bagian IV
Enhanced Oil Recovery \di Indonesia U
ntuk memberikan ilustrasi betapa rumitnya proses produksi migas dari perut bumi, Rachmat yang juga dosen Trisakti paling suka mengambil perumpamaan tentang kapur tulis yang dicelupkan ke dalam botol tinta. “Anda dapat melihat warna biru yang merambat ke atas seolah ada gaya yang menarik tinta naik ke atas. Gaya apakah itu? Itu adalah apa yang kita kenal dengan gaya kapiler. Nah, sekarang anda diminta untuk mengeluarkan tinta dari kapur tulis itu. Tentu sulit bukan?” Rachmat memulai penjelasannya. “Kira-kira seperti itulah kesulitan memproduksi minyak dari dalam pori-pori batuan reservoir. Dapat dimengerti kalau minyak yang dapat kita sedot keluar rata-rata hanya sepertiga dari kandungan minyak di dalam bumi. Besarnya perolehan minyak ini tergantung pada jenis tenaga alamiah yang mendorong minyak sehingga lebih mudah mengalir ke sumur produksi, seperti daya dorong air dari aquifer, dorongan dari gas terlarut yang mengembang, dan pengembangan gas bebas di atas zona minyak (gas cap) karena turunnya tekanan selama produksi berlangsung. Tahapan produksi yang mengandalkan energi alamiah ini disebut sebagai primary recovery.
|
55
|
Enhanced Oil Recovery di Indonesia
Pertambang
a | Rachmat Sudibjo
Untuk menambah perolehan dari minyak tersisa, dibor sumur-sumur baru untuk menyuntikkan air atau gas ke dalam reservoir. Tujuan utamanya adalah mempertahankan tekanan dan mendesak minyak ke sumur produksi. Pada tahap secondary recovery inipun peningkatan perolehan minyak hanya sekitar 10-15%, sehingga total perolehan kumulatif menjadi 40-45%. Mengapa kenaikannya tidak terlalu besar? Rachmat kembali mengambil analogi: ”Kejadian ini seperti kalau kita membilas baju yang terkena minyak dengan air. Walaupun kita bilas dengan berember-ember air, hanya sedikit minyak yang dapat dibersihkan. Nah, sekarang bilas dengan air sabun, maka dengan mudah minyak akan terlepas dan baju menjadi kembali bersih. Sebenarnya baju kita juga berpori, terdiri dari helaian benang yang ditenun menyilang membentuk rongga pori-pori diantaranya, serupa dengan pori-pori batuan. Sekarang kalau butiran minyak yang terperangkap dalam pori-pori batuan, kita desak dengan air hanya sedikit minyak yang bisa kita dapatkan walaupun diinjeksi dengan air berjuta-juta ton,“ jelas Rachmat. ”Coba kita injeksikan air Rinso ke dalam perut bumi,” kata Rachmat bergurau, ”maka minyak yang tersisa dalam pori-pori batuan dengan mudah bisa kita keluarkan.” Tahapan lanjut ini kita sebut tertiary recovery atau EOR. Tentu saja di lapangan bahan injeksi yang dipakai bukan Rinso, tapi Surfactant, nama jenis deterjen yang merupakan singkatan dari Surface Active Agent. Tapi bagian yang tersulit adalah bahwa surfaktan yang dipilih harus mampu menurunkan tegangan permukaan dari sistem minyak-air dari 32 dyne per cm pada kondisi normal menjadi seperseribu dyne per cm. Rachmat mengambil perumpamaan: ”Butiran minyak sisa itu ibaratnya seperti butiran kuning telor setengah matang, walaupun encer tapi utuh karena terlindung oleh selaput tipis yang menyelimuti. Seandainya tegangan selaput kuning telur itu dapat diperkecil, maka selaput tersebut akan pecah dan kuning telurnya akan berhamburan keluar.” Jadi itulah yang terjadi, waktu injeksi air dilakukan, butiran-butiran minyak yang tersisa hanya berputar ditempat, terperangkap oleh penyempitan rongga batuan yang berukuran mikron. Butiran minyak tersebut bisa lolos apabila ‘selaput’ butiran itu menjadi sangat tipis dan lentur hingga dapat menerobos keluar dari pori-pori batuan. Penipisan selaput itu terjadi apabila tegangan permukaannya dapat diturunkan secara drastis |
56
|
dengan menggunakan surfaktan atau menginjeksikan gas yang dapat berbaur (miscible) dengan minyak sehingga tegangan permukaannya sangat kecil. Termasuk dalam jenis EOR ini adalah injeksi gas bumi bertekanan tinggi, seperti topik Kolokium Rachmat di ITB, injeksi CO2 yang mudah terlarut, baik dalam minyak maupun air (ingat Coca-Cola). Metode terakhir ini sudah banyak dilakukan secara komersial terutama di Amerika Serikat. Di Indonesia penerapan injeksi surfaktan hingga saat ini banyak yang masih dalam tahap laboratorium, terkecuali di lapangan Minas yang sudah masuk pada tahap field test. Lapangan Minas merupakan lapangan minyak terbesar di Indonesia, berukuran 28x10 km2 dengan kandungan minyak sebesar 8.7 miliar barel. Separuh dari kandungan lapangan ini sudah diproduksikan secara primary dan secondary recovery. Agar optimal, injeksi surfaktan di lapangan Minas ini dikombinasikan dengan polimer dan alkalin (ASP). Tambahan larutan polimer ini berfungsi untuk mengentalkan air injeksi agar air yang diinjeksikan tidak lari mendahului minyak yang didesak sehingga proses pendesakan menjadi efektif. Rachmat terlibat dalam proyek surfaktan ini, bergabung dalam tim ahli ITB, sewaktu menjabat sebagai Staf Khusus Menteri, tahun 2007. Tim ini bertugas untuk ikut melakukan evaluasi dari hasil penelitian laboratorium yang dilakukan sekaligus oleh tiga universitas terkemuka di Austin, Houston, dan New Mexico, Amerika Serikat. “Saya senang karena disana dapat bertemu dengan pakar-pakar senior yang hampir seumur hidupnya berkecimpung di bidang EOR. Saya diminta bergabung dengan Tim ITB ke Amerika untuk mengevaluasi hasil penelitian laboratorium di ketiga universitas tersebut untuk menentukan go or no-go proyek ini ke tahap selanjutnya,” Rachmat menjelaskan. Tambahan produksi yang diharapkan dari proyek ini secara kumulatif paling sedikit adalah 500 juta barel, kurang lebih 5% dari total kandungan awal minyak lapangan ini. Ini jumlah yang tidak sedikit, jika dibandingkan dengan penemuanpenemuan baru dan bahkan akan melebihi cadangan lapangan minyak di Cepu-Bojonegoro yang dioperasikan oleh Exxon bersama Pertamina. Dengan diterapkannya proses injeksi kimia ini maka lapangan Minas sudah melalui semua tahapan produksi, mulai dari tahap primary, |
57
|
Enhanced Oil Recovery di Indonesia
Pertambang
a | Rachmat Sudibjo
secondary dan tertiary recovery. Rachmat sendiri bertindak sebagai Team Leader saat Minas memasuki tahap secondary recovery pada tahun 1978. Evalusi dilakukan secara intensif dengan menggunakan simulasi reservoir yang kalau tidak salah untuk pertama kali dilakukan di Indonesia. Saat itu injeksi air (water flooding) disuntikkan melalui sumur-sumur injeksi yang dibor pada pinggiran (peripheral) lapangan yang memberikan efek lebih kepada pencegahan penurunan tekanan reservoir dibanding dengan pendesakan minyak. Pada saat ini, Caltex sudah menggunakan pola sumur yang lebih rapat, dimana sumur injeksi di bor secara selang-seling dengan sumur produksi sehingga air yang diinjeksikan langsung mendorong minyak dari sumur injeksi ke sumur produksi. Hasil simulasi reservoir yang dilakukan oleh Tim Rachmat menunjukan bahwa pendesakan minyak yang dilakukan secara peripheral ini tidak sebesar yang diklaim oleh Caltex, sehingga mereka harus mengembalikan kepada pemerintah insentif yang sudah terlanjur mereka ambil. Sebelum pengembangan lapangan Minas dilanjutkan pada tahap tertiary recovery, pihak Caltex melakukan screening dan memilih beberapa metode diantaranya adalah light steam flooding (LSF). Dinamakan demikian karena minyak Minas tergolong ringan. Pilihan LSF ini diambil tidak dengan tujuan untuk mengencerkan minyak supaya mudah mengalir seperti umumnya dilakukan pada proyek steam flood, tetapi mengejar tambahan perolehan minyak melalui proses penguapan (stripping). Hasil field-test ternyata tidak terlalu menggembirakan sehingga akhirnya pilihan dialihkan kepada injeksi surfaktan, yang berlangsung hingga saat ini. “Saya tidak tahu apakah dalam penelitian LSF ini, Caltex memperhitungkan pengaruh temperatur terhadap kelarutan minyak di dalam air. Dalam kondisi normal kelarutan minyak dalam air (immiscible) dapat diabaikan. Tapi pada temperatur tinggi, seperti yang ditunjukkan dalam tesis saya, kelarutan minyak dalam air bisa mencapai hingga 20%, sehingga efek stripping menjadi jauh berkurang. Inilah yang mungkin menyebabkan penerapan LSF di Minas kurang berhasil,” komentar Rachmat.
|
58
|
Gambar 25. Tim Lemigas sedang Meninjau Lapangan Minas
Menurut Rachmat, rata-rata biaya untuk EOR adalah sebesar USD 30-40 per barel, sehingga secara jangka panjang harga minyak harus berada jauh di atas tingkat itu. Dalam kondisi harga minyak yang terkadang melampaui USD 100 per barel, masih belum cukup alasan bagi perusahaan minyak untuk menerapkan EOR secara besar-besaran. Walaupun proyek EOR merupakan proyek intensifikasi yang diterapkan di lapangan yang sudah ada, resikonya masih tetap tinggi. Lebih sering perusahaan memilih eksplorasi, menambah cadangan secara ekstensifikasi. Ambil contoh pada penerapan injeksi surfaktan. Setidaknya ada tiga faktor yang harus diperhatikan. Faktor pertama, larutan surfaktan mudah terabsorbsi oleh batuan reservoir, sehingga dibutuhkan konsentrasi surfaktan yang lebih besar dan tentu dengan biaya lebih mahal. Faktor kedua, larutan surfaktan sangat sensitif terhadap kadar garam (salinitas) air formasi. Karena proses sedimentasi terjadi di lingkungan laut, pada umumnya salinitas air formasi relatif tinggi yang dapat mengakibatkan surfaktan mengalami degradasi. Faktor ketiga, larutan surfaktan juga mengalami degradasi pada temperatur yang tinggi, sehingga metode ini tidak dapat diterapkan pada reservoir yang dalam. Harus diingat bahwa pada kondisi |
59
|
Enhanced Oil Recovery di Indonesia
Pertambang
a | Rachmat Sudibjo
apapun, tegangan permukaan pada front pendesakan minyak-air tetap dipertahankan sebesar 10-4 dyne per cm. Jadi, banyak faktor yang bisa menyebabkan kegagalan. Oleh karena itu, Lemigas mempunyai peluang besar apabila mampu memberikan jasa laboratorium dan pemodelan proses EOR secara numerik, karena hanya perusahaan besar yang mau membangun sarana laboratorium sendiri untuk keperluan yang sangat spesifik ini.
Gambar 26. Fasilitas di Duri Steam Flood
|
60
|
Setelah berhasil melakukan kajian lapangan Minas, Lemigas diminta oleh Pertamina untuk melakukan kajian perencanaan proyek EOR di lapangan Duri. Dengan kandungan awal minyak sebesar 6.5 miliar barel, lapangan Duri merupakan lapangan minyak raksasa kedua di Indonesia. Pada tahap primary recovery, produksi lapangan Duri hanya berkisar 30 ribu barel per hari, dan faktor perolehan minyak hanya sekitar 10% dari kandungan minyak dalam perut bumi. Untuk meningkatkan produksi, Caltex menggunakan metode perangsangan (stimulasi) sumur dengan memasukan uap air ke sumur produksi. Untuk keperluan itu produksi sumur harus dihentikan dan setelah uap air masuk ke dasar sumur, sumur ditutup kurang lebih satu minggu menunggu uap air memanasi formasi di sekitar lubang sumur. Kemudian sumur dibuka kembali untuk diproduksikan selama beberapa minggu, lalu ditutup lagi untuk pemanasan dan begitu seterusnya. Metode ini bukan termasuk kategori EOR (ciri EOR harus ada sumur injeksi), dan karena dilaksanakan dengan sistem buka-tutup, metode ini disebut huff and puff. Hasilnya memang membantu menaikan produksi, tapi hanya bersifat percepatan dan bukan menaikan perolehan (cadangan) minyak. Satu-satunya cara untuk dapat menaikan produksi secara masif sekaligus menaikan perolehan minyak adalah steamflood yang diterapkan melalui pemboran sumur dengan pola yang lebih rapat. Pada saat Caltex mengusulkan ide ini, Pertamina selaku pemegang manajemen Production Sharing Contractor (PSC) menanggapinya secara hati-hati mengingat investasinya yang besar. Kepala BKKA, Jack Zahar bahkan punya ide dan secara serius mempresentasikan di forum konvensi ‘Indonesian Petroleum Association (IPA)’, untuk menambang minyak Duri dalam arti yang sesungguhnya dengan menggali tanah overburden. Walaupun struktur lapangan Duri sangat dangkal yaitu sekitar 200-300 m, namun mengingat kendalanya terlalu besar ide ini tidak diteruskan. Pertamina menyetujui proposal Caltex dengan syarat harus diawali dengan kajian yang komprehensif. Proyek yang besar dan ambisius ini diberi nama Duri Steam Flood (DSF) yang kemudian menjadi proyek terbesar di dunia jauh melebihi produksi Kern River di California. Pertanyaan kemudian muncul, siapa yang akan menjalankan kajian dari |
61
|
Enhanced Oil Recovery di Indonesia
Pertambang
a | Rachmat Sudibjo
proyek raksasa ini? Jawaban dari Pertamina firm, Lemigas. Untuk kesekian kalinya Lemigas kembali mendapat kepercayaan untuk melaksanakan pekerjaan yang sangat vital. Tapi kali ini tantangan yang dihadapi oleh Rachmat dan timnya tidak main-main, jauh lebih besar dan kompleks. Selama ini software yang digunakan Lemigas adalah jenis ‘black oil’. Dalam memodelkan proses steam flooding, software yang digunakan harus mampu memperhitungkan perubahan karakteristik batuan dan fluida reservoir, proses pemindahan panas dan thermodinamika selama berlangsung pemanasan di dalam reservoir. Bagi Rachmat proses pendesakan uap air ini tidak terlalu asing karena tesis yang dia kerjakan di Perancis justru berkaitan dengan hal itu. Dengan luas sekitar 18x10 km2, pengembangan lapangan Duri dilakukan secara bertahap pada 12 area dengan target puncak produksi sebesar 300 ribu barel per hari. Hasil evaluasi dari Tim Lemigas menunjukan bahwa dengan produksi sebesar itu diperlukan paling sedikit 4000 sumur tergantung dari skenario produksi pada masing-masing area pengembangan tersebut. Dengan jumlah sumur sebesar itu bisa dibayangkan kendala operasi yang harus dihadapi mengingat banyak sumur yang mengalami kepasiran (sand problem), banyak pasir yang ikut terproduksi karena ikatan batuan yang tidak terlalu solid, ciri khas dari reservoir dangkal. Beruntung bagi Rachmat, problem inipun sudah dia kenal karena merupakan topik dari skripsi sarjana yang dia kerjakan di lapangan Duri tahun1971. Sebenarnya Rachmat kurang suka dengan topik skripsi ini karena analisis penyelesaiannya lebih banyak bersifat pendekatan empirik-statistik daripada pendekatan teoritis-matematis. Karena itu dia harus mengumpulkan data sebanyak mungkin agar hasil statistiknya cukup kredibel. Dia mendapat izin dari pembimbingnya untuk membongkar file sekitar 70 sumur dan meneliti jenis penyelesaian sumur dan derajat problematiknya. Dia baru menyadari betapa pentingnya arti dari skripsi itu bagi dirinya saat dia mendapat tugas melakukan evaluasi perencanaan Steam Flooding di lapangan yang sama 10 tahun kemudian.
|
62
|
Gambar 27. Boiler Pembangkit Uap di DSF
Pendekatan studi Steam Flooding yang dilakukan adalah multidisipliner yang melibatkan displin ilmu geologi, teknik perminyakan dan teknik kimia untuk kajian fasilitas lapangan yang lebih komplek. Tim Rachmat mendapat bantuan dari Bona Situmorang untuk masalah pengembangan geologi dan Maizar Rachman untuk pengolahan lapangan. Semula Tim Leader dari studi DSF ditunjuk Sutomo Sudomo dibantu oleh Erzat Gomaa dari Caltex untuk pengenalan software thermal yang digunakan. Tapi karena suatu alasan Sutomo mengundurkan diri dan Tim Leader akhirnya dipegang langsung oleh Rachmat. Untuk membangkitkan uap yang diperlukan, sekitar 20% dari minyak yang diproduksi harus disisihkan dan dibakar. Ini berarti sekitar 60 ribu barel minyak bumi harus dibakar setiap hari. Suatu jumlah yang tidak sedikit. Sebelumnya Caltex pernah melakukan studi penggunaan batubara sebagai alternatif pembangkit panas. Dengan ratusan ribu ton batubara yang harus dibakar per hari, di samping perlu dibangun infrastruktur berupa jalur kereta api dari Dumai ke Duri sepanjang 100 km juga perlu disediakan gerbong pengangkut batubara yang terus menerus bergerak tanpa putus. Belum lagi produk sampingan berupa |
63
|
Enhanced Oil Recovery di Indonesia
Pertambang
a | Rachmat Sudibjo
abu yang menggunung yang penanganannya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Alternatif lain yang dilihat adalah keberadaan sumber air panas dekat perbatasan Sumatra Barat, namun karena suhunya tidak cukup tinggi pilihan inipun ditinggalkan. Beberapa tahun setelah studi DSF selesai dikerjakan, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) menawarkan kepada Lemigas kemungkinan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga nuklir sebagai pembangkit uap air. Teknologi yang ditawarkan adalah High Temperatur Reactor (HTR), yang bersifat modular sehingga reaktornya tidak terlalu besar karena dibagi menjadi beberapa modul kecil. Keunggulan dari reaktor bersuhu tinggi ini adalah di samping membangkitkan uap yang diperlukan untuk proyek DSF, tenaga listrik yang dibangkitkan dapat disalurkan untuk menggerakan pompa di sumur produksi. Rachmat mendukung ide tersebut dan ikut aktif berpartisipasi bersama Tim BATAN. Karena berbagai pertimbangan, alternatif inipun akhirnya tidak dipilih dan penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar tetap diteruskan, sampai kemudian Asamera menemukan gas yang cukup besar di Grissik, Jambi.
Gambar 28. Fasilitas dan Pipa Distribusi pada Proyek DSF
|
64
|
Sekitar tahun 1994, beberapa tahun setelah studi DSF selesai, Asamera mengusulkan pengembangan lapangan gas yang ditemukannya di Jambi. Saat itu belum ada infrastruktur yang menunjang transportasi sumber gas yang terletak di tengah hutan tersebut. Jarak terdekat dengan sentra industri di Jawa Barat sekitar 1.000 km sehingga tidak ada satu konsumen pun yang berminat membeli gas Asamera. Jalan keluar satu-satunya adalah menyalurkan sumber gas tersebut ke Duri untuk menggantikan minyak yang dibakar. Pemerintah menyambut positif usulan tersebut karena selama ini memang pemerintah belum merasa nyaman atas pembakaran minyak Duri tersebut. Untuk merealisasi rencana tersebut, perlu dibangun pipa antara Duri-Grissik yang berjarak sekitar 540 km. Mengingat bahwa pembangunan pipa ini berada di luar lingkup PSC, A. Qoyum, Direktur Utama PGN, menangkap peluang itu dengan mengusulkan kepada pemerintah agar PGN diberi kesempatan untuk membangun pipa tersebut dengan sistem toll-fee. Awalnya pihak Caltex merasa keberatan, khawatir proyek DSF yang sudah berjalan jauh terganggu. Untuk mengatasi hal itu, Pemerintah membentuk Tim di bawah koordinasi Suyitno Patmosukismo, Dirjen Migas waktu itu, dan Rachmat yang sudah menjabat Direktur EP Migas dilibatkan langsung dalam Tim. Akhirnya Caltex setuju dengan prinsip ‘no gain – no loss’, artinya minyak Duri yang seharusnya dibakar, ditukar (swap) dengan gas Asamera tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Untuk pembangunan pipa ini, PGN mendapatkan dukungan pendanaan dari Asian Development Bank (ADB). Rachmat yang mengetahui seluk beluk proyek DSF diikut sertakan sebagai wakil Pemerintah dalam Tim yang melakukan negosiasi dengan pihak ADB di Manila dan European Bank di Luxembourg. Bagi PGN pembangunan pipa Duri-Grissik ini merupakan milestone yang monumental yang kelak akan mentransformasi PGN dari distributor gas kota menjadi ‘world-class company’.
|
65
|
Enhanced Oil Recovery di Indonesia
|
Pertambang
66
|
a | Rachmat Sudibjo