pemipaan Biaya instalasi listrik Bangunan Lahan Biaya perlengkapan Biaya kendaraan Biaya pra investasi Biaya Kontingensi Bunga selama pembangunan Subtotal Modal kerja subtotal Total investasi
Nilai (Rp) 2.566.400 1.745.152 282.304 597.000 1.831.554 132.100 1.050.000 7.542.000 1.574.651 1.125.875 18.447.036 20.383.313 38.830.349
1) Biaya pembelian peralatan dan mesin Mesin dan peralatan yang digunakan terdiri dari beberapa tangki dan reaktor. Pengoprasian mesin ini semi otomatis dengan kendali di lakukan di ruang operator. Spesifikasi mesin dan peralatan yang dibutuhkan pada produksi heavy duty cleaner ditunjukan pada Lampiran 14. Biaya pembelian mesin dan alat adalah biaya yang digunakan untuk membeli mesin dan peralatan produksi. Biaya ini terdiri dari pembelian material, asesoris yang dibutuhkan pada peralatan tersebut dan ongkos fabrikasinya. Harga pembelian tangki merupakan harga material berupa lembaran plat yang dibutuhkan untuk membuat tangki sesuai dengan kapasitas yang diinginkan dan telah ditambah ongkos fabrikasinya, selain itu telah lengkap dengan asesoris tangki seperti pompa gear, termometer dan presseure gauge. Harga Multi Tube Film Reaktor terdiri dari harga material, biaya fabrikasinya dan harga pembelian SO3 flow meter. Detail biaya pembelian peralatan dan mesin ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Rincian biaya pembelian alat dan mesin (dalam ribuan rupiah) No Nama alat dan mesin Jumlah Harga/unit SubTotal (unit) (Rp) (Rp) 1 Tangki penyimpanan bahan baku 1 232.100 232.100 2 Tangki penyimpanan HDC 2 417.500 835.000 3 Tangki fraksinasi 1 295.200 295.200 4 Tangki masukan metil ester 2 130.700 261.400 5 Multi Tube Film Reactor 1 295.200 295.200 6 Tangki pematangan 2 75.900 151.800 7 Tangki formulasi 2 112.200 224.400 8 Scrubber 1 223.700 223.700 9 Quencher 1 3.200 3.200 10 Oil & Gas Separator 1 6.500 6.500 11 Cyclone 1 3.100 3.100 12 Tangki penyimpanan NaOH 1 34.800 34.800 Total biaya alat dan mesin 2.566.400 2) Pemipaan dan instalasinya Biaya pemipaan terdiri dari material yang dibutuhkan dalam pemipaan, katup dan insulasi pemipaan serta ditambah instalasi pemipaan. Penentuan harga ini melalui pendekatan estimasi modal investasi berdasarkan penurunan biaya peralatan. Biaya pemipaan pada proses yang
bahan bakunya berbentuk cairan mencapai 68% dari total harga pembelian peralatan dan mesin (Peters et al. 2004). Bila biaya pembelian peralatan alat dan mesin mencapai Rp 2.566.400.000, maka biaya pemipaan dan instalasinya mencapai Rp 1.745.152.000.
3) Biaya instalasi listrik Biaya instalasi listrik terdiri dari biaya material yang dibutuhkan dalam pembelian material ditambah instalasi listrik. Penentuan harga ini melalui pendekatan estimasi modal investasi berdasarkan penurunan biaya peralatan. Biaya instalasi listrik pada proses yang mencapai 11% dari total harga pembelian peralatan dan mesin (Peters et al. 2004). Bila biaya pembelian peralatan alat dan mesin mencapai Rp 2.566.400.000 maka biaya instalasi listriknya mencapai Rp 282.304.000. 4) Bangunan Bangunan
meliputi
bangunan
untuk
ruang
produksi
dan
nonproduksi. Ruang produksi terdiri dari unit pemasukan metil ester, unit sulfonasi, unit pematangan, unit
formulasi, unit penyimpanan NaOH.
Ruang nonproduksi meliputi kantor, unit penyimpanan bahan baku, unit penyimpanan heavy duty cleaner, laboratorium, bengkel, kontrol produksi, penanganan limbah, jalan dan parkir. Estimasi biaya untuk membangun ruang produksi adalah sebesar Rp 2.000.000/m2 yang terdiri dari dua tingkat, tingkat dasar untuk ruang produksi dan tingkat kedua untuk tangki penyimpanan NaOH. Estimasi biaya untuk membangun ruangan nonproduksi sebesar Rp 1.000.000/m2 yang hanya terdiri dari satu tingkat. Rincian biaya bangunan ditunjukkan pada Tabel 14. 1) Lahan Berdasarkan pertimbangan pemakaian SO3 di PT. Mahkota Indonesia, maka lahan industri heavy duty cleaner akan berada di dalam lokasi PT. Mahkota Indonesia. Bentuk kerjasamanya adalah Industri heavy duty cleaner membayar biaya sewa lahan selama jangka waktu tertentu sebesar Rp 250.000/m2/tahun dengan kenaikan sebesar 5%/tahun. Kontrak
kerjasama ini akan diperbaharui setiap 10 tahun. Rincian harga lahan dijelaskan pada Tabel 15. Tabel 14. Rincian biaya bangunan (dalam ribuan rupiah) No
Komponen
A 1 B 1 2 3 4 5
Ruang proses produksi Proses produksi Ruang nonproduksi Laboratorium Kontrol Proses Kantor Pengolahan Limbah Penyimpanan Bahan baku 6 Penyimpanan produk 7 Bengkel 8 Jalan dan parkir Total biaya bangunan
Luas area (m2) 15 40 15 127 5 54
Harga per m2 (Rp) 2.000
1.000
96 30 200 582
Sub total Harga (Rp) 30.000 40.000 15.000 127.000 5.000 54.000 96.000 30.000 200.000 597.000
Tabel 15. Harga sewa lahan industri heavy duty cleaner (dalam ribuan rupiah) Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
Luas lahan (m2) 582
Harga lahan/m2 250 263 276 290 304 319 335 352 370 388
Subtotal 145.500 153.066 160.632 168.780 176.928 185.658 194.970 204.864 215.340 225.816 1.831.554
2) Biaya perlengkapan Biaya perlengkapan terdiri dari biaya perlengkapan kantor, perlengkapan laboratorium, perlengkapan pemeliharaan alat dan mesin, peralatan kebersihan dan peralatan keamanan/ APD (Alat Pelindung Diri). Rincian biaya perlengkapan ditunjukkan pada Tabel 16.
Tabel 16. Rincian biaya perlengkapan (dalam ribuan rupiah) No
Komponen
1 Perlengkapan kantor a. Meja kursi pimpinan b. Meja kursi manajer c. Meja kursi supervisor d. Meja kursi tenaga pembantu e. Meja kusi ruang meeting f. Meja kursi tamu g. File cabinet h. Komputer i. Printer j. Telepon k. Faksimili l. AC 2 Perlengkapan laboratorium 3 Perlengkapan pemeliharaan 4 Perlengkapan keamanan/APD 5 Perlengkapan kebersihan Total biaya perlengkapan
Jumlah
Satuan
1 3 3 5 1 1 12 10 10 2 1 2 1 1 1 1
set set set set set set unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit
Harga/unit (Rp)
Subtotal (Rp)
3.000 2.500 2.000 1.500 3.500 1.000 800 4.000 600 500 1.500 2.500 30.000 5.000 5.000 500
3.000 7.500 6.000 7.500 3.500 1.000 9.600 40.000 6.000 1.000 1.500 5.000 30.000 5.000 5.000 500 132.100
1) Biaya kendaraan Biaya kendaraan berupa biaya yang digunakan untuk membeli tiga kendaraan operasional seharga Rp 350.000.000/buah sehingga total biaya sebesar Rp 1.050.000.000. 2) Biaya prainvestasi Biaya prainvestasi meliputi biaya perizinan, riset, konsultasi dan feasibility study. Biaya perizinan sendiri berupa biaya untuk mendapatkan Izin Usaha Industri (IUI), Undang-Undang Gangguan (UUG) dan Analisa Mutu Lingkungan (AMDAL). Besarnya biaya awal riset ditetapkan Rp 2.000.000 dan biaya Engineering, Procurement, and Consulting (EPC) ditetapkan Rp 5.000.000.000 serta biaya feasibility study sebesar Rp 500.000.000. Rincian biaya prainvestasinya ditunjukkan pada Tabel 17.
Tabel 17. Rincian biaya prainvestasi (dalam ribuan rupiah) No Komponen 1 Biaya Perijinan a. IUI b. UUG c. AMDAL 2 Biaya riset 3 Biaya EPC 4 Feasibility study Total biaya prainvestasi
Sub Total (Rp) 4.000 8.000 30.000 2.000.000 5.000.000 500.000 7.542.000
3) Kontingensi Faktor kontingensi diperhitungkan sebesar 10% dari total investasi (pembelian peralatan dan mesin, pemipaan dan instalasinya, listrik dan instalasinya, lahan, bangunan, biaya kendaraan, biaya perlengkapan, biaya prainvestasi). Faktor kontingensi merupakan kompensasi dari kejadian yang tidak dapat diprediksi misalnya bencana alam, kesalahan dalam estimasi dan biaya yang tidak terduga lainnya. 4)
Bunga selama pembangunan Bunga selama pembangunan pabrik diperhitungkan sebesar 12% dari nilai
investasi tetap.
Nilai
dari
investasi
tetapnya
sebesar
Rp
17.323.691.000 dengan 65% didanai dari pinjaman bank sehingga jumlah pinjamannya sebesar Rp 11.260.400.000. Bunga ini berjangka waktu satu tahun dengan skema pembiayaan dibayar pada akhir semester pertama dan akhir semester kedua. Perhitungan bunga investasi tetap ditunjukkan pada Tabel 18. Tabel 18. Rincian bunga selama pembangunan pabrik (dalam ribuan rupiah) Skema Kebutuhan Modal sendiri Tahun (%) dana (Rp) (Rp) I-1 I-2
50 50 100
8.661.846 8.661.846 17.323.691
Pinjaman (Rp)
3.031.646 5.630.200 3.031.646 5.630.200 6.063.292 11.260.400
Bunga selama pembangunan (Rp) 675.624 675.624 1.351.248
4.6.3.
Penyusutan Penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus (staight line
methode). Nilai sisa mesin dan peralatan, instalasi pemipaan, instalasi listrik, perlengkapan dan kendaraan ditetapkan sebesar 10% dari harga awal pembelian. Nilai sisa bangunan sebesar 50% dari harga pembangunan. Selanjutnya, umur ekonomis mesin dan peralatan, pemipaan, instalasi listrik, perlengkapan dan kendaraan adalah 10 tahun. Umur ekonomis bangunan adalah 20 tahun. Rincian nilai sisa dan nilai penyusutan ditunjukkan pada Lampiran 15. 4.6.4.
Biaya Operasional Biaya operasional yang dikeluarkan pada industri heavy duty cleaner terdiri
dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap merupakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh naik turunnya produksi yang dihasilkan, sedangkan biaya variabel dipengaruhi oleh naik turunnya produksi. Biaya tetap industri heavy duty cleaner antara lain biaya tenaga kerja tidak langsung, biaya administrasi kantor, biaya utilitas kantor, biaya pemeliharaan, biaya asuransi, biaya pemasaran, biaya laboratorium, pajak dan penyusutan. Biaya variabel industri heavy duty cleaner antara lain biaya pembelian bahan baku, biaya bahan penolong, biaya utilitas produksi dan biaya tenaga kerja langsung. Rincian biaya operasional dijelaskan pada Lampiran 16. 1) Biaya tenaga kerja Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam industri heavy duty cleaner sebanyak 21 orang yang terdiri atas tenaga kerja langsung dan tenaga kerja tidak langsung. Tenaga kerja langsung terdiri dari 6 orang operator, 1 orang laboran, 1 orang teknisi dan 2 orang supir, sedangkan tenaga kerja tidak langsung terdiri dari 1 orang direktur, 3 orang manajer, 3 orang supervisor, 2 orang tenaga keuangan, 1 orang tenaga riset dan 1 orang tenaga pemasaran. Gaji tenaga kerja terdiri dari gaji pokok dan tunjangan. Gaji pokok terdiri dari 13 bulan gaji, sedangkan tunjangan 12 bulan gaji. Besarnya tunjangan ditetapkan 30% dari gaji pokok. Rincian gaji tenaga kerja tidak
langsung dan tenaga kerja langsung ditunjukkan pada Tabel 19 dan Tabel 20. Tabel 19. Rincian biaya tenaga kerja tak langsung (dalam ribuan rupiah) Jabatan
Jumlah
Gaji pokok /orang /bulan(Rp) Direktur 1 30.000 Manager 3 15.000 Supervisor 3 8.000 Tenaga keuangan 2 5.000 Tenaga riset 1 8.000 Tenaga pemasaran 1 5.000 Subtotal biaya tenaga kerja tak langsung
Tunjangan /orang/ bulan (Rp) 9.000 4.500 2.400 1.500 2.400 1.500
Gaji dan tunjangan /tahun (Rp) 498.000 747.000 398.400 166.000 132.800 83.000 2.025.200
Tabel 20. Rincian biaya tenaga kerja langsung (dalam ribuan rupiah) Gaji pokok /orang /bulan(Rp) Teknisi pemeliharaan 1 5.000 Laboran 1 5.000 Sopir 2 5.000 Operator 6 5.000 Subtotal biaya tenaga kerja langsung Jabatan
Jumlah
Tunjangan /orang/ bulan (Rp) 1.500 1.500 1.500 1.500
Gaji dan tunjangan /tahun (Rp) 83.000 83.000 166.000 498.000 830.000
1) Biaya bahan baku, bahan penolong dan utilitas produksi Biaya bahan baku terdiri dari biaya bahan baku utama berupa metil ester olein. Biaya bahan penolong terdiri dari biaya untuk pembelian NaOH, udara kering dan gas SO3. Neraca masa industri heavy duty cleaner dapat dilihat pada Lampiran 17. Biaya utilitas produksi terdiri atas biaya steam, air dan listrik. Rincian biaya bahan baku, bahan penolong dan biaya utilitas produksi ditunjukkan pada Tabel 21.
2) Biaya kebutuhan administrasi kantor Biaya administrasi kantor ditetapkan sebesar Rp 5.000.000/bulan. Biaya ini meliputi pembelian perlengkapan kantor, seperti kertas, peralatan tulis, tinta dan lain sebagainya.
Tabel 21. Biaya bahan baku, bahan penolong dan utilitas produksi (dalam ribuan rupiah) Komponen
Biaya bahan baku Metil ester olein Subtotal Biaya bahan penolong NaOH untuk scrubber NaOH Gas SO3 Udara kering Subtotal Biaya utilitas produksi Steam Air Listrik Subtotal
Kebutuhan/ Kebutuhan/ hari tahun
Satuan
Harga/ satuan (Rp)
Biaya/ tahun (Rp)
36.763
11.028.900
kg
15
165.433.500 165.433.500
368
110.289
kg
3
330.867
600 5.344 8.878
180.000 1.603.152 2.663.400
kg kg kg
3 4,375 1
540.000 7.013.790 2.663.400 10.548.057
1134,27 0,4 81.170
340.281 120 24.351.000
kg m3 kwh
1,3 12,5 0,7
442.365 1.500 17.045.700 17.489.565
3) Biaya utilitas kantor Biaya utilitas kantor meliputi biaya listrik, air dan telepon yang digunakan oleh kantor. Kebutuhannya ditunjukkan pada Tabel 22. Tabel 22. Kebutuhan utilitas kantor (dalam ribuan rupiah) No Komponen Kebutuhan/tahun 1 Air 90 2 Listrik 24.211 3 Telepon Total biaya utilitas kantor
Satuan m3 kw
Harga (Rp) Subtotal (Rp) 12,500 1.125 0,7 16.948 36.000 54.073
4) Biaya laboratorium Biaya laboratorium meliputi biaya pembelian bahan kebutuhan laboratorium. Biayanya ditetapkan sebesar 10% dari biaya gaji operator (Peter et al. 2004). Bila biaya gaji operator sebesar Rp 498.000.000/tahun maka biaya laboratorium mencapai Rp 49.800.000/tahun.
5) Biaya pemeliharaan Biaya pemeliharaan terdiri dari biaya pemeliharaan bangunan, instalasi, mesin dan peralatan serta kendaraan. Biaya ini diasumsikan 10% dari harga pembelian. Rincian biaya pemeliharaan ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23. Rincian biaya pemeliharaan (dalam ribuan rupiah) No Komponen 1 Mesin dan peralatan 2 Instalasi Pemipaan 3 Instalasi Listrik 4 Bangunan 5 Perlengkapan 6 Kendaraan Total biaya pemeliharaan
Subtotal (Rp) 256.640 174.515 28.230 59.700 13.210 105.000 637.296
6) Biaya asuransi Asuransi terdiri dari biaya dari objek yang diasuransikan. Objek yang diasuransikan antara lain bangunan, mesin dan peralatan serta kendaraan. Asumsi biaya asuransi sebesar 1% dari nilai beli objek. Rincian biaya asuransi ditunjukkan pada Tabel 24. Tabel 24. Rincian biaya asuransi (dalam rupian rupiah) No Komponen 1 Bangunan 2 Mesin dan peralatan 3 Kendaraan Total biaya asuransi
Subtotal (Rp) 5.970 25.664 10.500 42.134
7) Pajak Pajak yang dikenakan berupa pajak bumi dan bangunan serta pajak kendaraan. Pajak bumi dan bangunan diperhitungkan sebesar 0,1% /tahun dari total investasi kendaraan (UU No 22 tahun 1999). Rincian pajak ditunjukkan pada Tabel 25.
Tabel 25. Rincian pajak (dalam ribuan rupiah) No Komponen 1 Pajak Bumi dan bangunan 2 Pajak kendaraan Total
Subtotal (Rp) 1.832 5.250 7.082
8) Biaya distribusi dan pemasaran Biaya distribusi dan pemasaran ditetapkan 2% dari biaya total produksi (biaya variabel dan biaya tetap), yaitu sebesar Rp 3.616.895.000. 4.6.5.
Harga Penjualan dan Perkiraan Penerimaan Biaya per unit produk heavy duty cleaner ditentukan menggunakan metode
full costing dengan rumus sebagai berikut: biaya tetap + biaya variabel Biaya per unit produk
= Jumlah produk yang dihasilkan
Biaya untuk memproduksi heavy duty cleaner per kilognya pada tahun pertama sebesar Rp 34.262, sedangkan pada tahun ke dua Rp 34.058, tahun ke tiga Rp 33.708, tahun ke empat Rp 33.657, tahun ke lima Rp 33.607 dan tahun ke enam hingga tahun ke sepuluh mencapai Rp 33.557. harga jual heavy duty cleaner perkilognya ditetapkan sebesar Rp 36.500, sehingga profit yang diterima berkisar antara 6,53 – 8,77%. Perkiraan penerimaan seluruhnya berasal dari penjualan heavy duty cleaner. Asumsi yang digunakan seluruh produksi habis terjual. Produksi heavy duty cleaner pada tahun pertama dan kedua mencapai 90% dari kapasitas terpasang. Hal ini mempertimbangkan daur hidup produk yang pada awal pendirian berada dalam fase pertumbuhan, sedangkan pada tahun ke tiga hingga ke sepuluh berada dalam fase stabil, yaitu produksi mencapai 100% kapasitas terpasang. Harga dan penerimaan industri heavy duty cleaner ditunjukkan pada Tabel 26.
Tabel 26. Harga dan penerimaan (dalam ribuan rupiah) Tahun Biaya Total (Rp) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 4.6.6.
185.012.790 183.915.161 202.247.645 201.944.965 201.642.285 201.339.606 201.339.606 201.339.606 201.339.606 201.339.606
Kapasitas Biaya Produksi Produksi (kg) (Rp) 5.400.000 34.262 5.400.000 33.058 6.000.000 33.708 6.000.000 33.657 6.000.000 33.607 6.000.000 33.557 6.000.000 33.557 6.000.000 33.557 6.000.000 33.557 6.000.000 33.557
Harga Profit Jual (%) (Rp) 36.500 6,53 36.500 7,17 36.500 8,28 36.500 8,45 36.500 8,61 36.500 8,77 36.500 8,77 36.500 8,77 36.500 8,77 36.500 8,77
Penerimaan (Rp) 197.100.000 197.100.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000
Modal Kerja Modal kerja ini merupakan modal yang digunakan untuk menjalankan
operasional perusahaan hingga memperoleh penerimaan. Penentuan nilai modal kerja ini dipengaruhi dengan perputaran modal kerja itu sendiri. Asumsi yang digunakan dalam penentuan modal kerja adalah sebagai berikut: 1.
Account receivable (piutang usaha) sebesar 45 hari Hal ini mempertimbangkan konsumen baru membayar barang yang telah mereka beli selama 45 hari setelah mereka melakukan transakasi pembelian.
2.
Account payable (hutang usaha) sebesar 45 hari Hal ini mempertimbangkan perusahaan dapat melakukan kredit pembelian bahan baku dalam jangka waktu 45 hari.
3.
Inventori (persediaan) sebesar 15 hari Hal ini mempertimbangkan bahwa harus ada persediaan untuk minimal satu kapasitas tangki penyimpanan. Kapasitas satu tangki penyimpanan sendiri cukup menyimpan minyak selama 15 hari. Rincian kebutuhan modal kerja ditunjukkan pada Lampiran 18.
4.6.7.
Pembiayaan Pendirian industri heavy duty cleaner ini dibiayai dengan modal sendiri dan
modal pinjaman dari bank dengan perbandingan 65:35. Hal ini mengacu pada kebijakan salah satu bank yaitu bank Mandiri, bahwa maksimal porsi pembiayaan
bank, baik untuk modal investasi ataupun modal kerja maksimal 65%. Struktur pembiayaan ditunjukkan pada Tabel 27. Tabel 27. Struktur pembiayaan (dalam ribuan rupiah) Kebutuhan investasi 18.674.939 20.383.313 39.058.252
Jenis Kredit Modal investasi tetap Modal Kerja Jumlah
Modal sendiri 35%(Rp) 6.063.292 7.134.159 13.197.451
Pinjaman 65 %(Rp) 12.611.647 13.249.153 25.860.800
Lama masa peminjaman kredit modal investasi tetap adalah 5 tahun, sedangkan untuk kredit bunga modal investasi tetap maupun modal kerja. Hal ini mengacu pada bunga yang diberlakukan di bank Mandiri untuk pembiayaan industri
turunan
kelapa
menggunakan metode
sawit.
Pembayaran
bunga
ditetapkan
dengan
slidding rate. Proyeksi pembayaran angsuran bersama
bunganya pada tiap tahun ditunjukkan pada Tabel 28 dan Tabel 29. Tabel 28. Angsuran modal investasi tetap (dalam ribuan rupiah) Tahun
0 1 2 3 4 5 Jumlah
Jumlah kredit (Rp) 12.611.647 12.611.647 10.089.318 7.566.988 5.044.659 2.522.329
Angsuran pokok (Rp)
2.522.329 2.522.329 2.522.329 2.522.329 2.522.329 12.611.647
Bunga (Rp)
Jumlah Angsuran (Rp)
1.513.398 4.035.727 1.210.718 3.733.048 908.039 3.430.368 605.359 3.127.688 302.680 2.825.009 4.540.193 17.151.840
Tabel 29. Angsuran modal kerja (dalam ribuan rupiah) Tahun 0 1 2 Jumlah
Jumlah kredit (Rp) 13.249.153 13.249.153 6.624.577
Angsuran pokok (Rp)
Bunga (Rp)
6.624.577 1.589.898 6.624.577 794.949 13.249.153 2.384.848
Jumlah Angsuran (Rp) 8.214.475 7.419.526 15.634.001
4.6.8.
Proyeksi Laba Rugi Proyeksi laba rugi menggambarkan besarnya keuntungan dan kerugian pada
industri ini. Proyeksi ini memuat mengenai pengeluaran dan penerimaan secara keseluruhan. Selisih antara penerimaan dengan pengeluaran produksi dinamakan laba operasi. Laba operasi setelah pengurangan pajak merupakan laba bersih. Pajak penghasilan ditetapkan sebesar 25%. Ini berdasarkan pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia untuk badan perusahaan. Rincian laba rugi industri ditunjukkan pada Lampiran 19, sedangkan proyeksi laba rugi ditunjukkan pada Tabel 30. Tabel 30. Proyeksi laba rugi (dalam ribuan rupiah) Tahun
Penerimaan (Rp)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
197.100.000 197.100.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000 219.000.000
4.6.9.
Biaya Produksi (Rp) 185.012.790 183.915.161 202.247.645 201.944.965 201.642.285 201.339.606 201.339.606 201.339.606 201.339.606 201.339.606
Laba operasi
Pajak
Laba bersih
12.087.210 13.184.839 16.752.355 17.055.035 17.357.715 17.660.394 17.660.394 17.660.394 17.660.394 17.660.394
3.021.803 3.296.210 4.188.089 4.263.759 4.339.429 4.415.009 4.415.009 4.415.009 4.415.009 4.415.009
9.065.408 9.888.629 12.564.267 12.791.276 13.018.286 13.245.296 13.245.296 13.245.296 13.245.296 13.245.296
Break Even Point (BEP) Break even point (BEP) merupakan titik dimana total biaya produksi sama
dengan total biaya penerimaan. Analisis BEP menunjukkan pada tahun pertama industri ini harus menjual minimal sebesar 2.463.702 kg, pada tahun ke dua sebesar 2.197.060 kg, kemudian pada tahun ke tiga menurun menjadi 1.930.417 kg dan terus menurun hingga pada tahun ke sepuluh. Titik impas berada pada 1.709.831 kg, yaitu pada tahun ke enam. Titik impas industri heavy duty cleaner ditunjukkan pada Tabel 31.
Tabel 31. Analisis BEP (dalam ribuan rupiah) Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Biaya Tetap (Rp) 10.141.780 9.044.151 7.946.522 7.643.843 7.341.163 7.038.484 7.038.484 7.038.484 7.038.484 7.038.484
Harga Jual (Rp) 36,500 36,500 36,500 36,500 36,500 36,500 36,500 36,500 36,500 36,500
Produksi perunit 5.400.000 5.400.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000
Biaya Variabel per Unit (Rp) 32,384 32,384 32,384 32,384 32,384 32,384 32,384 32,384 32,384 32,384
BEP (kg)
BEP (Rp)
2.463.702 2.197.060 1.930.417 1.856.888 1.783.360 1.709.831 1.709.831 1.709.831 1.709.831 1.709.831
89.925.128 80.192.674 70.460.221 67.776.422 65.092.623 62.408.824 62.408.824 62.408.824 62.408.824 62.408.824
4.6.10. Kriteria Investasi Penilaian kriteria investasi menggunakan metode NPV, IRR, B/C ratio dan PBP. Tabel perhitungan metode NPV, IRR, B/C ratio dan PBP ditunjukkan pada Tabel 32. Tabel 32. Kriteria kelayakan investasi Kriteria kelayakan NPV IRR B/C Ratio PBP
Nilai 19.210.855.000 19 1,52 5,36
Satuan Rp % tahun
1. Net Present Value (NPV) Net Present Value merupakan salah satu metode untuk menentukan kelayakan dengan mempertimbangkan nilai waktu uang. Nilai keuntungan yang diterima pada tahun sekarang akan berbeda pada keuntungan nilai yang akan datang walaupun secara nominalnya sama. Industri heavy duty cleaner ini memiliki NPV sebesar Rp 19.210.855.000 dengan discount rate sebesar 12% (sesuai dengan bunga pinjaman). Nilai NPV industri ini menunjukkan nilai positif, sehingga dapat dikatakan industri ini layak.
2. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return merupakan tingkat yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Industri dikatakan layak bila nilai IRR lebih besar dari
suku bunga yang telah ditetapkan. Nilai IRR industri ini adalah 19%. Nilai ini lebih besar dari tingkat suku bunga (12%), sehingga industri ini dapat dikatakan layak. 3. Benefit/ Cost Ratio (B/C Ratio) Benefit/ Cost Ratio merupakan perbandingan manfaat terhadap biaya. Bila nilai B/C ratio > 1 maka proyek layak dijalankan. Nilai B/C Ratio Industri heavy duty cleaner sebesar 1,52, sehingga layak untuk dijalankan. 4. Pay Back Period (PBP) Pay Back Period merupakan metode penilaian kriteria dengan tidak mempertimbangkan nilai waktu. Metode ini melihat berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikan modal investasi awal. Perhitungan PBP menunjukkan bahwa pada tahun awal pendirian kas masih negatif sebesar Rp 18.674.939.000. Hal yang sama juga terjadi pada tahun pertama, kas masih negatif sebesar Rp 19.929.843.000. Tahun ke dua arus kas mampu menghasilkan Rp 1.276.691.000, tahun ke tiga menghasilkan Rp10.576.905.000, tahun ke empat menghasilkan Rp 10.803.915.000, tahun ke lima menghasilkan Rp 11.030.925.000 dan tahun ke enam menghasilkan Rp 13.780.264.000. Ini menunjukkan pay back period terjadi antara tahun ke lima dan ke enam, yaitu 5,36 tahun atau sekitar 5 tahun lebih 4 bulan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Nilai daya cuci dipilih sebagai parameter penentu karena mewakili kinerja dari heavy duty cleaner dalam menghilangkan kotoran. Berdasarkan analisis keragaman, jenis MESA memberikan pengaruh nyata terhadap nilai daya cuci produk, sedangkan konsentrasi NaOH tidak memberikan pengaruh yang nyata. Nilai rata-rata daya cuci tertinggi yaitu pada jenis MESA olein dominan C16 steady state. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa heavy duty cleaner yang menggunakan jenis MESA olein dominan C16 steady state dengan konsentrasi NaOH 35% menghasilkan stabilitas emulsi 98,11%, daya pembusaan 9 ml/ ml larutan sampel 0,1%, stabilitas busa 13,75% dan daya cuci 91,31% sudah dapat digunakan. Berdasarkan empat kriteria investasi yang digunakan yaitu NPV (Rp 19.210.855.000), IRR (19%), B/C Ratio (1,52) dan PBP (5,36 tahun) menunjukkan bahwa industri heavy duty cleaner layak untuk dijalankan. 5.2. Saran Dalam proses pencucian, pada penelitian ini menggunakan dosis aplikasi 1%. Dosis ini belum memberikan hasil yang optimum, sehingga perlu dicari kembali dosis aplikasi heavy duty cleanaer untuk proses pencuciannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed FU, penemu; Kay Chemical Incorporated. 5 Desember 2000. Heavy Duty Degreaser Cleaning compositions and Methods of Using The Same. US paten 6 156 716. Anonim. 2009a. Detergen Formulatory. PQ Coorporation, Penysilvania. Anonim. 2009b. Caustic Soda (Sodium Hidroksida). Georgia Gulf Corporation. Plaquemine, Louisiana [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analitical Chemist. 1984. Washington: AOAC. [ASTM] American Society for Testing and Material. 2001. Annual Book of ASTM Standards: Soap and Other Detergents, Polishes, Leather, Resilient Floor Covering. Baltimore: ASTM Austin GT. 1984. Shreve’s Chemical Process Industries. Fifth Edition. Singapore: McGraw-Hill. Baker J, penemu; The procter & Gamble Company. 16 Desember 1993. Process for Making Sulfonated Fatty Acid Alkyl Ester Surfactant. US patent 5 475 134. Basiron Y. 1996. Bailey’s Industrial oil and Fat Products. Edisi ke-5 Volume ke-2. New York: J Wiley. Bennet H. 1947. Practical Emulsion. Edisi ke-2. New York, USA: Chemical Publshing Co. Inc, Brooklyn. Berger P. 2009. Surfactants Based on Monounsaturated Fatty Acids for Enhanced Oil Recovery. Inform 20:682-685. Bernardini E. 1983. Vegetable oils and fats processing. Volume ke-2. Rome: Interstampa. Buehr W. 1962. Caustic Soda Production Tecnique. Park Ride: Noyes. Cole PA , Thompson PR. 2001 Probing the mechanism of enzymatic phosphoryl transfer with a chemical trick. Proc Natl Acad Sci 98:8170-8171. Cooper DG, Zajic JE. 1980. Surface Active Compound From Microorganism. Adv Appl Microbiol 26: 229-253.
Darnoko D, Cheryan M. 2000. Continous Produstion of Palm Methyl Ester. J Am Oil Chem Soc 77(12):1269 – 1272. Djamin Z. 1984. Perencanaan dan Analisis Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Durbut P. 1999. Surface Activity. Handbook of Detergents Part A: Properties. New York: Marcel Dekker. Edris M. 1993. Penuntun Penyususn Studi Kelakyakan Proyek. Bandung: Sinar Baru. Flick EW. 1999. Advance Cleaning Product Formulation. Vol 5. New York: Noyes Publ. William Andrew Publishing, LCC. Flider FJ. 2001. Commercial Considerations and Market for Naturally Derived Biodegradable Surfactants. Inform 12(12):1161 – 1164. Foster NC. 1996. Sulfonation and Sulfation Processes. In: Spitz, L. (Ed). Soap and Detergens: Atheoretical and Practical Rev. AOCS Press, Champaign, Illinois. Georgeiou G, Lin S dan Sharma MM. 1992. Surface-Active Compounds From Microorganism. J. Biotechnol 10:60 – 65. Gerpen JV. 2005. Biodiesel Processing and Production. Fuel Processing Technol 86:1097 – 1107. Gray C, Simanjuntak P, Sabur LK, Maspatiella PFL, Varley RGC. 1993. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: PT Gedia Pustaka Utama. Gunstune F D, Harwood JL, Padly FB. 1994. The Lipid. Edisi ke-2. USA. Hambali E, M Rivai, P Suarsana, Sugihardjo dan E Zulchaidir, peneliti. 2009. Peningkatan Nilai Tambah Minyak Sawit Melalui Perkembangan Teknologi Proses Produksi Surfaktan MES dan Aplikasinya untuk meningkatkan Produksi Minyak Bumi Menggunakan Metode Huff dan Puff. Buku Catatan Harian Peneliti Periode Juni – Oktober 2009. SBRC LPPM-IPB. Bogor. Hasenhuettl GL. 1997. Overview of Food Emulsifier. In : Food Emulsifier and Their Applications. G.L. Hasenhuettl dan R.W. Hartel (Eds.). New York: Chapman & Hall. Hargreaves T. 2003. Chemical Formulation : An Overview surfactant-Based Preparations Used in Everyday Life. Cambridge: RSC Paperbacks. Hui YH. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Vol ke-3. United State: A Wiley Interscience Publication. J Wiley.
Husnan S dan Suwarsono. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: AMP YKPN Ibrahim YHM. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT. Rineka Cipata. Jungermann E. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Edisi ke-4, volume ke-1. New York: J Wiley. Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak. Jakarta: UI-Press. Knothe G. 2002. Structure indices in fatty acid chemistry. J Am Oil Chem Soc 79:847 – 854. Knothe G. 2008. Five Approaches to Improving the Fuel Properties of Biodiesel [abstract]. Including "Designer" Biodiesel 2nd International Congress on Biodiesel. Munich, Germany. Lee SH, Faessler, Peter, Kolmetz K, Seang KW. 2004. Advanced fractionation technology for the oleochemical industry. Paper : Oil and Fats International Congress 2004, World Congress on Oleochemicals 2004, Malaysian Palm Oil Board, Malaysia Leung DYC, Guo Y. 2006. Transesterification of neat and used frying: optimization for biodiesel production. Fuel Processing Technol 87:883 – 900 Ma F, Hanna MA. 2001. Biodiesel Production : Areview. Bioresource Technol 70:77 – 82. MacArthur BW, Brooks B, Sheats WB, Foster NC. 2002. Meeting The Challenge of Methylester Sulfonation. USA: The Chemiton Corporation. Matheson KL. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. In : Soap and detergens : A Theorotical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois. Meher LC, Vidya Sagar D, Naik SN. 2006. Technical Aspects of Biodiesel Produsction by Transesterification – a review. Renewable and Sustainable Energy Rev 10:248 – 268. Mittelbach ML. 1990. Catalyze Alcoholysis of Sunflower Oil. J Am Chem Soc 67(3): 168-170. Mittelbach M, Koncar M. 1994. Process for Preparing Fatty Acid Alkyl Esters. European Patent EP 0708813 B1.
Mujdalipah S. 2010. Proses produksi Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Olein Sawit Menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nantakupa DMH. 2010. Foemulasi Deterjen Cari Berbasis Asam Sebagai Biodegradable Hard Surface Cleaner [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nimcevic D, Puntigam R, Worgetter M, Gapes R. 2000. Preparation of Rapeseed Oil ester of Low Aliphatic Alcohol. J Am Oil Chem Soc 77 (3): 275-280 Palmor JF, penemu. 16 Agustus 2011. Vissualy Enhancing Heavy Duty Degreaser-Cleaning Composition. US patent 7 998 971 B1. Peters MS, Klaus DT, Ronald EW. 2004. Plant Design and Economic Chemichal Engineering. New York: Mc Graw-Hill. Pore J. 1976. Oil and Fats Manual. Intercept Ltd, Andover, New York. Ramadhas AS, Jayaraj S, Muraleedharan C. 2005. Biodiesel production from hight FFA rubber seed oil. Fuel 84: 335 – 340. Roberts DW, Giusti L, Forcella A. 2008. Chemistry of Methyl Ester Sulfonates. Biorenew Res 5:2-19. Rosen MJ 2004. Surfactans and Interfacial Phenomena. Edisi ke-3. New jersey: J Wiley. Sahoo PK, Das LM, Babu MKG, Maik SN. 2007. Biodiesel Development from High acid Value Polanga Seed Oil and Performance Evaluation in a Cl engine. Fuel. 86: 448 – 454. Salunkhe JK, Chavan RN, Adsule SS, Khadam. 1992. World Oilseeds Chemistry, Technology, and Utilization. New York : AVI Book Publ. by van Nostrans Reinhold. Schick MJ. 1987. Nonionic Surfactants Physical Chemistry. New York: Marcel Dekker. Schueller R, Romanousky P. 1998. Cosmetics and Toiletries Magazine: Understanding Emulsions. Illinois: Allured Publishing Corp. Selwyn JA, River F, James OG, penemu; Chemtrust Industries Corporation. 12 Februari 1974. Heavy Duty Exothermic All-Purpose Cleaning Composition. US patent 3 791 977 Sharma YC, Singh B. 2009. Development of biodiesel: Current scenario. Renewable and Sustainable Energy Rev 13:1646 – 1651.
Shaw DJ. 1980. Introduction to Colloid and Surface Chemistry. Butterworhts.
Oxford:
Sheats WB, MacArthur BW. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. USA: The Cheminthon Corporation. Sherry AE, Chapman BE, Creedon MT, Jordan JM, Moese RL. 1995. Nonbleach process for the puryfication of palm C16 – 18 methyl ester sulfonates. J Am Oil Chem Soc 72(7):835 – 841. Sibuea P. 2008. Virgin Coconut Oil: Penyembuh Ajaib dari Buah Kelapa. Bogor: LIPI. Sidik NR. 2009. Kajian Pengaruh Konsentrasi Metil Ester Sulfonat (MES) dan Konsentrasi Alkali (KOH) Terhadap Kinerja Deterjen Cair Industri. [skripsi] Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Smith FD, Stirton J. 1967. Alpha-Sulfonation of Alkyl Palmitates and Strearates. J Am Oil Chem Soc 44:405 – 406. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1999. Metil Ester. Jakarta: SNI No. 06-60481999 Soeharto. 1999. Manajemen Proyek dari Konseptual Sampai Operasional. Jakarta: Erlangga. Stein W, Baumann H. 1974. α-Sulfonated Fatty Acids and Esterss: Manufacturing Process, Properties, and Aplications. J Am Chem Soc 50:322 – 329. Strand DL, Maplewood, Roger LA, penemu; Minnesota Mining and Manifacturing Company. 21 Maret 1972. Heavy Duty Aerosol Cleaner. US patent 3 650 956. Susi. 2010. Proses Aging Pasca Sulfonasi Metil Ester Olein Sawit Menggunakan Singletube Falling. Film Reactor (STFR) dan Pengaruhnya Terhadap Karakteristik MESA. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Swern D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-4 volume ke1. New York: J Wiley. Tadros TF. 1992. Encyclopedia of Physical Science and Technology. Edisi ke-2 volme ke-16. California: Academic Pr, Inc. Umar H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT. Gedia Pustaka Utama.
Vicente G, Martinez M, Aracil J. 2004. Integrated biodiesel production : a comparison of different homogenous catalysts systems. Bioresource Technol 92 : 297 – 305. Watkins C. 2001. All Eyes are on Texas. Inform 12 :1152-1159. Worgetter M, Prankl H, Rathbauer J. 1998. Eigenschaften von Biodiesel. Fachtagung biodiesel. Optimierungspotentiale and Umwelteffekte. Landbauforschung Volkenrode. Sonerhelft 190: 31-43. Yamada K, Matsutani S. 1996. Analysis of the Dark-Colored Impurities in Sulfonated Fatty Acid Methyl Ester. J Am Oil Chem Soc 73:121 – 125.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur analisis metil ester olein 1.
Densitas Biodiesel (SNI 01-2891-1992) Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada suhu 25oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Peralatan yang digunakan adalah piknometer 5 ml. Piknometer dibersihkan dengan cara dibilas dengan aseton kemudian dengan dietil eter. Piknometer kosong diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W0). Piknometer yang bersih dan kering diisi dengan air destilasi yang telah didihkan dan didinginkan pada suhu 20oC dan piknometer disimpan dalam water bath (penangas air) pada suhu konstan 25oC selama 30 menit. Piknometer berisi air diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W1). Catat volume air dalam piknometer (V1). Piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Sampel dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk gelembung udara lalu ditutup. Piknometer bagian luar dikeringkan, kemudian piknometer berisi sampel dimasukkan ke dalam penangas pada suhu konstan 25oC selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan, dan ditimbang (W2). W2 – W0 Densitas
= V1
Keterangan : V1 = volume air dalam piknometer W0 = bobot piknometer kososng W1 = bobot piknometer beserta air W2 = bobot piknometer beserta sampel 2.
Bilangan Iod (AOAC, 1995) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 g di dalam erlenmeyer 200 ml, lalu dilarutkan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan di atas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama 1 jam. Sebagian iodiom akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15%. iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji 1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Balanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak (B-S) x N x 12,69 Bilangan iod = G Keterangan:
B S N G 12,69
= ml Na2S2O3 blanko = ml Na2S2O3 contoh = normalitas Na2S2O3 = berat contoh = berat atom iod/10
3.
Bilangan Penyabunan (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH alkohol 0,5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0,5 – 1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCl 0,5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Lakukan juga blanko.
Bilangan penyabunan =
56,1 x T x (V0 – V1)
m Keterangan: V0 = volume HCl 0,5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml) V1 = volume HCl 0,5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml) M = bobot contoh (g) 4.
Metode Analisis Standar Bilangan Asam, FFA, dan Derajat Asam Biodiesel Sebanyak 19 – 21 ± 0,05 g contoh biodiesel ester alkil ditimbang ke dalam sebuah labu erlenmeyer 250 ml, kemudian 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer tersebut. Dalam keadaan teraduk kuat, larutan isi labu Erlenmeyer dititrasi dengan larutan KOH dalam alkohol sampai kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan paling sedikitnya 15 detik. Volume titran yang dibutuhkan dicatat.
56,1 x V x N Bilangan Asam
= m MxVxN
Kadar FFA
= 10 m 100 x V x N
Derajat Asam
= m
Keterangan : V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi (ml) N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol m = berat contoh biodiesel ester alkil (g)
Lampiran 2. Diagram alir pengolahan methyl ester sulfonic acid
Metil Ester
Fraksinasi
ME C18:1
Sulfonasi ME C16
ME C16
MESA off grade
Generator SO3 MESA SO3 Oksidasi (420-450oC) Burning (700oC) Melting (136oC) Sulfur Supply
Air Supply
Lampiran 3. Prosedur analisis methyl ester sulfonic acid (MESA) 1.
Tegangan Permukaan Metode du Nouy (ASTM D 1331, 2000) Metode pengujian ini dilakukan untuk menentukan tegangan permukaan larutan surfaktan dengan menggunakan alat Tensiometer du Nouy. Peralatan dan wadah contoh yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu. Wadah yang digunakan biasanya terbuat dari bahan gelas dengan diameter lebih besar dari 6 cm. Wadah gelas dicuci dengan larutan chromicsulfuric acid, kemudian dibilas dengan air destilata. Cincin platinum merupakan bagian dari alat Tensiometer, memiliki diameter 4 atau 6 cm. Sebelum digunakan, cincin dicuci terlebih dahulu dengan pelarut yang sesuai dan dibilas dengan air destilata, lalu dikeringkan. Posisi alat diatur supaya horizontal dengan water pas dan diletakkan pada tempat yang bebas dari gangguan, seperti getaran, angin, sinar matahari dan panas. Larutan contoh dimasukkan ke dalam gelas dan diletakkan diatas dudukan (platform) pada Tensiometer. Suhu cairan sampel diukur dan dicatat. Selanjutnya cincin platinum dicelupkan ke dalam sampel tersebut (lingkaran logam tercelup 3 - 5 mm di bawah permukaan cairan), dengan cara menaikkan dudukan (platform). Skala vernier Te nsiometer di set pada posisi nol dan jarum penunjuk harus berada pada posis berimpit dengan garis pada kaca. Selanjutnya platform diturunkan perlahan, dan pada saat yang bersamaan skrup kanan diputar sedemikian rupa sehingga jarum penunjuk tetap berimpit dengan garis pada kaca. Proses ini diteruskan sampai film cairan tepat putus. Pada saat cairan putus skala dibaca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan. Pengukuran dilakukan paling sedikit dua kali. Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan dapat dilakukan dengan menambahkan konsentrasi surfaktan sebanyak 10 persen (dalam air). Nilai tegangan permukaan setelah ditambahkan surfaktan diukur kembali. Kemudian dibandingkan nilai tegangan permukaan air sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan. 2.
Densitas Tahap awal pengukuran densitas minyak ditentukan bobot air terlebih dahulu. Piknometer bersih dan kering ditimbang di dalam neraca analitik dan dicatat bobot piknometer kosong. Kemudian piknometer diisikan dengan air destilasi yang telah didihkan dan dinginkan pada suhu 20oC selama 10 menit dan simpan piknometer dalam water bath bersuhu konstan 25 - 27 oC selama 30 menit. Kemudian piknometer diangkat, dikeringkan, dan ditimbang. Dicatat bobot piknometer berisi air. Dalam tahap kedua tentukan bobot contoh. Contoh yang telah disaring didinginkan sampai suhu 20oC selama 10 menit, lalu dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan tidak terbentuk gelembung udara. Kemudian dikeringkan bagian luar piknometer dan kemudian ditempatkan piknometer dalam water bath bersuhu konstan 25oC selama 30 menit. Setelah itu piknometer diangkat, dikeringkan, dan ditimbang. Dicatat bobot piknometer yang berisi contoh minyak. Kemudian dihitung densitas dari contoh surfaktan. Perhitungan Densitas:
(berat pignometer dan contoh) – (berat pignometer kosong) Densitas = (berat pignometer dan air) – (berta pignometer kosong
3.
Viskositas Pengukuran viskositas atau kekentalan sampel dilakukan dengan pengisian sampel ke dalam gelas piala 250 ml. Penentuan nilai viskositas menggunakan viskometer Brookfield dengan spindel nomor 1 pada putaran 50 rpm jika menggunakan Model RV atau 30 rpm jika menggunakan Model LV viskometer. Steker dipastikan telah dipasang pada power supply. Tombol hitam pada viskometer digunakan sebagai pengontrol on (ke kanan) untuk menyalakan, off untuk mematikan (ke kiri), atau pause (tengah). Viskometer LV dapat diset untuk 4 macam spindel dengan kaki penahan yang lebih sempit; viskometer RV diset untuk 7 macam spindel dengan wadah dengan kaki penahan yang lebih lebar; HA dan HB viskometer diset untuk 7 macam spindel tanpa kaki. Kecepatan (dalam rpm) diatur dengan tombol di bagian atas viskometer pada kecepatan yang diinginkan. Viskometer yang digunakan adalah viskometer LV dengan kecepatan 30 rpm Jarum merah untuk membaca skala dipastikan di titik nol. Gunakan tuas di belakang viskometer untuk mengatur kemiringan sehingga jarum merah berhimpit pada titik nol. Spindel dipasang sesuai kekentalan sampel. Makin kental sampel, makin kecil nomor spindel yang digunakan. Sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Kaki penahan diturunkan tetapi tidak sampai menyentuh dasar gelas piala. Tombol kontrol ditekan on. Saat piringan skala berputar, skala yang ditunjuk jarum merah dibaca pada putaran pertama.
Lampiran 4. Prosedur analisis produk heavy duty cleaner 1.
Stabilitas Emulsi (Acton dan Saffle, 1970) Sejumlah bahan emulsi yang sudah ditimbang seberat 5 g dimasukkan ke dalam wadah alumunium. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45oC selama satu jam, kemudian bersuhu 0 oC selama satu jam. Selanjutnya dipanaskan kembali dalam oven dengan suhu 45oC dan biarkan sampai beratnya konstan. Rumus untuk menghitung stabilitas emulsi adalah sebagai berikut: Berat fase yang tersisa SE (%) =
x 100% Berat total emulsi
2.
Daya Pembusaan dan Stabilitas Busa (Malayasian Palm Oil Board, 2001) Larutan sampel 0,1% sebanyak 200 ml diblender pada kecepatan level satu selama tiga detik, kemudian dimasikkan kedalam gelas ukur 500 ml. Volume busa dicatatsetelah didiamkan 0,5 menit dan 5,5 menit. Nilai daya pembusaan adalah volume busa setelah pendiaman selama 0,5 menit. Stabilitas busa adalah perbandingan volume busa ketika 5,5 menit terhadap volume busa 0,5 menit. 3.
Daya Pencucian Bahan Pengotor pada Pipa (Lynn, 2005, modifikasi) Sampel heavy duty cleaner sebanyak 1% dilarutkan di dalam air dan digunakan sebagai larutan pencuci. Pipa bersih ditimbang dan dihitung sebagai M1. Pipa direndam ke dalam pengotor selama 30 menit dan ditimbang sebagai M2. Pipa kotor direndam dalam larutan pencuci selama 30 menit dan cuci, ditimbang sebagai M3. M3 – M1 Daya deterjensi =
x 100 M1 – M2
Lampiran 5. Proses fraksinasi metil ester olein
Rangkaian fractional distillation system
Metil ester dominan C16 hasil fraksinasi
Lampiran 6. Proses produksi methyl ester sulfonic acid (MESA)
Proses sulfonasi menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (STFR)
MESA hasil sulfonasi metil ester olein
Lampiran 7. Proses pembuatan heavy duty cleaner
Pemanasan MESA (60 – 80oC) sebelum ditambahkan NaOH
Heavy duty cleaner dan produk komersial sebagai pembanding
Lampiran 8. Data hasil penelitian dan hasil analisis ragam terhadap stabilitas emulsi heavy duty cleaner A. Data hasil uji stabilitas emulsi heavy duty cleaner Konsentrasi
Jenis MESA
NaOH
MESA 1
MESA 2
MESA 3
MESA 4
35%
97,90
96,74
99,01
98,11
40%
97,15
97,98
99,29
98,43
45%
99,09
98,52
97,50
99,18
50%
98,75
99,20
98,99
99,49
B. Tabel anova Source of Variation
SS
df
MS
Sample
6,125105
3
2,041702 1,762285 3,238872
Columns
2,823588
3
0,941196 0,812389 3,238872
Interaction
11,33823
9
1,259803 1,087393 2,537667
Within
18,53686
16
1,158554
Total
38,82378
31
Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05
F
F crit
Lampiran 9. Analisis daya pembusaan dan stabilitas busa pada heavy duty cleaner
Larutan heavy duty cleaner 1%
Pengukuran daya pembusaan dan stabilitas busa
Lampiran 10. Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya pembusaan heavy duty cleaner A. Data hasil uji daya pembusaan heavy duty cleaner Konsentrasi
Jenis MESA
NaOH
MESA 1
MESA 2
MESA 3
MESA 4
35%
45,00
9,00
11,50
9,00
40%
52,50
11,00
12,00
10,50
45%
55,00
12,00
14,00
17,50
50%
40,00
17,50
40,00
11,00
B. Tabel anova Source of Variation
SS
df
MS
F
F crit
Sample
235,8438
3
78,61458 0,723829 3,238872
Columns
8129,281
3
Interaction
196,8438
9
21,87153 0,201378 2,537667
Within
1737,75
16
108,6094
Total
10299,72
31
2709,76
24,9496 3,238872
Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05 F hitung > F tabel, berbeda nyata pada α = 0,05
C. Uji lanjut Duncan Duncan Grouping
Mean
MESA
48,438
1
B
12,188
4
B
11,875
3
B
10,875
2
A
Lampiran 11. Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap stabilitas busa heavy duty cleaner A. Data hasil uji stabilitas busa heavy duty cleaner Konsentrasi
Jenis MESA
NaOH
MESA 1
MESA 2
MESA 3
MESA 4
35%
48,21
16,11
17,42
13,75
40%
43,75
13,33
15,56
11,82
45%
46,19
12,50
13,85
9,46
50%
61,90
9,09
10,10
8,85
B. Tabel anova Source of Variation
SS
df
MS
F
F crit
Sample
235,8438
3
78,61458
0,723829
3,238872
Columns
8129,281
3
2709,76
24,9496
3,238872
Interaction
196,8438
9
21,87153
0,201378
2,537667
Within
1737,75 16
108,6094
Total
10299,72 31
Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05 F hitung > F tabel, berbeda nyata pada α = 0,05
C. Uji lanjut Duncan Duncan Grouping
Mean
MESA
50,014
1
B
14,213
3
B
14,226
2
B
10,658
4
A
Lampiran 12. Analisis daya cuci pada heavy duty cleaner
Perendaman pipa dalam pengotor (oli bekas)
Perendaman pipa yang sudah direndam pengotor dalam larutan pencuci (heavy duty cleaner)
Lampiran 13. Data hasil penelitian, hasil analisis anova dan uji lanjut Duncan terhadap daya cuci heavy duty cleaner A. Data hasil uji daya cuci heavy duty cleaner Konsentrasi
Jenis MESA
NaOH
MESA 1
MESA 2
MESA 3
MESA 4
35%
86,11
92,89
88,73
91,31
40%
80,12
91,48
91,56
93,65
45%
82,45
91,05
90,71
92,74
50%
81,42
89,45
92,40
94,73
B. Tabel anova Source of Variation
SS
df
MS
F
F crit
Sample
2,354742
3
0,784914
0,187227 3,238872
Columns
49,89727
3
16,63242
3,967364 3,238872
Interaction
45,42599
9
5,047333
1,20395 2,537667
Within
67,07697
16
4,192311
Total
164,755
31
Keterangan: F hitung < F tabel, tidak berbeda nyata pada α = 0,05 F hitung > F tabel, berbeda nyata pada α = 0,05
D. Uji lanjut Duncan Duncan Grouping
Mean
MESA
A
93,110
4
A
91,217
2
A
90.850
3
82,524
1
B
Lampiran 14. Spesifikasi mesin dan peralatan pada produksi heavy duty cleaner No 1
Nama Mesin dan Peralatan Tangki penyimpanan bahan baku
Jumlah Mesin 1
Spesifikasi
Fungsi
Kapasitas 166,244 m3
Tempat penyimpanan bahan baku metil ester
2
Tangki penyimpanan HDC
2
Kapasitas 331,172 m3 b ahan stainless steel
Tempat penyimpanan produk HDC
3
Tangki masukan metil ester
2
Kapasitas 0,754m3 bahan stainless steel, dilengkapi dengan flow meter, pressure gauge, dan termometer
Tempat penampungan sementara dari tangki penyimpanan metil ester sebelum dialirkan menuju reaktor
4
Fractional distillation system
1
Alat ini dilengkapi dengan boiling vesel, coloumn, condensor, pompa dan tangki air
Tempat proses fraksinasi metil ester olein
5
Single Tube Falling Film Reactor (STFR)
1
Tempat reaksi sulfonasi antara metil ester dengan gas SO3
6
Tangki pematangan
2
Reaktor dilengkapi dengan pressure gauge, termometer dan SO3 flow meter Kapasitas 1,178 m3, bahan stainless steel, dilengkapi pengaduk, pressure gauge,dan termometer
7
Tangki formulasi
2
Kapasitas 1,178 m3, bahan stainless steel, dilengkapi pengaduk, pressure gauge, temometer, dan pompa NaOH otomatis
Tempat reaksi formulasi
8
Srubber
1
Kapasitas 1,178 m3, dilengkapi pH meter
Tempat penanganan limbah oleum dan sisasisa gas
9
Quencher
1
Kapasitas 0,032 m3
Tempat pengenceran gas SO3 dengan udara kering
10
Cyclone
1
Kapasitas 0,032 m3
Tempat mengalirkan sisa-sisa gas sebelum dialirkan menuju scrubber
11
Oil & gas separator
1
Kapasitas 0,130 m3
Tempat pemisahan asam metil ester ulfonat dengan gas SO3
12
Tangki penyimpanan NaOH
1
Kapasitas 6,706 m3
Tempat penyimpanan NaOH
Tempat menyempurnakan reaksi dengan cara pengadukan
Lampiran 15. Penyusutan dan nilai sisa (dalam ribuan rupiah) Komponen
Nilai (Rp)
Nilai sisa (Rp)
Penyusutan (Rp)
Mesin dan Peralatan Tangki penyimpanan bahan baku Tangki penyimpanan HDC Tangki fraksinasi Tangki masukan metil ester Multitube falling film reactor Tangki pematangan Tangki netralisasi Scrubber Quencher Oil & Gas Separator Cyclone Tangki penyimpanan NaOH subtotal
232.100 835.000 295.200 261.400 295.200 151.800 224.400 223.700 3.200 6.500 3.100 34.800 2.566.400
23.210 83.500 29.520 26.140 29.520 15.180 22.440 22.370 320 650 310 3.480 256.640
20.889 75.150 26.568 23.526 26.568 13.662 20.196 20.133 288 585 279 3.132 230.976
Pemipaan subtotal
1.745.152 1.745.152
174.515 174.515
157.064 157.064
Instalasi listrik subtotal
282.304 282.304
28.230 28.230
25.407 25.407
Bangunan Proses produksi Laboratorium Kontrol proses Kantor Pengolahan limbah Penyimpanan bahan baku Penyimpanan produk Bengkel Jalan dan parkir subtotal
30.000 40.000 15.000 127.000 5.000 54.000 96.000 30.000 200.000 597.000
15.000 20.000 7.500 63.500 2.500 27.000 48.000 15.00 0 100.000 298.500
750 1.000 375 3.175 125 1.350 2.400 750 5.000 14.925
Lampiran 15. Penyusutan dan nilai sisa (dalam ribuan rupiah) ...lanjutan Komponen Perlengkapan Perlengkapan kantor Meja kursi pimpinan Meja kursi manajer Meja kursi superviser Meja kursi tenaga pembantu Meja kusi ruang meeting Meja kursi tamu File cabinet Komputer Printer Telepon Faksimili AC Perlengkapan laboratorium Perlengkapan pemeliharaan Perlengkapan keamanan/APD Perlengkapan kebersihan subtotal
Nilai (Rp)
Nilai sisa (Rp)
3.000 7.500 6.000 7.500 3.500 3.300 9.600 40.000 8.000 1.000 1.500 6.000 30.000 5.000 2.000 500 134.400
Penyusutan (Rp)
300 750 600 750 350 330 960 4.000 800 100 150 600 3.000 500 200 50 13.440
270 675 540 675 315 297 864 3.600 720 90 135 540 2.700 450 180 45 12.096
Kendaraan subtotal penyusutan kendaraan
1.050.000 1.050.000
105.000 105.000
94.500 94.500
Total
6.375.256
876.326
534.968
Lampiran 16. Rincian biaya operasional (dalam ribuan rupiah) Komponen Kapasitas Biaya variabel Bahan baku Bahan penolong Utilitas produksi Tenaga kerja langsung Subtotal Biaya tetap Tenaga kerja tidak langsung Kebutuhan administrasi kantor Utilitas kantor Laboratorium Pemeliharaan Asuransi Pajak Distribusi dan Pemasaran Depresiasi Bunga investasi tetap Bunga modal kerja subtotal Total
1 90%
2 90%
Tahun 3 100%
4 100%
5 100%
148.890.150 9.493.251 15.740.609 747.000 174.871.010
148.890.150 9.493.251 15.740.609 747.000 174.871.010
165.433.500 10.548.057 17.489.565 830.000 194.301.122
165.433.500 10.548.057 17.489.565 830.000 194.301.122
165.433.500 10.548.057 17.489.565 830.000 194.301.122
2.025.200 60.000 54.073 49.800 637.296 42.134 7.082 3.627.702 534.968 1.513.398 1.589.898 10.141.780 185.012.790
2.025.200 60.000 54.073 49.800 637.296 42.134 7.082 3.627.702 534.968 1.210.718 794.949 9.044.151 183.915.161
2.025.200 60.000 54.073 49.800 637.296 42.134 7.082 3.627.702 534.968 908.039 7.946.522 202.247.645
2.025.200 60.000 54.073 49.800 637.296 42.134 7.082 3.627.702 534.968 605.359 7.643.843 201.944.965
2.025.200 60.000 54.073 49.800 637.296 42.134 7.082 3.627.702 534.968 302.680 7.341.163 201.642.285
95
96
Lampiran 16. Rincian biaya operasional (dalam ribuan rupiah) ...lanjutan Komponen Kapasitas Biaya variabel Bahan baku Bahan penolong Utilitas produksi Tenaga kerja langsung Subtotal Biaya tetap Tenaga kerja tidak langsung Kebutuhan administrasi kantor Utilitas kantor Laboratorium Pemeliharaan Asuransi Pajak Distribusi dan Pemasaran Depresiasi Bunga investasi tetap Bunga modal kerja subtotal Total
6 100%
7 100%
Tahun 8 100%
9 100%
10 100%
165.433.500 10.548.057 17.489.565 830.000 194.301.122
165.433.500 10.548.057 17.489.565 830.000 194.301.122
165.433.500 10.548.057 17.489.565 830.000 194.301.122
165.433.500 10.548.057 17.489.565 830.000 194.301.122
165.433.500 10.548.057 17.489.565 830.000 194.301.122
2.025.200 60.000 54.073 49.800 637.296 42.134 7.082 3.627.702 534.968 -
2.025.200 60.000 54.073 49.800 637.296 42.134 7.082 3.627.702 534.968 -
2.025.200 60.000 54.073 49.800 637.296 42.134 7.082 3.627.702 534.968 -
2.025.200 60.000 54.073 49.800 637.296 42.134 7.082 3.627.702 534.968 -
2.025.200 60.000 54.073 49.800 637.296 42.134 7.082 3.627.702 534.968 -
7.038.484 201.339.606
7.038.484 201.339.606
7.038.484 201.339.606
7.038.484 201.339.606
7.038.484 201.339.606
Lampiran 17. Neraca masa industri heavy duty cleaner
Metil ester olein 36.763 kg
Udara kering 8,874 kg
Gas dari Pabrik 33.399 kg
Oleum 423 kg
Pengenceran Fraksinasi
Sisa Fraksinasi 22.058 kg
41.854 Gas SO3 7% 41.854
ME olein dominan C16 14.705 kg
Sisa gas 36.763 kg
Sulfonasi 19.796 MESA 19.796
Sisa gas 396 kg
Pematangan 19.400 NaOH 600 kg
Formulasi
HDC 600 kg
No 1 2 3
Komponen Account Receivable Inventory Account Payable Total
No Komponen 1 Account Receivable 2 Inventory 3 Account Payable Total
Hari 45 15 45
produk produk bahan baku
1 2 3 4 5 24.637.500 24.637.500 27.375.000 27.375.000 27.375.000 12.318.750 12.318.750 13.687.500 13.687.500 13.687.500 (18.611.269) (18.611.269) (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188) 18.344.981 18.344.981 20.383.313 20.383.313 20.383.313
Hari 45 15 45
produk produk bahan baku
6 7 8 9 10 27.375.000 27.375.000 27.375.000 27.375.000 27.375.000 13.687.500 13.687.500 13.687.500 13.687.500 13.687.500 (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188) (20.679.188) 20.383.313 20.383.313 20.383.313 20.383.313 20.383.313
98
Lampiran 18. Rincian modal kerja (dalam ribuan rupiah)
Lampiran 19. Proyeksi arus kas (dalam ribuan rupiah) Komponen Penerimaan bersih Laba bersih Depresiasi Nilai sisa subtotal Pengeluaran bersih Investasi + bunga sebelum pembangunan Modal Kerja Angsuran modal investasi tetap Angsuran modal kerja Subtotal Arus kas bersih DF Present value Present value kumulatif
Tahun 0
1
2
3
4
5
-
9.065.408 534.968 9.600.376
9.888.629 534.968 10.423.597
12.564.267 534.968 13.099.235
13.018.276 534.968 13.326.244
13.245.286 534.968 13.553.254
18.674.939
-
-
-
-
-
18.674.939
20.383.313 2.522.329 6.624.577 29.530.218
2.522.329 6.624.577 9.146.906
2.522.329 2.522.329
2.522.329 2.522.329
2.522.329 2.522.329
(18.674.939) 1 (18.674.939) (18.674.939)
(19.929.834) 0,91 (18.118.039) (36.792.978)
1.276.691 0,83 1.055.117 (35.737.861)
10.576.905 0,75 7.946.585 (27.791.276)
10.803.915 0,68 7.379.219 (20.412.056)
11.030.925 0,62 6.849.336 (13.562.720)
99
100
Lampiran 19. Proyeksi arus kas (dalam ribuan rupiah ...lanjutan Komponen 7
Tahun 8
13.245.296 534.968 13.780.264
13.245.296 534.968 13.780.264
13.245.296 534.968 13.780.264
13.245.296 534.968 13.780.264
13.245.296 534.968 876.326 14.656.589
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
13.780.264 0,56 7.778.600 (5.784.121)
13.780.264 0,51 7.171.454 1.287.334
13.780.264 0,47 6.428.595 7.715.928
13.780.264 0,42 5.844.177 13.560.105
14.656.589 0,39 5.650.750 19.210.855
6 Penerimaan bersih Laba bersih Depresiasi Nilai sisa subtotal Pengeluaran bersih Investasi + bunga sebelum pembangunan Modal Kerja Angsuran modal investasi tetap Angsuran modal kerja Subtotal Arus kas bersih DF Present value Present value kumulatif
9
10