Pemampuan Knowledge Management dalam Meningkatkan Kinerja Usaha Mikro, Kecil dan Menengah A. Ika Rahutami1 Kuntari Erimurti2
Small and Medium Enterprises (SME) in Indonesia has survived in the monetary crisis in 1998, and has a good effort to recover their business. Even the growth of GDP of SME greater than big scale enterprises, SME still have problems entering international trade. One of best method to leverage the company is optimizing the use of knowledge owned by company entities. Effectiveness of knowledge use within organization is supported by Knowledge Management System that implemented through strategic management focus on product development and financial support. Based on experience, this strategy will significantly influence the improvement of product quality and strengthening the capacity of financial institution to support SME.
Pendahuluan Sektor Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM) yang kuat, dinamis dan efisien akan menjamin perkembangan perekonomian yang stabil. Hal ini terbukti ketika terjadi krisis ekonomi, dan pada masa pemulihan krisis ekonomi, UMKM tetap merupakan unit usaha yang cukup mampu bertahan dan mencoba untuk terus berkembang. UMKM di Indonesia menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Pada tahun 2005, Produk Domestik Bruto (PDB) UMKM sebesar Rp 1.491,06 triliun dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 53,5 persen. UMKM juga memiliki pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDB nasional pada tahun 2005. Bila PDB nasional tumbuh 5,7 persen, maka UMKM tumbuh 6 persen sedangkan Usaha Besar (UB) hanya tumbuh sebesar 5,3 persen. Kontribusi UMKM dalam pertumbuhan PDB juga jauh lebih besar (3,2 persen) dibandingkan dengan kontribusi UB 2,5 persen. Pada tahun 2006 kontribusi Usaha Kecil Menengah (UMKM) dalam penciptaan nilai tambah nasional sebesar Rp 1.778,75 triliun rupiah atau 53,3 persen dari 1
Dosen FE Unika Soegijapranata Semarang, Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi UGM Instruktur Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Seni dan Budaya, Mahasiswa S3 Ilmu Ekonomi UGM 2
1
PDB. Kondisi ini menunjukkan kenaikan sebesar Rp 287,69 triliun atau setara dengan 19,3 persen. Berbeda dengan kondisi tahun 2005, pertumbuhan PDB UMKM pada tahun 2006 jauh lebih kecil dibandingkan dengan PDB nasional. Pada tahun 2006, PDB nasional tumbuh 5,5 persen, sementara PDB Usaha Kecil dan Menengah tumbuh 5,4 persen, dan Usaha Besar tumbuh 5,6 persen. Sumber pertumbuhan PDB sebesar 5,5 persen tersebut berasal dari kontribusi UMKM sebesar 3,1 persen dan Usaha Besar sebesar 2,4 persen. Pertumbuhan PDB UMKM terjadi di semua sektor ekonomi. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor bangunan sebesar 8,2 persen, diikuti sektor jasa-jasa 8,1 persen, dan sektor pertambangan dan penggalian sebesar 7,9 persen. Pertumbuhan terendah terjadi pada sektor pertanian yaitu sebesar 3,1 persen. Jumlah unit usaha UMKM pada tahun 2006 adalah 48,9 juta unit naik 3,9 persen dari tahun sebelumnya dan merupakan 99,98 persen dari total pelaku usaha. Dari jumlah tersebut, jumlah Usaha Kecil sebanyak 48,8 juta unit dan Usaha Menengah 106,8 ribu unit. Tenaga kerja yang bekerja di sektor UMKM, pada tahun 2006 tercatat sebesar 85,4 juta pekerja (UK 80,9 juta pekerja dan UM 4,5 juta pekerja) dan merupakan 96,18 persen dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Jumlah tersebut naik sebesar 2,2 juta pekerja setara dengan 2,6 persen bila dibandingkan dengan tahun 2005. Meski kontribusi terhadap PDB lebih besar dari UB, namun UMKM bukan berarti terbebas dari masalah. Struktur UMKM Indonesia pun perlu diperhatikan, karena sebenarnya jumlah unit, modal dan output Usaha Mikro dan Kecil jauh lebih sedikit dibandingkan dengan usaha Menengah. Struktur semacam ini cukup rentan karena pada dasarnya unit usaha Mikro dan Kecil memiliki masalah yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan usaha Menengah. Permasalahan klasik yang dihadapi oleh UMKM terutama usaha mikro dan kecil, adalah kendala di bidang pembiayaan maupun non pembiayaan seperti (i) terbatasnya akses pembiayaan, teknologi, dan pasar,
(ii) kurangnya informasi serta
kepatuhan pada standar dan sertifikasi, (iii) kondisi lingkungan bisnis yang
2
kondusif (Asasen, Asasen, Chuangcam, 2003), serta (iv) pengelola yang kurang memiliki jiwa kewirausahaan dan manajerial yang baik. Tantangan yang dihadapi UMKM di Indonesia menjadi semakin berat bila melihat pengalaman terbaik (best practices) negara-negara yang didukung oleh UMKM, seperti Malaysia, Korea, Jepang, Taiwan3, ternyata mengalami penurunan kinerja yang cukup tajam pada empat tahun terakhir ini. Penurunan kinerja ini disebabkan oleh berbagai hal, terutama faktor globalisasi. Implikasi dari globalisasi adalah semakin terbukanya pasar, sehingga banyak usaha besar dari Jepang dan Taiwan yang memindahkan investasinya ke negara-negara dengan biaya produksi (terutama upah) murah. Akibatnya banyak UMKM yang semula menopang perusahaan besar tersebut menjadi bangkrut. Faktor lain yang perlu diwaspadai adalah pertumbuhan produk industri dan peningkatan teknologi di Cina yang meningkatkan persaingan dan memberikan tekanan pada UMKM. Fakta menunjukkan bahwa pengembangan UMKM di Indonesia tidak dapat hanya dilakukan by default, namun perlu dilakukan by design. Pemerintah dan pelaku UMKM perlu berpikir bahwa dorongan dan promosi untuk berkompetisi dan melakukan inovasi adalah hal yang penting bagi UMKM dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Asasen, Asasen, Chuangcam, 2003). Dorongan ini penting karena UMKM dipandang dapat mendorong munculnya berbagai bentuk usaha baru dan berperan lebih besar dalam menciptakan teknologi, melalui perubahan bentuk industri dari bentuk produksi massal (large scale mass-production) menjadi bentuk yang lebih fleksibel, berbasis
ilmu
pengetahuan
(knowledge
intensive),
kreatif,
mendorong
kewirausahaan dan lebih variatif dalam bentuk pengolahannya (Paskaleva dan Shapira, 2006).
3 Di ke empat negara ini, karena peran UMKM yang begitu signifikan maka diterapkan berbagai kebijakan khusus untuk mendorong perkembangan UMKM. Sebagai contoh di Korea dan Taiwan, keberadaan industri besar ditopang oleh UMKM dalam proses produksinya, khususnya dalam penyediaan berbagai bahan terutama bahan penolong. Berdasarkan peran ini maka pemerintah mengembangkan pola kemitraan yang kuat.
3
Internasionalisasi UMKM: Tuntutan dan Permasalahan Desakan arus globalisasi menjadikan beban yang ditanggung UMKM begitu berat. Kecenderungan yang terjadi pada bisnis global, terutama UB mau tidak mau memaksa UMKM untuk mulai memikirkan strategi baru terutama bila UMKM ingin bertahan dan masuk ke bisnis global. UB di berbagai negara dewasa ini banyak mengadopsi kecenderungan baru dalam menjalankan bisnisnya, yaitu dengan memanfaatkan teknologi infocomm (ICT), strategi outsourcing dan networking. Hal ini menyebabkan UKM harus melakukan penyesuaian secara proaktif untuk menjaga keberlangsungan usahanya (Asasen, Asasen, Chuangcam, 2003, Paskaleva dan Shapira, 2006). Meskipun telah terlihat bahwa UMKM Indonesia memiliki kemampuan untuk bertahan dalam masa krisis dan menjadi sumber perolehan devisa, tetapi dalam kenyataannya UMKM masih menghadapi sejumlah kendala. Kendala yang dihadapi dapat bersumber dari faktor internal UMKM, maupun dari faktor eksternal, termasuk kebijakan pemerintah. Berdasarkan penelitian OECD dan UNICE Brussels, maka UMKM yang ingin melakukan internasionalisasi biasanya lemah pada: 1. Sisi finansial dengan kelemahan berupa (i) kualitas atau kecukupan kolateral, (ii) rencana bisnis yang mudah dipahami oleh perbankan, (ii) akses terhadap sumber dana 2. Sisi informasi dengan kelemahan berupa (i) informasi yang akurat dan komprehensif, (ii) data yang terpublikasi, (iii) akses terhadap informasi dan pengetahuan 3. Sisi manajerial dengan kelemahan berupa (i) kemampuan kewirausahaan, manajerial dan pemasaran, (ii) aksesbilitas terhadap teknologi baik dalam bentuk alat maupun pengetahuan, (iii) standarisasi dan kualitas yang terjaga, (iv) kemampuan mengevaluasi 4. Sisi pemasaran dan produksi dengan kelemahan berupa (i) risiko menjual ke luar negeri, (ii) kendala bahasa dan budaya, (iii) kemampuan berkompetisi, (iv) insentif pemerintah untuk masuk ke dunia global, dan (v) proteksi terhadap hak cipta
4
Sedangkan menurut Fan (2006), UMKM menghadapi kendala berupa. 1. Kegagalan institusional yang menciptakan kenaikan biaya transaksi biaya yang tidak proporsional bagi UMKM, dan keterbatasan kemampuan UMKM untuk mengambil keuntungan dari peluang ekonomi. Kegagalan institusional ini dapat berupa regulasi,
institusi publik yang gagal
mendorong kontrak bisnis dan hak cipta dan menyediakan informasi yang cukup di pasar, serta kesepakatan institusi swasta yang mahal bagi UMKM karena masalah skala ekonomis 2. Kegagalan pasar berupa informasi yang asimetrik, kompetisi yang tidak sempurna dalam pasar kredit, risiko yang relatif lebih tinggi dalam pembiayaan UMKM karena ketidakcukupan kemampuan manajemen, ketidaklikuidan UMKM, distorsi di sektor keuangan, dan biaya yang mahal bagi R&D dan pelatihan di UMKM. Kegagalan ini menyebabkan akses UMKM ke pasar kredit menjadi semakin sempit. 3. Keterbatasan kemampuan UMKM untuk pengembangan. Skala UMKM yang kecil sehigga menyebabkan keterbatasan kapabilitas manajemen, keterbatasan terhadap akses layanan bisnis, dan kemampuan mengakses dan menganalisis informasi Kesenjangan ini menuntut UMKM harus melakukan penyesuaian untuk menjaga keberlangsungan usahanya. Untuk itu dibutuhkan pengembangan terutama akses terhadap ilmu pengetahuan dan informasi global, termasuk standar pasar, informasi atau peluang pemasaran dan teknologi baru. Faktor lainnya adalah efisiensi dan fleksibilitas yang didapat dari jejaring atau kerjasama, baik dengan pemasok (backward linkage) maupun dengan pengguna jasa atau konsumen (forward linkage). Faktor-faktor tersebut harus tetap ditunjang dengan keinginan untuk terus belajar dan menerapkan apa yang dipelajarinya di organisasi usahanya, agar dapat tetap efisien dan fleksibel (Wattanapruttipaisan, 2003). Penyesuaian-penyesuaian tersebut dapat dilakukan dengan pengelolaan pengetahuan (knowledge management) di dalam organisasi UMKM. Penggunaan pengetahuan yang efisien dan efektif akan meningkatkan nilai perusahaan (Kulkarni et al., 2006).
5
Peran Strategik Knowledge Management dalam UMKM Knowledge
Management
(KM)
dipandang
sebagai
proses
untuk
meningkatkan kapasitas dan nilai perusahaan berdasar aset intelektual atau pengetahuan. Knowledge (pengetahuan) didefinisikan sebagai informasi yang dikombinasikan
dengan
pengalaman,
konteks,
interpretasi
dan
refleksi.
Pengetahuan terikat dan mengalir melalui berbagai entitas (multiple entities) didalam sebuah perusahaan, termasuk keahlian individual, metode spesifik yang sudah terkenal luas, atau pelajaran yang dipelajari dari pengalaman, dokumen, kegiatan rutin, sistem dan metode yang serupa (Kulkarni et al., 2006). Tipe pengetahuan ada tiga (Becker, 2007). Tipe pengetahuan yang pertama adalah pengetahuan yang dimiliki oleh setiap orang yang ada di dalam organisasi. Pengetahuan ini mengalir ke seluruh organisasi yang lebih sering merupakan hasil dari jaringan informal daripada jaringan formal. Jenis informasi dan pengetahuan ini dapat dikaitkan dengan berbagai area bisnis dan operasi perusahaan seperti akuntansi, pemasaran, relasi dengan pelanggan, fasilitas, desain produk atau sumber daya manusia. Tipe pengetahuan yang kedua adalah informasi dan pengetahuan yang secara langsung berkaitan dengan proses atau pengalaman bekerja yang merupakan informasi dan pengetahuan yang berkaitan langsung dengan orang yang memilikinga. Pengetahuan ini berkaitan dengan perilaku, ketrampilan dan sikap para staf dan manajer yang secara tidak langsung mempengaruhi pembelajaran informal yang dapat menciptakan kerjasama yang efektif berdasarkan saling percaya. Tipe pengetahuan yang ketiga adalah informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan sikap, nilai-nilai dan perilaku perusahaan yang mempengaruhi pola komunikasi dan interaksi. Perilaku dan sikap ini membentuk sebagian dari infrastruktur pengetahuan dan tindakan pembawa informasi ini tidak dapat dilihat secara nyata, tidak ada kodifikasi dan tidak tertulis, yang dapat membentuk pembelajaran informal. Pengetahuan ini termasuk nilai-nilai formal dan informal, kebijakan dan pengalaman tentang siapa yang dapat berkomunikasi dengan siapa, dan alat apa yang digunakan untuk melakukan komunikasi misalnya e6
mail, atau budaya voice mail, dan seberapa banyak interaksi yang terjadi pada saat-saat rapat. Dengan ketersediaan informasi yang pengetahuan yang eksplosif di dalam organisasi, banyak perusahaan melihat bahwa KM merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan interaktifitas komunikasi vertikal maupun horisontal. Perusahaan ini khusus fokus pada intranet karena intranet berpotensi dapat menangkap, menyimpan dan membuat aliran informasi sangat cepat dan menyebar secara luas keseluruh organisasi, dan dapat di akses di mana saja dan kapan saja. Adapun knowledge management system adalah sistem apapun yang mengotomatisasi input, penyimpanan, transfer dan pengungkapan pengetahuan. Termasuk didalamnya taksonomi kontekstual pengetahuan (meta knowledge), sistem untuk menangkap berbagai tipe pengetahuan dari pelajaran yang bermanfaat, sistem untuk mengklasifikasi dokumen pengetahuan, sistem untuk melokalkan keahlian yang relevan, teknologi untuk memfasilitasi sharing keahlian (groupware, video conferencing dan sebagainya), repositori untuk informasi yang terstruktur maupun tidak terstruktur, dan sebagainya. Aset pengetahuan ini sangat beragam sehingga membutuhkan usaha yang sangat besar untuk dapat mengelolanya. Aset pengetahuan menghasilkan keuntungan jangka panjang seperti keunggulan kompetitif dan keberlangsungan (sustainability) dalam menghadapi iklim ekonomi yang fluktuatif. Return jangka panjang aset pengetahuan ini sangat sulit diukur karena keberhasilan KM dalam konteks keuntungan bisnis harus diasumsikan dapat merefleksikan efektifitas strategi KM. Penelitian sebelumnya sangat jarang menguji model teoritis dan empiris yang mampu mengukur keberhasilan KM. Model KM berawal dari model Information System (IS). Model IS yang berhasil dikemukakan oleh De Leon dan Mc Lean (D & M) dan Seddon, karena punya sejarah pengujian empiris. Pengalaman
terbaik
menunjukkan
bahwa
pada
umumnya
sistem
KM
menggunakan teknologi informasi (TI). TI sangat berperan sebagai pemampu (enabler) perusahaan untuk mengaplikasikan pengetahuan yang ada secara
7
efektif dan menciptakan pengetahuan baru. TI mengakibatkan terjadinya perubahan peran efisiensi, peran efektifitas dan peran strategik. Peran efisiensi berfungsi menggantikan manusia dengan teknologi informasi yang lebih efisien. Peran efektifitas berfungsi menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan manajemen yang efektif. Peran strategik berfungsi untuk memenangkan persaingan. Sistem ini disebut dengan sistem informasi strategik (Jogiyanto, 2005). Sejak pertengahan 1990-an, dunia sudah memasuki era jejaring global (global wired society era). Ketika itu perusahaan sudah saling dihubungkan dengan jaringan sistem TI secara global dengan teknologi telekomunikasi melalui internet. Dari sudut pandang TI, mulai tahun 2000-an perusahaan sudah masuk ke dalam era jejaring client server dan internet. TI sebagai teknologi suplemen bagi perusahaan tidak hanya sebagai penghasil informasi, tetapi lebih luas sampai
ke
penghasil
pengetahuan.
Pengetahuan
ini
digunakan
untuk
menciptakan pertambahan nilai perusahaan. Dengan demikian pengguna pengetahuan ini adalah siapa saja yang membutuhkan informasi dan pengetahuan. Penggunaan pengetahuan (knowledge use) ini menjadi sangat penting karena KM sangat bermanfaat bagi seluruh entitas perusahaan, dari level pimpinan sampai ke level karyawan untuk melakukan pengambilan keputusan yang akurat (Langera et al., 2006). Penelitian Kulkarni et al., (2006) menunjukkan bahwa insentif berpengaruh secara langsung (0,45 dan signifikan pada level 0,01) pada derajat penggunaan pengetahuan di lingkungan perusahaan. Penggunaan pengetahuan adalah derajat pengetahuan dimana pekerja yakin bahwa dia telah terikat prosedur untuk menangkap dan menggunakan berbagai tipe pengetahuan ke dalam kegiatan pengambilan keputusan, kegiatan rutin dan lain-lain. Studi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi insentif yang didapat oleh entitas perusahaan, maka penggunaan pengetahuan akan semakin efisien. Insentif merupakan bagian integral dari organisasional yang diterapkan untuk mendorong entitas perusahaan berbagi pengetahuan. Pengaruh langsung
8
insentif ini jauh lebih tinggi daripada pengaruh langsung dari pimpinan perusahaan (hanya 0,28 dan signifikan pada level 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pimpinan perusahaan memiliki komitmen terhadap aplikasi pengetahuan
dan
selalu
mengkaji
kemanfaatan
pengetahuan
untuk
meningkatkan nilai bisnisnya, namun pengetahuan yang ditransfer oleh pimpinan perusahaan kurang digunakan oleh entitas perusahaan. Pengguna pengetahuan hanya akan memanfaatkan pengetahuannya jika mendapatkan insentif yang lebih tinggi. Selain faktor insentif, studi lain menunjukkan bahwa ketika sistem di suatu perusahaan heterogen (misal, tingkat kompetensi pada level karyawan sangat heterogen), maka data yang dibutuhkan akan semakin banyak jika dibandingkan dengan perusahaan dengan sistem yang homogen (misal, tingkat kompetensi karyawan pada level yang relatif sama), untuk mencapai tingkat akurasi keputusan yang sama. Permasalahan terjadi karena adanya ketidakmampuan sistem untuk menentukan kesamaan pengguna pengetahuan secara otomatis. Dengan demikian akurasi keputusan dari sistem yang heterogen dapat ditingkatkan jika pengguna memilih pengetahuannya secara manual sesuai dengan
tingkat
kompetensinya
masing-masing
(Wurst,
2006).
Hal
ini
menunjukkan bahwa ketika pengetahuan dipersepsi sangat bermanfaat oleh pengguna (perceived usefulness) maka pengguna akan semakin puas. Pengetahuan ini bisa berasal dari teman sekerja atau penyelia yang memonitor pekerjaan karyawan. Studi Wurst (2006) ini juga didukung oleh penelitian Kulkarni et al. (2006) yang menunjukkan bahwa tingkat kepuasan pengguna secara signifikan (pada level 0,01) dipengaruhi oleh perceived usefulness pengguna (0,52). Gambar 1 menunjukkan model Kulkarni et al., (2006).
9
Sumber: Kulkarni et al. (2006) N = 111; df = 395; χ2 = 826.0; RMSEA = 0.10; NNFI = 0.92; CFI = 0.92; SRMR = 0.24. *, **, dan *** mengindikasi signifikansi pada level 10 persen, 5 persen dan 1 persen.
Gambar 1. Model Sistem Manajemen
Fakta menunjukkan bahwa teknologi informasi (TI) sangat bermanfaat untuk mengatasi heterogenitas sistem di suatu perusahaan. Selama 20 tahun terakhir ini, perusahaan banyak menggunakan berbagai produk teknologi informasi
dan
komunikasi
dengan
berbagai
kemampuan
antara
lain:
collaboration, instant messaging, categorization and clustering, federated search, entity extraction, link analysis, language translation, document summarization, visualization, geospatial tagging dan sebagainya (Pepus, 2007). Bagi UMKM, penggunaan produk teknologi informasi ini sangat menentukan kualitas pengetahuan, isi pengetahuan dan kecepatan transfer kepada pengguna. Ketika KM diterapkan di suatu perusahaan, maka teknologi informasi berperan sangat penting untuk menyebar luaskan informasi dan pengetahuan ke seluruh entitas perusahaan. Perlakuan terhadap sumber daya manusia cenderung difokuskan pada program-program pelatihan dan insentif. Namun demikian, tidak ada pendekatan tunggal untuk mendesain lingkungan pekerjaan yang kondusif. Manajer dapat menciptakan harmoni yang dinamis yang dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan organisasi yang sehat. Komunikasi
10
tidak harus menggunakan media intranet, tetapi bisa juga menggunakan perangkat dan kegiatan yang dapat membantu menyebar luaskan informasi dan pengetahuan, antara lain newsletter, telepon seluler, faksimili, rapat informal dan formal. Berdasarkan penelitian empiris tersebut maka jelaslah bagi UMKM yang sedang berkembang maupun yang sudah berkembang, KM sangat dibutuhkan keberadaannya untuk meningkatkan interaktifitas orang-orang yang terlibat untuk mencapai tujuan organisasi. Knowledge Management dalam Persepsi Pelaku UMKM di Jogjakarta Untuk dapat merumuskan strategi yang perlu dikembangkan oleh UMKM dalam meningkatkan “nilai”nya, maka penulis melakukan diskusi dan wawancara dengan beberapa pelaku UMKM di Jogjakarta. Jogjakarta diambil sebagai daerah sampel karena Jogja memiliki jumlah UMKM yang relatif besar, dengan pola-pola
kluster
yang
ada,
dan
tangguh
terutama
melihat
proses
kebangkitannya paska gempa. Kondisi UMKM Jogja yang berdasarkan hasil survei dan wawancara dengan pelaku UMKM juga dapat dijadikan benchmark perilaku karena heterogenitasnya. Heterogenitas ini muncul karena selain skala dan jenis usaha yang beragam, juga pelaku UMKM tidak selalu berasal dan berdomisili di Jogja, namun banyak yang berasal dari luar Jogja. Karakteristik yang menarik pada UMKM di Jogjakarta terlihat pada masalah produk dan keuangan yang dihadapi oleh pelaku UMKM. Setiap masalah yang dihadapi pada dasarnya selalu diusahakan untuk diselesaikan sesuai dengan pengetahuan spesifikasi yang dimiliki oleh entitas perusahaan, namun kelemahan yang menonojol adalah belum terlihat adanya transfer pengetahuan yang terstruktur dan sistematis untuk mengatasi hal tersebut. Secara umum terlihat bahwa produk UMKM yang ada di Jogjakarta sebagian
besar
membutuhkan
pengerjaan
tangan
(hand
made)
yang
mengandung unsur seni untuk penyelesaian produknya. Mesin juga memegang peran penting dalam proses produksi namun pelaku UMKM Jogja berpandangan bahwa yang menjadi keistimewaan produk adalah ketika ada sentuhan tangan
11
sebagai proses penyelesaian akhir. Dengan adanya proses yang semacam ini maka pengetahuan mengenai produk menjadi satu hal yang mutlak untuk dimiliki oleh setiap pelaku usaha. Dalam mentransfer pengetahuan tentang produk terdapat dua karakter utama yaitu transfer pengetahuan yang berasal dari institusi di luar UMKM dan transfer internal di dalam perusahaan. Sebagian pelaku UMKM menyatakan bahwa peran institusi pemerintah dalam melakukan transfer pengetahuan tidak optimal karena tidak didukung oleh kerangka pelatihan yang komprehensif dan sistematis. Pelatihan dilakukan secara parsial, baik dari sisi materi maupun dari sisi peserta. Kondisi ini menyebabkan peningkatan kualitas produk tidak dapat terjadi secara optimal. Pengetahuan yang dimiliki oleh peserta pelatihan tidak didesiminasikan kepada karyawan lain di dalam perusahaan yang sama, sehingga pengetahuan tidak menyebar. Dari sisi internal perusahaan, sistem peningkatan kualitas produk dan penyebaran pengetahuan belum sepenuhnya dilakukan oleh pelaku usaha, namun masih jauh lebih baik dibandingkan dengan proses yang terjadi antara institusi pemerintah dan pengusaha. Pengetahuan tentang best method yang dimiliki oleh perusahaan hanya akan digunakan secara internal. Pengetahuan ini akan di transfer secara parsial kepada pihak eksternal sebagai pemasok, apabila perusahaan memperoleh insentif yang lebih tinggi, misalnya ada lonjakan pesanan. Temuan ini mendukung penelitian empiris yang dilakukan di negara lain, yang menunjukkan bahwa insentif merupakan pemicu utama penyebaran pengetahuan. Hal ini juga tampak pada waktu perusahaan manufaktur masih berskala kecil, sistem dijalankan dengan cara “one man show”. Ketika usaha menjadi semakin besar maka sistem akan memanfaatkan jasa desainer profesional dengan insentif dan fasilitas yang memadai. Semakin tinggi insentif dan fasilitas yang diberikan, maka kinerjanya akan semakin baik. Beberapa pengusaha menyatakan penyebaran pengetahuan secara penuh dapat mengancam keberadaan produk dalam pasar. Namun beberapa pengusaha yang lain membantahnya, karena pada dasarnya penyebaran
12
pengetahuan tidak akan merugikan asal pelaku usaha memiliki kesadaran tentang sertifikasi dan standardisasi. Ketika perusahaan memiliki produk andalan yang mampu menerobos pasar ekspor, maka informasi ini akan dijaga kelestariannya dengan memberi sertifikasi Desain Industri pada produk andalan tersebut. Ketika informasi terbuka bagi pengguna lain, maka perusahaan akan tetap bisa mempertahankan persaingan. Teknologi informasi dan komunikasi dimanfaatkan fungsinya secara maksimal untuk melakukan transfer pengetahuan kepada bawahan, atasan dan mitra kerja. Teknologi ini dirasakan efektif apabila dapat meningkatkan nilai perusahaan. Namun demikian, internet masih dirasakan kurang efektif karena hanya memberikan kontribusi seleksi pembeli dua sampai lima persen saja. Ada pimpinan perusahaan yang lebih senang bertemu langsung dengan pembeli untuk memastikan nilai transaksi. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan ICT yang sesuai dengan kecenderungan pengelolaan UMKM di dunia belum banyak dimanfaatkan oleh pelaku UMKM. Masalah lain yang menarik untuk diselesaikan dengan sistem KM adalah masalah keuangan. Telah menjadi masalah klasik bahwa hal yang sulit diakses oleh UMKM adalah masalah kredit usaha. Permasalahan modal tersebut timbul karena tidak adanya titik temu UKM sebagai debitor dan pihak kreditor (terjadinya mismatch). Di sisi debitur, karateristik dari sebagian besar UKM di Indonesia antara lain adalah masih belum menjalankan bisnisnya dengan prinsip-prinsip manajemen modern, tidak/belum memiliki badan usaha resmi, serta keterbatasan aset yang dimiliki. Sementara itu, di sisi kreidtur, pemodal atau lembaga pembiayaan untuk melindungi resiko kredit, menuntut adanya kegiatan bisnis yang dijalankan dengan prinsip-prinsip manajemen modern, ijin usaha resmi serta adanya jaminan (collateral). Masalah lain yang muncul dari sisi keuangan adalah tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UMKM. Kondisi ini menyebabkan munculnya biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan kecil. Kurangnya akses ke sumber dana yang
13
formal, baik disebabkan oleh ketiadaan bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai juga merupakan masalah yang dirasakan oleh sebagian besar pelaku UKM. Dari sisi internal masalah keuangan terbentur pada banyaknya UKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan finansial. Meskipun pemerintah telah berupaya merevitalisasi UMKM dengan mengeluarkan
peraturan
dengan
memberikan
sedikit
fleksibilitas
dalam
pengelolaan masalah pembiayaan, namun peraturan ini belum secara optimal dapat dijalankan oleh industri perbankan secara keseluruhan, mengingat karakteristik dan kondisi Bank yang heterogen. Perlakuan kurang simpatik dalam hal penyelesaian kredit dari beberapa lembaga keuangan terhadap nasabah UMKM mereka, semakin membuat ruang gerak UMKM menjadi terbatas. Data perbankan di DIY menunjukkan adanya kenaikan aset perbankan dan kredit yang disalurkan dari tahun 2004 ke tahun 2006. prosentasi LDR dari tahun 2004 ke 2006 masing-masing 47,30 persen, 54,03 persen dan menurun menjadi 50,77persen. Dari jumlah ini yang tersalur ke UMKM sangatlah kecil. Permasalahan yang muncul dari sisi keuangan sebenarnya tidak hanya pada sisi penawaran kredit oleh lembaga keuangan yang masih cenderung ”pilih kasih,” namun juga bersumber pada sisi permintaan kreditnya. Para pelaku UMKM juga menyatakan sebagian tidak memiliki rasa percaya diri yang cukup untuk mencoba meminjam uang pada perbankan. Baik karena alasan kinerja, tidak memiliki
laporan
keuangan
yang
memadai,
tidak
memiliki
rencana
pengembangan bisnis yang layak untuk dijual, bahkan sampai ke masalah kultur dan penampilan secara fisik. Kesenjangan ini seharusnya bisa diatasi bila terjadi transfer pengetahuan yang simetris dan mendukung dari pihak penawar kredit yaitu perbankan ke nasabahnya yaitu UMKM.
14
Knowledge Management : Strategi dan Aksi yang Perlu Dilakukan Salah satu usulan model yang dapat diadopsi untuk mengembangkan UMKM secara umum adalah model yang digunakan oleh SMIDEC dalam Saleh dan Ndubisi (2005) yang berusaha membangun dan mengembangkan UMKM berdasarkan tahapan pencapaiannya. Hal ini penting karena, pada tahap yang berbeda, kebutuhan strategi pengembangannya pun akan berbeda. Tinggi
Tahap matang
Tingkat teknologi
Ekspansi
Rendah
Kebutuhan/ perhatian utama
Pertumbuhan
Tahap awal
Inkubator riset dan pengembangan kecukupan tenaga kerja kecukupan infrastruktur kecukupan pasokan material pengetahuan pasar
Standar dan sertifikasi bantuan teknis pengembangan pasar
Kapabilitas teknologi kapabilitas manajemen kapabilitas ICT Modal ventura pengembangan merek outsourcing jaringan distribusi
Kapabilitas disain promosi merek pengembangan usaha internasionalisasi
Sumber: Saleh dan Ndubisi (2005)
Gambar 2. Strategi Pengembangan UMKM
Misalnya pada tahap awal UMKM, maka hal yang paling penting untuk dikembangkan adalah adanya (i) inkubator riset dan pengembangan, (ii) kecukupan tenaga kerja, infrastruktur dan pasokan material, serta (iii) pengetahuan pasar. Dalam tahapan awal ini transfer pengetahuan menjadi hal yang sangat dominan, karena pembentukan inkubator riset dan pengembangan sangat membutuhkan adanya interaksi antara pemilik usaha, karyawan maupun 15
pihak luar yang memiliki keahlian. Pengetahuan pasar juga membutuhkan akses pengetahuan yang terbuka, agar kemampuan mendapatkan pasar yang lebih luas dapat terwujud. Pada tahap dua UMKM yaitu pada tahap pertumbuhan, maka (i) sertifikasi dan standarisasi, (ii) bantuan teknis, dan (iii) pengembangan pasar, merupakan kebutuhan dasar yang perlu direncanakan dengan baik. Seperti terungkap dalam wawancara, sertifikasi dan standarisasi sebenarnya merupakan langkah yang sangat berguna untuk menjaga adanya imitasi dan duplikasi, namun tetap memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan. Pada tahap ekspansi UMKM, kebutuhan pengembangan semakin tinggi, karena UMKM dipersiapkan secara lebih matang untuk masuk ke pasar global. Untuk itu ICT merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Pemenuhan kebutuhan ICT akan sangat membantu penerapan KM dalam UMKM. Pada tahap akhir, yaitu ketika UMKM telah matang dan mampu berkompetisi di tingkat global maka disain dan merek merupakan hal terpenting yang harus dikembangkan. Secara lebih spesifik, berdasarkan masalah yang dihadapi baik dari sisi produk maupun keuangan maka, beberapa fokus strategi yang berkaitan dengan KM yang bisa ditempuh adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan Mutu Produk. Produk UMKM akan dapat diterima dengan baik oleh konsumen, baik domestik maupun internasional, apabila produk tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan memberikan kepuasan. Konsumen yang puas akan kembali membeli (repurchasing). Untuk meningkatkan nilai perusahaan, UMKM harus dapat mengembangan desain produk secara kreatif dan berkelanjutan. Secara fundamental desain adalah tentang membuat produk yang lebih baik. Lebih baik untuk konsumen, pengguna, bisnis dan untuk dunia (Seymour, 2002). Produk yang lebih baik akan lebih laku dijual, meningkatkan market share, memperoleh distribusi yang lebih luas, meningkatkan laba, manaikkan pendapatan dan menurunkan biaya. Kegiatan desain, terutama difokuskan pada perilaku manusia dan mutu kehidupan (Design Council, 2004).
16
Ilmuwan dapat menciptakan teknologi, produsen dapat membuat produk, teknisi dapat membuat produk itu berfungsi, dan pemasar dapat menjualnya. Tetapi, hanya desainer yang dapat mengkombinasikan seluruh insight tersebut, dan menjadikannya sebuah konsep yang diinginkan, dapat diwujudkan, berhasil secara komersial, dan menambah nilai untuk kehidupan manusia. Untuk dapat mengaplikasikan konsep ini, seluruh entitas perusahaan disarankan
memiliki
kreativitas
di
dalam
setiap
pemikiran
dan
tindakannya. Menggunakan kreatifitas adalah cara yang paling efektif untuk mencapai keunggulan kompetitif. Berkompetisi hanya pada harga, bukan
merupakan
strategi
yang
berhasil,
dibandingkan
dengan
berkompetisi dengan menciptakan produk yang orijinal dan inventif. Kreativitas dapat menjadi akar untuk menciptakan layanan yang lebih inovatif dan eisien untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Kreativitas bukan merupakan hadiah yang datang begitu saja untuk seorang desainer, tetapi sesuatu yang setiap orang bisa lakukan. Kreativitas adalah tentang menghasilkan gagasan baru dan menemukan solusi untuk mengatasi masalah dengan melakukan pemikiran yang berbeda. Kreativitas penting bagi desainer, apalagi setelah mereka menemukan informasi yang „kering‟ tentang konsumen, menjadi produk dan jasa yang aktual (terkini). Pekerjaan desainer pada umumnya akan dibuat lebih mudah dan bekerja lebih efektif, ketika mereka mengandalkan orangorang yang mengadopsi pemikiran yang hampir sama, dibandingkan dengan jika memperlakukan desainer terisolasi dan bekerja sendiri. Gagasan yang digunakan untuk memperkaya proses desain bisa datang dari mana saja, tidak hanya dari desainer. Gagasan bisa datang dari manajemen, orang-orang yang bergerak dibidang pemasaran atau keuangan. Manajemen harus memahami bahwa mendorong kreativitas harus dilakukan, karena hanya dengan menyediakan sugesti untuk staf, tidak menghasilkan inovasi baru.
17
Banyak budaya organisasi mengurangi kreativitas karena alasan alamiah. Hirarki yang tegas yang datangnya dari atas, sering dipersepsi bahwa manajemen sebenarnya tidak mau mendengarkan. Manajer sering berhasrat untuk menyatakan otoritas, dan cenderung memotong gagasan, kurang mempunyai waktu untuk menelaah lebih lanjut, sehingga gagasan tidak sepenuhnya dapat dieksplorasi. Karena kreativitas di dalam organisasi sangat penting untuk mendukung peningkatan mutu desain produk, UMKM perlu melakukan transfer pengetahuan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan peningkatan mutu produk (misalnya standarisasi mutu internasional/ISO, sertifikasi Desain Industri, teknologi tepat guna, ecolabeling, AMDAL4, green product) kepada seluruh entitas perusahaan. Informasi dan pengetahuan tentang perdagangan dan investasi termasuk didalamnya kondisi pasar dan persaingan di dalam industri terkait, juga akan sangat membantu tim desainer mewujudkan produk-produk baru mereka yang mampu bertahan di dalam industri yang sangat kompetitif ini. Seluruh informasi dan pengetahuan ini akan membantu UMKM untuk melakukan perbaikan-perbaikan secara menyeluruh guna meningkatkan mutu produknya. 2. Penguatan kapasitas lembaga keuangan dalam melayani UMKM. Transfer pengetahuan dipandang dapat mengatasi masalah utama keuangan di UMKM yaitu ketiadaan titik temu (mismatch) antara kreditur dan debitur. Dari sisi lembaga keuangan hal utama yang harus dilakukan adalah dengan memberikan pengetahuan ke lembaga keuangan untuk dapat mengevaluasi skema kredit UMKM, secara berbeda dengan UB, karena bagaimana pun UMKM memiliki karakteristik yang berbeda. Secara
berkesinambungan
Bank
Indonesia
terus
meningkatkan
peranannya dalam turut memberdayakan UKM, yaitu melalui kebijakan yang mendorong perbankan untuk membiayai UKM, melalui tiga pilar strategi sebagai berikut (Rahayu, 2005): 4
AMDAL (Analisa mengenai Dampak Lingkungan)
18
o Kebijakan kredit perbankan, dimana Bank Indonesia mendorong bank-bank untuk menyalurkan KUK dan mencantumkannya dalam bussiness plan serta melaporkannya dalam laporan keuangan publikasi sehingga masyarakat dapat menilai bank-bank yang berpihak terhadap pengembangan usaha kecil. Bank Indonesia juga terus mendorong kerjasama antara bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR) dalam menyalurkan dana bergulir kepada UKM, mendukung layanan khusus UKM o Pemberian bantuan teknis, yaitu Bank Indonesia secara terus menerus melakukan berbagai kegiatan berupa pelatihan kepada staf
perbankan,
penelitian
dan
penyediaan
informasi
dan
mengembangkan Sistem Informasi Pengembangan Usaha Kecil (SIMPUK) o Pengembangan dan penguatan kelembagaan, dimana Bank Indonesia
melakukan
kelembagaan
BPR
upaya yang
untuk
diharapkan
memperkuat dapat
kapasitas
meningkatkan
penyaluran kredit kepada usaha mikro. Namun pilar yang digunakan oleh pemerintah untuk mengintervensi penyaluran kredit ternyata sampai saat ini kurang efektif. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya pihak lain yang akan memfasilitasi pengucuran kredit untuk UMKM, Lembaga Keuangan Mikro atau Micro Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis. Untuk menyiasati masalah kredit UMKM, maka hal yang penting untuk digalakkan
adalah
pembentukan
lembaga
keuangan
mikro
yang
berkesinambungan. Perbedaan antara institusi pembiayaan formal dan informal bersifat cukup fleksibel karena antar negara memiliki definisi yang berbeda. Sebagian besar perbedaan antara institusi kredit formal dan informal dapat dilihat dari cara mereka beroperasi. Institusi kredit informal
19
memiliki karakterisktik operasi yang kecil dan fleksibel. Mereka sebagian besar beroperasi pada area yang terbatas atau pasar yang spesifik. Mereka cenderung mengirimkan jasa personal sangat dekat ke lokasi peminjam. Mereka cenderung tidak bersifat birokratis dan lebih fleksibel dalam tujuan pinjaman, suku bunga, persyaratan kolateral, jangka wajtu jatuh tempo dan penjadwalan ulang hutang. Adanya dua institusi yang mungkin menyelenggarakan kredit mikro menunjukkan bahwa mekanisme kredit mikro selain menggunakan institusi perbankan juga dapat menggunakan skema inovasi bukan bank yang tidak membutuhkan spesifikasi tertentu dari organisasi kredit. Mekanisme kredit difokuskan pada penggunaan maksimal infrastruktur dan spesialisasi yang ada. Bila mekanisme kredit informal yang dikembangkan maka skema kredit harus didisain secara murah dan bersahabat dengan presepektif debitur. Rancangan skema kredit yang tepat, pemilihan bank pelaksana yang diserahi tanggung jawab, bantuan teknis yang intensif, serta pemantauan dan evaluasi kinerja yang teratur, merupakan faktor kunci yang mempengaruhi efisiensi dan
efektivitas
program. Karena kredit UKM, merupakan kredit yang memiliki resiko spesifik. Untuk itu bank atau lembaga yang melaksanakan skema kredit memerlu insentif tertentu sebagai penghargaan atas penyaluran kredit yang dilakukan. Insentif itu bisa berbentuk: o Margin bunga yang menarik dalam skema kredit; o Perolehan fee dari skema kredit; o Meningkatnya citra, reputasi, dan basis nasabah; o Akses pembiayaan kembali (refinancing) yang membaik, langsung melalui skema kredit, dan secara tidak langsung melalui posisi yang lebih baik pada pasar lokal, dan terhadap kreditor atau penyedia dana pinjaman dalam maupun luar negeri. o Bantuan teknis, seperti pelatihan staf, dukungan pengembangan lembaga, informasi dan acuan (benchmark) pasar, serta akses
20
gratis atau murah ke perangkat lunak perbankan. Asistensi teknis ini sebenarnya adalah salah
satu bentuk transfer pengetahuan
yang dapat dilakukan, berawal dari institusi pemerintah, dan kemudian menyebar secara horisontal antar UMKM. Upaya lain yang dapat dikembangkan dalam rangka mendorong perkembangan UKM adalah pembentukan lembaga pembiayaan nonbank yaitu perusahaan modal ventura (PMV). Pembentukan PMV ini sangat tepat mengingat sistem modal ventura ini sangat berbeda dengan sistem pembiayaan lainnya. Pada prinsipnya model PMV (venture capital) merupakan sistem kerjasama yang bersifat equity financing yakni memberikan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dalam suatu perusahaan. Skema ini dipandang akan menguntungkan baik dari sisi PMV maupun UKM Perbaikan dan penguatan sistem produk dan keuangan ini akan menjadi semakin berdayaguna ketika didukung oleh transefer pengetahuan secara berkesinambungan, komprehensif, dan merata baik horisontal (antar UMKM), maupun vertikal yaitu antara UMKM dengan pemerintah maupun lembaga lain yang terkait. Penutup Kegagalan institusional, kegagalan pasar dan keterbatasan kemampuan UMKM dalam bentuk keterbatasan kapabilitas manajemen, keterbatasan terhadap akses layanan bisnis, dan kemampuan mengakses dan menganalisis informasi mengakibatkan perkembangan UMKM menjadi penuh tantangan. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam UMKM dan mengembangkan
UMKM
lebih
jauh
adalah
penggunaan
knowledge
management. Knowledge Management (KM) dipandang sebagai proses untuk meningkatkan kapasitas dan nilai perusahaan berdasar aset intelektual atau pengetahuan.
Pengetahuan ini terikat dan mengalir melalui berbagai entitas
(multiple entities) didalam sebuah perusahaan. Penggunaan pengetahuan (knowledge use) ini menjadi sangat penting karena KM sangat bermanfaat bagi
21
seluruh entitas perusahaan, dari level pimpinan sampai ke level karyawan untuk melakukan pengambilan keputusan yang akurat. Yang harus disadari adalah model KM berawal dari model Information System, sehingga pengembangan teknologi informasi menjadi satu hal yang patut diupayakan. Pengembangan
UKM
dengan
menggunakan
pengetahuan
harus
disesuaikan karena penerapan yang terlalu cepat atau terlalu lambat justru akan menimbulkan permasalahan bagi UMKM. Bila tahapan UMKM dibagi menjadi tahap awal, pertumbuhan, ekspansi dan matang, maka pada tahap awal dibutuhkan (i) inkubator riset dan pengembangan, (ii) kecukupan tenaga kerja, infrastruktur dan pasokan material, serta (iii) pengetahuan pasar. Pada tahap pertumbuhan perlu diperhatikan hal-hal berupa (i) sertifikasi dan standarisasi, (ii) bantuan teknis, dan (iii) pengembangan pasar. Pada tahap ekspansi maka perlu memasukkan unsur ICT dan outsourcing, sedangkan pada tahap UMKM telah matang maka promosi merek dan internasionalisasi menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Strategi yang perlu ditempuh dari sisi produk adalah perbaikan kualitas produk. Karena produk yang lebih baik akan lebih laku dijual, meningkatkan market share, memperoleh distribusi yang lebih luas, meningkatkan laba, menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya. Untuk itu kegiatan desain, terutama difokuskan pada perilaku manusia dan mutu kehidupan seluruh entitas menjadi penting dalam pengembangan produk. Perusahaan disarankan memiliki kreativitas di dalam setiap pemikiran dan tindakannya, karena berkompetisi hanya pada harga, bukan merupakan strategi yang berhasil, dibandingkan dengan berkompetisi dengan menciptakan produk yang orijinal dan inventif. Penggunaan pengetahuan dipandang juga dapat mengatasi masalah utama keuangan di UMKM yaitu ketiadaan titik temu (mismatch) antara kreditur dan debitur. Adanya kesenjangan antara kreditur dan debitur membutuhkan adanya informasi yang luas dan perbaikan-perbaikan sistem keuangan yang mampu melayani UMKM dengan lebih baik.
22
Implementasi strategi secara umum, strategi yang fokus ke produk dan keuangan secara tepat diharapkan akan mampu memberikan pengaruh yang signifikan, dan mempercepat pengembangan UMKM.
Daftar Pustaka Asasen, Choompon, Kanchana Asasen, dan Nataya Chuangcham (2003), “Asean Policy Blueprint For SME Development (APBSD) 2004 -2014”, REPSF Project 02/005, July, p-1-145 Fan, Qimiao (2006), “SME and Access to Finance SME Development and the Role of Government”, ECA Private Sector Development GDLN Series – October 25, www.investmentclimate.org Jogianto Hartono, H.M. (2005) Sistem Informasi Strategik, Yogyakarta, Andi Offset. Kulkarni, Uday, R.; Sury Ravindran and Ronald Freeze, (2006) “A Knowledge Management Success Model: Theoretical Development and Empirical Validation,” Journal of Management Information Systems, Vol. 23, No. 3, pp. 309–347. Langera, Hagen; Jan D. Gehrkea; Joachim Hammerb; Martin Lorenza; Ingo J. Timma and Otthein Herzoga, (2006) “A Framework for distributed knowledge management in autonomous logistic processes,” International Journal of Knowledge-based and Intelligent Engineering Systems, No. 10, pp. 277–290. Paskaleva, Krassimira, Philip Shapira (2006), “Innovation and SMEs: Some Asian Experiences” ,Technikfolgenabschätzung – Theorie und Praxis Nr. 1, 15. Jg., April , P 124-127 Pepus, Greg (2007) “The KM integration challenge” Knowledge Management World Magazine, February 2007, Vol. 16, Issues no. 2, p 1 and 29. Rahayu, Sri Lestari (2005), “Analisis Peranan Perusahaan Modal Ventura Dalam Mengembangkan UKM Di Indonesia”, Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Edisi Khusus November, hal 58-85. Saleh, Ali Salman, Nelson Oly Ndubisi (2006) , “An Evaluation Of SME Development In Malaysia”, International Review Of Business Research Papers Vol.2. No.1 August 2006 Pp.1-14 Wattanapruttipaisan1, Thitapha (2003), “Promoting Sme Development: Some Issues And uggestions For Policy Consideration”, Bulletin on Asia-Pacific Perspectives, P 57-68 Wurst, Michael (2006) “Analysis and evaluation of distributed knowledge management by agent-based simulation,” International Journal of Knowledge-based and Intelligent Engineering Systems, No. 10, pp. 307– 317.
23
CURRICULUM VITAE
PERSONAL DATA Name Place/Date of Birth Address Phone Email
: Angelina Ika Rahutami, SE, MSI : Jogjakarta / February 22nd 1968 : Minggiran Baru 33 Yogyakarta– Indonesia : +628156511363 :
[email protected],
[email protected]
EDUCATIONS 1. 2003 – sampai sekarang, Mahasiswa Doktoral, Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Konsentrasi Ekonomi Moneter dan Perdagangan Internasional 2. 1993 – 1995, Magister Sain Ilmu Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3. 1986 – 1991, S1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. WORKING EXPERIENCE 1. 2006 – sampai sekarang, peneliti di Center Of Asia Pacific Studies (CAPS), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2. 2006 – sampai sekarang, reviewer untuk Jurnal Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta 3. 1998 – sampai sekarang, Dosen dan Peneliti di Fakultas Ekonomi, Universitas Katolik Soegijapranata, Semaranag 4. 1998 – sampai sekarang, peneliti Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Manajemen Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Indonesia 5. 1991 -1998, Dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti Jakarta
PUBLICATIONS 1. 2007, “Dampak Volatilitas Nilai tukar terhadap Perdagangan Indonesia (Pendekatan ARDL-ECM)”, Jurnal Ekonomi Indonesia No. 2 Desember 2006, (Bersama Sri Yani K) 2. 2005, ” Analisis Permintaan Bahan Pangan Hewani: Pendekatan Error Correction Linear Approximation Almost Ideal Demand System”, Jurnal Media Ekonomi, Universitas Trisakti 3. 2002, “Analisis Pengaruh Kebijakan Ekonomi Makro Terhadap Efisiensi Ekonomi Indonesia (1980.1-1999.4)”, Jurnal Kompak, STIE Yogyakarta, September 4. 2002, “Pengaruh Penanaman Modal Asing Terhadap Arus Perdagangan Indonesia” dalam buku: Kinerja Perdagangan Luar Negeri Indonesia Pada Masa Krisis : Suatu Kajian Empiris, Komite Penelitian Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti
5. 2002, “Kemiskinan, Belenggu Struktural yang Tak Terpecahkan,” , dalam buku, Mengurai Belitan Krisis, Renungan Dari Bendan Dhuwur, penerbit Kanisius 6. 2002, “Sektor Unggulan di Jawa Tengah dan Permasalahannya”, Jurnal Manajemen, Unika Soegijapranata, Semarang 7. 2002, “Public Private Partnership : Suatu Solusi Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang Berbasis Kompetens, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Dian Ekonomi, Vol 8 No.1, UKSW, Salatiga 8. 2001, “Analisis Fenomena Inflasi di Indonesia 1980.1-1999.4”, Jurnal Kinerja, Program Pasca Sarjana, UAJY, Yogyakarta RESEARCHS 1. 2006, “Aspek Persaingan Usaha terhadap Kerjasama AANZ-FTA”, Penelitian bersama KPPU and CAPS 2. 2006, “Dampak kebijakan Moneter terhadap Interaksi Pasar Barang dan Pasar uang di Indonesia”, Penelitian kerjasama Bank Indonesia dengan PSEKP UGM 3. 2006, “Pelayanan Birokrasi Perizinan Usaha di Kabupaten Bantul”, penelitian KPPOD 4. 2002, “Kajian Tingkat Investasi di Kabupaten Kendal”, Penelitian Kerjasama P3M Unika Soegijapranata dengan KPPOD Dan The Asia Foundation 5. 2002, “Survey Kebutuhan Pecahan dan Jenis Uang Rupiah”, Penelitian kerjasama P3M Unika Soegijapranata dengan BI Semarang PRESENTING PAPERS 1. 2007, 1st National Conference Faculty of Economics “Towards A New Indonesia Business Architecture, Unika Widya Mandala Surabaya, Menjaga Volatilitas Nilai Tukar: Faktor Pendukung Pengembangan Bisnis di ASEAN”, Surabaya, 4 September 2007 2. 2006, Seminar Ekonomi Manajemen Mengantisipasi 2007 PT. Indonesia Steel Tube Work Ltd , “Perekonomian Indonesia: overview 2006 dan Ekspektasi 2007”, , 23 Desember , Semarang 3. 2006, Seminar Akademik Tahunan Ekonomi III, UI-PPSK-BI, “Structural Break In Interest And Exchange Rate: The Impact To Indonesian New keynesian Phillips Curve”, 7 desember , Jakarta 4. 2004, Desember, Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, UI-ISEI, Jakarta, “Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia dan Penerapan Inflation Targeting”. 5. 2003, Februari, Simposium Nasional Hasil Penelitian APTIK, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, “Perkembangan Teknologi Industri Manufaktur Indonesia : Keberadaan Penanaman Modal Asing Dan Fenomena Pollution Havens” (Pemakalah terbaik) 6. 2003, Januari, simposium Nasional UKM, Universitas Tudjuh belas Agustus, Surabaya, (bersama Karno BP), “Kesiapan Industri kecil Kabupaten Wonogiri dalam Menghadapi Globalisasi”.
7. 2002, September, Simposium Nasional, Dies Natalis UAJY, “Analisis Faktor Keunggulan, Intensitas Perdagangan Dan Variabel Makro Terhadap Kinerja Ekspor Indonesia”, (Pemakalah Terbaik) 8. 2001, April, Seminar Nasional Peringatan 8 tahun STIE Yo, “Pertumbuhan ekonomi Indonesia : Export Led Growth or FDI Led Growth” 9. 2001, Oktober, Seminar Nasional Ulang Tahun MM Unair, “Pengembangan Budaya Organisasi : Antara Idealisme Global Dan Kenyataan Lokal “
CURRICULUM VITAE PERSONAL DATA Nama Tempat/Tgl. Lahir Alamat Kantor
Alamat Rumah
E-mail
: KUNTARI ERIMURTI, Dra., MM. : Yogyakarta, 09 Januari 1958 : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Seni dan Budaya Jl. Kaliurang KM 13.2, Klidon, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta-55581. PO Box 1179, Yogyakarta-55011 T +62 (0) 274 895803 (operator), F +62 (0) 274 895804 (operator) : Jl. Perkutut No. 3, Jomegatan, RT-07, RW-21, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta-55182, T +62 (0) 274 379253, M +62 (0) 81 1253980 :
[email protected]
EDUCATIONS LEVEL BIDANG STUDI S3 Manajemen Pemasaran
INSTITUSI Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
S2
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta STSRI „ASRI‟ Yogyakarta SMA N 3 Yogyakarta SMP N 5 Yogyakarta SD N Lempuyangwangi II Yogyakarta
S1 SMA SMP SD
Manajemen Pemasaran Desain Interior IPA Umum Umum
TAHUN LULUS Masuk 2003, masih dalam proses 2000 1982 1975 1972 1969
WORKING EXPERIENCE TAHUN Mei 2004sekarang
PEKERJAAN Konsultan manajemen TechnoArt Park
Maret 2000-Mei 2004 Juni 2002Juni 2003
Koordinator VEDAC Design Center
1991-1999
Konsultan paruh waktu untuk Desain Produk dan Manajemen Pemasaran untuk UMKM Kepala Seksi Program Penataran
INSTITUSI Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Seni dan Budaya Yogyakarta (dulu: PPPG Kesenian Yogyakarta) PPPG Kesenian Yogyakarta
Center for Development of Small and Medium Enterprises (CD-SMEs), Yogyakarta PPPG Kesenian Yogyakarta
1988-1991
TPLB Desain Mebel
1988-1990
1988-1990
Koordinator Multi Media Kepala Studio Desain Interior Instruktur Desain Produk dan Desain Interior Guru Desain Interior
1983-1986
1983-1984
Koordinator Bidang Bina Program Instruktur Desain Interior Instruktur Gambar Bentuk Tenaga Pengajar Luar Biasa (TPLB) untuk Ergonomi dan Desain Mebel
Institut Seni Indonesia, Fakultas Senirupa dan Desain Proyek PPPG Kesenian Yogyakarta
Sekolah Menengah Senirupa (SMSR) Proyek PPPG Kesenian Yogyakarta
Universitas Negeri Surakarta, Fakultas Sastra, Program Studi Senirupa
RESEARCH 1. 2005 Juli, „Analisis Psikometrika Skala Pengukuran Need for Closure‟, tidak dipublikasikan 2. 2005 Mei, „Pengaruh Need for Closure pada perilaku Konsumen‟, tidak dipublikasikan. 3. 2003 Oktober, „Analisis Diskriminan Brand Loyal Consumer‟, tidak dipublikasikan. 4. 2003 Maret, „Analisis Manfaat Sosial dan Fungsional dari Hubungan Konsumen dan Sales Person di Department Store di Yogyakarta‟, tidak dipublikasikan. 5. 2000 Januari, „Studi tentang Managemen Strategik di Pusat Pengembangan Penataran Guru Kesenian Yogyakarta 2000-2004‟, tidak dipublikasikan. 6. 2000 Desember, „Topeng Tradisional Jawa dan Bali‟, tidak dipublikasikan.
PRESENTING PAPER 1. 2006 November, Call for Papers, Presenter, Approaching the Academic Research to Business Practice, Management Research Center, Graduate School of Management, Faculty of Economics, University of Indonesia. 2. 2006 September, Forum Diskusi, Narasumber, Proses Penciptaan Karya Seni dan Kelayakan Desain Produk Kriya, Pusat Pengembangan dan penataran Guru Kesenian Yogyakarta, 3. 2005 Desember, Pelatihan Guru Kewirausahaan, Diklat School Grant, LPMP Yogyakarta, pembicara. 4. 2005 Juli, Pelatihan Sistem Manajemen Pendidikan, seminar, pembicara, Jurusan Kriya, ISI Yogyakarta. 5. 2005 Februari, School Mapping, workshop, presenter, PPPG Kesenian Yogyakarta. 6. 2002 Mei, Potensi Perajin dan Hubungannya dengan peluang Ekspor di Yogyakarta, seminar, presenter, DEKRANASDA, Yogyakarta. 7. 2002 Juni, SemiQue IV: Cooperative Study, Educational Management of Arts Studies in Relation With Industry, seminar, presenter, Fakultas Seni dan Budaya, Universiats Negeri Yogyakarta.
8. 2002 April, HAKI untuk UMKM: Peran Pendidikan Tinggi untuk Melindungi Bisnis Domestik dari Kegiatan Orang Asing dalam Mematenkan Produk, seminar, presenter, Pusat Studi Asia Pasifik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yogyakarta. 9. 2002 Agustus, Pengembangan Produk Baru untuk Keramik, workshop, presenter, PPPG Kesenian Yogyakarta. 10. 2001 Juni, Managemen Desain, workshop, presenter, editor, VEDAC Design Center, PPPG Kesenian, Yogyakarta. 11. 2000 Agustus, Strategi Promosi Produk Kerajinan, workshop, presenter, PPPG Kesenian Yogyakarta.