Pemaknaan Ajaran Majelis Rasulullah Oleh Jama’ahnya Abdullah Ghifari Yasmine Zaki Shahab Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Abstrak Skripsi ini mengkaji tentang pemaknaan ajaran Majelis Rasulullah oleh jama’ahnya. Ada tiga ajaran dalam Majelis Rasulullah secara umum, yaitu pembacaan Maulid Adiya’ulami, tausiyah, dan terakhir adalah ziarah kubur. Majelis Rasulullah merupakan institusi pendidikan agama non formal yang menawarkan nilai-nilai keagamaan melalui serangkaian ritual ajaran kepada jama’ahnya. Sosok kharismatik Habib Munzir dibalik kebesaran Majelis Rasulullah, menginginkan jama’ahnya untuk menteladani perilaku Rasulullah dan menjadikannya sebagai idola. Tujuannya agar menangkal gempuran modernitas dan globalisasi ‘barat’ yang melanda Jakarta, khususnya generasi muda. Nilai-nilai keagamaan yang terdapat dalam setiap ritual mereka berupaya disosialisasikan lewat gelaran majelis taklim secara rutin. Pemaknaan jama’ah terhadap ritual itupun menjadi penting. Pemaknaan akan ritual dan simbol-simbol yang terdapat pada ajaran Majelis Rasulullah akan menjadi indikator keberhasilan Majelis Rasulullah sebagai institusi pendidikan agama. Menarik untuk dilihat bagaimana cara Majelis Rasulullah untuk menghadirkan pemaknaan yang general bagi jama’ahnya, dengan fakta bahwa pemaknaan selalu bersifat personal. Kata kunci: Majelis Rasulullah, Ajaran, Pemaknaan, Ritual, Simbol, Jama’ah. . Abstract This undergraduate thesis examines the interpretation of Majelis Rasulullah’s teaching by their pilgrims. There are three teachings in general, the reading of Maulid Adiya’ulami, Tausiyah, and the last one is ziarah kubur. Majelis Rasulullah is an non-formal religious educational institution which offers religious values through series of ritual for their pilgrims. The charismatic figure of Habib Munzir behind the greatness of Majelis Rasulullah wants their pilgrim to imitate and idolized Rasulullah and his behavior. The purpose is to ward the onslaught of modernity and’west’ globalization which surge throughout Jakarta, especially the young people. These religious values which contained in every of their rituals are tried to socialized through the routines of majelis taklim. The interpretation over their ritual and symbols which contained on Majelis Rasulullah’s teachings will be the indication of their success as an religious educational institution. It’s interesting to see how will Majelis Rasulullah try to present general interpretation for their pilgrims, when the fact that interpretation is always personal. Keywords: Majelis Rasulullah, Teachings, Interpretation, Ritual, Symbol, Pilgrims.
1 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
Pendahuluan Islam merupakan agama dengan pemeluk paling dominan di DKI Jakarta. Menurut sensus penduduk 2010, jumlah pemeluk agama Islam di Jakarta mencapai 85,1% dari total penduduk 9.607.787 (sumber: BPS 2010) . Jika melihat sejarahnya, Islam masuk di Sunda Kelapa (nama terdahulu dari Jakarta) melalui pedagangpedagang yang berasal dari timur tengah sejak abad ke-9 dan berkembang pesat pada abad ke-17 karena mereka tidak hanya datang ke Indonesia untuk berdagang, namun juga menyebarkan agama Islam melalui kegiatan dakwah (Berg, 2010:95) Diantara pedagang-pedagang dari Timur Tengah tersebut, masuk didalamnya kelompok pendatang dari Hadramaut, Yaman. Mereka diduga kuat sebagai kelompok yang memegang peranan paling penting dalam masuknya Islam di tanah air. Islam memang lebih mengutamakan metode daripada materi, karena metode sangat menentukan untuk mencapai tujuan dari suatu proses pembelajaran (Fadli, 2011:4). Metode dakwah yang mudah untuk diterapkan dan menarik bagi masyarakat karena bisa disesuaikan dengan kebudayaan setempat, serta aplikasinya yang mudah diterapkan, membuat Islam berkembang dengan pesat. Metode tersebut memegan peranan vital kepada bagaimana umat memaknai Islam, yang merupakan agama dari luar, menjadi sesuatu yang tidak asing bagi mereka. Umumnya Islam bisa banyak diselipkan dalam kebudayaan setempat, karena Islam yang berkembang di Jakarta sejak abad ke-19 bukanlah Wahabiyah1 atau Islam yang modernis kurang mengakar dan diminati oleh masyarakat di Indonesia khususnya di Jakarta. Paham tersebut seringkali menentang Bid’ah 2, serta menggolongkan kegiatan-kegiatan diluar sunah 3 dan hadis 4 sebagai tindakan musyrik5, tahayul, dan khurafat 6(Fadli, 2011:4). Seringkali dakwah Islam disisipkan dalam kemasan lokal yang mereka adopsi, seperti dalam pewayangan dan babad Jawa (Berg, 2003:175). Bahkan dakwah bisa disisipkan dalam kegiatan lain
1
Wahabiyah adalah gerakan reformis yang dimulai pada abad ke 18 di Arabia oleh Muhammad bin Abdul Wahab (Martin, 2004:727). Selanjutnya akan ditulis tegak. 2 Bid’ah adalah bentuk inovasi dalam teologi, ritual dan adat istiadat yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad. Selanjutnya akan ditulis tegak. (Martin, 2004:107) 3 Sunah adalah praktik normatif yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, yang selanjutnya dituangkan dalam rangkaian tradisi melalu media Hadis (Martin, 2004:666). Selanjutnya akan ditulis tegak. 4 Hadis merupakan penulisan serangkaian sunah di awal era sejarah Islam yang berisikan transkrip cerita, komunikasi dan laporan. (Martin, 2004:285). Hadis selalu merujuk kepada segala tindakan dan perkataan Rasulullah. Selanjutnya akan ditulis tegak. 5 Musyrik adalah tindakan mengasosiasikan sesuatu yang setara dengan Allah. (Martin, 2004:630). Selanjutnya akan ditulis tegak. 6 Khurafat merupakan cerita-cerita kepercayaan yang diada-adakan dan dicampuradukan dengan perkara dusta. (http://www.religious-affairs.gov.bn/index.php diunduh pada 08 April 2013 pukul 15:00). Selanjutnya akan ditulis tegak.
2 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
seperti perdagangan, hingga pernikahan. Kesemua hal tersebut membantu umat memaknai Islam dengan lebih mudah dan ringan, meskipun pemaknaan islam tersebut menjadi berbeda apabila kita bandingkan dengan golongan Wahabiyah. Dewasa ini, ternyata kegiatan pembelajaran dengan metode dakwah masih eksis di Jakarta. Memang tujuan dari dakwah bukan lagi sebagai pengenalan Islam atau mengajak memeluk agama Islam, namun lebih kepada penyempurnaan Islam itu sendiri, yang mana salah satu media dari kegiatan dakwah dewasa ini adalah majelis taklim. Salah satu majelis yang cukup besar keberadaannya di Jakarta adalah Majelis Rasulullah. Sejak didirikan pada 1998, Majelis Rasulullah mulai sering melakukan kegiatan maulid, dzikir7, dan ziarah berjama’ah seperti majelis lainnya di Jakarta. Majelis Rasulullah dilakukan selama 7 hari dalam seminggu, dengan tempat yang berbedabeda. Hanya pada hari Senin dan Selasa saja majelis diselenggarakan di Masjid AlMunawar Pancoran dan gedung Dalail Khoirot di Cidodol, Kebayoran Lama, sementara pada Rabu hingga Minggu, majelis diselenggarakan diberbagai daerah di Jabodetabek, tergantung dari permintaan jama’ah di daerah tersebut.Taklim rutin ini diawali dengan membaca Maulid Adiya’ulami dengan dikomandoi oleh Habib Munzir, yang dilanjutkan dengan pelantunan beberapa Qasidah. Kegiatan taklim kemudian diakhiri dengan sedikit tausiyah dari Habib Munzir, yang mana jama’ah dapat mengetahui bahasan dari tausiyah melalui buletin yang mereka dapatkan sebelum digelarnya taklim. Setelah selesai tausiyah, taklim selesai. Untuk hari Sabtu, biasanya selesai taklim diadakan konvoi ziarah kubur menuju makam-makam alim ulama dan habaib terdahulu setiap malam Jum’at. Biasanya ziarah ditujukan untuk memanjatkan doa kepada ulama dan habaib yang sudah meninggal, meskipun bagi beberapa orang banyak juga yang mencari karomah dari ziarah kubur. Sebagai salah satu institusi pendidikan, majelis taklim memiliki kemampuan untuk mensosialisasikan nilai-nilai yang ada, atapun membentuk dan mensosialisasikan nilai-nilai baru. Nilai-nilai tersebut memiliki peranan penting bagi para Jama’ah, karena nilai-nilai tersebut yang akan merekonstruksi pribadi jama’ah dalam kaitannya dengan pola perilaku dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Penanaman nilai tersebut pastilah disosialisasikan dengan sedemikian rupa sehingga dapat masuk dengan mudah dalam pribadi tiap-tiap jama’ah.
7
Dzikir secara terminologi memiliki arti ‘Mengingat Allah’. (Hoffman:1995). Salah satu contoh bacaan dzikir adalah la ila ha illallah (tiada tuhan selain Allah) dan subhanallah (maha suci allah). Pembacaannya dilakukan secara berulang-ulang dengan jumlah yang ganjil. Untuk selanjutnya akan ditulis tegak.
3 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
Namun pemaknaan dari setiap pribadi tentu saja berbeda meskipun berada dalam ruang institusi yang sama. Dalam hal ini, pemaknaan akan ajaran agama selalu kembali kepada penganutnya (Agus 1999; 2003a:19-22). Apalagi ditambah dengan ragam latar belakang Jama’ah yang berbeda-beda serta keadaan Jakarta sebagai daerah Ibu Kota yang modern dan metropolitan. Pertanyaan penulis dari kajian ini difokuskan pada butir-butir dibawah ini : •
Mengapa di zaman modern dan era globalisasi ini antusiasme masyarakat di kota seperti Jakarta begitu besar dalam mengikuti majelis taklim?
•
Bagaimana pemaknaan jama’ah terhadap ajaran Majelis Rasulullah yang mereka ikuti?
Pemaknaan Ajaran Majelis Rasulullah Sebagai Simbol Agama Oleh Jama’ahnya Geertz dalam salah satu esainya yang bertajuk “Religion as a Cultural System” (1973) dalam bukunya The Interpretation of Cultures (1973) menyimpulkan bahwa agama merupakan sistem simbol yang bertindak untuk menciptakan perasaan dan motivasi pada manusia denggan memformulasikan konsepsi mengenai aturan umum dari ekistensi dan memakaikan konsepsi-konsepsi ini dengan nuansa faktualitas sehingga perasaan dan motivasi itu secara unik nampak realistik. Pendidikan agama yang diberikan oleh Majelis Rasulullah memiliki tujuan demikian, dengan instrumeninstrumen berupa pembacaan Maulid Adiya’ulami, Tausiyah yang diawali pembagian buletin sunnah berdasarkan hadis-hadis Rasulullah, serta ritual ziarah kubro yang dilakukan secara rutin dan repetitif. Instrumen-instrumen tersebut apabila menilik pernyataan Geertz diatas merupakan bentuk dari sebuah simbol. Yang dimaksud Geertz dengan simbol sendiri adalah objek, kejadian, atau hubungan yang membawa pengertian atau arti. Simbol tersebut mempengaruhi proses sosial dan psikologis yang membentuk perilaku publik. Dalam hal ini, yang berperan sebagai publik adalah jama’ah Majelis Rasulullah. Contoh-contoh dari simbol itu sendiri yang terdapat dalam tulisan Geertz dalam esainya tersebut antara lain adalah lukisan, salib, katakata, cerita, ritual, dan juga kitab suci. Geertz (1992) juga menambahkan bahwa kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial terletak pada kumpulan simbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia yang mana nilai-nilai tersebut yang menjadi dasarnya. Salah satu caranya adalah dengan sistem ritual. Ajaran-ajaran
4 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
Majelis Rasulullah dalam konteks ini mengkonstruksi dunia bagi mereka para jama’ahnya, yang mana mereka menjalankan ritual tersebut untuk menghidupkan ‘ruh’ dari dunia yang mereka konstruksi tersebut. Bowen (2008:4) mengatakan ada dua tahap definisi tentang agama secara antropologis : “(1) as ideas and practices that postulate reality beyond that which is immediately available to the senses. (2) for each society we study, we ask how these people constrcut their world. This definition avoids overly narrow definitions of religion more than just distinctions between sacred and profane / supernatural and natural.” Rangkaian ide dan praktik agama yang dibawakan oleh Majelis Rasulullah menjadi masuk akal untuk mereka yang memang meyakini sepenuhnya akan kesakralan ritual tersebut.. Kesakralan ritual penting untuk dipertahankan untuk mencegah hilangnya nilai sakral dan menjadikan sebuah ritual tetap menjadi tradisi yang sesungguhnya ditengah deru modernitas dan globalisasi yang menerpa Jakarta. Giddens (2000) mengatakan bahwa di zaman modern ini tradisi bukan lagi satu-satunya pegangan untuk kehidupan, namun bukan lantas tradisi akan ditnggalkan, justru banyak yang digali kembali dan dihidupkan kembali. Namun, Giddens mengingatkan akan adanya detraditionalisation yang mana manusia bisa saja menjalankan tradisi kepada pilihan indvidual ketimbang mengikutinya sebagaimana mestinya. Hidupnya kembali tradisi ziarah kubur dan maulid serta ajakan untuk kembali kepada hadis, harus dimaknai sebagaimana mestinya oleh jama’ahnya apabila memang itulah tujuan awal didirikannya Majelis Rasulullah. Untuk melihat pemaknaan jama’ah Majelis Rasulullah secara general, peneliti akan memaparkan analisa mengenai pemaknaan ajaran yang secara garis besar akan dibagi menjadi tiga bagian, yakni pemaknaan mengenai tausiyah dan hadis, pemaknaan ziarah, dan yang terakhir adalah pemaknaan maulid. Pemaknaan Tausiyah dan Hadis Tausiyah atau yang bisa juga disebut dengan khotbah merupakan salah satu ajaran Majelis Rasulullah yang disampaikan oleh Habib Munzir kepada jama’ahnya. Adapun materi tausiyah didasari oleh hadis-hadis Rasulullah sebagai bagian dari legitimasi kebenaran konten yang disampaikan. Bagi seluruh umat Islam, siapa yang bisa meragukan kebenaran dari sebuah hadis, yang mana didalamnya terdapat rekam jejak
5 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
perkataan dan perbuatan Rasulullah. Tentunya, tidak ada satupun hadis yang bersifat lemah yang disampaikan dalam tausiyah. Hal tersebut bisa saja dilakukan untuk menghindari adanya keraguan dikalangan jama’ah. Hadis yang disampaikan dalam tausiyah juga bersifat komprehensif, karena ada ratusan bahkan mungkin ribuan hadis dengan berbagai lingkup bahasan yang semuanya bersifat aplikatif dalam pendekatan kehidupan jama’ah majelis. Merujuk pada contoh-contoh simbol yang diutarakan oleh Geertz (1973), tausiyah dan hadis merupakan simbol yang didalamnya terdapat unsur cerita, ritual, dan kata. Hadis, sebagai salah satu simbol dalam Islam yang membuat Islam sebagai agama yang memiliki kompleksitas dan luasnya ruang lingkup ajarannya. Bahkan Geertz (1992) mengatakan bahwa sebagai agama wahyu terakhir, Islam merupakan ajaran yang komprehensif dan terpadu yang mencakup berbagai macam bidang. Sebagai simbol, tausiyah dan hadis juga dapat menjadi representasi dari asosiasi antara dua hal terkait, yang mana nantinya akan melahirkan konsepsi pada diri jama’ah yang menerima tausiyah dari hadis tersebut untuk kemudian dituangkan dalam representasi konkrit. Representasi konkrit yang dimaksud adalah perbuatan, tindakan, dan perilaku, yang mana ketiga hal itu sendiri merupakan simbol. Dengan legitimasi yang kuat dan sifatnya yang aplikatif dan komprehensif inilah, tausiyah memberikan nilai-nilai yang kuat kepada pribadi jama’ah. Salah satu kekuatan utama hadis dalam agama Islam adalah posisinya secara hukum yang menjadi referensi kedua setelah Al Qur’an. Itu artinya, hadis memiliki kekuatan untuk membentuk dan mengarahkan perilaku dan perbuatan seseorang. Kekuatan dari hadis inilah yang coba digunakan oleh Majelis Rasulullah untuk membentuk pribadi jama’ah sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Penjelasan mengenai arti dan makna dari sebuah hadis disini menjadi penting, karena dalam hadis tidak hanya tertulis pesan eksplisit, namun juga mengandung pesan atau makna implisit. Implisitas dari hadis sejalan dengan pemikiran Geertz (1973) bahwa simbol tidak dapat dimaknai begitu saja karena dia bersifat kiasan dan tidak langsung. Penjelasan mengenai arti dan makna dari hadis tersebut dilakukan agar nilai-nilai keislaman yang berusaha disampaikan dapat masuk ke jama’ah seperti yang seharusnya sesuai keinginan Habib Munzir selaku pimpinan Majelis Rasulullah. Penalaran mengenai hadis bisa saja menjadi sulit, dan tentu saja penalaran antara jama’ah dengan Habib Munzir berbeda, yang nantinya bisa berujung kepada pemaknaan yang beragam diantara jama’ah itu sendiri. Memang pemaknaan akan
6 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
ajaran agama selalu kembali kepada penganutnya (Agus 1999;2003a:19-22), namun Majelis Rasulullah berupaya untuk meredam adanya pemaknaan secara pribadi melalui penyampaian tausiyah dari hadis pada setiap majelis yang diadakannya. Pemaknaan jama’ah terhadap tausiyah dan hadis yang disampaikan oleh Majelis Rasulullah sendiri bisa dibilang luar biasa. Pemaknaan jama’ah ini merupakan ekspresi simbolis tentang bagaimana mereka menafsirkan dirinya dengan semesta, lalu memberikan motif bagi perbuatan mereka, serta membentuk tindakan yang berhubungan satu sama lain yang punya nilai-nilai dalam kelangsungan hidupnya45. Sebagai gambaran, akan diberikan kutipan wawancara yang menggambarkan kekuatan yang dibawa oleh hadis kepada jama’ah Majelis Rasulullah : “Waktu itu (pindah ke Jakarta) sulit banget buat saya. Saya masih kecil, ibu saya ninggalin saya gitu aja ga ada pesan apa-apa. Mau marah juga bingung marah ke siapa. Kalo ngomong ke bapak pasti didiemin atau dimarahin. Belasan taun gontok terus bawaannya mas, sempet dulu nyumpahin ibu biar ga bahagia lah udah ninggalin saya sama bapak. Tapi terus ya itu, saya denger di majelis hadis nabi tentang ibu, katanya surga dibawah kaki ibu. Ya merinding lah mas saya, takut banget kualat dan dosa udah pernah nyumpahin ibu. Saya malah pengen suatu saat bisa ketemu lagi sama ibu, mau minta maaf sama dia dan jelasin kalo saya udah gak marah lagi sama dia, mas.” (Wawancara dengan Sumarwan Fatil, jama’ah Majelis Rasulullah). Jelas terlihat bahwa pemaknaan terhadap hadis mampu mengubah persepsi jama’ah dalam suatu masalah. Ketika sebuah hadis dimaknai sebagai simbol suci oleh jama’ah, maka mereka mampu menghadirkan realita dan membentuk perilaku (Geertz, 1973). Bayangkan saja apabila terdapat ribuan hadis dengan berbagai konteks, tentunya pribadi jama’ah akan dapat diukur melalui diskursus hadis dan menjadi terlihat text book (mudah ditebak). Namun, Pemaknaan jama’ah terhadap hadis dapat dipengaruhi oleh hal lain seperti kehidupan pribadi jama’ah dan lingkungan tempat jama’ah tersebut bergaul sehari-hari. Faktor modernitas zaman bisa menjadi batu sandungan para jama’ah dalam mengeinterpretasikan hadis itu sendiri46. Lingkungan pergaulan
45
Mengacu pada tiga poin mengenai pemahaman agama dari sudut pandang antropologi klasik yang dituliskan oleh Norbeck (1984:3-10). 46 Modernitas zaman yang kental dengan ideascapes (Appadurai, 1996) sebagai sebuah movement of political ideas and images menjadi sebuah kesepakatan global dan menggeser ide-ide pemikiran kita
7 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
bisa saja memang jauh dari nilai-nilai religius, yang menurut Edward Norbeck (1988) memang fenomena tersebut makin umum di kalangan masyarakat modern, tetapi kepercayaan keagamaan tetap saja dipegang oleh semua masyarakat. “ada bib hadisnya kan tentang alkohol, kalo ga salah intinya dilarang minum khamer, dan segala yang memabukan itu haram. nah kalo ganja ane ga ngerasa ini haram bib, karena ga memabukan dan emang gak ada hadisnye.” (Wawancara dengan Ahmad “Aye” Yanuar Prasaja, jama’ah Majelis Rasulullah). Pemaknaan jama’ah terhadap satu hadis sendiri memang tidak pernah bisa sama. Implisitas dari sebuah kalimat hadis mampu menghadirkan lebih dari satu persepsi dan hal ini tidak bisa dihindari layaknya memahami sebuah simbol. Individu A bisa saja mengartikan sebuah simbol dengan persepsi yang berseberangan dengan B. Kecuali simbol-simbol tersebut sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks hadis, biasanya ada hadis-hadis yang berisikan tentang tatanan praktek seperti cara-cara beribadah, yang mana hadis ini biasanya lebih jelas dari segi teks atau lebih eksplisit. “memang hukumnya sunnah, tapi kan ga ada salahnya kalo dikerjain. Misal sholat rawatib sehari 12 rokaat, empat sebelum zuhur, dua setelahnya, dua abis maghrib, dua abis isya dan terakhir dua sebelum subuh. Itu hadis shahih malah kan. Yang jalanin katanya nanti dapet rumah di surga.” (Wawancara dengan Sumarwan Fatil, jama’ah Majelis Rasulullah). Pemaknaan jama’ah akan hadis yang membahas tentah ibadah sunnah sholat rawatib kembali mengingatkan kita kepada contoh simbol dari Geertz (1973) yang menyertakan ‘kata’ sebagai salah satu contoh dari simbol. Kata yang menjadi perhatian peneliti adalah kata ‘surga’. Jika mengkaitkan kehadiran kata ‘surga’ kepada definisi agama dari Geertz (1973) dalam poin nomor dua dikatakan bahwa agama membentuk perasaan dan motivasi yang kuat dan bertahan dalam manusia. Simbol-simbol
agama
mampu
membetuk
disposisi
kepada
mereka
yang
menyembahnya. Disposisi tersebut dibagi menjadi dua, perasaan dan motivasi. Motivasi inilah yang mendorong jama’ah untuk melakukan suatu tindakan, karena kehadiran kata ‘surga’ dalam rangkaian yang tertera dalam suatu hadis. Dengan kata terdahulu yang sudah dibentuk dalam lingkungan keluarga. Dengan mengkonsumsi ide-ide terdahulu, lingkungan pergaulan menjadi lekat dengan trend.
8 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
lain, motivasi bermakna karena hadirnya tujuan yang nampak realistis. Diskursus hadis tersebut mampu meyakinkan bahwa terdapat sesuatu yang benar-benar nyata yang mana hal ini lebih penting dari apapun. Yang tidak kalah penting dari hadis dan tausiyah adalah penyampaian hadis dan tausiyah itu sendiri. Konsepsi jama’ah terhadap sosok Habib Munzir. Kharismatik kepemimpinan serta legitimasi keilmuan Habib Munzir sebagai seorang sayyid yang juga lulusan pesantren di Hadramaut membuat jama’ah mengidolakan dirinya. Segala bentuk tausiyah yang diberikan oleh Habib Munzir menurut jama’ahnya tidak perlu dipertanyakan lagi, karena bagi mereka sendiri Habib Munzir sudah seperti orang yang disucikan dimata mereka. Hal ini sejalan dengan poin ke empat dalam penjabaran Geertz (1973) tentang agama bahwa konsepsi itu diberikan atribut dengan nuansa yang faktual. Disinilah figur-figur otoritas muncul dan dipercaya mampu membuat manusia patuh karena mereka mengatribusikan konsepsi-konsepsi yang tertuang dalam simbol itu dengan fakta-fakta yang meyakinkan. “Habib Munzir subhanallah banget bib. Ane gak nyesel kenal sama orang kayak beliau. Pantes aja kalo Majelis Rasulullah jama’ahnya banyak, ane yakin semua jama’ah juga ngerasa dia itu cerminan perilaku Rasulullah banget dah”. (Wawancara dengan Aye Prasaja, jama’ah Majelis Rasulullah) Pemaknaan Ziarah Ritual ziarah kubro yang dilakukan oleh Majelis Rasulullah merupakan bagian dari ajaran majelis ini. Ziarah itu sendiri sebenarnya merupakan sebuah tradisi yang sudah lama dipegang oleh umat Islam di Indonesia. Menyinggung tentang tradisi, Hobsbawn (1989:2) mengatakan apa yang dimaksudkan dengan tradisi : “’Tradition’ in this sense must be distinguished clearly from custom which dominates calle ‘traditional; societies. The object and characteristic of ‘traditions’, including invented ones, is invariance. The past, real or invented, to which they refer imposes fixed (normally formalized) practices, such as repetition.” Terlepas dari bentuk ziarah sebagai tradisi lampau, ada beberapa perbedaan antara ziarah kubro Majelis Rasulullah dengan ziarah lain pada umumnya. Ada nilai-nilai yang secara khusus dituangkan melalui ritual ziarah kubur ini melalui dua hal ;
9 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
kategori makam yang dikunjungi dan bacaan yang dibaca ketika berziarah. Kedua hal tersebut membuat ziarah kubur Majelis Rasulullah memiliki makna yang berbeda dengan ziarah kubur lainnya, seperti misalnya ziarah ke makam orang tua atau leluhur. Pertama, ritual ziarah yang diawali dengan konvoi secara besar-besaran menggunakan sepeda motor menuju lokasi ziarah. Ada rasa kebanggaan yang muncul di hati para jama’ah, ketika mereka beriringan dalam jumlah besar, mengenakan pakaian kebesaran Majelis Rasulullah dan tidak lupa beberapa diantara mereka membawa bendera panji-panji Majelis Rasulullah. Adanya koordinasi terlebih dahulu antara majelis dengan pihak kepolisian membuat konvoi tersebut bisa berjalan tanpa hambatan berarti, meskipun lebih dari setengah dari mereka tidak mengenakan atribut lengkap berkendara sepeda motor. Hal pertama yang membedakan ziarah kubur Majelis Rasulullah seperti yang sudah disinggung sebelumnya adalah pemilihan situs ziarah yang dikunjungi. Kesemuanya merupakan makam habaib yang semasa hidupnya banyak menyimpan cerita-cerita tentang keajaiban. Arai (2004) memang sempat menyinggung soal peranan tokoh kharismatik yang dianggapnya selalu berkaitan dengan penyebaran Islam yang mana cerita-cerita mengenai mereka menggambarkan diri mereka sebagai “orang suci”, yang mana hal tersebut penting dalam pembentukan identitas mereka. Cerita kehidupan mereka yang biasa tertuang dalam sebuah manaqib, selalu menggambarkan keajaiban tersebut alih-alih faktor lain sebagai representasi identitas mereka. Mereka sendiri, menurut Arai (2004) berperan besar sebagai bagian dari rantai transmisi pengetahuan agama, atau ulama. “..However, when it comes to writing family history, the perons more favored than others are ‘ulama’, sufis and saint. Even the recent literary works about the al-‘Attas family (many of them are Malay or Indonesian) deal not with practical figures but with great ‘holy’ ancestors of the past.” Istilah makam keramat pun mengikuti reputasi mereka setelah mereka meninggal, dengan kepercayaan diantara kalangan jama’ah bahwa makam mereka memiliki nilai lebih dibandingkan dengan makam-makam lainnya. Berbagai macam hajat, mulai dari doa menghadapi ujian sekolah, meminta keturunan, meminta kesehatan, meminta kelancaran bisnis usaha, hingga meminta jodoh diniatkan dalam setiap munajat jama’ah. Bukan berarti mereka menyembah makam ataupun sosok
10 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
dibalik makam tersebut, melainkan konsepsi mereka mengenai sosok-sosok ini yang dianggap suci oleh mereka. Mereka, orang-orang suci ini, dianggap sebagai media yang menjembatani doa-doa mereka agar lebih cepat sampai kepada Tuhan. Pemikiran ini bukan tanpa alasan. Lihat saja bagaimana makam orang-orang suci ini dijejali ribuan orang mulai dari malam hingga pagi keesokan harinya ketika malam Jumat tiba. Atau bagaimana puluhan ribu orang membacakan doa kepada orang-orang suci tersebut dalam peringatan tahunan
atau yang biasa disebut dengan haul.
Fenomena haul dan fakta yang dapat mereka lihat sendiri yang membuktikan betapa ribuan orang lainnya diluar sana yang juga mengagungkan kekeramatan makam tersebut membuat jama’ah Majelis Rasulullah memaknai ziarah ke makam-makam keramat tersebut lebih istimewa bahkan dibandingkan dengan ziarah ke makam orang tua atau leluhurnya sendiri. Pemaknaan jama’ah perbandingan keistimewaan antara ziarah kubur dan ziarah ke makam leluhur membuat peneliti teringat akan konsepsi ‘sakral’ dan ‘profan’ yang ditawarkan Durkheim dalam The Elementary Forms of Religious (1912). Durkheim mendefinisikan agama sebagai suatu sistem yang terpadu mengenai kepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan benda-benda suci atau bendabenda khusus. Kepercayaan praktek-praktek yang menyatu dalam satu komunitas yang disebut umat, semuanya saling berhubungan. Sistem terpadu mengenai sebuah kepercayaan suatu komunitas dalam membedakan mana yang sakral dan profan yang mana jama’ah memainkan peran penting dalam memberikan definisi dan rekonstruksi kedua kategori tersebut. Yang menarik disini adalah bagaimana sebuah ritual ziarah mampu dibelah kedalam dua kategori tersebut, dengan ziarah ke makam keramat dianggap sebagai ritual yang ‘sakral’ sementara ziarah ke makam leluhur sendiri masuk kedalam kategori ‘profan’. Ziarah ke makam leluhur dianggap oleh jama’ah sebagai peristiwa yang biasa terjadi dalam masyarakat umum di kehidupan sehariharinya yang tidak lagi memiliki nilai-nilai suci yang disakralkan. Sementara ziarah ke makam keramat apabila melihat pemikiran Durkheim mampu mengubah nilai-nilai moral menjadi simbol-simbol religius yang mana dimanifestasikan menjadi sesuatu yang ril. Pendekatan antropologi tidak menyinggung masalah kebenaran dan kesalahan dari manifestasi tersebut, namun manifestasi tersebut memang wajar. Harsojo (1988) dalam Agus (2006) mengutarakan bahwa manusia yang hidup bermasyarakat berusaha memenuhi kebutuhan religius mereka, dan bagaimana
11 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
manifestasi perasaan mereka. Jadi, perwujudan manifestasi jama’ah dikembalikan kepada jama’ah itu sendiri. Belum lagi faktor pengalaman jama’ah apabila mereka pernah merasakan sendiri doa mereka dikabulkan setelah memanjatkan doa di pusara makam-makam keramat tersebut, semakin luar biasalah kedudukan makam tersebut dalam diri mereka. Posisi jama’ah dengan pengalamannya yang sifatnya personal dapat diinterpretasikan oleh peneliti melalui ekspresi dari pengalamannya tersebut, sejalan dengan Dlithey (1976:230) dalam Bruner (1986) yang mengatakan bahwa (ekspresi) dapat mengatasi keterbatasan dalam mengetahui pengalaman yang sifatnya personal. “kalo ke luar batang, ke empang, itu kan kita ga cuma ngedoain mereka bib, tapi insya allah mereka juga ngasih balik karomah mereka ke kita. Namanya juga wali allah kan bib, pasti mereka-mereka ini ahli surga dan memiliki keistimewaan lebih lah, yekan. Ane aja mau ujian kelulusan dulu ziarah bib ke luar batang, ke empang, ke habib kuncung. Alhamdulillah lulus yekan” (Wawancara dengan Aye Prasaja, jama’ah Majelis Rasulullah) Konsepsi jama’ah dalam memaknai ritual ziarah kubur juga diikuti oleh konsepsi mereka akan bacaan doa yang khusus dan sakral ketika mereka berziarah ke makam-makam keramat tersebut. Tidak hanya membacakan yasin, atau berdzikir di area makam, mereka juga dianjurkan membaca doa khusus seperti ratibul attas ataupun ratibul haddad yang ditujukan kepada sosok dibalik makam tersebut. Instrumen doa tersebut dipercaya merupakan jembatan antara diri mereka, permintaan mereka, sosok dibalik makam keramat, dan Tuhan sang pencipta. Tentu saja konsepsi mereka mengenai doa tersebut dibentuk oleh Majelis Rasulullah yang menanamkan konsepsi tersebut. Tidak hanya kumpulan bait-bait yang dinilai mempunyai kekuatan magis, doa tersebut juga disusun oleh sosok yang disucikan lainnya yang dikenal juga melalui cerita-cerita penuh keagungan dan kebesaran. Dalam diri mereka diselipkan simbol melaui pilihan kata yang mempertegas status legitimasi kesucian mereka dalam Islam. “Kalo ratibul attas sendiri itu, katanya kalo kita baca rutin setiap hari maka niscaya kita bisa dipanjangin usianya. Gimana nggak, yang nyusun ratib itu sendiri, Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas aja dapet julukan qutbil anfaas, yang artinya pilar yang bernafas untuk Allah. Subhanallah banget kan.” (Wawancara dengan Hermawan, jama’ah Majelis Rasulullah).
12 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
“Ratibul haddad kan bukan sembarang orang bib yang nyusun. Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad itu disebutnya aja qutbil irshad, yang artinya pilar petunjuk agama. Itu kan artinya dia panutan dalam Islam”. (Wawancara dengan Aye Prasaja, jama’ah Majelis Rasulullah). Pemaknaan Maulid Maulid dapat diasosiasikan sebagai simbol apabila kita merujuk pada contoh-contoh dari bentuk simbol yang diutarakan oleh Geertz (1965). Didalamnya setidaknya ada tiga dari tujuh contoh perwujudan simbol, yakni ‘kata’ (seperti Muhammad, Allah, Ismail, dan figur-figur yang representatif dalam Islam, kemudian ‘cerita’ (yang digambarkan keagungan Muhammad sebagai mahluk dan paling dimuliakan oleh Allah dan semesta alam), serta ‘kitab suci’ secara keseluruhan, dengan artian bahwa maulid mempunyai kedudukan yang tidak kalah penting dibandingkan dengan kitab suci Al-Qur’an. Bagaimana tidak, Maulid Adiya’ulami mewarnai keseharian jama’ah. Pembacaan maulid ini biasa mereka lakukan baik disaat majelis ataupun diluar majelis. Jama’ah menyediakan waktu-waktu khusus untuk membacanya, dengan malam Jumat dianggap sebagai malam paling baik untuk membaca maulid tersebut. Tidak ada alasan valid mengenai pemilihan waktu, hanya saja dari dulu jama’ah sudah ditanamkan keistimewaan malam Jumat dalam Islam sebagai waktu yang paling istimewa dalam beribadah, jika melihat dari ritual pembacaan yasin di malam Jumat yang sudah terlebih dahulu muncul dalam kehidupan jama’ah. Jama’ah percaya bahwa membaca maulid khususnya pada malam Jumat dapat membawa keberkahan bagi mereka. Kisah hidup Rasulullah dalam Maulid Adiya’ulami begitu diresapi oleh jama’ah seakan mereka merasakan kedekatan emosional dengan Rasulullah apabila mereka sedang membaca maulid tersebut. Tangis air mata tidak jarang muncul ditengah pembacaan maulid, sebagai perwujudan dari emosional mereka yang terkuras membacakan keagungan dan kebesaran kisah Rasulullah sebagai sosok yang paling dimuliakan oleh Allah. Tentu saja bagi jama’ah waktu yang ditunggu-tunggu adalah bagian mahalul qiyam. Bagian maulid yang dilantunkan dalam nyanyian yang diiringi oleh marawis tersebut merupakan bagian yang mereka anggap paling sakral dari keseluruhan maulid. Hal ini tidak lepas dari konsepsi mereka akan kehadiran Rasulullah ditengah-tenga mereka yang dipercaya menjadi tamu dari majelis ketika dilangsungkannya mahalul qiyam.
13 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
“Waktu itu kita semua berdiri kan pas mahalul qiyam. Ane udah nungguin aja sambil ngelirik ke depan ngeliatin muka Habib Munzir. Tiba-tiba ditengah mahalul, Habib Munzir ngeliat ke langit-langit mesjid sambil senyum. Entah kenape ane ngerasa yakin, itu pasti Rasulullah dateng makenye dia senyum dan nangis malah. Beberapa kali setelahnya juga ane suka merhatiin kalo Habib Munzir udah senyum ditengah-tengah Mahalul, itu tandanya emang Rasulullah lagi ada disitu”. (Wawancara dengan Hermawan, jama’ah Majelis Rasulullah). Rangkaian simbol-simbol suci mulai dari teks, konteks, pemilihan waktu khusus, hingga kepercayaan akan kehadiran Rasulullah menjadi faktor penting bagi jama’ah dalam memaknai Maulid Adiya’ulami. Bagi jama’ah yang secara rutin mengikuti gelaran majelis tentu saja nilai-nilai dari maulid dengan cepat terintegrasikan dalam pribadi mereka. Dan ketika nilai tersebut telah terikat dalam diri mereka, pantang bagi mereka untuk berhenti. Fenomena yang mengingatkan pada pernyataan Karl Marx (1844), yang menurutnya agama merupakan candu masyarakat. Menurutnya, dalam agama tidak ada pendasaran yang ril-objektif bagi manusia untuk mengabdi pada kekuasaan supranatural. Dia melihat bahwa agama tidak berkembang karena ada kesadaran dari manusia akan pembebasan sejati, namun karena kondisi yang diciptakan oleh orang-orang yang memiliki kuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Dalam konteks maulid, sosok Habib Umar bin Hafiz merupakan pihak yang mempunyai kekuasaan untuk menciptakan kondisi tersebut melalui Maulid Adiya’ulami. Bagaimana tidak, ketika muridnya yakni Habib Munzir sendiri sudah menjadi idola dan panutan bagi jama’ah Majelis Rasulullah, apalagi sosok Habib Umar yang merupakan guru dari Habib Munzir yang mereka idolakan tersebut. Kehadiran Habib Umar begitu dahsyat dalam gelaran majelis, yang mana jama’ah mengelu-elukan nama beliau dan diiringi dengan pelafalan shalawat, sebagai apresiasi terhadap sosok yang mereka anggap suci tersebut. Belum lagi status Habib Umar yang merupakan ulama kelahiran Hadramaut, yang dikenal sebagai gudangnya ulama dan habaib yang menyebarkan Islam di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Sederet fakta yang disertai konsepsi jama’ah mengkonstruksi beliau lebih dari sekedar ulama. “...Hadramaut has a long history as an important centre of learning.. there have always been a large number of holy men and scholars (traditionally the two roles we
14 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
synonious) whose influence and reputation extended overseas.. Hadramaut has a long history of migration.. Important countries are to be found in Saudi Arabia, Aden, the East African Coast, India, Indonesia, Singapore, and Malaysia. In these countries Hadrami migrants have specialized in commerce as merchants and in religious activities as missionaries and holy men.” (Bujra 1971:4) Kesimpulan Majelis Rasulullah sebagai majelis taklim berupaya untuk membentuk jama’ahnya dengan nilai-nilai keislaman yang menjadikan Rasulullah sebagai idola. Mereka menawarkan dalam ajaran-ajaran mereka seperti pembacaan Maulid Adiya’ulami, ratib, ziarah kubro, serta tausiyah yang diambil dari hadis-hadis Rasulullah. Gelaran mereka yang dilakukan secara rutin diharapkan mampu membantu nilai-nilai dari ajaran mereka untuk masuk dan menjadi bagian dari kehidupan jama’ah mereka. Hal ini dilakukan sebagai langkah antisipasi terhadap gejolak modernisme dan globalisasi yang diklaim sebagai buah pemikiran barat yang menghantui kehidupan masyarakat di kota kosmopolitan seperti Jakarta, dimana akses terhadap informasi, teknologi, dan barang yang sudah tidak mengenal batasan ruang dan waktu. Sebagai gerakan keagamaan dan institusi pendidikan agama non formal, Majelis Rasulullah memang muncul sebagai penantang isu globalisasi tersebut, dengan memanggil jama’ah mereka lewat panji-panji agama, yang dijawab dengan mantap oleh ribuan jema’ah yang selalu memadati gelaran Majelis Rasulullah setiap harinya dari waktu ke waktu. Jama’ah memang merupakan indikator berhasil atau tidaknya kiprah Majelis Rasulullah dalam upaya mereka menanamkan nilai-nilai dari ritual yang mereka tawarkan. Bukan dari berapa ribu jama’ah yang menjejali setiap kali diadakannya gelaran majelis, melainkan dari bagaimana jama’ah tersebut memaknai ajaran-ajaran tersebut, dan mengintegrasikan nilai tersebut kedalam diri mereka. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh sebuah institusi pendidikan agama seperti majelis taklim, khususnya Majelis Rasulullah yang memiliki jama’ah besar di Jakarta dan sekitarnya. Ribuan orang yang berdesakan, memadati masjid hingga meluap ke jalan raya, bisa jadi tidak lebih dari sekedar sumber kemacetan lalu lintas dan mungkin bisa berujung kepada caci maki pengguna jalan apabila dalam diri mereka sendiri tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Konsepsi jama’ah mengenai kesakralan dari ritual-ritual yang
15 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
mereka jalani, dan makna yang terkandung dalam setiap ritual tersebut harus dapat mereka pahami. Pendekatan antropologis memang tidak ditujukan untuk melihat benar tidaknya penganut suatu agama dalam menjalankan agama mereka ataupun bagaimana beragama menurut kitab suci, namun ketika ajaran-ajaran tersebut telah menjadi simbol suci disetiap pribadi para jama’ahnya barulah para jama’ah tersebut mampu mengekspresikan diri mereka. Jika demikian yang terjadi, Majelis Rasulullah bisa menganggap diri mereka berhasil menjalankan tujuan dari sebuah majelis taklim. Daftar Pustaka Agus, Bustanuddin. 1999 Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial. Studi Banding Antara Pandangan Alamiah dan Ajaran Islam. Jakarta; Gema Insani Press. 2003 Ilmu Sosial Dalam Perspektif Islam. Padang; Angkasa Raya. 2006 Agama dalam Kehidupan Manusia. Pengantar Antropologi Agama. Jakarta; RajaGrafindon Press. Appadurai, Arjun. 1996 Modernity at Large. Cultural Dimensions of Minneapolis/London: University of Minnesota Press.
Globalization.
Arai, Kazuhiro. 2004 Arabs who Traversed the Indian Ocean: The History of the al-‘Attas Family in Hadramawt and Southeast Asia. Unpublished Ph.D. Dissertation. Michigan: The University of Michigan. Baudrillard, Jean P. 2006 Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta:Kreasi Wacana. Bowen, John R. 2008 Islam, Law, and Equality in Indonesia: An Anthropology of Public Reasoning. Cambridge: Cambridge University Press Bujra, A.S. 1971 The Politics of Stratification. A Study of Political Change in a South Arabian Town. Oxford: Clarendon Press. Durkheim, Emile. 2001 The Elementary Forms of the Religious Life. Oxford University Press.
16 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
Eister, Allan W.. 1974 Changing Perspectives in the Scientific Study of Religion. New York:Wiley. Fadhli, Ahmad 2011 Ulama Betawi (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi Dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20). Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press. Geertz, Clifford. 1973 The Interpretation of Cultures : Selected Essays. New York: Basic. 1992 “Local Knowledge” and Its Limits: Some Obiter Dicta. Yale Journal of Criticism 5(2):129-135. Ho, Engseng 2006 The Graves of Tarim. Genealogy and Mobility across the Indian Ocean. Berkeley/Los Angeles/London; University of California Press. Hobsbawm, Eric dan Terrence Ranger. 1989 The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press. Malefijt, Annemarie D.W. 1968 Homo Monstrosus (Scientific American Offprints). W.H. Freeman and Company. 1989 Religion and Culture: An Introduction to Anthropology Religion. Waveland Press. Marx, Karl. 2008 Selected Essays Karl Marx. Teddington: The Echo Library. Martin, Richards C. 2004 Encyclopedia of Islam and the Muslim World. Macmillan Reference USA. Nasution, Prof. Dr. S. 1996 Metode Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara. Norbeck, Edward. 1988 Religion in Human Life: Anthropological Views. Waveland Press. Norbeck, Edward; Takkaaki Sanada.
17 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013
1975
Prophecy Continues to Fail, a Japanese Sect. Journal of CrossCultural Psychology.
Peters, F.E. 1994 The Hajj: The Muslim Pilgrimage to Mecca and the Holy Places. Princeton:Princeton University Press Statistik, Badan Pusat. 2010 Penduduk DKI Jakarta: Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010. Jakarta: Dharma Citra Putra. Turner, Victor W; Edward M. Bruner 1986 The Anthropology of Experience. Chicago: University of Illinois Press. van den Berg, LWC. 2010 Orang Arab di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu. Artikel Lain Khurafat. Diakses dari: http://www.religious-affairs.gov.bn/index.php pada tanggal 8 April 2013. Diniyah Diakses dari: http://www.artikata.com pada tanggal 4 Februari 2013.
18 Pemaknaan ajaran..., Abdullah Ghifari, FISIP UI, 2013