PRODUKSI DAN FORMULASI SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT DARI OLEIN SAWIT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY
MIRA RIVAI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Produksi dan Formulasi Surfaktan Berbasis Metil Ester Sulfonat dari Olein Sawit untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery adalah benar hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, November 2011
Mira Rivai F.361064011
ABSTRACT MIRA RIVAI. Production and Formulation of Methyl Ester Sulfonate-Based Surfactant from Palm Olein for Enhanced Oil Recovery Application. Under supervision of TUN TEDJA IRAWADI, ANI SURYANI, and DWI SETYANINGSIH. The remaining oil in a reservoir that cannot be produced using the natural driving force (primary recovery) is about 50 to 80% of the initial oil volumes (IOIP). A secondary recovery technique such as waterflooding can only increase the recovery as much as 5 to 20% of the IOIP. Therefore, a method known as Enhanced Oil Recovery (EOR) has to be implemented in the reservoir in the effort to recover much more oil. One of the EOR methods is surfactant injection. The injection of surfactant solution is aimed to significantly reduce the capillary forces in the reservoir by lowering the oil-water interfacial tension within the pore spaces. Once the capillary force is diminished, the reservoir oil is much easier to be displaced and moved toward the production wells. This is an excellent opportunity to develop a type of vegetable oil-based surfactants. One of potential surfactant types to develop is methyl ester sulphonate surfactant (MES). This study was aimed at producing MES surfactant and formula-based methyl ester sulfonate surfactant from palm olein to be applied for in the process of improving oil recovery using carbonate formation fluids. Results of the study showed that the best condition was achieved in a sulphonation process done in 3-4 hours with the flowrate of dry air of 1.8 kg/hour and a purification performed without the addition of methanol in a pH of 8. The best MES surfactant-based formula for EOR applications on the formation of carbonate was the one with the composition of 0.3% MES surfactant, 0.3% Na2CO3, and 15,000 ppm salinity. MES surfactant produced from this formula had more heat resistance, higher salinity, and higher hardness than the commercial surfactants did. Results of the performance test of surfactant-based formula showed that the MES surfactant formula was compatible with formation water and injection water. The formed phase was a lower phase which was relatively stable on a heating up to day 77 (reservoir temperature of 70 and 112 °C) with a range of interfacial tension of 10-2 dynes/cm. The adsorption reached 152.86 µg active matter/g core and the incremental oil recovery using synthetic core of 8-19% and using native core of 9.1%. Surfactant solution coreflooding test with bottom-up flow direction resulted in a greater oil recovery (16%) than that with top-down flow direction. This was caused by the influence of gravity. Keywords: MES production, formulation, MES surfactant-based formula, performance test, carbonate formation.
RINGKASAN MIRA RIVAI. Produksi dan Formulasi Surfaktan Berbasis Metil Ester Sulfonat dari Olein Sawit untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery. Dibimbing oleh TUN TEDJA IRAWADI, ANI SURYANI dan DWI SETYANINGSIH. Sisa minyak di dalam reservoir pada proses produksi minyak bumi menggunakan tenaga pendorong alamiah (primary recovery) yang tidak dapat diproduksikan berkisar antara 50-80 % dari volume minyak mula-mula. Setelah reservoir dengan tenaga pendorong alamiah (primary recovery) dan secondary recovery sudah tidak dapat mendorong minyak untuk naik ke permukaan, maka untuk memproduksikan sisa minyak yang tertinggal perlu diterapkan metode peningkatan perolehan minyak tahap lanjut yang dikenal dengan istilah Enhanced Oil Recovery (EOR). Salah satu metode EOR yang digunakan yaitu injeksi kimia menggunakan surfaktan. Injeksi surfaktan merupakan salah satu cara untuk mengurangi sisa minyak yang masih tertinggal di dalam reservoir dengan cara menginjeksikan suatu zat aktif permukaan ke dalam reservoir sehingga tegangan antarmuka minyak-air dapat diturunkan. Dengan turunnya tegangan antarmuka maka tekanan kapiler pada daerah penyempitan pori-pori batuan reservoir dapat dikurangi sehingga minyak yang terperangkap dalam pori-pori dapat dapat dilarutkan dalam bentuk mikroemulsi dan diproduksikan. Agar dapat menguras minyak yang masih tersisa secara optimal maka diperlukan jenis surfaktan yang sesuai dengan kondisi air formasi dan reservoir tersebut. Hal ini merupakan peluang yang sangat baik untuk mengembangkan jenis surfaktan berbasis minyak nabati. Berdasarkan ketersediaannya, bahan baku minyak nabati yang dapat dimanfaatkan adalah minyak sawit. Hal ini mengingat potensi sawit Indonesia saat ini sangat besar, pada tahun 2010 total produksi CPO Indonesia mencapai sekitar 20 juta ton. Salah satu jenis surfaktan yang potensial untuk dikembangkan yaitu surfaktan metil ester sulfonat (MES). Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan surfaktan MES dan formula surfaktan berbasis MES dari olein sawit untuk aplikasi pada proses peningkatan perolehan minyak bumi menggunakan fluida karbonat. Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah (1) Kajian proses produksi surfaktan metil ester sulfonat berbasis olein sawit menggunakan reaktor Singletube Film Sulfonation Reactor (STFR), (2) Formulasi surfaktan MES meliputi penentuan konsentrasi surfaktan MES, penentuan salinitas optimum, pemilihan aditif dan co-surfaktan, dan (3) Uji kinerja formula surfaktan berbasis MES meliputi uji kompatibilitas, kelakuan fasa, uji ketahanan panas, uji filtrasi, uji adsorpsi dan uji core flooding skala laboratorium. Hasil kajian kondisi proses produksi surfaktan MES untuk fluida formasi karbonat menunjukkan bahwa kondisi terbaik dicapai pada lama proses sulfonasi 3-4 jam, adanya penambahan laju udara kering 1,8 kg/jam dan pemurnian dilakukan tanpa penambahan metanol dengan pH 8. Kondisi terbaik ini menghasilkan surfaktan MES yang memiliki karakteristik tegangan antarmuka pada air formasi 7,46x10-3 dyne/cm, tegangan antarmuka pada air injeksi 1,49x10-2 dyne/cm, bilangan iod 16,10 mg iod/g sampel, kandungan bahan aktif 4,63 persen, kestabilan emulsi berkisar 0,8 persen, viskositas 99,90 cP, warna
280,5 klett. Semakin tinggi laju udara kering yang ditambahkan maka nilai bilangan iod dan bahan aktif semakin meningkat, sementara nilai viskositas dan warna semakin menurun. Jika pH surfaktan mendekati nilai pH fluida formasi, maka nilai tegangan antarmuka fluida yang dihasilkan semakin rendah. Formula surfaktan berbasis MES terbaik untuk aplikasi EOR pada formasi karbonat adalah formula dengan komposisi surfaktan MES 0,3%, Na2CO3 0,3% dan salinitas 15.000 ppm. Surfaktan MES yang dihasilkan memiliki sifat lebih tahan panas, salinitas dan kesadahan tinggi dibanding surfaktan komersial. Surfaktan MES yang dilarutkan pada fluida formasi memberikan nilai tegangan antarmuka fluida yang lebih baik ketika digunakan secara tunggal dibanding jika dikombinasikan dengan surfaktan komersial. Uji kinerja formula surfaktan berbasis MES menunjukkan bahwa formula surfaktan kompatibel dengan air formasi dan air injeksi, fasa yang terbentuk adalah fasa bawah, relatif stabil pada pemanasan hingga hari ke-77 (suhu reservoir 70 dan 112oC) dengan kisaran tegangan antarmuka 10-2 dyne/cm, adsorpsi mencapai 152,86 µg bahan aktif/g core serta incremental oil recovery setelah injeksi air (water flooding) menggunakan core sintetik sebesar 8-19% dan menggunakan native core sebesar 9,1%. Uji core flooding larutan surfaktan dengan arah flow dari bawah ke atas menghasilkan oil recovery yang lebih besar (16%) dibanding flow dari atas ke bawah, dipengaruhi karena adanya gaya gravitasi. Kata kunci: produksi MES, formulasi, formula berbasis surfaktan MES, uji kinerja, formasi karbonat.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya: a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; b. pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
PRODUKSI DAN FORMULASI SURFAKTAN BERBASIS METIL ESTER SULFONAT DARI OLEIN SAWIT UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY
MIRA RIVAI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Sidang Tertutup Luar Komisi : 1. Prof. Dr. Ir. Pudji Permadi (Dept. Teknik Perminyakan ITB) 2. Dr. Ir. Zaenal Alim Mas’ud, DEA (Dept. Kimia, FMIPA-IPB) Penguji Sidang Terbuka Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Putu Suarsana (Manager Reservoir EOR PT Pertamina EP) 2. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto (Dept. Teknologi Industri Pertanian, Fateta, IPB)
Judul Disertasi
: Produksi dan Formulasi Surfaktan Berbasis Metil Ester Sulfonat dari Olein Sawit untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery
Nama
: Mira Rivai
Nomor Induk Mahasiswa : F.361064011
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi Ketua
Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Anggota
Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Machfud, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian : 18 November 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya maka Disertasi yang berjudul Produksi dan Formulasi Surfaktan Berbasis Metil Ester Sulfonat dari Olein Sawit untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada : 1.
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, nasehat dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
2.
Prof. Dr. Ir. Pudji Permadi dan Dr. Zaenal Alim Mas’ud selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Putu Suarsana dan Dr. Ir. Liesbetini Hartoto selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, atas pengarahan, masukan dan koreksi yang diberikan demi kesempurnaan disertasi ini.
3.
Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan dan Wakil Dekan Fateta IPB, Dr. Ir. Machfud, MS selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian IPB, Dr. Ir. Titi C. Sunarti yang mewakili Program Studi pada sidang tertutup atas kritik dan saran yang diberikan demi perbaikan disertasi ini, dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan curahan ilmu dan pengalamannya selama penulis menempuh pendidikan di IPB serta staf administrasi Departemen Teknologi Industri Pertanian atas bantuan yang diberikan selama pendidikan.
4.
Yayasan Eka Tjipta Foundation (ETF) Sinar Mas atas beasiswa pendidikan yang diberikan sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan program doktor.
5.
Prof. Dr. Erliza Hambali, selaku Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi beserta seluruh dosen peneliti Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi LPPM IPB atas kesempatan dan semangat yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan.
6.
Pimpinan PT Findeco Jaya, Pimpinan PT Mahkota Indonesia, Ir. Edi Zulchaidir, selaku Plant Manager PT Findeco Jaya, Ir. Hermansyah Handoko selaku Manajer Produksi PT Mahkota Indonesia beserta staf dan operator atas bantuan teknis, fasilitas, bimbingan dan informasi yang diberikan kepada penulis selama melaksanakan penelitian.
7.
Ayah Rivai Rajo Batuah (alm) dan Ibu Yulinar (alm), Bapak Mertua Suman dan Ibu Djulianis, beserta seluruh kakak dan kakak ipar, adik dan adik ipar serta keponakan yang menjadi anggota keluarga besar Rivai Rajo Batuah dan keluarga besar Suman yang terlalu banyak untuk disebutkan satu per satu, yang telah memberikan doa restu, dorongan dan motivasi. Terkhusus suami tercinta Capt. Nofrizal, S.Sit, M.Mar atas dukungan, doa dan kasih sayangnya yang selalu mendorong dan menyemangati penulis untuk menyelesaikan pendidikan dengan baik.
8.
Seluruh staf peneliti dan teknisi SBRC LPPM IPB dan terkhusus kepada seluruh staf peneliti dan teknisi Tim Surfaktan SBRC LPPM IPB atas kerjasama, bantuan dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini.
9.
Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri Pertanian, terkhusus angkatan tahun 2006 dan 2007, serta para sahabat atas kebersamaan selama menempuh pendidikan.
10.
Kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan hingga selesainya disertasinya ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu disampaikan terima kasih. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan industri hilir
kelapa sawit, industri perminyakan dan bagi kemajuan riset di Indonesia.
Bogor, November 2011
Mira Rivai
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 27 Mei 1977 dari pasangan Ayah Rivai Rajo Batuah (alm) dan Ibu Yulinar. Penulis merupakan anak ke dua belas dari empat belas bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD Mardisiwi II Padang pada tahun 1990, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 8 Padang pada tahun 1993, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN I Bogor pada tahun 1996. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan studi pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui jalur USMI dan lulus pada bulan Februari 2001. Pendidikan pascasarjana program Magister (S2) ditempuh pada bulan Agustus 2001 pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana program Doktoral (S3) dengan biaya dari Yayasan ETF Sinar Mas. Pada tahun 2004 penulis bergabung dengan PT Adev Prima Mandiri hingga tahun 2009.
Tahun 2006 penulis bergabung dengan Pusat Penelitian
Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) LPPM IPB sebagai staf peneliti hingga sekarang.
Penulis menikah dengan Capt. Nofrizal, S.Sit, M.Mar yang telah
memiliki dua orang anak, Nabilah Maisie Aviora (8 tahun) dan Rafi Rizal Ramdani (6 tahun) pada tanggal 30 April 2010.
DAFTAR ISTILAH Air Formasi Air Injeksi
Batuan Reservoir Cadangan Terbukti (Proven) CBS CPO Emulsifier EOR
Fasa
Gaya Adhesi Gaya Kohesi IFT Initial oil in place/initial gas in place
kbpd OOIP PFAD PKO Saturasi
: Fluida yang secara alami terkandung pada reservoir. : Fluida yang digunakan untuk menginjeksikan surfaktan ke dalam reservoir, biasanya berupa air formasi ataupun campuran air formasi dengan fluida yang tersedia di lingkungan (air sumur, air sungai). : Suatu batuan berpori-pori dan permeable tempat minyak dan atau gas bergerak serta berakumulasi. : Jumlah fluida hidrokarbon yang dapat diproduksikan yang jumlahnya dapat dibuktikan dengan derajat kepastian yang tinggi. : Cocoa Butter Substitute. : Crude Palm Oil; minyak sawit kasar. : Bahan pengemulsi. : Enhanced Oil Recovery; produksi tahap lanjut, dengan injeksi panas (huff puff, steam (uap), in situ combustion), injeksi bahan (kimia, surfactant, polimer), injeksi terlarut (miscible) menggunakan gas CO2 dan lainnya. : Bagian dari sistem yang sifat-sifatnya homogen dalam komposisi, memiliki batas permukaan secara fisik serta terpisah secara mekanis dengan fasa lainnya yang mungkin ada. : Gaya tarik menarik antara molekul-molekul yang tidak sejenis. : Gaya tarik menarik antara molekul-molekul yang sejenis. : Interfacial tension; tegangan antarmuka dengan satuan N/mN atau dyne/cm. : Awal isi minyak atau gas; yaitu jumlah minyak atau gas dalam suatu reservoir yang dihitung secara volumetris berdasarkan data geologi serta pemboran, atau material balance berdasarkan data sifat-fisik fluida dan batuan reservoir produksi serta ulah/kelakuan reservoir, atau dapat juga dengan cara perhitungan simulasi reservoir. : kilo barrel per day : Original Oil in Place; besarnya kandungan minyak yang ada pada satu lapangan. : Palm Fatty Acid Distillate. : Palm Kernel Oil; minyak inti sawit. : Perbandingan volume fluida terhadap volume pori-pori batuan.
Secondary Recovery
Slug surfaktan Surfactant Permeabilitas
Porositas
Primary Recovery RBDPO RBDPS Remaining reserves Wettability
: Produksi tahap kedua (sekunder), berlangsung dengan menjaga kestabilan dan/atau menambah tenaga reservoir secara langsung yaitu dengan menginjeksikan air atau gas pada suatu sumur, untuk kemudian memproduksikannya dari sumur lainnya. : Larutan surfaktan dengan fluida formasi : Surface active agent atau surfaktan, yaitu bahan aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida-fluida, fluida-solid, fluida-gas. : Suatu ukuran kemampuan batuan berpori untuk melalukan fluida (memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain). Permeabilitas dinyatakan dalam Darcy atau mdarcy. 1 Darcy ialah ukuran kemampuan batuan untuk melalukan fluida pada kecepatan 1 cm3/detik dengan viskositas 1 centipoise melalui penampang pipa/pori 1 cm2 sepanjang 1 cm pada perbedaan tekanan sebesar 1 atmosfir. : Suatu besaran yang menyataan perbandingan antara volume ruang kosong (pori-pori) di dalam batuan terhadap volume total batuan (bulk volume). Porositas dinyatakan dalam fraksi ataupun dalam persen (%). : Produksi tahap awal; berlangsung secara alamiah yaitu produksi yang terjadi karena tenaga reservoir tersebut mampu untuk mengangkat fluida ke permukaan. : Refined Bleached Deodorized Palm Olein. : Refined Bleached Deodorized Palm Stearin. : Jumlah sisa cadangan setelah diproduksikan pada suatu saat. : Kecenderungan suatu fluida untuk menyebar atau menempel pada permukaan padatan dengan adanya fluida lain yang immiscible. Batuan bersifat water-wet berarti batuan tersebut lebih mudah dibasahi oleh air daripada minyak, sementara batuan oil-wet maksudnya batuan tersebut lebih mudah dibasahi oleh minyak daripada oleh air.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL............................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xv
I. PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang....... ...........................................................................
1
1.2. Tujuan Penelitian ..............................................................................
5
1.3. Ruang Lingkup..................................................................................
5
II. TINJAUAN PUSTAKA …… ...................................................................
7
2.1. Minyak Sawit ....................................................................................
7
2.2. Proses Transesterifikasi.....................................................................
8
2.3. Surfaktan ...........................................................................................
10
2.4. Surfaktan MES ..................................................................................
12
2.5. Proses Sulfonasi ................................................................................
14
2.6. Enhanced Oil Recovery (EOR) .........................................................
21
2.7. Kegunaan Surfaktan dalam Proses EOR...........................................
25
III. METODOLOGI PENELITIAN.................................................................
33
3.1. Kerangka Pemikiran..........................................................................
33
3.2. Hipotesis............................................................................................
34
3.3. Bahan dan Alat..................................................................................
35
3.4. Tahapan Penelitian ............................................................................
36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................
47
4.1. Karakterisasi Bahan Baku Olein dan ME Olein ...............................
47
4.2. Penentuan Lama Proses Sulfonasi Metil Ester Olein Menggunakan Reaktor STFR ...................................................................................
52
4.3. Pengaruh Penambahan Metanol pada Proses Re-esterifikasi Surfaktan MES ..................................................................................................
59
4.4. Perbaikan Proses Produksi Surfaktan MES ......................................
61
4.4.1. Tegangan Antarmuka ............................................................
62
4.4.2. Bilangan Iod ..........................................................................
67
4.4.3. Kandungan Bahan Aktif........................................................
70
ix
4.4.4. Kestabilan Emulsi..................................................................
72
4.4.5. Viskositas ..............................................................................
73
4.4.6. Analisa Warna .......................................................................
75
4.4.7. Uji FTIR (Fourier Transform Infrared) ................................
77
4.5. Formulasi Surfaktan MES pada Proses Enhanced Oil Recovery ......
80
4.5.1. Penentuan Konsentrasi Surfaktan MES.................................
80
4.5.2. Penentuan Salinitas Optimal..................................................
81
4.5.3. Pemilihan Aditif ....................................................................
86
4.5.4. Pemilihan Co-Surfaktan ........................................................
90
4.5.5. Beberapa Formula Surfaktan Berbasis MES yang Dihasilkan untuk EOR .............................................................................
92
4.6. Uji Kinerja Formula Surfaktan Berbasis MES untuk Aplikasi pada EOR ...................................................................................................
94
4.6.1. Uji Kompatibilitas .................................................................
94
4.6.2. Uji Kelakuan Fasa .................................................................
97
4.6.3. Uji Ketahanan terhadap Panas (Thermal Stability Test)........
97
4.6.4. Uji Filtrasi.............................................................................. 100 4.6.5. Uji Adsorpsi........................................................................... 102 4.6.6. Uji Core Flooding Skala Laboratorium ................................ 105 V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 109 5.1. Kesimpulan........................................................................................ 109 5.2. Saran .................................................................................................. 110 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 111 LAMPIRAN ..................................................................................................... 117
x
DAFTAR TABEL 1.
Komposisi asam lemak beberapa produk sawit......................................
8
2.
Data ekspor surfaktan Indonesia tahun 2005-2009 ................................
12
3.
Data impor surfaktan Indonesia tahun 2005-2009 .................................
12
4.
Perbandingan kualitas bahan baku metil ester untuk produksi MES .....
15
5.
Klasifikasi porositas reservoir ................................................................
22
6.
Klasifikasi permeabilitas reservoir .........................................................
22
7.
Klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan ..............
23
8.
Klasifikasi metode EOR berdasarkan fluida injeksi...............................
24
9.
Hasil analisis olein dan ME olein sawit..................................................
48
10.
Karakteristik MESA yang dihasilkan dari lama sulfonasi 1 – 6 jam......
56
11.
Karakteristik MES yang dihasilkan dari lama sulfonasi 1 – 6 jam ........
56
12.
Hasil analisis fluida formasi karbonat yang digunakan .........................
62
13.
Pendeteksian gugus fungsi sulfonat, sulfon dan disalt ...........................
78
14.
Tampilan droplet minyak bumi pada pengukuran nilai tegangan antarmuka dengan penambahan aditif ....................................................
88
15.
Perbandingan nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan beberapa surfaktan komersial yang dilarutkan pada air formasi (AF), air injeksi (AI) dan air demineralisasi (AD) ................................................ 91
16.
Hasil pengamatan uji kompatibilitas surfaktan MES dengan air formasi
95
17.
Hasil pengamatan uji kompatibilitas surfaktan MES dengan air injeksi
95
18.
Hasil uji coreflooding larutan surfaktan setelah injeksi air .................... 106
19.
Hasil uji coreflooding larutan surfaktan dengan perbedaan arah flow injeksi...................................................................................................... 107
xi
xii
DAFTAR GAMBAR 1.
Neraca massa pengolahan kelapa sawit ..................................................
7
2.
Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol...............................
9
3.
Struktur kimia metil ester sulfonat (Watkins, 2001)...............................
12
4.
Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungermann, 1979) ................................................................................
15
5.
Stoikiometri sulfonasi ME (Roberts et al., 2008) ...................................
18
6.
Hubungan bilangan kapiler terhadap Sor (Stegemeier, 1977) ................
26
7.
Perubahan kelakuan fasa akibat perubahan salinitas (Sheng, 2011).......
28
8.
Tahapan kegiatan penelitian yang dilaksanakan .....................................
37
9.
Diagram alir proses transesterifikasi olein sawit ....................................
38
10.
Diagram alir penentuan lama proses sulfonasi........................................
40
11.
Skema STFR yang digunakan.................................................................
40
12.
Diagram alir kajian penambahan metanol pada proses pemurnian MES
41
13.
Diagram alir perbaikan kondisi proses produksi MES ...........................
43
14.
Contoh produk surfaktan MES yang dihasilkan .....................................
53
15.
Mekanisme reaksi pembentukan MES selama proses sulfonasi (Ghazali, 2002)........................................................................................
54
Mekanisme reaksi pembentukan hasil samping (Stein dan Baumann, 1974).....................................................................
54
Tegangan antarmuka minyak-air formasi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH........................................
63
Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH........................................
66
19.
Reaksi pembentukan gugus sulfonat pada ikatan rangkap .....................
68
20.
Bilangan iod surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH ..
69
21.
Kandungan bahan aktif surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH..........................................................................................
71
22.
Viskositas surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH......
74
23.
Warna surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH............
76
16. 17. 18.
xiii
24.
Perbandingan hasil uji FTIR metil ester olein dan MES terbaik pada rentang bilangan gelombang 400-4000 cm- ............................................
79
Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES pada berbagai konsentrasi .............................................
80
Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan larutan MES pada berbagai salinitas ...................................................................
82
27.
Densitas larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas ................
84
28.
Nilai pH larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas ................
85
29.
Viskositas larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas..............
85
30.
Contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambah NaOH ......
86
31.
Contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambah Na2CO3 ....
86
32.
Tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan MES dan salinitas 15.000 ppm pada berbagai konsentrasi aditif............................
87
Nilai pH larutan MES dengan salinitas 15.000 ppm pada berbagai konsentrasi aditif .....................................................................................
89
Densitas larutan MES dengan salinitas 15.000 ppm pada berbagai konsentrasi aditif .....................................................................................
90
Nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan formula berbasis MES, salinitas 15.000 ppm dan Na2CO3 0,3% dengan variasi surfaktan komersial .................................................................................
93
36.
Tampilan larutan surfaktan MES-air formasi pada uji kompatibilitas....
96
37.
Tampilan larutan surfaktan MES-air injeksi pada uji kompatibilitas .....
96
38.
Hasil uji kelakuan fasa larutan surfaktan-minyak bumi pada suhu reservoir ..................................................................................................
97
Terbentuknya endapan pada larutan formula surfaktan selama pemanasan pada uji thermal stability.....................................................
98
40.
Reaksi pengendapan sadah......................................................................
99
41.
Perubahan nilai tegangan antarmuka akibat pemanasan ........................ 100
42.
Nilai filtrasi rasio (FR) air demineralisasi (AD), air formasi (AF), dan larutan formula surfaktan pada suhu ruang menggunakan berbagai ukuran pori media filtrasi........................................................................ 101
43.
Kurva standar absorbansi surfaktan MES tanpa methylene blue ............ 103
44.
Kurva standar absorbansi surfaktan MES menggunakan methylene blue 104
45.
Adsorpsi bahan aktif menggunakan metode titrasi dua fasa................... 104
25. 26.
33. 34. 35.
39.
xiv
DAFTAR LAMPIRAN 1.
Prosedur Analisis Bahan Baku Olein Sawit ........................................... 119
2.
Prosedur Analisis Metil Ester ................................................................. 121
3.
Perhitungan Laju Alir ME Olein dan SO3 .............................................. 126
4.
Prosedur Analisis Surfaktan MES .......................................................... 127
5.
Prosedur Analisis Kinerja Formula Surfaktan Berbasis MES................ 130
6.
Peralatan dan Instrumen Analisis yang Digunakan ................................ 132
7.
Rekapitulasi Data Hasil Analisis Berbagai Parameter MESA dan MES ................................................................................................. 138
8.
Rekapitulasi Sidik Ragam Hasil Analisis Berbagai Parameter MESA Olein ....................................................................................................... 142
9.
Rekapitulasi Sidik Ragam Hasil Analisis Berbagai Parameter MES Olein ....................................................................................................... 143
10.
Hasil Analisis Pengaruh Penambahan Metanol pada Proses Reesterifikasi .......................................................................................... 144
11.
Perbandingan Karakteristik Air Formasi dan Air Injeksi yang Digunakan............................................................................................... 145
12.
Rekapitulasi Data Analisis Hasil Perbaikan Proses Produksi MES Terhadap Mutu MES .............................................................................. 146
13.
Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Berbagai Parameter MES Olein Hasil Perbaikan Proses ....................................... 151
14.
Data Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Injeksi Setelah Penambahan Surfaktan MES pada Beberapa Konsentrasi ..................... 158
15.
Rekapitulasi Data Analisis Salinitas Optimal pada Berbagai Parameter Ukurnya ................................................................................. 159
16.
Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Penentuan Salinitas Optimal pada Berbagai Parameter Ukurnya ............................ 162
17.
Rekapitulasi Data Analisis Pemilihan Aditif Berdasarkan Berbagai Parameter Ukurnya ................................................................................. 166
18.
Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Pemilihan Jenis dan Konsentrasi Aditif pada Berbagai Parameter Ukurnya......... 168
19.
Rekapitulasi Hasil Analisis Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Setelah Penambahan Surfaktan Komersial............................................. 171
20.
Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Setelah Penambahan Formula Surfaktan Berbasis MES yang Dihasilkan.............................................. 174
21.
Hasil Pengamatan Pengujian Ketahanan Larutan Surfaktan terhadap Panas ....................................................................................................... 175
xv
22.
Hasil Uji Filtrasi Air Demineralisasi, Air Formasi dan Larutan Formula Surfaktan ................................................................................................. 176
23.
Proses Pembuatan Core Sintetik ............................................................. 178
24.
Rekapitulasi Data Hasil Uji Adsorpsi (Metode Absorbansi) .................. 179
25.
Hasil Uji Adsorpsi Titrasi Dua Fasa ....................................................... 180
26.
Data Dimensi Core yang Digunakan pada Uji Coreflooding ................. 182
27.
Proses Persiapan dan Tahapan Uji Coreflooding.................................... 183
28.
Hasil Uji Coreflooding Larutan Surfaktan Setelah Injeksi Air............... 185
29.
Hasil Uji Coreflooding Larutan Surfaktan dengan Perbedaan Arah Flow Injeksi Menggunakan Core Sintetik ....................................................... 186
xvi
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Menurut BP Statistical Review 2011, sejak tahun 2003 untuk pertama
kalinya Indonesia mengalami defisit minyak dimana tingkat konsumsi lebih tinggi dibanding tingkat produksi. Pada tahun 2010 produksi minyak Indonesia hanya 986 kbpd sementara tingkat konsumsi melonjak hingga menembus angka 1.304 kbpd atau defisit 318 kbpd. Tingkat konsumsi akan semakin meningkat dengan adanya pertumbuhan populasi dan meningkatnya ekonomi. Data KESDM (2011) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 23 tahun diprediksi cadangan minyak bumi Indonesia akan habis dengan asumsi tidak ada penemuan cadangan baru. Rendahnya kemampuan produksi minyak bumi Indonesia disebabkan karena lapangan minyak Indonesia yang berjumlah sekitar 14.000 buah (dimana satu lapangan minyak memiliki sekitar 100-200 sumur minyak) pada umumnya sudah merupakan sumur-sumur tua (mature fields), sehingga produksi minyaknya rendah dengan water cut tinggi mencapai 98-99%. Sumur-sumur tua tersebut pada umumnya telah melewati masa puncak produksi. Berdasarkan data Dirjen Migas (2007), hingga tahun 2007 total original oil in place (OOIP) Indonesia mencapai 64.211 BSTB (Billion Stock-Tank Barrels), dimana 31,80% berhasil diproduksikan secara kumulatif, dan diperkirakan remaining reserves hanya sebesar 5,72%, sedangkan sisanya sebesar 62,49% merupakan minyak sisa (residual oil) yang merupakan target enhanced oil recovery (EOR). Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan atas tiga fase, yaitu fase primer (primary recovery), fase sekunder (secondary recovery) dan fase tersier (tertiary recovery). Sisa minyak di dalam reservoir pada proses produksi minyak bumi menggunakan tenaga pendorong alamiah (primary recovery) yang tidak dapat diproduksikan berkisar antara 60-70 % dari volume minyak mulamula. Setelah reservoir dengan tenaga pendorong alamiah (primary recovery) dan secondary recovery sudah tidak dapat mendorong minyak untuk naik ke permukaan, maka untuk memproduksikan sisa minyak yang tertinggal perlu diterapkan metode peningkatan perolehan minyak tahap lanjut (tertiary recovery) yang dikenal dengan istilah enhanced oil recovery (EOR). Salah satu metode
2
EOR yang digunakan yaitu injeksi kimia
menggunakan surfaktan.
Injeksi
surfaktan merupakan salah satu cara untuk mengurangi sisa minyak yang masih tertinggal di dalam reservoir dengan cara menginjeksikan suatu zat aktif permukaan ke dalam reservoir sehingga tegangan antarmuka minyak-air dapat diturunkan. Dengan turunnya tegangan antarmuka maka tekanan kapiler pada daerah penyempitan pori-pori batuan reservoir dapat dikurangi sehingga minyak yang terperangkap dalam pori-pori dapat didesak dan dialirkan ke sumur produksi. Agar dapat menguras minyak yang masih tersisa secara optimal maka diperlukan jenis surfaktan yang sesuai dengan kondisi air formasi dan reservoir tersebut. Selama ini surfaktan yang umum digunakan pada industri perminyakan merupakan surfaktan berbasis petroleum yang diimpor dengan harga USD 2500 – 4000 per ton. Salah satu surfaktan berbasis petroleum yang banyak digunakan adalah petroleum sulfonat. Sifat beberapa surfaktan berbasis petroleum adalah tidak tahan pada air formasi dengan tingkat kesadahan, salinitas dan suhu tinggi, sehingga surfaktan jenis ini mengalami kendala (menggumpal) saat diaplikasikan pada sumur-sumur minyak Indonesia yang sebagian besar memiliki karakteristik salinitas 5.000 – 40.000 ppm dan kesadahan (> 500 ppm) yang tinggi sehingga dikhawatirkan akan merusak batuan formasi.
Selain itu surfaktan petroleum
sulfonat sifat deterjensinya akan menurun secara drastis pada air sadah. Menurut Carrero et al. (2006), chemical flooding dengan memanfaatkan surfaktan dapat meningkatkan sekitar 30-55% dari 60-70% OOIP.
Hingga saat ini aplikasi
surfaktan untuk EOR yang telah dilakukan pada industri perminyakan di Indonesia masih pada tahap ujicoba skala pilot seperti yang dilakukan Chevron di Minas dan Medco di Kaji Semoga, belum sampai pada tahap full scale di lapangan. Hal ini merupakan peluang yang sangat baik untuk mengembangkan jenis surfaktan berbasis minyak nabati.
Berdasarkan ketersediaannya, bahan baku
minyak nabati yang dapat dimanfaatkan adalah minyak sawit. Hal ini mengingat potensi sawit Indonesia saat ini sangat besar, pada tahun 2010 total produksi CPO Indonesia mencapai sekitar 20 juta ton (Ditjenbun, 2011). Mengingat hingga saat ini industri hilir sawit yang sudah berkembang di Indonesia yaitu industri minyak inti sawit, stearin, RBD PO, margarin, shortening, RBD Palm Stearine,
3
CBS/CBE, creaming fats, vegetable ghee, fatty alcohol, fatty acid dan biodiesel, maka potensi minyak sawit Indonesia perlu ditingkatkan dengan mengembangkan produk hilirnya yang bernilai tambah lebih tinggi, yaitu surfaktan. Salah satu jenis surfaktan yang potensial untuk dikembangkan yaitu surfaktan metil ester sulfonat (MES). Pemanfaatan minyak sawit menjadi surfaktan MES dapat dilakukan mengingat kandungan asam lemak C16 dan C18 (asam palmitat, asam stearat, dan asam oleat) mempunyai sifat deterjensi yang sangat baik. Surfaktan MES ini telah dimanfaatkan pada industri pembersih, sabun, dan deterjen untuk menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan karena sifat surfaktan MES yang biodegradable.
Aplikasi surfaktan MES
memungkinkan untuk dilakukan pada industri perminyakan mengingat surfaktan MES memiliki kelebihan dibandingkan surfaktan berbasis petrokimia, diantaranya : bersifat terbarukan, mudah didegradasi (good biodegradability), biaya produksi lebih rendah (sekitar 57%) dari biaya produksi surfaktan dari petrokimia (linier alkilbenzen sulfonat, LAS), karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik pada formula deterjen, dan memiliki toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium (Watkins, 2001). Selama ini surfaktan MES yang sudah diteliti ataupun diproduksi secara komersial diperuntukkan untuk formulasi formula deterjen dan bahan pembersih (Huish dan Jensen, 2003; Huish et al., 2004; Wesley et al., 2008; Wesley et al., 2010; Huish et al., 2010). Untuk keperluan EOR pada industri perminyakan diperlukan persyaratan yang lebih khusus meliputi : memiliki ultralow interfacial tension (≤10-3 dyne/cm), adsorpsi <400 µg/g core, stabil pada suhu reservoir selama 3 bulan, pH berkisar 6 – 8, memiliki fasa III (fasa tengah)/fasa bawah, filtrasi rasio <1,2, dan incremental oil recovery berkisar 15 - 20% OOIP (BPMIGAS, 2009). Hal yang penting dalam proses penggunaan surfaktan untuk menghasilkan perolehan (recovery) minyak yang tinggi adalah: (a) memiliki IFT yang sangat rendah (minimal 10-3 dyne/cm) antara chemical bank dan residual oil dan antara chemical bank dan drive fluid, (b) memiliki kecocokan/kompatibilitas
4
dengan air formasi dan kestabilan terhadap temperatur, kesadahan dan salinitas, (c) memiliki mobility control dan (d) kelayakan ekonomis proses (Pithapurwala et al., 1986). Bila surfaktan mempunyai ultralow interfacial tension (di bawah 10-2 dyne/cm) dapat diduga mampu meningkatkan recovery sekitar 10-20% (Aczo Surfactant, 2006).
Selama ini surfaktan golongan sulfonat yang telah
dimanfaatkan untuk proses enhanced oil recovery diantaranya adalah petroleum sulfonat (Smith et al., 2005), olefin sulfonat (Hutchison et al., 2010), lignosulfonat (Kalfoglou, 1982). Penelitian pemanfaatan surfaktan MES untuk EOR telah dilakukan oleh Hambali et al. (2009) pada aplikasi batuan pasir. Pemanfaatan surfaktan MES untuk oil well stimulation agent telah dilakukan oleh Hambali et al. (2008) dengan menggunakan surfaktan MES yang terbuat dari metil ester C12 dari PKO dan reaktan yang digunakan NaHSO3.
Pemakaian C12 sebagai bahan baku
surfaktan MES akan mendorong terbentuknya busa dalam jumlah besar pada saat aplikasi, kondisi ini tidak diinginkan oleh industri perminyakan sehingga sebagai alternatif lain dapat digunakan asam lemak C16 dan C18 yang banyak terdapat pada olein sawit.
Selain itu pada proses produksi menggunakan reaktan NaHSO3
dihasilkan sludge dalam jumlah besar.
Karenanya pada penelitian ini akan
dikembangkan surfaktan MES dengan menggunakan reaktan gas SO3 sehingga selain dihasilkan surfaktan MES dengan karakteristik sifat antarmuka yang diinginkan, juga pada proses produksinya tidak dihasilkan limbah sludge. Proses produksi dilakukan menggunakan reaktor sulfonasi bertabung tunggal yang disebut Singletube Film Sulfonation Reactor (STFR) yang dikembangkan oleh Hambali et al. (2009). Teknologi sulfonasi yang dibuat oleh provider teknologi luar negeri pada prinsipnya menggunakan falling film, misalnya Chemithon menggunakan reaktor tabung tunggal yang disebut annular falling film (MacArthur et al., 2002), sementara Ballestra menggunakan banyak tabung yang disebut Multitube Film Sulfonation Reactor (MTFR) (Roberts et al., 2008). Untuk menghasilkan surfaktan yang sesuai dengan karakteristik yang disyaratkan oleh industri perminyakan, maka dilakukan formulasi dengan mengkombinasikan surfaktan MES yang dihasilkan dengan bahan aditif lain berupa co-surfaktan dan alkali yang sesuai agar dihasilkan formula yang mampu
5
memberikan kinerja terbaik untuk diaplikasikan pada industri perminyakan. Formula yang dihasilkan akan diujicobakan pada fluida formasi dan core standar skala laboratorium untuk melihat kinerja formula surfaktan ini pada skala laboratorium sebelum dikembangkan lebih lanjut untuk aplikasi pada skala pilot dan lapangan. Dalam praktek di lapangan, jenis minyak yang ada di reservoir tidak mudah diubah karakteristiknya, demikian juga kondisi reservoirnya berbeda-beda antara satu lapangan dengan lapangan yang lain, sehingga yang dapat dilakukan adalah mendapatkan jenis surfaktan yang sesuai untuk jenis minyak dan kondisi reservoir tertentu. Seringkali terjadi kegagalan dalam injeksi surfaktan karena tidak mengetahui jenis surfaktan yang sesuai dalam mengurangi tegangan antarmuka sehingga tidak mampu menarik minyak dari pori-pori, bahkan dapat menyebabkan rusaknya reservoir. Untuk itu perlu dicari kombinasi formula yang sesuai dengan mempertimbangkan faktor besaran tegangan antarmuka, densitas, viskositas, ketahanan pada salinitas, dan kompatibiliti terhadap fluida formasi dan core standar agar diperoleh formula surfaktan MES terbaik yang dapat memberikan laju peningkatan recovery minyak terbesar pada proses injeksi skala laboratorium. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan surfaktan MES dan formula surfaktan berbasis MES dari olein sawit untuk aplikasi pada proses peningkatan perolehan minyak bumi menggunakan fluida dari formasi karbonat. 1.3. Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Kajian proses produksi surfaktan metil ester sulfonat berbasis olein sawit menggunakan reaktor Singletube Film Sulfonation Reactor (STFR).
2.
Formulasi surfaktan MES meliputi penentuan konsentrasi surfaktan MES, penentuan salinitas optimum, pemilihan aditif dan co-surfaktan.
3.
Uji kinerja formula surfaktan berbasis MES meliputi uji kompatibilitas, kelakuan fasa, ketahanan panas, filtrasi, adsorpsi dan uji core flooding skala laboratorium.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Sawit Kelapa sawit menghasilkan dua macam minyak yang sangat berlainan sifatnya, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) dan minyak yang berasal dari inti/biji (kernel). Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari sabut dikenal dengan crude palm oil (CPO) dan dari biji disebut minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO). Neraca massa pengolahan kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1. Tandan Buah Segar (TBS) 100 % Tandan Kosong + Air 33,95 % Brondolan 66,05 % Nut 12,38 % Kernel 5,7 % PKO 2,45 %
Mesocarp 53,67 %
Cangkang 6,68 % Cake 2,55 %
Olein 18,97 %
CPO 24,32 %
Air 20,37 %
Stearin 4,37 %
PFAD 0,98 %
Fiber 8,98 %
Gambar 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit CPO diperoleh dari bagian mesokarp buah kelapa sawit yang telah mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi. Minyak ini merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai tandan buah segar. Komponen asam lemak dominan pada CPO adalah asam palmitat dan oleat. Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari bagian kernel buah kelapa sawit dengan cara pengepresan. Komponen asam lemak dominan penyusun PKO adalah asam laurat, miristat dan oleat. Minyak inti sawit
8
(PKO) memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan minyak sawit (CPO). Minyak inti sawit memiliki kandungan asam laurat yang sangat tinggi dengan titik leleh yang tinggi, sedangkan minyak sawit didominasi oleh asam palmitat dengan kisaran antara titik leleh dengan titik lunak (softening point) yang sangat jauh (O’Brien, 2000). Pemisahan asam lemak penyusun trigliserida pada minyak sawit dapat dilakukan dengan menggunakan proses fraksinasi. Secara umum proses fraksinasi minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), dan 0,5% limbah. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa produk sawit Asam Lemak
CPO a)
PKO b)
Laurat (C12:0) Miristat (C14:0) Palmitat (C16:0) Palmitoleat (C16:1) Stearat (C18:0) Oleat (C18:1) Linoleat (C18:2) Linolenat (C18:3) Arakhidat (C20:0)
< 1,2 0,5 – 5,9 32 – 59 < 0,6 1,5 – 8 27 – 52 5,0 – 14 < 1,5
40 – 52 14 – 18 7–9 0,1 – 1 1–3 11 – 19 0,5 – 2
Jenis Bahan Olein c) Stearin c) 0,1 – 0,5 0,9 – 1,4 37,9 – 41,7 0,1 – 0,4 4,0 – 4,8 40,7 – 43,9 10,4 – 13,4 0,1 – 0,6 0,2 – 0,5
0,1 – 0,6 1,1 – 1,9 47,2 – 73,8 0,05 – 0,2 4,4 – 5,6 15,6 – 37,0 3,2 – 9,8 0,1 – 0,6 0,1 – 0,6
PFAD d) 0,1 – 0,3 0,9 – 1,5 42,9 - 51,0 4,1 – 4,9 32,8-39,8 8,6-11,3
Sumber : a) Godin dan Spensley (1971) dalam Salunkhe et al. (1992). b) Swern (1979). c) Basiron (1996). d) Hui (1996).
2.2. Proses Transesterifikasi Metil ester dihasilkan melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi trigliserida.
Transesterifikasi berfungsi untuk menggantikan gugus alkohol
gliserol dengan alkohol sederhana seperti metanol atau etanol. Umumnya katalis yang digunakan adalah sodium metilat, NaOH atau KOH. Molekul TG pada dasarnya merupakan triester dari gliserol dan tiga asam lemak. Transformasi kimia lemak menjadi biodiesel melibatkan transesterifikasi spesies gliserida dengan alkohol membentuk alkil ester. Diantara alkohol yang mungkin digunakan, metanol lebih disukai karena berharga lebih murah (Lotero et al.,
9
2004; Meher et al., 2004).
Transesterifikasi merupakan suatu reaksi
kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi bergerak ke kanan agar dihasilkan metil ester maka perlu digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan harus dipisahkan.
Pada Gambar 2 disajikan reaksi
transesterifikasi trigliserida dengan metanol untuk menghasilkan metil ester (biodiesel).
O R1
C
OCH2
HOCH2 O
O R2
C
OCH
+ 3 CH3OH
katalis
HOCH
+ 3R
C
OCH3
O R3
C
HOCH2
OCH2
trigliserida
metanol
gliserin
metil ester
Gambar 2. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol
Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor tergantung kondisi reaksinya (Meher el al., 2004). Faktor tersebut diantaranya adalah rasio molar minyak dengan alkohol, waktu reaksi, suhu, jenis katalis dan konsentrasinya, karakteristik trigliserida dan intensitas pencampuran, kandungan asam lemak bebas dan kadar air minyak, dan penggunaan cosolvent organik. Kualitas biodiesel dipengaruhi oleh kualitas bahan baku minyak (feedstock), komposisi asam lemak dari minyak, proses produksi dan bahan lain yang digunakan dalam proses dan parameter pasca-produksi seperti kontaminan (Gerpen, 2004). Kontaminan tersebut diantaranya adalah bahan tak tersabunkan, air, gliserin bebas, gliserin terikat, alkohol, FFA, sabun, residu katalis (Gerpen, 1996). Reaksi transesterifikasi secara curah (batch) lebih sederhana, dan dapat mengkonversi minyak menjadi metil ester hingga 80 - 94% dalam waktu 30 – 120 menit. Reaktor esterifikasi secara kontinyu telah dikembangkan untuk mengurangi
10
ukuran reaktor dan waktu reaksi.
Noureddini et al. (1996) melaporkan
memperoleh hasil 98% dalam waktu 1 menit sampai 1 jam. 2.3. Surfaktan Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul amphipatic atau amphiphilic yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang sama.
Berdasarkan kegunaannya, surfaktan diklasifikasikan
menjadi deterjen, bahan pembasah (wetting agent), emulsifier, agen pendispersi, agen pembusa (frothing agent) (Swern, 1979). Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Klasifikasi surfaktan terbagi atas empat kelompok yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985). Menurut Hui (1996) dan Matheson (1996) surfaktan dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok besar, yaitu anionik, kationik, nonionik, dan amfoterik. Masing-masing kelompok surfaktan tersebut memiliki struktur kimia dan perilaku yang berbeda. Surfaktan anionik adalah bahan aktif permukaan yang bagian hidrofiliknya berhubungan dengan gugus anion (ion negatif). Dalam media cair, molekul surfaktan anionik terpecah menjadi gugus kation yang bermuatan positif dan gugus anion yang bermuatan negatif. Gugus anion merupakan pembawa sifat aktif permukaan pada surfaktan anionik. Sebagaimana halnya surfaktan anionik, surfaktan kationik juga memecah dalam media cair, dengan bagian kepala (hidrofilik) pada surfaktan kationik adalah gugus kation yang bertindak sebagai pembawa sifat aktif permukaan. Surfaktan nonionik tidak memecah dalam cairan encer, daya larutnya disebabkan oleh gugus polar seperti poliglikol eter atau poliol. Surfaktan amfoterik dalam media cair mengandung gugus positif dan negatif pada molekul yang sama, sehingga rantai hidrofobik diikat oleh bagian hidrofilik yang mengandung gugus positif dan negatif.
Sehubungan dengan
11
aplikasi surfaktan pada industri, jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karakteristik surfaktan tersebut serta produk akhir yang diinginkan. Peranan surfaktan yang begitu berbeda dan beragam disebabkan oleh struktur
molekulnya yang tidak seimbang.
Molekul surfaktan
dapat
divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian nonpolar. Kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan ekor dapat berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi yang beragam di industri (Hui, 1996; Hasenhuettl, 1997). Aplikasi surfaktan pada industri sangat luas, contohnya yaitu sebagai bahan utama pada industri deterjen dan pembersih lainnya, bahan pembusaan dan emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi, bahan emulsifier pada industri cat, serta bahan emulsifier dan sanitasi pada industri pangan (Hui, 1996). Pemakaian terbesar surfaktan adalah untuk aplikasi pencucian dan pembersihan (washing and cleaning applications. Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan terbesar dalam jumlah pemakaian adalah surfaktan anionik, dengan aplikasi terbesar untuk washing and cleaning products. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa gugus sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu alkilbenzen sulfonat linear (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES). Hal yang sama tergambarkan dari aktivitas ekspor dan impor surfaktan Indonesia, dimana baik volume ekspor maupun impor surfaktan terbesar di Indonesia adalah surfaktan anionik. Pada Tabel 2 dan 3 disajikan data eskpor dan impor surfaktan Indonesia.
12
Tabel 2. Data ekspor surfaktan Indonesia tahun 2005 - 2009 Anionik Tahun Volume Nilai (Kg) (USD) 2009 31.695.464 39.452.807 2008 29.042.000 46.769.566 2007 34.051.157 40.184.851 2006 26.201.796 29.154.490 2005 21.053.245 23.617.016
Jenis Surfaktan Kationik Nonionik Volume Nilai Volume Nilai (Kg) (USD) (Kg) (USD) 132.993 154.972 6.032.206 8.632.236 63.820 79.762 4.380.840 7.981.815 219.881 184.373 3.323.118 5.631.458 266.974 286.964 2.323.129 3.654.845 135.618 168.596 1.320.519 1.851.079
Lainnya Volume Nilai (Kg) (USD) 6.107.254 6.314.511 6.875.800 7.334.971 5.992.161 5.443.039 4.190.190 3.754.886 4.241.430 3.507.145
Sumber : BPS (2010).
Tabel 3. Data impor surfaktan Indonesia tahun 2005 - 2009 Anionik Tahun Volume Nilai (Kg) (USD) 2009 23.625.842 28.785.766 2008 17.514.548 28.964.737 2007 13.262.553 16.975.633 2006 20.323.451 25.161.752 2005 16.376.519 19.561.960
Jenis Surfaktan Kationik Nonionik Volume Nilai Volume Nilai (Kg) (USD) (Kg) (USD) 349.752 544.818 4.594.962 6.148.480 367.594 587.319 4.397.641 8.420.211 298.823 406.974 1.982.829 2.679.349 357.772 512.953 1.779.542 2.257.060 240.122 273.000 1.607.038 2.284.331
Lainnya Volume Nilai (Kg) (USD) 1.282.671 1.586.341 4.121.177 5.060.178 3.730.172 3.254.190 8.286.006 8.797.486 8.144.926 7.815.574
Sumber : BPS (2010).
2.4. Surfaktan MES MES
merupakan
surfaktan
anionik
dengan
struktur
RCH(CO2Me)SO3Na, sebagaimana disajikan pada Gambar 3.
umum
Surfaktan ini
dihasilkan melalui proses sulfonasi metil ester asam lemak (RCH2CO2Me) yang diperoleh dari minyak nabati dan lemak hewani seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, dan lemak sapi (tallow) (Robert, 2001; Watkins, 2001).
Gambar 3. Struktur kimia metil ester sulfonat (Watkins, 2001) Hingga saat ini adanya pengembangan teknologi sulfonasi memungkinkan MES menjadi bagian penting dalam formulasi deterjen. Pengembangan surfaktan MES makin meningkat dengan terjadinya peningkatan ketersediaan bahan baku
13
MES berupa ME C16 sebagai komponen terbesar, yang dihasilkan sebagai by product produksi biodiesel (Ahmad et al., 2007). Menurut Mazzanti (2008), beberapa pemain besar dalam industri deterjen telah mengadopsi MES, dengan pertimbangan bahwa : a. Peningkatan jumlah pabrik biodiesel di Asia Tenggara akan membuat ketersediaan fraksi ME C16 dalam jumlah besar di masa depan sebagai bahan baku untuk memproduksi MES dengan harga kompetitif makin meningkat, meskipun terjadi fluktuasi harga yang sangat tajam dari minyak sawit. Hal ini mengingat bahan baku MES yang digunakan merupakan hasil samping dari pabrik biodiesel tersebut. b. Peningkatan harga minyak bumi yang terus terjadi merefleksikan peningkatan harga bahan baku berbasis minyak bumi (misalnya harga LAB), yang membuat penggunaan MES menjadi semakin menarik secara ekonomi. c. Perkembangan teknologi yang dicapai pada proses MES menjadi bentuk bubuk
yang sesuai untuk produk deterjen telah mendorong peningkatan
kualitas MES, keamanan proses produksi, dan pengurangan biaya proses produksinya. Untuk alasan ini, instalasi pabrik produksi MES telah dilakukan oleh Desmet Ballestra di Asia Tenggara dan Amerika Utara dengan kapasitas keseluruhan mencapai 150.000 ton/tahun MES kering. Pabrik ini mulai berproduksi skala industri pada akhir tahun 2008. Menurut Matheson (1996), MES memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability).
Dibandingkan
petroleum
sulfonat,
surfaktan
MES
menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi yang lebih rendah
daya
deterjensinya
sama
dengan
petroleum
sulfonat,
dapat
mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah. Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik.
Apabila rantai hidrofobik terlalu
panjang, akan terjadi ketidakseimbangan dimana terlalu besarnya afinitas untuk
14
gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air, yang mengakibatkan keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon. MES dari minyak nabati yang mengandung atom karbon C10, C12 dan C14 biasa digunakan untuk light duty dishwashing detergent, sedangkan MES dari minyak nabati dengan atom karbon C16-18 dan tallow biasa digunakan untuk deterjen bubuk dan deterjen cair (liquid laundry detergent). Pada suhu di bawah suhu pencucian, MES C16 memperlihatkan daya detergensi terbaik, kemudian diikuti oleh C18 dan C14 (Watkins, 2001). Produksi MES skala pilot yang dilakukan oleh beberapa perusahaan menggunakan kualitas bahan baku yang beragam. Procter and Gamble (P&G) menggunakan ME C12-14, Henkel dan Chengdu Nymph menggunakan ME C16-18 dan Emery menggunakan methyl tallowate (MacArthur et al., 2002). Pada Tabel 4 disajikan perbandingan kualitas bahan baku metil ester yang digunakan untuk memproduksi MES. Surfaktan MES tersebut diproduksi oleh P&G, Henkel dan Chengdu dengan tujuan untuk diaplikasikan pada proses produksi deterjen. 2.5. Proses Sulfonasi Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan kelompok sulfat dengan minyak, asam lemak (fatty acid), ester, dan alkohol lemak (fatty alcohol). Diistilahkan sebagai sulfonasi karena proses ini melibatkan penambahan gugus sulfat pada senyawa organik. Jenis minyak yang biasanya disulfonasi adalah minyak yang mengandung ikatan rangkap ataupun gugus hidroksil pada molekulnya. Di industri, bahan baku minyak yang digunakan adalah minyak berwujud cair yang kaya akan ikatan rangkap (Bernardini, 1983). Menurut Jungermann (1979), proses sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1) gugus karboksil, (2) bagian α-atom karbon, dan (3) rantai tidak jenuh (ikatan rangkap) (Gambar 4). Pemilihan proses sulfonasi tergantung pada banyak faktor yaitu karakteristik dan kualitas produk akhir yang
15
diinginkan, kapasitas produksi yang disyaratkan, biaya bahan kimia, biaya peralatan proses, sistem pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan limbah hasil proses. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), reaktan yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol reaktan, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1996). Tabel 4. Perbandingan kualitas bahan baku metil ester untuk produksi MES Bahan Baku Metil Ester BM Bilangan iod (mg I/g ME) Asam karboksilat (%) Bilangan tak tersabunkan (%) Bilangan asam (mg KOH/g ME) Bilangan penyabunan (mg KOH/g ME) Kadar air (%) Komposisi asam lemak (%) : < C12 C12 C13 C14 C15 C16 C17 C18 >C18
ME C22 c)
281 3,9 0,25 0,27 0,5
ME C16-18 b) 284 1,9 1,89 0,06 3,8
252
197
191
n/a
0,13
0,18
0,19
0,04
0,85 72,59 0,00 26,90 0,00 0,51 0,00 0,00 0,00
0,00 0,28 0,00 2,56 0,43 48,36 1,40 46,24 0,74
0,00 0,28 0,00 1,55 0,00 60,18 1,31 35,68 1,01
0,11 0,16 0,03 4,15 0,83 25,55 2,70 64,45 1,06
ME C12 a)
ME C16 b)
218 1,0 0,074 0,05 0,15
280 1,3 n/a n/a 0,4
Ket. a) Procter and Gamble, b) Henkel dan Chengdu Nymph, c) Emery. Sumber : MacArthur et al. (2002).
Gambar 4. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi (Jungermann, 1979)
16
Menurut Foster (1996), proses sulfonasi menggunakan SO3 dilakukan dengan cara melarutkan SO3 dengan udara yang sangat kering dan direaksikan secara langsung dengan bahan baku organik yang digunakan. Sumber gas SO3 yang digunakan dapat berbentuk SO3 cair ataupun SO3 yang diproduksi dari hasil pembakaran sulfur. Reaksi gas SO3 dengan bahan organik berlangsung cukup cepat. Biaya proses sulfonasi dengan SO3 paling rendah dibandingkan proses sulfonasi lainnya, menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, proses bersifat sinambung, dan sesuai untuk volume produksi yang besar. Menurut Foster (1996), kelebihan pemakaian SO3 adalah SO3 mampu mensulfonasi beragam bahan baku dan menghasilkan produk dengan kualitas baik dibandingkan bila menggunakan jenis reaktan yang lain. Namun kendala yang dihadapi bila menggunakan SO3 adalah sebagai berikut : (1) gas SO3 hasil pembakaran SO2 umumnya memiliki konsentrasi 26 - 18 persen, sehingga harus dilarutkan dengan udara kering ke kisaran normal untuk proses sulfonasi yaitu antara 4 - 7 persen, (2) gas SO3 memiliki dew point yang lebih tinggi (umumnya 35 oC) dibanding yang diperlukan pada instalasi sulfonasi (umumnya -60 hingga 80 oC), sehingga sangat berpengaruh terhadap kualitas produk pada proses sulfonasi, dan (3) biaya inisial peralatan yang mahal dan kompleks. Proses sulfonasi metil ester untuk menghasilkan MES lebih kompleks dibandingkan proses sulfonasi menggunakan bahan baku lainnya.
Teknologi
sulfonasi yang telah berkembang saat ini memungkinkan untuk dihasilkannya produk-produk hasil sulfonasi seperti linear alkylbenzene sulfonates (LAS), primary alcohol sulfates (PAS), alcohol ethoxysulfates (AES), dan alpha olefin sulfonates (AOS) tanpa perlu dilakukan proses pemucatan (bleaching) (Robert et al,, 1988). Namun hal tersebut tidak berlaku pada proses sulfonasi ME, karena (1) pada proses sulfonasi ME diperlukan secara signifikan rasio mol SO3 yang lebih besar dibanding bahan baku ME, (2) diperlukan tahapan aging pada suhu tinggi, dan (3) dihasilkan produk dengan warna yang sangat gelap (nilai Klett lebih dari 1000) (Schwuger dan Lewandowski, 1995), sehingga untuk proses produksi MES yang diaplikasikan untuk deterjen harus dilengkapi dengan tahapan proses pemucatan warna (bleaching).
17
Menurut Robert et al. (2008), untuk memproduksi MES setidaknya terdapat tiga tahapan penting, yaitu (a) tahap kontak ME/SO3, (b) tahap aging, dan (c) tahap netralisasi.
Pada tahap kontak ME/SO3, SO3 diabsorbsi oleh ME
membentuk produk antara. Rasio mol SO3-ME tidak boleh lebih rendah dari 1,2 karena akan menyebabkan tidak tercapainya konversi penuh ME. Tahapan ini biasanya berlangsung cepat secara kontinyu pada reaktor falling film. Proses sulfonasi ME belum menghasilkan MES, namun produk antara Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) (MacArthur et al., 2002) atau fatty acid methyl ester (α-SF) (Yamada dan Matsutani, 1996) yang bersifat asam. MESA merupakan surfaktan anionik, memiliki deterjensi tinggi, dan bersifat biodegradable (Yamada dan Matsutani, 1996). Pada tahap awal sulfonasi, sulfur trioksida diserap oleh metil ester dan secara cepat membentuk produk anhidrid intermediet di dalam keseimbangan yang mengaktifkan karbon alfa menuju reaksi sulfonasi untuk membentuk produk intermediet. Produk intermediet akan mengalami penyusunan kembali untuk melepaskan sulfur trioksida untuk membentuk asam sulfonat ester metil yang diinginkan (MESA). Sulfur trioksida yang dilepaskan lalu akan mengkonversi sisa produk anhidrid intermediet membentuk produk intermediet. Produk intermediet kemudian akan dikonversi menjadi MESA (MacArthur et al., 2002). Stoikiometri sulfonasi ME disajikan pada Gambar 5. Jika produk intermediet tersebut dinetralisasi sebelum terkonversi sempurna menjadi MESA, maka banyak ME yang belum terkonversi, sehingga konversi ME menjadi produk sulfonat hanya berkisar 60-75%. Produk sulfonat yang telah dinetralisasi pada tahapan ini mengandung MES dalam jumlah kecil, sementara sebagian besar akan terdiri atas disalt (RCH(CO2Na)SO3Na) bersama dengan sodium methyl sulfate (SMS, MeOSO3Na), karenanya diperlukan proses aging. Tahap aging merupakan tahap dimana produk antara bereaksi, sehingga proses konversi ME menjadi produk sulfonat makin sempurna. Tahap aging pada sulfonasi ME lebih sulit dibanding aging pada sulfonasi LAB, karena mensyaratkan suhu minimal 80oC. Waktu diam yang dibutuhkan selama proses aging bergantung pada suhu, rasio mol SO3/ME, target tingkat konversi yang ingin dicapai, dan karakteristik reaktor yang digunakan. Sebagai gambaran, proses sulfonasi menggunakan reaktor batch ataupun plug flow reactor (PFR), pada rasio
18
mol 1,2 untuk kondisi proses sulfonasi 45 menit pada suhu 90oC ataupun pada kondisi proses sulfonasi 3,5 menit pada suhu 120oC akan memberikan tingkat konversi 98%. Sementara jika menggunakan continuously stirred tank reactor (CSTR) maka waktu aging harus digandakan. Tahap nentralisasi diperlukan, karena jika produk antara hasil reaksi bersifat asam tidak dinetralisasi akan menyebabkan kerusakan pada warna. Khususnya untuk C16 dan bahan baku ME dengan asam lemak lebih tinggi lainnya, dimana produk menjadi lebih kental dan bahkan memadat kecuali jika dipanaskan.
Untuk mengurangi warna gelap
tersebut, pada tahap pemucatan ditambahkan larutan H2O2 atau larutan metanol, yang dilanjutkan dengan proses netralisasi dengan menambahkan larutan alkali (KOH atau NaOH). Setelah melewati tahap netralisasi, produk yang berbentuk pasta dikeringkan sehingga produk akhir yang dihasilkan berbentuk concentrated pasta, solid flake, atau granula (Watkins, 2001).
Gambar 5. Stoikiometri sulfonasi ME (Robert et al., 2008) Proses netralisasi pada skala komersial ataupun pilot biasanya dilakukan secara kontinyu pada reaktor berbentuk loop. Hal ini penting untuk mencegah pH ekstrem pada proses netralisasi, sehingga hidrolisis MES menjadi disalt dapat dihindari.
Produk
sulfonasi
mengandung
campuran
MES
dan
disalt
(RCH(CO2Na)SO3Na) dengan komposisi sekitar 80:20. Sodium metil sulfat
19
(MeOSO3Na) juga terdapat pada jumlah yang ekivalen dengan molar disalt. Menurut Gupta dan Wiese (1992) dalam reaktor sulfonasi, nisbah mol SO3 dan alkil dikontrol antara 1,03 : 1 hingga 1,06 : 1 agar dicapai tingkat konversi yang optimum tanpa menyebabkan terjadinya peningkatan reaksi samping ataupun degradasi warna.
Suhu reaktor dikontrol antara 110 - 150 oF (43 - 65 oC).
Sebelum proses sulfonasi dilakukan, terlebih dahulu gas SO3 dicampur dengan udara kering hingga konsentrasinya menjadi 4 - 8 persen. Proses netralisasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut KOH, NH4OH, NaOH, atau alkanolamin. Menurut Moreno et al. (2003) selama proses sulfonasi berlangsung produk lain seperti anhidrid dan sulfon juga terbentuk. Sekitar 25% sulfon dan 75% LAB yang tidak bereaksi dengan gas SO3 dapat dihilangkan selama proses aging dan dikonversi menjadi bahan aktif.
Anhidrid dapat dihilangkan melalui proses
hidrolisis, akan tetapi sulfon yang terbentuk selama proses sulit untuk dipisahkan. Karena tingginya kadar warna produk yang dihasilkan (warna gelap), maka tahapan bleaching perlu dilakukan jika produk akan digunakan untuk deterjen laundry ataupun untuk consumer products lainnya. Tahap bleaching umumnya menggunakan hidrogen peroksida sebagai bahan pemucat, yang dapat memberikan hasil yang baik meski digunakan sebelum ataupun setelah netralisasi. Bleaching dilakukan setelah tahap re-esterifikasi ataupun secara simultan dengan re-esterifikasi dengan menambahkan metanol pada waktu yang sama. Hidrogen peroksida umumnya digunakan sebagai larutan 35 atau 50% ditambahkan pada konsentrasi 2-3%, Keberadaan air pada tahapan ini menyebabkan kecenderungan terhidrolisisnya MESA, sehingga memicu peningkatan terbentuknya disalt setelah netralisasi.
Residu
metanol
dari
re-esterifikasi,
ataupun
metanol
yang
ditambahkan pada tahap bleaching dapat menekan laju hidrolisis dan juga mengurangi viskositas dari campuran reaksi. Tanpa penambahan metanol, disalt yang terbentuk akan semakin banyak sehingga dapat mengganggu jika nantinya akan diaplikasikan. Tergantung pada spesifikasi yang disyaratkan, tahapan reesterifikasi dilakukan untuk mengkonversi prekursor disalt menjadi prekursor MES. Tahapan ini meliputi penanganan campuran reaksi yang bersifat asam dengan metanol sebelum dinetralisasi, dan tahapan ini dapat mereduksi kandungan disalt dari produk hasil netralisasi (Robert et al., 2008).
20
Baker (1995) telah memperoleh paten proses pembuatan sulfonated fatty acid alkyl ester dengan tingkat kemurnian yang tinggi.
Bahan baku yang
digunakan berasal dari asam lemak minyak nabati komersial. Proses sulfonasi dilakukan dengan mereaksikan alkil ester dan gas SO3 dalam falling film reactor, dengan perbandingan reaktan antara SO3 dan alkil ester yaitu 1,1 : 1 hingga 1,4 : 1 pada suhu proses antara 75 - 95 oC dan lama reaksi antara 20 - 90 menit, dan dilanjutkan dengan netralisasi berulang untuk mereduksi bahan pengotor dalam jumlah sedikit (termasuk disalt dan dimethyl sulfate (DMS)). Menurut Sheats dan MacArthur (2002), penelitian mengenai produksi MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemithon Corporation. Produksi MES dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap proses sulfonasi dimulai dengan pemasukan bahan baku metil ester dan gas SO3 ke reaktor dan selanjutnya diikuti dengan tahap aging (pencampuran di digester), tahap pemucatan, tahap netralisasi, dan tahap pengeringan. Bahan baku yang digunakan yaitu metil ester dari minyak kelapa, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai dan tallow. Bahan baku metil ester dimasukkan ke reaktor pada suhu 40 - 56 oC, rasio mol reaktan SO3 dan metil ester sekitar 1,2 - 1,3 dan konsentrasi gas SO3 7 persen dan suhu gas SO3 sekitar 42 oC. MES segera ditransfer ke digester pada saat mencapai suhu 85oC, dengan lama proses 0,7 jam (42 menit). Untuk pemurnian digunakan metanol sekitar 31 - 40 persen (b/b, MES basis) dan H2O2 50 persen sekitar 1 - 4 persen (b/b, MES basis) pada suhu 95 - 100oC
selama 1 - 1,5 jam.
Metanol berfungsi
untuk mengurangi
pembentukan disalt, mengurangi viskositas, dan mampu meningkatkan transfer panas pada proses pemucatan. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan bleached MES dengan pelarut NaOH 50 persen pada suhu 55 oC. Selanjutnya produk MES hasil pemurnian dikeringkan pada suhu 145 oC dan tekanan 120 200 Torr agar diperoleh produk berupa pasta, powder atau flakes. Produk MES yang dihasilkan melalui tahapan ini sesuai untuk kebutuhan industri deterjen yang memerlukan surfaktan MES dengan warna pucat. Proses pemurnian palm C16-18 kalium metil ester sulfonat (KMES) yang diteliti oleh Sherry et al. (1995) dilakukan tanpa melalui proses pemucatan. Pemurnian produk dilakukan dengan
21
mencampurkan ester sulfonat dengan 10-15 persen metanol di dalam digester, dan dilanjutkan dengan proses netralisasi berupa penambahan 50 persen KOH. 2.6. Enhanced Oil Recovery (EOR) Minyak mentah (petroleum) adalah campuran yang kompleks, terutama terdiri dari hidrokarbon bersama-sama dengan sejumlah kecil komponen yang mengandung sulfur, oksigen dan nitrogen serta komponen yang mengandung logam dalam jumlah sangat kecil. Menurut Said (1998), senyawa hidrokarbon dapat digolongkan dalam empat jenis, yaitu (a) golongan paraffin (hidrokarbon jenuh), (b) golongan hidrokarbon tak jenuh, (c) golongan naphtena, dan (d) golongan aromatik. Golongan paraffin memiliki ikatan atom C yang tunggal, sehingga membentuk rumus bangun yang mempunyai rantai terbuka, berupa gas, cair ataupun zat padat tergantung dari jumlah atom C dalam satu molekul, dan jika berada dalam ruangan yang mengandung udara atau oksigen dan diberi kalor akan terbakar. Hidrokarbon tak jenuh adalah hidrokarbon yang mempunyai ikatan rangkap ataupun ikatan tiga yang digunakan untuk mengikat dua atom C yang berdekatan. Golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga deretan, yaitu deretan olefin, diolefin dan asitilen. Ikatannya sangat reaktif, sehingga jarang terdapat dalam minyak mentah yang terbentuk di alam, tetapi dapat terbentuk dalam jumlah besar pada proses cracking dari minyak mentah. Golongan naphtena termasuk dalam hidrokarbon jenuh tetapi rantai karbonnya merupakan rantai tertutup, bersifat stabil dan hampir sama dengan paraffin. Golongan aromatik terdiri dari benzene dan turunannya, bersifat tidak reaktif dan tidak sestabil golongan paraffin. Pada suhu dan tekanan standar hidrokarbon aromatik berada dalam bentuk cair atau padat. Batuan reservoir merupakan batuan berpori dimana dalam pori-pori batuan tersebut terdapat akumulasi fluida reservoir seperti minyak, air dan gas. Sekitar 60 % dari reservoir terdiri atas batu pasir dan 30 % terdiri atas batu gamping dan sisanya batuan lain.
Secara umum sifat yang dimiliki batuan
reservoir adalah yang berhubungan dengan sifat statik (porositas dan saturasi) dan dinamik (permeabilitas). Menurut Lake (1989), porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume ruang yang kosong (pori-pori) terhadap volume total
22
(bulk volume) dari suatu batuan. Ruang kosong tersebut dapat merupakan poripori yang saling berhubungan satu sama lain, tetapi dapat pula merupakan ronggarongga yang saling terpisah atau tersekat.
Porositas memiliki satuan dalam
persen. Klasifikasi porositas reservoir disajikan pada Tabel 5. Permeabilitas adalah ukuran kemampuan suatu batuan berpori untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas berpengaruh terhadap besarnya kemampuan produksi (laju alir) pada sumur-sumur penghasilnya. Besaran permeabilitas sangat bergantung dari hubungan antara pori dalam batuan dengan satuan Darcy atau miliDarcy (mD), namun harga permeabilitas tidak ada hubungan langsung dengan porositasnya. Klasifikasi permeabilitas beberapa reservoir disajikan pada Tabel 6. Tabel 5. Klasifikasi porositas reservoir Porositas (%) 0–5 5 – 10 10 – 15 15 – 20 20 – 25
Keterangan Porositas jelek sekali Porositas jelek Porositas sedang Porositas baik Porositas baik sekali
Sumber : Koesoemadinata (1978).
Tabel 6. Klasifikasi permeabilitas reservoir Permeabilitas (mD) <5 5 – 10 10 - 100 100 – 1000 > 1000
Keterangan Ketat (tight) Cukup (fair) Baik (good) Baik sekali Very good
Sumber : Koesoemadinata (1978).
Operasi perolehan minyak secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu primary recovery, secondary recovery dan tertiary recovery. Pada primary recovery, perolehan minyak diperoleh dengan menggunakan tenaga dorong alamiah yang diberikan oleh reservoir itu sendiri.
Secondary dan tertiary
recovery dilakukan setelah tahap primary recovery mengalami penurunan produksi.
Teknologi ataupun metoda yang digunakan untuk meningkatkan
recovery minyak bumi disebut sebagai improved oil recovery (IOR). Salah satu
23
teknik IOR yang melibatkan penginjeksian material untuk meningkatkan recovery minyak bumi disebut sebagai enhanced oil recovery (EOR), yang biasanya menggunakan injeksi gas tercampur, bahan kimia (chemical) ataupun thermal energy untuk mengubah karakteristik dari suatu reservoir agar minyak yang diperoleh lebih besar dibandingkan pada tahap sebelumnya (Lake, 1989). Peningkatan perolehan minyak merupakan suatu teknologi yang memerlukan biaya dan memiliki resiko yang tinggi. Untuk itu sebelum metode EOR diterapkan di lapangan maka harus dikaji baik secara teknik maupun ekonomi. Menurut Lake (1989), untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam penerapan metode EOR biasanya melalui tiga tahapan penyaringan berikut : (a) Memilih metode EOR yang tepat, yaitu dengan cara membandingkan karakteristik reservoir dengan kriteria penyaringan atau screening criteria yang telah dibuat berdasarkan pengalaman di lapangan dan di laboratorium, (b) Evaluasi reservoir dengan model sederhana yang menjelaskan proses utama dilengkapi dengan perkiraan perolehan minyak dan biaya yang dibutuhkan, dan (c) Evaluasi secara terperinci melalui simulasi reservoir dan percobaan di laboratorium pada contoh batuan reservoir. Pada Tabel 7 disajikan klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan.
Pada Tabel 8 disajikan klasifikasi metode EOR
berdasarkan jenis fluida yang diinjeksikan. Tabel 7. Klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan Current Enhanced Recovery Methods Solvent Extraction and/or Miscible Type Processes Nitrogen and flue gas Hydrocarbon-miscible methods CO2 flooding “Solvent” extraction of mined, oil bearing core IFT Reduction Processes Miscellar/polymer flooding (included in miscible type flooding above) ASP flooding Viscosity Reduction or Viscosity Increase and (or driving fluid) Processes Plus Pressure Steam flooding Fire flooding Polymer flooding Enhanced gravity drainage by gas or steam injection Sumber : Taber et al. (1997).
24
Tabel 8. Klasifikasi metode EOR berdasarkan fluida injeksi Current and past EOR Methods Gas and Hydrocarbon Solvent Methods “Inert” gas injection Nitrogen injection Flue-gas injection Hydrocarbon-gas (and liquid) injection High-pressure gas drive Enriched-gas drive Miscible solvent (LPG or propane) flooding Improved Water Flooding Methods Alcohol-miscible solvent flooding Micellar/polymer (surfactant) flooding Alkaline flooding ASP flooding Polymer flooding Gels or water shut off Microbial injection Thermal Methods In-situ combustion Standard forward combustion Wet combustion O2-enriched combustion Reverse combustion Steam and hot water injection Hot-water flooding Steam stimulation Steam flooding Surface mining and extraction Sumber : Taber et al. (1997).
Dalam kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi, selain minyak yang diproduksikan terdapat pula gas, baik yang terperangkap secara terpisah dari minyak maupun gas yang larut di dalam minyak. Selain itu diproduksikan juga air yang dikenal sebagai air formasi atau brine. Air formasi adalah air yang terkumpul bersama minyak dan gas di dalam lapisan reservoir, terletak pada kedalaman lebih dari 1000 meter dan terletak di bawah zona minyak. Pada awal produksi dari reservoir minyak, volume air formasi yang ikut terproduksi hanya sedikit dibanding dengan volume minyak yang diperoleh. Akan tetapi bertambahnya waktu produksi menyebabkan volume minyak di dalam reservoir tersebut semakin rendah dan volume air formasi menjadi dominan dibanding jumlah minyak itu sendiri. Kondisi ini diikuti pula oleh penurunan
25
tekanan reservoir sehingga produksi minyak pada sumur tersebut perlu dibantu dengan teknologi secondary recovery ataupun tertiary recovery.
Senyawa
penyusun utama air formasi terdiri dari kation dan anion seperti kalsium, magnesium, besi, barium, natrium, klorida, karbonat dan bikarbonat, serta sulfat. Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merekoveri minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain. Metode EOR telah umum diterapkan di negara lain, namun penerapan di Indonesia masih terkendala karena ketidaksesuaian antara air formasi dan batuan formasi dari sumur minyak di Indonesia dengan surfaktan komersial yang berbasis minyak bumi yang bila digunakan menyebabkan terjadinya penggumpalan dan menimbulkan gangguan pada sumur produksi. Hal ini menjadi peluang untuk dikembangkan jenis surfaktan berbasis sawit yang sesuai untuk sumur minyak bumi di Indonesia. 2.7. Kegunaan Surfaktan dalam Proses EOR Surfaktan memegang peranan penting di dalam proses Enhanced Oil Recovery (EOR) dengan cara menurunkan tegangan antarmuka, mengubah kebasahan (wettability), bersifat sebagai emulsifier, menurunkan viskositas dan menstabilkan dispersi sehingga akan memudahkan proses pengaliran minyak bumi dari reservoir untuk di produksi. Minyak yang terjebak di dalam pori-pori batuan disebut blobs atau ganglia.
Untuk mendorong ganglia maka gaya
kapilaritas dalam pori-pori harus diturunkan yakni dengan cara menurunkan nilai IFT antara minyak sisa dengan brine di dalam reservoir.
Surfaktan mampu
menurunkan IFT dan menurunkan saturasi minyak. Surfaktan yang berada di dalam slug harus dibuat agar membentuk micelle yaitu surfaktan yang aktif dan mampu mengikat air dan minyak pada konsentrasi tertentu. Jika konsentrasinya masih kecil, maka campuran surfaktan tersebut masih berupa monomer (belum aktif). Untuk itu setiap slug perlu diketahui critical micelles concentration (CMC) yaitu konsentrasi tertentu, sehingga surfaktan yang semula monomer berubah
26
menjadi micelles. Hal yang penting dalam proses penggunaan surfaktan untuk menghasilkan perolehan (recovery) minyak yang tinggi adalah: (a) memiliki IFT yang sangat rendah (minimal 10-3 dyne/cm) antara chemical bank dan residual oil dan antara chemical bank dan drive fluid, (b) memiliki kecocokan/kompatibiliti dengan air formasi dan kestabilan terhadap temperatur, (c) memiliki mobility control dan (d) kelayakan ekonomis proses (Pithapurwala et al., 1986). Proses injeksi surfaktan perlu memperhatikan besar bilangan kapiler terhadap penurunan saturasi minyak tersisa (Sor).
Biasanya reservoir yang
diinjeksi surfaktan memiliki harga saturasi minyak tersisa di bawah 45% dengan harga bilangan kapiler berkisar 10-4 – 10-2, sehingga pendesakan surfaktan dapat optimal. Semakin rendah saturasi minyak tersisa pada suatu reservoir, maka semakin besar bilangan kapiler yang dibutuhkan agar pendesakan surfaktan optimal (Lake, 1989). Untuk memperbesar bilangan kapiler diperlukan tegangan antarmuka yang rendah, dengan pendekatan rumus Nc = µv/σ, dimana Nca adalah bilangan kapiler, µ adalah viskositas fluida pendesak (cP), v adalah laju injeksi fluida pendesak, dan σ adalah tegangan antarmuka (dyne/cm). Penurunan nilai tegangan antarmuka dapat dilakukan dengan menambahkan surfaktan. Surfaktan yang baik adalah mampu menurunkan nilai tegangan antarmuka hingga ultra low IFT yaitu lebih rendah dari 10-2 dyne/cm, karena pada kondisi tersebut maka capillary number (Nc) akan semakin tinggi sehingga recovery factor (RF) juga akan makin meningkat.
Grafik hubungan bilangan kapiler terhadap saturasi
minyak tersisa (Sor) disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Hubungan bilangan kapiler terhadap Sor (Stegemeier, 1977)
27
Menurut Syahrial (2008), proses screening surfaktan di laboratorium perlu dilakukan sebelum aplikasi surfaktan dilakukan di lapangan, dengan tujuan untuk mencari surfaktan yang memiliki kinerja sesuai untuk aplikasi di reservoir yang diujikan. Beberapa parameter yang diuji pada tahapan proses screening surfaktan meliputi uji tegangan antarmuka (interfacial tension, IFT), kompatibilitas (compatibility), kelakuan fasa (phase behavior), ketahanan panas (thermal stability), laju alir filtrasi (filtration flow test), dan adsorpsi. IFT merupakan parameter terpenting untuk chemical EOR ((Nedjhioui et al., 2005).
Uji
kompatibilitas dilakukan bertujuan untuk mengetahui kecocokan antara larutan surfaktan dengan air formasi dari reservoir yang diujikan. Uji dilakukan dengan mencampurkan larutan surfaktan pada air formasi pada perbandingan tertentu kemudian dipanaskan pada suhu reservoar selama waktu tertentu. Makin kompatibel larutan surfaktan yang diujikan maka surfaktan makin efektif dalam menurunkan tegangan antarmuka. Kelakuan fasa menunjukkan pola kesetimbangan fasa dalam menentukan konsentrasi dan formula sistem surfaktan/air/minyak, yang diidentifikasi menggunakan ternary diagram.
Kemungkinan yang dapat terjadi adalah
terbentuk fasa atas, fasa tengah dan fasa bawah. Menurut Purnomo dan Makmur (2009), sebelum dilakukan peningkatan perolehan minyak (EOR) secara metode injeksi, sangat penting terlebih dahulu dilakukan uji kelakuan fasa dari campuran minyak-surfaktan-cosurfaktan-air. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan fasa dari fasa bawah ke fasa tengah dan kemudian ke fasa atas dalam sistem minyak/surfaktan/co-surfaktan/air injeksi adalah sebagai berikut : meningkatnya salinitas, berkurangnya panjang rantai hidrokarbon (minyak), meningkatnya konsentrasi alkohol (C4, C5, C6), turunnya suhu, bertambahnya konsentrasi surfaktan,
meningkatnya
perbandingan
brine/minyak,
dan
meningkatnya
perbandingan larutan surfaktan/minyak. Surfaktan yang diinginkan untuk injeksi adalah memiliki fasa bawah atau fasa tengah. Menurut Healy dan Reed (1974), konsentrasi NaCl sangat berpengaruh terhadap tegangan antarmuka, sebagai berikut : (a) pada konsentrasi NaCl yang rendah akan membentuk fasa bawah dimana mikroemulsi cenderung berbaur dengan air formasi. Surfaktan/brine/oil membentuk dua fasa, dengan kelarutan air
28
formasi dan minyak adalah Vw/Vs > Vo/Vs, dan disebut type II-, (b) Fasa tengah merupakan fasa yang ideal dimana dalam fasa ini akan memberikan nilai tegangan antarmuka yang paling rendah, dengan surfaktan/brine/oil membentuk tiga fasa yaitu mikroemulsi, air formasi dan minyak. Pada kondisi ini kelarutan air formasi dan minyak adalah Vw/Vs = Vo/Vs, dan disebut type III, dan (c) pada konsentrasi NaCl yang tinggi membentuk fasa atas dimana mikroemulsi cenderung berbaur dengan minyak. Surfaktan/brine/oil membentuk dua fasa dengan kelarutan air formasi dan minyak adalah Vw/Vs < Vo/Vs, dan disebut type II+. Peningkatan konsentrasi NaCl dapat menurunkan tegangan antarmuka mikroemulsi-minyak, sementara tegangan antarmuka mikroemulsi-air akan naik. Pada kondisi salinitas optimum akan diperoleh nilai tegangan antarmuka yang paling rendah. Perubahan kelakuan fasa dengan terjadinya perubahan salinitas disajikan pada Gambar 7.
Salinitas rendah
Salinitas sedang
Salinitas tinggi
Gambar 7. Perubahan kelakuan fasa akibat perubahan salinitas (Sheng, 2011) Uji ketahanan panas dilakukan untuk mengetahui pengaruh panas (suhu reservoir) terhadap kinerja surfaktan.
Pengujian ketahanan panas simultan
dengan uji tegangan antarmuka, dimana diharapkan hingga pemanasan selama periode waktu tertentu nilai IFT larutan surfaktan tetap stabil atau menurun dan tidak mengalami peningkatan. Uji filtrasi bertujuan untuk menentukan kemungkinan presipitasi oleh larutan surfaktan yang dikhawatirkan dapat
29
menyumbat pori-pori reservoir. Uji adsorpsi dilakukan untuk menentukan jumlah surfaktan yang hilang selama larutan surfaktan dialirkan ke batuan core. Surfaktan yang umum dipakai dalam proses EOR adalah sodium sulfonat yang ionik bermuatan negatif. Larutan surfaktan yang biasa digunakan di lapangan untuk pendesakan minyak sisa hasil pendorongan air, terdiri dari komponen surfaktan, air, minyak dan alkohol sebagai co-surfaktan. Perawatan sumur dengan surfaktan biasanya kombinasi dari surfaktan anionik dan nonionik. Surfaktan anionik dan kationik seharusnya tidak digunakan bersama sebab kombinasi keduanya dapat menghasilkan endapan.
Surfaktan dapat terserap oleh padatan untuk
menggantikan surfaktan yang terserap sebelumnya, dan memberikan padatan sifat kebasahan.
Surfaktan nonionik lebih serba guna dari semua surfaktan yang
digunakan pada stimulasi sumur sebab molekulnya yang tidak terionisasi atau tidak terurai. Umumnya surfaktan nonionik adalah ethylene oxide atau campuran propylene oxide. Karena larut dalam air, nonionik berhubungan dengan ikatan hidrogen atau air pengikat oksigen. Pengikat ini menurunkan temperatur dan konsentrasi garam.
Molekul surfaktan amfoter mengandung asam dan basa.
Dalam pH asam, bagian molekul basa terionisasi dan memberikan aktivitas permukaan untuk molekul. Pada pH basa, bagian molekul asam dinetralkan dan biasanya kurang mempunyai aktivitas permukaan daripada pH basa. Surfaktan amfoter memiliki kegunaan yang terbatas tetapi dapat digunakan sebagai corrosion inhibitor (Lake, 1989). Beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas surfaktan adalah sebagai berikut (Lake, 1989) : 1. Adsorpsi Adsorpsi surfaktan pada batuan reservoir merupakan parameter yang harus dipertimbangkan dalam injeksi surfaktan. Hal ini merupakan masalah yang serius yang akan mengakibatkan berkurangnya slug surfaktan pada saat injeksi surfaktan berlangsung. Penyerapan surfaktan pada batuan reservoir sangat tinggi bila berat ekivalen surfaktan tinggi.
Sebaliknya, bila berat
ekivalen surfaktan rendah, penyerapan surfaktan pada batuan reservoir akan rendah juga.
Hal ini yang menyebabkan terjadinya pemisahan surfaktan
30
karena semakin jauh dari titik injeksi maka berat ekivalen surfaktan akan semakin kecil dan fungsi zat aktif permukaan akan semakin berkurang. Berat ekivalen surfaktan yang tinggi sangat mempengaruhi penurunan dari tegangan antarmuka sehingga penurunan berat ekivalen surfaktan secara bertahap akan menurunkan kemampuan slug surfaktan untuk mendorong minyak yang tersisa di batuan reservoir. 2. Konsentrasi Slug Surfaktan Konsentrasi slug surfaktan mempunyai pengaruh besar terhadap terjadinya adsorpsi oleh batuan reservoir pada operasi pendesakan surfaktan. Agar batuan reservoir tidak dapat lagi mengadsorpsi surfaktan maka adsorpsi surfaktan harus diperbesar dengan cara meningkatkan konsentrasi surfaktan. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan, adsorpsi yang terjadi akan semakin besar dan penurunan tegangan antarmuka minyak-air terus berlangsung sampai batuan reservoir mencapai titik jenuh. Surfaktan dengan konsentrasi tinggi dapat lebih cepat meningkatkan perolehan minyak dibandingkan dengan surfaktan dengan konsentrasi rendah. 3. Kandungan Lempung Mineral lempung adalah mineral yang sangat suka dengan air (hidrofilik), namun mineral ini tidak mempunyai kemampuan untuk mengalirkan air yang diserapnya, atau dapat dikatakan bahwa mineral lempung mempunyai permeabilitas yang sangat kecil. Pada injeksi surfaktan, kandungan mineral lempung dalam reservoir harus diperhatikan. Karena sifatnya yang suka dengan air maka mineral lempung dapat menyerap atau mengadsorpsi surfaktan besar sekali, sehingga dapat menyebabkan penurunan perolehan minyak. Untuk reservoir yang mempunyai salinitas rendah, maka pengaruh lempung ini sangat dominan. 4. Salinitas Air Formasi Salinitas air formasi juga berpengaruh terhadap penurunan tegangan antarmuka minyak-air oleh surfaktan.
Untuk konsentrasi garam tertentu,
31
seperti NaCl akan menyebabkan penurunan tegangan antarmuka minyak-air sehingga tidak efektif lagi.
Hal ini disebabkan oleh ikatan kimia yang
membentuk NaCl adalah ikatan ion yang mudah terurai menjadi ion Na+ dan Cl- begitu juga dengan molekul-molekul surfaktan di dalam air akan mudah terurai menjadi ion RSO3- dan H+. Alkali merupakan salah satu chemical penting dalam proses EOR, khususnya untuk aplikasi alkaline flooding, yang ditambahkan ke air pada proses water flooding untuk memisahkan minyak dari pori-pori batuan reservoir dan memobilisasi globula yang terperangkap dalam pori-pori. Jenis dan konsentrasi yang digunakan bermacam-macam, seperti KOH, NaOH 0 - 1,6 % (w/w) (Nedjhioui et al., 2005), dan Na2CO3 0 - 0,6 % (Carrero et al., 2006). Kandungan minyak awal merupakan indikator kuantitas yang baik dari reservoir untuk menentukan kandungan sisa minyak. Untuk implementasi di lapangan, kandungan minyak awal tidak boleh kurang dari 20% PV sampai 30% PV.
Adapun kondisi yang kurang baik untuk dilakukannya injeksi
surfaktan yaitu pada kondisi reservoir yang sangat heterogen, reservoir yang berlapis-lapis, adanya mineral lempung montmorillonite, terdapat patahan atau rekahan, permeabilitas dan porositas yang kecil, adanya ion bervalensi dua dengan konsentrasi yang tinggi dan reservoir yang terlalu dalam. Bansal dan Shah (1978) telah meneliti pengaruh pemanfaatan surfaktan ethoxylated sulfonate sebagai co-surfaktan dan alkohol sebagai pelarut terhadap toleransi garam dan salinitas optimal dari formulasi surfaktan petroleum sulfonat untuk EOR.
Pada salinitas optimal dengan penambahan NaCl sebesar 32%,
formulasi surfaktan yang dihasilkan memberikan kisaran nilai IFT sangat rendah (ultra-low interfacial tension) berkisar 10-2 - 10-3 dyne/cm. Untuk stimulasi sumur minyak bumi telah dimanfaatkan surfaktan fosfat ester dengan nomor US Patent 4541483. Fosfat ester atau Alkyland aralkyl polyoxyalkylene phosphate dapat diinjeksikan ke sumur minyak bumi baik sebagai pelarut yang bersifat dapat larut pada air (water soluble) maupun minyak (oil soluble), dan dikenal sebagai surfaktan untuk aplikasi water-flood secondary recovery processes. Meskipun hingga saat ini surfaktan MES yang ada peruntukannya masih terbatas pada formulasi produk deterjen dan bahan
32
pembersih, namun peluang untuk memanfaatkan surfaktan MES pada aplikasi EOR cukup besar melihat dari hasil penelitian Hambali et al. (2008) dan Hambali et al. (2009). Hambali et al. (2008) telah mengembangkan formula oil well stimulation agent dengan menggunakan surfaktan MES yang terbuat dari metil ester C12 dari PKO dengan menggunakan reaktan NaHSO3. Formula tersebut terdiri atas 70% MES (bahan dasar minyak sawit), 20% pelarut, 7% surfaktan nonionik dan 3% co-solvent.
Hasil pengujian pada konsentrasi
stimulation agent 0,5% dan 1% dengan tingkat salinitas 10.000, 20.000 dan 30.000 ppm, menunjukkan bahwa IFT minyak-air mencapai 10-3dyne/cm. Total recovery minyak bumi menggunakan core standar (core sintetik) pada skala laboratorium memperlihatkan bahwa pada konsentrasi stimulation agent 0,5% berkisar 88 - 94%. Hambali et al. (2009) memanfaatkan surfaktan MES untuk aplikasi huff and puff pada batuan pasir skala laboratorium, dimana diperoleh formula dengan tegangan antarmuka berkisar 10-2 - 10-3 dyne/cm pada salinitas optimal 10.000 ppm.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Surfaktan MES merupakan surfaktan anionik yang dihasilkan melalui proses sulfonasi antara metil ester dari minyak nabati atau lemak hewani (Robert, 2001; Watkins, 2001) dengan reaktan yang dapat digunakan pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H (Pore, 1976; Bernardini, 1983). Beberapa faktor penting yang menentukan kualitas surfaktan MES yang dihasilkan diantaranya yaitu rasio mol reaktan, suhu reaksi, lama reaksi, konsentrasi gugus sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1996). Menurut MacArthur et al. (2002), suhu dapat meningkatkan laju reaksi, namun peningkatan suhu yang terlalu tinggi menyebabkan MES yang terbentuk terhidrolisis dan meningkatkan pembentukan komponen disalt yang tidak diinginkan. Peningkatan fraksi molekul yang memiliki energi kinetik melebihi energi aktivasi dilakukan dengan meningkatkan suhu (Petruci, 1992). Setiap reaksi kimia memerlukan waktu reaksi yang berbeda-beda dalam menyelesaikan reaksi hingga dihasilkannya suatu hasil reaksi, tergantung pada karakteristik pereaksi, produk hasil reaksi, dan kondisi reaksi yang dilakukan (Ebbing dan Wrighton, 1990). Menurut MacArthur et al. (2002), MESA hasil proses sulfonasi yang belum dimurnikan masih mengandung komponen disalt (disodium karboksi sulfonat), yang dapat menurunkan kelarutan MES dalam air dingin, lebih sensitif terhadap air sadah, memiliki deterjensi 50% lebih rendah, dan daya simpan lebih rendah. Proses pemurnian dilakukan dengan menambahkan metanol sebanyak 3140% dan H2O2 1-4% untuk memucatkan jika surfaktan MES yang dihasilkan dimanfaatkan untuk sabun dan deterjen.
Sementara Sherry et al. (1995)
memurnikan dengan hanya menggunakan metanol 10-15% pada suhu 54 oC, yang menghasilkan penurunan disalt sekitar 50 persennya. Untuk mendapatkan surfaktan MES yang memiliki nilai tegangan antarmuka sesuai untuk aplikasi EOR, maka penelitian ini melakukan perbaikan dan modifikasi terhadap kondisi proses yang telah dilakukan Hambali et al.
34
(2009), mengingat nilai tegangan antarmuka minyak-fluida yang dihasilkan masih berkisar 10-1 – 10-2 dyne/cm sebelum diformulasi, sehingga perlu dilakukan modifikasi proses agar diperoleh nilai tegangan antarmuka yang memenuhi persyaratan untuk aplikasi EOR.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
faktor-faktor lama sulfonasi, penambahan udara kering untuk mengencerkan gas SO3, pH hasil netralisasi, dan metanol dikaji pengaruhnya terhadap karakteristik utama kinerja surfaktan MES dalam rangka menghasilkan surfaktan MES yang sesuai untuk aplikasi EOR yaitu memiliki nilai tegangan antarmuka terendah, minimal 10-3 dyne/cm. Surfaktan yang diinjeksikan berkemungkinan untuk mengalami penurunan kinerja, sebagai akibat dari faktor suhu maupun keberadaan beragam kation dan anion pada fluida dan batuan reservoir yang dapat mempengaruhi kinerja surfaktan yang diujikan.
Sebagai representasi kondisi riil di lapangan, maka
formulasi dan pengujian formula surfaktan berbasis MES dilakukan dengan menggunakan fluida dari lapangan karbonat, meliputi air formasi, air injeksi dan minyak bumi, sedangkan untuk batuan corenya digunakan core sintetik yang dapat merepresentasikan batuan karbonat. Khusus pada pengujian coreflooding selain core sintetik digunakan juga native core formasi karbonat
Pengujian
dilakukan menggunakan fluida dari formasi karbonat, dengan pertimbangan untuk melihat kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka fluida karbonat yang memiliki tingkat kesadahan, salinitas dan suhu tinggi. 3.2. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Bahan baku olein sawit yang digunakan diduga akan meningkatkan kinerja metil ester sulfonat yang dihasilkan karena panjang rantai asam lemak C16 dan C18 yang dimiliki oleh olein dan gugus aktif sulfonat yang terbentuk selama proses sulfonasi menggunakan reaktan gas SO3 akan meningkatkan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka fluida reservoir. Gugus aktif sulfonat akan meningkatkan kelarutan surfaktan dalam fluida reservoir sementara panjang rantai karbon pada olein akan meningkatkan kelaruan surfaktan dalam minyak.
35
2.
Penambahan udara kering pada proses sulfonasi akan berpengaruh terhadap kinerja tegangan antarmuka surfaktan MES yang dihasilkan, dimana penambahan udara kering dengan rasio tertentu terhadap reaktan gas SO3 menyebabkan reaksi pembentukan gugus sulfonat sebagai gugus aktif berlangsung secara maksimal yang ditunjukkan dengan tercapainya nilai tegangan antarmuka yang rendah.
3.
Faktor pH surfaktan berpengaruh terhadap kinerja tegangan antarmuka surfaktan MES yang dihasilkan, dimana nilai pH surfaktan yang semakin mendekati nilai fluida reservoir yang diujikan akan menghasilkan nilai tegangan antarmuka lebih rendah.
4.
Proses reduksi komponen disalt dan hasil samping yang terkandung pada surfaktan MES melalui tahapan pemurnian berpengaruh terhadap kinerja tegangan antarmuka yang dihasilkan, dimana penambahan metanol mampu mereduksi dan mencegah pembentukan disalt sehingga kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka semakin membaik.
5.
Formula surfaktan MES yang dihasilkan diduga dapat diaplikasikan pada formasi karbonat, meskipun terdapat perbedaan kecenderungan muatan antara surfaktan MES dan fluida formasi yang diujikan. Perbedaan muatan dapat menyebabkan penurunan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka fluida yang terkandung dalam formasi karbonat.
3.3. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah olein minyak sawit, gas SO3, NaOH, metanol, NaCl, akuades, xylene, methylene blue, etanol 95%, HCl, iodium, amilum, fenolftalein, BaCl2, isobutanol, KOH, BF3, Na2SO4, bromida, pati, tetraklorida, n-heksan, KOH, isopropanol, kalium hidrogen phtalate, air suling (aquades), air demineralisasi, sikloheksan, asam asetat glasial 96%, kalium iodida, Na2S2O3, K2Cr2O7, larutan Wijs, toluene, dietil eter, aluminium foil, asam periodat, khloroform, HCl, metanol, H2SO4 95%, kain monel 500 mesh, kertas saring Whatman 41 (20-25 µm), membran filter 0,45 dan 0,22 µm, gas nitrogen, petroleum eter, indikator metilene blue, indikator phenol red, N cetylpgridinium chloride, amidos sulfonic acid, brom thymol blue, dedocyl sulfate sodium salt,
36
cetyltrimethylammonium bromide (CTAB), H2O2, air formasi, air injeksi dan minyak dari lapangan minyak di Sumatera, pasir kwarsa, semen dan bahan kimia untuk analisa lainnya. Peralatan yang digunakan yaitu reaktor transesterifikasi, reaktor Singletube Film Sulfonation Reactor (STFR) sistem kontinyu kapasitas 250 kg/hari milik SBRC LPPM IPB, reaktor pemurnian, spinning drop tensiometer model TX500C, core standard, pompa injector, Karl Fischer, alat sentrifuge dan tabung, pH-meter, mixer vortexer, pipet, tabung ulir, density meter Anton Paar DMA 4500 M, viskosimeter Brookfield DV-III Ultra, neraca analitik Precisa XT220A, stopwatch, alat filtrasi, thermospectronic Genesys 20, gelas ukur tutup asah, dan hotplate stirrer, buret, serta alat-alat gelas dan alat-alat untuk analisis lainnya. 3.4. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian dilakukan sebagai berikut : penyiapan bahan baku metil ester olein minyak sawit, penentuan lama proses sulfonasi metil ester olein menggunakan reaktor STFR sistem kontinyu dan reaktan gas SO3 dengan melakukan sampling setiap 60 menit, pengaruh penambahan metanol pada proses pemurnian surfaktan MES, perbaikan kondisi proses produksi surfaktan MES, formulasi surfaktan MES untuk aplikasi pada EOR, meliputi penentuan konsentrasi MES, penentuan salinitas optimal, pemilihan jenis dan konsentrasi aditif, pemilihan surfaktan komersial. Formula surfaktan berbasis MES yang dihasilkan selanjutnya diuji kinerjanya untuk aplikasi EOR meliputi compatibility test, kelakuan fasa, thermal stability, filtrasi, adsorpsi, uji core skala laboratorium. Tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian ini disajikan pada Gambar 8. 1. Analisis Sifat Fisiko-Kimia Bahan Baku Olein Pada tahapan ini dilakukan persiapan bahan baku olein minyak sawit. Olein dianalisis sifat fisiko kimianya, meliputi : bilangan iod, bilangan asam, bilangan penyabunan, kadar asam lemak bebas, kadar air, komposisi asam lemak, viskositas, densitas, fraksi tak tersabunkan. Prosedur analisis sifat fisiko-kimia olein sawit dapat dilihat pada Lampiran 1.
37
Gambar 8. Tahapan kegiatan penelitian yang dilaksanakan 2. Proses Transesterifikasi Olein Minyak Sawit Pada proses transesterifikasi, metanol ditambahkan sebanyak 15% (v/v) dari total bahan baku olein sawit yang hendak diproses dan dicampurkan dengan KOH 1% hingga membentuk larutan metoksida. Kemudian minyak sawit dan larutan metoksida dicampurkan pada reaktor transesterifikasi. Proses transesterifikasi berlangsung selama 1 jam, pada suhu 60
o
C dengan
38
pengadukan. Selanjutnya dilakukan proses settling untuk memisahkan antara crude metil ester dan gliserol yang dihasilkan dan kemudian dilakukan proses pencucian menggunakan air hangat 30% (v/v) dari total crude metil ester yang hendak dimurnikan, sebanyak tiga kali. Terakhir dilakukan pengeringan untuk mereduksi kandungan air dan metanol yang masih terkandung pada metil ester hasil pencucian sehingga dihasilkan metil ester murni. Diagram alir proses transesterifikasi minyak sawit menjadi metil ester disajikan pada Gambar 9. Metil ester yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat fisiko kimianya, meliputi : bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, densitas, kadar ester, fraksi tak tersabunkan, kadar gliserol total, kadar asam lemak bebas, dan kadar air.
Prosedur analisis sifat fisiko-kimia biodiesel/metil ester dapat
dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 9. Diagram alir proses transesterifikasi olein sawit 3. Penentuan Lama Proses Sulfonasi Metil Ester Olein Menggunakan Reaktor STFR Pada tahapan ini akan dikaji pengaruh lama sulfonasi menggunakan Singletube film sulfonation reactor (STFR) dengan sistem kontinyu, yang didisain berupa tube tunggal dengan tinggi 6 meter dan diameter 25 mm. Gas
39
SO3 yang digunakan merupakan produk antara yang dihasilkan pada tahapan proses produksi PT Mahkota Indonesia.
Produk antara ini memiliki
konsentrasi 26 %, sehingga dilakukan pencampuran gas SO3 dengan udara kering (dry air) untuk menghasilkan campuran gas SO3/ udara kering sekitar 5-7% (v/v). Laju gas SO3 dengan konsentrasi 5-7 % diinputkan ke dalam reaktor sebesar 7,22 kg/jam. Proses sulfonasi dilakukan dengan rasio mol metil ester dan gas SO3 yaitu 1:1,3 pada laju alir metil ester yang masuk ke dalam reaktor adalah 5,23 kg/jam, dan suhu sulfonasi 100oC (Hambali et al., 2009). Faktor yang diujikan yaitu waktu proses sulfonasi 1 - 6 jam dengan interval 1 jam. Dilanjutkan dengan proses aging pada suhu 90oC selama 60 menit dan pengadukan 150 rpm hingga diperoleh MESA. Perhitungan laju alir ME olein dan SO3 disajikan pada Lampiran 3. MESA kemudian dire-esterifikasi menggunakan metanol 15% dan dinetralisasi dengan NaOH 50% hingga dihasilkan MES dengan pH netral. Diagram alir penentuan lama proses sulfonasi disajikan pada Gambar 10. Skema STFR yang digunakan disajikan pada Gambar 11.
Pengujian
dilakukan terhadap produk MESA dan MES. Parameter yang diuji meliputi warna 5% klett, densitas, pH, viskositas, bilangan iod, kestabilan emulsi, kandungan bahan aktif, bilangan asam, dan tegangan antarmuka. Prosedur analisis surfaktan MES dapat dilihat pada Lampiran 4. Rancangan percobaan faktor proses yang berpengaruh dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal dengan dua kali pengulangan. Model matematis rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Yij = µ + Ai + εj(i) Dimana : Yij µ Ai εj(i)
hasil pengamatan pada ulangan ke-j karena faktor A (lama sulfonasi) ke-i : rata-rata yang sebenarnya : pengaruh A (lama sulfonasi) ke-i : galat eksperimen pada ulangan ke-j karena faktor A (lama sulfonasi) ke-i :
Reaktor sulfonasi STFR (1 - 6 jam)
40
Gambar 10. Diagram alir penentuan lama proses sulfonasi
Gambar 11. Skema STFR yang digunakan
41
4. Pengaruh Penambahan Metanol pada Proses Pemurnian Surfaktan MES Tahapan ini dilakukan untuk menentukan kondisi proses pemurnian yang akan diterapkan pada tahap kajian selanjutnya, dengan menerapkan kondisi terbaik yang diperoleh pada tahapan sebelumnya. Proses pemurnian dimodifikasi dari Sherry et al. (1995), dengan faktor konsentrasi metanol 0 15%, interval 5% pada suhu sekitar 55oC, pengadukan selama 45 menit, dan dilanjutkan dengan netralisasi menggunakan NaOH 50% hingga dicapai pH netral (berkisar 7). Diagram alir kajian proses pemurnian MES disajikan pada Gambar 12.
Parameter yang diuji adalah tegangan antarmuka.
analisis tegangan antarmuka disajikan pada Lampiran 4.
Prosedur Rancangan
percobaan faktor proses yang berpengaruh dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal dengan dua kali pengulangan. Model matematis rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Yij = µ + Ai + εj(i) Dimana : Yij
Reaktor sulfonasi STFR
µ Ai εj(i)
hasil pengamatan pada ulangan ke-j karena faktor A (konsentrasi metanol) ke-i : rata-rata yang sebenarnya : pengaruh A (konsentrasi metanol) ke-i : galat eksperimen pada ulangan ke-j karena faktor A (konsentrasi metanol) ke-1 :
Gambar 12. Diagram alir kajian penambahan metanol pada proses pemurnian MES
42
5. Perbaikan Kondisi Proses Produksi Surfaktan MES Untuk mendapatkan sampel surfaktan MES yang lebih baik dilakukan perbaikan pada kondisi proses produksi surfaktan MES. Kondisi proses yang diterapkan meliputi gas SO3-udara kering diinputkan ke dalam reaktor sebesar 7,22 kg/jam, rasio mol metil ester dan gas SO3 yaitu 1:1,3 pada kecepatan alir metil ester yang masuk ke dalam reaktor adalah 5,23 kg/jam, suhu sulfonasi 100oC (Hambali et al., 2009), lama sulfonasi 3-4 jam, suhu aging 90oC selama 60 menit dengan pengadukan 150 rpm, dan tanpa penambahan metanol sebagai hasil terbaik yang diperoleh pada tahapan sebelumnya. Perbaikan dilakukan dengan penambahan udara kering bersamaan dengan gas SO3 yang diinputkan ke dalam reaktor STFR (0; 1,8, 3,6 kg/jam) dikombinasikan dengan pH MES setelah netralisasi (6, 7, 8). Parameter yang diuji meliputi bilangan iod, kandungan bahan aktif, tegangan antarmuka, kestabilan emulsi, viskositas, dan warna 5% klett.
Diagram alir perbaikan kondisi proses
produksi MES disajikan pada Gambar 13. Prosedur analisis surfaktan MES dapat dilihat pada Lampiran 4. Rancangan percobaan faktor proses yang berpengaruh dilakukan dengan menggunakan Rancangan Petak Terbagi, dengan dua kali pengulangan. Model matematis rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Yjkm = µ + Ri + Aj + δij + Bk + ABjk + εm(ijk) Dimana : Yjkm : Nilai pengamatan pada ulangan ke-m karena faktor udara kering (A) taraf ke-j dan faktor pH (B) taraf ke-k µ : Rata-rata yang sebenarnya Ri : Pengaruh ulangan/blok ke-i Aj : Pengaruh udara kering (A) ke-j (petak utama) δij : Galat untuk petak utama pada blok ke-i karena faktor A ke-j Bk : Pengaruh pH ke-k (anak petak) ABjk : Pengaruh interaksi faktor udara kering (A) ke-j dan pH (B) ke-k εm(ijk) : Galat sisa pada ulangan ke-m akibat pengaruh blok ke-i, A ke-j dan B ke-k
Reaktor sulfonasi STFR (3 - 4 jam)
43
Gambar 13. Diagram alir perbaikan kondisi proses produksi MES 6. Formulasi Surfaktan MES untuk Aplikasi pada EOR Formulasi surfaktan dilakukan dengan mengkombinasikan surfaktan MES dengan salinitas optimal, surfaktan komersial, dan aditif terbaik yang diperoleh.
Untuk itu dilakukan penentuan konsentrasi surfaktan MES,
salinitas optimal, aditif dan surfaktan komersial terbaik untuk formulasi. a. Penentuan konsentrasi surfaktan MES Sampel surfaktan MES terbaik yang telah diperoleh ditentukan konsentrasi yang dapat memberikan nilai tegangan antarmuka terendah. Konsentrasi surfaktan yang diujikan berkisar 0-0,4%, dengan interval 0,1%. Pengujian dilakukan dua kali. b. Penentuan salinitas optimal Sampel surfaktan MES terbaik yang diperoleh pada tahapan sebelumnya selanjutnya digunakan untuk mencari salinitas optimal antara surfaktan MES dan air injeksi. Penentuan salinitas optimal dilakukan pada konsentrasi surfaktan MES 0,3% dengan variasi salinitas air injeksi 0 hingga 60.000 ppm dengan interval 5000 ppm.
Parameter yang diuji
meliputi tegangan antarmuka, densitas, pH, dan viskositas pada suhu 30
44
dan 70 oC.
Data tegangan antarmuka kemudian diplotkan terhadap
salinitas untuk mendapatkan salinitas optimalnya. Rancangan percobaan faktor proses yang berpengaruh dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal dengan dua kali pengulangan. Model matematis rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Yij = µ + Ai + εk(ij) Dimana : Yij : µ : Ai : εj(i) :
hasil pengamatan pada ulangan ke-j karena faktor A (salinitas) ke-i rata-rata yang sebenarnya pengaruh salinitas (A) ke-i galat eksperimen pada ulangan ke-j karena faktor A ke-i
c. Pemilihan Aditif Pemilihan aditif dilakukan untuk menentukan jenis dan konsentrasi aditif terbaik yang mampu menghasilkan penurunan nilai tegangan antarmuka. Pada tahapan ini digunakan dua jenis aditif yaitu NaOH dan Na2CO3, dengan variasi konsentrasi 0,1 – 0,6 persen dengan interval 0,1%. Parameter yang diuji meliputi tegangan antarmuka, pH dan densitas (Lampiran 4).
Rancangan percobaan faktor proses yang berpengaruh
dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali pengulangan. Model matematis rancangan percobaannya adalah sebagai berikut : Yijk = µ + Ai + Bj + ABij + εk(ijk) Dimana : Yijk
:
µ Ai Bj ABij
: : : :
εk(ij) :
hasil pengamatan pada ulangan ke-k karena faktor A ke-i dan B ke-j rata-rata yang sebenarnya pengaruh jenis aditif (A) ke-i pengaruh konsentrasi aditif (B) ke-j pengaruh interaksi jenis aditif (A) ke-i dan konsentrasi aditif (B) ke-j galat eksperimen pada ulangan ke-k karena faktor A ke-i dan B ke-j
45
d. Pemilihan Co-Surfaktan Pemilihan co-surfaktan dilakukan terhadap 14 jenis surfaktan komersial yang tersedia di pasaran, yaitu alkyl polyglicoside C12, alkyl polyglicoside C8, C10 alkoxylated 7, dietanolamida, alcohol ethoxylate 7 EO, sodium dodecyl benzene sulfonate (25%), sodium dodecyl benzene sulfonate (65%), dodecyl benzene sulfonic acid, nonyl phenol ethoxylate 9 EO, nonyl phenol ethoxylate 10 EO, alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride, secondary C12-14, 7 ethoxylated, secondary C12-14, 7 ethoxylated, dan alkyl polyglicoside C12-16. Surfaktan komersial yang dipilih adalah yang menghasilkan nilai tegangan antarmuka terendah pada pengukuran menggunakan air formasi dari lapangan minyak. Pengujian nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan komersial 0,3% pada air formasi dilakukan dua kali. 7. Uji kinerja surfaktan MES untuk Aplikasi pada EOR Pengujian dilakukan meliputi kompatibilitas, kelakuan fasa, thermal stability, filtrasi, adsorpsi dan uji core. Prosedur analisis kinerja formula surfaktan berbasis MES disajikan pada Lampiran 5. •
Uji kompatibilitas dilakukan untuk melihat kesesuaian surfaktan dengan air formasi dan air injeksi. Pengujian dilakukan dengan membuat larutan surfaktan dengan air formasi dan air injeksi. Kesesuaian diindikasikan dengan tidak terbentuknya endapan dalam larutan surfaktan.
•
Uji kelakuan fasa dilakukan pada suhu reservoir tempat dimana air formasi yang digunakan berasal yaitu 112 oC.
Pengamatan dilakukan secara
periodik selama waktu tertentu. •
Uji thermal stability dilakukan selama waktu tertentu pada suhu reservoir tempat dimana air formasi yang digunakan berasal yaitu 112 oC, dan suhu 70
o
C sebagai pembanding.
Pengamatan nilai tegangan antarmuka
dilakukan secara periodik untuk melihat kecenderungan perubahan nilai tegangan antarmuka yang terjadi selama pemanasan pada suhu reservoir berlangsung.
46
•
Uji filtrasi dilakukan menggunakan beberapa ukuran media pori (500 mesh, 20-25 µm, 0,45 µm dan 0,22 µm) dengan volume larutan surfaktan dan air formasi masing-masing 300 ml, dan dilakukan plot volume vs waktu.
•
Uji adsorpsi dilakukan dengan melarutkan 15 g batuan core yang sudah dihancurkan dalam 8 ml larutan surfaktan, atau hingga seluruh batuan core terbenam dalam larutan surfaktan, lalu diukur nilai absorbansi sebelum dan sesudahnya.
•
Uji core dilakukan dengan melewatkan 250 ml larutan surfaktan melewati core yang sudah dijenuhkan air dan minyak bumi pada suhu reservoir (112 o
C), dan dihitung volume minyak yang berhasil didesak dari core oleh
larutan surfaktan. Core yang digunakan berupa core sintetik dan native core. Pengujian juga dilakukan dengan menginjeksikan larutan surfaktan pada aliran berbeda. Beberapa peralatan dan intrumen analisis yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 6.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.
Karakterisasi Bahan Baku Olein dan ME Olein Bahan baku minyak sawit yang digunakan pada penelitian ini adalah fraksi
olein sawit. Olein sawit merupakan fraksi cair dari hasil fraksinasi minyak sawit yang telah dimurnikan. Pemilihan olein sawit sebagai bahan baku didasarkan pada pertimbangan komposisi asam lemak penyusun olein sawit yang dominan asam palmitat (C16:0) dan asam oleat (C18:1). Asam lemak C16:0 dan C18:1 memiliki rantai karbon yang lebih panjang dibanding asam lemak lainnya pada minyak sawit.
Semakin panjang rantai karbon yang bersifat lipofilik pada struktur
molekul surfaktan maka kemungkinan surfaktan tersebut untuk makin larut ke minyak akan semakin besar dan dengan gugus aktif yang diharapkan akan berikatan dengan fraksi air menyebabkan kelarutan surfaktan baik pada minyak maupun air menjadi semakin baik yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmuka yang rendah. Sebelum proses konversi olein menjadi metil ester olein dilakukan, terlebih dahulu dilakukan analisis untuk mengetahui sifat fisikokimia bahan baku olein yang digunakan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar asam lemak bebas, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, densitas, viskositas, kadar air, fraksi tak tersabunkan, dan komposisi asam lemak. Hasil analisis kadar asam lemak bebas olein sawit menjadi acuan untuk menentukan tahap reaksi esterifikasi/transesterifikasi yang dilakukan untuk mengkonversi olein sawit menjadi metil ester olein. Parameter lainnya menjadi parameter kunci untuk mengetahui keberhasilan proses konversi yang dilakukan. Hasil analisis sifat fisikokimia olein dan metil ester (ME) olein sawit disajikan pada Tabel 9. Kadar asam lemak bebas merupakan parameter penting dalam menentukan proses yang dibutuhkan untuk mengkonversi minyak dan asam lemak menjadi metil ester. Pada kadar asam lemak bebas di atas 2% minyak terlebih dahulu diesterifikasi dan dilanjutkan dengan tahapan proses transesterifikasi.
Proses
transesterifikasi secara langsung terhadap minyak dengan kadar asam lemak bebas di atas 2% menyebabkan reaksi konversi menjadi tidak efektif karena terbentuknya sabun dalam jumlah besar akibat reaksi yang terjadi antara katalis
48
basa dan asam lemak bebas yang tinggi. Sabun yang terbentuk dapat mengganggu proses pemisahan antara produk utama yaitu metil ester dengan produk samping yaitu gliserol, sehingga menyebabkan rendahnya rendemen metil ester yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis, kadar asam lemak bebas pada bahan baku olein cukup rendah, yaitu 0,19%. Berdasarkan kandungan asam lemak bebas olein sawit yang kurang dari 2%, maka untuk mengkonversi olein sawit menjadi metil ester hanya diterapkan satu tahapan reaksi, yaitu proses transesterifikasi menggunakan metanol dan katalis basa. Tabel 9. Hasil analisis olein dan ME olein sawit Analisis Satuan Asam Lemak Bebas % Bilangan Asam mg KOH/g Bilangan Iod mg Iod/g Bilangan Penyabunan mg KOH/g Densitas g/cm3 o cP Viskositas (29 C) Kadar Air % Fraksi tak tersabunkan % Kadar Gliserol Total %-massa Kadar Ester %-massa Asam lemak : % a. Asam lemak jenuh - Laurat - Miristat - Palmitat - Stearat b. Asam lemak tidak jenuh - Oleat - Linoleat - Linolenat
Olein 0,19 0,41 61,93 208,40 0,906 61,5 0,103 0,38 -
ME Olein 0,13 0,94 61,77 207,63 0,8718 0,13 0,14 0,06 95,55
0,147 0,909 40,207 1,294 43,901 11,897 0,852
Semakin sedikit asam lemak bebas yang terkandung pada bahan baku olein berkorelasi dengan semakin rendahnya bilangan asam.
Hal ini karena
bilangan asam merupakan jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Mengingat asam lemak bebas olein cukup rendah, maka jumlah mg KOH untuk menetralkan asam lemak tersebut semakin sedikit, sehingga pada
49
perhitungan dihasilkan nilai bilangan asam yang rendah sebesar 0,41 mg KOH/g sampel dan kadar asam lemak bebasnya sebesar 0,19%. Bilangan iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak, yang dinyatakan sebagai jumlah iod yang dapat diikat oleh minyak. Ketidakjenuhan minyak menandakan keberadaan ikatan rangkap yang menyusun rantai karbon asam lemak. Semakin tinggi tingkat ketidakjenuhan minyak, maka semakin besar kemungkinan ikatan rangkap tersebut dapat mengikat iod
sehingga semakin
tinggi pula nilai bilangan iod yang dihasilkan. Bilangan iod tidak berpengaruh terhadap proses transesterifikasi namun dapat menentukan karakteristik metil ester yang dihasilkan dan keberhasilan proses konversi yang dilakukan. Metil ester dari minyak tidak jenuh kurang stabil terhadap oksidasi, karena menurut Sanford et al. (2009) stabilitas terhadap oksidasi ditentukan oleh dua aspek yaitu keberadaan atom hidrogen pada ikatan rangkap yang merupakan titik terjadinya oksidasi dan adanya antioksidan alami pada minyak yang dapat mencegah oksidasi pada molekul trigliserida. Proses transesterifikasi hanya berfungsi untuk mengubah OH menjadi -OCH3 pada gugus karboksil, dan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul rantai karbon, sehingga tidak akan terjadi perubahan ikatan rangkap. Bilangan iod bahan baku olein yang dihasilkan 61,93 mg iod/g sampel. Nilai ini mendekati kisaran bilangan iod minyak sawit menurut Hui (1996) yaitu 44 – 54 mg iod/g sampel. Bilangan penyabunan menunjukkan miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram lemak atau minyak (Ketaren, 1986). Panjang rantai karbon dalam asam lemak penyusun trigliserida dan bobot molekul trigliserida akan berpengaruh terhadap jumlah KOH yang diperlukan untuk menyabunkan molekul penyusun trigliserida. Menurut Sanford et al. (2009), semakin tinggi bilangan penyabunan suatu trigliserida menunjukkan rantai karbon asam lemak penyusun trigliserida semakin pendek. Bilangan penyabunan untuk tiap minyak memiliki nilai tertentu yang menunjukkan panjang pendeknya rantai karbon asam lemak penyusunnya, sehingga dapat digunakan sebagai parameter untuk mengidentifikasi minyak dan menunjukkan keberhasilan proses konversi yang dilakukan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul rantai karbon. Menurut Hui (1996), bilangan penyabunan olein sawit berkisar 194 – 202 mg KOH/g
50
sampel, sementara hasil analisis bahan baku yang digunakan menunjukkan 208,40 mg KOH/g sampel. Kandungan air pada bahan baku olein sawit yang digunakan cukup rendah yaitu 0,103%. Nilai ini jauh lebih rendah dibanding batas toleransi kandungan air dalam bahan baku menurut Gerpen et al. (2004) yaitu maksimal 1%. Perlunya batas toleransi kandungan air dalam bahan baku disebabkan karena air mampu menghidrolisis trigliserida menjadi digliserida, monogliserida dan akhirnya terbentuk asam lemak bebas. Asam lemak bebas akan bereaksi dengan katalis basa membentuk sabun. Air juga dapat bereaksi dengan katalis selama proses esterifikasi/transesterifikasi membentuk sabun dan emulsi. Kehadiran asam lemak bebas, sabun dan emulsi ini dapat mengganggu kesempurnaan proses konversi karena akan terbentuk sabun yang berlebih. Sabun berlebih cenderung berbentuk gel pada suhu ruang yang menyebabkan proses pemisahan metil ester menjadi sulit dilakukan, sebagai akibatnya dihasilkan rendemen yang rendah. Biasanya proses pemanasan dilakukan pada bahan baku sebelum proses konversi dilakukan untuk mengurangi kandungan air pada bahan baku. Mengingat kandungan air pada olein yang lebih rendah dibanding batas toleransi, maka tidak perlu dilakukan proses pemanasan yang bertujuan untuk menghilangkan komponen air dari olein. Fraksi tak tersabunkan merupakan senyawa yang tidak dikehendaki dalam minyak yang harus diminimalkan keberadaannya. Fraksi tak tersabunkan terdiri dari senyawa organik seperti sterol, alkohol dengan berat molekul tinggi, pigmen, lilin dan hidrokarbon, yang tidak bereaksi dengan basa untuk membentuk sabun, bersifat sangat non polar. Karenanya fraksi tak tersabunkan ini masih mungkin terdapat pada metil ester setelah reaksi transesterifikasi dan pencucian dilakukan yang dapat mengurangi kemurnian metil ester. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai fraksi tak tersabunkan bahan baku olein sebesar 0,38%. Hasil analisis komposisi asam lemak menunjukkan bahwa olein sawit dominan mengandung asam palmitat (C16:0) sebesar 40,207% dan asam oleat (C18:1) sebesar 43,901%. Bila dibandingkan persentase antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh penyusun trigliserida olein, diketahui bahwa asam lemak tidak jenuh pada olein (57,10%) lebih tinggi dibanding asam lemak
51
jenuhnya (42,90%).
Komposisi asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi
menunjukkan bahwa jumlah ikatan rangkap yang dimiliki lebih besar sehingga pada kondisi suhu ruang bahan baku olein tetap berbentuk cair. Metil ester olein sawit yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik jika dilihat dari faktor rendemen, kandungan pengotor dan struktur rantai karbonnya. Berdasarkan rendemen, metil ester olein yang dihasilkan memiliki kadar ester yang cukup tinggi yaitu 95,55 %, sementara kandungan pengotornya cukup rendah yaitu kadar air 0,13%, kadar gliserol total 0,06 % dan fraksi tak tersabunkan 0,14%. Terjadinya peningkatan kadar air dalam jumlah kecil pada ME olein terjadi selama proses transesterifikasi melalui reaksi antara katalis KOH dengan metanol dan juga dari proses pencucian untuk menghilangkan gliserol. Tahapan pengeringan air yang terbentuk dan tersisa pada metil ester dapat berlangsung dengan baik sehingga kadar air ME olein yang dihasilkan sebesar 0,13%. Jika dilihat dari struktur rantai karbonnya terlihat tidak terjadi perubahan ataupun kerusakan, yang tergambarkan dari nilai bilangan iod dan bilangan penyabunan metil ester olein yang relatif sama dengan olein. Bilangan iod metil ester olein yang relatif sama dengan bilangan iod bahan baku olein yaitu sebesar 61,77 mg iod/g sampel yang menunjukkan bahwa ikatan rangkap pada rantai karbon olein tidak mengalami perubahan, yang mengindikasikan tidak terjadi kerusakan berupa putusnya ikatan rangkap akibat kondisi proses transesterifikasi yang diterapkan. Bilangan penyabunan metil ester olein juga relatif sama dengan bilangan penyabunan olein yaitu 207,63 mg KOH/g sampel, yang menunjukkan bahwa panjang rantai karbon penyusun asam lemak adalah tetap dan tidak mengalami proses pemutusan menjadi rantai lebih pendek. Hal ini menunjukkan bahwa reaktor transesterifikasi yang digunakan untuk mengkonversi olein menjadi metil ester olein mampu memberikan hasil konversi berupa ester yang tinggi dengan kadar gliserol total dan kadar air yang cukup rendah. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini memiliki kesamaan dengan bahan baku minyak yang digunakan oleh Henkel dan Chengdu Nymph sebagaimana disajikan pada Tabel 4, yaitu metil ester dengan kandungan asam lemak dominan C16:0 dan C18:1, dengan kedekatan nilai pada bilangan penyabunan,
52
bilangan asam, kadar air, dan fraksi tak tersabunkan. Yang berbeda adalah pada nilai bilangan iod, dimana bilangan iod
Henkel dan Chengdu Nymph lebih
rendah yaitu 1,9 mg I/g ME karena telah melewati tahap hidrogenasi. Sementara bilangan iod yang digunakan pada penelitian ini berkisar 61,77 mg Iod/g sampel menunjukkan bahwa ME olein bersifat tidak jenuh dan mengandung banyak ikatan rangkap. 4.2. Penentuan Lama Proses Sulfonasi Metil Ester Olein Menggunakan Reaktor STFR Pilot plant Singletube Falling Film Sulfonation Reactor (STFR) berlokasi di pabrik PT Mahkota Indonesia, Pulogadung. Gas SO3 yang digunakan diperoleh dari proses produksi H2SO4 dari PT Mahkota Indonesia, melalui proses pencairan sulfur pada suhu 140-150 oC, dilanjutkan dengan pembakaran sulfur cair dengan udara kering pada suhu 600-800 oC untuk menghasilkan sulfur dioksida (SO2). SO2 kemudian dioksidasi dalam empat bed converter menggunakan katalis V2O5 pada suhu 400-500 oC sehingga dihasilkan SO3 berupa gas. Produksi gas SO3 sangat tergantung pada tingkat produksi asam sulfat pada PT Mahkota Indonesia. Proses sulfonasi metil ester olein dengan gas SO3 berlangsung secara cepat pada STFR, yang berukuran tinggi enam meter dengan diameter tabung reaktor 25 mm.
Umpan metil ester olein dipanaskan pada suhu 100
o
C kemudian
dipompakan naik ke head reactor dengan laju 100 ml/menit atau setara dengan 5,23 kg/jam, masuk ke liquid chamber membentuk lapisan film dengan ketebalan tertentu. Kontak metil ester olein dengan gas SO3 terjadi pada puncak reaktor secara kontinyu sepanjang tabung dengan aliran laminar dan ketebalan film metil ester yang mengalir di sepanjang tabung dijaga konstan agar reaksi terjadi merata sepanjang permukaan dalam tabung. Secara umum, produk MESA dan MES yang dihasilkan berwarna gelap kehitaman. Warna hitam merupakan sifat yang dihasilkan oleh proses sulfonasi ME, terutama jika umpan ME yang digunakan mengandung asam lemak tidak jenuh akibat terbentuknya senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Pada Gambar 14 disajikan contoh surfaktan MES yang dihasilkan.
53
Mekanisme sintesis MES dari ME yang terdiri dari ester asam lemak jenuh dan tidak jenuh melalui proses sulfonasi pada reaktor falling-film terjadi dalam beberapa tahap reaksi. Menurut Stein dan Bauman (1974) dan Ghazali (2002), MES disintesis dengan mereaksikan metil ester asam lemak dengan SO3 hingga membentuk senyawa sulfonat. Mekanisme sintesis MES dari ME yang terdiri dari ester asam lemak jenuh melalui proses sulfonasi pada reaktor falling-film terjadi dalam beberapa tahap reaksi. Pada tahap pertama atom O pada gugus karboksil bersifat sangat elektromagnetik, menarik semua elektron ke arahnya sehingga atom C pada gugus karbonil menjadi kekurangan elektron.
Atom S yang
kekurangan elektron dengan mudah berikatan dengan gugus -OCH3 pada ester sehingga membentuk senyawa alfa keto enol berupa asam sulfat anhidrid (a). Senyawa alfa keto enol ini bersifat sementara karena dapat mengalami toutomerisasi sehingga senyawa anhidrid ini berada dalam keadaan setimbang dengan bentuk enolnya (b), dimana ketika SO3 ditambahkan maka ikatan rangkapnya diserang oleh molekul SO3 kedua. Molekul SO3 terikat pada ikatan π pada ikatan rangkap dan terbentuk ikatan hidrogen antara atom H dan atom O pada gugus SO3 sebelumnya.
Senyawa yang terbentuk merupakan senyawa
anhidrid dengan dua gugus sulfonat yang terikat pada Cα dan pada gugus karboksil (c). Pada tahap kedua yang berlangsung lebih lambat, senyawa sulfonat anhidrid ini mengalami penyusunan kembali membentuk ester sulfonat dan melepaskan satu molekul SO3 yang pada awalnya terikat pada gugus karboksil hingga menghasilkan MESA. SO3 yang dilepaskan akan mensulfonasi molekul ME yang lain.
Produk MESA selanjutnya dire-esterifikasi dan dinetralisasi
menggunakan NaOH sehingga dihasilkan MES. Mekanisme reaksi pembentukan MES selama proses sulfonasi disajikan pada Gambar 15.
Gambar 14. Contoh produk surfaktan MES yang dihasilkan
54
O
O Rn-1
CH2
C OCH3
+
SO3
Rn-1
CH2
OSO3CH3
C
(a)
O Rn-1
CH
OSO3CH3
C
SO3
Rn-1
O
H
C
OSO3CH3
CH
(b)
(c)
SO3H
O Rn-1
CH
C OCH3
+
SO3H MESA
NaOH
Rn-1
CH
O C OCH3 + H2O
SO3Na MES
Gambar 15. Mekanisme reaksi pembentukan MES selama proses sulfonasi (Ghazali, 2002) Jika SO3 terlalu banyak selama proses sulfonasi berlangsung, maka kelebihan SO3 akan menyebabkan terbentuknya produk samping, dan ketika dinetralisasi akan terkonversi menjadi sulfon dan sabun sulfonat (sulfonated soap) atau dikenal sebagai disalt.
Menurut Biermann et al. (1987) semakin tinggi
kelebihan SO3 maka akan semakin banyak disalt terbentuk. Mekanisme reaksi pembentukan hasil samping selama proses sulfonasi disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16. Mekanisme reaksi pembentukan hasil samping (Stein dan Baumann, 1974)
55
Hasil analisis MESA sebagai berikut : warna berkisar 279,8 - 638,8 klett, pH berkisar 0,82 - 1,11, viskositas berkisar 37,75 – 100,75 cP, bilangan iod berkisar 13,91 – 32,46 mg iod/g sampel, kestabilan emulsi berkisar 84,51 - 94,10 persen, kandungan bahan aktif berkisar 7,51 - 11,44 persen, bilangan asam berkisar 10,37 - 18,66 mg KOH/g sampel, dan tegangan antarmuka berkisar 2,00x10-1 – 9,00x10-2 dyne/cm. Rekapitulasi hasil analisis parameter uji sampel MESA disajikan pada Tabel 10.
Sementara analisis MES memberikan hasil
sebagai berikut : warna berkisar 194,5 - 379,3 klett, pH 6,85 - 8,68, viskositas berkisar 84,75 – 175,25 cP, bilangan iod berkisar 22,61 – 28,62 mg iod/g sampel, kestabilan emulsi berkisar 98,68 - 99,22 persen, kandungan bahan aktif berkisar 6,19 - 9,73 persen, bilangan asam berkisar 0,33 - 0,57 mg KOH/g sampel, dan tegangan antarmuka berkisar 2x10-2 - 8x10-2 dyne/cm. Rekapitulasi hasil analisis parameter uji sampel MESA dan MES disajikan pada Tabel 11.
Fluktuasi
parameter yang dihasilkan disebabkan karena fluktuasi pasokan gas SO3 yang terjadi selama proses sulfonasi berlangsung. Jika produksi asam sulfat tinggi maka produksi dan tekanan gas SO3 menjadi tinggi sehingga gas SO3 yang masuk ke instalasi reaktor tinggi pula, demikian sebaliknya.
56
Tabel 10. Karakteristik MESA yang dihasilkan dari lama sulfonasi 1 – 6 jam Lama Sulfonasi (Jam)
Warna (Klett)
pH
1 2 3 4 5 6
279,8 ± 73,89 c 346,0 ± 44,55 bc 543,0 ± 80,61 abc 638,8 ± 228,75 a 425,5 ± 3,54 abc 596,5 ± 82,73 ab
1,11 ± 0,16 1,07 ± 0,01 0,82 ± 0,27 0,85 ± 0,14 0,85 ± 0,19 0,88 ± 0,02
Viskositas (cP)
Bilangan Iod (mg Iod/g sampel)
Kestabilan Emulsi (%)
Bahan Aktif (%)
37,75 ± 18,74 39,50 ± 0,71 100,75 ± 73,19 68,50 ± 32,53 68,50 ± 36,06 45,50 ± 6,36
30,37 ± 5,99 a 29,22 ± 0,02 a 32,46 ± 9,60 a 13,91 ± 5,74 b 22,14 ± 4,53 ab 28,48 ± 2,68 a
87,05 ± 2,50 90,26 ± 11,22 85,88 ± 0,20 84,51 ± 0,23 85,46 ± 0,98 94,10 ± 5,71
7,51 ± 1,39 8,17 ± 0,76 7,73 ± 0,43 8,92 ± 0,12 10,18 ± 1,55 11,44 ± 3,51
Bilangan Asam (mg KOH/g sampel) 10,37 ± 2,72 11,32 ± 1,81 18,66 ± 3,50 15,28 ± 5,56 14,42 ± 4,30 12,98 ± 1,58
Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 0,20 ± 0,13 0,13 ± 0,10 0,16 ± 0,01 0,12 ± 0,09 0,09 ± 0,02 0,10 ± 0,01
Keterangan : huruf berbeda menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5% (uji ANOVA).
Tabel 11. Karakteristik MES yang dihasilkan dari lama sulfonasi 1 – 6 jam Lama Sulfonasi (Jam)
Warna (Klett)
1 2 3 4 5 6
194,5 ± 21,21 256,5 ± 15,56 379,3 ± 258,45 287,8 ± 9,55 320,3 ± 15,20 348,8 ± 10,96
pH 6,85 ± 2,60 7,17 ± 2,58 8,68 ± 0,18 7,72 ± 0,27 8,21 ± 0,30 8,17 ± 1,35
Viskositas (cP) 84,75 ± 6,72 b 90,00 ± 5,66 ab 101,25 ± 5,30 ab 175,25 ± 86,62 a 145,25 ± 71,06 a 143,00 ± 63,64 a
Bilangan Iod (mg Iod/g sampel) 28,62 ± 6,64 28,33 ± 4,27 22,61 ± 9,56 23,74 ± 3,08 24,70 ± 0,30 25,51 ± 2,78
Kestabilan Emulsi (%) 98,93 ± 0,57 99,22 ± 0,15 99,00 ± 0,21 98,68 ± 0,29 99,08 ± 0,01 99,04 ± 0,69
Bahan Aktif (%) 6,19 ± 1,48 9,25 ± 3,13 7,67 ± 0,61 7,17 ± 0,18 8,57 ± 1,03 9,73 ± 1,62
Keterangan : huruf berbeda menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5% (uji ANOVA).
Bilangan Asam (mg KOH/g sampel) 0,57 ± 0,11 0,51 ± 0,02 0,35 ± 0,32 0,37 ± 0,21 0,33 ± 0,23 0,53 ± 0,02
Tegangan Antarmuka (dyne/cm) 0,05 ± 0,02 0,08 ± 0,08 0,02 ± 0,01 0,03 ± 0,01 0,06 ± 0,04 0,06 ± 0,06
57
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama sulfonasi berpengaruh nyata terhadap warna dan bilangan iod MESA, namun tidak berpengaruh terhadap pH, viskositas, kestabilan emulsi, bahan aktif, bilangan asam dan tegangan antarmuka. Sementara pada sampel MES, hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama sulfonasi berpengaruh nyata terhadap viskositas, namun tidak berpengaruh terhadap warna, pH, kestabilan emulsi, bahan aktif, bilangan asam dan tegangan antarmuka. Rekapitulasi data hasil analisis berbagai parameter MESA dan MES disajikan pada Lampiran 7. Sidik ragam hasil analisis berbagai parameter uji MESA dan MES disajikan pada Lampiran 8 dan 9. Nilai viskositas pada produk MESA berkisar 37,75 – 100,75 cP sedangkan pada produk MES berkisar 84,75 – 175,25 cP. Nilai viskositas pada produk MESA dan MES mengalami peningkatan secara berfluktuasi dengan semakin lamanya waktu sulfonasi berlangsung. Diduga konsentrasi gas SO3 yang dialirkan ke reaktor selama proses sulfonasi cukup pekat sehingga terjadi sulfonasi berlebih terhadap metil ester olein yang mampu memutus ikatan rangkap lebih banyak pada rantai karbon. Akibat berkurangnya ikatan rnagkap menyebabkan titik cair meningkat sehingga terjadi perubahan fisik sampel menjadi lebih kental dan nilai viskositas pada pengukuran menjadi lebih tinggi. Warna pada produk MESA berkisar 279,8 – 638,8 Klett sedangkan pada produk MES berkisar 194,5 – 379,3 Klett. Warna pada produk MESA dan MES mengalami peningkatan secara berfluktuasi dengan semakin lamanya waktu sulfonasi berlangsung.
Diduga disebabkan karena konsentrasi gas SO3 yang
dialirkan ke reaktor selama proses sulfonasi cukup pekat sehingga terjadi sulfonasi berlebih sehingga warna gelap pada produk hasil sulfonasi mengalami peningkatan. Hasil pengujian bilangan iod sampel setelah proses sulfonasi menunjukkan terjadinya penurunan, yaitu yang awalnya sebesar 61,77 mg iod/g sampel menjadi berkisar antara 13,91 - 30,37 mg iod/g pada produk MESA dan berkisar 22,61 – 28,62 mg iod/g sampel pada produk MES.
Penurunan bilangan iod
mengindikasikan terjadinya penjenuhan ikatan rangkap pada sampel MESA yang dihasilkan, sehingga diduga SO3 tidak hanya teradisi pada carbon α saja, namun juga teradisi pada ikatan rangkap rantai karbon, sebagaimana dinyatakan oleh
58
Foster (1997) bahwa reaksi sulfonasi terjadi pada atom karbon α dan kemudian pada ikatan rangkap. Karenanya ketika I2 direaksikan dengan sampel MESA pada pengukuran bilangan iod, I2 tersebut tidak mampu menggantikan molekul H pada rantai karbon yang telah jenuh karena asam lemak jenuh bersifat lebih stabil (tidak mudah bereaksi) daripada asam lemak tak jenuh. Akibatnya I2 yang terabsorb menjadi lebih rendah yang terlihat pada hasil pengukuran bilangan iod sampel yang rendah. Putusnya ikatan rangkap pada rantai karbon sampel MESA hasil sulfonasi berakibat terbentuknya ion H+ pada rantai karbon yang kemudian mengikat SO3. Penambahan SO3 terikat pada rantai karbon menyebabkan peningkatan keasamaan pada sampel MESA. Peningkatan derajat keasaman ditunjukkan dengan nilai pH yang semakin rendah, dengan kisaran nilai pH sampel MESA yang dihasilkan berkisar antara 0,82 – 1,11. Bilangan asam menggambarkan jumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang ada dalam satu gram senyawa. Pada sampel MES yang memiliki nilai pH cenderung netral, jumlah basa yang dibutuhkan untuk menetralkan sampel MES menjadi sedikit dan karenanya dihasilkan nilai perhitungan bilangan asam yang rendah. Robert et al. (2008) menyatakan bahwa hasil reaksi sulfonasi yang terlalu asam akan memicu terbentuknya warna gelap. Asam lemak merupakan asam lemah, dan dalam air terdisosiasi sebagian. Semakin panjang rantai karbon penyusunnya, semakin mudah membeku dan juga semakin sukar larut dalam air. Namun dengan terjadinya adisi gugus sulfonat pada rantai karbon menyebabkan sifat sukar larut dalam air berubah menjadi mudah larut dalam air, sehingga terbentuk emulsi ketika sampel MES dicampurkan bersamaan dengan air dan senyawa yang tidak larut air. Hal ini tergambarkan pada kestabilan emulsi minyak-air dengan surfaktan MES yang berkisar 98 – 99 persen. Tegangan antarmuka (interfacial tension, IFT) mengukur energi kohesif antarmuka yang disebabkan oleh energi yang tidak seimbang pada antarmuka molekul-molekul fluida sehingga terjadi akumulasi energi bebas pada antarmuka. Kelebihan energi ini disebut sebagai energi bebas permukaan yaitu energi yang diperlukan untuk meningkatkan area antarmuka atau bidang kontak permukaan.
59
Peningkatan area antarmuka akan menyebabkan dispersi fase cair yang satu ke dalam fase cair yang lain dalam bentuk droplet kecil. Nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah mampu mengemulsi satu fase cairan pada fase cairan yang lain, sehingga akan meningkatkan efisiensi pemindahan atau recovery pada aplikasi EOR (Borchardt, 2010). Berdasarkan perbandingan nilai tegangan antarmuka antara minyak-air dengan penambahan sampel MES, terlihat pada lama sulfonasi tiga dan empat jam memiliki nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah dibanding lama sulfonasi yang lainnya yaitu 2x10-2 – 3x10-2 dyne/cm. Mengingat aplikasi surfaktan untuk EOR membutuhkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang sangat rendah, maka lama proses sulfonasi 3 – 4 jam merupakan waktu proses yang dipilih untuk memproduksi surfaktan MES pada tahapan selanjutnya. Nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan pada tahapan ini masih berkisar 10-2 dyne/cm, oleh karena itu pada tahapan selanjutnya dikaji pengaruh penambahan metanol terhadap nilai tegangan antarmuka. Perbandingan dengan MESA dari stearin, kinerja terbaik diperoleh dari lama sulfonasi 6 jam, dengan karakteristik bilangan asam 23,43 mg KOH/g, viskositas 88,44 cP, densitas 0,9957 g/cm3, bilangan iod 14,89 mg I/g MESA, kadar bahan aktif 21,08% (Somantri, 2011). Penambahan MES stearin mampu memberikan tegangan antarmuka 3,00x10-2 dyne/cm (Nopianto, 2011). 4.3. Pengaruh Penambahan Metanol pada Proses Re-esterifikasi Surfaktan MES Surfaktan MES yang dihasilkan pada penelitian ini bertujuan untuk diaplikasikan pada enhanced oil recovery, sehingga diharapkan memiliki nilai tegangan antarmuka yang rendah, minimal 10-2 dyne/cm (Pithapurwala et al., 1986).
Berdasarkan hal tersebut, maka pada tahapan ini dilakukan kajian
pengaruh penambahan metanol (proses re-esterifikasi) terhadap nilai tegangan antarmuka fluida setelah penambahan surfaktan MES. Proses sulfonasi memicu terbentuknya sulfon (Moreno et al., 1988) dan disalt (Stein dan Bauman, 1974). Dugaan awal keberadaan disalt dan sulfon ini akan mempengaruhi kinerja surfaktan MES untuk aplikasi EOR sebagaimana yang terjadi pada kinerja surfaktan MES untuk deterjen, dimana dengan adanya disalt ini kinerja
60
pembusaan deterjen menjadi rendah. Kemungkinan terbentuknya disalt setelah MESA dinetralisasi dapat diminimalkan dengan melakukan proses re-esterifikasi MESA menggunakan metanol.
Proses re-esterifikasi dilakukan dengan
menambahkan metanol secara bertingkat dari 0 hingga 15% dengan interval 5%, dan selanjutnya dinetralisasi hingga dicapai pH netral. Hasil analisis tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan surfaktan MES hasil re-esterifikasi dan netralisasi memberikan kisaran nilai 1,98x10-1 hingga 4,25x10-2 dyne/cm. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi metanol tidak berpengaruh nyata terhadap nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan surfaktan MES.
Hasil analisis tegangan antarmuka minyak-air
setelah penambahan MES hasil pemurnian dengan penambahan metanol dan sidik ragamnya disajikan pada Lampiran 10. Peningkatan konsentrasi metanol yang ditambahkan pada proses reesterifikasi cenderung menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak-air yang merupakan penentu utama aplikasi surfaktan untuk EOR. Hal ini diduga disebabkan karena peningkatan konsentrasi metanol dan panas selama proses re-esterifikasi menyebabkan
kemungkinan
terbentuknya
berlangsung menjadi semakin rendah.
disalt
saat
proses
netralisasi
Disalt meskipun merupakan produk
samping, namun juga mempunyai sifat menurunkan tegangan antarmuka dan bersifat anionik (Roberts et al., 2008), sehingga dengan berkurangnya disalt menyebabkan sifat kemampuan menurunkan tegangan antarmuka surfaktan menjadi berkurang. Sebagai akibatnya kelarutan surfaktan menjadi rendah dan terjadi penurunan kinerja surfaktan sebagai surface active agent yang ditandai dengan nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan surfaktan MES berkisar 10-1 dyne/cm. Sementara dengan tanpa melakukan proses re-esterifikasi diperoleh nilai tegangan antarmuka 10-2 dyne/cm. Berdasarkan hal tersebut, maka proses produksi surfaktan MES pada tahapan penelitian selanjutnya dilakukan tanpa proses re-esterifikasi (penambahan metanol), dimana MESA hasil aging yang diperoleh selanjutnya langsung dinetralisasi.
61
Pada tahapan sebelumnya dihasilkan fluktuasi parameter yang diduga disebabkan karena konsentrasi gas SO3 yang berlebih. Pada Tabel 10 dan 11 terlihat bahwa nilai pH berkaitan dengan nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan, dimana semakin rendah nilai pH maka dihasilkan nilai tegangan antarmuka yang lebih tinggi. Oleh karena itu maka pada tahapan selanjutnya dilakukan penambahan udara kering untuk mengencerkan gas SO3, pengaturan nilai pH dan pemurnian tanpa penambahan metanol. 4.4. Perbaikan Proses Produksi Surfaktan MES Pada tahapan ini dilakukan perbaikan kondisi proses produksi surfaktan MES untuk mendapatkan surfaktan MES dengan karakteristik yang lebih baik dibandingkan proses sebelumnya.
Karakteristik utama yang menjadi patokan
adalah nilai tegangan antarmuka. Menurut Foster (1996), konsentrasi gugus sulfat yang ditambahkan dan proses netralisasi sampai pada pH tertentu merupakan dua diantara beberapa faktor yang menentukan kualitas surfaktan MES. Berdasarkan hal tersebut, maka perbaikan yang dilakukan yaitu melakukan penambahan udara kering untuk mengencerkan gas SO3 selama proses sulfonasi berlangsung. Penambahan udara kering dilakukan mengingat fluktuasi tekanan gas SO3 yang sering terjadi di PT Mahkota Indonesia, khususnya pada saat kapasitas produksi H2SO4 berlangsung maksimal. Penambahan udara kering dilakukan dengan laju 0 – 3,6 kg/jam, dengan gas SO3 yang diinputkan sebesar 7,26 kg/jam. Dilanjutkan dengan proses netralisasi pada pH 6 – 8. Lama proses yang diterapkan adalah yang diperoleh pada tahapan sebelumnya yaitu 3 hingga 4 jam, tanpa proses reesterifikasi (penambahan metanol). Kondisi proses lainnya bersifat tetap, yaitu suhu sulfonasi 100 oC, suhu aging 90 oC, kecepatan pengadukan 150 rpm dan lama aging 1 jam. Fluida formasi karbonat yang digunakan berupa air formasi, air injeksi dan minyak bumi. Hasil analisis fluida formasi karbonat yang digunakan disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan tabel terlihat bahwa air formasi dan air injeksi yang digunakan memiliki kesamaan nilai pada pH yaitu berkisar 8, viskositas berkisar 0,5 cP dan densitas berkisar 0,99 g/cm3. Perbedaan terlihat pada jumlah total padatan terlarut dan kandungan kation dan anionnya. Komposisi kation dan anion
62
pada air formasi dan air injeksi berupa ion Ca2+, Mg2+, Cl- dan SO42- menunjukkan kandungan sadah pada air formasi lebih tinggi dibanding air injeksi. Ion HCO3pada air formasi sekitar 317,3 ppm menunjukkan bahwa fluida yang digunakan berupa formasi karbonat. Perbandingan karakteristik air formasi dan air injeksi secara lengkap disajikan pada Lampiran 11. Sampel minyak bumi yang memiliki karakteristik 29,47 oAPI menunjukkan bahwa minyak tersebut termasuk dalam kelompok minyak ringan, yang ditandai pula dengan nilai densitas dan viskositas yang rendah. Tabel 12. Hasil analisis fluida formasi karbonat yang digunakan Parameter pH Viskositas (cP) (60 rpm, 80oC) Densitas (g/cm3) Oil gravity oAPI Total padatan terlarut (terhitung) (ppm)* Na2+ (ppm)* Ca2+ (ppm)* Mg2+ (ppm)* Total Fe (ppm)* Cl- (ppm)* SO42- (ppm)* HCO3- (ppm)*
Air Formasi 8,0 0,50
Air Injeksi 8,4 0,53
Minyak 4,45
0,99008 37.230
0,99394 7.316,2
0,83857 29,47 -
14.145,7 350,0 8,0 1.650,0 21.874,5 535,0 317,3
100 182 0,5 6.998 11 5
-
Ket. *) sumber PT X.
4.4.1. Tegangan Antarmuka 1.
Pengukuran Tegangan Antarmuka Minyak-Air Formasi Pengukuran kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan nilai tegangan
antarmuka minyak-air dilakukan dengan menggunakan air formasi dan minyak dari sumur minyak. Hal ini dilakukan untuk melihat respon tegangan antarmuka air formasi dan minyak yang digunakan setelah penambahan sampel surfaktan. Hasil analisis nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan sampel surfaktan MES menggunakan air formasi memberikan kisaran 3,22x10-2 hingga 7,46x10-3 dyne/cm. Rekapitulasi data hasil analisis tegangan antarmuka dengan penambahan MES hasil perbaikan proses produksi menggunakan air formasi dan
63
minyak bumi disajikan pada Lampiran 12.
Hasil sidik ragam pada tingkat
kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan pH sebagai anak petak tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air formasi dan minyak bumi, sedangkan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air formasi dan minyak bumi. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa taraf udara kering 0 dan 3,6 kg/jam tidak berbeda nyata namun masing-masing berbeda nyata dengan taraf udara kering 1,8 kg/jam terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air formasi dan minyak bumi pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa tegangan antarmuka minyak-air formasi disajikan pada Lampiran 13.
Histogram nilai tegangan
antarmuka minyak-air formasi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan
Tegangan Antarmuka (dyne/cm)
laju udara kering dan pH disajikan pada Gambar 17.
3.50E-02 3.00E-02 2.50E-02 2.00E-02
0 kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam
1.50E-02 1.00E-02 5.00E-03 0.00E+00 6
7
8
pH
Gambar 17. Tegangan antarmuka minyak-air formasi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH Diduga nilai pH sampel surfaktan MES berkaitan dengan nilai tegangan antarmuka fluida yang dihasilkan.
Surfaktan MES dengan pH 8 memiliki
kesamaan nilai pH dengan air formasi yang digunakan, dimana air formasi sampel yang diujikan memiliki nilai pH 8 (Tabel 12, Lampiran 11). Kesamaan nilai pH ini menyebabkan struktur ampifilik surfaktan yang terdiri atas gugus hidrofilik
64
dan gugus hidrofobik menurunkan gaya kohesi antara molekul minyak dan air formasi, sementara gaya adhesi antara molekul minyak dan air formasi menjadi meningkat.
Peningkatan gaya adhesi akan mengurangi resultan gaya kohesi
minyak yang mengakibatkan gaya antarmuka minyak dan air formasi menurun, sehingga mampu menghasilkan nilai tegangan antarmuka minyak-air formasi setelah penambahan MES yang lebih rendah dibandingkan pH 6 dan 7. Pada penelitian ini bahan baku olein yang digunakan memiliki asam lemak oleat 43,990%, asam lemak linoleat sekitar 11,89% dan asam lemak linolenat 0,85%. Menurut Ketaren (1986), asam lemak linoleat dan linolenat memiliki struktur ikatan rangkap terkonjugasi.
Ketika gas SO3 ditambahkan, selain
menyerang atom Cα ternyata SO3 juga memiliki kemampuan untuk menyerang ikatan rangkap sebagaimana disebutkan oleh Foster (1997).
Semakin pekat
konsentrasi gas SO3 yang ditambahkan, menyebabkan kemungkinan terbentuknya senyawa polisulfonat pada ikatan rangkap terkonjugasi juga semakin besar, akan tetapi kepekatan gas SO3 ini juga memicu terbentuknya disalt dalam jumlah lebih banyak setelah netralisasi sebagaimana disebutkan oleh Roberts et al. (2008). Menurut Yamada dan Matsutani (1996), senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi bersifat sangat anionik. Diduga sifat anionik disalt tidak sebesar gugus sulfonat yang terbentuk pada atom Cα ataupun pada ikatan rangkap. Surfaktan MES dengan kondisi penambahan udara kering 1,8 kg/jam memiliki nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah dibanding tanpa penambahan udara kering ataupun dengan penambahan udara kering yang lebih banyak. Diduga pada penambahan udara kering 1,8 kg/jam inilah terjadi kondisi ideal reaksi sulfonasi yang membentuk gugus sulfonat pada
Cα dan ikatan
rangkap. Sementara tanpa penambahan udara kering kecenderungan terbentuknya disalt setelah netralisasi menjadi lebih tinggi dibanding terbentuknya gugus sulfonat pada Cα, demikian juga pada penambahan udara kering yang lebih banyak yaitu 3,6 kg/jam kemungkinan SO3 untuk berikatan dengan Cα dan ikatan rangkap makin rendah sehingga nilai tegangan antarmukanya menjadi lebih tinggi.
65
2.
Pengukuran Tegangan Antarmuka Minyak-Air Injeksi Pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi menghasilkan
nilai tegangan antarmuka dengan kisaran 5,41x10-2 hingga 1,49x10-2 dyne/cm. 2.97E-02
Rekapitulasi hasil analisis tegangan antarmuka minyak-air injeksi
setelah penambahan MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12.
Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
menunjukkan bahwa perlakuan pH sebagai anak petak dan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air injeksi dan minyak bumi. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada pH menunjukkan bahwa taraf pH 6 dan 7 tidak berbeda nyata, namun masing-masing berbeda nyata dengan taraf pH 8 terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air injeksi dan minyak bumi.
Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering
menunjukkan bahwa taraf 0, 1,8 dan 3,6 kg/jam saling berbeda nyata terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menurunkan tegangan antarmuka air injeksi dan minyak bumi pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa tegangan antarmuka MES menggunakan air injeksi dan minyak disajikan pada Lampiran 13. Nilai tegangan antarmuka tertinggi dimiliki oleh sampel surfaktan dengan kombinasi udara kering 3,6 kg/jam dan pH 7, sementara nilai tegangan antarmuka terendah dimiliki oleh sampel surfaktan dengan kombinasi udara kering 1,8 kg/jam dan pH 8. Histogram nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH disajikan pada Gambar 18. Sebagaimana halnya dengan air formasi, air injeksi yang digunakan pada pengujian juga memiliki nilai pH 8, sehingga surfaktan MES dengan pH 8 memberikan hasil penurunan nilai tegangan antarmuka lebih rendah dibandingkan surfaktan dengan nilai pH 6 dan 7. Semakin mendekati nilai pH air injeksi, struktur ampifilik surfaktan mempengaruhi gaya kohesi antar molekul minyak dan molekul air menjadi semakin menurun setelah penambahan surfaktan. Pada saat bersamaan terjadi peningkatan gaya adhesi antara molekul minyak dan air injeksi,
66
sehingga dihasilkan nilai tegangan antarmuka minyak-air formasi setelah
Tegangan Antarmuka (dyne/cm)
penambahan MES yang lebih rendah dibandingkan pH 6 dan 7.
6.00E-02 5.00E-02 4.00E-02 0 kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam
3.00E-02 2.00E-02 1.00E-02 0.00E+00 6
7
8
pH
Gambar 18. Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH Pengaruh penambahan udara kering terhadap nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES juga menunjukkan fenomena yang sama sebagaimana terjadi pada air formasi.
Semakin pekat
konsentrasi gas SO3 yang ditambahkan, menyebabkan kemungkinan terbentuknya senyawa polisulfonat pada ikatan rangkap terkonjugasi juga semakin besar, akan tetapi kepekatan gas SO3 ini juga memicu terbentuknya disalt dalam jumlah lebih banyak saat dilakukan netralisasi sebagaimana disebutkan oleh Roberts et al. (2008). Yamada dan Matsutani (1996) menyatakan senyawa polisulfonat yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi bersifat sangat anionik.
Disalt juga
disebutkan bersifat anionik, namun diduga sifat anionik disalt tidak sebesar gugus sulfonat yang terbentuk pada atom Cα ataupun pada ikatan rangkap terkonjugasi. Pada kondisi penambahan udara kering 1,8 kg/jam diduga menjadi kondisi ideal reaksi sulfonasi yang dominan membentuk gugus sulfonat pada Cα dan ikatan rangkap, sehingga surfaktan MES yang dihasilkan semakin bersifat anionik yang ditunjukkan dengan kemampuan menurunkan tegangan antarmuka fluida semakin besar. Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka ini ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah dibanding tanpa penambahan udara kering
67
dan dengan penambahan udara kering lebih banyak. Tanpa penambahan udara kering kecenderungan terbentuknya disalt lebih tinggi saat netralisasi dibanding terbentuknya gugus sulfonat pada Cα, demikian juga pada penambahan udara kering yang lebih banyak dimana kemungkinan SO3 untuk berikatan dengan Cα dan ikatan rangkap makin rendah, sebagai akibatnya kemampuan menurunkan tegangan antarmuka fluida oleh surfaktan menjadi lebih rendah, yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmukanya yang lebih tinggi. Kemampuan menurunkan tegangan antarmuka minyak-air oleh sampel surfaktan MES tanpa penambahan udara kering lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan udara kering 3,6 kg/jam. 4.4.2. Bilangan Iod Bilangan iod adalah ukuran rata-rata jumlah komponen tak jenuh dari minyak atau lemak yang dinyatakan dalam bobot iod, yaitu jumlah sentigram iodin yang diserap per gram sampel (AOCS, 1998). Prinsip pengukuran berupa penambahan larutan iodium monoklorida dalam campuran asam asetat glasial dan karbon tetraklorida atau kloroform ke dalam contoh. Setelah melewati waktu tertentu dilakukan penetapan iod yang dibebaskan dengan penambahan kalium iodida (KI). Banyaknya iod yang dibebaskan dititrasi dengan larutan standar natrium thiosulfat dengan indikator kanji (SNI 01-3555-1998). Parameter bilangan iod dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui keberhasilan adisi gugus sulfonat ke dalam rantai karbon metil ester. Menurut Ketaren (1986), bahan baku minyak yang memiliki ikatan rangkap yang lebih banyak akan memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dibanding bahan baku yang memiliki ikatan rangkap sedikit. Pada pengukuran bilangan iod, iodium yang direaksikan akan mengadisi ikatan tak jenuh pada rantai molekul asam lemak sampel. Namun, reaksi adisi iodium tersebut tidak dapat berlangsung jika pada ikatan tak jenuh tersebut telah terikat gugus sulfonat. Reaksi pembentukan gugus sulfonat pada ikatan rangkap disajikan pada Gambar 19. Ketika beberapa ikatan tak jenuh telah diadisi oleh gugus sulfonat sehingga tidak dapat diadisi oleh molekul iodium, maka bilangan iod metil ester sulfonat menjadi lebih rendah dari
68
bilangan iod bahan baku metil ester yang masih memiliki ikatan tak jenuh lebih banyak.
Gambar 19. Reaksi pembentukan gugus sulfonat pada ikatan rangkap Hasil analisis bilangan iod surfaktan MES dengan kombinasi perlakuan udara kering dan pH memberikan kisaran 10,25 hingga 27,89 mg iod/g sampel. Rekapitulasi hasil analisis bilangan iod MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12. Bahan baku metil ester olein memiliki bilangan iod 61,77 mg iod/g sampel, hal ini menunjukkan terjadinya penurunan bilangan iod pada semua sampel MES. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan pH sebagai anak petak dan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap bilangan iod. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada pH menunjukkan bahwa taraf pH 6 berbeda nyata dengan pH 7 dan 8, sedangkan taraf pH 7 dan 8 tidak berbeda nyata. Sementara uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa setiap taraf berpengaruh nyata terhadap bilangan iod pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa bilangan iod MES disajikan pada Lampiran 13. Nilai bilangan iod sampel surfaktan MES terendah dimiliki pada kombinasi udara kering 0 kg/jam dan pH 8, sementara bilangan iod tertinggi pada kombinasi udara kering 3,6 kg/jam dan pH 6. Histogram bilangan iod surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH disajikan pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa semakin banyak udara kering yang dialirkan ke reaktor maka bilangan iod semakin meningkat.
Sementara
peningkatan nilai pH pada sampel surfaktan MES memperlihatkan bilangan iod cenderung tetap.
Bilangan Iod (mg Iod/g sampel)
69
30.00 25.00 20.00 0 kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam
15.00 10.00 5.00 0.00 6
7
8
pH
Gambar 20. Bilangan iod surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH Bilangan iod menjadi salah satu indikator untuk mengetahui keberhasilan adisi gugus sulfonat ke dalam rantai karbon metil ester. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan bilangan iod pada bahan baku metil ester dan bilangan iod pada sampel MES hasil sulfonasi.
Bahan baku metil ester olein yang
digunakan memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dari bilangan iod sampel hasil sulfonasi. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi sulfonasi yang dilakukan memecah ikatan rangkap pada rantai karbon metil ester olein dan terjadi adisi SO3 ke molekul karbon tersebut membentuk gugus sulfonat.
Sebagai dampak dari
putusnya ikatan rangkap, pada saat pengukuran bilangan iod molekul I2 yang ditambahkan tidak mampu mengadisi pada rantai karbon yang sudah diadisi oleh gugus sulfonat. Dengan semakin sedikitnya I2 yang teradisi pada rantai karbon maka dihasilkan bilangan iod makin rendah, yang menunjukkan ikatan rangkap semakin berkurang pada sampel MES hasil sulfonasi. Penurunan bilangan iod yang sangat banyak terjadi pada sampel MES yang disulfonasi tanpa penambahan udara kering. Tanpa penambahan udara kering, konsentrasi reaktan gas SO3 yang masuk ke reaktor sulfonasi menjadi lebih pekat dibanding adanya penambahan udara kering. Akibat konsentrasi gas SO3 yang lebih pekat, diduga terjadi sulfonasi berlebih terhadap metil ester olein yang mampu memecah ikatan rangkap lebih banyak pada rantai karbon asam lemak dari metil ester dibanding dengan penambahan udara kering. Semakin
70
banyak udara kering yang ditambahkan maka kemungkinan pecahnya ikatan rangkap semakin sedikit, yang ditunjukkan dengan bilangan iod yang lebih tinggi. 4.4.3. Kandungan Bahan Aktif Bahan aktif merupakan salah satu parameter yang menunjukkan kualitas surfaktan.
Parameter ini sudah diterapkan pada industri surfaktan, yang
digunakan untuk menilai apakah suatu jenis surfaktan memiliki kinerja yang baik ataukah tidak, dimana makin tinggi nilai bahan aktif suatu jenis surfaktan maka kinerjanya akan semakin baik pula. Umumnya surfaktan komersial ditandai dengan kandungan bahan aktifnya. Prosedur yang digunakan untuk menguji kadar bahan aktif adalah metode titrasi dua fasa, dikenal dengan metode Epton. Prinsip dasar dari uji ini adalah titrasi bahan aktif anionik menggunakan surfaktan kationik dengan menggunakan indikator methylen blue. Pengukuran kandungan bahan aktif pada penelitian ini menunjukkan jumlah SO3 yang terikat pada struktur metil ester hingga membentuk senyawa yang memiliki sifat aktif permukaan.
Pengukuran didasarkan pada reaksi
antagonis dimana surfaktan MES yang anionik dititrasi dengan surfaktan kationik yang memiliki muatan berlawanan sehingga terbentuk garam yang tidak larut air (Matesic-Puac et al. 2005). Garam yang terbentuk akan menuju lapisan kloroform sehingga membentuk warna biru pada lapisan kloroform. Setelah dilakukan titrasi dengan N-cetyl pyridinium chloride (surfaktan kationik), maka warna biru yang semula berada pada lapisan kloroform secara perlahan akan bergerak menuju lapisan larutan surfaktan MES, hingga dicapai titik akhir titrasi dimana intensitas warna pada kedua lapisan menjadi sama (Stache, 1995). Hasil analisis kandungan bahan aktif pada sampel surfaktan MES dengan kombinasi perlakuan udara kering dan pH terukur cukup rendah yaitu pada kisaran nilai 3,35 hingga 5,41 persen. Rendahnya kandungan bahan aktif ini menurut Hovda (1993) disebabkan karena proses netralisasi sulfonic acid (MESA) untuk menghasilkan MES dengan bahan aktif tinggi cukup sulit karena ketidakstabilan MES pada suhu dan pH tinggi.
Rekapitulasi hasil analisis
kandungan bahan aktif MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12.
Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05)
71
menunjukkan bahwa perlakuan pH sebagai anak petak dan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap kandungan bahan aktif surfaktan MES yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada pH menunjukkan bahwa taraf pH 6 tidak berbeda nyata dengan pH 7 namun berbeda nyata dengan pH 8, sedangkan pH 7 dan 8 tidak berbeda nyata. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa masing-masing taraf 0, 1,8 dan 3,6 kg/jam saling berbeda nyata terhadap kandungan bahan aktif surfaktan MES pada tingkat kepercayaan 95%.
Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa
kandungan bahan aktif MES disajikan pada Lampiran 13. Bahan aktif tertinggi dimiliki oleh sampel surfaktan MES dengan kombinasi udara kering 3,6 kg/jam dan pH 8, sementara bahan aktif terendah dimiliki oleh sampel surfaktan MES dengan kombinasi udara kering 0 kg/jam dan pH 6. Histogram kandungan bahan aktif surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH disajikan pada Gambar 21. Berdasarkan Gambar 21 terlihat bahwa pada berbagai nilai pH penambahan konsentrasi udara kering menyebabkan kecenderungan terjadinya peningkatan kandungan bahan aktif pada sampel surfaktan MES.
Kandungan Bahan Aktif (%)
6.00 5.00 4.00 0 kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam
3.00 2.00 1.00 0.00 6
7
8
pH
Gambar 21. Kandungan bahan aktif surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH Pengaruh penambahan udara kering terhadap kandungan bahan aktif memiliki kesamaan dengan pengaruh penambahan udara kering terhadap bilangan iod. Dimana semakin meningkat udara kering yang ditambahkan menyebabkan
72
kandungan bahan aktif pada sampel surfaktan juga mengalami peningkatan. Tanpa penambahan udara kering, konsentrasi reaktan gas SO3 yang masuk ke reaktor sulfonasi menjadi lebih pekat dibanding adanya penambahan udara kering. Akibat konsentrasi gas SO3 yang lebih pekat, terjadi kelebihan SO3 dari kondisi rasio mol ideal antara gas SO3 dan metil ester yang memicu terbentuknya produk turunan kompleks yang tidak bermuatan yaitu tidak mengikat SO3- pada molekulnya.
Produk turunan
kompleks
yang terbentuk
menyebabkan
kemungkinan terbentuknya gugus sulfonat menjadi lebih rendah. Kondisi ini menyebabkan surfaktan kationik yang diperlukan untuk menetralkan muatan negatif pada sampel MES saat pengukuran bahan aktif menjadi lebih rendah sehingga kandungan bahan aktif sampel MES yang terukur menjadi lebih rendah. Sebaliknya dengan penambahan udara kering, konsentrasi gas SO3 yang berlebih diencerkan hingga diduga mendekati perbandingan ideal rasio mol sehingga kemungkinan terikatnya SO3 pada Cα semakin besar. Dengan semakin besarnya SO3 yang terikat menyebabkan muatan sampel menjadi lebih negatif, karenanya diperlukan surfaktan kationik yang lebih banyak pula untuk menetralkan muatannya, akibatnya kandungan bahan aktif yang terukur juga lebih tinggi. 4.4.4. Kestabilan Emulsi Emulsi terbentuk ketika suatu cairan yang tidak saling melarut (immiscible) terpecah menjadi tetesan (droplet) dan terdispersi ke cairan immiscible lainnya dengan bantuan surfaktan (Hasenhuettl, 2000; Riman, 1992). Menurut Williams dan Simons (1992) penambahan emulsifier ke suatu sistem koloid bertujuan untuk mempertinggi kestabilan dispersi fasa-fasa (dengan cara mengurangi tegangan antar permukaan) dan meningkatkan stabilitas produk terdispersi (emulsi) lebih lama. Emulsifier membentuk lapisan tipis yang akan menyelimuti partikel-partikel teremulsi dan mencegah partikel tersebut bergabung dengan partikel sejenisnya. Walaupun demikian, suatu sistem emulsi memiliki kecenderungan untuk saling memisah. Hal ini disebabkan karena fasa terdispersi dan pendispersinya merupakan bahan-bahan yang saling tidak melarut akibat adanya perbedaan polaritas.
73
Pengukuran kestabilan emulsi memberikan kisaran 0,8 hingga 18,2 persen. Rekapitulasi hasil analisis kestabilan emulsi MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan pH sebagai anak petak dan udara kering sebagai petak utama tidak berpengaruh nyata terhadap kemampuan surfaktan MES dalam menstabilkan emulsi pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa kestabilan emulsi MES disajikan pada Lampiran 13. Berdasarkan hasil pengujian kestabilan emulsi, dapat disimpulkan bawah surfaktan MES yang dihasilkan bersifat sebagai pengemulsi dengan kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka antara fluida formasi reservoir yang cukup baik hingga pada kisaran 10-2 – 10-3 dyne/cm. Penurunan nilai tegangan antarmuka yang sangat berarti ini menunjukkan kemampuan surfaktan MES untuk mengemulsi fluida cukup baik. 4.4.5. Viskositas Hasil analisis viskositas sampel surfaktan MES dengan kombinasi perlakuan udara kering dan pH memberikan kisaran nilai 22,95 hingga 139,2 cP. Rekapitulasi hasil analisis viskositas MES hasil perbaikan proses produksi disajikan pada Lampiran 12. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan pH sebagai anak petak tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas surfaktan MES, sedangkan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap viskositas surfaktan MES. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada pH menunjukkan bahwa taraf pH 6 berbeda nyata dengan taraf pH 8, namun masing-masingnya tidak berbeda nyata dengan taraf pH 7. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa setiap taraf udara kering berbeda nyata terhadap viskositas surfaktan MES pada tingkat kepercayaan 95%.
Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa viskositas MES
disajikan pada Lampiran 13. Viskositas sampel surfaktan MES terendah dimiliki pada kombinasi udara kering 3,6 kg/jam dan pH 6, sementara viskositas tertinggi pada kombinasi udara kering 0 kg/jam dan pH 8. Histogram viskositas surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH disajikan pada Gambar 22. Berdasarkan Gambar 22
74
terlihat bahwa semakin banyak udara kering yang ditambahkan ke reaktor maka viskositas semakin menurun. Sementara peningkatan nilai pH sampel surfaktan MES memperlihatkan kecenderungan viskositas semakin meningkat.
Diduga
tanpa penambahan udara kering terjadi oversulfonated terhadap metil ester sehingga kekentalan surfaktan yang dihasilkan semakin tinggi, sementara saat dilakukan penambahan udara kering maka akan mengencerkan kepekatan gas SO3 dan menurunkan kemungkinan terjadinya sulfonasi berlebih sehingga kekentalan menjadi berkurang. 160.00 Viskositas (cP)
140.00 120.00 100.00
0 kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam
80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 6
7
8
pH
Gambar 22. Viskositas surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH Semakin banyak udara kering yang ditambahkan menyebabkan viskositas sampel surfaktan MES menjadi semakin rendah. Diduga hal ini terjadi karena tanpa penambahan udara kering, konsentrasi reaktan gas SO3 yang masuk ke reaktor sulfonasi menjadi lebih pekat dibanding adanya penambahan udara kering, sebagai akibatnya terjadi sulfonasi berlebih terhadap metil ester olein yang mampu memutus ikatan rangkap lebih banyak pada rantai karbon.
Dengan
semakin berkurangnya ikatan rangkap pada rantai karbon, menyebabkan titik cair sampel meningkat sehingga terlihat perubahan fisik sampel dari cair menjadi lebih kental yang ditunjukkan dengan semakin tingginya nilai viskositas. Sementara semakin banyak udara kering yang ditambahkan menyebabkan kepekatan konsentrasi gas SO3 semakin berkurang sehingga kemampuan SO3 untuk mengadisi ikatan rangkap makin rendah, makin sedikit ikatan rangkap yang terputus.
Ikatan rangkap yang lebih banyak menyebabkan titik cair sampel
75
menjadi lebih rendah yang berdampak pada kekentalan sampel semakin rendah pada suhu ruang. 4.4.6. Analisa Warna Hasil analisis warna sampel surfaktan MES menggunakan metoda Klett dengan kombinasi perlakuan udara kering dan pH memberikan kisaran nilai 162,3 hingga 607,5.
Rekapitulasi hasil analisis warna MES hasil perbaikan proses
produksi disajikan pada Lampiran 12. Beberapa sampel MES yang dihasilkan memiliki warna gelap sesuai dengan yang disebutkan MacArthur et al. (2002), yaitu lebih dari 400 klett. Hasil sidik ragam pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa perlakuan pH sebagai anak petak dan udara kering sebagai petak utama berpengaruh nyata terhadap warna surfaktan MES. Uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada pH menunjukkan bahwa taraf pH 6 dan 7 berbeda nyata dengan pH 8. Sementara uji lanjut Duncan terhadap perlakuan pada udara kering menunjukkan bahwa taraf udara kering 0 kg/jam berbeda nyata dengan udara kering 1,8 dan 3,6 kg/jam terhadap warna surfaktan MES pada tingkat kepercayaan 95%. Sidik ragam dan uji lanjut hasil analisa warna MES disajikan pada Lampiran 13. Warna sampel surfaktan MES terendah dimiliki sampel dengan kombinasi udara kering 3,6 kg/jam dan pH 8, sementara warna tertinggi pada kombinasi udara kering 0 kg/jam dan pH 6. Histogram warna surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH disajikan pada Gambar 23. Berdasarkan Gambar 23 terlihat bahwa semakin banyak udara kering yang dialirkan ke reaktor maka warna surfaktan MES cenderung semakin menurun. Diduga tanpa penambahan udara kering terjadi oversulfonated terhadap metil ester sehingga warna surfaktan yang dihasilkan semakin tinggi (lebih gelap), sedangkan saat dilakukan penambahan udara kering maka udara yang ditambahkan akan mengencerkan kepekatan gas SO3 dan menurunkan kemungkinan terjadinya sulfonasi berlebih akibat reaktifitas gas SO3 yang mengalami penurunan saat bereaksi dengan metil ester sehingga menghasilkan produk MES yang tidak terlalu gelap. Sementara peningkatan nilai pH sampel surfaktan MES memperlihatkan kecenderungan semakin menurunnya warna sampel surfaktan MES.
76
600.00 Warna (klett)
500.00 400.00
0 kg/jam 1,8 kg/jam 3,6 kg/jam
300.00 200.00 100.00 0.00 6
7
8
pH
Gambar 23. Warna surfaktan MES dari perlakuan laju udara kering dan pH Menurut Yamada dan Matsutani (1996), ikatan rangkap terkonjugasi berperan sebagai kromofor, yaitu gugus fungsi yang dapat menyerap gelombang elektromagnetik pada senyawa pemberi warna yang menyebabkan perubahan warna ME dari kuning menjadi merah. Pada penelitian ini bahan baku olein yang digunakan memiliki asam lemak oleat 43,99%, asam lemak linoleat sekitar 11,89% dan asam lemak linolenat 0,85%. Menurut Ketaren (1986), asam lemak linoleat dan linolenat memiliki struktur ikatan rangkap terkonjugasi. Ketika gas SO3 ditambahkan, selain menyerang atom Cα ternyata SO3 juga memiliki kemampuan untuk menyerang ikatan rangkap sebagaimana disebutkan oleh Foster (1997). Semakin pekat konsentrasi gas SO3 yang ditambahkan, menyebabkan kemungkinan terbentuknya senyawa polisulfonat juga semakin besar dan ditambah dengan kondisi oversulfonated yang terjadi sehingga warna gelap pada produk hasil sulfonasi juga semakin meningkat.
Penambahan udara kering
berdampak pada semakin rendahnya konsentrasi gas SO3. Rendahnya konsentrasi gas SO3 yang diinputkan ke reaktor menyebabkan kemampuan SO3 untuk mengadisi ikatan rangkap terkonjugasi juga semakin rendah, sehingga semakin sedikit senyawa polisulfonat yang terbentuk dan kemungkinan terjadinya oversulfonated semakin kecil. Hal ini tergambarkan dari nilai warna surfaktan MES yang semakin rendah dengan semakin meningkatnya udara kering yang ditambahkan.
77
4.4.7. Uji FTIR (Fourier Transform Infrared) Pengujian (deteksi) kandungan senyawa berdasarkan gugus fungsinya menggunakan spektroskopi Infra Red (IR) telah banyak dilakukan, diantaranya seperti kandungan sabun dalam minyak hasil pemurnian (Mirghani et al., 2002), kadar air pada CPO (Che Man dan Mirghani, 2000), validasi hasil analisis bilangan iod minyak lemak (Sedman et al., 1998), dan kandungan residu cleaning agent pada permukaan (Biwald dan Gavlick, 1997).
Oleh karena itu pada
pengujian MES secara kualitatif dilakukan pula pengujian spektroskopi Infra Red dengan tujuan untuk mendeteksi dan membuktikan keberadaan gugus sulfonat pada MES yang dihasilkan. Pengujian IR sampel surfaktan dilakukan terhadap sampel MES yang memberikan hasil tegangan antarmuka terendah yaitu sampel dengan penambahan udara kering 1,8 kg/jam dengan pH 8, yang dibandingkan dengan metil ester olein. Ester (C=O) dikarakterisasi pada bilangan gelombang 1750 – 1735(s) cm-1 dan
asam
karboksilat
pada
bilangan
gelombang
3000–2500
cm-1
(www.chem.ucla.edu). Asam karboksilat dan turunannya dideteksi pada bilangan gelombang 2500 – 3300 cm-1 untuk O-H, 1705 – 1720 cm-1 untuk C=O (Hbonded), 1735 – 1750 cm-1 untuk ester, 600-700 cm-1 untuk C-H deformasi, dan 720 – 725 cm-1 untuk CH2 rocking (www.spectroscopynow.com). Pendeteksian gugus fungsi sulfonat, sulfon dan disalt disajikan pada Tabel 13. Hasil uji FTIR metil ester olein dan MES hasil terbaik (kombinasi udara kering 1,8 kg/jam dan pH 8) pada rentang bilangan gelombang 400-4000 cm-1 disajikan pada Gambar 24. Berdasarkan hasil FTIR untuk metil ester olein terlihat bahwa tidak terindentifikasi keberadaan gugus OH pada rentang bilangan gelombang 3460 – 3100 cm-1, hal ini mengkonfirmasi kualitas metil ester yang dihasilkan cukup baik dengan kandungan air yang sangat rendah. Sementara bila dibandingkan dengan hasil FTIR MES, terlihat bahwa teridentifikasi keberadaan gugus OH pada rentang bilangan gelombang 3464,15 cm-1.
Hingga rentang
-1
bilangan gelombang 1750 cm hasil FTIR ME olein terlihat sama dengan MES, sementara perbedaan antara hasil FTIR ME olein dan MES terlihat pada rentang bilangan gelombang 400 - 1566 cm-1.
78
Tabel 13. Pendeteksian gugus fungsi sulfonat, sulfon dan disalt Bilangan Gelombang (cm-1) 3460 – 3100 1342 – 1250 1250 – 1150, 1075 – 1000 1600-1400, 1372 – 1335, 1195 – 1168 1350 – 1300, 1250-1150, 1100 – 1000 1175, 1055
Dugaan Gugus Fungsi/Senyawa O-H a) S=O yang simetris dan tak simetris a) Sulfonat ionik b) Sulfonat c) Sulfon c) Garam asam sulfonat (disalt) c)
Sumber : a) Mukherji et al. (1985), b) Pecsok et al. (1976), c) Bruno dan Svonoros (2003).
Berdasarkan Gambar 24, terlihat bahwa hasil FTIR MES menunjukkan adanya perbedaan puncak-puncak yang terbentuk dibanding hasil FTIR ME olein pada bilangan gelombang 1566,20 cm-1, 1172,72 cm-1, 1049,28 cm-1, 968,27 cm-1, 775,38 cm-1, 632,65 cm-1, dan 532,35 cm-1. Hasil identifikasi puncak-puncak pada hasil FTIR MES diketahui bahwa senyawa sulfonat teridentifikasi pada bilangan gelombang 1566,20; 1357,89 dan 1172,72 cm-1, senyawa sulfon teridentifikasi pada 1014,56 cm-1, senyawa disalt teridentifikasi pada 1049,28 cm1
sementara senyawa sulfat teridentifikasi pada bilangan gelombang 968,27 cm-1.
Pada rentang bilangan gelombang 775,38 cm-1 dan 632,65 cm-1 teridentifikasi terjadinya deformasi C-H, yang diduga sebagai akibat dari putusnya ikatan rangkap. Hasil FTIR ini menguatkan dugaan bahwa selama proses sulfonasi berlangsung selain terbentuk gugus sulfonat pada Cα juga terbentuk senyawa polisulfonat akibat ikatan rangkap mengalami pemutusan menjadi ikatan jenuh dan disalt hingga akhirnya secara bersama-sama mempengaruhi karakteristik surfaktan MES yang dihasilkan.
79
Sulfonat
MES
Sulfat Sulfon
C-H deformasi
Disalt
ME Olein OH
C-C
Ester
Gambar 24. Perbandingan hasil uji FTIR metil ester olein dan MES terbaik pada rentang bilangan gelombang 400-4000 cm-1
80
4.5. Formulasi Surfaktan MES pada Proses Enhanced Oil Recovery Pada tahapan formulasi surfaktan berbasis MES untuk EOR dilakukan penentuan konsentrasi surfaktan MES, penentuan salinitas optimal, penentuan jenis dan konsentrasi aditif, dan penentuan co-surfaktan.
Hasil terbaik pada
masing-masing tahapan yang ditandai dengan nilai tegangan antarmuka minyakair terendah digunakan pada tahapan formulasi. 4.5.1. Penentuan Konsentrasi Surfaktan MES Penentuan nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan beberapa konsentrasi surfaktan MES dilakukan dengan melarutkan surfaktan menggunakan air injeksi.
Pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air
injeksi pada penambahan surfaktan MES memberikan kisaran nilai 4,19x10-1 – 1,03x10-2 dyne/cm. Grafik nilai tegangan antarmuka minyak-air injeksi pada penambahan berbagai konsentrasi surfaktan MES disajikan pada Gambar 25. Dengan penambahan konsentrasi surfaktan MES pada air injeksi dihasilkan kisaran nilai tegangan antarmuka 10-2 dyne/cm, dimana tegangan antarmuka terendah dicapai sebesar 1,03x10-2 dyne/cm pada konsentrasi 0,3%. Data nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan surfaktan MES pada
Tegangan Antarmuka (dyne/cm)
beberapa konsentrasi disajikan pada Lampiran 14.
4.50E-01 4.00E-01 3.50E-01 3.00E-01 2.50E-01 2.00E-01 1.50E-01 1.00E-01 5.00E-02 0.00E+00 0
0.1
0.2
0.3
0.4
Konsentrasi MES (%)
Gambar 25. Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan surfaktan MES pada berbagai konsentrasi
81
Pembentukan misel merupakan fenomena penting karena fenomena antarmuka seperti deterjensi, solubilisasi, penurunan tegangan permukaan ataupun antarmuka dipengaruhi oleh keberadaan misel dalam larutan. Konsentrasi dimana fenomena ini terjadi disebut critical micelle concentration (CMC). Pembentukan misel merupakan mekanisme adsorpsi pada antarmuka untuk menjauhkan kontak gugus hidrofobik dari air sehingga dapat menurunkan energi bebas pada sistem. Berdasarkan pada tampilan grafik pada Gambar 25 diperkirakan bahwa titik kritis terbentuknya misel adalah pada konsentrasi MES 0,1%, dimana terjadi penurunan tegangan antarmuka minyak-air dari 4,19x10-1 dyne/cm sebelum ditambahkan surfaktan hingga menjadi 1,73x10-2 dyne/cm setelah penambahan surfaktan MES konsentrasi 0,1%. Penambahan konsentrasi surfaktan MES makin menurunkan nilai tegangan antarmuka hingga 1,03x10-2 dyne/cm pada konsentrasi 0,3%. Untuk aplikasi EOR disyaratkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang sangat rendah, karenanya konsentrasi surfaktan MES yang dipilih untuk diformulasikan dengan aditif lainnya adalah 0,3%. Pertimbangan lainnya adalah untuk menjaga agar konsentrasi surfaktan tetap lebih tinggi dari 0,1% dalam larutan surfaktan karena adanya efek adsorpsi permukaan oleh batuan core pada proses aplikasi EOR. 4.5.2. Penentuan Salinitas Optimal Untuk mendapatkan nilai tegangan antarmuka minyak-air yang sangat rendah diperlukan salinitas yang optimal (Healy dan Red, 1974). Optimal dalam arti kata mampu memberikan penurunan nilai tegangan antarmuka terendah. Berdasarkan hal tersebut maka penentuan salinitas optimal dilakukan untuk melihat sejauh mana pengaruh salinitas terhadap kinerja surfaktan MES yang dihasilkan. Salinitas air injeksi yang digunakan adalah sekitar 7300 ppm, yang kemudian pada pengujian salinitas optimal dilakukan penambahan garam. Berdasarkan pengujian yang dilakukan terlihat bahwa surfaktan MES yang dihasilkan relatif tahan terhadap salinitas tinggi dengan kisaran nilai tegangan antarmuka minyak-air 1,63x10-2 hingga 8,30x10-3 dyne/cm. Rekapitulasi hasil analisis penentuan salinitas optimal disajikan pada Lampiran 15. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh nyata terhadap nilai
82
tegangan antarmuka.
Sidik ragam hasil analisa tegangan antarmuka pada
beberapa taraf salinitas disajikan pada Lampiran 16.
Grafik nilai tegangan
antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan larutan MES pada berbagai
Tegangan Antarmuka (dyne/cm)
salinitas disajikan pada Gambar 26.
1.8E-02 1.6E-02 1.4E-02 1.2E-02 1.0E-02 8.0E-03 6.0E-03 4.0E-03 2.0E-03 0.0E+00 0
5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000
Salinitas (ppm)
Gambar 26. Tegangan antarmuka minyak-air injeksi setelah penambahan larutan MES pada berbagai salinitas Berdasarkan Gambar 26 terlihat bahwa penurunan nilai tegangan antarmuka yang cukup besar diperoleh setelah dilakukan penambahan konsentrasi NaCl pada larutan surfaktan MES. Nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan sebelum penambahan NaCl adalah 1,63x10-2 dyne/cm, dan berubah menjadi 8,92x10-3 dyne/cm pada konsentrasi NaCl 5000 ppm. Abu-Sharkh (2003) menyatakan bahwa penurunan nilai tegangan antarmuka yang sangat tajam dapat diperoleh melalui peningkatan konsentrasi NaCl.
Penurunan nilai tegangan
antarmuka yang terjadi setelah penambahan NaCl dapat dijelaskan sebagai berikut : larutan NaCl selain merupakan eletrolit kuat yang bila terlarut dalam air akan terurai sempurna menjadi ion Na+ dan Cl-, juga mempunyai gerak brown di permukaan yang lebih besar dari gerak brown pada air (Bowles, 1984). Gerak brown ialah gerakan partikel-partikel koloid yang senantiasa bergerak lurus tapi tidak menentu (gerak acak/tidak beraturan). Partikel-partikel suatu zat senantiasa bergerak, dan gerakan tersebut dapat bersifat acak seperti pada zat cair dan gas.
83
Kondisi ini ditambah dengan keberadaan ion-ion elektrolit kuat menambah gaya tarik antar partikel sehingga ikatan antar partikel menjadi lebih rapat dan semakin kuat. Larutan surfaktan menjadi semakin misscible dengan fluida reservoir yang diujikan yang ditunjukkan dengan semakin rendahnya tegangan antarmuka antar fluida (minyak-air). Pada Gambar 26 terlihat bahwa pada salinitas 15.000 ppm merupakan salinitas optimal untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka minyak-air akibat penggunaan surfaktan MES. Pada konsentrasi 15.000 ppm, elektrolit dari NaCl yang ditambahkan mampu menstabilkan mikroemulsi sehingga tegangan antarmuka terendah dapat dicapai. Penambahan salinitas lebih tinggi dari 15.000 ppm tidak menyebabkan nilai tegangan antarmuka surfaktan MES menjadi lebih rendah daripada nilai yang dicapai pada 15.000 ppm. Sebagaimana dinyatakan oleh Healy dan Reed (1974) bahwa peningkatan salinitas yang lebih tinggi dari kondisi salinitas optimal akan menyebabkan peningkatan nilai IFT. Meskipun nilai tegangan antarmuka minyak-air akibat penggunaan surfaktan MES berfluktuasi namun kecenderungan yang terlihat adalah terjadi penurunan meskipun tidak akan lebih rendah daripada nilai pada salinitas optimal. Hal ini disebabkan karena penambahan konsentrasi NaCl memiliki batasan, dimana dengan semakin meningkatnya NaCl yang ditambahkan maka akan membentuk HCl dan RSO3Na sehingga menjadi zat bukan aktif permukaan dan akibatnya tidak dapat menurunkan tegangan antarmuka minyak-air. Peningkatan salinitas berdampak pada peningkatan densitas larutan surfaktan MES sebagaimana terlihat pada Gambar 27. Penambahan air injeksi menghasilkan larutan MES 0,3% dengan nilai densitas 0,9907 g/cm3, terjadi kenaikan densitas dibandingkan densitas surfaktan MES sebesar 0,9769 g/cm3, dan pada penambahan salinitas kelipatan 5000 ppm dihasilkan densitas dengan kisaran nilai 0,9959 hingga 1,0328 g/cm3.
Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa salinitas berpengaruh sangat nyata terhadap nilai densitas (Lampiran 16). Semakin banyak penambahan konsentrasi NaCl yang dilakukan semakin tinggi nilai densitas yang dihasilkan.
Peningkatan densitas larutan
surfaktan ini berimplikasi pada makin meningkatnya perbedaan densitas antara minyak dan larutan surfaktan pada saat pengukuran nilai tegangan antarmuka
84
menggunakan Spinning Drop Tensiometer.
Perbedaan densitas (density
difference) antara dua fasa ini menyebabkan nilai tegangan antarmuka yang terukur menjadi makin meningkat dengan mengikuti persamaan Y = ¼ x ω2 x D3 x ∆p, dengan syarat : (L/D >= 4), dimana y = tegangan antarmuka (dyne/cm), ω = kecepatan angular (s-1), D = radius droplet pada axis (cm) dan ∆p = perbedaan densitas antara dua fasa (g/cm3). 1.04
Densitas (g/cm3)
1.03 1.02 1.01 1.00 0.99 0.98 0.97 0.96 0
5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000
Salinitas (ppm)
Gambar 27. Densitas larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas Peningkatan salinitas ternyata berdampak pada nilai pH yang cenderung mengalami penurunan sebagaimana terlihat pada Gambar 28.
Sebelum
penambahan garam nilai pH larutan MES 0,3% dalam air injeksi adalah 9,27. Nilai ini kemudia mengalami penurunan hingga diperoleh pH 8,95 pada salinitas 60.000 ppm. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh terhadap nilai pH (Lampiran 16). Secara umum, penambahan salinitas berdampak pada kecenderungan peningkatan nilai viskositas larutan surfaktan MES baik pada suhu pengukuran 30 maupun 70 oC. Pada suhu 30 oC viskositas larutan surfaktan MES pada berbagai salinitas berkisar 1,02 hingga 1,25 cP, dan pada suhu 70 oC berkisar 0,63 hingga 0,71 cP.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh
terhadap nilai viskositas larutan surfaktan pada suhu pengukuran 30 dan 70 oC (Lampiran 16). Peningkatan viskositas larutan surfaktan MES pada penambahan
85
garam untuk suhu 30 dan suhu 70 oC disajikan pada Gambar 29.
Bila
dibandingkan nilai viskositas antara pengukuran suhu 30 dan 70 oC pada kondisi salinitas yang sama, terlihat bahwa semakin tinggi suhu pengukuran maka nilai viskositas mengalami penurunan, sebagaimana disebutkan oleh Abu-Sharkh et al. (2003).
Viskositas berkorelasi linier terhadap suhu dan karakteristik lainnya
seperti fluiditas, tegangan permukaan, sebagaimana disebutkan oleh Fisher (1998). 9.30 9.20
pH
9.10 9.00 8.90 8.80 8.70 0
5000
10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000
Salinitas (ppm)
Gambar 28. Nilai pH larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas
1.40
1.20
Viskositas (cP)
1.00
0.80
0.60
0.40
30 oC 70 oC 0.20
0.00 0
5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000
Salinitas (ppm)
Gambar 29. Viskositas larutan MES dan air injeksi pada berbagai salinitas
86
4.5.3. Pemilihan Aditif Penambahan aditif berupa alkali bermanfaat untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka minyak dan air (Nedjhioui et al., 2005). Untuk itu pada penelitian ini dilakukan penambahan dua jenis aditif (alkali) yaitu NaOH dan Na2CO3 dengan konsentrasi 0,1 - 0,6 persen.
NaOH merupakan basa kuat
sementara Na2CO3 merupakan garam yang terbentuk dari asam lemah (H2CO3) dan basa kuat (NaOH). Pada Gambar 30 dan 31 disajikan beberapa contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambahi NaOH dan Na2CO3 pada berbagai konsentrasi. Dari kedua gambar tersebut terlihat bahwa kedua jenis aditif larut sempurna dan tidak terbentuk endapan dalam larutan surfaktan untuk semua penambahan konsentrasi aditif yang dilakukan.
Gambar 30. Contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambah NaOH
Gambar 31. Contoh sampel larutan surfaktan MES yang telah ditambah Na2CO3 Dari hasil pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air, pada penambahan NaOH dihasilkan nilai tegangan antarmuka dengan kisaran nilai 2,85x10-1 hingga 2,21x10-2 dyne/cm, sementara dengan penambahan Na2CO3
87
dihasilkan kisaran nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah yaitu 1,06x10-2 hingga 6,97x10-3 dyne/cm. Rekapitulasi hasil analisis pemilihan aditif disajikan pada Lampiran 17. Hasil sidik ragam menunjukkan jenis dan konsentrasi aditif berpengaruh sangat nyata terhadap nilai tegangan antarmuka (Lampiran 18). Berdasarkan nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan, disimpulkan bahwa aditif yang sesuai untuk surfaktan MES adalah Na2CO3. Konsentrasi Na2CO3 optimal yang ditambahkan adalah 0,3% dengan nilai tegangan antarmuka 6,97x10-3 dyne/cm, lebih rendah dibanding nilai tegangan antarmuka terbaik sebelum penambahan aditif sebesar 8,3x10-3 dyne/cm.
Penambahan konsentrasi aditif
lebih tinggi dari 0,3% tidak berdampak pada penurunan nilai tegangan antarmuka, bahkan mengalami kenaikan dibanding konsentrasi optimal. Grafik pengaruh konsentrasi NaOH dan Na2CO3 terhadap nilai tegangan antarmuka minyak-air
Tegangan Antarmuka (dyne/cm)
dengan penambahan MES pada salinitas 15.000 ppm disajikan pada Gambar 32. 1.00E+00
1.00E-01 NaOH Na2CO3 1.00E-02
1.00E-03 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Konsentrasi Aditif (%)
Gambar 32. Tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan MES dan salinitas 15.000 ppm pada berbagai konsentrasi aditif Pada Tabel 14 disajikan tampilan droplet minyak bumi pada pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan aditif pada berbagai konsentrasi. Berdasarkan tampilan droplet tersebut terlihat bahwa nilai tegangan antarmuka merupakan fungsi dari lebar droplet minyak sebagai akibat dari kinerja larutan surfaktan. Semakin pendek lebar drop minyak maka dapat dipastikan nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan semakin rendah.
88
Tabel 14. Tampilan droplet minyak bumi pada pengukuran nilai tegangan antarmuka dengan penambahan aditif Jenis Aditif NaOH
0,1
Konsentrasi (%) 0,3 0,4
0,2
0,5
0,6
Na2CO3
Menurut Lakatos-Szabo dan Lakatos (1999), minyak bumi merupakan campuran hidrokarbon dan asam karboksilat organik yang direpresentasikan sebagai asam HA. Asam HA ini mendistribusi diri diantara fasa minyak dan fasa larutan surfaktan dan alkali. Korelasi antara nilai tegangan antarmuka terhadap konsentrasi surfaktan dengan keberadaan alkali dapat dijelaskan sebagai berikut : ketika terjadi kontak antara fasa larutan dan minyak, alkali dalam fasa larutan dan asam organik (HA) dalam fasa minyak akan berpindah menuju antarmuka, bereaksi dan menghasilkan senyawa aktif permukaan (petroleum soap) sehingga nilai tegangan antarmuka menjadi turun. Penambahan aditif menyebabkan terjadinya peningkatan nilai pH larutan surfaktan MES sebagaimana terlihat pada Gambar 33.
Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa jenis dan konsentrasi aditif berpengaruh sangat nyata terhadap nilai pH (Lampiran 18). NaOH merupakan basa kuat yang memiliki nilai pH 14. Ketika basa kuat ini dilarutkan dalam larutan surfaktan dan fluida reservoir yang memiliki nilai pH berkisar 8, maka terjadi kenaikan nilai pH hingga berkisar 10,89 – 12,66.
Sementara Na2CO3 merupakan garam yang
terbentuk dari asam lemah (H2CO3) dan basa kuat (NaOH) sehingga memiliki nilai pH berkisar 10, sehingga ketika Na2CO3 direaksikan dengan larutan surfaktan dan fluida formasi dihasilkan kisaran pH 9,52 – 10,16.
Tinggi
rendahnya nilai pH larutan surfaktan diduga berkaitan dengan tinggi rendahnya nilai tegangan antarmuka yang dihasilkan. Nilai pH larutan surfaktan yang lebih tinggi akibat penambahan NaOH dibanding pada penambahan Na2CO3
89
menyebabkan nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan yang dihasilkan menjadi
Nilai pH
lebih tinggi.
13.00 12.50 12.00 11.50 11.00 10.50 10.00 9.50 9.00 8.50 8.00
NaOH Na2CO3
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Konsentrasi aditif (%)
Gambar 33. Nilai pH larutan MES dengan salinitas 15.000 ppm pada berbagai konsentrasi aditif Penambahan aditif juga menyebabkan densitas larutan surfaktan mengalami peningkatan sebagaimana disajikan pada Gambar 34.
Pada
penambahan NaOH dihasilkan kisaran densitas 1,0026 hingga 1,0075 g/cm3, sementara pada penambahan Na2CO3 dihasilkan kisaran densitas 1,0013 hingga 1,0054 g/cm3 (Lampiran 17). Sidik ragam pengaruh jenis dan konsentrasi aditif terhadap densitas formula disajikan pada Lampiran 18.
Penambahan NaOH
menyebabkan kenaikan densitas yang lebih besar dibanding penambahan Na2CO3. Faktor densitas merupakan parameter penting dalam penghitungan nilai tegangan antarmuka minyak-air dengan penambahan surfaktan yang dihasilkan, karena berkaitan dengan selisih densitas (density difference) antara densitas larutan surfaktan dengan densitas minyak bumi (0,85174 g/cm3). Nilai selisih densitas yang lebih kecil cenderung menghasilkan nilai tegangan antarmuka yang lebih rendah.
90
Densitas (g/cm3)
1.0080 1.0059 1.0038 NaOH Na2CO3
1.0017 0.9996 0.9975 0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Konsentrasi aditif (%)
Gambar 34. Densitas larutan MES dengan salinitas 15.000 ppm pada berbagai konsentrasi aditif 4.5.4. Pemilihan Co-Surfaktan Pemilihan co-surfaktan dilakukan terhadap 14 surfaktan komersial yang terdiri atas satu surfaktan kationik, tiga surfaktan anionik dan 10 surfaktan nonionik. Pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air dilakukan dengan melarutkan surfaktan komersial 0,3% di air formasi dari lapangan minyak dan air injeksi. Sebagai perbandingan, surfaktan yang sama dilarutkan pula dalam air demineralisasi dan diukur nilai tegangan antarmukanya dengan menggunakan jenis minyak yang sama. Hasil pengukuran nilai tegangan antarmuka surfaktan komersial pada air formasi menunjukkan kisaran nilai 6,54x10-1 hingga 1,43x10-2 dyne/cm, pada air injeksi berkisar 1,22x10-1 hingga 1,61x10-2 dyne/cm, sementara pada air demineralisasi berkisar 8,52x10-1 hingga 3,61x10-2 dyne/cm sebagaimana disajikan pada Tabel 15. Rekapitulasi hasil analisis nilai tegangan antarmuka minyak-fluida setelah penambahan beberapa surfaktan komersial disajikan pada Lampiran 19. Secara berturut-turut, nilai tegangan antarmuka minyak-air demineralisasi lebih besar dibandingkan nilai tegangan antarmuka minyak-air formasi dan minyak-air injeksi. Secara umum, surfaktan komersial yang dilarutkan dalam air formasi memiliki nilai tegangan antarmuka minyak-air yang lebih rendah. Sebagaimana disajikan pada Lampiran 13, air formasi mengandung ion Cl- sebanyak 21.875
91
ppm sedangkan air injeksi mengandung ion Cl- sebanyak 6.998 ppm. Ion Cl- pada air formasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan air injeksi diduga menyebabkan lebih rendahnya nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan surfaktan komersial yang dilarutkan pada air formasi. Tabel 15. Perbandingan nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan beberapa surfaktan komersial yang dilarutkan pada air formasi (AF), air injeksi (AI) dan air demineralisasi (AD) Kode
Nama Kimia
Jenis
SK05 SK06 SK10 SK13 SK15 SK24
Alkyl Polyglicoside C12 Alkyl Polyglicoside C8 C10 Alkoxylated 7 Dietanolamida Alcohol ethoxylate 7 EO Sodium dodecyl benzene sulfonate (25%) Sodium dodecyl benzene sulfonate (65%) Dodecyl benzene sulfonic acid Nonyl phenol ethoxylate 9 EO Nonyl phenol ethoxylate 10 EO
Nonionik Nonionik Nonionik Nonionik Nonionik
Nilai IFT (dyne/cm) AF AI AD -2 -2 1,91x10 9,25x10 4,98x10-2 -2 -2 4,13x10 8,32x10 1,26x10-1 6,54 x10-1 8,57x10-3 6,26x10-1 -2 -2 1,43x10 1,61x10 3,61x10-2 1,17x10-1 1,16x10-1 2,02x10-1
Anionik
6,04x10-2
6,25x10-2
6,03x10-1
Anionik
6,79x10-2
7,86x10-2
8,52x10-1
Anionik
5,90x10-2
5,11x10-2
4,91x10-1
Nonionik
8,59x10-2
1,22x10-1
1,14x10-1
Nonionik
8,94x10-2
1,02x10-1
1,41x10-1
Kationik
2,60x10-2
3,60x10-2
2,68x10-1
Nonionik
3,74 x10-2
2,16x10-2
8,02x10-1
Nonionik Nonionik
6,55x10-1 8,00x10-2
3,40x10-2 9,25x10-2
6,66x10-1 1,41x10-1
antarmuka
minyak-air
SK25 SK26 SK27 SK28 SK33 SK38 SK39 SK50
Alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Alkyl Polyglicoside C12-16
Berdasarkan
data
nilai
tegangan
setelah
penambahan surfaktan komersial yang dilarutkan dalam air formasi, diketahui bahwa 12 surfaktan komersial memiliki kisaran nilai tegangan antarmuka minyakair 10-2 dyne/cm, sementara 3 surfaktan komersial lainnya memiliki kisaran 10-1 dyne/cm.
Tiga surfaktan komersial yang memiliki nilai tegangan antarmuka
minyak-air terendah yaitu SK05 (1,91x10-2 dyne/cm), SK13 (1,43x10-2 dyne/cm) dan SK33 (2,60x10-2 dyne/cm).
92
4.5.5. Beberapa Formula Surfaktan Berbasis MES yang Dihasilkan untuk EOR Formula-formula surfaktan berbasis MES didapatkan dengan melakukan kombinasi antara surfaktan MES, surfaktan komersial, salinitas optimal, dan konsentrasi aditif terbaik yang diperoleh pada tahapan penelitian sebelumnya. Surfaktan MES yang digunakan adalah 0,3%, surfaktan komersial yang dipilih yaitu SK05, SK13 dan SK33 dengan konsentrasi masing-masing 0,3%, salinitas optimal terpilih adalah 15.000 ppm, dan aditif terbaik yang digunakan adalah Na2CO3 dengan konsentrasi 0,3%. Grafik nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan beberapa formula berbasis MES yang dihasilkan disajikan pada Gambar 35.
Nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan
formula surfaktan berbasis MES yang dihasilkan disajikan pada Lampiran 20. Berdasarkan Gambar 35, terlihat bahwa pada kombinasi formula surfaktan MES, salinitas 15.000 ppm dan Na2CO3 0,3% menghasilkan nilai tegangan antarmuka minyak-air paling rendah yaitu 6,97x10-3 dyne/cm (Formula 7) dibandingkan dengan semua formula berbasis MES lainnya.
Nilai tegangan
antarmuka minyak-air terendah kedua diperoleh ketika surfakan MES hanya dikombinasikan dengan salinitas 15.000 ppm saja (Formula 5). Ketika surfaktan MES hanya dikombinasikan dengan aditif Na2CO3 saja nilai tegangan antarmukanya menjadi lebih tinggi dibanding jika ditambahkan salinitas. Saat surfaktan MES dikombinasikan dengan surfaktan komersial SK05 dan SK13, nilai tegangan antarmuka minyak-air setelah penambahan formula yang diperoleh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai antarmuka minyak-air pada penambahan surfaktan komersial saja. Nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan kombinasi surfaktan MES dengan SK05 dan SK13 juga mengalami penurunan ketika dilakukan penambahan garam dan aditif Na2CO3. Hal ini diduga karena surfaktan MES yang bersifat anionik (memiliki muatan negatif) ketika direaksikan dengan surfaktan SK05 dan SK13 yang bersifat nonionik (tidak bermuatan) maka tidak terjadi reaksi antagonis antar molekulnya. Surfaktan MES malah berfungsi meningkatkan kinerja surfaktan nonionik dalam fluida formasi sehingga nilai tegangan antarmuka surfaktan nonionik menjadi lebih rendah ketika dikombinasikan dengan surfaktan MES.
93
1.00E-01 9.50E-02 9.00E-02 8.50E-02 8.00E-02
Tegangan Antarmuka (dyne/cm)
7.50E-02 7.00E-02 6.50E-02 6.00E-02 5.50E-02 5.00E-02 4.50E-02 4.00E-02 3.50E-02 3.00E-02 2.50E-02 2.00E-02 1.50E-02 1.00E-02 5.00E-03 0.00E+00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Formula
Ket.
1
= MES
11
= MES 0,3%+SK05 0,3%+NaCl 15.000 ppm+Na2CO3 0,3%
2
= SK05
12
= MES 0,3%+SK13 0,3%
3
= SK13
13
= MES 0,3%+SK13 0,3%+NaCl 15.000 ppm
4
= SK33
14
= MES 0,3%+SK13 0,3%+ Na2CO3 0,3%
5
= MES 0,3%+NaCl 15.000 ppm
15
= MES 0,3%+SK13 0,3%+NaCl 15.000 ppm+Na2CO3 0,3%
6
= MES 0,3%+Na2CO3 0,3%
16
= MES 0,3%+SK33 0,3%
7
= MES 0,3%+NaCl 15.000 ppm+Na2CO3 0,3%
17
= MES 0,3%+SK33 0,3%+NaCl 15.000 ppm
8
= MES 0,3%+SK05 0,3%
18
= MES 0,3%+SK33 0,3%+ Na2CO3 0,3%
9
= MES 0,3%+SK05 0,3%+NaCl 15.000 ppm
19
= MES 0,3%+SK33 0,3%+NaCl 15.000 ppm+Na2CO3 0,3%
10
= MES 0,3%+SK05 0,3%+ Na2CO3 0,3%
Gambar 35. Nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan formula berbasis MES, salinitas 15.000 ppm dan Na2CO3 0,3% dengan variasi surfaktan komersial Pada saat surfaktan MES dikombinasikan dengan SK33 terjadi peningkatan nilai tegangan antarmuka baik ketika tanpa penambahan ataupun dengan penambahan garam 15.000 ppm dan Na2CO3.
Hal ini karena ketika
surfaktan MES yang bersifat anionik (bermuatan negatif) dikombinasikan dengan surfaktan SK33 yang bersifat kationik (bermuatan positif) terjadi reaksi antagonis yang saling berlawanan antara molekul sehingga kinerja surfaktan dalam
94
menurunkan tegangan antarmuka fluida menjadi rendah, yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmukanya yang lebih tinggi. Dapat disimpulkan bahwa surfaktan komersial yang diujikan tidak tahan terhadap salinitas tinggi, yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmukanya yang lebih tinggi dibanding surfaktan MES yang memiliki nilai tegangan antarmuka lebih rendah ketika diujikan pada fluida reservoir. Karenanya, ketika surfaktan MES dikombinasikan dengan surfaktan komersial, nilai tegangan antarmuka fluida (minyak-air) yang diperoleh lebih tinggi dibanding penggunaan surfaktan MES tunggal dalam formula setelah ditambahi aditif. Untuk tahapan pengujian kinerja formula yang terpilih adalah formula surfaktan MES konsentrasi 0,3% dengan penambahan NaCl 15.000 ppm dan Na2CO3 0,3%. 4.6. Uji Kinerja Formula Surfaktan Berbasis MES untuk Aplikasi pada EOR Untuk menentukan formula surfaktan berbasis MES yang dihasilkan dapat digunakan pada aplikasi enhanced oil recovery, maka perlu dilakukan uji kinerja formula surfaktan. Tahapan uji yang dilakukan meliputi uji kompatibilitas, uji kelakuan fasa, uji filtrasi, uji ketahanan terhadap panas, uji adsorpsi dan uji core. 4.6.1. Uji Kompatibilitas Uji kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara surfaktan dengan air formasi dari suatu reservoir. Terdapat tiga kemungkinan yang akan terjadi pada pencampuran surfaktan dengan air formasi, yaitu (a) larut sempurna, terbentuk campuran yang jernih, 1 fasa, (b) koloid, terbentuk campuran yang terlihat seperti air susu (milky), 1 fasa, dan (c) suspensi, terbentuk campuran 2 fasa, cairan dan padatan dimana butiran/gumpalan terlihat sangat jelas (Eni et al., 2010). Diharapkan campuran yang terbentuk adalah larutan sempurna atau koloid, sedangkan larutan berbentuk suspensi tidak diharapkan karena dikhawatirkan akan menyebabkan penyumbatan
Karenanya ketika larutan
surfaktan dan air formasi membentuk suspensi, berarti surfaktan tidak lolos (tidak kompatibel) dan dianggap tidak layak untuk reservoir yang bersangkutan.
95
Uji kompatibilitas dilakukan dengan melarutkan surfaktan MES 0,3% pada air formasi dan air injeksi, dan kemudian diamati perubahan yang terjadi pada larutan pada suhu reservoir. Hasil pengamatan uji kompatibiliti antara air formasi dan surfaktan MES disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 36. Hasil pengamatan uji kompatibilitas antara air injeksi dan surfaktan MES disajikan pada Tabel 17 dan Gambar 37. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa surfaktan MES yang dilarutkan pada air formasi maupun air injeksi berbentuk larutan homogen (satu fasa) berwarna coklat muda terang (jernih), kelarutan tinggi, surfaktan larut sempurna, tidak terbentuk endapan atau gumpalan. Dapat disimpulkan bahwa formula surfaktan MES kompatibel dengan air formasi dan air injeksi. Adapun bahan mengapung yang teramati diduga merupakan komponen minyak yang terlarut dalam air formasi dan air injeksi akibat pengaruh sisa pengemulsi yang digunakan pada sumur minyak sebelumnya yang berhasil dikoagulasikan oleh surfaktan MES hingga akhirnya terpisah dan mengapung di bagian permukaan. Tabel 16. Hasil pengamatan uji kompatibilitas surfaktan MES dengan air formasi
++++ +++
Saring 500 mesh ++++ +
Hasil Pengamatan Pemanasan 12 jam (112 oC) Saring Tanpa 500 Saring mesh ++++ ++++ + ++ ++
Pemanasan 24 jam (112 oC) Saring Tanpa 500 Saring mesh +++++ +++++ ++ ++
-
-
-
-
Awal
Jenis No Pengamatan 1 2 3
Kelarutan Bahan Mengapung Endapan
Tanpa Saring
-
-
Keterangan : +++++ = banyak sekali, ++++ = banyak, +++ = agak banyak, ++ = sedikit + = sangat sedikit, - = tidak ada.
Tabel 17. Hasil pengamatan uji kompatibilitas surfaktan MES dengan air injeksi
++++ +++
Saring 500 mesh ++++ +++
Hasil Pengamatan Pemanasan 12 jam (112 oC) Saring Tanpa 500 Saring mesh ++++ ++++ + ++ ++ +
Pemanasan 24 jam (112 oC) Saring Tanpa 500 Saring mesh +++++ +++++ ++ +
-
-
-
-
Awal
Jenis No Pengamatan 1 2 3
Kelarutan Bahan Mengapung Endapan
Tanpa Saring
-
-
Keterangan : +++++ = banyak sekali, ++++ = banyak, +++ = agak banyak, ++ = sedikit + = sangat sedikit, - = tidak ada.
96
Ket. (a) larutan surfaktan tanpa disaring (b) larutan surfaktan dengan disaring 500 mesh a b a a b b Pemanasan 12 jam Pemanasan 24 jam Awal (112 oC) (112 oC) Gambar 36. Tampilan larutan surfaktan MES-air formasi pada uji kompatibilitas
Ket. (c) larutan surfaktan tanpa disaring (d) larutan surfaktan dengan disaring 500 mesh
a
b Awal
a
b
Pemanasan 12 jam (112 oC)
a
b
Pemanasan 24 jam (112 oC)
Gambar 37. Tampilan larutan surfaktan MES-air injeksi pada uji kompatibilitas
97
4.6.2. Uji Kelakuan Fasa Pengamatan kelakuan fasa dilakukan dengan mencampurkan larutan surfaktan dan minyak dalam volume yang sama dalam tabung terukur, dan disimpan pada suhu reservoir hingga kesetimbangan dicapai (Syahrial, 2008). Perbedaan volume larutan surfaktan dan minyak secara visual digunakan untuk mengestimasi kelakuan fasa yang terbentuk. Pada Gambar 38 disajikan tampilan kelakuan fasa larutan surfaktan-minyak bumi.
Berdasarkan gambar tersebut
terlihat bahwa volume air mengalami peningkatan walaupun sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa mikroemulsi cenderung berbaur dengan air formasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa fasa yang terbentuk adalah fasa bawah.
Ulangan 1
Ulangan 2
Gambar 38. Hasil uji kelakuan fasa larutan surfaktan-minyak bumi pada suhu reservoir 4.6.3. Uji Ketahanan terhadap Panas (Thermal Stability Test) Uji ketahanan terhadap panas dilakukan dengan memanaskan larutan surfaktan pada suhu reservoir 112 oC selama waktu tertentu di dalam oven. Secara berkala dilakukan pengamatan terhadap larutan dan pengukuran nilai tegangan antarmuka. Hasil pengamatan secara visual hingga pemanasan hari ke-
98
77 larutan surfaktan masih dalam bentuk satu fasa, namun terbentuk endapan putih pada bagian bawah tabung uji. Endapan putih di bagian bawah tabung tersebut mulai terlihat pada pemanasan hari ke-11. Namun, endapan yang terbentuk tidak bertambah dengan semakin lamanya pemanasan. Pada Gambar 39 disajikan terbentuknya endapan pada larutan formula surfaktan selama pemanasan pada uji thermal stability.
Tanpa endapan
Pemanasan hari ke-1, suhu 112 oC
Endapan
Pemanasan hari ke-11, suhu 112 oC
Gambar 39. Terbentuknya endapan pada larutan formula surfaktan selama pemanasan pada uji thermal stability Endapan putih yang terbentuk di bagian bawah tabung diduga merupakan ion Ca2+ dan Mg2+ yang terendapkan dalam bentuk CaCO3(s). Hal ini terjadi akibat fluida formasi yang diujikan kesadahannya tinggi, sehingga ketika formula surfaktan berbasis MES yang mengandung Na2CO3 dibuat, maka Na2CO3 menjadi terlarutkan dalam fluida formasi.
Diketahui bahwa pelarut Na2CO3 ternyata
berfungsi untuk membebaskan air dari kesadahan dengan adanya panas. Sebagai gambaran reaksi yang terjadi disajikan pada Gambar 40.
99
panas CaCl2(aq) + Na2CO3(aq)
CaCO3(s) + 2 NaCl(aq)
Gambar 40. Reaksi pengendapan sadah Hasil pengukuran nilai tegangan antarmuka minyak-air pada penambahan surfaktan pada suhu reservoir memperlihatkan terjadinya peningkatan nilai tegangan antarmuka minyak-air dari 6,97x10-3 dyne/cm sebelum pemanasan menjadi 2,87x10-2 dyne/cm pada pemanasan hari ke-2. Pada pengamatan hari selanjutnya nilai tegangan antarmuka mengalami penurunan hingga pengamatan hari ke-48 dengan kisaran nilai 10-2 dyne/cm dan mulai mengalami peningkatan hingga hari ke-77 meskipun nilai tegangan antarmuka fluida masih berkisar pada 10-2 dyne/cm. Sebagai perbandingan, dilakukan pula pengukuran nilai tegangan antarmuka fluida pada pemanasan suhu 70 oC yang memperlihatkan terjadi peningkatan nilai tegangan antarmuka dari 6,97x10-3 dyne/cm sebelum pemanasan menjadi 6,99x10-3 dyne/cm pada pemanasan hari ke-2. Pada pengamatan hari selanjutnya nilai tegangan antarmuka mengalami penurunan hingga pengamatan hari ke-14 (4,43x10-3 dyne/cm) dan mulai mengalami peningkatan hingga hari ke77 (3,46x10-2 dyne/cm). Hingga pemanasan hari ke-48 nilai tegangan antarmuka larutan surfaktan yang dipanaskan pada suhu 70 oC bertahan pada kisaran 10-3 dyne/cm, dan menjadi 10-2 dyne/cm pada pengamatan hari berikutnya. Grafik perubahan nilai tegangan antarmuka fluida akibat pemanasan surfaktan disajikan pada Gambar 41. Rekapitulasi hasil pengamatan pengujian ketahanan larutan surfaktan terhadap panas disajikan pada Lampiran 21. Berdasarkan hasil pengujian ketahanan terhadap pemanasan, maka dapat disimpulkan bahwa surfaktan lebih tidak stabil pada suhu tinggi, yang ditandai dengan nilai tegangan antarmuka fluida setelah penambahan surfaktan menjadi semakin meningkat. Meskipun demikian, formula sufaktan yang dikembangkan relatif tahan terhadap suhu reservoir yang tinggi. Hal ini diindikasikan dengan nilai tegangan antarmuka fluida setelah penambahan formula surfaktan yang masih berkisar pada 10-3 dyne/cm pada pemanasan suhu 70 oC hingga hari ke-48, dan masih berkisar pada 10-2 dyne/cm hingga hari ke-77 pada pemanasan suhu 70 dan 112 oC.
Tegangan Antarmuka (dyne/cm)
100
5.00E-02 4.50E-02 4.00E-02 3.50E-02 3.00E-02 2.50E-02 2.00E-02 1.50E-02 1.00E-02 5.00E-03 0.00E+00
112 oC 70 oC
0
2
7
14
28 41
48
55 70
77
Lama Pemanasan (hari)
Gambar 41. Perubahan nilai tegangan antarmuka akibat pemanasan 4.6.4. Uji Filtrasi Uji filtrasi bertujuan untuk menentukan ada atau tidak kemungkinan terbentuknya presipitan oleh larutan surfaktan. Kehadiran presipitan ini perlu diketahui dari awal karena kehadirannya dikhawatirkan dapat menyumbat poripori batuan reservoir. Kehadiran presipitan ini ditandai dengan kurva lengkung pada plot volume terhadap waktu filtrasi (Syahrial, 2008).
Proses filtrasi
dilakukan terhadap air demineralisasi, air formasi dan larutan formula surfaktan MES yang masing-masing dilarutkan pada air demineralisasi dan air formasi dengan menggunakan empat jenis ukuran pori yaitu 500 mesh, 20-22 µm, 0,45 µm dan 0,22 µm, dilakukan secara bertahap. Rekapitulasi hasil uji filtrasi air demineralisasi, air formasi dan larutan formula surfaktan dalam air demineralisasi dan air formasi disajikan pada Lampiran 22. Kemungkinan terjadinya presipitasi dilihat dari nilai filtration ratio (FR) yang dihasilkan, dimana semakin besar nilai FR maka kemungkinan terjadinya filtrasi akan semakin besar.
Grafik
perbandingan hasil uji filtrasi air demineralisasi, air formasi, dan larutan surfaktan dalam air demineralisasi dan air formasi pada suhu ruang menggunakan berbagai ukuran pori media filtrasi disajikan pada Gambar 42.
101
10
Filtration Ratio (FR)
9 8 AD AF Formula+AD Formula+AF
7 6 5 4 3 2 1 0 500 mesh
20-25 µm
0,45 µm
0,22 µm
Ukuran Pori Media Filtrasi
Gambar 42. Nilai filtrasi rasio (FR) air demineralisasi (AD), air formasi (AF), dan larutan formula surfaktan pada suhu ruang menggunakan berbagai ukuran pori media filtrasi Berdasarkan Gambar 42 terlihat bahwa nilai FR air demineralisasi berkisar 1-2,19.
Air demineralisasi merupakan pelarut murni yang telah dihilangkan
kandungan mineral ataupun padatan terlarutnya, sehingga ketika dilewatkan pada berbagai media berpori dengan ukuran apapun cenderung tidak mengalami perlambatan. Nilai FR air formasi pada media 500 mesh dan 20-25 µm cenderung tetap pada kisaran 1,2 namun mengalami peningkatan yang sangat drastis pada saat disaring menggunakan media filtrasi dengan ukuran pori 0,45 µm mencapai 9,53. Padatan terlarut di dalam air formulasi dapat dengan mudah melewati ukuran pori 500 mesh dan 20-25 µm, namun mengalami hambatan pada 0,45 µm. Diduga ukuran partikel padatan terlarut dalam air formasi lebih besar dari 0,45 µm sehingga ketika disaring menggunakan ukuran pori 0,45 µm terjadi perlambatan akibat banyak padatan terlarut yang tertahan di permukaan pori-pori. Pada formula surfaktan yang dilarutkan dalam air demineralisasi dan air formasi, keduanya memiliki kecenderungan yang sama yaitu terjadi penurunan nilai FR dengan semakin kecil ukuran pori yang diujikan.
Hal ini diduga
disebabkan karena pada formula larutan surfaktan dan air demineralisasi serta larutan surfaktan dan air formasi terbentuk lapisan minyak di bagian atas permukaan larutan pada pengujian di suhu ruang, sehingga ketika pertama kali dilewatkan pada media 500 mesh sebagian besar minyak tersebut tertahan di pori-
102
pori yang menyebabkan terjadi perlambatan. Perlambatan yang terjadi semakin turun dengan semakin kecilnya ukuran pori-pori. 4.6.5. Uji Adsorpsi Adsorpsi ialah peristiwa penyerapan partikel atau ion atau senyawa lain pada permukaan partikel yang disebabkan oleh luasnya permukaan partikel. Uji ini bertujuan untuk melihat seberapa besar formula surfaktan mengalami penurunan kinerja akibat terjadinya penyerapan partikel surfaktan oleh core sintetik yang diujikan.
Core sintetik yang digunakan dibuat dengan
mencampurkan pasir kuarsa ukuran 35 mesh dengan semen dan air.
Semen
adalah suatu zat yang dapat menetapkan dan mengeraskan dengan bebas serta dapat mengikat material lain.
Komponen utama semen adalah batu
kapur/gamping yang sebagian besar tersusun oleh mineral kalsium karbonat (CaCO3).
Berdasarkan hal tersebut maka core sintetik yang dihasilkan
diasumsikan dapat merepresentasikan native core batuan karbonat.
Proses
pembuatan core sintetik yaitu dengan mencampurkan pasir kuarsa ukuran 35 mesh dengan semen (25% dari jumlah pasir kuarsa) dan air (10% dari bobot total). Campuran bahan kemudian dicetak menggunakan cetakan tabung dan dikeringkan di bawah sinar matahari selama sehari. Kemudian core sintetik yang sudah kering dikeluarkan dari cetakan, dipotong sesuai ukuran dan digerinda, dan dicuci menggunakan toluene. Sebelum pengujian dilakukan terlebih dahulu pengecilan ukuran core sintetik dengan cara digerus hingga halus untuk memperbesar luas permukaannya. Proses pembuatan core sintetik disajikan pada Lampiran 23. Uji adsorbsi dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu menggunakan nilai absorbansi tanpa methylene blue dan absorbansi dengan methylene blue dengan alat spektrofotometer yang masing-masing ditampilkan dalam bentuk kurva standar dan menggunakan metode titrasi dua fasa. Pada pengujian adsorpsi larutan surfaktan dicampur dengan core sintetik pada perbandingan 1:2 kemudian dipanaskan dalam oven selama dua hari. Setelah dua hari, kemudian dilakukan pemisahan larutan dan dilakukan pengukuran.
Rekapitulasi data uji nilai
absorbansi beberapa konsentrasi MES disajikan pada Lampiran 24.
103
Kurva standar nilai absorbansi terhadap beberapa konsentrasi MES tanpa menggunakan methylene blue disajikan pada Gambar 43.
Hasil pengujian
adsorpsi larutan surfaktan 0,3% dengan core sintetik menghasilkan absorbansi sebesar 0,192. Nilai absorbansi ini bila dirujuk ke kurva adsorpsi dengan cara ekstrapolasi maka diperoleh konsentrasi surfaktan MES 0,0597%, yang menunjukkan bahwa penyerapan konsentrasi MES akibat adsorpsi mencapai 80%. 1.20
y = 0.0649x 1.1737 R2 = 0.9837
Absorbansi (nm)
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0.025
0.05
0.075
0.1
0.125
0.15 0.175
0.2
0.225
0.25
0.275
0.3
Konsentrasi MES (%)
Gambar 43. Kurva standar absorbansi surfaktan MES tanpa methylene blue Kurva standar nilai absorbansi terhadap beberapa konsentrasi MES menggunakan metode methylene blue disajikan pada Gambar 44.
Hasil
pengukuran memberikan nilai absorbansi sebesar 0,117. Nilai absorbansi hasil adsorbsi ini jauh lebih rendah dibanding absorbansi larutan surfaktan MES 0,025%.
Pada titik ini konsentrasi surfaktan MES yang tersisa dalam larutan
setelah adsorpsi oleh core adalah 0,013%, yang berarti sekitar 95,43% terserap oleh core. Pengukuran nilai absorbansi menggunakan methylene blue ataupun tanpa methylene blue terlihat memiliki kecenderungan yang sama, yaitu nilai absorbansi yang besar berkisar 80-95%. Namun nilai absorbansi tidak dapat menggambarkan kondisi adsorpsi yang sebenarnya, mengingat prinsip pengujian menggunakan spektro adalah warna, sementara warna surfaktan MES adalah gelap. Karenanya dilakukan pengujian menggunakan metode titrasi dua fasa, untuk mengetahui jumlah bahan aktif yang terserap core selama uji adsorpsi. Pengujian dilakukan menggunakan core sintetik untuk tiga macam larutan berbeda. Hasil pengujian
104
menunjukkan kisaran adsorpsi 155,29 – 152,86 µg bahan aktif/g core. Formula surfaktan berbasis MES yang dikembangkan memiliki nilai adsorpsi terendah yaitu 152,86 µg bahan aktif/g core, nilai ini lebih rendah dibandingkan formula lain yang tanpa Na2CO3 Dapat disimpulkan bahwa pemakaian Na2CO3 dapat mengurangi kemungkinan terjadinya adsorpsi. Grafik nilai adsorpsi bahan aktif menggunakan metode titrasi dua fasa disajikan pada Gambar 45. Rekapitulasi perhitungan nilai adsorpsi disajikan pada Lampiran 25. 1.20
Absorbansi (nm)
1.00 0.80 0.60
y = 1.7725x 0.5435 R2 = 0.9474
0.40 0.20 0.00
0.025 0.050 0.075 0.100 0.125 0.150 0.175 0.200 0.225 0.250 0.275 0.300 0.325
Konsentrasi MES (% )
Gambar 44. Kurva standar absorbansi surfaktan MES menggunakan methylene blue
µg bahan aktif/g core
155.5 155.0 154.5 154.0 153.5 153.0 152.5 152.0 151.5 MES 0,3%
MES 0,3% + NaCl 15000 ppm
MES 0,3% + NaCl 15000 ppm + Na2CO3 0,3%
Formula Larutan Surfaktan
Gambar 45. Adsorpsi bahan aktif menggunakan metode titrasi dua fasa
105
Mekanisme terjadinya adsorpsi adalah sebagai berikut : surfaktan yang dilarutkan dalam air injeksi akan mempengaruhi tegangan antarmuka minyak-air, sekaligus akan bersinggungan dengan permukaan butiran batuan.
Pada saat
terjadinya persinggungan ini, molekul-molekul surfaktan akan ditarik oleh molekul-molekul batuan reservoir dan diendapkan pada permukaan batuan secara terus menerus sampai titik jenuh. Akibat dari adsorpsi ini kualitas surfaktan akan menurun dan menyebabkan terjadinya pemisahan surfaktan. Adsorpsi batuan reservoir terhadap surfaktan terjadi akibat gaya tarik menarik antara molekulmolekul surfaktan dengan batuan reservoir. Besarnya gaya tersebut tergantung dari besarnya afinitas batuan reservoir terhadap surfaktan. 4.6.6. Uji Core Flooding Skala Laboratorium Pengujian core flooding skala laboratorium dilakukan menggunakan core sintetik sebagaimana yang digunakan pada uji adsorpsi, sehingga dapat merepresentasikan native core batuan karbonat.
Core sintetik dibuat semirip
mungkin dengan core asli. Core sintetik sebelum digunakan dicuci terlebih dengan toluen menggunakan refluks dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60-70 o
C, dan kemudian dijenuhkan dengan air formasi dan diikuti dengan penjenuhan
minyak sebelum dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan secara bertahap yaitu core diinjeksi dengan air formasi hingga jenuh dengan laju alir satu meter per hari atau setara dengan satu ml/8 menit pada suhu 70 oC dan tekanan 1,5 bar, dengan tekanan pada core holder 5,5 bar. Setelah core tersaturasi oleh air formasi, kemudian dilakukan penginjeksian minyak yang akan mendorong air formasi yang telah tersaturasi pada core. Minyak menggantikan tempat air formasi yang keluar sehingga minyak yang masuk setara dengan air formasi yang keluar. Air formasi yang keluar diukur untuk mengetahui volume minyak yang tersimpan dalam core. Kemudian dilakukan penginjeksian air injeksi, dimana proses injeksi ini akan mendorong minyak yang terkandung pada core. Penginjeksian fluida berupa air injeksi ini merupakan simulasi tahap sekunder dalam recovery minyak berupa water flooding. Penginjeksian ini berhenti jika tidak ada lagi minyak yang keluar. Selanjutnya dilakukan penginjeksian fluida ketiga berupa formula surfaktan dimana surfaktan telah dilarutkan dalam air injeksi. Data dimensi core
106
yang digunakan pada uji core flooding disajikan pada Lampiran 26.
Proses
persiapan dan tahapan uji core flooding disajikan pada Lampiran 27. Adanya gaya tarik menarik batuan reservoir dan gelembung-gelembung minyak serta penyempitan pori-pori menyebabkan minyak terperangkap di dalam pori-pori. Ketika larutan surfaktan diinjeksikan terjadi penurunan tegangan antarmuka minyak-air dan menyebar melalui ‘film” air yang merupakan pembatas antara batuan reservoir dengan gelembung-gelembung minyak. Dengan turunnya tegangan antarmuka ini, gaya adhesi antara gelembung-gelembung minyak dan batuan reservoir akan berkurang dan tekanan kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori juga akan berkurang. Dengan demikian, sisa minyak yang terperangkap tersebut dapat dilarutkan dalam bentuk mikroemulsi. Kedudukan gelembung-gelembung minyak setelah didesak oleh larutan surfaktan melalui daerah penyempitan pori-pori bergerak dan kemudian bertemu dengan gelembung-gelembung minyak lainnya membentuk suatu fasa minyak continue (oil bank). Dengan demikian, larutan formula surfaktan yang diujikan memiliki kemampuan untuk menurunkan gaya adhesi antara minyak dan core sintetik yang diujikan, sehingga pada uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air menghasilkan incremental oil recovery sekitar 8-19%, dengan total recovery mencapai 52-76%. Pengujian menggunakan native core dihasilkan incremental oil recovery 9,1% dengan total recovery mencapai 45,5%. Data hasil uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air Kode Core Core Sintetik-1 Core Sintetik-3 Native Core-1
Saturasi Air (%)
Porositas (%)
Water Flooding (%)
Surfactant Flooding (%)
Total Recovery (%)
15
36
57
19
76
3
44
44
8
52
31
11,2
36,4
9,1
45,5
Pengujian juga dilakukan dengan menginjeksikan larutan surfaktan dengan arah aliran injeksi (flow) berbeda, yaitu antara searah gaya gravitasi (dari atas ke
107
bawah) menjadi berlawanan gaya gravitasi (dari bawah ke atas).
Sebagai
hasilnya, uji core flooding larutan surfaktan dengan arah flow dari bawah ke atas menghasilkan oil recovery yang lebih besar (77%) dibanding flow dari atas ke bawah (61%).
Hasil uji core flooding larutan surfaktan dengan perbedaan arah
flow injeksi disajikan pada Tabel 19. Hasil uji core flooding larutan surfaktan setelah injeksi air disajikan pada Lampiran 28 dan dengan perbedaan arah flow injeksi disajikan pada Lampiran 29. Tabel 19. Hasil uji core flooding larutan surfaktan dengan perbedaan arah flow injeksi Kode Core
Perlakuan
Core Sintetik-2 Core Sintetik-4
Surfaktan Flooding (atas ke bawah) Surfaktan Flooding (bawah ke atas)
Saturasi Air (%)
Porositas (%)
Recovery (%)
33
41
61
7
41
77
Pada Tabel 19 terlihat bahwa recovery antara arah injeksi larutan surfaktan dari atas ke bawah dengan arah dari bawah ke atas menghasilkan nilai yang berbeda meskipun porositas core yang diujikan memiliki nilai yang sama yaitu 41%. Diduga perbedaan ini lebih dipengaruhi oleh gaya gravitasi, perbedaan viskositas dan perbedaan permeabilitas. Aliran ke arah bawah memungkinkan larutan surfaktan yang memiliki densitas dan viskositas lebih besar dibanding densitas dan viskositas minyak, mengalir lebih cepat dibanding aliran minyak. Sementara aliran ke arah atas dapat menyebabkan pendesakan minyak lebih merata di seluruh pori-pori.
Nilai permeabilitas masing-masing core tidak
dihitung sehingga angka pastinya tidak diketahui. Namun, sebagai gambaran adanya permeabilitas yang berbeda, dapat dibandingkan antara data volume core (Lampiran 26) dan volume air formasi yang tersisa dalam core setelah diinjeksi minyak (Lampiran 29). Core-2 memiliki volume core 13,16 ml sementara core-4 memiliki volume core 18,24 ml. Namun volume air formasi yang tersisa dalam core-2 (1,7963 ml) lebih besar dibanding yang tersisa dalam core-4 (0,5362 ml) setelah diinjeksi minyak. Artinya, core-4 memiliki kemampuan lebih besar untuk melalukan (memindahkan) fluida dibanding core-2 sehingga dihasilkan nilai recovery yang lebih besar pula.
108
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Hasil kajian kondisi proses produksi surfaktan MES untuk fluida formasi karbonat menunjukkan bahwa kondisi terbaik dicapai pada lama proses sulfonasi 3-4 jam, adanya penambahan laju udara kering 1,8 kg/jam dan pemurnian dilakukan tanpa penambahan metanol dengan pH 8.
Kondisi terbaik ini
menghasilkan surfaktan MES yang memiliki karakteristik tegangan antarmuka pada air formasi 7,46x10-3 dyne/cm,
tegangan antarmuka pada air injeksi
1,49x10-2 dyne/cm, bilangan iod 16,10 mg iod/g sampel, kandungan bahan aktif 4,63 persen, kestabilan emulsi berkisar 0,8 persen, viskositas 99,90 cP, warna 280,5 klett.
Semakin tinggi laju udara kering yang ditambahkan maka nilai
bilangan iod dan bahan aktif semakin meningkat, sementara nilai viskositas dan warna semakin menurun. Jika pH surfaktan mendekati nilai pH fluida formasi, maka nilai tegangan antarmuka fluida yang dihasilkan semakin rendah. Formula surfaktan berbasis MES terbaik untuk aplikasi EOR pada formasi karbonat adalah formula dengan komposisi surfaktan MES 0,3%, Na2CO3 0,3% dan salinitas 15.000 ppm. Surfaktan MES yang dihasilkan memiliki sifat lebih tahan panas, salinitas dan kesadahan tinggi dibanding surfaktan komersial. Surfaktan MES yang dilarutkan pada fluida formasi memberikan nilai tegangan antarmuka fluida yang lebih baik ketika digunakan secara tunggal dibanding jika dikombinasikan dengan surfaktan komersial. Uji kinerja formula surfaktan berbasis MES menunjukkan bahwa formula surfaktan kompatibel dengan air formasi dan air injeksi, fasa yang terbentuk adalah fasa bawah, relatif stabil pada pemanasan hingga hari ke-77 (suhu reservoir 70 dan 112oC) dengan kisaran tegangan antarmuka 10-2 dyne/cm, adsorpsi mencapai 152,86 µg bahan aktif/g core serta incremental oil recovery setelah injeksi air (water flooding) menggunakan core sintetik sebesar 8-19% dan menggunakan native core sebesar 9,1%.
Uji core flooding larutan surfaktan
dengan arah flow dari bawah ke atas menghasilkan oil recovery yang lebih besar (16%) dibanding flow dari atas ke bawah, dipengaruhi karena adanya gaya gravitasi.
110
5.2. Saran Adapun yang dapat disarankan demi perbaikan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan pengaturan gas SO3 agar kondisi proses sulfonasi lebih stabil, misalnya berupa penyediaan chamber khusus penampung gas SO3 sebelum dialirkan ke reaktor. 2. Mengingat penambahan Na2CO3 ternyata menyebabkan timbulnya endapan pada tahap uji thermal stability, maka pemakaian Na2CO3 sebagai aditif tambahan pada formasi karbonat perlu dievaluasi. 3. Uji core flooding dengan menggunakan contoh batuan (core) yang lebih panjang, minimal 30 cm untuk mendapatkan ketelitian yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Sharkh BF, Yahaya GO, Ali SA, Hamad EZ dan Abu-Reesh IM. 2003. Viscosity behavior and surface and interfacial activities of hydrophobically modified water-soluble acrylamide/N-phenyl acrylamide block copolymers. J. of Applied Polymer Science, Vol. 89 : 2290 – 2300. Akzo Nobel Surfactants. 2006. Enhanced Oil Recovery (EOR) Chemicals and Formulations. Akzo Nobel Surface Chemistry LLC. www.surfactants.akzonobel.com. [14 Februari 2011]. [AOAC] Official Method of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. 1995. Washington: AOAC. [AOCS] Official Method Cd 1d-92. 1998. Iodine Value of Fats and Oils, Cyclohexane-Acetic Acid Method. In : D. Firestone (Ed.). Official Methods and Recommended Practices of the American Oil Chemists’ Society. 5th Edition, AOCS, Champaign. [ASTM] American Society for Testing and Material D 1331 2000. Annual Book of ASTM Standards: Soap and Other Detergents, Polishes, Leather, Resilient Floor Covering. Baltimore: ASTM. Ahmad S, Siwayanan P, Abd Murad Z, Abd Aziz H dan Seng Soi H. 2007. Beyond Biodiesel : Methyl Esters as the Route for the Production of Surfactants Feedstock. Inform (18) :216–220. Bansal VK dan Shah DO. 1978. The effect of ethoxylated sulfonates on salt tolerance and optimal salinity of surfactant formulations for tertiary oil recovery. Society of Petroleum Engineers Journal, 6 : 167 – 172. Baker J. 1995. Process for Making Sulfonated Fatty Acid Alkyl Ester Surfactant. US Patent No. 5.475.134. [terhubung berkala]. www.uspto.com [14 Februari 2011]. Basiron Y. 1996. Bailey’s Industrial oil and Fat Products. Fifth Edition, Volume 2. Hui, Y.H. (Ed.). John Wiley & Sons, Inc., New York. Biermann M, Lance F, Piorr R, Ploog U, Rutzen H, Schindler J dan Schnid R. 1987. Synthesis of surfactants. Surfactants in Consumer Products : Theory, Technology and Application (Falbe, J. Ed.). Springer-Verlag, Heidelberg. p. 78. Bernardini E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Rome: Interstampa. Biwald CE dan Gavlick WK. 1997. Use of total organic carbon analysis and fourier-transform infrared spectroscopy to determine residues of cleaning agents on surfaces. J. AOAC Int. 80 : 1078 – 1083. Borchardt JK. 2010. Using Dynamic Interfacial Tension to Screen Surfactant Candidates. Tomah Products.
112
Bowles JE. 1984. Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah. Jakarta : Penerbit Erlangga. BP MIGAS. 2009. Spesifikasi Teknis Surfaktan untuk Aplikasi EOR. BP MIGAS, Jakarta. Bruno TJ dan Svoronos PDN. 2003. Handbook of Basic Tables for Chemical Analysis. 2nd Edition. New York : CRC Press. Carrero E, Queipo NV, Pintos S dan Zerpa LE. 2006. Global sensitivity analysis of alkali-surfactant-polymer enhanced oil recovery processes. J. of Petroleum Science and Engineering, 58 : 30 – 42. Che Man YB dan Mirghani MES. 2000. Rapid method for determining moisture content in crude palm oil by fourier transform infrared spectroscopy. J. Am. Oil Chem. Soc. 77 : 631 – 637. Ebbing DD dan Wrighton MS. 1990. General Chemistry. 3rd Edition. USA : Houghton Mifflin Company. Eni H, Syahrial E dan Sugihardjo. 2010. Screening test dan karakterisasi surfaktan yang efektif untuk injeksi kimia. Lembaran Publikasi Lemigas, 44 (2) : 108-116. Fisher CH. 1998. Correlating viscosity with temperature and other properties. J. Am. Oil Chem. Soc. 75 (10) : 1229 – 1231. Foster NC. 1996. Sulfonation and Sulfation Processes. Di dalam : Spitz L. (ed). Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Illinois : AOCS Press. Gerpen JHV, Hammond EG, Johnson LA, Marley SJ, Yu L, Li I dan Monyem A. 1996. Determining the influence of contaminants on Biodiesel Properties. Final report prepared for The Iowa Soybean promotion Board. Iowa state University. 28 p. Gerpen JV, Shanks B, Pruszko R, Clements D dan Knothe G. 2004. Biodiesel Production Technology. National Renewable Energy Laboratory. Colorado. 106 p. Ghazali R. 2002. The effect of disalt on the biodegradability of methyl ester sulphonates (MES). Journal of Oil Palm Research, 14 (1) : 45 – 50. Gupta S dan Wiese D. 1992. Soap, Fatty Acids, and Synthetic Detergents. Di dalam : Kent JA (ed). Riegel's Handbook of Industrial Chemistry. 9th Edition. New York : Van Nostrand Reinhold. Hambali E, Permadi P, Pratomo A, Suryani A, dan Maria R. 2008. Palm oilbased methyl ester sulphonate as an oil well stimulation agent. J. Oil Palm Research, (special issue- October 2008) : 8-11. Hambali E, Suarsana P, Sugihardjo, Rivai M, Zulchaidir E. 2009. Peningkatan Nilai Tambah Minyak Sawit Melalui Pengembangan Teknologi Proses Produksi Surfaktan MES dan Aplikasinya untuk Meningkatkan Produksi Minyak Bumi Menggunakan Metode Huff and Puff. Laporan Hibah Kompetitif Penelitian Unggulan Strategis Nasional Batch I, Dikti, Jakarta.
113
Hasenhuettl GL. 1997. Overview of Food Emulsifier. Di dalam: Hasenhuettl GL dan Hartel RW (Eds.).Food Emulsifier and Their Applications. New York : Chapman & Hall. Hasenhuettl GL. 2000. Design and Application of Fat-Based Surfactants. Di dalam : O’Brien RD, Farr WE, dan Wan PJ (Eds.). Introduction to Fat and Oils Technology. 2nd Edition. Illinois : AOCS Press. Healy RN dan Reed RL. 1974. Physicochemical aspect of microemulsion flooding. SPE Journal 257 : 491 – 501. Hovda K. 1993. Methyl Ester Sulfonation: Process Optimization. [terhubung berkala]. www.chemithon.com. [16 Februari 2008]. Hui YH. 1996. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. 5th Edition. Volume 5. New York : John Wiley & Sons, Inc. Huish PD dan Jensen L. 2003. Alpha-Sulfofatty Acid Ester Laundry Detergent Composition with Reduced Builder Deposits. US Patent No. 2003/0119702 A1. [terhubung berkala]. www.uspto.com [11 Maret 2011]. Huish PD, Jensen LA, Libe PB dan Fredrickson MJ. 2004. Detergent Containing Alpha-Sulfofatty Acid Esters and Methods of Making and Using the Same. US Patent No. 2004/0127384 A1. [terhubung berkala]. www.uspto.com [11 Maret 2011]. Huish PD, Jensen LA, Libe PB. 2010. Detergent Compositions Containing αSulfofatty Acid Ester and Methods of Making and Using the Same. US Patent No. 7.772.176 B2. [terhubung berkala]. www.uspto.com [11 Maret 2011]. Hutchison JC, Wolfe PS, Waldman TE dan Ravikiran R. 2010. Sulfonated Internal Olefin Surfactant for Enhanced Oil Recovery. US Patent No. 2010/0282467 A1. [terhubung berkala]. www.uspto.com [11 Maret 2011]. Jungermann, E. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-4, Volume ke-1. New York: John Willey and Son. Kalfoglou, G. 1982. Modified Lignosulfonates as Additives in Oil Recovery Processes Involving Chemical Recovery Agents. US Patent No. 4.344.487. [terhubung berkala]. www.uspto.com [11 Maret 2011]. Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : UI Press. Koesoemadinata RP. 1978. Geologi Minyak Bumi. Bandung : Penerbit ITB. Lakatos-Szabo J dan Lakatos I. 1999. Effect of alkaline materials on interfacial rheological properties of oil-water system. Colloid Polym Sci 277: 41-47. Lake LW. 1989. Enhanced Oil Recovery. New Jersey: Prentice Hall. Lemigas. 2008. Prosedur Analisis Surfaktan dan Polimer untuk EOR. Lemigas, Jakarta.
114
Lotero E, Liu Y, Lopez DE, Suwannakarn K, Bruce DA dan Goodwin Jr JG. 2004. Synthesis of Biodiesel via Acid Catalysis. [terhubung berkala]. www.scienzechimiche.unipr.it. [12 February 2007]. MacArthur BW, Brooks B, Sheats WB dan Foster NC. 2002. Meeting The Challenge of Methylester Sulfonation. [terhubung berkala]. www.chemithon.com. [11 Maret 2011]. Matesic-Puac R, Sak-Bosnarb M, Bilica M dan Grabaricc BS. 2004. Potensiometric Determination of Anionic Surfactants using a New IonPair-Based All-Solid-State Surfactant Sensitive Electrode. Elsevier B.V. Matheson KL. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. Di dalam Spitz, L. (ed.), Soap and Detergents: A Theoretical and Practical Review. Illinois: AOCS Press. Mazzanti C. 2008. Introduction: Surfactants from Biorenewable Sources. Biorenewable Sources 5. Meher LC, Dharmagadda VSS, Naik SN. 2004. Optimization of alkali-catalyzed transesterification of Pongamia pinnata oil for production of biodiesel. Article in press. Mirghani MES, Che Man YB, Jinap S, Baharin BS dan Bakar J. 2002. FTIR spectroscopic determination of soap in refined vegetable oils. J. Am. Oil Chem. Soc., 79 (2) : 111 – 116. Moreno JB, Bravo J dan Berna JL. 1988. Influence of sulfonated material and its sulfone content on the physical properties of linier alkyl benzene sulfonates. J. Am. Oil Chem. Soc. 65 (6) : 1000 – 1006. Moreno JB, Bengoechea C, Bravo J dan Berna JL. 2003. A contribution to understanding secondary reactions in linear alkylbenzene sulfonation. Journal of Surfactants and Detergents, 6 (2) : 137 – 142. Mukherji SM, Singh SP, Kapoor RP. 1985. Organic Chemistry. Volume 2. New Delhi: New Age International (P) Limited Publ. Nedjhioui M, Moulai-Mostefa N, Morsli A dan Bensmaili A. 2005. Combined effects of polymer/surfactant/oil/alkali on physical chemical properties. Desalination, 185 : 543 – 550. Nopianto ES. 2011. Uji Kinerja Surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) dari Stearin Sawit untuk Enhanced Water Flooding. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Noureddini H, Harkey D, Medikonduru V. 1996. A continuous process for the conversion of vegetable oil into methyl ester of fatty acid. J. Am. Oil Chem. Soc. 75 (12) : 1775-1783. Pecsok RL, Shields LD, Cairns T, McWilliam IG. 1976. Modern Methods of Chemical Analysis. 2nd ed. New York : John Wiley & Sons, Inc. Petrucci RH. 1992. Kimia Dasar : Prinsip dan Terapan Modern. Jakarta : Penerbit Erlangga.
115
Pithapurwala YK, Sharma AK, Shah DO. 1986. Effect of salinity and alcohol partitioning on phase behavior and oil displacement efficiency in surfactant-polymer flooding. J. Am. Oil Chem. Soc. 63 (6) : 804-813. Pore J. 1976. Sulfated and Sulfonated Oils. Di dalam Karlenskind, A. (ed.), Oil and Fats. New York : Manual Intercept Ltd. Purnomo H dan Makmur T. 2009. Pengaruh surfaktan (DBS dan Fael) dan kosurfaktan iso-alkil alkohol terhadap pembentukan kelakuan fase dari campuran minyak-syrfaktan-kosurfaktan-air injeksi. Lembaran Publikasi Lemigas, 43 (1) : 24 – 28. Rieger MM. 1985. Surfactant in Cosmetics. Surfactant Science Series. New York : Marcel Dekker Inc. Riman RE. 1992. Chemical Precipitation of Ceramic Prowders. Di dalam: Williams RA (Ed.). Colloid and Surface Engineering : Applications in the Process Industries. Oxford : Butterworth-Heinemann Ltd. Roberts DW. 2001. Manufacture of Anionic Surfactants. Di dalam : Gunstone FD dan Hamilton RJ (eds.). Oleochemical Manufacture and Applications. Sheffi eld Academic Press, Sheffi eld, U.K., pp. 55–73. Roberts DW, Jackson PS, Saul CD, Clemett CJ dan Jones K. A Kinetic and Mechanistic Investigation of Ester Sulphonation, Proc. 2nd World Surfactants Congress, Paris, Vol. II, 38–41, 1988. Roberts DW, Giusti L, Forcella A. 2008. Chemistry of Methyl Ester Sulfonates. Biorenewable Resources 5 : 2-19. Said L. 1998. Kimia Fisika Hidrokarbon. Jurusan Teknik Perminyakan, Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti. Sanford SD, White JM, Shah PS, Wee C, Valverde MA dan Meier GR. 2009. Feedstock and Biodiesel Characteristics Report. Renewable Energy Group. Schwuger MJ dan Lewandowski H. 1995. α-Sulfomonocarboxylic Esters. Di dalam : H.W. Stache. (ed). Anionic Surfactants, Organic Chemistry, Vol. 56 in Surfactant Science Series. New York : Marcel Dekker. Sedman J, van de Voort FR, Ismail AA dan Maes P. 1998. Industrial validation of fourier transform infrared trans and iodine value analyses of fats and oils. J. Am. Oil Chem. Soc. 75 (1) : 33 – 39. Sheats WB dan. MacArthur BW. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products. www.chemithon.com. [5 September 2009]. Sheng JJ. 2011. Modern Chemical Enhanced Oil Recovery : Theory and Practice. New York : Gulf Professional Publishing. Sherry AE, Chapman BE, Creedo MT, Jordan JM, Moese RL. 1995. Nonbleach process for the purification of palm C16-18 methyl ester sulfonates. J. Am. Oil Chem. Soc. 72 (7) : 835-841. Somantri RU. 2011. Pengaruh Suhu Input pada Proses Pembuatan Surfaktan Methyl Ester Sulfonic Acid (MESA) dari Metil Ester Stearin.[Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
116
Smith GA, Ashrawi SS, Smadi RM dan Anantaneni PR. 2005. Solid Alkylbenzene Sulfonates and Cleaning Compositions Having Enhanced Water Hardness Tolerance. US Patent No. 6.887.839 B2. [terhubung berkala]. www.uspto.com [11 Maret 2011]. Stegemeier GL. 1977. Mechanisms of Entrapment and Mobilization of Oil in Porous Media. Di dalam : Shah DO dan Schechter RS (ed). Improved oil Recovery by Surfactant and Polymer Flooding. New York : Academic Press. Stein W dan Baumann H. 1974. α-Sulfonated Fatty Acids and Esters : Manufacturing, Process, Properties and Applications. Presented at the AOCS Meeting, April 1974, Mexico. Swern D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I. 4th editions. New York : John Willey and Son. Syahrial E. 2008. Laboratory Surfactants Analysis for EOR Before Implemented in Oilfield. Makalah Seminar Teknologi Surfaktan dan Aplikasinya pada Industri Migas untuk Peningkatan Produksi Minyak, Bogor, 28-29 Agustus 2008. Taber JJ, Martin FD, Seright RS. 1997. EOR Screening Criteria Revisited Part I: Introduction to Screening Criteria and Enhanced Oil Recovery Field Project. SPE Reservoir Engineering Paper, Mexico, August 1997. Watkins C. 2001. All eyes are on Texas. Inform 12 : 1152-1159. Wesley JE, Schneiderman E, Soper SJ. 2008. Process for Manufacturing Liquid Detergent Containing Methyl Ester Sulfonate. US Patent No. 2008/0280805 A1. [terhubung berkala]. www.uspto.com [11 Maret 2011]. Wesley JE, Schneiderman E, Soper SJ, Schuefer JJ. 2010. Laundry Detergent Containing Methyl Ester Sulfonate. US Patent No. 7.820.612 B2. [terhubung berkala]. www.uspto.com [11 Maret 2011]. Williams RA dan Simons SJR. 1992. Handling Colloidal Materials. Di dalam: Williams RA (Ed.). Colloid and Surface Engineering : Applications in the Process Industries. Oxford : Butterworth-Heinemann Ltd. www.spectroscopynow.com. Infrared Spectroscopy. [4 April 2011]. www.chem.ucla.edu/~webspectra/irtable.html. Table of IR Absorptions. [4 April 2011]. Yamada K dan Matsutani S. 1996. Analysis of the dark-colored impurities in sulfonated fatty acid methyl ester. J. Am. Oil Chem. Soc. 73 (1) :121-125.
LAMPIRAN
118
119
Lampiran 1. Prosedur Analisis Bahan Baku Olein Sawit 1.
Komposisi Asam Lemak (AOAC, 1995) Dua g minyak ditambahkan ke dalam labu didih, kemudian ditambahkan 6-8 ml NaOH dalam metanol,dipanaskan sampai tersabunkan lebih kurang 15 menit dengan pendingin balik. Selanjutnya ditambahkan 10 ml BF3 dan dipanaskan kira-kira dua menit. Dalam keadaan panas ditambahkan 5 ml nheptana atau n-heksana, kemudian dikocok dan ditambahkan larutan NaCl jenuh. Larutan akan terpisah menjadi dua bagian. Bagian atas akan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diberi 1 g Na2SO4. Larutan tersebut siap diinjeksikan pada suhu detektor 230oC, suhu injektor 225oC, suhu awal 70oC, pada suhu awal = 2 menit, menggunakan glass coloumn dengan panjang 2 meter dan diameter 2 mm, gas pembawa adalah helium dan fasa diam dietilen glikol suksinat. Jenis detektor yang digunakan adalah jenis FID (Flame Ionization Detector).
2.
Bilangan Iod (AOAC, 1995) Contoh minyak yang telah disaring ditimbang sebanyak 0,5 g di dalam erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkankan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan diatas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15 %. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji satu persen dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak (B-S) x N x 12,69 Bilangan Iod = Keterangan :
3.
B = S = N = G = 12,69 =
G ml Na2S2O3 blanko ml Na2S2O3 contoh normalitas Na2S2O3 bobot contoh bobot atom iod/10
Bilangan Penyabunan (SNI 01-2891-1992) Sebanyak dua g contoh ditimbang dan dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 25 ml KOH Alkohol 0,5 N dengan menggunakan pipet dan beberapa butir batu didih. Erlenmeyer yang berisi larutan dihubungkan dengan pendingin tegak dan dididihkan di atas penangas air atau penangas listrik selama satu jam. Lalu ditambahkan 0,5 – 1 ml fenolftalein ke dalam larutan tersebut dan dititer dengan HCL 0,5 N sampai warna indikator berubah menjadi tidak berwarna. Dilakukan juga untuk blanko.
120
Perhitungan : Bilangan Penyabunan = 56,1 x T x (V0 – V1) m Keterangan : V0 = volume HCl 0,5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml) V1 = volume HCl 0,5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml) m = bobot contoh (g) 4.
Bilangan Asam dan Asam Lemak Bebas (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 5 g contoh ditimbang dan kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan dengan 50 ml etanol 95% netral, lalu dipanaskan selama 10 menit dalam penangas air sambil diaduk. Setelah ditambahkan dua tetes indikator PP 1%, larutan dititrasi dengan KOH 0,1 N hingga warna merah muda tetap (tidak berubah selama 15 detik). Dilakukan pekerjaan untuk blanko. Perhitungan : a. Bilangan Asam = V x T x 56,1 m b. Asam Lemak Bebas (FFA) = BM x V x T 10 m Keterangan : V = volume KOH yang diperlukan dalam peniteran (ml) T = normalitas KOH m = bobot contoh (g) BM = bobot molekul asam lemak
5.
Kadar Air dengan Metode Karl Fischer (AOAC, 1995) Alat Karl Fischer dinyalakan, lalu botol titrasi diisi dengan larutan solvent. Larutan kemudian dinetralkan dengan larutan titran. Blanko dicari dengan cara menginjeksikan H2O ke dalam pipet microsyringe 50 µL. Sampel ditimbang dengan botol timbang dan dipipet sebanyak 5 ml dengan pipet tetes. Sampel yang ditimbang tadi dimasukkan ke dalam gelas titrasi yang telah terdapat pada alat. Sampel dititrasi dengan larutan titran. Titrasi selesai apabila alarm alat berbunyi. Hasil titrasi dibaca di layar sehingga diperoleh kadar air sampel. Kadar air dalam sampel dapat dinyatakan dalam % atau ppm.
121
Lampiran 2. Prosedur Analisis Metil Ester 1.
Bilangan Asam Biodiesel/Ester Akil (ASTM D-664) Sebanyak 19 – 21 ± 0,05 g sampel ditimbang dalam sebuah labu erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ke dalam labu erlenmeyer tersebut. Dalam keadaan teraduk kuat, dititrasi larutan isi labu erlenmeyer dengan larutan KOH dalam alkohol sampai kembali berwarna merah jambu dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah dinetralkan di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan paling sedikitnya 15 detik. Dicatat volume titran yang dibutuhkan (V ml). Perhitungan : Angka asam (Aa) =
56,1 x V x N mg KOH/g biodiesel m
dengan : V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi, ml. N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol. m = bobot contoh biodiesel ester alkil, g. Nilai angka asam yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua angka di belakang koma). 2.
Bilangan Penyabunan dan Kadar Ester Biodiesel Ester Alkil (FBI A0303) Sebanyak 4 – 5 ± 0,005 g sampel ditimbang dalam sebuah labu erlenmeyer 250 ml. Lalu ditambahkan 50 ml larutan KOH alkoholik dengan pipet yang dibiarkan kosong secara alami. Kemudian dilakukan analisis blanko secara serempak dengan analisis sampel. Labu erlenmeyer disambungkan dengan kondensor berpendingin udara dan dididihkan perlahan hingga sampel tersabunkan sempurna (biasanya membutuhkan waktu 1 jam). Larutan yang diperoleh pada akhir penyabunan harus jernih dan homogen; jika tidak, maka diperpanjang waktu penyabunannya. Setelah labu dan kondensor cukup dingin (tetapi belum terlalu dingin hingga membentuk jeli), dinding dalam kondensor dibilas dengan sejumlah kecil akuades. Kondensor dilepaskan dari labu dan ditambahkan 1 ml larutan indikator fenolftalein ke dalam labu, dan dititrasi isi labu dengan HCl 0,5 N hingga warna merah jambu persis sirna. Volume asam khlorida 0,5 N yang dihabiskan dalam titrasi dicatat. Perhitungan Angka penyabunan (As) = 56,1 (B-C)xN mg KOH/g biodiesel m dengan : B = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi blanko (ml). C = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi contoh (ml). N = normalitas eksak larutan HCl 0,5 N.
122
m = bobot contoh biodiesel (ester alkil) (g). Nilai angka penyabunan yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua angka di belakang koma). Kadar ester biodiesel ester alkil selanjutnya dapat dihitung dengan rumus berikut : Kadar ester (%-b) =
100 ( As − Aa − 18 , 29 G ttl ) As
dengan : As = angka penyabunan yang diperoleh di atas, mg KOH/g biodiesel. Aa = angka asam (prosedur FBI-A01-03), mg KOH/g biodiesel. Gttl = kadar gliserin total dalam biodiesel (prosedur FBI-A02-03), %-b. 3.
Kadar Air dengan Metode Karl Fischer (AOAC 1995) Alat Karl Fischer dinyalakan, lalu botol titrasi diisi dengan larutan solven. Larutan kemudian dinetralkan dengan larutan titran. Blanko dicari dengan cara menginjeksikan H2O ke dalam pipet microsyringe 50 µL. Sampel ditimbang dengan botol timbang dan dipipet sebanyak 5 ml dengan pipet tetes. Sampel yang ditimbang tadi dimasukkan ke dalam gelas titrasi yang terdapat pada alat. Sampel dititrasi dengan larutan titran. Titrasi selesai apabila alarm alat berbunyi. Hasil titrasi dibaca di layar sehingga diperoleh kadar air sampel. Kadar air dalam sampel dapat dinyatakan dalam % atau ppm. .
4.
Kadar Gliserol Total, Bebas, dan Terikat (ASTM D-6584) Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan kadar gliserol total, bebas, dan terikat dengan menggunakan metode iodometri-asam periodat. Gliserol bebas ditentukan langsung pada contoh yang dianalisis, gliserol total setelah contoh disaponifikasi, dan gliserol terikat dari selisih antara gliserol total dan gliserol bebas. a. Prosedur Analisis Kadar Gliserol Total Sampel sebanyak 9,9 – 10,1 ± 0,01 g ditimbang dalam sebuah erlenmeyer lalu ditambahkan 100 ml larutan KOH alkoholik. Erlenmeyer disambungkan dengan kondensor berpendingin udara dan dididihkan perlahan selama 30 menit untuk mensaponifikasi ester-ester. Sebanyak 91 ± 0,2 ml khloroform ditambahkan ke dalam labu takar 1 L dari sebuah buret. Labu saponifikasi disingkirkan dari pelat panas, dan isinya dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar yang berisi khloroform dengan menggunakan 500 ml aquades sebagai pembilas. Labu takar ditutup rapat dan dikocok dengan kuat selama 30 – 60 detik, kemudian ditambahkan aquades sampai batas takar. Labu takar ditutup kembali dan dicampur isinya dengan cara dibolak-balik. Setelah itu, larutan dibiarkan tenang sampai lapisan khloroform dan lapisan akuatik memisah sempurna.
123
Larutan asam periodat dipipet masing-masing ke dalam 2 atau 3 gelas piala 400-500 ml. Dua blanko disiapkan dengan mengisi masing-masing 50 ml aquades. Sebanyak 100 ml lapisan akuatik dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi asam periodat kemudian dikocok perlahan agar tercampur sempurna. Gelas piala ditutup dengan kaca arloji dan dibiarkan selama 30 menit. Bila lapisan akuatik mengandung bahan tersuspensi, maka sebelum penggunaan harus disaring terlebih dahulu. Setelah 30 menit, ditambahkan 3 ml larutan KI, dikocok perlahan, dan dibiarkan selama 1 menit (tidak boleh lebih dari 5 menit) sebelum dititrasi. Gelas piala yang akan dititrasi tidak boleh diletakkan di bawah cahaya terang atau terkena sinar matahari langsung. Isi gelas piala dititrasi dengan natrium tiosulfat sampai warna coklat iodium hampir hilang. Setelah itu ditambahkan 2 ml larutan indikator pati dan dititrasi lagi sampai warna biru kompleks iodium-pati benar-benar hilang. Blanko dilakukan tanpa penambahan lapisan akuatik, melainkan langsung ditambahkan larutan KI dan seterusnya. b. Prosedur Analisis Kadar Gliserol Bebas Sebanyak 9,9 – 10,1 ± 0,01 g sampel ditimbang di dalam sebuah botol timbang. Contoh ini dibilas ke dalam sebuah labu takar 1 L dengan menggunakan 91 ± 0,2 ml khloroform yang diukur dengan buret, kemudian ditambahkan 500 ml aquades dan dikocok kuat selama 30 – 60 detik. Setelah itu, ditambahkan lagi aquades sampai tanda tera, dicampur dengan membolak-balik labu takar, dan dibiarkan tenang sampai lapisan khloroform dan lapisan akuatik terpisah sempurna. Larutan asam periodat sebanyak 2 ml dipipet ke dalam masing-masing 2 – 3 gelas piala 400 – 500 ml. Dua blanko disiapkan dengan mengisi masing-masing 100 ml aquades. Lapisan akuatik 300 ml dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi asam periodat, kemudian dikocok perlahan. Setelah itu, gelas piala ditutup dengan kaca arloji dan dibiarkan selama 30 menit. Bila lapisan akuatik mengandung bahan tersuspensi, maka harus disaring terlebih dahulu sebelum penggunaan. Setelah 30 menit, ditambahkan 2 ml larutan KI, dikocok perlahan, dan dibiarkan selama 1 menit (tidak boleh lebih dari 5 menit) sebelum dititrasi. Gelas piala yang isinya akan dititrasi tidak boleh diletakkan di bawah cahaya terang atau terkena sinar matahari langsung. Isi gelas piala dititrasi dengan natrium tiosulfat sampai warna iodium hampir hilang. Setelah itu, ditambahkan larutan indikator pati 2 ml dan dititrasi lagi sampai warna biru kompleks iodium-pati benar-benar hilang. Analisis blanko dilakukan dari penambahan 2 ml larutan KI dan seterusnya.
124
Keterangan : Gttl = Gliserol total Gbbs = Gliserol bebas Gikt = Gliserol terikat C = volume larutan natrium tiosulfat untuk contoh B = volume natrium tiosulfat untuk blanko N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat a Dari prosedur = 9,9 – 10,1 ± 0,01 g b Dari prosedur = 100 ml (untuk gliserol total) dan 300 ml (untuk gliserol bebas) 5.
Bilangan Iod (AOCS Cd 1-25) Sebanyak 0,13 – 0,15 ± 0,001 g sampel ditimbang dalam labu iodium. Ditambahkan 15 ml larutan karbon tetrakhlorida (atau 20 ml campuran 50 %-v sikloheksan – 50 %-v asam asetat) dan kocok-putar labu untuk menjamin contoh larut sempurna ke dalam pelarut. Ditambahkan 25 ml reagen Wijs dengan pipet seukuran dan kemudian labu ditutup. Kembali labu dikocokputar agar isinya tercampur sempurna dan kemudian segera disimpan di tempat gelap bertemperatur 25 ± 5 oC selama 1 jam. Sesudah perioda penyimpanan usai, diambil kembali labu dan ditambahkan 20 ml larutan KI dan 150 ml akuades. Sambil selalu diaduk dengan baik, dititrasi isi labu dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N yang sudah distandarkan (diketahui normalitas eksaknya) sampai warna coklat iodium hampir hilang. Setelah ini tercapai, ditambahkan 2 ml larutan indikator pati dan titrasi diteruskan sampai warna biru kompleks iodium – pati persis sirna. Volume titran yang dihabiskan untuk titrasi dicatat. Bersamaan dengan analisis di atas, dilakukan analisis blanko. Perhitungan Angka iodium contoh biodiesel dapat dihitung dengan rumus : Angka iodium, AI (%-b) = 12,69(B − C) x N W dengan : C = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi contoh (ml). B = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blangko (ml). N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat. W = bobot eksak contoh biodiesel yang ditimbang untuk analisis (g).
6.
Densitas (SNI 01-2891-1992) Pada tahap awal ditentukan bobot dari air destilata. Piknometer bersih dan kering diisi dengan air destilasi yang telah dididihkan dan didinginkan pada suhu 20 oC dan disimpan dalam water bath (penangas air) pada suhu konstan 25 oC selama 30 menit. Piknometer diangkat dan dikeringkan kemudian ditimbang. Bobot air ditentukan berdasarkan selisih bobot piknometer berisi air dan bobot piknometer kosong. Pada tahap kedua ditentukan bobot sampel. Sampel dimasukkan ke dalam piknometer hingga meluap dan dipastikan tidak
125
terbentuk gelembung udara. Bagian luar piknometer dikeringkan dan kemudian ditempatkan piknometer dalam water bath pada suhu konstan 25 oC selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan dan ditimbang. Bobot sampel dihitung dengan menghitung selisih bobot piknometer berisi contoh minyak atau lemak dan bobot piknometer kosong. Perhitungan : Densitas = (Bobot piknometer dan contoh) – (bobot piknometer kosong) Volume air pada 25 oC (ml) 7.
Fraksi Tak Tersabunkan (SNI 01-1904-1990) Sampel yang telah diaduk ditimbang sebanyak 5 g di dalam erlenmeyer atau botol soxhlet. Ke dalam contoh dimasukkan 30 ml alkohol 95% dan 5 ml KOH 50% kemudian dididihkan di bawah pendingin tegak selama satu jam atau sampai semua minyak/lemak tersabunkan secara sempurna. Sabun yang terbentuk dipindahkan ke dalam labu ekstraksi kemudian dibilas dengan alkohol sampai batas 40 ml, lalu dibilas dengan air panas dan air dingin sampai volume seluruhnya 80 ml. Botol bekas penyabunan dicuci dengan sedikit petroleum eter dan dikembalikan ke dalam labu ekstraksi. Labu dan isinya didinginkan sampai suhu kamar (20-25 oC), lalu ditambahkan 50 ml petroleum eter. Labu ditutup kemudian dikocok selama 1 menit, sambil mengeluarkan gas yang terbentuk selama pengocokan. Selanjutnya labu didiamkan sampai terbentuk dua lapisan cairan. Lapisan petroleum eter dialirkan dan ditampung dalam corong pemisah 500 ml. Ekstraksi diulangi dengan petroleum eter sampai sedikitnya 6 kali sambil dikocok pada setiap kali ekstraksi. Gabungan ekstraksi ini dicuci 3 kali di dalam corong pemisah masing-masing dengan 25 ml alkohol 10% sambil dikocok. Setelah pencucian, lapisan alkohol ini dibuang dengan hati-hati sehingga lapisan petroleum eter tidak ada yang terbuang. Ekstrak eter dipindahkan ke dalam gelas piala dan diuapkan sampai kering di atas penangas air. Pengeringan disempurnakan sampai mencapai bobot tetap, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Setelah penimbangan, residu ini dilarutkan dalam 50 ml alkohol 95% yang hangat (50 oC) dengan ditambah indikator pp. Campuran tersebut dititrasi degan larutan NaOH 0,02 N sampai tepat terbentuk warna merah jambu. Bobot asam lemak di dalam ekstrak sama dengan jumlah ml NaOH 0,02 x 0,056. Fraksi tidak tersabunkan dalam contoh dihitung dengan rumus berikut : (BR – BA) Fraksi tidak tersabunkan = x 100% B BR BA B 0,056
= bobot residu (g) = bobot asam lemak (g) = bobot contoh (g) = BM NaOH/1000
126
Lampiran 3. Perhitungan Laju Alir ME Olein dan SO3 a. Komponen ME Olein Ester Asam lemak C12 C14 C16 C18/0 C18/1 C18/2 C18/3
Dalam BM persentase (g/mol) (%) 214 0,147 242 0,909 270,9 40,207 298 1,294 296 43,901 294 11,897 292 0,852
Massa dalam 100 g 0,147 0,909 40,207 1,294 43,901 11,897 0,852
Mol
BM ratarata ME Olein
0,00069 0,00376 0,14842 0,00434 0,14831 0,04047 0,00292 0,34890
286,61
Laju Umpan ME Olein = 100 ml/menit = 100 ml/menit x 60 menit/jam x 0,8718 g/ml x 10-3 kg/g = 5,23 kg/jam b. Reaksi pembakaran sulfur menjadi SO2 dan SO3 : S + O2 Æ SO2 SO2 + O2 Æ 2SO3 (katalis V2O5) Stoikiometri flow sulfur = laju umpan ME Olein x BA S/BM MES = 5,23 kg/jam x 32/388,61 = 0,43 kg/jam Na2SO4 = [laju umpan ME Olein x (% Na2SO4 x BM Na2SO4/H2SO4)] x BA S/BM Na2SO4 = (5,23 x 1,3 x 142/98)/100 x 32/142 = 0,02 kg/jam Carry over (sulfur yang terbawa dalam produk) : = laju umpan ME Olein x 0,702/1000 = 5,23 kg/jam x 0,702/1000 = 0,004 kg/jam Total flow sulfur = (flow sulfur + flow Na2SO4 + carry over) x 100/konversi SO2 menjadi SO3 x 100/99,5 = (0,43 + 0,02 + 0,004) x100/97,50 x 100/99,5 = 0,47 kg/jam Flow SO3 – udara = [(70/faktor pembakaran SO2) x densitas udara x total flow sulfur] + total flow sulfur = [(70/6,30) x 1,29 x 0,47] + 0,47 = 7,22 kg/jam • •
Penambahan udara kering ¼ flow SO3-udara = 1,81 kg/jam Penambahan udara kering ½ flow SO3-udara = 3,61 kg/jam
127
Lampiran 4. Prosedur Analisis Surfaktan MES 1. Penentuan Bilangan Asam dan Bahan Aktif Surfaktan Anionik Melalui Titrasi Kationik (Epthon, 1948) Surfaktan ditimbang 1 ± 0,0010 g dengan neraca analitik dalam gelas piala 100 ml. Ditambahkan 30 ml aquades ke dalam gelas piala, lalu larutan dipanaskan selama 7 – 10 menit dalam penangas sampai larut semua. Setelah larutan dingin lalu ditambahkan indikator phenoplthalein 1% (3 tetes), kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N dengan faktor 1,0603 hingga berwarna merah muda atau pH 7. Volume penitaran dicatat sebagai perhitungan untuk menghitung bilangan asam. Larutan sampel kemudian diencerkan ke dalam labu ukur 1000 ml. Sementara itu, methylen blue dipipet sebanyak 3 ml dengan pipet ukur dan dimasukkan ke dalam gelas ukur asah bertutup gelas 100 ml dan kemudian ditambahkan 5 ml sampel MES hasil pengenceran. Berikutnya, ditambahkan 10 ml kloroform hingga terlihat dua fasa. Campuran dititrasi menggunakan n-cetylpyridium chloride hingga terbentuk warna yang sama biru diantara dua fasa. Titrasi diakhiri dan volume n-cetylpyridium chloride dicatat sebagai volume (V) kationik. Bilangan Asam dan Bahan Aktif dihitung dengan rumus berikut : Bilangan Asam = A ml NaOH x faktor NaOH Bobot sampel Bahan Aktif (%) = V kationik x faktor kationik x BM Surfaktan x 0,1 Bobot sampel x 4,95 2. Pengukuran pH (BSI, 1996) Metode ini digunakan untuk menganalisa derajat keasaman (pH) surfaktan anionik, kationik, nonionik dan amfoterik. Nilai pH dari larutan contoh ditentukan dengan pengukuran potensiometrik menggunakan elektroda gelas dan pH-meter komersial. Alat pH-meter disiapkan dan dikalibrasi terlebih dahulu. Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan larutan buffer pH 4,0 dan 9,0. Elektroda kemudian dibilas dengan air bebas CO2 yang memiliki pH antara 6,5 sampai 7,0. Selanjutnya elektroda dicelupkan ke dalam larutan yang akan diukur. Nilai pH dibaca pada pH-meter, pembacaan dilakukan setelah angka stabil. Elektroda kemudian dibilas kembali dengan air bebas CO2. Pengukuran dilakukan dua kali. Apabila dari dua kali pengukuran nilai yang terbaca mempunyai selisih lebih dari 0,2 maka harus dilakukan pengulangan pengukuran termasuk kalibasi. 3. Analisa Warna (Metode Klett) Sampel sekitar 5 g ditimbang dalam erlenmeyer 100 ml, ditambahkan 50% etanol sebanyak 9 kali bobot contoh (sekitar 45 ml) dan diaduk hingga larut. Dimasukkan larutan contoh dalam kuvet dan diukur absorbansinya pada λ 420 nm. Sebagai blanko digunakan larutan standar 50% etanol. Perhitungan : Warna klett = 1000 x nilai absorbansi.
128
4. Pengukuran Tegangan Antar Muka dengan Spinning Drop Interfacial Tensiometer Pengukuran tegangan antarmuka dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak dan air. Cara pengujian dilakukan dengan membuat larutan surfaktan pada konsentrasi tertentu dengan air formasi. Densitas larutan surfaktan dan minyak bumi diukur. Pengukuran tegangan antarmuka minyak-air dengan menggunakan Spinning Drop Interfacial Tensiometer dilakukan dengan memasukkan minyak bumi sebanyak 0,3 mikron dimasukkan dalam tube yang berisi larutan surfaktan. Kemudian tube dimasukkan dalam alat yang kecepatan putarnya disetting 9000 rpm pada suhu 70 oC, lalu diukur lebar droplet minyak yang terbentuk. Nilai tegangan antar muka dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini. Y = ¼ ω2 D3 ∆p, dengan syarat : (L/D >= 4) Keterangan : y = nilai tegangan antar muka (dyne/cm) ω = kecepatan angular (s-1) D = radius droplet pada axis (cm) ∆p = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (g.cm3) 5. Penentuan Viskositas (SNI 06-4558-1998) Spindel dipasang ke viskometer, kemudian diturunkan perlahan sehingga spindel masuk ke dalam sampel. Jangan mengisi contoh secara berlebihan. Volume contoh sangat menentukan sistem kalibrasi. Untuk memperoleh contoh yang mewakili, ketinggian cairan harus segaris dengan batang spindel pada garis kira-kira 3,2 mm di atas bagian atas spindel yang meruncing. Viskometer Brookfield model RV, HA, HB dialankan pada 20 rpm, atau untuk model LV pada 12 rpm, dan diamati hasil pembacaan. Bila hasil pembacaan terletak diantara angka 2 dan angka 98 dilanjutkan pengujian. Dicatat tiga pembacaan setiap 60 detik dari setiap temperatur pengujian. Dilakukan prosedur yang sama untuk setiap temperatur pengujian yang diinginkan. Bila pada temperatur pengujian terendah, pembacaan masih diatas angka 98, dikurangi kecepatan spindel dan dilanjutkan pengujian. Bila pembacaan masih di atas angka 98, gunakan spindel lain yang lebih kecil dan diulangi pengujian. Faktor viskositas dikalikan dengan pembacaan viskometer Brookfield untuk mendapatkan viskositas dalam centipoise (cP). Selama pengukuran viskositas jangan mengubah kecepatan putaran spindel karena akan mengubah laju geser. 6. Bilangan Iod (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 0,5 g ditimbang di dalam erlenmeyer 250 ml, lalu dilarutkankan dengan 10 ml kloroform atau tetraklorida dan ditambahkan dengan 25 ml pereaksi hanus. Semua bahan diatas dicampur merata dan disimpan di dalam ruangan gelap selama satu jam. Sebagian iodium akan dibebaskan dari larutan. Setelah penyimpanan, ke dalamnya ditambahkan 10 ml larutan KI 15 %. Iod yang dibebaskan kemudian dititrasi dengan larutan
129
Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat. Selanjutnya ditambahkan larutan kanji satu persen dan dititrasi kembali sampai warna biru hilang. Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak. (B-S) x N x 12,69 Bilangan Iod = Keterangan : B = S = N = G = 12,69 =
G ml Na2S2O3 blanko ml Na2S2O3 contoh normalitas Na2S2O3 bobot contoh bobot atom iod/10
7. Pengukuran Densitas Menggunakan Density Meter DMA 4500M Alat dinyalakan dan dipastikan sel pengukuran dalam kondisi bersih dan kering. Suhu pengukuran diatur pada 70 oC, dan dilakukan kalibrasi. Larutan yang hendak diuji diinjeksikan ke dalam sel pengukuran dan dibiarkan selama beberapa saat hingga suhu 70 oC tercapai, lalu ditekan tombol pengukuran. Ditunggu beberapa saat hingga keluar nilai dan keterangan valid. Nilai yang muncul di layar dicatat. 8. Kestabilan Emulsi (modifikasi ASTM D 1436, 2000) Stabilitas emulsi diukur antara air dan xylene. Xylene dan air dicampur dengan perbandingan 6 : 4. Campuran tersebut dikocok selama 5 menit menggunakan vortex mixer. Pemisahan emulsi antar xylene dan air diukur berdasarkan lamanya pemisahan antar fasa. Konsentrasi surfaktan yang ditambahkan adalah 10 persen (dalam campuran xylene-air). Lamanya pemisahan antar fasa sebelum ditambahkan surfaktan dibandingkan dengan sesudah ditambahkan surfaktan. Penetapan stabilitas emulsi dilakukan dengan cara sederhana yaitu dengan cara pengukuran berdasarkan persen pemisahan, dengan asumsi bahwa sistem emulsi yang sempurna bernilai 100. (volume keseluruhan – volume pemisahan) % stabilitas =
x 100 Volume keseluruhan
9. FTIR (ASTM D2357-74) Sebanyak 3 g sampel diteteskan di dalam pelet KBr pada kondisi ruang kemudian diukur pada bilangan gelombang antara 400 – 4000 cm-1. Pengujian dilakukan menggunakan alat Spektrofotometer Infrared.
130
Lampiran 5. Prosedur Analisis Kinerja Formula Surfaktan Berbasis MES 1. Uji Compatibility (Lemigas, 2008) Uji compatibility dimaksudkan untuk mengetahui kecocokan antara larutan surfaktan dengan air formasi. Uji dilakukan dengan mencampurkan formula larutan surfaktan pada air formasi kemudian dimasukkan dalam oven (dipanaskan pada suhu reservoir) selama 16 jam. Kemudian amati perubahan yang terjadi pada larutan. Diharapkan tidak terbentuk endapan. 2. Uji Adsorpsi (Lemigas, 2008) Uji adsorpsi bertujuan untuk mendapatkan gambaran seberapa besar surfaktan terserap oleh batuan. Semakin banyak surfaktan yang diserap oleh batuan, berarti loss-nya juga semakin besar. Diharapkan surfaktan yang teradsorp tidak lebih dari 0,25%. Uji adsorpsi yang dilakukan adalah uji adsoprsi statik. Pada uji adsorpsi statik, batuan dihaluskan sampai 50-200 mesh. Kemudian dicuci dengan air formasi, lalu dikeringkan. Masukkan sejumlah batuan yang sudah dihaluskan dan ditambahkan air formasi dengan perbandingan tertentu. Kemudian ditutup rapat dan disimpan dalam suhu reservoir selama 2 hari sambil diaduk secara berkala. Lalu disaring dengan kertas Whatman. Ukur konsentrasi filtratnya menggunakan UV Spektrophotometer. Pengurangan konsentrasi berarti loss surfaktan yang terserap oleh batuan. 3. Penentuan Konsentrasi Surfaktan dengan Titrasi Dua Fasa Dengan Indikator Methylene Blue (José López-Salinas and Maura Puerto, 2011) Ditimbang setidaknya 3 sampel dengan bobot yang berbeda membentuk sebuah deret dalam gelas ukur 25 mL yang dilengkapi stopper (tutup). Ditambahkan pada masing-masing sampel: 3 mL kloroform dan 5 mL indicator methylene blue, dipasang stopper lalu kocok secara perlahan, didiamkan larutan hingga bagian atas berwarna biru sementara bagian bawah tidak berwarna. Kemudian dititrasi dengan Hyamine 0.001 M yang telah distandarisasi hingga warna bagian bawah berwarna biru sementara bagian atas tidak berwarna, dicatat volume penitar. Perhitungan Konsentrasi Surfaktan, dibuat grafik hubungan antara volume penitar (sumbu y) dengan bobot sampel (sumbu x). Dihitung % surfaktan dengan formula dengan rumus berikut : %surfaktan = slope x konsentrasi titran (M) x Bobot Molekul Surfaktan x 0,1 4. Uji Kelakuan Fasa (Lemigas, 2008) Uji dilakukan dengan menyiapkan minyak, dan disaring pada kertas saring 10 µ. Kemudian disiapkan larutan surfaktan. Disiapkan juga pipet ukur 5 ml sejumlah konsentrasi surfaktan. Dimasukkan 2 ml larutan surfaktan ke dalam pipet untuk tiap konsentrasi, dan ditambahkan 2 ml minyak. Ditutup rapat (seal flame). Dimasukkan pada suhu reservoir sekitar 30 menit. Ukur ketinggian minyak/larutan surfaktan, kemudian dikocok. Diamati perubahan ketinggian (mikro emulsi yang terbentuk) selama waktu tertentu.
131
5. Thermal Stability (Lemigas, 2008) Uji thermal stability bertujuan untuk mengetahui stabilitas surfaktan terhadap pengaruh pemanasan. Uji dilakukan dengan melarutkan surfaktan dalam larutan garam sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan. Disiapkan botol borosilikat (sebanyak konsentrasi x jumlah tes yang dilakukan). Dimasukkan larutan surfaktan ke dalam botol (sekitar 25 ml) dan ditutup dengan kuat, kemudian disimpan seluruh botol yang telah berisi larutan surfaktan di dalam oven pada suhu reservoir. Pada waktu tertentu, diambil sebuah botol, dilakukan pengamatan perubahan larutan yang terjadi, kemudian dihitung densitas dan tegangan antarmukanya. Dilakukan berulang untuk pengamatan hari ke-7, 14, dan seterusnya hingga waktu yang ditentukan. Dibuat dalam grafik nilai IFT terhadap waktu untuk mendapatkan perubahan nilai IFT akibat pengaruh pemanasan. 6. Uji Filtrasi (Lemigas, 2008) Uji filtrasi bertujuan untuk mengetahui keberadaan presipitan di dalam larutan surfaktan. Pengujian dilakukan menggunakan alat uji filtrasi. Sebelum memulai, seluruh bagian peralatan uji harus bersih dari sisa surfaktan ataupun karat. Kemudian alat uji dihubungkan dengan nitrogen tank, pressure vessel dan membran filter holder. Diposisikan membran dengan ukuran pori yang sesuai ke dalam filter holder, dibasahi kemudian dikeluarkan udara dari sistem dengan menggunakan gas nitrogen. Dimasukkan 300 ml larutan surfaktan dalam pressure vessel, ditutup katup keluaran dan diatur tekanan 20 psig menggunakan nitrogen regulator. Dibuka katup filter pressure vessel dan secara simultan dihitung waktu menggunakan stopwatch. Tekanan (20 psig) dijaga konstan. Dicatat waktu kumulatif dalam detik untuk setiap 50 ml penyaringan, dilanjutkan penyaringan hingga 300 ml telah disaring. Diamati filter membran apakah terjadi kerusakan sobek, cabikan atau kerusakan lain, termasuk terdapat area yang tidak terbasahi oleh filter. Jika kerusakan ditemukan, diulangi pengukuran. Dicatat kehadiran material yang terjebak di permukaan filter. 7. Uji Core flooding (Lemigas, 2008) Tahap pertama, dilakukan filtrasi bertahap untuk mendapatkan air formasi dan air injeksi 0,22 µm. Kemudian dilakukan pembuatan larutan surfaktan dalam air injeksi yang telah disaring menggunakan membran filter ukuran 0,22 µm. Dipisahkan minyak dari air yang terdapat dalam sampel minyak pada suhu 70 o C dan disiapkan alat uji coreflooding. Core sintetik yang sudah dibersihkan ditimbang bobot keringnya, lalu dijenuhkan dengan air formasi (AF) dengan cara disimpan dalam tabung berisi AF selama 1-3 hari pada kondisi vakum. Ditimbang bobot basah core, dan dilakukan injeksi core oleh minyak pada suhu 70oC. Diukur volume AF yang keluar, lalu diinjeksikan core dengan air injeksi atau dengan larutan surfaktan pada suhu 70oC, dan kembali dilakukan pengukuran volume minyak yang keluar. Dihitung persentase volume minyak yang berhasil dikeluarkan dengan injeksi surfaktan.
132
Lampiran 6. Peralatan dan Instrumen Analisis yang Digunakan a. Reaktor Transesterifikasi Kapasitas 100 L/Batch
b. Reaktor STFR Kapasitas 250 Kg/Hari
133
c. Neraca Analitik Precisa XT220A
d. Hot Plate Stirrer
e. pH Meter
134
f. Spinning Drop Tensiometer Model TX500C
g. Viscosimeter Brookfield DV-III Ultra
h. Density Meter Anton Paar DMA 4500M
135
i. Spectrofotometer Thermospectronic Genesys 20
j. Oven
k. Pencetak Core
136
l. Pemotong Core
m. Filtrasi Air Formasi dan Air Injeksi
n. Uji Filtrasi
137
o. Uji Coreflood
138
Lampiran 7. Rekapitulasi Data Hasil Analisis Berbagai Parameter MESA dan MES 1. Analisis Warna MESA dan MES (klett) Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MESA Ulangan 1 Ulangan 2 332,0 227,5 377,5 314,5 600,0 486,0 477,0 800,5 428,0 423,0 538,0 655,0
Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MES Ulangan 1 Ulangan 2 209,5 179,5 267,5 245,5 196,5 562,0 394,5 281,0 359,5 321,0 141,0 256,5
Rata-rata ± SD 279,8 ± 73,89 346,0 ± 44,55 543,0 ± 80,61 638,8 ± 228,75 425,5 ± 3,54 596,5 ± 82,73 Rata-rata ± SD 194,5 ± 21,21 256,5 ± 15,56 379,3 ± 258,45 337,8 ± 9,55 340,3 ± 15,20 198,8 ± 10,96
2. Analisis pH MESA dan MES Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MESA Ulangan 1 Ulangan 2 1,00 1,22 1,07 1,06 0,63 1,01 0,95 0,75 0,98 0,71 0,89 0,86
Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MES Ulangan 1 Ulangan 2 5,01 8,69 5,34 8,99 8,55 8,81 7,91 7,53 8,00 8,42 7,21 9,12
Rata-rata ± SD 1,11 ± 0,16 1,07 ± 0,01 0,82 ± 0,27 0,85 ± 0,14 0,85 ± 0,19 0,88 ± 0,02 Rata-rata ± SD 6,85 ± 2,60 7,17 ± 2,58 8,68 ± 0,18 7,72 ± 0,27 8,21 ± 0,30 8,17 ± 1,35
139
3. Analisis Viskositas MESA dan MES (cP) Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MESA Ulangan 1 Ulangan 2 51,0 24,5 39,0 40,0 152,5 49,0 45,5 91,5 43,0 94,0 41,0 50,0
Lama Sulfonasi (Jam)
MES Ulangan 1 Ulangan 2 89,5 80,0 94,0 86,0 97,5 105,0 236,5 114,0 195,5 95,0 188,0 98,0
1 2 3 4 5 6
Rata-rata ± SD 37,75 ± 18,74 39,50 ± 0,71 100,75 ± 73,19 68,50 ± 32,53 68,50 ± 36,06 45,50 ± 6,36
Rata-rata ± SD 84,75 ± 6,72 90,00 ± 5,66 101,25 ± 5,30 175,25 ± 86,62 145,25 ± 71,06 143,00 ± 63,64
4. Analisis Bilangan Iod MESA dan MES (mg Iod/g sampel) Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MESA Ulangan 1 Ulangan 2 26,14 34,61 29,23 29,21 39,25 25,68 9,85 17,97 25,34 18,94 30,38 26,59
Rata-rata ± SD
Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MES Ulangan 1 Ulangan 2 23,93 33,32 25,31 31,35 15,85 29,37 25,92 21,56 24,48 24,91 27,47 23,54
Rata-rata ± SD
30,37 ± 5,99 29,22 ± 0,02 32,46 ± 9,60 13,91 ± 5,74 22,14 ± 4,53 28,48 ± 2,68
28,62 ± 6,64 28,33 ± 4,27 22,61 ± 9,56 23,74 ± 3,08 24,70 ± 0,30 25,51 ± 2,78
140
5. Analisis Kestabilan Emulsi MESA dan MES (%) Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MESA Ulangan 1 Ulangan 2 85,28 88,82 82,32 98,19 85,88 85,60 84,34 84,67 86,15 84,76 90,06 98,14
Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MES Ulangan 1 Ulangan 2 99,33 98,52 99,32 99,11 99,14 98,85 98,88 98,47 99,07 99,09 99,52 98,55
Rata-rata ± SD 87,05 ± 2,50 90,26 ± 11,22 85,74 ± 0,20 84,51 ± 0,23 85,46 ± 0,98 94,10 ± 5,71
Rata-rata ± SD 98,93 ± 0,57 99,22 ± 0,15 99,00 ± 0,21 98,68 ± 0,29 99,08 ± 0,01 99,04 ± 0,69
6. Analisis Kandungan Bahan Aktif MESA dan MES (%) Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MESA Ulangan 1 Ulangan 2 6,53 8,49 7,63 8,70 7,73 8,34 8,83 9,00 11,28 9,09 13,93 8,96
Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MES Ulangan 1 Ulangan 2 5,14 7,24 11,46 7,04 7,24 8,10 7,04 7,23 9,29 7,85 10,88 8,58
Rata-rata ± SD 7,51 ± 1,39 8,17 ± 0,76 7,73 ± 0,43 8,92 ± 0,12 10,18 ± 1,55 11,44 ± 3,51
Rata-rata ± SD 6,19 ± 1,48 9,25 ± 3,13 7,67 ± 0,61 7,17 ± 0,18 8,57 ± 1,03 9,73 ± 1,62
141
7. Analisis Bilangan Asam MESA dan MES (mg KOH/g sampel) Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MESA Ulangan 1 Ulangan 2 12,29 8,45 10,05 12,60 18,66 13,71 11,35 19,21 11,38 17,46 11,86 14,10
Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MES Ulangan 1 Ulangan 2 0,65 0,50 0,53 0,49 0,13 0,57 0,23 0,52 0,17 0,50 0,55 0,52
Rata-rata ± SD 10,37 ± 2,72 11,32 ± 1,81 18,66 ± 3,50 15,28 ± 5,56 14,42 ± 4,30 12,98 ± 1,58
Rata-rata ± SD 0,57 ± 0,11 0,51 ± 0,02 0,35 ± 0,32 0,37 ± 0,21 0,33 ± 0,23 0,53 ± 0,02
8. Analisis Nilai Tegangan Antarmuka MESA dan MES (dyne/cm) Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MESA Ulangan 1 Ulangan 2 -1 1,07x10 2,89x10-1 5,16x10-2 1,99x10-1 1,65x10-1 1,48x10-1 -2 5,23x10 1,88x10-1 6,91x10-2 1,02x10-1 1,07x10-1 8,91x10-2
Lama Sulfonasi (Jam) 1 2 3 4 5 6
MES Ulangan 1 Ulangan 2 -2 6,85x10 4,01x10-2 1,35x10-1 2,24x10-2 2,20x10-2 2,76x10-2 -2 2,80x10 2,55x10-2 8,55x10-2 2,67x10-2 -1 1,01x10 1,11x10-2
Rata-rata ± SD 1,98x10-1 ± 0,129 1,25x10-1 ± 0,104 1,57x10-1 ± 0,012 1,20x10-1 ± 0,096 8,56x10-2 ± 0,023 9,81x10-2 ± 0,013
Rata-rata ± SD 5,43x10-2 ± 0,020 7,87x10-2 ± 0,080 2,48x10-2 ± 0,004 2,68x10-2 ± 0,002 5,61x10-2 ± 0,042 5,61x10-2 ± 0,064
142
Lampiran 8. Rekapitulasi Sidik Ragam Hasil Analisis Berbagai Parameter MESA Olein Parameter Warna
Sumber Keragaman
206688,1667
41337,63333
Galat
6
73125,75
12187,625
11
279813,9167
Perlakuan
5
0,00175308
0,00035062
Galat
6
0,00206349
0,00034392
11
0,00381657
Perlakuan
5
0,15867499
0,031735
Galat
6
0,15334999
0,02555833
11
0,31202498
Perlakuan
5
5861,166685
1172,233337
Galat
6
8106,750022
1351,125004
11
13967,91671
Perlakuan
5
476,9783455
95,39566911
Galat
6
188,5723567
31,42872612
11
665,5507023
Perlakuan
5
133,7273417
26,7454683
Galat
6
165,8971500
27,6495250
11
299,6244917
Total Terkoreksi Viskositas
Total Terkoreksi Bilangan Iod
Total Terkoreksi Kestabilan Emulsi
KT
5
Total Terkoreksi pH
JK
Perlakuan Total Terkoreksi
Densitas
db
Total Terkoreksi Kandungan Bahan Aktif
Perlakuan
5
22,42763689
4,48552738
Galat
6
17,45610604
2,90935101
11
39,88374293
Bilangan Asam
Perlakuan
5
51,96105104
10,39221021
Galat
6
74,81397716
12,46899619
11
126,7750282
Perlakuan
5
0,01687973
0,00337595
Galat
6
0,03747854
0,00624642
Total Terkoreksi
11
0,05435827
Total Terkoreksi
Total Terkoreksi IFT
F Hit
Pr>F
3,39
0,0846
1,02
0,4808
1,24
0,3941
0,87
0,5524
3,04
0,1045
0,97
0,5042
1,54
0,3047
0,83
0,5699
0,54
0,7419
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
143
Lampiran 9. Rekapitulasi Sidik Ragam Hasil Analisis Berbagai Parameter MES Olein Parameter Warna
Sumber Keragaman
62316,5
12463,3
Galat
6
81339,5
13556,58333
11
143656
Perlakuan
5
0,00175308
0,00035062
Galat
6
0,00206349
0,00034392
11
0,00381657
Perlakuan
5
4,77566716
0,95513343
Galat
6
15,45069915
2,57511653
11
20,22636631
Perlakuan
5
347,9166667
69,5833333
Galat
6
132,2500000
22,0416667
11
480,1666667
Perlakuan
5
59,65954283
11,93190857
Galat
6
171,0417496
28,50695827
11
230,7012925
Perlakuan
5
59,65954283
11,93190857
Galat
6
171,0417496
28,50695827
11
230,7012925
Total Terkoreksi Viskositas
Total Terkoreksi Bilangan Iod
Total Terkoreksi Kestabilan Emulsi
KT
5
Total Terkoreksi pH
JK
Perlakuan Total Terkoreksi
Densitas
db
Total Terkoreksi Kandungan Bahan Aktif
Perlakuan
5
17,79566139
3,55913228
Galat
6
16,0569817
2,67616362
11
33,85264309
Bilangan Asam
Perlakuan
5
0,11116961
0,02223392
Galat
6
0,20642646
0,03440441
Total Terkoreksi
11
Perlakuan
5
0,31759608 0,00417956
0,00083591
Galat
6
0,01253119
0,00208853
Total Terkoreksi
11
0,01671075
IFT
Total Terkoreksi
F Hit
Pr>F
0,92
0,5268
1,02
0,4808
0,37
0,8520
3,16
0,0971
0,42
0,8212
0,42
0,8212
1,33
0,3649
0,65
0,6757
0,40
0,8331
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
144
Lampiran 10. Hasil Analisis Pengaruh Penambahan Metanol pada Proses Re-esterifikasi a. Rekapitulasi data Konsentrasi metanol (%) 0 5 10 15
IFT (dyne/cm) Ulangan 1 Ulangan 2 4,19x10-2 4,35x10-2 9,78x10-2 1,38x10-1 -1 1,90x10-1 1,99x10 1,16x10-1 2,79x10-1
Rata-rata ± SD 4,27x10-2 ± 0,0011 1,18x10-1 ± 0,0284 1,95x10-1 ± 0,0064 1,98x10-1 ± 0,1153
b. Sidik ragam Parameter
Tegangan Antarmuka (IFT)
Sumber Keragaman
db
JK
KT
F Hit
Pr>F
Perlakuan
3
0,03243702
0,01081234
3,06
0,1541
Galat
4
0,01413430
0,00353358
Total Terkoreksi
7
0,04657132
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
145
Lampiran 11. Perbandingan Karakteristik Air Formasi dan Air Injeksi yang Digunakan Parameter Tampilan sebelum filtrasi
Satuan -
Tampilan setelah filtrasi
-
Total padatan (terhitung) SG (75 oF) H2S CO2 pH Kation : a. Na2+ b. Ca2+ c. Mg2+ d. Ba2+ e. Total Fe Anion : a. Clb. SO42c. HCO3d. CO32e. OHOil content Sumber : PT. X
terlarut
ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm ppm
Air Formasi Keruh, coklat dan beminyak Jernih, kekuningan 37.230
Air Injeksi Keruh, coklat dan beminyak Jernih, kekuningan 7.316,2
1,027 Tidak ada NA 8
NA 2,7 18 8
14.145,7 350,0 8,0 <1,0 1.650,0
100 182 2,2 0,5
21.874,5 535,0 317,3 0 0 NA
6.998 11 5 0 NA 100
146
Lampiran 12. Rekapitulasi Data Analisis Hasil Perbaikan Proses Produksi MES Terhadap Mutu MES a. Analisis Tegangan Antarmuka pada Air Formasi (dyne/cm) Udara Kering (kg/jam) 0
1,81
3,61
pH
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata ± SD
6 7 8 6 7 8 6 7 8
2,78x10-2 2,94x10-2 1,95x10-2 5,22x10-3 9,20x10-3 6,33x10-3 2,85x10-2 2,55x10-2 2,08x10-2
2,53x10-2 3,50x10-2 2,87x10-2 1,15x10-2 1,09x10-2 8,59x10-3 2,62x10-2 3,07x10-2 2,64x10-2
2,66x10-2 ± 1,77x10-3 3,22x10-2 ± 3,96x10-3 2,41x10-2 ± 6,51x10-3 8,36x10-3 ± 4,44x10-3 1,01x10-2 ± 1,20x10-3 7,46x10-3 ± 1,60x10-3 2,74x10-2 ± 1,63x10-3 2,81x10-2 ± 3,68x10-3 2,36x10-2 ± 3,96x10-3
b. Analisis Tegangan Antarmuka pada Air Injeksi (dyne/cm)
Udara Kering (kg/jam) 0
1,81
3,61
pH
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata ± SD
6 7 8 6 7 8 6 7 8
4,31x10-2 3,64x10-2 3,08x10-2 1,45x10-2 1,44x10-2 1,03x10-2 5,18x10-2 4,86x10-2 3,52x10-2
4,86x10-2 3,45x10-2 2,79x10-2 1,88x10-2 1,71x10-2 1,95x10-2 5,18x10-2 5,96x10-2 4,57x10-2
4,59x10-2 ± 3,89x10-3 3,55x10-2 ± 1,34x10-3 2,94x10-2 ± 2,05x10-3 1,67x10-2 ± 3,04x10-3 1,58x10-2 ± 1,91x10-3 1,49x10-2 ± 6,51x10-3 5,18x10-2 ± 0,00 5,41x10-2 ± 7,78x10-3 4,05x10-2 ± 7,42x10-3
147
c. Stabilitas Emulsi (%) Udara Kering (kg/jam) 0
1,81
3,61
pH
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata ± SD
6 7 8 6 7 8 6 7 8
22,7 2,8 1,7 0,0 7,5 0,8 30,3 7,6 1,4
3,0 3,0 1,5 26,9 7,7 0,8 6,1 7,0 1,5
12,9 ± 13,93 2,9 ± 0,15 1,6 ± 0,09 13,4 ± 19,00 7,6 ± 0,16 0,8 ± 0,00 18,2 ± 17,14 7,3 ± 0,38 1,5 ± 0,09
d. Viskositas (cP) Udara Kering (kg/jam) 0
1,81
3,61
pH
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata ± SD
6 7 8 6 7 8 6 7 8
87,60 75,30 103,80 52,20 57,00 120,60 22,80 26,10 42,60
112,50 176,10 174,60 47,70 74,10 79,20 23,10 24,30 31,20
100,05 ± 17,61 125,70 ± 71,28 139,20 ± 50,06 49,95 ± 3,18 65,55 ± 12,09 99,90 ± 29,27 22,95 ± 0,21 25,20 ± 1,27 36,90 ± 8,06
148
e. Bilangan Iod (mg Iod/g sampel)
Udara Kering (kg/jam) 0
1,81
3,61
pH 6 7 8 6 7 8 6 7 8
Pengukuran 1
Pengukuran 2
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
12,04 9,87 10,14 17,21 16,71 15,44 27,89 27,00 26,75
12,21 9,34 9,94 17,06 16,27 15,88 28,20 27,00 26,10
12,13 9,61 10,04 17,14 16,49 15,66 28,05 27,00 26,43
12,76 10,84 10,51 17,39 15,65 16,23 27,74 25,97 25,29
12,45 11,41 10,39 17,37 15,70 16,85 27,71 26,11 25,22
12,61 11,13 10,45 17,38 15,68 16,54 27,73 26,04 25,26
Rata-rata Total ± SD 12,37 ± 0,34 10,37 ± 1,07 10,25 ± 0,29 17,26 ± 0,17 16,08 ± 0,58 16,10 ± 0,62 27,89 ± 0,23 26,52 ± 0,68 25,84 ± 0,83
149
f. Kandungan Bahan Aktif
Udara Kering (kg/jam) 0
1,81
3,61
pH 6 7 8 6 7 8 6 7 8
Pengukuran 1
Pengukuran 2
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
3,09 3,86 3,48 4,13 4,39 4,87 5,15 4,61 4,89
3,61 4,36 3,61 4,13 4,13 4,63 5,12 4,65 5,40
3,35 4,11 3,55 4,13 4,26 4,75 5,13 4,63 5,15
3,34 3,83 3,32 3,87 4,37 4,64 4,87 4,89 5,67
3,35 3,84 3,31 4,13 4,10 4,37 4,86 4,77 5,67
3,35 3,84 3,32 4,00 4,23 4,51 4,87 4,83 5,67
Rata-rata Total ± SD 3,35 ± 0,00 3,97 ± 0,19 3,43 ± 0,16 4,07 ± 0,09 4,25 ± 0,02 4,63 ± 0,17 5,00 ± 0,19 4,73 ± 0,15 5,41 ± 0,37
150
g. Warna (Metoda Klett)
Udara Kering (kg/jam) 0
1,81
3,61
pH 6 7 8 6 7 8 6 7 8
Pengukuran 1
Pengukuran 2
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
537 413 419 356 357 225 350 261 179
537 411 419 358 357 226 351 257 179
537 412 419 357 357 225.5 350.5 259 179
679 491 318 422 386 335 271 289 147
677 488 316 419 387 336 270 291 144
678 489,5 317 420,5 386,5 335,5 270,5 290 145,5
Rata-rata Total ± SD 607,5 ± 99,70 450,8 ± 54,80 368,0 ± 72,12 388,8 ± 44,90 371,8 ± 20,86 280,5 ± 77,78 310,5 ± 56,57 274,5 ± 21,92 162,3 ± 23,69
151
Lampiran 13. Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Berbagai Parameter MES Olein Hasil Perbaikan Proses 1. Tegangan Antarmuka pada pengukuran menggunakan air formasi 1.a. Sidik ragam Sumber Keragaman
Udara kering Ulangan udara kering pH Interaksi Galat Total Terkoreksi
db
JK
KT
2 0,00135317 0,00067659 3 0,00005473 0,00001824 2 4 6 17
F Hitung
Pr > F
37,08 1,77
0,0077 0,2531
3,73 0,54
0,0886 0,7153
0,00007702 0,00003851 0,00002217 0,00000554 0,00006196 0,00001033 0,00156905
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
1.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 0,027617 A 1,81 6 0,008623 B 3,61 6 0,026350 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
1.c. Hasil uji Duncan untuk faktor pH Perlakuan N Rata-rata 6 6 0,020753 7 6 0,023450 8 6 0,018387
Kelompok Duncan AB A B
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
152
2. Tegangan Antarmuka pada pengukuran menggunakan air injeksi 2.a. Sidik ragam Sumber Keragaman
Udara kering Ulangan udara kering pH Interaksi Galat Total Terkoreksi
db
JK
KT
2 0,00335525 0,00167762 3 0,00012086 0,00004029 2 4 6 17
0,00030700 0,00015350 0,00018810 0,00004702 0,00007111 0,00001185 0,00404232
F Hitung
Pr > F
41,64 3,40
0,0065* 0,0944
12,95 3,97
0,0067* 0,0656
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
2.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 0,036883 B 1,81 6 0,015767 C 3,61 6 0,048783 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
2.c. Hasil uji Duncan untuk faktor pH Perlakuan N Rata-rata 6 6 0,038100 7 6 0,035100 8 6 0,028233
Kelompok Duncan A A B
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
153
3. Bilangan Iod 3.a. Sidik ragam Sumber Keragaman
Udara kering Ulangan udara kering pH Interaksi Galat Total Terkoreksi
db
JK
KT
2 767.6819694 383.8409847 3 1.9841042 0.6613681 2 11.0336861 4 0.8086556 6 1.3124083 17 782.8208236
5.5168431 0.2021639 0.2187347
F Hitung
Pr > F
580.37 3.02
0.0001 0.1154
25.22 0.92
0.0012 0.5078
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
3.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 10,9933 C 1,81 6 16,4808 B 3,61 6 26,7500 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
3.c. Hasil uji Duncan untuk faktor pH Perlakuan N Rata-rata 6 6 19,1717 7 6 17,6567 8 6 17,3958
Kelompok Duncan A B B
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
154
4. Kandungan Bahan Aktif 4.a. Sidik ragam Sumber Keragaman
Udara kering Ulangan udara kering pH Interaksi Galat Total Terkoreksi
db
F Hitung
Pr > F
3,20637940 0,03517150
91,16 1,10
0,0021 0,4178
0,18638635 0,22123032 0,03186333
5,85 6,94
0,0390 0,0194
JK
KT
2 3
6,41275881 0,10551451
2 4 6 17
0,37277270 0,88492128 0,19117997 7,96714726
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
4.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 3,5841 C 1,81 6 4,3142 B 3,61 6 5,0461 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
4.c. Hasil uji Duncan untuk faktor pH Perlakuan N Rata-rata 6 6 4,1374 7 6 4,3172 8 6 4,4899
Kelompok Duncan B AB A
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
155
5. Kestabilan Emulsi 5.a. Sidik ragam Sumber Keragaman
Udara kering Ulangan udara kering pH Interaksi Galat Total Terkoreksi
F Hitung
Pr > F
2 30,37921111 15,18960556 3 287,8294833 95,9431611
0,16 1,03
0,8603 0,4452
2 569,3922111 284,6961056 4 31,6564889 7,9141222 6 561,213967 93,535661 17 1480,471361
3,04 0,08
0,1223 0,9841
db
JK
KT
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
5.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 5,803 A 1,81 6 7,257 A 3,61 6 8,982 A Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
5.c. Hasil uji Duncan untuk faktor pH Perlakuan N Rata-rata 6 6 14,832 7 6 5,937 8 6 1,273
Kelompok Duncan A A A
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
156
6. Viskositas 6.a. Sidik ragam Sumber Keragaman
Udara kering Ulangan udara kering pH Interaksi Galat Total Terkoreksi
db
JK
KT
2 26155,63000 13077,81500 3 6601,35000 2200,45000 2 3568,39000 4 850,10000 6 2375,25000 17 39550,72000
F Hitung
Pr > F
33,04 5,56
0,0006 0,0363
4,51 0,54
0,0638 0,7152
1784,19500 212,52500 395,87500
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
6.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 121,65 A 1,81 6 71,80 B 3,61 6 28,35 C Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
6.c. Hasil uji Duncan untuk faktor pH Perlakuan N Rata-rata 6 6 57,65 7 6 72,15 8 6 92,00
Kelompok Duncan B AB A
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
157
7. Warna (klett) 7.a. Sidik ragam Sumber Keragaman
Udara kering Ulangan udara kering pH Interaksi Galat Total Terkoreksi
db
JK
KT
F Hitung
Pr > F
2 154610,5833 3 10264,5833
77305,2917 3421,5278
22,59 1,00
0,0155 0,4564
2 82655,5833 4 14001,8333 6 20623,9167 17 282156,5000
41327,7917 3500,4583 3437,3194
12,02 1,02
0,0080 0,4677
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata pada terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
7.b. Hasil uji Duncan untuk faktor udara kering Perlakuan N Rata-rata Kelompok Duncan 0 6 475,42 A 1,81 6 347,00 B 3,61 6 249,08 B Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
7.c. Hasil uji Duncan untuk faktor pH Perlakuan N Rata-rata 6 6 435,58 7 6 365,67 8 6 270,25
Kelompok Duncan A A B
Keterangan : Jika P-value < α (5%) maka perlakuan berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%. Jika P-value > α (5%) maka perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.
158
Lampiran 14. Data Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Injeksi Setelah Penambahan Surfaktan MES pada Beberapa Konsentrasi Konsentrasi
Nilai IFT (dyne/cm)
Rata-rata ± SD
MES (%)
Ulangan 1
Ulangan 2
0
3,74x10-1
4,64x10-1
4,19x10-1 ± 0,0634
0,1
1,64x10-2
1,83x10-2
1,73x10-2 ± 0,0014
0,2
1,39x10-2
1,34x10-2
1,37x10-2 ± 0,0004
0,3
1,05x10-2
1,02x10-2
1,03x10-2 ± 0,0002
0,4
1,26x10-2
3,58x10-2
2,42x10-2 ± 0,0164
159
Lampiran 15. Rekapitulasi Data Analisis Salinitas Optimal pada Berbagai Parameter Ukurnya a. Tegangan Antarmuka (IFT) (dyne/cm) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Salinitas (ppm) 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000
IFT Ulangan 1 2,12x10-2 8,99x10-3 9,06x10-3 5,97x10-3 8,52x10-3 8,79x10-3 7,98x10-3 7,22x10-3 7,22x10-3 7,80x10-3 7,95x10-3 9,64x10-3 8,30x10-3
Ulangan 2 1,15x10-2 8,84x10-3 7,94x10-3 1,06x10-2 1,18x10-2 1,24x10-2 1,41x10-2 1,12x10-2 1,06x10-2 1,29x10-2 1,09x10-2 1,10x10-2 1,00x10-2
Rata-rata ± SD 1,63x10-2 ± 0,0069 8,92x10-3 ± 0,0001 8,50x10-3 ± 0,0008 8,30x10-3 ± 0,0033 1,01x10-2 ± 0,0023 1,06x10-2 ± 0,0025 1,10x10-2 ± 0,0043 9,21x10-3 ± 0,0028 8,93x10-3 ± 0,0024 1,04x10-2 ± 0,0036 9,44x10-3 ± 0,0021 1,03x10-2 ± 0,0009 9,15x10-3 ± 0,0012
b. Densitas (g/cm3) Salinitas No (ppm) 1 0 2 5000 3 10000 4 15000 5 20000 6 25000 7 30000 8 35000 9 40000 10 45000 11 50000 12 55000 13 60000
Densitas Ulangan 1 Ulangan 2 0,9914 0,9899 0,9988 0,9931 0,9964 0,9977 0,9998 0,9998 1,0041 1,0030 1,0070 1,0067 1,0114 1,0096 1,0155 1,0138 1,0190 1,0164 1,0216 1,0190 1,0252 1,0224 1,0287 1,0267 1,0334 1,0322
Rata-rata ± SD 0,9907 ± 0,0011 0,9959 ± 0,0040 0,9970 ± 0,0010 0,9998 ± 0,0000 1,0036 ± 0,0008 1,0068 ± 0,0002 1,0105 ± 0,0013 1,0147 ± 0,0012 1,0177 ± 0,0018 1,0203 ± 0,0018 1,0238 ± 0,0020 1,0277 ± 0,0014 1,0328 ± 0,0008
160
c. pH No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Salinitas (ppm) 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000
pH Ulangan 2 9,44 9,28 9,30 9,15 9,15 9,16 9,14 9,12 9,07 9,00 8,97 9,05 9,01
Rata-rata ± SD 9,27 ± 0,25 9,23 ± 0,08 9,17 ± 0,19 9,06 ± 0,13 9,09 ± 0,08 9,09 ± 0,10 9,10 ± 0,06 9,06 ± 0,09 9,00 ± 0,11 8,93 ± 0,10 8,92 ± 0,08 8,95 ± 0,14 8,95 ± 0,08
Viskositas Ulangan 1 Ulangan 2 1,02 1,02 1,29 1,14 1,08 1,02 1,08 1,02 1,05 1,14 1,08 1,14 1,05 1,20 1,11 1,20 1,14 1,11 1,14 1,08 1,29 1,20 1,14 1,20 1,14 1,14
Rata-rata ± SD 1,02 ± 0,00 1,22 ± 0,11 1,05 ± 0,04 1,05 ± 0,04 1,10 ± 0,06 1,11 ± 0,04 1,13 ± 0,11 1,16 ± 0,06 1,13 ± 0,02 1,11 ± 0,04 1,25 ± 0,06 1,17 ± 0,04 1,14 ± 0,00
Ulangan 1 9,09 9,17 9,03 8,96 9,03 9,02 9,05 8,99 8,92 8,86 8,86 8,85 8,89
d. Viskositas (30 oC) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
salinitas (ppm) 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000
161
e. Viskositas (70 oC, cP) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
salinitas (ppm) 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 55000 60000
Viskositas Ulangan 1 Ulangan 2 0,69 0,57 0,69 0,63 0,60 0,66 0,72 0,69 0,66 0,60 0,72 0,60 0,72 0,63 0,69 0,66 0,69 0,66 0,75 0,66 0,75 0,63 0,69 0,66 0,78 0,63
Rata-rata ± SD 0,63 ± 0,085 0,66 ± 0,042 0,63 ± 0,042 0,71 ± 0,021 0,63 ± 0,042 0,66 ± 0,085 0,68 ± 0,064 0,68 ± 0,021 0,68 ± 0,021 0,71 ± 0,064 0,69 ± 0,085 0,68 ± 0,021 0,71 ± 0,106
162
Lampiran 16. Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Penentuan Salinitas Optimal pada Berbagai Parameter Ukurnya 1. Tegangan Antarmuka 1.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db
JK
KT
Salinitas
12 0,00010167 0,00000847
Galat
13 0,00012267 0,00000944
Total Terkoreksi
25 0,00022434
1.b. Hasil uji Duncan Perlakuan N 0 2 5000 2 10000 2 15000 2 20000 2 25000 2 30000 2 35000 2 40000 2 45000 2 50000 2 55000 2 60000 2
F Hitung Pr > F
0,90 0,5709
Rata-rata 0,016340 0,008918 0,008499 0,008300 0,010147 0,010583 0,011024 0,009211 0,008932 0,010376 0,009441 0,010298 0,009151
Kelompok Duncan A AB B B AB AB AB AB AB AB AB AB AB
JK
KT
2. Densitas 2.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db
Salinitas
12 0,00419653 0,00034971
Galat
13 0,00003485 0,00000268
Total Terkoreksi
25 0,00423138
F Hitung
Pr > F
130,44 <0,0001
163
2.b. Hasil uji Duncan Perlakuan N 0 2 5000 2 10000 2 15000 2 20000 2 25000 2 30000 2 35000 2 40000 2 45000 2 50000 2 55000 2 60000 2
Rata-rata 0,990660 0,995930 0,997045 0,999815 1,003555 1,006815 1,010505 1,014670 1,017670 1,020335 1,023805 1,027710 1,032825
Kelompok Duncan J I HI H G G F E DE CD C B A
3. pH 3.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db
JK
KT
Salinitas
12 0,29940000 0,02495000
Galat
13 0,20560000 0,01581538
Total Terkoreksi
25 0,50500000
3.b. Hasil uji Duncan Perlakuan N 0 2 5000 2 10000 2 15000 2 20000 2 25000 2 30000 2 35000 2 40000 2 45000 2 50000 2 55000 2 60000 2
Rata-rata 9,2650 9,2250 9,1650 9,0550 9,0900 9,0900 9,0950 9,0550 8,9950 8,9300 8,9150 8,9500 8,9500
F Hitung Pr > F
1,58 0,2130
Kelompok Duncan A AB ABC ABC ABC ABC ABC ABC ABC BC C BC BC
164
4. Viskositas (30oC) 4.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db
JK
KT
Salinitas
12 0,09851538 0,00820962
Galat
13 0,04410000 0,00339231
Total Terkoreksi
25 0,14261538
4.b. Hasil uji Duncan Perlakuan N 0 2 5000 2 10000 2 15000 2 20000 2 25000 2 30000 2 35000 2 40000 2 45000 2 50000 2 55000 2 60000 2
Rata-rata 1,02000 1,21500 1,05000 1,05000 1,09500 1,11000 1,12500 1,15500 1,12500 1,11000 1,24500 1,17000 1,14000
F Hitung Pr > F
2,42 0,0639
Kelompok Duncan D AB CD CD BCD ABCD ABCD ABCD ABCD ABCD A ABC ABCD
5. Viskositas (70oC) 5.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db
JK
KT
Salinitas
12 0,01834615 0,00152885
Galat
13 0,04815000 0,00370385
Total Terkoreksi
25 0,06649615
F Hitung Pr > F
0,41 0,9322
165
5.b. Hasil uji Duncan Perlakuan N 0 2 5000 2 10000 2 15000 2 20000 2 25000 2 30000 2 35000 2 40000 2 45000 2 50000 2 55000 2 60000 2
Rata-rata 0,63000 0,66000 0,63000 0,70500 0,63000 0,66000 0,67500 0,67500 0,67500 0,70500 0,69000 0,67500 0,70500
Kelompok Duncan A A A A A A A A A A A A A
166
Lampiran 17. Rekapitulasi Data Analisis Pemilihan Aditif Berdasarkan Berbagai Parameter Ukurnya a. Tegangan Antarmuka (dyne/cm) Konsentrasi (%) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
Ulangan 1 2,70x10-2 3,74x10-1 4,08x10-1 3,82x10-1 3,12x10-1 2,76x10-1
NaOH Ulangan 2 1,72x10-2 3,98x10-1 3,59x10-1 3,93x10-1 3,18x10-1 2,85x10-1
Rata-rata ± SD 2,21x10-2 ± 0,0069 3,86x10-1 ± 0,0173 3,84x10-1 ± 0,0346 3,87x10-1 ± 0,0077 3,15x10-1 ± 0,0047 2,81x10-1 ± 0,0063
Ulangan 1 7,42x10-3 7,34x10-3 6,52x10-3 1,15x10-2 1,17x10-2 1,09x10-2
Na2CO3 Ulangan 2 7,82x10-3 7,64x10-3 7,42x10-3 9,66x10-3 9,98x10-3 8,85x10-3
Rata-rata ± SD 7,62x10-3 ± 0,0003 7,49x10-3 ± 0,0002 6,97x10-3 ± 0,0006 1,06x10-2 ± 0,0013 1,08x10-2 ± 0,0012 9,89x10-3 ± 0,0015
Konsentrasi (%) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
Ulangan 1 10,90 12,09 12,32 12,47 12,60 12,65
NaOH Ulangan 2 10,87 11,99 12,28 12,48 12,59 12,66
Rata-rata ± SD 10,89 ± 0,02 12,04 ± 0,07 12,30 ± 0,03 12,48 ± 0,01 12,60 ± 0,01 12,66 ± 0,01
Konsentrasi (%) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
Ulangan 1 9,51 9,66 9,88 9,98 10,08 10,20
Na2CO3 Ulangan 2 9,52 9,69 9,88 10,00 10,12 10,12
Rata-rata ± SD 9,52 ± 0,01 9,68 ± 0,02 9,88 ± 0,00 9,99 ± 0,01 10,10 ± 0,03 10,16 ± 0,06
Konsentrasi (%) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 b. Nilai pH
167
c. Densitas (g/cm3) Konsentrasi (%) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
Ulangan 1 1,0023 1,0033 1,0042 1,0046 1,0046 1,0062
Konsentrasi (%) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
Ulangan 1 1,0013 1,0021 1,0032 1,0048 1,0047 1,0056
NaOH Ulangan 2 1,0029 1,0050 1,0042 1,0058 1,0064 1,0088
Rata-rata ± SD 1,0026 ± 0,0005 1,0042 ± 0,0012 1,0042 ± 0,0001 1,0052 ± 0,0008 1,0055 ± 0,0013 1,0075 ± 0,0018
Na2CO3 Ulangan 2 Rata-rata ± SD 1,0013 1,0013 ± 2,12x10-5 1,0023 1,0022 ± 1,13x10-4 1,0034 1,0033 ± 9,90x10-5 1,0046 1,0047 ± 1,13x10-4 1,0042 1,0044 ± 3,68x10-4 1,0052 1,0054 ± 2,90x10-4
168
Lampiran 18. Rekapitulasi Sidik Ragam dan Uji Lanjut Hasil Analisis Pemilihan Jenis dan Konsentrasi Aditif pada Berbagai Parameter Ukurnya 1. Tegangan Antarmuka 1.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db
JK
KT
F Hitung
Pr > F
Jenis Aditif
1 0,49384133 0,49384133 3545,91 <0,0001
Konsentrasi
5 0,10024308 0,02004862
143,95 <0,0001
Aditif*Konsentrasi
5 0,09933838 0,01986768
142,66 <0,0001
Galat
12 0,00167125 0,00013927
Total Terkoreksi
23 0,69509403
1.b. Hasil uji Duncan untuk Jenis Aditif Perlakuan NaOH Na2CO3
N 12 12
Rata-rata 0,295790 0,008898
Kelompok Duncan A B
1.c. Hasil uji Duncan untuk Konsentrasi Aditif Perlakuan 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
N 4 4 4 4 4 4
Rata-rata 0,014852 0,196778 0,195430 0,198868 0,162885 0,145253
Kelompok Duncan C A A A B B
1.d. Hasil uji Duncan untuk Interaksi Jenis dan Konsentrasi Aditif Perlakuan NaOH*0,1% NaOH*0,2% NaOH*0,3% NaOH*0,4% NaOH*0,5% NaOH*0,6% Na2CO3*0,1% Na2CO3*0,2% Na2CO3*0,3% Na2CO3*0,4% Na2CO3*0,5% Na2CO3*0,6%
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Rata-rata 0,02208 0,38607 0,38389 0,38717 0,31492 0,28061 0,00762 0,00749 0,00697 0,01057 0,01085 0,00989
Kelompok Duncan D A A A B C D D D D D D
169
2. pH 2.a. Sidik ragam Sumber Keragaman db
JK
KT
F Hitung
Jenis Aditif
1 30,96281667 30,96281667 33473,3 <0,0001
Konsentrasi
5
4,02495000
0,80499000
870,26 <0,0001
Aditif*Konsentrasi
5
0,98898333
0,19779667
213,83 <0,0001
Galat
12
0,01110000
0,00092500
Total Terkoreksi
23
35,98785
2.b. Hasil uji Duncan untuk Jenis Aditif Perlakuan NaOH Na2CO3
N 12 12
Rata-rata 12,15833 9,88667
Kelompok Duncan A B
2.c. Hasil uji Duncan untuk Konsentrasi Aditif Perlakuan 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
N 4 4 4 4 4 4
Rata-rata 10,20000 10,85750 11,09000 11,23250 11,34750 11,40750
Kelompok Duncan F E D C B A
2.d. Hasil uji Duncan untuk Interaksi Jenis dan Konsentrasi Aditif Perlakuan NaOH*0,1% NaOH*0,2% NaOH*0,3% NaOH*0,4% NaOH*0,5% NaOH*0,6% Na2CO3*0,1% Na2CO3*0,2% Na2CO3*0,3% Na2CO3*0,4% Na2CO3*0,5% Na2CO3*0,6%
Pr > F
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Rata-rata 10,88500 12,04000 12,30000 12,47500 12,59500 12,65500 9,51500 9,67500 9,88000 9,99000 10,10000 10,16000
Kelompok Duncan E D C B A A J I H G F F
170
3. Densitas 3.a. Sidik ragam Sumber Keragaman
db
JK
KT
F Hitung
Pr > F
Jenis Aditif
1 0,00001024 0,00001024
16,47
Konsentrasi
5 0,00005069 0,00001014
16,30 <0,0001
Aditif*Konsentrasi
5 0,00000195 0,00000039
Galat
12 0,00000746 0,00000062
Total Terkoreksi
23 0,00007033
0,63
3.b. Hasil uji Duncan untuk Jenis Aditif Perlakuan NaOH Na2CO3
N 12 12
Rata-rata 1,0048596 1,0035533
Kelompok Duncan A B
3.c. Hasil uji Duncan untuk Konsentrasi Aditif Perlakuan 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6
N 4 4 4 4 4 4
Rata-rata 1,0019375 1,0031669 1,0037451 1,0049523 1,0049767 1,0064603
Kelompok Duncan D C BC B B A
3.d. Hasil uji Duncan untuk Interaksi Jenis dan Konsentrasi Aditif Perlakuan NaOH*0,1% NaOH*0,2% NaOH*0,3% NaOH*0,4% NaOH*0,5% NaOH*0,6% Na2CO3*0,1% Na2CO3*0,2% Na2CO3*0,3% Na2CO3*0,4% Na2CO3*0,5% Na2CO3*0,6%
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Rata-rata 1,0025899 1,0041538 1,0042001 1,0051947 1,0055134 1,0075056 1,0012850 1,0021800 1,0032900 1,0047100 1,0044400 1,0054150
Kelompok Duncan DEF BCD BCD B B A F EF CDE BC BCD B
0,0016 0,6833
171
Lampiran 19. Rekapitulasi Hasil Analisis Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Setelah Penambahan Surfaktan Komersial a. Pengukuran pada Air Formasi
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kode Surfaktan SK05 SK06 SK10 SK13 SK15 SK24 SK25 SK26 SK27 SK28 SK33 SK38 SK39 SK50
Nama Kimia
Jenis Surfaktan
Ulangan 1
Alkyl Polyglicoside C12 Alkyl Polyglicoside C8 C10 Alkoxylated 7 Dietanolamida Alcohol ethoxylate 7 EO Sodium dodecyl benzene sulfonate (25%) Sodium dodecyl benzene sulfonate (65%) Dodecyl benzene sulfonic acid Nonyl phenol ethoxylate 9 EO Nonyl phenol ethoxylate 10 EO Alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Alkyl Polyglicoside C12-16
Nonionik Nonionik Nonionik Nonionik Nonionik Anionik Anionik Anionik Nonionik Nonionik Kationik Nonionik Nonionik Nonionik
1,94x10-2 4,40x10-2 6,46x10-1 1,59x10-2 9,49x10-2 5,74x10-2 6,66x10-2 6,11x10-2 7,77x10-2 9,00x10-2 3,10x10-2 5,87x10-2 6,82x10-1 5,19x10-2
Ulangan 2 1,87x10-2 3,85x10-2 6,61x10-1 1,27x10-2 1,40x10-1 6,33x10-2 6,92x10-2 5,68x10-2 9,41x10-2 8,87x10-2 2,10x10-2 1,61x10-2 6,27x10-1 1,08x10-1
Rata-rata ± SD 1,91x10-2 ± 0,0005 4,13x10-2 ± 0,0039 6,54x10-1 ± 0,0106 1,43x10-2 ± 0,0023 1,17x10-1 ± 0,0319 6,04x10-2 ± 0,0042 6,79x10-2 ± 0,0018 5,90x10-2 ± 0,0030 8,59x10-2 ± 0,0116 8,94x10-2 ± 0,0009 2,60x10-2 ± 0,0071 3,74x10-2 ± 0,0301 6,55x10-1 ± 0,0389 8,00x10-2 ± 0,0397
172
b. Pengukuran pada Air Injeksi
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kode Surfaktan SK05 SK06 SK10 SK13 SK15 SK24 SK25 SK26 SK27 SK28 SK33 SK38 SK39 SK50
Nama Kimia
Jenis Surfaktan
Ulangan 1
Ulangan 2
Alkyl Polyglicoside C12 Alkyl Polyglicoside C8 C10 Alkoxylated 7 Dietanolamida Alcohol ethoxylate 7 EO Sodium dodecyl benzene sulfonate (25%) Sodium dodecyl benzene sulfonate (65%) Dodecyl benzene sulfonic acid Nonyl phenol ethoxylate 9 EO Nonyl phenol ethoxylate 10 EO Alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Alkyl Polyglicoside C12-16
Nonionik Nonionik Nonionik Nonionik Nonionik Anionik Anionik Anionik Nonionik Nonionik Kationik Nonionik Nonionik Nonionik
9,82x10-2 8,41x10-2 1,19x10-2 1,94x10-2 1,22x10-1 5,44x10-2 7,55x10-2 5,14x10-2 9,38x10-2 1,07x10-1 3,10x10-2 2,27x10-2 4,40x10-2 9,82x10-2
8,68x10-2 8,22x10-2 5,24x10-3 1,27x10-2 1,09x10-1 7,06x10-2 8,17x10-2 5,07x10-2 1,51x10-1 9,74x10-2 4,10x10-2 2,05x10-2 2,39x10-2 8,68x10-2
Rata-rata ± SD 9,25x10-2 ± 0,0081 8,32x10-2 ± 0,0013 8,57x10-3 ± 0,0047 1,61x10-2 ± 0,0047 1,16x10-1 ± 0,0092 6,25x10-2 ± 0,0115 7,86x10-2 ± 0,0044 5,11x10-2 ± 0,0005 1,22x10-1 ± 0,0404 1,02x10-1 ± 0,0068 3,60x10-2 ± 0,0071 2,16x10-2 ± 0,0016 3,40x10-2 ± 0,0142 9,25x10-2 ± 0,0081
173
c. Pengukuran pada Air Demineralisasi
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kode Surfaktan SK05 SK06 SK10 SK13 SK15 SK24 SK25 SK26 SK27 SK28 SK33 SK38 SK39 SK50
Nama Kimia
Jenis Surfaktan
Alkyl Polyglicoside C12 Alkyl Polyglicoside C8 C10 Alkoxylated 7 Dietanolamida Alcohol ethoxylate 7 EO Sodium dodecyl benzene sulfonate (25%) Sodium dodecyl benzene sulfonate (65%) Dodecyl benzene sulfonic acid Nonyl phenol ethoxylate 9 EO Nonyl phenol ethoxylate 10 EO Alkyl benzyl dimethyl ammonium chloride Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Secondary C12-14, 7 Ethoxylated Alkyl Polyglicoside C12-16
Nonionik Nonionik Nonionik Nonionik Nonionik Anionik Anionik Anionik Nonionik Nonionik Kationik Nonionik Nonionik Nonionik
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata ± SD
6,50x10-2
3,46x10-2
4,98x10-2 ± 0,0215
9,59x10-2
1,57x10-1
1,26x10-1 ± 0,0432
5,19x10-1
7,33x10-1
6,26x10-1 ± 0,1513
-2
5,48x10
-2
1,73x10
3,61x10 ± 0,0265
1,06x10-1
2,97x10-1
2,02x10-1 ± 0,1351
6,36x10-1
5,70x10-1
6,03x10-1 ± 0,0467
-1
9,35x10
-1
7,68x10
8,52x10-1 ± 0,1181
4,43x10-1
5,38x10-1
4,91x10-1 ± 0,0672
1,05x10-1
1,23x10-1
1,14x10-1 ± 0,0127
-1
1,31x10
-1
1,51x10
1,41x10-1 ± 0,0141
2,43x10-1
2,93x10-1
2,68x10-1 ± 0,0354
-2
7,96x10
8,08x10
-1
8,02x10-1 ± 0,0085
5,90x10-1
7,41x10-1
6,66x10-1 ± 0,1068
-1
-1
1,41x10-1 ± 0,0141
-1
1,31x10
1,51x10
174
Lampiran 20. Nilai Tegangan Antarmuka Minyak-Air Setelah Penambahan Formula Surfaktan Berbasis MES yang Dihasilkan
Kode Formula 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Keterangan MES SK05 SK13 SK33 MES 0,3%+NaCl 15.000 ppm MES 0,3%+Na2CO3 0,3% MES 0,3%+NaCl 15.000 ppm+Na2CO3 0,3% MES 0,3%+SK05 0,3% MES 0,3%+SK05 0,3%+NaCl 15.000 ppm MES 0,3%+SK05 0,3%+ Na2CO3 0,3% MES 0,3%+SK05 0,3%+NaCl 15.000 ppm+Na2CO3 0,3% MES 0,3%+SK13 0,3% MES 0,3%+SK13 0,3%+NaCl 15.000 ppm MES 0,3%+SK13 0,3%+ Na2CO3 0,3% MES 0,3%+SK13 0,3%+NaCl 15.000 ppm+Na2CO3 0,3% MES 0,3%+SK33 0,3% MES 0,3%+SK33 0,3%+NaCl 15.000 ppm MES 0,3%+SK33 0,3%+ Na2CO3 0,3% MES 0,3%+SK33 0,3%+NaCl 15.000 ppm+Na2CO3 0,3%
IFT (dyne/cm) Ulangan 1 Ulangan 2 -2 1,03x10 1,95x10-2 -2 1,94x10 8,68x10-2 1,94x10-2 1,27x10-2 3,10x10-2 4,10x10-2 5,97x10-3 1,06x10-2 -2 1,81x10 1,80x10-2 6,96x10-3 6,98x10-3 2,86x10-2 2,87x10-2 -2 3,49x10 2,84x10-2 1,54x10-2 1,55x10-2 -2 1,72x10 1,08x10-2 4,25x10-2 9,27x10-3 9,73x10-3 1,23x10-2 -2 2,95x10 9,55x10-3 8,28x10-3 1,49x10-2 7,76x10-2 8,50x10-2 -2 9,19x10 8,76x10-2 7,00x10-2 6,50x10-2 9,86x10-2 9,26x10-2
Rata-rata ± SD 1,49x10-2 ± 3,3x10-3 5,31x10-2 ± 2,4x10-2 1,61x10-2 ± 2,4x10-3 3,60x10-2 ± 3,5x10-3 8,30x10-3 ± 1,6x10-3 1,81x10-2 ± 3,8x10-5 6,97x10-3 ± 7,1x10-6 2,86x10-2 ± 1,1x10-5 3,16x10-2 ± 2,3x10-3 1,55x10-2 ± 3,5x10-5 1,40x10-2 ± 2,3x10-3 2,59x10-2 ± 1,2x10-2 1,10x10-2 ± 9,1x10-4 1,95x10-2 ± 7,1x10-3 1,16x10-2 ± 2,3x10-3 8,13x10-2 ± 2,6x10-3 8,98x10-2 ± 1,5x10-3 6,75x10-2 ± 1,8x10-3 9,56x10-2 ± 2,1x10-3
175
Lampiran 21. Hasil Pengamatan Pengujian Ketahanan Larutan Surfaktan terhadap Panas a. Pemanasan pada suhu 70 oC No
Pengamatan
Tampilan Larutan
Nilai IFT (dyne/cm)
1
Hari ke-0
Jernih, 1 fasa
6,97x10-3
2
Hari ke-2
Jernih, 1 fasa
6,99x10-3
3
Hari ke-7
Jernih, 1 fasa
5,46x10-3
4
Hari ke-14
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
4,43x10-3
5
Hari ke-28
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
6,46x10-3
6
Hari ke-41
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
8,69x10-3
7
Hari ke-48
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
8,46x10-3
8
Hari ke-55
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
1,84x10-2
9
Hari ke-70
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
1,96x10-2
10
Hari ke-77
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
3,46x10-2
b. Pemanasan pada suhu reservoir (112 oC) No
Pengamatan
Tampilan Larutan
Nilai IFT (dyne/cm)
1
Hari ke-0
Jernih, 1 fasa
6,97x10-3
2
Hari ke-2
Jernih, 1 fasa
2,87x10-2
3
Hari ke-7
Jernih, 1 fasa
2,76x10-2
4
Hari ke-14
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
2,45x10-2
5
Hari ke-28
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
2,17x10-2
6
Hari ke-41
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
2,09x10-2
7
Hari ke-48
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
1,99x10-2
8
Hari ke-55
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
2,40x10-2
9
Hari ke-70
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
2,40x10-2
10
Hari ke-77
Jernih, 1 fasa, terbentuk sedikit endapan
4,50x10-2
176
Lampiran 22. Hasil Uji Filtrasi Air Demineralisasi, Air Formasi dan Larutan Formula Surfaktan a. Lama Proses Penyaringan dengan Kain Saring Kasar 500 mesh No
Volume (ml)
Air Demineralisasi (AD) Menit
MESCO 0,3%+15000 ppm+ AD
Air Formasi (AF)
Detik
Menit
Detik
Menit
Detik
MESCO 0,3%+15000 ppm+AF Menit
Detik
1
0
0:00:00
0
0:00:00
0
0:00:00
0
0:00:00
0
2
50
0:00:04
4
0:00:05
5
0:00:07
7
0:00:09
9
3
100
0:00:08
8
0:00:09
9
0:00:20
20
0:00:17
17
4
150
0:00:11
11
0:00:13
13
0:00:52
52
0:00:26
26
5
200
0:00:14
14
0:00:16
16
0:01:42
102
0:00:39
39
6
250
0:00:17
17
0:00:20
20
0:02:40
160
0:01:30
90
7
300
0:00:21
21
0:00:25
25
0:03:45
225
0:02:33
153
Filtration Ratio (FR)
1,00
1,25
5,00
7,88
b. Lama Proses Penyaringan dengan Kertas Saring 20 - 25µm No
1
Volume (ml)
Air Demineralisasi (AD)
Air Formasi (AF)
Menit
Menit
Detik
Detik
MESCO 0,3%+15000 ppm+ AD Menit
Detik
MESCO 0,3%+15000 ppm+AF Menit
Detik
0
0:00:00
0
0:00:00
0
0:00:00
0
0:00:00
0
2
50
0:00:20
20
0:00:15
15
0:00:31
31
0:01:57
117
3
100
0:00:35
35
0:00:32
32
0:01:05
65
0:05:27
327
4
150
0:00:51
51
0:00:51
51
0:01:46
106
0:10:47
647
5
200
0:01:07
67
0:01:10
70
0:02:34
154
0:19:19
1159
6
250
0:01:24
84
0:01:32
92
0:03:27
207
0:28:34
1714
7
300
0:01:42
102
0:01:53
113
0:04:24
264
0:41:25
2485
Filtration Ratio (FR)
1,20
1,24
1,68
3,67
177
c. Lama Proses Penyaringan dengan Kertas Membran 0,45 µm No
Volume (ml)
Air Demineralisasi (AD) Menit
MESCO 0,3%+15000 ppm+AD
AF
Detik
Menit
Detik
Menit
MESCO 0,3%+15000 ppm+AF
Detik
Menit
Detik
1
0
0:00:00
0
0:00:00
0
0:00:00
0
0:00:00
0
2
50
0:00:13
4
0:00:37
37
0:00:10
10
0:00:13
13
3
100
0:00:25
8
0:08:41
521
0:00:19
19
0:00:29
29
4
150
0:00:35
11
0:28:08
1688
0:00:27
27
0:00:44
44
5
200
0:00:46
14
1:04:00
3840
0:00:35
35
0:01:04
64
6
250
0:00:58
17
2:06:24
7584
0:00:46
46
0:01:32
92
7
300
0:01:10
21
3:23:16
12196
0:01:06
66
0:01:58
118
Filtration Ratio (FR)
1,00
9,53
2,22
1,63
d. Lama Proses Penyaringan dengan Kertas Membran 0,22 µm No
Volume (ml)
Air Demineralisasi (AD) Menit
1
Detik
Air Formasi (AF) Menit
MESCO 0,3%+15000 ppm+AD
Detik
Menit
Detik
MESCO 0,3%+15000 ppm+AF Menit
Detik
0
0:00:00
0
0:00:00
0
0:00:00
0
0:00:00
0
2
50
0:00:33
33
0:00:27
27
0:00:31
31
0:00:36
36
3
100
0:01:09
69
0:00:57
57
0:01:00
60
0:01:19
79
4
150
0:01:54
114
0:01:26
86
0:01:19
79
0:01:51
111
5
200
0:02:45
165
0:01:55
115
0:01:45
105
0:02:42
162
6
250
0:03:54
234
0:02:35
155
0:02:18
138
0:03:49
229
7
300
0:05:13
313
0:03:14
194
0:02:46
166
0:05:01
301
Filtration Ratio (FR)
2,19
1,30
0,97
1,67
178
Lampiran 23. Proses Pembuatan Core Sintetik
Pasir Kuarsa (35 mesh)
Semen (25% dari pasir kuarsa)
Pencampuran
Pencetakan
Pengeringan (di bawah sinar matahari/oven)
Pengeluaran dari Cetakan
Perapian Core Sesuai Ukuran
Core Sintetik)
Air (10% dari bobot total)
179
Lampiran 24. Rekapitulasi Data Hasil Uji Adsorpsi (Metode Absorbansi) Konsentrasi MES (%) NaCl Na2CO3 MES Air Injeksi Jumlah Konsentrasi MES (sebenarnya) Hasil Pengukuran : Absorbansi (nm) Absorbansi (nm) (Metode Metilen Blue)
• •
0,025
0,05
0,075
0,10
0,125
0,15
0,175
0,20
0,225
0,25
0,752 0,150 0,013 49,085 50,000
0,751 0,152 0,025 49,070 49,998
0,752 0,151 0,037 49,078 50,019
0,750 0,150 0,051 49,052 50,003
0,751 0,152 0,063 49,049 50,014
0,751 0,150 0,076 49,033 50,010
0,752 0,152 0,087 49,078 50,069
0,751 0,154 0,103 49,000 50,008
0,750 0,150 0,112 48,985 49,997
0,751 0,151 0,124 48,982 50,008
0,026
0,051
0,074
0,102
0,125
0,151
0,174
0,206
0,224
0,249
0,274
0,301
0,06
0,173
0,222
0,271
0,455
0,565
0,753
0,82
0,853
0,866
0,978
1,197
0,215
0,432
0,407
0,53
0,596
0,663
0,585
0,713
0,763
0,886
0,858
0,967
Absorbansi setelah adsorpsi (tanpa metode metilen blue) = 0,192 nm Absorbansi setelah adsorpsi (metode metilen blue) = 0,117 nm
0,275
0,30
0,752 1,502 0,152 0,300 0,137 0,301 48,963 97,930 50,004 100,033
180
Lampiran 25. Hasil Uji Adsorpsi Titrasi Dua Fasa a. Larutan MES 0,3% Data Surfaktan Awal (Sebelum Adsorpsi) Bobot Volume surfaktan Titran (g) (ml) 1.0093 2.0046 1.0093
1.10 2.00 1.10
Slope
Regresi
0.87922 0.99986
Data Surfaktan Akhir (Setelah Adsorpsi)
% Bobot Volume Surfaktan surfaktan Titran Awal (g) (ml) 0.0401
1.0114 2.0039 1.0114
0.45 0.70 0.45
Slope
Regresi
% Surfaktan Akhir
0.20045 0.98934 0.0092
Awal
Akhir Terserap
µg bahan aktif/g core
40,36
9,20
155,29
Bahan aktif (mg)
31,16
b. Larutan MES 0,3% + NaCl 15000 ppm Data Surfaktan Awal (Sebelum Adsorpsi) Bobot Volume surfaktan Titran (g) (ml) 1.0073 2.0041 3.0082
0.95 1.60 2.25
Slope
Regresi
0.64970 1.00000
Data Surfaktan Akhir (Setelah Adsorpsi)
% Bobot Volume Surfaktan surfaktan Titran Awal (g) (ml) 0.0401
1.0062 2.0213 3.0045
0.60 0.75 0.85
Slope
Regresi
% Surfaktan Akhir
0.12523 0.99441 0.0092
Awal
Akhir Terserap
µg bahan aktif/g core
40.22
9.17
155.23
Bahan aktif (mg)
31.05
181
c. Larutan MES 0,3% + NaCl 15000 ppm + Na2CO3 0,3% Data Surfaktan Awal (Sebelum Adsorpsi) Bobot Volume surfaktan Titran (g) (ml) 2.0024 3.0077 4.0048
1.35 2.15 2.55
Slope
Regresi
0.59955 0.98242
Data Surfaktan Akhir (Setelah Adsorpsi)
% Bobot Volume Surfaktan surfaktan Titran Awal (g) (ml) 0.0401
2.0021 3.0005 4.0027
0.30 0.55 0.90
Slope
Regresi
% Surfaktan Akhir
0.29994 0.99551 0.0092
Awal
Akhir Terserap
µg bahan aktif/g core
40.16
9.16
152.86
Bahan aktif (mg)
31.01
182
Lampiran 26. Data Dimensi Core yang Digunakan pada Uji Core Flooding
Kode Core
Ulangan
Core Sintetik-1
1 2 3
Rata-rata Core Sintetik-2
2,41 1 2 3
Rata-rata Core Sintetik-3
1 2 3
Rata-rata
2,34 2,36 2,35 2,35
1 2 3
Rata-rata Native Core-1
2,40 2,41 2,39 2,40
Rata-rata Core Sintetik-4
Diameter Tinggi (cm) (cm) 2,43 3,02 2,40 3,10 2,40 2,95
2,59 2,62 2,61 2,61
1 2 3
2,43 2,42 2,40 2,41
Volume Core (ml)
13,76
3,02 2,90 2,91 2,92
13,16
2,91 3,28 3,29 3,26
14,20
3,28 3,43 3,43 3,40
18,24
3,42 3,17 3,14 3,06 3,12
14,27
183
Lampiran 27. Proses Persiapan dan Tahapan Uji Core Flooding
Core yang sudah dibersihkan
Penimbangan Bobot Kering Core
Penjenuhan dengan Air Formasi (AF)
Penyimpanan dalam tabung berisi AF selama 1-3 hari
Penimbangan Bobot Basah Core
Injeksi Core oleh minyak pada suhu 70oC
Pengukuran Volume AF yang keluar A
184
A
Injeksi Core oleh Air Injeksi pada suhu 70oC Pengukuran Volume Minyak yang keluar
Injeksi Core oleh Larutan Formula Surfaktan pada suhu 70oC
Pengukuran Volume Minyak yang keluar
185
Lampiran 28. Hasil Uji Core Flooding Larutan Surfaktan Setelah Injeksi Air
Kode Core
Bobot kering (A) (gram)
Bobot basah (B) (gram)
Bobot Air Formasi dalam Core (BA) (gram)
Densitas Air Formasi (g/ml)
Volume AF dalam core (C) (ml)
Volume AF yang keluar setelah diinjeksi minyak = Volume minyak dalam core (D) (ml)
Core Sintetik1
28,9608
33,8702
4,9094
0,9920
4,9489
4,2000
0,7489
15
36
2,4000
0,8000
57
19
76
Core Sintetik3
30,0662
36,3061
6,2399
0,9920
6,2901
6,1000
0,1901
3
44
2,7000
0,5000
44
8
52
Native Core-1
34,1837
35,7617
1,5780
0,99008
1,5938
1,1000
0,4938
31,0
11,2
0,4000
0,1000
36,4
9,1
45,5
Volume AF yang tersisa dalam Core (CD) (ml)
Saturasi Air (%)
Porositas (C/Vol Core Total*100 % (%)
Volume minyak setelah Injeksi dengan fluida AF (ml)
Volume Minyak setelah injeksi dengan surfaktan (ml) Secondary Recovery
Primary Recovery (%)
Seconda -ry Recovery (%)
Total Recovery (%)
186
Lampiran 29. Hasil Uji Core Flooding Larutan Surfaktan dengan Perbedaan Arah Flow Injeksi Menggunakan Core Sintetik
Bobot basah (B) (gram)
Bobot Air Formasi dalam Core (B-A) (gram)
Densitas Air Formasi (g/ml)
Volume AF dalam core (C) (ml)
Volume AF yang keluar setelah diinjeksi minyak = Volume minyak dalam core (D) (ml)
Volume AF yang tersisa dalam Core (CD) (ml)
Saturasi Air (%)
Porositas (C/Vol Core Total*100 % (%)
Volume minyak setelah Injeksi dengan larutan surfaktan (ml)
Recovery (%)
Kode Core
Perlakuan
Bobot kering (A) (gram)
Core Sintetik2
Injeksi formula surfaktan dari atas ke bawah
27,0172
32,3704
5,3532
0,9920
5,3963
3,6000
1,7963
33
41
2,20
61
Core Sintetik4
Injeksi formula surfaktan dari bawah ke atas
28,7273
36,2033
7,4760
0,9920
7,5362
7,0000
0,5362
7
41
5,40
77