KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT
Oleh RIA MARIA F34102004
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh RIA MARIA F34102004
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh RIA MARIA Dilahirkan pada tanggal 25 Juli 1985 di Bekasi
Disetujui, Bogor, 4 September 2006
Dr. Ir. Erliza Hambali, MSi Dosen Pembimbing
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : “ KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT “ adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, 4 September 2006 Yang membuat Pernyataan
Ria Maria F34102004
RIWAYAT HIDUP
Penulis di lahirkan di Bekasi pada tanggal 25 Juli 1985 dari keluarga pasangan Unang dan Yanwah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yaitu Rice Isabella dan Ribka Sthio Wasti. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar pada tahun 1996 di SDN I Lemahabang, kemudian lulus sekolah menengah pertama pada tahun 1999 di SLTPN I Cikarang, dan pada tahun 2002 penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMUN I Cikarang. Penulis melanjutkan studi ke IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tanggal 1 Juli 2005 sampai dengan 27 Agustus 2005, penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Liza Herbal International untuk mempelajari penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) di perusahaan tersebut. Selama kuliah, penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penulis juga dipercaya menjadi Koordinator Asisten Mata Kuliah Dasar Umum Pendidikan Agama Kristen di Institut Pertanian Bogor dan asisten praktikum mata kuliah Teknologi Emulsi di Departemen Teknologi Industri Pertanian pada tahun 2005.
RIA MARIA. F34102004. Kajian Dynamic Core Adsorption Test pada Proses Oil Well Stimulation Menggunakan Surfaktan Metil Ester Sulfonat Berbasis Minyak Sawit. Di bawah bimbingan : Erliza Hambali. 2006. RINGKASAN Setelah recovery primer dan sekunder pada reservoir minyak bumi, terdapat sisa minyak yang terperangkap oleh tekanan kapiler karena adanya tegangan antarmuka antara minyak dan air. Efisiensi pendesakan minyak tersebut dapat ditingkatkan dengan menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan air. Surfaktan adalah agen aktif permukaan yang memiliki dua gugus molekul yaitu lipofob (suka air) dan hidrofob (suka minyak). Sebagai agen aktif permukaan, surfaktan dapat menurunkan nilai tegangan antarmuka antara minyak dan air karena ketika surfaktan dilarutkan dalam air dan bersinggungan dengan minyak, surfaktan tidak hanya larut dalam air, tetapi juga larut dalam minyak. Penelitian ini mengkaji total recovery minyak dan core adsorpsi dari injeksi stimulation agent berbasis surfaktan metil ester sulfonat. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah memproduksi metil ester sulfonat dengan mereaksikan metil ester dan sodium bisulfit, dengan rasio mol metil ester dan sodium bisulfit 1 : 1,5 pada suhu reaksi 1000C dan lama reaksi 4,5 jam. Kondisi proses sulfonasi merujuk kepada Pore (1976) dan berdasarkan formula terbaik Hidayati (2006). Selanjutnya metil ester sulfonat dicampur dengan minyak tanah, cocoamida dan mutual solvent yang kemudian disebut agen stimulasi. Komposisi stimulation agent ini berdasarkan formula terbaik Nugroho (2005) dan Saputro (2005) yang terdiri atas 70% metil ester sulfonat, 20% minyak tanah, 7% cocoamida dan 3% mutual solvent. Pada konsentrasi larutan stimulation agent 0,5% dan 1% dengan tingkat salinitas 10.000 ppm, 20.000 ppm, dan 30.000 ppm, tegangan antarmuka minyakair dapat diturunkan sampai 10-4 dyne/cm. Hal ini berarti bahwa agen stimulasi dapat meningkatkan perolehan minyak dari dalam batuan. Jadi langkah selanjutnya dari penelitian ini adalah uji pendesakan minyak dan adsorpsi surfaktan. Pada injeksi surfaktan dengan konsentrasi 0,5%, total minyak yang dapat diperoleh berkisar antara 43,33% sampai 65% dan pada konsentrasi surfaktan 1%, nilai recovery yang didapat berkisar antara 43,33% sampai 74,12%. Perbedaan nilai recovery ini disebabkan karakteristik batuan reservoar yang berbeda seperti porositas dan permeabilitas serta kandungan mineral clays dalam batuan.
RIA MARIA. F34102004. Study of Dynamic Core Adsorption Test in Oil Well Stimulation Process Use Methyl Ester Sulphonate Surfactant Based Palm Oil. Supervised by : Erliza Hambali. 2006. SUMMARY In oil reservoir, after primary recovery and secondary recovery, residual oil is trapped by the capillary pressure developed by interfacial tension between oil and water in the pore space. The important point is that residual oil is trapped in the pore space by interfacial tension. To improve displacement efficiency is to reduce interfacial tension between oil and water. Surfactant is surface active agent chemical that has two types of properties; lypofob (like water) and hydrofob (like oil). As surface active agent, surfactant can reduce the value of interfacial tension between oil and water because when surfactant is dissolved into water and contacts with oil, surfactant is not only soluble in the water, but also it is soluble in the oil. This research study about the total oil recovery and core adsorption from stimulation agent injection which base on surfactant methyl ester sulphonate. The first step in this research is production of methyl ester sulphonate by reacting methyl ester and sodium bisulphite, with molar ratio of methyl ester and sodium bisulphite is 1 : 1.5 at 1000C during 4.5 hours. Condition of sulphonation process refer to Pore (1976) and based on the best formula of Hidayati (2006). Then methyl ester sulphonate is mixed with kerosene, cocoamida and mutual solvent, which named stimulation agent. The composition of this stimulation agent is based on the best formula of Nugroho (2005) and Saputro (2005). It consist of 70% methyl ester sulphonate, 20% kerosene, 7% Cocoamida and 3% mutual solvent. In 0.5 % and 1 % concentration of stimulation agent solution and salinity levels 10000 ppm, 20000 ppm and 30000 ppm interfacial tension oil-water is reduce until 10-4 dyne/cm. This means that the stimulation agent can recovered all oil in the core. So the next step in this research is test the oil displacement and surfactant adsorption from this stimulation agent. At 0.5% surfactant concentration injection, recovery value of residual oil is between 43.33% until 65% and at 1% surfactant concentration injection, recovery value of residual oil is between 43.33% until 74.12%. The difference of recovery value is caused by the difference of core characteristic such as porosity and permeability and core lithology.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus, atas berkat, hikmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Kajian Dynamic Core Adsorption Test pada Proses Oil Well Stimulation Menggunakan Surfaktan Metil Ester Sulfonat Berbasis Minyak Sawit”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi Industri Pertanian. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang penulis laksanakan di Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, SBRC (Surfactant Bioenergy and Research Center) IPB, Laboratorium Enhanced Oil Recovery, PPPTMGB “Lemigas” Jakarta, dan Laboratorium Enhanced Oil Recovery, Departemen Teknik Perminyakan, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung yang dilakukan mulai bulan Februari sampai Juli 2006. Selama pelaksanaan dan penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapatkan bantuan baik secara moral maupun material dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Segenap keluarga (Papa, Mama, Cici, Keke, Kiki, Ii, Ema, dan Fanny) yang telah banyak memberikan dukungan baik materiil maupun rohani.
2.
Dr. Ir. Erliza Hambali, MSi, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini.
3.
Dr. Ir. Endang Warsiki, MT dan Prayoga Suryadarma, STp,MT, selaku dosen penguji dalam ujian skripsi yang telah memberikan kritik dan saran.
4.
Ir. Agus Pratomo, MT., atas kesempatan, bimbingan, dan bantuan minyak mentah yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian.
5.
Prof. Dr. Ir. Pudji Permadi, atas bimbingan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian di Institut Teknologi Bandung.
6.
Ir. Edward M.L. Tobing, MSc., atas bimbingan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian di PPPTMGB “Lemigas”.
7.
PPPTMGB “Lemigas” yang telah memberikan core dan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian terutama kepada Bapak Tunggal, Bapak Ego,
Bapak Sugiharjo, Ibu Suwartiningsih, Ibu Letty dan Bapak Mahmud serta laboran lemigas lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 8.
Ibu Rini, Pak Gunawan, Pak Sugiardi, Ibu Sri, Ibu Ega beserta staf dan laboran lainnya yang telah memberikan bantuan pada saat penelitian.
9.
Pak Yosafat, Joni, Pak Idi, Bang David, Dwi dan Saras atas bantuannya kepada penulis selama penelitian di ITB.
10. Mba Siti, Mas Tulus, Mas Anas, Mas Slamet dan Ibu Sri Hidayati atas bantuannya kepada penulis pada saat penelitian. 11. Rekan-rekan TIN angkatan 39 atas kerjasamanya selama ini terutama untuk Kristin dan Paulina.
Penulis menyadari bahwa draft skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat diharapkan bagi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR.................................................................................... i DAFTAR ISI................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ......................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vii I.
PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG ............................................................ 1
B.
TUJUAN ................................................................................. 3
C.
RUANG LINGKUP ................................................................ 3
D.
MANFAAT ............................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA A.
ENHANCED OIL RECOVERY ................................................ 4
B.
OIL WELL STIMULATION AGENT ....................................... 7
C.
CORE ADSORPTION ............................................................. 8
D.
SURFAKTAN.......................................................................... 9
E.
METIL ESTER SULFONAT ................................................. 10
III. METODOLOGI PENELITIAN A.
B.
C.
BAHAN DAN ALAT ............................................................. 13 1.
Bahan .............................................................................. 13
2.
Alat .................................................................................. 13
METODE PENELITIAN ........................................................ 13 1.
Persiapan Bahan .............................................................. 14
2.
Analisa IFT .................................................................... 15
3.
Analisa Dynamic Core Adsorption ................................. 15
RANCANGAN PERCOBAAN .............................................. 15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
KARAKTERISASI MES DARI MINYAK SAWIT .............. 17
B.
KINERJA OIL WELL STIMULATION AGENT DALAM MENURUNKAN TEGANGAN ANTAR MUKA ................. 17
C.
DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION .................................................... 20
V.
1.
Persiapan Batuan ............................................................. 21
2.
Porositas dan Permeabilitas ............................................. 22
3.
Penjenuhan Batuan Oleh Air Formasi ............................. 23
4.
Penginjeksian Fluida ....................................................... 24
5.
Adsorpsi Surfaktan .......................................................... 33
KESIMPULAN DAN SARAN A.
KESIMPULAN ....................................................................... 38
B.
SARAN ................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 39 LAMPIRAN ................................................................................................... 43
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Perkembangan luas dan volume produksi minyak sawit di Indonesia ....................................................................................... 2
Tabel 2.
Ukuran dan volume dari batuan reservoar yang digunakan .......... 22
Tabel 3.
Porositas dan permeabilitas batuan reservoar ............................... 23
Tabel 4.
Jumlah minyak dan saturasi minyak yang terdapat dalam batuan reservoar ............................................................................ 26
Tabel 5.
Perolehan minyak dan saturasi minyak yang terdapat dalam batuan reservoar setelah injeksi air ................................................ 28
Tabel 6.
Perlakuan konsentrasi surfaktan yang diinjeksikan pada berbagai tingkat salinitas ............................................................... 30
Tabel 7.
Perolehan minyak dan saturasi minyak yang terdapat dalam batuan reservoar setelah injeksi surfaktan ..................................... 30
Tabel 8.
Panjang gelombang dan absorbansi larutan surfaktan setelah injeksi ............................................................................................ 36
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Diagram penelitian yang dilakukan .............................................. 13 Gambar 2. Oil well stimulation agent ............................................................. 18 Gambar 3. Grafik nilai IFT ............................................................................. 19 Gambar 4. Reaksi pembentukan di-salt .......................................................... 20 Gambar 5. Batuan reservoar ............................................................................ 21 Gambar 6. Proses penjenuhan batuan reservoar oleh air formasi ................... 24 Gambar 7. Skema penginjeksian fluida .......................................................... 25 Gambar 8. Mekanisme injeksi surfaktan secara mikro ................................... 32 Gambar 9. Histogram total recovery dari proses stimulasi kimia ................... 33
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Pohon industri kelapa sawit ....................................................... 44 Lampiran 2. Diagram alir pembuatan metil ester sulfonat ............................. 45 Lampiran 3. Perhitungan mol reaktan metil ester dan natrium bisulfit............ 46 Lampiran 4. Prosedur uji tegangan antarmuka (IFT) dengan metode spinning drop tensiometer ......................................................... 49 Lampiran 5. Prosedur uji dynamic core adsorption ....................................... 51 Lampiran 6. Hasil analisis tegangan antarmuka pada berbagai salinitas dan konsentrasi stimulation agent...................................................... 56 Lampiran 7. Kriteria pemilihan kandidat sumur minyak untuk stimulasi surfaktan...................................................................................... 57 Lampiran 8. Spektrum absorbansi konsentrasi surfaktan setelah injeksi surfaktan ..................................................................................... 58 42
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Minyak bumi sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, mengalami penurunan produktivitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, produksi minyak Indonesia sebesar 1,13 juta barel per hari dan menurun pada tahun 2005 menjadi 1,06 juta barel per hari (Anonim, 2005). Salah satu penyebab penurunan produktivitas minyak bumi adalah adanya minyak yang terperangkap oleh tekanan kapiler setelah proses recovery tahap primer dan sekunder. Surfaktan sebagai agen aktif permukaan, mampu menurunkan tegangan antar muka minyak – air sehingga minyak yang terperangkap dalam reservoar dapat didesak keluar. Sampai saat ini surfaktan yang digunakan pada umumnya masih berbasis petrokimia. Sehubungan dengan meningkatnya harga minyak bumi maka akan terjadi kenaikan harga surfaktan petroleum sehingga perlu dicari bahan baku surfaktan yang lebih murah dan bersifat dapat diperbaharui. Penurunan tegangan antar muka minyak – air oleh surfaktan petroleum sulfonat berkisar antara 10-2 – 10-3 dyne/cm (Tim Lemigas, 1990). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nugroho (2005); Saputro (2005); Pamungkas (2005), surfaktan metil ester sulfonat berbasis minyak sawit sebagai bahan aktif dalam pembuatan oil well stimulation agent mampu menurunkan tegangan antar muka minyak – air sampai dengan 10-3 dyne/cm. Hal ini menunjukkan bahwa surfaktan metil ester sulfonat berbasis minyak sawit dapat menggantikan surfaktan petroleum sulfonat. Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar kedua di dunia, dan diperkirakan akan menjadi yang terbesar pada tahun 2020. Perkembangan luas dan volume produksi minyak sawit di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Potensi yang sangat besar ini merupakan keunggulan komparatif bagi Indonesia dalam pengembangan produk-produk surfaktan yang sampai saat ini
masih dipenuhi oleh produk-produk impor.
Pengembangan surfaktan berbasis kelapa sawit akan meningkatkan nilai
tambah bagi produk minyak sawit itu sendiri. Surfaktan MES merupakan salah satu hasil pengembangan surfaktan berbasis minyak sawit. Tabel 1. Perkembangan luas dan volume produksi minyak sawit di Indonesia Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005*
Luas Areal (ha) Perkebunan Perkebunan Besar Rakyat 1.146.300 738.900 1.739.100 813.200 1.878.100 890.500 2.397.800 1.038.300 2.548.900 1.093.700 2.704.500 1.144.400 3.143.127 1.254.847 3.557.180 1.502.820 4.491.500 1.897.500 5.340.000 3.660.000
Total 1.885.200 2.552.300 2.768.600 3.436.100 3.642.600 3.848.900 4.397.973 5.060.000 6.389.000 9.000.000
Produksi minyak sawit (ton) 4.898.658 5.385.458 5.640.154 5.949.183 6.217.425 6.945.166 8.069.462 9.600.000 11.500.000 13.600.000
Sumber : Badan Pusat Statistik (2005) * proyeksi
Kondisi batuan yang heterogen karena adanya mineral clays (montmorilonite, dan kaolinite) serta perbedaan permeabilitas dan porositas, merupakan kondisi yang harus diperhatikan dalam usaha peningkatan perolehan minyak. Efektifitas surfaktan dalam meningkatkan perolehan minyak dipengaruhi oleh sifat fisik batuan dan fluida serta adsorpsi larutan surfaktan oleh batuan. Oleh karena itu, maka perlu di kaji lebih mendalam aplikasi MES pada core adsorpsi untuk melihat efektivitas surfaktan MES terhadap peningkatan perolehan minyak bumi. Selama ini telah dilakukan penelitian terhadap efektifitas penginjeksian surfaktan untuk meningkatkan perolehan minyak seperti yang dilakukan : Tim Lemigas (1989), meneliti penambahan 2,3 % cosurfactant ke dalam core pada salinitas 21.000 ppm menghasilkan recovery sebesar 78,58 % untuk core A dan core B 66,45 % dari sisa minyak sesudah proses injeksi air. Kumulatif recovery secara keseluruhan dari percobaan ini adalah 90,92 % dan 88,23 %; Affiati (1992), menggunakan 2,3 % surfaktan Leonox A dan 2,3 % cosurfactant Isobutanol mampu meningkatkan perolehan minyak secara kumulatif sampai dengan 99,40 %; Makmur dan Nuraini (2005), menginjeksikan 2,3 % surfaktan petroleum sulfonat ke dalam core dan
memperoleh total recovery sebanyak 61,30 %. Surfaktan yang digunakan pada ketiga penelitian di atas merupakan surfaktan petroleum sulfonat berbasis minyak bumi sehingga seiring dengan peningkatan harga minyak bumi maka biaya recovery nya pun semakin mahal. Salah satu alternatif untuk mengurangi biaya proses recovery adalah dengan menggunakan surfaktan yang berbahan dasar minyak nabati yaitu metil ester sulfonat.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji besarnya adsorpsi surfaktan pada core serta pengaruhnya terhadap peningkatan perolehan minyak (recovery).
C. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian ini adalah : 1. Persiapan bahan baku (pembuatan MES dan oil well stimulation agent). 2. Pengujian nilai tegangan antar muka (IFT) pada 0,5 % dan 1 % larutan stimulation agent terhadap salinitas 10.000, 20.000 dan 30.000 ppm. 3. Karakterisasi core yang digunakan. 4. Analisa dynamic core adsorption test.
D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan di bidang surfaktan terutama surfaktan berbasis minyak sawit dan pemanfaatannya sebagai oil well stimulation agent.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan atas tiga fase, yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Pada fase primer diterapkan proses alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir dan proses stimulasi menggunakan metode asam (acidizing), metode fracturing, dan metode sumur horizontal (horizontal wells). Pada fase sekunder diterapkan proses immiscible gas flood dan water flood. Metode pada fase tersier sering juga disebut sebagai metode enhanced oil recovery (EOR). Metode EOR didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian material yang dapat menyebabkan perubahan dalam reservoir seperti komposisi minyak, suhu, rasio mobilitas, dan karakteristik interaksi batuan-fluida. Metode EOR dapat dikelompokkan berdasarkan material yang diinjeksikan ke reservoir yaitu metode panas (air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon, campuran gas alam), dan lainnya (busa, mikrobial). Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai recovery tersier, namun bukan berarti metode EOR ini diterapkan setelah fase sekunder. Beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fase primer atau bahkan saat proses pencarian minyak (discovery)(Gomaa,1997). Menurut Lake (1987), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merecovery minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain. Beberapa reservoir secara alami bersifat padat dan memperlihatkan permeabilitas yang rendah yang diakibatkan oleh kandungan endapan Lumpur dan lempung yang tinggi serta ukuran butiran yang kecil. Pada beberapa kasus, permeabilitas yang rendah terjadi pada daerah sekitar sumur bor yang mengalami penyumbatan selama proses pengeboran (drilling) berlangsung.
Sumur yang mengalami kerusakan akibat pengeboran dan ditambah dengan reservoir yang padat akibat kandungan mineralnya memperlihatkan laju produksi yang rendah sehingga sering menjadi tidak ekonomis. Kondisi ini tetap akan ada walaupun tekanan reservoir tinggi. Pada kondisi ini pemberian tekanan menggunakan injeksi fluida tidak akan memberikan keuntungan. Injeksi tekanan akan menjadi terlalu tinggi akibat permeabilitas reservoir yang rendah, walaupun demikian produktifitas sumur minyak tersebut dapat ditingkatkan melalui metode stimulasi (Economides dan Nolte, 1989). Kerusakan formasi sumur minyak bumi telah menyebabkan menurunnya produktivitas sumur minyak. Kerusakan formasi disebabkan oleh menurunnya permeabilitas sumur akibat berubahnya sifat kebasahan batuan (wettability) menjadi oil wet, tekanan kapiler yang tinggi, water blocking, particle blocking, dan emulsion blocking (Allen, 1982; Mulyadi, 2000). Wettability merupakan ukuran yang menjelaskan apakah permukaan dari batuan memiliki kemampuan lebih mudah terlapisi oleh film minyak atau oleh film air. Surfaktan dapat menyusup ke daerah antarmuka antar cairan dengan batuan dan dapat merubah kutub dari permukaan batuan, sehingga akan merubah wettability dari batuan tersebut (Ashayer et al., 2000). Sifat batuan yang cenderung basah air disebut water wet sedangkan sifat batuan yang cenderung basah minyak disebut oil wet. Pada kondisi water wet batuan diselubungi oleh air, sedangkan pada kondisi oil wet batuan cenderung diselubungi oleh minyak. Pada kondisi oil wet, keberadaan minyak yang menyelubungi batuan menyebabkan meningkatnya ketebalan dari lapisan film pada batuan reservoir sehingga menyebabkan berkurangnya laju alir fluida minyak dan minyak terperangkap di dalam batuan. Kondisi oil wet dapat mengurangi permeabilitas sumur hingga 15-85 % atau dengan rata-rata penurunan 40% (Mulyadi, 2002). Tekanan kapiler adalah tekanan yang timbul karena adanya perbedaan tegangan antar muka dari dua fluida yang immiscible (tidak saling melarut) pada daerah penyempitan pori-pori batuan. Tingginya tekanan kapiler berbanding terbalik dengan jari-jari kapilernya dan berbanding lurus dengan tegangan antar muka. Tekanan kapiler yang tinggi akan menghambat aliran
fluida minyak sehingga minyak akan tertinggal di dalam pori-pori (Allen dan Roberts, 1993). Water blocking merupakan kondisi dimana pori-pori reservoir tertutup oleh air formasi dalam jumlah yang banyak. Water blocking terjadi karena air yang mobile akibat adanya gaya kapilaritas air. Sifat air ini menyebabkan air akan memby-passed minyak dan menyebabkan minyak tertinggal di dalam pori-pori sebagai by-passed oil. Permasalahan ini dapat pulih dengan sendirinya namun membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahuntahun. Water blocking dapat diatasi dengan menginjeksikan 1-3 % surfaktan ke dalam formasi (Allen dan Roberts, 1993; Mulyadi, 2002). Particle blocking atau penyumbatan pori-pori oleh partikel-partikel tertentu (lempung halus dan lumpur) merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada reservoir. Particle blocking dapat diatasi dengan melarutkan partikel-partikel penyumbat dengan menggunakan surfaktan jenis tertentu. Menurut Allen dan Roberts (1993), surfaktan anionik dapat melarutkan lempung pada larutan asam. Umumnya asam yang digunakan untuk menstimulasi sumur minyak adalah asam klorida (HCl) dengan kadar keasaman berkisar antara 5-15%. Melalui penginjeksian asam ke dalam formasi reservoir yang padat dan mengalami kerusakan, diharapkan asam tersebut akan bereaksi dengan beberapa mineral dan menciptakan pori-pori dan saluran pori yang lebih besar sehingga permeabilitas meningkat (McCune, 1976). Pada sumur minyak sering terdapat emulsi yang mengganggu proses produksi minyak bumi atau sering disebut emulsion block. Menurut Mulyadi (2000), emulsion block merupakan emulsi kental minyak dan air terbentuk pada lubang reservoir yang dapat mengurangi produksi minyak bumi. Emulsion block dapat dihancurkan dengan cara menyuntikkan oil well stimulation agent ke dalam reservoir. Oil well stimulation agent mampu menghancurkan emulsi dengan cara menghilangkan kestabilan emulsi (Allen dan Roberts, 1993).
B. OIL WELL STIMULATION AGENT Stimulasi sumur minyak bumi (Oil Well Stimulation) merupakan salah satu metode EOR yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak bumi. Metode stimulasi yang dapat dilakukan adalah dengan menginjeksikan bahan kimia kedalam reservoir yang dikenal dengan stimulasi kimia (Chemical Stimulations). Stimulasi kimia didefinisikan sebagai upaya perangsangan sumur minyak bumi dengan melibatkan penginjeksian bahan kimia agar dapat memproduksi minyak seoptimal mungkin dari cadangan yang diperkirakan cukup potensial. Metode stimulasi kimia yang umum digunakan di industri minyak bumi adalah metode stimulasi asam (acidizing). Disamping metode stimulasi asam, untuk saat ini juga dikembangkan stimulasi
dengan
menggunakan
surfaktan
sebagai
bahan
injeksi
(Gomaa, 1997). Oil well stimulation agent atau bahan penstimulasi sumur minyak bumi adalah sebuah bahan kimia yang digunakan untuk proses stimulasi minyak (oil well stimulation) pada reservoir di sumur minyak. Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan proses oil well stimulation agent, adalah usaha untuk menurunkan tegangan antar muka (interfacial tension) dengan terbentuknya mikroemulsi fasa tengah atau minimal emulsi fasa atas. Mikroemulsi yang terbentuk akan menghasilkan tegangan antar muka yang rendah. Terbentuknya mikroemulsi fasa tengah memerlukan konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi. Hal-hal yang mempengaruhi pembentukan mikroemulsi adalah kadar salinitas, berkurangnya panjang rantai hidrokarbon, meningkatnya perbandingan brine/minyak, meningkatnya perbandingan larutan surfaktan/minyak, suhu, konsentrasi surfaktan, dan meningkatnya berat molekul surfaktan (Tim Lemigas, 2002). Tegangan antar muka akan membuat permukaan sekecil mungkin yaitu dengan membentuk gelembung yang berdiri sendiri sehingga kontinuitas fasa minyak menjadi terbatas dan ikatan antar gelembung dengan air semakin kecil dengan demikian tegangan antar muka minyak air menjadi berkurang. Molekul surfaktan juga berinteraksi dengan permukaan batuan yang akan menyebabkan tegangan adhesi antara gelembung minyak dengan batuan
reservoir berkurang. Gaya kapiler pada daerah penyempitan pori-pori juga berkurang sehingga sisa minyak yang terperangkap dalam pori-pori batuan dapat didesak dan diproduksikan.
C. CORE ADSORPTION Menurut McCabe et al. (1999), adsorpsi adalah proses pemisahan di mana komponen tertentu dari suatu fase fluida berpindah ke permukaan zat padat
yang
menyerap.
Biasanya
partikel-partikel
kecil
zat-penyerap
ditempatkan di dalam suatu hamparan tetap, dan fluida lalu dialirkan melalui hamparan itu sampai zat padat itu mendekati jenuh dan pemisahan yang dikehendaki tidak dapat lagi berlangsung. Aliran itu lalu dipindahkan ke hamparan kedua sampai adsorben jenuh tadi dapat diganti atau diregenerasi. Proses lain yang biasa dilaksanakan ialah pertukaran ion (ion exchange). Bernasconi et al.(1995), menjelaskan bahwa adsorpsi adalah suatu proses pemisahan bahan dari campuran gas atau cair, bahan yang harus dipisahkan ditarik oleh permukaan sorben padat dan diikat oleh gaya-gaya yang bekerja pada permukaan tersebut. Adsorpsi surfaktan pada batuan reservoar merupakan parameter yang harus dipertimbangkan dalam injeksi surfaktan. Hal ini merupakan masalah yang serius yang akan mengakibatkan berkurangnya slug surfaktan pada saat injeksi surfaktan berlangsung (Hargowiseso, 2004). Berdasarkan Wesson dan Harwell (2000), adsorpsi surfaktan oleh batuan reservoar dapat dikurangi dengan menginjeksikan surfaktan yang memiliki muatan yang sama dengan muatan batuan. Menurut Makmur dan Sudibjo (2000), mekanisme terjadinya adsorpsi adalah sebagai berikut : surfaktan yang dilarutkan dalam air yang merupakan mikroemulsi, diinjeksikan dalam reservoir akan mempengaruhi tegangan antar permukaan minyak dan air, disamping itu surfaktan juga bersinggungan secara langsung dengan permukaan butiran-butiran batuannya. Waktu terjadi persinggungan ini molekul-molekul surfaktan (RSO3H) akan ditarik oleh molekul-molekul batuan reservoir dan diendapkan disekitar permukaan batuannya, proses ini terus berlangsung hingga mencapai titik kejenuhan.
Semakin pekat konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam proses injeksi maka semakin besar pula adsorpsi yang diakibatkannya.
D. SURFAKTAN Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktifitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam air dan minyak. Molekul surfaktan terdiri dari dua bagian yaitu gugus yang larut dalam minyak (hidrofob) dan gugus yang larut dalam air (hidrofil). Surfaktan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam minyak dikelompokkan dalam surfaktan oil soluble, sedangkan yang cenderung larut dalam air dikelompokkan sebagai surfaktan water soluble (Allen dan Roberts, 1993). Menurut Piispanen (2002), bagian polar surfaktan dipengaruhi oleh gaya elektrostatik (ikatan hidrogen, ikatan ionik, interaksi dipolar) sehingga dapat berikatan dengan molekul seperti air dan senyawa ion. Gugus non-polar surfaktan berikatan dengan struktur non-polar dengan dukungan gaya van der walls. Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara meluas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985). Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surfaceactive). Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik umumnya disebabkan karena keberadaan garam amonium, seperti quaternery ammonium salt (QUAT). Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada pH, pada pH rendah akan bermuatan negatif dan pada pH tinggi bermuatan positif (Matheson, 1996).
Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan yang penggunaannya terbesar (dalam jumlah) adalah surfaktan anionik. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa grup sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES). Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol sistem emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o)). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Menurut Swern (1979), kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik). Pada konsentrasi yang memadai, surfaktan yang awalnya merupakan elektrolit biasa, mulai membentuk asosiasi antar molekul/micelles. Keadaan ini terjadi pada konsentrasi yang disebut dengan Critical Micelle Concentration (CMC). Pada kondisi ini terjadi proses pembentukan emulsi yang menghasilkan analogi kelarutan/solubilization non equilibrium dan memberikan IFT yang rendah. Kelarutan ini tidak akan terjadi jika konsentrasi surfaktan dibawah kondisi CMC, sedangkan jika konsentrasi surfaktan ditingkatkan setelah terjadi titik CMC maka akan terbentuk agregat dan tidak menurunkan nilai IFT lebih rendah lagi (Mitsui, 1997).
E. METIL ESTER SULFONAT Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) adalah sebagai berikut (Watkins, 2001):
Menurut Watkins (2001) jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan metil ester sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, atau lemak sapi (tallow). Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik.
Apabila
rantai
hidrofobik
terlalu
panjang,
akan
terjadi
ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon. Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C14, C16 dan C18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah. Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1993), pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), asam sulfamat (NH2SO3H), dan asam klorosulfonat (ClSO3H). Untuk menghasilkan kualitas
produk
terbaik,
beberapa
perlakuan
penting
yang
harus
dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, pH dan suhu netralisasi (Foster, 1996).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan untuk uji kinerja surfaktan MES adalah air, crude oil, NaCl, mutual solvent (buthyl celosolve/EGMBE), Dietanolamida, minyak tanah dan core, sedangkan bahan-bahan untuk produksi MES meliputi metil ester dari minyak kelapa sawit, NaHSO3, metanol, dan NaOH. 2. Alat Peralatan untuk analisis kinerja surfaktan MES meliputi spinning drop
interfacial
tensiometer,
ultraporosimeter,
ruska
universal
permeameter gas, pompa tekanan tinggi, tabung reaksi, gelas ukur, gelas piala, timbangan analitik, dan magnetic stirrer. Peralatan yang digunakan untuk produksi MES meliputi reaktor sulfonasi skala laboratorium, separator, tangki pemurnian, fume hood, termometer, timbangan analitik, sentrifuge, peralatan gelas, evaporator, pipet dan seperangkat alat untuk uji adsorpsi.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dimulai dengan melakukan persiapan bahan yang meliputi pembuatan MES dan oil well stimulation agent dilanjutkan dengan analisa. Analisa yang dilakukan adalah IFT, dengan menggunakan spinning drop interfacial tensiometer dan dynamic core adsorption. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 1.
Diagram penelitian yang dilakukan Mulai
Persiapan Bahan
Analisa IFT
Analisa Dynamic Core Adsorption
Akhir Gambar 1. Diagram penelitian yang dilakukan
1.
Persiapan Bahan a. Pembuatan surfaktan MES Pembuatan surfaktan MES dilakukan melalui proses sulfonasi metil ester dengan reaktan NaHSO3, Kondisi proses yang digunakan pada tahap pembuatan MES merujuk pada Pore (1993) dan berdasarkan formula terbaik Hidayati (2005). Rasio mol metil ester dan reaktan NaHSO3 adalah 1 : 1,5, suhu reaksi 1000C dan lama reaksi 4,5 jam. Proses pemurnian dilakukan dengan menambahkan metanol sebanyak 30%(v/v) pada suhu 500C selama 1,5 jam dan dilanjutkan dengan proses netralisasi menggunakan NaOH 20%. Diagram alir proses produksi MES dapat dilihat pada Lampiran 2. b. Pembuatan oil well stimulation agent Oil well stimulation agent dibuat berdasarkan formula terbaik Nugroho (2005) dan Saputro (2005) yaitu : 70% bahan aktif (MES), 20% pelarut (minyak tanah), dan 10% bahan aditif (7% dietanolamida dan 3% mutual solvent).
2.
Analisa Interfacial Tension (IFT) Stimulation Agent yang dihasilkan kemudian dianalisis terhadap nilai tegangan antarmuka pada konsentrasi 0,5% dan 1 %(b/b) dengan berbagai tingkat salinitas yaitu 10.000 ppm, 20.000 ppm, dan 30.000 ppm menggunakan alat spinning drop tensiometer. Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 4.
3.
Analisa Dynamic Core Adsorption Analisa dynamic core adsorption pada konsentrasi surfaktan 0,5% dan 1% dengan berbagai tingkat salinitas yaitu 10.000 ppm, 20.000 ppm, dan 30.000 ppm. Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 5.
C. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu : a. Faktor Konsentrasi Surfaktan (C) dengan 2 taraf : 0,5 % dan 1 % b. Faktor Salinitas (S) dengan 3 taraf : 10.000, 20.000, dan 30.000 ppm
Model matematika yang digunakan : Yijk = P + Ci + Sj + (CS)ij + İk(ij)
Keterangan : Yijk
= Respon atau nilai pengamatan pada ulangan ke-k, konsentrasi ke-i dan salinitas ke-j
P
= Efek umum rata-rata yang sebenarnya
Ci
= Efek yang sebenarnya pada faktor C, taraf ke-i (i = 1, 2)
Sj
= Efek yang sebenarnya pada faktor S, taraf ke-j (j = 1, 2, 3)
(CS)ij
= Pengaruh interaksi faktor C ke-i dan faktor S ke-j
Ǽk(ij)
= Error atau kekeliruan
Penggunaan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh dari tingkat konsentrasi surfaktan dan salinitas juga interaksi antara kedua faktor tersebut
terhadap nilai tegangan antar muka antara minyak dan air. Selanjutnya dengan uji lanjut Duncan akan diketahui tingkat beda nyata dari nilai tegangan antar muka yang dihasilkan pada masing-masing tingkat salinitas.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI MES DARI MINYAK INTI SAWIT Metil ester sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik. Metil ester sulfonat baik digunakan untuk stimulasi pada batuan reservoar berjenis sandstone karena muatan gugus hidrofiliknya yang negatif. Pada penelitian ini, surfaktan metil ester sulfonat yang dihasilkan mampu menurunkan nilai tegangan antarmuka minyak-air dari nilai normal IFT minyak-air 30 dyne/cm (Tim Lemigas, 2002) menjadi 1,34 x 10-2 dyne/cm, atau sekitar 99,96%. Hal ini menunjukkan kinerja MES dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak-air sangat baik.
B. KARAKTERISASI OIL WELL STIMULATION AGENT Tegangan antar muka antara minyak-air merupakan salah satu parameter penting untuk menunjukkan kinerja oil well stimulation agent. Tegangan antar muka merupakan nilai yang menunjukkan seberapa besar kekuatan tarik antar molekul yang berbeda pada dua cairan yang polaritasnya berbeda. Oil well stimulation agent yang digunakan pada penelitian ini merupakan formulasi terbaik dari Nugroho (2005) dan Saputro (2005) terdiri atas 70% bahan aktif (MES), 20% pelarut (minyak tanah), dan 10% bahan aditif (7% dietanolamida dan 3% mutual solvent). Pada formula yang sama, Saputro (2005) melakukan pengujian kinerja stimulation agent pada konsentrasi 3% dan berbagai tingkat salinitas, nilai tegangan antar muka minyak-air berkisar antara 1,44 x 10-3 dyne/cm hingga 2,34 x 10-3 dyne/cm. Sebagai lanjutan dari penelitian Saputro (2005), maka pada penelitian ini dilakukan pengukuran nilai tegangan antar muka dengan konsentrasi stimulation agent yang lebih rendah yaitu 0,5% dan 1% untuk mengurangi biaya proses stimulasi. Pengukuran
tegangan
antar
muka
minyak-air
dilakukan
dengan
menggunakan alat spinning drop interfacial tensiometer dengan kemampuan mengukur IFT sampai 10-4 dyne/cm. Pada Gambar 2 disajikan data rata-rata nilai tegangan antar muka dari oil well stimulation agent yang diuji pada konsentrasi 0,5% dan 1% (b/b) terhadap berbagai tingkat salinitas.
0.0009 0.0008
IFT (dyne/cm)
0.0007 0.0006 0.0005
Surfaktan 1% Surfaktan 0,5%
0.0004 0.0003 0.0002 0.0001 0 10000
20000 30000 Salinitas (ppm)
Gambar 2. Grafik nilai IFT
Hasil pengukuran tegangan antarmuka dari berbagai tingkat salinitas pada konsentrasi 0,5% larutan oil well stimulation agent menunjukkan kisaran antara 2,45 x 10-4 dyne/cm hingga 8,38 x 10-4 dyne/cm sedangkan pada konsentrasi 1 % larutan oil well stimulation agent menunjukkan kisaran antara 2,23 x 10-4 dyne/cm hingga 8,14 x 10-4 dyne/cm (Lampiran 6.a). Berdasarkan analisa keragaman terhadap nilai tegangan antarmuka pada tingkat kepercayaan 99% menunjukkan bahwa tingkat salinitas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap perubahan nilai tegangan antarmuka sedangkan faktor konsentrasi surfaktan tidak berpengaruh nyata demikian juga interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata (Lampiran 6.b). Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa nilai tegangan antarmuka antara salinitas 10.000 ppm, 20.000 ppm, dan 30.000 ppm memberikan nilai yang sangat berbeda nyata (Lampiran 6.c).
C. KARAKTERISASI BATUAN Kemampuan batuan reservoar untuk mengadsorpsi fluida dipengaruhi oleh porositas dan permeabilitas dari batuan tersebut. Semakin besar porositas dan
permeabilitasnya maka semakin banyak pula fluida yang dapat diadsorpsi ke dalamnya (Monicard, 1980). 1. Porositas Porositas merupakan suatu ukuran perbandingan antara volume poripori batuan terhadap volume batuan keseluruhan yang dinyatakan dalam persen (Monicard, 1980). Batuan yang memiliki porositas besar mampu mengadsorpsi fluida lebih banyak dan lebih cepat karena distribusi pori dalam batuan semakin besar. Hasil pengukuran porositas dari batuan reservoar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Porositas batuan reservoar No. Sampel ID 1 2 3 4 5 6
65B 2I E1 40B 30B 19B
Porositas (%) 18,11 19,74 21,28 21,37 23,99 35,35
Penelitian ini menggunakan 6 batuan reservoar dengan kisaran porositas antara 18,11% sampai dengan 35,35%. Berdasarkan hasil pengukuran porositas, urutan sampel dari porositas terkecil sampai terbesar adalah 65B, 2I, E1, 40B, 30B, dan 19B. Batuan reservoar 65B memiliki porositas terkecil daripada batuan sampel lainnya yaitu sebesar 18,11%, hal ini berarti bahwa distribusi pori dalam batuan reservoar lebih sedikit dibandingkan sampel lainnya sehingga batuan ini memiliki kemampuan mengadsorpsi fluida lebih rendah daripada sampel lainnya. Batuan reservoar 19B memiliki porositas terbesar daripada batuan sampel lainnya yaitu sebesar 35,35%, hal ini berarti bahwa distribusi pori dalam batuan reservoar lebih banyak dibandingkan sampel lainnya sehingga batuan ini memiliki kemampuan mengadsorpsi fluida lebih tinggi daripada sampel lainnya. 2. Permeabilitas Permeabilitas merupakan kemampuan dari suatu batuan untuk melewatkan suatu fluida melalui pori-pori batuan. Pada penelitian ini,
permeabilitas yang diukur adalah permeabilitas absolut yaitu permeabilitas dari suatu batuan dengan hanya ada satu macam fluida yang mengalir, yaitu udara. Semakin besar nilai permeabilitas batuan, semakin mudah fluida mengalir melalui pori-pori batuan reservoar. Permeabilitas suatu batuan dinyatakan dalam satuan darcy. Darcy adalah kemudahan untuk mengalirkan 1 cc fluida per detik dengan viskositas 1 cp, pada tekanan 1 atm melalui area 1 cm2 sejauh 1 cm (Monicard, 1980). Hasil pengukuran permeabilitas dari batuan reservoar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Permeabilitas batuan reservoar No. Sampel ID 1 2 3 4 5 6
65B 40B 2I 30B E1 19B
Permeabilitas (milidarcy) 172,53 301,32 314,05 316,43 1950,80 2665,11
Permeabilitas batuan reservoar dari urutan terkecil sampai terbesar adalah 65B, 40B, 2I, 30B, E1, dan 19B. Batuan reservoar yang memiliki permeabilitas terendah adalah 65B yaitu sebesar 172,53 milidarcy, sedangkan batuan reservoar 19B memiliki permeabilitas tertinggi yaitu sebesar 2665,11 milidarcy. Hal ini berarti bahwa kemampuan batuan reservoar 19B untuk melewatkan fluida melalui pori-pori batuannya lebih mudah dan cepat daripada batuan reservoar lainnya yaitu E1, 30B, 2I, 40B, dan 65B.
D. PENDESAKAN MINYAK OLEH AIR Air formasi terdapat pada batuan sedimen sebelum dilakukan pengeboran di reservoar. Air formasi merupakan salah satu unsur yang penting di dalam reservoar, karena tanpa air formasi minyak bumi tidak dapat terkumpul (Wilhite, 1986). Pada penelitian ini air formasi yang digunakan adalah air formasi buatan yang hanya mengandung garam NaCl. Salinitas dari air formasi buatan adalah 10.000 ppm, 20.000 ppm, dan 30.000 ppm karena menurut Sugiardjo (2002)
dan Pithapurwala et al. (1986), air formasi sumur minyak di Indonesia memiliki kadar garam bervariasi antara 2000 ppm sampai dengan 30.000 ppm NaCl (b/b). Salinitas adalah besarnya kandungan garam-garam yang terdapat di dalam air formasi. Pada praktek di lapangan, injeksi air dilakukan dengan tujuan untuk mendesak minyak agar dapat diproduksi, karena pada tahap ini minyak sudah tidak mampu lagi untuk mengalir kepermukaan disebabkan oleh melemahnya kemampuan reservoar untuk berproduksi secara alamiah. Air yang diinjeksikan ke dalam batuan reservoar adalah air yang memiliki tingkat salinitas sama dari air yang menjenuhi batuan reservoar pada awal penelitian ini. Penginjeksian kembali air formasi ke dalam batuan reservoar mampu mendesak minyak yang terperangkap di dalam pori-pori batuan karena adanya kompatibilitas antara air yang diinjeksikan dan air yang terperangkap dalam pori-pori batuan sehingga minyak sebagai fase yang tidak larut air dapat terdorong keluar akibat adanya air sebagai fase pendorong yang diadsorpsi oleh pori-pori batuan reservoar. Akan tetapi, pada proses injeksi air ini perlu diwaspadai kemungkinan adanya interaksi antara air injeksi dan batuan reservoar yang dapat merusak formasi batuan reservoar itu (Sugihardjo, 2004). Berikut ini adalah data perolehan minyak setelah injeksi air, disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Perolehan minyak yang terdapat dalam batuan reservoar setelah injeksi air No
Sampel ID
1 2 3 4 5 6
30B 40B 65B E1 2I 19B
Salinitas (ppm)
10.000 20.000 30.000
Volume Minyak Awal (ml)
Perolehan Minyak Setelah Injeksi Air (ml)
Recovery Setelah Injeksi Air (%)
1,6 1,6 1,0 2,8 2,5 2,0
0,5 0,35 0,4 0,6 0,5 0,8
31,25 21,88 40 21,43 20 40
Nilai recovery dari proses penginjeksian air ini selanjutnya digunakan sebagai nilai standar untuk mengukur kinerja surfaktan dalam recovery minyak. Recovery minyak dari penginjeksian air digunakan sebagai blanko
yang mewakili konsentrasi surfaktan 0%. Histogram dari nilai recovery proses penginjeksian air ke dalam batuan disajikan pada Gambar 3. 40 Nilai recovery (%)
35 30 25 20
Sampel 1 Sampel 2
15 10 5 0 10000
20000
30000
Salinitas (ppm)
Gambar 3. Recovery minyak setelah injeksi air Dari data di atas, akibat keheterogenan karakteristik batuan maka setiap batuan memiliki nilai recovery yang berbeda setelah injeksi air. Perbedaan porositas dan permeabilitas dari setiap batuan reservoar merupakan salah satu penyebab perbedaan nilai recovery. Oleh karena itu, maka pada penelitian ini, nilai recovery hasil injeksi air dipakai sebagai blanko.
E. PENDESAKAN MINYAK OLEH SURFAKTAN Menurut Sudibyo (1992), metoda EOR dengan injeksi surfaktan termasuk proses kimiawi dimana larutan surfaktan sebagai zat aktif permukaan mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan antar permukaan minyak-air ketingkat harga yang sangat rendah. Akibatnya apabila proses ini diterapkan pada media berpori, gaya kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori akan berkurang sehingga sisa minyak yang terperangkap pada pori-pori batuan akan lebih mudah didesak serta dapat diproduksi kembali. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pendesakan surfaktan antara lain: konsentrasi surfaktan, salinitas, jenis surfaktan, adsorpsi batuan dan lithologi batuan (Sudibyo, 1992; Tim Lemigas 1989; Affiati, 1992;
Makmur dan Nuraini, 2005). Pada penelitian ini aspek yang dikaji terbatas pada pengaruh konsentrasi surfaktan, salinitas, dan adsorpsi batuan.
1. Konsentrasi surfaktan Menurut Makmur dan Nuraini (2005), dengan naiknya konsentrasi surfaktan dalam larutan, harga tegangan antarmuka (IFT) dari campuran minyak-air-surfaktan menurun sampai pada suatu konsentrasi tertentu. Larutan surfaktan dengan konsentrasi surfaktan optimum menghasilkan harga tegangan antarmuka minyak-air-surfaktan terendah. Setelah itu harga tegangan antarmuka akan naik lagi dengan bertambahnya konsentrasi
larutan
surfaktan.
Pada
Tabel
5
ditampilkan
hasil
penginjeksian surfaktan dengan 2 taraf konsentrasi yaitu 0,5% dan 1% pada salinitas 10.000, 20.000, dan 30.000 ppm.
Tabel 5. Nilai recovery injeksi surfaktan
No.
1 2 3 4 5 6
Sampel ID
30B 40B 65B E1 2I 19B
Salinitas (ppm)
Konsentrasi Surfaktan (%)
Recovery Setelah Injeksi Air (%)
Recovery Setelah Injeksi Surfaktan (%)
Nilai Recovery Injeksi Surfaktan (%)
0,5 1 0,5 1 0,5 1
31,25 21,88 40,00 21,43 20,00 40,00
90,91 96,00 83,33 90,91 85,00 83,33
59,66 74,12 43,33 69,48 65,00 43,33
10.000 20.000 30.000
Pada histogram nilai recovery dapat kita lihat bahwa pada salinitas 10.000 ppm dengan konsentrasi surfaktan 0,5% dan 1%, efisiensi recovery dari surfaktan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada salinitas 10.000 ppm, peningkatan konsentrasi surfaktan mampu meningkatkan nilai recovery minyak yang terdapat di dalam batuan dari 59,66% pada konsentrasi surfaktan 0,5% menjadi 74,12% pada konsentrasi surfaktan 1%. Pada salinitas
20.000
ppm
peningkatan
konsentrasi
surfaktan
juga
meningkatkan nilai recovery dari 43,33% pada konsentrasi surfaktan 0,5% menjadi 69,48% pada konsentrasi surfaktan 1%. Akan tetapi, pada salinitas 30.000 ppm terjadi penurunan nilai recovery dari 65% pada konsentrasi surfaktan 0,5% menjadi 43,33% pada konsentrasi surfaktan
1%. Hal ini berarti bahwa pada salinitas 10.000 dan 20.000 ppm, peningkatan konsentrasi surfaktan dari 0,5% menjadi 1% masih berpengaruh dalam menurunkan tegangan antar muka antara minyak-air. Oleh karena itu, nilai recovery yang diperoleh juga meningkat. Semakin banyak konsentrasi surfaktan yang diinjeksikan ke dalam batuan maka semakin banyak pula surfaktan yang terdapat di dalam pori-pori batuan sehingga terjadi penurunan tegangan antar muka antara minyak-air dan nilai recovery minyak meningkat. Kecenderungan lain diperoleh surfaktan diinjeksikan pada salinitas air 30.000 ppm. Pada salinitas ini, terjadi penurunan nilai recovery setelah konsentrasi surfaktan ditingkatkan dari 0,5% menjadi 1%. Di sisi lain dari Gambar 2 terlihat peningkatan konsentrasi surfaktan menyebabkan penurunan tegangan antar muka yang cukup signifikan. Hal ini diduga pada salinitas 30.000 ppm terjadi adsorpsi surfaktan oleh pori-pori batuan maka kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka minyakair menjadi tidak efektif sehingga minyak yang seharusnya bisa didesak
Nilai recovery (%)
keluar melewati pori-pori tidak dapat didesak secara sempurna.
80 70 60 50 40 30 20 10 0 10000
20000
30000
Salinitas (ppm)
Konsentrasi 0,5% Konsentrasi 1%
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi surfaktan pada berbagai salinitas terhadap nilai recovery 2. Salinitas Salinitas air formasi mempengaruhi stabilitas dan efektivitas dari larutan surfaktan yang digunakan terutama terhadap kemampuannya dalam
menurunkan tegangan antar muka minyak-air. Hal ini disebabkan karena ikatan kimia yang membentuk NaCl merupakan ikatan ion atau ikatan polar sehingga garam ini mudah terurai didalam air membentuk ion Na+ dan Cl- sedangkan ikatan kimia surfaktan demikian juga didalam air akan terurai menjadi RSO3- dan ion H+. Pada konsentrasi tertentu larutan surfaktan yang mengandung garam NaCl akan berubah menjadi HCl dan RSO3Na dimana kedua senyawa ini tidak mempunyai sifat aktif permukaan (Sudibyo, 1992). Pengaruh tingkat salinitas terhadap nilai recovery dapat kita lihat pada Gambar 5.
80 Nilai recovery (%)
70 60 50 40
Salinitas 10.000 ppm Salinitas 20.000 ppm Salinitas 30.000 ppm
30 20 10 0 0,5
1
Konsentrasi surfaktan (%) Gambar 5. Pengaruh salinitas pada berbagai konsentrasi surfaktan terhadap nilai recovery Pada konsentrasi surfaktan 0,5%, nilai recovery pada salinitas 10.000 ppm sebesar 59,66% dan menurun sekitar 16,33% menjadi 43,33% pada salinitas 20.000 ppm dan meningkat pada salinitas 30.000 ppm sebesar 65%. Berdasarkan Sudibyo (1992), semakin tinggi kadar salinitas dari batuan reservoar maka tegangan antar muka antara minyak dan air semakin tinggi karena surfaktan tidak dapat bekerja dengan baik dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak-air. Pada salinitas air yang tinggi, semakin banyak surfaktan yang membentuk RSO3Na dan HCl, sehingga diperlukan surfaktan yang cukup untuk menurunkan tegangan
antar muka. Pada salinitas 30.000 ppm dan konsentrasi surfaktan 0,5%, nilai recovery minyak meningkat lebih tinggi dari salinitas 10.000 ppm. Hal ini dimungkinkan oleh adanya kandungan mineral clays pada batuan sampel yang terinjeksi air dengan salinitas 10.000 dan 20.000 ppm. Mineral clays tersebut mampu mengadsorpsi surfaktan sehingga kinerja surfaktan dalam mendesak minyak menjadi tidak optimal. Pada injeksi surfaktan berkonsentrasi 1%, nilai recovery menurun karena peningkatan salinitas air. Penurunan terjadi karena semakin tinggi salinitas maka semakin tinggi kandungan garam NaCl dalam larutan. Hal ini membuat surfaktan membentuk senyawa baru yaitu RSO3Na dan HCl seperti yang telah dijelaskan di atas.
3. Adsorpsi batuan Fluida yang diinjeksikan masuk ke dalam batuan pori-pori batuan. Proses ini berlangsung dalam keadaan vakum dengan dibantu tekanan overburden agar fluida yang diinjeksikan hanya mengalir melalui celah antara pori-pori batuan. Pada proses penginjeksian fluida ini terjadi proses adsorpsi oleh pori-pori batuan. Wesson dan Harwell (2000) menjelaskan bahwa adsorpsi surfaktan pada media berpori terjadi akibat adanya pertukaran ion antara molekul padatan dari pori batuan dengan ion yang terkandung di dalam surfaktan. Untuk surfaktan non ionik, adsorpsi terjadi karena adanya ikatan hidrofobik dari surfaktan terhadap batuan yang mengandung hidrokarbon. Stimulation agent yang diinjeksikan ke dalam batuan reservoar mengandung 70% surfaktan anionik (MES). Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang bermuatan negatif pada bagian hidrofiliknya. Di dalam larutan, molekul-molekul surfaktan akan terurai menjadi kation bebas dan monomer yang bermuatan negatif. Air formasi yang terkandung dalam batuan adalah air salinitas yang mengandung senyawa NaCl. NaCl terurai dalam air menjadi ion-ion Na+ dan Cl-. Batuan reservoar yang digunakan pada penelitian ini adalah batuan berjenis batu pasir yang memiliki muatan negatif. Batuan reservoar yang bermuatan negatif dapat mengikat ion Na+
dari air formasi. Pada saat injeksi surfaktan ke dalam batuan reservoar, surfaktan dilarutkan dalam air formasi, pada saat itu surfaktan MES dengan gugus molekul RSO3H akan terurai dalam air menjadi ion-ion RSO3- dan H+, selanjutnya terjadi pertukaran ion antara ion negatif pada batuan dengan ion RSO3- dari surfaktan akibat terjadinya gaya tarikmenarik (elektrostatik) antara ion positif batuan (Na+) dengan ion negatif surfaktan (RSO3-). Pada saat terjadi adsorpsi maka kualitas surfaktan akan menurun dan terjadi proses pemisahan atau fraksinasi yang menyebabkan penurunan konsentrasi surfaktan. Adsorpsi surfaktan dihitung dengan melakukan analisis kandungan sulfonat awal dan akhir menggunakan spektrometer UV-visible. Larutan surfaktan awal dengan kandungan konsentrasi 0,5 % dan 1 % memiliki kekeruhan yang tinggi sehingga tingkat absorbansi dari kandungan sulfonat awal sebagai standar kalibrasi untuk menghitung secara kuantitatif konsentrasi sulfonat akhir tidak dapat dilakukan. Pengukuran kadar sulfonat akhir hanya dapat dilakukan secara kualitatif yaitu pengukuran tingkat absorbansi. Data panjang gelombang dan absorbansi dari surfaktan setelah injeksi, dapat dilihat pada Tabel 6 sedangkan spektrum absorbansinya dapat dilihat pada Lampiran 8.
Tabel 6. Panjang gelombang dan absorbansi larutan surfaktan setelah injeksi Salinitas (ppm) 10.000 20.000 30.000
Konsentrasi Surfaktan (%) 0,5 % 1% 0,5 % 1% 0,5 % 1%
Panjang Gelombang (nm) 202,5 204,0 205,0 206,5 207,5 205,0
Absorbansi (Au) 1,55 2,46 2,90 2,39 2,10 1,90
Absorbansi yang tertinggi terdapat pada konsentrasi oil well stimulation agent 0,5 % dengan tingkat salinitas 20.000 ppm yaitu sebesar 2,90 Au dengan panjang gelombang 204,0 nm, sedangkan absorbansi terendah terdapat pada konsentrasi oil well stimulation agent 0,5 % dengan tingkat salinitas 10.000 ppm yaitu sebesar 1,55 Au dengan
panjang gelombang 202,5 nm. Semakin rendah tingkat absorbansi maka semakin rendah pula kandungan sulfonat yang terdapat di dalam larutan itu, sedangkan bila tingkat absorbansi suatu larutan tinggi maka semakin besar pula kandungan sulfonat yang terdapat dalam larutan itu. Pada penelitian ini, dapat kita lihat bahwa absorbansi pada salinitas 20.000 dan 30.000 ppm semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan yang diinjeksikan. Berdasarkan Makmur dan Sudibjo (2000), semakin pekat konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam proses injeksi maka semakin besar pula adsorpsi yang diakibatkannya, akan tetapi pada penelitian ini khususnya pada salinitas 10.000 ppm absorbansi pada konsentrasi surfaktan 1 % lebih tinggi daripada konsentrasi surfaktan 0,5 %. Hal ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh adanya perbedaan kandungan mineral clay batuan reservoar yang digunakan. Faktor penyebab penurunan atau peningkatan absorbansi terhadap gugus sulfonat akibat pengaruh perbedaan kandungan mineral clay tidak dapat didiskusikan pada penelitian ini karena pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian karakteristik batuan reservoar yang digunakan. Perbedaan konsentrasi surfaktan yang diadsorpsi oleh batuan reservoar tergantung dari kandungan mineralmineral clay tertentu seperti Ca-montmorillonite dan Kaolinite dalam batuan yang dapat mengadsorpsi surfaktan dan mengurangi efektifitas kerja surfaktan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Faktor salinitas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap efektifitas oil well stimulation agent dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak-air. Nilai tegangan antarmuka minyak-air akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
salinitas.
Nilai
tegangan
antarmuka
minyak-air
pada
konsentrasi oil well stimulation agent 0,5 % dan 1 % pada larutan salinitas berkisar pada nilai 10-4 dyne/cm sehingga minyak dapat direcovery secara sempurna. Nilai recovery yang tertinggi dari injeksi surfaktan didapatkan pada konsentrasi surfaktan 1% dengan salinitas 10.000 ppm sebesar 74,12% sedangkan nilai recovery terendah didapatkan pada konsentrasi surfaktan 0,5% dengan salinitas 20.000 ppm dan konsentrasi surfaktan 1% dengan salinitas 30.000 ppm yaitu sebesar 43,33%.
B. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi oil well stimulation agent yang paling optimal sehingga biaya produksi recovery dapat berkurang dan perlu dilakukan kajian mengenai perbedaan porositas dan permeabilitas terhadap efisiensi surfaktan dalam meningkatkan perolehan minyak. Penggunaan Fourier Transform Infra Red (FTIR) untuk mengukur konsentrasi surfaktan sebelum dan sesudah injeksi. Selain itu diperlukan pengujian dynamic adsorption test dengan memperhatikan kondisi lingkungan reservoir yang sebenarnya yaitu faktor kesadahan, suhu, dan penambahan asam sehingga dapat diterapkan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Adim, H. 2001. Review of EOR Methods and Chemical Selections. Lemigas Scientific Contributions No. 1. Affiaty, E. 1992. Pengaruh Kualitatif dan Kuantitatif Co-surfactant terhadap Peningkatan Perolehan Minyak. Jurusan Teknik Perminyakan, fakultas Teknologi Mineral, Universitas Tri Sakti, Jakarta. Allen, T.O. dan A.P. Roberts. 1993. Production Operations 2 : Well Completions, Workover, and Stimulation. Oil & Gas Consultants International (OGCI) Inc., Tulsa, Oklahoma, USA. Anonim. 2005. Produktivitas Minyak Indonesia. (www.kompas.com) Amyx, J.W, D.M.Jr. Bass, dan R.L. Whiting,. 1960. Petroleum Reservoir Engineering. McGraw-Hill Book Co.Inc., New York City. Ashayer, R., C.A.Grattoni dan P.F.Luckham. 2000. Wettability Changes During Surfactant Flooding. Imperial College. London, UK. Bernasconi, G., H. Gerster, H. Hauser, H. Stauble, dan E. Schneiter. 1995. Teknologi Kimia 2. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Bernardini, E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Interstampa, Rome. BPS. 2005. Statistik Indonesia 1996-2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. CLI (Core Laboratories Instruments). 2000. Ultrapore 300 Helium Pycnometer System Operating Manuals. Core Lab Units, Texas. CLI (Core Laboratories Instruments). 2001. Ultraperm 400 Operating Manuals. Core Lab Units, Texas. Economides, M.J. dan K.G. Nolte. 1989. Reservoir Stimulation. Schlumberger Education Services. Di dalam : Gomaa, E.E. 2003. Enhanced Oil Recovery. Paper for Kinanti Training and Conference Organizer (KTCO), Yogyakarta, Tanggal 19 – 22 Agustus 2003. Foster, N.C. 1996. Sulfonation and Sulfation Process. In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois. Gardener, J.E. dan M.E. Hayes. 1983. Spinning Drop Interfacial Tensiometer Instruction Manual. Department of Chemistry. The University of Texas, Austin.
Gomaa, E.E. 1997. Enhanced Oil Recovery: Modern Management Aproach. Paper for IATMI-IWPL/MIGAS Conference, Surakarta, 28 Juli-1 Agustus 1997. Hargowiseso, D. 2004. Pengaruh Konsentrasi Surfaktan terhadap Antar Muka Fluida Reservoar Lapangan “X” pada Kondisi Tekanan Tinggi. Jurnal LEMIGAS. Jakarta. Hidayati, S. 2005. Proses Pembuatan Metil Ester Sulfonat dari Palm Kernel Oil Menggunakan Natrium Bisulfit. Jurnal Teknologi Industri Pertanian IPB, Bogor. Krumrine PH, Falcone Jr JS, Campbell T.C. 1982. Surfactant Flooding : The Effect of Alkaline Additives on IFT, Surfactant Adsorption, and Recovery efficiency. SPE Journal 197:503-513. Lake, L.W. 1989. Enhanced Oil Recovery. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. MacArthur, B.W., B. Brooks, W.B. Sheats dan N.C. Foster. 1998. Meeting the Challenge of Methylester Sulfonation. The Chemithon Corporation. Makmur, T. dan R. Sudibjo. 2000. Penggunaan Surfaktan dan Cosurfactant terhadap Peningkatan Perolehan Minyak. PPPTMGB Lemigas, Jakarta. Makmur, T. dan Nuraini. 2005. Peningkatan Perolehan Minyak dengan Metode Injeksi Surfaktan Petroleum Sulfonat Secara Skala Laboratorium. Lembaran Publikasi Lemigas Vol. 39 No. 1, September 2005 : 49-52. Matheson, K.L. 1996. Formulation of Household and Industrial Detergents. In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Spitz, L. (Ed). AOCS Press, Champaign, Illinois. McCabe, W.L., J.C. Smith, P. Harriott. 1999. Operasi Teknik Kimia Jilid 2. Penerbit Erlangga, Jakarta. McCune, C.C. 1976. Matrix Acidizing Model and Its Application to Different Sandstones. Research Report, COFRC, Chevron Corp., Oktober. Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. Elsevier Science B.V. Amsterdam, Netherlands. Mulyadi. 2000. Surfaktan for Oil Well Stimulation Agent. PT. Mulino Ciptanusa, Jakarta. Monicard, R.P. 1980. Properties of Reservoir Rocks : Core Analysis. Gulf Publishing Company, Texas.
Nugroho, A. 2005. Kajian Pengaruh Komposisi Surfaktan Nonionik dan Mutual Solvent Terhadap Kinerja Oil Well Stimulation Agent Berbasis Surfaktan Metil Ester Sulfonat. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Piispanen, P. 2002. Synthesis and Characterization of Surfactants Based on Natural Products. Kungl Tekniska Högskolan, Stockholm. Pithapurwala, Y.K, A.K Sharma, D.O Shah. 1986. Effect of Salinity and Alcohol Partitioning On Phase Behavior And Oil displacement Efficiency In Surfactant-Polymer Flooding. JAOCS 63:804-813. Pore, J. 1993. Oil and Fat Manual. Intersept Ltd., Andover, UK, Paris, New York. Rieger, M.M. 1985. Surfaktan in Cosmetics. Surfaktan Science Series, Marcell Dekker Inc., New York. Saputro, W.E. 2005. Kajian Komposisi Surfaktan MES dan Pelarut Terhadap Kinerja Oil Well Stimulation Agent. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudibyo, R. 1992. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Pendesakan Surfaktan. Laporan Penelitian Lemigas, Jakarta. Sugihardjo. 2002. Formulasi Optimum Campuran Surfaktan, Air dan Minyak. Lembaran Publikasi Lemigas 36:37-42. Sugihardjo. 2004. Kompatibilitas Fluida Injeksi dan Formasi Batuan pada Reservoir dengan Injeksi Air. Lembaran Publikasi Lemigas Vol. 38 No. 3, Desember 2004 : 3-8. Suryani, A., I. Saillah, dan E. Hambali. 2003. Teknologi Emulsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Swern, D. 1979. Barley’s Industrial Oil and Fat Product. Volume ke-1. Edisi ke-4. John Willey and Sons Inc. Tim Lemigas. 1989. Pengaruh Injeksi Cosurfaktan terhadap Peningkatan Perolehan Minyak Bumi. Laporan Penelitian Lemigas, Jakarta. Tim Lemigas. 2002. Studi Awal Implementasi Injeksi Kimia di Formasi Talang Akar Struktur Talang Akar Pendopo Lapangan Prabumulih: Penentuan Parameter Batuan, Fluida Reservoar dan Rancangan Fluida Injeksi. Laporan Penelitian Lemigas, Jakarta. Watkins, C. 2001. All Eyes are on Texas. INFORM 12 : 1152-1159
Wesson, L.L., Harwell, J.H. 2000. Surfactants : Fundamentals and Applications in the petroleum Industry. Cambridge university Press, Cambridge. Wilhite, G.P. 1986. Waterflooding, Second Printing, Society of petroleum Engineers Kansas.
Lampiran 1. Pohon Industri Kelapa Sawit
Lampiran 2. Diagram Alir Pembuatan Metil Ester Sulfonat Metil Ester PKO
NaHSO3
Sulfonasi Rasio mol Metil Ester : NaHSO3 = 1 : 1,5 1000C , 4,5 jam
Sentrifugasi 1500 rpm, 30 menit
Metanol
Purifikasi Rasio volume MES : Metanol = 70 % : 30 % 500C , 1,5 jam
Penguapan Metanol 70 – 80 0C , 10 menit
NaOH 20 %
NaHSO3
Netralisasi pH 7 , 550C , 30 menit
Metanol
Lampiran 3. Perhitungan Mol Reaktan Metil Ester dan Natrium Bisulfit Spesifikasi Metil Ester 28 (Lauric Stearic Acid Methyl Ester) PO.No.SC-ME28-B-2005-0001 (SO 20050232) Spec. No. 5280-01 Analisa
Nilai
Bilangan asam (mg KOH/g) Bilangan penyabunan (mg KOH/g) Bilangan iod (g/100g) Densitas (g/ml) Kadar air (%) Lovibond colour (5 ¼ ” cell) red Distribusi asam lemak (%) C10 & lower C12 C14 C16 C18 C20 & higher
0,36 245 17,2 0,86 0,06 0,1 0,4 55,8 16,8 8 18,9 0,1
Sumber : PT. Ecogreen Oleochemicals (2005)
Jika diketahui komposisi asam lemak dalam metil ester berbasis PKO adalah (% b/b) : C10 = 0,4 % C12 = 55,8 % C14 = 16,8 % C16 = 8,0 % C18 = 18,9 % C20 = 0,1 % ---------------100 % Massa Mol = --------BM Basis : 100 g metil ester Massa C10 = 0,4 % x 100 g = 0,4 g Massa C12 = 55,8 % x 100 g = 55,8 g
Massa C14 = 16,8 % x 100 g = 16,8 g Massa C16 = 8,0 % x 100 g = 8,0 g Massa C18 = 18,9 % x 100 g = 18,9 g Massa C20 = 0,1 % x 100 g = 0,1 g BM C10 = 172 g/mol BM C12 = 200 g/mol BM C14 = 228 g/mol BM C16 = 256 g/mol BM C18 = 284 g/mol BM C20 = 312 g/mol Mol C10 = (0,4 g) / (172 g/mol) = 0,0023 Mol C12 = (55,8 g) / (200 g/mol) = 0,2790 Mol C14 = (16,8 g) / (228 g/mol) = 0,0737 Mol C16 = (8,0 g) / (256 g/mol) = 0,0313 Mol C18 = (18,9 g) / (284 g/mol) = 0,0665 Mol C20 = (0,1 g) / (312 g/mol) = 0,0003 --------Total mol = 0,4531 Berat molekul Metil Ester rata-rata = massa : total mol = 100 g / 0,4531 mol = 220,7 g/mol
Diketahui perbandingan mol Metil Ester dengan reaktan (NaHSO3) yang digunakan dalam proses sulfonasi adalah Metil Ester : NaHSO3 = 1 : 1,5 Jika metil ester yang digunakan sebagai bahan baku adalah sebanyak 1 liter, maka molnya adalah : Mol Metil Ester = Massa / BM = (ȡ x volume) / BM = (0,86 g/ml x 1000 ml) / (220,7 g/mol) = 3,90 mol
Perbandingan mol Metil Ester : NaHSO3 = 1 : 1,5 Mol NaHSO3 = 1,5 x 3,9 = 5,85 mol BM NaHSO3 = 104 g/mol Massa NaHSO3 = 5,85 mol x 104 g/mol = 608,4 g Jadi setiap 1 L Metil Ester yang digunakan, dibutuhkan reaktan NaHSO3 sebanyak 608,4 g.
Lampiran 4. Prosedur Uji Tegangan Antarmuka (IFT) dengan Metode Spinning Drop Tensiometer (Gardener dan Hayes, 1983)
Penentuan nilai tegangan antarmuka (IFT) dengan menggunakan metode spinning drop tensiometer dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu tiga variabel penentu nilai IFT. Tiga variabel tersebut terdiri dari densitas minyak dan larutan surfaktan, indeks bias larutan surfaktan, dan lebar droplet crude oil. Nilai densitas sampel (larutan surfaktan) dicari dengan menggunakan piknometer, sedangkan nilai indeks bias dicari dengan menggunakan refraktometer. Adapun untuk lebar droplet crude oil dicari dengan menggunakan alat Spinning Drop Tensiometer Apparatus. Nilai dari IFT ditentukan dengan menggunakan persamaan 3. 1.
Pengukuran densitas Mula-mula piknometer kosong beserta tutupnya ditimbang dalam kondisi kering. Kemudian piknometer tersebut diisi dengan sampel (larutan surfaktan) hingga penuh. Setelah itu piknometer ditutup dan sisa sampel yang tumpah diusap hingga kering. Piknometer yang telah terisi penuh dengan sampel ditimbang kembali. Nilai densitas sampel dicari dengan menggunakan persamaan 1.
2.
Pengukuran indeks bias Prisma pada refraktometer dibersihkan dengan jalan diusap terlebih dahulu, kemudian di atasnya diteteskan larutan surfaktan yang akan diukur indeks biasnya. Prisma dirapatkan dan slidenya diatur sehingga diperoleh garis batas yang jelas antara terang dan gelap. Saklar diatur sampai garis batas berimpit dengan titik potong dari dua garis bersilangan. Nilai indeks bias kemudian dibaca.
3.
Pengukuran lebar droplet Metode pengukuran lebar droplet dengan alat Spinning Drop Tensiometer diawali dengan pengesetan suhu alat hingga mencapai 400C (kondisi percobaan) dan periode pada 10,10 msec/rev. Setelah kondisi
tersebut stabil, ke dalam glass tube diisikan larutan surfaktan dengan konsentrasi yang telah dibuat. Ke dalam glass tube tidak boleh ada gelembung udara. Setelah itu glass tube dimasukkan ke dalam alat spinning drop dengan permukaan glass tube menghadap ke arah luar. Langkah selanjutnya adalah pengaktifan alat dengan menekan tombol power dan tombol lamp untuk menghidupkan lampu ketika dilakukan pembacaan terhadap lebar droplet. Ketika lebar droplet terlihat stabil, pembacaan nilai lebar drop dalam tabung dapat dilakukan dengan memutar drum hingga kan didapat nilai batas atas dan batas bawah. Pembacaan ini diulangi sampai didapatkan nilai yang konstan lebar droplet. Bila pembacaan kurang jelas, fokus lensa dapat diatur. Nilai lebar droplet didapat dengan menggunakan persamaan 2.
U sampel
ab V
D = (40 – x + IFT (dyne / cm)
................................... Persamaan 1 y) x 0,0025
................................... Persamaan 2
10 6 xS 2 xU sampel U crudeoil xd 3 8 xn 3 xP 2
Keterangan : a
= berat piknometer berisi sampel (g)
b
= berat piknometer kosong (g)
V = volume piknometer (ml) S = phi (3,14) Usampel
= densitas sampel (g/ml)
Ucrude oil = densitas crude oil= 0,955 g/ml x
= batas atas droplet (Pm)
y = batas bawah droplet (Pm) 0,0025 = faktor konversi alat d
= lebar droplet (cm)
n
= indeks bias sampel
P = periode (msec/rev)
........... Persamaan 3
Lampiran 5. Prosedur uji dynamic core adsorption (Amyx, J.W, et al.,1960)
1. Uji kandungan sulfonat Uji kandungan sulfonat dilakukan dengan menggunakan spektrometer ultraviolet-visible dengan panjang gelombang dari 190-220. Sampel setelah dilakukan pengenceran tertentu dilarutkan dalam air yang mengandung butanol 6% dan dilakukan pembacaan terhadap absorbansinya.
2. Pengukuran densitas fluida x
Piknometer 10 ml kosong dan kering ditimbang dengan neraca digital.
x
Piknometer diisi dengan fluida yang hendak diukur sampai penuh, tutup rapat.
x
Piknometer berisi fluida tersebut ditimbang dengan neraca digital.
x
Hitung densitas dengan rumus :
U
> berat piknometer fluida berat piknometer @ volume piknometer
3. Pengukuran permeabilitas absolut (CLI, 2001) Permeabilitas absolut merupakan permeabilitas dimana hanya ada satu fasa saja yang mengalir dan mengisi rongga pori. Sementara permeabilitas efektif bila dalam pori terdapat lebih dari satu fasa sehingga permeabilitas terhadap masing-masing fasa ditentukan oleh saturasinya. Pada penelitian ini digunakan peralatan Ruska Universal Permeameter Gas untuk mengukur permeabilitas absolut dimana prosedur kerjanya sebagai berikut:
x
Core yang telah dikeringkan dalam oven (24 jam), kemudian dimasukkan pada rubber stopper yang setelah itu dimasukkan pada core holder sleeve serta dipasangkan pada core holder.
x
Core holder sleeve diletakkan pada core holder pada posisi yang baik.
x
Selector valve diputar pada posisi large.
x
Permeameter dihubungkan dengan kompresor bertekanan melalui gas inlet
connection, dengan pressure regulator masih tertutup.
x
Pressure regulator dibuka perlahan-lahan sehingga pembacaan tekanan (P=0.25 atm), membaca harga/tinggi bola pada flowmeter tube (h).
x
Bila angka yang terbaca pada flowmeter tube kurang dari 20 mm, maka
selector valve harus dipindahkan pada kedudukan medium dan pembacaan tekanan 0,5 atm. Jika dalam posisi ini pembacaan flowmeter tube masih kurang dari 20 mm, maka selector valve harus diubah ke posisi small dengan tekanan 1 atm.
x
Temperatur aliran udara dicatat, pada percobaan kali ini temperatur=260C.
x
Besar viskositas udara (P) pada temperatur 260C dengan menggunakan grafik korelasi antara viskositas udara (P) dengan temperatur (T).
x
Harga laju alir gas (Q) untuk tiap pembacaan tekanan (P) dengan ketinggian bola tertentu (h), dicari dengan menggunakan grafik korelasi antara ketinggian bola (h) dengan laju alir gas (Q).
x
Permeabilitas absolut diperoleh dengan memasukkan data-data di atas ke dalam rumus :
KA
AxQxPxL A
Dimana : KA
= permeabilitas absolut batuan (Darcy)
Q
= laju alir gas (cc/sec)
P
= viskositas (cp)
L
= panjang core (cm)
A
= luas permukaan core (cm2)
4. Pengukuran porositas core (CLI, 2000)
x
Dimensi core (panjang dan diameter) diukur dengan jangka sorong.
x
Core yang telah dikeringkan dalam oven (24 jam), kemudian ditimbang dengan neraca digital.
x
Volume total core (Vcore) dihitung dengan rumus :
A
Sxd 2 4
Vcore
AxL
Dimana :
x
A
= luas permukaan core (cm)
D
= diameter core (cm)
Vcore
= volume total core (cm2)
L
= panjang core (cm)
Core kemudian dijenuhi dengan air dengan menggunakan peralatan liquid
saturation apparatus, lalu core yang telah disaturasi tersebut ditimbang dengan neraca digital.
x
Densitas air diukur dengan piknometer.
x
Effective porosity dihitung dengan rumus :
I Effective
ª WSaturated core WDry core º 100% « »x UWater ¬ ¼ VCore
5. Injeksi fluida a. Pengkondisian core
x
Core yang telah selesai dicetak, kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam sehingga core benar-benar kering tanpa fluida.
x
Kemudian core disaturasi dengan larutan brine pada berbagai konsentrasi sesuai dengan kebutuhan penelitian. Setiap core disaturasi dengan larutan brine dengan satu konsentrasi tertentu pada temperatur ruang yaitu 290C dan tekanan ruang yaitu 69.65 cmHg. Kemudian core disaturasi dengan crude oil.
x
Penjenuhan core dengan larutan brine : 1. Larutan brine dibuat (mis: 10000 ppm) dengan cara melarutkan NaCl sebanyak (10000 mg) dalam 1 liter air murni. 2. Berat kering core ditimbang (Wk). 3. Core dijenuhkan dengan alat Liquid Saturation dengan prosedur sebagai berikut : ż Core dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang kering dan ditutup dengan sumbat karet serta funnel di atasnya, lalu diberi vaseline diantaranya sehingga tidak ada celah yang bocor.
ż Tabung erlenmeyer yang berisi core dihubungkan dengan tabung erlenmeyer berisi kapur yang telah dihubungkan dengan pompa vakum, lalu semua celah ditutup dengan vaseline. Pompa vakum dihidupkan, dilakukan penghampaan sampai benar-benar hampa, hal ini dapat diketahui dengan suara pompa yang lebih halus. ż Funnel yang berisi air dibuka dan air tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer core sampai semua core terendam air, dengan penghampaan terus dengan vakum sampai beberapa saat. ż Pompa vakum dimatikan dan core dibiarkan terjenuhi dengan air sampai tidak terdapat gelembung udara yang keluar dari core, penjenuhan dilakukan sedikitnya 7 jam sehingga diharapkan core benar-benar terjenuhi oleh air. ż Setelah jenuh maka core dikeluarkan dari erlenmeyer dan kemudian dilap, hal ini dimaksudkan agar cairan yang tertimbang hanyalah cairan yang menjenuhi core. 4. Berat core setelah dijenuhkan dengan larutan brine ditimbang dengan timbangan digital (Wj). 5. Berat larutan (Wl) dan volume larutan yang berada dalam core (Vl) dihitung dengan rumus :
Wl Vl
W j Wk Wl
Uw
Dimana : Wj
= berat jenuh core (gr)
Wk
= berat kering core (gr)
Wl
= berat cairan dalam core (gr)
Vl
= volume cairan dalam core (ml)
Uw
= densitas air (gr/ml)
b. Uji adsorpsi surfaktan
x
Peralatan
injeksi,
core
yang
akan
disaturasi
dengan
garam
dipersiapkan.
x
Core dimasukkan pada sleeve core holder dan ditempatkan pada core
holder, semua valve ditutup dengan rapat. x
Pompa vakum dihidupkan serta vacuum valve dibuka, sampai dperkirakan core benar-benar vakum. Hal ini dapat diamati dengan mulai halusnya suara pompa vakum, yang terjadi sekitar 2 menit pemvakuman.
x
Setelah vakum selanjutnya pressure valve yang berisi nitrogen dibuka. Pemberian tekanan dengan gas nitrogen dilakukan sampai tekanan
overburden 100 psi, yang terlihat pada meter overburden pressure. Tekanan overburden diberikan untuk menghindari aliran ke samping core.
x
Setelah memberikan tekanan overburden sebesar 100 psi, kemudian semua valve ditutup dengan rapat.
x
Surfaktan sesuai dengan perlakuan disiapkan pada syringe multi bid sebanyak 10 ml dan ditempatkan pada pada syringe pump serta dihubungkan dengan selang ke inlet core holder.
x
Valve inlet core holder dibuka bersamaan dengan dihidupkannya syringe pump dengan laju konstan yaitu 0.4 ml/menit.
x
Flask berkala ditempatkan pada outlet core holder untuk menampung surfaktan keluar dari core akibat telah jenuhnya core oleh surfaktan.
x
Setelah semua surfaktan habis dan tidak ada lagi surfaktan yang keluar dari core holder maka core sudah jenuh, kemudian vent valve dibuka untuk membuang tekanan yang ada dalam core holder, selanjutnya core dikeluarkan dari core holder dan surfaktan diuji konsentrasi yang tersisa menggunakan UV-Visible.
Lampiran 6. Hasil analisis tegangan antarmuka pada berbagai salinitas dan konsentrasi stimulation agent Lampiran 6.a Rekapitulasi data rata-rata nilai tegangan antarmuka
Konsentrasi Surfaktan (%)
Salinitas (ppm)
0,5
1
10.000
2,45 x 10-4 dyne/cm 2,23 x 10-4 dyne/cm
20.000
5,44 x 10-4 dyne/cm 5,25 x 10-4 dyne/cm
30.000
8,38 x 10-4 dyne/cm 8,14 x 10-4 dyne/cm
Lampiran 6.b Analisis sidik ragam variabel respon tegangan antarmuka
F Tabel 0.05 0.01 5,99 13,7
Sumber Variasi
Db
JK
KT
F Hitung
Konsentrasi Surfaktan (Ai) Salinitas (Bj)
1
1,37 x 10-9
1,37 x 10-9
0,49
2
7,00 x 10-7
3,50 x 10-7
125,69**
5,14
10,9
Interaksi (ABij)
2
1,01 x 10-14
1,01 x 10-14
3,6 x 10-7
5,14
10,9
Error
6
1,67 x 10-8
2,79 x 10-9
Jumlah
12
4,11 x 10-6
Keterangan : *
Berbeda nyata (Į = 0.05)
**
Sangat berbeda nyata (Į = 0.01)
Lampiran 6.c Hasil uji Duncan untuk faktor salinitas
Perlakuan
n
Rata-rata Nilai IFT
Kelompok Duncan
Salinitas 10.000 ppm
4
2,34 x 10-4
A
Salinitas 20.000 ppm
4
5,35 x 10-4
B
Salinitas 30.000 ppm
4
8,26 x 10-4
C
Keterangan : Kelompok duncan dengan huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar taraf perlakuan, sedangkan kelompok duncan dengan huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar taraf perlakuan.
Lampiran 7. Kriteria pemilihan kandidat sumur minyak untuk stimulasi surfaktan (Adim, 2001) Reservoir Parameters Rock Type Net Thickness
Screening Criteria Sandstone is preferable > 10 ft
Depth
< 8000 ft
Temperature
< 1750F
Average Permeability Average Porosity Average Oil Saturation Pressure Oil Gravity Oil Viscosity Oil Composition Salinity Wettability Inject water salinity Clay Content
> 60 milidarcy 20 % 30 – 40 % Not Critical > 25 API < 40 cp Light < 30000 ppm Water wet < 20000 ppm <8%
Lampiran 8. Spektrum absorbansi konsentrasi surfaktan setelah injeksi surfaktan
Lampiran 8.a. Spektrum absorbansi sisa surfaktan pada injeksi 0,5% surfaktan, salinitas 10.000 ppm.
Lampiran 8.b. Spektrum absorbansi sisa surfaktan pada injeksi 0,5% surfaktan, salinitas 20.000 ppm.
Lampiran 8.c. Spektrum absorbansi sisa surfaktan pada injeksi 0,5% surfaktan, salinitas 30.000 ppm.
Lampiran 8.d. Spektrum absorbansi sisa surfaktan pada injeksi 1% surfaktan, salinitas 10.000 ppm.
Lampiran 8.e. Spektrum absorbansi sisa surfaktan pada injeksi 1% surfaktan, salinitas 20.000 ppm.
Lampiran 8.f. Spektrum absorbansi sisa surfaktan pada injeksi 1% surfaktan, salinitas 30.000 ppm.