Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PEMANFAATAN ASAP CAIR SEBAGAI OBAT SCABIES PADA KAMBING (Use of Liquid Smoke (Brolisis) for Scabies Treatments in Goats) ANASTASIA SISCHA JATI UTAMI, A.A.NG.B. S. DINATA dan S. GUNTORO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Jl. By-Pass Ngurah Rai Pesanggaran, Denpasar
ABSTRACT Within green tehnology era benefit from the nature as a solution of environmental green effects is necessary to be developed. Any kind of chemical products should be avoided and replaced by the use of organic products. Pyrolisis ia a technology to save the environment. Material used in this study is material waste of cattle feed. The result of pyrolisis is liquid smoke. This liquid smoke was dispersed from smoke steam in the water or as a result from pyrolisis condense from leaf and branch. By applying this technology topically on the skin lessions infected by scabies, 2 week after application the sheep showed healing progress from scabies. This application was done to 15 sheep, applied 3 times within 2 weeks. Key Words: Pyrolisis, Liquid Smoke, Scabies ABSTRAK Dalam era teknologi hijau pemanfaatan bahan-bahan ramah lingkungan sebagai solusi permasalahan lingkungan yang timbul belakangan ini sangat diperlukan. Segala macam bentuk bahan kimia dihindarkan dan mengarah pada penggunaaan bahan organik. Termasuk penggunaan obat-obat kimia juga mulai dikurangi. Teknologi pemanfaatan lingkungan secara organik salah satunya adalah pirolisa. Bahan yang digunakan dalam pirolisa ini adalah bahan sisa pakan dari ternak yang tersisa di kandang. Hasilnya diperoleh asap cair. Asap cair ini merupakan disperse dari uap asap dalam air, atau cairan hasil kondensasi dari pirolisa batang dan daun. Dengan mengoleskan asap cair pada bagian ternak yang terkena scabies setelah aplikasi 2 minggu ternak sembuh dari scabies. Pengaplikasian dilakukan pada 15 ekor kambing. Rata-rata pemberian sebanyak 3 kali dalam 2 minggu. Key Words: Pyrolisa, Asap Cair, Skabies
PENDAHULUAN Masalah lingkungan dewasa ini telah menjadi isu yang penting karena rusaknya lingkungan memberi dampak yang luas bagi kehidupan masyarakat. Banyaknya produk kimia yang bahan-bahannya teresidu menjadi bahan yang tidak dapat didegradasi oleh lingkungan menyebabkan perlunya solusi untuk pemecahannya. Salah satu produk kimia yang berbahaya adalah obat-obat hewan karena produk obat biasanya akan teresidu dalam tubuh hewan dan nantinya akan teresidu dalam tubuh manusia karena di konsumsi. Karena hewan rentan terhadap penyakit tentunya sistem pengobatan hewan sangat penting diterapkan. Salah satu penyakit pada hewan yang sulit ditanggulangi adalah scabies yang
504
disebabkan oleh parasit Scabies scabiei. Desa Pucak Sari kecamatan Buleleng Bali mayoritas masyarakatnya memelihara kambing. Kambing yang dipelihara peternak di daerah ini sering terkena penyakit scabies. Sistem pemeliharaan ternak dan kondisi serta sanitasi kandang menyebabkan tingginya resiko penularan antar kambing. Untuk itu harus dicari solusi pengobatan dari alam yang bahannya tidak berbahaya dan mudah terdegradasi tapi tetap efektif dalam pemakaiannya. Penggunaan bahan obat alternatif terutama diambil dari tanaman. Bahan tanaman yang berasal dari sisa-sisa pakan ternak yang terbuang begitu saja ternyata dapat diolah menjadi bahan yang berguna bagi ternak dengan proses pirolisis yang menghasilkan asap cair.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Pirolisis atau termolisis adalah proses dekomposisi kimia dengan menggunakan pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Proses ini sebenarnya merupakan bagian dari proses karbonisasi yaitu proses untuk memperoleh karbon atau arang, jadi sebagian menyebut bagian pada proses pirolisis merupakan High Temperature Carbonization (HTC), lebih dari 500 ºC. Proses pirolisis menghasilkan produk berupa bahan bakar padat yaitu karbon, cairan berupa campuran tar dan beberapa zat lainnya. Produk lain adalah gas berupa karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan beberapa gas yang memiliki kandungan kecil. Hasil dari pirolisa ini nantinya adalah asap dalam bentuk cair berwarna hitam pekat. Asap cair ini banyak mengandung hidrokarbon dan senyawa polifenol yang berasal dari tanaman. Kandungan hidrogen juga terdapat dalam produksi asap cair ini. Asap cair merupakan cairan disperse uap dalam air atau cairan kondensasi dari pyrolisa kayu tempurung kelapa atau bahan sejenis sehinggga menghasilkan asap cair yang memiliki sifat spesifik asap. Asap cair memiliki sifat antioksidatif dan bisa digolongkan sebagai antioksidan alami. Scabies atau kudis adalah penyakit mamalia yang gatal dan menular pada mamalia domestik atau mamalia liar yang disebabkan oleh parasit dalam bentuk tungau (mite) Sarcoptes scabiei (SOULSBY, 1986). Berdasarkan analisis sekuens daerah ribosomal RNA menunjukkan perbedaan diantara spesies (SOULSBY, 1986). Berdasarkan ekperimental tidak ada penularan scabies dari anjing ke tikus, marmot, domba dan kambing. Hal tersebut menunjukan bahwa Sarcoptes scabiei mempunyai induk semang yang spesifik (ARLIAN et al., 1994). Tiap induk semang hanya berbeda dalam ukuran tetapi morfologinya sangat sulit dibedakan (HUNGGERFORD, 1975). Sarcoptes scabiei dapat ditemukan di seluruh dunia (MAC CARTHY et al., 2004), penularan dapat terjadi apabila ada kontak langsung dengan larva, nimfa dan tungau betina fertil baik dari permukaan kulit secara langsung atau dari benda-benda yang terinfeksi Sarcoptes scabiei (SASMITA et al., 2005). Prevalensi scabies pada manusia di negara yang berkembang sebesar 4% sampai 27% (GULDBAKKE, 2006), sedangkan prevalensi
pada ternak cukup tinggi seperti pada babi sebesar 20% sampai 80% (DAMRIYASA et al., 2004). Prevalensi scabies pada populasi kambing lebih fluktuatif, mulai kurang dari 5% sampai mendekati 100% dan mortalitas cukup tinggi antara 67 – 100% pada kambing umur muda dan sekitar 11% pada kambing dewasa. Prevalensi kudis scabies yang cukup tinggi juga dilaporkan di Malaysia. Kejadian scabies pada babi tampaknya juga cukup tinggi sebesar 33,7%. Scabies merupakan penyakit kulit yang berkerak dan sangat mengganggu dalam aktivitasnya yang berakibat menurunnya produktivitas daging dan kulit. Scabies umumnya disebut itch mite merupakan penyakit yang menyebabkan gatal sehingga menyebabkan depresi dan kelelahan (KEMP et al., 2002). Prevalensi scabies pada manusia tinggi, para ahli dermatologi memperkirakan bahwa lebih dari 300 juta kasus scabies pada manusia tinggi, para ahli dermatologi memperkirakan bahwa lebih dari 300 juta kasus scabies pada manusia terjadi setiap tahun di dunia (ARLIAN et al., 1994). Tungau sarkoptik terdiri dari spesies Sarcoptes scabei yang bersembunyi di dalam kulit dan menyebabkan kudis sarkoptik (NOBLE dan NOBLE, 1989). Sarcoptes scabiei mempunyai banyak varietas sesuai dengan induk semangnya yaitu manusia, anjing, babi, biri-biri, kambing, kuda, sapi (LEVINE, 1994). Diagnosa scabies yang dilakukan saat ini masih didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis dengan membuat kerokan kulit (scraping) daerah yang menunjukan gejala krusta, dan terjadi allopesia. Tungau tidak selalu mudah ditemukan dan umumnya dengan kerokan ditemukan positif sekitar 30 – 50% (SOULSBY, 1986). Scabies atau kudis adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai pada kambing yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang ditandai dengan gatal-gatal, kulit mengeropeng, bulu rontok di daerah terifestasi dan pada stadium lanjut kulit bisa menebal dan berlipat-lipat. Scabies menyebar dengan mudah melalui kontak langsung, dan bahan-bahan yang ada di kandang seperti pagar, tempat pakan, dan bahan terkontaminasi lain yang bertindak sebagai carrier (BLOOD et al., 1983). Penyakit ini menimbulkan kerugian akibat
505
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
penurunan berat badan (MANURUNG et al., 1992), penurunan produksi daging, kualitas kulit dan gangguan kesehatan masyarakat (ISKANDAR, 2000) dan penurunan harga jual kambing sampai 1/3 harga normal (MANURUNG, 1991). Bahkan MANURUNG et al. (1986) menyebutkan bahwa kambing scabies yang tidak diobati bisa mengalami kematian dalam tiga bulan. Selain kerugian ekonomis tersebut, penyakit ini juga sangat merugikan karena bersifat zoonosis yaitu penyakit ternak yang mampu menyerang manusia (BLOOD et al., 1983). Desa Pucaksari Kecamatan Busungbiu Buleleng adalah salah satu daerah Prima Tani yang dalam usahataninya menerapkan integrasi antara ternak (kambing) dengan perkebunan (kopi/kakao). Dalam upaya untuk meningkatkan mutu genetik dan populasi kambing di daerah Busungbiu telah banyak dilakukan pemasukan bibit kambing unggul khususnya dari daerah Jawa. Masuknya kambing-kambing unggul ini selain dapat meningkatkan kualitas kambing yang dipelihara petani, di satu sisi ternyata membawa dampak penularan penyakit khususnya scabies. Penyakit ini sangat sulit untuk diberantas dan selalu kembali berjangkit terutama pada saat menjelang musim hujan. Upaya pengendalian penyakit ini telah banyak dilakukan oleh petani salah satunya dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada di lingkungan sekitarnya. Pengobatan penyakit ini, secara tradisional sudah sering dilakukan oleh petani namun hasilnya tidak begitu efektif. Sekarang ini, petani telah memanfaatkan teknologi untuk mengolah sisa pakan kambing yang berupa ranting kering melalui proses pirolisis yang menghasilkan asap cair. Asap cair ini digunakan oleh sebagian petani untuk mengendalikan penyakit scabies yang menjangkiti ternaknya dan secara empiris hasilnya cukup memuaskan. Melihat fenomena yang terjadi, perlu kiranya dilakukan penelitian mengenai pengaruh penggunaan asap cair sebagai obat pengendalian penyakit scabies dan zat apa saja yang terkandung di dalamnya.
506
MATERI METODE Pengaplikasian diamati pada 15 ekor kambing yang terkena scabies yang bersifat kronis di daerah Pucak Sari Singaraja, Pengaplikasian dilakukan selama 3 kali dalam 2 minggu. Aplikasi dengan menggunakan asap cair yang masih pekat belum mengalami penyaringan lebih lanjut. Aplikasi pada hewan dilakukan secara topical pada daerah yang terkena scabies. Hasil yang diamati perubahan kulit dan indikasi perbaikan jaringan dengan tumbuhnya bulu dan hilangnya penyakit scabies. Asap cair yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil phyrolisa sisa pakan kambing yang berasal dari pangkasan tanaman penaung kopi (gamal, lamtoro, kaliandra, dll). Instalasi phyrolisa yang digunakan berasal dari bahan stainless steel yang terdiri dari reaktor kedap udara, pipa penyalur asap dan tabung pendingin untuk kondensasi. Sebelum dipirolisis sisa pakan kambing (ranting) dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah kering ranting tersebut kemudian dimasukkan ke dalam reaktor dan ditutup rapat kemudian dipanaskan dengan menggunakan kompor minyak selama ± 4-5 jam. Selama pembakaran asap yang dihasilkan disalurkan melalui pipa kemudian didinginkan melewati tabung air sehingga asap akan terkondensasi menjadi uap dalam bentuk cair. Asap yang telah cair ini kemudian disalurkan ke tempat penampungan. HASIL Infestasi tungau Sarcoptes ditentukan dengan gejala klinik yang patognomonik untuk penyakit scabies ini. Derajat keparahan penyakit ditentukan berdasarkan luas daerah infestasi (ringan bila ≤ 1/3 bagian tubuh terinfeksi, sedang bila ≤ 2/3 bagian tubuh terinfeksi dan berat bila > 2/3 bagian tubuh terinfeksi). Keberhasilan pengobatan kambingkambing terinfeksi scabies dinilai dari perubahan klinis kulit yang terinfestasi. Penggunaan asap cair ini memberi efek nyata terhadap proses kesembuhan terhadap scabies. Keropeng dan lipatan kulit akibat scabies
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
mulai berangsur hilang. Efek oksidatif dari peroksida memberikan efek merusak bagi tungau scabies. Selain itu asap cair memberi efek fungsional lain seperti antibakteri dan antijamur ini membuat infeksi sekunder yang menyertai scabies bisa hilang. Sehingga proses kesembuhan lebih cepat. Peran bakteriostatik berasal dari senyawa formaldehida dan juga kombinasi antar komponen fungsional fenol dan asam-asam organik yang bekerja sinergis mencegah dan mengontrol mikrobia (PSZCZOLA, 1995). Penggunaan asap cair lebih bersahabat dengan lingkungan karena tidak menimbulkan pencemaran udara. Asap cair juga memiliki sifat antioksidan, antibakteri dan memberikan keamanan dalam pengaplikasiannya karena tidak berbahaya. Asap cair merupakan cairan dispersi uap asap dalam air, atau cairan hasil kondensasi dari pirolisa kayu, tempurung kelapa, atau bahan sejenis. Pirolisa adalah proses pemanasan atau destilasi kering suatu bahan, sehingga menghasilkan asap yang jika dikondensasi akan menghasilkan asap cair yang memiliki sifat spesifik asap. Asap cair adalah hasil dari kondensasi asap hasil pembakaran kayu. Komponen yang terkandung dalam proses pembakaran itu antara lain terdiri dari selulosa, hemiselosa dan lignin yang mengalami pirolisa sehingga menghasilkan asap dengan komposisi yang sangat kompleks. Warna dari asap cair itu adalah kuning cemerlang dan wama itu akan berubah menjadi gelap apabila asap cair itu disimpan. Senyawa hasil pirolisa itu adalah kelompok fenol, karbonit dan kelompok asam yang secara simultan mempunyai sifat antioksidasi dan antimikroba. Kelompok-kelompok itu mampu mencegah pembentukan spora dan pertumbuhan bakteri dan jamur serta menghambat kehidupan bakteri dan jamur serta menghambat kehidupan virus. Asap cair adalah hasil dari kondensasi asap hasil pembakaran kayu. Asap dan asap cair mempunyai komponen yang sama, Kandungan asap cair adalah: asam asetat, asam formic, maltol, methyl cyclopenenolone, ethylcyclo pentenolone, dimethylcyclopentenolones, furfural 5- hydroxymethylfurfural. Dari hasil analisis lab asap cair ini mengandung senyawa aktif sebagai berikut:
Tabel 1. Kandungan senyawa aktif asap cair Jenis kandungan senyawa aktif o-cresol Guaniacol Cresol p-Ethylguaniacol Fenol
Jumlah bahan dalam % 2,47 14,21 8,12 11,32 9,20
Hasil analisa kromatrografi asap cair Laboratorium
o-Cresol mempunyai kandungan sebanyak 2,47% merupakan salah satu senyawa fenol yang dalam industri untuk membunuh jenis serangga, dan biasa ditambahkan dalam produk pembersih sebagai desinfektan. Senyawa guaniacol kandungan senyawa ini adalah 14,21% dan juga p-ethylguanicol sebanyak 11,32% berfungsi sebagai desinfektant. Senyawa creosol yang mempunyai kandungan sebanyak 8,12% terdiri dari creosote yang dibentuk dari PAH yang berwarna hitam pekat yang telah berubah menjadi coal tar. Bahan ini berfungsi sebagi psoropsiasis (kasus kemerahan pada kulit yang disertai dengan radang). Senyawa creosol ini berfungsi sebagai antijamur dan antimikroba, digunakan juga sebagai insektisida dan obat dipping pada hewan dengan toksisitas yang sedikit. Bahanbahan ini yang telah membuat parasit Sarcoptes scabiei menjadi mati dan efek sekundernya dapat terobati. Dari berbagai bahan asap cair paling tidak terdapat 3 komponen utama (dominan) yaitu fenol, karbonil dan asam. Senyawaan hasil pirolisa itu adalah kelompok fenol, karbonit dan kelompok asam yang secara simultan mempunyai sifat antioksidasi dan antimikroba. Kelompok-kelompok itu mampu mencegah pembentukan spora dan pertumbuhan bakteri dan jamur serta menghambat kehidupan bakteri dan jamur serta menghambat kehidupan virus. Asap cair sangat adaptif dan dapat diproduksi secara komersial. Adapun keuntungan yang dapat diperoleh antara lain untuk mengurangi kandungan senyawa PAH yang tidak diperlukan seperti benzo(a)pyrene, untuk mempertahankan warna dan flavor tidak mengandung lemak dan kolesterol serta garam, mempunyai aktivitas antioksidan, dan dapat menurunkan pertumbuhan bakteri. Disamping itu
507
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
penggunaannya ekonomis dan memperpendek waktu panas. Asap cair memiliki sifat antioksidatif dan bisa digolongkan sebagai antioksidan alami. Komponen antioksidatif dalam asap cair umumnya merupakan senyawa fenol. Fenol dengan titik dididh lebih menunjukan sifat antioksidatif yang lebih baik jika dibandingkan dengan senyawa fenol bertitik didih rendah. Fenol umumnya digunakan sebagai zat antiseptic. Senyawa fenol dapat bertidak sebagai termination radikal bebas pada reaksi oksidasi. Sedangkan komponen asap cair dari kayu karet yang mampu menghambat oksidasi dari asam linoleat antara lain dari kelompok fenol, karbonil, dan asam baik sendiri maupun berkombinasi. Keberadaan senyawa yang lain seperti senyawa pengoksidasi dapat berasal dari polifenol yang banyak terdapat pada bahan yang berasal dari tanaman dapat dioksidasi oleh oksigen pada pH netral atau alkali membentuk quinon sehingga terbentuk peroksida. Peroksida ini merupakan bahan oksidatif yang kuat yang sering digunakan dalam pemutih dan desinfektant sehingga bersifat racun. Tetapi peroksida ini mudah dinetralkan oleh lingkungan dan tidak meninggalkan residu yang berbahaya karena teruarai menjadi air dan gas oksigen. Sehingga zat ini memberi alternatif yang lebih hijau dan ramah lingkungan. Peroksida ini dapat digunakan sebagai zat anti protozoa dan antibakteri sehingga zat ini dimungkinkan merusak dinding parasit scabies dan membunuh infeksi sekunder bakteri yang biasanya mengikuti kejadian scabies. Efek yang nyata dari asap cair ini juga telah diujikan pada 15 ekor kambing di daerah pucak sari dengan hasil yang baik sehingga bahan asap cair ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengobati kasus scabies disamping itu asap cair ramah lingkungan mudah dihasilkan dan pengaplikasiannya relative lebih mudah. Dari segi ekonomis asap cair lebih murah sehingga tidak membebani pertambahan biaya produksi bagi peternak. Dengan perhitungan biaya produksi dalam sekali melakukan pyrolisa digunakan sebanyak 12 kg batang kayu dengan menggunakan minyak tanah sebagai pembakar 0,5 liter dengan asumsi harga 8000/liter, kemudian menghasilkan asap cair sebanyak 12% dari jumlah semula
508
sedangkan produk pyrolisa tidak hanya didapatkan asap cair tetapi ada arang sebanyak 2 kg, arang ini dapat dijual seharga 4000/kg sehingga dari arang saja biaya produksi sudah tertutup. Jika pengobatan scabies ini menggunakan bahan kimia seperti ivermectin ataupun azuntol tentunya akan diperoleh harga lebih dari itu. Sehingga bahan asap cair ini ekonomis untuk dikembangkan lebih lanjut disamping efek-efek positif yang diberikan lainnya. KESIMPULAN Bahan asap cair mengandung zat aktif yang berfungsi sebagai antimikroba atau desinfektant dan juga bisa digunakan sebagai insektisida sebagai obat dipping dalam menangani kasus kasus penyakit pada hewan. Melihat potensi asap cair sangat menguntungkan dan bersahabat dengan lingkungan, tidak ada salahnya jika penggunaan dan penerapan asap cair sebagai bahan obat dalam pengobatan Scabies dan sumber antibakteri alami lebih diintensifkan lagi. DAFTAR PUSTAKA ARLIAN, L.G., M.S. MORGAN, D.L. VYSZENSKIMOHER and B.L. STEMMER. 1994. Sarcoptes scabiei: the circulating antibody respone and induced immunity to scabies. Exp. Parasitol. 78: 37 – 50. BLOOD, D.C., O.M. RADOSTITS and J.M. HENDERSON. 1983. Veterinary Medicine, a text book of the diseases of cattle, goats and horses. Sixth edition. Bailliere Tindall. London. p. 965. DAMRIYASA, I.M., FAILING., R. VOLMER., H. ZAHNER and C. BAUER. 2004. Prevalence, risk factor and economic importance of infestations with Sarcoptes scabiei and Haematopinus suis in sows of pig breeding farms in Hesse, Germany. Medical and Veterinary Entomology 18: 361 – 367. GULDBAKKE, K.K. 2006. Crusted scabies: a clinical review journal of drugs in dermatology. (http://findaricles.com/p/articles/mi_mOPDE). HUNGERFORD, T.G. 1975. Disease of Livestock. 8th ed. Mc.Graw-Hill Book Company. Sydney. pp. 894 – 895.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
ISKANDAR, T. 2000. Masalah scabies pada hewan dan manusia serta penanganannya. Wartazoa 10(1): 28 – 34. KEMP, D.J, SHELLEY F WALTON, PEARLY HARUMAL and BART J CURRIE. 2002. The Scourge of scabies (http://www.google.com/TheScourge ofScabies/pdf LEVINE, N.D. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner (terjemahan). Gajah Mada University Press,Yogyakarta. hlm. 325 – 327 MANURUNG J., BERIAJAYA, S. PARTOUTOMO dan P. STEVENSON. 1986. Pengobatan kudis kambing yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei dengan ivermectin dan asuntol. Penyakit Hewan XVIII(31): 58 – 62. MANURUNG J., T.B. MURDIATI dan T. ISKANDAR. 1992. Pengobatan kudis pada kambing dengan oli, vaselin belerang dan daun ketepeng (Cassia alata L.): penyempurnaan percobaan. Penyakit Hewan XXIV (43): 27 – 32.
MANURUNG, J. 1991. Pengobatan kudis (Sarcoptes scabiei) pada kambing dengan oli dan belerang serta campurannya. Penyakit Hewan XXIII (41): 45 – 49. MCCARTHY, J.S, D.J. KEMP, S.F WALTON and B.J. CURRIE. 2004. Scabies more than just an irritation. Poatgraduate Medical J. 80: 382 – 387. NOBLE, E.R. and G.A. NOBLE. 1989. Parasitologi: the Biology of animals Parasites, 5th Ed. Lea and Febiger. Philadelphia. pp. 785 – 786. PSZCZOLA, D.E. 1995. Tour Highlight Production and Uses of Smoke Based Flavors. Food Tech. 49(1): 70 – 74. SASMITA, R., H. POEDJI, S. AGUS dan N.W. RIRIEN. 2005. Buku Ajar Ilmu Penyakit Arthropoda Veteriner. Laboratorium Entomogi dan Protozoologi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya. SOULSBY, E.J.L. 1986. Helmint, Arthropods And Protozoa of Domesticated Animal. 7th Ed.
509