PEMANFAATAN CYBER EXTENSION SEBAGAI MEDIA INFORMASI OLEH PENYULUH PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR
ABUNG SUPAMA WIJAYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Cyber Extension sebagai Media Informasi Pertanian oleh Penyuluh di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015 Abung Supama Wijaya NIM I352114051
RINGKASAN Pemanfaatan Cyber Extension sebagai Media Informasi Pertanian oleh Penyuluh di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO sebagai Ketua dan KUDANG BORO SEMINAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Cyber Extension dikembangkan agar penyuluh sebagai agen pembangunan dapat memberikan informasi kepada petani. Berkembang dan melimpahnya sumber informasi yang disediakan oleh Cyber Extension menuntut keterampilan penyuluh dalam melakukan aktivitas pencarian informasi. Kemampuan penyuluh dalam melakukan pencarian informasi ini diduga akan mempengaruhi pemanfaatan Cyber Extension oleh penyuluh pertanian. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menjelaskan karakteristik penyuluh, penggunaan media, tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension dan pemanfaatan Cyber Extension pada Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bogor, (2) Menganalisis hubungan karakteristik penyuluh, penggunaan media dengan tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension, (3) Menganalisis hubungan antara tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension dengan pemanfaatan Cyber Extension pada penyuluh di Kabupaten Bogor. Penelitian ini didesain sebagai penelitian sensus yang bersifat deskriptif korelasional. Penelitian ini dilakukan di 3 BP3K yaitu, BP3K Ciawi, Leuwiliang, dan Ciseeng Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 61 orang penyuluh. Analisis data rank Spearman (rs) digunakan untuk mengetahui hubungan antar peubah. Berdasarkan hasil penelitian diketahui karakteristik penyuluh pada indikator umur, tingkat kepemilikan media dan motivasi berhubungan nyata dengan tahapan pencarian informasi. Kelancaran penyuluh dalam tahapan pencarian informasi didukung oleh umur, tingkat kepemilikan media dan motivasi penyuluh. Pada indikator umur dan kepemilikan media, hubungan diketahui mempunyai arah negatif. Penggunaan media pada indikator kemampuan penyuluh mengakses internet, ketersediaan sarana akses dan biaya operasional berhubungan sangat nyata dengan tahapan informasi. Kemampuan penyuluh dalam mengakses Cyber Extension tergolong baik, kebanyakan para penyuluh sudah mampu mengoperasikan komputer untuk akses internet, mengakses informasi terbaru, menggunakan email, dan berkomunikasi dengan sesama penyuluh. Ketersediaan sarana untuk akses internet masih dirasakan kurang. Hal ini dikarenakan minimnya fasilitas wifi dan modem untuk mendukung kelancaran mengakses internet. Biaya operasional masih dirasakan kurang, biaya yang sudah ada dianggap kurang merata dan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penyuluh dalam pencarian informasi melalui internet. Tahapan pencarian informasi pada indikator Starting, Chaining, Browsing, Differentiating, Monitoring, dan Extracting berhubungan positif dan nyata dengan pemanfaatan Cyber Extension pada indikator manfaat informasi, kemampuan membangun jejaring sosial dan kemampuan berbagi informasi dan pengetahuan. Kemampuan penyuluh dalam pemanfaatan Cyber Extension akan didukung oleh kelancaran penyuluh dalam menjalankan tahapan pencarian informasi.
Saran dalam penelitian ini adalah pemerintah khususnya kementerian pertanian perlu mengadakan pelatihan kepada penyuluh untuk mengakses internet, terutama kepada penyuluh yang telah berusia lebih dari 40 tahun. Hal ini mengingat penyuluh yang berada pada kategori tersebut mencapai jumlah yang cukup banyak khususnya di Kabupaten Bogor. Pengadaan alokasi dana khusus yang lebih besar untuk ketersediaan sarana dan biaya operasional akses internet dianggap perlu. Sosialisasi terkait sumber informasi pemerintah tentang pertanian di lembaga-lembaga pertanian harus lebih ditingkatkan. Aktivitas berbagi informasi hasil pencarian sumber informasi dari penyuluh kepada petani agar lebih ditingkatkan dan diefektifkan, hal ini dikarenakan masih banyak para penyuluh pertanian yang tidak meneruskan informasi yang didapatnya sampai kepada para petani dilapangan. Kata kunci: Cyber Extension, Pencarian Informasi, Penyuluh
SUMMARY ABUNG SUPAMA WIJAYA. The Utilization of Cyber Extension-Based Agricultural Extension as Information Media by Extension Officers in Bogor Regency. Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO as the principal supervisor and KUDANG BORO SEMINAR as the co-supervisor. Cyber Extension is developed to facilitate extension officers as the agent of development to transfer information toward farmers. Development and abundance of information sources provided by cyber extension-based agricultural extension require skills of extension officers to access the information. The skills were predicted will influence the utilization of cyber extension of the extension officers. The purposes of the study were (1) to analyse characteristics of extension officers as well as media utilization, stages of information seeking on cyber extension, and the utilization of cyber extension of the officers in Bogor Regency, 2) to analyse the relationship of the officers’ characteristics and media utilization with the stages of information seeking on cyber extension, 3) to analyse the relationship between the stages of information seeking on cyber extension and the utilization of cyber extension of extension officers in Bogor Regency. The study was designed as descriptive correlational census study. It was conducted in three BP3K which were located in Sub-district of Ciawi, Leuwiliang, and Ciseeng, in Bogor Regency, West Java Province. The number of 61 extension officers were taken as respondents. Spearman Rank Test was used to analyse the correlation between variables. Results showed that extension officers’ characteristicts at the indicator of age, level of media ownership, and extension officers’ motivation had a significant relationship with the stage of information seeking. The capability of extension officers in the stages of information seeking was supported by the age, the level of media ownership, and extension officers’ motivation. The relationship between age and level of media ownership was negative. The use of media at the indicator of extension officers’ skills, internet access, availibility of means of access, and operational cost had a very significant relationship with the stages of information seeking. The officers’ skills in accessing cyber extension was good, most of extension officers were capable of operating computer to access internet, new information, e-mail, and to communicate with another officers. The availability of means of internet access was not enough. It was seen in the minimum of wifi and modem facilities. Operational cost was perceived disproportionately distributed and insufficient to meet the needs of extension officers in seeking information via internet. The stages of information seeking at the indicators of starting, chaining, browsing, differentiating, monitoring, and extracting had a significant possitive relationship with the utilization of cyber extension at the indicators of information benefit, capability to build social networks, and capability to share the information and knowledge. Extension officers’ skills in utilizing cyber extension will be supported by the capability of officers in running the stages of information seeking. This study suggests government, especially the agricultural ministry to hold a training of accessing internet for the extension officers, particularly whose
age are above forty years old. It is considering that the most extension officers in Bogor Regency are at that age. Provision of more particular fund to provide the means and operational fund of accessing internet is needed. Socialization about the government’s information sources of agriculture for the agricultural institutions is should be improved. Activities of sharing the information accessed from extension officers to the farmers should be improved and be more effective, due to the finding that most of the extension officers didn’t share the information they accessed to the farmers. Keywords: Cyber Extension, Information Seeking, Extension Officer
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PEMANFAATAN CYBER EXTENSION SEBAGAI MEDIA INFORMASI OLEH PENYULUH PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR
ABUNG SUPAMA WIJAYA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Pudji Muljono, MS
Judul Tesis : Pemanfaatan Cyber Extension sebagai Media Informasi oleh Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bogor Nama : Abung Supama Wijaya NIM : I352114051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ketua
Prof Dr Kudang Boro Seminar, M.Sc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 18 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Pemanfaatan Cyber Extension sebagai Media Informasi oleh Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bogor dengan sebaik-baiknya. Penulisan tesis ini ditujukan untuk memenuhi syarat dalam perolehan gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi dan Pembangunan Pertanian Pedesaan. Penyelesaian tesis ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada sejumlah pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini atas jasa dan dukungannya baik dukungan moril maupun materil Terima kasih nan tulus ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi salah satu mahasiswa penerima Beasiswa Unggulan (BU) periode tahun 2012-2013. Terima kasih telah memfasilitasi proses perkuliahan spenulis dengan sebaik-baiknya. Penyelesaian tesis ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan yang diberikan oleh pembimbing tercinta. Terima kasih yang sebesarnya kepada Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo MS, yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran dalam berbagi ilmu. Pembimbing sekaligus motivator dan selalu menjadi penyemangat yang hebat. Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof Dr Kudang Boro Seminar MSc, atas kesabarannya dalam membimbing. Terima kasih atas kesediannya memberikan arahan dan bimbingan yang berarti bagi penulis. Kepada Dr Ir Wahyu Budi Priatna MSi, koordinator program keahlian komunikasi program Diploma IPB yang telah memberikan motivasi penulis untuk menyelesaikan gelar magister. Selanjutnya rekan dosen di Program keahlian Komunikasi terutama ketiga sahabat seperjuangan Willy, Ezi, dan Vivien. Selanjutnya ucapan terima kasih kepada Dr Ir Amiruddin Saleh MS, atas bantuan dan motivasinya dalam penyelesaian jurnal komunikasi pembangunan. Mba Heti bagian Tata Usaha KMP yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian studi. Terakhir, kepada keluarga tercinta khususnya Bapak (H. Irianto) dan Mamah (Hj. Utin) yang tidak pernah absen untuk mendoakan putra pertamanya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Kedua Adik tercinta Iip Irmansyah dan Dinda Fajrianti, semoga gelar ketiga ini lebih memotivasi kalian. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembacanya.
Bogor, September 2015
Abung Supama Wijaya
DAFTAR ISI PENDAHULUAN ........................................................................................... Latar Belakang ............................................................................................. Perumusan Masalah ..................................................................................... Tujuan Penelitian ......................................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Bidang Pertanian ...................................................................................................... Gambaran Singakat Cyber Extension .......................................................... Peran, Karakteristik, dan Motivasi Penyuluh Pertanian .............................. Peran Penyuluh Pertanian ............................................................................ Karakteristik Penyuluh Pertanian ................................................................ Motivasi Penyuluh Pertanian ....................................................................... Hambatan dalam Proses Pencarian Informasi ............................................. Pemanfaatan Cyber Extension ..................................................................... Pengertian Informasi .................................................................................... Penelitian Terdahulu terkait Cyber Extension dan Pemanfaatan Media Informasi ...................................................................................................... Kerangka Berpikir ....................................................................................... Hipotesis Penelitian ..................................................................................... METODE PENELITIAN .............................................................................. Desain Penelitian ......................................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................... Sumber Data Penelitian ............................................................................... Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... Definisi Operasional .................................................................................... Validitas dan Reabilitas Instrumentasi ........................................................ Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................ Karakteristiik Penyuluh ............................................................................... Penggunaan Media Tahapan Pencarian Informasi ...................................................................... Pemanfaatan Cyber Extension Hubungan antara Karakteristik Penyuluh dengan Tahapan Pencarian Informasi ...................................................................................................... Hubungan antara Penggunaan Media dengan Tahapan Pencarian Informasi ...................................................................................................... Hubungan antara Kelancaraan Tahapan Pencarian Informasi Cyber Extension dengan Pemanfaatan Cyber Extension ....................................... SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... Simpulan ...................................................................................................... Saran ............................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
1 1 3 5 5 6 6 7 8 8 10 11 11 12 15 17 21 25 26 26 26 26 27 27 27 30 31 32 32 35 38 40 46 48 49 50 52 52 52 54
DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10.
Pemanfaatan Cyber Extension ..................................................... Penelitian Terdahulu tentang Cyber Extension ........................... Data Penyuluh di Kabupaten Bogor yang Menjadi Objek Penelitian ..................................................................................... Jumlah dan Persentase Karakteristik Penyuluh ........................... Jumlah dan Presentase Penggunaan Media ................................. Jumlah dan Presentasi Penggunaan Media .................................. Jumlah dan Presentase Pemanfaatan Cyber Extension ................ Koefesien Korelasi (r) antara Karakteristik Penyuluh dengan Tahapan Pencarian Informasi ...................................................... Koefesien Korelasi (r) antara Hambatan Penggunaan Media dengan Tahapan Pencarian Informasi .......................................... Koefesien Korelasi (r) antara Tahapan Pencarian Informasi dengan Pemanfaatan Cyber Extension ........................................
14 16 27 35 38 41 46 48 49 50
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian yang berkelanjutan saat ini terletak pada upaya dan kapasitas yang dimiliki oleh penyuluh pertanian. Hal ini disebabkan oleh peran penting yang dimiliki oleh penyuluh pertanian sebagai ujung tombak serta jembatan antara pemerintah dan petani sebagai pelaku utama. Penyuluh pertanian dituntut memiliki pengetahuan, informasi yang memadai untuk petani, dan kemampuan untuk akses dan tanggap terhadap perkembangan teknologi informasi. Salah satu teknologi informasi di bidang pertanian yang dikembangkan saat ini adalah program Cyber Extension. Pengembangan sistem informasi tersebut mengacu pada Pasal 15 ayat 1c Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K) dengan materi bahwa Balai Penyuluhan berkewajiban menyediakan dan menyebarkan informasi tentang teknologi, sarana produksi, pembiayaan dan pasar. Cyber Extension merupakan mekanisme pertukaran informasi pertanian dalam sistem penyuluhan pertanian melalui area cyber dengan tujuan untuk mempercepat arus informasi berbasis teknologi ke tingkat pengguna akhir (petani) serta membangun komunikasi secara interaktif. Sistem informasi ini pertama kali dikembangkan oleh Kementerian Pertanian pada tahun 2008 dengan mangacu pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/02/Menpan/2/2008 Pasal 8 bahwa penyuluhan pertanian melalui website, merupakan salah satu tugas penyuluh pertanian terutama bagi penyuluh pertanian yang telah menyandang jabatan fungsional sebagai Penyuluh Pertanian Ahli. Pada sektor pertanian, pengembangan informasi dan inovasi pertanian berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dilakukan menggunakan jaringan komputer terprogram, yang terkoneksi dengan internet dan dikenal dengan istilah Cyber Extension. Menurut Sharma (2006), Cyber Extension merupakan salah satu mekanisme pengembangan jaringan komunikasi informasi inovasi pertanian terprogram, secara efektif, dengan mengimplementasikan TIK dalam sistem pertanian, yang dapat meningkatkan keberdayaan penyuluh, melalui penyiapan informasi pertanian yang tepat waktu, dan relevan dalam mendukung proses pengambilan keputusan penyuluh guna penyampaian data dan informasi pertanian kepada petani dan kelompok taninya. Adekoya (2007) menambahkan bahwa pendekatan Cyber Extension berorientasi kepada penerima, bersifat individual, dan dapat menghemat biaya, waktu, serta tenaga. Kementerian Pertanian membangun program Cyber Extension ditandai dengan menghadirkan alamat situs http://cybex.deptan.go.id/, diikuti dengan paket pengadaan peralatan Cyber Extension sejumlah 1.256 unit, berupa komputer PC, printer, modem, dan stabilizer guna mendukung implementasi sistem tersebut. Total paket pengadaan sejumlah 1.090 unit ditempatkan di kelembagaan penyuluhan kecamatan (1.090 kecamatan dari jumlah total kecamatan 6.672 kecamatan)(Pusat Penyuluhan Pertanian, 2012), dan selebihnya ditempatkan di kelembagaan penyuluhan provinsi dan kabupaten/kota, masing-masing 1 unit. Pada tahun 2011 Pusat penyuluhan mengadakan tambahan unit pengadaan Cyber
2
Extension sejumlah 180 unit, (62 unit ditempatkan di kelembagaan penyuluhan kecamatan) yang khusus diperuntukkan bagi 11 provinsi pelaksana P2BN guna menunjang percepatan materi penyuluhan dan informasi pertanian dalam rangka mendukung pembangunan pertanian. Distribusi tersebut jumlahnya didasarkan pada bentuk kelembagaan yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (SP3K) (Helmy, 2013). Cyber Extension dikembangkan agar penyuluh sebagai agen pembangunan dapat memberikan informasi (message carriers) kepada petani. Selain itu, melalui informasi yang diperoleh dari Cyber Extension dapat digunakan untuk mengembangkan inovasi baru, produk-produk pertanian yang berdaya saing dan berproduktivitas tinggi, program penyuluhan dan lain sebagainya. Cyber Extension bertujuan agar informasi penyuluhan bisa dikirim secara cepat kepada penyuluh sehingga petani selalu update dengan informasi-informasi terbaru. Menurut Deptan dalam Sumardjo et al. (2010) tujuan akhir dari jaringan informasi Cyber Extension diperuntukan kepada masyarakat petani yang membutuhkan berbagai informasi seputar permasalahan pertanian untuk mendukung program revitalisasi penyuluhan khususnya dalam melaksanakan pengembangan kerjasama dan jejaring kerja penyuluhan pertanian dengan instansi terkait Mulyandari (2011) menemukan bahwa peningkatan kapasitas penyuluh dalam mengakses dan menerapkan teknologi informasi merupakan kunci untuk mengembangkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang efektif dalam lingkup pertanian, termasuk pengembangan teknologi Cyber Extension. Penelitian Mulyandari (2011) ini menemukan bahwa petani merasakan manfaat Teknologi Informasi (TI) untuk komunikasi, akses informasi dan sarana promosi. Sumardjo et al. (2010) menambahkan bahwa kegiatan pelatihan dan sosialisasi pemanfaatan TI telah berhasil meningkatkan tingkat aksesibilitas petani terhadap sistem informasi berbasis TI untuk mendukung peningkatan, untuk keberdayaan petani dalam pengambilan keputusan usaha tani. Hal ini menjadi dasar perlunya penelitian lanjutan tentang pemanfatan media informasi dalam bidang pertanian untuk mengetahui secara mendalam sehingga manfaat, efektivitas dan inovasi baru tersebut dapat diketahui dan dikembangkan. Penelitian lain, Veronice (2013) menyatakan bahwa salah satu unsur penting yang harus dimiliki oleh penyuluh pertanian adalah kemampuan dalam mengakses teknologi informasi dan komunikasi di bidang pertanian untuk mendukung perannya dalam memberikan layanan informasi sesuai dengan kebutuhan petani dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan komunikasi yang berlangsung cepat. Untuk menunjang pencapaian tersebut, penyuluh pertanian dapat mencari dan mengakses sumber-sumber informasi dari media online sehingga pada nantinya petani mampu meningkatkan daya saing usaha taninya. Pemanfaatan sistem informasi dan teknologi melalui Cyber Extension pada hakekatnya akan menunjang pembangunan pertanian jika dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Persoalan yang muncul kemudian adalah tidak semua karakteristik penyuluh pertanian dan petani mampu memanfaatkan teknologi informasi ini. Suryantini (2004) menyatakan bahwa penyuluh di Kabupaten Bogor memiliki kecenderungan yang rendah (47%) dalam mengunjungi sumber informasi seperti balai penelitian, dinas pertanian, perguruan tinggi hingga
3
perpustakaan. Sementara itu menurut Anwas et al. (2009) menyatakan bahwa penyuluh harus memiliki inisiatif dan aktif untuk mencari berbagai media belajar untuk meningkatkan kompetensinya untuk memfasilitasi kebutuhan informasi petani. Penelitian yang dilakukan Veronice (2013), menyatakan bahwa tingkat pemanfaatan TIK penyuluh di Kabupaten Bogor sangat tinggi, terutama dalam pemanfaatan komputer, internet dan handphone. Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa kecenderungan penyuluh dalam mengakses Cyber Extension untuk mendapatkan informasi khususnya di kabupaten Bogor cenderung cukup tinggi. Berkembangnya informasi melalui media internet ini akan menyebabkan terjadinya kelimpahan informasi atau kebingungan pengguna dalam melakukan kegiatan pencarian informasi (information seeking) baik itu dari tahapan memulai, memilih, menyaring dan menilai informasi yang ditemukan di internet (Andriaty et al. 2011). Berkembang dan melimpahnya sumber informasi yang disediakan oleh Cyber Extension menuntut keterampilan penyuluh dalam melakukan aktivitas pencarian informasi sehingga penyuluh tidak mengalami kebingungan dalam melakukan kegiatan pencarian informasi. Ellis et al. (1997) mendeskripsikan proses pencarian informasi dalam mengakses internet sebagai berikut, dimulai dari fase (Starting), kemudian diikuti dengan link menuju sumber informasi terkait (Chaining), mengamati situs terpilih (Browsing), menandai sumber yang berguna untuk kepentingan di masa mendatang (Differentiating), mencatat alamat sumber untuk bisa mengakses dan terus mengikuti perkembangan informasi terbaru (Monitoring) dan mulai menetapkan sumber informasi (Extracting). Kemampuan penyuluh dalam melakukan pencarian informasi inilah yang diduga akan berhubungan dengan pemanfaatan Cyber Extension oleh penyuluh di Kabupaten Bogor. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan mengkaji lebih lanjut mengenai pemanfaatan Cyber Extension oleh penyuluh pertanian di Kabupaten Bogor. Lokasi ini dipilih karena derah ini merupakan daerah dengan variasi penggunaan TIK dan tingkat aksesibilitas cukup tinggi terhadap sumber informasi, penyuluhnya sudah terdedah dengan TIK, koneksi jaringan yang cukup luas, dan di wilayah kabupaten Bogor terdapat berbagai unit kerja penelitian pertanian pusat-pusat informasi. Institusi pendidikan terbesar di Indonesia yaitu Institut Pertanian Bogor ada dalam wilayah kabupaten Bogor, semakin menarik untuk diteliti bagaimana para penyuluh di Kabupaten Bogor memanfaatkan media teknologi informasi khususnya program Cyber Extension ini guna menjawab kebutuhan informasi untuk memecahkan permasalahan, maupun menambah pengetahuan dalam ruang lingkup pertanian. Perumusan Masalah Salah satu program dan kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan media komunikasi adalah penggunaan media internet Cyber Extension. Media ini bertujuan untuk menjembatani kebutuhan penyuluh dan petani terhadap informasi pertanian yang terbaru, seperti sistem pertanian, teknologi dan inovasi pertanian serta harga barang-barang pertanian. Mengingat banyaknya informasi yang disediakan melalui media internet ini maka kemampuan penyuluh pertanian dan petani untuk mengakses informasi tersebut menjadi semakin penting. Penyuluh
4
pertanian merupakan ujung tombak pelaksanaan penyuluhan pertanian karena penyuluh pertanian merupakan perpanjangan tangan pemerintah yang bersentuhan langsung dengan pelaku utama pertanian yakni petani. Keberhasilan penyuluhan diasumsikan berkorelasi positif dengan kualitas penyuluh di lapangan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman tersebut. Namun menurut Sumardjo (2008) dan Slamet (2008), kendala utama dalam menghadapi tantangan penyuluhan saat ini adalah keterbatasan tenaga profesional di bidang penyuluhan pembangunan. Ketersediaan berbagai macam atau jenis TIK dan beragam jenis informasi yang ada belum menjamin dapat dimanfaatkan oleh penyuluh pertanian untuk dapat diteruskan kepada para petani melalui penyuluhan pertanian, dengan kata lain pemanfaatan berbagai jenis program penyuluhan berbasis digital ini mempunyai hambatan atau kendala baik yang berasal dari dalam diri penyuluh pertanian itu sendiri maupun faktor eksternal lainnya yang menentukan. menjamin Pengembangan TIK sebagai salah satu alternatif untuk kecepatan dan ketepatan penyebaran informasi teknologi baru di bidang pertanian juga menjadi salah satu pilihan pertimbangan pada efektivitas dan efisiensi sistem layanan penyuluhan (Subejo, 2011), bahkan pemanfaatan TIK ini juga tidak lepas dari adanya peningkatan kualitas sumber daya petani dan pelaku pembangunan pertanian, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta pertimbangan efektivitas dan efisiensi penyebarluasan informasi. Sharma (2006) pada penelitian terdahulu menyatakan salah satu solusi yang ditawarkan dalam rangka mengatasi persoalan transfer teknologi dan pengetahuan yaitu dengan memberikan istilah tentang pemanfaatan TIK untuk penyuluhan pertanian dengan sebutan Cyber Extension. Pemanfaatan Cyber Extension di berbagai daerah berbeda-beda tergantung kemampuan penyuluh pertanian dalam mengakses infomasi yang tersedia. Umumnya keefektifan media komunikasi ini terlihat di kota besar, termasuk di Kabupaten Bogor sedangkan di berbagai pelosok pedesaan, media ini kurang dimanfaatkan. Pemanfaatan media ini tergantung pada karakteristik petani, karakteristik penyuluh dan jenis teknologi ini sendiri sebagai inovasi. Merujuk pada penelitian Permatasari (2013) bahwa penyuluh pertanian perlu diberikan penyuluhan dan pelatihan mengenai penggunaan media komunikasi Cyber Extension, manfaat menggunakan media komunikasi tersebut dalam mencari informasi tentang teknologi pertanian. Cyber Extension merupakan mekanisme yang dapat dioptimalkan dengan dukungan program peningkatan kapasitas penyuluh sebagai pendamping dalam pemanfaatan Cyber Extension. Penyuluh sekaligus dapat mensinergikan beragam media komunikasi untuk menyampaikan inovasi pertanian. Keberadaan media komunikasi / informasi ini menjadi bernilai jika dimanfaatkan dengan baik, keberadaan media ini menjadi penting untuk diteliti sehingga dapat diketahui sejauh mana pemanfaatan media ini sebagai media informasi oleh penyuluh pertanian sebagai agen pembangunan. Berdasarkan uraian di atas, maka masalah penelitian ini secara rinci sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik penyuluh, penggunaan media, tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension dan pemanfaatan Cyber Extension pada
5
Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana hubungan karakteristik penyuluh, penggunaan media dengan tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension? 3. Bagaimana hubungan antara tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension dengan Pemanfaatan Cyber Extension pada penyuluh di Kabupaten Bogor? Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan karakteristik penyuluh, penggunaan media, tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension dan pemanfaatan Cyber Extension pada Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bogor 2. Menganalisis hubungan karakteristik penyuluh, penggunaan media dengan tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension. 3. Menganalisis hubungan antara tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension dengan Pemanfaatan Cyber Extension pada penyuluh di Kabupaten Bogor. Manfaat Penelitian Penelitian mengenai pemanfaatan Cyber Extension sebagai media informasi oleh penyuluh pertanian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Ilmu Komunikasi dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat. 2. Sebagai bahan masukan bagi instansi yang berkompeten dalam bidang diseminasi hasil penelitian untuk menyediakan media informasi teknologi pertanian yang tepat guna sesuai dengan kebutuhan sasaran 3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti dan penyuluh pertanian dalam rangka menyusun program penelitian dan penyuluhan serta merancang media yang tepat dalam percepatan alih teknologi. 4. Referensi pembanding dan konsep dalam kepentingan akademik dan stimulan bagi penelitian selanjutnya.
6
TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Bidang Pertanian Informasi teknologi pertanian memegang peranan penting dalam proses pembangunan pertanian. Tersedianya berbagai sumber informasi yang akan mendesiminasikan (menyebarkan) atau menyampaikan informasi teknologi pertanian dapat mempercepat kemajuan usaha pertanian di pedesaan. Pada era globalisasi dan informasi dewasa ini, perkembangan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Informasi merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat luas, baik peneliti, dosen, mahasiswa maupun pengguna jasa informasi lainnya.Terbukanya pasar global dan peningkatan selera konsumen ke arah mutu produk pertanian yang lebih tinggi merupakan tantangan yang harus ditanggapi secara sistematis, antara lain dengan mengoptimalkan kegiatan diseminasi (penyebarluasan informasi) hasil penelitian dan teknologi pertanian melalui berbagai media, baik media cetak (buku, prosiding, jurnal, brosur, leaflet atau folder dan poster), media elektronik (televisi, radio, CD, surat elektronik, dan internet) maupun melalui tatap muka, berupa seminar, lokakarya, workshop atau apresiasi dan advokasi (Setiabudi, 2004). Sehubungan dengan hal tersebut, maka komunikasi pembangunan yang merupakan serangkaian usaha untuk mengkomunikasikan program pembangunan dapat bermanfaat dan menimbulkan efek serta dampak pesan kepada masyarakat. Kegiatan mendidik dan memotivasi masyarakat merupakan unsur yang paling utama dalam komunikasi pembangunan. Tujuannya untuk menanamkan gagasan-gagasan, sikap mental dan mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan oleh suatu negara berkembang. Pesan pembangunan dapat disampaikan melalui media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, film teatrikal dan media cetak lainnya seperti poster, pamflet, spanduk dan lain sebagainya. Chury et al. (2012) menyatakan bahwa radio merupakan saluran yang paling efektif untuk mendapatkan informasi mengenai iklim. Hasil penelitian Usman et al. (2012) mengemukakan bahwa infrastruktur yang penting dan lebih banyak diminta yaitu dalam bentuk TIK guna pengembangan inovasi dan penggunaan sumber daya secara efektif, memanfaatkan metodologi baru dan pasar untuk peningkatan taraf hidup petani. Lebih lanjut Usman et al. (2012) mengungkapkan, bahwa TIK harus dimasukkan ke dalam semua usaha yang berhubungan dengan pembangunan pertanian. Kesadaran harus dihasilkan dari kalangan petani muda dan setengah baya tentang ketersediaan layanan TIK untuk meningkatkan partisipasi dan inisiatif. Penggunaan media massa dalam penyuluhan yang patut dipertimbangkan adalah peranannya dalam program penyuluhan dan penggunaan secara efektif. Surat kabar, majalah, radio dan televisi merupakan media yang paling murah untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media massa dapat mempercepat proses perubahan, tetapi jarang dapat menyebabkan perubahan dalam perilaku, karena pengirim dan penerima pesan cenderung menggunakan pesan selektif saat menggunakan
7
media massa sehingga pesan mengalami distorsi. Sangat disadari bahwa tidak seorangpun dapat membaca semua penerbitan, penelitian menunjukkan bahwa dasar pemilihan media terletak pada kegunaan yang diharapkan. Misalnya untuk keperluan memecahkan masalah, mengetahui yang sedang terjadi di sekeliling atau untuk sekedar santai, juga untuk keperluan agar dapat berpartisipasi dalam diskusi atau mengukuhkan pendapat mengenai suatu hal (Murfiani, 2006). Sementara itu, Iddings dan Apps (1990) menyatakan, adopsi pemanfaatan aplikasi Teknologi Informasi dan Komunikasi biasanya tidak spontan. Dalam berbagai penelitian, secara jelas menunjukkan bahwa kompleksitas usahatani, tingkat dukungan eksternal (lingkungan), usia, waktu pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, pengalaman, jaringan, ketersediaan informasi, kepribadian dan pendekatan proses pembelajaran memberikan pengaruh pada peningkatan atau pengurangan terhadap penggunaan komputer atau teknologi informasi dan komunikasi. Faktor lain yang banyak mempengaruhi adopsi dan penggunaan teknologi informasi dalam organisasi pertanian menurut Kurtenbach and Thompson (2000) dapat dikelompokkan menjadi lima kategori seperti akses terhadap teknologi informasi, demografi, pelatihan/pendidikan bidang teknologi informasi, tingkat kepercayaan terhadap teknologi informasi, dan waktu atau lama menggunakan teknologi informasi. Bagaimana karakteristik penyuluh, penggunaan media, tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension dan pemanfaatan Cyber Extension pada Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bogor? Gambaran Singkat Cyber Extension Cyber Extension adalah mekanisme pertukaran informasi pertanian melalui area cyber, suatu ruang imajiner-maya di balik interkoneksi jaringan komputer melalui peralatan komunikasi. Cyber Extension ini memanfaatkan kekuatan jaringan, komunikasi komputer dan multimedia interaktif untuk memfasilitasi mekanisme berbagi informasi atau pengetahuan (Wijekoon et al. 2009). “Cyber extension is an agricultural information exchange mechanism over cyber space, the imaginary space behind the interconnected computer networks through telecommunication means. It utilizes the power of networks, computer communications and interactive multimedia to facilitate information sharing mechanism”. Jaringan yang digunakan merupakan jaringan internet yang merupakan salah satu jenis media hibrida. Menurut Vivian (2008) internet merupakan sebuah jaringan dasar yang membawa pesan. Internet berasal dari sistem komunikasi militer AS yang dibuat pada tahun 1969 yang disebut ARPAnet (Advanced Research Project Agency Network). Berbeda halnya dengan istilah web, yang merupakan struktur kode-kode yang mengizinkan pertukaran bukan hanya antarteks, tetapi juga grafis, video dan audio. Selanjutnya kode-kode tersebut mudah untuk dipahami orang awam sehingga mereka tidak perlu mengetahui kode tersebut untuk masuk ke isi web. Selain itu, dasar-dasar kode web diterima secara
8
universal sehingga memungkinkan semua orang yang memiliki komputer, modem, dan koneksi internet masuk ke dalam web global. Model komunikasi Cyber Extension mengumpulkan atau memusatkan informasi yang diterima oleh petani dari berbagai sumber yang berbeda maupun yang sama dan disederhanakan dalam bahasa lokal disertai dengan teks dan ilustrasi audio visual yang dapat disajikan atau diperlihatkan kepada seluruh masyarakat desa terutama petani (Sumardjo et al. 2010). Lebih lanjut dikatakan bahwa knowledge sharing model (model berbagi pengetahuan) merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memberikan kesempatan kepada anggota suatu kelompok, organisasi, instansi atau perusahaan untuk berbagi ilmu pengetahuan, teknik, pengalaman, dan ide yang dimiliki kepada anggota lainnya. Cyber Extension diharapkan dapat membantu mewujudkan jaringan informasi bidang pertanian sampai ditingkat petani dapat diwujudkan. Peran, Karakteristik, dan Motivasi Penyuluh Pertanian Peran penyuluh pertanian Jika melihat dari sejarah, penyuluhan itu berawal dari suatu sistem pertukaran informasi mengenai pertanian (agricultural information exchange) yang dengan tujuan untuk meningkatkan hasil pertanian. Hal ini sudah dilakukan oleh Mesir kuno, Mesopotamia, dan Yunani. Dalam bahasa Inggris, istilah penyuluhan menggunakan istilah extention. Penggunaan istilah ini berawal dari university extension atau extension of the university yang merupakan kegiatan staf pengajar dari universitas untuk menyebarkan informasi dan ilmu pengetahuan tentang pertanian kepada masyarakat non-universitas (Leeuwis 2004). Penggunaan extension akhirnya lebih lazim digunakan terutama untuk penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penggunaannya berkembang ke bidang-bidang lain keluarlah istilah Extension Education, Development Communication atau Development Extension (Penyuluhan Pembangunan) (Hafsah 2009). Penyuluh pertanian berdasarkan Undang-Undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan adalah perorangan warga Negara Indonesia yang melakukan kegitan penyuluhan. Penyuluhan sendiri merupakan cara penyebaran informasi yang berkaitan dengan upaya perbaikan cara-cara bertani dan berusahatani demi tercapainya peningkatan produktivitas, pendapatan petani dan perbaikan kesejahteraan masyarakat atau keluarga yang diupayakan melalui kegiatan pembangunan pertanian. Penyebaran informasi yang dimaksud mencakup informasi tentang ilmu dan teknologi yang bermanfaat, analisis ekonomi dan upaya rekayasa sosial yang berkaitan dengan pengembangan usaha tani serta peraturan dan kebijakan pendukung. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/02/Menpan/2/2008, bahwa tugas pokok dan fungsi penyuluh pertanian adalah melakukan kegiatan yaitu: 1. Menyiapkan dan merencanakan pelaksanaan penyuluhan yang meliputi, kemampuan dalam mengidentifikasi potensi wilayah, kemampuan mengidentifikasi agroekosistem, kemampuan mengidentifikasi kebutuhan teknologi pertanian, kebutuhan menyusun program penyuluhan, dan kemampuan menyusun rencana kerja penyuluhan.
9
2. Melaksanakan penyuluhan pertanian meliputi kemampuan menyusun materi penyuluhan, kemampuan menerapkan metode penyuluhan, baik metode penyuluhan perorangan maupun penyuluhan kelompok serta metode penyuluhan massal, juga memiliki kemampuan membina kelompok tani mengembangkan sebagai kelompok pembelajaran dan kemampuan swadaya dan swakarsa petani nelayan. 3. Kemampuan membuat evaluasi dan pelaporan pelaksanaan penyuluhan. 4. Kemampuan mengembangkan penyuluhan pertanian seperti merumuskan kajian arah penyuluhan, menyusun pedoman pelaksanaan penyuluhan dan mengembangkan sistem kerja penyuluhan pertanian. 5. Pengembangan profesi penyuluh pertanian yang meliputi penyusunan karya tulis ilmiah dan ilmu populer bidang penyuluhan pertanian dan penerjemahan buku penyuluhan. 6. Kegiatan penunjang penyuluhan pertanian yang meliputi seminar dan lokakarya penyuluhan pertaniaan 7. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian untuk masa yang akan datang haruslah dipola secara terpadu dan integratif. Peran penyuluh lainnya antara lain: 1. Peran Penyuluh sebagai tenaga teknis edukatif. Dalam peranan ini penyuluh dapat bertindak sebagai penyedia jasa konsultan (pendidikan), termasuk di dalamnya penyuluh dapat melakukan tindakan membimbing, melatih, mengarahkan, dan memberikan transfer informasi dan teknologi usaha tani. Perubahan perilaku pada tiga domain utama (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) menjadi bagian tugas yang tidak terpisahkan dalam peranan penyuluh sebagai konsultan/tenaga pendidikan pertanian. Sebagai tenaga teknis edukatif, seorang penyuluh pertanian mampu melakukan penyelenggaraan proses belajar mengajar sesuai prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa. 2. Peran penyuluh sebagai pemberdaya petani. Sebagai pemberdaya petani, penyuluh diharapkan mampu memberikan semangat dan energi yang penuh bagi kemandirian hidup petani, sehingga petani mau dan mampu untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya secara independen dan swadaya. Tentunya dalam hal ini tindakan yang perlu dilakukan penyuluh sebagai pemberdaya petani di antaranya: a. Penyuluh sebagai insiator: senantiasa memberikan gagasan/ide baru yang inovatif, adaptif, dan fleksibel. b. Penyuluh sebagai fasilitator: selalu memberikan alternatif solusi dari setiap problema yang dihadapi petani, dan mampu memberikan akses kepada tujuan pasar dan perbaikan modal usaha. c. Penyuluh sebagai motivator: senantiasa penyuluh memberikan dorongan semangat agar petani mau dan mampu bertindak untuk kemajuan. d. Penyuluh sebagai evaluator: senantiasa penyuluh mampu melakukan tindakan korektif, mampu melakukan analisis masalah. 3. Peran penyuluh sebagai petugas profesional mandiri yang berkeahlian spesifik. Penyuluh yang profesional adalah penyuluh yang mampu memposisikan diri dalam tugasnya sebagai milik petani dan lembaganya
10
serta bertanggung jawab penuh terhadap profesinya. 4. Penyuluh berperan sebagai entrepreneurship (kewirausahaan) Kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan serta menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar (Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusahan Kecil Nomor 961/KEP/M/XI/1995). Hasil penelitian Marius et al. (2007) mengenai kompetensi penyuluh mengungkapkan bahwa di dalam era otonomi daerah perhatian pemerintah daerah menurun seperti hampir tidak adanya penggunaan informasi dalam bentuk leaflet, brosur dan lain-lain. Begitu juga dengan pemberian dana, sarana/prasarana, dukungan masyarakat dan keluarga juga menurun, penggunaan teknologi pertanian oleh petani terbatas, motivasi penyuluh rendah. Senada dengan hasil penelitian Margono et al. (2011) yang membahas mengenai gap antara hubungan pemerintah pusat dengan penyuluh dalam penyebaran informasi mengungkapkan bahwa sumber informasi sekunder yang dapat diakses oleh penyuluh, bukan tergolong dalam kasus informasi primer. Mengenai isu yang berkaitan dengan jenis atau ragam informasi, perlunya portal bagi penyuluh dalam mengakses informasi dan akses ke katalog online database bagi pusat-pusat informasi sehingga interoperabilitas lintas kelembagaan dan database repositori menjadi isu penting dalam memberikan portal informasi pertanian. Karakteristik Penyuluh Pertanian Karakteristik merupakan sifat atau ciri yang melekat pada seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik penyuluh ini diperlukan untuk menjalankan fungsi dan peran penyuluh pertanian, Karakteristik penyuluh yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi Umur, pendidikan, pengalaman penyuluh, tingkat kepemilikan teknologi informasi, dan status penyuluh. Huda (2010) menyatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi efisiensi belajar, karena akan berpengaruh terhadap minatnya pada macam pekerjaan tertentu sehingga umur seseorang juga akan berpengaruh terhadap motivasinya untuk belajar. Mardikanto (1993) mengatakan bahwa umur akan berpengaruh kepada tingkat kematangan seseorang (baik kematangan fisik maupun emosional) yang sangat menentukan kesiapannya untuk belajar. Selaras dengan hal tersebut Mardikanto (2009) mengemukakan bahwa sesuai dengan bertambahnya umur, seseorang akan menumpuk pengalaman-pengalamannya yang merupakan semberdaya yang sangat berguna bagi kesiapannya untuk belajar lebih lanjut. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, ada kecenderungan semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan (Slamet, 2003). Bahkan menurut Mardikanto (2010), semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap efisien bekerja dan semakin banyak tahu caracara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan. Senada yang
11
diungkapkan oleh Nwafor dan Akubue (2008) bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi penggunaan radio dan televisi di Nigeria. Radio dan program televisi yang terkenal di kalangan perempuan berupa siaran berita, program sosial budaya, musik dan drama. Masalah yang menghambat penggunaan radio dan televisi oleh perempuan yaitu kendala waktu, dan kondisi ekonomi. Dalam penelitian ini pendidikan yang dimaksudkan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti penyuluh. berdasarkan uraian di atas tingkat pendidikan penyuluh akan berpengaruh terhadap pemanfaatan media. Lebih lanjut Anwas et al. (2009) menyebutkan bahwa intensitas pemanfaatan media massa dan media lingkungan rendah, sedangkan pemanfaatan media terprogram dalam kategori sedang. Pemanfaatan media ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal, kepemilikan media komunikasi dan informasi, motivasi penyuluh, dukungan anggota keluarga penyuluh, dan tuntutan petani. Informasi yang paling banyak digunakan adalah sumber interpersonal (sesama penyuluh dan kontak tani/petani maju) dan media cetak (surat kabar). Motivasi Penyuluh Pertanian Motivasi merupakan dorongan, keinginan, hasrat dan tenaga penggerak atau dorongan lain yang berasal dari dalam diri individu untuk melakukan suatu tindakan serta memberi tujuan dan arah kepada perilaku individu (Ahmadi, 2007). Motivasi berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya dibagi menjadi dua yaitu: a. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang tidak dipengaruhi oleh faktorfaktor dari luar, tetapi di dalam diri individu tersebut sudah terdapat dorongan untuk melakukan sesuatu. b. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang ada karena dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar diri individu tersebut (lingkungan). Tindakan yang didorong oleh motif-motif instrinsik lebih baik daripada yang didorong oleh motif ekstrinsik (Notoatmodjo, 2003). Penelitian Purnaningsih (1999) menunjukkan bahwa motivasi kognit if berhubungan secara nyata dengan pemanfaatan sumber informasi. Semakin banyak petani yang menyatakan motivasi kognitifnya untuk memanfaatkan sumber informasi, semakin banyak pula petani yang memanfaatkan sumber informasi tersebut. Selanjutnya penelitian Hubeis (2008) mengungkapkan bahwa motivasi penyuluh (internal dan eksternal) yang rendah akan menyebabkan produktivitas kerjanya juga menjadi rendah. Hambatan dalam Proses Pencarian Informasi Beberapa hambatan dalam aplikasi TIK untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan yang berhasil diidentifikasi oleh Sumardjo et al. (2009) dalam Lubis (2010) adalah sebagai berikut: 1. Infrastruktur penunjang tidak mendukung operasi pengelolaan dan penyebaran informasi pertanian yang berbasis teknologi informasi, seperti misalnya pasokan listrik yang masih kurang memadai, perlengkapan hardware tidak tersedia secara mencukupi baik kualitas maupun kuantitasnya, gedung atau ruangan yang tidak memadai, serta jaringan koneksi internet yang masih sangat terbatas (khususnya untuk wilayah remote area).
12
2. Biaya untuk aplikasi teknologi informasi untuk akses dan pengelolaan informasi yang disediakan oleh pemerintah daerah khususnya sangat tidak memadai terutama untuk biaya langganan ISP untuk pengelolaan informasi yang berbasis internet. 3. Infrastruktur telekomunikasi yang belum memadai dan mahal. 4. Tempat akses informasi melalui aplikasi teknologi informasi sangat terbatas. 5. Sebagian usia produktif dan yang bekerja di lembaga subsistem jaringan informasi inovasi pertanian tidak berbasis teknologi informasi, sehingga semua pekerjaan jalan seperti biasanya dan tidak pernah memikirkan efisiensi atau pemanfaatan teknologi informasi yang konsisten. 6. Dunia teknologi informasi terlalu cepat berubah dan berkembang, sementara sebagian besar sumber daya manusia yang ada di lembaga subsistem jaringan informasi inovasi pertanian cenderung kurang memiliki motivasi untuk terus belajar mengejar kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga seringkali kapasitas SDM yang ada tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan cenderung menjadi lambat dalam menyelesaikan tugas. 7. Kemampuan kapasitas SDM dalam aplikasi teknologi informasi dan komunikasi, khususnya di level pertanian ataupun fasilitator tingkat desa sebagai motor pendamping pelaksana pembangunan pertanian di daerah masih sangat terbatas. 8. Keterbatasan kemampuan dan pengetahuan petani atau pengguna akhir dalam pemanfaatan teknologi informasi dalam akses informasi inovasi pertanian dan mempromosikan produknya ke pasar yang lebih luas. Dari segi sosial budaya, kultur berbagi masih belum membudaya. Kultur berbagi (sharing) informasi dan pengetahuan untuk mempermudah akses dan pengelolaan informasi belum banyak diterapkan oleh anggota lembaga stakeholders. Di samping itu, kultur mendokumentasikan informasi/data juga belum lazim, khususnya untuk kelembagaan yang berada di daerah. Pemanfaatan Cyber Extension Subejo (2011) menyatakan bahwa model Cyber Extension yang telah dikembangkan di Jepang dengan cukup pesat adalah computer network system yang dikenal dengan Extension Information Network (El-net). Sistim El-net merupakan sistim yang terintegrasi yang menggabungkan berbagai stakeholders seperti pemerintah pusat, propinsi, lembaga penelitian, perusahaan pertanian, pasar, penyuluh dan petani. Pada sistim El-net, dikembangkan sistim database dan sistim komunikasi melalui email. Database tersebut antara lain mencakup berita pertanian, informasi pasar serta informasi cuaca. Mulai akhir abad 20, akses informasi pasar di negara Cina sudah dilakukan melalui Personal Computer (PCs) desktop. Pada saat ini, selain pengusaha besar, petani sudah mulai akses informasi pasar melalui telepon seluler (mobile phone) dengan biaya yang relatif lebih murah. Website khusus untuk produk pertanian telah dioperasionalkan dengan menyediakan direktori berbagai produk, papan penawaran produk, layanan untuk perdagangan, pusat informasi produk pertanian, dan virtual office sehingga perdagangan global yang melibatkan
13
pedagang dan perusahaan besar dalam dan luar negeri untuk produk dari Cina dapat berkembang dengan pesat (BBC News 2004 dalam Mulyandari 2011). Sumardjo et al. (2010) mengungkapkan bahwa Kenya Agricultural Commodities Exchange (KACE) didukung oleh perusahaan swasta mengembangkan Sistem Informasi Pasar (SIP) melalui aplikasi TIK untuk membantu akses petani terhadap informasi pasar dan harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani miskin di daerah pedesaan atau daerah terpencil di Kenya. Jaringan Huaral Valley di Peru dibangun untuk meningkatkan akses petani terhadap informasi pertanian. Jaringan dari pusat informasi masyarakat ini dirancang dengan teknologi jaringan tanpa kabel (wireless). Akses internet berjalan (mobile internet) memberikan kemungkinan yang lebih besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang nyata bagi kehidupan petani pedesaan. Selain petani, para pelajar di pedesaan juga dapat merasakan manfaat dari infrastruktur telekomunikasi yang telah dibangun tersebut. Thailand Canada Telecentre Project (TCTP) bekerja sama dengan pemerintahan Thailand, sektor swasta, dan World Bank telah mempromosikan akses layanan ICT di desa-desa dengan menempatkan beberapa telepon dan komputer untuk akses ke internet di lokasi yang mudah diakses oleh masyarakat yang disebut telecenter. Cyber Extension memanfaatkan kekuatan jaringan komunikasi komputer dan multimedia interaktif untuk memfasilitasi mekanisme berbagai informasi atau pengetahuan. Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, mekanisme Cyber Extension sudah mulai diterapkan di banyak negara dalam tahun-tahun ini sebagai suatu mekanisme penyaluran informasi yang dapat diupayakan untuk memenuhi kebutuhan petani di pedesaan terhadap informasi untuk mendukung kegiatan usahataninya. Hasil penelitian Mulyandari (2011) di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur mengenai Cyber Extension terhadap keberdayaan petani menyatakan sebagian besar responden merasakan manfaat Cyber Extension sudah sesuai dengan kebutuhan. Petani juga merasakan keuntungan dari pemanfaatan Cyber Extension dari segi ekonomi dalam mendukung kegiatan usahatani apabila dibandingkan dengan teknologi informasi sebelumnya. Keuntungan yang dirasakan sangat nyata oleh petani yaitu dapat menghemat waktu dan biaya transportasi karena dibantu pemanfaatan Cyber Extension. Tingkat pemanfaatan Cyber Extension pada hasil penelitian ini sudah sangat baik. Petani menggunakan telepon genggam untuk melakukan kegiatan komunikasi dengan petani lainnya, petani juga mengakses informasi pasar maupun teknologi melalui online, selain itu petani juga melakukan promosi produk pertaniannya. Faktor dominan yang secara nyata memberikan pengaruh positif terhadap tingkat pemanfaatan Cyber Extension adalah karakteristik individu dan perilaku (sikap dan keterampilan) petani dalam memanfaatkan teknologi informasi. Selanjutnya, tingkat keberdayaan petani dipengaruhi secara dominan oleh perilaku dalam memanfaatkan teknologi informasi, tingkat pemanfaatan Cyber Extension, karakteristik individu (tingkat kekosmopolitan), persepsi terhadap karakteristik Cyber Extension, dan faktor lingkungan (ketersediaan sarana teknologi informasi). Hasil penelitian Permatasari (2013) menyatakan bahwa pemanfaatan Cyber Extension di kalangan petani masih belum optimal. Umumnya petani masih dominan menggunakan media konvensional dan komunikasi secara interpersonal. Petani belum memiliki kemampuan untuk membangun networking
14
melalui Cyber Extension. Persepsi petani pengguna mengenai keuntungan dari Cyber Extension berhubungan dengan karakteristik petani pada tingkat pendidikan formal. Hasil penelitian Anon (2006) di India mengenai pemanfaatan internet untuk melakukan perdagangan hasil pertanian secara online sudah baik. Penerapan perdagangan secara online atau dikenal E-choupal dianggap membantu petani mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, mengurangi praktik perdagangan yang dilakukan oleh tengkulak, adanya perbedaan harga komoditas antara perdagangan melalui online dan fisik. Karakteristik komoditas mempengaruhi motivasi pembeli untuk membeli melalui online. kegiatan promosi produk kopi melalui website menguntungkan petani karena konsumen produk pertanian lebih menganggap kegiatan pembelian melalui website lebih praktis. Harga yang diberikan melalui perdagangan online tidak memengaruhi pembeli karena mereka memilih untuk mendapatkan produk lebih cepat dibandingkan dengan menunggu perdagangan fisik yang memerlukan waktu seminggu. Hal ini dikarenakan persepsi konsumen terhadap ketersediaan fasilitas dan waktu, kemudahan dan keuntungan yang dirasakan untuk memperoleh produk tersebut dianggap cepat dan tepat karena dapat memenuhi kebutuhan dengan segera. Pemanfaatan Cyber Extension dapat dilihat dari aspek Cyber Extension dan bagaimana proses pemanfaatan Cyber Extension. Berikut tabel pemanfaatan Cyber Extension. Tabel 1. Pemanfaatan Cyber Extension Aspek Cyber Extension Sarana teknologi informasi yang dominan dimanfaatkan
Pemanfaatan Cyber Extension Dasar Menengah Lanjut Mulai berbasis Berbasis pada HP berinternet teknologi informasi teknologi dan atau namun masih informasi terbatas komputer offline dominan pada telepon baik dan online menggunakan telepon rumah media maupun telepon konvensional genggam (HP)
Intentitas pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung kegiatan usaha tani
Tidak setiap hari menggunakan sarana teknologi informasi
Menggunakan sarana teknologi informasi setidaknya satu kali dalam satu hari
Menggunakan sarana teknologi informasi lebih dari satu kali dalam satu hari
15
Tingkat manfaat yang dirasakan
Memanfaatkan secara langsung dan atau secara tidak langsung
Komunikasi dan atau mencari informasi secara interaktif
Pengembangan jejaring sosial (jangkauan komunikasi atau interaksi) Aktivitas Berbagi informasi/ pengetahuan
Terbatas dan hanya dalam wilayah lokal sampai luar desa secara terbatas
Cukup luas, namun masih dalam batas provinsi- nasional
Berbagi informasi dominan melalui konvensional
Mulai mengenal teknologi informasi untuk sarana berbagi informasi /pengetahuan dengan pihak lain
Komunikasi secara interaktif, Browsing, chatting, jejaring sosial, pengelolaan/ dokumentasi informasi, dan promosi usaha Sangat luasan dapat menjangkau dunia gobal Aktif berbagi informasi secara interaktif dengan sarana teknologi informasi baik untuk beberapa pengetahuan, berkoordinasi, maupun sosialisasi.
Sumber: Sumardjo (2010)
Pengertian Informasi Informasi adalah hasil dari proses intelektual seseorang. Proses intelektual adalah mengolah/memproses stimulus, yang masuk kedalam diri individu melalui panca indera, kemudian diteruskan ke otak/pusat syaraf untuk diolah/diproses dengan pengetahuan, pengalaman, selera, dan iman yang dimiliki seseorang. Setelah mengalami pemrosesan, stimulus itu dapat dimengerti sebagai informasi. Informasi ini bisa diingat di otak, bila dikomunikasikan kepada individu/khalayak, maka akan berubah menjadi pesan (Wiryanto 2005). Pengertian pencarian informasi terkait dengan kegunaannya sehingga dikenal pula pengertian kebutuhan informasi. Menurut Hartono (2013) kebutuhan informasi adalah pernyataan yang dikemukakan oleh seseorang (misalnya seorang manajer) tentang informasi yang diperlukan dan akan digunakannya, agar dapat melakukan sesuatu (misalnya pengambilan keputusan) dengan baik. Sehubungan dengan hal tersebut maka disampaikan delapan kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan nilai dari suatu informasi yakni relevansi, kelengkapan dan keluasan, kebenaran, terukur, keakuratan, kejelasan dan keluwesan. Van den Ban dan Hawkins (1999) menjelaskan bahwa petani memanfaatkan berbagai sumber untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang mereka perlukan untuk mengelola usaha tani mereka dengan baik, yang meliputi : 1. Petani-petani lain 2. Organisasi penyuluhan milik pemerintah
16
3. Perusahaan yang menjual input, menawarkan kredit, dan membeli hasil pertanian 4. Agen pemerintah yang lain, lembaga pemasaran dan politisi 5. Organisasi petani dan organisasi swasta beserta stafnya 6. Jurnal usaha tani, radio, televisi, dan media massa lainnya 7. Konsultan swasta, pengacara, dan dokter hewan. Burch (1985) dalam Wiryanto (2005) mengatakan bahwa informasi yang berkualitas sangat ditentukan oleh kecermatan (accuracy), tepat waktu (timleness) dan relevansinya (relevancy). Keakuratan informasi adalah bila informasi tersebut terbebas dari bias. Informasi dikatakan tepat waktu bila dihasilkan pada saat diperlukan. Adapun relevansi suatu informasi berhubungan dengan kepentingan pengambilan keputusan yang telah direncanakan. Sementara itu Ellis (1987) melakukan penelitian pencarian informasi yang disebut dengan behavioral models of seeking strategies. Model pencarian informasi yang dirumuskan oleh Ellis ini sudah mencakup pencarian yang menggunakan teknologi komputer dan ditujukan pada pencari informasi yang telah berpengalaman. Ellis membedakan model pencarian informasi untuk ilmuwan bidang ilmu alam dan sosial. Model pencarian informasi untuk ilmu sosial sebanyak 6 tahapan, yaitu : 1. Starting, dengan ciri dimulainya kegiatan pencarian informasi. Pencari informasi mulai melakukan pencarian atau pengenalan awal terhadap rujukan. 2. Chaining, seseorang yang berada dalam tahap ini mulai menampakkan kegiatannya dengan mengikuti saluran-saluran (rantai) yang menghubungkan antara bentuk bahan acuan dengan alat penelusuran yang berupa sitasi, indeks dan sejenisnya. 3. Browsing, merupakan tahap yang ditandai dengan kegiatan pencarian yang mulai diarahkan pada bidang-bidang yang menjadi minatnya. Browsing dapat dilakukan melalui abstrak hasil penelitian, daftar isi, jajaran buku di perpustakaan. 4. Differentiating, pada tahap ini pencari informasi mulai menggunakan sumber-sumber yang beraneka ragam dengan maksud sebagai saringan untuk menguji secara alamiah kualitas dari informasi yang dibutuhkannya. 5. Monitoring, pada tahap ini pencari informasi mulai menyiapkan diri untuk pengembangan lebih lanjut dari pencarian informasi yang dibutuhkannya dengan cara memberi perhatian yang lebih serius terhadap sumber-sumber tertentu. 6. Extracting, tahap ini lebih sistematis dalam pencarian informasi, kegiatan dilakukan melalui sumber-sumber khusus untuk pemetaan (pengelompokan) bahan-bahan yang menjadi minatnya.
17
Penelitian Terdahulu terkait Cyber Extension dan Pemanfaatan Media Informasi Tabel 2. Penelitian Terdahulu tentang Cyber Extension dan Pemanfaatan Media Informasi Peneliti/Tahun/Judul
Hasil
1. Mulyandari/ 2011/ Cyber Extension sebagai Media Komunikasi dalam Pemberdayaan Petani Sayuran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap petani di Jawa Timur terhadap pemanfaatan teknologi informasi lebih positif dibandingkan dengan petani di Jawa Barat. Pemanfaatan Cyber Extension dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kekosmopolitan, persepsi terhadap karakteristik Cyber Extension, dan perilaku petani dalam memanfaatkan teknologi informasi. Perilaku petani dalam pemanfaatan teknologi informasi memberikan pengaruh yang paling dominan terhadap tingkat keberdayaan petani. Tingginya tingkat ketersediaan sarana teknologi informasi yang dapat diakses untuk mendukung kegiatan usahatani juga akan meningkatkan keberdayaan petani khususnya dalam mengatur input produksi dan mengakses teknologi pertanian. Strategi konvergensi komunikasi dalam pemanfaatan Cyber Extension dalam pemberdayaan petani sayuran disusun dengan mengembangkan komunikasi banyak tahap atau multi step flow communication dan kombinasi media sesuai dengan karakteristik petani. Pemanfaatan Cyber Extension oleh penyuluh, petani maju, komunitas, lembaga komunikasi lokal dan fasilitator telecenter disebarkan kepada petani lain melalui berbagai media komunikasi yang ada di tingkat lokal secara interaktif secara langsung maupun tidak langsung ke petani.
2. Ma’mir/ 2001/ Perilaku petani sayuran dalam pemanfaatan sumber informasi agribisnis sayuran di Kabupaten Kendari. Sulawesi Tenggara
Tingkat pemanfaatan sumber informasi agribisnis tanaman sayuran yang paling tinggi, baik persentase jumlah petani dan intensitas keterdedahan informasi tanaman sayuran maupun pemanfaatan informasi adalah melalui saluran interpersonal disusul kemudian media elektronik dan media cetak. Informasi agribisnis yang paling dibutuhkan oleh petani adalah informasi subsistem hilir
18
(informasi harga hasil produksi). Urutan selanjutnya adalah informasi subsistem hulu (obat-obatan, jenis dan harga sarana produksi), informasi subsistem budidaya (memilih/menggunakan obat-obatan) dan informasi subsistem penunjang (mencari dan menggunakan modal). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pemanfaatan sumber informasi adalah motivasi kognitif dan kebutuhan informasi, khususnya mengenal subsistem hulu, susbsistem hilir dan subsistem penunjang. Karakteristik demografis dan ketersediaan inforrnasi tidak berhubungan dengan perilaku pemanfaatan sumber inforrmasi agribinis tanaman sayuran di Kabupaten Kendari. 3. Amin et al./2013/ Application of Cyber Extension as Communication Media to Empower the Dry Land Farmer
Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif pada petani sayuran dan holtikultura yang mengusahakannya di lahan kering. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis efektifitas penggunaan Cyber Extension sebagai media komunikasi pada pertanian lahan kering, serta menganalisis faktor yang mempengaruhi perilaku petani dan pemberdayaan petani dalam menggunakan Cyber Extension sebagai media komunikasi. Berdasarkan hasil penelitian bahwa karakteristik petani, interaksi petani dan persepsi petani menggunakan Cyber Extension berhubungan nyata dengan efektivitas penggunaan media komunikasi Cyber Extension dan perubahan perilaku petani lahan kering. Hubungan antara interaksi petani, persepsi petani, efektifitas penggunaan Cyber Extension dan perilaku petani dalam menggunakan Cyber Extension adalah paralel. Semakin tinggi level petani interaksi petani, persepsi petani, efektifitas penggunaan cyber
4. Suryantini/2003/Kebutuhan Informasi dan Motivasi Kognitif Penyuluh Pertanian dan Hubungannya dengan Penggunaan Sumber Informasi (Kasus di Kabupaten Bogor Jawa barat)
Penelitian ini dirancang sebagai suatu survey yang bersifat deskriptif korelasional. Variabel yang diteliti meliputi kebutuhan informasi penyuluh, motivasi kognitif penggunaan sumber informasi dan penggunaan sumber informasi. Motivasi kognitif penyuluh pertanian dalam menggunakan sumber informasi adalah untuk
19
memperoleh pengetahuan atau informasi yang sesuai dengan kebutuhan atau untuk memecahkan masalah yang ditemukan di lapangan. Sumber informasi yang paling banyak digunakan adalah sumber interpersonal dan media cetak. Terdapat hubungan nyata antara kebutuhan informasi bahan penentuan kebijakan dan penggunaan sumber informasi interpersonal. Kebutuhan informasi penyuluh pertanian perlu diimbangi dengan ketersediaan informasi sehingga lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pencipta teknologi, akedemisi, peneliti perlu mendiseminasikannya dalam berbagai bentuk. 5. Andriaty et al./2011/Kajian Kebutuhan Informasi Teknologi Pertanian di Beberapa Kabupaten di Jawa
6. Permatasari/2012/Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi oleh Penyuluh Pertanian (Kasus Wilayah Dramaga dan Cibinong Kabupaten Bogor)
Penelitian dilakukan untuk menganalisis kebutuhan informasi teknologi pertanian dan mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan dan aksesibilitas petani terhadap informasi teknologi pertanian. Hasil penelitian menujukkan informasi yang paling dibutuhkan adalah mengenai teknologi produksi, diikuti informasi pemasaran dan pasca panen. Media yang paling diakses untuk memenuhi informasi adalah pertemuan diikuti dengan media cetak dan elektronis. Kemudahan akses ke media komunikasi berbanding lurus dengan tingkat akses. Faktor yang mempengaruhi akses terhadap informasi untuk daerah yang mudah mengakses informasi (Magelang dan Malang) dan yang sulit mengakses informasi (Banjarnegara dan Pacitan) adalah tingkat kekosmopolitan dan tingkat manfaat informasi. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif untuk menganalisis pemanfaatan internet oleh penyuluh pertanian. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat hubungan nyata antara motivasi kebutuhan informasi, persepsi penyuluh dengan frekuensi mengakses internet. Pemanfaatan informasi oleh penyuluh berupa disimpan, dibagikan ke sesama penyuluh, dan disebarkan ke petani. Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan seberapa sering atau seberapa lamanya responden
20
7. Salampasis dan Theodoridis/2013/Information and Communication Technology in Agricultural Development : a Comparative Analysis of Three Project from India
8. Wijekoon et al/2009/Cyber Extension : An Information and Communication Technology Initiative for Agliculture and Rural Develompent in Srilanka
9. Phade Khene C et al/2010/A baseline Study of a Dwesa Rural Community for the Siyakhula Information and Technology for Development Project : Understanding the
memanfaatkan internet sebagai sarana pencarian informasi, hal itu tidak berpengaruh terhadap informasi yang apakah kemudian akan disampaikan, dibagikan kepada sesama penyuluh, maupun disebarkan ke petani. Penelitian ini mencoba menguji prestasi tiga proyek ICT di India. Penelitian ini terkonsentrasi pada peningkatan pengiriman informasi kepada petani dan penghuni desa. Proyek pertama mengelola pemerintahan Madya Pradesh sebagai bagian dari eksplorasi e-governence. Proyek kedua dijalankan perusahaaan gula (dengan dukungan pemerintah) di Maharashtra dan upaya untuk memperluas pelayanan untuk petani. Proyek ketiga adalah percobaan pada pemasok input pertanian swasta terbesar untuk memberikan informasi kepada petani di Andhra Pradesh. Penelitian ini menggambarkan organisasi beberapa proyek, mendiskusikan tipe petani yang terlibat dan menjajaki manfaat pelayanan serta melihat latar belakang dan prestasi dari fungsionaris yang mengelola proyek. Proyek mempelajari variasi sehubungan dengan jenis layanan yang diberikan, tetapi juga memasukkan informasi pemasaran, saran dan penyuluhan, kemudian informasi tentang program pembangunan pedesaan dan informasi lainnya dari pemerintah dan sumber swasta. Hubungan yang lemah antara penyuluhan, penelitian jaringan pemasaran dan petani membatasi efektivitas dari penelitian dan penyuluhan yang berkontribusi pada pembangunan pertanian. ICT sebagai sebuah inisiasi, penyuluhan pertanian dengan mekanisme cyber memberikan implementasi pada tahun 2004 sebagai mekanisme pengiriman informasi yang tepat, terjangkau untuk petani desa dan memuaskan mereka yang haus informasi. Penelitian ini mempelajari sebuah kebutuhan dasar untuk mengimplementasikan ICT for Development. Sebuah proyek yang memahami bagaimana status masyarakat pedesaan, dalam hal sosial ekonomi dan kesiapan untuk meyerap inovasi pembangunan yang didukung
21
Reality on the Ground.
10. Oztruk MC/2011/Analyzing Internet Use of Student in Anadolu University
oleh ICT. Studi dilakukan di Afrika Selatan yang dilakukan sebagai bagian dari komponen inisiasi dari penerapan konsep Living Lab. Shiyakula Living Lab mengkolaborasikan hubungan antara publik, swasta, dan masyarakat sipil untuk membuat inovasi solusi untuk pembangunan. Studi ini menemukan bahwa ekonomi lokal dan kualitas hidup sebagai target masyarakat. Realitas dan kebutuhan untuk pembangunan adalah tipe pedesaan di Afrika selatan, tidak hanya target untuk mengakses informasi tetapi juga menginformasikan dan mengajak project stakeholders untuk mengimplementasikan Penelitian ini mengkaji internet sebagai instrument komunikasi dan juga public relations. Internet menyajikan banyak peluang untuk komunikasi. Transfer informasi juga memberikan beberapa kemungkinan untuk komunikasi. Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Anadolu University memiliki pengalaman lebih luas dalam menggunakan teknologi internet dan memiliki perbedaan pendidikan seperti dalam sikap terhadap teknologi, intensitas dari penggunaan internet, aplikasi online yang lebih disukai, dan pengalaman di dunia maya.
Berbagai hasil penelitian tersebut merupakan salah satu pendorong pemikiran untuk membuat sebuah kajian yang sama, namun dalam aspek yang berbeda yaitu pada pemanfaatan Cyber Extension sebagai media informasi bagi para penyuluh pertanian dimana pada penelitian-penelitian sebelumnya belum dikaji secara mendalam. Seperti yang telah dibahas dalam latar belakang bahwa informasi memiliki peran yang penting dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pertanian yang merupakan leading sektor di Indonesia. Kerangka Berpikir Cyber Extension sebagai media informasi di bidang pertanian lahir sebagai salah satu upaya dalam pembangunan pertanian dengan mengakomodir pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan internet sebagai salah satu inovasi menuntut kemampuan penyuluh pertanian dalam akses informasi dan mengemas informasi tersebut untuk dikomunikasikan dengan sesama penyuluh dan petani. Kebutuhan petani akan informasi terbaru menjadi salah satu alasan perlunya media Cyber Extension di tengah-tengah penyuluhan pertanian saat ini. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perkembangan Cyber Extension sebagai media informasi yang menyediakan berbagai macam jenis informasi
22
mulai dari perkembangan teknologi, inovasi pertanian, sistem dan teknik pertanian sampai harga pasar. Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana Cyber Extension ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh penyuluh pertanian. Manfaat Cyber Extension ini akan maksimal jika didukung kemampuan atau kompetensi yang dimiliki penyuluh untuk siap memenuhi kebutuhan petani yang terus berkembang dengan akses internet. Hal ini merupakan kunci agar penyuluh mampu memenuhi fungsi dan perannya tanpa harus bergantung pada pihak lain, dalam hal ini penyuluh dituntut aktif mencari berbagai pengetahuan dan informasi dari berbagai media. Penelitian Helmy (2013) tentang kesiapan penyuluh dalam pemanfaatan Cyber Extension di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Kuningan menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan penyuluh dalam mengoperasikan komputer dan belum mampunya penyuluh mengelola sistem informasi pertanian serta mengemas informasi tersebut menyebabkan informasi yang tersedia pada jaringan cyber tidak terpublikasikan kepada petani. Peningkatan kapasitas lembaga penyuluhan dalam mekanisme pengembangan sistem jaringan informasi inovasi pertanian sangat mendesak untuk dilakukan. Cyber Extension merupakan salah satu strategi untuk mengoptimalkan peran penyuluhan di masa kini dalam mekanisme pengembangan sistem jaringan informasi inovasi pertanian berbasis aplikasi teknologi informasi dan komunikasi. TIK merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk berbagi pengetahuan (knowledge sharing), dengan mengintegrasikan TIK dalam pembangunan pertanian berkelanjutan melalui peningkatan kapasitas petani, maka petani akan berpikir dengan cara yang berbeda, berkomunikasi secara berbeda, dan mengerjakan bisnisnya secara berbeda. Penelitian ini didasari oleh beberapa fenomena tuntutan perubahan zaman, yaitu (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, (2) perubahan sistem pemerintahan desentraslisasi, (3) lahirnya UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, (4) tuntutan kebutuhan dan dinamika masyarakat yang terus berkembang, (5) era reformasi banyak pilihan media belajar yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampun. Namun, pada kenyataannya media-media yang tersedia belum termanfaatkan sesuai dengan harapan. Fenomena tersebut menuntut kajian lebih mendalam tentang pemanfaatan media komunikasi untuk memenuhi tuntutan perkembangan era pertanian yang terus berkembang (Anwas, 2009). Permasalahan di atas sejalan dengan Sumardjo dan Mulyandari (2010) tentang implementasi Cyber Extension dalam komunikasi inovasi pertanian menyatakan bahwa ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam penerapan media internet yakni manajemen (komitmen dan kebijakan belum konsisten), infrastruktur dan sarana-prasarana (kurang stabilnya pasokan listrik, terbatasnya jaringan koneksi internet, luasnya wilayah jangkauan, dan terbatasnya dana pemda), terbatasnya sumber daya manusia atau kemampuan SDM dalam aplikasi TIK, serta rendahnya kultur berbagi (sharing) informasi dan pengetahuan serta rendahnya kesadaran untuk selalu mendokumentasikan data/informasi/kegiatan yang dimiliki atau dapat diakses). Berdasarkan kajian di atas, maka hambatan penggunaan media dalam penelitian ini adalah kemampuan penyuluh akses internet, ketersediaan sarana akses, dan ketersediaan biaya operasional akses.
23
Era pembangunan pertanian yang modern, penyuluh pertanian dituntut memiliki fungsi paling tidak dalam tiga hal, yakni transfer teknologi, fasilitasi dan penasehat. Fungsi-fungsi tersebut dapat didukung harus menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sejalan dengan berkembangnya tema-tema penyuluhan. Petani kita perlu diperkenalkan sarana produksi yang tinggi, teknik bertani yang ramah lingkungan, hemat air dan tahan terhadap cekaman suhu tinggi dengan informasi yang berasal dari sumber yang kredibel dan update. Terbatasnya kemampuan kapasitas SDM dalam aplikasi teknologi informasi dan komunikasi, khususnya di level penyuluh pertanian sebagai motor pelaksana diseminasi inovasi pertanian menjadi salah satu penghambat implementasi dari e-government. Penyuluh pertanian dituntut memenuhi tuntutan perubahan zaman sehingga memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan petani yang terus berkembang. Salah satu wujud untuk memenuhi tuntutan tersebut adalah penyuluh terus menerus melakukan proses belajar (kemandirian belajar). Dorell (1993) menyebutkan bahwa salah satu indikator utama dalam belajar mandiri adalah inisiatif dan tanggung jawab untuk mengatur dirinya terkait dengan media/sumber belajar tanpa tergantung pada pihak lain. Proses belajar tersebut digunakan dengan memanfaatkan semua sumber/media yang tersedia dengan pencarian informasi. Penelitian ini membatasi media yang digunakan sebagai proses belajar pada media internet Cyber Extension guna meningkatkan kompetensi penyuluh. Penyuluh pertanian dalam proses belajar diidentifikasi dari perilaku yang ditunjukkan dalam mencari informasi dari Cyber Extension. Perilaku tersebut mengacu pada teori yang digunakan dalam penelitian ini yakni teori pola perilaku pencarian informasi sebagai grand teory. Penyuluh pertanian dalam menjalankan fungsi dan perannya memerlukan informasi yang memadai. Kebutuhan informasi mendorong penyuluh melakukan pencarian informasi di berbagai media. Pencarian informasi yang dimaksud adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan dan informasi yang dicari. Perilaku pencarian informasi tersebut mengacu pada aspek yang menggambarkan “mengapa” sampai “bagaimana” dan “untuk apa” sesuatu dilakukan oleh manusia (Wersig dalam Ihsaniyati, 2010). Perilaku pencarian informasi adalah tindakan atau aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber serta menyebarluaskan informasi tersebut kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku tersebut pada dasarnya berorientasi pada tujuan dan motivasi tertentu (Gold dan Kolb 1964 dalam Ichwanudin 1998). Rogers (1995) juga menambahkan bahwa perilaku pencarian informasi merupakan kebiasaan dari individu atau kelompok di dalam menerima dan mencari informasi yang diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen perubahan, keterdedahan dengan media, keaktifan dalam mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal yang baru dalam inovasi. Penyuluh pertanian menurut penelitian Ihsaniyati (2010) bahwa model perilaku pencarian informasi adalah upaya penyuluh untuk terus bergerak berdasarkan lintas waktu dan ruang, mencari informasi untuk menjawab segala tantangan yang dihadapi, menentukan fakta, memecahkan masalah, menjawab pertanyaan dan memahami suatu masalah. perilaku pencarian informasi ini dimulai dari adanya kesenjangan dalam diri penyuluh, yaitu antara pengetahuan
24
yang dimiliki dengan kebutuhan informasi. Tahap-tahap memenuhi kesenjangan tersebut dimulai dengan penyuluh mulai mencari informasi yang dibutuhkan, tahap tersebut menjadi topik utama dalam penelitian ini untuk mengkaji perilaku pencarian informasi oleh penyuluh berdasarkan teori model perilaku pencarian informasi yang dikembangkan oleh Ellis (1987). Penelitian untuk mengetahui kebutuhan dan atau perilaku komunikasi telah banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian Ihsaniyati (2010) yang mengkaji tentang bagaimana perilaku pencarian informasi petani gurem untuk memenuhi kebutuhan informasi dan kendala-kendala yang dialami petani gurem dalam usaha pencarian informasi untuk memenuhi kebutuhan informasi. Perilaku kebutuhan infromasi tersebut dianggap penting untuk dikaji dengan menggunakan setiap tahap pencarian informasi sehingga didapatkan data yang akurat dan mendalam tentang bagaimana, mengapa, dan untuk apa seseorang mencari informasi yang dibutuhkan. Selanjutnya, perilaku pencarian informasi oleh penyuluh pertanian akan diidentifikasi melalui tahapan pencarian informasi yang disebut dengan behavioral model of seeking strategis yang dirumuskan oleh Ellis (1987) dengan tahapan: Starting, Chaining, Browsing, Differentiating, Monitoring, dan Extracting. Tujuan akhir yang diharapkan dari pencarian informasi dalam Cyber Extension adalah keuntungan potensial yakni ketersediaan yang secara terus menerus, kekayaan informasi, pendekatan yang berorientasi kepada penerima, bersifat pribadi (individual) dan menghemat biaya, waktu dan tenaga (Adekoyaa 2007). Pemanfaatan Cyber Extension dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh dua variabel bebas yakni karakteristik penyuluh itu sendiri dan hambatan dalam menggunakan media internet. Hubungan antar variabel dalam penelitian ini digambarkan pada kerangka pemikiran berikut ini.
Karakteristik Penyuluh (X1) : (X1.1) Umur (X1.2) Tingkat pendidikan formal (X1.3) Tingkat kepemilikan media (X1.4) Motivasi penyuluh
Kelancaran Tahapan Pencarian Informasi pada Cyber Extension (Y1) (Y1.1) Starting (Y1.2) Chaining (Y1.3) Browsing (Y1.4) Differentiating (Y1.5) Monitoring (Y1.6) Extracting
Penggunaan Media (X2) : (X2.1) Kemampuan penyuluh akses internet (X2.2) Ketersediaan sarana akses (X2.3) Biaya operasional akses
Pemanfaatan Cyber Extension (Y2) (Y2.1) Manfaat informasi (Y2.2) Kemampuan membangun jejaring sosial (Y2.3) Kemampuan berbagi informasi/pengetahuan
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Pemanfaatan Cyber Extension Sebagai Media Informasi oleh Penyuluh Pertanian di Kabupaten Bogor
25
Hipotesis Penelitian Berdasarkan pada latar belakang masalah yang disandarkan pada tinjauan teori serta kerangka pemikiran maka hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan nyata antara karakteristik penyuluh dan dalam penggunaan media dengan tahapan pencarian informasi pada penggunaan Cyber Extension. 2. Terdapat hubungan nyata antara tahapan pencarian informasi pada penggunaan Cyber Extension dengan pemanfaatan Cyber Extension oleh penyuluh.
26
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini didesain sebagai penelitian sensus yang bersifat deskriptif korelasional. Menurut Usman dan Akbar (2008), sensus merupakan metode yang mengambil satu kelompok populasi sebagai sampel secara keseluruhan dan menggunakan kuesioner yang terstruktur sebagai alat pengumpulan data yang pokok untuk mendapatkan informasi yang spesifik. Indikator dan parameter yang ditetapkan pada setiap variabel, ditetapkan berdasarkan teori yang telah teruji dan diakui kebenarannya. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah karakteristik penyuluh (X1), penggunaan media (X2), tahapan pencarian Informasi (Y1) dan pemanfaatan cyber extension (Y2). Pada tahap selanjutnya setiap indikator dan parameter yang telah ditetapkan, dituangkan dalam definisi operasional, kemudian dikembangkan dalam bentuk kuesioner sebagai acuan atau instrumen wawancara dengan para penyuluh di kabupaten Bogor. Untuk mengetahui keberadaan hubungan ataupun pengaruh dari masing-masing peubah dilakukan uji statistik dengan menggunakan pendekatan kuantitatif Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja dengan mempertimbangkan bahwa Kabupaten Bogor merupakan daerah dengan variasi penggunaan TIK dan tingkat aksesibilitas cukup tinggi terhadap sumber informasi, penyuluhnya sudah terdedah dengan TIK, koneksi jaringan yang cukup luas, dan di wilayah Bogor terdapat berbagai unit kerja penelitian pertanian, perguruan tinggi dan pusat -pusat informasi. Dengan demikian terdapat berbagai pilihan bagi penyuluh pertanian dalam memanfaatkan TIK. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2014 dimulai dengan uji kuesioner sampai dengan pelaksanaan penelitian. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi, menurut Bungin (2011) merupakan keseluruhan dari objek penelitian yang dapat berupa manusia, gejala, nilai peristiwa, sikap hidup dan sebagainya, sehingga objek-objek tersebut dapat menjadi sumber data penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah penyuluh pertanian di Kabupaten Bogor dengan total 61 orang. Rincian jumlah penyuluh di Kabupaten Bogor tercantum pada Tabel 3. Pengumpulan data dilakukan dengan metode sensus terhadap ketiga BP3K terpilih, diantaranya adalah BP3K Ciawi, Ciseeng, dan Leuwiliang. Jumlah responden pada penelitan adalah sebanyak 61 orang. Alasan pengambilan sampel dengan sensus adalah untuk mengumpulkan data yang representatif dari populasi. Selain itu, kepercayaan bahwa dengan mengambil keseluruhan anggota populasi maka akan diperoleh kualitas data yang baik.
27
Tabel 3. Data Penyuluh di Kabupaten Bogor yang menjadi objek penelitian No. 1. 2. 3.
BP3K Kabupaten Bogor BP3K Wilayah Ciawi BP3K Wilayah Ciseeng BP3K Wilayah Leuwiliang JUMLAH
Total (orang) 19 20 22 61
Sumber: Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Bogor ( BKP5K), 2014.
Sumber Data Penelitian Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari peubah utama yang diteliti berupa karakteristik penyuluh, hambatan pemanfaatan media, tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension dan pemanfaatan media Cyber Extension yang diperoleh dengan menggunakan instrumen dalam bentuk kuesioner. Data sekunder yang dikumpulkan berkaitan dengan keadaan umum, data pendukung atau potensi aktual mengenai kondisi geografis yang dapat diperoleh dari pihak-pihak atau lembaga terkait seperti Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BKP5K), Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor atau lembaga lainnya. Teknik Pengumpulan Data 1.
2. 3.
4.
Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian adalah : Wawancara tertutup dengan menggunakan kuesioner, yang diberikan kepada seluruh penyuluh yang menjadi objek pada penelitian ini. (dokumentasi terdapat pada lampiran 1) Observasi Langsung. Metode observasi merupakan metode perolehan informasi yang mengandalkan pengamatan langsung di lapangan. Wawancara langsung dengan narasumber. Wawancara langsung dilakuakuan terhadap beberapa narasumber yang berkompeten dalam memberikan informasi pendukung terkait penelitan yang dilakukan. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui studi dokumentasi terhadap laporan-laporan yang berkaitan dengan sumber data sekunder. Data yang dikumpulkan berupa aktivitas penyuluh pertanian dalam mengakses Cyber Extension. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjelasan pengertian mengenai beberapa variabel yang diukur. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi dengan menggunakan definisi operasional sebagai berikut :
28
1. Karakteristik penyuluh pertanian adalah ciri-ciri pribadi yang melekat pada diri seseorang yang membedakan dengan orang lain. Karakteristik penyuluh tersebut diukur dengan beberapa indikator berikut: a. Umur adalah usia responden yang diukur dalam satuan tahun, dihitung dari tahun kelahiran sampai saat penelitian/wawancara dilaksanakan. Diukur berdasarkan teori kependudukan dengan kategori muda, dewasa, dan tua. b. Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan tertinggi yang telah dilalui responden dibangku sekolah formal, dihitung berdasarkan tingkat pendidikan yang telah diselesaikan. Kategori pengukuran menggunakan skala rendah, sedang, tinggi. c. Tingkat kepemilikan media banyaknya alat komunikasi yang dimiliki oleh penyuluh untuk mengakses Cyber Extension di luar kantor. Kategori pengukuran menggunakan skala rendah, sedang, tinggi. d. Motivasi penyuluh adalah alasan penyuluh pertanian dalam menggunakan media yang dikelompokkan menjadi keinginan untuk meningkatkan pengetahuan, untuk mendapatkan informasi baru, memecahkan permasalahan di lapangan, meningkatkan profesionalisme, dan sekedar mencari hiburan atau menyelesaikan proses administrasi saja. Kategori pengukuran menggunakan skala rendah, sedang, tinggi. 2. Penggunaan media merupakan hal-hal yang menunjang kegiatan penyuluh dalam mengakses Cyber Extension. Secara operasional penelitian ini menggunakan kendala penggunaan media dengan dua indikator yakni: a. Kemampuan akses internet adalah penilaian penyuluh tentang kemampuan diri sendiri untuk menggunakan aplikasi internet pada komputer. Kategori pengukuran menggunakan skala rendah, sedang, tinggi. b. Ketersedian sarana adalah penilaian penyuluh terhadap ketersediaan sarana yang digunakan untuk akses internet, seperti ketersedian komputer, modem, ataupun sinyal untuk akses. Kategori pengukuran diukur dengan skala tidak tersedia, terbatas, tersedia. c. Biaya operasional media adalah penilaian penyuluh terhadap biaya yang disediakan oleh pemerintah untuk akses internet, seperti pembelian pulsa internet dll. Kategori pengukuran diukur dengan skala tidak tersedia, terbatas, tersedia. 3. Kelancaran tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension secara konseptual mengacu pada teori Ellis (1987) bahwa seseorang melakukan sebuah aktivitas atau perilaku untuk mencari dan memperoleh informasi dari sumber dengan beberapa tahapan. Secara operasional, tahapa n perilaku pencarian informasi tersebut meliputi tahap-tahap yang digunakan oleh penyuluh pertanian dalam mengakses informasi pada Cyber Extension diukur dengan indikator berikut: a. Starting adalah tahap awal dalam mencari informasi, dimulai dengan kapan penyuluh pertanian mulai mengakses informasi, frekuensi atau seberapa sering penyuluh menggunakan laman tersebut untuk memperoleh informasi dalam satu minggu, lamanya waktu yang
29
digunakan oleh penyuluh untuk mengakses informasi. Kategori pngukuran terdiri dari sangat lancar,lancar dan kurang lancar. b. Chaining adalah tahap di mana penyuluh pertanian menyesuaikan dan memahami informasi yang ditemukan dengan laman tersebut, diukur dengan menggunakan penilaian penyuluh terhadap kelengkapan informasi yang tersedia pada laman tersebut. Kategori pengukuran terdiri dari sangat lancar, lancar dan kurang lancar. c. Browsing adalah tahap yang ditandai dengan kegiatan pencarian mulai diarahkan pada bidang yang menjadi minatnya. Kategori pengukuran terdiri dari sangat lancar, lancar dan kurang lancar. d. Differentiating adalah tahapan membandingkan sumber informasi yang digunakan dengan sumber informasi lainnya, serta dengan memperhatikan kualitas sumber informasinya. Kategori pengukuran terdiri dari sangat lancar, lancar dan kurang lancar. e. Monitoring adalah pengawasan, di mana pencari informasi mulai menyiapkan diri untuk pengembangan lebih lanjut dari pencarian informasi dengan cara memberi perhatian yang serius terhadap sumber-sumber tertentu dan mencatatnya dalam media yang disediakan. Kategori pengukuran terdiri dari sangat lancar, lancar dan kurang lancar. f. Extracting adalah tahapan di mana kegiatan pencarian informasi dilakukan dengan lebih sistematis melalui pengelompokkan bahanbahan yang menjadi minatnya, dan sudah mulai menentukan informasi mana yang sesuai dengan kebutuhan. Kategori pengukuran terdiri dari sangat lancar, lancar dan kurang lancar. 4. Pemanfaatan Cyber Extension secara konseptual adalah perilaku penyuluh dalam memanfaatkan informasi yang diperoleh melalui laman Cyber Extension. Secara operasional pemanfaatan media ini merupakan tindakan penyuluh terhadap informasi yang diakses yang diukur dengan indikator: a. Manfaat akses adalah manfaat yang dirasakan oleh penyuluh setelah akses informasi pada laman Cyber Extension. Manfaat ini dapat dikategorikan yakni untuk meningkatkan pengetahuan, untuk mendapatkan informasi baru, memecahkan permasalahan di lapangan, meningkatkan profesionalisme, dan sekedar mencari hiburan atau menyelesaikan proses administrasi saja. Kategori pengukuran menggunakan skala rendah, sedang, tinggi. b. Kemampuan membangun jejaring sosial adalah penilaian kemampuan penyuluh untuk bekerja sama dengan pihak lain baik individu maupun kelompok, dan aktif berorganisasi dalam mengembangkan kegiatan penyuluhan melalui Cyber Extension. Kategori pengukuran menggunakan skala rendah, sedang, tinggi. c. Kemampuan berbagi informasi dan pengetahuan adalah penilaian kemampuan memanfaatkan Cyber Extension sebagai media komunikasi informasi, inovasi, pemecahan masalah dan dalam rangka pemenuhan membagi informasi inovasi kepada petani. Kategori pengukuran menggunakan skala rendah, sedang, tinggi.
30
Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi Suatu alat ukur dapat dikatakan sahih apabila alat ukur itu dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya ingin diukur (Singarimbun & Effendi, 2011). Apabila daftar pertanyaan digunakan sebagai instrumen pengukuran, maka kuesioner yang disusun harus mengukur apa yang ingin diukur. Untuk mendapatkan daftar pertanyaan/kuisioner yang mempunyai validitas tinggi, maka kuisioner disusun dengan cara: 1) mempertimbangkan berbagai teori, 2) memperhatikan masukan dari para ahli dan berbagai pihak yang dianggap menguasai materi daftar pertanyaan yang digunakan, dan 3) berkonsultasi dengan dosen pembimbing. Agar valid maka butir-butir pertanyaan didalam kuesioner dianalisis menggunakan korelasi product moment (Arikunto 1998). Adapun rumus tersebut adalah: rXY =
N ∑ XY − (∑ X) (∑ Y) √(N ∑ X 2 − (∑ X 2)N∑Y 2 − (∑Y 2 )
keterangan: rXY = koefisien korelasi product moment N = jumlah responden X = Butir soal ke-x Y = Total butir soal dalam kuesioner Nilai rXY yang diperoleh dibandingkan dengan nilai koefisien r-product moment dari tabel korelasi. Bila rXY > dari rtabel maka butir pertanyaan dinyatakan valid sedangkan bila lebih kecil maka perlu ada perbaikan atau butir tersebut dikeluarkan dari daftar pertanyaan. Reliabilitas instrumen adalah suatu istilah yang dipakai untuk menunjukkan tingkat konsistensi hasil pengukuran apabila pengukuran diulangi untuk kedua kalinya atau lebih (Singarimbun dan Effendi 2006). Sementara untuk uji reliabilitas menggunakan metode Cronbach-Alpa. Menurut Rakhmat (2005), suatu alat dikatakan memiliki realibitas apabila digunakan berkali-kali oleh peneliti yang sama atau peneliti lain tetap memberikan hasil yang sama. Metode tersebut digunakan untuk kuesioner yang memiliki lebih banyak pilihan jawaban serta bukan merupakan skor 1 dan 0, melainkan dalam bentuk kategori dan uraian (Arikunto 1998), sehingga menghasilkan konsistensi antar butir pertanyaan (inter-item) (Kerlinger dan Lee 2000). Adapun rumus tersebut adalah: r11 = [
∑ σ2b k ] [1 − 2 ] (k − 1) σt
Dengan keterangan: r11 = reliabilitas instrumen k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal σ2b = jumlah varians butir σ2t = varians total
31
Nilai r11 yang diperoleh dibandingkan dengan nilai koefisien r dari tabel korelasi. Bila r11> dari rtabel, maka instrumen dinyatakan reliabel sedangkan bila lebih kecil maka perlu ada perbaikan atau dilakukan uji ulang terhadap pertanyaan tersebut. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan kepada penyuluh di BP3K Dramaga, dengan jumlah 30 orang. Penyuluh terdiri dari penyuluh pertanian, perikanan dan kehutanan yang memahami proses pencarian informasi melalui Cyber Extention dengan menggunakan 68 pertanyaan. Hampir seluruh pertanyaan valid (kecuali pertanyaan nomor 37), karena berdasarkan hasil nilai korelasi > dari r tabel (0,361). Hasil uji validitas lebih lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5 dibagian akhir tesis. Uji Reliabilitas menghasilkan nilai koefisien 0,884. Nilai tersebut menunjukkan bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian termasuk konsisten dalam mengukur gejala yang sama. Pengolahan dan Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan seperti dalam bentuk tabel. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensial. Analisis statistik deskriptif (frekuensi dan persentase) digunakan untuk menganalisis deskripsi variabel (a) karakteristik penyuluh, (b) hambatan penggunaan media, (c) tahapan pecarian informasi, dan (d) manfaat penggunaan Cyber Extention. 1. Analisis statistik inferensial digunakan untuk melihat hubungan antaravariabel penelit ian, yaitu (a) hubungan antara karakteristik penyuluh, hambatan penggunaan media dengan tahapan pencarian informasi, (b) hubungan antara tahapan pencarian informasi denga n manfaat penggunaan Cyber Extention. Analisis statistik inferensial menggunakan uji korelasi rank Spearman (bantuan SPSS ver.19.0). Korelasi rank Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel yang minimal memiliki data ordinal dengan ordinal. Rumus korelasi rank Spearman sebagai berikut: Keterangan:
rho = 1 −
6∑d2 N(N2 −1)
Rs (rho) : Koefisien korelasi rank Spearman 1 6 d ∑ N
: Bilangan konstan : Bilangan konstan : Perbedaan antara pasangan jenjang : Sigma atau jumlah : Jumlah individu dalam sampel
32
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Kondisi Geografis Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibu kota Republik Indonesia dan secara geografis mempunyai luas sekitar 2.301,95 km2 teietak di antara 6.19°– 6.47° lintang selatan dan 106°1 - 107°103’ bujur timur. Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kota Depok di sebelah utara, Kabupaten Purwakarta di sebelah timur, Kabupaten Sukabumi di sebelah selatan, Kabupaten Lebak di sebelah barat, Kabupaten Tangerang di sebelah barat daya, Kabupaten Bekasi di sebelah timur laut, Kabupaten Cianjur di sebelah tenggara. Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 17 kelurahan, 430 desa, 3.882 RW dan 15.561 RT. Dari jumlah tersebut, mayoritas desa yakni 235 desa berada pada ketinggian sekitar kurang dari 500 m di atas permukaan laut (dpl), sedangkan 145 desa berada di antara 500–700 m dpl dan sisanya 50 desa berada di atas ketinggian lebih dari 700 m dpl. Sektor pertanian mencakup tanaman pangan, perikanan, perkebunan, peternakan, dan kehutanan. Pada sektor ini sumber data dari masing-masing instansi terkait di antaranya Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Perikanan dan Perum Perhutani. Sektor pertanian di Kabupaten Bogor memegang peranan yang sangat penting, mengingat luasnya lahan pertanian yang dimiliki dan juga sebagian besar desa di Kabupaten Bogor masih tergolong desa pedesaan yang menitikberatkan pada sektor pertanian terutama komoditas padi. Luas lahan yang digunakan untuk sawah tahun 2011 seluas 48.185 ha, sedangkan produksi padi sawah tahun 2011 sebanyak 519.676 ton dan padi gogo/ ladang 7.092 ton. Produktivitas padi yang tinggi dapat dijadikan benteng Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor. Pertanian di Kabupaten Bogor terdiri atas pertanian tanaman pangan,sayuran, hortikultura dan perkebunan. Tanaman pangan padi menyebar hampir di semua kecamatan, dengan variasi luasan yang berbeda. Umumnya padi sawah menyebar di wilayah tengah dan utara, dimana sudah tersedia irigasi, seperti di kecamatan Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol, Sukamakmur dan Cariu. Tanaman padi gogo menyebar hanya di beberapa kecamatan dalam luasan terbatas. Produktivitas tanaman padi sawah berkisar 4-5 ton/ha, sedangkan produktivitas padi gogo 2-3 ton/ha. Produktivitas ini sebenarnya masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki kondisi lingkungan, seperti menekan bahaya banjir serta perbaikan manajemen usaha tani, seperti pemberian pupuk tepat dosis dan waktu, penyediaan modal, sarana dan prasarana seperti pembangunan pasar, penggilingan padi dan seterusnya. Daerah pertanian hortikultura seperti sayuran dan buah juga menyebar pada hampir semua wilayah, tetapi konsentrasi komoditas tertentu hanya menyebar pada wilayah tertentu, untuk komoditas tanaman pangan di antaranya tanaman jagung menyebar di kecamatan Darmaga, Cisarua, Megamendung, Cileungsi, Klapanunggal, Rancabungur, Cibinong, Ciseeng, Gunung Sindur dan Rumpin. Untuk tanaman kedelai menyebar hanya di Kecamatan Tamansari, Kemang, Rancabungur dan Megamendung. Situasi yang sama juga terjadi pada sayuran dan buah. Daerah sayuran mendominasi terbatas pada beberapa kecamatan seperti Darmaga, Leuwisadeng, Cigombong,
33
sedangkan buah berasal dari Kecamatan Tanjungsari, Mekarsari, Jasinga, Tajurhalang dan lain-lain. Pertanian hortikultura lainnya yang perlu terus dikembangkan adalah tanaman hias. Wilayah penghasil tanaman hias menyebar di beberapa kecamatan yaitu: Tamansari, Cijeruk, Ciawi, Megamendung, Tajurhalang, Gunung Sindur, Bojonggede dan lain-lain. Beragamnya jenis tanaman hias di wilayah ini, maka Kabupaten Bogor dapat dijadikan sebagai pusat produksi dan pemasaran tanaman hias terbesar. Tanaman perkebunan relatif terbatas di Kabupaten Bogor, berdasarkan pengelolaan usahanya dibagi menjadi dua yaitu perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Perkebunan besar dikelola oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara, sedangkan perkebunan rakyat dikelola oleh masyarakat tani. Jumlah perkebunan negara sebanyak empat kebun dengan komoditi teh dan sawit yang dikelola oleh satu perusahaan BUMN yaitu PTPN VIII. Jumlah perkebunan swasta sebanyak 17 kebun dengan komoditi karet, teh, pala dan kopi. Lokasinya tersebar di Kecamatan Jasinga, Cigudeg, Nanggung, Leuwiliang, Rancabungur, Ciawi, Cisarua, Megamendung, Cigombong, Rumpin, Tamansari, Citeureup, Sukajaya dan Tenjo. Jumlah perkebunan rakyat tersebar di 40 kecamatan dengan komoditi karet, kopi, pala, cengkeh, kelapa, vanili, aren dan tanaman obat. Tanaman perkebunan ini secara keseluruhan terdapat pada lahan yang berkategori kelas tiga dengan kendala utama pada kelerengan, sehingga degradasi lahan melalui proses erosi dan penurunan kesuburan menjadi kendala utama. Berkaitan dari sisi luasan kawasan yang dapat dikembangkan untuk tanaman perkebunan relatif terbatas (total sekitar 27000 ha), sehingga bentuk usaha skala besar tidak dianjurkan, tetapi diarahkan ke bentuk usaha perkebunan skala kecil dan bekerjasama dengan usaha perkebunan besar yang sudah ada. Salah satu sumber peningkatan perbaikan gizi masyarakat, salah satunya dengan tersedianya produksi ikan di Kabupaten Bogor. Produksi ikan kolam air sawah tahun 2011 sebanyak 201.65 ton, kolam air tenang 50277.34 ton, kolam air deras 5561.75 ton, ikan dari karamba 37.14 ton, benih 1378014.51 ekor dan ikan 156618.82 ekor. Sektor peternakan di Kabupaten Bogor juga memiliki andil yang sangat penting mengingat banyaknya jumlah peternakan yang masih dikelola secara tradisional namun memiliki hasil yang baik, sehingga jika mutunya ditingkatkan maka dapat dijadikan produk unggulan. Jenis ternak terdiri atas ternak besar, ternak kecil dan unggas yang menghasilkan produksi dalam bentuk daging, susu dan telur. Produksi daging (daging sapi, kerbau, kambing, domba, ayam dan itik) tahun 2011 sebesar 100146282 kg, susu 11198708 liter dan produksi telur (ayam dan itik) 42830167 butir. 2. Kondisi Iklim Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi, dari dataran yang relatif rendah di bagian utara hingga dataran tinggi di bagian selatan, sehingga membentuk bentangan lereng yang menghadap ke utara, dengan klasifikasi keadaan morfologi wilayah serta persentasenya sebagai berikut: 1. Dataran rendah (15-100 m dpl) sekitar 29.26 persen, merupakan kategori ekologi hilir. 2. Dataran bergelombang (101-500 m dpl) sekitar 42.60 persen, merupakan kategori ekologi tengah.
34
3. Pegunungan (501-1.000 m dpl) sekitar 19.52 persen, merupakan kategori ekologi hulu. 4. Pegunungan tinggi (1.001-2.000 m dpl) sekitar 8.41 persen, merupakan kategori ekologi hulu. 5. Puncak-puncak gunung (2.001-2.500 m dpl) sekitar 0.21 persen, merupakan kategori ekologi hulu. Iklim di wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di barat. Keadaan iklim di Kabupaten Bogor merupakan iklim tropis dengan suhu berkisar rata-rata antara 20°C sampai 30°C, curah hujan tahunan antara 2500 mm sampai lebih dari 5000 mm/tahun. Ketinggian rata-rata Kabupaten Bogor berkisar antara 15 – 2500 dpl dengan bentang wilayahnya berbentuk daratan bergelombang dan pegunungan. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2012 yaitu 5077210 jiwa. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas 2997.13 km2, sehingga secara rata-rata kepadatan penduduk di Kabupaten Bogor adalah 1453 jiwa per km2. 3. Gambaran Umum Penyuluh Kabupaten Bogor Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan, Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BKP5K) merupakan salah satu lembaga pemerintah yang menaungi 12 Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) di 12 Kecamatan Kabupaten Bogor. Di sinilah para penyuluh bertugas sesuai dengan wilayah tugas yang telah ditetapkan sebelumnya, di antaranya adalah BP3K wilayah Caringin, Jonggol, Gunung Putri, Ciawi, Cibinong, Cibungbulang, Leuwiliang, Cariu, Dramaga, Ciseeng, Cigudeg, dan Parungpanjang. BKP5K mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, dengan fungsi sebagai berikut: 1) Penyusunan kebijakan dan program penyuluhan daerah yang sejalan dengan kebijakan dan program penyuluhan provinsi dan nasional. 2) Penyusunan kebijakan, program dan kegiatan penyuluhan yang mendukung kebijakan, program dan kegiatan pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan daerah. 3) Pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan mekanisme, tata kerja dan metode penyuluhan. 4) Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, pengemasan dan penyebaran materi penyuluhan bagi pelaku utama dan pelaku usaha. 5) Pelaksanaan pembinaan pengembangan kerjasama, kemitraan, pengelolaan kelembagaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, serta pembiayaan penyuluhan. 6) Penumbuhkembangan dan fasilitasi kelembagaan dan forum kegiatan bagi pelaku utama dan pelaku usaha. 7) Peningkatan kapasitas Penyuluh Pegawai Negeri Sipil, swadaya dan swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan. Program kegiatan penyuluh Kabupaten Bogor meliputi: 1) Program pelayanan administrasi perkantoran; 2) Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur; 3) Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan; 4) Program peningkatan kesejahteraan petani; 5) Program pemberdayaan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan; 6) Program peningkatan produksi hasil pertanian,
35
perikanan, dan kehutanan; 7) Program penerapan teknologi pertanian, perikanan, dan kehutanan. Indikator keberhasilan penyuluh di Kabupaten Bogor yaitu adalah: 1) Tersusunnya programa penyuluhan pertanian; 2) Tersusunnya rencana kerja tahunan (RKT); 3) Tersusunnya data peta wilayah untuk pengembangan teknologi spesifik lokasi; 4) Terdesiminasinya informasi teknologi pertanian secara merata; 5) Tumbuh kembangnya keberdayaan dan kemandirian pelaku utama dan pelaku usaha; 6) Terwujudnya kemitraan usaha pelaku utama dan pelaku usaha yang menguntungkan; 7) Terwujudnya akses pelaku utama dan pelaku usaha ke lembaga keuangan, informasi, sarana produksi; 8) Meningkatnya produktivitas agribisnis komoditi unggulan di wilayahnya; 9) Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama. Karakteristik Penyuluh Karakteristik merupakan ciri khas yang melekat pada individu yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan. Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa karakteristik pribadi merupakan bagian dari individu dan melekat pada diri seseorang yang mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi lainnya. Karakteristik pribadi merupakan sifat-sifat atau ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Menurut Rakhmat (2001), karakteristik tersebut terbentuk dari faktor biologis yang mencakup genetik, sistem syaraf serta sistem hormonal, dan faktor sosiopsikologis berupa komponen-komponen konatif yang berhubungan dengan kebiasaan dan afektif. Karakteristik penyuluh dapat menjadi pembeda dan ciri yang khas antara penyuluh yang satu dengan penyuluh yang lainnya. Karakteristik penyuluh yang diamati sebagaimana yang tercantum dalam kerangka berpikir meliputi umur, tingkat pendidikan formal, tingkat kepemilikan media dan motivasi penyuluh. Deskripsi mengenai karakteristik penyuluh secara rinci tertera pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Karakteristik Penyuluh Karakteristik Penyuluh Umur Muda Dewasa Tua Pendidikan formal (Rendah) (Sedang) (Tinggi) Tingkat kepemilikan media (Rendah) (Sedang) (Tinggi) Motivasi penyuluh (Rendah) (Sedang) (Tinggi)
Frekuensi (orang)
Presentase (%)
24 9 28
39,3 14,8 45,9
3 12 46
4,9 19,7 75,4
32 12 17
52,5 19,7 27,9
29 25 7
47,5 41,0 11,5
36
Umur Umur seorang manusia sangat menentukan perkembangan pada dirinya, mengingat banyaknya aspek yang dikembangkan pada diri individu melalui umur yang dimiliki. Umur juga akan berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam mempelajari, memahami, menerima dan mengadopsi suatu inovasi, serta peningkatan produktivitas kerjanya. Berdasarkan data yang tersaji di Tabel 1, bisa diketahui bahwa sebagian besar penyuluh kab. Bogor berusia dalam kategori Tua, lebih dari 45 tahun sebanyak 45,9%. Menurut Anwas (2009) kondisi tersebut menunjukkan bahwa jika dikaitkan dengan masa usia pensiun fungsional penyuluh PNS yang mencapai 60 tahun, maka dapat diprediksi bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan jumlah penyuluh akan berkurang sebanyak 28%. Berdasarkan data di lapangan menunjukkan bahwa penyuluh senior kurang cakap dalam mengakses internet. Hal ini terkait dengan perkembangan teknologi, di mana penyuluh baru terdedah internet kurang lebih dalam sepuluh tahun terakhir. Penyuluh senior mengaku mereka cenderung sulit untuk mempelajari teknologi baru di usia yang tidak lagi muda, kalaupun bisa itu juga membutuhkan waktu pembelajaran yang cukup lama. Hal tersebut seperti yang diutarakan ASR (32 tahun) “Ya...sepertinya memang ada kecenderungan kalo para senior lebih sulit, soalnya mas kalo ada pelatihan tentang komputer atau yang berhubungan dengan teknologi suka pada gak mau” Berbeda halnya dengan penyuluh junior yang berusia muda ataupun dewasa. Mereka terdedah internet diusia yang relatif lebih mudah untuk menerima teknologi baru dan mudah mempelajarinya. Hal ini disebabkan saat masih mengenyam dunia pendidikan, para penyuluh ini sudah terbiasa untuk menggunakan media teknologi yang berkembang saat ini. Seperti yang diungkapkan oleh KNS (28 tahun) “Kami malah senang kalau banyak pelatihan khususnya tentang Cyber atau Komputer. karena itu berguna sekali bagi kami untuk memudahkan mencari informasi dilapangan atau sekedar mengetahui program internet apa yang terbaru dari kementrian”. Pendidikan Formal Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, kualitas individu, meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat manusia. Menurut Suyono (2006) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. ingkat pendidikan formal hampir sebagian besar termasuk dalam kategori tinggi. Sejalan dengan pendapat tersebut. Bahua (2010) menyatakan bahwa pendidikan formal yang diikuti penyuluh dapat mempengaruhi kinerja
37
penyuluh, karena dengan pendidikan formal seorang penyuluh dapat meningkatkan kinerjanya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Berdasarkan Tabel 4, didapatkan hasil bahwa sebagian besar penyuluh di Kabupaten Bogor telah mengeyam pendidikan hingga di perguruan tinggi sebanyak 46 respoden. Penyuluh pertanian dalam penelitian ini rata-rata telah menyelesaikan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, baik itu lulusan diploma ataupaun sarjana. Hal tersebut merupakan hal yang wajar, mengingat salah satu syarat pendidikan untuk menjadi tenaga penyuluh saat ini adalah minimal berpendidikan ahli madya. Masih adanya lulusan SMA karena di bawah tahun90an penyuluh lulusan SMA masih bisa bergabung untuk menjadi penyuluh pertanian. Saat ini sebagian dari penyuluh senior yang lulusan SMA juga telah melanjutkan pendidikannya ke tingkat sarjana. Menurut Okwu dan Umoru (2009), tingkat pendidikan seseorang akan menentukan kebutuhannya terhadap akses inovasi teknologi. Hal tersebut serupa dengan yang diungkapkan oleh SFR (55 tahun ) “Penyuluh sekarang rata-rata mereka sudah mempunyai pendidikan Sarjana, beberapa memang masih lulusan Diploma, tapi kami selalu dorong untuk dapat melanjutkan kembali ke program Sarjana” Tingkat Kepemilikan Media Pada tingkat pemilikan media berada pada kategori rendah (52,5%), ratarata penyuluh hanya menggunakan media berupa komputer dan handphone. Komputer yang mereka gunakan untuk mengakses internet merupakan komputer milik kantor. Penyuluh lebih sering mengakses internet melalui komputer kantor karena layanan ini memudahkan mereka bisa untuk dapat menggunakan secara gratis dan tampilan informasinya lebih jelas. Penyuluh mulai menggunakan smartphone/ handphone untuk akses internet, ketika mereka berada di lapangan dan membutuhkan informasi yang cepat dan penting. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh ZMT ( 54 tahun) “Memakai komputer ya kalau di kantor saja, soalnya kan ada internet gratisnya. Kalo dilapangan pakainya handphone, itu juga terkadang signalnya gangguan ” Motivasi Penyuluh McQuail (2010) menyebutkan bahwa salah satu motivasi seseorang dalam menggunakan media massa adalah motif informasi. Motivasi penyuluh dalam mengakses Cyber Extension tergolong rendah (29%). Motivasi penyuluh dalam mengakses internet yaitu hanya pada tujuan untuk mendapatkan informasi baru. Informasi baru yang mereka akses lebih banyak merupakan informasi yang berupa pemberitahuan dari atasan untuk menjalankan proses administrasi, ataupun mencari hiburan. Sementara menurut penelitian Setiabudi (2004) motivasi dimiliki oleh penyuluh dalam menggunakan media adalah (1) keinginan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan penyuluh, (2) keinginan untuk mencari informasi/teknologi baru, (3) keinginan untuk dapat memecahkan
38
permasalahan di lahan usaha tani, (4) keinginan untuk lebih meningkatkan profesionalisme penyuluh, (5) keinginan hanya untuk mencari hiburan atau menjalankan proses administrasi saja. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh ASR (32 tahun ): “...... Kadang buka internet seringnya untuk membuka email dari BKP5K, informasinya berupa sosialiasi program baru, atau kebijakan dan lain-lain” Penggunaan Media Mulyandari et al. (2010) menemukan bahwa dalam pelaksanaan Cyber Extension setidaknya terdapat beberapa hambatan, diantaranya adalah manajemen, infrastruktur dan sarana prasarana, keterbatasan SDM dalam aplikasi TIK dan pengetahuan serta rendahnya budaya saling berbagi inormasi di media internet. Penggunaan media dalam mengakses internet berdasarkan beberapa hambatan tersebut, terdiri dari kemampuan penyuluh akses internet, ketersediaan sarana akses dan biaya operasional akses. Jumlah dan persentase penggunaan media tertera pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penggunaan Media Rendah Kemampuan Penyuluh akses internet Ketersediaan sarana akses Biaya operasional akses
Penggunaan Media Sedang
Tinggi
13 (21.3)
29 (47.5)
19 (31.1)
Jumlah/ Persentase 61 (100%)
28 (45.9)
21 (34.4)
12 (19.7)
61 (100%)
33 (54.1)
17 (27.9)
11 (18)
61 (100%)
Kemampuan Penyuluh dalam Akses Internet Berdasarkan Tabel 5, penggunaan media yang dialami penyuluh dalam hal kemampun akses internet berada pada kategori sedang. Kebanyakan penyuluh mampu mengoperasikan komputer, untuk mengakses informasi terbaru dari pusat ataupun hanya sekedar menggunakan email untuk berkomunikasi dengan penyuluh lainnya maupun dengan atasan. Hal yang menyebabkan kemampuan penyuluh akses internet dalam kategori sedang adalah mereka jarang mengunggah (upload) ataupun membagi informasi yang mereka miliki di internet. Penyuluh cenderung menjadi pihak yang menerima informasi dari internet, dibandingkan dengan membagi informasi untuk disebarkan di internet. Hal ini sejalan dengan penelitian Nuryanto (2008) yang menyatakan bahwa penyuluh di Provinsi Jawa Barat kurang memiliki kemampuan dalam memanfaatkan media dikarenakan kompetensi penyuluh yang relatif masih kurang. Ketidakmampuan penyuluh dalam akses internet menjadi hambatan tersendiri dalam kelancaran akses Cyber Extension. Penyuluh yang kurang mahir dalam mengakses internet
39
berpendapat bahwa mengakses informasi melalui Cyber Extension lebih rumit dari pada medapatkan informasi langsung dari rekan sesama penyuluh maupun atasan. Sejalan dengan hasil penelitian Elian (2015) bahwa kerumitan dalam menggunakan media internet baik dalam hal mengakses informasi, menyesuaikan dengan kebutuhan informasi maupun kualitas informasi yang diterima dianggap menjadi salah satu hal yang mempengaruhi kemampuan penyuluh dalam akses internet. ZMT (54 tahun) mengungkapkan : “Umumnya para penyuluh lebih memilih yang simpel, biasanya mendengarkan saja cerita dari rekan sesama penyuluh lainnya. Daripada harus mengakses malah rumit dan dianggap membutuhkan waktu yang lama. Itu biasanya tapi bagi yang senior yah..kalau yang junior gak seperti itu” Beberapa hal lainnya yang menyebakan kemampuan akses internet sedang adalah banyaknya penyuluh senior yang kurang menguasai cara mengakses internet. Menurut Elian (2015) penyuluh senior merupakan generasi penyuluh yang tidak dari semula terdedah akan media internet sehingga ketika internet mulai dikenal oleh khalayak ramai, generasi ini menjadi gagap dalam menggunakannya. Hal tersebutlah yang kemudian membuat mereka kurang mampu untuk mengakses internet. Fakta di lapangan menambahkan bahwa penyuluh senior merasa agak kesulitan untuk berlamalama menatap layar komputer dan membaca beberapa informasi yang disediakan, karena faktor kesehatan penglihatan yang rata-rata dimiliki oleh penyuluh senior. Hal tersebut hampir sama dengan yang diungkapkan oleh SFR (55 tahun) “Di Kabupaten ini kan banyak ya penyuluhnya, rata-rata usia mereka juga memang tidak muda lagi. Nah rata-rata yang memang sudah bertahun-tahun, bahkan belasan tahun di lapangan, mereka sedikit kesulitan untuk sekedar mengakses bahkan menggunakan komputer dan internet sekarang ini” Ketersediaan Sarana Akses ketersediaan sarana akses berada pada kategori rendah. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, keadaan tersebut disebabkan karena minimnya fasilitas modem atau wifi, jika ada terkadang sinyalnya kurang mendukung untuk akses internet. Untuk perangkat komputer memang cukup tersedia, tetapi fasilitas untuk akses internet dirasa masih kurang. Komputer lebih sering digunakan untuk mengerjakan laporan ataupun tugas. Tersedianya akses internet menjadi hal penting untuk membantu kinerja penyuluh. Wiranto dan Wijayanti (2011) menyebutkan bahwa akses informasi teknologi yang sulit pada akhirnya akan menghambat proses pembangunan pertanian. ASR (32 tahun) mengungkapkan internet sangat penting dalam mencari informasi guna memecahkan permasalahan yang terjadi dilapangan: “Sebagai salah seorang penyuluh saya merasakan betul banyak informasi yang tersedia di internet, terutama informasi berkaitan
40
dengan masalah-samalasah seputar pertanian saat ini. Internet membantu saya menawarkan jalan keluar atau solusi dari permasahan-permasalahan tersebut”. Pendapat tersebut didukung oleh penelitian dari Ahuja (2011) yang menjelaskan bahwa ketersediaan informasi melalui internet membantu proses penyuluhan pertanian lebih cepat dan efektif. Biaya Operasional Akses Biaya operasional akses tergolong dalam kategori sedang. Hal tersebut menyebabkan penggunaan media menjadi kurang optimal,sehingga menjadi hambatan tersendiri. Hambatan yang dimiliki penyuluh dalam mengakses Cyber Extension mampu menghambat tugas mereka sebagai change agent secara optimal dan perubahan perilaku yang diharapkan dapat terjadi kepada masyarakat tani akan sulit terwujud (Damanik dan Tahitu 2011). Berdasarkan hasil penelitian, pemerintah setempat tidak mengalokasikan dana khusus untuk akses internet. Dana yang yang digunakan untuk biaya operasional akses internet berasal dari kantor BP3K setempat yang jumlahnya kurang mencukupi. Sementara itu Jayathilake et al. (2010) menyatakan bahwa biaya akses teknologi informasi bisa menjadi salah satu faktor pembatas yang mempengaruhi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pertanian. Serupa dengan pendapat Taragola dan Gleb (2005) yang menyatakan bahwa faktor yang membatasi penggunaan TIK disebabkan kurangnya kemampuan menggunakan, kurangnya kesadaran akan manfaat, terlalu sulitnya untuk digunakan, kurangnya infrastruktur teknologi, tingginya biaya teknologi, rendahnya tingat kepercayaan terhadap sistem, kurangnya pelatihan aplikasi, integrasi sistem dan rendahnya ketersediaan perangkat lunak. Hal ini diungkapkan oleh KNS (28 tahun) “Ada biaya untuk isi modem, tapi kurang. Hanya cukup untuk akses informasi saja, sedangkan untuk mengakses media misal Youtube, pasti tidak cukup kuotanya”. Tahapan Pencarian Informasi Kegiatan pencarian informasi melalui media internet dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap pencarian informasi dirumuskan oleh Ellis (1987) dalam beberapa kategori yaitu Starting, Chaining, Browsing, Differentiating, Monitoring, Extracting, dan Ending. Penelitian ini menggunakan tahapan pencarian informasi yang dirumuskan oleh Ellis (1987), dan jumlah serta persentase tahapan pencarian informasi tertera pada Tabel 6.
41
Tabel 6. Jumlah dan Persentasi Tahapan Pencarian Informasi
Starting Chaining Browsing Differentiating Monitoring Extracting
Tahapan Pencarian Informasi Tidak lancar Lancar Sangat lancar 8 (13.1) 27 (44.3) 26 (42.6) 18 (29.5) 34 (55.7) 9 (14.8) 24 (39.3) 11(18) 26 (42.9) 22 (36.1) 33 (54.1) 6 (9.8) 13 (21.3) 30 (49.2) 18 (29.5) 13 (21.3) 21 (34.4) 27(44.3)
Jumlah/persentase 61 (100) 61 (100) 61 (100) 61 (100) 61 (100) 61 (100)
Starting Starting merupakan tahap awal dalam mencari informasi, dimulai dengan kapan penyuluh pertanian mulai mengakses informasi, frekuensi atau seberapa sering penyuluh menggunakan laman tersebut untuk memperoleh informasi dalam satu minggu, lamanya waktu yang digunakan oleh penyuluh untuk mengakses informasi. Pada tahapan ini didapatkan hasil bahwa sebanyak 44,3% penyuluh telah lancar dalam memulai tahapan awal pencarian informasi. Meho dan Tibbo (2003) menyatakan bahwa, hal yang membuat tahap awal menjadi lancar adalah kemampuan dari penyuluh dalam menentukan kategori pencarian apa yang dibutuhkan. Tahapan awal ini berupa kemampuan penyuluh dalam menyalakan komputer, memulai langkahlangkah untuk mengakses Cyber Extension, hingga pertimbangan awal penyuluh dalam mengakses Cyber Extension. Langkah pertama yang penyuluh lakukan dalam tahapan ini adalah menentukan informasi yang dibutuhkan. Beberapa penyuluh memulai langkah Starting dengan menanyakan kepada teman penyuluh lainnya mengenai sumber informasi mana yang bisa diakses untuk kebutuhan informasi yang diperlukan. Sebagian penyuluh telah menetapkan informasi apa yang ingin dicari dan langsung mencari di internet. Penyuluh yang sudah terbiasa mengakses Cyber Extension terbiasa untuk langsung menuju web Cyber Extension dan mulai mencari informasi yang dibutuhkannya. Tahapan Starting dirasa masih lancar dilakukan, karena di tahap ini penyuluh menganggap bahwa tidak perlu keahlian khusus untuk memulai pencarian informasi. Sebagian penyuluh yang sudah senior, sedikit merasa kesulitan saat pertama kali memulai langkah untuk mengakses internet. Mereka merasa kesulitan ketika proses menyalakan komputer dan agak kesulitan mencari logo internet untuk memulai tahapan pencarian informasi. Hal ini seperti yang diutarakan oleh ZMT (54 tahun) “Ribet soalnya, yang muda-muda sajalah..kami yang tua nanti tinggal tunggu saja informasinya dari anak-anak (baca: penyuluh junior)” Sementara itu penyuluh muda KNS (28 tahun) merasa bahwa proses memulai tahapan informasi bukan merupakan proses yang sulit. hal ini dikarenakan proses pencarian informasi melalui internet sudah sering dilakukannya sejak mengenyam pendidikan di sekolah maupun perguruan tinggi:
42
“Membuka internet kan bukan hal baru bagi kita, jadi mudah saja. bedanya mungkin sejak jadi penyuluh informasi yang sering kita cari berkaitan dengan info-info seputar pertanian, perikanan, dan lain-lain” Chaining Chaining adalah tahap di mana penyuluh pertanian menyesuaikan dan memahami informasi yang ditemukan dengan laman sumber pencarian informasi, diukur dengan menggunakan penilaian penyuluh terhadap kelengkapan informasi yang tersedia pada laman tersebut. Pada tahapan Chaining, sebanyak 55.7% penyuluh tergolong telah lancar menjalankannya. Kemampuan penyuluh dalam menyesuaikan dan mempertimbangkan informasi yang didapatkan melalui rekomendasi teman dengan informasi yang diakses oleh penyuluh menjadi hal yang diukur dalam penelitian ini. Sebelum mendapatkan informasi dari Cyber Extension, penyuluh terkadang lebih dulu mendapatkan informasi dari sesama penyuluh maupun dari instansi tertentu, baru kemudian untuk memastikannya kembali, penyuluh mengakses Cyber Extension, untuk memastikan informasi tersebut. ASR (32 tahun) mengungkapkan jika dirinya dan sesama penyuluh sering berbagi link informasi yang bermanfaat. “Kami biasanya saling tukeran aja mas, kalau saya yang dapat duluan biasanya saya bagikan ke teman-teman yang butuh, begitu juga sebaliknya. Jika saya yang butuh saya juga bertanya ke teman-teman lainnya. Dan gak cuma penyuluh sesama kantor aja, tapi sesama penyuluh di Kabupaten Bogor bahkan Indonesia kalau kenal suka saling berbagi info” Hal ini tentu efektif, di samping membuat penyuluh menjadi lebih selektif dalam memilih informasi, juga membuat penyuluh bisa meningkatkan pengetahuannya. Menurut Meho dan Tibbo (2003) beberapa faktor yang mampu mendukung kelancaran tahapan Chaining adalah insting, adanya rekomendasi dari teman atau instansi, dan adanya reviewers. Sementara hasil penelitian bertentangan diungkapkan oleh Alfred dan Odefadehan (2007), mereka menyimpulkan sumber informasi dari klien dan rekan kerja dianggap tidak efektif. Berdasarkan fakta di lapangan, penyuluh terbiasa untuk bertanya dan saling bertukar informasi dengan sesama penyuluh mengenai sumber informasi yang akan diakses. Penyuluh lalu merunut alamat web yang direkomendasikan oleh temannya, ketika dirasa informasi tersebut bagus maka penyuluh kemudian memutuskan untuk memilih informasi dari laman tersebut. Penyuluh lainnya memasuki tahapan Chaining dengan cara mengaitkan literatur dari rujukan awal yang pernah dikunjungi sebelumnya. Seperti ketika penyuluh mendapatkan informasi budidaya tanaman organik dari Cyber Extension, dan informasi yang dibutuhkan masih belum terpenuhi, maka penyuluh melakukan pencarian lainnya. Tahapan pencarian lainnya ini dilakukan dengan merunut literatur yang tertera di
43
Cyber Extension, baru kemudian penyuluh memulai lagi pencarian hingga informasi yangdibutuhkan terpenuhi. Hal tersebut seiring dengan hasil penelitian Rozinah (2012), yang menyatakan bahwa strategi paling efektif dalam tahapan Chaining adalah dengan menelusur sitasi atau daftar pustaka dari laman sebelumnya. Browsing Tahapan Browsing berupa kemampuan penyuluh dalam mengakses fitur yang tersedia dalam laman sumber informasi di internet dan memahami seluruh fungsi dari kategori di setiap ikon yang dimunculkan laman sumber pencarian informasi. Pada tahapan ini kemampuan penyuluh tergolong sangat lancar, dengan persentase 42,9%. Tahapan yang dilalui penyuluh dalam tahapan ini berupa kelanjutan dari proses laman untuk mengakses informasi yang dibutuhkan, lalu melanjutkan pencarian dengan merambah pada sistem informasi dan sumber informasi yang memuat informasi yang dibutuhkan. Setelah penyuluh berhasil mengidentifikasi informasi yang dibutuhkannya dalam Cyber Extension, maka pencarian informasi akan diteruskan dengan mempersempit arah pencarian sesuai dengan kebutuhannya dengan melakukan Browsing. Kegiatan ini dilakukan oleh penyuluh setelah mendapatkan tema yang dibutuhkan. Misal, ketika penyuluh mencari tema budidaya tanaman organik, maka setelah mengetikkan kata kunci dan mencari referensi yang sesuai, maka penyuluh mulai menyelami isi dari laman tentang budidaya tanaman organik yang dibutuhkan. Penyuluh sangat lancar ketika berada pada tahapan ini, karena mereka telah menemukan tema informasi yang dibutuhkan, dan tinggal membaca apakah sesuai atau tidak dengan yang dibutuhkan Pada tahapan ini cara penyuluh dalam mengakses sumber informasi masih menggunakan cara konvensional, terlihat dari jawaban pada kuesioner, hampir rata-rata penyuluh menggunakan mesin pencari google sebagai sumber utama pencarian informasinya. Hal tersebut disampaikan oleh KNS (28 tahun) yang mengatakan jika selama ini dirinya dan beberapa penyuluh lainnya banyak menggunakan mesin pencarian informasi via internet dengan mesin pencari yang sangat familiar digunakan. “Paling sering memang memakai Google, selain tentu saja kami cari juga di web kementrian. Kalau memakai Google soalnya semuanya serba ada” Padahal pemerintah telah banyak menyediakan alamat -alamat website resmi pertanian yang kegunannya diperuntukan bagi kalangan penyuluh. Alamat yang resmi dikeluarkan pemerintah tersebut diantaranya adalah http://www.pertanian.go.id,mhttp://tabloidsinartani.com/,mhttp://lpse.perta nian.go.id/eproc/, dan beberapa alamat website lainnya. Hal ini sangat disayangkan mengingat, sumber informasi yang tertulis pada website tersebut merupakan sumber informasi resmi yang dianjurkan pemerintah untuk dikases para penyuluh sebagai pilihan sumber informasinya daripada sumber informasi yang didapatkan dari mesin pencari seperti google. Alasannya, sumber informasi yang didapatkan dari mesin pencari google
44
terkadang memerlukan proses penelitian dan pengecekan kembali dari hasil yang tertulis pada sumber informasinya, mengingat biasanya informasi yang dihadirkan sumbernya bersifat individu (misal blog) yang ditulis oleh perorangan/kelompok. Sumber infomasi yang ditulis perorangan/kelompok tersebut tentu saja memerlukan identifikasi lebih lanjut tentang riwayat kredibilitas penulis karena dikhawatirkan informasi yang disajikan hanya copy paste dari sumber lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenenarannya. Atau, jika memang informasi yang dihadirkan merupakan tulisan asli penulis pada blog tersebut, maka harus di telusuri lebih lanjut muatan kebenaran informasi didalamnya secara lebih terperinci. Artinya, para penyuluh boleh menggunakan mesin pencarian informasi yang tersedia pada internet, namun informasi-informasi yang didapat hanya dipakai sebagai informasi pendukung, sedangkan informasi utama bersumber dari informasi-informasi yang di berikan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian. Differentiating Tahapan Differentiating pada penelitian ini berada pada kategori lancar (54,1%). Differentiating merupakan tahap memilah dan memilih bahasan sumber informasi berdasarkan derajat kepentingan dan ketepatan serta relevansi dari Cyber Extension dengan kebutuhan informasi yang diperlukan oleh penyuluh. Rozinah (2012) mengungkapkan bahwa pada tahapan Differentiating pencari informasi akan mengakses lebih dari satu sitasi, guna memenuhi kebutuhan informasinya. Hal ini juga dialami oleh penyuluh di Kabupaten Bogor. Ketika informasi yang dibutuhkan di Cyber Extension kurang mencukupi, maka penyuluh akan mencari kekurangan informasi tersebut dari laman lainnya. Hal ini diakui oleh ASR (32 tahun). “Kadang informasi yang didapat dari situs atau alamat web pemerintah itu bukannya kurang bagus, tapi suka kurang lengkap. Jadi untuk menyempurnakan informasi yang dibutuhkan biasanya saya searching di beberapa situs lainnya. ” Pemilihan sumber informasi untuk melengkapi kebutuhan informasinya dilakukan untuk menunjang peran penyuluh dalam menyebarkan informasi kepada petani danmasyarakat . Penyuluh pertanian merupakan salah satu sumber informasi bagi petani, sehingga penyuluh pertanian harus memiliki akses informasi pertanian yang luas, sehingga informasi-informasi tersebut nantinya dapat disampaikan kepada petani. Lebih tepatnya penyuluh harus memiliki kompetensi dalam penguasaan informasi pertanian dalam rangka menunjang profesionalisme dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) sebagai penyuluh pertanian. Hal ini seiring dengan penelitian Andriaty et al. (2011) yang menyatakan bahwa ketersediaan informasi teknologi pertanian di suatu wilayah akan berdampak terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan informasi, sehingga penyuluh bisa menyampaikan informasi yang berkualitas kepada masyarakat.
45
Monitoring Monitoring merupakan pengawasan, di mana pencari informasi mulai menyiapkan diri untuk pengembangan lebih lanjut dari sumber informasi yang telah diakses. Tahap ini merupakan tahapan di mana kegiatan pencarian informasi dilakukan dengan lebih sistematis melalui pengelompokan bahan-bahan yang menjadi minatnya. Kemampuan tersebut terbentuk dari pengalaman penyuluh dalam mengakses beberapa sumber informasi dari berbagai sumber dan telah menentukan sumber informasi serta di laman manakah yang menyediakan informasi berkualitas yang mereka butuhkan. Tahapan ini memungkinkan penyuluh mengumpulkan referensi sumber informasi yang telah diakses. Berdasarkan hasil penelitian, biasanya penyuluh menyimpan alamat sumber informasi di buku catatan, handpone ataupun dengan menggunakan fasilitas bookmark pada komputer. Pada tahap ini kemampuan penyuluh berada pada kategori lancar (49,2%). Penyuluh yang telah mulai aktif menggunakan Cyber Extension sebagai sumber informasi, akan terus memantau perkembangan dari web Cyber Extension untuk mengecek kebaruan informasi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh KNS (28 tahun). “Sumber informasi yang biasanya sering saya pakai, biasanya saya bookmark. Ini memudahkan saya untuk lebih cepat menuju situs itu jika saya akan mencarinya kembali. Saya punya beberapa situs yang sekiranya saya sukai, karena ya itu dia lengkap, kaya akan informasi, dan yang terpenting update” Ellis (1987) mengatakan bahwa dalam tahap Monitoring, pencari informasi akan memantau perkembangan terakhir mengenai pokok bahasan yang dicarinya. Rata-rata penyuluh yang rajin meninjau Cyber Extension untuk melihat perkembangan terbaru adalah penyuluh yang aktif mengakses internet di kantor. Hal tersebut dikarenakan mereka dapat mengakses Cyber Extension secara gratis, dan bisa langsung menyebarkan informasi terbaru kepada rekan sesama penyuluh secara langsung di tempat bekerja. Extracting Tahapan Extracting pada penelitian ini berada pada kategori sangat lancar (44,3%). Extracting merupakan tahap akhir dari proses pencarian informasi. Pada tahap ini keputusan sumber informasi mana yang akan dipilih akan diputuskan. Sumber informasi yang menurutnya tepat akan dijadikan refernsi utama dalam proses pencarian informasi selanjutnya. Hal ini diungkapkan oleh KNS (28 tahun) : “....Ada ko beberapa situs yang sudah saya punya, biasanya saya langsung menuju situs tersebut. Soalnya gak lengkap aja gitu kalau gak lihat situs tersebut. ”
46
Tahapan pencarian informasi tidak harus terjadi secara berurutan (Ellis 1987), begitu juga dalam penelitian ini, terdapat beberapa dari penyuluh yang mengikuti secara urut tahapan pencarian informasi, tetapi juga ada yang tidak melakukan satu atau dua tahapan. Pemanfaatan Cyber Extension Pemanfaatan Cyber Extension pada penelitian ini mencakup manfaat informasi, kemampuan membangun jejaring sosial dan kemampuan berbagi informasi/pengetahuan. Jumlah serta persentase pemanfaatan Cyber Extension tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah dan Persentasi Pemanfaatan Cyber Extension Pemanfaatan Cyber Extension Rendah Sedang Manfaat informasi Kemampuan membangun jejaring sosial Kemampuan berbagi informasi
Tinggi
29 (47.5) 42 (68.9)
27 (44.3) 15 (24.6)
5 (8.2) 4 (6.6)
Jumlah/ persentase 61 (100) 61 (100)
11 (18)
29 (47.5)
21 (34.4)
61 (100)
Manfaat informasi Manfaat informasi yang didapatkan oleh responden berada pada kategori rendah. Hal tersebut terjadi karena selama ini penyuluh hanya menerima informasi yang mereka dapat dari akses internet. Penyuluh jarang mengunggah informasi yang mereka miliki ke internet, ataupun berdiskusi dengan penyuluh maupun petani di tempat lain melalui Cyber Extension. Manfaat lainnya yang diperoleh penyuluh adalah kemampuan membangun jaringan, yang dalam penelitian ini menunjukkan dalam kategori rendah. Dalam hal ini, hanya sedikit penyuluh yang memanfaatkan Cyber Extension untuk membangun koneksi dengan penyuluh/ petani lainnya yang belum mereka kenal baik di dalam Kabupaten Bogor maupun di luar Kabupaten Bogor. Mereka beranggapan lebih mudah membangun hubungan dengan penyuluh/petani lainnya melalui tatap muka dibanding via Cyber Extension. Kemampuan penyuluh dalam berbagi informasi/ pengetahuan merupakan manfaat selanjutnya yang diteliti dalam penelitian ini. Berdasarkan data yang diperoleh, penyuluh dalam hal ini masuk pada kategori sedang. Penyuluh selalu update dengan informasi baru yang tersedia di Cyber Extension dan meneruskan informasi tersebut kepada petani, maupun ke sesama penyuluh. Hasil pencarian informasi juga sering dijadikan bahan diskusi dalam setiap pertemuan kelompok. Kemampuan membangun jejaring sosial Manfaat lainnya yang diperoleh penyuluh adalah kemampuan membangun jaringan, yang dalam penelitian ini menunjukkan dalam kategori rendah (68,9%). Dalam hal ini, hanya sedikit penyuluh yang memanfaatkan Cyber Extension untuk membangun koneksi dengan penyuluh/ petani lainnya yang belum mereka kenal baik di dalam Kabupaten Bogor maupun di luar Kabupaten Bogor. Mereka beranggapan lebih mudah membangun hubungan dengan penyuluh/petani lainnya
47
melalui tatap muka dibanding via Cyber Extension. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh ASR (32 tahun). “.... iya jika ada pelatihan di kabupaten atau di kementerian suka ketemu sama penyuluh lainnya. Pada ngobrol atau berbagi informasinya disana, tapi kalau lewat FB (Facebook) atau media sosial lainnya sih jarang ya berinteraksi. Tapi kalau dikantor biasanya ada group BBM (Blackberry Meseenger)” Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Sumardjo et.al (2010) yang mengatakan bahwa Cyber Extension memiliki peluang menjadi pengembang jaringan komunikasi inovasi pertanian yang terprogram secara efektif untuk mempertemukan lembaga penelitian, pengembangan, dan pengkajian dengan diseminator inovasi (penyuluh), pendidik, petani, dan kelompok stakeholders lainnya yang masing-masing memiliki kebutuhan dengan jenis dan bentuk informasi yang berbeda sehingga dapat berperan secara sinergis dan saling melengkapi. Penyuluh di Kabupaten Bogor dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Cyber Extension tidak dimanfaatkan untuk memperluas jejaring sosial. Meskipun peluang untuk memperluas jejaring soial sangat tinggi, penyuluh merasa kurang terbiasa untuk memulai percakapan dengan penyuluh lainnya melalui internet. Kemampuan berbagi informasi Kemampuan penyuluh dalam berbagi informasi dalam penelitian ini berada pada kategori sedang (47,5%). Saling berbagi informasi di kalangan penyuluh sudah menjadi hal yang biasa dilakukan. Informasi yang dibagi kepada sesama penyuluh biasanya berupa pemberitahuan dari atasan, kebijakan terbaru, urusan administrasi hingga materi penyuluhan. Bukan hanya kepada sesama penyuluh, informasi yang berhubungan dengan inovasi pertanian juga langsung disampaikan kepada petani. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mulyandari (2011) bahwa mekanisme pemanfaatan Cyber Extension di tingkat pengguna, khususnya di tingkat penyuluh adalah adanya hubungan interaktif melalui teknologi informasi untuk diteruskan ke petani lainnya dan secara konvensional disampaikan langsung maupun tidak langsung ke petani. Pernyataan KNS (28 tahun) menguatkan dalam peryataanya berikut. “Oh jelas dong, jika biasanya ada informasi atau pengumuman dari pusat ya kita pasti bagikan infonya kepada penyuluh lainnya”. Melalui informasi yang didapatkan, penyuluh pertanian akan membimbing petani dengan pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang untuk diterapkan kepada petani dalam usaha taninya (Nainggolan 2012 ). Hasil pencarian informasi juga sering dijadikan bahan diskusi dalam setiap pertemuan kelompok pada saat kunjungan ke petani. Hal tersebut sesuai dengan yang diutarakan oleh SFR (55 tahun):
48
“Saya selalu mengingatkan bahwa sudah kewajiban seorang penyuluh untuk dapat berbagi informasi apapun dengan penyuluh lainnya. Ayo didiskusikan dengan yang lebih tahu, harapannya tentu saja setelah hasil diskusi tersebut disampiakn kepada para petani di lapangan. Tujuannya tentu saja agar tidak adanya perbedaan materi ataupun informasi dengan penyuluh-penyuluh lainnya” Hubungan antara Karakteristik Penyuluh dengan Tahapan Pencarian Informasi Tingkat hubungan antara karakteristik penyuluh dengan tahapan pencarian informasi bisa dilihat melalui analisis uji korelasi Spearman, data terperinci bisa dilihat di Tabel 8. Tabel 8. Koefisien korelasi (r) antara karakteristik penyuluh dengan tahapan pencarian informasi Karakteristik penyuluh
Koefisien Korelasi (r s) pada tahapan pencarian informasi
Starting Chaining Browsing Diferentiating Umur -0,376** -0,405** -0,262* -0,410** Tingkat pendidikan 0,208 0,241 0,201 -0,49 formal Tingkat kepemilikan 0,045 0,139 -0,043 -0,31** media Motivasi 0,170 0,149 0,162 0,458** penyuluh Keterangan: ** berhubungan sangat nyata pada ∝ = 0,01 * berhubungan nyata pada ∝ = 0,05
Monitoring -0,409**
Extracting -0,303*
0,244
-0,020
-0,029
0,023
0,324**
0,151
Berdasarkan hasil pengujian korelasi dengan menggunakan alat uji statistik SPSS 20 pada Tabel 8 (data selengkapnya terdapat pada lampiran 2), dapat diketahui bahwa tahapan Starting dalam pencarian informasi pada Cyber Extension didukung oleh umur penyuluh. Hubungan antara umur dan tahapan pencarian informasi berkorelasi negatif dan sangat nyata, yang menandakan bahwa semakin tua umur penyuluh, maka kemampuan penyuluh pada tahap Starting, Chaining, Browsing, Differentiating dan Extracting akan semakin tidak lancar. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Stenmark dan Jadaan (2006) bahwa pekerja yang cenderung menggunakan pencarian informasi melalui internet untuk menyelesaikan pekerjaannya rata-rata adalah pekerja di usia produktif. Nilai korelasi berikutnya pada tahap Chaining, diperoleh hubungan positif dan sangat nyata dengan motivasi penyuluh, serta hubungan negatif dan sangat nyata dengan tingkat kepemilikan media. Hal ini bisa dimaknai bahwa tingginya kemampuan penyuluh dalam tahapan Chaining, turut didukung motivasi penyuluh. Korelasi selanjutnya terjadi pada variabel Monitoring dengan motivasi penyuluh, yang berhubungan positif dan sangat nyata. Hubungan tersebut bermakna bahwa lancarnya penyuluh dalam tahapan Monitoring turut didukung oleh motivasi
49
penyuluh. Kemampuan penyuluh dalam mencatat dan menyimpan sumber informasi dari internet didukung oleh motivasi yang dimiliki oleh penyuluh. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Kadli dan Kumbar (2013), yang menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang turut mendukung perilaku seseorang dalam melakukan pencarian informasi, yaitu motivasi dan tujuan pencarian informasi, tipe dan sifat dari pencari informasi, dan waktu yang dimiliki untuk menemukan informasi. Sementara itu penelitian Hubungan antara Penggunaan Media dengan Tahapan Pencarian Informasi Hambatan yang dimiliki oleh penyuluh diduga berhubungan dengan tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension. Nilai koefisien tersebut tertera pada Tabel 9. Tabel 9. Koefisien korelasi (r) antara penggunaan media dengan kelancaran tahapan pencarian informasi Penggunaan media
Koefisien Korelasi (r s) pada kelancaran tahapan pencarian informasi Starting
Chaining
Browsing
Diferentiating
Kemampuan 0,643** 0,627** 0,683** 0,506** penyuluh akses internet Ketersediaan 0,196 0,249 0,397** 0,382** sarana akses Biaya operasional 0,128 0,372** 0,337** 0,353** akses Keterangan: ** berhubungan sangat nyata pada ∝ = 0,01 * berhubungan nyata pada ∝ = 0,05
Monitoring
Extracting
0,383**
0,173
0,121
0,041
0,063
-0,049
Berdasarkan data penghitungan hasi uji korelasi dengan menggunakan alat uji statistik SPSS 20 (data selengkapnya terdapat pada lampiran 3), penggunaan media yang dimiliki penyuluh pada kemampuan akses internet berhubungan positif dan sangat nyata dengan tahapan pencarian informasi (Starting, Chaining, Browsing, Diferentiating, dan Monitoring). Hal tersebut bermakna bahwa semakin besar kemampuan penyuluh mengakses internet maka kemampuan penyuluh dalam melakukan tahapan pencarian informasi juga semakin lancar. Sementara pada tingkat ketersediaan sarana akses memiliki hubungan yang positif dan nyata dengan tahapan pencarian informasi Starting dan Browsing. Semakin lengkap sarana untuk akses internet seperti wifi, komputer dan fasilitas lainnya maka penyuluh akan semakin lancar dalam melakukan tahapan Starting dan Browsing. Hasil penemuan tersebut sejalan dengan penelitian Meho dan Tibbo (2003) bahwa kemampuan seseorang dalam mengakses internet dan ketersediaan sarana untuk akses internet bisa menjadi hambatan tersendiri dalam perilaku pencarian informasi. Memperkuat pemaparan Tibbo (2003), penelitian lainnya Andriaty dan Setyorini (2012) mengungkapkan bahwa ketersediaan dan kredibilitas sumber informasi serta sarana akses informasi juga akan menentukan kebutuhan informasi pengguna. Persoalan keterbatasan fasilitas kerja ini lainnya diungkapkan oleh Hubeis (2008). Menurutnya fasilitas kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi etos kerja seorang
50
pekerja. Penyuluh sebagai pekerja lapangan memang seharusnya memerlukan bantuan fasilitas kerja yang memadai. Untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di lapangan perlu dukungan dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya khususnya dalam pembiayaan, sarana dan prasarana, dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, maka keberadaan dan peran aktif penyuluh akan semakin terlihat di lapangan. Sedangkan Alfred dan Odefadehan (2007) memberikan pandangan yang sedikit berbeda. Menurutnya banyak cara yang dilakukan oleh para penyuluh dalam mencari sumber informasi diantaranya dengan pelatihan, penelitian, buku, buletin teknis, seminar dan supervisor, sementara sumber informasi yang lain yaitu klien dan rekan dianggap tidak efektif. Bisa dipastikan bahwa jika hambatan pada kedua hal tersebut besar maka proses tahapan pencarian informasi juga semakin tidak lancar, begitu juga sebaliknya. Hambatan selanjutnya yang dimiliki penyuluh adalah Biaya operasional akses. Biaya operasional akses memiliki hubungan yang positif dan sangat nyata dengan tahap Starting, Chaining dan Browsing. Kemampuan penyuluh dalam mencari informasi via Cyber Extension pada proses Starting, Chaining Browsing, turut didukung oleh biaya operasional yang memadai pula. Adanya korelasi antara hambatan penggunaan media dengan tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan penyuluh dalam mengakses Cyber Extension, maka kemampuan penyuluh akses internet harus ditingkatkan, begitu juga dengan ketersediaan akses internet dan alokasi biaya operasional untuk Cyber Extension. Hubungan antara Kelancaran Tahapan Pencarian Informasi pada Cyber Extension dengan Pemanfaatan Cyber Extension Berdasarkan data penghitungan hasi uji korelasi dengan menggunakan alat uji statistik SPSS 20 (data selengkapnya terdapat pada lampiran 4) diperoleh hasil bahwa tahapan pencarian informasi pada Cyber Extension berhubungan pemanfaatan Cyber Extension, seperti yang tertera pada Tabel 10.
Tabel 10. Koefisien korelasi (r) antara tahapan pencarian informasi dengan pemanfaatan Cyber Extension Pemanfaatan Cyber Extension
Koefisien Korelasi (r s) pada tahapan pencarian informasi Starting
Chaining
Browsing
Manfaat 0,126 0,327* 0,288* informasi Kemampuan membangun 0,042 0,174 0,325* jejaring sosial Kemampuan berbagi 0,205 0,152 0,377** informasi/ Pengetahuan Keterangan: ** berhubungan sangat nyata pada ∝ = 0,01 * berhubungan nyata pada ∝ = 0,05
Diferentiating
Monitoring
Extracting
0,107
0,133
-0,059
0,108
0,106
0,209
0,486**
0,517**
0,363**
51
Hasil pengujian statistik yang diperoleh mendukung hipotesis, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tahapan pencarian informasi dengan pemanfaatan Cyber Extension. Nilai korelasi yang ditunjukkan pada Tabel 10, bermakna bahwa manfaat yang diperoleh penyuluh dalam mengakses Cyber Extension turut didukung oleh tahapan pencarian informasi. Seperti pada proses Starting yang berkorelasi positif dan nyata dengan manfaat informasi yang diperoleh penyuluh, sementara pada tahapan Chaining berkorelasi positif dan sangat nyata dengan kemampuan penyuluh dalam berbagi informasi dan pengetahuan kepada sesama penyuluh maupun kepada petani. Hubungan selanjutnya yaitu pada tahapan Browsing dengan manfaat informasi dan kemampuan membangun jejaring sosial berkorelasi positif dan nyata. Pada indikator kemampuan penyuluh dalam berbagi informasi dan pengetahuan berhubungan positif dan sangat nyata dengan tahapan pencarian informasi (Differentiating, Monitoring dan Extracting). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Meho dan Tibbo (2003) yang menyatakan bahwa kemampuan seseorang dalam menjalankan tahapan pencarian informasi, memiliki peluang untuk menambah tingkat pengetahuan mereka serta membangun jaringan dengan teman, pengajar, hingga peneliti. Berdasarkan hal tersebut bisa dikatakan bahwa kelancaran penyuluh dalam melakukan tahapan pencarian informasi mampu mendorong mereka untuk bisa menambah pengetahuan, membangun jaringan hingga berbagi informasi baik kepada sesama penyuluh maupun kepada petani. Penyuluh di kabupaten Bogor dalam penelitian ini belum dapat memaksimalkan perkembangan teknologi informasi khususnya Cyber Extension ini. Informasi yang didapatkan dari sumber informasi hanya sebatas untuk menambah pengetahuan diri sendiri, dan berbagi bersama penyuluh lainnya. Padahal peran dan tugas mereka sebagai penyuluh pertanian mengharuskan informasi yang didapatnya untuk disebarluaskan/dibagikan kepada para petani sebagai penambah pengetahuan petani, atau sebagai solusi atas permasalahan pertanian yang dimiliki oleh para petani. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Nainggolan (2012) yang mengatakan penyuluh pertanian akan membimbing petani dengan pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang untuk diterapkan kepada petani dalam usaha taninya. Hal ini sesuai dengan pernyatan Rivera dan Qamar (2003), bahwa komputer dan internet boleh jadi tidak akan dapat diakses oleh masyarakat pedesaan, tetapi petani akan terlayani oleh para penyuluh pertanian yang menyediakan informasi (dari internet) ke masyarakat pedesaan.
52
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Karakteristik penyuluh pada indikator umur, tingkat kepemilikan media dan motivasi berhubungan nyata dengan tahapan pencarian informasi. Kelancaran penyuluh dalam tahapan pencarian informasi didukung oleh umur, tingkat kepemilikan media dan motivasi penyuluh. Pada indikator umur dan kepemilikan media, hubungan diketahui mempunyai arah negatif. Hal tersebut menandakan bahwa semakin tua dan semakin banyak kepemilikan media maka tahapan pencarian informasi semakin kurang lancar. Sebagian besar penyuluh yang berada di Kabupaten Bogor termasuk kategori usia lebih dari 40 tahun. Para penyuluh rata-rata mempunyai dua jenis media yang digunakan yaitu komputer dan handphone. 2. Penggunaan media pada indikator kemampuan penyuluh akses internet, ketersediaan sarana akses dan biaya operasional berhubungan sangat nyata dengan tahapan informasi. Kemampuan penyuluh dalam mengakses Cyber Extension tergolong baik, kebanyakan para penyuluh sudah mampu mengoperasikan komputer untuk akses internet, mengakses informasi terbaru, menggunakan email, dan berkomunikasi dengan sesama penyuluh. Ketersediaan sarana untuk akses internet masih dirasakan kurang. Hal ini dikarenakan minimnya fasilitas wifi dan modem untuk mendukung kelancaran mengakses internet. Biaya operasional masih dirasakan kurang, biaya yang sudah ada dianggap kurang merata dan mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penyuluh dalam pencarian informasi melalui internet. 3. Tahapan pencarian informasi pada indikator Starting, Chaining, Browsing, Differentiating, Monitoring, dan Extracting berhubungan positif dan nyata dengan pemanfaatan Cyber Extension pada indikator manfaat informasi, kemampuan membangun jejaring sosial dan kemampuan berbagi informasi dan pengetahuan. Kemampuan penyuluh dalam pemanfaatan Cyber Extension akan didukung oleh kelancaran penyuluh dalam menjalankan tahapan pencarian informasi. Saran 1. Pemerintah khususnya Kementerian Pertanian perlu mengadakan pelatihanpelatihan yang lebih intensif kepada penyuluh dalam hal mengakses internet. Pelatihan terutama ditujukan kepada penyuluh yang telah berusia lebih dari 40 tahun. Mengingat penyuluh yang berada pada kategori tersebut mencapai jumlah yang cukup banyak khususnya di Kabupaten Bogor. Maka, pelatihan untuk akses internet demi memperlancar kemampuan penyuluh dalam tahapan pencarian Cyber Extension perlu dilakukan. Pelatihan kepada penyuluh lainnya terkait Cyber Extension perlu ditingkatkan kembali, terutama pelatihan-pelatihan khusus seperti cara meng-upload materi, mengunduh materi, berbagi informasi dengan penyuluh lain dan melalui media internet.
53
2. Perlu membuat alokasi dana khusus untuk ketersediaan sarana dan biaya operasional akses internet. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat kelancaran tahapan pencarian informasi turut didukung oleh ketersediaan sarana akses dan biaya operasional untuk akses internet, sehingga penyuluh mampu mengakses Cyber Extension dengan lancar. 3. Sosialisasi terkait sumber informasi pemerintah tentang pertanian di lembagalembaga pertanian harus lebih ditingkatkan, hal ini dikarenakan masih banyak penyuluh yang lebih memilih menggunakan mesin pencari di internet daripada menggunakan sumber informasi resmi yang dibuat oleh pemerintah. 4. Aktivitas berbagi informasi hasil pencarian sumber informasi dari penyuluh kepada petani agar lebih ditingkatkan dan diefektifkan, hal ini dikarenakan masih banyak para penyuluh pertanian yang tidak meneruskan informasi yang didapatnya sampai kepada para petani dilapangan. 5. Bagi para peneliti selanjutnya yang akan melakukan riset tentang Cyber Extension ini diharapkan untuk lebih membahas cara, metode, ataupun mekanisme yang efektif oleh penyuluh pertanian dalam menyampaikan hasil proses pencarian informasi kepada para petani.
54
DAFTAR PUSTAKA Adekoya AE. 2007. Cyber Extension Communication: A Strategic Model for Agricultural and Rural Transformation in Nigeria. International Journal of Food, Agriculture and Environment ISSN 1459-0255. Vol. 5. Ahmadi, A. 2007. Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Jakarta [ID]: Rineka Cipta. Ahuja, Vivek. 2011. Cyber Extension: A Convergence of ICT and Agricultural Development. Global Media Journal Vol. 2/No 2, December 2011,pp. 1-8. Alfred,Y.S.D, Odefadehan, O.O. 2007. Analysis of Information Needs of Agricultural Extension Workers in Southwest of Nigeria. South African Journal of Agricultural Extension Vol. 36 (1), 2007, pp. 6277. Amin M, Sugiyanto, Sukesi K, Ismadi. 2013. Application of Cyber Extension as Communication Media to Empower the Dry Land Farmer at Donggala District, Central Sulawesi. Journal of Basic and Applied Scientific Research, 3(4) : 379-385. Andriaty E, Sankarto BS, Setyorini E. 2011. Kajian Kebutuhan Informasi Teknologi Pertanian di Beberapa Kabupaten di Jawa. Jurnal Perpustakaan Pertanian. 20(2): 54-61. Anon. 2006. Impact of information technology on agricultural commodity auctions in India. [Internet]. [dikutip 09 November 2013]. Dapat di unduhudari:http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1 .88.6480&rep=rep1&type=pdf Anwas, E.O.M, Sumardjo, P.S.Asngari, P.Tjiptopranoto. 2009. FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penyuluh dalam Pemanfaatan Media. Jurnal Komunikasi Pembangunan Vol. 07 No 2, Juli 2009, hal.68-81. Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta [ID]: PT. Rineka Cipta. Bahua MI. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Perilaku Petani Jagung di Provinsi Gorontalo [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bungin, B. 2011. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta (ID): Kencana [BKP5K]. Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. 2014. Data Penyuluh dan THL-TBPP di BP3K se-Kabupaten Bogor. BKP5K. Bogor. Chury, J.A, Mlozi, R.S.M, Tumbo, D.S, Casmir,R. 2012. Understanding Farmers Information Communication Strategies for Managing Climate Risks in Rural Semi-Arid Areas, Tanzania. International Journal of Information and Communication Technology Research Vol. 2 No.11, November 2012. pp. 838-845. Damanik, P dan Tahitu E Mellvis. 2011. Cyber Extension dan Model Sistem Penyuluhan Pertanian Untuk Menjawab Tantangan Pembangunan Pertanian di Maluku − Suatu Pemikiran. [Prosiding].
55
Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. [Deptan RI] Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2006. Rencana Pembangunan Pertanian 2005-2010. Deptan RI. Jakarta. Dorell, Julie. 1993. Resource-Based Learning: Using Open and Flexible Learning Resources for Continous Development. New York: McGraw-Hill Book, Co. Elian N. 2015. Penggunaan Internet dan Pemanfaatan Informasi Pertanian oleh Penyuluh Pertanian di Wilayah Barat Kabupaten Bogor. [thesis]. Bogor (ID): Intitut Pertanian Bogor. Ellis, D. (1987). The derivation of a behavioural model for information retrieval system design. Unpublished doctoral dissertation. University of Sheffield, Sheffield, U.K. Dapat diunduh di http://www.informationr.net/ir/12-3/paper318.html ., Merrete, Haugan. 1997. Modelling the information seeking patterns of engineers and research scientists in an industrial environment, Journal of Documentation, Vol. 53 Iss: 4, pp.384 – 403. dapat diunduh di http://dx.doi.org/10.1108/EUM0000000007204 Hafsah MJ. 2009. Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan. Hartono, Bambang. 2013. Sistem Informasi Manajemen Berbasis Komputer. Jakarta [ID]: Rineka Cipta Helmy, Z. 2013. Cyber Extension dalam Penguatan Kesiapan Penyuluh Pertanian di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hubeis AVS. 2008. Motivasi, Kepuasan dan Produktivitas Kerja Penyuluh Lapangan Peternakan. Jurnal Media Peternakan. 31(1):71-80 Huda N. 2010. Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian Lulusan Pendidikan Jarak Jauh Universitas Terbuka. [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.. Iddings RK & Apps JW. 1990. ‘What Influence Farmers’Computer Use?’.Journal of Extension XXVIII (Spring), 19-20. Ichwanudin. 1998. Hubungan Perilaku Komunikasi Peserta Kelompok Penggerak Pariwisata dengan Program Sapta Pesona di Kabupaten Sukabumi. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Ihsaniyati, H. 2010. Kebutuhan dan Perilaku Pencarian Informasi Petani Gurem (Kasus Desa Rowo Kecamatan Kandangan Kabupaten Temanggung). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jayathilake HACK, BPA Jayaweera, ECS Waidyasekera. 2010. ICT Adoption and Its’ Implications for Agriculture in Sri Lanka. Kadli dan Kumbar. 2013. Library Resources, Services and Information Behaviour in Chaning ICT Environment : A Literature Review. Library Philosophy and Practice (e-journal). Paper 951. Dapat di unduhhdihhttp://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article =2325&context=libphilprac [Kemeneg Ristek RI]. Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. 2006. Buku Putih Bidang Teknologi Informasi
56
dan Komunikasi. Kemeneg Ristek RI. Jakarta. . 2010 Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2010-2014. Kemeneg Ristek RI. Jakarta. Kerlinger, F. N. dan Lee, H. B. (2000). Foundation of Behavioral Research (Fourth Edition). USA: Holt, Reinnar & Winston, Inc. Kurtenbach T and Thompson S. 2000. Information Technology Adoption Implications for Agriculture. Dapat diunduh dari:https://www.ifama.org/conferences/9/1999/1999persen20Congre ss/Forumpersen20Pa pers Proceedings/Kurtenbach_ TammyLadkin D, Peter Case, Patricia Gayá Wicks. Leeuwis C. 2004. Communication for Rural Innovation, Rethinking Agricultural Extension. Oxford: Blackwell Publishing. Lubis, DP. 2010. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mendukung Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Program Mayor Komunikasi Pembangunan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ma’mir, Marjuni 2001. Perilaku Petani Sayuran dalamPemanfaatan Sumber Informasi Agribisnis Tanaman Sayuran di Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.. Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta [ID]: Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press. . 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press. . 2010. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta (ID): Sebelas Maret University Press. Margono,T, Shigeo, Sugimoto. 2011. Understanding the Gap Issue on Dissemination of Agricultural Information for Extension Workers in Indonesia: A Framework Solution. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS, Vol. 11 No. 02 April 2011, pp. 98-105. Marius, J.A., Sumardjo, Margono Slamet, Pang S. Asngari. 2007. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Penyuluh terhadap Kompetensi Penyuluh di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penyuluhan, Vol 3 No 2. September 2007, hal 78-89. McQuail D. 2010. Mass Communication Theory. London (UK): SAGE Publicaton. Meho, Lokman I. dan Tibbo, Helen R. 2003, Modeling the InformationSeeking Behavior of Social Scientist: Elli’s Study Revisited dalam Journal of The American Society for Information Science and Technology 54 (6) hal. 570 – 587 [Menpan] Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.2008. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor Per/02/MENPAN/2/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya. Jakarta. Mulyandari, R.S.H. 2011. Cyber Extension sebagai Media Komunikasi bagi Pemberdaya Petani Sayuran. [Disertasi]. Bogor [(ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
57
Murfiani, F. 2006. Kompetensi Penyuluh dalam Pengembangan Modal Usaha Kecil di Bidang Pertanian. [Tesis]. Bogor [ID]: Sekolah Pascasarjana IPB. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta (ID): Rineka Cipta. Nuryanto BG. 2008. Kompetensi Penyuluh dan Pembangunan Pertanian di Provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Nwafor, Akubue. 2008. Nigerian urban women’s use of Information Media: The Challenges for Women in Leadership. Educational Research and Reviews, Academic Journals Vol. 3 (10), October 2008, pp. 309-315. Okwu, O.J and B.I. Umoru. 2009. A study of women farmers’ agricultural information needs and accessibility: A case study of Apa Local Government Area of Benue State, Nigeria. Afr. J. Agric. Res. 4 (12): 1404-1409. Permatasari SUD. 2012. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi oleh Penyuluh Pertanian (Kasus : Wilayah Dramaga dan Cibinong Kabupaten Bogor). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Permatasari I. 2013. Efektivitas Cyber Extension sebagai media komunikasi dalam diseminasi teknologi pertanian. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 117 hal. Phade Khene C, Palmer R, Kavhai M. 2010. A Baseline Study of a Dwesa Rural Community for the Siyakhula Information and Communication Technology for Development Project: Understanding the Reality on the Ground. Information Development, 26 (4): 265-288. doi:10.1177/0266666910385374. Purnaningsih, N.1999. Pemanfaatan Sumber Informasi tentang Usaha Tani Sayuran oleh Petani. [Tesis]. Bogor [ID]: Sekolah Pascasarjana IPB. Rakhmat, J. 2001. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Remaja Rosdakarya. ., 2005. Metodologi Penelitian Komunikasi. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya Rivera, Willian McCleod and M. Kalim Qamar. 2003. Agricultural Extension, Development and The Food Security Challenge. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome. Rogers, EM. 1973. Mass Media dan Komunikasi Antar Pribadi dalam Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan. E. Depari dan C. Mac Andrews. Yogyakarta [ID]: Gajah Mada University Press. .,, dan Shoemaker. 1971. Communications of Innovations. New York: Tree Press. . 1995, Diffusions of Innovations, Forth Edition. New York: Tree Press. Rozinah, S. 2012. Perilaku Pencarian Informasi Mahasiswa dalam Penulisan Skripsi: Studi Kasus di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdatul Ulama (STAINU) Jakarta. [Tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
58
Salampasis M, Theodoridis A. 2013. Information and Communication Technology in Agricultural Development Preface. Procedia Technology, 8: 1-3. doi:10.1016/j.protcy.2013.11.001. Setiabudi D. 2004. Pemanfaatan Media Informasi Teknologi Pertanian Oleh Penyuluh Pertanian Di Jakarta. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Sharma, P.V. 2006. Cyber Extension: Information and Communication Technology (ICT) Applications for Agricultural Extension Service Challenges, Oppurtunities, Issues and Strategies. Enhancement of Extension System in Agriculture. APO. Singarimbun M. 1995. Metode dan Proses Penelitian. Singarimbun M dan Effendi S, editor. Jakarta (ID): LP3ES _.2011. Metoda Penelitian Survey. Edisi Revisi. Jakarta [ID]: LP3ES. Slamet, M. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Editor. Adjat Sudrajat dan Ida Yustina. Bogor (ID): IPB Press. _.2008.” Menuju Penyuluh Profesional.” Komunikasi Pribadi. Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Sekolah Pascasarjana. Bogor (ID): IPB Press. Stenmark Dick, dan Jadaan Taline. 2006. Intranet Users' InformationSeeking Behaviour: An Analysis of Longitudinal Search Log Data. Proceedings of ASIS&T 2006, Austin, Texas. Published at Department of Applied Information Technology (GU). Dapat diunduh di http://gup.ub.gu.se/records/fulltext/43034/43034.pdf Subejo. 2011. Babak Baru Penyuluhan Pertanian dan Pedesaan. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. Vol 7 No 1. Juli 2011, hal 61-70. Sumardjo. 2003. Kepemimpinan dan Pengembangan Kelembagaan Perdesaan. Bogor (ID): IPB Press. . 2006. ” Kompetensi Penyuluh.” Makalah disampaikan pada Pertemuan KPPN dengan Departemen Pertanian di Batam pada April 2006. Batam. . 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor . 2007. “Komunikasi Efektif.” (Komunikasi Pribadi) Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Sekolah Pascasarjana. Bogor: IPB dan Retno Sri Hartati Mulyandari. 2010. Cyber Extension Peluang dan Tantangan dalam Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Bogor (ID): IPB Press. , Djuara P. Lubis, Eko Sri Mulyani, dan Retno Mulyandari. 2010. Laporan Hasil Penelitian Pengembangan Sistem Informasi Berbasis TI untuk Meningkatkan 10% Keberdayaan Petani Sayuran dalam Proses Pengambilan Keputusan Usahatani. KKP3T, kerjasama antara Institut Pertanian Bogor dengan Badan Litbang Pertanian. Suryantini H. 2003. Kebutuhan Informasi Dan Motivasi Kognitif Penyuluh Pertanian Serta Hubungannya Dengan Penggunaan Sumber Informasi (Kasus Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Jurnal Perpustakaan
59
Pertanian, 12 (2): 33- 41. __________. 2004. Pemanfaatan Informasi Teknologi Pertanian oleh Penyuluh Pertanian: Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jurnal Perpustakaan Pertanian, 13 (1): 17-23 Suyono H. 2006. Pemberdayaan Masyarakat (Mengantar Manusia Mandiri, Demokratis, dan Berbudaya). Jakarta (ID): LP3ES. Taragola N, Gelb E. 2005. Information and Communication Technology (ICT) Adoption in Horticulture : A Comparison to EFITA Baseline. http://departements.agri.huji.ac.id/economics/gelb-hort-14.pdf. Usman, J.M, Adeboye,J.A, Oluyole, K.A, Ajijola,S. 2012. Use of Information and Communication Technologies by Rural Farmers in Oluyole Local Government Area of Oyo State, Nigeria. Journal of Stored Products and Postharvest Research, Vol. 3(11), October 2012, pp.156-159. Usman H, dan Akbar P, S. 2008. Pengantar Statistik. Edisi Kedua, Jakarta [ID]: Bumi Aksara Van den Ban AW, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan Pertanian. Edisi ke-3. Herdiasti AD, penerjemah. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius. Terjemahan dari: Agricultural extension. Veronice. 2013. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Kompetensi Penyuluh. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB. Vivian J. 2008. Teori Komunikasi Massa. Edisi ke-1. BS Wibowo T, penerjemah. Jakarta (ID): Kencana. Terjemahan dari: The media of mass communication Wijekoon RSE, Rizwan MFM, Sakunthalarathanayaka RMM, Anurarajapa HG.2009. Cyber Extension: An Information and Communication TechnologyInitiative for Agriculture and Rural Development in Sri Lanka.[terhubung berkala] 26 September2014.Dapatdiunduhdari:http://www.fao.org/fileadmin/user _upload/kce/Doc_for_Technical_Consult/SRI_LANKA_CYBER_E XTENSION.pdf Wiryanto. 2005. Teori Komunikasi Massa. Jakarta (ID): PT. Grasindo.
60
Lampiran 1. Dokumentasi Pengisian Kuesioner Penelitian oleh Penyuluh
61
Lampiran 2. Hasil uji korelasional karakteristik penyuluh dengan tahapan pencarian informasi Correlations
umur
tpf
Correlation Coefficient starting
Sig. (2-tailed) N
chaining
Sig. (2-tailed) N
-
.17
.04
.17
0
5
0
.00
.19
.73
.19
3
0
3
0
61
61
61
61
-
.45
-
.45
**
**
8
.031
8
.00
.00
.81
.00
1
0
5
0
61
61
61
61
-
.14
.13
.14
*
.262
9
9
9
.04
.25
.28
.25
1
1
6
1
61
61
61
61
.376
.405
Correlation Coefficient browsing
Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient
differentiating
Sig. (2-tailed) N
monitoring
Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient
extracting
Sig. (2-tailed) N
**
-
.16
-
.16
**
2
.043
2
.00
.21
.74
.21
1
1
4
1
61
61
61
61
-
.32
-
.32
**
*
4
.029
4*
.00
.01
.82
.01
1
1
7
1
61
61
61
61
-
.15
.02
.15
*
.303
1
3
1
.01
.24
.85
.24
7
5
9
5
61
61
61
61
.410
Correlation Coefficient
motivasi
**
Correlation Coefficient
media
.409
62
Lampiran 3. Hasil uji korelasional penggunaan media dengan tahapan pencarian informasi Correlations kpa Correlation Coefficient Starting
Sig. (2-tailed)
Coefficient Chaining
Sig. (2-tailed)
.397**
.372**
.000
.002
.003
61
61
61
.627**
.196
.337**
.000
.131
.008
61
61
61
.683**
.382**
.353**
.000
.002
.005
61
61
61
**
.249
.128
.000
.053
.327
61
61
61
.383**
.121
.063
.002
.355
.631
61
61
61
.173
.041
-.049
.183
.751
.705
61
61
61
N Correlation Coefficient Browsing
Sig. (2-tailed) N Correlation
differentiat Coefficient ing
Sig. (2-tailed)
.506
N Correlation Coefficient Monitoring
Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient
Extracting
Sig. (2-tailed)
boa
.643**
N Correlation
ksa
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
63
Lampiran 4. Hasil uji korelasional tahapan pencarian informasi dengan pemanfaatan Cyber Extension Correlations starting
Manfaatinfo
differentiating monitoring
.
.
.28
Coefficient
*
327
126
*
8
Sig.
.
.
.02
010
333
5
6
6
1
1
.
.
.32 *
(2-tailed)
Correlation
61
Coefficient
042
174
5
Sig.
.
.
.01
750
180
1
6
6
1
1
(2-tailed) N Correlation
berbagiinformasi
browsing
Correlation
N
jejaringsosial
chaining
61
.
.
Coefficient
205
**
2
Sig.
.
.
.24
114
003
3
6
6
1
1
(2-tailed) N
377
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
.15
61
.107
.412
61
.108
.406
61
.486**
.000
61
extracting
.13
-
3
.059
.30
.6
6
54
61
61
.10
.2
6
09
.41
.1
5
06
61
61
.51
.3
**
63**
.00
.0
0
04
61
61
7
64
Lampiran 5. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumentasi Item Pertanyaan
Uji Validitas
Keteran gan
P1 P2
.517** .809**
Valid Valid
P3
.713**
Valid
P4
.556
**
Valid
P5
.502
**
Valid
P6
.658**
Valid
P7
.781**
Valid
P8
.671**
Valid
P9
.855**
Valid
P10
.725**
Valid
P11
.812**
Valid
P12
.931**
Valid
P13
.439*
Valid
P14
.939**
Valid
P15
.732**
Valid
P16
.491**
Valid
P17
.391*
Valid
P18 P19
.864** .911**
Valid Valid
P20
.943**
Valid
P21
.823**
Valid
P22
.496**
Valid
P23
538**
Valid
P24
.679**
Valid
P25
.878**
Valid
P26
.860**
Valid
P27
.797**
Valid
P28
.584**
Valid
P29
.584**
Valid
P30
.640**
Valid
P31
.794**
Valid
P32
.561**
Valid
P33
.604**
Valid
P34
.669**
Valid
P35
.584**
Valid
P36
.556**
Valid Tidak
P37
.243
P38 P39
.672** .649**
Valid Valid Valid
Uji Reliabilitas 0.884
Keteran gan Reliabe l
65
Item Pertanyaan
Uji Validitas
Keteran gan
P40
.679**
Valid
P41
.404**
Valid
P42
.684**
Valid
P43
.541**
Valid
P44
.866**
Valid
P45
.882**
Valid
P46
.992**
Valid
P47
.992**
Valid
P48
.951**
Valid
P49
.967**
Valid
P50
.967**
Valid
P51
.918**
Valid
P52
.461*
Valid
P53
.932**
Valid
P54
.899**
Valid
P55
.832**
Valid
P56
.897**
Valid
P57
.816**
Valid
P58
780**
Valid
P59
819**
Valid
P60
.582**
Valid
P61
.654**
Valid
P62
.507**
Valid
P63
.515**
Valid
P64
.579**
Valid
P65
.754**
Valid
P66
.606**
Valid
P67
.834**
Valid
P68
.579**
Valid
Uji Reliabilitas 0.884
Keteran gan Relibab el
66
RIWAYAT HIDUP Abung Supama Wijaya (penulis) dilahirkan di Kabupaten Kuningan pada tanggal 15 Januari 1987. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, yang merupakan anak dari pasangan H. Irianto dan Hj. Utin. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada program Diploma, program keahlian Komunikasi angkatan 42. Tahun 2008 Penulis melanjutkan studi Strata 1 (S1) di Universitas Sebelas Maret Surakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi. kemudian lulus pada tahun 2010. Tahun 2012 penulis diterima di program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan pada sekolah Pascasarjana Instutut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2015. Semasa mengenyam bangku perkuliahan penulis sempat bekerja di beberapa perusahaan, diantaranya adalah penyiar radio islam di Mars FM Bogor (2008), Marketing pemasaran surat kabar Harian Joglosemar Surakarta (2010), Penyiar Radio Ria FM Solo (2011), dan menjadi dosen di Program Diploma Institut Pertanian Bogor pada program keahlian Komunikasi (2011-2015). Saat ini penulis bekerja di PT. SMART Tbk (SINARMAS GROUP) pada divisi Supplier Management.