STUDI PEMBENTUKAN METIL ESTER DENGAN TRANSESTERIFIKASI SEBAGAI EMULSIFIER BERBAHAN BAKU MINYAK KELAPA SAWIT Raka Dewanto, Aulia Dewi Rahmawati Laboratorium Teknik Reaksi Kimia Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 60111 E-mail :
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui suhu operasi, perbandingan reaktan dengan metanol, konsentrasi NaOH yang sesuai pada proses transesterifikasi minyak kelapa sawit. Membuat Metil Ester Sulfonat (MES) sebagai emulsifier dengan bahan dasar Metil Ester minyak kelapa sawit dengan pereaksi H2SO4, serta mengetahui suhu operasi dan konsentrasi H2SO4 yang sesuai pada proses sulfonasi. Dari hasil analisa produk transesterifikasi diketahui bahwa produk transesterifiaksi memiliki %yield Metil Ester terbesar (96.40%) pada suhu 60 °C dengan rasio mol reaktan (mol minyak : mol methanol) 1:15 dan katalis NaOH sebesar 0.3 mol NaOH/kg minyak. Metil Ester Sulfonat yang terbaik (IFT sebesar 16.42 dyne cm) dihasilkan pada proses sulfonasi dengan suhu 90 °C dan konsentarsi H2SO4 9M. MES yang dihasilkan dapat digunakan sebagai emulsifier dikarenakan kemampuannya menuirunkan IFT emulsi minyak-air dari 24.73 dyne/cm (blangko) menjadi 16.42 – 17.13dyne/cm. Dan dapat menjaga kestabilan emulsi minyak-air lebih lama, dimana pada blangko 23.6 detik dan produk antara 48.9 – 52.3 detik. Kata Kunci : Metil ester, metil ester suilfonat, transesterifikasi, sulfonasi, minyak kelapa sawit, emulsifier ABSTRACT The purpose of this research is to determine the operating temperature, the ratio of the reactants with methanol, the appropriate concentration of NaOH in the process of palm oil transesterification. Creating Sulfonat Methyl Ester (MES) as an emulsifier with a basis Methyl Esters of palm oil with H2SO4 reagents, and knowing the operating temperature and the appropriate concentration in the process of sulphonated H2SO4. From the results of analysis of transesterification products is known that the transesterification product has the largest Methyl Ester (96.40%) at 60 °C with a mole ratio of reactants (oil mol: mol methanol) 1:15 and catalysts 0.3 mol NaOH / kg oil. Methyl ester of the best Sulfonat (IFT to 16:42 dyne cm) generated in the process of sulphonated with temperature 90 °C and H2SO4 concentration 9M. MES produced can be used as an emulsifier for its ability to reduce water emulsion of oil IFT of 24.73 dyne/cm (blangko) for 16:42 - 17.13 dyne/cm. And can maintain the stability of oil-water emulsion is longer, which in 23.6 seconds (blangko) and the product between 48,9-52,3 seconds. Keywords: Methyl ester, methyl ester sulfonat, transesterification, sulphonated, palm oil 1. Pendahuluan Pengolahan CPO (crude palm oil) di Indonesia pada saat ini masih terbatas pada minyak goreng dan sebagian kecil pada produk-produk oleokimia seperti asam lemak, fatty alcohol, sabun, metil ester dan stearin. Sedangkan permintaan akan minyak goreng dalam negeri maupun luar negeri sudah jauh
dari mencukupi sehingga terjadi excess supply yang mengancam turunya harga pasar terhadap minyak goreng berbahan baku kelapa sawit. Padahal apabila CPO dirubah menjadi produkproduk oleokimia dapat memberikan nilai tambah yang cukup tinggi dibanding dengan produk pengolahan minyak kelapa sawit lainnya, yaitu berkisar antara 20-600% dari
1
nilai mentahnya, Goenadi et.al. (2005). Produk oleokimia yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi salah satunya adalah emulsifier. Emulsifier merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas permukaan (surface-active agents) dimana dapat menurunkan tegangan permukaan (surface tension) antara liquid-liquid maupun gasliquid. Hal ini menjadi menarik karena emulsifier memiliki keunikan struktur kimia yang mampu menurunkan tegangan permukaan dua senyawa yang berbeda polaritasnya.
menghasilkan ion H+ dan SO42-, karena ion SO42- tidak dapat mensulfonasi metil ester. Proses sulfonasi metil ester terjadi ketika bahan baku mengalami kontak langsung dengan gas sulfonat, dimana reaksi pertama adalah masuknya SO3 ke dalam gugus alkoksy sehingga membentuk SO3-mono-adduct dimana selanjutnya bereaksi kembali dengan SO3 membentuk SO3-di-adduct.
1.1 Transesterifikasi Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkyl ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Reaksi transesterifikasi terjadi karena alcohol pada gliserida mengalami substitusi dengan alcohol monohidrit (methanol) sehingga terbentuk metil ester dan gliserol. Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester ini dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.2 Reaksi Sulfonasi Metil Ester (Tano, 2003)
b. Proses Eliminasi SO3 Proses ini dilakukan dengan penambahan alkohol,. Dilakukan untuk menghilangkan SO3 pada gugus alkoxy sehingga terbentuk α-sulfofatty acid alkyl ester.
Gambar 1.3 Reaksi Metanolisis (Tano, 2003) c. Prose Penetralan Proses penetralan dilakukan untuk menstabilkan produk dan menetralkan pH (diharapkan pH MES mendekati 7).
Gambar 1.1 Reaksi Transesterifikasi dari Trigliserida Menjadi Ester Metil Asam-Asam Lemak 1.2
Proses Pembentukan Metil Ester Sulfonat (MES) a. Proses Sulfonasi Proses sulfonasi merupakan proses dengan menggunakan pereaksi kimia yang mengandung gugus sulfat atau sulfit. Dimana pada proses pembentukan metil ester sulfonat, metil ester dapat direaksikan dengan gas SO3, óleum atau asam sulfat. Dimana bahan-bahan tersebut mengandung gugus sulfata tau sulfit. Dalam hal ini H2SO4 tidak dapat digunakan apabila proses penguraian H2SO4
Gambar 1.4 Reaksi Penetralan dengan NaOH (Tano, 2003) 2. Metodologi Penelitian 2.1 Variabel Penelitian a. Variabel yang digunakan pada proses transesterifikasi: 1. Suhu reaksi : 40; 50; 60; dan 70 °C 2. Rasio reaktan (mol minyak : mol metanol) : 1:4; 1:5; 1:6; 1:7; 1:12; 1:15; 1:18
2
3. Katalis NaOH : 0,1; 0,2; 0,3; 0,4 mol NaOH/kg minyak b. Variabel yang digunakan pada proses Sulfonasi : 1. Suhu reaksi : 85; 90; 95 °C 2. Konsentrasi H2SO4 : 7 M; 9 M; 11 M 2.2 Bahan dan Peralatan Yang Digunakan Bahan yang digunakan antara lain minyak goreng kelapa sawit kemasan, metanol, NaOH, H2SO4, Na2So4 dan aquadest. Dan peralatan yang digunakan adalah sebagai berikut : Keterangan Gambar 1. Stirer 2. Magnetic Stirer 3. Labu Leher Tiga 4. Karet Sumbat 5. Air Pendingin Masuk 6. Kondensor Reflux 7. Air Pendingin Keluar 8. Termometer 9. Waterbath
2.3 Prosedur Penelitian Prosedur pertama adalah menyusun peralatan transesterifikasi seperti pada Gambar 3.1. Kemudian memasukkan minyak sawit ke dalam labu leher tiga. Lalu mengalirkan air pendingin menuju reflux. Menyalakan pemanas dan menjaga sampai suhu yang diinginkan. Selanjutnya mencampur NaOH dengan metanol sesuai dengan variabel. Campuran ini kemudian ditambahkan ke dalam minyak. Campuran tersebut kemudian dipanaskan sampai suhu yang diinginkan dan diaduk dengan stirer selama 30 menit. Setelah itu, produk dimasukkan ke dalam corong pemisah dan didiamkan selama 24 jam. Setelah terbentuk lapisan, bagian bawah dipisahkan dari larutan. Kemudian dilakukan pencucian dengan menggunakan H2SO4, setelah terbentuk layer, kemudian layer pada bagian bawah corong pemisah dipisahkan. Kemudian menambahkan aquadest ke dalam corong pemisah, setelah terbentuk layer, larutan air dipisahkan dengan metil ester. Larutan air dibuang sedangkan metil ester dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan dengan Na2SO4. Kemudian
dilakukan penyaringan dengan kertas saring. Kemudian dilakukan analisis kandungan metil ester dengan spektrofotometer-uv. Proses selanjutnya adalah proses sulfonasi metil ester. Metil ester ditambahkan H2SO4 dengan konsentrasi sesuai variabel. Kemudian dilakukan pemanasan dan pengadukan selama 1 jam dengan suhu reaksi sesuai variabel. Selanjutnya dilakukan proses metanolisis dengan penambahan metanol sebanyak 20%-berat H2SO4. Proses ini dilakukan selama 30 menit pada suhu 60 °C. Setelah itu dilakukan proses penetralan dengan penambahan NaOH 45%berat, proses penetralan dilakukan selama 30 menit dengan suhu 45 °C. Kemudian dilakukan uji IFT (Interfacial Tension) pada campuran minyak kelapa sawit-air dengan penambahan MES. Serta uji pH pada MES dan lamanya waktu menjaga kestabilan minyak-air. 3. Hasil Penelitian dan Pembahasan 3.1 Proses transesterifikasi Pengaruh Suhu Dimana %yield metil ester terus meningkat seiring peningkatan suhu reaksi hingga suhu 60 °C. Pada suhu 70 °C, % yield mengalami penurunan dari 64.94% menjadi 64.60%. Hal ini disebabkan karena pada suhu di atas 60 °C mendekati titik didih dari metanol (titik didih metanol = 64.7 °C; pada tekanan 100 kPa (www.wikipedia.org)). Hal ini menyebabkan metanol telah berubah fase menjadi gas sehingga kontak anatar metanol dan trigliserida berkurang. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan terlepasnya asam lemak dari trigliserida, sehingga meningkatnya bilangan asam. Dimana apabila hal ini terjadi, akan terjadi kemungkinan asam lemak bereaksi dengan katalis (NaOH). Ketika asam lemak bereaksi dengan NaOH akan terbentuk padatan yang disebut proses penyabunan (Choo Yuen May, 2004). Tentu hal ini tidak diinginkan karena selain terbentuknya hasil samping yang tidak diinginkan hal ini juga berpengaruh terhadap berkurangnya jumlah NaOH yang digunakan sebagai katalis.
3
Gambar 3.1 Pengaruh Suhu Terhadap %Yield Metil Ester Pengaruh Rasio Reaktan Dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya rasio reaktan, %yield metil ester semakin meningkat. Dan kemudian mulai mengalami peningkatan yang tidak begitu berarti pada rasio reaktan di atas 1:15 (mol minyak:mol metanol). Hal ini menunjukkan reaksi sudah mencapai kesetimbangan. Secara teoritis, hal ini sesuai dengan asas Le Chatelier. Dimana apabila konsentrasi produk dikurangi maka kesetimbangan reaksi akan bergeser ke arah produk. Pengurangan konsentrasi produk dalam penelitian ini dilakukan dengan penggunaan metanol berlebih (excess).
Gambar 3.2 Pengaruh Rasio Reaktan Terhadap %Yield Metil Ester Pengaruh Katalis NaOH Dengan semakin meningkatnya katalis, %yield juga mengalami kenaikan, dikarenakan katalis akan menyebabkan reaksi semakin cepat. Akan tetapi pada variabel katalis 0.4 mol NaOH/kg minyak, sudah mulai terbentuk padatan (solidifikasi) yang berasal dari proses penyabunan. Hal ini berbeda dari penelitian sebelumnya (Choo Yuen May, 2004) yang menyebutkan bahwa katalis tidak boleh lebih dari 0.5 mol NaOH/kg minyak karena akan terbentuk penyabunan. Perbedaan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan komposisi bahan baku (komposisi asam lemak). Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa kondisi katalis yang sesuai untuk proses transesterifikasi adalah pada 0.3 mol NaOH/kg minyak.
Gambar 3.3 Pengaruh Katalis Terhadap %Yield Metil Ester 3.2 Pembentukan MES
Pengaruh Suhu Nilai IFT mengalami kecenderungan penurunan seiring dengan peningkatan suhu. Pada suhu 85 °C diperoleh IFT sebesar 17.01 dyne/cm, dan mengalami penurunan pada suhu 90 °C menjadi 16,89 dyne/cm, hal ini menunjukkan adanya peningkatan yield sehingga komposisi MES semakin tinggi, yang berpengaruh pada penurunan IFT. Tetapi pada variabel suhu 95 °C, IFT mengalami sedikit kenaikan menjadi 16,97 dyne/cm. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Sri Hidayati, dkk, 2008) yang menyatakan bahwa kenaikan hasil MES meningkat hingga suhu 108.9oC. Perbedaan yang terjadi pada suhu 95oC yang seharusnya mengalami penurunan IFT yang lebih baik terhadap variabel sebelumnya dapat disebabkan penggunaan agent yang berbeda H2SO4 (Sri hidayati,2008 menggunakan agent NaHSO3). Karena H2SO4 memiliki kereaktifan yang lebih tinggi daripada NaHSO3 maka peningkatan suhu akan lebih berpengaruh pada proses sulfonasi ini.
Gambar 3.4 Pengaruh Suhu Terhadap Interfacial Tension
4
Pada uji kestabilan emulsi, Grafik 3.5 dapat ditunjukkan bahwa terjadi kecenderungan kenaikan kestabilan seiring dengan naiknya suhu reaksi. Pada emulsi minyak-air, pada saat penambahan MES ke dalam emulsi dapat menstabilkan emulsi minyak-air yang terbaik pada kondisi suhu 90 °C yaitu selama 52.3 detik. Pada variabel suhu, pH MES rata-rata sebesar 6. Hasil ini lebih baik dibandingkan penelitian sebelumnya (Rudi Dova, dkk, 2008) dengan pH produk MES rata-rata sebesar 5. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan kandungan NaOH dari 30%berat (Rudi Dova, dkk, 2008) menjadi 45%berat memberikan pengaruh kepada pH produk. Produk memiliki warna yang coklat gelap. Warna ini dipengaruhi oleh bahan baku MES yang berbasis ME kelapa sawit.
H2SO4 7M mengalami peningkatan IFT, hal ini dapat dikarenakan kurang reaktifnya H2SO4 pada konsentrasi tersebut. Sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk memperoleh kesetimbangan reaksi.
Gambar 3.6 Pengaruh Konsentrasi H2SO4 terhadap Interfacial Tension Pada pengujian kestabilan emulsi (Gambar 3.7), variabel yang paling baik adalah pada konsentrasi H2SO4 sebesar 9M yaitu mampu menahan kestabilan selama 51.7 detik. Hal ini dikarenakan komposisi MES lebih besar sehingga produk lebih stabil dalam mempertahankan emulsi minyak-air.
Gambar 3.5 Pengaruh Suhu terhadap Kestabilan Emulsi Pengaruh Konsentrasi H2SO4 Nilai IFT mengalami penurunan sebanding dengan penurunan konsentrasi H2SO4. Ditunjukkan pada konsentrasi H2SO4 11M, memiliki IFT sebesar 24.73 dyne/cm kemudian pada konsentrasi 9M menjadi 16.42 dyne/cm dan pada konsentrasi 7M menjadi 16.92 dyne/cm. Penurunan ini dikarenakan pada saat proses ini, H2SO4 sangat reaktif pada konsentrasi yang pekat. Dimana ditandai dengan dihasilkannya panas yang berlebihan, munculnya gelembung-gelembung yang berbau menyengat. Gelembung-gelembung ini diduga adalah gas SO3. Selain itu warna campuran menjadi lebih gelap, hal ini diduga karena terjadinya karbonisasi. Karena pada konsentrasi yang tinggi dihasilkan panas yang berlebihan, maka terjadi reaksi samping berupa pembentukan disodium karboksi sulfonat (disalt) dan asam metil sulfat yang bukan merupakan senyawa penurun IFT, sehingga IFT mengalami peningkatan pada konsentrasi yang lebih pekat. Sedangkan pada konsentrasi
Gambar 3.7 Pengaruh Konsentrasi H2SO4 terhadap Kestabilan Emulsi Warna pada produk MES dengan variabel ini tidak berbeda dengan variabel sebelumnya yaitu berwarna coklat gelap. Serta pH rata-rata sebesar 6. 4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan 1. Produk transesterifiaksi memiliki %yield Metil Ester terbesar pada suhu 60 °C dengan rasio mol reaktan (mol minyak : mol methanol) 1:15 dan katalis NaOH sebesar 0.3 mol NaOH/kg minyak. 2. Metil Ester Sulfonat yang terbaik dihasilkan pada proses sulfonasi dengan suhu 90 °C dan konsentarsi H2SO4 9M. 3. Mestil Ester Sulfonat (MES) dapat diperoleh dengan melakukan proses sulfonasi Metil Ester dengan H2SO4 dan dapat digunakan sebagai emulsifier,
5
karena dapat menurunkan nilai IFT emulsi minyak-air dari 24.73 dyne/cm (blangko) menjadi 16.42 – 17.13 dyne/cm dan dapat meningkatkan kestabilan emulsi minyak-air, dimana pada blangko 23.6 detik dan produk antara 48.9 – 52.3 detik . 4.2 Saran Percobaan yang telah dilakukan memperoleh hasil dengan warna yang cukup gelap. Akan lebih baik apabila dilakukan penelitian selanjutnya dengan bahan baku yang memiliki rantai karbon antara C16-C18, misalnya asam oleat.yang memiliki jumlah ikatan rangkap yang lebih kecil. Dan dapat dilakukan dengan agen pereaksi yang berbeda seperti gas SO3 dan NaHSO3 untuk mengetahui kualitas MES yang dihasilkan. Analisa performa MES pada penelitian ini masih sebatas pada fungsi dari emulsifier secara umum (mendispersikan 2 zat dengan polaritas yang berbeda). Sehingga akan lebih baik jika analisa performa dari emulsifier dilakukan pengujian yang lebih aplikatif, misal; uji emulsifier terhadap limbah oli di pantai dari bocoran oli kapal, atau kemampuan emulsifier terhadap recovery minyak bumi pada proses pengeboran.
6. Hovda, K., “The Challenge of Methyl Ester Sulfonation”, www.chemithon.com, 1996. 7. May, Choo Yuen. (2002). Transesterification of Palm Oil: Effect of Reaction Parameters. Journal of Oil Palm Research, 16(2). 8. Rudi Dova, Ranggi Atraya. 2008. Produksi Metil Ester Sulfonat untuk Surfaktan Enhanced Oil Recovery. Penulisan Laporan penelitian S1 Teknik Kimia ITB. 9. Sekertariat Jendral Departemen perindustrian. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit. Departemen Peridustrian. 2007 10. Sri Hidayati, dkk. 2008. “ Optimasi Proses Sulfonasi Untuk Memproduksi Metil Ester Sulfonat Dari Minyak Sawit Kasar”. Prosiding Seminar nasional dan Teknologi II Universitas Lampung 11. Tano et al, “Process for Producing Sulfo-Fatty Acid Alkyl Ester Salt”, US Pat 6 657 071, 2003. 12. http:www.wikipedia.org
5. Daftar Pustaka 1. Allan, R. Robert.; Formo, Marvin W.; et.al. 1981. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products Vol.2, 4th ed. John Wiley & Son. New York. 2. Bradshaw, George Burt.; Meuly,Wlater.C. (1944) . Preparation of Detergent. US Patent Office 2,360,844. 3. Eni Hestuti (PPPTMGB “LEMIGAS”), dkk. 2008. “Studi Laboratorium Untuk reaktivitas lapangan-X Dengan Injeksi Kimia”. Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia, Simposium nasional dan Kongres X. Jakarta 4. Fessenden, Ralph, J.; Fessenden, Joan, S. (1986). Kimia Organik Jilid 2 Edisi 3. Erlangga. Jakarta 5. Goenadi, Didiek Hadjar, et.al. (2005). Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia.
6