PEMANFAATAN BULUH BAMBU TALI SEBAGAI KOMPONEN PADA KONSTRUKSI RANGKA BATANG RUANG
GINA BACHTIAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pemanfaatan Buluh Bambu Tali sebagai Komponen pada Konstruksi Rangka Batang Ruang” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi. Bogor, Agustus 2008
Gina Bachtiar NIM E061020111
ii
ABSTRACT GINA BACHTIAR. Utilization of Bamboo as Space Truss Elements. Under the supervision of SURJONO SURJOKUSUMO, YUSUF SUDO HADI and NARESWORO NUGROHO. Using traditional technology, bamboo has been used as building material in rural area since many years ago. Research has notified that it has high strength in tensile but low in shear. The shape of bamboo that is like a pipe with an uninformed diameter gave many problems when use in construction, especially in design of connections. In construction, there are many kinds of structure can be conducted. One of them is truss structure. Truss is a frame, which consists of members that take only tensile and compression force without bending moment. The main objective of this research was to give information how to use bamboo for space truss elements technically. To meet the objective, five phase of research were conducted, those were research on basic properties on bamboo, buckling properties, connection design, evaluation on the strength of elements and designing several simple space trusses for roof truss. All of the research used bamboo tali, which diameters of about 4 cm and 6 cm Indonesian species of bamboo known as Bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) grown in Depok, Bogor, was used in this experiment. It has usually been used as building material for many years. Research on basic properties of bamboo performed according to ISO 22157-2004. Space truss design was conducted according to SNI 03-1727-1989 with regards to load design method. Research on mechanical properties showed that its tensile strength is 60 MPa, compression strength is 12,7 MPa, shear strength is 2,5 MPa and E = 8.300 MPa. Bamboo performance on buckling shown that relations between critical strength and slenderness ratio could be formulated as y = -7,9.Ln (x) + 60, where y = critical strength and x = slenderness ratio. Connection designed using a taper rounded wooden plug attached to the inner part of bamboo and a tapered steel ring was used at the outside of the bamboo culm. The advantages is that it avoid crack on bamboo wall as no hole was made. Employing two steel rings on every joint showed that those rings could transfer tension as well as compression forces. Analytical and empirical evaluation on elements shown that one meter bamboo elements using designed connections can resist force up to 924 kg in compression and 3.925 kg in tensile for 6 cm diameter bamboo. Whereas on samples made of 4 cm diameter bamboo, the experiment showed resistance force of 1.284 kg in tensile and 2.776 kg in compression. Structural analysis using a program with finite element methods, showed that 4 cm bamboo could be used as elements for 4m x 4m space truss using one metre of length elements. As for elements of 1,25 m length a 3,75 m x 5 m space truss could be used. For special cantilever truss, the used of 4 cm diameter bamboo must be varied by using 6 cm diameter bamboo for elements that resist larger compression force.
iii
RINGKASAN GINA BACHTIAR. Pemanfaatan Buluh Bambu Tali sebagai Komponen pada Konstruksi Rangka Batang Ruang. Di bawah bimbingan SURJONO SURJOKUSUMO, YUSUF SUDO HADI dan NARESWORO NUGROHO. Salah satu bentuk konstruksi yang banyak digunakan sebagai konstruksi rangka atap adalah konstruksi rangka batang (truss) yang kemudian berkembang menjadi konstruksi rangka batang ruang (space truss). Dengan kelurusan bambu yang terbatas, buluh bambu sesuai untuk digunakan pada konstruksi rangka batang ruang, karena konstruksi ini tersusun dari komponen-komponen yang relatif pendek. Pada konstruksi ini, komponen-komponen batang dihubungkan secara sendi, sehingga beban yang bekerja pada batang hanya gaya aksial tekan dan tarik. Bambu diketahui mempunyai kuat tarik yang tinggi dengan kuat geser serta kuat belah yang rendah, sehingga dari sudut mekanika bahan cocok untuk dimanfaatkan pada konstruksi rangka batang. Bentuk bambu yang berupa tabung agak tirus (tappered) dengan diameter yang beragam, selama ini dianggap sebagai hambatan dalam pemanfaatannya di bidang konstruksi. Selain itu adanya buku dengan jarak yang tidak seragam menjadi kendala dalam membuat sambungan, khususnya sambungan yang dapat dianalisa secara mekanika. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari secara teknis pemanfaatan bambu tali sebagai komponen rangka batang ruang. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dilakukan lima tahap penelitian, yaitu : (1) penelitian sifat dasar, (2) analisa perilaku tekuk bambu tali, (3) perancangan sambungan buluh bambu, (4) evaluasi kekuatan komponen dan (5) perancangan model-model rangka atap sederhana. Penelitian dibatasi pada penggunaan bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) yang berdiameter sekitar 4 cm dan sekitar 6 cm. Bahan bambu yang digunakan dalam penelitian ini berumur 3 – 5 tahun yang tumbuh di daerah Depok, Bogor, dan banyak diperjualbelikan serta digunakan sebagai bahan bangunan. Pada penelitian hanya digunakan bambu bagian pangkal dan tengah mengingat bahwa bentuk bambu tali yang cenderung melengkung pada bagian ujungnya. Penelitian sifat dasar bambu dilakukan dengan lima ulangan dan mengacu pada ISO 22157-2004, tentang tata cara pengujian sifat fisik dan mekanik bambu tali. Khusus untuk penelitian terhadap kuat geser bambu, pengujian dengan penyesuaian terhadap tata cara pengujian kayu. Pada penelitian sifat dasar didapatkan hasil kerapatan bambu (ρ) sebesar 0,71 g/cm3, kuat tarik 57,8 MPa, kuat tekan 12,7 MPa, kuat geser 2,5 MPa dan modulus elastis (E) sebesar 8.300 MPa. Nilai-nilai ini selanjutnya digunakan dalam perhitungan analisa struktur. Pada batang tekan, perhitungan kekuatannya tidak hanya tergantung pada luas penampang dan kuat tekannya saja, tetapi juga tergantung pada bentuk penampang dan panjang batang yang biasa dinyatakan dalam angka kelangsingan. Angka kelangsingan (λ) adalah hasil bagi jari-jari inersia (r) dengan panjang tekuk. Penelitian terhadap perilaku tekuk bambu tali dilakukan dengan menggunakan sekitar 100 (seratus) sampel yang terdiri dari bambu tali berdiamter sekitar 4 cm dan sekitar 6 cm dengan panjang contoh uji 50 cm, 70 cm dan 90 cm. Pembuatan sampel dilakukan dengan memperhatikan keberadaan buku. Pada sebagian sampel dibuat dengan buku pada bagian tengah panjang batang dan sebagian lain dibuat dengan ruas pada bagian tengah sampel. Berdasarkan penelitian empiris terhadap tegangan kritis dan digabungkan dengan hasil pengujian tekan, maka diperoleh hubungan antara nilai tegangan kritis terhadap angka kelangsingan yang berupa fungsi: y = -7,9 . Ln (x) + 60, dimana y = tegangan kritis (MPa) dan x = angka kelangsingan. iv
Perancangan diarahkan untuk menghasilkan sambungan buluh bambu yang dapat menerima gaya tarik dan gaya tekan yang kekuatannya dapat dianalisa. Sambungan yang direncanakan dibuat dengan menggunakan pasak kayu dan baut yang direkatkan pada bagian dalam buluh bambu, sehingga dapat menghindari timbulnya perlemahan akibat pembuatan lubang pada dinding bambu. Penggunaan dua buah ring pada sambungan terbukti dapat meratakan beban, baik pada beban tarik, maupun tekan. Selain itu digunakan juga klem besi pada bagian luar bambu yang berfungsi untuk membuat agar bagian ujung sambungan mengerucut serta untuk menghindari terjadinya belah. Kekuatan sambungan yang dirancang dapat dianalisa secara mekanika sederhana. Selanjutnya, dimensi sambungan dapat dirancang sesuai dengan besarnya beban yang bekerja. Evaluasi terhadap komponen dilakukan secara analitik dan empirik. Perhitungan kekuatan secara analitik dilakukan untuk komponen berdiameter sekitar 4 cm dan sekitar 6 cm untuk panjang komponen 100 cm dan 125 cm. Penelitian empirik dilakukan terhadap komponen berdiameter sekitar 4 cm dengan panjang bidang geser 5 cm. Hasil perhitungan analitis terhadap komponen rangka batang sepanjang 100 cm dengan sambungan yang dirancang dapat menerima beban tekan 922 kg dan tarik 3.925 kg untuk bambu berdiameter sekitar 6 cm. Pada bambu berdiameter sekitar 4 cm, beban yang dapat diterima 501 kg untuk tekan dan 2.355 kg untuk tarik. Perhitungan analitis terhadap sampel mendapatkan nilai kuat tekan 581 kg dan kuat tarik 1.177 kg, sementara hasil penelitian empiris untuk sampel memperoleh nilai rata-rata kuat tekan 2.776 kg dan kuat tarik 1.284 kg. Pada pengujian terhadap kuat tarik sampel kerusakan sampel terjadi pada dinding bambu sebelah dalam. Hal ini menunjukkan bahwa faktor terlemah dalam menerima beban tarik sesuai dengan analisa terletak pada kuat geser bambu yang kecil. Perencanaan struktur rangka batang ruang untuk rangka atap sederhana mengacu pada SNI 03-1727-1989 tentang tata cara perencanaan pembebanan. Hasil analisa struktur dengan progam berdasarkan metode elemen hingga, menunjukkan bambu berdiameter 4 cm dapat dimanfaatkan sebagai komponen rangka batang ruang dengan 4 tumpuan berukuran 4 m x 4 m untuk panjang komponen 1 m, sedangkan komponen dengan panjang 1,25 m, bambu berdiameter 4 cm dapat dimanfaatkan untuk konstruksi rangka batang ruang berukuran 3,75 m x 5 m. Defleksi yang terjadi pada struktur juga cukup kecil dengan nilai terbesar 2,26.10-4 m pada arah sumbu x yang terjadi pada rangka atap berukuran 3,75 m x 5 m, dengan panjang komponen 1,25 m. Penggunaan bambu berdiamater 6 cm pada struktur tersebut akan mengakibatkan gaya yang timbul bertambah sekitar 2 %, tetapi menambah kekakuan struktur sehingga defleksi yang timbul menjadi bertambah kecil. Pada struktur rangka batang ruang berukuran 3 m x 4 m dengan tumpuan pada satu bidang, penggunaan bambu tali berdiameter 4 cm harus divariasikan dengan menggunakan bambu berdiameter 6 cm pada batang-batang yang menerima gaya batang tekan yang besar.
v
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
vi
PEMANFAATAN BULUH BAMBU TALI SEBAGAI KOMPONEN PADA KONSTRUKSI RANGKA BATANG RUANG
GINA BACHTIAR
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
vii
Judul Disertasi
: Pemanfaatan Buluh Bambu Tali sebagai Komponen pada Konstruksi Rangka Batang Ruang
Nama
: Gina Bachtiar
NIM
: E061020111 Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Ir. H.M. Surjono Surjokusumo, MSF, PhD Ketua
Prof.Dr.Ir.Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. Anggota
Dr.Ir. Naresworo Nugroho, MS Anggota
Diketahui ; Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof.Dr.Ir. Imam Wahyudi, M.S.
Tanggal Ujian : 14 Agustus 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus : ...................... viii
PRAKATA Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME atas segala berkat, rahmat dan keruniaNya, sehingga penulisan disertasi dengan judul ” Pemanfaatan Buluh Bambu Tali sebagai Komponen pada Konstruksi Rangka Batang Ruang ” ini dapat terselesaikan. Terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang tinggi penulis haturkan kepada komisi pembimbing Prof. Ir. H.M. Surjono Surjokusumo, MSF, PhD., Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr, dan memberikan pengarahan dan
Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS yang banyak
masukan serta dorongan selama proses studi hingga
selesainya penulisan disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Muhar Husin, Dipl. SE., Ir. Billy Malianggara, Prof. Ir. Bambang Suryoatmono, PhD., Ir. Iswandi Imran, MASc, PhD. dan Dr. Titik Penta A, MT. yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan saran. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para staf pengajar di program studi IPK dan kepada para laboran di Laboratorium Keteknikan Kayu dan Laboratorium Kayu Solid Fakultas Kehutanan IPB serta Laboratorium Bahan Bangunan Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Departemen Pekerjaan Umum Penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan di lingkungan Univertas Negeri Jakarta, khususnya Fakultas Teknik atas bantuan dan kesempatan studi yang diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan di jurusan Teknik Sipil UNJ atas diskusi-diskusinya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada suami tercinta serta anak-anak tersayang atas segala dorongan, dukungan materil dan spiritual serta pengertiannya hingga terselesaikannya disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar L. Bachtiar dan keluarga besar W. Pakpahan atas dukungan dan doanya. Pada disertasi ini mungkin masih ditemukan beberapa kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran akan penulis terima. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu dan teknologi bambu, khususnya pemanfaatan buluh bambu sebagai bahan bangunan. Bogor, Agustus 2008 Gina Bachtiar ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 April 1960 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Lukman Bachtiar (Alm.) dan Rohani. Pada tahun 1979, setelah menamatkan SMA di Bogor, penulis melanjutkan kuliah pada jurusan Pendidikan Teknik Sipil di IKIP Jakarta dan tamat pada tahun 1983. Pada tahun 1990, dengan beasiswa TMPD (Dikti), penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Magister pada Jurusan Teknik dan Manajemen Industri, Fakultas Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 2002, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor dengan bantuan beasiswa BPPS, pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada periode 1984-1985, penulis bekerja sebagai staf teknik pada biro konsultan bangunan PT. Inconeb di Jakarta. Selanjutnya sejak tahun 1985 hingga kini, penulis menjadi staf pengajar di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta. Selama mengikuti program S3 penulis menjadi anggota Masyarakat
Peneliti
Kayu Indonesia (MAPEKI), Perhimpunan Pencinta Bambu Indonesia (Perbindo) dan Masyarakat Standardisasi (MASTAN). Penulis juga telah mempresentasikan karya ilmiah yang berkaitan dengan topik penelitian S3 di antaranya : Bamboo as Space Truss Elements dalam 6th International Wood Science Symposium, 29-31 Agustus 2005 di Bali; Pengujian Kuat Tarik Bambu dan Kendalanya dalam Seminar Nasional Perbambuan Indonesia di Yogyakarta, 12 Juli 2006 serta Elastisitas Tekan Bambu Tali pada Seminar Nasional MAPEKI X, 9 – 11 Agustus 2007 di Pontianak. Sebuah artikel yang berkaitan dengan disertasi ini telah diterbitkan dengan judul Perancangan Sambungan Bambu untuk Komponen Rangka Batang Ruang pada Jurnal Forum Pascasarjana vol 31, Januari 2008. Penulis menikah dengan Aladin Pakpahan pada tahun 1984, dan dikaruniai tiga orang putri, yaitu Maria Sondang (1985), Margaretta Xenia (1988) dan Marcelina Arta Uli ( 1996).
x
DAFTAR ISI DAFTAR ISI..............................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL...................................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR................................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................xviii DAFTAR NOTASI.................................................................................................... xix 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang..............................................................................................
1
1.2. Identifikasi Masalah......................................................................................
3
1.3. Perumusan Masalah......................................................................................
4
1.4. Tujuan Penelitian..........................................................................................
4
1.5. Manfaat Penelitian........................................................................................
6
1.6. Novelty..........................................................................................................
6
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bambu............................................................................................................
7
2.1.1. Sifat-Sifat Umum....................................................................................
7
2.1.2. Sifat Fisik dan Mekanik..........................................................................
8
2.1.3. Keawetan dan Pengawetan..................................................................... 11 2.2. Konstruksi Rangka Batang............................................................................ 13 2.2.1. Tinjauan Umum...................................................................................... 13 2.2.2. Analisa Gaya Batang pada Konstruksi Rangka Batang Ruang.............. 15 2.2.3. Perhitungan Kekuatan Komponen.......................................................... 15 2.3. Sambungan Bambu........................................................................................ 18 3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI 3.1. Pendahuluan................................................................................................... 25 3.2. Tujuan Penelitian........................................................................................... 25 3.3. Bahan dan Metode......................................................................................... 25 3.3.1. Alat dan Bahan....................................................................................... 25 3.3.2. Metoda.................................................................................................... 26 3.4. Analisa Data.................................................................................................. 28 3.4.1. Sifat Fisik Bambu Tali............................................................................ 28 3.4.2. Sifat Mekanik Bambu Tali..................................................................... 28 xi
3.5. Hasil dan Pembahasan................................................................................... 29 3.5.1. Sifat Fisik Bambu Tali............................................................................ 29 3.5.2. Sifat Mekanik Bambu Tali..................................................................... 32 3.6. Kesimpulan.................................................................................................... 42 4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI 4.1. Pendahuluan................................................................................................... 43 4.2. Tujuan Penelitian........................................................................................... 43 4.3. Bahan dan Metoda......................................................................................... 44 4.3.1. Alat dan Bahan....................................................................................... 44 4.3.2. Metodologi.............................................................................................. 44 4.4. Analisa Data.................................................................................................. 45 4.4.1. Panjang Tekuk........................................................................................ 45 4.4.2. Persamaan Euler dan Batasannya........................................................... 46 4.4.3. Tegangan Tekuk Ijin............................................................................... 49 4.4.4. Faktor Tekuk........................................................................................... 49 4.5. Hasil dan Pembahasan................................................................................... 50 4.5.1. Tegangan Kritis berdasarkan Hasil Penelitian........................................ 50 4.5.2. Tegangan Kritis berdasarkan Analisa..................................................... 51 4.5.3. Faktor Tekuk........................................................................................... 53 4.5.4 Gaya Tekan Kritis ................................................................................
53
4.6. Kesimpulan.................................................................................................... 55 5. PERANCANGAN SAMBUNGAN BAMBU 5.1. Pendahuluan................................................................................................... 56 5.2. Tujuan Penelitian........................................................................................... 57 5.3. Ruang Lingkup Perancangan......................................................................... 57 5.4. Bahan dan Metoda......................................................................................... 57 5.4.1. Bahan...................................................................................................... 57 5.4.2. Metodologi............................................................................................. 57 5.5. Tahap-Tahap Perancangan............................................................................ 58 5.5.1. Identifikasi Kebutuhan........................................................................... 58 5.5.2. Analisa Masalah..................................................................................... 59 5.5.3. Perancangan Konsep............................................................................... 59 5.5.4. Evaluasi.................................................................................................. 61 xii
5.6.Perancangan Detail......................................................................................... 64 5.6.1. Perhitungan Struktur............................................................................... 64 5.6.2. Perhitungan Dimensi Sambungan.......................................................... 66 5.7. Kesimpulan.................................................................................................... 67 6. EVALUASI KEKUATAN KOMPONEN 6.1. Pendahuluan................................................................................................... 68 6.2. Tujuan Penelitian........................................................................................... 68 6.3. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................. 68 6.4. Bahan dan Metode......................................................................................... 68 6.4.1. Bahan dan Alat....................................................................................... 68 6.4.2. Metodologi.............................................................................................. 69 6.5. Analisis.......................................................................................................... 70 6.6. Hasil dan Pembahasan................................................................................... 71 6.7. Kesimpulan.................................................................................................... 73 7. PERANCANGAN MODEL-MODEL RANGKA BATANG RUANG 7.1. Pendahuluan................................................................................................... 74 7.2. Tujuan Penelitian........................................................................................... 74 7.3. Pengembangan Model-Model Rangka Batang Ruang................................... 74 7.4. Analisa Perhitungan Gaya-Gaya Batang....................................................... 76 7.4.1. Rangka Batang Ruang ST1 dan ST2..................................................... 76 7.4.2. Rangka Batang Ruang ST3................................................................... 79 7.4.3. Rangka Batang Ruang ST4.................................................................... 82 7.5. Kesimpulan.................................................................................................... 86 8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI 8.1. Pembahasan Umum....................................................................................... 87 8.2. Rekomendasi…............................................................................................. 91 9. KESIMPULAN UMUM ………………………………………………………
93
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
95
xiii
DAFTAR TABEL 2.1.
Sifat fisik dan mekanik beberapa jenis bambu......................................... 9
2.2.
Sifat mekanik bambu tali.......................................................................... 9
2.3.
Sifat fisik dan mekanik bilah bambu tali.................................................. 10
2.4.
Kuat tarik dan kuat tekan bambu tali........................................................ 10
2.5.
Kuat tarik, kuat tekan, kuat lentur dan MOE bambo tali......................... 11
2.6.
Nilai elastisitas bambu tali....................................................................... 11
3.1.
Faktor keamanan untuk masing-masing besaran mekanik ...................... 29
3.2.
Kerapatan bambu tali ............................................................................ 30
3.3.
Kadar air kering udara pada bambu tali................................................... 30
3.4.
Penyusutan bambu tali pada berbagai arah ........................................... 31
3.5.
Tegangan tarik sampel pada berbagai posisi............................................ 32
3.6.
Tegangan tekan buluh bambu.................................................................. 35
3.7.
Tegangan geser rata-rata.......................................................................... 37
3.8.
Nilai modulus elastisitas bambu tali......................................................... 41
4.1.
Faktor tekuk pada berbagai angka kelangsingan...................................... 52
5.1.
Besar gaya pada masing-masing komponen ........................................... 65
5.2.
Dimensi sambungan................................................................................. 66
6.1.
Kekuatan maksimum komponen berdasarkan perhitungan...................... 71
6.2.
Data kekuatan maksimum sampel............................................................ 72
7.1.
Besar gaya maksimum pada ST1 dan ST2............................................... 78
7.2.
Deformasi maksimum pada ST 1 dan ST2.............................................. 79
7.3.
Besar gaya maksimum pada ST3............................................................. 81
7.4
Deformasi maksimum pada ST 3 ............................................................ 81
7.5.
Besar gaya maksimum pada ST4 ............................................................ 84
7.6
Deformasi maksimum pada ST 4 ............................................................ 85
xiv
DAFTAR GAMBAR
1.1.
Konstruksi rangka batang ruang....................................................................
3
1.2.
Diagram alir penelitian.................................................................................
5
2.1.
Konstruksi rangka batang ruang untuk atap…..............................................
14
2.2.
Alat sambung pada titik buhul ...................................................................
14
2.3.
Tetrahedron…...............................................................................................
14
2.4.
Semi oktahedron..........................................................................................
14
2.5.
Sambungan bambu dengan tali.....................................................................
19
2.6.
Sambungan dengan lubang...........................................................................
19
2.7.
Sambungan tarik...........................................................................................
20
2.8.
Sambungan pipa...........................................................................................
20
2.9.
Sambungan bambu dengan pengisi kayu.....................................................
21
2.10.
Sambungan dengan penutup........................................................................
22
2.11.
Sambungan untuk kuda-kuda.....................................................................
22
2.12. Sambungan bambu untuk komponen rangka batang ruang.........................
23
2.13. Sambungan untuk menggabungkan buluh...................................................
24
3.1.
Bumbu tali serta pengambilan sampel.........................................................
26
3.2.
Sampel pengujian sifat dasar.......................................................................
27
3.3.
Tegangan tarik maksimum rata-rata............................................................
32
3.4.
Sampel putus pada daerah kritis..................................................................
33
3.5.
Kerusakan daerah kritis...............................................................................
33
3.6.
Kerusakan sampel pada daerah buku..........................................................
34
3.7.
Kerusakan sampel bukan pada daerah kritis................................................
34
3.8.
Tekuk pada silinder berdinding tipis...........................................................
35
3.9.
Pengaruh buku terhadap tegangan tekan bambu.........................................
35
3.10. Pengujian geser bambu berdasarkan ISO....................................................
36
3.11.
Detail benda geser uji geser tekan...............................................................
37
3.12.
Kerusakan sampel uji geser.........................................................................
38
3.13.
Diagram tegangan-regangan........................................................................
39 xv
3.14.
Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian tengah tanpa buku.........
40
3.15.
Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian tengah dengan buku......
40
3.16.
Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian pangkal dengan buku....
40
3.17. Nilai rata-rata elastisitas tekanan (E) ...........................................................
41
4.1.
Panjang tekuk (Lk) dengan tumpuan yang berbeda-beda..............................
46
4.2.
(a)diagram tegangan-regangan, (b)tegangan kritis terhadap kelangsingan..
47
4.3.
Nilai faktor keamanan tehadap kelangsingan (1/r=λ)....................................
49
4.4.
Tegangan kritis pada berbagai kelangsingan.................................................
50
4.5.
Hubungan tegangan kritis terhadap kelangsingan (analitis)..........................
52
4.6.
Hubungan tegangan tekuk ijin terhadap kelangsingan ................................
53
4.7.
Berbagai pola tekuk yang terjadi..................................................................
54
4.8.
Proses terjadinya tekuk ................................................................................
54
5.1.
Proses perancangan.......................................................................................
56
5.2.
Rangka atap yang direncanakan....................................................................... 57
5.3.
Diagram alir tahapan perancangan................................................................
58
5.4.
Alternatif sambungan....................................................................................
60
5.5.
Sambungan yang direncanakan.....................................................................
62
5.6.
Distribusi gaya tekan pada sambungan.........................................................
62
5.7.
Distribusi gaya tarik pada sambungan..........................................................
63
5.8.
Bentuk rangka batang ruang yang direncanakan..........................................
64
5.9.
Dimensi sambungan......................................................................................
66
6.1.
Sampel yang diuji.(gambar tampak)............................................................
69
6.2.
Sampel yang diuji (gambar potongan) ........................................................... 71
6.2.
Kerusakan pada sampel uji tarik ..................................................................
72
7.1.
Model-model rangka batang ruang...............................................................
75
7.2.
Pendefinisian profil yang digunakan.............................................................
76
7.3.
Penomoran joint pada ST1 dan ST2 ............................................................
77
7.4.
Penomoran batang pada ST1 dan ST2 .........................................................
77
7.5.
Gaya aksial pada ST1 ...................................................................................
77
7.6.
Deformasi pada rangka ST1 dan ST2 ..........................................................
78
7.7.
Penomoran joint pada ST3............................................................................
79
7.8.
Penomoran batang pada ST3.........................................................................
80
7.9.
Gaya aksial pada ST3....................................................................................
80
xvi
7.10. Deformasi pada rangka ST3..........................................................................
81
7.11. Penomoran joint pada ST4............................................................................
82
7.12. Penomoran batang pada ST4 .......................................................................
83
7.13. Gaya aksial pada ST4 ...................................................................................
83
7.14. Kombinasi penggunaan bambu ...................................................................
84
7.15. Deformasi pada rangka ST4.........................................................................
85
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Tabel 3 ASTM D2915-03........................................................................ 99
2.
Data Perhitungan Kerapatan.................................................................... 100
3.
Data Pengujian KA Bambu Tali.............................................................. 101
4.
Data dan Perhitungan Penyusutan............................................................ 102
5.
Data Pengujian Kuat Tekan..................................................................... 103
6.
Data Pengujian Tarik (sampel bagian pangkal)....................................... 104
7.
Data Pengujian Tarik (sampel bagian tengah)......................................... 105
8.
Data Uji Geser.......................................................................................... 106
9.
Data Pengujian Tekuk.............................................................................. 107
10. Analisa Perhitungan Dimensi Sambungan .............................................. 110 11. Data Untuk Perhitungan Analisa Struktur............................................... 111 12. Bentuk-Bentuk dan Koordinat Rangka Batang....................................... 112 13. Data Pengujian Kekuatan Sambungan..................................................... 115
xviii
DAFTAR NOTASI A
=
luas penampang
Ab
=
luas penampang bruto
BKT
=
berat kering tanur
BKU
=
berat kering udara
D
=
diameter luar bambu
d
=
diameter dalam bambu
E
=
modulus elastisitas
h
=
panjang bidang geser
I
=
momen inersia
KA
=
kadar air
L
=
panjang tekuk
L0
=
dimensi awal
L1
=
dimensi akhir
P
=
gaya pada batang
Pult
=
gaya maksimum
Pcr
=
gaya tekan maksimum
r
=
jari-jari inersia
t
=
tebal dinding bambu
VKU
=
volume kering udara
λ
=
angka kelangsingan
λ max
=
angka kelangsingan maksimum
ρ
=
kerapatan bambu
σ
=
tegangan
σy
=
tegangan leleh
σcr
=
tegangan kritis
σ tk
=
tegangan tekan
σ tr
=
tegangan tarik
ω
=
faktor tekuk
ξ
=
regangan (tanpa satuan) =
l − l0 l0
xix
Penguji Ujian Tertutup : a. Prof. Ir. Bambang Suryoatmono, MT, PhD. Ketua Program Pascasarjana Universitas Parahiyangan, Bandung Pengujian Ujian terbuka : a. Ir. Iswandi Imran, MASc, PhD. Ketua Kelompok Keahlian Struktur, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung b. Dr. Titik Penta Artiningsih, MT Dekan Fakultas Teknik Universitas Pakuan, Bogor
xx
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bambu merupakan tanaman dari famili rerumputan (Graminae) yang banyak dijumpai dalam kehidupan manusia, termasuk di Indonesia. Secara tradisional bambu dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan, alat-alat rumah tangga dan kerajinan tangan; sementara bambu yang muda (rebung) dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Bambu sebagai bahan bangunan, banyak dipakai di daerah pedesaan. Penggunaannya antara lain sebagai kolom, kuda-kuda, balok dan rangka atap, juga rangka jembatan. Teknologi yang digunakan adalah pengalaman turun temurun. Mereka mempelajari teknologi tersebut dengan cara melihat, mengamati dan menerapkan pada bangunan yang dibuatnya. Karena bambu pada umumnya digunakan untuk rumah-rumah sederhana di pedesaan, maka timbul opini masyarakat yang menghubungkan bambu dengan kemiskinan, bahkan di India bambu disebut sebagai ‘kayu untuk orang miskin’ (Frick, 2004). Oleh karena itu, orang enggan tinggal di rumah bambu. Di lain pihak, karena keindahannya banyak dibangun vila dan rumah makan yang mengekpose keindahan konstruksi bambu untuk menarik wisatawan terutama wisatawan mancanegara. Hal ini bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara tropis lain, seperti di Kepulauan Hawai di USA; Pulau Hainan di Cina dan di Vietnam (Bambu Living Resort, 2005). Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan selama ini sangat kurang dukungan penelitian ilmiah untuk diaplikasikan. Sementara pada saat ini terjadi krisis persediaan kayu, sehingga diharapkan bambu dapat memasuki pasar bahan bangunan menggantikan kayu sebagai bahan bangunan alternatif. Bambu dan produk berbahan bambu seharusnya dapat ditingkatkan sehingga setara dengan bahan bangunan lain. Berbeda dengan kayu yang baru siap ditebang dengan kualitas baik, setelah berumur lebih dari tiga puluh tahun, bambu sebagai bahan bangunan dapat diperoleh pada umur 3 – 5 tahun (Morisco, 2005). Untuk itu, diperlukan penelitian dan pengembangan agar pemanfaatannya menjadi optimal. Di dunia diperkirakan ada sekitar 1200 jenis bambu. Menurut Widjaja (2001) di Indonesia, jenis bambu yang sudah terdata ada 143 jenis, 60 jenis diantaranya tumbuh di Pulau Jawa. Ada beberapa jenis bambu yang biasa digunakan untuk konstruksi diantaranya: bambu
tali (Gigantochloa apus Kurz), bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea Widjaya), bambu gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea Widjaya) dan bambu duri (Bambusa blumeana Schultes). Dari jenis-jenis tersebut, bambu yang mudah didapat adalah bambu tali. Selain di Pulau Jawa, bambu tali juga ditemukan di Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah. Bambu tali banyak digunakan untuk bahan bangunan, seperti untuk dinding (anyaman), lantai, langit-langit dan rangka atap. Menurut penelitian Sulthoni (1988) dalam Morisco (2006), bambu tali tidak mudah diserang bubuk sekalipun tidak diawetkan, karena tidak banyak mengandung zat pati. Bentuk bambu yang berupa tabung dengan sekat-sekat yang disebut buku, mempunyai sifat mekanis yang khusus, dimana kekuatan pada daerah buku dan ruas berbeda. Kuat tarik bambu setara dengan kuat tarik baja, sementara kuat geser sejajar seratnya rendah, sehingga mudah pecah. Oleh karena itu, buluh bambu cocok jika digunakan untuk konstruksi rangka batang (Dewi, 2005). Kendala dalam pemanfaatan buluh bambu adalah membuat model sambungan bambu yang cukup kokoh terutama agar dapat menerima tarik;
padahal
pemanfaatan bambu dalam bentuk buluh, mempunyai nilai tambah, yaitu faktor estetika. Salah satu bentuk konstruksi adalah konstruksi rangka batang (truss). Pada konstruksi ini, komponen-komponen batang dihubungkan secara sendi, sehingga beban yang bekerja pada batang hanya gaya aksial tekan dan tarik. Saat ini konstruksi rangka batang, tidak hanya dalam bentuk bidang, seperti kuda-kuda, tetapi telah berkembang rangka batang ruang (space truss) seperti pada Gambar 1.1. Selama ini konstruksi rangka batang ruang dibuat dari bahan logam dalam bentuk pipa, baik pipa baja, ataupun stainless. Berdasarkan bentuk dan kekuatannya, diharapkan bambu dapat menjadi bahan pengganti pipa yang selama ini banyak digunakan. Jika konstruksi rangka batang ruang dapat dibuat dari bambu, maka faktor estetika menjadi nilai tambah, tanpa meninggalkan faktor kekuatan. Selain itu buluh bambu yang kelurusannya terbatas dapat dioptimalkan pemakaiannya, karena pada konstruksi rangka batang ruang, dipergunakan komponen-komponen yang relatif pendek, jika dibandingkan dengan bentangnya. Dalam konstruksi rangka batang ruang ada dua unsur utama, yaitu komponen batang yang menahan beban tarik atau tekan, serta alat sambung yang berfungsi untuk menggabungkan beberapa komponen sedemikian rupa hingga gaya-gaya batang yang timbul dapat berpotongan pada satu titik yang biasa disebut titik buhul. 2
Gambar 1.1. Konstruksi rangka batang ruang Selama ini rangka batang ruang pada umumnya dibuat dari bahan pipa logam, baik besi, baja maupun aluminium dimana ada beberapa alternatif sambungan titik buhul mulai dari sistim las, sambungan pelat dengan baut, serta sambungan bola (ball joint). Mengingat sambungan pada ujung-ujung komponen batang merupakan sambungan sendi, pada umumnya digunakan alat sambung berupa baut. Dengan sambungan ini, konstruksi rangka menjadi konstruksi prefabrikasi yang dapat dibongkar pasang (knock-down). 1.2. Identifikasi Masalah Dalam rangka pemanfaatan bambu tali sebagai komponen pada konstruksi rangka batang ruang, maka perlu diketahui sifat fisik dan mekaniknya sebagai dasar dalam perhitungan kekuatannya. Selama ini sudah banyak penelitian mengenai sifat fisik dan mekanik bambu, termasuk bambu tali, tetapi penelitian tersebut dilakukan dengan mengacu pada standar pengujian kayu yang dimodifikasi. Sementara saat ini sudah ada standar pengujian khusus untuk bambu yaitu ISO 22157-2004, tentang petunjuk pengujian sifat fisik dan mekanik bambu. Dalam pemanfaatan bambu sebagai komponen rangka batang ruang, maka beban yang akan diterima adalah beban tarik dan beban tekan. Dalam menerima gaya tekan, bambu sebagai batang yang langsing perlu diketahui perilakunya menghindari bahaya tekuk.
3
Pemanfaatan bambu untuk konstruksi rangka batang ruang harus juga memperhatikan beberapa kendala seperti kelurusan bambu yang terbatas, bentuk bambu yang mendekati bentuk tabung tirus (taper) dengan diameter yang tidak seragam serta adanya buku yang jaraknya bervariasi. Walaupun begitu bambu sebagai bahan bangunan mempunyai beberapa kelebihan, seperti: nilai estika, kuat tariknya yang cukup tinggi, massa jenis yang kecil dan momen inersianya cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu dipelajari cara memanfaatkan bambu untuk konstruksi rangka batang ruang termasuk merencanakan sambungan, sehingga setiap komponen rangka batang ruang dapat menahan beban tarik maupun tekan yang timbul. Selain itu panjang komponen, diameter komponen dan diameter alat sambung serta dimensi sambungan yang akan digunakan harus direncanakan dengan memperhatikan kekuatannya dalam menerima gaya-gaya batang yang timbul. 1.3. Perumusan Masalah Dari beberapa masalah yang ada, penelitian ini dibatasi pada tata cara penggunaan bambu sebagai komponen rangka batang ruang dengan menggunakan alat sambung baut yang dapat menahan beban tarik dan tekan. Untuk menganalisa kelayakan penggunaan buluh bambu sebagai komponen pada konstruksi rangka batang ruang, maka
dirancang beberapa model rangka batang ruang.
Dengan program analisa struktur, model-model tersebut dianalisa untuk mendapatkan besarnya gaya-gaya batang yang timbul. Besar gaya-gaya batang tersebut kemudian dibandingkan dengan kekuatan komponen. Adapun pembagian cakupan penelitian dan tahaptahap pelaksanaannya ditunjukkan dalam diagram alir (flow chart) pada Gambar 1.2. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini untuk mempelajari dan memberikan informasi teknis tentang penggunaan bambu tali sebagai komponen rangka batang ruang sederhana untuk struktur rangka atap. Ukuran rangka batang ruang dibatasi sampai ukuran 4 m x 4 m dengan 4 tumpuan serta 3 m x 4 m dengan tumpuan pada satu bidang. 1.5. Manfaat Penelitian Secara umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah dalam pemanfaatan buluh bambu tali sebagai bahan konstruksi pada umumnya dan konstruksi rangka 4
PERUMUSAN MASALAH Pemanfaatan Buluh bambu Tali sebagai komponen pada Konstruksi rangka Batang Ruang Studi Pustaka : -Sifat fisik dan mekanik bambu - model-model sambungan bambu - perhitungan rangka batang ruang
PENELITIAN SIFAT DASAR Bambu Tali > 3 tahun : - pemilahan berdasarkan diameter - pengeringan
Penelitian 1
Pengukuran Sifat fisik dan Mekanik Bambu Tali (Kerapatan, σtr max , σtk max, dan τ )
Analisa Perilaku Tekuk Bambu Tali
Penelitian 2
ANALISA STRUKTUR PERANCANGAN SAMBUNGAN Perenc beberapa model rangka ruang Analisa struktur dgn Program Analisa Struktur Evaluasi gaya-gaya batang terhadap kekuatan komponen
Penelitian 5
• • • • •
Identifikasi kebutuhan Analisa masalah Perancangan konsep Perancangan detail Analisa kekuatan
Penelitian 3
ANALISA KEKUATAN KOMPONEN • Perhitungan kekuatan komponen • Pembuatan komponen • Uji Kekuatan Sambungan
Penelitian 4
INFORMASI TEKNIS PENGGUNAAN BAMBU UNTUK RANGKA BATANG RUANG
Gambar 1.2. Diagram Alir Penelitian
5
batang ruang pada khususnya, yang memenuhi syarat fungsi, kekuatan dan keamanan tanpa meninggalkan faktor estetika. Secara khusus, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada masyarakat untuk : 1. Memanfaatkan bambu sebagai bahan bangunan alternatif untuk konstruksi rangka batang ruang sederhana yang estetis, seperti pergola, entrance, gazebo atau carport. Hal ini, karena selain ringan, juga dapat dilaksanakan secara prefabrikasi, sehingga memudahkan pemasangannya serta dapat dipindahkan jika perlu. 2. Pemanfaatan bambu sebagai komponen konstruksi rangka batang ruang, dengan kekuatan yang optimal sesuai dengan beban yang direncanakan.
1.6. Novelty Penelitian Selama ini pemanfaatan bambu belum dilengkapi dengan data mengenai perilaku tekuk bambu. Penelitian terhadap perilaku tekuk bambu tali memberikan gambaran tentang hubungan tegangan tekuk dengan kelangsingan batang dalam bentuk persamaan logaritma serta memberikan informasi mengenai pola-pola tekuk yang mungkin terjadi, jika tegangan kritisnya dilampaui. Perancangan detail sambungan dilakukan dengan penggunaan dua buah ring sebagai perantara untuk meratakan gaya yang bekerja, baik gaya tarik, maupun gaya tekan. Dimensi sambungan dapat
dianalisa secara mekanika sesuai dengan besarnya gaya batang yang
bekerja. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian aplikatif dengan menggunakan bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) berdiameter sekitar 4 cm dan sekitar 6 cm untuk konstruksi rangka batang ruang dalam bentuk-bentuk modul struktur rangka atap yang spesifik dengan panjang komponen 1 m dan 1,25 m yang selama ini belum pernah dilakukan.
6
2. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Bambu 2.1.1. Sifat-sifat Umum Menurut Widjaja (2001), bambu adalah tanaman yang termasuk keluarga Bambusoideae, salah satu anggota sub familia rumput-rumputan (Gramineae) yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis mulai dari lembah sampai perbukitan. Bambu mudah sekali dibedakan dari tumbuhan lain, karena batang bambu berbentuk tabung silinder dengan diameter sampai 30 cm dan panjangnya dapat mencapai 35 meter. Batang bambu umumnya berongga dan terbagi atas ruas (internode) yang dibatasi oleh buku (node). Percabangannya unik, karena setiap ruasnya bercabang. Pertumbuhan bambu sangat cepat. Pada masa pertumbuhan, bambu tertentu dapat tumbuh vertikal 5 cm/jam, atau 120 cm/hari. Pemanfaatan bambu perlu memperhatikan umurnya, karena makin tua umur bambu, makin besar berat jenisnya. Semakin besar berat jenisnya, semakin besar pula kekuatan mekaniknya. Menurut Sattar et al. (1991), berat jenis bambu maksimum dicapai pada umur 3 tahun, setelah itu berat jenisnya tidak bertambah lagi. Oleh karena itu, untuk penggunaan konstruksi pada umumnya digunakan bambu berumur 3 sampai 6 tahun yang dipotong segera setelah tumbuhnya tunas-tunas baru. Sebagai familia rumput-rumputan, penebangan batang bambu tidak akan mematikan rumpun. Rumpun tersebut dapat terus menghasilkan buluh-buluh baru. Dari sekitar 143 jenis bambu yang tumbuh di Indonesia diketahui sekitar 60 spesies diantaranya tumbuh di Pulau Jawa. Banyaknya bambu di Pulau Jawa, membuat pemanfaatan bambu sangat beragam. Bambu dimanfaatkan mulai dari akar hingga daun. Akar bambu pada umumnya dimanfaatkan untuk ukiran, sementara buluhnya untuk bahan bangunan, alat pertanian, kerajinan tangan, serta alat musik. Sementara daunnya digunakan untuk pembungkus makanan. Salah satu bambu yang tumbuh melimpah di Pulau Jawa
adalah bambu tali
(Gigantochloa apus Kurz). Bambu yang juga ditemukan di Burma ini, sering digunakan untuk konstruksi. Bambu tali tumbuh berumpun rapat. Buluhnya dapat mencapai 22 meter dengan bagian pangkal sampai tengah batang lurus dengan ujung batang melengkung. Percabangannya dimulai pada 1,5 m dari permukaan tanah, terdiri dari 5 – 11 cabang, satu
cabang lateralnya lebih besar dari yang lain. Buluh mudanya berbulu coklat, tetapi luruh ketika sudah tua dan berwarna hijau. Panjang ruasnya 20 – 60 cm dengan diameter 4 -15 cm dan tebal dinding sampai 15 mm. Daunnya berukuran 13-49 cm x 2 -9 cm (Widjaja, 2001).
2.1.2. Sifat Fisik dan Mekanik Bambu Tali Pemanfaatan bambu sebagai bahan bangunan perlu didukung oleh data tentang sifat fisik dan mekaniknya. Sifat fisik bahan bambu yang perlu diteliti meliputi berat jenis, kadar air dan kembang susut. Hal ini erat kaitannya dengan keadaan/temperatur udara, yang akan mempengaruhi kelembaban udara. Seperti halnya kayu, sifat mekanik bambu sangat dipengaruhi oleh kadar air pada waktu pengujian. Sifat-sifat mekanik bambu akan bertambah, seiring dengan turunnya kadar air, tetapi berkorelasi positif terhadap berat jenis (Dransfield dan Wijaya, 1995). Sifat mekanik menunjukkan kekuatan bahan dan merupakan ukuran kemampuan bahan untuk menahan beban. Agar suatu bahan dapat dipakai secara optimum, maka sifat mekanik bahan harus dipahami benar. Tanpa pemahaman sifat mekanik, pemakaian bahan dapat berlebihan, sehingga dari segi ekonomi menjadi boros, sedangkan pemakaian yang terlalu kecil akan membahayakan pemakainya. Bambu sebagai bahan alam, menurut Frick (2004), sifat fisik dan mekaniknya tergantung pada: jenis bambu, tempat tumbuh, umur bambu; waktu penebangan; kelembaban udara (kadar air kesetimbangan), dan bagian bambu yang diteliti (pangkal, tengah atau ujung serta bagian dalam atau bagian tepi/luar). Pengujian sifat fisik dan mekanik bambu telah dilakukan oleh banyak peneliti di dunia dan menjadi acuan penelitian selanjutnya. Salah satunya adalah hasil penelitian Janssen (1981)
yang menyusun hasil pengujian sifat fisik dan mekanik bambu berdasarkan
perbandingan antara tegangan terhadap massa jenisnya (G), dengan hasil sebagai berikut : Kuat tekan
: σ tk = 0,094 x G
Kuat lentur
: σl
Kuat geser
:
τg
= 0,14 x G = 0,021 x G
dimana : σ tk , σ l dan τ g dalam satuan N/mm2 dan G dalam kg/m3.
8
Di Indonesia, penelitian mengenai sifat fisis dan mekanis beberapa jenis bambu lokal telah dilakukan, salah satunya adalah hasil penelitian Syafi’i (1984) dalam Surjokusumo dan Nugroho (1994) yang meneliti 5 jenis bambu, yaitu bambu betung, bambu gombong, bambu kuning, bambu tali dan bambu sembilang. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Sifat fisik dan mekanik beberapa jenis bambu Sifat yang diuji 1. 2.
3. 4.
Berat Jenis Susut Volume (%) Bsh - KU KU - KT Susut tebal (%) Bsh - KU KU - KT Susut lebar (%) Bsh - KU KU - KT M O R (kg/cm2) M O E (kg/cm2)
5. 6.
Kuat Tekan // (kg/cm2) Kuat Tarik // (kg/cm2)
Betung
Jenis Bambu Gombong Kuning
Tali
Sembilang
0,61
0,55
0,52
0,65
0,71
10,62 4,99
12,36 4,96
11,29 4,74
12,45 4,6
11,05 4,49
6,02 4,3
7,94 5,75
4,31 5,47
5,83 5,32
3,04 7,03
4,81 4,83 1.638 131.192
6,58 5,96 1.356 98.294
3,19 4,19 1.148 76.205
6,3 3,6 -*) -*)
2,48 7,57 1.824 143.207
605 2.127
521 1.914
455 1.322
-*) 2.004
627 1.907
Sumber : Syafi’i (1984) dalam Surjokusumo dan Nugroho (1994) Keterangan : *) Tidak dapat dibuat spesimen percobaan karena dinding terlalu tipis.
Sementara sifat mekanik bambu tali yang dipanen pada umur 3 tahun menurut Widjaja dalam Dransfield dan Widjaja (1995) dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Sifat mekanik bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) Sifat Mekanik MOR (N/mm2)* Kuat Tekan (N/mm2) Kuat Geser (N/mm2) Kuat Tarik // (N/mm2)
dgn buku 102 24 7,68
Basah tanpa buku 71,5 23,5 5,99 294**)
Kering Udara dgn buku tanpa buku 87,5 74,5 37,5 33,9 7,40 7,65 299**)
Catatan : *) sampel berupa buluh bambu **) tidak ada keterangan sampel.
9
Kekuatan mekanis bambu sangat dipengaruhi oleh jumlah serat pada bambu. Penyebaran serat bambu bervariasi baik secara horizontal, maupun secara vertikal. Persentasi serat dibagian luar lebih banyak. Dalam arah vertikal jumlah serat makin ke atas makin bertambah (Liese, 1980). Nuryatin (2000) yang meneliti beberapa sifat dasar bambu, juga meneliti sampel bambu tali dengan variabel posisi vertikal sampel (pangkal, tengah dan atas) Adapun bambu tali yang digunakan berasal dari daerah Dramaga, dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Sifat fisik dan mekanik bilah bambu tali Sifat Dasar Pangkal Berat Jenis 0,37 Susut Tebal (%) 19,85 Susut Lebar (%) 19,19 2 Kuat Tekan// (kg/cm ) 302,06 2 Kuat Tarik// (kg/cm ) 1.312,79 MOE (kg/cm2)* 123.598 Sumber: Nuryatin (2000) Catatan : *) sampel berupa bilah bambu
Ujung 0,49 12,48 12,69 312,01 1.480,18 153.385
Rata-rata 0,43 16,16 15,94 307,03 1396,48 138.492
Serat bambu pada bagian buku tidak semua lurus, sebagian berbelok menuju sumbu batang, sebagian lagi menjauhi sumbu batang. Oleh karena itu, kuat tarik bambu pada bagian buku adalah bagian terlemah. Penelitian Morisco (2005) terhadap kuat tarik bambu tali memberikan nilai 151 MPa untuk kuat tarik sampel tanpa buku dan 55 MPa untuk sampel dengan buku. Selanjutnya, penelitian tersebut juga dilakukan untuk mengamati kuat tarik dan kuat tekan sampel yang dibedakan berdasarkan posisinya seperti dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Kuat tarik dan kuat tekan bambu tali Bagian Pangkal Tengah Ujung
Kuat Tarik (MPa) 144 137 174
Kuat Tekan (MPa) 215 288 335
Sumber : Morisco (2005) Pemakaian bambu sebagai bahan bangunan harus dirancang berdasarkan kekuatan bambu. Berdasarkan hasil pengujian bambu memberikan nilai yang bervariasi, maka dengan memperhitungkan faktor keamanan dapat diperoleh nilai tegangan ijin.
10
Penelitian yang dilakukan Purwito (1995) terhadap bambu tali yang berumur lebih dari 3 tahun selain memberikan hasil berupa kuat tekan, kuat tarik, kuat lentur dan MOE juga memberikan rekomendasi tegangan ijin, seperti dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Kuat tarik, kuat tekan, kuat lentur dan MOE bambu tali Sifat Hasil Penelitian Tegangan Ijin Mekanis (kg/cm2) (kg/cm2) 1.000 – 4.000 300 σtarik 250 – 1.000 80 σtekan 700 – 3.000 100 σlentur MOE 100.000 – 300.000 100.000 Sumber : Purwito (2005)
Tegangan Ijin (MPa) 29,20 7,84 9,81 9.806
Penelitian sifat mekanik bambu juga pernah dilakukan untuk meneliti tegangan lentur batas, regangan batas tarik dan modulus elastisitas lentur. Penelitian yang dilakukan oleh DPMB (1984) dalam Morisco (2006) menggunakan sampel bambu bebas cacat dengan sampel bambu kering udara dengan kadar air 10 -20%. Penelitian dilakukan menggunakan tiga jenis bambu, yaitu bambu tali, bambu temen dan bambu petung. Khusus nilai rata-rata hasil penelitian terhadap bambu tali dapat dilihat pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Nilai elastisitas bambu tali Besaran Teg batas lentur (MPa) Regangan batas tarik (x 10-6) Modulus elastisitas lentur (MPa) Modulus elastisitas tarik (MPa) Sumber : Morisco (2006)
Rata-rata dengan buku 80 7.099 5.751 8.908
tanpa buku 124 8.885 12.133 15.225
2.1.3. Keawetan dan Pengawetan Bambu Bambu pada umumnya mudah diserang jamur dan serangga (kumbang dan rayap). Keawetan bambu tergantung pada keadaan lingkungan, tetapi secara umum bambu yang tidak diawetkan dan berhubungan langsung dengan tanah dan tidak terlindung hanya dapat bertahan 1-3 tahun. Penggunaan bambu yang terlindung di bawah atap dapat bertahan 4 7 tahun atau bahkan lebih, tergantung pada penggunaan dan kondisinya. Bambu yang
11
digunakan dalam lingkungan ideal seperti untuk rangka atap dapat bertahan sampai lebih dari 10 – 15 tahun (Liese , 1980b). Keawetan alami bambu sangat tergantung pada beberapa faktor; di antaranya umur, waktu penebangan dan kandungan pati, cara penyimpanan dan pemakaian serta pengaruh iklim. Pada umumnya kerusakan bambu disebabkan oleh bubuk kayu kering. Menurut Nandika et al. (1994), jenis bambu yang kandungan patinya tinggi cenderung lebih disukai bubuk kayu kering. Untuk mendapatkan bambu yang kadar patinya rendah, upaya dapat dilakukan dengan mengatur waktu penebangan, yaitu pada saat kandungan patinya rendah. Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) pemanenan bambu harus dilakukan pada awal musim panas untuk menghindari serangan bubuk. Selanjutnya dijelaskan pula, untuk bambu tali yang tumbuh di Indonesia, waktu pemanenan yang terbaik adalah antara bulan Maret dan Oktober. Sementara menurut Morisco (2005), berdasarkan tradisi di Jawa waktu yang baik adalah antara akhir Maret sampai pertengahan Mei. Walaupun tidak diketahui alasannya, tetapi cara tersebut memberikan hasil yang baik. Berdasarkan hasil-hasil penelitian, semakin tinggi kandungan pati pada bambu, semakin tinggi pula kemungkinan bambu itu diserang kumbang bubuk.
Berdasarkan
penelitian Sulthoni (1988) dalam (Morisco, 2005), bambu ampel mempunyai kandungan pati yang sangat tinggi, sehingga cukup potensial diserang bubuk, sebaliknya bambu tali mempunyai kandungan pati yang rendah, sehingga kurang disenangi bubuk. Upaya pengawetan bambu dapat dilakukan baik dengan cara tradisional maupun secara kimia. Secara tradisional, biasanya setelah ditebang bambu direndam dalam air tergenang, air mengalir ataupun dalam lumpur selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Menurut Nandika et al. (1994), metoda tersebut dapat menurunkan kandungan pati dan cukup baik untuk mengurangi serangan bubuk tetapi tidak efektif terhadap serangan jamur dan rayap. Metoda itu mempunyai kelemahan; antara lain : memerlukan waktu yang lama, menyebabkan bambu berbau dan akan menurunkan kekuatan mekaniknya. Keterawetan bambu secara umum rendah dan tergantung pada jenis, umur dan kadar air buluh, metoda perlakuan dan jenis bahan pengawet. Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh anatomi struktur. Anatomi bambu berbeda dengan anatomi kayu yang berpengaruh terhadap cara pengawetannya. Vessel pada bambu arahnya axial dan terisolasi satu dengan 12
yang lainnya dan hanya berhubungan pada ruas. Selain itu bambu tidak mempunyai sel jarijari (Suardika, 1994). Oleh karena itu, dapat dianggap larutan pengawet hanya bergerak dalam arah vertikal. Bahan pengawet yang digunakan adalah bahan kimia yang beracun terhadap organisma perusak seperti: tembaga (Cu), chrom (Cr), flour (F) dan boron (Br). Bahan yang digunakan, biasanya sudah dalam bentuk formulasi khusus seperti: asam borat, borax, CCB ataupun CCF (Muslich, 2005). Ada beberapa metoda yang
biasa dilakukan untuk
mengawetkan bambu, mulai dari metoda rendaman, cara Boucherie dan metode pengawetan bambu Boucherie-Morisco (Morisco, 2005). 2.2. Rangka Batang Ruang 2.2.1. Tinjauan Umum Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan konstruksi yang ringan dan praktis, tetapi cukup kuat. Struktur ruang merupakan suatu bentuk yang berkembang dan menarik. Dibandingkan dengan struktur tradisional, yang merupakan konstruksi bidang, konstruksi ruang membutuhkan bahan yang lebih sedikit, sehingga lebih ringan dan ekonomis. Jika pada struktur bidang, semua elemen dibatasi tempatnya oleh sebuah bidang datar, maka pada konstruksi ruang, elemen tersebut dapat ditempatkan pada sembarang arah dalam ruang (Makowski, 1988). Struktur rangka batang ruang terdiri dari rangkaian batang sebagai komponen (members) dan alat sambungan (joint). Rangka batang ruang (space truss) sebagai suatu struktur ruang yang pada umumnya terbuat dari bahan pipa besi dengan konus, hexagon dan baut baja yang digabungkan menjadi satu dengan lainnya pada satu titik yang merupakan sambungan sendi (Gambar 2.1.). Rangka batang ruang pada umumnya digunakan sebagai rangka atap yang merupakan pengembangan dari struktur-struktur bidang, seperti kuda-kuda. Struktur ini terbuat dari komponen-komponen lurus dan didesain untuk mencakup daerah-daerah luas tanpa penumpu-penumpu antara. Rangka ini terdiri dari batang-batang yang digabungkan bersama pada setiap ujung yang stabil sebagai struktur tiga dimensi. Alat sambung yang biasa digunakan pada titik buhul; diantaranya: balljoint dan sambungan dengan pelat yang dibentuk khusus (Gambar 2.2.)
13
Gambar 2.1. Konstruksi rangka batang ruang untuk atap.
(a)
(b) Gambar 2.2. Alat sambung pada titik buhul. (a) ball joint dan (b) pelat .
Bentuk dasar dari suatu rangka batang ruang adalah segitiga. Bentuk segitiga ini dalam bentuk ruang tersusun dalam bentuk tetrahedron (Gambar 2.3.), yang dibentuk dari penyambungan enam batang dengan empat titik simpul (joint) dimana tetrahedron ini digunakan sebagai acuan untuk membuat suatu rangka batang ruang. Pada rangka batang ruang berbentuk persegi bangun rangka batang ruang biasa disusun dari bangun tetrahedron dan semi-oktahedron (Gambar 2.4.)
Gambar 2.3. Tetrahedron
Gambar 2.4. Semi-Oktahedron
Dalam menganalisa konstruksi rangka diasumsikan : elemen batang lurus, sambungan berupa sambungan sendi; beban dan reaksi hanya bekerja pada titik simpul dan merupakan 14
gaya tarik atau tekan, tanpa momen. Pada struktur rangka ruang, beban yang diterima disalurkan ke tiga arah sumbu yaitu sumbu x, y dan z, sebagai gaya yang harus diterima struktur rangka batang ruang. Gaya-gaya ini didistribusikan pada batang sedemikian rupa, sehingga yang timbul pada batang merupakan gaya tarik atau tekan, tanpa momen.
2.2.2. Analisa Gaya Batang pada Konstruksi Rangka Batang Ruang Dalam perencanaan struktur, kekuatan menjadi faktor yang penting, karena berkaitan dengan keselamatan. Untuk mengetahui apakah suatu dimensi cukup kuat, maka perlu diperhitungkan kekuatan bahan dan gaya-gaya yang bekerja pada masing-masing komponen akibat beban yang bekerja pada struktur secara keseluruhan. Dalam menganalisa gaya-gaya batang pada konstruksi rangka dikenal beberapa metode perhitungan seperti distribusi momen. Untuk perhitungan rangka batang dimana sambungan merupakan sambungan sendi, maka dapat digunakan cara free body. Metode-metode tersebut pada umumnya diterapkan pada bentuk struktur yang secara geometris bentuknya sederhana; yaitu bentuk struktur dua dimensi. Pada bentuk struktur ruang yang metoda tersebut sulit untuk diterapkan. Metoda lain yang dikembangkan kemudian adalah metode elemen hingga (finite element method). Metoda ini
dapat diterapkan pada berbagai bentuk struktur. Pada saat ini perhitungan
struktur dengan metode ini telah disusun menjadi program komputer yang akan sangat membantu dalam perhitungan analisa struktur; salah satunya adalah program SAP (Structural Analysis Program) Dalam program ini terdapat fasillitas untuk perencanaan bermacam material struktur, baik baja, beton, kayu maupun bahan lainnya. Untuk menjalankan program tersebut, selain perlu diketahui bentuk struktur yang direncanakan, diperlukan juga masukan mengenai besar-besaran fisik dan mekanik dari material yang akan digunakan. 2.2.3. Perhitungan Kekuatan Komponen 1. Komponen Tarik Perencanaan komponen tarik pada hakekatnya menentukan luas penampang lintang yang cukup untuk menahan beban yang diberikan. Komponen tarik tanpa lubang akan mencapai kekuataan maksimum bila semua serat penampang lintang batang meleleh, dengan kata lain distribusi tegangan tarik sudah merata pada penampang. Kekuatan itu bisa dinyatakan sebagai berikut : 15
Pu = σy. Ab Keterangan : Pu = Kekuatan maksimum (kg) σy = Tegangan leleh (kg/cm2) Ab = Luas penampang bruto (cm2) Untuk komponen tarik yang berlubang seperti akibat lubang paku keling atau baut, luas penampang lintang yang diredusir (luas netto) digunakan dalam perencanaan. Lubang pada batang akan menyebabkan penyebaran tegangan yang tidak merata. Kekuatan batang tarik yang berlubang bisa dituliskan sebagai berikut : Pu = σy. An Dimana : An adalah luas penampang lintang netto. Beban kerja yang aman P bisa dihitung dengan membagi kekuatan dengan faktor keamanan (safety factor, sf), maka :
P=
σ y . An =
sf
Dengan
σ tr
σ tr . An
.................................................................................... (2.1.)
sebagai tegangan ijin tarik untuk kondisi beban kerja.
2. Komponen Tekan Komponen tekan jarang sekali mengalami tekanan aksial saja. Jika suatu komponen mendapat gaya tekan, maka pada batas tertentu akan timbul kejadian tekuk pada komponen tersebut, beban kritis ini disebut beban tekuk dan dinyatakan dengan Pk. Namun bila pembebanan ditata sedemikian rupa hingga tekuk dapat diabaikan, maka komponen tekan dapat direncanakan dengan aman sebagai komponen yang dibebani secara sentris. Tegangan yang timbul tegangan tekuk σk (kg/cm2), sehingga pada suatu penampang dengan luas A (cm2) berlaku:
σk =
Pk ....................................................................................................... (2.2.) A
Kekuatan tekuk juga tergantung pada panjang tekuk (Lk) dan momen kelembaman batang minimal (Imin) dari penampang batang. Untuk perhitungan tekuk dimasukkan pula besaran-besaran berikut.
16
a.
Jari-jari kelembaman minimum ( i min) dari penampang A. i min =
I min ...................................................................................... (2.3.) A
b. Kelangsingan (λ) dari batang yang ditentukan oleh rumus :
Lk ≤ λ max imin
λ=
............................................................................................... (2.4.)
c. Menghitung tegangan tekan yang terjadi :
P < tegangan izin .............................................................. (2.5.) A
σtk = ω . Keterangan : σtk
= Tegangan tekan yang terjadi (kg/cm2)
λ max = Angka kelangsingan maksimum (tanpa satuan) ω
=
P
= Gaya tekan pada batang (kg)
A
= Luas Penampang (cm2)
Harga faktor tekuk (tanpa satuan)
3. Tekuk pada Komponen Tekan Pengamatan dapat dilakukan pada
dua buah tongkat (T1 dan T2) yang
mempunyai penampang `sebesar pensil. Jika tongkat T1 panjangnya 20 cm sementara tongkat T2 panjangnya 100 cm, Besarnya beban maksimum yang dapat diterima tongkat T1 akan lebih besar bila dibandingkan dengan beban maksimum T2. Tegangan pada alas kedua tongkat besarnya sama dengan beban dibagi luas penampang. Walaupun begitu keseimbangan tongkat sangat dipengaruhi oleh kelangsingannya. Besarnya tegangan pada tongkat tepat pada saat akan tertekuk disebut tegangan kritis, sedangkan besarnya gaya maksimum yang dapat diterima sebelum tongkat tertekuk disebut beban kritis (Pcr). Rumus Euler untuk komponen struktur yang mengalami tekan :
Pcr = σ cr =
π 2 .E.I Lk
2
=
π 2 .E. A.i 2 Lk
2
................................................................... (2.6.)
Pcr P.ω π 2 .E = = ..................................................................... (2.7.) 2 A (LK / i ) A
17
dengan : Pcr = Beban tekuk kritis E = Modulus elastis I
= Momen inersia minimum
Lk = Panjang tekuk (besarnya tergantung keadaan ujung batang ). A = Luas penampang i = Jari-jari kelembaman ω = Faktor tekuk
σ cr = Tegangan kritis Untuk konstruksi baja dan kayu, nilai-nilai ω sudah tersedia dalam bentuk tabel. Untuk konstruksi bambu, nilai ini harus dicari terlebih dahulu dengan mempelajari perilaku buluh bambu terhadap pengaruh tekan. 2.3. Sambungan Bambu Agar pemanfaatan bambu dapat optimal, maka dibutuhkan sambungan yang mampu memikul dan meneruskan gaya-gaya yang bekerja, setara dengan kemampuan buluh bambu. Bentuk bambu yang berupa silinder agak mengerucut dengan lubang di dalamnya serta sekatsekat
yang disebut buku, menjadi kendala dalam pembuatan sambungan, terutama
sambungan yang dapat menahan beban tarik. Sebenarnya sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengembangkan bentuk sambungan bambu, hanya saja pemakaiannya masih kurang mendapat perhatian. Secara umum sambungan bambu dapat dibagai menjadi dua kategori; yaitu: sambungan bambu tradisional dan sambungan bambu berdasarkan penelitian. 1. Sambungan Bambu Tradisional Sambungan tradisonal pada umumnya menggunakan paku, pasak dan tali untuk membuat sambungan. Pemakaian paku akan mengakibatkan bambu mudah terbelah, kecuali jika bambu dibor terlebih dahulu. Untuk menghindari belah digunakan tali pengikat yang kadang juga berfungsi sebagai aksen sambungan. Tali yang digunakan pada umumnya terbuat dari ijuk, rotan ataupun kulit bambu. Ada banyak sambungan bambu yang secara tradisional sering digunakan; antara lain : a.
Sambungan bambu dengan tali, paku ataupun pasak (Gambar 2.5.).
18
Sambungan ini mengandalkan geser antara bambu dengan tali, sehingga kembang susut bambu akan mempengaruhi kekuatan sambungan. Tali yang dipakai pada umumnya rotan, ijuk ataupun tali yang terbuat dari kulit bambu.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.5. Sambungan bambu dengan tali. (Sumber : (a) & (b) http://www.bambus\new\eng; (c) koleksi pribadi)
b. Sambungan Bambu dengan Lubang Untuk membuat sambungan ini, bambu dilubangi untuk memasukkan pen bambu ataupun bambu yang berdiameter lebih kecil. Sambungan ini dapat menahan tekan, tetapi lemah menahan tarik. Kerusakan sambungan ini akan terjadi karena geser (Gambar 2.6.). Makin besar lubang yang dibuat, makin besar pula perlemahannya.
(b)
pasak
(a)
Gambar 2. 6. Sambungan dengan lubang. (Sumber: (a) López, 1981; (b) http://www.bambus\new\eng)
19
2. Sambungan Bambu yang Didukung Penelitian Upaya untuk meningkatkan kekuatan sambungan bambu perlu didukung penelitian eksperimen, mulai dari sifat fisik dan mekanik bahan agar kekuatan sambungan dapat dianalisa. Penelitian eksperimen terhadap sambungan perlu dilakukan untuk mengamati perilaku sambungan yang dirancang. Ada berbagai bentuk sambungan yang
telah
dikembangkan, serta didukung oleh penelitian baik di Indonesia maupun mancanegara, di antaranya : a. Sambungan tarik Sambungan yang dikembangkan oleh Duff pada tahun 1941 (Janssen, 1981) dengan mengisi ujung bambu dengan kayu yang mengerucut dengan sebuah baut di dalamnya, sedangkan bagian luar bambu diberi ring yang terbuat dari logam (Gambar 2.7.). Dilaporkan, dengan menggunakan bambu berdiameter 64 mm, sambungan ini dapat menahan beban tarik sebesar 27 kN. Kayu pengisi Baut Ring logam Gambar 2.7. Sambungan tarik. (Sumber: http://www.bambus\new\eng)
b. Sambungan dengan pipa logam Untuk membuat sambungan ini, setiap ujung buluh diisi dengan pipa logam, kemudian diberi baut. Sambungan ini dikembangkan oleh Shoei Yoh pada tahun 1989 (Gambar 2.8.). Dengan adanya pipa di dalam bambu, buluh bambu tidak mudah pecah walaupun baut dikencangkan. Walaupun begitu jika terjadi beban tarik, maka akan terjadi geser.
20
Gambar 2.8. Sambungan dengan pipa. (Sumber: http://www.bambus\new\eng)
c. Sambungan dengan inti kayu Pada sambungan ini setiap ujung bambu diisi dengan silinder kayu dengan perekat yang bentuk ujungnya disesuaikan dengan kebutuhan (Gambar 2.9.) Selanjutnya untuk merangkai sambungan dapat dikerjakan dengan seperti mengerjakan sambungan pada konstruksi kayu. Jika diperlukan, pada bagian dalamnya dapat ditambahkan pelat besi sebagai alat sambung.
Gambar 2.9 . Sambungan Bambu dengan pengisi kayu. (Sumber : Villalobos, 1993)
d. Sambungan dengan penutup Sambungan ini dirancang agar gaya yang bekerja disalurkan melalui dinding luar bambu, melalui penutup pada ujung buluh. Agar perekat antara penutup dengan bambu dapat bekerja dengan baik, pada bambu bagian luar dibuat takikan melingkar. Ada dua penelitian yang menggunakan penutup sebagai alat sambung; yaitu: (1) Bruno Huber
21
Sambungan yang dikembangkan menggunakan penutup aluminium atau baja (Huber, 2005), sehingga penutup ini dapat dilubangi atau dilas ke bagian logam yang lain (Gambar 2.10a) (2) Albermani, et al. (2006) Sebagai alat sambung penutup yang pergunakan terbuat dari PVC dengan bentuk khusus
(Gambar
2.10b),
sedemikian
rupa
sehingga
dapat
disambungkan
menggunakan baut. Kegagalan sambungan ini terjadi pada PVC. Dengan menggunakan bambu Phyllostachy pubescen berdiameter sekitar 6 cm, dilaporkan beban tekan dan tarik maksimum yang dapat dicapai berturut-turut 2400 kg dan 900kg (Albermani et al., 2007).
(a)
(b)
Gambar 2.10. Sambungan dengan penutup. (Sumber: (a)Huber,2005; (b) Albermani,2007)
e. Sambungan untuk kuda-kuda (rangka batang) Rangka batang merupakan konstruksi yang secara tradisional sering menggunakan bambu. Untuk itu ada beberapa model sambungan yang telah dikembangkan; di antaranya : (1) Sambungan dengan pelat baja dan pengisi. Untuk membuat sambungan kaku digunakan pengisi dari mortar semen dan kayu dengan pelat buhul terbuat dari pelat baja (Gambar 2.11a). Dengan menggunakan bambu betung berdiameter 8 cm, kekuatan sambungan dapat mencapai 4 ton (Morisco, 1999) (2) Sambungan dengan pelat sambung dari papan kayu
22
Untuk kuda-kuda bambu prefabrikasi sambungan dibuat menggunakan pelat sambung papan dengan ketebalan 2 cm dengan baut φ 12 mm (Gambar 2.11b), dapat dibuat kuda-kuda dengan bentang 8 m (Purwito, 2007)
BETON
Beton
Resin
Kayu KAYU PENGISI
(a)
(b)
Gambar 2.11. Sambungan untuk kuda-kuda (sumber: (a) Morisco,1999; (b) koleksi pribadi) f. Sambungan dengan pengisi untuk konstruksi rangka batang ruang (space truss) Pengembangan sambungan ini pada umumnya mengacu pada penelitian yang dilakukan Duff (Gambar 2.7.) dengan beberapa penyempurnaan, di antaranya : sambungan yang dikembangkan oleh Tonges dengan menggunakan pengisi mortar semen dengan bagian luar buluh dililit dengan tambang stainless atau pita fiber glass (Gambar 2.12.). Dengan menggunakan bambu berdiameter 10,6 cm, dapat dibuat komponen rangka batang ruang sepanjang 2 m (Tönges, 2005)
Gambar 2.12. Sambungan bambu untuk komponen rangka batang ruang (sumber : koleksi pribadi)
g. Sambungan untuk menggabungkan beberapa buluh Pemakaian satu buluh bambu sebagai balok atau kolom kadang kala tidak memenuhi. Untuk itu perlu dilakukan usaha agar buluh bambu dapat digabungkan. Berbeda dengan
23
kayu yang dapat digabungkan dengan mudah, karena bentuknya berupa silinder penggabungan buluh bambu agar dapat bekerja sama perlu teknik tersendiri. Beberapa penelitian yang telah dilakukan : (1) menggunakan pita baja dengan bagian ujung diisi silinder kayu dengan batang baja ditengahnya (Gambar 2.13a). Jika perlu batang-batang baja ini dapat las. (2) menggunakan pasak berbaji (Gambar 2.13b). Dengan pasak berukuran 3 cm x 1 cm ini diperoleh gaya geser yang dapat diterima mencapai 3.000 kg, 3.300 kg dan 3.450 kg untuk pemasangan berturut-turut satu, dua dan tiga pasak (Gambar 2.13c). Penggunaan pasak berbaji yang terbuat dari bambu, selain bahannya mudah didapat, biaya ringan dan aplikasinya mudah (Bachtiar dan Surjono, 2005).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.13. Sambungan untuk menggabungkan beberapa buluh. (Sumber : (a) Villalobos,1993 ; (b) & (c) koleksi pribadi)
Selain itu, masih banyak model-model sambungan lain yang telah dikembangkan, terutama di mancanegara seperti Jerman, Australia, Belanda dan Columbia.
24
3. SIFAT FISIK DAN MEKANIK BAMBU TALI 3.1. Pendahuluan Analisa teoritis dan hasil eksperimen mempunyai peranan yang sama pentingnya dalam mekanika bahan (Gere dan Timoshenko, 1997). Teori digunakan untuk menurunkan rumus dan persamaan untuk memprediksi perilaku bahan. Walaupun begitu, teori hanya dapat digunakan dalam desain praktis jika besaran fisik bahan diketahui. Besaran ini diperoleh dari hasil eksperimen di laboratorium. Bambu sebagai bahan alami mempunyai sifat fisik dan mekanik bervariasi, baik karena pengaruh jenis, tempat tumbuh maupun karena pengaruh umur. Selain itu, dalam satu batang bambu pun terdapat variabilitas, baik secara vertikal (pangkal, tengah, ujung) maupun secara horizontal (kulit/luar, dalam) serta pengaruh keberadaan buku. Dalam perencanaan bambu sebagai komponen rangka batang ruang, perlu dihitung
gaya-gaya yang bekerja pada masing-masing batang bambu sebagai
komponen dalam struktur yang direncanakan. Agar gaya-gaya batang dapat dihitung secara teliti, maka digunakan program analisa struktur. Untuk menjalankan program ini diperlukan masukan
berupa besaran sifat fisik dan mekanik material yang akan
digunakan; seperti : kerapatan, kuat tekan, kuat tarik dan modulus elastistitas. 3.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan mekanik bambu tali yang meliputi : kerapatan, kadar air, penyusutan kuat tekan, kuat tarik, kuat geser, dan modulus elastisitas, sebagai dasar pada perhitungan analisa struktur dan perancangan dimensi sambungan. 3.3. Bahan dan Metode 3.3.1. Bahan dan Alat Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) berumur lebih dari 3 tahun yang tumbuh di daerah Depok. Mengingat buluh bambu tali cenderung lurus pada bagian pangkal sampai tengah dengan ujungnya melengkung (Gambar 3.1.a.), maka bagian yang cocok dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan adalah buluh bambu bagian pangkal sampai tengah yang cenderung lurus. Berdasarkan hal tersebut penelitian yang dilakukan hanya meneliti bambu bagian pangkal dan tengah saja dengan pengambilan sampel seperti pada Gambar 3.1.b.
1m ( tengah) 2m 1m ( pangkal) 1 ruas tidak digunakan
(b) Posisi sampel pada batang (a) Bentuk rumpun Gambar 3.1. Bambu tali serta pengambilan sampel. Alat yang digunakan untuk pengujian sifat fisik diantaranya timbangan dengan ketelitian 0,01 gram, jangka sorong dan oven. Untuk pengujian sifat mekanik dipakai UTM (Universal Testing Machine) merk Instron dengan kapasitas 5000 kgf. 3.3.2. Metoda Pengujian dilakukan dengan berpedoman pada Standar ISO, yaitu ISO 221572004, tentang petunjuk pengujian sifat fisik dan mekanik bambu. Sampel dibuat menggunakan bambu dalam keadaan kering udara dengan 5 (lima) ulangan untuk masing-masing pengujian. Untuk mengukur kadar air dan penyusutan, sampel dikeringkan dalam oven dengan suhu 103+20C selama 24 jam (sampai mencapai berat tetap). Adapun bentuk dan ukuran sampel dapat dilihat pada Gambar 3.2.
26
300
100
300
20
10
1:20
(a)
h=D
h=D
D
D
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 3.2. Sampel pengujian sifat dasar. (a) Sampel uji tarik (ukuran dalam mm); (b) sampel uji tekan tanpa buku (c) sampel uji
tekan dengan buku; (d) sampel uji geser melalui tekan; (e) sampel uji geser melalui tarik
Untuk menghitung kerapatan, kadar air dan penyusutan, sesuai dengan ISO 22157-2004, digunakan persamaan di bawah ini : ρ (g/cm3) = KA (%) =
B KT ............................................................................................(3.1.) V KU
BKU − BKT x100% .....................................................................(3.2.) BKT
Penyusutan (% )=
L0 − L1 x100% ................................................................(3.3.) L0
dengan : ρ
= Kerapatan bambu (g/cm3)
BKT
= Berat kering tanur (g)
BKU
= Berat kering udara (g)
VKU
= Volume kering udara (cm3)
KA
= Kadar air (%)
L0
= Dimensi awal (mm)
L1
= Dimensi akhir (mm)
27
Untuk menghitung tegangan geser, tegangan tarik, tegangan tekan digunakan persamaan 3.4. dan modulus elastisitas dihitung
menggunakan persamaan 3.5. di
bawah ini : σ=
Fult ...............................................................................................(3.4.) A
E=
σ 80 − σ 20 ...................................................................................(3.5.) ε 80 − ε 20
dengan : σ
= Tegangan (MPa)
Fult = Gaya maksimum (N) A
= Luas penampang bambu (mm2)
E
= Mmodulus elastisitas (MPa) l − l0 = Regangan (tanpa satuan) = l0 = Tegangan yang merupakan 80% dari σult
ξ σ80
σ20 = Tegangan yang merupakan 20% dari σult ε80
= Regangan pada saat σ80
ε20
= Regangan pada saat σ20 3.4. Analisa data 3.4.1. Sifat Fisik Bambu Tali
Untuk hasil pengujian sifat fisik, data masing-masing sifat dianalisis dengan statistik deskriptif sederhana yang meliputi nilai rataan, maksimum, minimum, standar deviasi dan koefisien variasi. Hasil pengujian ini dan analisanya disajikan dalam bentuk tabel. 3.4.2. Sifat Mekanik Bambu Tali Hasil pengujian mekanika, pada tahap awal dianalisa secara statistik deskriptif sederhana dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Selanjutnya data yang dianggap dapat mewakili populasi, dianalisa berdasarkan AC 162 (Acceptance Criteria for Structural Bamboo) yang dikeluarkan oleh ICBO (International Conference for
28
Building Official) pada tahun 2000 di California. Untuk mendapatkan nilai kekuatan rencana (S), digunakan rumus :
S=
B Ca
B= (m-K.SD).DOL ......................................................................................(3.7.) dengan : B = Tegangan karakteristik m
= Tegangan rata-rata
K
= Faktor dari tabel 3 ASTM D2915
SD = Standar deviasi DOL = Faktor akibat pembebanan (Duration of Loading) 1 untuk beban tetap 1,25 untuk beban sementara 1,5 untuk beban angin dan gempa Ca
= Faktor keamanan (Tabel 3.1)
Nilai K yang akan digunakan dalam perhitungan dipilih untuk tingkat kepercayaan 75% dengan nilai persentil 5%, sedangkan faktor keamanan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Faktor keamanan untuk masing-masing besaran mekanik Besaran Faktor Keamanan Modulus Elastisitas 1,00 Kuat Tarik 2,25 Kuat tekan 2,25 Kuat lentur 2,25 Kuat geser 2,25 Sumber : International Conference of Building Official (2000) 3.5. Hasil dan Pembahasan 3.5.1. Sifat Fisik Bambu Tali 1. Kerapatan Pengujian kerapatan bambu tali yang berumur 3 tahun yang berasal dari daerah Depok dilakukan terhadap volume kering udara dan berat kering tanur. Hasil pengujian kerapatan terhadap sampel bagian pangkal dan bagian tengah dapat dilihat pada Tabel
29
3.2. dan hasil tersebut memperlihatkan kerapatan bambu bagian tengah lebih besar sekitar 15 % dari kerapatan bambu bagian pangkal. Tabel 3.2. Kerapatan bambu tali Ρrataan(g/cm3) ρmax(g/cm3) ρmin(g/cm3) SD CV (%) Sampel Tengah 0,77 0,86 0,69 0,06 8,01 Pangkal 0,66 0,78 0,60 0,07 11,02 Gabungan 0,71 0,86 0,60 0,08 11,69 Catatan : SD =standar deviasi, CV=koefisien variasi, n= jumlah sampel
n 5 5 10
Nilai kerapatan yang diperoleh lebih besar dari nilai kerapatan hasil penelitian Syafi’i (1984) dalam Surjokusumo dan Nugroho (1994) yang mendapatkan nilai kerapatan sebesar 0,65 g/cm3. Demikian juga dibandingkan dengan hasil penelitian Nuryatin (2000) yang memperoleh nilai kerapatan bagian pangkal dan bagian ujung berturut-turut sebesar 0,365 g/cm3 dan 0,496 g/cm3. Baik penelitian Syafi’i maupun Nuryatin menggunakan sampel bambu tali yang berasal dari Dramaga, Bogor. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa kerapatan bagian pangkal lebih kecil dari kerapatan bagian atas. Untuk perhitungan struktur digunakan nilai kerapatan sampel gabungan yaitu 710 kg/m3 (setara dengan 0,71 g/cm3) 2. Kadar Air Pengujian kadar air dilakukan untuk melihat banyaknya air yang terkandung pada bambu dalam keadaan kering udara. Berdasarkan hasil pengujian terlihat bahwa kadar air kering udara pada bambu bagian tengah sedikit lebih besar dari kadar air kering udara pada bambu bagian pangkal, seperti ditampilkan pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Kadar air kering udara pada bambu tali Sampel KArataan(%) KAmax(%) KAmin(%) SD CV(%) n Tengah 12,15 13,52 10,90 0,87 7,13 6 Pangkal 12,20 12,69 11,42 0,61 5,00 6 Catatan : SD =standar deviasi, CV=koefisien variasi, n= jumlah sampel
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan dugaan Janssen (1981) yang memperkirakan bahwa pada kelembaban relatif (RH) 90 % kadar air kering udara bambu sekitar 12,7%. Demikian juga jika dibandingkan dengan penelitian Nuryatin
30
(2000) yang mendapatkan kadar air bagian pangkal dan ujung berturut-turut 13,93 % dan 12,02%. Sementara Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan kadar air kering udara bambu tali 15,19 %. 3. Penyusutan Bambu sebagai hasil alam merupakan bahan anisotropis, oleh karena itu penelitian penyusutan bambu dilihat dari tiga arah, yaitu arah tebal, arah diameter dan arah longitudinal. Seperti halnya kayu, penyusutan bambu arah longitudinal sangat kecil (tidak mencapai 1 %), baik untuk bagian pangkal, maupun bagian tengah, sementara penyusutan diameter baik untuk bagian pangkal, maupun bagian tengah nilainya sekitar 3 %. Berdasarkan hasil pengamatan, penyusutan tebal pada bambu bagian pangkal merupakan penyusutan terbesar yaitu sebesar 3,6 %, seperti terlihat pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Penyusutan bambu tali pada berbagai arah. Sampel Pangkal
Tengah
Arah tebal diameter longitudinal tebal diameter longitudinal
rataan (%) 3,65 3,60 0,14 2,25 3,46 0,12
Max (%) 4,62 4,37 0,22 3,23 3,89 0,20
Min (%) 2,79 2,97 0,11 1,37 2,95 0,10
SD 0,87 0,58 0,05 0,71 0,40 0,05
CV(%) 23,88 16,17 35,60 31,54 11,66 37,44
n 5 5 5 5 5 5
Catatan : SD =standar deviasi, CV=koefisien variasi, n= jumlah sampel
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa susut sampel bagian pangkal lebih besar daripada susut pada bagian tengah, sedangkan susut tebal dinding bambu tali dari kering udara ke kering tanur untuk bagian pangkal dan bagian tengah berturut-turut 3,65 % dan 2,25 %. Nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian Nuryatin (2000) yang mendapatkan susut tebal bagian pangkal dan ujung berturut-turut 19,85 % dan 12,48%, tetapi tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Syafi’i (1984) yang meneliti penyusutan bambu tali (tanpa membedakan bagian pangkal ataupun ujung) mendapatkan susut tebal kering udara ke kering tanur sebesar 5,32 %. Seperti halnya pada kayu, penyusutan longitudinal baik pada sampel bagian pangkal maupun pada sampel bagian tengah sangat kecil.
31
3.5.2. Sifat Mekanik 1. Kuat Tarik Berdasarkan hasil pengujian didapat nilai kuat tarik maksimum sebesar 421 MPa yaitu pada sampel pangkal sebelah luar tanpa buku. Sementara nilai kuat tarik terkecil terdapat pada sampel tengah bagian dalam dengan buku yaitu sebesar 34 MPa. Nilai kuat tarik masing-masing kelompok sampel dan variabilitasnya dapat dilihat pada Tabel 3.5. Secara umum, variasi nilai kuat tarik pada berbagai kelompok sampel dapat dilihat pada Gambar 3.3. Tabel 3.5. Kuat Tarik sampel pada berbagai posisi Sampel*) PL0 PL1 PD0 PD1 TL0 TL1 TD0 TD1
σrataan (MPa) σmax(MPa) σMin(MPa) 404,41 163,25 144,30 41,99 359,32 148,61 176,91 32,99
540,16 186,46 178,66 62,63 380,75 154,67 213,01 39,60
356,39 150,20 116,93 33,11 327,15 140,60 149,76 27,92
SD (MPa)
CV(%)
n
σrenc (MPa)
77,28 13,43 30,87 11,81 22,89 6,75 24,38 5,89
19,11 8,23 21,39 28,14 6,37 4,54 13,78 17,86
5 7 5 5 5 5 5 5
95,10 57,85 30,33 5,72 134,63 58,66 51,92 8,21
Catatan : SD =standar deviasi, CV=koefisien variasi, n= jumlah sampel *) P= pangkal, T= tengah, L= luar, D= dalam, 0= tanpa buku, 1= dengan buku
Hasil penelitian yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Nuryatin (2000) yang memperoleh kuat tarik pangkal dan ujung berturut-turut 1.312 kg/cm2 dan 1.480 kg/cm2 yang setara dengan 129 MPa dan 145 MPa.
Kuat tarik (MPa)
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 sampel dg buku sampel tanpa Buku
404 359
177
144 163
148 42
Luar Dalam PANGKAL
33 Luar TENGAH
Dalam
Gambar 3.3. Kuat tarik maksimum rataan pada berbagai kelompok sampel 32
Berdasarkan data yang diperoleh, maka selanjutnya untuk perhitungan struktur dihitung nilai kuat rencana dengan menggunakan Persamaan 3.7. Nilai kuat tarik maksimum bambu didapatkan pada sampel bagian pangkal luar tanpa buku. tegangan maksimum yang didapat 540 MPa lebih besar dari tegangan leleh baja. Nilai terendah tegangan tarik maksimum didapat pada bagian tengah dalam dengan buku, yaitu 28,92 MPa. Nilai ini < 10% nilai tegangan tarik maksimum. Mengingat bahwa dalam pemakaian, sebagian bambu bagian dalam dibuang, maka untuk perhitungan digunakan nilai tegangan tarik rencana bagian luar yang terkecil. Berdasarkan hasil perhitungan nilai ini terdapat pada sampel bagian pangkal tanpa dengan buku yaitu 57,85 MPa. Selanjutnya untuk perhitungan analisa struktur digunakan nilai tegangan tarik rencana sebesar 57,8 MPa. Pada semua kelompok sampel nampak dengan jelas bahwa nilai tegangan tarik bambu akan berkurang lebih dari 50 % jika terdapat buku, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.3. Hal ini mungkin disebabkan arah serat pada daerah buku tidak semua lurus, karena sebagian serat berbelok ke dalam, dan sebagian kecil berbelok ke luar. Dalam pembuatan sampel uji tarik dibuat daerah kritis yang luas penampangnya kecil (Gambar 3.2.a.). Diharapkan, kerusakan akibat beban tarik terjadi pada daerah kritis, yaitu sampel putus pada daerah tersebut. Pada pengujian yang dilakukan, putusnya sampel pada daerah kritis seperti pada Gambar 3.4. tidak terjadi pada semua sampel.
Gambar 3.4. Sampel putus pada daerah kritis.
Kuat tarik bambu bagian dalam yang lebih kecil akan mengakibatkan rusaknya sampel tidak seragam; seperti terlihat pada Gambar 3.5, dimana pada daerah kritis sebelah dalam sudah putus, sementara bagian luar belum.
Gambar 3.5. kerusakan pada daerah kritis
33
Besarnya variasi mengakibatkan permasalahan dalam pengujian tarik. Kerusakan yang terjadi tidak selalu pada daerah kritis, seperti yang diharapkan. Kerusakan dapat terjadi pada berbagai tempat seperti pada Gambar 3.6, dimana kerusakan terjadi pada daerah buku atau mengarah pada buku, seperti pada Gambar 3.7. Pada keadaan ini, kerusakan pada daerah kritis terjadi, bukan karena tarik, tetapi karena geser.
Gambar 3.6. Kerusakan sampel pada daerah buku
Gambar 3.7. Kerusakan sampel bukan pada daerah kritis.
Karena tegangan geser bambu sangat kecil bila dibandingkan dengan kuat tariknya, maka dalam pembuatan sampel, harus diusahakan agar sampel dibuat sepanjang mungkin hingga bidang gesernya sebesar mungkin. Selanjutnya untuk perhitungan struktur, nilai tegangan tarik rencana yang akan digunakan : σ
tarik
= 57,8 MPa ( ≅ 589,8 kg/cm2).
2. Kuat Tekan Bentuk bambu yang berupa tabung dengan sekat-sekat yang disebut buku, mempunyai sifat mekanis yang khusus, terutama untuk pengujian tekan. Sebagai silinder berdinding tipis, untuk pengujian tekan murni harus dihindari terjadinya tekuk, seperti pada Gambar 3.8. Untuk itu tinggi sampel harus diperhatikan, sesuai dengan standar ISO sampel yang diuji mempunyai tinggi sama dengan diameter luar.
34
Gambar 3.8. Tekuk pada silinder berdinding tipis.
Pada pengujian tekan yang dilakukan pada buluh bambu kering udara (KA= 12,3 %), diperoleh bahwa tegangan tekan maksimum terjadi pada sampel
bagian
tengah tanpa buku yaitu 50,35 MPa. Kuat tekan sampel terkecil sebesar 35,01 MPa, terjadi pada sampel bagian pangkal dengan buku, seperti dapat dilihat pada Tabel 3.6. Tabel 3.6. Kuat tekan buluh bambu σmax σrataan σMin SD CV Sampel*) (MPa) (MPa) (MPa) (MPa) (%) P0 41,21 47,41 36,37 5,04 12,24 P1 37,96 42,92 35,01 3,71 9,76 T0 46,80 50,35 42,41 2,92 6,24 T1 45,84 52,17 42,61 3,33 7,27 *) P=pangkal, T = tengah, 0 = tanpa buku, 1= dengan buku
Kuat Tekan (MPa)
50 40
Kuat Tekan Bam bu Tali 47 41 38
n 5 5 6 6
σrenc (MPa) 12,79 12,81 17,60 16,72
46
30 20 10 0 Pangkal
tanpa buku
Tengah
dgn sam bukupel
Gambar 3.9. Pengaruh buku terhadap kuat tekan buluh bambu. Berdasarkan pada Gambar 3.9., terlihat bahwa keberadaan buku pada sampel, baik pada buluh bagian tengah, maupun buluh bagian pangkal jelas terlihat memperkecil kuat tekan sampel, walaupun tidak terlalu besar. Pada bagian pangkal, keberadaan buku memperkecil kuat tekan sekitar 8 %. Pada bagian tengah, keberadaan
35
buluh memperkecil kekuatan tekan sekitar 2 %. Hal ini erat kaitannya dengan posisi dan panjang serat. Pada bagian ruas bambu, serat lebih panjang dan arahnya lurus (Suranto, 2006), sementara pada bagian buku seratnya lebih pendek dan arahnya sebagian tegak lurus sumbu batang. Dari hasil pengujian kuat tekan dengan membedakan sampel yang berasal dari pangkal dan tengah terlihat bahwa sampel bagian tengah lebih kuat dari sampel bagian pangkal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan peneliti sebelumnya dan erat kaitannya dengan panjang seratnya, terutama karena seratnya makin ke atas makin panjang. Selanjutnya untuk perhitungan struktur, nilai kuat tekan rencana yang digunakan: σ
tk
= 12,7 MPa ( ≅ 129,6 kg/cm2).
3. Kuat Geser Sesuai dengan tujuan awal penelitian sifat dasar, yaitu untuk mencari besaran sebagai masukan dalam perhitungan, maka kuat geser yang diperlukan adalah kuat geser longitudinal dalam bidang tangensial. Hal ini perlu dicermati, karena bambu merupakan bahan yang bersifat anisotropis. Oleh karena itu, pengujian terhadap kuat geser dengan standar ISO N22157.-2004, tidak sesuai untuk digunakan karena pengujiannya dilaksanakan terhadap bidang radial, seperti pada Gambar 3.10.
Gambar 3.10. Pengujian geser bambu berdasarkan ISO. Untuk itu pada pengujian geser, pembuatan sampel tidak dilakukan sesuai standar ISO, tetapi mengacu pada cara pengujian geser kayu (Gambar 3.2.d.) dan standar pengujian kayu lapis (Gambar 3.2.e.). Hasil pengujian kuat geser dari kedua metoda tersebut mendapatkan hasil, seperti terlihat pada Tabel 3.7. 36
Tabel 3.7. Kuat geser rataan Sampel
τrataan(MPa)
τ Max
τ Min
SD
CV(%)
n
Tkn Trk
8,46 8,43
9,69 9,46
7,92 7,10
0,66 1,07
7.90 12.70
6 6
τ renc.(MPa) 3,02 2,53
Baik pengujian geser yang dilakukan melalui tekan (mengacu pada pengujian geser kayu) maupun pengujian geser yang dilakukan melalui tarik (mengacu pada pengujian kayu lapis) kuat geser yang dihasilkan tidak menunjukkan perbedaan. Jika dibandingkan dengan hasil pengujian kuat menurut Dransfield dan Widjaja (1995) pada Tabel 2.2., pada keadaan kering udara tanpa buku, kuat geser bambu tali rataan adalah 7,65 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa kuat geser bambu tali memang sangat kecil. Pada pengujian geser yang dilakukan melalui tekan, benda uji dibuat dengan tambahan kayu yang direkatkan pada bagian sebelah luar (kulit) dan sebelah dalam, seperti pada Gambar 3.11. Hal ini mengingat tebal bambu yang relatif tipis, sementara yang akan diukur adalah kuat geser pada bidang tangensial pada posisi setengah tebal dinding bambu. P Bidang Geser Bambu Kayu pelapis Gambar 3.11. Detail benda geser uji geser tekan. Dalam pembuatan benda uji, harus diperhatikan agar bagian yang ditekan (bagian pendek) harus merupakan bagian kulit. Jika bambu bagian dalam yang ditekan, maka kerusakan yang terjadi bukan akibat geser, tetapi akibat tekan pada bagian dalam, seperti pada Gambar 3.12a. Hal ini menunjukkan bahwa kuat tekan bambu bagian dalam sangat kecil, sementara pengujian kuat tekan bambu pada umumnya dilakukan terhadap buluh bambu, sehingga tidak terlihat kuat tekan bambu bagian luar dan kuat tekan bambu bagian dalam.
37
(a)
(b) Gambar 3.12. Kerusakan sampel uji geser (a) akibat tekan bambu bagian dalam; (b) pada uji geser tarik
Pengujian kuat geser longitudinal pada bidang tangensial lebih mudah dilakukan dengan uji geser tarik, karena selain pembuatan sampel lebih mudah, umumnya kuat tarik bambu jauh lebih besar dari kuat gesernya. Untuk perhitungan struktur selanjutnya nilai kuat geser rencana ( τ ) yang digunakan nilai : τ
rencana =
2,5 MPa ( ≅ 25,5 kg/cm2).
4. Modulus Elastisitas Modulus elastisitas merupakan nilai yang menunjukkan perbandingan tegangan dan regangan, dimana tegangan adalah gaya persatuan luas penampang dan regangan adalah perbandingan perubahan dimensi dengan dimensi awal. Dengan mengetahui nilai elastisitas, dapat diketahui perubahan panjang yang akan terjadi, karena pengaruh beban yang bekerja. Sebagai contoh, kolom beton atau baja jika dibebani gaya tekan akan mengalami deformasi. Dalam hal ini, timbul perpendekan. Hanya saja, karena deformasi yang timbul kecil, maka tidak terlihat secara kasat mata. Jika gaya yang bekerja tidak melebihi batas tertentu, maka deformasi akan hilang setelah gaya dihilangkan (Timoshenko dan Goddier, 1994). Dalam mengamati modulus elastisitas pada penelitian ini dilakukan dengan pengujian modulus elastisitas tekan. Hal ini mengingat bahwa sebagai komponen rangka batang ruang, maka bambu akan menerima gaya tekan atau tarik saja. Setelah dilakukan pengujian tekan serta perhitungan tegangan dan regangan pada berbagai taraf
38
beban, diagram tegangan dan regangan dapat digambarkan. Pada umumnya sumbu X menggambarkan regangan dan sumbu Y menunjukkan tegangan (Gambar 3.10.). Diagram ini memberikan infomasi tentang besaran mekanis dan perilaku bahan. σ D
σ Ult σ luluh
B C
Batas proporsional
O
A
Daerah elastis
Daerah plastis
ε
Gambar 3.13. Diagram tegangan-regangan Diagram tegangan dan regangan biasanya dimulai dengan garis lurus (garis OA). Hal ini menunjukkan hubungan tegangan dan regangan pada daerah ini linier dan proporsional. Kemiringan garis ini menunjukkan modulus elastisitas. Tegangan pada titik A disebut batas proporsional. Dengan meningkatnya tegangan hingga melewati batas proposional, maka regangan meningkat secara lebih cepat (garis A-C), dan pada daerah ini bahan tidak lagi elastis, tetapi plastis. Setelah melewati tegangan luluh (titik D) bahan akan mengalami kerusakan. Tegangan maksimum terjadi pada daerah ini dan biasa disebut tegangan ultimate (titik D). Diagram Tegangan-Regangan Dalam pengujian dengan UTM merk Instron terdata besar gaya yang bekerja dan besarnya defleksi yang terjadi secara periodik. Dengan membagi besarnya gaya yang bekerja dengan luas penampang akan diperoleh besarnya tegangan secara periodik. Luas penampang sampel dihitung dengan mengasumsikan sampel berupa silinder berlubang, termasuk pada sampel dengan buku. Diameter dan tebal dinding, masing-masing diukur pada empat tempat dan dalam perhitungan digunakan rataan hasil pengukuran.
39
Berdasarkan pada data hasil pengujian (gaya, deformasi dan dimensi buluh) dan perhitungan tegangan dan regangan, maka hubungannya dapat dilihat pada Gambar
TEG (kg/cm2)
3.14, 3.15 dan Gambar 3.16. 600 500 400
h=D
300 200
D
100 0 0 T1K01 T1K04
5 T1K02 T1K05
10 T1K03 T1B06
15 20 reganganI (0.1%)
Gambar 3.14. Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian tengah tanpa buku. 600
TEG(kg/cm2)
500 400
h=D
300 200
D
100 0 0
T1K12
5
T1K13
10
T1K14
15 20 regangan (0.1%)
TEGANGAN (kg/cm2)
Gambar 3.15. Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian tengah dengan buku. 700 600 500 400
h=D
300 200 P1K01 P1K03 100 P1K04 0 P1K05 0 P1B06
D 5
10
15
20
regangan (0.1%)
Gambar 3.16. Diagram tegangan-regangan pada sampel bagian pangkal tanpa buku.
40
Dari gambar diatas terlihat bahwa garis linier baru terbentuk setelah regangan mencapai sekitar 0,5%., karena terjadinya penyesuaian kedudukan sampel (setting-up). Pada Gambar 3.14., terlihat
bahwa walaupun penyesuaian tidak seragam, tetapi pada daerah linier
kemiringannya cenderung seragam. Pada Gambar 3.15, sampel yang digunakan merupakan sampel yang mengandung buku, tetapi dalam perhitungannya luas penampang yang dihitung adalah luas penampang silinder berlubang. Sementara pada Gambar 3.16, pengujian sampel
P1B06 dihentikan sebelum tegangan ultimate tercapai karena telah mendekati kapasitas alat. Berdasarkan perhitungan dengan persamaan di atas, nilai E yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3.8. di bawah ini. Tabel 3.8. Nilai modulus elastisitas bambu tali Emax (MPa) 13.845
Emin (MPa) 10.519
SD
CV(%)
n
Tengah tanpa buku
Erataan (MPa) 12.418
1.596
12,85
5
Etekan (MPa) 8.485
Tengah dgn buku
12.234
13.261
10.784
1.291
10,56
3
9.051
Pangkal tanpa buku Keseluruhan
10.283 11.616
11.433 13.845
9.446 9.446
1.005 1.617
9,77 13,92
5 13
7.806 8.368
Kelompok sampel
14.000 12.000 10.000
12.419
12.235
8.000
10.284
E (MPa)
6.000 4.000 2.000 0 Tengah tanpa buku Tengah dgn buku Kelom pok Sam pel
Pangkal tanpa buku
Gambar 3.17. Nilai rataan elastisitas tekan (E). Nilai rataan keseluruhan sampel diperoleh E = 11.616 MPa. Dengan memperhitungkan standar deviasi menggunakan persamaan 3.7., maka nilai E untuk perhitungan struktur selanjutnya digunakan nilai 8.300 MPa. Berdasarkan uji t terhadap kesamaan dua rataan elastisitas pada sampel bagian tengah tanpa buku dan sampel bagian tengah dengan buku menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh keberadaan buku terhadap nilai elastisitas tekan bambu. Perbedaan nilai elastis secara
41
nyata terjadi antara sampel bagian tengah dengan sampel bagian pangkal (keduanya tanpa buku). Berdasarkan nilai elastisitas rataan ada kecenderungan nilai elastisitas bambu bagian tengah 20% lebih besar dari elastisitas bambu bagian pangkal. 3.6. Kesimpulan Berdasarkan data hasil perngujian dan analisanya, untuk perhitungan struktur selanjutnya akan digunakan nilai-nilai : 1. Nilai kerapatan digunakan kerapatan sampel gabungan yaitu 0,71 g/cm3 2. Kadar air kering udara bambu pada bambu bagian pangkal dan bagian tengah, berturut-turut 12,69 % dan 13,52 %. 3. Penyusutan bambu tali dari keadaan kering udara ke kering oven, pada arah tebal dinding dan diameter sekitar 3 %, sementara susut arah longitudinal di bawah 1 %. Nilai ini berlaku baik pada pangkal maupun pada bagian tengah. 4. Nilai tegangan tarik yang akan digunakan dipilih σrencana terendah pada sampel bagian luar, yaitu pada sampel pangkal bagian luar dengan buku yang nilainya :
σrenc = 57,8 MPa. 5. Tegangan tekan rencana yang akan digunakan adalah tegangan tekan sampel terkecil yaitu sebesar 12,7 MPa, terjadi pada sampel bagian pangkal tanpa buku. 6. Tegangan geser rencana longitudial pada bidang tangensial : τrenc= 2,5 MPa. 7. Nilai rataan modulus elastis yang akan dipergunakan untuk keseluruhan sampel diperoleh : E = 11.616 MPa. Dengan memperhitungkan standar deviasi serta menggunakan faktor keamanan =1, maka digunakan nilai E = 8.300 MPa.
42
4. PERILAKU TEKUK BAMBU TALI 4.1. Pendahuluan Dalam bidang konstruksi secara garis besar ada dua jenis konstruksi rangka, yaitu konstruksi portal (frame) dan konstruksi rangka batang (truss). Pada konstruksi portal, baik portal bidang, maupun portal ruang, komponen-komponennya dihubungkan secara jepit, sehingga beban yang diterima batang berupa beban tarik, tekan dan momen. Pada konstruksi rangka batang, komponen-komponennya dihubungkan melalui sambungan sendi, sehingga komponen-komponennya hanya menerima beban tarik atau tekan tanpa momen. Konstruksi rangka batang ruang sebagai pengembangan dari konstruksi rangka batang bidang. Pada umumnya komponen yang menerima beban tekan disebut batang tekan dan komponen yang menerima beban tarik disebut batang tarik. Batang tekan merupakan bagian yang cukup penting dalam perhitungan konstruksi, karena perhitungan batang tekan tidak hanya tergantung pada luas penampang dan kuat tekannya saja. Kekuatan batang
tekan harus memperhitungkan bentuk
penampang serta panjang batang. Pada batang pendek, dimana tidak ada kemungkinan terjadi tekuk, kehancuran terjadi akibat dilampauinya tegangan tekan ijin bambu. Pada batang tekan yang panjang, kekuatan batang tergantung bukan hanya pada tegangan tekan, tetapi juga pada modulus elastisitas, panjang batang dan dimensi penampang. Pada batang yang panjang, kegagalan dapat terjadi, walaupun tegangan ijin belum terlampaui. Kerusakan ini terjadi karena tekuk. Pada konstruksi baja dan konstruksi kayu, untuk menghitung besarnya gaya tekuk yang dapat diterima suatu batang dilakukan dengan memasukkan faktor tekuk yang sudah tersedia dalam bentuk tabel. Pada konstruksi bambu, tabel tersebut belum tersedia, sehingga perlu dilakukan penelitian khusus mengenai perilaku tekuk bambu.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kelangsingan batang bambu tali dengan gaya tekan maksimum yang dapat diterima. Dengan memperhitungkan faktor keamanan akan dibuat grafik kecenderungan
hubungan antara kelangsingan
batang dengan tegangan tekuk ijin. Selanjutnya, dibuat tabel yang memuat faktor tekuk
(ω) untuk masing-masing kelangsingan batang (λ) yang akan menjadi dasar perhitungan tekuk pada batang tekan bambu, terutama bambu tali.
Bahan dan Metoda Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) berumur lebih dari tiga tahun yang berasal dari daerah Depok, dengan diameter luar 40 + 5 mm dan 60 + 5 mm dengan panjang masing-masing 50 cm, 70 cm dan 90 cm. Setiap perlakuan menggunakan 8 ulangan. Peralatan yang digunakan adalah gergaji, jangka sorong dan pita ukur serta blangko dan alat tulis. Pengujian gaya kritis dilakukan dengan menggunakan alat Universal Testing Machine merk Baldwin, di Laboratorium Keteknikan Kayu, Fakultas Kehutanan IPB. Metodologi 1. Pengukuran Setelah sampel selesai disiapkan, dilakukan pengukuran
dimensi bambu
sesuai dengan standar ISO: N22157.-2004 (Laboratory Manual on Testing Methods for Determination of Physical and Mechanical Properties of Bamboo) yang meliputi : -
Pengukuran panjang (L), masing-masing sampel diukur panjangnya di empat tempat, lalu dirata-ratakan
-
Pengukuran diameter luar (D), empat kali pada masing-masing sampel; yaitu dua kali pada masing-masing ujung, nilainya kemudian dirata-ratakan.
-
Pengukuran diameter dalam (d) dilakukan empat kali pada masing-masing sampel; yaitu dua kali pada masing-masing ujung, kemudian nilainya dirataratakan
Berdasarkan data panjang batang, diameter luar dan diameter dalam dapat dihitung luas penampang (A), momen inersia (I), jari-jari kelembaman (r) serta angka kelangsingan (λ) dengan persamaan :
44
A=
I= r=
λ=
1 π ( D 2 − d 2 ) .............................................................................. (4.1.) 4 1 π ( D 4 − d 4 ) ............................................................................... (4.2.) 64 I A
L r
..............................................................................
(4.3.)
...............................................................................
(4.4.)
2. Pengujian Tekuk
Pengujian tekuk dilakukan dengan meletakkan buluh bambu dalam posisi tegak kemudian sampel diberi beban tekan dengan kecepatan konstan sampai mencapai beban maksimum. Beban maksimum yang terjadi, tepat sebelum batang tersebut mengalami tekuk dicatat sebagai beban kritis (Pcr). Untuk melihat pola tekuk yang terjadi, pembebanan dapat dilanjutkan. 3. Perhitungan Tegangan Kritis
Tegangan kritis didefinisikan sebagai tegangan tekan maksimal rata-rata terhadap luas penampang. Tegangan kritis merupakan hasil bagi beban kritis terhadap luas penampang. Selanjutnya tegangan kritis digambarkan dalam grafik terhadap kelangsingan batang (λ). Analisa Data 4.4.1. Panjang Tekuk (Lk)
Pola tekuk suatu batang sangat tentukan oleh jenis tumpuan pada ujung-ujung batang tersebut. Untuk itu dalam perhitungan struktur, panjang tekuk harus dihitung berdasarkan jenis tumpuan, karena panjang tekuk besarnya tidak selalu sama dengan panjang batang, seperti dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada konstruksi rangka batang ruang serta pada proses pengujian tekuk di laboratorium, tumpuan pada kedua ujung batang merupakan tumpuan sendi, seperti pada Gambar 4.1.(a). Hal ini berarti panjang tekuk (Lk) sama dengan panjang batang yang diuji. 45
Lk =0,7 L
Lk = L
Lk = L/2 Lk =2 L
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.1. Panjang Tekuk (Lk) dengan tumpuan yang berbeda-beda. (Sumber : Popov, 1984)
4.4.2. Persamaan Euler dan Pembatasannya
Pengujian perilaku tekuk bambu dilakukan untuk mengetahui beban tekan maksimal yang dapat ditahan oleh batang langsing. Analisa dilakukan dengan rumus Euler:
Pcr = σcr =
π 2 .E.I Lk
2
........................................................................................... (4.6.)
Pcr π 2 .E.I = 2 A Lk . A
dengan : σcr = Tegangan kritis (kg/cm2) Pcr = Gaya tekan maksimum (kg) E = Modulus elastisitas (kg/cm2) L = Panjang tekuk (cm) r
= Jari-jari inersia (cm)
I = Momen inersia (cm4) A = luas penampang (cm2)
46
Dengan mensubstitusikan Persamaan (4.3.) ke dalam Persamaan 4.6, maka diperoleh Persamaan :
σcr = karena λ =
π 2 .E Lk
2
.r 2 ......................................................................................... (4.7)
L , maka Persamaan (4.7.) dapat dituliskan, sebagai berikut : r
σcr =
π 2 .E .............................................................................................. (4.8.) λ2
Dari persamaan di atas terlihat bahwa untuk menurunkan rumus-rumus Euler untuk tekuk, dipergunakan nilai modulus elastisitas (E). Hal ini menunjukkan bahwa dalam perhitungan tekuk, diasumsikan bahwa batang tekan tersebut berada dalam keadaan elastis. Mengingat bahwa perhitungan nilai E
diperoleh dengan melihat
perbandingan tegangan dan regangan (strain) dalam keadaan proposional, maka Persamaan 4.8. hanya berlaku pada keadaan yang hubungan tegangan dan regangannya linier. Dari Gambar 4.2.(b) terlihat bahwa nilai λminimal terjadi pada keadaan saat tegangan mencapai tegangan maksimal proposional yaitu pada titik A dalam Gambar 4.2.(a).
λbatas Gambar 4.2. (a) diagram tegangan-regangan, (b) tegangan kritis terhadap kelangsingan
47
Dalam mempelajari bahan pada keadaan elastis, maka perlu diperhatikan hukum Hooke tentang hubungan tegangan dan regangan (ε). Dengan melihat Persamaan 4.8. bersama dengan Hukum Hooke, maka : Persamaan (4.8.) σcr
π 2 .E = 2 λ
σ p = ε .E
Hukum Hooke
π 2 .E ε .E = 2 λ π2 ε= 2 λ
Sehingga Hukum Hooke dapat dituliskan sebagai berikut :
π2 σ p = 2 .E , sehingga diperoleh angka kelangsingan λ
λbatas = π .
E
σp
................................................................................. (4.9.)
Daerah A-C pada Gambar 4.2.(a) juga merupakan daerah elastis yang tidak linier, oleh karena itu pada daerah itu persamaan Euler tetap berlaku, tetapi nilai E berubah-ubah dan dapat dinyatakan sebagai garis singgung pada grafik tegangan-regangan. Nilai ini biasa dinyatakan sebagai Et yang nilainya berubah-ubah, sehingga persamaan Eulernya dapat dinyatakan dalam persamaan :
σcr =
π 2 .Et λ2
............................................................................ (4.10.)
Pada daerah tersebut nilai σcr dapat digambarkan sebagai garis lengkung R-S pada gambar 4.2.(b). Selanjutnya pada tiang pendek tidak terjadi tekuk. Rumitnya persamaan tegangan kritis untuk kolom menengah dan pendek, menimbulkan banyak persamaan pendekatan, baik untuk baja, aluminium maupun kayu. Pendekatan tersebut pada umumnya mengarah pada hubungan σcr terhadap λ berbentuk linier. Salah satunya adalah persamaan Tetmayer yang digunakan untuk batang pendek dan menengah. Pada perhitungan konstruksi kayu di Indonesia Persamaan Tetmayer dan Euler digunakan dalam mendesain batang tekan. Dengan menggunakan batasan angka
48
kelangsingan 100, maka persamaan untuk menghitung tegangan kritis yang biasa digunakan :
σ cr = σ tk − 2λ
untuk 0 < λ < 100 ....................................................... (4.11.)
π 2 .E = 2 λ
untuk λ > 100 .......................................................... (4.12.)
σ cr
4.4.3. Tegangan tekuk ijin
Tegangan tekuk ijin yang dijadikan dalam perhitungan diperoleh dengan menggunakan persamaan yang biasa digunakan yaitu :
σ cr . ijin =
σ cr faktorkeamanan .keamanan Faktor
................................................................ (4.13.)
Berbeda dengan perhitungan tegangan ijin umumnya yang menggunakan angka konstan untuk faktor keamanan, pada perhitungan tegangan tekuk ijin digunakan faktor keamanan yang berbeda-beda yang besarnya tergantung pada angka kelangsingan (λ). Pada daerah dimana λ ≤ λbatas, nilai faktor keamanannya konstan. Selanjutnya untuk daerah λ > λbatas, digunakan nilai yang berubah-ubah. Pada konstruksi kayu di Indonesia, dengan mengasumsikan λbatas = 100, nilai faktor keamanan untuk λ ≤ 100 digunakan nilai faktor keamanan = 3,5. Selanjutnya, untuk λ >100, digunakan nilai yang bertambah secara linier, sehingga nilai faktor keamanan untuk λ = 250, faktor keamanan = 5. Secara grafis nilai faktor keamanan dapat
Faktor Kemanan
dilihat pada Gambar 4.3. 5 4 3 2 0
50
100
150
200
250
L/r
Gambar 4.3. Nilai Faktor keamanan terhadap kelangsingan (l/r = λ)
4.4.4. Faktor Tekuk
Dalam perhitungan konstruksi, untuk menghitung besarnya gaya tekuk yang dapat dipikul, digunakan persamaan : 49
σ cr =
P.ω ≤ σ tk dengan : P = Gaya tekan ........................................................ A
(4.14.)
ω = Faktor tekuk Pada perhitungan kayu dan baja, dimana biasanya digunakan kolom yang langsing (λ kecil), nilai ω dapat dicari dari tabel yang tersedia berdasarkan nilai λ. Untuk mempermudah perhitungan batang tekan pada konstruksi bambu perlu dibuat tabel nilai ω untuk masing-masing nilai λ. Nilai ω merupakan perbandingan antara tegangan tekuk ijin terhadap besarnya tegangan tekan ijin. Dalam perhitungan konstruksi kayu nilai ω dibatasi hanya sampai λ = 150, oleh karena itu dalam perhitungan faktor tekuk analisa dibatasi sampai pada batas tersebut. 4.5. Hasil dan Pembahasan 4.5.1. Tegangan Kritis berdasarkan Hasil Penelitian
Pengujian tekuk dilakukan menggunakan sekitar seratus sampel dengan kelangsingan yang berbeda-beda. Angka kelangsingan diperoleh berdasarkan perhitungan dengan Persamaan 4.4. dengan memasukan dimensi masing-masing sampel (data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9). Berdasarkan perhitungan data yang diperoleh besarnya beban kritis serta dimensi batang, diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Teg Kritis (MPa)
70 60 50 40 30
y = -7,902Ln(x ) + 60,003
20
R2 = 0,633
10 0 0
20
40
60
L/r
80
Gambar 4.4. Tegangan kritis pada berbagai kelangsingan (n = 121) Pada Gambar 4.4. terlihat walaupun secara umum data menyebar, tetapi terlihat kecenderungan bahwa dengan semakin langsing batang, tegangan kritisnya akan semakin kecil. Berdasarkan data pengujian tekuk (Lampiran 9, halaman 107 dan 108) diketahui
50
tegangan kritis terbesar sebesar 44,4 MPa diperoleh pada sampel berdiameter 6 cm dan panjang batang 50 cm dengan λ= 24,61. Tegangan kritis terkecil sebesar 13,3 MPa diperoleh pada sampel berdiameter 4 cm dan panjang batang 90 cm dengan λ = 71,28. Untuk melengkapi data dalam pembuatan garis kecenderungan (trend line) tegangan kritis terhadap kelangsingan, dimasukkan juga data hasil pengujian tekan (Bab 3.); yaitu dua belas sampel uji tekan dipergunakan dengan enam sampel tingginya sama dengan ukuran diameter luar dan enam sampel tingginya dua kali diameter luar. Sampel uji tekan ini mempunyai angka kelangsingan yang berkisar 3,22 sampai 71, 2. Garis kecenderungan yang diperoleh y = -7,9 . Ln(x) + 600 menunjukkan adanya kecenderungan menurunnya tegangan kritis dengan makin besarnya angka kelangsingan batang, dengan nilai R2= 0,633, yang berarti koefisien keragamannya 0,79. 4.5.2. Tegangan Kritis berdasarkan Analisa
Dalam menghitung tegangan kritis secara analitis, maka diperlukan data mengenai tegangan tekan dan modulus elastisitas bambu tali yang diperoleh dari penelitian sifat dasar. Adapun data yang dipergunakan meliputi : a) Tegangan tekan proporsional. Nilai ini diperlukan untuk menghitung batas kelangsingan antara penggunaan Persamaan Euler dengan Persamaan Tetmayer. Nilai yang dipergunakan adalah tegangan maksimum ijin, yaitu 12,7 MPa. (Tabel 3.6.). b) Tegangan tekan karakteristik. Nilai ini dipergunakan untuk menghitung tegangan kritis berdasarkan Persamaan Tetmayer. Mengingat nilai tegangan kritis ini masih belum memperhitungkan faktor keamanan, maka nilai tegangan tekan yang digunakan bukan nilai tegangan tekan ijin, tetapi nilai tegangan tekan karakteristik yang dihitung dengan Persamaan 3.7. Berdasarkan persamaan tersebut, maka diperoleh nilai σtk karateristik = 37,97 – 2,464 x 3,71 = 28,7 MPa. c) Modulus elastistitas (MOE). Nilai modulus elastis digunakan untuk menghitung batas kelangsingan dan tegangan kritis. Nilai MOE yang dipakai adalah nilai keseluruhan yaitu 8.368 Mpa. (Lihat Tabel 3.8) Untuk menghitung tegangan kritis, langkah pertama adalah menghitung batas kelangsingan dengan Persamaan 4.9.
51
E
λbatas = π .
σp
= π
8368 = 80 12,7
Setelah diperoleh nilai batas kelangsingan, maka tegangan
kritis dapat
dihitung dengan menggunakan Persamaan Euler pada λ ≥ λbatas, sedangkan pada daerah λ < λbatas digunakan Persamaan Tetmayer. Pada titik potong yaitu pada λ = 80 dengan kedua persamaan diperoleh nilai tegangan kritis = 12,7 MPa. Teg (MPa)
30 25 20 15 10 5 0 0 50 P/A (MPa)
100 150 200 Teg Tekuk Ijin (MPa) L/r
250
Gambar 4.5. Hubungan tegangan kritis terhadap kelangsingan (analitis)
4.5.3. Faktor Tekuk (ω)
Penentuan faktor tekuk dapat dihitung dengan dua cara, yaitu: (a) secara analitis mengacu pada perhitungan faktor tekuk pada konstruksi kayu yang hasilnya dapat dilihat pada kolom 2 (ωanalitis) Tabel 4.1. (b) dengan mengacu pada hasil penelitian empiris terhadap perilaku tekuk bambu (kolom 3 pada Tabel 4.1.) Dengan menggunakan nilai kuat tekan ijin bambu 12,7 MPa, maka besarnya tegangan tekuk ijin berdasarkan perhitungan analitis dan berdasarkan perhitungan empiris dapat dilihat Gambar 4.6. Dari grafik tersebut terlihat bahwa hasil penelitian empiris cukup aman untuk digunakan, karena pada semua daerah tegangan tekuk ijin lebih kecil dari P/A.
52
Tabel 4.1. Faktor tekuk pada berbagai angka kelangsingan L/r 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
ωanalitis ωempiris 1,13 1,18 1,22 1,27 1,32 1,38 1,44 1,51 1,59 1,68
L/r 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
1,06 1,20 1,30 1,38 1,45 1,51 1,57 1,62 1,67 1,72
ωanalitis ωempiris 1,77 1,88 1,99 2,13 2,28 2,46 2,78 3,12 3,47 3,85
1,76 1,81 1,85 1,89 1,93 1,97 2,01 2,05 2,08 2,12
L/r 105 110 115 120 125 130 135 140 145 150
ωanalitis ωempiris 4,30 4,79 5,31 5,86 6,44 7,06 7,72 8,41 9,13 9,90
2,15 2,19 2,22 2,26 2,29 2,32 2,35 2,39 2,42 2,45
Teg tekuk (MPa)
50 40 30 20 10 0 0
15
30
Ptkn analitis (MPa)
45
60
75
90 105 120 135 150
Ptkn empiris (MPa)
L/r
Gambar 4.6. Hubungan tegangan tekuk ijin terhadap kelangsingan. Selanjutnya dalam perhitungan kekuatan, akan digunakan faktor tekuk berdasarkan hasil penelitian empiris.
4.5.4. Gaya Tekan Kritis (Pcr)
Berdasarkan persamaan 4.12. setelah nilai faktor tekuk (ω) diketahui, besarnya gaya tekan yang dapat diterima buluh bambu dapat dihitung dengan persamaan :
Pcr =
σ tkn . A ..................................................................................(4.15.) ω
Dengan nilai ω yang tergantung dari angka kelangsingan dengan melihat tabel 4.1.
53
4.5.5. Berbagai Bentuk Tekuk
Bentuk tekuk yang terjadi dapat diamati dengan terus melakukan penambahan beban setelah beban maksimal (Pkritis) tercapai. Dari pengamatan visual yang dilakukan tampak bahwa ada berbagai kemungkinan pola tekuk yang dapat terjadi, seperti dapat dilihat pada Gambar 4.7.
(a)
(b) (c) (d) Gambar 4.7. Berbagai pola tekuk yang terjadi
(e)
Pada Gambar 4.7.(a) tekuk yang terjadi sesuai dengan teori tentang silinder berdinding tipis, dimana pada sampel ini tidak terdapat buku di tengah. Sementara pada Gambar 4.7.(b) dan (d) walaupun tidak terdapat buku di tengah sampel, tekuk yang terjadi pada daerah sekitar 1/3 tinggi sampel bukan tekuk lokal (local buckling). Sampel pada Gambar 4.7.(c) batang bambu melendut di sekitar buku. Pada sampel Gambar 4.7.(e) buluh bambu belah pada bagian ujungnya. Pada Gambar 4.7. (a), (b) dan (e) terlihat dengan jelas bahwa sampel belah. Berdasarkan hasil pengamatan serta sesuai dengan teori, bahwa walaupun pada awalnya buluh bambu lurus, jika beban kritis telah terlewati, maka buluh bambu akan mengalami tekuk, dengan proses tekuk seperti yang ditunjukkan pada foto seri (Gambar 4.8).
54
Gambar 4.8. Proses terjadinya tekuk (foto seri/periodik)
4.6. Kesimpulan
Berdasarkan analisa perhitungan dan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan : 1. Berdasarkan hasil perhitungan teoritis dengan mengacu pada Fonrobert et al. (1960) didapat batas kelangsingan batang λ =80 dimana λ < 80 dapat digunakan persamaan Euler, sedangkan jika λ > 80 dapat digunakan persamaan Tetmayer. 2. Berdasarkan penelitian empiris terhadap sekitar 100 sampel diperoleh hubungan antara nilai tegangan kritis terhadap angka kelangsingan yang merupakan fungsi: y = -7,9.Ln (x) + 60, dimana y = tegangan kritis dan x = angka kelangsingan. 3. Dengan membandingkan antara hasil analisa perhitungan analitis (mengacu pada Fonrobert et al.) dan hasil analisa terhadap hasil penelitian, terlihat bahwa data hasil penelitian memberikan hasil yang lebih besar dari nilai analitis, maka hasil analitis aman untuk digunakan dalam perhitungan struktur. 4. Untuk angka kelangsingan λ < 50, nilai ωanalitis < ωempiris dan untuk λ > 50, nilai ωanalitis > ωempiris .
55
5. PERANCANGAN SAMBUNGAN BAMBU 5.1. Pendahuluan Hasil penelitian tentang sifat fisik dan mekanik bambu yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa bambu, khususnya bambu tali, cukup baik untuk digunakan sebagai bahan konstruksi. Agar pemanfaatan bambu dapat optimal, maka dibutuhkan sambungan yang mampu menerima dan meneruskan gaya-gaya yang bekerja, setara dengan kekuatan buluh bambu. Dalam pemanfaatan bambu sebagai komponen rangka batang ruang, sambungan memegang peranan penting, mengingat konstruksi ini merupakan konstruksi yang terdiri dari komponen-komponen yang relatif pendek, sehingga memerlukan banyak sambungan. Selain itu bentuk sambungan harus dirancang secara khusus, karena satu titik buhul merupakan pertemuan dari banyak batang. Perancangan adalah suatu proses yang berawal dari timbulnya kebutuhan manusia. Oleh karena itu, hasil perancangan harus diusahakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk itu kebutuhan harus didefinisikan dalam suatu formulasi masalah. Berdasarkan masalah tersebut, kemudian dicari solusi-solusi yang mungkin yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Pada dasarnya perancangan terdiri dari serangkaian kegiatan yang berurutan, sehingga merupakan suatu proses. Dalam pelaksanaannya proses perancangan memanfaatkan berbagai ilmu seperti: ilmu teknik, pengetahuan empirik, hasil-hasil penelitian dan informasi serta teknologi yang terus berkembang (Gambar 5.1.). Proses perancangan selalu diawali dari suatu kebutuhan akan suatu fungsi. Dalam hal ini, perancangan diarahkan untuk menciptakan sambungan bambu yang dapat dimanfaatkan sebagai sambungan pada konstruksi rangka batang ruang. Pengetahuan proses perancangan
Kebutuhan
Produk
Sambungan yang dapat menahan tarik & tekan
(bentuk sambungan) • • •
Mekanika Pengetahuan bahan Bentuk2 sambungan
Gambar 5.1. Proses perancangan
5.2. Tujuan Perancangan Perancangan ini bertujuan untuk mencari dan menemukan bentuk serta cara menghitung dimensi sambungan bambu untuk komponen rangka batang ruang yang dapat menahan gaya tekan dan tarik pada konstruksi rangka atap. 5.3. Ruang Lingkup Perancangan Pada perancangan ini dibatasi penggunaan pada bambu tali (Gigantochloa apus Kurz) dengan diameter 4 cm dan diameter 6 cm untuk konstruksi rangka atap yang berukuran 3 m x 5 m dengan empat tumpuan dan panjang komponen yang seragam, seperti
4 x 1m
Gambar 5.2.
Keterangan gambar : Batang atas Batang diagonal Batang bawah Tumpuan
3x1m
Daerah titik buhul dengan 8 komponen
Gambar 5.2. Rangka atap yang direncanakan
5.4. Bahan dan Metode 5.4.1. Bahan Bahan yang digunakan adalah bambu tali (Gigantocloa apus Kurz) berumur 3 - 5 tahun yang berasal dari daerah Sawangan dengan diameter 4,0 – 4,5 cm dan 6,0 – 6,5 cm. 5.4.2. Metodologi Sambungan merupakan bagian paling kritis dalam suatu struktur, karena sambungan harus dapat meneruskan beban. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil perancangan sambungan yang optimal, perancangan perlu dilakukan dengan teliti secara bertahap. Adapun tahap-tahap perancangan (Harsokoesoemo, 2000) yang biasa dilakukan 57
meliputi lima tahap yaitu :1)Identifikasi kebutuhan; 2) Analisa masalah; 3) Perancangan konsep; 4) Evaluasi dan 5) Perancangan detail. Selain itu, proses perancangan juga tidak dapat terlepas dari kegiatan penelitian lain, seperti dapat dilihat pada Gambar 5.3. di bawah ini. Studi Literatur : • Sifat fisik & mekanik Bambu • Sambungan-sambungan Bambu • Rangka batang ruang
Penelitian Pendahuluan : • Sifat fisik & mekanik bambu tali • Perilaku tekuk bambu tali
Perancangan Sambungan
-
Identifikasi kebutuhan Analisa masalah Perancangan konsep Evaluasi konsep
Perhitungan Struktur Rangka Batang Ruang 3 m x 4 m Gaya-gaya batang : gaya tekan dan tarik maksimal
Perancangan Detail Analisa Mekanika Sambungan DIMENSI SAMBUNGAN
Gambar 5.3. : Bagan alir tahapan proses perancangan
5.5. Tahap-tahap Perancangan Sambungan 5.5.1. Identifikasi Kebutuhan Sambungan yang direncanakan merupakan sambungan untuk struktur rangka batang ruang, sehingga harus memenuhi : 1. Satu titik simpul dapat menggabungkan lebih dari empat komponen. 2. Sambungan harus dapat menerima gaya yang bekerja dan memindahkannya ke buluh bambu, sebagai bagian utama komponen, baik beban tarik maupun tekan yang terjadi. 3. Masing-masing sambungan harus dilengkapi dengan sebuah baut lengkap dengan mur yang dapat berputar bebas yang berfungsi sebagai alat sambung. 4. Kekuatan sambungan harus dapat dianalisa secara mekanika.
58
5.5.2. Analisa Masalah Disamping mempunyai beberapa keunggulan, seperti beratnya yang relatif ringan dan faktor estetika penggunaan bambu sebagai bahan bangunan, bambujuga mempunyai beberapa kendala, diantaranya : 1. Bambu merupakan bahan bangunan yang bersifat anisotropis, dengan sifat mekanik terbaik dalam arah longitudinal. Bambu mempunyai kuat tekan dan kuat tarik yang cukup tinggi, tetapi kuat geser dan kuat belahnya sangat kecil. 2. Bentuk bambu yang mendekati bulat dengan lubang di dalamnya, mempunyai dimensi yang tidak seragam, baik diameter, tebal dinding, maupun jarak antar buku. 3. Kelurusan bambu terbatas.
5.5.3. Perancangan Konsep Untuk memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kendala-kendala yang ada, maka perlu dilakukan langkah-langkah pemecahan masalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan : 1. Pada satu titik sambung dapat terjadi pertemuan lebih dari empat buah batang (Gambar 5.2.), sehingga sambungan harus dibuat tirus. 2. Sambungan pada titik buhul pada umumnya digunakan ball joint atau pelat yang dibentuk (Gambar 2.2.). Untuk itu alat sambung yang digunakan adalah baut, sehingga sambungan yang dibuat dapat menghimpun gaya yang bekerja pada batang untuk diteruskan pada baut. Untuk itu perlu dipasang pasak kayu pengisi yang berfungsi untuk meneruskan gaya dari batang bambu ke baut. 3. Baut yang dipasang harus bebas berputar. Untuk itu baut harus diletakkan pada bagian dalam pasak kayu, yang sudah diberi lubang dengan diameter sedikit lebih besar daripada diameter baut. 4. Diameter serta tebal dinding bambu tidak seragam, sehingga menyulitkan dalam pembuatan pasak kayu, terutama jika akan digunakan perekat. Untuk mengatasi hal itu, diameter luar dipilih yang mendekati seragam. Sementara bagian dinding sebelah dalam dibubut agar diameter seragam, sehingga pasak kayu dapat direkat dengan baik ke permukaan bambu bagian dalam.
59
5. Jarak antar buku tidak seragam. Untuk itu, sambungan yang direncanakan harus tidak terpengaruh oleh keberadaan buku. 6. Kuat belah bambu sangat kecil, sehingga dalam mengerjakan bagian ujung bambu yang dibuat mengerucut (tirus) diusahakan sesedikit mungkin belah. Selain itu, pada bagian luar perlu dipasang klem bulat yang dibuat dari pipa besi. 7. Kuat geser bambu kecil, sehingga dalam pembuatan sambungan sedapat mungkin menggunakan paku atau baut yang dipasang dengan melubangi buluh bambu. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka ada beberapa bentuk sambungan yang dapat dikembangkan, diantaranya adalah sambungan bambu yang menggunakan pengisi kayu yang dikembangkan oleh Duff (Janssen, 1981) yang menggunakan klem dibagian luarnya (Gambar 2.6.) dan yang dikembangkan oleh Vilalobos (1993) dengan merekatkan pengisi kayu di bagian dalam,selanjutnya disisipkan pelat dengan bentuk yang sesuai kebutuhan (Gambar 2.8.). Dengan memperhatikan sambungan yang telah dikembangkan, maka ada dua alternatif bentuk sambungan yang mungkin dibuat seperti dapat dilihat pada Gambar 5.4. di bawah ini.
Mur Klem
Pasak Kayu Baut Epoxy Bambu (a)
(b)
Gambar 5.4. Alternatif sambungan (gambar potongan)
Sambungan pertama (Gambar 5.4.a.) direncanakan dengan menggunakan kayu pengisi yang dibubut sesuai dengan diameter dalam bambu. Kayu pengisi ini dibuat bulat dengan bagian ujung mengerucut (tirus) sementara bagian dalamnya diberi lubang yang
60
diameternya sedikit lebih besar dari diameter baut. Selanjutnya kayu pengisi direkatkan pada bagian dalam bambu. Sambungan kedua (Gambar 5.4.b.) dirancang dengan mengembangkan sambungan yang dibuat Duff dengan penambahan perekat antara kayu pengisi dengan bambu serta penggunaan kayu pengisi yang diberi lubang lebih besar dari diameter baut, sehingga baut dapat berputar bebas. Selanjutnya, karena sambungan yang rancang harus dapat menahan beban baik tarik maupun tekan, maka penggunaan baut harus dilengkapi dengan mur.
5.5.4. Evaluasi Untuk mengevaluasi kedua alternatif sambungan yang direncanakan, maka hal utama yang perlu diperhatikan adalah fungsi sambungan untuk meneruskan gaya-gaya yang bekerja. 1. Gaya tekan Baik pada sambungan pertama, maupun pada sambungan kedua, gaya tekan yang diterima dari baut akan diteruskan ke mur, yang selanjutnya meneruskan gaya tersebut ke pasak kayu pengisi. Pada pasak kayu, gaya tekan akan diteruskan ke dinding bagian dalam batang bambu melalui perekat. Pada waktu gaya diteruskan dari mur ke pasak pengisi, kemungkinan terjadi geser dalam pasak, mengingat kuat geser kayu dalam arah sejajar serat rendah. Oleh karena itu, jika pada sambungan kedua diberikan ring, yang terbuat dari pelat, antara mur dengan kayu pengisi yang diameternya sama dengan diameter luar bambu yang ditirus, maka gaya tekan dari mur akan diteruskan oleh ring langsung ke buluh bambu. 2. Gaya Tarik Baik pada sambungan pertama, maupun pada sambungan kedua, gaya tarik yang diterima baut, melalui kepala baut akan diteruskan ke pasak kayu pengisi. Pada pasak kayu, gaya tarik akan diteruskan ke dinding bagian dalam batang bambu melalui perekat. Seperti halnya pada gaya tekan, kemungkinan terjadi geser dalam pasak. Oleh karena itu, jika antara kepala baut dengan pasak kayu diberikan ring yang terbuat dari pelat dengan diameter sama dengan diameter kayu pengisi, maka gaya tarik dari baut akan diteruskan seluruhnya ke dinding bagian dalam bambu. Jika dibandingkan antara sambungan pertama dengan kedua, maka untuk menahan gaya tarik, sambungan kedua
61
lebih baik, karena dengan adanya bambu yang mengerucut disertai klem besi di bagian luar akan lebih kuat dalam menerima gaya tarik. Berdasarkan evaluasi, maka bentuk sambungan yang baik direncanakan penyempurnaan sambungan kedua dengan penambahan dua buah ring pelat. Selain itu, untuk menghindari pecahnya bambu di antara bagian yang lurus dengan bagian yang ditirus pada saat gaya tekan diteruskan ke buluh bambu, maka penggunaan klem besi diperpanjang, sehingga bentuk yang direncanakan menjadi seperti pada Gambar 5.5. Mur Ring Klem Kayu Pengisi Baut Perekat Bambu Ring Gambar 5.5. Sambungan yang direncanakan Distribusi gaya-gaya yang bekerja pada sambungan 1. Gaya Tekan P dari titik sambung mula-mula bekerja pada baut, lalu ke mur. Dari mur gaya dialihkan kepada ring A. Selanjutnya dari ring A gaya diteruskan menjadi gaya tekan terbagi rata pada buluh bambu seperti terlihat pada Gambar 5.6. Ptekan
Mur Ring A Epoxy Baut Pasak Kayu
Klem besi
Ring B Bambu Gambar 5.6. Distribusi gaya tekan pada sambungan. 62
Besarnya gaya tekan (Ptekan) yang dapat dipikul oleh sambungan dapat dihitung dengan persamaan 5.1. Ptekan = σ tekan . Auj ........................................................................................ (5.1.) dengan σ tekan = Tegangan tekan ijin bambu
Auj
= Luas penampang bambu bagian ujung
Dalam perhitungan besarnya gaya tekan yang dapat dipikul oleh komponen secara keseluruhan persamaan 5.1. harus dibandingkan dengan besarnya gaya tekan yang dapat diterima oleh buluh bambu dengan menggunakan persamaan 4.13. Selanjutnya besarnya gaya yang dapat dipikul dalam perhitungan diambil P yang terkecil di antara P dari persamaan 4.13 dengan P dari persamaan 5.1.
2. Gaya Tarik : P dari titik sambung mula-mula bekerja pada baut, lalu oleh ring B gaya diteruskan ke pasak kayu (menjadi gaya tekan). Selanjutnya melalui perekat epoxy gaya tersebut dipindahkan ke buluh bambu menjadi gaya geser seperti pada Gambar 5.7. Ptarik
Mur Ring A Epoxy Baut Pasak Kayu
Klem besi
Ring B Bambu Gambar 5.7. Distribusi gaya tarik pada sambungan Besarnya gaya tarik yang dapat diterima oleh sambungan ditentukan oleh besarnya gaya tarik yang dapat diterima oleh baut, besar gaya geser yang dapat diterima oleh bidang rekat (antara kayu pengisi dan dinding sebelah dalam bambu), serta besarnya gaya yang dapat diterima oleh bambu bagian dalam. Penelitian yang dilakukan oleh Suhartono (2002) dalam Morisco (2005) tentang kuat geser bidang rekat antara kayu 63
pengisi dan dinding sebelah dalam bambu, menggunakan perekat epoksi, memperoleh hasil kuat geser 3 MPa sementara kuat geser dinding bambu bagian dalam diperoleh nilai 2,5 MPa. P = π.d.h. τ
dengan P = Kekuatan tarik sambungan (kg) d = Diameter dalam buluh bambu (cm) h = Panjang bidang geser (cm)
τ
= Tegangan geser ijin buluh bambu (kg/cm2) 5.6. Perancangan Detail 5.6.1. Perhitungan Struktur
Perhitungan struktur dilakukan dengan SAP 2000 untuk rangka atap berukuran 3 m x 4 m dengan empat tumpuan; seperti pada Gambar 5.8.
Untuk struktur tersebut
dibutuhkan 98 batang yang terdiri dari 31 batang atas, 17 batang bawah dan 58 batang diagonal, dengan 32 titik buhul.
Gambar 5.8. Bentuk rangka batang ruang yang direncanakan. Dalam perhitungan struktur tersebut beban yang diperhitungkan diambil sesuai dengan SNI 03-1727-1989 tentang Tata Cara Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung. Beban yang diperhitungkan adalah : 1) Berat sendiri : Penutup atap
= 15 kg/m2
Gording
= 3 kg/m 64
2) Beban hidup = 100 kg/m2 3) Beban angin untuk atap miring sepihak (dengan 0 ≤ α ≤ 100) = 1,2 x 25 kg/m2 Dengan menentukan panjang batang seragam yaitu satu meter, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 5.1. Batasan: 1.
Baut yang digunakan berdiameter 6 mm, dengan panjang 20 cm, lengkap dengan mur
(hexanut). 2.
Ring A dan ring B terbuat dari pelat baja dengan ketebalan 2 mm. Untuk bambu berdiameter (D) 4- 4,5 cm digunakan ring berdiameter 2,9 cm dengan lubang 8 mm di tengahnya. Untuk bambu berdiameter (D) 6-6,5 cm digunakan ring berdiameter 5,9 cm dengan lubang berdiameter 8 mm di tengahnya. Tabel 5.1. Besar gaya (kg) pada masing-masing komponen
Nomor No. komponen 1 1,4,5,9,23,27,28,31 2 2,3,29,30 3 6,7,8,10,13,19,22,25,25,26 5 11,12,20,21 5 15,15,17,18 6 16 7 101,103,115,117 8 102,109,116 9 105,105,1006,107,111,112, 113,115 10 108,110 11 201,208,251,258 12 202,207,210,215,235,239, 252,257 13 203,206,253,256 15 205,205,255,255 16 209,216,233,250 17 211,215,235,238 18 212,213,236,237 19 217,225,225,232 20 218,223,226,231 21 219,222,227,230 22 220,221,228,229 Keterangan : + : Gaya tarik - : Gaya tekan
posisi komponen atas bawah diagonal Keterangan + 30 - 50 + 30 - 60 - 10 + 20 - 20 + 50 maximum tarik -
0 + 10 -
- 70
-
-
- 120 + 50 - 30 - 80 + 30 - 20 + 10
-
-
0 + 20 - 10
maksimum tekan maximum tarik
65
3. Bambu yang berdiameter (D) 4 – 4,5 cm, agar diameter dalamnya seragam dibubut pada bagian ujung dalamnya sehingga diameter dalamnya (d) menjadi 3 cm. 4. Bambu yang berdiameter (D) 6 – 6,5 cm, agar diameter dalamnya seragam dibubut pada bagian ujung dalamnya sehingga diameter dalamnya (d) menjadi 5 cm. 5. Pasak dibuat dari kayu meranti merah (Shorea sp.)yang termasuk kelas kuat II ( σ tk = 85 kg/cm2. Perhitungan Dimensi Sambungan 1. Gaya tekan maksimum (P = 120 kg) Kontrol terhadap tekuk : ω.P σ tk = < σ tk = 129 kg/cm2 A
2. Gaya Tarik Maksimum (P =50 kg) a. Kontrol pasak kayu : σtk =
Pbek < σ tk = 85 kg/cm2 A
b. Tegangan geser yang bekerja = τ =
P ≤ τ = 25kg / cm 2 π .D.h
Berdasarkan hasil perhitungan (perhitungan lengkap dapat dilihat pada Lampiran 10, halaman 103), dimensi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 5.2.
h
d D Gambar 5.9. Dimensi sambungan
Keterangan : σtk = Tegangan tekan (kg/cm2) τ = Tegangan geser (kg/cm2) ω = Faktor tekuk Pbek = Gaya yang bekerja (kg) A = Luas penampang (cm2) D = Diameter luar (cm) d = Diameter dalam (cm) h = Panjang bidang geser (cm)
Tabel 5.2. Dimensi sambungan (hasil perhitungan) Gaya yang bekerja Tekan maksimum (120kg) Tarik maksimum (50 kg)
bambu φ 4 cm
bambu φ 6 cm
d = 3 cm h = 5 cm
d =5 cm h = 3 cm
66
5.7. Kesimpulan
1. Bambu tali dapat dimanfaatkan untuk pembuatan rangka atap prefabrikasi dengan konstruksi rangka batang ruang menggunakan alat sambung baut. 2. Untuk rangka atap sederhana berukuran 3 m x 4 m dengan empat tumpuan dan panjang masing-masing komponen 100 cm dapat dipergunakan bambu tali berdiameter 4 cm maupun 6 cm. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh panjang bidang geser (h) untuk bambu berdiameter 4 cm dan 6 cm berturut-turut 5 cm dan 3 cm. 3. Kuat geser bambu bagian dalam sangat kecil. Oleh karena itu, dalam perhitungan dimensi sambungan yang dirancang, nilai paling kritis adalah pada perhitungan bidang geser. 4. Sambungan dengan pasak, baut dan ring termasuk kategori produk hasil inovasi. Inovasi bukan hanya pada detail sambungan, tetapi juga pada cara kerja (distribusi gaya) serta cara perancangan dimensi yang dapat dihitung berdasarkan besarnya gaya yang bekerja serta sifak fisik dan mekanik bambu.
67
6. EVALUASI KEKUATAN KOMPONEN 6.1. Pendahuluan Pada
dasarnya kekuatan komponen merupakan bagian terpenting dalam
perencanaan konstruksi rangka batang ruang, karena jika komponen tidak dapat menahan beban yang bekerja, maka hal ini berarti kegagalan pada seluruh struktur. Kekuatan komponen meliputi kekuatan batang dan kekuatan sambungan. Oleh karena itu, dalam perencanaan struktur rangka batang maka kekuatan yang harus diperhitungkan meliputi dimensi batang serta dimensi sambungan. Dalam pemanfaatan bambu sebagai komponen pada konstruksi rangka batang ruang, maka perhitungan kekuatan harus memperhitungkan kekuatan buluh bambu berdasarkan dimensinya. Selanjutnya sambungan yang berfungsi untuk meneruskan beban juga harus direncanakan dimensinya sesuai dengan beban yang akan dipikulnya. 6.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghitung kekuatan maksimum yang dapat diterima oleh komponen dengan memperhitungkan kekuatan buluh bambu dan kekuatan sambungan. Selanjutnya hasil perhitungan teoritis dibandingkan dengan hasil penelitian empiris. 6.3. Ruang Lingkup Penelitian Untuk perhitungan kekuatan komponen, perhitungan dibatasi pada pemanfaatan bambu tali dengan diameter 4 cm dan 6 cm dengan panjang 100 cm dan 125 cm. Selanjutnya dalam penelitian ekperimen yang dilakukan dibatas hanya pada pemakaian bambu berdiameter 4 cm dengan panjang sampel 60 cm. 6.4. Bahan dan Metode 6.4.1. Bahan dan Alat Pada perhitungan teoritis digunakan bambu tali dengan diameter 4 cm dan 6 cm dengan panjang 100 cm dan 125 cm, sedangkan pada penelitian empiris digunakan bambu tali berdiameter 4 cm dengan panjang 60 cm. Untuk pengujian empiris terhadap kekuatan sambungan, dibuat sampel menggunakan bambu tali berdiameter 4 cm yang berasal dari Depok, Bogor, dengan baut berdiameter 6 mm, lengkap dengan mur, ring yang terbuat pelat baja dengan tebal 2 mm serta kayu kayu meranti merah (Shorea sp.) sebagai pasak (Gambar 6.1.).
Gambar 6.1. Sampel yang diuji (gambar tampak) Alat yang digunakan untuk pengujian kekuatan sambungan adalah Universal Testing Machine (UTM) Senstar pada Laboratorium Pengujian Bahan Bangunan Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum, Cileunyi, Bandung. 6.4.2. Metodologi Kekuatan komponen ditentukan dengan menghitung beban yang dapat ditahan oleh buluh bambu serta kekuatan sambungan yang direncanakan. Beban yang dihitung adalah beban yang dapat dipikul oleh komponen rangka batang ruang, baik gaya tekan maupun gaya tarik. Kekuatan sambungan dihitung dengan analisa mekanika. (1) Kekuatan Tarik Komponen dihitung dengan menggunakan tiga persamaan; yaitu : (a) Kekuatan tarik buluh bambu P1 = A .
σ tarik
……………………………………………………… (6.1.) = Kekuatan tarik buluh bambu (kg)
dengan : P1
= Luas penampang (cm2)
A
σ tarik = Tegangan tarik ijin bambu (kg/cm2) (b) Kekuatan tarik sambungan P2 = π.d.h. τ
………………………………………………………… (6.2.)
dengan P2 = Kekuatan tarik sambungan (kg) d
= Diameter dalam buluh bambu (cm)
h = Panjang bidang geser (cm) = tegangan geser ijin buluh bambu (kg/cm2)
τ
(c) Kekuatan tekan pasak kayu P3 = π.(d12-d22). σ
............................................................................. (6.3.)
= Kekuatan tekan pasak kayu
dengan P3
σ
tk
tk
= Tegangan tekan ijin kayu (kg/cm2)
d1
= Diameter luar pasak (cm)
d2
= Diameter lubang pasak (cm)
Selanjutnya kuat tarik komponen yang dipergunakan adalah nilai terkecil di antara P1, P2 dan P3 berdasarkan hasil perhitungan.
69
Berdasarkan hasil pengujian sifat dasar bambu, diketahui bahwa kuat tarik sebesar 57 MPa, jauh lebih besar dari kuat geser yang hanya sebesar 2,5 MPa, maka dalam perhitungan kuat tarik komponen Persamaan 6.1. tidak diperhitungkan. Hal ini mengingat nilai dipilih adalah nilai yang terkecil. Oleh karena itu, dalam perhitungan kuat tarik komponen, Persamaan 6.1. dapat diabaikan.
(2) Kuat Tekan Komponen Perhitungan kekuatan tekan komponen didasarkan pada peri laku tekuk buluh bambu, sehingga yang menjadi acuan adalah persamaan 4.12.
σ cr =
P.ω A.σ tekan ≤ σ tk , sehingga P = A ω
...................................................... (6.4.)
6.5. Analisis Analisis data dikelompokkan menjadi dua; yaitu (1) perhitungan analisa teoritis terhadap kekuatan tarik dan kekuatan tekan maksimum yang dapat dibebankan pada komponen dan (2) perhitungan analisa kekuatan sampel berdasarkan teori yang kemudian dibandingkan dengan kekuatan komponen berdasarkan ekperimen yang dilakukan. Untuk analisa teoritis, bambu berdiameter 4 cm dan 6 cm digunakan baut berdiameter 6 mm dengan panjang baut maksimum diasumsikan 20 cm. Berdasarkan hal tersebut dalam perhitungan kekuatan maksimum komponen akan dibatasi dengan h (tinggi bidang geser) maksimum sebesar 10 cm. Untuk perhitungan kekuatan sampel digunakan h = 5 cm (Gambar 6.2.), sehingga dalam analisa perhitungan selain dihitung h maksimum, dihitung juga besarnya beban yang dapat diterima komponen jika h = 5 cm dengan panjang komponen 100 cm dan diameter bambu 4 cm. Data yang diperoleh dari hasil penelitian eksperimen dianalisa dengan statistik deskriptif sederhana yang meliputi nilai rata-rata, maksimum, minimum, standar deviasi dan koefisien variasi. Selanjutnya data kuat tekan dan kuat tarik komponen hasil penelitian dibandingkan dengan kekuatan komponen hasil perhitungan.
70
t =0,5cm
baut φ 6mm D =4 cm d=3cm
Gambar 6.2. Sampel yang diuji (ambar potongan)
5cm
h=5cm
6.6. Hasil dan Pembahasan Perhitungan
kekuatan
kekuatan
komponen
memperhatikan sifat fisik dan mekanik bambu
secara
analisis
dengan
(Bab 3) serta dimensi sambungan
maksimum yang dapat dibuat, maka kekuatan maksimal komponen dapat dihitung. Dalam perhitungan kekuatan maksimal sampel, diasumsikan bahwa panjang baut yang tersedia 20 cm, sehingga panjang bidang geser maksimal yang dapat dibuat adalah 10 cm. Dengan memasukkan data sambungan pada Persamaan 6.2. sampai 6.4, maka diperoleh kekuatan maksimal komponen seperti terlihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Kekuatan maksimal komponen berdasarkan perhitungan Dimensi D= t= L= A= I= r= E σtkn λ ω Ptekan hit= σtrk Ptarik buluh τ h Ptarik geser
D = 6 cm, L = 100 cm 6,00 0,50 100,00 8,64 32,92 1,95 8300,00
D = 6 cm, L = 125 cm 6,00 0,50 125,00 8,64 32,92 1,95 8300,00
D = 4 cm, L = 100 cm 4,00 0,50 100,00 5,50 8,59 1,25 8300,00
D = 4 cm, L = 125 cm 4,00 0,50 125,00 5,50 8,59 1,25 8300,00
127,00 51,21 1,73 922,38
127,00 64,02 1,84 867,24
127,00 80,00 1,97 501,43
600
600
5181,00 25,00 10 3925,00
Sampel*)
Satuan
4,00 0,50 60,00 5,50 8,59 1,25 8300,00
cm cm cm cm2 cm4 cm kg/cm2
127,00 100,00 2,12 465,95
127,00 48,00 1,70 581,07
kg/cm2
600
600
600
kg/cm2
5181,00 25,00 10
3297,00 25,00 10
3297,00 25,00 10
3297,00 25,00 5
3925,00
2355,00
2355,00
1177,50
kg kg/cm2 cm kg
kg
*) dimensi sampel : D = 4 cm, L = 100 cm dan h = 5 cm
71
Berdasarkan hasil pengujian tarik dan tekan terhadap sampel yang berupa Berdasarkan hasil pengujian tarik dan tekan terhadap sampel yang berupa komponen, diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 6.2., sementara data lengkap hasil pengujian dapat dilihat pada Lampiran 12.
Tabel 6.2. Data pengujian kekuatan komponen P tarik (kg) P tekan (kg)
max 1515 3349
min 1041 2356
rata-rata 1284 2776
n 8 8
SD 157,6 413,3
CV(%) 12,3 14,9
Dalam perhitungan kuat tarik komponen sampel didapat 1.177,5 kg, sementara dari hasil pengujian terhadap sampel didapat tiga buah sampel yang nilai kuat tariknya di bawah hasil perhitungan. Hal ini diduga karena kurang sempurnanya pembuatan sampel, yaitu tidak terpasangnya ring pada bagian bawah pasak kayu. Hal ini terlihat dari bentuk kerusakan seperti terlihat pada Gambar 6.3.(a). Pada kasus ini terlihat bahwa kerusakan sambungan terjadi pada hancurnya pasak kayu. Secara umum, berdasarkan nilai rata-rata kekuatan tarik sampel sebesar 1284 kg yang berarti lebih besar dari hasil pehitungan sebesar 1.177,5 kg. Pada kelompok sampel dengan kuat tarik yang besar kerusakan sampel terjadi pada dinding bambu sebelah dalam seperti terlihat pada Gambar 6.3.(b). Dalam perhitungan kuat tekan komponen, pada sampel diperoleh nilai kuat tekan sebesar 395 kg, sementara dari hasil pengujian diperoleh nilai rata-rata 2.776 kg dengan nilai kuat tekan minimum sebesar 2.356 kg. Hal ini berarti faktor keamanannya cukup besar.
(a)
(b) Gambar 6.3. Kerusakan pada sampel uji tarik. 72
6.7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kekuatan hasil perhitungan secara teoritis serta kekuatan hasil pengujian, maka dapat disimpulkan : 1.
Nilai kuat tarik hasil perhitungan dalam penggunaan perlu diperhitungkan faktor keamanan, karena nilai yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian sampel ada beberapa nilai yang di bawah nilai kuat tarik hasil perhitungan.
2.
Nilai kuat tekan komponen hasil perhitungan teoritis cukup aman digunakan, karena jika dibandingkan dengan nilai rata-rata hasil pengujian, diperoleh faktor keamanan lebih dari 4.
3.
Dalam pembuatan komponen harus dilakukan dengan teliti, mengingat kekuatan sambungan, terutama kuat tarik sangat ditentukan oleh kelengkapan detail sambungan.
73
7. PERANCANGAN MODEL-MODEL RANGKA BATANG RUANG 7.1. Pendahuluan Dalam konstruksi rangka batang ruang yang pada umumnya digunakan untuk rangka atap, ada banyak bentuk dan bentang yang dapat dibuat. Bentuk-bentuk itu dapat dikembangkan baik berdasarkan kebutuhan, maupun berdasarkan pada segi estetika. Bentuk rangka batang yang berbeda, maupun bentang yang berbeda akan menghasilkan besarnya gaya-gaya batang yang berbeda. Dalam penelitian ini akan dikembangkan beberapa bentuk rangka batang ruang untuk struktur atap sederhana. Selanjutnya dengan menggunakan program analisa struktur akan dianalisa besarnya gaya-gaya aksial pada batang yang timbul. Untuk mengetahui layak tidaknya rangka batang tersebut akan diamati besarnya gaya aksial maksimum dan gaya aksial minimum. Gaya aksial maksimum pada batang merupakan gaya tarik terbesar yang bekerja pada komponen batang, sedangkan gaya aksial minimum gaya tekan maksimum.
7.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menjajagi kemungkinan penggunaan bambu tali dengan bentuk dan ukuran sambungan yang direncanakan untuk dimanfaatkan dalam model-model rangka ruang yang direncanakan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu dilakukan beberapa tahap penelitian yang bertujuan untuk: 1. Mengembangkan model-model rangka batang ruang dan menggambarkannya secara detail untuk keperluan analisa. 2. Dengan menggunakan program analisa struktur model-model tersebut dihitung besarnya gaya-gaya batang yang timbul. 3. Berdasarkan besarnya gaya tarik dan gaya tekan maksimum yang timbul pada masing-masing model, dibandingkan terhadap gaya tarik dan gaya tekan maksimum yang dapat dipikul oleh komponen. 7.3. Pengembangan Model-model Rangka Batang Ruang Dalam penelitian ini dikembangkan empat macam model rangka batang ruang. Masing-masing model akan dianalisa untuk penggunakan dua ukuran diameter bambu yang
akan digunakan yaitu bambu berdiameter luar 4 cm dan bambu dengan diameter luar 6 cm. Hal ini berarti untuk masing-masing model dilakukan dua kali analisa. Adapun bentuk-bentuk model rangka batang ruang yang dikembangkan: 1) ST.1 : strukur atap 3 m x 4 m dengan 4 tumpuan dan panjang komponen 1 m (Gambar 7.1.a) 2) ST.2 : struktur atap berukuran 3,75 m x 5 m dengan empat tumpuan,panjang komponen 1,25 m (Gambar 7.1.b) 3) ST.3 : struktur atap berukuran 4 m x 4 m, panjang komponen 1 m (Gambar 7.1.c.) 4) ST.4 : struktur atap 3 m x 4 m overstek dengan 9 tumpuan pada dinding tanpa kolom dengan panjang komponen 1 m (Gambar 7.1.d.) T
k
l
N
M g
P
O h
I
e
E
f
F b
A
B
C
a
a. ST 1
P
Q
R
F
M
G
O h J
I c
C c. ST 3
l
g
b
4x1m
T
N
H
B
p
k
f
a
D
3 x 1,25 m
Y
S
j
e
X o
L
K
A
W n
i
c
b. ST2
V m
H
4x1m
U
f G
b B
L
K
F
A
D
3x1m
i
e
E
P
O
J d
c
l
h
I
H
G
a
g L
K
d
N
M
i
J
k
j
4 x 1m
j
T
S
R
Q
44 xx 11,25m m
S
R
4x1m
Q
d D
E
3 x1m d. ST 4
Gambar 7.1. Model-model rangka batang ruang 75
7.4. Analisa Perhitungan Gaya-gaya Batang Analisa perhitungan dilakukan dengan memasukkan sifat dasar bambu dengan menggunakan dua macam profil pipa dengan material bambu yaitu BAMBU1 untuk bambu berediameter 4 cm dan BAMBU2 untuk bambu berdiameter 6 cm dengan tebal dinding 0,5 cm (Gambar 7.2.).
Gambar 7.2. Pendefinisian profil yang digunakan Dalam perhitungan analisa struktur diperhitungkan beban mati (berat sendiri), beban hujan dan beban pekerja serta alat. Mengingat beban hujan dan beban pekerja (termasuk alat) kemungkinan terjadi bersamaan sangat kecil, maka untuk analisa dibuat dua macam kombinasi pembebanan yaitu : -
Kombinasi 1 : beban mati dan beban hidup
-
Kombinasi 2 : beban mati, beban hidup , beban angin depan
-
Kombinasi 3 : beban mati, beban hidup , beban angin belakang
Keempat bentuk struktur rangka batang ruang dianalisa dua kali; yaitu untuk penggunaan bambu berdiameter 4- 4,5 cm dan bambu berdiameter 6 – 6,5 cm. 7.4.1 Rangka Batang ST1 dan ST2 Rangka batang ST1 dan ST2 pada dasarnya adalah sebangun, sehingga penomor joint dan penomoran batang dapat disamakan. Dengan beban yang arah dan titik kerjanya sama maka pembahasan akan digabungkan. Dalam menganalisa rangka batang ruang ST1 dan ST2 dengan program analisa struktur, digunakan penomoran joint dan penomoran batang seperti pada Gambar 7.3. dan 7.4. Hasil analisa struktur ST1 dengan profil BAMBU1 diperoleh hasil gaya aksial yang bekerja pada masing-masing komponen seperti terlihat pada Gambar 7.5. Warna merah menunjukkan gaya tekan (negatif) dan warna biru menunjukkan gaya tarik (positif).
76
Gambar 7.3. Penomoran Joint pada ST1 dan ST2 (tampak atas)
Gambar 7.4. Penomoran batang pada ST1 dan ST2 (tampak atas)
Gambar 7.5. Gaya-gaya aksial pada ST1 (isometri) 77
Besarnya gaya batang maksimum tekan dan maksimum tarik yang bekerja pada masing-masing komponen pada struktur rangka ST1 dan ST2 sebagai hasil perhitungan dengan program analisa struktur dapat dilihat pada Tabel 7.1. Pada tabel tersebut juga ditunjukkan nomor batang dimana gaya tekan maksimum dan gaya tarik maksimum bekerja. Secara umum gaya batang maksimum terjadi pada kasus kombinasi 2 (COMB2) yaitu pada struktur dibebani berat sendiri, beban hidup dan beban angin depan. Tabel 7.1. Besarnya gaya maksimum pada ST1 dan ST2 Bentuk Rangka ST1
ST2
Tarik Max Tekan Max No. Batang (kg) No. Batang (kg) BAMBU 1 64,61 89 & 95 -178,57 8, 11, 38 & 41 Profil
BAMBU 2 65,59
89 & 95
BAMBU 1 90,99
89 & 95
-181,47 8, 11, 38 & 41 -251,68 8, 11, 38 & 41
BAMBU 2 92,22
89 & 95
-255,13 8, 11, 38 & 41
Jika dibandingkan dengan nilai maksimum tarik dan maksimum tekan yang dapat dipikul komponen (Tabel 6.1.), maka struktur ST1 dan ST2 dapat dibangun dengan bambu berdiameter 4 cm. Hal ini berarti bahwa struktur ini juga dapat dibuat dengan bambu berdiamter 6 cm. Suatu struktur yang dibebani akan mengalami deformasi, hasil analisa struktur terhadap rangka batang ruang ST1 dan ST2 dapat menunjukkan deformasi yang terjadi pada struktur, seperti dapat dilihat pada Gambar 7.6. dan nilai deformasi terbesar yang terjadi pada sumbu x (U1), sumbu y (U2) dan sumbu Z (U3) dapat dilihat pada Tabel 7.2. Tabel ini juga menunjukkan letak joint yang mengalami deformasi terbesar.
Gambar 7.6. Pola deformasi rangka ST1 dan ST2
78
Tabel 7.2. Deformasi maksimal pada ST1 dan ST2 Bentuk Rangka ST1B1 ST1B2 ST2B1 ST2B2
U1 max (m) No Joint -5 12 1,8 . 10 -1,8 . 10-5 9 12 1,1 . 10-5 -1,1 . 10-5 9 12 3,1 . 10-5 -3,1 . 10-5 9 -5 12 2 . 10 -2 . 10-5 9
U2 max (m) No Joint -5 1,4 .10 6 -1,4 .10-5 15 9,2 .10-6 6 -6 -9,2 .10 15 2,5 .10-5 6 -2,5 .10-5 15 1,6 .10-5 6 -1,6 .10-5 15
U3 max (m) No Joint 0 -1,28.10-4 9 &12 0 -8,3.10-5 9 &12 0 -2,26.10-4 9 &12 0 -1,45.10-4 9 &12
Merujuk pada Tabel 7.2., terlihat bahwa deformasi maksimal pada seluruh arah terjadi pada ST2B1, yaitu rangka batang ruang dengan panjang komponen 1,25 m yang menggunakan bambu berdiameter 4 cm; yaitu pada z dengan besar deformasi -2,26.104
m atau sama dengan 0,226 mm. Hal ini berarti bahwa penurunan yang terjadi kecil.
7.4.2. Rangka Batang ST3 Rangka batang ST3 adalah rangka berbentuk bujur sangkar berukuran 4m x 4m yang disusun dari komponen bambu sepanjang 1m. Dalam menganalisa rangka batang ruang ST3 dengan program analisa struktur, digunakan penomoran joint dan penomoran batang seperti pada Gambar 7.7. dan Gambar 7.8.
Gambar 7.7. Penomoran Joint ST3 (tampak atas)
79
Gambar 7.8. Penomoran batang ST3 (tampak atas) Hasil analisa struktur ST3 dengan profil BAMBU1 diperoleh hasil gaya aksial yang bekerja pada masing-masing komponen seperti terlihat pada Gambar 7.9. Warna merah menunjukkan gaya tekan (negatif) dan warna biru menunjukkan gaya tarik (positif).
Gambar 7.9. Output gaya-gaya aksial batang pada ST3 (isometri) Besarnya gaya batang maksimum tekan dan maksimum tarik yang bekerja pada masing-masing komponen pada struktur rangka ST3 sebagai hasil perhitungan dengan program analisa struktur dapat dilihat pada Tabel 7.3. Pada tabel tersebut juga ditunjukkan nomor batang dimana gaya tekan maksimum dan gaya tarik maksimum
80
bekerja. Secara umum gaya batang maksimum terjadi pada kasus kombinasi 2 (COMB2) yaitu pada struktur dibebani berat sendiri, beban hidup dan beban angin depan. Tabel 7.3. Besarnya gaya maksimum pada ST3 Bentuk Rangka ST3
Tarik Max Tekan Max No. Batang No. Batang (kg) (kg) BAMBU 1 76,24 106, 115, 118 & 127 -238,44 50 & 55 Profil
BAMBU 2 77,47 106, 115, 118 & 127 -242,37
50 &55
Jika dibandingkan dengan nilai maksimum tarik dan maksimum tekan yang dapat dipikul komponen (Tabel 6.1.), maka struktur ST3 dapat dibangun dengan bambu berdiameter 4 cm. Hal ini berarti bahwa struktur ini juga dapat dibuat dengan bambu berdiamter 6 cm. Hasil analisa struktur terhadap rangka batang ruang ST3 dapat menunjukkan deformasi yang terjadi pada struktur, seperti dapat dilihat pada Gambar 7.10. dan nilai deformasi terbesar yang terjadi pada sumbu x (U1), sumbu y (U2) dan sumbu Z (U3) dapat dilihat pada Tabel 7.4. Tabel ini juga menunjukkan letak joint yang mengalami deformasi terbesar.
Gambar 7.10. Pola deformasi rangka ST3
Tabel 7.4. Deformasi maksimum pada ST3 Bentuk Rangka ST3B1 ST3B2
U1 max (m) No Joint -5 7 & 17 1,2 . 10 -1,2 . 10-5 9 & 19 7 & 17 7,9 . 10-6 -7,9 . 10-6 9 & 19
U2 max (m) No Joint -5 1,2 .10 7&9 -1,2 .10-5 17 & 19 7,9 .10-6 7&9 -7,9.10-6 17 & 19
U3 max (m) No Joint 0 -1,1.10-4 13 0 -7,1.10-5 13
81
Merujuk pada Tabel 7.4., terlihat bahwa deformasi yang terjadi pada ST3 , yaitu dalam arah sumbu x dan sumbu y simetris, sedangkan pada sumbu z deformasi maksimal terjadi pada bagian tengah struktur yaitu joint nomor 13. Deformasi maksimal secara keseluruhan terjadi pada arah sumbu y; yaitu pada struktur rangka batang ruang yang menggunakan bambu berdiameter 4 cm dengan besar deformasi -1,1.10-4m atau sama dengan 0,109 mm. Hal ini berarti bahwa penurunan yang terjadi kecil.
7.4.3. Rangka Batang ST4 Rangka batang ST4 pada dasarnya adalah sebangun dengan ST1. Perbedaan terletak pada tumpuannya. Pada ST1 terdapat empat tumpuan ke bawah, sementara pada ST4 terdapat 9 tumpuan pada satu bidang. Dalam menganalisa rangka batang ruang ST4 dengan program analisa struktur, digunakan penomoran joint dan penomoran batang seperti pada Gambar 7.11. dan 7.12. Hasil analisa struktur ST4 dengan profil BAMBU1 diperoleh hasil gaya aksial yang bekerja pada masing-masing komponen seperti terlihat pada Gambar 7.13. Warna merah menunjukkan gaya tekan (negatif) dan warna biru menunjukkan gaya tarik (positif).
Gambar 7.11. Penomoran Joint ST4(tampak atas)
82
Gambar 7.12. Penomoran batang ST4 (tampak atas)
Gambar 7.13. Output gaya-gaya aksial batang pada ST4 (isometri) Besarnya gaya batang maksimum tekan dan maksimum tarik yang bekerja pada masing-masing komponen pada struktur rangka ST4 sebagai hasil perhitungan dengan program analisa struktur dapat dilihat pada Tabel 7.5. Pada tabel tersebut juga ditunjukkan nomor batang dimana gaya tekan maksimum dan gaya tarik maksimum bekerja. Secara umum gaya batang maksimum terjadi pada kasus kombinasi 2 (COMB2) yaitu pada struktur dibebani berat sendiri, beban hidup dan beban angin depan.
83
Tabel 7.5. Besarnya gaya maksimum pada ST4 Bentuk
BAMBU 1
Tarik Max (kg) No. Batang 546,28 55
Tekan Max (kg) No. Batang -867,23 80 & 89
BAMBU 2
553,58
-878,76
Profil
Rangka ST4
55
80 &89
Jika dibandingkan dengan nilai maksimum tarik dan maksimum tekan yang dapat dipikul komponen (Tabel 6.1.), maka struktur ST4 tidak dapat dibangun dengan bambu berdiameter 4 cm, karena pada beberapa batang selain pada beban maksimum besarnya tekan yang terjadi melebihi beban maksimum tekan yang dapat dipikul. Walaupun begitu struktur ini dapat dibuat dengan bambu berdiamter 6 cm. Untuk mengatasi masalah dalam penggunaan bambu berdiameter 4 cm, maka untuk rangka ruang ST4 dirancang menggunakan campuran bambu berdiameter 6 cm dan bambu berdiameter 4 cm. Secara umum komponen dibuat dari bambu berdiameter 4 cm, bambu berdiameter 6 cm digunakan hanya pada batang yang berdasarkan hasil analisa struktur menerima beban tekan yang cukup besar. Untuk itu, bambu berdiameter 6 cm digunakan pada batang-batang nomor 80, 81, 83, 84, 85, 86, 87, 89 dan 90. Struktur gabungan (Gambar 7.14.) yang menggambarkan kombinasi penggunaan profil batang; yaitu berdiameter 4 cm dan bambu berdiameter 6 cm.
Gambar 7.14. Kombinasi penggunaan bambu berdiameter 4 cm (warna hijau) dan 6 cm (warna biru) pada ST4 Hasil analisa struktur ST4 terhadap penggunaan variasi profil, menunjukkan struktur cukup kuat untuk dapat memikul gaya-gaya batang yang timbul. Penggunaan
84
variasi bambu berdiameter 6 cm untuk batang yang menerima gaya tekan besar selain untuk memperkuat struktur juga dapat memberikan nilai estika lebih. Hasil analisa struktur terhadap rangka batang ruang ST4 dapat menunjukkan deformasi yang terjadi pada struktur, seperti dapat dilihat pada Gambar 7.15. dan nilai deformasi terbesar yang terjadi pada sumbu x (U1), sumbu y (U2) dan sumbu Z (U3) dapat dilihat pada Tabel 7.6. Tabel ini juga menunjukkan letak joint yang mengalami deformasi terbesar.
Gambar 7.15. Pola deformasi rangka ST4
Tabel 7.6. Deformasi maksimum pada ST4 U1 max Rangka
Profil Bambu 2
ST4 Gabungan
(m) 1,2 .10-4 -1,4 .10-4 1,8 .10-4 -1,5 .10-4
U2 max No Joint 12 32 12 32
(m) 1,8 .10-5 -1,8 .10-5 2,8 .10-5 -2,8 .10-5
No Joint 20 4 20 4
U3 max (m) 0 -1,4.10-3 0 -1,2.10-3
No Joint 4 &20 4 &20
Merujuk pada Tabel 7.6., terlihat bahwa deformasi maksimal pada 3 arah yang terjadi pada arah z sebesar 1,4 mm pada ST4 yang dibuat dengan profil bambu seragam berdiameter 6 cm. Pada arah x dan y terlihat bahwa deformasi yang terjadi pada struktur gabungan lebih besar dari struktur dengan profil seragam bambu berdiameter 6 cm. Walaupun begitu pada struktur gabungan deformasi arah z lebih kecil yaitu 1,2 mm.
85
7.5. Kesimpulan Dengan memperhatikan beban maksimum yang timbul dengan besar beban yang dapat dipikul berdasarkan hasil perhitungan teoritis, maka dapat disimpulkan : 1. Bambu tali dengan diameter 4 cm dengan bentuk sambungan yang direncanakan dapat dipergunakan untuk struktur atap sederhana berukuran 3 m x 4 m, 4 m x 4 m dan 3,75 m x 5 m dengan 4 tumpuan. 2. Untuk bentuk struktur atap dengan tumpuan overstek akan menimbulkan gaya tekan dan tarik maksimum yang lebih besar, sehingga jika akan menggunakan bambu berdiameter 4 cm harus digabungkan dengan bambu berdiameter 6 cm pada batangbatang yang menerima tekan besar.
86
8. PEMBAHASAN UMUM DAN REKOMENDASI 8.1. Pembahasan Umum Penggunaan bambu sebagai bahan bangunan bukan merupakan hal yang baru, tetapi pemanfaatannya pada umumnya hanya dilakukan berdasarkan pengalaman turun temurun. Pemanfaatan suatu material sebagai bahan bangunan pada dasarnya harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman selama masa pemakaiannya. Oleh karena itu, suatu bahan bangunan harus cukup kuat, awet dan kaku. Nilai kekuatan, keawetan dan kekakuan yang harus dipenuhi sangat tergantung pada bangunan yang akan dibuat. Kebutuhan bahan untuk jembatan akan berbeda dengan kebutuhan bahan untuk pembuatan bendungan, kebutuhan bahan untuk lantai berbeda dengan kebutuhan bahan untuk dinding. Pemanfaatan suatu bahan untuk konstruksi sangat tergantung pada sifat fisik dan mekanik bahan itu sendiri. Selain itu, cara pengerjaan juga menjadi salah satu faktor pemilihan bahan. Sebagai contoh, beton walaupun massa jenisnya besar dan kuat tariknya kecil, banyak digunakan pada berbagai bagian dan bentuk bangunan, karena beton dapat dengan mudah disesuaikan bentuk serta kekuatannya melalui proses pembuatannya. Di tengah isu go green, pemanfaatan semen sebagai salah satu bahan penyusun beton disarankan untuk dikurangi, karena proses produksi yang kurang ramah lingkungan. Pemanfaatan bahan bangunan ramah lingkungan harus mulai digalakkan. Bambu merupakan salah satu bahan yang ramah lingkungan. Jika kayu cepat tumbuh untuk konstruksi dihasilkan setelah ditanam lebih dari sepuluh tahun, bambu dapat diperoleh dalam waktu 3 – 5 tahun setelah penanaman. Selain itu, kayu setelah ditebang harus ditanam benih baru untuk dapat menghasil kayu berikutnya. Pada tanaman bambu, dengan pemanenan yang terencana, rumpun bambu dapat terus menerus menghasilkan buluh, walaupun buluh-buluh yang cukup tua sudah dipanen. Walaupun begitu, tidak semua jenis bambu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Dari sekitar 1200 jenis bambu yang ada, menurut Widjaja (2001), di Indonesia diketahui dan sudah terdata sekitar 143 jenis. Sebagai bahan alami, sifat fisik dan mekanik bambu tidak seragam, baik karena pengaruh jenis, tempat tumbuh maupun umur. Dari jenis-jenis tersebut ada beberapa jenis bambu yang biasa digunakan untuk konstruksi dan sudah diteliti diantaranya: bambu tali (Gigantochloa apus Kurz), bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu hitam (Gigantochloa
atroviolacea Widjaya), bambu gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea Widjaya) dan bambu duri (Bambusa blumeana Schultes). Sebagai bahan alami, sifat fisik dan mekanik bambu tidak seragam, baik karena pengaruh jenis, tempat tumbuh, umur maupun posisi dalam batang. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan (Dransfield dan Wijaya, 1995; Nuryatin, 2000; Morisco, 2005)
terhadap beberapa jenis bambu di Indonesia
diketahui bahwa kekuatan tarik bambu cukup tinggi, sementara kuat gesernya sangat rendah. Kuat geser bambu yang sangat kecil, hanya 5 %, jika dibandingkan terhadap kuat tariknya menimbulkan masalah dalam pengujian sampel tarik. Sampel uji tarik harus dibuat sepanjang mungkin, sementara daerah kritis harus dibuat sekecil mungkin agar kerusakan sampel terjadi pada daerah kritis akibat tegangan tarik. Jika sampel yang dibuat kurang panjang atau daerah kritis terlalu besar, maka kerusakan yang terjadi bukan akibat tegangan tarik, tetapi akibat tegangan geser. Standar pengujian sifat dasar bambu selama ini belum ada, sehingga pengujian bambu pada umumnya dilakukan dengan mengacu pada standar pengujian kayu yang dimodifikasi. Pada tahun 2004, ISO menetapkan standar pengujian sifat fisik dan mekanik bambu, yaitu ISO 22157-2004, yang kemudian digunakan dalam penelitian sifat dasar bambu tali pada penelitian ini. Pada penelitian yang dilakukan dengan mengambil contoh uji bambu tali yang berasal dari daerah Depok, Bogor, didapatkan kuat tarik 57 MPa, kuat tekan 12,7 MPa, kuat geser 2,5 MPa dan modulus elastisitas 8.300 MPa. Dalam pemanfaatan buluh bambu sebagai bahan bangunan, nilai kuat tarik, kuat tekan dan modulus elastis saja masih belum mencukupi, karena dalam pemanfaatan bambu dalam konstruksi akan terjadi batang tekan. Jika suatu batang langsing menerima beban tekan, maka harus diperhitungkan kemungkinan terjadinya tekuk. Perilaku tekuk suatu batang tekan sangat tergantung pada kuat tekan dan bentuk penampang batang tersebut. Bambu mempunyai bentuk yang sangat spesifik yaitu menyerupai silinder berdinding tipis yang agak tirus dengan buku-buku yang jaraknya tidak seragam. Untuk mengetahui perilaku tekuk bambu tali, maka dilakukan penelitian secara empiris yang memberikan hasil berupa hubungan antara nilai tegangan kritis (y) terhadap kelangsingan (x) berupa fungsi: y = -7,9 . Ln (x) + 60. Hubungan ini menunjukkan bahwa makin langsing suatu batang tekan, maka besarnya tegangan tekan yang dapat diterima akan makin kecil. Bentuk bambu yang berupa tabung dengan kuat tarik, kuat tekan
dan
elastisitas yang cukup baik dengan massa jenis yang kecil serta kelurusan yang 88
terbatas cocok digunakan sebagai bahan dalam pembuatan konstruksi rangka batang ruang. Konstruksi ini pada umumnya dimanfaatkan untuk rangka atap. Sebagai konstruksi rangka batang, konstruksi ini disusun dari komponen-komponen yang relatif pendek yang menerima beban tarik atau tekan, tanpa momen. Komponenkomponen ini dihubungkan secara sendi, hingga menjadi konstruksi rangka batang. Masalah yang timbul kemudian adalah bahwa selama ini belum ada sambungan yang dapat menerima tarik dan tekan dengan baik serta dapat dianalisa kekuatannya. Mengingat kecilnya tegangan geser, maka harus diingat agar sedapat mungkin menghindari terjadinya pelemahan pada buluh bambu sebagai akibat adanya lubang pada dinding bambu. Selain itu bambu dengan kuat tarik yang besar dengan kerapatan yang rendah membuat bambu sebagai bahan bangunan yang cukup baik dalam menahan beban gempa. Bambu sebagai bahan bangunan, terutama jika digunakan dalam bentuk buluh akan memberikan nilai estetika tersendiri. Ini dapat dilihat dari banyaknya pemanfaatan konstruksi bambu yang dikembangkan, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Eropa, seperti Jerman yang harus mendatangkan bambu dari negara lain. Pemanfaatan bambu dalam bentuk buluh selain memberikan keindahan, juga menimbulkan masalah terutama dalam pembuatan sambungan. Selama ini sambungan bambu yang dibuat kekuatannya tidak dapat dianalisa secara mekanika. Dalam suatu struktur, sambungan memegang peran yang penting, karena jika salah satu sambungan saja tidak dapat menerima dan/atau meneruskan beban yanag timbul, maka akan mengakibatkan kegagalan pada seluruh struktur. Bentuk bambu yang berupa silinder berlubang dengan jarak buku yang tidak seragam, menimbulkan masalah tersendiri dalam pembuatan sambungan. Sambungan dirancang dengan menggunakan baut dan pasak kayu yang direkatkan ke dinding sebelah dalam buluh yang kemudian diberi klem besi pada bagian luar buluh. Untuk menghantarkan gaya tekan dan gaya tarik digunakan dua buah ring besi. Sambungan ini terbukti dapat menerima gaya tarik dan tekan dengan baik. Pengujian terhadap sampel yang menggunakan buluh bambu berdiameter sekitar 4 cm memperoleh nilai rata-rata kuat tekan 2.776 kg dan kuat tarik 1.284 kg. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan perhitungan analitis yang memperoleh nilai kuat tekan 581 kg dan kuat tarik 1.177 kg. Hal ini berarti bahwa perhitungan analisa yang dilakukan dapat memberikan informasi dan prediksi kekuatan komponen.
89
Berdasarkan analisa terhadap beberapa model struktur rangka batang ruang untuk rangka atap sederhana diperoleh hasil bahwa komponen yang dirancang dengan bambu berdiameter 4- 4,5 cm dapat diterapkan pada rangka atap berukuran 4 m x 4 m untuk komponen yang panjangnya 1 m dan rangka atap 3,75 m x 5 m untuk komponen 1,25 m dengan empat tumpuan. Untuk rangka atap 3 m x 4 m dengan tumpuan pada satu bidang, penggunaan bambu tali berdiameter 4 – 4,5 cm saja tidak cukup. Untuk batang-batang yang menerima gaya tekan besar harus memanfaatkan komponen yang berdiameter 6 cm. Analisa struktur dapat dilakukan dengan mengembangkan rangka atap yang berukuran lebih besar untuk mencari ukuran maksimum rangka atap yang dapat dibangun dengan bambu berdiameter 4 cm serta bambu berdiameter 6 cm. Selain itu perlu juga dilakukan perhitungan analitis untuk pemanfaatan rangka batang ruang sebagai modul yang dapat diperluas, misalnya dengan membangun model struktur rangka atap berukuran 6 m x 6 m dengan 9 tumpuan atau bahkan 12 m x 12 m dengan 25 tumpuan. Hal ini mengingat struktur yang dibuat dapat dijadikan sebagai rangka batang ruang yang dapat dibongkarpasang (knocked down). Penelitian lanjut dapat dilakukan terhadap sifat fisik dan mekanik jenis- jenis bambu lain yang berdiameter lebih besar dan biasa digunakan untuk konstruksi, seperti bambu betung (Dendrocalamus asper Schult.) dan bambu andong (Gigantochloa verticillata Wild) untuk dimanfaatkan sebagai komponen rangka batang ruang. Dengan diameter bambu yang relatif lebih besar diharapkan dapat dibuat struktur rangka batang ruang dengan bentang yang lebih besar. Dengan mengangap bahwa komponen rangka batang ruang hanya menerima gaya aksial tekan dan tarik saja, maka dalam perhitungan diasumsikan bahwa bambu merupakan bahan isotropis, walaupun pada dasarnya bambu merupakan bahan anisotropis. Untuk mengembangkan penelitian yang lebih detail dapat dilakukan penelitian lebih lanjut, baik tentang sifat dasar maupun aplikasinya dalam struktur. Dalam pemanfaatan SNI terjadi kendala mengingat bahwa gaya yang bekerja dinyatakan dalam satuan kg, sementara dalam kekuatan bahan pada umumnya sudah mengacu pada ketetapan internasional tentang satuan internasional (SI) yang menyatakan kuatan suatu bahan dinyatakan dalam MPa yang sama dengan Newton per m2. Satuan gaya yang sesuai untuk itu harus dinyatakan dalan Newton (N) dan bukan dalam kg. Satuan kg yang dipergunakan dalam SNI sebagai satuan beban (gaya) dalam SI merupakan satuan massa. 90
Bambu sebagai bahan bangunan anisotropis yang sangat kompleks. Jika kayu dapat didekati secara orthotropis, bambu mempunyai sifat sangat tidak seragam dan sulit didekati secara orthotropis. Dalam arah radial bambu, bambu secara umum lebih kuat di daerah kulit dan terus menurus ke arah dalam. Tebal dinding bambu yang relatif tipis mempersulit pembuatan sampel. Dalam arah longitudinal, sifat fisik bambu tidak hanya dipengaruhi oleh posisi: pangkal, tengah dan ujung, tetapi lebih dipengaruhi oleh keberadaan buku.
8.2. Rekomendasi Bentuk bambu yang berupa tabung dengan diameter yang beragam, selama ini dianggap sebagai hambatan dalam pemanfaatannya terutama dalam bidang konstruksi. Bentuk bambu yang spesifik hendaknya dapat dijadikan tantangan untuk pengembangan konstruksi yang ramah lingkungan. Masyarakat Indonesia, khususnya peneliti bidang konstruksi harus mulai memanfaatkan peluang tersedianya bambu yang melimpah untuk memberikan nilai tambah pada bambu bukan hanya sebagai bahan bangunan sementara seperti steger saja. Di Indonesia diketahui tumbuh berbagai jenis bambu, baik yang sudah diidentifikasi maupun belum. Untuk mengoptimalkan penggunaan bambu, maka perlu dilakukan penelitian terhadap sifat fisik dan mekanik jenis-jenis bambu lain, termasuk perilaku tekuk buluhnya. Dengan banyaknya data tentang berbagai jenis bambu, maka akan terlihat jenis-jenis bambu yang potensial untuk berbagai kebutuhan dalam konstruksi. Selain itu perlu dikembangkan bentuk-bentuk sambungan yang dapat menahan gaya, terutama gaya tarik dengan
lebih baik dan kekuatannya dapat
diperhitungkan secara mekanika. Dalam pemanfaatan bambu untuk konstruksi, sekalipun menggunakan bambu tali yang relatif lebih awet dibandingkan dengan bambu jenis lain, disarankan untuk menggunakan bambu yang telah diawetkan terlebih dahulu. Dengan penggunaan bambu yang telah diawetkan, konstruksi yang dibuat menjadi lebih aman dengan masa penggunaan yang relatif lebih lama. Selain itu, perlu dilakukan finishing agar bambu dapat tampil lebih indah serta lebih tahan terhadap perubahan kelembaban udara. Langkah pertama dalam pemanfaatan bambu sebagai bahan konstruksi adalah pemilahan. Bambu akan mempunyai sifat fisik dan mekanik yang baik jika
91
sudah berumur 3 tahun atau lebih. Dalam pemilahan bambu, khususnya untuk pemakaiannya sebagai komponen pada struktur rangka batang ruang yang menerima gaya tarik dan tekan, maka diperlukan bambu yang relatif lurus. Bambu yang tidak lurus akan lebih cepat gagal dalam menerima gaya tekan. Mengingat bambu merupakan bahan bangunan anisotropis yang sangat kompleks, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang lebih mendetail mengenai sifat fisik dan mekanik bambu. Salah satunya adalah MOE bambu. Mengingat perbedaan kuat tarik dan kuat tekan bambu yang cukup besar diperkirakan nilai MOE tarik akan berbeda dengan MOE tekan. Selain itu penelitian terhadap bilangan poisson (υ) perlu dilakukan agar dapat diketahui nilai yang sebenarnya untuk bambu tali
92
9. KESIMPULAN UMUM Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan : 1. Bambu sebagai bahan bangunan yang berasal dari alam yang dapat diperbaharui serta cepat tumbuh merupakan bahan yang potensial untuk dikembangkan. Mengingat selain bentuknya yang mempunyai nilai estetik, bambu juga mempunyai kekuatan yang cukup baik. 2. Penelitian sifat fisik dan mekanik bambu tali, secara umum memberikan hasil: kerapatan bambu (ρ) sebesar 0,71 g/cm3, kuat tarik 57,8 MPa, kuat tekan 12,7 MPa, kuat geser 2,5 MPa dan modulus elastis (E) 8.300 MPa. 3. Penelitian terhadap perilaku tekuk bambu tali menunjukkan bahwa tekuk yang mungkin terjadi bukan hanya tekuk murni, tetapi juga local buckling yang merupakan fenomena umum pada struktur silinder berdinding tipis. Pada pengujian tekuk terlihat bahwa buku pada bambu berfungsi sebagai pengaku, sehingga tidak timbul local buckling pada daerah tersebut. 4. Pada pengujian perilaku tekuk diperoleh hubungan antara tegangan kritis dengan kelangsingan batang berupa fungsi: y = -7,9 . Ln (x) + 60, dimana y = tegangan kritis (MPa) dan x = angka kelangsingan. 5. Penelitian ini pada dasarnya lebih diarahkan untuk pembuatan rangka batang ruang yang merupakan bangunan prefabrikasi, sehingga lebih mengutamakan pada bentuk dan ukuran komponen yang seragam. Sementara jika kita perhatikan hasil analisa struktur secara teliti, besarnya gaya batang sangat beragam, bahkan ada beberapa batang yang gaya batangnya nol. Hal ini berarti bahwa batang tersebut tidak menahan beban, tetapi hanya berfungsi sebagai pengaku saja. Pada batang-batang ini, sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai tempat penggantung lampu penerangan, dengan memotong sebagian dinding bambu. Selain itu untuk efisiensi penggunaan bambu untuk model rangka batang ruang ST4, dapat dimanfaatkan bambu dengan diameter 4 cm pada batang-batang dimana gaya batang yang timbul kecil, sedangkan bambu berdiameter 6 cm digunakan pada batang yang memikul gaya batang besar. 6. Dalam pengujian kekuatan sampel (Bab 6) terlihat bahwa kekuatan tariknya ada sebagian yang tidak memenuhi pendugaan kekuatan tarik berdasarkan hasil perhitungan teori. Walaupun begitu jika dilihat pada hasil analisa struktur modelmodel rangka ruang nilai terkecil kuat tarik sampel (=1.091 kg) masih cukup
aman untuk menahan beban tarik maksimum dari keseluruhan model rangka batang yang dianalisa (= 546 kg). Hal ini berarti bahwa pemanfaatan bambu tali berdiameter 4 cm dam 6 cm dengan bentuk sambungan yang direncanakan masih cukup dapat diandalkan. 7. Berdasarkan analisa terhadap beberapa model rangka atap terbukti bambu berdiameter 4 cm dapat dimanfaatkan untuk pembuatan rangka batang ruang sampai dengan rangka berukuran 4 m x 4 m dan 3,75 m x 5 m dengan 4 (empat) tumpuan. Penggunaan bambu berdiamater 6 cm pada struktur tersebut akan menambah kekakuan struktur sehingga defleksi yang timbul menjadi sangat kecil. 8. Untuk strukur atap berukuran 3 m x 4 m yang ditumpu pada satu bidang, penggunaan bambu berdiamater 4 cm penggunaannya harus memanfaatkan bambu berdiameter 6 cm pada komponen-komponen yang menahan beban tekan besar; yaitu pada batang-batang di daerah tumpuan bagian bawah.
94
DAFTAR PUSTAKA
[Aachen] RWTH Aachen Univesity. 2005. Bamboo at The Institute of Structural Design. http://bambus.rwth-aachen.de/eng/3-structural-design.pdf[23 Desember2005] Albermani F, GY Goh, SL Chan. 2007 Lightweight Bamboo Double Layer Grid System, Engineering Structures J. Volume 29, Issue 7, July 2007, hlm 1499-1506 Bachtiar G, S Surjokusumo. 2005. Sambungan Pasak Berbaji sebagai Alat Sambung pada Konstruksi Bambu. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Perbambuan di Indonesia, Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta : Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, hlm 113-124. Bachtiar G, S Surjokusumo, YS Hadi, N Nugroho. 2005. Bamboo as Space Truss Elements. Dwianto W, editor. Proceedings of 6th International Wood Science Symposium, 28-30 August 2005. Bali Indonesia, hlm 9-11 Bachtiar G, S Surjokusumo, YS Hadi, N Nugroho. 2008. Perancangan Sambungan Bambu untuk Konstruksi Rangka Batang Ruang, J. Forum Pascasarjana 31:69-78 [Bamboo Living Resort]. 2005. Bamboo living.com. [8 Juni 2005] [BSN] Badan Standardisasi Nasional, 2004. SNI03-1727-1989: Tata Cara Perencanaan Pembebanan unutk Rumah dan Gedung. BSN, Jakarta. Dewi SM, S Priyo, TWulan. 2005. Memberdayakan Bambu dengan Struktur Komposit. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Perbambuan di Indonesia, Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta : Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, hlm 153-166 Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan. 1983. Peraturan Pembebanan Indonesia untuk Gedung 1983. Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, Bandung Dransfield S, EA Wijaya. 1995. PROSEA , Plant Resource of South East Asia 7. Bamboos, Backhuys Publisher, Leiden Faherty KF, T.G. Williamson. 1999. Wood Engineering and Construction Handbook. McGraw-Hill, United States of America. Frick, H. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu, Seri Konstruksi Arsitektur 7. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Fonrobert F, EWStoy, G Droge. 1960. Grundzuge des Holzbaues im Hochbau. Berlin : Verlag von Wilhelm Ernst & Sohn
[Geasindo]. Sekilas tentang Geas Space Frame. http : \\www.geasindo.co.id\spaceframe [28- 2-2003] Gere JM, SP Timoshenko. 1997. Mekanika Bahan jilid 1. B. Suryoatmono, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Judul asli : Mechanics of Material. GloriaOD. 1996. Studi Kuat Tekan dan Lentur pada Bambu Tali sebagai Konstruksi Kolom dan Balok dengan Sambungan Pasak. (Skripsi). Jakarta: Universitas Kristen Indonesia, Fakultas Teknik Hadipranoto, Winarni dan P.P Raharjo. 1985. Pengenalan Metoda Komponen Hingga pada Teknik Sipil. Penerbit Nova, Bandung. Hariandja, B. 1996. Mekanika Teknik : Statika Dalam Analisis Struktur Berbentuk Rangka. Jakarta : Erlangga. Harper, C.A. 1996. Handbook of Plastics, Elastomers, and Composites. McGraw-Hill, NewYork. Harsokoesoemo, H.D. 2000. Pengantar Perancangan Teknik (Perancangan Produk). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Hidalgo O. 1995. Problems and Solutions. Proceedings of the Vth International Bamboo Workshop and the IV International Bamboo Congress, Ubud : 19-22 June 1995. Bali : International Bamboo Congress, hlm.54-59 Huber, B. 2005. Bambu-Tec interconnection. [11-01-2005]
Constructionelements
.http://www.koolbambu/
[ICBO] International Conference of Building Officials. 2000. Acceptance Criteria for Structural Bamboo. AC162. California, USA [ISO] International Standard Organisation. 2004. N22157.-2004 Laboratory Manual on Testing Methods for Determination of Physical and Mechanical Properties of Bamboo. Janssen, J.J.A. 1981. Bamboo in Building Structures, Doctor of Technical Science Thesis, Eindhoven University of Technilogy, Eindhoven, Netherlands. Janssen, J.J.A. 1991. Mechanical Properties of Bamboo. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, Neherlands Katili, I. 2000. Aplikasi Metoda Elemen Hingga pada Rangka –Balok-Grid-Portal. Penerbit Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok.
96
Kusuma, B.W. 2006. Mengangkat Gengsi Bambu dalam Arsitektur Modern. Kompas, 23 April 2006. hlm 20 (kolom 1-70) Leet KM, Chia M.U. 2002. Fundamental of Structural Analysis. Mc Graw Hill, Boston. Liese W. 1980a. Anatomy of Bamboo. Bamboo Research in Asia, Proceedings of a Workshop. Singapore: 28-30 May 1980. Singapore : International Development Research Center and the International Union of Forestry Research Organizations. hlm 161 – 164. Liese W. 1980b. Preservation of Bamboo. Bamboo Research in Asia, Proceedings of a Workshop. Singapore: 28-30 May 1980. Singapore : International Development Research Center and the International Union of Forestry Research Organizations. hlm 165 – 172 López OH. 1981. Manual de Construcción Con Bambó. Estudios Tecnicos Columbianos, Colombia. Lessard G, A Chouinard. 1980. Bamboo Research in Asia, Proceedings of a workshop held in Singapore, 28-30 May 1980. International Development Research Center and The International Union Forestry Research Organizations. Makowski, Z.S. 1988. Konstruksi Ruang Baja. Huthudi, penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari : Construction Spatiales en Acier. Mardjono F. 2005. Keterkaitan siklus bambu dalam Konstruksi Bangunan di Indonesia. Makalah Seminar Nasinal Perkembangan Perbambuan di Indonesia, Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta : Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, hlm 23-32 Morisco. 1981. Rekayasa Bambu. Nafiri Offset, Yogyakarta. Morisco. 2005. Rangkuman Penelitian Bambu di Pusat Studi Ilmu Teknik (PSIT) UGM, Makalah Seminar Nasinal Perkembangan Perbambuan di Indonesia, Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta : Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, hlm 11-22 Morisco. 2006. Bahan Kuliah Teknologi Bambu, Program Magister Teknologi Bahan Bangunan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Muslich M. 2005. Pengawetan Bambu dalam Rangka Meningkatkan Umur Pakai dan Mutu Barang Jadi. Prosiding Seminar Nasinal Perkembangan Perbambuan di Indonesia, Yogyakarta, 17 Januari 2005. Yogyakarta : Pusat Studi Ilmu Teknik UGM, hlm II-27 – II-38 Nandika D, JR Matangaran IGK T Dharma. 1994. Keawetan dan Pengawetan Bambu, Prosiding Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia, Puspitek Serpong, 21-22 Juni 1994. Bogor : Yayasan Bambu Lestari, hlm 112 - 117
97
Nuryatin N. 2000. Studi Analisa Sifat-sifat Dasar Bambu pada beberapa tujuan Penggunaan, (Tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. Popov EP. 1984. Mekanika Teknik. Zainul Astamar Tanisan, penerjemah. Jakarta Erlangga. Judul asli : Mechanics of Materials Purwito. 1995. The Application of Bamboo for Earthquake-resistant Houses. Proceedings of the Vth International Bamboo Workshop and the IV International Bamboo Congress, Ubud : 19-22 June 1995. Bali : International Bamboo Congress, hlm. 5153 Sattar MA, MF Kabir, DK Bhattacharjee. 1991. Bamboo on Their Physical and Mechanical Properties. Proceedings 4th International Bamboo Workshop on Bamboo in Asia and The pacific. Chiangmai : 27-30 November 1991. Thailand : Forsa Publicaton, hlm 271 -275 Suardika K. 1994. Pengawetan Bambu dengan Metode Boucherie yang Dimodifikasi. Prosiding Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia, Puspitek Serpong, 21-22 Juni 1994. Bogor : Yayasan Bambu Lestari, hlm 118-122 Surjokusumo S, N Nugroho. 1994. Pemanfaatan Bambu sebagai Bahan Bangunan. Prosiding Sarasehan Penelitian Bambu Indonesia, Puspitek Serpong, 21-22 Juni 1994. Bogor : Yayasan Bambu Lestari, hlm 82 – 87 Tanaka M, Dniwa, Nyamamoto, S Funo. 1995. Bamboo as a Building Material in Japan: Transition and Contemporary Use. Proceedings of the Vth International Bamboo Workshop and the IV International Bamboo Congress, Ubud : 19-22 June 1995. Bali : International Bamboo Congress, hlm.16-21 Timoshenko SP, JNGoodier. 1994. Teori Elastisitas . Darwin Sebayang, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Judul asli : Engineering Mechanics. Villalobos OAA. 1993. Fundamentals of The Design of Bamboo Structures. (Thesis), Eindhoven, Netherlands : Eindhoven University of Technology. Wang CK. 1970. Matrix Methods of Structural Analysis. American Publishing, Wisconsin. Weaver W, JM Gere. 1996. Analisa Matrik untuk Struktur Rangka, Ed. Ke-2. Jakarta : Erlangga. Wira (penterjemah), judul asli: Matrix Analysis of Framed Sructures. Widjaya EA. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Puslitbang Biologi LIPI, Bogor. Zikrulah A. 2002. Perhitungan Proyek Hanggar Airport Padang, PT. Binatama Akrindo, Engineering report (tidak dipublikasikan).
98
Lampiran 1 : Tabel 3 ASTM D2915-03
99
Lampiran 2 : DATA DAN PERHITUNGAN KERAPATAN
Rata-rata
V
p(mm)
L(mm)
t(mm)
(mm3)
Dimensi Kering Udara sampel
panjang(mm)
lebar(mm)
tebal(mm)
BKT (gr)
BJ (gr/cm )
(kg/m3)
ρRata2(kg/m3) 764,8
3
T1
40,80
40,60
40,80
19,90
20,00
19,60
8,50
8,00
8,70
40,73
19,83
8,40
6786,17
4,81
0,71
708,06
T2
40,10
40,10
40,00
20,10
20,10
20,00
7,50
7,40
7,70
40,07
20,07
7,53
6056,83
5,22
0,86
862,00
T3
40,80
40,80
41,10
20,00
19,80
19,90
8,30
8,50
8,95
40,90
19,90
8,58
6986,06
4,86
0,69
694,96
T4
40,80
40,30
40,60
19,20
19,30
19,30
8,25
8,47
8,45
40,57
19,27
8,39
6558,67
4,92
0,75
750,00
T5
40,20
40,80
40,30
20,80
20,30
20,20
7,90
8,40
7,65
40,43
20,43
7,98
6595,73
5,21
0,79
789,45
P1
40,70
40,60
40,50
20,50
20,30
20,30
8,90
9,20
10,00
40,60
20,37
9,37
7745,17
6,08
0,78
784,36
P2
41,40
41,00
41,10
20,30
20,20
20,00
9,30
8,60
10,40
41,17
20,17
9,43
7831,50
4,77
0,61
608,82
P3
40,50
40,70
40,20
19,60
19,40
19,40
9,00
9,00
9,80
40,47
19,47
9,27
7299,83
4,41
0,60
604,67
P4
40,20
40,80
40,30
20,80
20,30
20,20
9,05
8,30
9,10
40,43
20,43
8,82
7284,22
4,73
0,65
649,76
P5
42,30
42,60
42,50
20,50
19,80
19,90
10,70
10,25
9,75
42,47
20,07
10,23
8720,48
5,93
0,68
680,12
Gabungan sampel
V
Rata-rata
T1
p(mm)
L(mm)
T2
40,73
19,83
T3
40,07
T4
BKT
(kg/m3)
4,81
0,71
708,06
6056,83
5,22
0,86
862,00
8,58
6986,06
4,86
0,69
694,96
19,27
8,39
6558,67
4,92
0,75
750,00
40,43
20,43
7,98
6595,73
5,21
0,79
789,45
P2
40,60
20,37
9,37
7745,17
6,08
0,78
784,36
P3
41,17
20,17
9,43
7831,50
4,77
0,61
608,82
P4
40,47
19,47
9,27
7299,83
4,41
0,60
604,67
P5
40,43
20,43
8,82
7284,22
4,73
0,65
649,76
42,47
20,07
10,23
8720,48
5,93
0,68
680,12
(mm3)
(gr)
8,40
6786,17
20,07
7,53
40,90
19,90
T5
40,57
P1
713,22
BJ (gr/cm )
t(mm)
665,5
3
Gabungan
ρRata2(kg/m3)
SD
CV (%)
ρmax
ρmin
n
764,8
61,2
8,0
862,0
695,0
5
665,5
73,3
11,0
784,4
604,7
5
713,22
83,3
11,69
862,00
604,67
10
100
LAMPIRAN 3: Data Pengujian Kadar Air bambu Tali No Sampel T1 T2 T3 T4 T5 T6 P1 P2 P3 P4 P5 P6
BKU (gr) 5,38 5,84 5,38 5,58 5,83 4,10 6,77 5,37 4,96 5,33 6,61 5,03
BKT (gr) 4,805 5,221 4,855 4,919 5,207 3,643 6,075 4,768 4,414 4,733 5,931 4,468
KA (%) 11,93 11,94 10,90 13,52 12,00 12,58 11,43 12,67 12,40 12,61 11,42 12,69
RATA-RATA 12,15%
SD 0,87
max 13,52
min 10,90
rata2 12,15
CV(%) 7,13
12,20%
0,61
12,7
11,42
12,2
5
101
Lampiran 4 : DATA DAN PERHITUNGAN PENYUSUTAN (1) Bambu Bagian Pangkal t1 t2 t3 t7 t8 D12 D34
Awal 10,20 9,20 8,80 9,10 9,35 42,95 41,65
Akhir 9,75 8,95 8,50 8,85 8,95 41,15 40,45
sst(%) 4,62 2,79 3,53 2,82 4,47 4,37 2,97
D56 D78 D90 L1 L2 L3 L4 L5
43,25 40,10 42,50 43,70 44,00 45,00 42,95 44,35
41,85 38,55 41,10 43,65 43,95 44,90 42,90 44,30
3,35 4,02 3,27 0,11 0,11 0,22 0,12 0,11
Rata2 Susut (%) ST= 3,65
Max 4,62
Min 2,79
SD 0,87
CV 23,9
N 5
SD=
3,60
4,37
2,97
0,58
16,2
5
SL=
0,14
0,22
0,11
0,05
35,6
5
(2) Bambu Bagian Tengah t2 t3 t5 t6 t7 D12 D34 D56 D63 D78 L1 L2 L3 L4 L5
Awal 8,60 8,30 8,00 7,40 8,55 47,15 46,60 45,80 45,65 46,75 49,10 50,50 49,40 47,95 50,35
Akhir 8,40 8,10 7,75 7,30 8,40 45,80 44,90 44,40 44,10 45,00 49,05 50,45 49,30 47,90 50,30
sst(%) 2,38 2,47 3,23 1,37 1,79 2,95 3,79 3,15 3,51 3,89 0,10 0,10 0,20 0,10 0,10
Rata2 Susut (%) ST= 2,25
MAX 3,23
MIN 1,37
SD 0,71
CV 31,5
N 5
SD=
3,46
3,89
2,95
0,4
11,7
5
SL=
0,12
0,2
0,1
0,05
37,4
5
102
Lampiran 5 DATA PENGUJIAN TEKAN
TANPA BUKU
No. SAMPEL T1K01 T1K02 T1K03 T1K04 T1K05 T1B08
A (cm2) 6,73 4,31 5,77 3,26 5,72 10,36
r (cm) 1,28 1,15 1,31 1,12 1,37 2,04
Pmax (kg) 3349,03 1866,29 2966,10 1563,34 2593,19 5070,00
σmax (kg/cm2) (Mpa) 497,26 48,73 432,78 42,41 513,73 50,35 478,96 46,94 453,23 44,42 489,53 47,97
σRata2
σmax
σMin
(Mpa) 46,80
(Mpa) 50,35
(Mpa) 42,41
SD (Mpa) 2,92
CV (%) 6,24
n 6
BUKU TENGAH
T1K11 T1K12 T1K13 T1K14 T1K16 T1K18
7,79 5,36 7,70 7,46 8,90 9,38
1,16 1,27 1,27 1,39 1,28 1,24
3387,13 2852,43 3650,99 3399,31 4063,27 4249,76
434,79 532,36 473,93 455,83 456,56 452,97
42,61 52,17 46,44 44,67 44,74 44,39
45,84
52,17
42,61
3,33
7,27
6
TANPA BUKU
P1K01 P1K02 P1K03 P1K04 P1K05
8,40 6,50 11,43 8,82 8,87
1,35 1,21 1,47 1,33 1,38
4065,33 2566,14 4403,37 4124,77 3291,43
483,78 394,84 385,15 467,83 371,13
47,41 38,69 37,74 45,85 36,37
41,21
47,41
36,37
5,04
12,24
5
BUKU TENGAH
P1K11 P1K12 P1K13 P1B18 P1B19
7,78 11,00 9,45 16,57 14,96
1,21 1,25 1,37 1,95 1,95
2779,48 4598,00 4140,49 5982,00 5425,35
357,21 418,12 437,93 360,98 362,65
35,01 40,98 42,92 35,38 35,54
37,96
42,92
35,01
3,71
9,76
5
103
Lampiran 6: DATA PENGUJIAN TARIK SAMPEL BAMBU BAGIAN PANGKAL SAMPEL PL01 PL02 PL03 PL04 PL05
LEBAR (mm) 2,25 3,25 2,90 2,10 2,20
TEBAL (mm) 2,45 2,75 1,90 2,30 1,90
LUAS (mm2) 5,51 8,94 5,51 4,83 4,18
Pmax (kgf) 221,00 326,90 303,70 175,65 159,60
P/A (kgf/mm2) 40,09 36,58 55,12 36,37 38,18
P/A Mpa 392,89 358,45 540,16 356,39 374,18
PL11 PL12 PL13 PL14 PL15 PL16 PL17
3,75 3,90 3,65 3,05 3,10 3,00 2,95
3,80 3,25 2,90 2,95 2,70 1,90 2,55
14,25 12,68 10,59 9,00 8,37 5,70 7,52
218,40 195,90 201,40 154,92 129,92 100,10 124,12
15,33 15,46 19,03 17,22 15,52 17,56 16,50
PD01 PD02 PD03 PD04 PD05
2,65 2,25 2,40 3,10 3,10
2,90 2,75 2,50 2,70 2,70
7,69 6,19 6,00 8,37 8,37
140,10 94,00 71,59 106,70 129,92
PD11 PD12 PD13 PD14 PD15
2,90 3,00 2,20 2,8 2,95
3,55 3,25 3,40 3,2 3,4
10,30 9,75 7,48 8,96 10,03
39,60 36,20 25,27 36,67 64,1
SD 77,28
max 540,16
Min 356,39
AVG 404,41
CV(%) 19,11
n 5
150,20 151,47 186,46 168,74 152,12 172,10 161,70
13,43
186,46
150,20
163,25
8,23
7
18,23 15,19 11,93 12,75 15,52
178,66 148,88 116,93 124,93 152,12
30,87
178,66
116,93
144,30
21,39
5
3,85 3,71 3,38 4,09 6,39
37,70 36,39 33,11 40,11 62,63
11,81
62,63
33,11
41,99
28,14
5
104
Lampiran 7: DATA PENGUJIAN TARIK SAMPEL BAMBU BAGIAN TENGAH SAMPEL TL01 TL02 TL03 TL04 TL05
LEBAR (mm) 3,00 3,40 2,75 2,00 1,95
TEBAL (mm) 2,30 2,00 1,90 1,90 1,80
LUAS (mm2) 6,90 6,80 5,23 3,80 3,51
Pmax (kgf) 259,00 227,00 203,00 140,18 91,59
P/A (kgf/mm2) 37,54 33,38 38,85 36,89 26,09
P/A MPa 367,86 327,15 380,75 361,52 255,72
TL11 TL12 TL13 TL14 TL15
3,55 3,25 3,15 3,90 2,30
3,65 2,85 3,15 3,25 3,10
12,96 9,26 9,92 12,68 7,13
185,90 143,30 156,60 183,80 112,10
14,35 15,47 15,78 14,50 15,72
TD01 TD02 TD03 TD04 TD05
3,50 3,30 2,00 2,10 2,30
2,80 3,00 1,76 1,10 1,30
9,80 9,90 3,52 2,31 2,99
160,10 186,20 63,70 35,30 64,99
TD11 TD12 TD13 TD14 TD15
5,00 2,80 3,80 2,95 1,90
4,10 3,50 3,80 3,20 3,70
20,50 9,80 14,44 9,44 7,03
58,40 36,30 58,35 27,09 22,80
SD 22,89
max 380,75
Min 327,15
AVG 359,32
CV(%) 6,37
n 5
140,60 151,62 154,67 142,11 154,08
6,75
154,67
140,60
148,61
4,54
5
16,34 18,81 18,10 15,28 21,74
160,10 184,32 177,35 149,76 213,01
24,38
213,01
149,76
176,91
13,78
5
2,85 3,70 4,04 2,87 3,24
27,92 36,30 39,60 28,12 31,78
5,89
39,60
27,92
32,99
17,86
5
105
Lampiran 8. DATA UJI GESER
No.Sampel B1 B2 B4 B5 B6 B7 G1 G2 G3 G4 G5 G6
dimensi bid geser (mm) l1 l2 h1 h2 20,80 20,80 20,75 20,75 21,40 21,20 20,00 20,00 20,65 20,50 19,85 19,40 20,75 20,30 22,10 22,25 19,40 19,35 20,00 20,45 20,95 20,90 19,20 19,50 21,45 21,60 14,85 15,00 22,80 23,80 23,15 22,60 24,75 24,75 20,60 21,40 21,60 21,80 18,25 19,60 21,20 21,35 23,00 21,00 19,40 19,60 22,90 24,00
Pgeser (kg) 346,20 366,90 320,00 441,10 333,60 323,90 304,00 382,90 369,10 343,40 438,9 416,20
Sampel B Uji geser melalui tekan
tegangan geser (kg/mm2) (kg/cm2) 0,802 80,21 0,861 86,13 0,793 79,25 0,969 96,91 0,851 85,13 0,800 80,00 0,946 94,63 0,718 71,84 0,710 71,01 0,836 83,62 0,938 93,77 0,910 91,02
CV(%)
Max
Min
τk = xr-
τ ijin
Ratarata 84,61
SD 6,68
7,90
96,91
79,25
68,14
(kg/cm2) 30,28
84,32
10,71
12,70
94,63
71,01
57,93
25,74
2.464*SD
Sampel G Uji geser melalui tarik
106
Lampiran 9 : DATA PENGUJIAN TEKUK
TANPA BUKU
BUKU TENGAH
TANPA BUKU
BUKU TENGAH
Bambu D = + 6 cm
BUKU TENGAH
TANPA BUKU
sampel D01 D02 D03 D04 D05 D06 D07 D08 D09 D11 D12 D14 D15 D16 D17 D18 D19 E02 E03 E04 E05 E06 E07 E08 E09 E11 E12 E13 E15 E16 E17 F01 F02 F03 F05 F06 F08 F09 F12 F14 F15 F16 F17 F18
d
D
I
A
t
r
L
(cm) 4,76 4,09 3,67 4,34 4 4,76 4,25 4,47 5,04 5,24 4,59 4,35 5,36 5,08 3,96 4,67 5,01 4,71 5,07 4,81 4,69 4,53 4,43 5 4,39 5,23 5 5,05 5,21 5,05 4,39 4,12 4,48 4,91 4,88 5,27 4,38 4,67 4,32 4,53 4,31 4,75 4,39 4,93
(cm) 5,85 5,75 4,99 5,95 5,89 6,57 6,09 5,65 6,35 6,28 5,88 5,89 6,26 6,41 5,44 5,67 6,53 5,83 6,3 6,11 6,09 6,13 5,61 6,26 5,38 6,26 6,11 6,43 6,38 6,3 5,89 6,12 6,04 6,62 6,26 6,51 6,19 6,18 6,28 5,68 5,74 6,3 5,4 6,16
(cm4) 32,18 39,9 21,45 43,88 46,35 66,19 51,41 30,45 48,18 39,2 36,77 41,36 34,88 49,96 30,79 27,29 58,15 32,44 44,81 41,89 43,48 48,48 29,83 44,62 22,88 38,76 37,55 51,96 45,34 45,38 40,89 54,76 45,51 65,51 47,58 50,14 53,93 48,21 59,35 30,5 36,14 52,14 23,61 41,83
(cm2) 9,07 12,82 8,96 12,96 14,66 16,11 14,93 9,39 11,73 9,38 10,58 12,37 8,23 11,95 10,88 8,11 13,76 9,24 10,96 11,1 11,78 13,38 9,34 11,13 7,59 9,31 9,65 12,44 10,69 11,15 12,11 16,11 12,89 15,43 12,09 11,44 15 12,87 16,33 9,24 11,24 13,4 7,8 10,75
(cm2) 1,09 1,66 1,32 1,61 1,89 1,81 1,84 1,18 1,31 1,04 1,29 1,54 0,9 1,33 1,48 1 1,52 1,12 1,23 1,3 1,39 1,6 1,19 1,26 0,99 1,03 1,11 1,38 1,18 1,25 1,5 2,01 1,56 1,71 1,38 1,24 1,81 1,51 1,96 1,15 1,43 1,55 1,02 1,24
(cm) 1,88 1,76 1,55 1,84 1,78 2,03 1,86 1,8 2,03 2,04 1,86 1,83 2,06 2,04 1,68 1,83 2,06 1,87 2,02 1,94 1,92 1,9 1,79 2 1,74 2,04 1,97 2,04 2,06 2,02 1,84 1,84 1,88 2,06 1,98 2,09 1,9 1,94 1,91 1,82 1,79 1,97 1,74 1,97
(cm) 50,4 50,2 49,2 49,5 51 50,6 50 49,5 53 50,3 49,6 50,2 50,4 49,7 50,2 50 50,6 69,7 70,5 70,3 67,8 66,5 70 69,8 70,3 65,8 69,7 69,9 70,1 70,2 70,3 90,3 90,3 90,8 90,5 91 90,3 90,4 92 90,4 90,3 89,7 90,5 90,5
Pmax
P/A
kg 4020 3598 3820 4200 4812 4726 3496 3722 5092 4250 4008 5142 2290 4576 2970 2596 4882 3358 3670 4864 3062 4834 4222 4862 3272 3582 3380 3900 4198 4264 3318 6945 3290 4246 5340 4492 6410 5280 3240 3160 3514 3462 3092 4719
MPa 43,45 27,52 41,80 31,77 32,18 28,76 22,96 38,86 42,56 44,42 37,14 40,75 27,28 37,54 26,76 31,38 34,78 35,63 32,83 42,96 25,48 35,42 44,32 42,83 42,26 37,72 34,34 30,74 38,50 37,49 26,86 42,26 25,02 26,98 43,30 38,50 41,90 40,22 19,45 33,53 30,65 25,33 38,86 43,04
L/r 26,76 28,46 31,81 26,9 28,68 24,96 26,94 27,49 26,16 24,61 26,6 27,45 24,45 24,28 29,82 27,25 24,61 37,21 34,87 36,18 35,29 34,93 39,17 34,86 40,5 32,26 35,34 34,2 34,04 34,8 38,26 48,98 48,06 44,07 45,59 43,47 47,62 46,69 48,27 49,76 50,35 45,48 52,01 45,88
107
DATA PENGUJIAN TEKUK (Lanjutan)
TANPA BUKU BUKU TENGAH TANPA BUKU BUKU TENGAH
Bambu D = + 4 cm
BUKU TENGAH
TANPA BUKU
sampel M01 M02 M03 M04 M05 M06 M08 M09 M11 M12 M13 M14 M15 M16 M17 M18 N01 N02 N03 N04 N05 N06 N07 N11 N12 N13 N14 N15 N16 N17 O01 O02 O03 O04 O05 O06 O11 O12 O13 O14 O15 O16 O17
d (cm) 3,11 2,93 2,31 3,26 2,52 3,3 3,11 3,53 3,06 3,3 2,97 3,15 3,15 3,39 2,77 3,12 3,26 3,26 3 3,55 3,38 3,55 3,54 3,45 3,27 2,93 3,1 2,5 3,16 3,31 2,78 3,48 3,08 2,71 3,03 3,34 3,19 3,18 3,46 3,58 3,31 3,63 2,86
D (cm) 5,03 4,01 3,96 4,78 4,37 4,81 4,67 4,71 4,94 4,94 4,15 3,95 3,99 4,03 4,64 4,81 4,4 4,04 4,23 4,46 4,54 4,55 4,72 4,58 4,4 3,79 4,69 4,2 4,16 4,85 3,87 5,08 3,99 3,9 3,79 4,18 4,11 4,21 4,46 4,63 4,57 4,97 4,23
I (cm4) 26,77 9,04 10,65 19,96 15,87 20,32 18,76 16,55 24,83 23,26 10,76 7,1 7,53 6,44 19,8 21,6 12,76 7,5 11,73 11,56 14,47 13,26 16,52 14,58 12,8 6,56 19,24 13,32 9,87 21,18 8,12 25,5 8,08 8,69 5,95 8,91 8,94 10,41 12,31 14,39 15,45 21,4 12,35
A (cm2) 12,26 5,87 8,12 9,56 9,99 9,56 9,54 7,65 11,79 10,56 6,60 4,45 4,66 3,72 10,86 10,51 6,82 4,46 6,98 5,70 7,22 6,36 7,60 7,11 6,82 4,57 9,73 8,93 5,79 9,85 5,73 10,77 5,09 6,16 4,05 4,98 5,28 5,99 6,20 6,73 7,76 9,06 7,59
t (cm2) 1,92 1,08 1,65 1,52 1,85 1,5 1,56 1,18 1,88 1,63 1,18 0,8 0,83 0,64 1,87 1,69 1,14 0,78 1,23 0,91 1,16 1 1,17 1,13 1,13 0,87 1,59 1,7 1,01 1,54 1,1 1,6 0,92 1,19 0,76 0,84 0,92 1,03 1 1,05 1,26 1,34 1,37
r (cm) 1,48 1,24 1,14 1,45 1,26 1,46 1,4 1,47 1,45 1,48 1,28 1,26 1,27 1,31 1,35 1,43 1,37 1,3 1,3 1,42 1,42 1,44 1,47 1,43 1,37 1,2 1,41 1,22 1,31 1,47 1,19 1,54 1,26 1,19 1,21 1,34 1,3 1,32 1,41 1,46 1,41 1,54 1,28
L (cm) 50,0 52,1 49,9 50,5 50,0 49,9 50,5 51,0 50,4 50,2 50,0 49,9 50,5 50,6 50,7 49,8 69,6 70,1 71,4 70,2 69,9 70,4 70,2 70,2 69,5 70,5 69,8 70,4 70,1 71,8 90,1 89,8 89,8 89,8 89,8 90,8 90,5 90,8 89,9 90,2 92,6 90,3 90,0
Pmax kg 2006 1284 1026 2398 1452 2754 2210 2390 2464 2040 1090 1530 944 1564 2482 2932 2484 986 1090 1548 2244 1840 2520 1992 1840 1230 3012 1230 1432 2001 1428 2178 691 1050 714 1294 1960 1506 2042 2226 2034 1802 1142
P/A MPa 16,04 21,45 12,39 24,59 14,25 28,24 22,71 30,63 20,49 18,94 16,19 33,71 19,86 41,22 22,41 27,35 35,71 21,67 15,31 26,63 30,47 28,36 32,51 27,47 26,45 26,39 30,35 13,50 24,25 19,92 24,43 19,83 13,31 16,71 17,28 25,47 36,39 24,65 32,29 32,43 25,70 19,50 14,75
L/r 33,84 41,98 43,58 34,94 39,66 34,23 36,01 34,67 34,73 33,82 39,16 39,5 39,75 38,49 37,54 34,74 50,88 54,09 55,07 49,27 49,37 48,77 47,61 49,03 50,72 58,88 49,63 57,65 53,68 48,97 75,65 58,35 71,28 75,61 74,11 67,86 69,53 68,86 63,77 61,69 65,65 58,74 70,56
108
Lampiran 10 Analisa Perhitungan Dimensi Sambungan Batasan: 1. Baut yang digunakan berdiameter 6 mm, dengan panjang 20 cm, lengkap dengan mur (hexanut) 2. Ring A dan ring B terbuat dari pelat baja dengan ketebalan 2mm. Untuk bambu brdiameter (D) 4- 4,5 cm digunakan ring berdiameter 2.9 cm dengan lubang 8 mm di tengahnya. Untuk bambu berdiameter (D) 6-6,5 cm digunakan ring berdiameter 4,9 cm dengan lubang berdiameter 8 mm di tengahnya. 3. Bambu yang berdiameter (D) 4 – 4,5 cm dibubut pada bagian ujung dalamnya sehingga diameter dalamnya (d) menjadi 3 cm. 4. Bambu yang berdiameter (D) 6 – 6,5 cm dibubut pada bagian ujung dalamnya sehingga diameter dalamnya (d) menjadi 5 cm. 5. Pasak dibuat dari kayu meranti merah (Shorea sp.)yang termasuk kelas kuat II ( σ tk = 85 kg/cm2). Perhitungan : 1. Gaya tekan (P = 120 kg) Pada saat gaya tekan bekerja, diasumsikan pelat besi ring A aman. Kontrol perlu dilakukan terhadap buluh bambu. Pada bambu dengan D= 4 cm dan d = 3 cm: P = σ tk . A = 124 kg/cm2 . π . (42 - 32) = 2726,9 kg > Pbekerja= 120 kg (aman) Kontrol terhadap tekuk : Dengan L (panjang buluh) = 90 cm, D= 4 cm dan d = 3 cm Didapat : r (jari-jari inersia)= 1,25 λ = L/r = 90/1,25 = 72 Dari tabel tekuk didapat : ω = 1,9 ω.P 1,9 x120 = 41,46 kg/cm2 < σ σ= = 5,5 A
tk
= 124 kg/cm2 (aman)
Untuk bambu berdiameter 6 cm, tidak perlu dihitung karena A lebih besar dan λ lebih kecil, sehingga aman
h d D Gambar Dimensi sambungan 109
Lampiran 10 (lanjutan) 2. Gaya Tarik (P =50 kg) a. Untuk bambu berdiameter 4 cm Kontrol pasak kayu : D = 4 cm, d = 3 cm, A = 5,5 cm2 P 50 σ = bek = = 9,09 kg/cm2 < σ tk = 85 kg/cm2 A 5,5 P Tegangan geser yang bekerja = ≤ τ tg = 1.3kg / cm 2 π .D.h P 50 h = = = 4,08 cm ≅ 5 cm π .d .τ π .3.1,3 b. Untuk bambu berdiameter 6 cm Pasak : aman P Tegangan geser yang bekerja = ≤ τ tg = 1.3kg / cm 2 π .D.L P 50 h= = = 2,5 cm ≅ 3 cm π .d .τ π .5.1,3
110
Lampiran 11. : Data untuk perhitungan analisa struktur Profil buluh bambu yang digunakan Profil B1 : D= 4 cm, d = 3 cm Profil B2 : D = 6 cm, d = 5 cm Sifat Fisik dan Mekanik Bahan berdasarkan penelitian σtekan = 12,7 MPa , σtk max = 37 MPa σtarik = 60 MPa , σtrk max = 154 MPa E = 8.300 Mpa ρ = 0,7 gr/cm3 = 700 kg/m3 Berat/volume = 6800 N/m3 Sifat Fisik dan Mekanik berdasarkan data sekunder (Janssen, J.J.A., 1991). Bilangan Poisson : υ = 0,49 E 8300 = = 2.780 MPa Modulus Geser : G = 2.(1 + υ ) 2.(1 + 0,49) Konduktivitas Panas : K = 2,07 per mil/0C Beban yang diperhitungkan : 1) Berat sendiri : Penutup atap = 15 kg/m2 Gording = 2 kg/m2 2) Beban hidup: Beban hidup atap = 100 kg/m2 (beban untuk atap rangka atap yang dapat dicapai orang) 3) Beban Angin Beban depan = -1,2 x`25 kg/cm2 = -30 kg/cm2 Beban belakang = 1,2 x`25 kg/cm2 = 30 kg/cm2 (untuk atap miring sepihak dengan 0 0 ≤ α ≤ 10 0 ) (Bentuk-bentuk rangka batang ruang yang dianalisa :
1) ST.1 : rangka atap 3m x 4 m dengan 4 tumpuan, panjang komponen 1 m( Gambar 1) 2) ST.2 : rangka atap berukuran 3,75m x 5m dengan empat tumpuan,panjang komponen 1,25 m (Gambar 2) 3) ST.3 : rangka atap berukuran 4 x 4 m, panjang komponen 1 m (gambar 3) 4) ST.4 : rangka atap 3m x 4 m overstek dengan7 tumpuan pada dinding dan panjang komponen 1 m(gambar 4) Semua analisa struktur rangka atap dilakukan dengan program SAP dan dilakukan sebanyak dua kali;yaitu dengan menggunakan buluh bambu berdiameter 4 cm dan 6 cm.
111
Lampiran 12. Bentuk-bentuk dan Koordinat Rangka Batang T
S
N g
P
O h
I d
e
E
F
f
b
A
B
C
A
D
3x1m
Gambar 1. ST 1 V
m P
Q
F a
T l
g
b
h J
I d
c C
O
N
H
B
p
k M
G
D
3 x 1,25 m
Y
S
f
e
A
R
L
K
X o
j
i
c
Gambar 2. ST2
W n
b B
H
G
4x1m
U
f
F a
L
K e
E
c
i
J d
P
O h
I
H
G
a
g L
K
l
N
M
i
J
k
j
4x1m
M
l
T
S
4 x 1m
k
j
R
Q
44 xx 11,25m m
R
Q
D
E
4x1m Gambar 3. ST 3
3 x1m Gambar 4. ST 4
Keterangan gambar 1, 2, 3 dan 4 Batang atas Batang diagonal Batang bawah
112
Lampiran 12 (lanjutan)
Koordinat joint Gambar 1 (ST1) x Y z Titik (m) (m) (m) A 0 0 0,7071 B 1 0 0,7071 C 2 0 0,7071 D 3 0 0,7071 E 0 1 0,7071 F 1 1 0,7071 G 2 1 0,7071 H 3 1 0,7071 I 0 2 0,7071 J 1 2 0,7071 K 2 2 0,7071 L 3 2 0,7071 M 0 3 0,7071 N 1 3 0,7071 O 2 3 0,7071 P 3 3 0,7071 Q 0 4 0,7071 R 1 4 0,7071 S 2 4 0,7071 T 3 4 0,7071 a 0,5 0,5 0 b 1,5 0,5 0 c 2,5 0,5 0 d 0,5 1,5 0 e 1,5 1,5 0 f 2,5 1,5 0 g 0,5 2,5 0 h 1,5 2,5 0 i 2,5 2,5 0 j 0,5 3,5 0 k 1,5 3,5 0 l 2,5 3,5 0
Ttk A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T a b c d e f g h i j k l
Gambar 2 (ST2) x Y z (m) (m) (m) 0 0 0,8839 1,25 0 0,8839 2,5 0 0,8839 3,75 0 0,8839 0 1,25 0,8839 1,25 1,25 0,8839 2,5 1,25 0,8839 3,75 1,25 0,8839 0 2,5 0,8839 1,25 2,5 0,8839 2,5 2,5 0,8839 3,75 2,5 0,8839 0 3,75 0,8839 1,25 3,75 0,8839 2,5 3,75 0,8839 3,75 3,75 0,8839 0 5 0,8839 1,25 5 0,8839 2,5 5 0,8839 3,75 5 0,8839 0,625 0,625 0 1,875 0,625 0 3,125 0,625 0 0,625 1,875 0 1,875 1,875 0 3,125 1,875 0 0,625 3,125 0 1,875 3,125 0 3,125 3,125 0 0,625 4,375 0 1,875 4,375 0 3,125 4,375 0
Gambar 3 (ST3) x Y z Titik (m) (m) (m) A 0 0 0,7071 B 1 0 0,7071 C 2 0 0,7071 D 3 0 0,7071 E 4 0 0,7071 F 0 1 0,7071 G 1 1 0,7071 H 2 1 0,7071 I 3 1 0,7071 J 4 1 0,7071 K 0 2 0,7071 L 1 2 0,7071 M 2 2 0,7071 N 3 2 0,7071 O 4 2 0,7071 P 0 3 0,7071 Q 1 3 0,7071 R 2 3 0,7071 S 3 3 0,7071 T 4 3 0,7071 U 0 4 0,7071 V 1 4 0,7071 W 2 4 0,7071 X 3 4 0,7071 Y 4 4 0,7071 a 0,5 0,5 0 b 1,5 0,5 0 c 2,5 0,5 0 d 3,5 0,5 0 e 0,5 1,5 0 f 1,5 1,5 0 g 2,5 1,5 0 h 3,5 1,5 0 i 0,5 2,5 0 j 1,5 2,5 0 k 2,5 2,5 0 l 3,5 2,5 0 m 0,5 3,5 0 n 1,5 3,5 0 o 2,5 3,5 0 p 3,5 3,5 0
Gambar 4 (ST4) x Y z Titik (m) (m) (m) A 0 0 0 B 1 0 0 C 2 0 0 D 3 0 0 E 0 1 0 F 1 1 0 G 2 1 0 H 3 1 0 I 0 2 0 J 1 2 0 K 2 2 0 L 3 2 0 M 0 3 0 N 1 3 0 O 2 3 0 P 3 3 0 Q 0 4 0 R 1 4 0 S 2 4 0 T 3 4 0 a 0,5 0,5 0,7071 b 1,5 0,5 0,7071 c 2,5 0,5 0,7071 d 0,5 1,5 0,7071 e 1,5 1,5 0,7071 f 2,5 1,5 0,7071 g 0,5 2,5 0,7071 h 1,5 2,5 0,7071 i 2,5 2,5 0,7071 j 0,5 3,5 0,7071 k 1,5 3,5 0,7071 l 2,5 3,5 0,7071
113
Lampiran 12 (lanjutan)
Jumlah Batang
ST1 atas bawah Diagonal jml
31 17 48 96
Model Rangka Batang ST2 ST3 31 40 17 24 48 64 96 128
ST4 31 21 48 100
Pembebanan
Beban mati (kg/m2) Beban hujan (kg/m2) Beban pekerja+alat (kg/m2) Beban angin (kg/m2) Luas atap (m2) Jumlah joint Beban sendiri (kg/joint) Beban hujan (kg/joint) Beban pekerja+alat (kg/Joint) Beban angin (kg/joint)
Model Rangka batang Ruang ST1 ST2 ST3 ST4 20 20 20 20 32 32 32 32 100 100 100 100 30 30 30 30 12 18,75 16 12 20 20 25 20 12 18,75 12,8 12 19,2 30 20,48 19,2 60 93,75 64 60 18 28,125 19,2 18
114
Lampiran 13 : Data Pengujian Kekuatan Sambungan Tarik No Sampel Pmax (kg) P1 1353 P9 1341 P10 1369 P13 1379 P14 1515 P15 1091 P17 1128 P21 1098 Rata-rata 1284,25 SD 157,57 CV 0,123 max 1515 min 1091
Tekan No.Sampel Pmax (kg) P2 2430 P5 2459 P6 3349 P8 2356 P11 2443 P12 2772 P16 3223 P20 3176 Rata-rata 2776,00 SD 413,29 CV 0,149 max 3349 min 2356
Tabel data buluh bambu No. Sampel P1 P2 P5 P6 P8 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P20 P21 P9 P10 P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17
D1(mm) 42,00 41,30 42,95 43,60 42,40 42,00 44,30 46,10 42,20 42,90 44,45 43,95 42,40 41,70 41,80 44,25 42,00 44,30 46,10 42,20 42,90 44,45 43,95 42,40 41,70
D2(mm) 44,50 41,75 43,55 42,85 41,15 42,20 44,70 41,25 41,20 44,60 43,15 43,60 40,95 41,25 40,50 44,75 42,20 44,70 41,25 41,20 44,60 43,15 43,60 40,95 41,25
d1 (mm) 29,60 30,70 27,30 28,00 27,55 30,00 25,85 26,25 30,50 24,60 23,85 31,45 27,50 30,60 30,50 29,00 30,00 25,85 26,25 30,50 24,60 23,85 31,45 27,50 30,60
d2 (mm) 31,00 31,90 28,60 28,00 28,10 31,00 26,50 24,30 31,00 24,10 22,25 32,40 29,25 30,75 30,85 31,35 31,00 26,50 24,30 31,00 24,10 22,25 32,40 29,25 30,75
keterangan tarik tekan tekan tekan tekan tarik tarik tekan tekan tarik tarik tarik tekan tarik tekan tekan tarik tarik tekan tekan tarik tarik tarik tekan tarik
Keterangan : D1, D2 = diameter luar bambu (diukur dua kali) d1, d2 = diameter dalam bambu (diukur dua kali)
115