Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
PEMANFAATAN ASAP CAIR SEBAGAI BAHAN PENGIKAT PADA PEMBUATAN BAKSO DAGING DARI TIGA JENIS OTOT SAPI BALI (The Utilization of Liquid Smoke as a Binder on Meat Balls from Three Different Muscles of Bali Cattle) EFFENDI ABUSTAM, J.C. LIKADJA and F. SIKAPANG Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Makassar 90245
ABSTRACT The aim of this research was to find out the interaction between type of muscle and level addition of liquid smoke on meat balls quality. This research utilized three types of muscle i.e. Longissimus dorsi (LD), Semitendinosus (ST), and Pectoralis profundus (PP) from Bali cattle as a main raw material, salt, species, and liquid smoke as a binder. Completely randomized design with factorial pattern in used in this experiment where factor 1 was type of muscles (LD, ST, and PP) and factor 2 was levels of liquid smoke as treatments namely 0, 0.25, 0.50, 0.75, and 1% were repeated for three times. Five variables were investigated namely, tenderness, cooking loss, flexibility of meat balls, elasticity, and acceptability. The result showed that quality of meat balls from muscle Longissimus dorsi was better than from muscle Semitendinosus and Pectoralis profundus. By adding liquid smoke 0.75% it could improve the meat balls quality, which could increase tenderness to 22.47%, decreased cooking loss to 33.89%, increased flexibility to 22.68%, increased elasticity to 25%, and increased acceptability to 14.06%. It could be concluded that Bali meat balls from muscle Longissimus dorsi by adding 0.75% liquid smoke have good quality. Key Words: Muscle Types, Liquid Smoke, Meat Balls, Binder Agent, Bali Cattle ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat interaksi antara jenis otot dengan level asap cair terhadap kualitas bakso daging sapi Bali. Penelitian menggunakan daging sapi Bali dari tiga jenis otot Longissimus dorsi (LD), Semitendinosus (ST), dan Pectoralis profundus (PP) masing-masing secara berurutan mewakili otot empuk, sedang dan alot sebagai bahan baku utama, garam, bumbu-bumbu dan asap cair. Rancangan Acak lengkap pola factorial digunakan dalam penelitian ini dimana factor 1 adalah jenis otot (LD, ST dan PP) dan factor 2 adalah level penambahan asap cair (0, 0,25, 0,50, 0,75dan 1%) diulang sebanyak 3 kali. Peubah yang diamati keempukan, susut masak, daya lenting, kekenyalan dan tingkat kesukaan. Hasil penelitian menunjukkan kualitas bakso dari otot Longissimus dorsi lebih baik dari Semitendinosus dan Pectoralis profundus. Semakin tinggi level penambahan asap cair pada pembuatan bakso semakin tinggi kualitas bakso. Pada level 0,75% keempukan meningkat 22,47%, susut masak menurun 33,89%, daya lenting meningkat 22,68%, kekenyalan sensorik meningkat 25%, dan tingkat kesukaan panelis meningkat 14,06%. Dapat disimpulkan bahwa bakso daging sapi Bali dari otot Longissimus dorsi pada level penambahan asap cair 0,75% memiliki kualitas yang terbaik. Asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengikat dan pengawet penggati boraks atau formalin pada pembuatan bakso daging sapi. Kata Kunci: Jenis Otot, Asap Cair, Bakso, Bahan Pengikat, Sapi Bali
PENDAHULUAN Bakso sebagai salah satu produk olahan daging merupakan makanan yang sangat populer dan sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, demikian pula di Negara asalnya
China yang dikenal sebagai meat balls. Kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas fungsional daging yang digunakan dalam pengolahan tersebut. Daging yang berasal dari otot prarigor, pada umumnya mempunyai daya ikat air yang tinggi yang akan memberikan
467
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
kualitas bakso yang baik ditandai dengan kekompakan dan kekenyalan bakso yang tinggi. Daya ikat air akan menurun dengan meningkatnya waktu post mortem (pascamerta), mengakibatkan kualitas bakso akan menurun. Karakteristik sifat fungsional daging akan berbeda pada jenis otot yang berbeda. Umumnya otot yang kurang bergerak semasa ternak hidup akan memberikan sifat fungsional yang lebih baik dibanding dengan otot yang sedang atau sering bergerak (ABUSTAM, 1987). Untuk mempertahankan daya ikat air pascamerta ternak, bisanya ditambahkan bahan-bahan tambahan dalam formulasi bakso. Penjual bakso biasanya menambahkan boraks atau formalin yang dari sisi kesehatan sangat berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya. Untuk itu penggunaan boraks atau formalin pada pembuatan bakso sangat dilarang dan dianggap sebagai unsur penipuan. Upaya untuk memperbaiki sifat fungsional pada produk olahan telah banyak dilakukan melalui penambahan bahan tambahan bukan daging yang sifatnya untuk meningkatkan kemampuan daging mengikat air (daya ikat air) misalnya penambahan sodium tripolifosfat (ABUSTAM dan ALI, 2004; SYAPUTRA, 2009), sodium difosfat (AMANG, 2006; MUTMAINNAH, 2006). Ataupun dengan menggunakan daging dengan daya ikat air yang tinggi pada kondisi prarigor (RAHAYU, 2006). Akhir-akhir ini telah digunakan asap cair sebagai bahan pengikat (binder) pada produk bakso (ABUSTAM et al., 2009) atau subsitusi fosfat dengan asap cair pada pembuatan nugget ayam, yang memberikan kualitas bakso yang tinggi (kompak, kenyal dan disukai). Asap cair merupakan hasil kondensasi dari pirolisis kayu atau batok kelapa setelah melalui pemanasan pada suhu 400 - 600°C dalam sebuah tabung atau drum. Asap cair ini mengandung lebih dari 400 senyawa kimia antara lain fenol (4,13%), karbonil (11,3%) dan asam (10,2%) (SETIADJI, 2000; ANONIM, 2008). Senyawa-senyawa yang terdapat pada asap cair dapat berfungsi sebagai pengawet dan pengemulsi (CAHYADI, 2006). Selain itu dalam asap cair juga ditemukan beberapa jenis asam yang berfungsi sebagai gum, yaitu bahanbahan pengental, penstabil emulsi dan
468
pembetuk gel yang larut dalam air (CAHYADI, 2006). Penggunaan asap cair sebagai antioksidan juga berdampak terhadap peningkatan keempukan daging broiler (KOMPUDU, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk melihat sampai sejauh mana peran asap cair yang ditambahkan dengan level berbeda pada jenis otot berbeda terhadap kualitas bakso.
MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan tiga jenis otot mewakili otot empuk, sedang dan kurang empuk secara berurutan otot Longissimus dorsi (has luar), Semitendinosus (gandik), dan Pectoralis profundus (sandung lamur) sapi Bali umur 3 tahun sebagai bahan utama, tepung tapioka sebagai bahan pengisi dan asap cair sebagai bahan pengikat. Bahan-bahan lain yang dibutuhkan dalam pembuatan adonan bakso seperti garam, es batu dan bahan perasa (merica, bawang putih) juga digunakan dalam peneltian ini. Komposisi adonan bakso terlihat pada Tabel 1. Pembuatan adonan bakso dilakukan dengan menggunakan food processor, pengukuran daya putus bakso menggunakan CD shear force (CREUZOT dan DUMONT dalam ABUSTAM, 1993), daya lenting menggunakan gelas ukur sebagai tempat pelentingan bakso, dan uji organoleptik menggunakan 15 orang mahasiswa sebagai panelis terlatih. Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3 × 5 dengan lima (5) kali ulangan. Faktor I adalah jenis otot yaitu Longissimus dorsi, Semitendinosus, dan Pectoralis profundus. Faktor II adalah level penambahan asap cair yaitu 0; 0,25; 0,5; 0,75 dan 1% dari berat adonan. Parameter yang diukur adalah Daya Putus Bakso (DPB), susut masak, daya lenting bakso, uji organoleptik (kekenyalan) dan uji kesukaan (hedonik). Daya putus bakso (kg/cm2) merupakan indikator penilaian keempukan bakso dengan menggunakan CD shear force (ABUSTAM, 1993) dimana semakin kecil daya yang dikeluarkan untuk memutus bakso maka dinyatakan bakso tersebut semakin empuk.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 1. Komposisi bahan bakso yang digunakan*) Komposisi (g)
Jenis bahan 1
2
3
4
5
Daging
160
160
160
160
160
Tepung tapioka
40
40
40
40
40
Es Batu
50
50
50
50
50
Garam
7
7
7
7
7
Merica
2
2
2
2
2
Bawang putih
12
12
12
12
12
Asap cair (% dari adonan)
0%
0,25 %
0,5%
0,75%
1%
*) Resep Lab. Teknologi Hasil Ternak Unhas
Susut masak (%) dihitung berdasarkan perbandingan antara berat yang hilang selama perebusan dengan berat adonan sebelum perebusan (SOEPARNO, 2005). Uji organoleptik dan kesukaan menggunakan 15 orang panelis yang akan menilai bakso dengan bantuan skor penilaian yang berayun 1 – 6, dimana 1: tidak kenyal dan sangat tidak suka sedang 6: kenyal dan sangat suka. Pengukuran daya lenting bakso dilakukan dengan cara menjatuhkan bakso pada ketinggian 50 cm sebanyak 5 buah bakso yang berbeda dalam gelas ukur dari kaca. Tinggi pantulan dari masing-masing bakso dikonversi ke dalam 4 skor (1 sampai dengan 4) dengan terlebih awal mencari selisih antara pantulan tertinggi dengan terendah yang kemudian dibagi 4 untuk mendapatkan interval antara masing-masing skor. Skor 1 merupakan daya lenting kurang dan skor 4 menyatakan daya lenting terbaik (ANONIMUS, 2009; ABUSTAM et al., 2009). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis ragam terhadap pengaruh jenis otot, menunjukkan bahwa jenis otot berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap keempukan (DPB), susut masak dan daya lenting bakso. Bakso dari otot Longisimus dorsi (LD) nyata lebih empuk dari otot Semitendinosus (ST) dan otot Pectoralis profundus (PP), namun kedua jenis otot lainnya (Semitendinosus dan Pectoralis profundus) menghasilkan keempukan yang kurang lebih sama (Tabel 2). Hal ini sejalan
dengan karakteristik dari ketiga otot tersebut dalam keadaan segar di mana LD lebih empuk dibanding dengan ST dan PP, sedang ST dan PP kadangkala ST lebih empuk dari PP atau sama keempukannya (ABUSTAM, 1987). Penambahan asap cair pada pembuatan bakso berasal dari tiga jenis otot tersebut dengan mengabaikan level penambahannya belum mampu untuk merubah pola kecenderungan keempukan otot tersebut dalam bentuk produk bakso. Kandungan kolagen yang berbeda diantara ketiga otot tersebut, dimana LD 6,18 mg/g, ST 11,09 mg/g, dan PP 12,11 mg/g (ABUSTAM, 1987) dapat menjelaskan perbedaan keempukan tersebut. Pola DPB bakso dari ketiga otot sama dengan yang terjadi pada susut masak, di mana LD susut masaknya nyata lebih rendah dari ST dan PP, sedang ST dan PP memperlihatkan susut masak yang kurang lebih sama. Susut masak berbanding terbalik dengan daya ikat air yang diukur pada daging segar. Susut masak yang rendah menandakan bahwa daya ikat air daging tersebut cukup tinggi pada saat masih segar (prarigor). Kecenderungan perlemakan intramuskular yang lebih intensif pada LD akan memberi kemungkinan daya ikat air yang tinggi pada otot ini. Hal ini sesuai dengan pendapat LAWRIE (2003), bahwa daging yang mempunyai kadar lemak intramuskular yang tinggi cenderung mempunyai daya ikat air yang tinggi. Hal ini juga sesuai dengan pendapat SAFFER dan BRATZLER (1959), dalam SOEPARNO (2005), bahwa lemak intramuskular menghambat atau mengurangi cairan daging yang keluar selama pemasakan, meskipun pada daging yang mengandung lemak intramuskular
469
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 2. Nilai rata-rata parameter dan tingkat signifilkansi berdasarkan jenis otot Parameter DPB (kg/cm2)
Jenis otot 6,54b
5,80
0,000
b
1,87
0,000
3,01b
3,33
0,002
4,23
0,033
4,13
0,001
PP
4,88a
5,99b
a
b
1,46
Daya lenting*
3,62a
Kesukaan***
Sig
ST
Susut masak (%) Kekenyalan**
Rerata
LD
a
4,6
4,36
a
2,01
3,36a ab
4,3
4,21
a
2,15
b
3,8
3,82
b
* skor daya lenting: 1 – 4 (kurang - terbaik) ** skor kekenyalan: 1 – 6 (tidak kenyal - kenyal) *** skor kesukaan: 1 – 6 (sangat tidak suka - sangat suka) Angka dengan notasi huruf berbeda menyatakan terdapat perbedaan yang nyata
(marbling) yang tinggi akan kehilangan lemak lebih besar. Daya lenting bakso mengindikasikan bahwa semakin tinggi kelentingan sebagai reaksi atas dijatuhkannya bakso pada ketinggian tertentu, semakin kenyal bakso tersebut. Penambahan asap cair pada pembuatan bakso pada penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa kekenyalan bakso meningkat dengan bertambahnya level asap cair (ABUSTAM et al., 2009). Sekalipun terdapat pengaruh jenis otot yang sangat nyata terhadap daya lenting bakso, namun bakso antara LD dan ST daya lentingnya kurang lebih sama, lebih tinggi dari bakso PP. Dengan mengabaikan level penambahan asap cair pada pembuatan bakso ternyata mampu meningkatkan daya lenting bakso ST kurang lebih sama dengan LD, menandakan bahwa terjadi perubahan sifat fungsional otot ST yang cenderung mempunyai daya ikat air lebih rendah dari LD pada kondisi daging segar. Penilaian organoleptik terhadap kekenyalan bakso dengan menggunakan panelis memperlihatkan bahwa jenis otot berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kekenyalan. Otot LD nyata lebih kenyal dari PP, namun antara LD dan ST kekenyalannya kurang lebih sama. Penilaian kekenyalan secara sensorik oleh panelis pada bakso dari tiga jenis otot tersebut kurang lebih sejalan dengan kekenyalan berdasarkan pengukuran daya lenting. Uji kesukaan terhadap bakso dari tiga jenis otot oleh panelis menunjukkan jenis otot berpengauh sangat nyata (P < 0,01) terhadap tingkat penerimaan panelis. Bakso dari otot LD
470
nyata lebih disukai dari otot PP, namun antara LD dan ST tingkat penerimaan panelis kurang lebih sama. Apresiasi keempukan dan kekenyalan yang lebih baik pada bakso otot LD dapat menjelaskan tingkat penerimaan ini. Secara umum dapat dinyatakan bahwa dengan mengabaikan level penambahan asap cair pada pembuatan bakso dari tiga jenis otot dengan karakteristik fungsional yang berbeda mampu untuk memperbaiki sifat fungsional bakso (daya ikat air/susut masak, keempukan dan kekenyalan) serta tingkat penerimaan pada otot yang sifat fungsionalnya lebih rendah. Sidik ragam terhadap pengaruh level asap cair, menunjukkan bahwa level penambahan asap cair berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap DPB, susut masak, daya lenting, kekenyalan dan kesukaan bakso daging sapi yang berasal dari tiga jenis otot (Tabel 3). Keempukan bakso meningkat dengan bertambahnya level asap cair. Penambahan asap cair dengan level yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap DPB. Nilai DPB menurun secara nyata dari level 0% (6,81 kg/cm2) ke level 0,75% (5,28 kg/cm2), tetapi tidak terdapat perbedaan nyata antara level 0% dengan 0,25%, antara 0,25%dengan 0,5%, antara 0,50% dengan 0,75% dan antara 0,75% dengan 1%. Pada rentang level 0,25%, asap cair belum mampu meningkatkan secara nyata keempukan bakso. Pada level 0,75% terjadi peningkatan keempukan sebesar 22,47%, menandakan bahwa asap cair sangat efektif dalam meningkatkan keempukan bakso. Peningkatan keempukan bakso tidak hanya
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
Tabel 3. Nilai rata-rata parameter dan tingkat signifilkansi berdasarkan level asap cair Level asap cair (%) Parameter
Rerata
Sig
4,86d
5,81
0,000
1,58bc
1,44c
1,87
0,000
3,57c
3,66c
3,33
0,003
0,00
0,25
0,50
0,75
1,00
DPB (kg/cm2)
6,81a
6,21ab
5,87bc
5,28cd
Susut masak (%)
2,39a
2,15a
1,81b
Daya lenting*
2,91a
3,08ab
3,42bc
**
a
ab
ab
bc
c
Kekenyalan
3,6
3,9
4,2
4,5
5,0
4,24
0,006
Kesukaan***
3,77a
3,95ab
4,14ab
4,30bc
4,48c
4,13
0,004
* skor daya lenting: 1 - 4 (kurang - terbaik) ** skor kekenyalan: 1 - 5 (tidak kenyal - kenyal) *** skor kesukaan: 1 - 7 (sangat tidak suka - sangat suka) Angka dengan notasi huruf berbeda menyatakan terdapat perbedaan yang nyata
disebabkan oleh proses penggilingan dan pencampuran bahan-bahan adonan tetapi kemungkinan juga disebabkan kerja dari komponen asap cair (fenol, karbonil, asam) sebagai antioksidan yang menghambat terjadinya oksidasi protein. Peningkatan keempukan daging ayam pada pemberian asap cair sebagai antioksidan juga diutarakan oleh KOMPUDU (2008), dimana dari tiga jenis antioksidan (catechins tea, kayu manis, dan asap cair) terlihat bahwa asap cair menghasilkan daya putus daging terendah sekalipun tidak berbeda nyata dengan catechins tea. Pemberian asap cair dengan level yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap susut masak bakso. Nilai susut masak bakso menurun secara nyata dari level 0% ke level 0,75% sebesar 33,89%. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada rentang 0,25%, menandakan bahwa penambahan asap cair pada rentang ini belum cukup memberikan perbedaan susut masak yang berarti. Namun dengan rentang skala yang lebih tinggi (0,5%), asap cair mampu untuk menurunkan susut masak secara nyata. Penurunan nilai susut masak bakso disebabkan karena asap cair memiliki kemampuan untuk mengikat air dengan cara melonggarkan ikatan serat daging sehingga air bebas dan air setengah terikat akan memasuki ruang kosong tersebut yang pada akhirnya daya ikat air protein daging meningkat. Seperti yang diutarakan oleh HAMM (1986) bahwa perluasan jejaring protein atau pengembangan protein miofibril
(khususnya miosin) akibat pelemahan ikatanikatan hidrogen ataupun ikatan-ikatan hidrofobik menyebabkan lebih banyak air yang terimobilisasi diantara miofibril sehingga terjadi peningkatan daya ikat air protein. Jika daya ikat air meningkat maka susut masak akan menurun. Susut masak yang rendah akan memberikan rendemen tinggi yang dibutuhkan dalam pengolahan daging. Senyawa-senyawa fenol yang terdapat pada asap kayu mampu mengikat gugus-gugus lain seperti aldehid, keton, asam dan ester yang dapat mempengaruhi daya ikat air pada sampel (MAGA, 1987). Pemberian asap cair dengan level yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap daya lenting bakso. Daya lenting bakso meningkat dari level 0% (2,91) ke level 1% (3,66), tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata pada rentang 0,25%. Ini berarti bahwa dengan rentang skala level yang tinggi (0,50%) akan lebih efektif dalam meningkatkan daya lenting bakso. Peningkatan daya lenting bakso pada penambahan asap cair menandakan kemampuan asap cair meningkatkan daya ikat air daging dan memberikan tekstur yang padat dan kompak, sehingga pada level 0,75% diperoleh daya lenting meningkat 22,68%. Asap cair berfungsi sebagai pengental dan juga sebagai penstabil emulsi (CAHYADI, 2006) sehingga dapat menghasilkan bakso yang kenyal dengan daya lenting yang baik. Pemberian asap cair dengan level yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap kekenyalan bakso. Nilai kekenyalan
471
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
bakso meningkat dengan nyata dari level 0% (3,6) ke level 1% (5,0), tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata pada rentang 0,25%. Hal ini berarti bahwa pada rentang level 0,25% panelis belum mampu membedakan kekenyalan bakso. Pada level 0,75% terjadi peningkatan kekenyalan 25%. Peningkatan kekenyalan bakso pada penambahan asap cair dengan level di atas 0,25% sejalan dengan peningkatan daya lenting dan penurunan susut masak. Hal ini disebabkan karena kemampuan dari asap cair untuk meningkatkan daya ikat air protein daging yang pada akhirnya produk bakso menjadi lebih padat, kompak dan kenyal. Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian asap cair dengan level yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap kesukaan bakso, tidak terdapat perbedaan nyata pada rentang 0,25%. Panelis lebih menyukai bakso dengan penggunaan asap cair pada level 0,75 atau 1% dibanding pada level di bawah 0.5%. Pada level 0,75% apresiasi panelis terhadap kesukaan meningkat 14,06%. Hal ini berkaitan dengan kualitas bakso yang lebih baik pada level 0,75 - 1% ditandai dengan keempukan, kekenyalan dan daya lenting yang baik serta susut masak yang rendah KESIMPULAN 1. Bakso dari otot Longissimus dorsi lebih baik dari Semitendinosus dan Pectoralis profundus dari sisi keempukan, susut masak, daya lenting, kekenyalan dan tingkat kesukaan. 2. Semakin tinggi level penambahan asap cair pada pembuatan bakso semakin tinggi kualitas bakso. Pada level 0,75% keempukan meningkat 22,47%, susut masak menurun 33,89%., daya lenting meningkat 22,68%, kekenyalan sensorik meningkat 25%, dan tingkat kesukaan panelis meningkat 14,06%. 3. Asap cair dapat digunakan sebagai bahan pengikat dan pengawet penggati boraks atau formalin pada pembuatan bakso daging sapi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
472
Departemen Pendidikan Nasional melalui Program Hibah Kompetisi A2 Jurusan Produksi Ternak tahun 2008 yang telah memberikan bantuan dana untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA ABUSTAM, E. 1987. Contribution A l’etude Des Caracterissafion Des Viandes Bovines Par les Proprietes Des Tissus Conjontifs. These Des Docteur Engenieur. Universite Blaise Pascal France. ABUSTAM, E. 1993. Peranan Maturasi (Aging) Terhadap Mutu Daging Sapi Bali Yang Dipelihara Secara Tradisional Dan Dengan Sistem Penggemukan. Laporan Hasil Penelitian. Proyek Peningkatan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Loan Bank Dunia No.3311-IND. SPK No. 670/P4M/DPPM/L. 3311/BBI/1992. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. ABUSTAM, E. dan H.M. ALI. 2004. Pengolahan Daging. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. ABUSTAM, E., J. C. LIKADJA dan A. MA’ARIF. 2009. Penggunaan asap cair sebagai bahan pengikat pada pembuatan bakso daging sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Program Magister Ilmu Ternak Pasacasarjana Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. AMANG, R. 2006. Pengaruh jenis dan level fosfat terhadap kualitas bakso daging dada ayam pedaging pascarigor. Skripsi .Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. ANONIMUS. 2008. Asap Cair Tempurung Kelapa. http;//indonesiaindonesia.com. (10 Oktober 2008). ANONIMUS. 2009. Penuntun Praktikum Ilmu dan Teknologi Daging. Laboratorium Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. CAHYADI, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta. HAMM, R. 1986. Functional properties of the myofibrillar system and their measurements. Dalam Muscle As Food. Ed. P.J. Bechtel. Academic Press, Inc., Orlando.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010
KOMPUDU, A.J.M. 2008. Pengaruh Antioksidan Catechins Tea, Eugenol Ekstrak Kayu Manis dan Asap Cair Terhadap Terjadinya Perubahan Kualitas Daging Dada ayam Pedaging. Skripsi. Universitas Hasanuddin, Makassar. LAWRIE, R.A. 2003. Ilmu Daging, Edisi ke-5. Diterjemahkan Oleh: A. Parakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta MAGA, J.A. 1987. Smoke in Food Processing, CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida. MUTMAINNAH. 2006. Pengaruh jenis dan level fosfat terhadap bakso daging paha ayam pedaging pascarigor. Skripsi. Fakutas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar
RAHAYU, A.A. 2006. Pengaruh rigor mortis terhadap susut masak dan karakteristik organoleptik bakso ayam. Skripsi. Fakutas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. SETIADJI, B.A.H. 2000. Asap cair tempurung kelapa. Asap Cair Sebagai Pengawet Alami yang Aman Bagi Manusia. (www,asapcair.com), PPKT, Jogjakarta SOEPARNO. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. SYAPUTRA, M.R. 2009. Pengaruh penambahan level kombinasi garam (NaCl) dan posfat (sodium tripolifosfat/STTP) pada fase pre rigor dan post rigor terhadap kualitas bakso post rigor. Skripsi. Fakutas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
473