RASIO MOLAR DAN KONSENTRASI KATALIS METHYL ESTER SULFONIC ACID PADA PROSES SINTESIS GLISERIL ESTER
GIOVANNI NURPRATIWI PUTRI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Rasio Molar dan Konsentrasi Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid pada Proses Sintesis Gliseril Ester” adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014
Giovanni Nurpratiwi Putri NIM F34100140
ABSTRAK
GIOVANNI NURPRATIWI PUTRI. Rasio Molar dan Konsentrasi Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid pada Proses Sintesis Gliseril Ester. Dibimbing oleh ERLIZA HAMBALI. Gliserol merupakan hasil samping industri biodiesel yang masih dapat diproses lebih lanjut menjadi produk yang lebih bernilai tambah. Salah satu alternatif pemanfaatan gliserol ialah dengan cara esterifikasi antara gliserol dan asam oleat dengan penambahan katalis methyl ester sulfonic acid (MESA) menghasilkan gliseril ester. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi optimum esterifikasi dengan faktor peubah berupa rasio molar antara gliserol dengan asam oleat dan jumlah konsentrasi katalis MESA yang ditambahkan. Sebelum diesterifikasi, gliserol hasil samping industri biodiesel perlu dimurnikan terlebih dahulu dengan menambahkan asam fosfat teknis 85% sebanyak 5% (v/v), menghasilkan gliserol dengan kemurnian ±80%. Selanjutnya gliserol hasil pemurnian diesterifikasi dengan pengaliran gas nitrogen, pada suhu 180 °C, dan kecepatan pengadukan 400 rpm selama 90 menit. Kombinasi rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terbaik ialah pada rasio molar 0,8:1 (gliserol : asam oleat) dengan penambahan katalis MESA sebanyak 0,5%. Esterifikasi pada kondisi tersebut menghasilkan gliseril ester dengan rendemen 79,55%, densitas 0,940 g/cm3, bilangan asam 44 mg KOH/g sampel, viskositas 90 cP (30 oC), viskositas kinematis 49,04 cSt (40 oC), titik nyala 206 oC, titik tuang -1,5 oC, dan titik didih 105 oC. Kata kunci: gliserol, MESA, esterifikasi, gliseril ester
ABSTRACT GIOVANNI NURPRATIWI PUTRI. Molar Ratio and Catalyst Methyl Ester Sulfonic Acid Concentration in Synthesis of Glyceryl Ester. Supervised by ERLIZA HAMBALI. Glycerol is a by-product of biodiesel industry production which still can be further processed into more value-added products. The example is the utilization of glycerol by means of esterification between glycerol and oleic acid with methyl ester sulfonic acid (MESA) catalyst, producing glyceril ester. The purpose of this study was to obtain the conditions of esterification with variable factors were molar ratio between oleic acid and glycerol and the concentrations of added MESA catalyst. Before esterification, crude glycerol was purified by adding 5% (v/v) phosphoric acid 85%, producing glycerol with ±80% glycerol content. Furthermore, glycerol was then esterified with supply of nitrogen, at temperature of 180 °C, and the stirring speed of 400 rpm for 90 minutes. The best
combination of molar ratio and concentration of catalyst MESA is on ratio molar 0,8:1 (glycerol : oleic acid) with 0,5% added of catalyst MESA. Esterification on that condition produced glyceryl ester with the yield of 79,55%, density 0,940 g/cm3, acid value 44 mg KOH/g sample, viscosity 90 cP (30 oC), kinematic viscosity 49,04 cSt (40 oC), flash point 206 oC, pour point -1,5 oC, and boiling point 105 oC.
Key words: glycerol, MESA, esterification, glyceryl ester
RASIO MOLAR DAN KONSENTRASI KATALIS METHYL ESTER SULFONIC ACID PADA PROSES SINTESIS GLISERIL ESTER
GIOVANNI NURPRATIWI PUTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Rasio Molar dan Konsentrasi Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid pada Proses Sintesis Gliseril Ester Nama : Giovanni Nurpratiwi Putri NIM : F34100140
Disetujui oleh
Prof Dr Erliza Hambali Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi berjudul “Rasio Molar dan Konsentrasi Katalis Methyl Ester Sulfonic Acid pada Proses Sintesis Gliseril Ester” telah dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada: 1. Keluarga tercinta, Bapak Tono Suhartono dan Ibu Dwi Nuryadini serta Ajeng dan Maulidya, yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Prof Dr Erliza Hambali, selaku Pembimbing Akademik, atas perhatian dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi. 3. Prof Dr Ir Djumali Mangunwidjaja, DEA dan Dr Ir Dwi Setyaningsih, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Muhammad Syafruddin BS atas dukungan dan doa selama penelitian ini berlangsung. 5. Mas Ari, Bu Mira, Mas Saipul, Mbak Gita, Mbak Devita, dan segenap teknisi SBRC yang telah memberikan banyak bantuan dan bimbingan. 6. Annalisa, Jonathan, Fatkhia, Elok, Devi, Destiara, Nadhira, Fitriana, Mayasari, Dita, Ravi, dan Mega untuk dukungannya. 7. Mbak Yuni, Mbak Vonny, Rista, Muke, Nanda, Mamet, dan teman-teman sebimbingan atas dukungan dan bantuannya. 8. Keluarga besar TIN 47, khususnya golongan P4, atas dukungan, semangat, dan kenangan yang tak terlupakan. 9. Keluarga besar Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu dan pengalaman berharga selama masa perkuliahan. 10. Keluarga dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014
Giovanni Nurpratiwi Putri
DAFTAR ISI ABSTRAK
iv
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE PENELITIAN
2
Waktu dan Tempat
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Penelitian
3
Pemurnian gliserol hasil samping produksi biodiesel
3
Esterifikasi gliserol hasil pemurnian
3
Analisis gliserol, MESA, dan gliseril ester
3
Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Karakteristik Gliserol Hasil Samping Industri Biodiesel
4
Karakteristik katalis Methyl Ester Sulfonic Acid
6
Karateristik Gliseril Ester
7
Rendemen
8
Densitas
9
Bilangan asam
11
Viskositas
12
Viskositas kinematis
13
Titik nyala
15
Titik tuang
16
Titik didih
18
SIMPULAN DAN SARAN
20
Simpulan
20
Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
20
RIWAYAT HIDUP
34
DAFTAR TABEL 1 2
Sifat fisikokimia gliserol kasar dan gliserol hasil pemurnian Sifat fisikokimia katalis MESA
5 6
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Reaksi pembentukan biodiesel (transesterifikasi) Perbandingan gliserol hasil pemurnian (kiri) dan gliserol kasar (kanan) Katalis MESA Reaksi pembentukan gliseril ester Hasil esterifikasi Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap rendemen gliseril ester Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap pH Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap densitas gliseril ester Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap bilangan asam gliseril ester Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap viskositas gliseril ester Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap viskositas kinematis gliseril ester Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap titik nyala gliseril ester Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap titik tuang gliseril ester Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap titik didih gliseril ester
5 5 6 7 7 9 10 11 12 13 14 16 17 18
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Perhitungan rasio molar Prosedur analisis Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter rendemen
22 22 27
Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter densitas Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter bilangan asam Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter viskositas Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter viskositas kinematis 8 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter titik nyala 9 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter titik tuang 10 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter titik didih
4 5 6 7
28 28 29 30 31 32 32
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Gliserol (1,2,3 propanatriol) adalah senyawa alkohol dengan tiga gugus hidroksil dalam satu molekul. Gliserol berbentuk cairan dan memiliki sifat tidak berwarna, tidak berbau, serta terasa manis (Eastridge 2007). Senyawa ini memiliki berat molekul sebesar 92,02 g/mol, densitas 1261 kg/m3, viskositas 1499 cP, titik leleh 18,17 °C, dan titik didih 290 °C (Pagliaro dan Rossi 2006). Gliserol dapat diperoleh dari proses transesterifikasi pembuatan biodiesel sebagai produk samping. Gliserol yang masih mengandung pengotor ini selanjutnya dapat dimurnikan dan diproses menjadi produk turunannya yang memberikan nilai tambah. Salah satu alternatif pemanfaatan gliserol ialah dengan cara esterifikasi antara gliserol dan asam oleat dengan penambahan katalis methyl ester sulfonic acid (MESA) menghasilkan gliseril ester. Gliseril ester dapat diaplikasikan sebagai pelumas, agen pengemulsi, bahan aditif pada industri makanan, moisturizer, serta anti-foaming. Aplikasi lainnya dari gliseril ester adalah penggunaannya sebagai base fluid untuk drilling fluid yang bersifat ramah lingkungan dalam pemboran minyak. Banyaknya alternatif aplikasi dari gliseril ester membuat nilai tambah gliserol berpotensi untuk ditingkatkan. Gliseril ester dapat disintesis melalui proses esterifikasi dengan cara mereaksikan gliserol dengan asam karboksilat dengan katalis, menghasilkan gliseril ester dan produk samping air. Esterifikasi merupakan suatu reaksi yang reversibel sehingga salah satu reaktan perlu diumpankan berlebih untuk mendorong reaksi ke arah kanan atau ke arah pembentukan produk. Adapun katalis digunakan untuk menghindari kebutuhan temperatur yang tinggi, waktu reaksi yang lebih lama serta produk yang berwarna gelap (Hui 1995). Penelitian terbaru mengenai sintesis gliseril ester telah dilakukan oleh Utami (2013), yaitu gliserol direaksikan dengan asam oleat dengan penambahan methyl ester sulfonic acid (MESA) sebagai katalis. Esterifikasi umumnya dilakukan dengan menambahkan katalis asam. Salah satu katalis yang umum digunakan ialah para-toluene sulfonic acid (p-TSA). Katalis ini bersifat non-oksidator dan lebih aktif dibandingkan asam sulfat karena memiliki sifat hidrofobilitas yang tinggi. Adapun demikian, katalis p-TSA memiliki sifat berbahaya, korosif, dan berasal dari minyak bumi yang merupakan sumber daya alam tak terbarukan (Kale et al. 2013). Oleh sebab itu, dibutuhkan alternatif katalis baru yang berasal dari sumber daya terbarukan. Methyl ester sulfonic acid (MESA) merupakan senyawa antara yang dihasilkan dalam produksi surfaktan metil ester sulfonat (MES) yang berasal dari minyak sawit. MESA dapat digunakan sebagai katalis dalam esterifikasi karena memiliki sifat asam sehingga dapat menginisiasi proses esterifikasi antara gliserol dengan asam karboksilat. Meskipun demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat jumlah MESA yang optimum dalam esterifikasi gliserol.
2
Tujuan Penelitian Mendapatkan kondisi proses esterifikasi gliserol dan asam oleat terbaik berdasarkan perlakuan rasio molar antara gliserol dan asam oleat serta konsentrasi katalis MESA yang ditambahkan.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi: (1) pemurnian gliserol kasar hasil samping industri biodiesel olein sawit, (2) analisis sifat fisikokimia gliserol hasil permurnian, (3) sintesis gliseril ester dengan esterifikasi antara gliserol hasil pemurnian dan asam oleat dengan kondisi proses yang ditentukan, (4) analisis sifat fisikokimia gliseril ester, dan (5) penentuan kondisi proses esterifikasi terbaik.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama enam bulan sejak bulan Mei hingga Oktober 2014. Penelitian dilaksanakan di Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), LPPM-IPB.
Bahan Bahan yang digunakan saat preparasi gliserol untuk pemurnian adalah gliserol hasil samping produksi biodiesel pada Surfactant and Bioenergy Research Center–IPB Bogor dan asam fosfat teknis 85%. Adapun bahan yang digunakan dalam sintesis gliseril ester ialah gliserol hasil pemurnian, asam oleat dari Brataco Chemical, katalis MESA dari Surfactant and Bioenergy Reasearch Center-IPB Bogor, dan gas nitrogen. Adapun untuk analisis kadar gliserol dan bilangan asam dibutuhkan aquades, H2SO4, NaOH, NaIO4, etilen glikol, alkohol 95% netral, KOH, indikator bromtimol biru, dan indikator fenolftalein.
Alat Alat yang dibutuhkan dalam proses pemurnian gliserol mencakup reaktor pemurnian gliserol 20 L, gelas kimia, dan wadah tabung untuk menampung gliserol hasil pemurnian. Dalam proses esterifikasi digunakan labu leher tiga, hot plate, termometer, magnetic stirrer, neraca analitik, dan kondensor. Adapun untuk analisis, alat yang dibutuhkan meliputi peralatan gelas dan pipet, pH meter, density meter DMA 4500M Anton Paar, dan viscometer Brookfield DV-III ultra..
3
Prosedur Penelitian Pemurnian gliserol hasil samping produksi biodiesel Pemurnian gliserol dilakukan dalam reaktor pemurnian skala 20 L dan mengacu pada pemurnian gliserol yang telah dilakukan oleh Farobie (2009), ditambahkan sedikit modifikasi. Pertama-tama, gliserol kasar hasil samping industri biodiesel dimasukkan ke dalam tangki pemurnian, dipanaskan terlebih dahulu hingga suhu mencapai 50 oC. Setelah suhu mencapai 50 oC, ditambahkan asam fosfat teknis 85% sebanyak 5% (v/v), suhu dinaikkan menjadi 80 oC disertai pengadukan, dan ditunggu selama 4 jam. Setelah itu, pemanasan dan pengadukan dihentikan dan ditunggu 30 menit hingga terbentuk 3 lapisan, yaitu (dari atas ke bawah) asam lemak bebas, gliserol hasil pemurnian, dan garam. Untuk pemisahan dengan asam lemak, gliserol yang masih bercampur dengan garam dikeluarkan dahulu dari tangki pemurnian. Lalu, gliserol hasil pemurnian dipisahkan dari garam dengan alat filtrasi. Esterifikasi gliserol hasil pemurnian Dalam sintesis gliseril ester melalui esterifikasi, gliserol hasil pemurnian direaksikan dengan asam oleat dengan rasio molar antara gliserol : asam oleat adalah 0,8:1, 1,7:1, dan 2,6:1 dan dengan penambahan katalis MESA (b/b) sebanyak 0,3%, 0,5%, dan 0,7%. Perhitungan rasio molar dapat dilihat di Lampiran 1. Esterifikasi dilakukan di dalam labu leher tiga di atas hot plate dengan suhu reaksi 180 oC selama 90 menit. Nitrogen sebanyak 100 cc/menit dialirkan ke dalam tabung selama esterifikasi untuk mencegah keberadaan oksigen serta mendorong keluar uap air yang terbentuk menuju kondensor. Analisis gliserol, katalis MESA, dan gliseril ester Analisis yang dilakukan pada gliserol dan gliseril ester meliputi: 1. Analisis gliserol Meliputi kadar gliserol, densitas dengan density meter DMA 4500M Anton Paar, dan viskositas dengan viscometer Brookfield DV-III ultra. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2. 2. Analisis katalis MESA Meliputi densitas dengan density meter DMA 4500M Anton Paar, viskositas dengan viscometer Brookfield DV-III ultra, dan pH dengan pH meter. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2. 3. Analisis gliseril ester Meliputi pH dengan pH meter, bilangan asam, densitas dengan density meter DMA 4500M Anton Paar, viskositas dengan viscometer Brookfield DV-III ultra, viskositas kinematis (ASTM D 445), titik didih (ASTM D 86), titik nyala (ASTM D 92), dan titik tuang (ASTM D 97). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 2. Analisis Data Rancangan percobaan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor dan dua kali pengulangan. Faktor yang digunakan adalah rasio molar gliserol dan asam oleat (A) dan konsentrasi katalis MESA (B). Model rancangan percobaan yang digunakan adalah:
4
Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk Keterangan : Yijk = Nilai pengamatan akibat pengaruh faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j μ = Nilai rata-rata Ai = Pengaruh faktor rasio molar taraf ke-i (i=0,8:1, 1,7:1, 2,6:1) Bj = Pengaruh faktor konsentrasi MESA taraf ke-j (j=0,3%, 0,5%, 0,7%) ABij = Pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j εijk = Galat satuan percobaan taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B, dan pada ulangan ke k (k=1,2) Selanjutnya, data yang dihasilkan diolah dengan analisis ragam menggunakan program SPSS 16.0 dengan perhitungan yang mengacu pada rancangan percobaan. Uji dilanjutkan dengan uji Duncan pada α = 5% jika hasil berpengaruh nyata. Uji tersebut digunakan untuk mengetahui besar signifikansi perbedaan antar taraf dalam suatu faktor.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Gliserol Hasil Samping Industri Biodiesel Gliserol (1,2,3 propanatriol) adalah senyawa alkohol dengan tiga gugus hidroksil dalam satu molekul. Gliserol berbentuk cairan dan memiliki sifat tidak berwarna, tidak berbau, terasa manis (Eastridge 2007) serta memiliki bobot molekul 92,02 g/mol (Pagliaro dan Rossi 2006). Gliserol dapat diperoleh dari proses transesterifikasi pembuatan biodiesel sebagai produk samping. Pada industri biodiesel, disamping metil ester, dihasilkan juga gliserol sebagai produk samping sebanyak ±10% (Knothe et al. 2007) (Gambar 1). Gliserol hasil samping produksi biodiesel dapat dimanfaatkan lebih lanjut, tetapi perlu dimurnikan terlebih dahulu. Menurut Eastridge (2009), beberapa pengotor yang secara umum berada di dalam gliserol kasar hasil samping industri biodiesel adalah metanol, sisa katalis (KOH/NaOH), sabun, dan air. Dalam penelitian ini, gliserol kasar yang digunakan memiliki kadar gliserol ±50% dan masih mengandung pengotor berupa sisa katalis, sabun, dan pengotor dari bahan baku biodiesel.
5
Gambar 1 Reaksi pembentukan biodiesel (transesterifikasi) Gliserol kasar dimurnikan dengan metode yang mengacu pada pemurnian Farobie (2009), yaitu dengan menambahkan asam fosfat teknis 85% sebanyak 5% (v/v) ke dalam gliserol kasar. Asam fosfat tersebut akan bereaksi dengan sisa katalis kalium hidroksida membentuk garam kalium fosfat. Asam fosfat juga akan menghidrolisis sabun dan memisahkan asam lemak bebas. Adapun sisa metanol yang tidak ikut bereaksi akan menguap ketika gliserol dipanaskan pada suhu 65 oC. Perbandingan visual antara gliserol kasar dan gliserol hasil pemurnian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Perbandingan gliserol hasil pemurnian (kiri) dan gliserol kasar (kanan) Setelah dilakukan pemurnian, sifat fisikokimia dari gliserol akan mengalami perubahan. Perbedaan sifat fisikokimia antara gliserol kasar dan gliserol hasil pemurnian dapat dilihat pada Tabel 1. Pemurnian akan meningkatkan kadar gliserol, menurunkan viskositas, menurunkan nilai densitas, dan mencerahkan warna. Tabel 1 Sifat fisikokimia gliserol kasar dan gliserol hasil pemurnian Parameter Kadar gliserol Viskositas pada 30 oC Densitas pada 25 oC Warna Titik didih
Satuan
Gliserol kasar
% cP g/cm3 o
C
45 ± 2,05 625 ± 1,07
Gliserol hasil pemurnian 84 ± 2,00 189 ± 0,70
Gliserol murni* 100% 1499
1,0745 ± 0,0001
1,2576 ± 0,0001
1,261
Coklat kehitaman 80 ± 3,25
Kuning kecoklatan 82 ± 2,05
Bening 290
* Pagliaro dan Rossi (2006) serta Segur dan Oberstar (1951)
Pemurnian memisahkan komponen-komponen lain selain gliserol sehingga setelah pemurnian kadar gliserol meningkat. Nilai kadar gliserol ini telah
6
memenuhi SNI 06-1564-1995 yang mensyaratkan kadar gliserol minimal ialah sebesar 80%. Penurunan nilai viskositas dan densitas, serta peningkatan titik didih menunjukkan bahwa telah terpisahkannya pengotor-pengotor lain dalam gliserol kasar. Adapun perubahan warna menjadi lebih cerah disebabkan sisa katalis dari produksi metil ester serta pigmen yang membentuk warna telah terpisahkan.
Karakteristik katalis Methyl Ester Sulfonic Acid Menurut Hui (1995), penggunaan katalis dalam suatu reaksi bertujuan menghindari kebutuhan temperatur yang tinggi, waktu reaksi yang lebih lama serta produk yang berwarna gelap. Esterifikasi umumnya dilakukan dengan menambahkan katalis asam. Salah satu katalis yang umum digunakan ialah paratoluene sulfonic acid (PTSA). Katalis ini bersifat non-oksidator dan lebih aktif dibandingkan asam sulfat karena memiliki sifat hidrofobilitas yang tinggi. Adapun demikian, baik PTSA maupun asam sulfat memiliki sifat berbahaya, korosif, dan berasal dari minyak bumi yang merupakan sumber daya alam tak terbarukan (Kale et al. 2013). Untuk mengatasi hal tersebut, dapat digunakan katalis methyl ester sulfonic acid (MESA) sebagai alternatif katalis dalam reaksi esterifikasi.
Gambar 3 Katalis MESA MESA dihasilkan dari minyak kelapa sawit yang merupakan sumber daya terbarukan. Katalis MESA merupakan senyawa antara yang dihasilkan dalam produksi surfaktan metil ester sulfonat (MES). Reaksi sulfonasi dari metil ester menghasilkan hasil samping methyl ester sulfonic acid yang berwarna gelap dan bersifat asam (Gambar 3). Adapun karakterstik katalis MESA yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sifat fisikokimia katalis MESA Parameter Satuan Nilai pH (1% dalam aquades) 2,2 ± 0,20 Densitas pada 25 oC g/cm3 0,9173 ± 0,0001 Warna Hitam Berdasarkan nilai pH, MESA bersifat sangat asam. Ini merupakan dasar digunakannya katalis MESA sebagai katalis dalam esterifikasi. Keasaman MESA, seperti halnya katalis asam lainnya, diduga dapat menciptakan protonisasi asam oleat yang merupakan inisiasi proses pembentukan ester.
7
Hasil Analisis Gliseril Ester Esterifikasi adalah pembentukan ester dengan mereaksikan asam lemak dengan alkohol. Gliseril ester merupakan ester dengan molekul alkoholnya berupa gliserol. Menurut Pardi (2005), esterifikasi antara gliserol dan asam oleat dapat menghasilkan gliseril monooleat, dioleat, ataupun trioleat. Reaksi esterifikasi gliserol dan asam oleat dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Reaksi pembentukan gliseril ester Dalam penelitian, pada hasil esterifikasi akan terbentuk dua lapisan, dengan lapisan atas merupakan gliseril ester dan lapisan bawah adalah sisa gliserol yang tidak ikut bereaksi. Gliseril ester dalam hasil penelitian merupakan campuran antara gliseril monooleat, dioleat, dan trioleat, serta sisa asam lemak yang tidak ikut bereaksi. Produk esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Hasil esterifikasi
8
Terbentuknya dua lapisan ini disebabkan gliserol sebagai reaktan diumpankan berlebih sehingga pada akhir reaksi juga masih ada gliserol yang tidak ikut bereaksi. Adapun pengumpanan reaktan secara berlebih ini dilakukan untuk mendorong reaksi ke arah pembentukan produk. Reaksi esterifikasi merupakan reaksi yang reversible atau bolak-balik sehingga perlu diperlakukan sedemikian rupa agar reaksi berjalan ke arah kanan atau ke arah pembentukan produk. Menurut Fessenden dan Fessenden (1982), untuk memperoleh produk yang optimum, kesetimbangan reaksi esterifikasi harus digeser ke arah kanan atau reaksi pembentukan produk dengan cara pemasokan energi ke dalam reaksi, pengumpanan reaktan secara berlebih, serta pengambilan produk reaksi secara sinambung selama reaksi. Pada penelitian, upaya yang dilakukan untuk mendorong reaksi ke arah kanan adalah dengan mengumpankan reaktan secara berlebih. Selain itu, dalam proses esterifikasi juga dialirkan gas nitrogen secara sinambung untuk mendorong uap air, yang merupakan produk samping dari esterifikasi, sehingga diharapkan produk yang diperoleh dapat optimal. Uap air yang terbentuk apabila tidak dipisahkan dari dalam reaktor dapat menghidrolisis gliseril ester menjadi gliserol dan asam oleat kembali. Setelah dilakukan esterifikasi gliserol hasil pemurnian, selanjutnya gliseril ester yang terbentuk dihitung rendemennya dan dilakukan pengujian pH untuk melihat adanya sisa katalis MESA yang tertinggal pada produk gliseril ester. Kemudian, untuk mengetahui karakteristik gliseril ester yang terbentuk, dilakukan pengujian bilangan asam, densitas, viskositas, viskositas kinematis, titik nyala, titik tuang, dan titik didih. Rendemen Rendemen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah banyaknya gliserol yang bereaksi dengan asam oleat menghasilkan gliseril ester. Pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin besar rasio molar yang digunakan dalam esterifikasi, maka rendemen yang didapatkan akan semakin sedikit. Ini membuktikan bahwa pengumpanan gliserol berlebih, dengan kondisi esterifikasi yang telah ditentukan dalam penelitian ini, tidak menghasilkan rendemen gliseril ester menjadi lebih tinggi. Hal ini disebabkan kemurnian gliserol hanya sebesar 84% sehingga ketika gliserol diumpankan lebih banyak, maka akan lebih banyak juga pengotor yang berada dalam bahan esterifikasi. Banyaknya pengotor ini akan menghambat proses pembentukan gliseril ester. Adapun esterifikasi dengan asam oleat yang lebih banyak (rasio molar 0,8:1) menghasilkan rendemen yang tinggi. Ini membuktikan semakin banyak asam oleat yang diumpankan dalam esterifikasi, maka akan semakin memperbesar kemungkinan terbentuknya ikatan ester antara gliserol dengan asam oleat. Dapat dilihat pada Gambar 6, untuk tiap rasio molar, penambahan konsentrasi katalis MESA akan meningkatkan rendemen. Ini disebabkan penambahan katalis akan meningkatkan efektivitas reaksi esterifikasi sehingga konversi reaktan menjadi gliseril ester akan semakin tinggi.
9
90 80
75,33
79,55
Konsentrasi katalis
82,22
MESA 0,3% MESA 0,5% MESA 0,7%
Rendemen (%)
70 60
52,64
50
40,06 42,29
40
31,99
36,36
27,08
30 20 10 0 1 0,8 : 1
2
1,7:1
3
2,6 : 1
Rasio molar (gliserol : asam oleat)
Gambar 6
Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap rendemen gliseril ester
Berdasarkan uji analisis ragam (ANOVA) yang dapat dilihat pada Lampiran 3, faktor rasio molar dan konsentrasi katalis memberikan pengaruh terhadap nilai rendemen yang didapatkan. Akan tetapi, interaksi faktor rasio molar dan konsentrasi katalis MESA tidak memberikan pengaruh, dapat dilihat bahwa nilai signifikansinya lebih besar dari 0,05. Selanjutnya, dari hasil uji lanjut Duncan untuk faktor rasio molar dan konsentrasi katalis, ketiga taraf yang diberikan saling berbeda nyata. Dengan demikian, apabila ingin dihasilkan gliseril ester dengan rendemen tinggi, esterifikasi dilakukan dengan rasio molar 0,8:1 (gliserol : asam oleat) dengan penambahan katalis MESA sebanyak 0,7%. pH Sampel gliseril ester hasil esterifikasi merupakan campuran antara gliseril monooleat, gliseril dioleat, gliseril trioleat, sisa asam oleat yang tidak bereaksi, dan katalis MESA. Adapun pengukuran pH dilakukan dengan melarutkan gliseril ester dalam aquades sebanyak 30%. Sampel gliseril ester tidak larut dalam air, namun katalis MESA yang digunakan larut dalam air. Pengukuran pH ini dilakukan untuk melihat jumlah katalis MESA yang terdapat pada produk hasil esterifikasi. Semakin tinggi nilai pH, menandakan bahwa jumlah katalis MESA yang terdapat pada gliseril ester juga semakin banyak. Adapun data pengukuran pH dapat dilihat pada Gambar 7.
10
Konsentrasi katalis
10
MESA 0,3% MESA 0,5% MESA 0,7%
pH
8 6
5,46 5,28 5,18
5,75 5,67 5,47
6,12 5,99 5,93
4 2 0 1 0,8 : 1
2
1,7:1
3
2,6 : 1
Rasio molar (gliserol : asam oleat)
Gambar 7 Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap pH Dilihat dari Gambar 7, peningkatan konsentrasi katalis MESA untuk esterifikasi juga akan meningkatkan nilai pH. MESA memiliki pH yang rendah sehingga semakin banyak MESA yang ditambahkan, maka MESA yang tertinggal pada gliseril ester juga akan semakin banyak sehingga pHnya semakin rendah. Adapun peningkatan rasio molar atau dengan kata lain semakin banyak gliserol yang diumpankan dalam esterifikasi, akan menurunkan nilai pH. Ini disebabkan pH gliseril ester yang terbentuk akan mengikuti pH gliserol. Gliserol hasil pemurnian memiliki nilai pH sebesar 6,24. Densitas Densitas atau bobot jenis adalah bobot suatu cairan per berat satuan volume. Pengujian densitas dilakukan untuk mengetahui kerapatan antar molekul dalam gliseril ester yang dihasilkan. Adapun pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi katalis dan rasio molar yang digunakan, maka secara umum akan meningkatkan nilai densitas gliseril ester. Menurut Phillps dan Mattamal (1978), nilai densitas ester dari asam lemak karboksilat dipengaruhi oleh bobot molekul serta suhu. Semakin tinggi bobot molekul maka akan meningkatkan nilai densitas.
11
Konsentrasi katalis MESA 0,3% MESA 0,5% MESA 0,7%
1,4
Densitas (g/cm3)
1,2 1,0
0,938 0,940 0,940
0,942 0,942 0,943
0,943 0,943 0,944
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 1 0,8 : 1
2
1,7:1
3
2,6 : 1
Rasio molar (gliserol : asam oleat)
Gambar 8 Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap densitas gliseril ester Pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa penambahan katalis MESA meningkatkan densitas gliseril ester. Ini disebabkan peningkatan katalis akan meningkatkan efektivitas esterifikasi sehingga akan semakin banyak asam oleat yang berikatan dengan gliserol dan meningkatkan bobot molekul ester yang terbentuk. Selain itu, keberadaan katalis MESA dengan jumlah yang semakin banyak pada produk esterifikasi juga akan memengaruhi nila densitasnya. Menurut Utami (2013), katalis MESA yang ditemukan pada produk akhir ikut memengaruhi berat jenis produk itu sendiri. Meskipun demikian, hal ini tidak terlalu berpengaruh signifikan karena densitas MESA sendiri memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan nilai densitas gliseril ester. Berdasarkan hasil analisis ragam, rasio molar, penambahan katalis MESA, serta interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai densitas (Lampiran 4). Hal ini dapat disebabkan pada tiap-tiap sampel hasil esterifikasi, terkandung komponen utama yang sama, baik itu dapat berupa gliseril monooleat, gliseril dioleat, atau pun gliseril trioleat. Dengan demikian, nilai densitas masing-masing sampel tidak terlalu berbeda jauh satu sama lain. Bilangan asam Bilangan asam menunjukkan banyaknya ml KOH yang digunakan untuk menetralkan 1 gram lemak/minyak. Bilangan asam digunakan untuk menilai seberapa banyak asam lemak bebas per gram sampel. Ini berarti semakin tinggi nilai bilangan asam suatu sampel, semakin banyak kandungan asam lemaknya. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa peningkatan rasio molar secara umum akan meningkatkan nilai bilangan asam. Hal ini membuktikan peningkatan rasio molar tidak meningkatkan konversi gliseril ester sehingga masih banyak asam lemak
12
Bilangan asam (ml KOH/g sampel)
yang belum bereaksi. Asam oleat memiliki nilai bilangan asam 200 mg KOH/g sampel sehingga semakin banyak sisa asam oleat yang tidak bereaksi, akan semakin tinggi nilai bilangan asam sampel hasil esterifikasinya.
Konsentrasi katalis
100
MESA 0,3% MESA 0,5% MESA 0,7%
80
68 58
60 40
52 39
44
47
50
53
58
20 0 1 0,8 : 1
2
1,7:1
3
2,6 : 1
Rasio molar (gliserol : asam oleat)
Gambar 9 Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap bilangan asam gliseril ester Analisis ragam untuk bilangan asam yang dapat dilihat pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa faktor rasio molar dan konsentrasi katalis memberikan pengaruh yang signifikan, sedangkan interaksi anatara faktor rasio molar dengan katalis tidak memberikan pengaruh. Pada hasil uji lanjut Duncan, faktor rasio molar, tiap taraf memberikan hasil yang saling berbeda nyata. Adapun hasil uji lanjut Duncan terhadap faktor konsentrasi katalis menunjukkan bahwa antara taraf 0,3% dan 0,5% tidak berbeda nyata, sedangkan antara taraf 0,3% dan 0,7% serta taraf 0,5% dan 0,7% saling berbeda nyata. Semakin banyak katalis yang ditambahkan akan meningkatkan efektivitas esterifikasi, meskipun demikian katalis yang terlalu banyak akan menghambat proses esterifikasi itu sendiri. Viskositas Viskositas merupakan sifat fisikokimia yang menunjukkan tingkat kekentalan suatu fluida. Peningkatan viskositas disebabkan oleh peningkatan konsentrasi molekul (Holemberg et al. 2002). Peningkatan viskositas juga disebabkan oleh peningkatan panjang rantai serta bobot molekul suatu bahan.Viskositas berpengaruh terhadap sifat alir suatu fluida, dimana semakin tinggi viskositas maka kemampuan bahan tersebut untuk mengalir akan semakin rendah. Pada Gambar 10, semakin berlebih gliserol yang diumpankan atau semakin tinggi rasio molar, maka nilai viskositasnya semakin tinggi. Ini disebabkan gliseril ester yang dihasilkan akan mengikuti viskositas glierol sehingga memberikan nilai
13
yang lebih tinggi. Selain itu, berdasarkan pembahasan sebelumnya, peningkatan rasio molar tidak menghasilkan gliseril ester yang semakin banyak sehingga masih banyak asam oleat yang tidak ikut bereaksi sehingga nilai viskositas semakin tinggi. Adapun semakin tinggi konsentrasi MESA yang diberikan, maka akan mendorong reaksi esterifikasi ke arah pembentukan ester sehingga nilai viskositas akan semakin rendah karena gliserol yang memiliki nilai viskositas tinggi akan berikatan dengan asam oleat sehingga produk akhir sudah tidak banyak mengandung gliserol lagi. Dilihat pada Gambar 10, gliseril ester dengan rasio molar 0,8:1 memiliki viskositas yang secara umum paling rendah. Hal ini mengindikasikan gliseril ester paling banyak terbentuk pada esterifikasi dengan rasio molar 0,8:1. Konsentrasi katalis MESA 0,3% MESA 0,5% MESA 0,7%
140
Viskositas (cP)
120 100
105 92
97
90
91
81
102
87
94
80
60 40 20 0 1 0,8 : 1
2
1,7:1
3
2,6 : 1
Rasio molar (gliserol : asam oleat)
Gambar 10
Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap viskositas gliseril ester
Analisis ragam yang dilakukan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa faktor rasio molar dan konsentrasi katalis MESA memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai viskositas gliseril ester. Uji lanjut Duncan untuk faktor rasio molar menunjukkan bahwa antara taraf rasio molar 0,8:1, 1,7:1, dan 2,6:1 masingmasing saling berbeda nyata. Adapun pada hasil uji lanjut Duncan untuk katalis, dapat dilihat bahwa taraf 0,3%, 0,5%, dan 0,7% masing-masing juga memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada nilai viskositas. Viskositas kinematis Viskositas kinematis merupakan uji untuk mengukur besarnya hambatan gliseril ester untuk dialirkan. Semakin tinggi nilai viskositas kinematis, maka akan semakin susah untuk mengalir. Menurut Gerhard dan Kevin (2011) nilai viskositas kinematis dipengaruhi oleh panjang rantai karbon, serta posisi dan
14
jumlah dari ikatan rangkap dari asam lemak ataupun alkohol yang digunakan dalam mensintesis ester. Semakin panjang rantai karbon maka akan semakin tinggi nilai viskositas kinematisnya, sedangkan keberadaan ikatan rangkap akan menurunkan nilai viskositas kinematis. Adapun menurut Hernandez dan Catalan (2014), viskositas kinematis merupakan fungsi dari viskositas dinamis dan densitas, dimana viskositas dinamis yang semakin tinggi serta densitas yang semakin rendah akan meningkatkan nilai viskositas kinematis. Pada Gambar 11, nilai viskositas kinematis yang didapat cukup fluktuatif, dimana pada rasio molar 0,8:1, ketika katalis MESA ditambahkan dari 0,3% menjadi 0,7%, viskositas kinematis gliseril ester yang dihasilkan mengalami penurunan. Selanjutnya, pada rasio molar 1,7:1 dan 2,6:1, secara umum viskositas kinematis mengalami peningkatan dibandingkan viskositas kinematis pada rasio 0,8:1. Selain itu, pada rasio molar 1,7:1 dan 2,6:1 , viskositas kinematis tertinggi berada ketika konsentrasi MESA yang ditambahkan sebanyak 0,5%. Konsentrasi katalis MESA 0,3% MESA 0,5% MESA 0,7%
Viskositas kinematis (cSt)
100
80
72,09 65,84
60
58,97 53,11
49,04
64,63 58,71
57,28
43,49
40
20 0 1 0,8 : 1
2
1,7:1
3
2,6 : 1
Rasio molar (gliserol : asam oleat)
Gambar 11
Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap viskositas kinematis gliseril ester
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa baik faktor rasio molar, konsentrasi katalis MESA, maupun interaksi antar kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang berarti pada perubahan nilai viskositas kinematis gliseril ester yang dihasilkan (Lampiran 7). Seperti yang telah dibahas sebelumnya, esterifikasi antara gliserol dan asam oleat akan menghasilkan gliseril ester dalam bentuk monoolein, diolein, ataupun triolein, dimana salah satu komponen tersebut akan dominan dan mempengaruhi sifat fisikokimianya secara umum. Adapun hasil analisis ragam yang tidak berpengaruh signifikan mengindikasikan semua sampel memiliki komponen utama yang sama dengan konsentrasi yang tidak terlalu berbeda antara satu dengan yang lainnya sehingga tidak berbeda signifikan.
15
Salah satu aplikasi dari gliseril ester ialah sebagai bahan dasar dalam pembuatan synthetic-based drilling fluid (SBF). Lumpur pemboran SBF dengan bahan dasar gliseril ester memiliki kinerja cukup baik seperti oil-based drilling fluid (OBF), namun sifatnya lebih ramah lingkungan. Aplikasi gliseril ester sebagai base fluid dalam drilling fluid dapat dilakukan apabila karakteristik gliseril ester yang dihasilkan memenuhi persyaratan base oil. Viskositas kinematis merupakan parameter rheologi yang disyaratkan pada suatu bahan apabila ingin diaplikasikan sebagai bahan dasar dalam drilling fluid. Saraline dan Sarapar adalah contoh base fluid komersial dalam pembuatan SBF, dengan nilai viskositas kinematisnya ialah 3-4 cSt dan 2,5 cSt (Seang et al. 2001). Adapun fluida sintetik komersial lainnya memiliki nilai viskositas kinematis sebesar 4,5 cSt. Dengan demikian nilai viskositas kinematis yang diinginkan ialah yang terendah, yaitu berada pada rasio molar 0,8:1 dengan penambahan katalis MESA sebanyak 0,7% Titik nyala Titik nyala merupakan temperatur terendah dimana bahan mulai dapat membentuk percikan api dan selanjutnya dapat terbakar sendiri (ASTM 2005). Titik nyala merupakan suatu parameter yang dipengaruhi oleh kandungan fraksi ringan (residu alkohol). Menurut Mittelbach dan Remschmidt (2004) adanya kandungan fraksi ringan yang semakin tinggi dalam ester, semakin rendah temperatur yang dibutuhkan untuk ester bisa menyala. Semakin rendah titik nyala suatu bahan maka akan semakin mudah bahan tersebut untuk terbakar dan membutuhkan penanganan khusus dalam penyimpanan. Pada Gambar 12, terlihat bahwa pada gliseril ester dengan rasio molar 0,8:1 dan 1,7:1, titik nyala tertinggi berada ketika konsentrasi katalis MESA yang ditambahkan adalah sebanyak 0,5%, namun pada rasio molar 2,6:1, peningkatan konsentrasi katalis akan menurunkan titik nyala. Titik nyala tertinggi berada pada nilai 208 oC, dimana dapat diartikan bahwa esterifikasi dengan rasio molar 2:1 dan penambahan katalis MESA 0,5% akan menghasilkan gliseril ester dengan sisa asam lemak dan gliserol yang sedikit.
16
Konsentrasi katalis MESA 0,3% MESA 0,5% MESA 0,7%
250 Titik nyala (oC)
204
206
202
204
208
206
204
200
199
200 150 100
50 0 1 0,8 : 1
2
1,7:1
3
2,6 : 1
Rasio molar (gliserol : asam oleat)
Gambar 12 Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap titik nyala gliseril ester Dalam esterifikasi, gliserol yang merupakan alkohol akan melepaskan gugus hidroksinya dan berikatan dengan asam oleat sehingga membentuk ester. Ini menyebabkan titik nyala gliseril ester menjadi lebih tinggi. Gliserol hasil pemurnian memiliki titik nyala 120 oC dan asam oleat memiliki nilai titik nyala pada 180 oC. Menurunnya titik nyala pada gliseril ester dengan rasio molar 2,6:1 disebabkan masih terdapat banyak sisa gliserol dan asam oleat yang tidak ikut bereaksi pada hasil akhir gliseril ester. Hasil analisis ragam untuk parameter titik nyala dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa baik faktor rasio molar, konsentrasi katalis, serta interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Komposisi komponen yang relatif sama pada tiap sampel hasil esterifikasi akan menyebabkan sampel tersebut memiliki titik nyala yang tidak terlalu berbeda nyata satu sama lain. Parameter nilai titik nyala juga dipertimbangkan dalam penggunaan gliseril ester sebagai base fluid dalam drilling fluid. Saraline memiliki nilai titik nyala 81 o C dan Sarapar memiliki titik nyala pada 112 oC (Setyawan et al. 2007). Adapun base fluid komersial lainnya mensyaratkan nilai titik nyala ialah minimal pada 90 o C. Dibandingkan dengan base fluid komersial tersebut, gliseril ester yang dihasilkan pada penelitian memiliki nilai titik nyala yang lebih tinggi. Semakin tinggi nilai titik nyala suatu bahan, akan semakin baik dan semakin mudah penanganan kebakarannya. Titik tuang Berdasarkan ASTM (2009), titik tuang adalah temperatur terendah dimana aliran dari suatu sampel tetap mampu mengalir. Semakin rendah titik tuang suatu bahan, maka bahan tersebut mampu mengalir pada suhu yang semakin rendah.
17
Menurut Soriano et al. (2006) panjang rantai dan ketidakjenuhan suatu molekul mempengaruhi titik tuangnya. Rantai molekul yang semakin panjang akan meningkatkan nilai titik tuang, sedangkan adanya ikatan rangkap yang menandakan ketidakjenuhan akan menurunkan nilai titik tuang. Selain viskositas kinematis dan titik nyala, titik tuang juga menjadi parameter untuk bahan yang diaplikasikan sebagai base fluid. Dilihat pada Gambar 13, titik tuang gliseril ester secara umum adalah 0 oC. Ini menunjukkan di bawah suhu 0 oC, di dalam gilseril ester akan terbentuk kristal-kristal putih dan sudah tidak dapat mengalir. Adapun pada tiap penambahan konsentrasi katalis MESA 0,5%, titik tuang gliseril ester memiliki nilai terendah, yaitu -1,5 oC. Konsentrasi katalis MESA 0,3% MESA 0,5% MESA 0,7%
5
Titik tuang (oC)
3 1
0
0
0
0
0
0
-1 -1,5
-1,5
-1,5
-3
-5 0,8 : 1
1,7:1
2,6 : 1
Rasio molar (gliserol : asam oleat)
Gambar 13 Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap titik tuang gliseril ester Suatu bahan atau fluida dengan nilai titik tuang yang semakin rendah, maka fluida tersebut akan semakin baik jika diaplikasikan pada daerah bersuhu rendah. Dari hasil analisis ragam, terlihat bahwa baik faktor rasio molar, konsentrasi katalis, dan interaksi antar kedua faktor tidak berpengaruh signifikan pada α = 5% terhadap nilai titik tuang gliseril ester yang dihasilkan (Lampiran 9). Perbedaan yang tidak signifikan ini menunjukkan bahwa semua sampel hasil esterifikasi menghasilkan gliseril ester dengan komposisi yang hampir sama satu sama lain. Dilihat dari Gambar 13, gliseril ester dengan penambahan konsentrasi katalis 0,5% akan memberikan hasil yang optimum sehingga akan semakin banyak asam oleat yang terikat pada gliserol. Adanya ikatan rangkap yang terdapat pada asam oleat akan berpengaruh pada nilai titik tuang gliseril ester yang terbentuk. Dengan demikian, dengan banyaknya asam oleat yang terikat pada
18
gliserol, maka gliseril ester yang dihasilkan pun akan memiliki titik tuang yang semakin rendah. Menurut Seang et al. (2001), titik tuang Saraline ialah pada -16 oC dan Sarapar pada -11 oC. Adapun base oil komersial lainnya mensyaratkan nilai titik tuang di bawah 18 oC. Meskipun nilai titik tuang gliseril ester yang dihasilkan tidak serendah titik tuang Sarlaline dan Sarapar, gliseril ester ini masih memenuhi spesifikasi untuk dapat menjadi base fluid pada drilling fluid karena memiliki nilai titik tuang pada -1,5 oC. Titik didih Titik didih merupakan sifat fisikokimia yang menunjukkan nilai pada suhu berapa suatu bahan akan mulai mendidih. Titik didih menunjukkan kekuatan gaya tarik antar molekul yang kuat dalam suatu fluida, dimana gaya tarik yang semakin tinggi akan meningkatkan nilai titik didih. Menurut Kinney (1938), titik didih dipengaruhi oleh bobot molekul dan adanya ikatan hidrogen. Pada Gambar 14, sampel gliseril ester dengan nilai titik didih tertinggi ialah pada rasio molar 1,7:1. Adapun semakin tinggi konsentrasi katalis MESA yang dberikan akan meningkatkan titik didih, namun pada konsentrasi 0,7% akan menurunkan kembali nilai titik didihnya. Ini disebabkan penambahan katalis yang terlalu banyak dapat menyebabkan hambatan bagi pembentukan gliseril ester itu sendiri sehingga gliseril ester tidak banyak terbentuk sehingga titik didihnya menjadi lebih rendah. Konsentrasi katalis MESA 0,3% MESA 0,5% MESA 0,7%
160
Titik didih (oC)
140 120
117 105
105
119
118
106
103
105
104
100 80 60 40 20 0 1 0,8 : 1
2
1,7:1
3
2,6 : 1
Rasio molar (gliserol : asam oleat)
Gambar 14 Pengaruh rasio molar dan konsentrasi katalis MESA terhadap titik didih gliseril ester
19
Dilihat pada Lampiran 10, hasil analisis ragam untuk titik didih menunjukkan bahwa baik faktor konsentrasi katalis maupun interaksi antar kedua faktor tidak berpengaruh signifikan pada α = 5% terhadap nilai titik didih gliseril ester yang dihasilkan. Sampel hasil esterifikasi dengan komposisi yang relatif sama akan menghasilkan bobot molekul campuran yang relatif sama juga. Ini menyebabkan nilai titik didih antara masing-masing sampel tidak berbeda nyata. Adapun faktor rasio molar memberikan pengaruh yang signifikan. Uji lanjut Duncan faktor rasio molar menunjukkan bahwa antara rasio molar 0,8:1 dan 2,6:1 tidak berbeda nyata, sedangkan kedua taraf tersebut saling berbeda nyata dengan taraf rasio molar 1,7:1. Ini menunjukkan konsentrasi gliseril ester tertinggi berada pada sampel hasil esterifikasi dengan rasio molar 1,7:1. Dalam pembuatan base fluid untuk drilling fluid, parameter titik didih juga diamati untuk mencegah penggunaan base fluid pada kondisi suhu pengeboran diatas titik didih base fluid itu sendiri. Saraline mulai mendidih pada suhu 200 oC. Adapun base fluid komersial lainnya mensyaratkan titik didih untuk base fluid minimal ialah 200 oC. Dengan demikian, untuk parameter titik didih, gliseril ester yang dihasilkan masih belum memenuhi spesifikasi base fluid dalam drilling fluid. Setelah gliseril ester hasil esterifikasi dianalisis karakteristiknya, selanjuntya ditentukan kondisi esterifikasi terbaik berdasarkan parameter analisis yang telah dilakukan. Pertama, dilihat dari rendemen yang didapatkan, rendemen tertinggi gliseril ester didapatkan pada penggunaan rasio molar 0,8:1 dan konsentrasi katalis MESA 0,7%. Kemudian untuk parameter densitas, baik faktor rasio molar dan konsentrasi katalis tidak berpengaruh signifikan. Selain itu, dilihat pada data yang ada, selisih nilai densitas, baik pada tiap rasio molar maupun selisih pada tiap konsentrasi katalis, nilai densitas gliseril ester secara keseluruhan memiliki nilai selisih yang kecil sehingga penentuan kondisi esterifikasi terbaik ditentukan dari parameter analisis lainnya. Selanjutnya, diilihat dari analisis bilangan asam, kondisi esterifikasi terbaik ialah pada rasio molar 0,8:1. Adapun karena penambahan katalis MESA sebanyak 0,3% dan 0,5% tidak berbeda nyata, maka konsentrasi katalis yang terbaik ialah 0,3%. Selanjutnya, pada parameter viskositas, gliseril ester yang terbaik ialah dengan nilai viskositas terendah, yaitu esterifikasi dengan rasio molar 0,8:1. Penentuan kondisi esterifikasi terbaik untuk parameter viskositas kinematis juga sama dengan parameter viskositas, dimana gliseril ester yang diinginkan ialah gliseril ester dengan nilai viskositas kinematis yang rendah. Ini berhubungan dengan semakin rendahnya nilai viskositas, maka bahan akan semakin mudah untuk mengalir. Berdasarkan data hasil analisis, viskositas kinematis terendah ialah pada gliseril ester yang dihasilkan dari esterifikasi dengan rasio molar 0,8:1. Pada parameter analisis titik nyala, gliseril ester terbaik ialah gliseril ester dengan nilai titik nyala yang semakin tinggi. Bahan dengan titik nyala tinggi akan lebih mudah dalam penanganannya karena bahan tersebut akan lebih sulit untuk terbakar. Secara umum nilai titik nyala tertinggi ialah pada gliseril ester dari esterifikasi dengan rasio molar 1,7:1, tetapi nilai titik nyala ini tidak berbeda jauh dengan gliseril ester pada rasio molar 0,8:1. Adapun perbandingan pada taraf konsentrasi katalis, gliseril ester dengan titik nyala tertinggi ialah gliseril ester hasil esterifikasi dengan penambahan katalis MESA sebanyak 0,5%. Hasil analisis pada parameter titik tuang, menunjukkan bahwa gliseril ester dengan titik tuang terendah ialah gliseril ester hasil esterifikasi dengan
20
penambahan katalis MESA sebanyak 0,5%. Titik tuang yang semakin rendah akan memberikan manfaat kemudahan bahan tersebut untuk dapat mengalir pada suhu yang rendah. Kemudian, pada parameter titik didih, gliseril ester dengan titik didih tertinggi ialah gliseril ester dengan rasio molar 1,7:1 dan konsentrasi katalis 0,5% pada esterifikasi. Dengan demikian, secara keseluruhan, kondisi terbaik esterifikasi ialah pada rasio molar 0,8:1 dengan penambahan katalis MESA sebanyak 0,5%.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengumpanan gliserol secara berlebih tidak menghasilkan rendemen gliseril ester yang semakin tinggi. Esterifikasi dengan rasio molar 2,6:1 disimpulkan kurang optimum sebab selain masih banyaknya gliserol yang tersisa, nilai sifat fisikokimia pada rasio molar tersebut masih kurang baik apabila dibandingkan dengan gliseril ester dengan rasio molar 1,7:1 dan 0,8:1. Adapun secara umum, nilai pada beberapa parameter analisis untuk gliseril ester yang dihasilkan dari esterifikasi dengan rasio molar 0,8:1 dan 1,7:1 tidak jauh berbeda. Dengan demikian kondisi proses esterifikasi terbaik didapatkan pada rasio molar 0,8:1 dengan jumlah konsentrasi katalis MESA 0.5%, dimana gliseril ester yang dihasilkan memiliki rendemen 79,95%, densitas 0,940 g/cm3, bilangan asam 44 mg KOH/g sampel, viskositas 90 cP (30 oC), viskositas kinematis 49,04 cSt (40 o C), titik nyala 206 oC, titik tuang -1,5 oC, dan titik didih 105 oC. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk esterifikasi pada suhu di atas 180 C. Ini disebabkan pada suhu tersebut konversi yang didapatkan masih di bawah 60%. Selain itu dapat juga dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kondisi proses esterifikasi yang optimum dengan menggunakan katalis MESA dan dibandingkan dengan katalis lainnya. o
DAFTAR PUSTAKA [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2005. Standard Test Methods for Flash Point by Pensky-Martens Closed Cup Tester. Washington (US): ASTM. _______________________________________________. 2009. Standard Test Methods for Distillation of Petroleum Products. Washington (US): ASTM.
21
_______________________________________________. 2009. Standard Test Methods for Kinematic Viscosity of Transparent and Opaque Liquids. Washington (US): ASTM. _______________________________________________. 2009. Standard Test Methods for Pour Point of Petroleum Products. Washington (US): ASTM. Eastridge, M.L. 2007. Feeding glycerol to cows has limits. Farm and Dairy Online. Oktober 2007. _____________. 2009. Variation in the chemical composition of crude glycerin. Animal Sciences. 2009. Farobie O. 2009. Pemanfaatan gliserol hasil samping produksi biodiesel sebagai bahan penolong penghancur semen. [tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Fessenden RJ, Fessenden JS. 1982. Kimia Organik. Jilid 2 Edisi Ketiga. Jakarta (ID): Erlangga. Gerhard K, Steidley KR. 2011. Kinematic viscosity of fatty acid methyl esters: Prediction, calculated viscosity contribution of esters with unavailable data, and carbon–oxygen equivalentss. Fuel. 84 (2011): 3217–3224 Hernandez, JCC dan Catalan, DEP. 2014. Predicting the kinematic viscosity of FAMEs and biodiesel: empirical models. Fuel. JFUE 7844: 09. Holemberg K, Jonsson B, Kronberg B, Lindman B. 2002. Surfactants and Polymers in Aqueos Solution. London (GB): Jhon Wiley & Sons, Ltd., Hui YH. 1995. Bailey Industrial Oil and Fat Products Volume 1. New York (US): J Wiley. Phillips, JC dan Mattamal, GJ. 1978. Effect of number of carboxyl gropus on liquid density of esters of alkylcarboxylic acids. Chem. Eng. 23(1): 1-6. Kale S, Armbruster U, Umbarkar S, Dongare M, Martin A. 2013. Esterification of glycerol with acetic acid for improved production of triacetin using toluene as an entrainer. Green Chemistry Conference 10th. Keenan CW, Kleinfelter DC, Wood JH. 1992. Ilmu Kimia Untuk Universitas Edisi Keenam. Jakarta (ID): Erlangga. Kinney CR. 1938. A system corelating molecular structure of organic compounds with their boiling points. Chemical Laboratory Utah University. No 51. Knothe, G., Van Gerpen, J., and Krahl, J. 2005. The Biodiesel Handbook. AOCS Press. Illinois. Mittelbach M, Remschmidt C. 2004. Biodiesel. ISBN: 3-200-00249-2. Pagliaro M, Rossi M. 2006. The Future of Glycerol New Uses Of a Versatile Raw Material. Cambridge (GB): The Royal Society of Chemistry. Pardi. 2005. Optimasi proses produksi gliserol monooleat dari gliserol hasil samping pembuatan biodiesel [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Segur, JB dan Oberstar, HE. 1951. Viscosity of glycerol and its aqueous solutions. Eng. Chem. 43(9): 2177-2120. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. Gliserol Kasar. Jakarta: SNI. Soriano NU Jr, Migo VP, Matsumura M. 2006. Ozonized vegetable oil as pour point depressant for neat biodiesel. Fuel. 85(2006): 25-31. Utami A. 2013. Pengaruh konsentrasi katalis methyl ester sulfonic acid terhadap sifat fisikokimia gliseril ester oleat yang dihasilkan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
22
Lampiran 1 Perhitungan rasio molar Rasio molar yang digunakan pada penelitian ialah 0,8:1, 1,7:1, dan 2,6:1, dengan kemurnian gliserol hasil pemurnian sebesar 84% dan asam oleat 98%. Adapun bobot molekul gliserol murni ialah 92,02 g/mol dan asam oleat murni ialah 282 g/mol. Berikut merupakan perhitungan massa yang digunakan dalam esterifikasi. Tabel Perbandingan gliserol dan asam oleat komersial dengan bahan penelitian Bahan Bobot Kemurnian Standar molekul (%) kemurnian (g/mol) (%) Gliserol 92,02 84 100 Asam 282 98 100 oleat Tabel Perhitungan massa gliserol dan asam oleat yang digunakan dalam esterifikasi Rasio molar Massa gliserol yang digunakan (g) Massa asam oleat yang (gliserol:oleat) digunakan (g) Kemurnian Kemurnian 84% Kemurnian Kemurnian 98% 100% 100% 0,8 : 1 1,7 : 1 2,6 : 1
= 92,02 x 0,8 = 73,61 = 92,02 x 1,7 =156,43 = 92,02 x 2,6 =239,25
= (100/84) x 73,61 = 87.63 = (100/84) x 156,43 = 186,23 = (100/84) x 239,25 = 284,82
= 282 x 1 = 282 = 282 x 1 = 282 = 282 x 1 = 282
= (100/98) x 282 = 287,75 = (100/98) x 282 =287,75 = (100/98) x 282 =287,75
Lampiran 2 Prosedur analisis 1. Kadar Gliserol (SNI 06-1564-1995) Sebanyak 0,5 g gliserol dilarutkan dengan 50 ml air di dalam erlenmeyer 500 ml. Kemudian ditambahkan 5 tetes indikator bromtimol biru dan larutan diasamkan dengan H2SO4 0,2 N sampai terbentuk warna kuning kehijauan. Setelah itu, larutan dinetralkan dengan NaOH 0,05 N sampai tepat terbentuk warna biru. Dibuat blanko dengan 50 ml air dan diberi perlakuan seperti contoh. Lalu sebanyak 50 ml larutan NaIO4 ditambahkan ke dalam contoh dan blanko, kemudian diaduk perlahan, ditutup, dan didiamkan dalam ruangan gelap suhu kamar selama 10 menit. Setelah itu, ditambahkan 10 ml larutan etilen glikol 1:1. Larutan diaduk perlahan, ditutup, dan didiamkan pada suhu ruang selama 20 menit. Larutan diencerkan dengan 300 ml air akuades dan ditambahkan 3 tetes indikator bromtimol biru. Kemudian larutan hasil campuran tersebut ditirasi dengan NaOH 0,5 N sampai tepat terbentuk warna biru. Berikut adalah rumus untuk perhitungan kadar gliserol. Kadar gliserol = Keterangan : T1 = ml NaOH untuk titrasi contoh T2 = ml NaOH untuk titrasi blanko N = normalitas NaOH untuk titrasi W = bobot contoh (g)
T1 − T2 x N x 9,209 W
23
2. Bilangan asam (SNI 01-3555-1998) Sebanyak 2-5 gram sampel dilarutkan dengan 50 ml alkohol 95% netral, kemudian sampel tersebut dipanaskan pada suhu 40°C sampai sampel minyak larut. Setelah larut (homogen), sampel tersebut ditambahkan larutan indikator fenolftalein sebanyak 1-2 tetes. Setelah itu campuran dititrasi dengan larutan standar KOH 0,1 N hingga warna merah muda yang stabil minimal selama 30 detik. Perhitungan untuk bilangan asam ialah dengan rumus berikut: Bilangan asam =
V x N x 56,1 W
Keterangan : V = volume KOH yang diperlukan dalam titrasi (ml) N = normalitas KOH W = bobot sampel (g) 3. Densitas Tombol power yang ada di belakang alat ditekan untuk menghidupkan alat, lalu pilih metode densitas. Selang pompa disambungkan ke adapter dan pompa diaktifkan. Setelah itu suhu pengukuran diatur dan ditunggu hingga suhu alat mencapai suhu yang disetting. Setela itu, sampel dimasukkan ke dalam tabung u-tube dengan syringe dan dipencet run. Bila hasil pengukuran telah didapatkan, u-tube dibilas dengan pelarut yang dapat melarutkan sampel (toluene untuk sampel minyak). Pembilasan dilakukan hingga tabung u-tube benar-benar bersih. Setelah itu, selang pompa dimasukkan lagi ke dalam adapter dan pompa diaktifkan untuk pengeringan. Setelah pengeringan, ditunggu hingga nilai densitas udara 0,0012 g/cm3. Alat siap untuk digunakan pengujian sampel berikutnya.
4. pH) Alat pH meter dinyalakan terlebih dahulu dan dikalibrasi dengan menekan tombol “cal”. Kalibrasi dilakukan dengan larutan pH 4, 7, dan 10. Sebelum batang pH meter dipindahkan dari sampel satu ke sampel selanjutnya, batang pH meter dibilas terlebih dahulu dengan air dan dilap dengan tissue hingga kering. Setelah nilai kalibrasi sesuai, maka dapat dilanjutkan dengan pengukuran sampel dengan menekan tombol “run”. Amati dan catat nilai pH yang tertera pada layar kotak pH meter. Setelah selesai digunakan, batang pH meter dibilas dengan air, di lap, kemudian dtempatkan kembali pada penjepitnya dan ujung batang pH meter dimasukkan ke dalam tabung silikon yang telah disediakan. 5. Viskositas kinematis Waterbath dihidupkan dengan menekan tombol On/Off, kemudian pilih suhu yang akan digunakan dengan menekan tombol : P1 : 60ºC P2 : 70ºC P3 : Bebas (0-90ºC) Hidupkan Rheometer dengan menekan tombol On/Off yang terletak di bagian belakang alat, kemudian pada layar pilih No. 1, yaitu “External Control” dengan menekan tombol 1 pada keyboard Rheometer. Hidupkan komputer, kemudian pada layar desktop pilih ikon “Rheocalc 32” untuk memulai program.
24
Pada halaman antamuka bagian “Custom” pilih tombol “Zero Rheometer” sebelum memulai pengukuran. Pada bagian “Test” pilih “Load Program” kemudian “Uji Harian.RCP” untuk memanggil kembali program rutin harian atau “Test Wizard” untuk memulai kembali program yang akan dijalankan sesuai dengan kebutuhan. Setelah suhu alat telah mencapai suhu yang diinginkan, sampel dimasukkan ke dalam “Small Sampler Adapter” kemudian dipasangkan pada pemanas. Setelah itu spindle SC18 dimasukkan dan dipasangkan pada alat Rheometer berikut dengan kabel pengukur suhunya. Ditunggu hingga suhu sampel mencapai suhu pengukuran. Setelah sampel mencapai suhu pengukuran, program yang sebelumnya sudah diatur dijalankan dengan menekan tombol “Start Program” kemudian letakan data pengukuran di folder “Uji Harian” dan disimpan pada bulan dan minggu yang sesuai setelah itu biarkan program berjalan hingga selesai. Data yang diperoleh kemudian disimpan dalam bentuk excel dengan memilih ikon “Export Data” dan disimpan pada folder yang sama dengan data program. Data yang telah berbentuk excel kemudian dipanggil untuk diolah dengan cara: o Lima data pertama dibuang karena rotasi spindle belum sempurna. o Ubah angka-angka pada data viskositas, Torque, Shear rate, dan Shear stress menjadi 2 angka desimal sedangkan untuk temperatur cukup 1 angka desimal. o Ambil rata-rata dari data-data tersebut untuk pelaporan hasil dengan menyertakan Viskositas, Shear rate (1/s)/speed (rpm), Torque (%) dan temperature sedangkan Shear Stress boleh dicantumkan. Setelah pengukuran selesai, wadah sampel beserta spindle dicuci dengan pelarut yang sesuai (toluene untuk sampel minyak) dan dicuci dengan sabun. Bagian dalam wadah sampel kemudian dilap menggunakan tissue lalu dipasangkan kembali pada mantel pemanas dan biarkan hingga kering setelah itu dapat dipakai kembali. Setelah pengukuran selesai, semua peralatan dicuci dan dikeringkan kemudian disimpan kembali pada tempatnya. Pastikan meja dalam keadaan bersih dan rapi. Tutup program pada komputer, kemudian matikan komputer disusul dengan mematikan Rheometer lalu waterbath. Cabut semua sakelar sebelum meninggalkan ruangan. 5. Viskositas kinematis (ASTM D 445) Viskometer dibersihkan dengan cairan pembersih kemudian dibilas hati-hati dengan air suling dan dikeringkan dengan aseton di udara terbuka. Alat dicelupkan dalam termostat air bersuhu 25 °C agar tercapai ekuilibrium. Gelas berisi air diletakkan dalam termostat tersebut. Air suling yang telah disetimbangkan temperaturnya dimasukkan ke dalam viskometer. Densitas juga diukur pada alat tersebut pada kondisi yang sama. Untuk fluida nonkompresibel, viskositas dihitung dengan persamaan: π x r 4 x (P1 − P2) dV = δxnxL dt Keterangan: η = viskositas kinematik dV/dt = laju alir fluida melalui kapiler r = diameter kapiler L = panjang kapiler P1-P2 = beda tekanan pada kedua ujung kapiler
25
Bila viskositas air suling dapat diketahui, maka viskosias fluida dapat dihitung melalui persamaan: μs x θ x ρ μ= θs x ρs Keterangan: μ = viskositas dinamis (cP) θ = waktu yang dibutuhkan fluida untuk batas atas hingga batas bawah ρ = densitas 24 6. Titik nyala (ASTM D 92) Wadah pengujian diisi dengan sampel, kemudian diatur suhunya agar tidak melebihi 56°C (100°F), dibawah titik nyala yang diharapkan. Apabila terlalu banyak sampel yang dimasukkan ke dalam wadah, maka ambil kelebihannya dengan syringe. Kemudian hilangkan gelembung atau busa pada permukaan dengan pisau. Apabila bahan berbentuk padatan, maka tidak dapat langsung dimasukkan ke dalam wadah, melainkan dipanaskan terlebih dahulu hingga meleleh dan setelah itu baru dimasukkan ke dalam wadah pengujian. Nyalakan api dan atur agar diamaernya 3,2-4,8 mm. Selain itu, gas bertekanan di-supply ke dalam wadah dan tidak boleh melebihi 3 kPa dari tekanan air. Kemudian bahan dipanaskan dengan kenaikan 5-17 oC per menit. Ketika temperatur bahan mendekati 56 oC, masih di bawah titik nyalanya, panas diturunkan sehingga laju kenaikan temperatur terakhir 28 oC sebelum titik nyala ialah sebesar 5-6 oC. Selanjutnya, tes percikan dijalankan ketika suhu mendekati 28 oC. Tes dijalankan di tengah-tengah wadah. Saat buih mulai muncul pada permukaan bahan, maka pengujian dihentikan. Yang perlu dicatat adalah pembacaan temperatur ketika bahan menyala saat dipanaskan. Lalu, saat peralatan didinginkan kurang dari 60 oC, wadah pengujian diambil dan dicuci. Selama pengujian perlu dicatat nilai tekanan barometrik ambien. Adapun rumus perhitungan titik nyala adalah sebagai berikut: Titik nyala = C + 0,25(101,3 − K)
Keterangan: C = titik nyala yang diamati (oC) K = tekanan barometrik ambien (kPa) 7. Titik tuang (ASTM D 97) Sampel dituang ke dalam wadah uji hingga mencapai tanda batas. Bila sampel memiliki sensitivitas terhadap panas, maka sampel perlu didiamkan terlebih dahulu selama 24 jam dalam suhu ruang. Kemudian wadah uji ditutup dengan menggunakan sumbat yang memiliki termometer tuang-tinggi. Pada sampel dengan titik tuang diatas 33°C, pemanasan dilakukan tanpa pengadukan hingga mencapai 9°C diatas titik tuang yang diharapkan. Setelah itu, wadah uji dipindahkan ke dalam water bath dengan suhu 24°C. Wadah uji tidak dibolehkan menyentuh langsung medium pendingin sehingga harus menggunakan jaket penghalang. Pembacaan titik tuang dilakukan pada saat sampel memiliki temperatur sebesar 9°C diatas titik tuang yang diharapkan dan dilakukan setiap terjadi penurunan temperatur sebesar 3°C. Bila temperatur sampel mencapai temperatur awal, maka jaket penghalang dilepaskan dengan tidak memberikan goncangan pada sampel. Bila sampel memiliki titik tuang lebih rendah dari 27°C, maka wadah dipindahkan ke dalam water bath dengan suhu lebih rendah sesuai dengan jadwal berikut: Sampel pada 27°C, dipindahkan ke 0°C water bath
26
Sampel pada 9°C, dipindahkan ke -18°C water bath Sampel pada -6°C, dipindahkan ke -33°C water bath Sampel pada -24°C, dipindahkan ke -51°C water bath Sampel pada -42°C, dipindahkan ke -69°C water bath 25
Ketika sampel sudah tidak bergerak lagi, wadah uji ditahan selama 5 detik dalam posisi horizontal. Bila terjadi gerakan, maka wadah uji dimasukkan kembali ke dalam water bath. Bila sudah tidak ada gerakan, pencatatan temperatur dilakukan. Perhitungan titik tuang dapat dilakukan sebagai berikut: Titik tuang = Pembacaan temperatur + 3o C 8. Titik didih (ASTM D 86) Labu destilasi dipanaskan. Pemanasan harus diatur agar interval waktu antara pemanasan awal dan sampel mulai mendidih mencapai 2-15 menit, lalu amati dan catat titik didih inisial. Apabila deflektor tidak sedang dipakai, labu pemanasan dipindahkan sehingga ujung kondensor menyentuh dinding bagian dalam labu. Lalu pemanasan diatur sehingga waktu antara titik didih inisial mencapai 60-75 detik untuk pencapaian 5-10%. Pemanasan masih dilanjutkan sehingga laju rata-rata kondensasi dari pencapaian 5-10% hingga 5 ml residu dalam labu adalah 4-5 ml/ menit. Rangkaian destilasi diulang sehingga mencapai kondisi stabil. Apabila titik dekomposisi telah ditemukan, pemanasan dihentikan dan dilakukan tahapan sebagai berikut: ketika tabung kondensor mulai menarik keluar sampel dalam labu, amati volume kondensat setiap 2 menit hingga tercapai data stabil. Kemudian volume dihitunga dan dicatat, terdekat degan 0,5 atau 1 ml. Apabila destilasi dihentikan data pengambilan dikurangi dari 100, kemudian selisihnya dihitung sebagai persen residu dan loss. Pada interval sampel mulai mendidih hingga destilasi berakhir, amati dan catat data yang dibutuhkan untuk perhitungan, dengan data yang dicatat adalah pembacaan termometer. Lalu dicatat volume pada labu saat terdekat ke 05-1 mL dan pembacaan termometer terdekat dengan 0,5’’C atau 1oC. Saat sisa bahan dalam labu mendekati 5 mL, ditetapkan panasnya sehingga waku untuk saat sampel sebanyak 5 mL dalam labu hingga akhir destilasi ialah 3-4 menit. Amati dan catat titik didih akhir atau titik saat bahan mulai habis dan hentikan pemanasan. Ketika tabung kondensor mulai menarik keluar sampel dalam labu, amati volume kondensat setiap 2 menit hingga tercapai data stabil. Kemudian volume dihitung dan dicatat, terdekat degan 0,5 atau 1 ml. Apabila destilasi dihentikan data pengambilan dikurangi dari 100, kemudian selisihnya dihitung sebagai persen residu dan loss. Setelah labu didinginkan, tuangkan bahan ke dalam labu silinder 5 mL dan endapan ke dalam labu lainnya, biarkan labu mulai menghabis. Adapun perhitungan untuk titik didih dapat dihitung dengan rumus TH − TL (R − R L ) Titik didih = TL + RH − RL R = persen yang diperoleh pada evaporasi RH = persen yang diperoleh, mendekati dan diatas nilai R RL = persen yang diperoleh, mendekati dan dibawah nilai R TH = pembacaan termometer saat RH TL = pembacaan termometer saat RL
27
Lampiran 3 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter rendemen a) Data rendemen gliseril ester Rendemen Rataan Stdev Kombinasi I** II A1B1* 74,66 76,00 75,33 0,948 A1B2 79,10 80,00 79,55 0,636 A1B3 83,28 81,15 82,22 1,506 A2B1 38,65 41,47 40,06 1,994 A2B2 45,27 39,31 42,29 4,214 A2B3 51,75 53,25 52,50 1,061 A3B1 23,42 30,73 27,08 5,169 A3B2 29,51 34,47 31,99 3,507 A3B3 37,56 36,36 36,96 0,849 (*) perlakuan antara faktor rasio molar (A) dan penambahan katalis MESA (B) (**) I: data untuk ulangan ke-1, dan II: data untuk ulangan ke-2 b) Hasil uji ragam terhadap rendemen Sumber Jumlah kuadrat Model 7439,765 Intersep 48568,056 Rasio molar 7125,255 Katalis 279,343 Rasio molar*katalis 35,168 Error 68,798 Total 56076,618 Total koreksi 7508,563
Df 8 1 2 2 4 9 18 17
Rataan kuadrat 929,971 48568,056 3562,627 139,671 8,792 7,644
F 121,657 6,354E3 466,058 18,272 1,150
c) Hasil uji lanjut Duncan faktor rasio molar terhadap rendemen Rasio Molar N Subset 1 2 3 6 2,6:1 31,80 6 1,7:1 44,99 6 0,8:1 79,03 Sig, 1,000 1,000 1,000 d) Hasil uji lanjut Duncan faktor konsentrasi katalis terhadap rendemen Katalis N Subset 1 2 3 6 0,7% 47,48 6 0,5% 51,27 6 0,3% 57,07 Sig, 1,000 1,000 1,000
Sig, 0,000 0,000 0,000 0,001 0,393
28
Lampiran 4 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter densitas a) Data densitas gliseril ester Desnitas Rataan Stdev Kombinasi I** II A1B1* 0,940 0,935 0,938 0,004 A1B2 0,940 0,940 0,940 0,000 A1B3 0,940 0,940 0,940 0,000 A2B1 0,942 0,942 0,942 0,000 A2B2 0,938 0,945 0,942 0,005 A2B3 0,947 0,939 0,943 0,006 A3B1 0,943 0,943 0,943 0,000 A3B2 0,942 0,943 0,943 0,001 A3B3 0,943 0,944 0,944 0,001 (*) perlakuan antara faktor rasio molar (A) dan penambahan katalis MESA (B) (**) I: data untuk ulangan ke-1, dan II: data untuk ulangan ke-2 b) Hasil uji ragam terhadap densitas Sumber Jumlah kuadrat Model Intersep Rasio molar Katalis Rasio molar*katalis Error Total Total koreksi
6,044E-5 15,954 4,78E-5 5,444E-5 6,222E-5 7,000E-5 15,954 0,000
Df 8 1 2 2 4 9 18 17
Rataan F kuadrat 7,556E-5 0,971 15,954 2,051E5 2,439E-5 3,136 2,722E-6 0,350 1,556E-6 0,200 7,778E-5
Sig, 0,511 0,000 0,093 0,714 0,932
c) Hasil uji lanjut Duncan terhadap densitas Tidak dilakukan karena tidak ada pengaruh signifikan dari faktor rasio molar, faktor konsentrasi katalis, dan interaksi kedua faktor terhadap nilai densitas. Lampiran 5 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter bilangan asam a) Data bilangan asam gliseril ester Bilangan asam Rataan Stdev Kombinasi I** II A1B1* 35 43 39 5,657 A1B2 40 47 44 4,950 A1B3 50 54 52 2,828 A2B1 48 45 47 2,121 A2B2 52 47 50 3,536 A2B3 60 56 58 2,828 A3B1 51 54 53 2,121 A3B2 60 56 58 2,828 A3B3 52 43 48 6,364
29
(*) perlakuan antara faktor rasio molar (A) dan penambahan katalis MESA (B) (**) I: data untuk ulangan ke-1, dan II: data untuk ulangan ke-2 b) Hasil uji ragam terhadap bilangan asam Sumber Jumlah kuadrat Model 1180,000 Intersep 48360,500 Rasio molar 540,333 Katalis 633,000 Rasio molar*katalis 6,667 Error 114,500 Total 49655,000 Total koreksi 1294,500
Df 8 1 2 2 4 9 18 17
Rataan kuadrat 147,500 48360,500 270,167 316,500 1,667 12,722
F 11,594 3,801E3 21,236 24,878 0,235
c) Hasil uji lanjut Duncan faktor rasio molar terhadap bilangan asam Rasio Molar N Subset 1 2 3 6 0,8:1 44,83 6 1,7:1 51,33 6 2,6:1 59,33 Sig, 1,000 1,000 1,000 d) Hasil uji lanjut Duncan faktor konsentrasi katalis terhadap bilangan asam Katalis N Subset 1 2 6 0,3% 46,00 6 50,33 0,5% 6 0,7% 59,17 Sig. 0,173 0,085 Lampiran 6 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter viskositas a) Data viskositas gliseril ester Viskositas Rataan Stdev Kombinasi I** II A1B1* 91 92 92 0,707 A1B2 91 89 90 1,414 A1B3 82 80 81 1,414 A2B1 96 97 97 0,707 A2B2 92 89 91 2,121 A2B3 86 87 87 0,707 A3B1 107 103 105 2,828 A3B2 103 100 102 2,121 A3B3 93 96 95 2,121 (*) perlakuan antara faktor rasio molar (A) dan penambahan katalis MESA (B) (**) I: data untuk ulangan ke-1, dan II: data untuk ulangan ke-2
Sig. 0,001 0,000 0,000 0,000 0,967
30
b) Hasil uji ragam terhadap viskositas Sumber Jumlah kuadrat Model 869,000 Intersep 155682,000 Rasio molar 524,333 Katalis 329,333 Rasio molar*katalis 15,333 Error 27,000 Total 156578,000 Total koreksi 896,000
Df
Rataan kuadrat
8 1 2 2 4 9 18 17
108,625 155682,000 262,167 164,667 3,833 3,000
F
Sig,
36,208 5,189E4 87,389 54,889 1,278
0,000 0,000 0,000 0,000 0,348
c) Hasil uji lanjut Duncan faktor rasio molar terhadap viskositas Rasio Molar N Subset 1 2 3 6 2,6:1 87,50 6 1,7:1 91,16 6 0,8:1 1,0033E2 Sig. 1,000 1,000 1,000 d) Hasil uji lanjut Duncan faktor konsentrasi katalis terhadap viskositas Katalis N Subset 1 2 3 6 0,3% 87,33 6 0,5% 94,00 6 0,7% 97,66 Sig.
1,000 1,000
1,000
Lampiran 7 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter viskositas kinematis a) Data viskositas kinematis gliseril ester Vis-kin Rataan Stdev Kombinasi I** II A1B1* 45,29 60,93 53,11 11,059 A1B2 58,93 39,14 49,04 13,994 A1B3 53,42 33,55 43,49 14,050 A2B1 70,32 47,61 58,97 16,058 A2B2 56,47 75,20 65,84 13,244 A2B3 63,90 53,52 58,71 7,340 A3B1 67,32 61,94 64,63 3,804 A3B2 60,18 84,00 72,09 16,843 A3B3 64,83 49,72 57,28 10,684 (*) perlakuan antara faktor rasio molar (A) dan penambahan katalis MESA (B) (**) I: data untuk ulangan ke-1, dan II: data untuk ulangan ke-2
31
b) Hasil uji ragam terhadap viskositas kinematis Sumber Jumlah kuadrat Df Model Intersep Rasio molar Katalis Rasio molar*katalis Error Total Total koreksi
1241,317 60815,606 863,112 257,313 120,892 1415,010 63471,934 2656,328
8 1 2 2 4 9 18 17
Rataan kuadrat
F
155,165 ,987 60815,606 386,810 431,556 2,745 128,657 0,818 30,223 0,192 157,223
Sig, 0,502 0,000 0,117 0,471 0,936
c) Hasil uji lanjut Duncan terhadap viskositas kinematis tidak dilakukan karena tidak ada pengaruh signifikan dari faktor rasio molar, faktor konsentrasi katalis, dan interaksi kedua faktor terhadap nilai viskositas kinematis. Lampiran 8 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter titik nyala a) Data titik nyala gliseril ester Titik nyala Rataan Stdev Kombinasi I** II A1B1* 200 208 204 5,657 A1B2 208 204 206 2,828 A1B3 204 200 202 2,828 A2B1 208 200 204 5,657 A2B2 208 208 208 0,000 A2B3 208 204 206 2,828 A3B1 208 200 204 5,657 A3B2 200 200 200 0,000 A3B3 200 198 199 1,414 (*) perlakuan antara faktor rasio molar (A) dan penambahan katalis MESA (B) (**) I: data untuk ulangan ke-1, dan II: data untuk ulangan ke-2 b) Hasil uji ragam terhadap titik nyala Sumber Jumlah kuadrat
Df
Model Intersep Rasio molar Katalis Rasio molar*katalis Error Total Total koreksi
8 1 2 2 4 9 18 17
136,000 746642,000 76,000 17,333 42,667 122,000 746900,000 258,000
Rataan kuadrat 17,000 746642,000 38,000 8,667 10,667 13,556
F 1,254 5,508E4 2,803 0,639 0,787
Sig, 0,369 0,000 0,113 0,550 0,562
32
c) Hasil uji lanjut Duncan terhadap titik nyala Tidak dilakukan karena tidak ada pengaruh signifikan dari faktor rasio molar, faktor konsentrasi katalis, dan interaksi kedua faktor terhadap nilai titik nyala. Lampiran 9 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter titik tuang a) Data titik tuang gliseril ester Titik tuang Rataan Stdev Kombinasi I** II A1B1* 0 0 0 0,000 A1B2 -3 0 -1,5 2,121 A1B3 0 0 0 0,000 A2B1 0 0 0 0,000 A2B2 -3 0 -1,5 2,121 A2B3 0 0 0 0,000 A3B1 0 0 0 0,000 A3B2 -3 0 -1,5 2,121 A3B3 0 0 0 0,000 (*) perlakuan antara faktor rasio molar (A) dan penambahan katalis MESA (B) (**) I: data untuk ulangan ke-1, dan II: data untuk ulangan ke-2 b) Hasil uji ragam terhadap titik tuang Sumber Jumlah kuadrat Model 9,000 Intersep 4,500 Rasio molar 0,000 Katalis 9,000 Rasio molar*katalis 0,000 Error 13,500 Total 27,000 Total koreksi 22,500
Df 8 1 2 2 4 9 18 17
Rataan kuadrat
F
Sig,
1,125 4,500 0,000 4,500 0,000 1,500
0,750 3,000 0,000 3,000 0,000
0,652 0,117 1,000 0,100 1,000
c) Hasil uji lanjut Duncan terhadap titik tuang Tidak dilakukan karena tidak ada pengaruh signifikan dari faktor rasio molar, faktor konsentrasi katalis, dan interaksi kedua faktor terhadap nilai titik tuang. Lampiran 10 Tabel data, uji ragam (α=5%), dan uji Duncan parameter titik didih a) Data titik didih gliseril ester Titik didih Rataan Stdev Kombinasi I II A1B1 104 135 120 21,920 A1B2 105 105 105 0,000 A1B3 104 107 106 2,121 A2B1 129 105 117 16,971 A2B2 128 110 119 12,728 A2B3 129 106 118 16,263 A3B1 101 104 103 2,121
33
A3B2 103 106 105 2,121 A3B3 102 105 104 2,121 (*) perlakuan antara faktor rasio molar (A) dan penambahan katalis MESA (B) (**) I: data untuk ulangan ke-1, dan II: data rendemen untuk ulangan ke-2 b) Hasil uji ragam terhadap titik didih Sumber Jumlah kuadrat Model Intersep Katalis Rasio molar Rasio molar*katalis Error Total Total koreksi
754,111 212986,889 6,778 744,778 2,556 733,000 214474,000 1487,11
Df 8 1 2 2 4 9 18 17
Rataan kuadrat
F
Sig,
92,264 1,157 0,413 212986,889 2,615E3 0,000 3,389 0,042 0,959 372,389 4,572 0,043 0,639 0,008 1,000 81,444
c) Hasil uji lanjut Duncan faktor rasio molar terhadap titik didih Katalis N Subset 1 2 6 2,6:1 103,50 6 105,00 0,8:1 6 1,7:1 117,83 Sig. 1,000 1,000
34
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Sidoarjo pada 27 Agustus 1992. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara, dengan Ajeng Putri Rahmandita dan Maulidya Suhardini Putri, dari pasangan Tono Suhartono dan Dwi Nuryadini. Pendidikan sekolah dasar penulis selesai pada tahun 2005 di SD Muhammadiyah 5 Jakarta. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 19 Jakarta Selatan pada tahun 2007. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Al Hikmah Surabaya pada tahun 2010. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur SNMPTN pada tahun 2010. Selama menjalani pendidikan di perguruan tinggi, penulis aktif mengikuti kepanitiaan dan sempat menjadi Ketua Klub Tari Elodea IPB pada tahun 2012. Penulis juga aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (Omda) Jawa Timur dan sekitarnya. Selain itu, pada tahun 2014 penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Peralatan Industri Pertanian. Pada tahun 2013, penulis mendapat undangan presentasi paper di Thailand (CSEIT). Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada bulan Juni hingga Agustus tahun 2013 di PT Wilmar Nabati Indonesia, Gresik, Jawa Timur. Judul yang dikerjakan dalam Praktik Lapangan tersebut adalah “Analisis Nilai Tambah Proses Produksi CPO Menjadi Minyak Goreng pada Refinery PT Wilmar Nabati Indonesia”.