PEMANFAATAN HASIL SAMPING UNTUK PEMBANGKITAN ENERGI DAN AIR PADA PRODUKSI GULA KRISTAL PUTIH
DESTIARA NOVITASARI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemanfaatan Hasil Samping untuk Pembangkitan Energi dan Air pada Produksi Gula Kristal Putih adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Destiara Novitasari NIM F34100043
ABSTRAK DESTIARA NOVITASARI. Pemanfaatan Hasil Samping untuk Pembangkitan Energi dan Air pada Produksi Gula Kristal Putih. Dibimbing oleh TAJUDDIN BANTACUT. Proses produksi gula memerlukan energi dan air dalam jumlah besar. Sebaliknya, ketersediaan sumber energi dan air bersih semakin menurun. Pemanfaatan hasil samping secara optimal dapat memenuhi kebutuhan energi dan air dalam proses produksi sehingga menjadi mandiri energi dan air. Ruang lingkup studi ini adalah menganalisis kesetimbangan massa, mengkaji potensi energi dari hasil samping, dan membangun aliran tertutup proses produksi gula mandiri energi dan air dengan minimal input serta optimal output. Studi ini menggunakan data sekunder dan data faktual pabrik. Input yang dimasukkan ke dalam sistem adalah tebu, air, dan bahan tambahan dalam produksi gula. Model proses produksi tertutup dikembangkan menggunakan prinsip kesetimbangan massa yang bertujuan untuk mengkaji efisiensi sistem dan rendemen. Kesetimbangan massa memperlihatkan jumlah hasil samping yang belum dimanfaatkan, sehingga diketahui besar potensi energi yang dapat dihasilkan secara mandiri. Hasil studi ini menunjukkan bahwa rendemen gula dapat mencapai 11,82%. Potensi energi pabrik gula kapasitas 3000 ton tebu per hari yang dapat dimanfaatkan adalah 2.237.500.775 kkal per hari. Potensi energi tersebut dapat memenuhi kebutuhan energi pabrik, bahkan terdapat kelebihan energi 37.081 kWh dan air 1.477 ton air per hari. Kelebihan tersebut dapat dijual atau sebagai cadangan energi. Studi ini menjelaskan bahwa pabrik gula dapat mandiri energi dan air dengan memanfaatkan energi hasil samping secara optimal dan peningkatan efisiensi sistem. Hasil penelitian dapat menjadi pertimbangan kebijakan pembatasan penggunaan energi fosil pada pabrik gula. Kata kunci: pembaruan energi dan air, industri gula, sistem tertutup.
ABSTRACT DESTIARA NOVITASARI. By-product Utilization for Power and Water Generation in White Sugar Production. Supervised by TAJUDDIN BANTACUT. Sugar production process consumes a lot of energy and water. In contrast, the availability of energy and clean water sources are now declining. Optimal utilization of by-products as a new source of energy and water would meet the need of sugar processing requirement and possible to create an independent process of energy and water. The scope of this study were to analyze the mass balance, assess the energy content of by-product, and build a closed flow of the production process independent energy and water. This study used secondary data and sugar mill factual data. The inputs entered into the system is the sugar cane, water, and additives. Closed production system model was developed using the mass balance principle by assessing the efficiency of the system and yield. Mass balance showed the amount of by-products from which the potential energy and water were calculated. This study showed sugar yield of 11.82% is achievable.
Potential energy of 3,000 ton cane per day mill that can be utilized is 2,237,500,775 kcal per day. This potential energy can meet the energy needs of the plant, with an energy excess of energy of 37,081 kWh. In addition the factory may product surplus water of 1,477 ton per day. The study explains that the sugar mills can be independent of energy and water by optimizing the utilization of byproducts and the efficiency of the system. The results of the study can be considered energy policies to limit the use of fossil energy in sugar mill. Keywords: energy and water cogeneration, sugarcane mill, closed system.
PEMANFAATAN HASIL SAMPING UNTUK PEMBANGKITAN ENERGI DAN AIR PADA PRODUKSI GULA KRISTAL PUTIH
DESTIARA NOVITASARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini adalah sistem produksi tertutup, dengan judul Pemanfaatan Hasil Samping untuk Pembangkitan Energi dan Air pada Produksi Gula Kristal Putih. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Tajuddin Bantacut, MSc selaku pembimbing yang telah memberi arahan selama penelitian dan penulisan skripsi. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak, Ibu, dan keluarga yang senantiasa memberikan semangat dan doanya. Terima kasih kepada temanteman Teknologi Industri Pertanian angkatan 47 atas semangat dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih kepada FRH, supergirl 34, anak manja, dan kerabat-kerabat dekat yang selalu memberikan semangat, kebahagiaan, mendampingi dalam proses pembelajaran dan pendewasan diri. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Februari 2015 Destiara Novitasari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE PENELITIAN
3
Waktu dan Tempat Penelitian
4
Pemodelan Neraca Massa Produksi Gula
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
14
Neraca Massa Level II
15
Neraca Massa Level III
16
Produksi Gula Mandiri Energi berbasis Ampas
17
Produksi Gula Mandiri Energi berbasis Ampas, Blotong, Molase
20
Produksi Gula Mandiri Air
22
SIMPULAN DAN SARAN
24
Simpulan
24
Saran
24
DAFTAR PUSTAKA
25
LAMPIRAN
28
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9
Keterangan simbol model neraca massa level II Faktor efisiensi pada model Level II Keterangan kompartemen model neraca massa level III Keterangan simbol model neraca massa level III Faktor efisiensi pada model Level III Neraca massa proses produksi gula level I Output model neraca massa Level II Perbandingan neraca massa dengan data faktual pabrik gula Basis nilai kalor yang terkandung dalam hasil samping produksi gulaa Tabel 10 Kemampuan hasil samping sebagai pemasok kebutuhan energi Tabel 11 Alternatif pembaruan efisiensi potensi energi blotong Tabel 12 Potensi hasil samping model tertutupa Tabel 13 Volume air teruapkan dari proses produksi GKP
6 7 9 9 14 15 16 16 19 20 21 22 23
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Model neraca massa produksi gula level I Gambar 2 Model neraca massa produksi gula level II Gambar 3 Model neraca massa produksi gula level III Gambar 4 Hasil perhitungan model neraca massa level III Gambar 5 Model cogeneration proses produksi menurut Ensinas et al. (2007) Gambar 6 Model proses produksi mandiri energi dan air Gambar 7 Perbandingan model standar dan sistem manajemen air non limbah (Esmeris 2012)
5 5 8 17 18 19 23
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8
Aliran sistem proses produksi gula Perhitungan model neraca massa level II Perhitungan model neraca massa level III Perhitungan potensi energi hasil samping berdasarkan model neraca massa level III Potensi masing-masing hasil samping Potensi energi hasil samping dengan proses pengolahan Model aliran proses produksi tertutup (mandiri energi dan air) Model aliran proses produksi mandiri energi dan air (english version)
28 29 30 32 33 34 35 36
PENDAHULUAN Latar Belakang Proses produksi gula membutuhkan energi dan air dalam jumlah besar. Kebutuhan energi adalah energi panas dan listrik, yaitu 200-500 kg uap dan 20-24 kWh per ton tebu (Hariyanto 2011; Bhatt, et al. 2001; Pipo dan Luengo 2013). Hal tersebut setara dengan data parameter operasional yang menyebutkan bahwa konsumsi listrik per ton tebu adalah 25 kWh (Pippo et al. 2013). Pabrik gula di Indonesia rata-rata berkapasitas 3000-7000 ton tebu per hari, sehingga membutuhkan energi panas dan listrik sekitar 600-1.500 ton uap dan 75-175 MWh per hari. Kebutuhan energi tersebut akan terus meningkat seiring pertambahan jumlah kebutuhan gula. Sebaliknya, persediaan energi semakin berkurang. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) tahun 2012, mencatat bahwa konsumsi energi meningkat rata-rata 7,1% per tahun dan didominasi oleh sektor industri. Diperkirakan, sektor industri dapat mendominasi 47,3% di tahun 2030. Laju pertumbuhan permintaan energi rata-rata sebesar 6,2% per tahun (KESDM 2010). Ketergantungan energi fosil didominasi kebutuhan minyak mencapai 41,8%, batu bara 29% dan gas 23%. Kebutuhan ini untuk memenuhi sektor industri yang mendominasi sebesar 37% penggunaan energi fosil di Indonesia (ESDM 2007). Kebutuhan dalam jumlah besar ini ternyata tidak bisa ditopang oleh cadangan energi di Indonesia yang kian menipis. Cadangan minyak misalnya, hanya cukup untuk 23 tahun, gas untuk 50 tahun dan batu bara 80 tahun mendatang. Ketiadaan energi akan mempengaruhi kelancaraan produksi di sektor industri, termasuk di industri gula. Selain itu, produksi gula juga membutuhkan air dalam jumlah yang cukup besar. Kebutuhan air selama proses produksi gula adalah sekitar 2,1-2,8 m3 per ton tebu (Esmeris 2012). Sama halnya dengan energi, persediaan air bersih akan semakin berkurang. Persediaan air bersih hanya 2,5% dari jumlah air di dunia dan hanya 1% yang dapat dikonsumsi (Esmeris 2012), dan di dunia hanya tersedia 100.000 km3 air per tahun (Gleick 1994). Pertambahan populasi, kontaminasi sumber air karena aktivitas manusia, permintaan teknologi baru, menyebabkan perubahan iklim dan krisis air secara global (UNESCO 2009). Kurang lebih 4% dari persediaan air tanah sudah tercemar karena aktifitas hidup manusia (Esmeris 2012). Proses produksi gula menghasilkan hasil samping dengan potensi energi yang dapat dimanfaatkan, seperti ampas tebu memiliki nilai kalor sebesar 2035 kkal/kg, molase 2700 kkal/kg, blotong 3319 kkal/kg (Moerdokusumo 1993), dan daun kering 3500 kkal/kg (Subiantoro 2006; Kurniawan dan Santoso 2009). Pengembangan energi biomassa dengan memanfaatkan hasil samping tidak termanfaatkan perlu dikembangkan untuk mengatasi ketergantungan dalam penggunaan energi fosil. Konversi hasil samping dapat menjadi sumber energi atau bahan penunjang produksi, dan mendaur ulang limbah menjadi produk yang memiliki nilai guna, seperti pupuk, bioetanol, dan sebagainya. Sebagai contoh, abu bagasse diolah menjadi bata beton pejal, blotong menjadi bata beton pejal, dan blotong sebagai bahan pembuatan genteng keramik dan lumpur spray pund
2 sebagai pembuatan sumber protein tinggi untuk nutrisi makro biota air (Kemenprin 2013). Diversifikasi produk dilakukan Thailand, yaitu produksi etanol berbasis molase dari tebu, dengan target produksi sebesar 1,92 juta liter per harinya (Nguyen, et al. 2008). Pabrik Belle Vue di Mauritius telah memproduksi 105 GWh listrik dari ampas yang diperoleh dari pengolahan 210 ton tebu per jam (Deepchand 2005). Pasokan listrik di Mauritius sekitar 26% dan di Hawai 10% dihasilkan oleh pabrik gula (WADE 2004). Cogeneration dapat menghasilkan listrik 10.500 MWh melebihi kebutuhan operasional pabrik 3500 MWh, sehingga kelebihan 7000 MWh berpotensi sebagai produk komersil tambahan pabrik gula. Sebagai contoh NSL Sugars Limited dan Boumar Amman yang ada di Karnataka India sudah mampu menghasilkan listrik 30 MWh dan etanol 120 kilo per liter per hari (Tayibnapis 2013). Di Zimbabwe mempunyai potensi untuk menghasilkan 210 MWh listrik (Mbohwa 2003). Di Afrika Selatan dengan mengolah 6000 ton tebu dapat menghasilkan energi 1 GWh (Mashoko et al. 2013). Alternatif tersebut menjadi dasar pengembangan aliran proses mandiri energi dan air (closed production process) dengan zerowaste, agar proses produksi dapat mandiri energi dan air, sehingga efisiensi proses produksi meningkat. Berdasarkan fakta tersebut, maka penelitian tentang pengembangan proses produksi gula menjadi aliran mandiri energi dan air perlu dilakukan. Fokus utama studi adalah mengkaji pemanfaatan hasil samping sebagai sumber energi, mengkaji dan menggambarkan siklus massa dan energi di pabrik gula, mengkaji efisiensi proses, mengkaji potensi hasil samping menjadi energi, dan merancang sistem aliran proses mandiri energi dan air.
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah pengembangan rancangan proses produksi gula yang mandiri energi dan air, minimal input dan optimal output. Sistem produksi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip kesetimbangan massa dan energi. Untuk mencapai tujuan ini, langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1. Menganalisis kesetimbangan massa dalam produksi gula kristal putih 2. Mengkaji kandungan energi dari hasil samping 3. Merancang model proses produksi gula mandiri energi dan air (minimal input, optimal output)
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan pada analisis proses produksi berdasarkan prinsipprinsip kesetimbangan massa, analisis potensi energi yang dapat dihasilkan dari hasil atau produk samping produksi gula agar membentuk sistem aliran massa dan energi tertutup pada proses produksi gula. Basis penelitian yang digunakan adalah proses produksi gula kristal putih di PT. PG Rajawali II Unit Pabrik Gula Subang, dengan kapasitas 3000 ton tebu per hari (TCD).
3
METODE PENELITIAN Pengumpulan Data Data dikumpulkan dari sumber primer (neraca massa faktual PT. PG Rajawali II Subang) dan sekunder (laporan penelitian, jurnal, skripsi, tesis, desertasi, buku, majalah, dan situs web) yang mencakup aliran massa proses produksi, kebutuhan energi dan air, sumber energi, dan hasil samping produksi. Sebagian besar sumber data sekunder berasal dari data produksi pabrik gula yang menerapkan sistem mandiri energi dan air. Pendekatan Sistem Pemodelan neraca kesetimbangan massa menggunakan pendekatan perhitungan linier berdasarkan data yang tersedia. Pendekatan sistem bertujuan untuk menemukan faktor-faktor kritis dan mencari solusi optimal dari nilai keluaran massa yang relevan dengan menggunakan model kuantitatif untuk mendukung pengambilan keputusan. Proses produksi gula merupakan sistem yang kompleks yang melibatkan banyak faktor dan kendala yang terkait satu sama lain. Faktor dan kendala tersebut adalah masukan (input) bahan dan energi, hasil samping terbuang, dan kebutuhan energi serta air dalam jumlah besar. Pendekatan komprehensif diperlukan untuk menemukan solusi optimal penggunaan energi dan air. Oleh karena itu, pendekatan sistem ini digunakan untuk menganalisis aliran massa, kebutuhan energi dan air, serta potensi energi hasil samping dari proses produksi gula. Sistem Identifikasi Proses produksi gula terdiri dari lima kompartemen utama yaitu stasiun gilingan, stasiun pemurnian, stasiun penguapan, stasiun masakan, dan stasiun putaran. Bahan masukan utama adalah tebu dengan kapasitas 3000 ton per hari, ditambah dengan air dan bahan pembantu (kapur, flokulan, gas SO2). Hasil keluaran utama adalah gula kristal putih dan hasil samping berupa ampas, blotong, air dan molase. Ampas merupakan keluaran dari kompartemen ke-1 (stasiun gilingan), blotong dari kompartemen ke-2 (stasiun pemurnian), air dari kompartemen ke-3 dan ke-4 (stasiun penguapan dan masakan), dan molase dari kompartemn ke-5 (stasiun putaran). Sistem Batas Sebuah model sederhana (Model Level I) dikembangkan dengan asumsi bahwa proses produksi gula adalah satu kompartemen yang menghubungkan input (I), produk (P) dan hasil samping (C) (Gambar 1). Meskipun model sederhana ini tidak dapat menentukan aliran I, P, dan C secara spesifik, sistem ini dapat digunakan untuk menghitung efisiensi. Perbaikan dan pengembangan model dilakukan untuk menemukan model yang akurat, konsisten, dan rinci sesuai dengan proses produksi gula faktual. Model Level II merupakan pengembangan Model Level I, terdiri dari lima kompartemen yang menggambarkan lima stasiun utama dalam proses produksi gula (Gambar 2). Model Level III mengidentifikasi sistem dengan pendekatan dan prinsip-prinsip yang sama untuk kompartemen Model Level I dan II. Model Level III merinci menjadi sub-kompartemen yang meggambarkan aliran massa antar alat dalam setiap stasiun produksi gula (Gambar 3).
4 Model Deskripsi Model neraca massa merupakan gambaran situasi nyata aliran massa dalam proses produksi gula. Model dikembangakan untuk meningkatkan akurasi dan mendapatkan model yang sesuai dengan proses produksi gula nyata. Input dalam pemodelan sebagai peubah bebas dan output merupakan peubah tidak bebas. Pemodelan akan menghasilkan nisbah (koefisien efisiensi) dan nilai peubah tidak bebas dengan menggunakan prinsip persamaan linear. Alat hitung yang digunakan adalah microsoft excel. Pemodelan neraca massa menggunakan basis aliran produksi gula kristal putih (GKP) sistem sulfitasi kapasitas 3000 ton tebu per hari. Hasil perhitungan dalam model dapat dibandingkan dengan proses produksi di pabrik GKP faktual, yaitu pabrik gula PT PG. Rajawali II Unit Subang. Berdasarkan kesetimbangan massa dapat diketahui massa hasil samping yang memiliki potensi energi dan air untuk memenuhi kebutuhan proses produksi. Model yang memiliki tingkat akurasi tinggi dan sesuai dengan proses produksi nyata dijadikan basis analisis perhitungan potensi energi hasil samping dan pengembangan model proses produksi gula mandiri energi dan air. Kesetimbangan Massa Langkah pertama untuk membuat model keseimbangan massa adalah identifikasi kompartemen. Kemudian, mengatur persamaan keseimbangan massa untuk menentukan masuknya tebu dan bahan tambahan serta keluaran (output) antar kompartemen. Persamaan umum kesetimbangan massa: Input (I) = Produk (P) + Hasil Samping (C) Hasil samping merupakan limbah yang diasumsikan dapat dimanfaatkan kembali. Dalam mengidentifikasi persamaan efisiensi (rasio nilai peubah), menggunakan data sekunder mengenai aliran massa proses produksi gula. Setelah mengidentifikasi persamaan kesetimbangan massa dan efisiensi, maka nilai faktor efisiensi dan neraca massa dapat ditentukan. Potensi Energi Hasil Samping Berdasarkan model neraca massa yang sesuai dengan proses produksi gula nyata dan akurat, potensi energi hasil samping dapat dihitung dengan persamaan: Potensi Energi (kkal) = Massa x Nilai kalor. Nilai kalor didapatkan dari sumber literatur dan massa hasil samping dari perhitungan model neraca massa. Model Aliran Proses Mandiri Energi dan Air Potensi energi hasil samping dikurangi dengan kebutuhan energi dan air dalam proses produksi gula. Jika energi dan air yang dihasilkan lebih besar atau sama dengan kebutuhan energi pabrik, maka pabrik tersebut dapat berpotensi mandiri energi dan air. Namun, jika energi yang dihasilkan lebih kecil dari kebutuhan, maka pabrik masih memerlukan input energi dan air dari luar sistem dan dapat dikatakan bahwa pabrik tidak mandiri energi dan air.
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT. PG Rajawali II Unit Pabrik Gula Subang dan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, bulan Agustus 2013 sampai dengan November 2014.
5
Pemodelan Neraca Massa Produksi Gula Model Neraca MassaProduksi Gula Level I Model Level I dibangun dengan asumsi bahwa sistem adalah suatu kompartemen yang menghubungkan input (I), produk (P), dan hasil samping (C). Model ini dikembangkan berdasarkan input dan output pabrik gula. I
P
Proses produksi gula
C Gambar 1 Model neraca massa produksi gula level I Keterangan: I = input; P = produk; C = coproduct
Keseimbangan neraca massa diperoleh apabila input sama dengan output (produk dan hasil samping). Efisiensi proses yang diharapkan mendekati 100% yaitu semua kandungan bahan baku berupa komponen produk dapat dikonversi menjadi produk yang dimanfaatkan kembali. Persamaan yang menggambarkan kesetimbangan massa adalah: I=P+C P Efisiensi (e) = I Model Neraca Massa Produksi Gula Level II Model neraca massa level II dikembangkan dengan membuat kompartemen yang berdasarkan stasiun-stasiun pengolahan yang terdapat pada pabrik gula, yaitu stasiun penggilingan (1), stasiun pemurnian (2), stasiun penguapan (3), stasiun masakan (4), dan stasiun putaran (5). Rancangan dasar model ini dapat dilihat pada Gambar 2. I21 I22 I23 I24 I11 I12 x11 I
II
W21 x21
x41
W11
P51
x31 IV
V
W51
W41
III
W31
Gambar 2 Model neraca massa produksi gula level II Keterangan gambar (Tabel 1)
6 Tabel 1 Keterangan simbol model neraca massa level II Kode I II III IV V I11 I12 I21 I22 I23 I24 X11 X21 X31 X41 W11 W21 W31 W41 W51 P51
Keterangan Nira Encer Hasil Pemurnian Nira hasil penguapan I Nira hasil penguapan II Nira hasil penguapan III Nira kental Tebu Air imbibisi Air SO2 Susu kapur Flokulan Nira mentah Nira encer Nira kental Magma A Ampas Blotong Uap air Uap air Molase Gula kristal putih (GKP)
Persamaan keseimbangan massa Kompartemen 1: I11 + I12 - X11 – W11 Kompartemen 2: I21 + I22 + I23 + I24 + X11 – W21 – X21 Kompartemen 3: X22 – W31 – X31 Kompartemen 4: X31 – X41 – W41 Kompartemen 5: X41 – P51 – W51
= 0 ..................... (2.1) = 0 ..................... (2.2) = 0 ..................... (2.3) = 0 ..................... (2.4) = 0 ..................... (2.5)
Persamaan koefisien efisiensi Efisiensi produksi nira mentah (a1) X11 𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟 𝑠𝑡 .𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 a1= I11 + I12 = 𝑏𝑎 ℎ𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑘𝑒 𝑠𝑡.𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 Air imbibisi yang ditambahkan saat proses penggilingan adalah 24,84% dan hasil ekstraksi nira yang didapatkan adalah 94,25% dari tebu yang digiling (Hugot 1960; Purwaningsih 2012). Berdasarkan data literatur tersebut nilai koefisien efisiensi (a1) adalah sebesar 0,76. Efisiensi pemanfaatan blotong (a2) W 21 𝑏𝑙𝑜𝑡 𝑜𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑡.𝑝𝑒𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖𝑎𝑛 a2 = X11 = 𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎 ℎ 𝑘𝑒 𝑠𝑡.𝑝𝑒𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖𝑎𝑛 Produksi blotong dari stasiun pemurnian sebesar 3% dari nira mentah (Renoef, et al. 2010; Zeist, et al. 2012; Rahman et al. 2013), maka a2 adalah 0,03.
7
Efisiensi produksi nira kental (a3) X31 𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑘𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙 𝑑𝑖 𝑠𝑡.𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑎𝑝𝑎𝑛 a3 = = 𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟 𝑘𝑒 𝑠𝑡 .𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑎𝑝𝑎𝑛 X22
Nira kental yang dihasilkan pada stasiun penguapan adalah 68,200 ton dari 290,000 ton nira encer yang dipekatkan (Purwaningsih 2012). Persentase nira kental adalah 24% dari nira encer hasil stasiun pemurnian, maka a3 adalah 0,24. Efisiensi air terbuang dari stasiun masakan (a4) X41 𝑚𝑎𝑔𝑚𝑎 𝑛𝑖𝑟𝑎 a4 = X31 = 𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑘𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙 Magma yang dihasilkan dari stasiun masakan adalah 62% dari nira kental yang diolah (Fabricagie Controle dalam Moerdokusumo 1993), maka a4 adalah 0,62. Efisiensi hasil produksi gula (a5) P51 𝑔𝑢𝑙𝑎 𝑘𝑟𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑢𝑡𝑖 ℎ a5 = X41 = 𝑚𝑎𝑔𝑚𝑎 𝑛𝑖𝑟𝑎
Produksi gula yang dihasilkan dari stasiun putaran adalah 80% (Demirel 2012), maka nilai a5 adalah 0,80. Berdasarkan persamaan efisiensi, ringkasan faktor efisiensi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Faktor efisiensi pada model Level II Nilai Simbol a1 a2 a3 a4 a5
0,76 0,03 0,24 0,65 0,80
Model Neraca Massa Level III Pada model neraca massa level III terdapat peubah bebas sebagai input massa dan peubah tidak bebas sebagai hasil output dari proses. Model Level III memilik 40 peubah yang terdiri atas 6 peubah bebas (I1,I2, I3, I4, I5, dan I6) dan 34 peubah tidak bebas (X1, X2, X3, X4, X8, X9, X10, X11, X12, X13, X14, X15, X16, X17, X18, X19, X20, X1.2, X2.2, X3.2, X16.2, X17.2, X20.2 ; P1; dan W1 sampai W10). Peubah tidak bebas X5, X6 dan X7 dapat diabaikan, karena digambarkan sebagai penjelas aliran proses produksi. Proses di stasiun pemurnian merupakan aliran langsung, sehingga tidak ada aliran yang keluar sistem (Gambar 3). Dari 34 peubah tidak bebas didapatkan beberapa persamaan yang dapat diklasifikasikan menjadi persamaan keseimbangan massa dan persamaan efisiensi. Persamaan kesetimbangan massa terdiri dari 17 persamaan, maka dibutuhkan 17 persamaan efisiensi untuk dapat mengetahui nilai peubah tidak bebas.
8
Gambar 3 Model neraca massa produksi gula level III Keterangan: simbol gambar (Tabel 3; Tabel 4); kompartemen 5, 6 dan 7 diabaikan karena tidak terdapat massa keluar sistem
9
Tabel 3 Keterangan kompartemen model neraca massa level III Stasiun
Kompartemen
I (GILINGAN)
II (PEMURNIAN)
III (EVAPORATOR)
IV (MASAKAN)
V (PUTERAN)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Keterangan Gilingan 1 Gilingan 2 Gilingan 3 Gilingan 4 Bak Penampung & Timbangan Tangki Kapur Tangki Sulfur Pemanasan 105˚C & Pengendap Evaporator 1 Evaporator 2 Evaporator 3 Evaporator 4 Vaccum pan A Vaccum pan C Vaccum pan D Puteran A Puteran C Puteran D Puteran GKP Puteran D2
Tabel 4 Keterangan simbol model neraca massa level III Kode I1 I2 I3 I4 I5 I6 X1 X1.2 X2 X2.2 X3 X3.2 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15
Keterangan Tebu Air imbibisi Kapur SO2 Flokulan Air Ampas gilingan ke-1 Nira perahan ke-1 (nira perahan pertama) Ampas gilingan ke-2 Nira perahan ke-2 (nira perahan lanjutan) Ampas gilingan ke-3 Nira perahan ke-3 Nira perahan ke-4 Nira hasil timbangan Nira setelah ditambahkan kapur Nira setelah ditambahkan SO2 Nira Encer Hasil Pemurnian Nira hasil penguapan I Nira hasil penguapan II Nira hasil penguapan III Nira kental Nira hasil masakan A Nira hasil masakan C Nira hasil masakan D
10 Tabel 4 Keterangan simbol model neraca massa level III (Lanjutan) Kode X16 X16.2 X17 X17.2 X18 X19 X20 X20.2 W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8 W9 W10 P1
Keterangan Strop A Magma A Strop C Gula C Gula D1 Klare GKP Klare D2 Gula D2 Ampas (hasil samping stasiun giling) Blotong Air teruapkan dari evaporator I Air teruapkan dari evaporator II Air teruapkan dari evaporator III Air teruapkan dari evaporator IV Air teruapkan dari vaccum pan A Air teruapkan dari vaccum pan C Air teruapkan dari vaccum pan D Gula tetes (molase) Gula kristal putih (GKP)
Persamaan Keseimbangan Massa Kompartemen 1 : I1 – X1– X1.2 Kompartemen 2 : X1 – X2 – X2.2 Kompartemen 3 : X2 – X3 – X3.2 Kompartemen 4 : X3 – X4 – W1 Kompartemen 5-8 : X1.2+ X2.2+ I3 + I4 + I5– X8– W2 Kompartemen 9 : X8 – X9 – W3 Kompartemen 10 : X9– X10 – W4 Kompartemen 11 : X10 – X11– W5 Kompartemen 12 : X11 – X12– W6 Kompartemen 13 : X12+ X19 + X17.2 - X13– W7 Kompartemen 14 : X16+ X20.2 – X14– W8 Kompartemen 15 : X17+ X20 – X15– W9 Kompartemen 16 : X13 – X16– X16.2 Kompartemen 17 : X14– X17– X17.2 Kompartemen 18 : X15 – X18– W10 Kompartemen 19 : I6 + X16.2 – X19– P1 Kompartemen 20 : X18- X20.2 – X20
= 0……………(3.1) = 0……………(3.2) = 0……………(3.3) = 0……………(3.4) = 0……………(3.5) = 0……………(3.6) = 0……………(3.7) = 0……………(3.8) = 0……………(3.9) = 0……………(3.10) = 0……………(3.11) = 0……………(3.12) = 0……………(3.13) = 0……………(3.14) = 0……………(3.15) = 0……………(3.16) = 0……………(3.17)
11
Persamaan koefisien efisiensi Kompartemen 1 Efisiensi pada gilingan pertama (a1) 𝑋1
𝑎𝑚𝑝𝑎𝑠 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎
a1= X1+ X1.2 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎
Ampas yang dihasilkan dari gilingan pertama adalah sebesar 55% dari berat awal tebu digiling (Hugot 1986; Moerdokusumo 1993), maka nilai a1 adalah 0,55. Kompartemen 2 Efisiensi pada gilingan kedua (a2) 𝑋2
𝑎𝑚𝑝𝑎𝑠 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎
a2= X2 + X2.2 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎
Ampas yang dihasilkan dari gilingan kedua pada stasiun gilingan adalah sebesar 56% dari keseluruhan output yang dihasilkan (Hugot 1986; Moerdokusumo 1993), maka nilai a2 adalah 0,56. Kompartemen 3 Efisiensi pada gilingan ketiga (a3) 𝑋3
𝑎𝑚𝑝𝑎𝑠 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎
a3= X3+ X3.2 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎
Ampas yang dihasilkan dari gilingan ketiga pada stasiun gilingan adalah sebesar 50% dari keseluruhan output yang dihasilkan (Hugot 1986; Moerdokusumo 1993), maka nilai a3 adalah 0,50. Kompartemen 4 Efisiensi pada gilingan keempat (a4) 𝑋4
𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡
a4= X3 + I2 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑔𝑖𝑙𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡
Nira yang dihasilkan dari gilingan keempat pada stasiun gilingan adalah sebesar 50% dari keseluruhan output yang dihasilkan (Hugot 1986; Moerdokusumo 1993), maka nilai a4 adalah 0,50. Kompartemen 5 Efisiensi pada stasiun pemurnian (a5) 𝑋8
𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑒𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖𝑎𝑛
a5= X8 + W 2 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑡𝑎𝑠𝑖𝑢𝑛 𝑝𝑒𝑚𝑢𝑟𝑛𝑖𝑎𝑛
Pada stasiun pemurnian dianggap satu kompartemen karena proses yang berjalan dari satu kompartemen ke kompartemen selanjutnya adalah sistem berkelanjutan (Gambar 3). Peubah tidak bebas yang memenuhi syarat untuk dijadikan persamaan linear hanya terdapat pada kompartemen akhir (kompartemen 8). Model pada Gambar 3 tergambar menjadi empat kompartemen hanya sebagai penjelas proses di stasiun pemurnian secara detail. Nira encer yang dihasilkan dari stasiun pemurnian pada stasiun gilingan adalah sebesar 97% dari keseluruhan output yang dihasilkan (Ensinas et al 2007), maka nilai a5 adalah 0,97.
12 Kompartemen 6 Efisiensi pada evaporator pertama (a6) a6=
𝑋9 X9 + W 3
=
𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑟𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑑𝑖 𝑒𝑣𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑒𝑣𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎
Nira kental yang dihasilkan pada evaporator pertama memiliki 74% dari jumlah output keseluruhan (Hugot 1986; Moerdokusumo 1993), maka nilai a6 adalah 0,74. Kompartemen 7 Efisiensi pada evaporator kedua (a7) 𝑊4
𝑢𝑎𝑝 𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑑𝑖 𝑒𝑣𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎
a7 = X10 + W 4 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑒𝑣𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎
Nira kental yang dihasilkan pada evaporator kedua memiliki 28% dari jumlah output pada evaporator kedua (Deepchand 2005; Hugot 1986; Moerdokusumo 1993), maka nilai a7 adalah 0,28. Kompartemen 8 Efisiensi pada evaporator ketiga (a8) a8 =
𝑋11
𝑛𝑖𝑟𝑎 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑎𝑝𝑎𝑛 𝑒𝑣𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎
X11 + W 5
= 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑒𝑣𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎
Nira kental yang dihasilkan pada evaporator ketiga memiliki 66% dari jumlah output keseluruhan (Moerdokusumo 1993), maka nilai a8 adalah 0,66. Kompartemen 9 Efisiensi pada evaporator keempat (a9) 𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑒𝑣𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡
𝑋12
a9= X12 + W 6 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑒𝑣𝑎𝑝𝑜𝑟𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡
Nira kental yang dihasilkan pada evaporator keempat memiliki 56% dari jumlah output keseluruhan (Bhardwaj 2013), maka nilai a9 adalah 0,56. Kompartemen 10 Efisiensi pada masakan pertama atau masakan A (a10) a10=
𝑊7 X12 + X17.2+X19
=
𝑢𝑎𝑝 𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑖𝑛𝑝𝑢𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎
Uap yang dihasilkan pada proses masakan pertama adalah sebesar 20% dari jumlah input pada masakan A (Ensinas et al 2007), maka nilai a10 adalah 0,20. Kompartemen 11 Efisiensi pada masakan keduaatau masakan C (a11) 𝑊8
a11= X16 = 𝑛𝑖𝑟𝑎
𝑢𝑎𝑝 𝑎𝑖𝑟 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎 𝑘𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎 (𝑠𝑡𝑟𝑜𝑝 𝐴)
Uap yang dihasilkan pada proses masakan kedua adalah 20% (Ensinas et al 2007), maka nilai a11 adalah 0,20.
13
Kompartemen 12 Efisiensi pada masakan ketiga atau masakan D (a12) a12=
𝑊9 X17
=
𝑢𝑎𝑝 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 𝑛𝑖𝑟𝑎 𝑘𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 (𝑠𝑡𝑟𝑜𝑝 𝐶)
Uap yang dihasilkan pada proses masakan ketiga sebesar 20% dari jumlah inputnya (Ensinas et al 2007), maka nilai a12 adalah 0,20. Kompartemen 13 Efisiensi pada putaran pertama atau A(a13) 𝑋16
a13= X16 + X16.2 =
𝑠𝑡𝑟𝑜𝑝𝑒 𝐴 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎
Nira terkristalisasi hasil masakan pertama akan diputar untuk memisahkan kristal gula A dengan stroope A, stroope yang dihasilkan adalah 30% dari jumlah output keseluruhan (Ensinas et al 2007; Chou 2005), maka nilai a13 adalah 0,30. Kompartemen 14 Efisiensi pada putaran kedua atau C (a14) 𝑋17
𝑠𝑡𝑟𝑜𝑝𝑒 𝐶 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎
a14= X17 + X17.2 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎
Nira terkristalisasi hasil masakan kedua atau C akan diputar untuk pemisahan gula C dengan stroope C, stroope yang dihasilkan 80% dari jumlah output keseluruhan (Ensinas et al 2007; Chou 2005; perhitungan penulis), maka nilai a1adalah 0,80. Kompartemen 15 Efisiensi pada putaran ketiga atau D1 (a15) a15=
𝑋18 X18 + W 10
=
𝑔𝑢𝑙𝑎 𝐷1 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎
Nira terkristalisasi hasil masakan ketiga atau D akan diputar untuk pemisahan gula D1 dengan gula tetes, gula D1 yang dihasilkan 35% dari jumlah output keseluruhan (Gerbens and Hoekstra 2009), maka nilai a15 adalah 0,35. Kompartemen 16 Efisiensi pada putaran gula kristal putih (a16) 𝑃1
𝑔𝑢𝑙𝑎 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑔𝑢𝑙𝑎 𝑘𝑟𝑖𝑠𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑢𝑡𝑖 ℎ
a16= I6 + X16.2 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑖𝑛𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝐺𝐾𝑃
Putaran gula kristal berguna untuk membersihkan kristal gula dari larutan yang tidak mengkristal, karena itu gula yang dihasilkan dari pemisahan kristal akhir di putaran gula kristal putih adalah 93% dari jumlah input magma A atau gula hasil putaran A dan air (Moerdokusumo 1993), maka nilai a16 adalah 0,93. Kompartemen 17 Efisiensi pada putaran D2 (a17) 𝑋20
𝑘𝑙𝑎𝑟𝑒 𝐷2 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝐷2
a17= X20 + X20.2 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡
𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝐷2
14 Gula hasil putaran D1 akan diputar kembali pada putaran D2, hasil yang akan diperoleh adalah klare D2 dan gula D2. Klare D2 akan digunakan sebagai bahan masakan D dan gula D2 akan menjadi bahan masakan C. Klare D2 yang dihasilkan adalah 30% dari keseluruhan output yang dihasilkan (Deepchand 2005; perhitungan penulis), maka nilai a17 adalah 0,30. Tabel 5 adalah rangkuman nilai efisiensi persamaan pada model neraca massa Level II. Tabel 5 Faktor efisiensi pada model Level III Nilai Simbol a1 a2 a3 a4 a5 a6 a7 a8 a9 a10 a11 a12 a13 a14 a15 a16 a17
0,55 0,56 0,50 0,50 0,97 0,74 0,28 0,66 0,56 0,20 0,20 0,20 0,30 0,80 0,35 0,93 0,30
Pengolahan dan Analisis Data Nilai peubah tidak bebas dari model neraca massa produksi gula diperoleh dengan bantuan Microsoft Excel.
HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Massa Level I Model neraca massa level I dengan basis input 3000 ton tebu per hari, dengan input massa tambahan air imbibisi, susu kapur, belerang, dan flokulan (Tabel 6).
15
Tabel 6 Neraca massa proses produksi gula level I Bahan %a ton/hari Referensi INPUT Tebu Air Susu kapur Flokulan Belerang (gas SO2) Total input OUTPUT Gula kristal Ampas Blotong Gula tetes Air diuapkan Total output Tidak teridentifikasi Rendemen Efisiensi sistem a
27,00 0,15 0,4 0,05
11,00 30,00 3,00 3,00 75,00 5,6 11 95,6
3000 810 4,5 12,00 1,35 3828
(Moerdokusumo 1993) (Sunantyo dan Harisutji 2005) (Anggreini 2008) (Sunantyo dan Harisutji 2005)
330 900 90 90 2250 3660 168
persentase (%) terhadap tebu
Rendemen gula yang didapat adalah 11%, nilai tersebut sudah masuk dalam rentang rendemen terbaik yaitu 10-14%. Pabrik gula di Mauritius, Afrika Selatan memiliki rendemen gula 11% (Deepchand 2005), di Thailand dan Brazil sekitar 10,8% (Bantacut 2013), bahkan di Australia sudah mencapai 14,3% (Renoef et al. 2010). Berdasarkan perhitungan kesetimbangan massa level I, efisiensi sistem adalah 95,6%. Perhitungan model ini perlu dikembangkan untuk merinci aliran massa menurut proses faktual, karena hanya menghitung kesetimbangan massa secara garis besar dalam satu kompartemen dan tidak menggambarkan proses secara faktual.
Neraca Massa Level II Perhitungan neraca massa pada level II memiliki basis yang sama seperti perhitungan pada level I (Tabel 6). Output model level II adalah rendemen gula sebesar 11,31% (Tabel 7). Nilai rendemen lebih baik dibandingkan model neraca massa level I karena model level II menjelaskan aliran massa perstasiun dan detail aliran input-output yang lebih rinci. Efisiensi sistem model neraca massa level II adalah 100%, mengartikan bahwa tidak ada bahan terbuang tidak teridentifikasi dalam proses produksi. Namun, model level II belum dapat menggambarkan aliran proses secara faktual, karena hanya terdiri dari kompartemen yang menggambarkan stasiun pokok dari proses produksi gula. Neraca massa proses produksi gula level II dapat dilihat pada Tabel 7.
16 Tabel 7 Output model neraca massa Level II (%)a (ton) Bahan b INPUT 3828 OUTPUT Gula kristal 339,3 Hasil samping 3489 Total output 3828 Rendemen 11,31 Efisiensi sistem 100 a
persentase (%) terhadap tebu; bbasis mengacu pada Tabel 6
Neraca Massa Level III Model neraca massa level III adalah pengembangan model level I dan II. Setiap kompartemen dikembangkan menjadi sub-sub kompartemen yang menggambarkan mesin di setiap stasiun, sehingga detail perubahan massa akan terlihat lebih jelas dan rinci. Neraca massa level III dapat dilihat pada Tabel 8. Model Level III menghasilkan rendemen sebesar 11,82%, lebih besar dibandingkan level I, II, dan data faktual pabrik. Perbedaan rendemen disebabkan oleh aliran massa yang lebih detail dan kompleks, sehingga model lebih akurat dan konsisten. Perhitungan rinci ini mengurangi output yang tidak teridentifikasi dalam model bekerja, sehingga aliran massa memiliki efisiensi sistem 100%. Tabel 8 Perbandingan neraca massa dengan data faktual pabrik gula Bahan INPUT Tebu Air Susu kapur Flokulan Belerang (gas SO2) TOTAL OUTPUT Gula kristal Ampas Blotong Gula tetes Air diuapkan Total output Tidak teridentifikasi Rendemen Eisiensi sistem a
Faktual (%)a (ton)
Level III (%)a (ton)
3000 840,00 83,74 24,00 1,20 3948,94
3000 810 4,5 12,00 1,35 3828
28,00 2,79 0,80 0,04
8,25 31,11 3,00 4,57 80,16 4,74 8,25 97
247,63 933,34 90,00 137,11 2404,73 3812,81 136,13
27,00 0,15 0,40 0,045
11,78 34,76 2,73 2,07 75,88 0 11,82 100
Referensi
(Moerdokusumo 1993) (Sunantyo dan Harisutji 2005) (Anggreini 2008) (Sunantyo dan Harisutji 2005)
354,71 1043 81,75 62,10 2286,46 3828 0
persentase (%) terhadap tebu
Rendemen gula dapat diperbaiki jika kinerja mesin selama proses berjalan optimal. Jika dibandingkan data faktual pabrik, potensi perbaikan rendemen
17
adalah 3,53%. Rendemen tersebut termasuk dalam rentang rendemen terbaik 1114% (Deepchand 2005; Renoef et al. 2010). Aliran massa level III dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Hasil perhitungan model neraca massa level III Keterangan: perhitungan (Lampiran 3); kompartemen 5, 6 dan 7 diabaikan karena tidak terdapat massa keluar sistem
Produksi Gula Mandiri Energi berbasis Ampas Ampas tebu, blotong, molase, dan air teruapkan merupakan output proses produksi gula dengan jumlah yang cukup banyak. Biomassa ini (kecuali air)
18 mengandung energi sehingga dapat dijadikan sebagai sumber energi. Banyak contoh pabrik gula yang sudah mandiri energi dan air. Brazil, India, bahkan Afrika sudah berhasil mengembangkan pabrik gula menjadi sistem produksi tertutup, bahkan memiliki surplus energi listrik yang dapat disuplai ke lingkungan sekitar pabrik atau dijual kepada perusahaan pembangkit listrik. Sistem cogeneration berbasis tebu di India dapat menghasilkan energi berkisar 1.500-5.000, dengan rata-rata energi yang dihasilkan adalah 3500 MWh (Purohit et al. 2007; Sharma et al. 1999; Kamate and Gangavati 2009). Sebaliknya, pabrik gula Indonesia hanya memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan penghasil energi. Blotong dimanfaatkan sebagai pupuk, bahkan beberapa pabrik gula hanya membuang blotong sebagai limbah.. Molase sampai saat ini hanya dijual sebagai bahan baku kepada pabrik pengolah, seperti pabrik kecap. Pemanfaatan molase sebagai bahan dasar pembuatan etanol masih kurang maksimal, karena jumlah pabrik etanol di Indonesia masih minim. Berdasarkan data FAO tahun 2008, kontribusi Indonesia dalam produksi bio-ethanol di dunia masih di bawah 1% (FAO 2008; Gerbens and Hoekstra 2009). Pemanfaatan hasil samping sebagai sumber energi dapat membentuk sistem proses produksi tertutup (Gambar 5) yaitu model produksi mandiri energi dan air yang dapat memenuhi kebutuhan energi dan air tanpa input baru dari luar pabrik (Ensinas et al. 2007).
Gambar 5 Model cogeneration proses produksi menurut Ensinas et al. (2007) Keterangan: I=stasiun gilingan; II=stasiun pemurnian; III=stasiun penguapan; IV=stasiun masakan dan putaran; V=stasiun fermentasi molase; VI=stasiun distilasi dan dehidrasi pembuatan etanol
Pembuatan model aliran massa mandiri energi dan air dapat dibangun dari hasil perhitungan aliran massa (Tabel 8). Potensi energi pada hasil samping tersebut dihitung berdasarkan nilai kalor (heating value) bahan dikalikan massa.
19
Perhitungan potensi hasil samping dapat dilihat pada Tabel 9. Persamaan perhitungan potensi hasil samping: Potensi Energi (kkal) = Massa x Nilai kalor. Tabel 9 Basis nilai kalor yang terkandung dalam hasil samping produksi gula a Hasil samping Ampas tebu Blotong
Massa (ton) 1.042,98 81,75
Nilai kalor (kkal/kg) 2.019 3.319
Molase Air Jumlah
62,10 2.286,46
2.700 -
a
Potensi energi Referensi (kkal) 2.105.774.042,55 Hugot 1986 271.330.368,51 Hugot 1986; Afriyanto 2011 167.668.083,47 Moerdokusumo 1993 2.544.772.494,53
kapasitas 3000 ton tebu per hari
Pabrik gula membutuhkan listrik 60.000 kWh dan uap sebanyak 720.000 kg uap per ton tebu (Hariyanto 2011). Jumlah potensi energi yang diperoleh dari hasil samping proses produksi gula dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi panas dan listrik yang diperlukan selama proses produksi. Secara perhitungan teoritis, uap yang mampu dihasilkan dari potensi hasil samping adalah 3.038.851,81 kg per hari, sehingga pabrik gula mandiri energi uap. Potensi energi listrik yang dihasilkan dapat menutup kebutuhan pabrik, bahkan menghasilkan surplus listrik sebesar 55.942,59 kWh per hari (Lampiran 4). Model proses produksi mandiri energi dan air dengan mengacu model cogeneration dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Model proses produksi mandiri energi dan air Keterangan: I=stasiun gilingan; II=stasiun pemurnian; III=stasiun penguapan; IV=stasiun masakan; V=stasiun putaran; VI= stasiun pembangkit listrik dengan sistem cogeneration; VII=stasiun pengolahan air (kondensor); perhitungan lengkap pada Lampiran 4
20 Model proses produksi bersifat umum tidak merinci mekanisme proses yang dilakukan dalam pemanfaatan hasil samping. Secara teoritis pemodelan tersebut dapat menjelaskan bahwa produksi gula dapat mandiri energi dan air, serta optimal rendemen. Bahkan menghasilkan surplus energi yang dapat dijual baik melalui pemasok listrik maupun langsung ke wilayah sekitar pabrik. Kelebihan air dapat dijadikan persediaan air proses, pengairan kebun, atau diolah lebih lanjut menjadi air minum dalam kemasan. Namun, pada dasarnya potensi energi yang dihasilkan oleh ampas sudah dapat menjadikan pabrik gula mandiri energi. Sebaliknya, jika hanya memanfaatkan blotong atau molase, pabrik gula belum dapat mandiri energi. Mengacu pada analisis potensi energi hasil samping (Tabel 9; Lampiran 4), kemampuan potensi energi masing-masing hasil samping dalam memenuhi kebutuhan energi pabrik dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Kemampuan hasil samping sebagai pemasok kebutuhan energi Hasil Massa Potensi energi uap Kemampuan memenuhi a samping (ton) (kg/hari) kebutuhan pabrik (720.000 kg uap/hari) Ampas 1.042,98 2.514.619,79 √ Blotong 81,75 324.010,41 x Molase 62,10 200.221,62 x a
perhitungan mengacu pada Lampiran 4; perhitungan lengkap pada Lampiran 5; kapasitas 3000 ton tebu per hari
Potensi energi ampas dapat memenuhi kebutuhan uap pabrik secara mandiri. Potensi blotong dan molase tidak cukup memenuhi kebutuhan uap pabrik secara mandiri, sekalipun potensi blotong dan molase dijumlahkan. Sehingga untuk mengembangkan pabrik gula menjadi mandiri energi, potensi ampas, blotong dan molase harus digunakan bersama (Lampiran 4). Potensi energi ampas dapat memenuhi kebutuhan uap dan listrik dari pabrik gula, bahkan memiliki surplus energi listrik sebesar 29.730,99 kWh per hari. Jika produksi gula berlangsung selama 200 hari, maka kelebihan energi yang dapat dihasilkan per tahun adalah 5,9 GWh per tahun. Kelebihan tersebut dapat memenuhi kebutuhan listrik sektar 1400-2000 rumah sepanjang tahun, dengan asumsi konsumsi listrik per kapita per tahun 680 kWh dan per rumah terdiri dari 4-6 kapita (Lampiran 5). Jadi, potensi blotong dan molase dapat diolah menjadi pasokan energi pabrik atau dijual dalam bentuk listrik, gas maupun bahan mentah.
Produksi Gula Mandiri Energi berbasis Ampas, Blotong, Molase Pemanfaatan blotong menggunakan modifikasi sistem bioconversion by anaerobic digestion yang menghasilkan gas CO2 dan metan (Hunter Services 1989; Legrand 1989; Smith 2008) dan molase dikonversi menjadi etanol (Putra et al. 2014), energi yang dapat dihasilkan dari 81,75 ton blotong adalah 62.405.984,76 kkal (Tabel 11) dan 62,10 ton molase dapat menghasilkan 13.799,84 liter etanol. Model proses produksi gula mandiri energi dan air dapat dilihat di Lampiran 7.
21
Proses bioconversion by anaerobic digestion dilakukan untuk pengolahan karena lebih ekonomis dan minimal polusi dibandingkan dengan proses pembakaran langsung, serta efisien dalam energi dibandingkan proses pengomposan biasa. Anaerobic digestion adalah proses biologi yang kompleks dengan menggunakan mikroorganisme untuk merombak bahan organik menjadi gas CO2 dan metan. Terdiri dari tiga tahap: hidrolisis enzimatis, fermentasi asam, dan metanogenesis (Smith 2008). Alternatif pembaruan efisiensi energi dari potensi blotong dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Alternatif pembaruan efisiensi potensi energi blotong Proses
Anaerobic digestion - Tanpa pembakaran sisa zat padat -
Dengan pembakaran sisa zat padat
Pembakaran langsung
blotong
Produk energi
Persentase dari kandungan energi blotonga (%)
Kandungan energi blotong (kkal)
Biogas
35
94.965.628,98
SNGb
47
127.525.273,20
23
62.405.984,76
65
176.364.739,53
18
48.839.466,52
Listrik
c
Steam Listrik
a
b
c
nilai kalor blotong 3319 kkal/kg; blotong 81,75 ton; Substitute Natural Gas; semua biogas dikonversi menjadi listrik menggunakan turbin; perhitungan mengadopsi Smith (2008); kapasitas 3000 ton tebu per hari
Berdasarkan alternatif pada Tabel 11 antara anaerobic digestion dan pembakaran blotong langsung memiliki kelebihan dan kekurangan. Proses yang menghasilkan energi lebih besar adalah pembakaran langsung, tetapi proses tersebut menghasilkan polutan. Sebaliknya, proses anaerobic digestion merupakan proses yang disarankan untuk dipilih, karena lebih ekonomis, mengurangi polutan, dan memiliki efisiensi energi yang baik. Kekurangannya adalah memerlukan instalasi baru untuk proses pengolahan blotong, peralatan, dan teknisi. Potensi energi blotong dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik atau dijual dalam bentuk gas. Energi gas hasil proses anaerobic digestion tanpa penghilangan CO2 (medium energy gas) dapat dijual ke industri lain dan energi gas dengan penghilangan CO2 (high energy gas) dapat dijual ke pabrik penyedia gas alami (Hunter 1989). Proses anaerobic digestion dengan pembakaran sisa zat padat yang dikonversi menjadi listrik, menghasilkan potensi energi blotong adalah 62.405.984,76 kkal per hari (Lampiran 6). Selanjutnya, pengolahan molase menjadi etanol merupakan proses fermentasi. Etanol yang dihasilkan dari molase sekitar 20-25%. Proses terdiri dari pencampuran, pembibitan, fermentasi, distilasi dan dehidrasi. Pembuatan etanol memerlukan input molase, air, H2SO4, bakteri, dan urea. Potensi energi yang dihasilkan dari pengolahan etanol adalah 69.320.747,63 kkal. Kekurangan dari pengolahan ini adalah diperlukannya instalasi baru untuk pengolahan molase, alat,
22 dan teknisi. Pada umumnya, pabrik gula di Indonesia lebih memilih menjual langsung ke pabrik pengolah molase, seperti pabrik kecap atau pabrik bioetanol. Jadi, potensi keseluruhan dari hasil samping produksi gula dengan alternatif proses pengolahan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Potensi hasil samping model tertutupa Hasil samping Massa (ton) Potensi energi (kkal) Ampas Blotong Molase Total a
1.042,98 81,75 62,10
2.105.774.042,55 62.405.984,76 69.320.747,63 2.237.500.774,94
kapasitas 3000 ton tebu per hari
Tabel 12 menunjukkan bahwa dengan kebutuhan steam 720.000 kg dan 60.000 kWh per hari, pabrik gula mampu mandiri energi. Kelebihan energi setelah memenuhi kebutuhan uap, listrik pabrik dan listrik pengolahan hasil samping adalah 37.081,09 kWh per hari, dengan pengarahan seluruh potensi energi hasil samping sebagai pasokan energi pembangkit turbin. Kelebihan listrik tersebut sebagai pasokan kebutuhan listrik pabrik off season dan dapat dijual untuk kebutuhan listrik 1500-3000 rumah dengan asumsi konsumsi per kapita adalah 680 kWh per tahun (Lampiran 6).
Produksi Gula Mandiri Air Air merupakan salah satu input bahan penting dalam produksi gula. Pabrik gula Mauritius untuk memproduksi satu ton gula membutuhkan 553 m 3 (Ramjeawon 2008; Chauhan et al. 2011). Selain itu, pabrik gula membutuhkan 440-580 m3 untuk mengolah 5000 ton tebu (Esmeris 2012). Kebutuhan air tersebut dapat dikurangi dengan cara pengolahan kembali air buangan selama proses produksi. Salah satu contoh pabrik gula dengan kelebihan (surplus) air adalah pabrik gula Amatikulu Afrika Selatan, dengan surplus sebanyak 95,8 m3 air per jam (Esmeris 2012). Sistem produksi gula mandiri air dapat diwujudkan dengan pengolahan kembali uap buangan dari stasiun penguapan, masakan, gilingan. Contoh model managemen air non limbah di pabrik gula dapat dilihat pada Gambar 7. Perancangan model proses produksi mandiri air (basis kebutuhan air sebanyak 810 m3 per hari) untuk air imbibisi, pelarut kapur, pembuatan flokulan kapasitas pabrik 3000 ton tebu per hari mengadopsi model produksi gula mandiri air pada Gambar 7. Jika dihitung secara teoritis, jumlah air yang diuapkan dapat dimanfaatkan kembali untuk memenuhi kebutuhan air selama proses produksi (Tabel 13).
23
Gambar 7 Perbandingan model standar dan sistem manajemen air non limbah (Esmeris 2012) Tabel 13 Volume air teruapkan dari proses produksi GKP Stasiun Air (ton) Volume air Persentase (m3) terhadap tebu Evaporator 1 687,25 Evaporator 2 547,96 Evaporator 3 478,83 Evaporator 4 408,98 2.286,46 76% Vaccum pan A 114,79 Vaccum pan C 27,55 Vaccum pan D 21,38 a
basis kapasitas 3000 ton tebu per hari
Berdasarkan data pada Tabel 13, terdapat kelebihan air sebesar 1.476,46 m3 air per hari. Apabila kelebihan tersebut disalurkan sebagai bahan pengolahan blotong dan molase, yang membutuhkan air sebanyak 800-1000 m3 per hari, maka kelebihan yang belum termanfaatkan adalah sekitar 450-700 m3 per hari. Pemanfaatan air teruapkan memerlukan proses pendinginan dan penyaringan, guna menjadikan air menjadi bahan baku air yang bersih dan tidak memiliki reaksi terhadap proses produksi gula. Kelebihan air tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai air pencuci alat produksi, misalnya untuk proses krengseng pada vaccum pan saat sedang berhenti kristalisasi atau diolah menjadi bahan baku air bersih maupun air dalam kemasan.
24
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Proses produksi gula merupakan proses yang dapat dirancang menjadi mandiri energi dan air. Kapasitas produksi 3000 ton tebu per hari menghasilkan hasil samping berupa ampas sebanyak 1.042,98 ton, blotong 81,75 ton, molase 62,10 ton, dan air 2.286,46 m3. Hasil samping tersebut dapat menghasilkan uap sebanyak 2.671.921,87 kg per hari, listrik 97.596,09 kWh per hari. Kebutuhan uap dan listrik proses produksi gula adalah 720.000 kg dan 60.000 kWh per hari, maka potensi energi dari hasil samping tersebut dapat memenuhi kebutuhan energi panas, listrik, dan air proses produksi gula, bahkan terdapat kelebihan listrik sebesar 37.081,09 kWh per hari. Kelebihan energi listrik dijadikan persediaan energi pabrik saat tidak musim giling atau dijual sebagai listrik yang disalurkan untuk wilayah sekitar pabrik. Saran Penelitian ini memperlihatkan bahwa pabrik gula dapat mandiri energi dan air. Penelitian lebih lanjut untuk merinci perhitungan perlu dilakukan terutama pada efisiensi konversi massa ke energi dengan pilihan teknologi yang lebih banyak. Hal ini diperlukan untuk memperbaiki akurasi perhitungan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pabrik gula dapat dikembangkan menjadi sistem produksi surplus energi dan air. Pabrik gula dapat menjadi pusat produksi gula, air dan listrik. Oleh karena itu, perlu dikeluarkan kebijakan perubahan atau pelarangan penggunaan bahan bakar fosil dalam proses produksi gula.
25
DAFTAR PUSTAKA Afriyanto RM. 2011. Pengaruh Jenis dan Kadar Bahan Perekat Pada Pembuatan Briket Blotong Sebagai Bahan Bakar Alternatif [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Anggreini N. 2008. Pengaruh Dosis Flokulan terhadap Berat Jenis Endapan pada Proses Pemurnian Nira Mentah di Pabrik Gula Kwala Madu. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Bantacut T. 2013. Pengembangan Pabrik Gula Mini untuk Mencapai Swasembada Gula. Jurnal Pangan. 22(4):287-394. Bhardwaj A. 2013. Benefits of Micro Irrigation System Sugar Recovery and Productivity. Indian Sugar Mills Association;2013 Okt 8; India. Bhatt M, Rajkumar N. 2001. Mapping of Combined Heat and Power Systems in Cane Sugar Industry. Applied Thermal Engineering. 21(17):1707-1719. doi: 10.1016%2Fs1359-4311%2801%2900027-8. Chauhan MK, Varun, Chaudhary S, Kumar S, Samar. 2011. Life Cycle Assessment of Sugar Industry: A review. Renewable and Sustainable Energy. 15(7):3445– 3453. doi:10.1016%2Fj.rser.2011.04.033 Chou CC. 2005. Benchmarks for Cane Sugar Manufacture to Ensure Global Competitiveness. ISSCT Silver Jubilee Congress Guatemala; 2005 Jan 30Feb 4; Guatemala, America. Deepchand K. 2005. Sugar Cane Baggase Energi Cogeneration-Lessons from Mauritius. Paper Presented to The Parliamentarian Forum on Energi Legislation and Sustainable Development; 2005 Okt 5-7; Cape Town, South Africa. Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia. 2013. Roadmap Industri Gula. Departemen Perindustrian: Jakarta, Indonesia. Demirel Y. 2012. Energy-Green Energy and Technology. London (UK): Springer. Ensinas AV, Nebra SA, Lozano MA, Serra LM. 2007. Analysis of Process Steam Demand Reduction and Electricity. Energy Convers Manag. 48(11):2978– 87. ESDM. 2007. Data Sumber Daya Potensi Produksi Energi Indonesia. http://dtwh2.esdm.go.id/dw2007/data/sumberdaya/. Esmeris P. 2012. Water Balance and Source of Waste Water Sugar Mill and Refinery. Lopez Sugar Corp. Manila, Filipina. FAO. 2008. FAOSTAT, Food and Agriculture Organization. Rome, Italy. (http://faostat.fao.org/default.aspx) Gerbens LW, Hoekstra AY. 2009. The Water Foorprint of Sweeteners and Bioethanol from Sugar Cane, Sugar Beet and Maize. The Value of Water Research Report Series No.38; UNESCO-IHE Institute for Water Education kolaborasi dengan University of Twente dan Delft University of Technology, the Netherlands. Gleick PH. 1994. Water and Energy. Annual Review of Energy Environment. 19:267‐99. Hariyanto. 2011. Case Study Indonesian Sugar Industry: Productivity Gains From Efficient Waste to Energy Schemes. Energy Technology Center, Agency for The Assessment and Application of Technology (BPPT).
26 Hugot. E. 1986. Handbook of Cane Sugar Engineering. (3rd Ed). Elsevier. New York. 1165 P. Hunter Services. 1989. Anaerobic Bioconversion–a Proven Option for Solid Waste Management. Technical Manual. University of Florida (IFAS); Hunter Services, Inc. Jacksonville, Florida. Kamate SC, Gangavati PB. 2009. Exergy Analysis of Cogeneration Power Plants in Sugar Industries. Applied Thermal Engineering. 29(5-6):1187-1194. doi:10.1016%2Fj.applthermaleng.2008.06.016. KESDM. 2010. Indonesia Energy Outlook. Pusat Data dan Informasi Energi Sumber Daya Mineral Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM): Indonesia. Kurniawan, Santoso. 2009. Listrik sebagai Ko-Produk Potensial Pabrik Gula. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Indonesia. Legrand R, Chynoweth DP. 1989. Anaerobic Digestion as a Solid Waste Management Tool. The Twelfth Annual Madison Waste Conference; 1989 Sept 20-21; Departement of Engineering Professional Development, University of Wisconsin, Madison. Tersedia pada http://abe.ufl.edu/chyn/ download/Publications_DC/Non-Refereed/1989%20%20AD%20as%20a% 20solid%20waste.pdf Mashoko L, Mbohwa C, Thomas VM. 2013. Life Cycle Inventory of Electricity Cogeneration from Bagasse in the South African Sugar Industry. Cleaner Production. 39:42-49. doi:10.1016/j.jclepro.2012.08.034. Mbohwa C. 2003. Bagasse Energy Cogeneration Potential in The Zimbabwean Sugar Industry. Renewable Energy. 28(2):191-204. doi:10.1016%2Fs09601481%2802%2900023-x. Moerdokusumo A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Bandung (ID): ITB Bandung. Nguyen TLT, Shabbir H, Gheewala, Garivait S. Full Chain Energy Analysis of Fuel Ethanol from Cane Molasses in Thailand. Applied Energy. 85(8):722– 34. doi:10.1016/j.apenergy.2008.02.002. Pippo WA, Luengo CA. 2013. Sugarcane Energy Use: Accounting of Feedstock Energy Considering Current Agro-Industrial Trends and Their Feasibility. International Journal of Energy and Environmental Engineering. 4(10). http://www.journal-ijeee.com/content/4/1/10. Purohit P, Michelowa A. 2007. CDM Potential of bagasse cogeneration in India. Energy Policy. 35(10):4779–4798. doi:10.1016/j.enpol.2007.03.029. Purwaningsih I. 2012. Penilaian Daur Hidup (Life Cycle Assessment) Gula pada PT. PG Rajawali II Unit Subang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Putra AS, Hariyadi HR, Putra HE, Djaenudin, Pernama D, Pharmawati K. 2014. Proses Produksi Bioetanol dari Limbah Cair Gula dalam Kaitannya dengan Potensi sebagai Bahan Bakar dalam Perspektif Life Cycle Inventory Assessment. Pusat Penelitian Kimia LIPI, Puspiptek, Serpong Rahman SA, Sanjida K, Mishuk M. 2013. Mass Balance of Faridpapur Sugar Mill, Bangladesh and the Effluents Impact on Chandana River. IJSER. 1(3); paper id:J201322; ISSN(online):2347-3878.
27
Ramjeawon T. 2008. Life Cycle Assessment of Electricity Generation from Bagasse in Mauritius. Cleaner Production. 16(16):1727–34. doi:10.1016%2Fj.jclepro.2007.11.001. Renoef MA, Wegener MK, Pagan RJ. 2010. Life Cycle Assessment of Australian Sugarcane Production with a Focus on Sugarcane Growing. Int J Life Cycle Assess. 15:927-937. doi:10.1007/s11367-010-0226-x. Sharma MP, Sharma JD. 1999. Bagasse Based Cogeneration for Indian Sugar Mills. India Renewable Energy. 01(1999). doi: 10.1016/S09601481(98)00356-5. Smith CB. 2008. Production of Bioenergy Using Filter Cake Mud in Sugar Cane Mill Factories. Sugar Processing Research Institute Conference [Internet]; 2008 Sept 9-Okt 1; Florida, USA. Tersedia pada http://www.smithbaez.com/ Download%20page%20files/FilterCakeAD.pdf Subiantoro. 2006. Daduk dari Sampah ke Energi Alternatif. Di dalam: Suwandi A, Hadi S, Samiono B, editor. Prosiding Seminar Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI); 2006 Feb 1; Yogyakarta, Indonesia. hlm 137−147. Sunantyo, Harisutji T. 2005. Pemakaian Batuan Kapur dan Belerang sebagai Bahan Pembantu Proses Pemurnian Nira untuk Meningkatkan Kualitas Gula Produk. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI): ISSN 14109891. Tayibnapis AZ. 2013. Pemanfaatan Inovasi Hasil Penelitian dan Pengembangan (Studi Kasus Pabrik Gula di Indonesia dalam Tinjauan Ekonomi). Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Surabaya. UNESCO. 2009. The United Nations World Water Development Report 3: Water in a Changing World. World Water Assessment Programme. UNESCO, Paris; Earthscan, London. WADE. 2004. Bagasse Cogeneration-Global Review and Potential. World Alliance for Decentralized Energy; 72p; Edinburgh, Scotland. Zeist W, Marinussen M, Broekema R, Groen E, Kool A, Dolman M, Blonk H. 2012. LCI Data for The Calculation Tool Feedprint for Greenhouse Gas Emissions of Feed Production and Utilization (Sugar Industry). Blonk Consultants: Wagenigen University and Research Centre, Netherlands.
28
28
LAMPIRAN Lampiran 1 Aliran sistem proses produksi gula Stasiun Gilingan
Stasiun Pemurnian
Stasiun Masakan
Stasiun Penguapan
Stasiun Putaran Sumber : http://www.risvank.com/2011/12/14/sekilas-proses-pembuatan-gula/
29
Lampiran 2 Perhitungan model neraca massa level II X11 X22 X31 X41 W11 W21 W31 W41 W51 P51
X11 1 -1 0 0 0 1 0.03 0 0 0
X22 0 1 1 0 0 0 0 0.24 0 0
X31 0 0 -1 1 0 0 0 -1 0.62 0
X41 0 0 0 -1 1 0 0 0 -1 0.8
Nama
Kode
Nira mentah Nira encer Nira kental Syrup/ magma Ampas Blotong Air teruapkandari evaporator Air teruapkandari vaccum pan Molase Gula
X11 X22 X31 X41 W11 W21 W31 W41 W51 P51
W11 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
W21 0 1 0 0 0 0 -1 0 0 0
Nilai (ton) 2827,2 2850,23 684,06 424,12 892,8 84,82 2166,18 259,94 84,82 339,29
W31 0 0 -1 0 0 0 0 0 0 0
W41 0 0 0 -1 0 0 0 0 0 0
W51 0 0 0 0 -1 0 0 0 0 0
P51 0 0 0 0 -1 0 0 0 0 -1
PENGALI 3720 95.8503 0 0 0 2827.2 0 0 0 0
Efisiensi model (%) 94,24 95,01 22,80 14,14 29,76 2,83 72,21 8,67 2,83 11,31 29
30
30
Lampiran 3 Perhitungan model neraca massa level III x1
x1.2
x2
x2.2
x3
x3.2
x4
w1
x8
w2
x9
w3
x10
w4
X11
W5
X12
W6
x13
w7
x14
w8
x15
w9
x16
x16.2
x17
x17.2
x18
w10
x19
p1
x20
x20.2
PENGALI
x1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3000
x1.2
-0.45
0.55
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
x2
-1
0
1
1
0
-1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
x2.2
0
0
-0.44
0.56
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
x3
0
0
-1
0
1
-1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
x3.2
0
0
0
0
1 0.5
0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
x4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
720
w1
0
0
0
x8
0
-1
0
w2
0
0
X9
0
0
W3
0
X10
0.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1 0.5
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
360
-1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
49.50036
0
0
0
0
0
0
-0.03
0.97
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-0.26
0.74
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
W4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.28
-0.72
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
X11
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
W5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-0.34
0.66
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
X12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
W6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-0.44
0.56
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
x13
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
0
-1
0
0
0
0
w7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.2
0
0
-1
0
0
0
0
0
0
0
0.2
0
0
0.2
0
0
0
0
x14
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
-1
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
w8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
0
0.2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
x15
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
-1
0
0
0
0
0
-1
0
0
w9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
0
0.2
0
0
0
0
0
0
0
0
x16
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
x16.2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-0.7
0.3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
x17
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
x17.2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1 0.2
0.8
0
0
0
0
0
0
0
x18
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
w10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-0.65
0.35
0
0
0
0
0
x19
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
0
0
0
1
1
0
0
60
p1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-0.93
0
0
0
0
0
1
0
0
55.8
x20
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-1
0
0
0
1
1
0
x20.2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
-0.7
0.3
0
31
Lampiran 3 Perhitungan model neraca massa level III (Lanjutan) Simbol X1 X1.2 X2 X2.2 X3 X3.2 X4 W1 X8 W2 X9 W3 X10 W4 X11 W5 X12 W6 X13 W7 X14 W8 X15 W9 X16 X16.2 X17 X17.2 X18 W10 X19 P1 X20 X20.2
Nama
Ampas gilingan I Nira perahan pertama Ampas gilingan II Nira perahan lanjutan Ampas gilingan III Nira perahan ke-3 Nira perahan ke-4 Ampas gilingan ke-4
Nira encer Blotong
Nira penguapan ke-1 Uap evaporator I
Nira penguapan ke-2 Uap evaporator II
Nira penguapan ke-3 Uap evaporator III
Nira kental Uap evaporator IV
Nira masakan A Uapvaccum pan A
Nira masakan C Uapvaccum pan C
Nira masakan D Uap
Stroop A Magma A Strop C Gula C Gula D1 Molase
Klare gula Gula kristal putih
Klare D2 Gula D2
ton
Persentase (%) 1650
55
1350 1.688,94
45 56,30
1.327,02 1.365,96 1.365,96 1.042,98 1.042,98 2.643,27 81,75 1.956,02 687,25 1.408,33 547,69 929,50 478,83 520,52 408,98 459,15 114,79 133,60 27,55 95,54 21,38 137,75 321,41 106,88 26,72 33,44 62,10 26,70 354,71 10,03 23,41
44,23 45,53 45,53 34,77 34,76 88,10 2,73 65,20 22,91 46,94 18,26 30,98 15,96 17,35 13,63 15,30 3,83 4,45 0,92 3,18 0,71 4,59 10,71 3,56 0,89 1,11 2,07 0,89 11,82 0,33 0,780222
32 Lampiran 4 Perhitungan potensi energi hasil samping berdasarkan model neraca massa level III PARAMETER Kapasitas Pabrik Ketersedian ampas
SATUAN kg tebu/hari % Tebu
JUMLAH 3.000.000 34,7
Ketersedian ampas per hari kg 1.042.978,72 Ketersedian blotong % Tebu 2,73 Ketersedian blotong per hari kg 81.750,64 Ketersedian molase % Tebu 2,07 Ketersedian molase per hari kg 62.099,29 Kandungan Energi/ Kg Biomassa Ampas tebu kkal/kg ampas 2.019 Blotong kkal/kg blotong 3.319 Molase kkal/kg molase 2.700 Total Energi Biomassa Ampas tebu kkal 2.105.774.042,55 Blotong kkal 271.330.368,51 Molase kkal 167.668.083,47 2.544.772.494,53 Total Kebutuhan Panas untuk memproduksi (berasal dari tabel steam untuk kondisi 1 kg uap pada 30 Bar dan temperatur saturated 30 bar) saturated kkal/kg 669,93 Steam yang Dihasilkan Biomassa Steam yang Dihasilkan Ampas kg/hari 3.143.274,73 Steam yang Dihasilkan Blotong kg/hari 405.013,01 Steam yang Dihasilkan Molase kg/hari 250.277,02 kg/hari 3.798.564,77 Total Efisiensi Boiler Rata-rata % 80 Steam Aktual dari Ampas kg/hari 2.514.619,79 dari Blotong kg/hari 324.010,41 dari Molase kg/hari 200.221,62 kg/hari Total steam yang dihasilkan 3.038.851,81 Konversi Steam pada Turbin kg steam/kWh 20 Kebutuhan Energi Pabrik kWh/hari 60.000 Kebutuhan Steam Pabrik kg steam 720.000 kg steam/hari Sisa steam setelah digunakan pabrik 2.318.851,81 Kelebihan listrik yang dapat kWh/hari dipakai kebutuhan pabrik 115.942,59 kWh/hari Surplus energi listrik 55.942,59 a kWh/tahun 11.188.518,14 a massa giling 200 hari
33
Lampiran 5 Potensi masing-masing hasil samping Kondisi
Kebutuhan pabrik
Massa (ton) Steam yang dihasilkan (kg/hari) Kebutuhan steam pabrik (kg/hari) Kebutuhan listrik (kWh/hari)
Surplus energi listrik (kWh/tahun)a
a
masa giling 200 hari
1.042,98 2.514.619,79
81,75 324.010,41
62,10 200.221,62
1.794.619,79
-
-
89.730,99
-
-
29.730,99
-
-
5.946.198
-
-
-
-
8.741
-
-
1400-2000
-
-
2000
Surplus energi yang bisa dijual (kWh/tahun)
Mencukupi kebutuhan listrik (rumah)
Molase
60.000
Kelebihan listrik yang dapat dipakai kebutuhan pabrik Surplus energi listrik (kWh/hari)
Konsumsi per kapita/tahun (kWh) Mencukupi kebutuhan listrik (kapita)
Blotong
720.000
Sisa steam setelah digunakan pabrik
Kebutuhan listrik pabrik off season (kWh)
Ampas
5.944.168 680
34 Lampiran 6 Potensi energi hasil samping dengan proses pengolahan Hasil samping Ampas Blotong Molase
Satuan
Ampas Blotong Molase Total Efisiensi boiler Konversi steam pada turbin
ton ton ton
Jumlah 1.042,98 81,75 62,10
kkal kkal kkal kkal
2.105.774.042,55 62.405.984,76 69.320.747,63 2.237.500.774,94
% kg steam/kWh
80 20
kg/hari
720.000
Kebutuhan steam pabrik Steam yang dihasilkan Ampas Blotong Molase Total steam Sisa steam stelah digunakan pabrik Kelebihan listrik yang dapat digunakan untuk kebutuhan listrik pabrik
Syarat
kg steam/hari kg steam/hari kg steam/hari kg steam/hari kg steam/hari kWh/hari
2.514.619,79
74.522,39 82.779,69 2.671.921,87 1.951.921,87 97.596,09
Kebutuhan listrik pabrik (produksi gula) Sisa listrik (setelah memenuhi kebutuhan pabrik)
kWh/hari
Kebutuhan listrik pengolahan blotong Kebutuhan listrik pengolahan molase Sisa listrik setelah digunakan untuk pengolahan hasil samping
kWh/hari
175
kWh/hari
340
Kebutuhan listrik pabrik off season (160 hari) Surplus listrik (dijual) Konsumsi per kapita/tahun Dapat mencukupi kebutuhan listrik a
200 hari masa giling (on season) dimisalkan satu rumah terdiri dari 4-6 kapita
b
60.000
kWh/hari
37.596,09
kWh/hari
37.081,09
kWh/tahuna
7.416.218,72
kWh
2000
kWh/tahun
7.414.218,72
kWh kapita rumahb
680 10.903 1500-3000
35
Lampiran 7 Model aliran proses produksi tertutup (mandiri energi dan air)
35
Lampiran 8 Model aliran proses produksi mandiri energi dan air (english version)
36
36
37
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 6 Desember 1992 dari (ayah) Joko Sumedi dan (ibu) Sularmi. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal ditempuh penulis di SMA Negeri 34 Jakarta tahun 2007-2010. Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti program S-1, penulis mengikuti organisasi Music Agriculture X-Pression (MAX) dan Jakarta Community pada periode tahun 2010/2011. Penulis juga aktif dalam organisasi Himpunan Mahasasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai sekretaris Departemen Industri pada tahun 2011/2012. Pada bulan Juni-Agustus 2013 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT. PG Rajawali II Subang dengan judul Mempelajari Proses Produksi Gula dan Pengolahan Limbah pada PT. PG Rajawali II Unit PG Subang. Pada tahun ajaran 2013/2014, penulis aktif sebagai asisten praktikum Peralatan Industri dan asisten praktikum Teknologi Pati, Gula dan Sukrokimia.