PEMAHAMAN INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA ATAS AYAT-AYAT HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh: ABDUL BARI NASRUDIN NIM: 1110034000034
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saYa menYatakan bahwa:
hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi 1 di UIN Syarif Hidayatullah salah satu persyaratan memperoleh gelar strata
1. Skripsi ini merupakan Jakarta.
2. 3.
ini telah saya cantumkan Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan syarif Hidayatullah Jakarta' sesuai dengan ketentuan yang berlaku di uIN bukan hasil karya asli saya atau Jika di kemudian hari terbukti bahwa karyaini maka saya bersedia menerima merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, sanksiyangberlakudiUiNSyarifHidayatullahJakarta. Ciputat, Maret20l7
ABDUL BARI NASRUDIN
PEMAIIAMAN INTELEKTUAL MUSI,IN{ INDONESIA ATAS 'AYAT-AYATIIUBLTNGANANTARUIV{ATBERAGAMA
Skripsi Diajukan untuk Me'menuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S'Ag)
Oleh:
@NIM: 1110034000034
PROGRAM STI]DI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITASISLAMNEGERISYARIFHIDAYATULLAII JAKARTA 1438H12017 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
skripsi berju
Ketua Merangkap
Anggota,
S ekretaris Merangkap Anggota, Sekrel
Dr. Bustamin, SE, M.Si
NIP: 19630701 199803
18 199903 2 001
1 003
. Penguji II,
Dr. Hasani Ahmad Said, MA NrP. 19820221200901 1 024
NIP: 19580301 199203 1001
bimbing,
t97t0607 200501 1 002
IV
ABSTRAK
ABDUL BARI NASRUDIN PEMAHAMAN INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA ATAS AYATAYAT HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA Hasil penelitian skripsi ini menunjukkan bahwa pemahaman Intelektual Muslim Indonesia atas ayat-ayat hubungan antarumat beragama memiliki perbedaan sekaligus kesesuain dari perwakilan mufasir klasik (Ibn Kaṡir, Fakhr al-Dīn al-Rāzī) dan modern (Wahbah al-Zuḥailī, Hamka, M. Quraish Shihab). Perbedaan yang paling mencolok atau terlihat pada QS. al-Baqarah/2: 62 pengakuan adanya jaminan keselamatan di hari akhir. Sebagai sosok intelektual Muslim Indonesia Abd. Moqsith Ghazali, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rachman, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat sepakat menerima bahwa agama-agama lain (Yahudi, Nashrani, Shabi’in) mendapatkan jaminan keselamatan di hari akhir. Kesesuaian dari penafsiran mufasir ini (Ibn Kaṡir, Fakhr al-Dīn al-Rāzī Wahbah al-Zuḥailī, Hamka, M. Quraish Shihab). Sedangkan yang menolak jaminan keselamatan di hari akhir; Amin Suma dan Rizie Shihab kesesuain dari penafsiran mufasir (al-Zamakshari, Sayyid Quthb). Pada QS. al-Baqarah/2: 256 dan al-An’am/6: 108, hampir tidak ada perbedaan antara Intelektual Muslim Indonesia dengan perwakilan mufasir klasik dan modern. Tidak ada paksaan beragama adalah hak setiap orang untuk memilih suatu agama mana yang dianggap baik dan buruk, tanpa ada unsur pemaksaan. Kemudian ayat al-An’am/6: 108, Islam memandang bahwa sikap menghormati, menghargai sebagai wujud kecintaan Islam terhadap agama lain. Dalam rangka penghormatan dan perlindungan terhadap simbol keagaman, Islam tidak membolehkan menaci-maki atau menghina sesembahan Tuhan agama lain. Meskipun sesembahan atau simbol tersebut dipandang sebagai kejahilan atau kemusyrikan menurut Islam. Kesimpulan tersebut didapatkan dengan menggunakan metode deskripstif analitik dan perbandingan, sehingga dapat diketahui bahwa pemahaman intelektual muslim Indonesia atas ayat-ayat hubungan antarumat beragama, memiliki kesesuain dan perbedaan pendapat. Antara Islam dan agama lain, memiliki titik temu yaitu kalimatun sawā yaitu menuju kepada Tuhan Yang Esa. Artinya, dengan kepercayaannya yang teguh dan kepatuhan yang mutlak kepada Allah. Kaum Muslimin merealisasikannya kedalam sikap-sikap positif yang dapat mencegah dari segala bentuk prilaku yang akan menghancurkan kemanusian dan dunia. Dari sikap tersebut akan membuahkan hasil kedamian dan keamanan secara menyeluruh jalan yang terbentang dihadapan mereka adalah jalan kemajuan, toleransi dan rasa kesamaan, bukan jalan angakara murka, permusuhan dan pengrusakan.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan pada Allah swt. atas segala nikmat dan pertolongan yang telah dan akan selalu Ia berikan kepada penulis. Ialah yang memberikan petunjuk dan saat penulis kehilangan kata untuk diketik, data untuk diolah, dan ide untuk dikembangkan. Kepada-Nya penulis mengadu saat hati dan pikiran mulai lelah dan frustrasi untuk menyelesaikan penelitian ini. Dari-Nya penulis dapatkan inspirasi untuk menuliskan kata demi kata hingga menjadi sekumpulan bab-bab yang dibundel menjadi sebuah skripsi ini. Salawat beserta salam tak lupa kami hulurkan kepada pembawa risalahNya Nabi Muhammad Saw, para keluarga, sahabat, dan mereka semua yang telah berjuang untuk menegakkan kalimat tauhid diatas muka bumi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan yang di miliki pada diri penulis. Namun berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, besar atau kecil dan tidak ada kata lain untuk mereka adalah terima kasih semoga Allah Swt membalas semua jasa-jasa mereka sehingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat di selesaikan. Penulis mengungkapkan ucapan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua tercinta, Subandi (Alm) dan Siti Sa’adah dan ayah angkat Oman, yang karena motivasi dan bimbingan mereka penulis tercatat sebagai mahasiswa UIN Jakarta dan sebab doa merekalah penulis dapat bertahan sampai saat ini. Dan untuk kakak-kakak-ku, Acep Sutisna
vi
Neneng Nurhasanah, Elis Khairunnisa, Syaiful Anwar, M. Syahrus Siddiq membantu atau menyisihkan uang saku untuk penulis selama perkuliah. Ade-adeku: M. Fathur Rohim, Siti Rosmanah, Syamsul Palah, semoga kalian bisa mengikuti jejak penulis untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Aamiin. 2. Bapak Dr. Abd. Moqsith, MA., sebagai pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran serta keikhlasan hingga terselesaikannya skripsi ini. Serta kepada Bapak Eva Nugraha, MA., yang telah meluangkan waktu di kesibukannya untuk mengoreksi skripsi ini disaat penulis sedang kebingungan dalam pembahasan skripsi ini. 3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku ketua jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, beserta Ibu Banun Binaningrum, M.Pd., selaku sekjur Ilmu alQur’an dan Tafsir 4. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang telah mengajarkan dan memberikan ilmunya kepada penulis selama proses perkuliahan berlangsung. Semoga Allah Swt memberikan imbalan serta pahala yang berlipat ganda atas ilmu yang telah diberikan selama ini, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi diri penulis. 5. Teman-teman seperjuangan TH A dan Angkatan 2010 TH atas semangat kekompakan, solidaritasnya selama perkuliahan di kampus. 6. Bang Irvan Widodo dan Prof. Imran Tamyiz, yang sering kali memotivasi dan mengingatkan untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
vii
7. Keluarga Besar Yayasan PUI dan Madrasah Aliyah al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) Jakarta Selatan, Guru TPA dan TKI ar-Rahmah Rempoa, Keluarga Besar Sukamanah, STAI Nida el-Adabi, Parung Panjang—atas saran dan masukannya sangat berharga. Terutama kepada Ustadz Taju Subki yang telah meluangkan waktunya ditengah kesibukan untuk sorogan kompre tafsir dan Toafl. 8. Tempat persinggahan selama perkulihan dan teman-teman ngopi— Jamasari, Fredy, Maringo, A. Zaki Yusran, Kuya Rangers : M. Rifki, Angga Marzuki, M. Dedi Sofyan, Ulul Azmi (Senior Surveyor), M. Fauzi (Senior Surveyor), Jumadi Suherman, Bang Faqih semua teman-teman yang menghidupkan suasana canda tawa di tengah kejenuhan penulisan skripsi. Semoga yang belum sidang cepat menyusul atau bisa melihat film CATATAN AKHIR KULIAH search mbah google agar termotivasi untuk menyelesaikanya. Hehe... Akhirnya penulis menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain-lain yang belum terbaca, menjadikan penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis telah berupaya menyelesaikan skripsi
ini dengan semaksimal mungkin sesuai
dengan
kemampuan. Dengan segala kerendahan hati yang penulis miliki, penulis ingin menyampaikan harapan yang begitu besar semoga skripsi ini bermanfaat buat sekalian pembaca. Amin. Ciputat, ............................. ABDUL BARI NASRUDIN
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... v KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... xi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................ 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6 D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 7 E. Metode Penelitian...................................................................... 11 F. Sistematika Penulisan ............................................................... 13
BAB II
GAMBARAN UMUM INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA, KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN ISU-ISU TERKAIT A. Klasifikasi Tafsir Klasik-Modern dan Definisi Intelektual Muslim Indonesia ................................................................................... 15 1. Klasifikasi Periode Tafsir Klasik dan Modern ..................... 15 2. Definisi Intelektual Muslim.................................................. 19 B. Kerukunan dan Sejarah Konflik Umat Beragama ..................... 21 1. Definisi Kerukunan Umat Beragama ................................... 21 2. Sejarah Konflik Umat Beragama di Indonesia ..................... 22 C. Isu-Isu Terkait Hubungan Antarumat Beragama ...................... 25 1. Pelarangan Pendirian Rumah Ibadah dan Penghancuran atau Perusakan Rumah Ibadah ..................................................... 25 2. Ucapan Selamat Natal ......................................................... 27 3. Kebebasan Beragama dalam Islam dan Praktiknya di Negara Indonesia .............................................................................. 29 4. Kepemimpinan non-Muslim................................................. 31
BAB III
PANDANGAN INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA ATAS AYAT-AYAT HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA A. Klasifikasi Ayat Hubungan Antarumat Beragama ................... 33 1. Kelompok-kelompok Ayat Keagamaan dalam al-Qur’an .... 35 2. Penghormatan Islam Terhadap Pemeluk Agama ................. 36 3. Hak dan Kewajiban Beragama dalam Masyarakat ............... 37 B. Pemahaman Atas QS. al-Baqarah: 62 ....................................... 39 C. Pemahaman Atas QS. al-Baqarah: 256 ..................................... 47 D. Pemahaman Atas QS. al-An’am: 108 ....................................... 50
ix
BAB IV
KESESUAIAN PANDANGAN INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA DENGAN PENAFSIRAN PARA MUFASIR TERHADAP AYAT-AYAT HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA A. Tafsiran Atas QS. al Baqarah/2: 62 .......................................... 54 1. Sebab Turunnya Ayat ........................................................... 54 2. Penafsiran Mufasir ............................................................... 55 B. Tafsiran Atas QS. al-Baqarah/2: 256 ........................................ 60 1. Sebab Turunnya Ayat ........................................................... 60 2. Penafsiran Mufasir ............................................................... 62 C. Tafsiran Atas QS. al-Anʻam/6: 108 .......................................... 66 1. Sebab Turunnya Ayat ........................................................... 66 2. Penafsiran Mufasir ............................................................... 67 D. Implikasi Penafsiran atas Isu-isu Hubungan Antarumat Beragama ................................................................................................... 77 1. Kepemimpinan non-Muslim................................................. 78 2. Ucapan Selamat Natal .......................................................... 79 3. Murtad ...................................................................................81 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 85 B. Saran-saran .................................................................................. 87 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 89
x
PEDOMAN TRANSLITERASI Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987 1. Konsonan No.
Arab
Latin
No.
1
tidak dilambangkan
16
ṭ
2
b
17
ẓ
3
t
18
ʻ
4
ṡ
19
g
5
j
20
f
6
ḥ
21
q
7
kh
22
k
8
d
23
l
9
ż
24
m
10
r
25
n
11
z
26
w
12
s
27
h
13
sy
28
’
14
ṣ
29
y
15
ḍ
2. Vokal Pendek =a
kataba
=i
su’ila
xi
Arab
Latin
=u
yażhabu
3. Vokal Panjang a. Fatḥah + alif, ditulis ā (a garis di atas) ditulis jāhiliyyah b. Fatḥah + alif layyinah, ditulis ā (a garis di atas) ditulis yasʻā c. Kasrah + yā’ mati, ditulis ī (i dengan garis di atas) ditulis majīd d. Ḍammah + wāu mati, ditulis ū (u dengan garis di atas) ditulis furūd 4. Diftong = ai
= kaifa
= au
= ḥaula
5. Kata Sandang ()ال Kata sandang dilambangkan dengan ‘al-’, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. 6. Tasydid (-ّ--) Syiddah atau tasydīd dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
xii
syiddah tersebut terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf al-syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis
aḍ-ḍarūrah melainkan al-
ḍarūrah. 7. Tā’ Marbūṭah a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kalimat lain yang menjadi naʻt atau sifat, ditulis h Contoh: ditulis jizyah ditulis al-jāmiʻah al-islāmiyyah (ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab seperti zakat, salat, dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafal aslinya) b. Bila diharakati karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t Contoh: ditulis niʻmat Allāh
ditulis zakāt al-fiṭr 8. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut penulisannya, contoh: ditulis żawī al-furūḍ
ditulis ahl al-sunnah
xiii
9. Singkatan swt.
= subḥānah wa taʻālā
saw.
= ṣallā Allāh ‘alaih wa salam
as.
=‘alaih al-salām
ra.
= raḍiya Allāh ‘anh
QS.
= Quran Surat
M
= Masehi
H
= Hijriah
w.
= Wafat
h.
= Halaman
xiv
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Skripsi terinspirasi dari tugas mata kuliah Praktikum Penulisan Karya Ilmiah
(PPKI) semester empat1, ketika dosen (Rifqi Muhammad Fatih, MA) pengampu menjelaskan suatu masalah, pada kenyataanya berbeda dalam al-Qur’an. Pada saat itu, muncul pertanyaan kasus penghancuran rumah ibadah Islam minoritas Ahmadiyah di Cikeusik Banten2 dan Masjid Syi’ah di Nangkernang, Madura Jawa Timur,3 kenapa pada kasus penghancuran rumah ibadah tersebut sesama umat Islam harus memakai cara kekerasan?. Dari pertanyaan tersebut maka ada suatu masalah, apa masalahnya sehingga cara tersebut harus memakai kekerasan. Akhirnya penulis mencoba mencari penelusuran google, dan mendapatkan hasil pencarian, bahwa Ahmadiyah menurut MUI atau sebagian orang dianggap menyimpang. Karena mengakui kenabian setelah nabi Muhammad saw., yaitu Mirza Ghulam Ahmad.4 Kenyataanya bahwa dalam al-Qur’an tempat rumah ibadah harus dijaga atau dihormati yang di dalamnya terdapat Asma Allah.
1
Praktikum Penelitian Karya Ilmiah ini diajukan untuk memenuhi tugas akhir semester empat, berbentuk proposal mini dengan judul “Larangan Penghancuran Rumah Ibadah” 2 Helmi, “Bentrok Massa di Cikeusik, 3 Jama’ah Ahmadiyah Tewas” artikel ini diakses pada 13 Mei 2014 dari http://www.politikindonesia.com/index.php?k=hukum&i=18136. 3 Tudji Martudji, “Komnas HAM Selidik Pembakaran Masjid Syi’ah,” artikel ini diakses pada 13 Mei 2014 dari http://nasional.news.viva.co.id/news/read/277246-temuan-komnas-soalpembakaran-masjid-syiah. 4 Willy Widianto, “Alasan MUI Nyatakan Syi’ah Sesat” artikel ini diakses pada 13 Mei 2014 dari http://www.tribunnews.com/nasional/2011/02/18/inilah-alasan-mui-nyatakan-ahmadiyahsesat.
1
2
Penelitian ini sempat diajukan ke jurusan, namun setelah diujikan tertolak oleh dosen penguji. Al-hasil penelitian ini berubah, menjadi hubungan antarumat beragama. Terkait dengan ayat hubungan antarumat beragama salah satu pembahasan ayat yang terjadi sorotan atau perdebatan di Indonesia adalah QS. al-Baqarah/2: 256, kebebasan beragama atau tidak ada paksaan beragama.5 Sebagaimana firman Allah: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Ayat tersebut berbicara tentang hak seseorang untuk memilih keyakinan tanpa ada unsur pemaksaan. Dalam hal ini, tidak ada paksaan beragama sering terjadi perdebatan atau konflik, dengan label atas nama agama, di antaranya: Iwan Masduqi mengatakan slogan atau kebebasan beragama (tidak ada paksaan beragama) sering kali tidak sejalan dengan kenyataanya seperti bom bunuh diri.6 Akibatnya manusia yang tidak tahu apa-apa terkena dampaknya.
5
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis alQur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 217.; lihat Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), h. 253.; lihat juga: Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritis al-Qur’an Terhadap Agama Lain (Jakarta: PT Gramadia Pustaka Utama, 2013), h. 357.; lihat: Wahbah Zuhaili, Kebebasan dalam Islam. Penerjemah Ahmad Minan (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 142.; lihat juga Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran (Bandung: Mizan, 2011), h. 49.; Lihat juga Ayang Utriza Yakin, Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer: Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, non-Muslim, Poligami, dan Jihad (Jakarta: Kencana, 2016), h. 107. 6 Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, h. 50.; lihat Yusuf al-Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah karya Monumental terlengkap Tentang Jihad Menurut al-Qur’an dan Sunnah. Penerjemah Irfan Maulana Hakim, dkk. (Bandung: Mizan, 2010), h. 902.; lihat juga M. Bambang Pranowo, Orang Jawa Jadi Teroris (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011), h. 7.; Lihat Azyumardi Azra, Jejak-jejak Jaringan Kaum Muslim: dari Austria Hingga Timur Tengah (Jakarta: Hikmah, 2007), h. 106.
3
Tidak ada paksaan beragama dalam pandangan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), ketika seorang non-Muslim melakukan ritual peribadatan, bukan berarti seorang Muslim ikut dalam hal perayaannya atau mengucapkan selamat natal. Karena hal ini dapat menyebakan seseorang murtad.7 Salah satu dalil yang dipergunakan HTI adalah QS. al-Baqarah/2: 120.8 Senada dengan pandangan HTI, MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah memfatwakan bahwa perayaan natal adalah haram, agar tidak mencampur adukan antara aqidah dan ibadah dengan agama lain. Pandangan tersebut atas dasar QS. alBaqarah/2: 42, al-Kafirun/109: 1-6.9 Pandangan yang berbeda terkait tidak ada paksaan beragama, seperti M. Quraish Shihab, ia mengatakan, “Tidak ada salahnya mengucapkan natal atau menghadiri upacara natal yang bukan ritual, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an sendiri yang telah mengabadikan selamat natal dalam QS. Maryam/19: 34.”10 Budhy Munawar Rachman sepakat dengan pendapat M. Quraish Shihab, ia juga menambahkan bahwa tujuan ucapan selamat natal bagi orang Muslim adalah untuk mempererat persaudaraan, pergaulan dan persahabatan. Bagitu juga dengan selamat hari Nyepi, selamat hari raya Waisak, selamat tahun baru Imlek, kepada agama lain tidaklah dilarang. Ucapan ini di bolehkan sebagaimana doa untuk orang-
Admin HTI, “Kebebasan Beragama atau Penodaan Agama?” di akses pada tgl 26-01-2017 dari: https://hizbut-tahrir.or.id/2010/04/17/kebebasan-beragama-atau-penodaan-agama/ 8 Al-Islam, “Haram Ikut Merayakan atau Mengucapkan Selamat Natal” di akses pada tgl 2601-2017 dari:http://hti-fans.blogspot.co.id/2013/12/haram-ikut-merayakan-atau-mengucapkan.html 9 Ma’ruf Amin dkk, ed., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975 (Jakarta: Erlangga, 2011), h.314. 10 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat 2th (Bandung, Mizan, 1992), h. 371. ; lihat juga Zuhairi Misrawi, al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil Alamīn (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), h. 315. 7
4
orang non-Muslim. Doa bersama yang bertujuan untuk kemashlahatan seperti perdamaian, kerukunan, persaudaraan, dan solidaritas.11 Dalam pandangan Islam mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani hukumnya adalah mubah. Hal ini yang dikatakan oleh Departemen Agama dengan landasan QS. an-Nisā/4: 86 sebagai bentuk sikap arif, bijaksana dan budi mulia yang dianjurkan dalam Islam.12 Sejauh penelusuran penulis dari sekian pendapat kelompok organisasi ataupun Intelektual Muslim Indonesia, dapat dipahami kebebasan berkeyakinan memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan tersebut memahami atas dasar ayat al-Qur’an secara tekstual13 dan kontekstual.14 Menurut Islam, perbedaan ekspresi berkeyakinan atau berketuhanan tidak membenarkan seseorang mengganggu kepercayaan agama yang lain.15 Pemerintah pun ikut mengatur dalam hal kebebasan beragama dalam UUD 1945 pasal 29 Ayat 2
11
Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 176. 12 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Al-Qur’an dan Kebinekaan: Tafsir al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011), h.83. 13 Pendekatan tekstual yang dimaksud adalah memahami ayat-ayat al-Qur’an secara teks artinya tidak bisa dipahami dengan yang lain kecuali seperti apayang terbaca dalam teks. Misalnya teks-teks al-Qur’an yang menjelaskan potongan tangan, tujuannya adalah melarang orang untuk tidak mencuri. Lihat: Ahmad Nurcholish, Pengalaman EmpirisPernikahan Beda Agama (Yogyakarta: LkiS Yogayakarta, 2004), h.208. lihat juga Ahmad Taufik, “Hubungan Antarumat Beragama: Studi Kritis Metodelogi Penafsiran Tekstual,” Journal of Qur’ān and Ḥadiīth Studies 3,no. 2 (2014): h. 142. 14 Pendekatan Kontekstual adalah memahami persoalan ayat-ayat al-Qur’an dapat diselesaikan melalui proses dialektik antara teks al-Qur’an dan perkembangan masyarakat. Lihat Ahmad Taufik, “Hubungan Antarumat Beragama” h.143. 15 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis alQur’an, h. 217.
5
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”16 Padahal fungsi agama itu sendiri bagi manusia diantaranya adalah untuk membantu pemeluknya mengenali dan mendorong mereka agar memilih jalan kebaikan dan kebenaran demi kesejahteraan, kebahagiaan, serta keselamatan hidup.17 Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan mengkaji dengan judul, “Pemahaman Intelektual Kaum Muslim Indonesia atas Ayat-ayat Hubungan Antarumat Beragama” B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.
Pembatasan Masalah Penulis membatasi masalah hubungan antarumat beragama seperti, prinsip
kebebasan umat beragama dalam al-Qur’an, penghormatan terhadap pemeluk agama dalam al-Qur’an dan kesetaraan kaum beriman dalam al-Qur’an merujuk pada pemahaman Muslim Indonesia Abdurrahman Wahid, Abd. Moqsith Ghazali, Budhy Munawar Rachman, Zuhairi Misrawi, Amin Suma, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat ataupun sekelompok organisasi Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) yang dipelopori Rizieq Shihab, sedangkan perwakilan untuk mufasir klasik-modern penulis membatasi Ibn Kaṡīr (w.774 H.), Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H.), Wahbah al-Zuḥailī (w. 2015 M), Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka
Abdurahman Mas’ud, Kerukunan Umat Beragama Dalam Sorotan 10 Tahun Refleksi Dan Evaluasi Kebijakan Dan Program Pusat Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Kementrian Agama RI PKUB, 2011), h.40. 17 Pada sisi yang lain, agama juga berfungsi untuk mengisi dimensi spiritual manusia sekaligus alat penyeimbang (balance) bagi kehidupan manusia yang serba ganda dan berbeda. Lihat, Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), h. 213. 16
6
1908-1981M.), M. Quraish Shihab (1944 M). Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut fokus pada QS. Al-Baqarah/2:62, QS. Al-Baqarah/2: 256, QS. al-An‘ām/6: 108. Pada QS. al-Baqarah/:2: 62, al-Mā’idah/5: 69 dan al-Ḥajj/22: 17 pada dasarnya memiliki persamaan dan perbedaan, yang nantinya akan dijelaskan pada bab berikutnya. Namun penulis fokus pada ayat yaitu, alBaqarah/2:62, al-Baqarah/2: 256 dan al-An‘ām/6: 108. 2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah:
Bagaimana pandangan Intelektual Muslim Indonesia dan Mufasir Klasik-Modern tentang Ayat-ayat Hubungan Antarumat Beragama? C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian terhadap ayat al-Qur’an yang membicarakan
Hubungan Antarumat Beragama dalam al-Qur’an, akan memiliki beberapa tujuan: 1.
Penelitian ini perlu dilakukan, karena ingin mengetahui sejauh mana perbedaan argumen intelektual18 Muslim Indonesia atas ayat-ayat hubungan antarumat beragama dalam al-Qur’an atas kesesuaian mufasir klasik dan modern.
2.
Untuk mengetahui pandangan para Muslim Indonesia atas kesesuain terhadap mufasir mufasir klasik dan modern. Melalui penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
18 Kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas mental—berpikir, menalar dan memecahkan masalah. Lihat Stephen P.Robbins, dkk. Organization Behavior 12th ed., Penerjemah Diana Angelica, dkk. (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 57.
7
1.
Memperluas dan mengembangkan bakat ilmu tafsir al-Qur’an.
2.
Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan, mengenai pandangan alQur’an tentang Hubungan Antarumat Beragama.
3.
Menambah khazanah keilmuan, khususnya di bidang tafsir mengenai Hubungan Antarumat Beragama.
D.
Tinjauan Pustaka Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini dengan
penelitian terdahulu, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat penelitian yang sama sehingga tidak terkesan plagiat dari karya yang telah ada. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, menemukan banyak karya yang membahas permasalaan ini: 1) Buku Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama menurut al-Qur’an: Telaah Akidah dan Syariah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001). Isi dari buku ini, Amin Suma kontradiktif terhadap pluralisme. Islam adalah agama yang benar, agama yang diridhai dan diterima Allah swt,. Terhadap agama Yahudi, Nashrani Shabi’in, Amin Suma mengatakan, al-Qur’an tidak mengakui Yahudi, Nasrani, Shabi’in sebagai agama. 2) Buku Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan (Jakarta: Serambi, 2006), karya Jalaluddin Rakhmat. Buku ini menjelaskan bagaimana etika al-Qur’an dalam menyikapi pluralisme agama. Dalam pembahsan ini Jalaludin Rakhamat juga mengangkat pengakuan atas eksistensi agama-agama yang merujuk Q.S. al-Baqarah/2: 62 dan redaksi
8
yang hampir sama dengan al-Maidah/5: 69 sesusuai dengan pembahasan penulis. 3) Di antara artikel jurnal yang berkaitan penelitain ini, yang ditulis oleh M. Ali Nurdin, “Hubungan Antarumat Beragama dalam Pandangan alQur’an,” Jurnal Studi al- Qur’an 1, no. 3 (2006). Artikel ini berbicara tentang pandangan al-Qur’an tidak menurunkan berbagai macam agama. Agama yang diturunkan Allah melalui nabi atau rasulnya hanya satu yaitu Islam, hanya saja syariat yang dibawa rasul yang berbeda. 4) Tesis Jauhar Azizy, “Pluralisme Agama dalam al-Qur’an: Telaah terhadap Tafsir Departemen Agama”, tahun 2007. Isi tesis ini menjelaskan penefsiran Departemen Agama tentang ayat-ayat pluralitas, mengakui agama-agama Samawi ketika agama Islam belum datang, setelah kedatangan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. semua umat manusia wajib beriman kepadanya dan mengamalkan apa yang dibawanya termasuk memeluk agama Islam. Penafsiran Departemen Agama tentang ayat kebebasan beragama memberikan kebebasan beragama yang diyakininya. Dalam tafsirnya, larangan umat Islam memaksa non-muslim untuk masuk Islam. Akan tetapi jika umat Islam murtad maka dalam tafsirnya menerapkan hukum mati baginya. Penafsiran Departemen Agama tentang ayat toleransi beragama menganjurkan hidup rukun dan damai antarumat beragama. 5) Desertasi Abd. Moqsith, “Perspektif al-Qur’an tentang Pluralitas Umat Beragama”, tahun 2007. Disertasi ini kemudian dibukukan: Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (Jakarta:
9
KataKita, 2009), desertasi ini menjelaskan bagaimana perspektif al-Qur’an tentang pluralitas agama. Pendekatannya menggunakan metode tafsir maudhu’i ditambah dengan kajian ushul fikih dan hermeneutika. Abd. Moqsith menjelaskan, dalam menyikapi pluralitas agama seperti Ahli Kitab, umat Islam diperintahkan mencari titik temu (kalimah sawa’). Jika ada perselisihan antarumat beragama, maka ditempuh dengan cara dialog (wa jādilhum bi allatī hiya aḥsan). Dalam kebebasan beragama, al-Qur’an memberikan kebebbasan kepada manusia untuk beriman dan kafir. AlQur’an melarang mencerca atau memaki sesembahan (patung-patung) orang Musyrik dan al-Qur’an tidak menghukumi orang murtad. 6) Desertasi Adib, “Wacana Pluralisme Agama dalam Tafsir al-Qur’an: Telaah Komperatif Tafsīr al-Manār dan Tafsīr Fī Zhīlāl al-Qur’ān”, tahun 2008. Isi dari desertasi komperatif pluralisme ini yang paling menonjol, terletak pada pengakuan jaminan keselamatan atas agama di luar Islam atau non-Muslim pada QS. al-Baqarah/2: 62 serta ayat yang sejenisnya. Pengakuan jaminan keselamatan tidak bergantung apakah agama Yahudi, Nashrani, Islam atau lainya. Jaminan keselamatan ada pada keimanan yang benar keapada Allah pada hari kiamat, serta amal saleh sebagai wujud dari keimanannya, apapun jenis agamanya menurut pandangan Rasyid Ridha. Sedangkan pendapat Sayyid Quthb, jaminan keselamatan dia harus beriman kepada Nabi Muhammada saw. dan masuk Islam. 7) Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antarumat beragama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), karya Departemen Agama RI (Badan Litbang dan Diklat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an) buku ini berisi
10
tentang memberikan jawaban terhadap aneka problem baru dalam masyarakat melalui petunjuk al-Qur’an. Tema-tema yang terkait dibuku ini salah satunya toleransi Islam terhadap pemeluk agama lain; konsep jihad, perang dan damai dalam Islam; kekerasan dan terorisme; perkawinan beda agama; konsep jizyah; etika dialog antaragama. Pembahasan tema tersebut berdasarkan dalil dan fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik dari sumber al-Qur’an maupun hadis. 8) Skripsi oleh Muhamad Ahmadi “Toleransi Beragama dalam al-Qur’an (Telaah Atas Tafsir Surat al-Kāfirūn Ayat 1-6 )”, tahun 2008. Skripsi ini membahas umat Muslim untuk menghormati agama dan kepercayaan yang dipeluk umat lain. Dan larangan kerjasama dalam hal ibadah antara satu agama dengan agama yang lain. 9) Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil ‘Ālamin, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), karya Zuhairi Misrawi. Isi dari buku ini adalah
pesan
al-Qur’an
terwujudnya
peradaban
toleransi
yang
berlandaskan al-Qur’an. Ayat-ayat yang bernuansa intoleransi sejatinya merujuk pada ayat-ayat toleransi. Sangat relevan dalam konteks keIndonesian, terutama untuk memperkokoh spirit kebangsaan dan kebhinekaan, serta memperkuat pandangan kalangan Muslim moderat, bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘ālamin. 10)
Skripsi Husnul Khotimah “Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Dalam Bingkai Harian Republika”, tahun 2012. Skripsi ini membahas bagaimana masyarakat Indonesia tetap menjaga kerukunan agama, saling
11
menghormati dalam segala perbedaan pada harian Republika. Skripsi ini menggunakan analisis framing19 Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Dari penelusuran yang telah dilakukan penulis di atas, beberapa data penelitaan yang ada, ruang kajian ini berbeda pada dengan kajian sebelumnya. Penulis memilih judul “Pemahaman Intelektual Kaum Muslim Indonesia atas Ayatayat Hubungan antarumat Beragama.” E.
Metode Penelitian
1.
Metode Pengumpulan Data Adapun dalam pengumpulan data ini, penulis menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (Library Research); yaitu dengan mengumpulkan data-data dan menelaah sejumlah referensi yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Adapaun data primernya merujuk pada kitab-kitab tafsir yaitu Tafsir alQur’an al-‘Azim karya Ibn Kaṡīr,20 Tafsir Mafātihul Ghaib karya Fakhr al Dīn alRāzī,21 Tafsir al-Munīr: fī al-`Aqīdah wa asy-Syari`ah wa al-Manhaj karya
19 Analisis Framing adalah analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana media mengonstruksi realitas. Lihat: Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media (Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara, 2002), h. 256. 20 Metdoe tafsir ini menggunakan metode taḥlilī. Kategori Tafsir Ibn Kaṡīr adalah bilmatsur, menjelaskan antarayat (munasabah) maupun antasurah, menjelaskan asbāb al-nuzūl, dan mengutip dalil-dalil dari nabi saw., pendapat sahabat dan tabi’in. Lihat: Muhammad Ramdhoni, “Metodologi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (Ibnu Katsir)” diakses pada 9 April 2017 dari: https://hadyussari.wordpress.com/2010/09/06/metodologi-tafsir-al-qur%E2%80%99anul%E2%80%98azhim-ibnu-katsir/ lihat juga Ahda Bina, “Selayang Pandang Tafsir Ibnu Katsir” https://www.academia.edu/10889382/Selayang_Pandang_Tafsir_Ibnu_Katsir 21 Metode penafsiran al-Rāzī menggunakan metode taḥlilī yaitu menafsirkan ayat perayat dan surat demi surat secara berurutan sesuai mushaf ‘Usmāni. Lihat Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 59. Adapun sumber penafsiran dari beberapa literatur menyebutkan bahwa hampir semua ulama sepakat bahwa kitab Tafsīr Mafātīh al-Ghaȋb masuk kedalam kategori tafsīr bi al-ra’yī. Lihat juga, Nasharuddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, tt), h. 32. al-Rāzī merupakan seorang ulama yang ahli dalam banyak bidang, seperti kedokteran, logika, filsafat, dan hikmah, sehingga menurut al-Qattȃn ilmu-ilmu ‘aqliyah tersebut mendominasi pemikiran al-Rāzī dalam tafsirnya. Lihat: Mannā’ Khalīl al-Qattān, Studi Ilmu-ilmu Quran, terj. Mudzakir. AS., (Bogor: Litera Antar Nusa, 2009), Cet. 13, h. 529.
12
Wahbah Zuḥailī22, Tafsir Hamka karya Abdul Malik Amrullah,23 dan Tafsir alMisbah karya M. Quraish Shihab.24 Sedangkan data sekunder adalah Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an Karangan Abd. Moqsith Ghazali, Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, literatur yang mendukung berupa buku-buku, kitab-kitab tafsir, artikel, jurnal, makalah, dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan ini. 2.
Metode Analisis Data Dalam penelitian ini penulis mengguanakan teknik metode deskriftif analitik
yaitu suatu metode yang bermaksud mengambarkan data-data dalam menguji dan menjelaskan sebuah hipotesis untuk menjawab pertanyaan dari suatu permasalahan. Sedangkan analitik yaitu sebuah tahapan untuk menguraikan data-data yang telah terkumpul dan tersusun secara sistematis. Jadi, metode deskriptif analitk adalah sebuah metode pembahasan untuk menerapkan data-data yang telah tersusun dengan melakukan kajian terhadap data-data tersebut. Selain itu juga penulis menggunakan pendekatan perbandingan. Pendekatan ini dilakukan untuk memperbandingkan pemahaman Intelektual Muslim Indonesia dengan penafsiran mufasir tersebut.
22
Salah satu metode tafsir al-Munir ini menggunakan metode taḥlilī, dalam penafsirnnya dimuali dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nas. Tafsir ini menuliskan secara rinci, dimulai dari membahas keutamaan surah, makna kosa kata, kandungan sastranya, kandungan fiqih al-hayah, munasabah ayat hingga sebab turun ayat. Corak tafsir ini menggunakan fiqih dan adabi ijtima’i. Lihat Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 172-174. 23 Jika dilihat dari urutan suratnya, Tafsir al-Azhar menggunakan tartib nuzul atau bisa disebut juga menggunakan metode taḥlilī. Sumber penafsiran tafsir al-Azhar ini menggunakan sumber bi al-ra’yi, karena beliau mengemukakan pendapat-pendapat beliau dalam tafsir ini. Ada pun corak yang dipergunakan tafsir ini adalah adabi ijtima’i. Lihat: Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mahzhab Ciputat, 2013), h. 186-188. 24 Tafsir al-Misbah ini menggunakan metode taḥlilī, selain itu, penafsiran yang dilakukan M. Quraish Shihab berdasarkan pada pemikiran beliau. Sehingga tafsir al-Misbah ini merupkan karya tafsir bi al-ra’yi dengan corak adabi ijtima’i. Lihat: Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 278-282.
13
3.
Tekhnik Penulisan Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada buku
pedoman akademik: Penulis Skripsi, Tesis dan Desertasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010/2011. Sedangkan pedoman transliterasi Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987. Pada penulisan nama surat al-Qur’an, ditulis dipedoman akademik 2010/2011, misalnya: Sūrah al-Baqarah/2: 183, tetapi penulis menuliskan QS. alBaqarah/2: 183, yang nantinya akan konsisten sampai pembahasan akhir. F.
Sistematika Penulisan Tulisan ini akan dimulai dengan Bab pertama dengan menguraikan latar
belakang persoalan yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini penting untuk mengurai secara umum keseluruhan isi tulisan. Bab kedua, membahas gambaran umum intelektual Muslim Indonesia, kerukunan umat beragama dan isu-isu terkait, meliputi klasifikasi tafsir klasik dan definisi intelektual Muslim Indonesia, kerukunan dan sejarah konflik umat beragama serta isu-isu terkait hubungan antarumat beragama. Bab ketiga, membahas pandangan intelektual Muslim Indonesia atas ayatayat hubungan antarumat beragama, meliputi klasifikasi ayat hubungan antarumat beragama; kelompok-kelompok ayat keagamaan dalam al-Qur’an, penghormatan Islam terhadap pemeluk agama dan hak dan kewajiban beragama dalam kehidupan
14
masyarakat. Di lanjutkan dengan pemahaman atas ayat QS al-Baqarah/2: 62, QS. al-An’Ām/6: 108 dan QS. al-Baqarah/2: 256. Bab keempat, berisi tentang kesesuain pandangan intelektual Muslim Indonesia dengan penafsiran mufasir terhadap ayat-ayat hubungan antarumat beragama.
Perwakilan
pemahaman
Intelektual
Muslim
Indonesia
yaitu:
Abdurrahman Wahid, Abd. Moqsith Ghazali, Budhy Munawar Rachman, Zuhairi Misrawi, Amin Suma, Nurcholish Madjid ataupun sekelompok organisasi Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) yang dipelopori Rizieq Shihab. Sedangkan penafsiran mufasir klasik dan modern, yaitu Ibn Kaṡīr, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Wahbah Zuḥailī, Hamka dan M. Quraish Shihab. Bab kelima, berisikan penutup yang berupa kesimpulan dari uraian-uraian bab-bab sebelumnya, yaitu sebagai jawaban dari rumusan masalah yang dicantumkan sekaligus membuat saran-saran dan daftar pustaka yang disusun secara alfabetis.
BAB II GAMBARAN UMUM INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA, KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN ISU-ISU TERKAIT Pengertian intelektual biasa dipahami, individu yang memiliki pendidikan tinggi dan berwawasan luas. Seseorang yang mendapatkan predikat intelektual, bukan hasil dari propoganda atau unsur kesengajaan yang dibangun dan dideklarasikan sendiri, tapi hanya diberikan oleh orang lain. Sebab pengakuan publik atas kemampuannya merepresentasikan buah pikiran dan penghargaan di dunia sosial, maka ia akan dengan sendirinya mendapatkan julukan atau pengakuan sebagi intelektual dari orang lain.1 Dalam hal ini penulis akan mendeskripsikan klasifikasi tafsir klasik dan modern definisi intelektual Muslim Indonesia, kerukunan umat beragama serta isu-isu terkait hubungan antarumat beragama. A.
Klasifikasi Periode Tafsir Klasik-Modern dan Definisi Intelektual Muslim Indonesia
1.
Klasifikasi Periode Tafsir Klasik dan Modern Para ulama dan ahli tafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an membutuhkan
pemahaman secara detail, sehingga mengerti tentang penafsiran nas-nas al-Qur’an. Salah satunya penafsiran bersumber pada Nabi, Sahabat, Tabi’in, Mutaqaddimīn, hingga Mutaakhirin.2 Pembagian istilah klasik menurut Harun Nasution dalam buku
1
Rima Nurkomala, Jihad Intelektual Azyumardi Azra dalam Membina Kerukunan Umat Beragama (Bandung: Royyan Press, 2013), h. 27. 2 Dalam kajian ini, penulis tidak mendalami secara detail proses klasifikasi tafsir klasik sampai modern, hanya saja pemaparan masih tahap dasar. Sehingga perlu adanya penelitian secara khusus
15
16
Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur’an dimulai pada tahun 650-1250 M. Sedangkan periode Modern dimulai tahun 1800 M. Pada periode ini terdapat tiga periode. Pertama, masa kemajuan Islam I tahun 650-1000 M termasuk di dalamnya masa khulafa alRāsyidīn, Bani Umayyah, Bani Abbas. Disusul masa disintegrasi tahun 1000-1800 M. Kedua, masa kemunduran Islam I tahun 1250-1500 M., dan masa tiga kerajaan besar tahun 1500-1700 M. dalam tahap ini termasuk masa fase kemajuan Islam, disusul dengan kemunduran Islam II tahun 1700-1800 M. ketiga, periode modern tahun 1800 M.3
a. Periode Nabi saw. dan Sahabat (abad I H/VII M) Sebagaimana pendapat Hasani Ahmad Said, untuk melacak tradisi awal proses pewahyuan al-Qur’an terdiri dari susunan ayat dan surah. Selain itu, ayatayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dibutuhkan. 4 Metode penafsiran yang diberikan nabi berasal dari Allah atau melalui malaikat Jibril. Sedangkan Sahabat bersumber dari al-Qur’an, nabi, ijtihad dan cerita ahli kitab dari kaum Yahudi dan Nashrani.5 Sejarah mencatat, pengumpulan ayat-ayat atau penulisan al-Qur’an, pada masa Rasulullah dicatat oleh Khulafaur al-Rasyidīn, Mu’awiyah, Zayd bin Ṡabit,6 Khalid bin Walid, Ubai bin Ka‘ab, dan Ṡabit, bin Qays.7 Pada masa sahabat,
terhadap kajian ini, atau bisa lihat buku: Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an: Tinjauan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah. 3 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an: Tinjuan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lectura Press, 2014), h. 80. 4 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an: Tinjuan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah, h. 54. 5 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai, tt), h. 7-9. Salah satu periode mufasir ini Abdullah bin Abbas (w. 63 H). 6 Pada penghimpunan al-Qur’an, ternyata Zayd bin Ṡabit tidak memiliki dua ayat dalam catatan suarah al-Anfāl dan al-Barā’ah atau al-Taubah. Keterangan ini bisa dilihat dari hadis penghimpunan alQur’an pada masa Khalifah Abū Bakr al-Ṣiddīq yang diriwayatkan al-Bukhari. Kemudian dua ayat yang hilang telah dicatat oleh Ḥudhaifah. Lihat, Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an: Tinjuan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah, h. 78-80. 7 Rasulullah menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang diturunkan, sehingga al-Qur’an yang terhimpun di dalam dada menjadi kenyataan tertulis. Pada penulisan ini masih sangat sederhana, seperti
17
Abū Bakr dan ‘Umar ibn al-Khaṭṭab pembukuan al-Qur’an masih dalam tataran wacana. Barulah pada masa ‘Uṡmān bin ‘Affān al-Qur’an dibukukan atau dikenal dengan istilah Rasm al-Muṣḥaf atau al-Rasm al-‘Uṡmān hingga disebar luaskan ke daerah-daerah Islam.8 b. Periode Tābi’īn dan Tābi’īnat-Tābi’īn (abad II H./VIII M.) Periode tābi’īn dan tābi’īnat-tābi’īn kira-kira 100 H/732 H. sampai 181 H/812 M. yang ditandai wafatnya tābi’īn terakhir, Khalaf bin Khulaifat (w. 181 H.), sedangkan tābi’īnat-tābi’īn berakhir pada tahun 220 H,. sumber penafsiran tābi’īn dan tābi’īnat-tābi’īn; al-Qur’an, hadis nabi, tafsir dari para sahabat, cerita-cerita dari para ahli kitab (israiliat), dan ra’yu atau ijtihad.9 Pada periode ini pencetus pertama kali tentang kajian munāsabah Abū Bakr al-Naysabūrī (w. 324 H.), kemudian disusul oleh al-Zarkhasī (745-794 H.),10 al-Burhān al-Dīn al-Biqā‘ī (w. 885 H./1480 M.).11 c. Periode Mutaqaddimīn (abad III-VIII H./ IX-XIII M.) Periode ini, zaman para penulis tafsir al-Qur’an yang memisahkan tafsir dan hadis. Periode mutaqaddimīn ini mulai dari akhir zaman tābi’īnat-tābi’īn samapai akhir dinasti Abbasiyah tahun 150 H./ 782 M. sampai tahun 656 H./ 1258 M. atau abad II
di atas lontaran kayu, pelepah kurma, tulang dan batu. Lihat, Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an: Tinjuan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah, h. 6364. 8 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an: Tinjuan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah, h. 64-65. 9 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, h. 10. Periode mufasir ini Mujahid bin Jabr (w. 103 H), Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) 10 Nama lengkap Badr al-Dīn Muḥammad bin ‘Abdullāh al-Zarkhasī, salah satu karyanya seperti al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’an. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an: Tinjuan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah, h. 84 11 Nama lengkap al-Syaykh al-Imām al-‘Ālim al-‘ Āllāh al-Mufassir al-Dīn Abī al-Ḥasani Ibrāhīm bin ‘Umar bin Ḥasan al-Rubaṭ bin ‘Ali bin Abī Bakr al-Biqā‘ī. Salah satu karyanya Nazm alDurar fī Tanāsub al-Āyāt wa al-Suwar. Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an: Tinjuan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah, h. 87.
18
samapi abad VII H. Sumber penafsiran mutaqaddimīn; al-Qur’an, hadis nabi, riwayat sahabat, riwayat para tābi’īn dan tābi’īnat-tābi’īn, cerita ahli kitab dan ijtihad atau istinbat mufasir.12 d. Periode Mutaakhirīn (Abad IX-XII H./ XIII-XIX M.) Periode mutaakhirīn di sinilah zaman para ulama mufasir menuliskan tafsir terpisah dari hadis. Geerasi ni muncul sejak zaman kemunduran Islam tahun 656 H./ 1258 M. sampai gerakan kebangkitan Islam tahun 1286 H./ 1888 M. atau abad VII samapi XIII H. Sumber penafsiran mutaqaddimīn; al-Qur’an, hadis nabi, tafsiran sahabat dan tābi’īn dan tābi’īnat-tābi’īn, kaidah bahasa Arab dan segala cabangnya, kekuatan ijtihad atau istinbat mufasir, dan pendapat mufasir terdahulu.13 e. Periode Modern (abad XIV H./XIX M. sampai sekarang) Periode ini dimulai sejak gerakan modernisasi Islam di Mesir oleh Jamaluddin al-Afghani (1254 H./1838 M.-1314 H./1896 M.), di Indonesia pergerakan modernisasi di peloperi oleh H.O.S. Cokrominoto dengan serkat Inslam, K.H. A. Dahlan dengan Muhammadiyah, K.H. Hasyim Asy’ari dengan Nahdatul Ulama. Mufasir periode modern dalam menafsirkan ayat al-Qur’an menitik beratkan dari pembahasruan Islam, sehingga
mereka
mengaitkan
ayat-ayat
al-Qur’an
dengan
keadaan
sosial
kemasyarakatan pada zaman ini.14
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, h. 14. Periode mufasir ini Muhammad bin Jarir al-Thabari (w. 310 H.), al-Farra’ (w. 207 H.), al-Khatib al-Iskafi (w. 420 H.), Ibn Hati (w. 327 H.). 13 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, h. 17. Periode mufasir ini, Ibn Kaṡīr (w. 774 H.) al-Qurthubī (w. 671 H.), as-Suyutī (w. 911 H.), al-Baiḍawī (w. 692 H.), Fakhr alDīn al-Rāzī (w. 606 H.), al-Alusī (w. 1270 H.), 14 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur’an di Indonesia, h. 20. Mufasr periode Modern seperti, Jamaluddin al-Afghani (w. 1314 H), Muḥammad Abduh (w. 1323 H./ 1905 M), Rasyid Riḍā (w. 1354 H./1935 M.), Mustafa al-Maragī (w. 1945 M.), Ahmad Mustafa al-Maragī (w. 1952 M.), 12
19
2.
Definisi Intelektual Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian intelektual adalah, cerdas
berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.15 Sedangkan dalam buku Edwar W. Said, Peran Intelektual, kata intelektual yaitu individu yang dikaruniai berbakat untuk mempresentasikan, mengekspresikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi dan pendapat kepada publik.16 Muslim adalah orang yang beragama Islam.17 Jadi intelektual
Muslim Indonesia adalah seseorang Muslim
Indonesia yang memiliki kecerdasan yang dikaruniai bakat ilmu pengetahuan dibidangnya untuk mengekspresikan, mempresentasikan, mengartikulasikan pesan apa yang dia pelajari di akademisi pendidikan kepada publik. Istilah intelektual18 muncul pertama kali di Prancis dalam Manifeste des intellectuel, sebagai protes atas kasus yang menimpa Dreyfus. Alfred Dreyfus diadili tahun 1894 atas tuduhan menjual rahasia Militer kepada agen Jerman. Peristiwa Dreyfus membentuk dua kubu masyarakat Prancis antara yang mendukung dan
Mahmud Syaltut, Sayyid Quthub dan lain-lain. Di Indonesia seperti H. Abdul Malik Amrullah (Hamka 1981 M.), M. Quraish Shihab dan lain-lain. 15 Ebta Setiawan, “Intelektual: Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online” artikel diakses pada tanggal 31 Maret 2017, dari http://kbbi.web.id/intelektual. 16 Edwar W. Said, Peran Intelektual: Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993, Penerjemah Rin Hindriyani P., dkk. (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014), h. 9. 17 Ebta Setiawan, “Muslim: Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online” artikel diakses pada tanggal 31 Maret 2017, dari http://kbbi.web.id/muslim. 18 Intelektual juga sering disebut cendikiawan, karena memiliki arti orang cerdik dan pandai memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan atau memahami sesuatu. Lihat Rima Nurkomala, Jihad Intelektual Azyumardi Azra dalam Membina Kerukunan Umat Beragama, h. 25.
20
menolak. Keduanya saling melontarkan tuduhan dan menghasilkan julukan yang menolak Dreyfus.19 Gramsci mencoba memperlihatkan dua fungsi intelektual dalam masyarakat, pertama, intelektual tradisional semacam guru, ulama dan para administrator yang secara terus-menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Kedua, intelektual organik, yang dipandang Gramsci sebagai kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan serta untuk memperbesar keuntungan dan kontrol.20 Menurut August Comte ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masingmasing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya: 1) Tahap teologis; tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia. 2) Tahap metafisis; tahap manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukumhukum alam yang seragam.
19
Rima Nurkomala, Jihad Intelektual Azyumardi Azra dalam Membina Kerukunan Umat Beragama, h. 20. Lihat juga Musfi Yendra, “Mencari Intelektual Profetik” dari http://www.antarasumbar.com/berita/134240/mencari-intelektual-profetik.html 20 Edwar W. Said, Peran Intelektual: Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993, h. 2.
21
3) Tahap positif: tahap di mana manusia mulai berpikir secara ilmiah.21 Menjadi seorang intelektual sangat besar tanggung jawabnya, hal ini masyarakat membutuhkan uluran pemkiran dan tindakan dari pergolakan politik dan sosial yang tidak sehat. Oleh sebab itu, yang dimaksud Intelektual Muslim Indonesia menurut penulis adalah orang-orang yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat dan mempunyai hasil karya, di antaranya adalah; Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Abd. Moqsith Ghazali, Budhy Munawar Rachman, Zuhairi Misrawi, Jalaluddin Rakhmat, Rizieq Shihab, Amin Suma. B.
KERUKUNAN DAN KONFLIK UMAT BERAGAMA
1.
Definisi Kerukunan Umat Beragama Kata kerukunan terambil dari akar kata rukun yang berarti baik, damai, tidak
bertengkar, dan bersatu hati serta bersepakat. Adapun kerukunan berarti kehidupan dan rasa yang terjalin dengan damai, baik, dan bersatu.22 Kata agama biasa juga disebut dengan din yang berasal dari bahasa Arab atau disebut juga religi yang berasal dari bahasa Eropa. Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta yang menunjukkan pada sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan Budhisme di India.23
21
Artikel ini diakses pada tanggal 31 Maret 2017 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Cendekiawan Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. Ke-1, h. 757. 23 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis alQur’an, (Depok: KataKita, 2009), h. 41. 22
22
Agama tersusun dari dua kata, yaitu a (tidak) dan gam (pergi). Jadi, agama adalah tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun menurun. Ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama teks atau kitab suci. Adapun kata din dalam bahasa semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti mengauasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Agama memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum, yang harus di patuhi orang. Agama selanjutnya memang menguasai diri seseorang dan membuat dia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Adapun kata religi yang berasal dari bahasa latin, berasal dari kata relege yang artinya mengumpulkan, membaca. Agama memang berisikan kumpulan pengajaran yang harus dibaca oleh penganutnya. Intisari yang terkandung dalam istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.24 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kerukunan umat beragama adalah kehidupan dan rasa dengan damai, baik, tidak bertengkar, dan bersatu hati yang terjalin antarumat beragama. 2.
Sejarah Konflik Umat Beragama di Indonesia Agama sering kali menjadi pemahaman pemicu konflik di Indonesia dalam
dasawarsa terakhir. Berbagi kerusuhan terjadi di daerah, antara lain di Tasikmalaya, Situbondo, Kupang, Sambas, Poso dan juga Maluku. Padahal Indonesia dikenal
24
5, h. 9-10.
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspek, jil. 1, (Jakarta: UI Press: 1985), cet. Ke-
23
sebagai yang plural, beradab dan memiliki semangat toleransi antara satu dengan yang lainnya dengan semangat kerukunan.25 Adapun konflik-konflik yang terjadi dengan latar belakang nuansa agama, seperti kerusuhan sosial yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah dan maluku pada tahun 2000.26 Di Ambon (1999), Maluku (1999-2001),27 Papua (1965-2000), Ciketeng Bekasi (2010), Cikeusik Banten (2011).28 Berikut ini ada beberapa konflik dan kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia karena alasan agama. (1)
Pengeboman di Bali dan Hotel JW. Marriot di Kuningan adalah fakta, yang tidak bisa dipungkiri, bahwa agama menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya hal tersebut.29
(2)
Konflik Ambon dan Poso merupakan peristiwa konflik massif yang menelan korban jiwa dan hancurnya tatanan sosial dan kemanusiaan. Kerugian besar baik materil maupun imateril akibat konflik Ambon dan Poso telah mengoyak harkat kemanusiaan yang beradab.30 Dampak yang terjadi dari konflik berskala massif, hilangnya kapasitas sumberaya kesehtan fisik dan mental, pengetahuan dan
Arifuddin Ismail, “Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama: Penomena keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat,” Analisa V, XVII, No. 02, (Juli-Desember 2010): h. 176. 26 Depag, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama (Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama, 1982), h. 3. 27 Moh. Yamin Rumra, dkk., “Kerukunan Kehidupan Beragama di Provinsi Maluku” dalam Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009), h. 1. 28 Rima Nurkomala, Jihad Inteletual Azyumardi Azra dalam Membina Kerukunan Umat Beragama (Bandung: Royyan Press, 2013), h. 1. 29 Tati Castiah, “Farid Esack dan Paham Pluralisme Agama,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 1. 30 Ma’ruf Amin, Harmoni dalam Keberagaman Dinamika Relasi Agama-Negara (Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama, 2011), h. 95. 25
24
keterampilan masyarakat di luar dan kehidupan lokal. Selain itu menimbulkan ganguan lingkungan sosial yang berupa gangguan hubungan sosial keluarga (umat), disintegrasi sosial, segregasi dan disorientasi solidartas. Konflik massif juga berakibat hancurnya kondisi fisik dan tata ruang wilayah dalam skala luas.31 (3)
Konflik yang telah terjadi di Poso, Sulawesi Tengah (Kristen-Muslim, 19982001)32, diawali dari masalah sosial politik lokal dan konflik anak muda, kemudian menjadi konflik agama berkepanjangan. menurut data informasi 32,04% sebagian besar terajadinya keretakan hubungan antar waraga masyarakat disebabkan penghinaan atas keyakinan warga penganut agama tertentu. 24,28% sikap yang dapat menyinggung orang lain, dan 16,50% penghinaan atas suku tertentu.33
(4)
Kekerasan umat beragama terjadi di Madura 2011 yakni antara warga Syiah dan Sunni dengan turut pula membakar rumah dan pesantren.34
31
Amin, Harmoni dalam Keberagaman, h. 96. Kronologi kejadian pada malam Natal dan bertepatan bulan puasa bagi Muslim. Seorang remaja dari kampung Kristen Lombogia menusuk seorang muslim dari kampung Muslim Kayamanya di kota Poso. Minuman keras dikatakan penyebabnya. Lihat Gerry Van Klinker, Pelaku Baru, identitas baru kekerasan antar suku pada masa pasca Soeharto di Indonesia dalam Dewi Fortuna Anwar, dkk. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 94. 33 Endang Kironosasi dkk., Deskripsi Wilayah Poso dalam Rusmin Tumangggor dkk, Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air: Studi Penelusuran Idea di Kawasan Komunitas Krisis Integritas Bangsa dalam Merambah Kebijakan (Jakarta: Lemlit dan LPM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 152. 34 Rahmini Hadi, “Pola Kerukunan Umat beragama di Banyumas,”, h. 67. 32
25
C.
Isu-isu Terkait Hubungan Antarumat Beragama Dalam perspektif negatif, konflik antarumat beragama dan antaragama di
Indonesia sepertinya masih terus saja menjadi ancaman. Rasanya, kehidupan harmoni menjadi arah kehidupan masih sulit tercipta. Pengertian konflik keagamaan merupakan perseteruan menyangkut nilai, kiaim dan identitas yang melibatkan isu-isu keagamaan atau isu-isu yang dibingkai dalam slogan atau ungkapan keagamaan. Pertentangan atau perselisihan sendiri bisa mengambil bentuk perselisihan atau pertentangan ide maupun fisik.35 Beberapa isu yang terkait dengan konflik di Indonesia. 1.
Pelarangan Pendiran Rumah Ibadah dan Penghancuran atau Perusakan Rumah Ibadah. Rumah ibadah adalah tempat dimana seseorang atau umat beragama memperoleh
nuansa kehidupan yang rukun dan damai. Karena rumah ibadah adalah wilayah kehidupan setiap orang untuk melepaskan diri dari tekanan kehidupan duniawi dan mendekatkan diri kepada Tuhan.36 Permasalahan akibat pendirian rumah ibadah menjadi gejala atau fenomena global yang mengusik kerukunan antarumat beragama, menganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat. Beberapa kasus yang terjadi terjadi perselisihan pendirian
Siti Aisyah BM, “Konflik Sosial dalam Hubungan antarumat Beragama”, Jurnal Dakwah Tablig 15, no. 2 (Desember 2014): h. 192. 36 Haidlor Ali Ahmad, ed., Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), h. xi. 35
26
rumah ibadah di Tangerang Selatan: Gereja Bathel Indonesia Kunir,37 Gereja Pankosta di Indonesia Jemaat Efatta,38 Vihara Siripada.39 Di Jayapura provinsi Papua, pendirian Masjid al-Muhajirin Komplek Brimob Abepura.40 Dengan penganut agama yang beragam—Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu.41 Selain rumah ibdah non-Muslim, ada juga tempat rumah Ibadah Islam yaitu Masjid Baitul Arif di Jatinegara,42 Masjid At Thoyyibah di Medan,43 di hancurkan karena alasan pembangunan Rumah Susun di Jatinegara Barat oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok) sebagai Wakil Gubernur DKI.
Ahok sendiri tidak adanya
musyawarah terhadap elemen keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), tindakan tersebut mendapat kecaman protes dari MUI ataupun Mahasiswa kampus az-
37
Berlokasi di Jl. Kunir No. 85, Kelurahan Pondok Cabe Udik, Kecematan Pamulang-Banten. Mayoritas Muslim menolak rencana pembangunan GBI di tempat tersebut, karena MUI kecamatan Pamulang juga telah mensurvei di lokasi tersebut ketidak sesuain kondisi di lapangan. Penulis tidak menemukan ketidak sesuain yang dikatakan MUI. Lihat Haidlor Ali Ahmad, ed., Hubungan Umat Beragama, h. 23-24. 38 Berlokasi di Jl. Puri Raya Blok D No. 1-2, Kelurahan Pamulang Barat, Kecematan PamulangBanten. Alasan keberatan rumah tempat tinggal dijadikan kegiatan rutin peribadatan, mengganggu ketertiban umum, parkiran menggangu lalu lintas umum. Jika dibiarkan maka akan menyebabkan konflik yang bernuasa SARA. Haidlor Ali Ahmad, ed., Hubungan Umat Beragama, h. 32. 39 Berlokasi Jl. Raya Serpong Blok B/10 No. 54, Perumahan Villa Melati Mas, Serpong UtaraBanten. 40 Berlokasi Jl. Raya Abepura No. 1 komplek Mako Brimob Kotaraja-Jayapura, pembangunan Masjid al-Muhajirin sudah kurang lebih 40% pembangunan selama tiga bulan. Namun terjadi protes dari anggota Satuan Brimob yang beragama Kristen dengan melakukan demonstasi ke kantor Polda Papua agar membangunan masjid tersebut dihentikan. Karena belum adanya izin tertulis dari Kapolda Papua tentang pemanfaatan lahan untuk pembangunan. Lahan pembangunan tersebut ternyata sudah direncanakan perluasan kantor satuan Brimob. Lihat, Haidlor Ali Ahmad, ed., Hubungan Umat Beragama, h. 331-334. 41 Haidlor Ali Ahmad, ed., Hubungan Umat Beragama, h. 10. Tempat peribadatan tersebut ingin dijadikan pembangunan hotel Feducia dengan harga rendah, sehingga terjadilah perselisihan jamaah tersebut. Haidlor Ali Ahmad, ed., Hubungan Umat Beragama, h. 39. 42 Desastian, “MUI Ingatkan Ahok Jangan Arogan, Bongkar Masjid tanpa Musyawarah.” Di akses pada 10-12-2016 dari http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/09/27/26989/muiingatkan-ahok-jangan-arogan-bongkar-masjid-tanpa-musyawarah/ 43 Sudirman Timsar Zubil, “Fenomena Penghancuran Masjid di Kota Medan” artikel diakses 1112-2016 dari http://www.voa-islam.com/lintasberita/suaraislam/2011/12/05/16913/fenomenapenghancuran-masjid-di-kota-medan/#sthash.tndX1Col.dpbs
27
Zahra. Sedangkan Kasus penghancuran Masjid al-Thoyyibah merupakan pertunjukan keangkuhan pihak pengembang yang, dengan kekuatan lobi dan uangnya telah berhasil mendapatkan rekomendasi (fatwa) MUI Kota Medan. Dari kasus di atas, bahwa pemerintah ataupun lembaga keagamaan tidak bisa melindungi tempat rumah ibadah, hanya mementingkan kepentingan proyek dengan dana yang besar ataupun sentimen atas keagamaan minoritas.. Padahal al-Qur’an telah jelas melarang penghancuran atau perusakan terhadap tempat-tempat rumah ibadah yang di dalamnya terdapat nama Allah QS. al-Hajj/22: 40. 2.
Ucapan Selamat Natal Dalam perayaan natal menetapkan 25 Desember sebagai hari keagamaan
Kristen maupun Katholik, maka hari tersebut ditetapkan sebagai hari libur resmi. Esensi dari umat Kristen adalah merayakan anugerah terbesar yang Allah sediakan, dengan datangnya “juru selamat” sang raja damai ke dalam dunia. Sejarah selalu membuahkan polemik pro dan kontra terhadap perayaan hari tersebut di kalangan umat Islam.44 Qosim Nursheha Dzulhadi mengutip pendapat Ibn Qayyīm Jauziyah di dalam bukunya Syabus Syurūth al-Umariyah, mengutip sebuah hadis nabi, “...Janganlah kalian memasuki rumah-rumah ibadah kaum yang dilaknat Allah kecuali dengan
Rachmat, “Sejarah Budaya Natal” artikel ini di akses pada 09 Mei 2016 dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_budaya_Natal. 44
28
menangis. Jika kalian tidak menangis, maka jangan memasukinya, karena kamu akan tertimpa azab seperti yang di tereima mereka...”45 Lebih lanjut Ibn Qayyīm mengatakan, memberi ucapan selamat atas hari-hari besar non-Muslim berarti meridhai kekufuran. Seperti mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani berarti mengakui atau sujud atas salibnya.46 Menurut Ibn Taimiyyah, mengucapkan selamat natal ataupun ikut serta merayakan hari kristiani, kesemuanya itu masuk dalam kekufuran. Karena hari raya mempunyai keistimewaan, yaitu bagian penting dari ciri utama satu umat sekaligus merupakan salah satu panji-panji (syi’ar)-nya.47 MUI dalam hal ini secara tegas memfatwakan48 keharaman mengikuti perayaan natal, namun tidak menyinggung secara tegas mengenai hukum mengucapkan natal. Bagi umat Islam yang tidak bersentuhan secara sosial dengan non-Muslim tak perlu mengucapkan selamat natal, namun bagi Muslim yang aktif berinteraksi dengan mereka sangat baik untuk menyampiakan selamat natal dengan keharusan bersikap hati-hati dalam niatnya.49
45
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia; Studi Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h.120-121. 46 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Al-Qur’an dan Kebinekaan: Tafsir al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011), h.88. 47 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Al-Qur’an dan Kebinekaan: Tafsir al-Qur’an Tematik, h.87. 48 Fatwa MUI yang ditetapkan di Jakarta pada tahun 7 Maret 1981 yang berisi sebagai berikut: Pertama, Perayaan di Indonesia meskipun tujuannya meraykan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas. Kedua, mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Ketiga, agar umat Islam tidak terjerumus keapada syubhat dan larangan Allah swt. dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. Ma’ruf Amin dkk, ed., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975 (Jakarta: Erlangga, 2011), h.314. 49 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Al-Qur’an dan Kebinekaan: Tafsir al-Qur’an Tematik, h.90.
29
Pendapat yang berbeda, berdasarkan pendapat Abd. Moqsith, jika merayakan natal bagi umat Islam diperbolehkan, maka apalagi sekedar mengucapkan selamat natal kepada uamat Kristen. Mengucapkan natal tidak hanya diberikan kepada umat Kristiani, melainkan juga kepada orang-orang yang mengimani kenabian Isa al-Masiḥ, termasuk umat Islam.50 3.
Kebebasan Beragama dalam Islam dan Praktiknya di Negara Indonesia Kebebasan beragama masih menjadi persoalan besar ketika seseorang pindah
agama atas keyakinan yang dianutnya. Padahal al-Qur’an telah menjamin kebebasan berkeyakinan atas pilihan seseorang QS. al-Baqarah/2: 256. Jaminan kebebasan beragama juga telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28E ayat 1 dan 2, Pasal 29 ayat 2,51 dan perumusan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1940 pasal 18.52 Pada perumusan DUHAM PBB pasal di atas terdapat kalimat “kebebasan menganti agama atau keyakinan” sehingga memancing reaksi yang sangat keras dari Abd. Moqsith, Perspektif al-Qur’an tentang Prluralitas Agama Umat beragama, h. 221. UUD 1945 Pasal 28E ayat 1 berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama, dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkan serta berhak kembali.” Ayat ke 2, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Pasal 29 ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.” Lihat Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 229. 52 “Semua orang mempunyai hak atas kebebasan berpikir, berpendapat dan beragama; hak ini mengandung kebebasan mengganti agama atau keyakinan begitu juga menjalankan agama atau keyakinannya, sendiri atau bersama, baik di tempat umum maupun di rumah sendiri, baik ajaran, praktik, pemujaan dan pelaksanaan ibadah. Lihat, Ayang Utriza Yakin, Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer: Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, non-Muslim, Poligami, dan Jihad (Jakarta: Kencana, 2016), h. 106. 50 51
30
negara-negara Islam. Seperti Mesir, Irak, Iran, Saudi Arabia, dan Syiria, agar amandemen itu diganti. Menurut mereka, dalam Islam tidak diperbolehkan pindah agama (murtad). Bahkan sanksi bagi mereka yang mengganti agama diancam hukuman mati.53 Sejumlah ayat al-Qur’an atau hadis Nabi dihadirkan untuk menunjukkan bahwa tindakan keluar dari Islam (murtad) tidak dihendaki Allah dan rasul-Nya, bahkan pelakunya layak dihukum bunuh atau hukum mati. Hadis yang sering dirujuk : (siapa saja yang pindah agama, maka bunuhlah).54 Pada hadis tersebut menurut Ibrahim Moosa55, Abd. Moqsith56, Ayang Utriza Yakin57, mereka sepakat bahwa hadis tersebut diragukan kesahihanya karena dikenal dengan hadis āhād (hadis yang diriwayatkan oleh satu orang), hadis āhād tidak bisa dijadikan landasan hukum. Hal ini menunjukan, seseorang masuk Islam seakan ia masuk ke dalam perangkap sehingga tidak bisa keluar lagi. Pemerangkapan seperti ini bertentangan dengan ajaran al-Qur’an. Allah tidak pernah menyuruh membunuh orang Muslim yang pindah agama.58 Dalam al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan hukuman mengganti agama (murtad) dengan hukuman mati.59 Sebagaimana pemikir Islam
53 54
Ayang Utriza Yakin, Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer, h. 106. Abd. Moqsith, “Tafsir atas Hukum Murtad dalam Islam,” Ahkam XIII, no. 2 (Juli 2013): h.
283. 55 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. xxiv. 56 Abd. Moqsith, Perspektif al-Qur’an tentang Prluralitas Agama Umat beragama (Desertasi UIN Jakarta), h.185. 57 Ayang Utriza Yakin, Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer, h. 110. 58 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 231. 59 Ayang Utriza Yakin, Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer, h. 107.
31
progresif berpendapat bahwa seseorang bebas untuk memeluk suatu agama, maka seharusnya bebas juga untuk keluar dari suatu agama.60 4.
Kepemimpinan non-Muslim Baru-baru ini sedang hangat diperbincangkan prihal Gubernur DKI Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap telah menistakan agama pada QS. alMaidah/5: 51, dengan pernyataan, ayat tersebut “dipake untuk membodohi umat Islam” pada saat berdialog di kepulaun seribu. Pernyataan tersebut sudah tersebar dan terdengar luas ke seleruh Indonesia dikalangan umat Muslim di Indonesia maupun di luar Indonesia. Dengan demikian maka hal ini dianggap sebagai penyimpangan yang berbeda keyakinan oleh Ahok yang menghina atau menistakan agama QS. al-Maidah/5: 51. Maka pergerakan telah menyebar luas ke barbagai Media, baik elektronik, cetak dan media sosial pada pergerakan aksi 4 november 2016.61 Aksi tersebut dengan tema “AKSI BELA ISLAM II: Ayo penjarakan Ahok !!! Karena Menistakan Agama, Menodai al-Qur’an, Melecehkan al-Qur’an, Menghina Umat Islam; Ini Bukan Aksi SARA dan Politik Pilkada tapi ini Aksi Penegak Hukum” yang diusung atau dipelopori oleh Habib Muhammad Rizieq Syihab.62
Abd. Moqsith, “Tafsir atas Hukum Murtad dalam Islam,” h. 284. Fathorrahman Ghufron, “4 November dan Politik Massa Berbasis Fatwa,” artikel diakses pada 4 November 2016 dari http://geotimes.co.id/4-november-dan-politik-massa-berbasis-fatwa/ 62 Muhammad Rizieq Syihab, “Aksi Bela Islam,” artikel diakses pada 4 November 2016 dari 60 61
32
Merujuk pada ayat tersebut, banyak pandangan yang konservasif terhadap penistaan agama. Sebagaimana pendapat al-Jaṣṣāṣ, Ibnu Arabi mengatakan, seorang Mu’min tidak boleh mengambil orang kafir sebagai pemimpin sekutunya untuk melawan musuh, menyerahkannya suatu amanat, dan atau menjadikannya sebagai teman kepercayaan.63 Senada dengan pendapat di atas, pandangan FPI (Front Pembela Islam) larangan menjadikan orang kafir atau non-Muslim pemimpin atas penafsiran amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini dilakukan agar tidak melanggar SARA, dan demi menjaga stabilitas keamanan dan ketentraman masyarakat. Ayat ini juga menganjurkan kepada umat Islam, bahwa masyarakat agar tidak memilih pemimpin non-Muslim, dan menganjurkan untuk memilih pemimpin yang seagama.64 Pendapat yang beda katakan oleh Abdurrahman Wahid65 dan Said Aqil Siraj: “Pemimpin yang adil non-Muslim jauh lebih baik dari pemimpin muslim yang zalim. Karena jika dipimpin Muslim zalim di dunia maka akan hancur, walaupun di akhirat mendapat pahala karena imannya. tapi pemimpin non-Muslim yang adil akan dapat melanggengakan memperkuat pemerintahnya, walaupun di akhirat dia tidak dapat pahala, karena dia tidak mukmin.”66
Abu Tholib Khalik, “Pemimpin non-Muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah,” ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman 14, no. 1 (Juni 2014): h. 64. 64 M. Suryadinata, “Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur’ān Analisis terhadap Penafsiran FPI Mengenai Ayat Pemimpin Non-Muslim,” Jurnal Ilmu Ushuluddin 2, no. 3 (Januari-Juni 2015): h. 247. 65 Hal yang sama dikatakan Abdurrahman Wahid, seorang non-Muslim boleh menjadi pemimpin, apakah presiden, atau pemimpin dipemerintahan. Karena UUD 45 tidak melarang seorang non-Muslim menjadi pemimpin. lihat: Ibnu Syarif, Presiden non-Muslim di Negara Muslim: Tinjauan dari Perspektif politik Islam dan Relafansinya dalam Konteks Indonesia (Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. ix. 66 Nabil Haroen, “Adil Muslim dan non-Muslim” di akses melalui video youtube 14-12-2016 dari https://www.youtube.com/watch?v=wx1U4lPovX4. 63
BAB III PANDANGAN INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA ATAS AYAT-AYAT HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA
Bab ini menjelaskan bagaimana pemahaman kaum Intelektual Muslim Indonesia atas ayat-ayat hubungan antarumat beragama, baik dari individu maupun kelompok orang. Namun sebelelum penulis jelaskan, terlebih dahulu mengklasifikasi ayat tentang hubungan antarumat beragama. A.
Klasifikasi Ayat Hubungan Antarumat Beragama Agama telah membuat tafsir tematik tentang hubungan antaragama dalam al-
Qur’an dan ayatnya terbagi atas beberapa bagian bab. Pada sub-bab ini penulis akan mengklasifikasikan ayat hubungan antarumat beragama dalam al-Qur’an. Penulis mengambil dari banyak ayat hubungan antarumat beragama yang penulis kutip pada buku Tafsir al-Qur’an Tematik Hubungan Antar-Umat Beragama yang ditulis Departemen Agama RI, Badan Litbang dan Diklat Lajnah Pentashihan Mushaf alQur’an. Melihat dari daftar isi, ada sembilan bab besar, penulis juga menulusuri ayat al-Qur’an secara manual di buku tersebut. Pertama, manusia dan agama, yang terdiri dari sub-bab: Jati diri manusia sebagai khalifah1. Fitrah keberagamaan (kebertuhanan)2. Fungsi agama bagi kehidupan manusia.3 Kedua, toleransi Islam terhadap pemeluk
1
QS. al-Ahzab/33: 72; al-Baqarah/2: 29. QS. al-A’raf/7: 172; ar-Rum/30: 30; Yunus/10: 90; asy Syura/42: 13 3 QS. al-Baqarah/2: 151; al-Maidah/5: 16; al-an’am/6: 48; al-Hujarat/49: 10; al-Hasyr/59: 9; ali Imran/3: 104; al-Zari’at/51: 19; al-Ma’un/107: 1-3. 2
33
34
agama, terdiri dari sub-bab: Prinsip kebebasan beragama4. Penghormatan Islam terhadap agama-agama lain5. Membangun persatuan melalui persaudaraan6. Ketiga, hak dan kewajiban beragama dalam kehidupan masyarakat, terdiri dari sub-bab; Hak untuk hidup dengan damai dan aman.7 Hak untuk diperlakukan dengan baik8. Hak untuk mendirikan rumah ibadah dan beribadah seseuai dengan keyakinan.9 Hak persamaan dan keadilan. Empat, konsep damai, jihad dan perang dalam al-Qur’an; pesan damai dalam al-Qur’an. Perdamaian diantra dua pihak yang berselisih tentang pelaksanaan wasiat. Perdamain diantara internal kaum Muslim yang terlibat konflik. Perdamaian di antara umat manusia secara universal. Makna jihad di dalam al-Qur’an. Dua cara berjihad pada jalan Allah dengan harta dan jiwa. Perang menurut al-Qur’an. Lima, Islam, terorisme dan kekerasan; pengertian kekerasan dan terorisme. Sikap Islam terhadap kekerasan dan terorisme. Jihad bukan kekerasan dan terorisme. Kekerasan dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Islam agama moderat dan toleran. Enam, pernikahan beda agama; konteks turun dan penjelasan ayat. Nikah beda agama dalam hubungan antaragama di Indonesia. Tujuh, konsep Jizyah bagi non-Muslim dalam alQur’an; defenisi jizyah. Syarat pemungutan jizyah. Delapan, dialog antarumat beragama; pentingnya dialog antarumat beragama. Hambatan dialog antarumat
4
QS. al-Baqarah/2: 256; Yunus/10: 99-100; al-kahfi/19: 6; al-Fatir/35: 8, 29. QS. al-Hajj/22: 40; al-an’am/6: 108; Mumtahanah/60: 8-9; al-Maidah/5: 5; al-Hujarat/49: 13; ar-Rum/30: 22; ali Imran/3: 64; at-Taubah/9: 29; al-kafirun/109: 1-6; saba/34: 25-26. 6 QS. al-Hujarat/49: 10; al-anfal/8: 72, 73, 74, 189; at-taubah/9: 24; Ali Imran/3: 103; alMaidah/5: 2; al-Hujarat/49: 9, 13; an-Nisa/4: 1; al-Zumar/39: 6; al-Fatir/35: 11; al-Gafir/40: 67; alMu’minun/23: 12,13,14. 7 QS. al-Hujarat/49: 13, al-Maidah/5: 2, 32; al-Hajj/22: 40; al-Baqarag/2: 251; al-An’am/6: 151. 8 QS. al-Hujarat/49: 11, 12; al-Qasas/28: 77; al-An’am/6: 108; al-Isra/17: 23, 28; Taha/20: 44; alBaqarah/2: 43; al-Ma’arij/70: 24-25; al-Hasyr/59: 9. 9 QS. al-Hud/11: 118, 119; al-Baqarah/2: 256; al-Maidah/5: 48. 5
35
beragama. Tujuan dialog antarumat beragama. Sembilan, peranan negara dalam kerukunan hidup umat beragama; kerukunan hidup intern umat bergama. Kerukunan umat beragama. Toleransi beragama. Kerukunan pemerintah dengan umat beragama. Dari daftar isi tersebut, penulis hanya mengambil toleransi Islam terhadap pemeluk agama yang berkaitan dengan penelitain penulis. 1.
Kelompok-kelompok Ayat Keagamaan dalam al-Qur’an Yang dimaksud penulis, kelompok keagaman dalam al-Qur’an, yaitu Yahudi,
dan Nasrani, atau bisa disebut Ahli Kitab. Sedangkan Shabi’in dan Majusi disebut nonAhli Kitab. Ahli kitab terdapat dua kata, ahl jamaknya ahlun, dan ahal (
) artinya
famili, keluarga, kerabat, pemeluk, penganut dan pengikut. Sedangkan kitab, berarti buku, kitab risalah, surat, kertas tulis (shahifah), halaman kertas, takdir, keputusan, dan kewajiban atau keharusan. Jadi Ahli Kitab ialah para pemeluk atau penganut kitab suci.10 Berdasarkan hasil penelusuran Amin Suma, kata Ahli Kitab disebutkan dalam alQur’an sebanyak 31 ayat dari 9 surat.11 Dalam al-Qur’an, kata ahli kitab yang termasuk surat Makkiyah hanya satu yaitu, al-Ankabut/29: 46, selebihnya surat Madaniyah.12
Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama menurut al-Qur’an: Telaah Aqidah dan Syari’ah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 48. 11 Kata Ahli Kitab terdapat pada Surat al-Baqarah/2: 105, 109; ali Imran/3: 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, 99, 110, 113, 199; annisa/4: 123, 153, 159, 171; al-Maidah/5: 15, 19, 59, 65, 68, 77; alAnkabut/29: 46; al-Ahzab/33: 26; al-Hadid/57: 29; al-Hasyr/59: 2, 11; al-Bayyinah/98: 1, 6. 12 Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama menurut al-Qur’an, h. 60. 10
36
Dalam al-Qur’an, kaya kata Yahūdi ( Yuhadiyan (
) disebutkan satu kali14, hādū (
) disebutkan sebanyak delapan13 kali, ) sepuluh15 kali disebutkan, dan kata
hūdan ( ) tiga kali16 disebutkan.17 Berbeda dalam penyebutan Yahudi dan Nasrhani banyak diulang dalam alQur’an, kata Shabi’in18 dan Majusi19 hanya tiga kali disebutkan dalam al-Qur’an.20 Sedangkan kata Nasharaniyah disebutkan satu kali21 dalam al-Qur’an, al-Nashara sembilan kali22 disebutkan, dan kata nashara lima kali23 disebutkan.24 Kata Yahudi, Nashrani dan Shabi’in penulis fokus pada ayat QS. al-Baqarah/2: 62. 2.
Penghormatan Islam Terhadap Pemeluk Agama Ayat-ayat yang berkaitan penghormatan Islam terhadap pemeluk agama-agama
di antaranya: penghormatan terhadap rumah ibadah,25 larangan penghinaan atau mencela simbol keagamaan,26 dorongan kaum Muslim untuk bekerjasama dengan agama lain,27 anjuran kaum Muslim memakan sembelihan ahli kitab dan menikah
13
QS. al-Baqarah/2: 113; al-Maidah/5: 18, 51, 64, 82; al-Taubah/9: 30. QS. Ali Imran/3: 67. 15 QS. Al-Baqarah/2:62; al- Nisa/4: 46, 160; al-Maidah/5: 41, 44, 69; al-Jum’ah/62: 6. 16 QS. Al Baqarah/2: 111, 135, 140; al-A’raf/7: 65 17 Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama menurut al-Qur’an, h. 62. 18 QS. al-Baqarah/2: 62; al-Maidah/5: 69. 19 QS. al-Hajj/22: 17. 20 Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama menurut al-Qur’an, h. 63. 21 QS. Ali Imran/3: 67. 22 QS. al-Baqarah/2: 62, 113, 120; al-Maidah/5: 18, 51, 69; al-Taubah/9: 30; al-Hajj/22: 17. 23 QS. al-Baqarah/2: 111, 135, 140; al-Maidah/5: 14, 82. 24 Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama menurut al-Qur’an, h. 63. 25 QS. al-Ḥajj/22: 40. 26 QS. al-‘An’ām6: 108. 27 QS. al-Mumtaḥanah/60: 8-9. 14
37
perempuan ahli kitab,28 saling mengenal lawan jenis, suku dan bangsa,29 perbedaan bahasa dan warna kulit,30 anjuran agar umat Islam mengajak kepada komunitas yang lain (Yahudi dan Nashrani),31 Penghormatan Islam terhadap agama lain dengan disyari’atkanya jizyah,32 sikap saling menghormati antar pemeluk agama tanpa mencampurkan akidah,33 pihak yang memaksa keyakinan kepada umat Islam dan jawaban yang diberikan.34 Dari sub-sub tersebut maka penulis fokus pada sub larangan penghinaan atau mencela simbol keagamaan pada QS. al-‘An’ām6: 108. 3.
Hak dan Kewajiban Beragama dalam Kehidupan Masyarakat Berbicara tentang hak dan kewajiban beragama, sebenarnya isi tersebut
mengenai pembicaraan hak asasi manusia. Namun pada tema tersebut penulis mengambil ayat al-Qur’an yang berbicara tentang pembahasan penulis. Sebelum memasukan ayat tersebut penulis mengambil sub-bab dari judul tersebut diantaranya; Hak untuk hidup dengan damai dan aman.35 Hak untuk diperlakukan dengan baik.36
QS. al-Māidah/5: 5. QS. al-Ḥujārat/49: 13. 30 QS. al-Rūm/30: 22. 31 QS. Āli ‘Imrān/3: 64. 32 QS. al-Taubah/9: 29. 33 QS. al-Kāfirūn/109: 1-6. 34 QS. Saba’/34: 25-26. 35 QS. al-Hujarat/49: 13; al-Maidah/5: 2, 32; al-Hajj/22: 40; al-Baqarah/2: 251; al-An’am/6: 251. 36 QS. al-Hujarat/49: 11-12; al-Qasas/28: 77; al-An’am/6: 108; al-Isra/17: 23, 28; Taha/20: 44; al-Baqarah/2: 43; al-Ma’arij/70: 24-25; al-Hasyr/59: 9. 28 29
38
Hak untuk mendirikan rumah ibadah dan beribadah sesuai keyakinan.37 Hak Persamaan dan keadilan.38 Dari sub-bab penghormatan Islam terhadap pemeluk agama dan Hak dan kewajiban dalam kehidupan masyarakat, maka penulis mengambil mengklasifikasikan ayat yang berkaitan yang akan dibahas. QS. al-Baqarah/2: 256, al-An’am/6: 108. Sedangkan QS. al-Baqarah/2: 62, hasil penelusuran penulis di buku-buku atau jurnal yang berkaitan dengan pembahasan pluralisme atau toleransi beragama. Pembahasan tersebut akan dijelaskan di sub berikutnya yang terdapat pada tokoh pembatasan masalah, selebihnya karya yang ada ditabel hanya pada penelitian terdahulu. Berikut ini pengumpulan data dari tiga ayat di atas berbagai karya ilmiah yang penulis telusuri. Tabel 3.1: Kajian Terdahulu Terkait Ayat Pembahasan Penulis No. Judul Buku, Artikel Jurnal 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7.
Ayat terkait pembahasan penulis Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: QS. 2: 256, 62, QS. 6: 108 Membangun Toleransi Berbasis al-Qur'an Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an QS. 2: 62 Menyikapi Perbedaan M. Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut Al-Qur'an: QS. 2: 256, 62, QS. 5: 69; QS. Telaah Aqidah dan Syari'ah 22: 17 Desertasi Adib, Wacana Pluralisme Agama dalam Tafsir QS. 2: 62, 256; QS. 6: 108 al-Qur’an: Telaah Komperatif Tafsīr al-Manār da Tafsīr Fī Zhīlāl al-Qur’ān. Tesis Jauhar Azizy, Pluralisme Agama dalam al-Qur’an: QS. 2: 62, 256, QS. 6: 108 Telaah terhadap Tafsir Departemen Agama. Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir atas Kritik al- QS. 2: 62 Qur’an terhadap Agama Lain Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, QS. 2: 62, 256 Pluralisme dan Multikulturalisme
37 38
QS. al-Hud/11: 118-119;nal-Baqarah/2: 256; al-Maidah/5: 48. QS. al-Maidah/5: 8; an-Nisa/4: 29, 48, 135; al-Baqarah/2: 279.
39
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
17.
Depag RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan antarumat Beragama M. Ali Nurdin, “Hubungan Antarumat Beragama dalam Pandangan al-Qur’an Budhy Munawar Rahman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid Qosim Nurseha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia Ikhwan Matondang, “Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia,” Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi Ma’ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975
QS. 2: 256; QS. 6: 108 QS. 2: 256; QS. 6: 108 QS. 5: 69 QS. 2: 62; QS. 5: 69; QS. 22: 17 QS. 6: 108 QS. 6: 108 QS. 2: 256 QS. 2: 256
Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: QS. 2: 256 Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk QS. 2: 62 Plulalisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya
Pada sub-bab berikutnya penulis akan menjelaskan pandangan intelektual Muslim Indonesia terkait ayat-ayat dengan pembahasan yang diteliti. Bagaimana pandangan intelektual Muslim Indonesia terkait ayat-ayat yang diteliti? B.
Pemahaman Atas Ayat al-Baqarah/2: 62 Hasil dari penelusuran penulis, ada statmen atau pernyataan yang mengatakan
bahwa satu ganjalan dalam membangun kesetaraan kaum beriman di antarumat beragama adalah munculnya klaim bahwa hanya pihaknya yang akan masuk surga. Pernyataan tersebut berdasarkan pada QS. al-Baqarah/2: 62
40
ۡ ْ ُ ْ ََّٰ ِينَّءام ُنواَّوَّٱَّلِينََّّهادواَّوَّٱنلصَٰر َّ إِنََّّٱَّل َّ ِ َٰ ىَّوَّٱلص َّخ َِّر َِّ ّللَِّوَّٱۡل ۡو ِمََّّٱٓأۡل َّ بيََّّم ۡنَّءامنََّّب ِٱ ٌ ُ ۡ ُ ُ ٦٢َّوع ِملَّصَٰل ِ ٗحاَّفل ُه ۡمَّأ ۡج ُره ۡمَّعِندَّرب ِ ِه ۡمَّوَلَّخ ۡوفَّعل ۡي ِه ۡمَّوَلَّه ۡمََّيزنون “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Dari ayat di atas, bagaimana pandangan intelektual Muslim Indonesia terhadap ayat tersebut?. Berikut ini beberapa pandangan intelektual Muslim Indonesia terhadap ayat tersebut. Seperti Zuhairi Misrawi dan Abd. Moqsith Ghazali berpandangan senada dalam ayat tersebut mengatakan, bahwa umat agama-agama lain akan masuk surga, Yahudi, Nashrani, dan Shabi’in, asalkan mereka beriman kepada Allah dan beramal saleh dan tidak merasa khawatir atau takut bersedih atas apa yang mereka kerjakan.39 Adapun kesimpulan ayat tersebut sebagaimana yang dikatakan Abd. Moqsith Ghazali: “Dalam ayat itu, tidak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orangorang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dengan keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal saleh—sekalipun tidak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Qur’an.” 40
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), h. 310. Lihat juga; Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransii Berbasis al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 244. 40 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 2445. 39
41
Berbeda dengan pandangan Budhy Munawar Rachman ayat ini memang dibantah oleh kelompok eksklusif, dengan argumen: pertama, ayat itu telah mansūkh (dibatalkan) oleh QS. ali Imran/3: 85. Kedua, ayat ini mengacu kepada umat Yahudi, Nashrani dan Shabi’in sebelum Nabi Muhammad saw. Ketiga, mereka memandang Allah hanyalah Tuhan milik Islam. Bantahan tersebut dijawab bahwa kosakata islām dalam QS. ali Imran/3: 85, bukan menunjuk kepada Islam sebagai agama formal yang dibawa Nabi Muhammad saw., tetapi mengacu kepada islām dalam pengertian umum, yakni sikap pasrah kepada Tuhan yang segenap risalah langit. Pengertian demikian akan terlihat dalam ayat QS. al-Baqarah/2: 131.41 “..Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam..." Lebih lanjut Budhy Munawar Rachman mengatakan, manifestasi lahiriahnya Islam dapat dipahami beraneka ragam, seiring dengan berkembangan zaman dan tempat. Namun, dalam keanekaragamaan itu, semua orang harus mengabdi dan berbakti kepada Wujud Yang Satu, yaitu Tuhan, dengin sikap pasrah kepada-Nya.42 Penegasaan yang tidak diragukan lagi dalam QS. al-Hajj/22: 34. Budhy Munawar Rachman dalam buku Islam Pluralisme Nurcholish Madjid, Nurcholish Madjid berpendapat, kedatangan Nabi Muhammad saw., adalah untuk meluruskan kembali dan menyempurnakan ajaran-ajaran para nabi terdahulu, di
41
Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk Plulalisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 95. 42 Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk Plulalisme, h. 124.
42
antaranya mengajarkan makna hidup yang diorientasikan pada Tuhan. 43 Nurcholish Madjid juga berpendapat, nabi diperintahkan untuk mengajak kaum Ahli Kitab menuju kepada “pokok-pokok kesamaan (kalimatun sawā) “antara beliau dan mereka, menuju kepada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika mereka menolak ajakan menuju kepada pokok-pokok kesamaan itu, nabi dan para pengikut beliau, yakni kaum beriman, harus bertahan dengan identitas mereka selaku orang yang berserah diri kepada Allah.44 Ada juga keterangan tentang segolongan Ahli Kitab yang rajin mempelajari ayatayat Allah di tengah malam dalam (QS. Ali Imran/3: 113-115), sambil terus menerus beribadat, dengan beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan bergegas dalam banyak kebaikan digambarkan al-Qur’an, bahwa mereka itu tidak sama dengan orang-orang kafir.45 Budhy Munawar Rachman mengutip pandangan Nurcholish Madjid, adanya ayat-ayat yang positif dan simpatik kepada kaum Ahli Kitab itu, mengundang berbagai penafsiran. Karena sikap penerimaan mereka terhadap kebenran tersebut, maka mereka bukan lagi kaum Ahli Kitab, melainkan sudah menjadi kaum Muslimin. Tetapi karena mereka tidak disebutkan dalam ayat-ayat itu beriman kepada Nabi, walaupun mereka itu beriman kepada Allah dan komit terhadap kebenaran, maka secara langsung ataupun tidak langsung termasuk mereka menentang Nabi.46
43 Budhy Munawar Rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid (Jakarta: Paramadina, 2007), h. 163. 44 Budhy Munawar Rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, h. 164. 45 Rachman, Islam dan Pluralisme, h. 166. Ayat ini menjelaskan, tidak semua orang Yahudi dan Kristen menentang Nabi dan kaum beriman. Di antara mereka terdapat orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan. Lihat: Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an: Hubungan Antaragama Menurut Syaikh Nawawi Banten (Jakarta: Teraju, 2004), h. 131. 46 Budhy Munawar Rachman, Islam dan Pluralisme, h. 166.
43
Adanya sikap ambivalen (bertentangan) kaum Ahli Kitab tadi, al-Qur’an menurut Nurcholish Madjid, kaum beriman dilarang untuk bertengkar atau berdebat dengan kaum Ahli Kitab, khususnya berkenaan dengan masalah agama. Namun, jika kaum beriman (ahli kitab) yang zalim, dibenarkan membalasnya dengan setimpal. Hal ini sesuai prinsip universal pergaulan antarmanusia.47 (QS. al-Ankabut/ 29: 46) Menurut Mun’im A. Sirry (dalam bukunya Membendung Melintasi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern), sedikitnya dalam al-Qur’an ditemukan tiga sikap terhadap non-Muslim yaitu positif, netral dan negatif. Sikap postif misalnya dinyatakan secara eksplisit dalam ayat (QS. al-Baqarah/2: 62). Sikap netralnya misalnya ditunjukkan al-Qur’an dalam (QS. al-Kafirun/109: 6). Adapun sikap negatifnya ditunjukkan al-Qur’an dalam konteks bahwa sebagian mereka mengubah kitab suci mereka untuk kepentingan mereka, berlebih-lebihan dalam beragama, atau menunjukkan permusuhan dan pengkhianatan kepada Nabi dan komunitas Muslim ketika itu (QS. al-Baqarah/2: 120, QS. al-Maidah/5: 18, QS. Annisa/4: 46). Menurut Farid Esack, ada pendekatan yang diambil mayoritas pemikir untuk mengelak makna yang sudah jelas dalam teks ini. Dinyatakan bahwa QS. al-Baqarah/2: 62 telah dibatalkan oleh Ali Imran/3: 85. Sebagian penafsir ada yang menolak pendapat ini atau mengabaikannya. Mereka yang menolak itu mengatakan bahwa ide tentang Tuhan yang membatalkan suatu janji berlawanan dengan sifat keadilan-Nya, bahwa Tuhan tidak akan pernah ingkar dalam menegakkan janjinya. Teori pembatalan bisa menjadi jalan termudah untuk memperoleh penafsiran yang diinginkan kaum
47
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Pluralisme, h. 167.
44
eksklusivis. Namun, karena kasus yang dihadapi terlalu jelas, para penafsir tidak banyak pilihan kecuali menciptakan perangkat tafsir, yang kadang bersifat kontradiktif, demi memperoleh pemaknaan yang tidak menguntungkan bagi kaum Nashrani, Yahudi, dan Sabi’in.48 Pendapat yang berbeda dikatakan oleh Mu’im Sirry, ia menelaah penafsiran Muslim reformis pada QS. ali Imran/3: 19, 85 dan QS. al-Maidah/5: 3 serta ayat yang bersifat ekumenikal QS. al-Baqarah/2: 62. Pada ayat tersebut nampaknya beberapa kerumitan dan kesulitan para Muslim reformis49 dalam menghadapi tingkat ambiguitas tertentu dalam al-Qur’an dan khazanah konservatif generasi terdahulu. Misalnya dalam tafsir Rida, Islam Qur’anik dapat dipahami dalam pengertian reifikasi dan nonreifikasi. Bahwa keimanan kepada nabi tidak diharuskan atas orang-orang dari agamaagama lain jika mereka ingin meraih keselamatan. Mughniyah yang tampak saling kontradiktif atas status orang-orang kafir, termasuk hubungan QS. ali Imran/3: 85; dan al-Baqarah/2: 62. Sedangkan menurut Hamka, Tabataba’i, kesempurnaan agama digambarkan pada QS. al-Maidah/5: 3. Abul Kalam Azad, penafsiran tentang Islam Quranik sebagai kepasrahan personal yang total kepada Tuhan, yang dilakukan oleh semua orang dari berbagai zaman dan latar belakang agama yang berbeda.50
Farid Esack, al-Qur’an Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas (Bandung: Mizan, 2000), h. 209. Dengan demikian Esack berpendapat, keselamatan hanya terbatas bagi orangorang yang beriman dan mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi. Sebab ada dua masalah signifikan. Pertama, “orang-orang yang beriman” yang diikuti penyebutan kaum lain dan kedua, frase bersyarat “siapa saja yang beriman di antara mereka”, yang seolah berarti bahwa “iman” di sini mempunyai makna yang berbeda dari “iman” di prase pertama, “orang-orang yang beriman” 49 Yang dimaksud Muslim reformis adalah Jamal al-Din al-Qasimi, Rasyid Rida, Maulana Abul Kalam Azad, Muhammad Jawad Mughniyah, Muhammad Husain Tabataba’i, Abdul Malik Karim Amrullah. 50 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritis al-Qur’an Terhadap Agama Lain (Jakarta: PT Gramadia Pustaka Utama, 2013), h. 160. 48
45
Senada dengan pandangan di atas Jalaludin Rakhmat mengatakan, tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi saw. ayat ini menjelaskan perlakuan Allah kepada setiap umat yang mempercayai nabi dan wahyunya masing-masing. Yang mengira bahwa kebahagiaan pada hari akhirat seakan-akan pasti akan tercapai hanya karena ia Muslim, Yahudi, Nashrani atau Shabi’ah. Padahal Allah berfirman bahwa keselamatan bukan karena kelompok keagamaan. Keselamatan dicapai dengan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal yang memperbaiki manusia, karena itu tertolaklah anggapan bahwa keputusan Allah bergantung pada angan-angan orang Islam dan angan-angan Ahli Kitab. Sudah ditetapkan bahwa keputusan Allah bergantung pada amal baik dan iman yang benar.51 Pendapat yang bertolak belakang pada pandangan di atas seperti Qosim Nursheha Dzulhadi mengutip Jalaluddin Rakhmat salah satu mempromosikan mengakui semua agama benar dalam bukunya Islam dan Pluralisme, apakah orangorang non-muslim menerima pahala salehnya ?. Benar, menurut al-Baqarah/2: 62 yang diulang redaksinya pada al-Maidah/5: 69 dan al Hajj/22: 17. Ayat tersebut dikomentari Qosim Nursheha Dzulhadi, memang ayat tersebut menyebutkan kedua agama Yahudi dan Kristen. Tetapi yang diakui al-Qur’an adalah konsep awal keduanya masih orisinil. Sejak kematian Nabi Musa dan Isa As., kedua agama ini berubah total. Tidak lagi benar
51
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 27.
46
seperti awal mula turunnya kepada kaum Bani Israil. Sehingga kedua agama ini sudah di-naskh dengan kehadiran Islam.52 Qosim Nursheha Dzulhadi, menawarkan poin-poin klaim pluralisme yang harus dicermati. Pertama, beriman kepada Allah, iman kepada para nabi dan rasul Allah. Kedua, ayat di atas mengkorelasikan antara iman dan amal saleh, yang dijadikan jembatan dalam meraih kebahagian. Ketiga, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang mencela agama Yahudi dan Kristen, karena mereka tidak beriman kepada Nabi Islam.53 Rizieq juga berpendapat, kelompok liberal tidak peduli dengan firman Allah Swt. (QS. ali Imran/2: 19 dan 85) bahwasannya agama yang diterima Allah hanya Islam. Sehingga barang siapa yang mencari dan memilih agama selain Islam maka tidak akan diterima. Kelompok liberal mengabaikan juga firman Allah (al-Maidah/5: 3), yang menegaskan bahwa agama Islam telah sempurna dan merupakan agama yang diridhoi Allah swt., sehingga tidak boleh ditambah atau dikurangi.54 Penjelasan Amin Suma terhadap al-Baqarah/2: 62 dengan hampir
mirip
redaksinya al-Maidah/5:69 dan al-Hajj/22:17, terbagi menjadi enam kelompok yaitu alladzina amanu (orang-orang yang beriman atau Muslim), alladzina hadu (orangorang Yahui), al-Nashara (orang-orang Nashara), al-shabi’un (orang-orang Shabi’un), al-Majus (orang-orang Majusi), al-Musyrikun (orang-orang Musyrik).55 Dari keenam
52 Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia; Studi Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h. 74. 53 Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia; Studi Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalism, h. 75. 54 Rizieq Shihab, Hancurkan Liberalisme Tegakkan Syariat Islam (Jakarta: Islam Press, 2013), h. 76. 55 Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut al-Qur’an: Telaah Akidah dan Syari’ah, h. 24.
47
kelompok tersebut ia membaginya dua kelompok, kelompok orang-orang yang beriman dan kelompok orang kafir, pengambilan atas ayat QS. al-Baqarah/2: 62, alMaidah/5: 69 dan al-Hajj/22: 17. Maka atas ketegasan al-Qur’an ia mengatakan, bahwa Yahudi, Nashrani dan Majusi tidak diakui status keagamaannya. Karena itu harus ditolak, selebihnya Musyrikin, Shabi’in, Majusi, Yahudi dan Nashrani digolongkan kedalam kelompok orang-orang kafir56 dengan landasan pada ayat QS. al-Baqarah/2: 105, Ali ‘Imran/3: 70, al-Hasyr/59: 11 dan al-Bayyinah/98: 1 dan 6.57 C.
Pemahaman Atas QS.-al-Baqarah/2: 265 Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk beragama.
Tentunya sebagai makhluk beragama, bahwa manusia percaya terhadap Tuhan yang dianut atas keyakinannya. Tentunya keyakinan manusia atas pilihanya berbeda-beda, dalam Islam untuk menganut suatu keyakinan, tidak ada paksaan dalam beragama. Sebagaimana firman Allah swt. QS. al-Baqarah/2: 256
ۡ ا ۡ ۡ ُّ ُۡ ُۡ ُ َٰ ُ ۡ َِّ َِّف َّٱل َّ َِّٱّلل َّ ِ وت َّويؤمِنَّ ََّّب َِّ غَّيَّفمنَّيكفر َّبَّ ِٱلطغ ِ َل َّإِكراه ِ ِينَّقدَّتبي َّٱلرش َّد َّمِن َّٱل ۡ ُۡ ۡ ُ ۡ ۡ َّفق ِد ُ ٌ ٌ َٰ ٢٥٦َّٱّللَّس ِميعَّعلِيم َّ َّامَّلهاَّۗو َّ كََّّب ِٱلعروَّة َِّٱلوثقَََّّلَّٱنفِص َّ ٱست ۡمس “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah 56
Setiap musyrik pasti kafir meskipun belum tentu setiap yang kafir adalah musyrik. Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut al-Qur’an, h. 45. Ibn ‘Arabi membedakan kafir Musyrikin dengan Kafir Ahl Kitab. Kafir Musyrikin, mereka yang menyangkal Tuhan yang haq dan para Rasul. Karena itu kaum musyrikin tidak dilindungi lebih baik dibunuh dalam hal perang. Sedangkan kafir Ahl Kitab, mereka tidak membenarkan atau pendustaan terhadap nabi Muhammad saw. tapi mengakui adanya Tuhan. Lihat: Sani Badron, “Ibn al-‘Arabī tentang Pluralisme Agama,” Majalah Pemikiran dan Peradaban Islamia no. 3, September-November 2004, h. 38. 57 Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut al-Qur’an: Telaah Akidah dan Syari’ah, h. 138-140.
48
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Pada himpuana fatwa Majelis Ulama Indonesia terkait ayat tersebut, bahwa keputusan Komisi Ijma’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III tentang Masail Asasiyah Wathaniyah (masalah strategi kebangsaan), prinsip ajaran Islam tentang hubungan antarumat beragama dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia, menyatakan kemajemukan agama mengakui enam agama, yang mana negara menjamin warganya untuk memeluk agamanya masing-masing.58 Pada ayat QS. al-Baqarah/2: 256, Abdurrahman Wahid memberikan contoh pemahaman pada kasus warga negara keturnunan Tionghoa, bahwa keturnunan Tionghoa harus mengganti namanya menjadi “pribumi”. Seperti Mochammad Harun Musa, dilihat dari namanya seorang Muslim padahal ia beragama Budha dalam kartu identitasnya. Dalam hal keyakinan, negara tidak berhak menentukan agama perorangan, terlebih mengganti agamannya. Karena hal ini sudah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945. Pada QS. al-Baqarah/2: 256, “tidak ada paksaan dalam beragama”, Abdurrahman Wahid menjelaskan tidak ada peranan negara sama sekali melainkan yang ada hanyalah membantu peranan masyarakat yang menentukan mana yang benar dan mana yang palsu. Jika semua agama itu bersikap saling menghormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas senang atau tidaknya pejabat pemerintahan.59
Ma’ruf Amin, dkk, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Erlangga, 2011), h.868. Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 153-154. 58 59
49
Analisa dari ayat tersebut menurut Abd. Moqsith, kebebasan beragama bukan hanya mendapatkan legitimasi normatif-teologis, melainkan juga dikukuhkan dari sudut politik. Sebagai produk politik, Piagam Madinah memberikan jaminan konstitusional terhadap kebebasan beragama, Nabi Muhammad tidak memandang cukup dengan ajaran kitab suci umat Islam tersebut. Nabi tampaknya menyadari bahwa ketentuan-ketentuan al-Qur’an tidak bisa mengikat umat agama lain. Karena itu, Nabi merasa perlu memperjuangkan kebebasan beragama melalui jalur politik dengan membuat konstitusi yang memikat semua elemen masyarakat madinah.60 Zuhairi Misrawi berpendapat, tidak ada paksaan dalam agama dapat dipahami sebagai sikap akomodatif dan adaptif Islam terhadap agama-agama dan kebudayaan pada umumnya. Karena tujuan agama adalah tegaknya keadilan dan kemanusiaan, maka dalam menyikapi keragaman agama dan upaya-upaya penyebaran agama diperlukan landasan etis yang kuat, yaitu agar tidak mempertentangkan antara agama yang satu dengan yang lain.61 Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan toleransi harus ada paradigma kesetaraan dalam agama. Paradigma tersebut dimulai dari keberagamaan yang terbuka dan bertanggung jawab. Pilihan beragama seseorang atau kelompok sesungguhnya tidak semata-mata merupakan pilihan teologis, melainkan juga pilihan sosiologis. Karena, paradigma tidak ada paksaan dalam beragama menjadi penting. Di satu sisi Tuhanlah yang menegaskan pentingnya kebebasan beragama. Di sisi lain juga
60
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransii Berbasis alQur’an, h. 228. 61 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), h. 253.
50
terkandung pentingnya kebebasan dalam ranah sosiologis. Maka perlu adanya ranah teologis dan sosiologis dalam paradigma tidak ada paksaan dalam agama.62 Nurcholish Madjid berpendapat, bahwa kebebasan beragama dan toleransi antarpenganut agama-agama terjamin dalam masyarakat yang berpenduduk mayoritas Islam, dan tidak sebaliknya (kecuali dalam masyarakat negara-negara modern atau maju Barat). Dalam berita-berita sehari-hari jarang sekali diktemukan berita maslah golongan non-Muslim di tengah masyarakat Islam. Tetapi sebaliknya, selalu terdapat kesulitan pada kaum Muslim (minoritas) yang hidup di kalangan mayoritas nonMuslim.63 Menurut Nurcholish Madjid, tidak dibolehkanya memaksakan suatu agama, karena manusia dianggap sudah mampu membedakan mana jalan yang benar dan mana yang dianggap salah. Dengan kata lain, manusia dianggap telah dewasa sehingga dapat menentukan jalan sendiri hidupnya yang benar, dan tidak perlu lagi dipaksa-paksa seperti seorang yang belum dewasa.64 D.
Pemahaman Atas QS. al-an’am/6: 108 Dalam konteks pergaulan antarumat beragama, Islam memandang bahwa sikap
menghormati, menghargai sebagai wujud kecintaan Islam terhadap agama lain. Sebab tidak ada agama lain pun yang tidak ingin dihargai atau dihormati. Apalagi melecehkan
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, h. 231. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 61. 64 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, h. 62. 62 63
51
atau mencaci simbol-simbol keagamaan orang lain, hal ini dianggap sebagi bentuk penghinaan terhadap pencipta. Sebagaimana firman Allah swt. QS. al-An’am/6: 108.
ۡ ۡ ْ ُّ ُ ُ ۡ ٱّللَّع ُ َلَّت ُس ُّبواَّْٱَّلِينََّّي ۡد غ ب َّا َّۡيَّعِلمَّٖۗكذَٰل ِكَّزَّينا و د َّ َّ وا ب س ي ف َّ ٱّلل َّ َّ ون ِنَّد م َّ ون ع َّ و ِ ِ ِ ِ ُ ُ ُ ۡ ْ ُ ُ ۡ ُ ُ ُ ُ ُ ۡ ُ ۡ َٰ ١٠٨َّجعهمَّفينبِئهمَّبِماََّكنواَّيعملون ِ ِكَّأم ٍةَّعملهمَّثمَّإَِلَّرب ِ ِهمَّمر ِ ل “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” Sebagimana pandangan Intelektual Muslim Indonesia Abd. Moqsith Ghazali berpendapat, ayat ini menunjukkan bahwa kepercayaan seseorang terhadap suatu agama harus dilindungi. Menurut Islam, perbedaan ekspresi berkeyakinan atau berketuhanan tidak membenarkan seseorang mengganggu yang lain. Dengan kata lain, pemaksaan perkara agama—disamping bertentangan dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk merdeka—juga berlawanan dengan ajaran al-Qur’an.65 Ikhwan Matondang berpendapat, dalam rangka penghormatan dan perlindungan terhadap unsur atau simbol keagamaan tersebut, Islam tidak membolehkan memaki atau menghina sembahan umat agama lainnya, sekalipun sembahan tersebut dipandang sebagai simbol kejahilan dan kemusyrikan dalam perspektif ajaran Islam.66 Lebih lanjut, penggunaan kata الذينQuraish Shihab mengutip al-Baqā’ī, menunjukkan kepada berhala-berhala sesembahan kaum musyrikin, satu kata hanya
65
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransii Berbasis alQur’an, h. 217. 66 Ikhwan Matondang, “Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia,” Ilmu Ushuluddin 2, no. 3 (Januari – Juni 2015): h. 351.
52
digunakan kepada makhluk berakal dan berkehendak. Bisa jadi, kata tersebut sengaja dipilih untuk menunjukkan betapa sesembahan jangan dimaki karena kaum musyrikin percaya bahwa berhala-berhala tersebut berakal dan berkehendak.67 Ayat tersebut ada keterkaitan dengan dakwah, yang mana mencaci-maki, menghina dan merendahkan agama Islam atau pun agama lain, akan timbul konflik antaragama yang saling balas cacian terhadap Tuhan yang dianutnya. Bahkan menurut para ulama tindakan pelecehan terhadap ajaran agama lain, termasuk simbol-simbol agama adalah haram.68 Akibat dari tindakan tersebut berakibat pada dampak sosial, sikap saling mencaci, mencurigai pada akhirnya tidak bisa hidup rukun secara berdampingan. Agama Islam melarang para penganutnya berbantahan dengan para penganut kitab suci yang melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya, termasuk menjaga kesopanan dan tenggang rasa. Orang Islam diperintahkan untuk menegaskan bahwa semua kitab suci yang berbeda agama, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan sama-sama pasrah kepadanya. Bahkan biarpun sekiranya mengetahui, jika seseorang menyembah suatu objek sesembahan yang tidak semestinya bukan Tuhan Yang Maha Esa, larangan untuk berlaku tidak sopan terhadap mereka Tuhan yang berbeda keyakinan. Sebab, menurut al-Qur’an sikap demikian akan membuat mereka
67
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 3 (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 605. 68 Departemen Agama RI, Hubungan Antarumat Beragama: Tafsir al-Qur’an Tematik (Jakarta: Departeman Agama RI, 2008), h. 82.
53
berbalik berlaku tidak sopan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesembahan yang benar, hanya karena dorongan rasa permusuhan dan tanpa pengetahuan yang memadai.69 Nabi Ibrahim diakui oleh agama Yahudi, Kristen, dan Islam sebagai “Bapak Monoteisme”. Di dalam al-Qur'an, ada ilustrasi yang sangat menyentuh ketika Ibrahim merusak patung-patung yang menjadi objek sesembahan orang.-orang saat itu, kecuali patung terbesar yang dia kalungi dengan kapak. Ketika Ibrahim diprotes, dengan tenang dia mengatakan bahwa yang melakukan perusakan bukan dirinya, melainkan patung yang punya kapak itu. Lalu mereka mengatakan bagaimana mungkin mereka harus bertanya kepada batu. Ibrahim menjawab, kalau kalian tahu itu cuma batu kenapa pula harus disembah.70
69
Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban (Jakarta: Democrasy Project, 2011), h. 239-240. 70 Budhy Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, h.165.
BAB IV KESESUAIAN PANDANGAN PARA INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA DENGAN PENAFSIRAN PARA MUFASIR TERHADAP AYAT-AYAT HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA Dalam memahami konteks hubungan antarumat beragama berdasarkan alQur’an, penulis merujuk kepada penafsiran Ibn Kaṡīr, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Wahbah Zuḥailī, Hamka dan M. Quraish Shihab. Hal ini untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif, baik yang terkait sebab turunya ayat, maupun unsur-unsur penting dari masing-masing tokoh dalam menafsirkan ayat tersebut. Sebagaimana penjelasan di bawah ini: A.
Tafsiran Atas QS. al Baqarah/2: 62 Fenomena sebelumnya, adalah merupakan satu ganjalan dalam membangun
kesetaraan kaum beriman di antaraumat beragama, yakni munculnya klaim bahwa hanya agama tertentu (yang dianut) yang akan masuk surga. Hal ini bukan hanya terjadi dalam hubungan antaragama, melainkan pula hubungan intraagama. Misalnya,
muncul
sebagian
kelompok
yang
mengaku
bahwa
hanya
kelompoknyalah yang akan selamat (masuk surga). Hal tersebut kemudian dibarengi dengan tindakan penyesatan dan pengkafiran tehadap kelompok yang berbeda lainya.1 1.
Sebab Turunnya Ayat Sebagaimna yang ditegaskan dibeberapa ayat, al-Qur’an telah memberikan
pengakuan ekstensi agama-agama yang ada, tapi memberikan adanya jaminan keselamatan penganut agama, dengan syarat mereka beriman kepada Allah, hari
Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007), h. 10. 1
54
Toleransi:
Inklusivisme,
Pluralisme
dan
55
kiamat dan beramal saleh seabagimana ditegaskan dalam al-Qur’an QS. alBaqarah/2: 62.
ۡ ْ ُ ْ ََّٰ َّوٱَّلِينَّ َّهادوا َّوَّٱنلصَٰر َّ ِين َّءام ُنوا َّ إِنَّ َّٱَّل َّٱّللَِّوَّٱۡل ۡو َِّم َّ ِ َّئيَّ َّم ۡن َّءامن َّب َِّ ِ ى َّوَّٱلص َٰ َّب ٌ ُ ُ َّخ َِّر َّوع ِمل َّصَٰل ِ ٗحا َّفل ُه ۡم َّأ ۡج ُره ۡم َّعِند َّرب ِ ِه ۡم َّوَل َّخ ۡوف َّعل ۡي ِه ۡم َّوَل َّه ۡم ِ ٱٓأۡل ُ ۡ ََّيزنون “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benarbenar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Menurut Ibn Kaṡīr bahwa ayat ini turun terkait dengan sahabat-sahabat Salman al-Farisi. Salman bercerita kepada nabi bahwa sahabat-sahabatnya adalah orang-orang yang melakukan shalat, berpuasa, beriman kepada Nabi Muhammad, dan bersaksi bahwa Muhammad akan diutus menjadi seorang nabi. Setelah Salman selesai menceritakan teman-temannya itu, nabi kemudian bersabda bahwa mereka itu adalah calon penduduk neraka. Mendengar penjelasan nabi tersebut, Salman berat hati. Maka turunlah ayat yang membantah pernyataan nabi tersebut.2 2.
Penafsiran Mufasir Ibn Kaṡīr berpendapat, “Barang siapa yang berbuat baik dan kalangan umat-
umat terdahulu dan taat, baginya pahala yang baik. Demikianlah kaidah tetapnya sampai hari kiamat nanti, yakni setiap orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi, maka baginya kebahagiaan yang abadi. Tiada ketakutan bagi mereka dalam
2
Abu al-Fida Isma’il Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kaṡīr, Juz I, h. 546.
56
menghadapi masa mendatang, tidak pula mereka bersedih hati atas apa yang telah mereka lewatkan dan tinggalkan.”3 Sementara pendapat yang berbeda, seperti al-Zamakhsyari dan Sayyid Quthb4 berpendapat, orang-orang Yahudi, Nashrani dan Shabi’in akan selamat sekiranya mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan amal saleh dan masuk Islam dengan tulus.5 Kata hādū adalah orang-orang Yahudi atau yang beragama Yahudi, akan tetapi al-Qur’an tidak mengambil kata yahūd kecuali dalam konteks kecaman. Dinamakan Yahudi karena mereka kebanyakan keturunan dari Bani Israil. Sedangkan kata al-naṣārā terambil dari kata nāṣirah yaitu wilayah Palestina. Dimana Maryam (Ibu Nabi Isa as.) dibesarkan dan dalam keadaan mengandung Isa as., di Bait al-Maqdis, tepatnya di Betlehem. Isa digelari Bani Israil dengan Yasū sehingga pengikut-pengikut Isa dinamai naṣārā. Kata al-ṣābi’īn terambil dari kata ṣabā yang berarti muncul atau tampak atau ada juga yang berpendapat satu
Abu al-Fida Isma’il Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqi, Tafsir Ibn Kaṡīr, Juz I, h. 144. Ibn Kaṡīr menafsirkan keimanan orang Yahudi dan Nashrani: Iman orang-orang Yahudi itu ialah barang siapa yang berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s., maka imannya diterima hingga Nabi Isa a.s. datang. Apabila Nabi Isa telah datang, sedangkan orang yang tadinya berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s. tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikut kepada syariat Nabi Isa, maka dia termasuk orang yang binasa. Iman orang-orang Nashrani ialah barang siapa yang berpegang kepada kitab Injil dan kalangan mereka dan syariat-syariat Nabi isa, maka dia termasuk orang yang mukmin lagi diterima imannya hingga Nabi Muhammad saw. datang. Barang siapa dan kalangan mereka yang tidak mau mengikut kepada Nabi Muhammad saw. dan tidak mau meninggalkan sunnah Nabi Isa serta ajaran injilnya sesudah Nabi Muhammad saw. datang, maka dia termasuk orang yang binasa. Lihat AlImam Abul Fida Isma’il Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kaṡīr, Juz I, h. 146. 4 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an: Di bawah Naungan al-Qur’an Jilid 1, Penerjemah: As’ad Yasin, dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 77. 5 Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama : Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h. 247. 3
57
daerah di Yaman, Ratu Bilqis pernah berkuasa penduduknya menyembah matahari dan bintang.6
Sementara ayat di atas, Fakhr al-Dīn al-Rāzī (554-604H) dalam tafsir Mafātiḥ al-Ghaib, berpendapat bahwa ketiga syarat yang dikemukakan dalam ayat tersebut tidak lain adalah esensi dari ajaran Islam sehingga yang dimaksud
ََوالَّ ِذ ْين
َصا َرى َوالصَّابِئِ ْين َ َّ هَا ُدوا َوالنadalah mereka yang dulunya beriman kepada Nabi Isa, lalu setelah Nabi Muhammad diutus mereka menyatakan keimanannya kepada Nabi Muhammad, seperti Buhaira al-Rāhib, Zayd ibn Umar ibn Nafil, Salmān al-Fārisī abu Dzarr al-Ghifārī dan sebagainya. Dengan demikian, orangorang yang mendapat jaminan keselamatan dalam ayat itu adalah orang-orang percaya pada seluruh rasul, Tuhan, termasuk Nabi Muhammad saw.7 Sementara Wahbah al-Zuḥailī berpendapat, orang-orang yang membenarkan ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah saw. dari Allah, yaitu Yahudi, Nashrani atau orang yang berganti agama, mereka beriman kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun, beriman kepada adanya kebangkitan, serta beramal saleh, maka mereka memperoleh pahala amal saleh mereka di sisi Tuhan. Mereka tidak merasa takut akan kedahsyahtan hari kiamat, dan mereka pun tidak merasa sedih atas dunia dan keindahan yang mereka tinggalkan apabila mereka telah menyaksikan sendiri kenikmatan abadi surga.8 Berdasarkan yang dikatakan Quraish Shihab, bahwa ayat ini turun terkait dengan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan kecaman terhadap orang-orang 6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 5th vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 257-258. 7 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Bi Tafsīr al-Kabīr wa Mafātiḥ al-Ghaib, Juz III, (Beirut: Dar alFikr, 1990) h. 112. Lihat juga Dialogue Centre PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan PSAA Fakultas Theologia UKDW Yogyakarta, Meniti Kalam Kerukunan: Beberapa Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010), h. 24. 8 Wahbah al-Zuḥailī, Tafsir al-Munīr: Aqidah, Syariah, Manhaj Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani, dkk, 1th ( Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 137-138.
58
Yahudi yang durhaka. Ia pun menjelaskan ayat ini, sesungguhnya orang-orang yang beriman, yakni yang mengakui beriman kepada Nabi Muhammad saw., orang-orang Yahudi, yang mengakui beriman kepada Nabi Musa as., dan orangorang Nashrani yang mengakui beriman kepada Nabi Isa as., dan orang-orang Shabi’in, kaum musyrik atau penganut agama dan kepercayaan lain, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, sebagaimana dan sesuai dengan segala unsur keimanan yang diajarkan Allah memalui para nabi, serta beramal saleh, yakni yang bermanfaat dan sesuai dengan nilai-bilai yang ditetapkan Allah, maka untuk mereka pahala amal-amal saleh mereka yang tercurah di dunia ini dan tersimpan hingga di akhirat nanti di sisi Tuhan pemelihara dan pembimbing mereka, serta atas kemurahan-Nya, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka menyangkut sesuatu apa pun yang akan datang, dan tidak pula mereka bersedih hati menyangkut sesuatu yang telah terjadi.9 Lebih lanjut Quraish Shihab menambahkan, meskipun golongan-golngan diatas memperoleh pahala, tetapi bukan berarti semua agama sama dihadapan tuhannya.10 Hidup rukun dan damai antara pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntutan setiap agama, tetapi untuk mencapi hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agamanya. Allah lah yang bisa memutuskan di hari kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa yang keliru.11 Sementara Hamka menafsirkan ayat ini, bahwa ayat ini terdapat empat golongan12, di dalam ayat ini dikumpulkanlah keempat golongan ini menjadi satu.
9
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, h. 258-259. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 259. 11 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 259. 12 Golongan pertama, orang-orang yang telah beriman, dahulu telah menyatakan percaya kepada segala ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, dan berjuang karena keimanan dan 10
59
Bahwa mereka semuanya tidak merasai ketakutan dan duka-cita asal saja mereka sudi beriman kepada Allah dan Hari Akhirat golongan itu diikuti oleh amal yang shalih. Dan keempat-empat lalu iman kepada Allah dan Hari Akhirat itu akan mendapat ganjaran di sisi Tuhan mereka.13 Menurut Fazlur Rahman mengenai ayat ini, Islam, iman dan takwa menemukan titik temu yang paling kongkrit. Artinya, dengan kepercayaannya yang teguh dan kepatuhan yang mutlak kepada Allah. Kaum Muslimin merealisasikannya kedalam sikap-sikap positif yang dapat mencegah dari segala bentuk prilaku yang akan menghancurkan kemanusian dan dunia. Dari sikap tersebut akan membuahkan hasil kedamian dan keamanan secara menyeluruh jalan yang terbentang dihadapan mereka adalah jalan kemajuan, toleransi dan rasa kesamaan, bukan jalan angakara murka, permusuhan dan pengrusakan.14 Selain ayat yang telah disebutkan, ada ayat dalam al-Qur’an yang memiliki redaksi yang mirip dengan ayat tersebut, yaitu QS. al-Māidah/5: 69:
ۡ ْ ُ ْ ُ َٰ ئونَّ َّ َّوٱنلصَٰر َّ ِ َّوٱَّلِينَّ َّهادوا َّوَّٱلص َٰ َّب َّ ِين َّءام ُنوا َّ إِنَّ َّٱَّل َّٱّلل ِ َّ َّوٱۡل ۡو ِمَّ َّٱٓأۡلخ َِِّر َّ ِ ىَّ َّم ۡن َّءامن ََّّب ٌ ُ ۡ ُ ٦٩َّوع ِملَّصَٰل ِٗحاَّفَلَّخ ۡوفَّعل ۡي ِه ۡمَّوَلَّه ۡمََّيزنون “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nashrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh,
menegakkan agamanya. Golongan kedua orang-orang Yahudi, sebagaimna kita ketahui, nama Yahudi diambil dari nama Yahuda, anak tertua dari Nabi Ya’qūb as., atau disebut juga Bani Isaril. Agama Yahudi disebutjuga agama keluarga. Golongan ketiga Naṣārā atau disebut Nasrani. Dikatakan Nashrani karena tempat kelahiran Nabi Isa as., di Nazaret. Golongan keempat ṣābi’īn, orang yang keluar dari agamanya nasrani atau murtad. Karena Nabi Muhammad mencela-cela agama nenek moyang yang menyembah berhala, lalu menegakkan paham Tauhid, oleh orang Quraisy, Nabi Muhammad s.a.w itu dituduh telah shabi' dari agama nenek-moyangnya. Mereka juga menyembah bintang-bintang. 13 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 204. 14 Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 2013), h. 214.
60
maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Kandungan ayat ini sama dengan ayat yang telah diuraikan sebelumnya. Hanya saja susunan redaksinya sedikit berbeda, jumlah dan pilihan kata juga tidak sama. Dalam susunan muṣḥaf, ayat ini tertulis pada kelompok ayat yang berbicara tentang ahli kitab.15 Ada beberapa versi penjelasan kedudukan gramatikal lafadh al-ṣābi’ūn yang dibaca rafa’, bukan naṣab (al-ṣābi’īn). Versi yang paling populer adalah al-ṣābi’īn menempati posisi i’rāb sebgai mubtada’ yang khabar-nya tidak terekspresikan dalam teks. Jika ia ekspresikan, maka teks ayat itu menjadi “wa al-ṣābi’un ka
żālik”. Versi lain menyebutkan al-ṣābi’ūn menempati posisi i’rāb sebagai ma’thūf kepada posisi ism dari huruf inna. Ulama nahwu aliran Kuffah memperbolehkan model i’rab itu dan tetap dianggap kaegori kalam fasih jika ism dari inna berupa kata mabny (tidak mengalami perubahan) seperti pada teks ini. Penyimpangan seperti ini tetap dibenarkan dalam konteks kefasihan kalam Arab kalau memamng ada urgensinya. Dalam ayat ini urgensi itu ada, yaitu penegasan bahwa al-ṣābi’ūn merupakan komunitas beragama yang memiliki kitab tersendiri, meskipun status hukum mereka sama dengan kaum Muslim, Yahudi, dan Nashrani dalam kaitannya dengan keselamatan.16 B.
Tafsiran Atas QS. al-Baqarah/2: 256.
1.
Sebab Turunya ayat Ada beberapa sebab turunnya ayat ini di antaranya:
15 Saifullah, “Pluralisme Agama Perspektif Tafsīr al-Manār,” (Desertasi S3 Bidang Kajian Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri, 2009), h.128. 16 Saifullah, “Pluralisme Agama Perspektif Tafsīr al-Manār,” h.128. lihat juga Rasyid Riḍā, Tafsir al-Manār, Vol. IV, h. 394.
61
Pertama, Abu Dawud as-Sijistani dan Ibn Ḥibban meriwayatkan dari Ibn Abbas, dia berkata, ”dulu ada seorang wanita yang setiap kali melahirkan anaknya selalu mati. Lalu dia bernazar jika anaknya hidup, maka dia akan menjadikannya seorang Yahudi. Ketika Bani Nadhir di usir dari madinah, di antara mereka terdapat terdapat oarang-orang Anshar. Maka meraka pun berkata, “..kita tidak bisa membiarkan anak-anak kita (menjadi Yahudi)..” Maka turunlah firman Allah, “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama.” QS. al-Baqarah/2: 256.17 Kedua, ayat itu turun terkait peristiwa seorang laki-laki Anshar, yaitu Abū Ḥushain. Dikisahkan, ia adalah seorang Muslim yang memiliki dua anak Kristen, mengadu kepada nabi, apakah dirinya boleh memaksa dua anaknya masuk Islam?, sementara anaknya cenderung kepada Kristen. Ia menegaskan kepada nabi, apakah dirinya akan membiarkan mereka masuk neraka. Dengan kejadian tersebut, turunlah firman Allah yang melarang pemaksaan dalam urusan agama.18 Ketiga, kisah seorang laki-laki dari kalangan Anshar, dari keturunan Salim bin ‘Auf. Ia mempunyai dua orang anak yang memeluk Kristen sebelum nabi diangkat sebagai utusan Tuhan. Lalu kedua anak tersebut datang ke Madinah, bertemu dengan orang-orang Kristen dan membawa makanan. Kemudian sang ayah menemui kedua anaknya dan berkata, “..Demi Tuhan saya tidak akan membiarkan kalian hingga memeluk Islam..”. Tapi keduanya enggan untuk memeluk Islam. Kemudian mereka bersilang pendapat dan mendatangi Rasulullah saw., sang ayah berkata, “..wahai Rasulullah apakah sebagian dariku masuk
17 Jalaluddin as-Syuyuthi, Asbabun nuzul: Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, Penerjemah, Tim Abdul Hayyie (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 108. 18 Abdul Moqsith Ghazali, “Tafsir Ayat Lā Ikraha Fi al-Dīn” di akses tgl 21-12-2016 dari: https://membumikantoleransi.wordpress.com/2012/06/04/tafsir-ayat-la-ikraha-fi-al-din/
62
neraka dan saya hanya melihatnya?..” Kemudian Tuhan menurunkan ayat, tidak ada paksaan dalam agama. Sang ayah membiarkan pilihan kedua anaknya.19 Keempat, kisah mereka yang menyusui pada orang-orang Yahudi, baik Bani Quraidzah maupun Banī Naḍir. Setelah keturunan Naḍir di usir, anak-anak dari kalangan Aus yang kebetulan menyusui pada keturunan Naḍir berkata, “Kami akan pergi bersama mereka dan memeluk agama mereka”. Lalu, keluarganya melarang dan hendak memaksa mereka agar memeluk Islam. Kemudian Tuhan menurunkan ayat, tidak ada paksaan dalam agama.20 2.
Penafsiran Mufasir Keyakinan beragama adalah sebuah hasil pemikiran dan kesadaran setiap
manusia, di mana sebagai unsur pokoknya adalah ketakwaan kepada Allah swt. oleh sebab itu kebebasan beragama bagi setiap induvidu adalah hak asasi yang mendasar. Pada kesempatan ini, penulis akan menafsirkan ayat al-Qur’an alBaqarah/2: 256 fokus pada kata atau lafaz lā ikhrā fī al-dīn. Dalam beberapa kesempatan al-Qur’an menegaskan, “..tidak ada paksaan dalam menganut agama (Islam)..”21
tidak ada paksaan untuk masuk kedalam agama, yang dimaksud
di sini adalah al Millah (agama) dan keyakinan. Hal ini
19 Abu al-Fida Isma’il Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kaṡīr, Juz III, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, Lc ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h.43-44. 20 Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, h. 250-251. 21 Al-Baqarah/2: 256:
ۡ ا ۡ ۡ ۡ ۡ ُ ۡ ُ ۡ ۡ َّ ٱّللِ َّفق ِد ُ ۡ ُّ َّق ََّل ََّٰ ٱست ۡمسكَّ ََّّب ِٱل ُع ۡروَّة َِّٱل ُوث َّ ِ َّوت َّو ُيؤ ِم ۢن َّب َِّ غَّي َّفمنَّيكف ۡر َّبَّ ِٱلطَٰغ َِّ َِّف َّٱل َّ ِ َل َّإِكراه ِ ِين َّقدَّتبي َّٱلرش َّد َّمِن َّٱل ٌ ٱّللَّس ِم ٌ يعَّعل ٢٥٦َِّيم َُّ َّٱنفِصامََّّلهاَّۗو “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
63
diindikasikan oleh firman
maksudnya sesungguhnya telah jelas
dengan ayat ini bahwa keimanan adalah jalan yang benar, sedangkan kekufuran adalah jalan yang sesat.
dan
Pada ayat ini menggunakan kata
artinya petunjuk dan segala kebaikan.22 rusyd yang mengandung makna jalan
yang lurus. Kata ini bermakna ketepatan mengelola sesuatu serta kemantapan dan kesinambungan dalam ketepatan itu. Kata tersebut bertolak belakang dengan al-ghayy, yang artinya jalan sesat. Jika demikian, yang menelusuri jalan lurus itu pada
akhirnya
melakukan
segala
sesuatu
dengan
tepat,
mantap,
dan
berkesinambungan.23 Menurut Ibn Kaṡīr ayat ini menjelaskan, “Janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk agama Islam, karena sesungguhnya agama Islam itu sudah jelas, terang, dan gamblang dalil-dalil dan bukti-buktinya. Untuk itu, tidak perlu memaksakan seseorang agar memeluknya. Bahkan Allah-lah yang memberi hidayah untuk masuk Islam, melapangkan dadanya, dan menerangi hatinya hingga ia masuk Islam dengan suka rela dan penuh kesadaran. Barang siapa yang hatinya dibutakan oleh Allah, pendengaran dan pandangannya dikunci mati oleh-Nya, sesungguhnya tidak ada gunanya bila mendesaknya untuk masuk Islam secara paksa.”24 Hal ini seperti yang dikatan Wahbah al-Zuḥailī, bahwa “..telah jelas jalan kebenaran dan kebatilan, Islam adalah jalan kebenaran, sedangkan selain Islam adalah jalan kesesatan. Jadi, semua orang memiliki kebebasan untuk beriman atau kafir..”25 Untuk masuk Islam secara benar, syari’at al-Qur’an telah mensyaratkan kebebasan atas pilihannya secara sukarela dan tidak ada unsur tekanan atau paksaan.26
Wahbah Zuḥailī, Tafsir al-Munīr : Aqidah, Syariah dan Manhaj, Juz 3&4 Penj. Abdul Hayyie al-Kattani dkk (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 46. 23 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah v. 1, h. 522. 24 Abu al-Fida Isma’il Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kaṡīr, Juz III, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, Lc ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), h.42. 25 Wahbah Zuḥailī, Tafsir al-Munīr : Aqidah, Syariah dan Manhaj h.48. 26 Wahbah Zuḥailī, Kebebasan dalam Islam (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), 139. 22
64
Wahbah al-Zuḥailī menambahkan, adanya kebohongan setelah Islam telah tersebar diberbagai penjuru dunia atas pedang, padahal Islam berdakwah berdasarkan hujjah, bukti, dan bujukan dengan cara tenang dan damai sebagimana firman Allah QS.an-Nahl/16: 125.27 Bahkan dalam kitab-Nya, Allah juga menjamin setiap manusia untuk memilih agama yang ia inginkan dan untuk menjalankan syariat syiar-syiar agama dengan kebebasan penuh, kebebasan ini disertai dengan menghormati tempat-tempat rumah ibadah. Selain itu juga, larangan atas penghancuran atau membakar rumah ibadah, baik dalam keadaan perang maupun dalam kedaan damai. Barang siapa yang menerima Islam sebagai agama, maka kewajiban untuk memegangnya dengan teguh dan tidak boleh mempermainkan agama dan menjelek-jelekan umat Islam.28 Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsirnya, tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Artinya jika seseorang telah memilih satu akidah, seseorang berkewajiban melaksanakan perintah-perintahnya. Jika melanggar, maka terancam sanksi olehnya. Mengapa ada paksaan, padahal sudah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Jika demikian, sangatlah wajar setiap pejalan memilih jalan jalan yang benar, dan tidak terbawa ke jalan yang sesat. Ada sesuatu yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan yang lurus setelah jelas jalan itu terbentang di hadapannya.29 Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas jalan yang lurus. Itu sebabnya, sehingga orang gila dan yang belum dewasa, atau tidak
27
Wahbah Zuhaili, Kebebasan dalam Islam, h. 140. Wahbah Zuhaili, Kebebasan dalam Islam, h. 141. 29 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an 5th ( Ciputat,: Lentera Hati, 2007), v. 1, h. 551-552. 28
65
mengetahuinya tuntutan agama, tidak berdosa jika melanggar atau atau tidak menganutnya, karena bagi dia jalan jelas itu belum diketahuinya. Tetapi jangan mengatakan, bahwa seseorang tidak tahu jika ia mempunyai potensi untuk mengetahuinya tetapi potensi itu tidak dia gunakan. Disini dia pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang dia miliki.30 Karena itu Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab. Termasuk kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia.31 Fakhr al-Dīn Al-Rāzī mentakwil dengan tiga pendapat terhadap “tidak ada paksaan dalam agama”. Pertama, Tuhan telah menggarisbawahi sebuah landasan, bahwa keimanan tidak dibangun atas paksaan, melainkan atas dasar pengetahuan dan pertimbangan matang untuk memilih agama tertentu. Karena dunia merupakan tempat dan cobaan yang mana memberikan kebebasan kepada orang lain sekali pun untuk menentukan pilihannya. Pentingnya ajaran tidak ada paksaan dalam agama juga diperkuat dengan ayat lain, jika Allah berkehendak, maka semuanya akan beriaman QS. Yunus/9: 99. Karena itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang memberikan kebebasan dalam iman. Kedua, larangan paksaan dalam agama terkait dengan kesepakatan yang dilakukan oleh orang-orang Muslim dengan orang-orang non-Muslim yang disebut ahl kitab. Pada awalnya ada semacam kebiasaan dalam dakwah, bahwa seseorang beriman akan selamat. Sebaliknya jika ia kafir, maka ia akan dibunuh. 30
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah v. 1, h. 522. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), h.380. 31
66
Tapi kebiasaan tersebut kemudian dibatalkan tatkala muncul kesepakatan bahwa orang ahl kitab telah membayar pajak. Ayat tersebut terkait dengan mereka ahl kitab yang membayar pajak. Ketiga ayat tersebut terkait mereka yang memeluk Islam setelah peperangan. Artinya bahwa mereka yang memeluk Islam bukan atas dasar paksaan atau tekanan. Tidak mungkin seseorang memeluk Islam pascaperistiwa perang atas dasar paksaan. Karena itu, tidak layak bla kepemulakan mereka atas Islam disebut sebagai paksan.32Abū Muslim dan al-Qaffāl berpendapat, ayat ini mengegaskan bahwa keimanan didasarkan atas suatu pilihan sadar dan bukan atas paksaan.33 Berdasrakan penjelasan Hamka pada tafsirnya, diantara jalan yang benar itu adalah jalan yang cerdik bijaksana sudah jelas berbeda dengan jalan yang sesat, sehingga tidak perlu dipaksakan lagi. Jika seseorang sudah melempar pengaruh thaughut dari dirinya, dan terus beriman kepada Allah, kebenaran itu pasti diterimanya dengan tidak usah dipaksakan. Yang memaksa orang menganut suatu paham walaupun itu tidak benar, tidaklah hanyalah thaughut.34 C.
Tafsiran Atas QS. Al anʻam/6: 108
1.
Sebab Turunnya Ayat Pada masanya, orang-orang muslimin mencaci maki berhala yang menjadi
sesembahan kaum kafirin. Perbuatan tersebut lama kelamaan menjadi kebiasaan, sehingga orang kafir mengadakan reakasi balasan dengan mencaci maki Allah 32 Zuhari Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi, h. 227. Lihat juga Fakhr al-Dīn Razī, Tafsīr Kabīr wa Mafātih al-Ghayb, jilid IV, h. 16-17. 33 Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama : Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h. 171. Dan Lihat pula: Fakhr al-Dīn al-Rāzi, Mafātiḥ al-Ghaib, Juz VII, h. 7. 34 Abdul Malik Amrullah, Tafsir al-Azhar, juz 13-14, h. 231.
67
sebagai Tuhan kaum Muslimin. Dengan kejadian tersebut, Allah menurunkan ayat QS. al-An’am/6: 108 dengan firmanya bahwa kaum muslimin dilarang mencaci maki sesembahan orang-orang kafir, hal tersenut sama dengan mencaci maki Allah swt.35
ۡ ۡ ۢ ۡ ْ ُّ ُ ْ ُّ ُ ُ ُ ِين َّي ۡد ِل ع َّ ۡي غ ب َّا َّم َّكذَٰل ِك و د ع َّ ٱّلل َّ َّ وا ب س ي َّ ف َّ ٱّلل َّ َّ ون ِنَّد م َّ ون ع َّ ٱَّل َّ وَلَّ َّتسبوا ِ ِ ٖۗ ِ ِ ُ ُ ُ ۡ ْ ُ ُ ۡ ُ ُ ُ ُ ُ ۡ ُ ۡ َٰ ١٠٨َّجعهمَّفينبِئهمَّبِماََّكنواَّيعملون ِ ِكَّأم ٍةَّعملهمَّثمَّإَِلَّرب ِ ِهمَّمر ِ زيناَّل “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” 2.
Penafsiran Mufasir Sikap menghargai, menghormati atas kepercayaan umat beragama sangat
dianjurkan dalam semua agama. Bahkan dalam agama Islam menekankan kepercayaan agama lain tidak dibolehkanya mencaci-maki sesembahan agama lain atau musyrik. Karena sesembahan agama lain menurutnya bagian perantara berdoa kepada Tuhannya. Seperti Ibn Kaṡīr36 dan Wahbah al-Zuḥailī37 berpendapat, Allah telah berfirman melarang Rasul-Nya dan orang-orang mukmin memaki sesembahan orang musyrik, sekalipun dalam makian itu terkandung maslahat hanya saja akan mengakibatkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar dari itu. Kerusakan yang
35 A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 381-382. 36 Abu al-Fida Isma’il Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kaṡīr, Juz VII, h. 472. 37 Wahbah al-Zuḥailī, Tafsir al-Munīr: Aqidah, Syariah, Manhaj, Juz V, h. 325.
68
dimaksud adalah balasan makian yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum mukmin.38 Seperti firman Allah Swt.
ُ ا ُ .....َّٱّللََّلََّّإِلَٰهَّإَِلَّهو َّ Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah). QS. al-Baqarah/2: 255 Riwayat Alī Ibn Abī Ṭalḥah dari Ibn Abbās berkata: Sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini Ibn Kaṡīr dan al-Rāzī mengatakan melalui jalur Ibn Abbas, orang musyrik berkata: “Hai Muhammad, bethentilah kamu dan mencaci tuhan-tuhan kami; atau kalau tidak berhenti, kami akan balas mencaci maki Tuhanmu.” Maka Allah melarang kaum mukmin mencaci berhala berhala sembahan kaum musyrik.39
ۡ ۡ ۢ ۡ ْ ُّ ُ ...... ٖۗم َّ ۡيَّعِل غ ب َّا و د ع َّ ٱّلل َّ َّ فيسبوا..... ِ ِ
“.....Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan...” Menurut riwayat al-Sudī, Abū Sufyān, Abū Jahl, dan al-Naḍr bin Haris berinisiatif menemui Abī Ṭālib untuk negosiasi larangan dakwah kepada nabi saw.40
Abu al-Fida Isma’il Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kaṡīr, Juz VII, h. 472. Abu al-Fida Isma’il Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kaṡīr, Juz VII, h. 472. Lihat juga Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Bi Tafsīr al-Kabīr Mafātiḥ al-Ghaib, Juz XII, h. 146. Al-Rāzī mengomentari terkait pendapat dari Ibn Abbas, permasalahan pertama, bahwa turunya ayat ini dengan munasabah ayat al-Anbiya/21: 98, turun secara keseluruhan. Permasalahn kedua, bahwa orang-orang musyrik sebenarnya yakin adanya Tuhan Yang Maha Esa, mereka menyembah berhala meminta pertolongan dari Allah, hanya saja berhala itu sebatas perentara. 40 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Bi Tafsīr al-Kabīr Mafātiḥ al-Ghaib, Juz XII, h. 147. Orang Quraisy berkata, mari kita berangkat ke rumah orang ini, lalu kita perintahkan dia agar mencegah keponakannya dari kita, karena Sesugguhnya kita benar-benar merasa malu bila membunuhnya sesudah Dia nieninggal dunia. Lalu orang-orang Arab akan memberikan komentarnya, bahwa dahulu Abu Talib, melindunginya, tetapi setelah Abu Talib meninggal dunia mereka baru berani membunuhnya. Nabi Saw. dipanggil, maka Nabi Saw. datang, dan Abū Ṭalib berkata kepadanya, “Mereka adalah kaummu, juga anak-anak pamanmu.” Rasulallah Saw. bertanya, “Apa yang kalian kehendaki Mereka menjawab, “kami meiginginkan agar engkau membiarkan kami dan sembahansembahan kami. maka kami pun akan membiarkan engkau dan Tuhanmu.” Nabi saw. berkata, “Bagaimana pendapat kalian jika aku menyetujui hal itu? Apakah kalian ingin memberiku suatu 38 39
69
Al-Rāzī juga mengatkan, bahwa sesungguhnya merendahkan sesembahan Allah adalah bagian dari dasar-dasar ketaatan. Maksudnya jika konteknya orangorang kafir Quraisy menghina Allah dan rasul melampui batas, maka disitulah bentuk dari ketaatan atau bentuk dari pembelaan.41
Kata )
( tasabū, terambil dari kata )
( sabba yaitu ucapan yang
mengandung makna penghinaan terhadap sesuatu, atau penisbahan suatu kekurangan atau aib terhadapnya, baik hal itu benar, lebih-lebih jika tidak benar. Sementara ulama menggaris bawahi bahwa bukan termasuk dalam pengertian ini, mempersalahkan satu pendapat atau perbuatan, tidak termasuk penilaian sesat terhadap satu agama, bila penilaian itu bersumber dari penganut agama lain. Pendapat terakhir ini tentu benar, selama tidak menimbulkan dampak negatif dalam masyarakat.42 Menurut Hamka, orang-orang yang menyembah berhala sebenarnya mengakui keberadaan dan keasaan Allah. Mereka menyembah berhala hanya sebagai media perantara yang akan menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Mereka akan marah dan membalas jika kaum Muslimin mencaci dan mencela sesembahan mereka.43 Karena itu orang yang memaki sesembahan atau pendirannya tidaklah menunjukkan seseorang berilmu.
kalimat Yang kalian ucapkan kalimat ini niscaya kalian akan menjual semua orang Arab dengannya dan tunduklah kepada kalian semua orang ‘Ajam (selain Arab), serta akan membayar upeti kepada kalian?” Abū Jahl bertanya,, “Demi ayahmu, kami benar-benar akan memberimu sepuluh kali lipat dan apa yang engkau minta, tetapi apakah yang engkau maksudkan dengan kalimat itu?’ Nabi saw. bersabda: ّ َّقُوْ الُوْ ا الَإِلَهَ إِال ُللا
Ucapkanlah “Tidak ada tuhan selain Allah” Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Bi Tafsīr al-Kabīr Mafātiḥ al-Ghaib, Juz XII, h. 148. 42 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 4 ( Jakartaa: Lentera Hati, 2001), h. 236. 43 Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Juz. VII, h. 304. 41
70
Sementara Quraish Shihab berpendapat, redaksi ayat ini ditunjukkan kepada umat Muslim, secara khusus untuk bimbingan yang menyangkut larangan mencaci tuhan-tuhan mereka. Hal ini mungkin dilakukan oleh kaum Muslimin karena terdorong emosi menghadapi kaum musyrikin atau ketidak tahuan mereka.44
Lebih lanjut, penggunaan kata الذينQuraish Shihab mengutip al-Baqā’ī, menunjukkan kepada berhala-berhala sesembahan kaum musyrikin, satu kata hanya digunakan kepada makhluk berakal dan berkehendak. Bisa jadi, kata tersebut sengaja dipilih untuk menunjukkan betapa sesembahan jangan dimaki karena kaum musyrikin percaya bahwa berhala-berhala tersebut berakal dan berkehendak.45 Dari pengertian dia atas, kesimpulan bahwa meninggaIkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya mafsadat (kerusakan) yang jauh lebih parah dari pada maslahat adalah hal yang diperintahkan.46 Bab sebelumnya (tiga) telah dijelaskan pemahaman intelektual Muslim Indonesia terhadap ayat-ayat hubungan antarumat beragama, selanjutnya penulis akan menganalisa dalam bentuk tabel. Sebelum menganalisa pembahasan Intelektual Muslim Indonesia, maka penulis terlebih dahulu akan menganalisa penfasiran mufasir terhadap ayat-ayat yang dikaji dalam bentuk tabel sebagai bahan komprehensif.
44
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 3 h.
45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 3 h.
46
Abu al-Fida Isma’il Ibn Kaṡīr ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kaṡīr, Juz VII, h. 474.
605. 605.
71
Tabel 4.1: Penafsiran Mufasir Klasik dan Modern
No 1.
2.
Ayat
Penafsiran Klasik Ibn Kaṡīr QS. 2: Berbuat baik dari 62 kalangan-kalangan umat terdahulu dan taat, beriman kepada hari akhir, beriman kepada Rasul dan nabi yang ummi (Muhammad Saw.). QS. 2: Tidak memaksa untuk 256 masuk Islam. Islam sudah jelas, terang ada dalilnya dan buktibuktinya. Untu masuk Islam, Allah yang memberi hidayah
Al-Rāzī Beriman kepada Allah dan para Rasul
Penafsiran Modern Wahbah Zuḥailī Beriman kepada Allah, Rasul dan beramal saleh
Keimanan didasarkan Islam jalan yang benar, atas suatu pilihan sadar selian itu dianggap dan bukan atas paksaan. sesat. maka semua seseorang bisa memilih beriman atau kafir.
M. Quraish Shihab Beriman kepada Rasul, beriman kepada Allah dan hari akhir dan beramal saleh
Hamka Beriman kepada Allah, beriman kepada Rasul dan hari akhir dan beramal saleh
Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggap baik. Termasuk kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia.
Jalan yang benar itu adalah jalan yang cerdik bijaksana sudah jelas berbeda dengan jalan yang sesat, sehingga tidak perlu dipaksakan lagi. Jika seseorang sudah melempar pengaruh thaughut dari dirinya, dan terus beriman kepada Allah, kebenaran itu pasti diterimanya dengan tidak usah dipaksakan.
72
3.
QS. 6: Allah berfirman 108 melarang Rasul-Nya dan orang-orang mukmin memaki sesembahan orang musyrik, sekalipun dalam makian itu terkandung maslahat hanya saja akan mengakibatkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar dari itu. Kerusakan yang dimaksud adalah balasan makian yang dilakukan oleh orangorang musyrik terhadap Tuhan kaum Mukmin.
Ayat ini terkait dengan kontek ucapan Kaum kafir Quraisy kepada Rasul; “Bahwasanya Qur’an ini hasil dari diskusi Muhamad dan para sahabat” ketika ucapan tersebut terdengar oleh orang Muslimin, orang muslimin marah, tersinggung dan menghina Tuhan orang kafir Quraisy. Orang Quraisy pun membalas dengan makian melampui batas.
Allah berfirman melarang Rasul-Nya dan orang-orang mukmin memaki sesembahan orang musyrik, sekalipun dalam makian itu terkandung maslahat hanya saja akan mengakibatkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar dari itu. Kerusakan yang dimaksud adalah balasan makian yang dilakukan oleh orangorang musyrik terhadap Tuhan kaum Mukmin.
Redaksi ayat ini ditunjukkan kepada umat Muslim, larangan mencaci tuhan-tuhan mereka. Hal ini boleh jadi dilakukan oleh kaum Muslimin karena terdorong emosi menghadapi kaum musyrikin atau ketidak tahuan mereka.. Bisa jadi, kata tersebut sengaja dipilih untuk menunjukkan betapa sesembahan jangan dimaki karena kaum musyrikin percaya bahwa berhala-berhala tersebut berakal dan berkehendak.
Orang-orang yang menyembah berhala sebenarnya mengakui keberadaan dan keasaan Allah. Penyembahan berhala hanya sebagai media perantara yang akan menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Mereka akan marah dan membalas jika kaum Muslimin mencaci dan mencela sesembahan mereka. Karena itu orang yang memaki sesembahan atau pendirannya tidaklah menunjukkan seseorang berilmu.
73
Tabel 4.2: Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia No.
Nama Tokoh QS. 2: 62 Analisa Abd. Moqsith Ghazali, dalam ayat itu tidak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, Shabi’in beriman kepada Nabi Muhammad, asalkan dia beriman kepada Allah, Hari Akhir serta melakukan amal saleh.
1.
Abd. Moqsith Ghazali
2.
Zuhairi Misrawi
Umat agama lain (Yahudi, Nashrani dan Shabi’in) akan masuk surga, asalkan mereka beriman kepada Allah dan beramal saleh.
3.
Budhy Munawar Rachman
Ia menggap bahwa ayat ini dibantah oleh kelompok eksklusif pada QS. 3: 85, ia memahami pada ayat tersebut dalam pengertian Islam yakni, sikap pasrah kepada Tuhan dan segenap risalah langit, dan meluruskan
Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia Ayat QS. 2: 256 QS. 6: 108 Kebebasan beragama bukan hanya Kepercayaan seseorang terhadap suatu mendapatkan legitimasi normatifagama harus dilindungi. Islam teologis, melainkan dikukuhkan dari mengajarkan, perbedaan berkeyakinan sudut pandang politik, yaitu piagam atau berketuhanan, seseorang tidak Madinah. dibenarkan menggangu kepercayaan agama lain.
Paradigma kesetaraan dalam agama, tidak hanya pada pilihan teologis tapi harus diimbangi dengan pilihan sosiologis. Karena kedua paradigma ini sangat penting dalam pemahaman tidak ada paksaan beragama. Dilain sisi, Tuhanlah yang menegaskan pentingnya kebebasan beragama. -
-
Larangan agama Islam untuk tidak mecaci-maki sesembahan agama lain, karena kitab suci agama lain bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.
74
4.
5.
6.
dan menyempurnakan ajaran nabi-nabi terdahulu demi mengajarkan makna hidup yang berorintasikan kepada Tuhan yang Maha Esa. Penegasan berdsarkan pada QS. 2: 131; QS. 22: 34. Nurcholish Kedatangan nabi diperintahkan Madjid untuk mengajak Ahli Kitab menuju kalimatun sawā yaitu menuju kepada Tuhan Yang Esa. Selain itu, Nurcholish juga mengatakan Ahli Kitab yang rajin membaca kalam ilahi, beribadah, beriman kepada Allah serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar, hal ini berdasarkan pada QS. 3: 113-115. Jalaludin Rakhmat Keselamtan bukan karena kelompok keagamaan, melainkan keputusan Allah bergantung pada beramal baik dan keimanan yang benar. Qosim Nurseha Ayat tersebut menyebutkan Dzulhadi agama Yahudi dan Nashrani, tapi yang diakui al-Qur’an adalah konsep awal yang masih orisinil yang dibawakan risalah pada Nabi
Tidak ada paksaan beragama, karena manusia dianggap sudah mampu membedakan mana jalan yang benar dan mana jalan yang dianggap salah. Sehingga manusia dianggap dewasa dan menentukan jalan hidupnya yang benar tanpa harus dipaksa.
-
-
-
-
-
75
7.
Rizie Shihab
8.
Amin Suma
9.
Abdurrahman Wahid
Musa dan Isa as., setelah wafatnya nabi musa dan isa agama ini berubah total. Sehingga kedua agama ini sudah di-naskh dengan kehadiran Islam. Agama yang diterima Allah hanyalah Islam, jika mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima. (QS. 3: 19, 85). Pembagian dua kelompok keagamaan dalam ayat ini, orang yang beriman dan kafir. Ketegasan al-Qur’an Amin Suma mengatakan, bahwa Yahudi, Nashrani, dan Shabi’in digolongkan kepada kelompok orang-orang kafir. Sebagaimana al-Qur’an menyebutkan QS. 2: 105; QS.3: 70; QS. 59: 11; dan QS. 98: 1 dan 6. -
-
-
-
-
Sikap pemerintah yang diskriminasi terhadap warga negara asing, pemerintah beranggapan, negara dapat menentukan agama yang diakui di Indonesia. Yang seharusnya negara membantu peranan masyarakat, bukan mengubah suatu agama. Sebagaimana al-Qur’an
76
10.
M. Quraish Shihab
-
menjelaskan Lā ikrāha fī al-dīn -
11.
Departemen Agama
-
-
Kaum Musyrikin meyakini bahwa berhala adalah makhluk berakal dan berkehendak, maka sesembahan mereka jangan dimaki, hal ini dapat menyebabkan membalas makian melampui batas. Ayat ini ada kertaitanya dengan dakwah, larangan mencaci-maki, menghina dan merendahkan agama lain, akan timbul konflik antaragama yang saling balas cacian terhadap Tuhan yang dianutnya. Tindakan cacian terhadap simbol keagamaan adalah hal yang diharamkan.
77
Dari penafsiran mufasir dan pemahaman intelektual Muslim Indonesia di atas maka terdapat perbedaan dan kesamaan. Perbedaan yang paling mencolok atau terlihat pada QS. al-Baqarah/2: 62 pengakuan adanya jaminan keselamatan di hari akhir. Sebagai sosok intelektual Muslim Indonesia Abd. Moqsith Ghazali, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rachman, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat sepakat menerima bahwa agama-agama lain mendapatkan jaminan keselamatan di hari akhir. Kesesuaian dari penafsiran mufasir ini (Ibn Kaṡir, Fakhr al-Dīn al-Rāzī Wahbah al-Zuḥailī, Hamka, M. Quraish Shihab). Sedangkan yang menolak jaminan keselamatan di hari akhir; Amin Suma dan Rizieq Shihab kesesuain dari penafsiran mufasir al-Zamakshari, Sayyid Quthb. Pada al-Baqarah/2: 256 dan al-An’am/6: 108, hampir tidak ada perbedaan antara Intelektual Muslim Indonesia dengan perwakilan mufasir klasik dan modern. Tidak ada paksaan beragama adalah hak setiap orang untuk memilih suatu agama mana yang dianggap baik dan buruk, tanpa ada unsur pemaksaan. Kemudian ayat al-An’am/6: 108, menjelaskan tentang larangan umat Islam untuk tidak mencaci-maki, menghina dan merendahkan agama lain, karena akan timbul konflik antaragama yang saling balas cacian terhadap Tuhan yang dianutnya. D.
Implikasi Pemahaman atas Isu-isu Hubungan Antarumat Beragama Damapak dari isu-isu terkait dalam hubungan sosial (lihat bab II isu-isu
terkait tentang hubungan antarumat beragama) maka, akan terjalinnya hubungan yang harmonis, terhindar dari konflik sara bernuansa agama atau sebaliknya. Hal ini bisa dilihat dari setuju atau tidak setuju dari kelompok penafsiran di atas.
78
1.
Kepemimpinan non-Muslim Aneka ragamnya pemikiran atau pandangan intelektual Muslim Indonesia
berdasarkan atas keilmuan dibidangnya. Pandangan tersebut ada yang setuju atau tidak setuju. Jika dikaitkan kepemimpinan non-Muslim, pandangan itu setuju, seperti gagasan Abdurrahman Wahid ataupun Quraish Shihab tentang merayakan Isa, akan terjalin hubungan kemesraan dan kerukunan hidup beragama di Indonesia. Jika tidak bertujuan untuk mencampur adukan akidah atau keimanan yang prinsipil masing-masing agama.47 Sebaliknya jika pandangan itu tidak setuju, maka pendapat yang dikemukakan oleh FPI dalam kepemimpinan non-Muslim atas penafsiran amar ma’ruf nahi munkar dalam bukunya ditulis oleh Habib Rizieq48 berjudul, Dialog FPI Amar Ma’ruf Nahi Munkar, al-Qur’an melarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.49
47 Em Farabi Afandi, “Merayakan Isa” dalam Majalah Pesantren Ciganjur: Menjejaki Kiai, Menelusur Gusdur (Jakarta: Desember 2016), h. 13. 48 Pemikiran dakwah Habib Rizieq dalam hal amar ma’ruf nahi munkar merujuk pada alQur’an dan As-Sunnah cara yang digunakan dengan tegas dan keras, tujuannya agar masyarakat mempunyai rasa tanggung jawab dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan bagian dari tegaknya syari’at Islam. 49 Dalil atau ayat al-Qur’an yang dikemukakan oleh FPI antara lain; pertama, al-Qur’an melarang menjadikan orang kafir sebagi pemimpin, berdasarkan QS. Ali Imrān/2: 28. Kedua, AlQur’an melarang menjadikan orang kafir walaupun kerabat sendiri QS. al-Tawbah/9: 23, QS. Al Mujādalah/58: 22. ketiga, al Qur’an melarang menjadikan orang kafir teman setia QS. Ali Imrān/3: 118. Keempat, al-Qur’an melarang saling tolong menolong dengan orang kafir yang merugikan umat Islam QS. al Tawbah/9: 16. Kelima, al-Qur’an melarang menaati orang kafir untuk menguasai Muslim QS. ali Imrān/3: 14-15. Keenam, al-Qur’an melarang beri peluang kepada non-Muslim sehingga menguasai umat Islam QS. al Nisā/4: 141. Ketujuh, al-Qur’an memvonis munafiq kepada orang Muslim yang menjadikan kafir pemimpin al Nisā/4: 13-14. Kedelapan, alQur’an memvonis zalim kepada orang Muslim yang menjadikan kafir pemimpin QS. alMāidah/05: 51. Kesembilan, al-Qur’an memvonis fasiq kepada orang Muslim yang menjadikan kafir pemimpin QS. al-Māidah/5: 80-81. Kesepuluh, al-Qur’an mengancam adzab kepada orang Muslim yang menjadikan kafir pemimpin QS. al-Mujādalah: 58: 14. Kesebelas, al-Qur’an mengajari berdoa agar umat Islam selamat dari sasaran fitnah orang kafir QS. al-Mumtahanah/60: 5. M. Suryadinata, “Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur’ān Analisis terhadap Penafsiran
79
Berdasarkan penafsiran Ibn Kaṡīr, Fakr al-Dīn al-Rāzī, Wahabah al-Zuhailī, Hamka, M. Quraish Shihab. Jika seseorang beriman kepada Allah, Rasul, Hari Akhir, dan beramal saleh, maka implikasinya dia akan memilih pemimpin nonMuslim tanpa harus masuk agama Islam. Sedangkan jika melihat penafsiran al-Zamakhsyari dan Sayyid Quthb, jika seseorang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan amal saleh dan masuk Islam dengan tulus, maka implikasinya adalah ia akan memimilih pemimpin yang seiman. 2.
Ucapan Selamat Natal Sejauh pengamatan penulis, biasanya pada tanggal 25 Desember, adalah
perayaan hari besar umat Kristiani dan ditetapkan sebagai hari libur resmi. Esensi dari umat Kristen adalah merayakan anugrah terbesar yang Allah sediakan. Sejarah selalu membuahkan polemik terhadap perayaan hari tersebut di kalangan umat Islam. Seperti Ibn Qayyim Jauziyah berpendapat, menghadiri peringatan natal bersama, apalagi menyiarkan besar-besaran di tengah masyarakat Muslim adalah tindakan tercela.50 Lebih lanjut Ibn Qayyim Jauziyah mengatakan, memberi ucapan selamat atas hari-hari besar non-Muslim berarti meridhai kekufuran.51
FPI Mengenai Ayat Pemimpin Non-Muslim” Jurnal Ilmu Ushuluddin 2, no. 3, (Januari-Juni 2015): h.246-247. 50 Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia; Studi Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), h.73 h.120-121. 51 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Al-Qur’an dan Kebinekaan: Tafsir al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011), h.88.
80
Rizieq Shihab juga sependapat dengan Ibn Qayyim, jika mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani, berarti mengakui selamat atas lahirnya Anak Tuhan (Yesus Kristus sebagai anak Tuhan), hal ini bertentangan dengan akidah Islam, bahwa Tuhan tidak beranak dan tidak pula diperanakan (QS. al-Ikhlas/112: 3).52 MUI dalam hal ini secara tegas memfatwakan53 keharaman mengikuti perayaan natal, namun tidak menyinggung secara tegas mengenai hukum mengucapkan natal. Pendapat yang membolehkan ucapan selamat natal seperti Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah54 dan Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama55, mereka sepakat bahwa mengucapkan selamat natal
adalah mubah,
karena bagian dari prilaku yang bijak dan budi mulia yang dianjurkan agama Islam, sebagai mana firman Allah swt. (QS. an-Nisā/4: 86) “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.”
Aksi Bela Islam III, “CERAMAH LAUR BIASA HABIB RIZIEQ# NATAL” video ini di akses pada 24-01-2017 dari: https://www.youtube.com/watch?v=2gSRxzxVdH8. 53 Fatwa MUI yang ditetapkan di Jakarta pada tahun 7 Maret 1981 yang berisi sebagai berikut: pertama, Perayaan di Indonesia meskipun tujuannya meraykan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas. Kedua, mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Ketiga, agar umat Islam tidak terjerumus keapada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatankegiatan Natal. Ma’ruf Amin dkk, ed., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975 ( Jakarta: Erlangga, 2011), h.314. 54 Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antaraumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), h. 72. 55 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Al-Qur’an dan Kebinekaan: Tafsir al-Qur’an Tematik, h.83. 52
81
Mengucapkan natal tidak hanya diberikan kepada umat Kristiani, melainkan juga kepada orang-orang yang mengimani kenabian Isa al-Masiḥ, termasuk umat Islam.56 Bagi umat Islam yang tidak bersentuhan secara sosial dengan non-Muslim tidak perlu mengucapkan selamat natal, namun bagi Muslim yang aktif berinteraksi dengan mereka sangat baik untuk menyampiakan selamat natal dengan keharusan bersikap hati-hati dalam niatnya.57 Penulis lebih sepakat dengan pendapat Lajnah Pentashihan Mushaf alQur’an, agar lebih bersikap dewasa, lebih toleran dan lebih arif dalam menjalani hidup berdampingan secara damai antarumat beragama. 3.
Murtad Sejatinya hukum agama yang tertulis dalam al-Qur’an dan hadis terhadap
orang yang murtad dijatuhi hukuman mati. Namun, impilikasinya jika pembunuhan itu dilakukan maka menyalahi ketentuan hukum Islam dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia internasional 1948. Dalam hal ini, ada sebuah hukum Islam (qaidah al-fiqh), bahwa keadaan tertentu dapat memaksa sebuah larangan untuk dilaksanakan (al-dharūratu tubīhu al-madhūrāt). Jika hukuman mati terhadap orang murtad dilaksanakan, maka lebih 25 juta jiwa penduduk Indonesia dapat dijatuhi hukuman mati.58
Abd. Moqsith, Perspektif al-Qur’an tentang Prluralitas Agama Umat beragama, h. 221. Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Al-Qur’an dan Kebinekaan: Tafsir al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011), h.90. 58 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi 2th (Jakarta: The Wahid Instutite, 2006), h.127. 56 57
82
Bila dampak atau implikasi pembunuhan itu tidak mau terjadi maka tugas da’i akan semakin berat. Yaitu memastikan setiap orang merasa nyaman, ketika ia memeluk suatu agama. Tidak bisa lagi dai menyampaikan ceramahnya, tapi tidak bisa menjadi teladan. Maka pada prinsipnya selama dia nyaman di agama tersebut, kenapa ia harus keluar agama. Kemungkinan ketidak nyamanan di agamanya karena tekanan. bisanya orang-orang murtad itu karena konversi pernikahan, ekonomi dan faktor pribadi dalam keluarganya.59 Kasus lain dari perpindahan agama atau murtad adalah pernikahan beda agama yang menjadi polemik di Indonesia. Biasanya terjadi karena kesenjangan ekonomi (materi) atau seseorang murni menjalani hubungan asmara yang mendalam, sehingga mereka menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai pondasi utama untuk membangun rumah tangga agar kekal dan abadi. Sekian banyak pernikahan beda agama di Indonesia, ada salah satu pernikhan didasari materi. Seperti terjadi Kelurahan Bendan Ngisor, Kecamatan Gajah Mungkur kota Semarang, pernikahan beda agama adalah hal yang biasa. Tujuan dari pernikhan beda agama, adalah agar terhindar dari jerat hukum.60 Pernikahan beda agama karena murni atas cinta dan kasih sayang mereka tanpa ada paksaan dari pihak agamanya masing seperti Ahmad Nurcholish (Muslim) dengan Ang Mei Youg (Konghucu).61
59
Wawan cara pribadi dengan Eva Nugraha. Radhiah Amna, dkk., “Pernikhan Beda Agama dan Implikasi terhadap Pola Asuhan Anak.” Journal of Educational Social Studies 5 no. 1 (April –Juni 2016): h. 86-87. 61 IslamLib, “Ahmad Nurcholish dan Ang Mei Yong: Beragama Sama Bukan Jaminan Rumah Tangga Bahagia” di askses pada 20-01-2017, pada http://islamlib.com/agama/ahmadnurcholish-dan-ang-mei-yong-beragama-sama-bukan-jaminan-rumah-tangga-bahagia/ 60
83
Menurut Abd. Moqsith Ghazali, ada tiga kelompok dalam pernikahn beda agama. Kelompok pertama, ulama secara mutlak mengharamkan dengan dalil; alBaqarah/2: 221, al-Mumtahanah/60: 10, dan al-Maidah/5: 5. Kelompok kedua, keharaman menikahi musyrik dan kafir telah dibatalkan oleh al-Maidah/5: 5. Kelompok ketiga ulama yang membolehkan secara mutlak, ulama ini melanjutkan argumen ulama kedua yang tidak tuntas. Jika ulam kedua membolehkan pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama ketiga sebaliknya.62 Untuk pernikahan dan kesenjangan ekonomi apa solusi yang diberikan, sehingga dia merasa nyaman di agama tersebut. Ketika seseorang mencintai dan ingin melakukan kejenajang pernikahan dalam perbedaan agama. Maka pendidikan agamanya yang harus dicapai dengan baik agar pernikhan beda agama tidak terjadi. Biasanya perdebatan dalam pernikahan beda agama perempuan muslim dengan laki-laki non-Muslim. Kekhawatiran atas perbedaan beda agama itu, orang-orang Islam menjadi sedikit dan orang non-Muslim menjadi lebih banyak.63 Persoalan pernikahan beda agama tidaklah dilarang, karena hal ini adalah persoalaan individu atas kasih sayang di antara dua insan lawan jenis dan saling mendukung di antara keluarga dua belah pihak. Misalnya dalam hal peribadatan mengingatkan atau menghormati dalam perbedaan agama, apakah peribadahan itu menjadi taat atau sebaliknya.
62 Abd. Mosith Ghazali, “Hukum Nikah Beda Agama” di akses pada 20-01-2017 di http://islamlib.com/kajian/fikih/hukum-nikah-beda-agama/ Lihat juga Abdul Mosith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 336-339. 63 Wawan cara pribadi dengan Eva Nugraha, Pondok Cabe 6 Januari 2017.
84
Dalam pernikahan beda agama seseorang bisa masuk Islam atau Kristen baik laki-laki atau perempuan tanpa adanya unsur pemaksaan atau sebaliknya. Pada dasarnya cinta itu bukan untuk merubah, cinta itu membiarkan orang yang kita cintai, menjadi sebagai mana yang dia inginkan.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan hubungan antarumat beragama dalam
al-Qur’an terhadap kesesuaian Intelektual Muslim Indonesia atas mufasir klasik dan modern. Dari tiga ayat QS. al-Baqarah/2: 62, al-Baqarah/2: 256 dan al-An’am/6: 08, dapat disimpulkan terdapat perbedaan dan kesesuain terhadap pemahaman intelektual Muslim Indonesia dengan perwakilan mufasir klasik dan modern. Perbedaan yang terlihat pada QS. al-Baqarah/2: 62 pengakuan adanya jaminan keselamatan di hari akhir. Sebagai sosok intelektual Muslim Indonesia Abd. Moqsith Ghazali, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar Rachman, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, mereka sepakat bahwa agama-agama lain (Yahudi, Nashrani, Shabi’in) mendapatkan jaminan keselamatan di hari akhir. 1.
Abd. Moqsith Ghazali, ia mengatakan tidak ada ungkapan dalam al-Qur’an agar orang Yahudi, Nashrani, Shabi’in harus beriman kepada Nabi Muhammad.
2.
Zuhairi Misrawi, Yahudi, Nashrani, Shabi’in akan masuk surga asalkan mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan bermal saleh.
3.
Budhy Munawar Rachman, dalam pengertian Islam pada QS. 3: 85 adalah sikap pasrah kepada Tuhan dan segenap risalah langit, dan meluruskan
dan
menyempurnakan ajaran nabi-nabi terdahulu demi mengajarkan makna hidup
85
86
yang berorintasikan kepada Tuhan yang Maha Esa. Penegasan berdsarkan pada QS. 2: 131; QS. 22: 34. 4.
Nurcholis Madjid, Kedatangan nabi diperintahkan untuk mengajak Ahli Kitab menuju kalimatun sawā yaitu menuju kepada Tuhan Yang Esa atas dasar QS. 3: 113-115.
5.
Jalaluddin Rakhmat, Keselamtan bukan karena kelompok keagamaan, melainkan keputusan Allah bergantung pada beramal baik dan keimanan yang benar. Berdasarkan hasil penelitan pada bab sebelumnya, kesesuaian dari pemahaman
intelektual Muslim Indonesia pada penafsiran mufasir: Ibn Kaṡir, Fakhr al-Dīn al-Rāzī Wahbah al-Zuḥailī, Hamka, M. Quraish Shihab. Sedangkan yang menolak jaminan keselamatan di hari akhir; 1.
Amin Suma, Yahudi, Nashrani, dan Shabi’in digolongkan kepada kelompok orang-orang kafir. Sebagaimana al-Qur’an menyebutkan QS. 2: 105; QS.3: 70; QS. 59: 11; dan QS. 98: 1 dan 6.
2.
Rizieq Shihab, agama yang diterima Allah hanyalah Islam, jika mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima, dengan landasan QS. 3: 19, 85. Dari pendapat di atas, maka kesesuain dari pemahaman mereka atas penafsiran
mufasir al-Zamakhsyari dan Sayyid Quthb. Pada QS. al-Baqarah/2: 256 dan al-An’am/6: 108, hampir tidak ada perbedaan antara Intelektual Muslim Indonesia dengan perwakilan mufasir klasik dan modern. Tidak ada paksaan beragama adalah hak setiap orang untuk memilih suatu agama mana
87
yang dianggap baik dan buruk, tanpa ada unsur pemaksaan. Kemudian ayat alAn’am/6: 108, penulis lebih sepakat pendapat Departemen Agama, yaitu larangan umat Islam untuk tidak mencaci-maki, menghina dan merendahkan agama lain, karena akan timbul konflik antaragama yang saling balas cacian terhadap Tuhan yang dianutnya. Tindakan cacian terhadap simbol keagamaan adalah hal yang diharamkan. Berdasarkan hasil analisa maka penulis sepakat dengan pendapat Fazlur Rahman atau pun Nurcholish Madjid, menemukan titik temu antara Islam, iman dan takwa yang paling kongkrit yaitu kalimatun sawā yaitu menuju kepada Tuhan Yang Esa. Artinya, dengan kepercayaannya yang teguh dan kepatuhan yang mutlak kepada Allah. Kaum Muslimin merealisasikannya kedalam sikap-sikap positif yang dapat mencegah dari segala bentuk prilaku yang akan menghancurkan kemanusian dan dunia. Dari sikap tersebut akan membuahkan hasil kedamian dan keamanan secara menyeluruh jalan yang terbentang dihadapan mereka adalah jalan kemajuan, toleransi dan rasa kesamaan, bukan jalan angakara murka, permusuhan dan pengrusakan. B.
Saran Penelitian ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Dalam sebuah penelitian
pasti masih menyisakan masalah yang belum tuntas. Dalam skripsi ini, penulis hanya mengumpulkan pendapat Intelektual Muslim Indonesia terkait ayat hubungan antarumat beragama dan kesesuaian penafsiran perwakilan mufasir klasik dan modern. Maka, perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antarumat beragama pada kajian kontekstual, terhadap ayat-ayat hubungan antarumat beragama
88
yang merupakan salah cara untuk mewujudkan ekstensi al-Qur’an dalam menjawab perkembangan zaman dengan merelevansikan teks dan konteks. Penulis merasa, pada skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Sehingga penelitian ini bisa lebih sempurna dengan penelitian selanjutnya. Karena penulis merasa dalam tahap belajar. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2013. Afandi, Nur Kholik. “Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama Dalam Bingkai Pluralitas Kewarganegaraan.” Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan V, XVI, no. 1 (Januari 2014): h.14. Ahmad, Haidlor Ali. ed., Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/Perselisihan Rumah Ibadat. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012. Aisyah, Siti. “Konflik Sosial dalam Hubungan antar Umat Beragama”, Jurnal Dakwah Tablig, V, 15, No. 2 (Desember 2014): h. 192. Amin, Ma’aruf. Empat Bingkai Kerukunan Nasional, Editor Arif Fahruddin. Serang: Yayasan an-Nawawi, 2013. Amin, Ma’ruf. dkk, ed., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Jakarta: Erlangga, 2011. Amin, Ma’ruf. Harmoni dalam Keberagaman Dinamika Relasi Agama-Negara. Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Antar Agama, 2011. Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat: Mahzhab Ciputat, 2013. Amna, Radhiah. dkk., “Pernikhan Beda Agama dan Implikasi terhadap Pola Asuhan Anak.” Journal of Educational Social Studies 5 no. 1 (April –Juni 2016): h. 8687. Azra, Azyumardi. Jejak-jejak Jaringan Kaum Muslim: dari Austria Hingga Timur Tengah, Jakarta: Hikmah, 2007. Baidan, Nasharuddin. Metode Penafsiran al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, t.t. Castiah, Tati. “Farid Esack dan Paham Pluralisme Agama,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Depag. Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama, 1982. Departemen Agama RI, Hubungan Antar Umat Beragama: Tafsir al-Qur’an Tematik. Jakarta: Departeman Agama RI, 2008.
89
90
Dialogue Centre PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan PSAA Fakultas Theologia UKDW Yogyakarta, Meniti Kalam Kerukunan: Beberapa Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2010. Al-Dimasyqī, Abū al-Fidā’ Ismā‘īl Ibn Kaṡīr. Tafsīr Ibn Kaṡīr fī Tafsīr al-Qur’ān al‘Aẓīm, Juz I, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000. ___, Abū al-Fidā’ Ismā‘īl Ibn Kaṡīr. Tafsīr Ibn Kaṡīr fī Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz III, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000. Dinata, Muhammad Ridho. “Konsep Toleransi Beragama dalam Tafsir al-Qur’an Tematik Karya Tim Departemen Agama Republik Indonesia”, Esensia Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin XIII, No. 1, Januari 2012, h.104-105. Dzulhadi, Qosim Nursheha. Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia; Studi Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme. Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012. Em Farabi Afandi, “Merayakan Isa” dalam Majalah Pesantren Ciganjur: Menjejaki Kiai, Menelusur Gusdur. Jakarta: Desember 2016. Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara, 2002. Esack, Farid. al-Qur’an Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas. Bandung: Mizan, 2000. Ghazali, Abd. Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an. 2th Depok: KataKita, 2009. Hadi, Rahmini. “Pola Kerukunan Umat beragama di Banyumas,” Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam V, 14, No. 1 (Januari-Juni 2016): h. 69. Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Haris, Abdul. “Konsep Kemajemukan Agama Menurut al-Qur’an.” Tesis S2 Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999. Al-Hufi, Ahmad Muhammad. Toleransi Islam. Kairo: S.O.P Press, t.t. Iqbal, Asep Muhammad. Yahudi dan Nasrani dalam al-Qur’an: Hubungan antar Agama Menurut Syaikh Nawawi Banten. Jakarta: Teraju, 2004. Ismail, Arifuddin. “Refleksi Pola Kerukunan Umat Beragama: Penomena keagamaan di Jawa Tengah, Bali dan Kalimantan Barat,” Analisa V, XVII, No. 02, (JuliDesember 2010): h. 176.
91
Ismail, Faisal. Islam Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah. Yogya: Tiara Kencana Group, 1999. Juandi. “Kerukunan Umat Beragama dalam Perspektiif Islam,” Akademika V, 18, no. 2 (2013): h. 2. Khalik, Abu Tholib. “Pemimpin non-Muslim dalam Perspektif Ibnu Taimiyah,” ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman 14, no. 1 (Juni 2014): h. 64. Kironosasi, Endang. dkk. Deskripsi Wilayah Poso dalam Rusmin Tumangggor dkk, Konflik dan Modal Kedamaian Sosial dalam dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di Tanah Air: Studi Penelusuran Idea di Kawasan komunitas Krisis Integritas Bangsa dalam Merambah Kebijakan. Jakarta: Lemlit dan LPM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. Klinker, Gerry Van. Pelaku Baru, identitas baru kekerasan antar suku pada masa pasca Soeharto di Indonesia dalam Dewi Fortuna Anwar, dkk. Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an. Al-Qur’an dan Kebinekaan: Tafsir al-Qur’an Tematik. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011. Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995. Madjid, Nurcholish. Pintu-pintu Menuju Tuhan, 5th ed. Elza Peldi Taher. Jakarta: Paramadina, 1999. Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar umat Beragama. Yogyakarta: Pustaka SM, 2000. Mas’ud, Abdurahman. Kerukunan Umat Beragama Dalam Sorotan 10 Tahun Refleksi Dan Evaluasi Kebijakan Dan Program Pusat Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Kementrian Agama RI PKUB, 2011. Masduqi, Irwan. Berislam Secara Toleran, Bandung: Mizan, 2011. Matondang, Ikhwan. “Hak Kebebasan Beragama dalam Bingkai Relatifitas Hak Asasi Manusia,” Ilmu Ushuluddin 2, no. 3 (Januari – Juni 2015): h. 351. Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta: Fitrah, 2007.
92
Moqsith, Abdul. “Perspektif al-Qur’an tentang Prluralitas Agama Umat beragama.” Desertasi UIN Jakarta. Moqsith, Abdul. “Tafsir atas Hukum Murtad dalam Islam,” Ahkam XIII, no. 2 (Juli 2013): h. 283. Muhaimin. Konflik Etno Relegius Indonesia Kontemporer, Editor Moh. Soleh Isre. Jakarta: Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama , 2003. Nakulianto. “Mencairkan sikap Ekslusivisme kalangan Tokoh-tokoh Organisasi Keagamaan Pemuda” dalam M. Zainuddin Daulay, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2001. Nasution, Harun. Islam ditinjau dari Berbagai Aspek, jil. 1, Jakarta: UI Press: 1985. cet. Ke-5. Nurcholish, Ahmad. Pengalaman EmpirisPernikahan Beda Agama, Yogyakarta: LkiS Yogayakarta, 2004. Nurdin, M. Ali. “Hubungan Antarumat Beragama dalam Pandangan al-Qur’an,” Jurnal Studi al-Qur’an I, no. 3 (2006): h. 2. Nurkomala, Rima. Jihad Inteletual Azyumardi Azra dalam Membina Kerukunan Umat Beragama. Bandung: Royyan Press, 2013. Pranowo, M. Bambang. Orang Jawa Jadi Teroris. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2011. Al-Qardhawi, Yusuf. Fiqih Jihad: Sebuah karya Monumental terlengkap Tentang Jihad Menurut al-Qur’an dan Sunnah, Penerjemah Irfan Maulana Hakim, dkk. Bandung: Mizan, 2010. Al-Qattān, Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-ilmu Quran, terj. Mudzakir. AS., Bogor: Litera Antar Nusa, 2009. Cet. 13, Al-Qurthubi. Tafsir Al-Qurṭubī fī al-Jāmi‘ al-Aḥkām al-Qur’ān, Penerjemah: Fathurrahman dan Ahmad Hotib Ed. Mukhlis B. Mukti, vol. 2 Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur’an: Di bawah Naungan al-Qur’an Jilid 1, Penerjemah: As’ad Yasin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Rachman, Budhy Munawar. Ensiklopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban. Jakarta: Democrasy Project, 2011.
93
Rachman, Budhy Munawar. Argumen Islam untuk Plulalisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya. Jakarta: Grasindo, 2010. Rachman, Budhy Munawar. Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid. Jakarta: Paramadina, 2007. Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis:Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina, 2001. Rakhmat, Jalaluddin. Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan. Jakarta: serambi Ilmu Semesta, 2006. Robbins, Stephen P. dkk. Organization Behavior 12th ed., Penerjemah Diana Angelica, dkk. Jakarta: Salemba Empat, 2008. Rumra, Moh. Yamin. dkk.“Kerukunan Kehidupan Beragama di Provinsi Maluku” dalam Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009. Saifullah. “Pluralisme Agama Perspektif Tafsīr al-Manār,” Desertasi S3 Bidang Kajian Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri, 2009. Said, Edwar W. Peran Intelektual: Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993, Penerjemah Rin Hindriyani P., dkk. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014. Said, Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah al-Qur’an: Tinjuan Kritis Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lectura Press, 2014. Sani Badron, “Ibn al-‘Arabī tentang Pluralisme Agama,” Majalah Pemikiran dan Peradaban Islamia no. 3, September-November 2004, h. 38. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Cet. V, vol. I, Jakarta: Lentera Hati, 2012. ___, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 3. Jakarta: Lentera Hati, 2012. Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996. Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat 2th Bandung, Mizan, 1992. Shihab, Rizieq. Hancurkan Liberalisme Tegakkan Syariat Islam. Jakarta: Islam Press, 2013.
94
Siradj, Said Aqiel. Islam Kebangsaan: Fiqih Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999. Sirry, Mun’im. Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritis al-Qur’an Terhadap Agama Lain. Jakarta: PT Gramadia Pustaka Utama, 2013. Suma, Muhammad Amin. Pluralisme Agama menurut al-Qur’an: Telaah Aqidah dan Syari’ah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Suryadinata, M. “Kepemimpinan Non-Muslim dalam al-Qur’ān Analisis terhadap Penafsiran FPI Mengenai Ayat Pemimpin Non-Muslim” Jurnal Ilmu Ushuluddin 2, No. 3, (Januari-Juni 2015): h. 247. Syarif, Ibnu. Presiden non-Muslim di Negara Muslim: Tinjauan dari Perspektif politik Islam dan Relafansinya dalam Konteks Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan, 2006. Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizi. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Al-Syuyuthi, Jalaluddin. Asbabun nuzul: Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, Penerjemah, Tim Abdul Hayyie. Jakarta: Gema Insani, 2008. Taufik, Ahmad. “Hubungan Antar Umat Beragama: Studi Kritis Metodelogi Penafsiran Tekstual,” Journal of Qur’ān and Ḥadiīth Studies 3,no. 2 (2014): h. 142. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006. Wawan cara pribadi dengan Eva Nugraha Yakin, Ayang Utriza. Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer: Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, non-Muslim, Poligami, dan Jihad. Jakarta: Kencana, 2016. Al-Zuhailī, Wahbah. Tafsir al-Munīr: Aqidah, Syariah, Manhaj Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani, dkk, 1th Jakarta: Gema Insani, 2013. Zuhaili, Wahbah. Kebebasan dalam Islam. PenerjemahAhmad Minan. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
95
REFERENSI INTERNET
Admin HTI, “Kebebasan Beragama atau Penodaan Agama?” di akses pada tgl 26-012017 dari: https://hizbut-tahrir.or.id/2010/04/17/kebebasan-beragama-ataupenodaan-agama/ Aksi Bela Islam III, “CERAMAH LAUR BIASA HABIB RIZIEQ# NATAL” video ini di akses pada 24-01-2017 dari: https://www.youtube.com/watch?v=2gSRxzxVdH8. Bina,
Ahda “Selayang Pandang Tafsir Ibnu Katsir” https://www.academia.edu/10889382/Selayang_Pandang_Tafsir_Ibnu_Katsir
Desastian, “MUI Ingatkan Ahok Jangan Arogan, Bongkar Masjid tanpa Musyawarah.” Di akses pada 10-12-2016 dari http://www.voaislam.com/read/indonesiana/2013/09/27/26989/mui-ingatkan-ahok-janganarogan-bongkar-masjid-tanpa-musyawarah/. Ghazali, Abd. Moqsith. “Tafsir Ayat Lā Ikraha Fi al-Dīn” di akses tgl 21-12-2016 dari: https://membumikantoleransi.wordpress.com/2012/06/04/tafsir-ayat-la-ikrahafi-al-din/ Ghufron, Fathorrahman. “4 November dan Politik Massa Berbasis Fatwa,” artikel diakses pada 4 November 2016 dari http://geotimes.co.id/4-november-danpolitik-massa-berbasis-fatwa/. Haroen, Nabil. “Adil Muslim dan non-Muslim” di akses melalui video youtube 14-12-2016 dari https://www.youtube.com/watch?v=wx1U4lPovX4. Al-Islam, “Haram Ikut Merayakan atau Mengucapkan Selamat Natal” di akses pada tgl 26-01-2017 dari: http://hti-fans.blogspot.co.id/2013/12/haram-ikut-merayakanatau-mengucapkan.html IslamLib, “Ahmad Nurcholish dan Ang Mei Yong: Beragama Sama Bukan Jaminan Rumah Tangga Bahagia” di askses pada 20-01-2017, pada http://islamlib.com/agama/ahmad-nurcholish-dan-ang-mei-yong-beragamasama-bukan-jaminan-rumah-tangga-bahagia/ Rachmat, “Sejarah Budaya Natal” artikel ini di akses pada 09Mei 2016 dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_budaya_Natal. Ramdhoni, Muhammad. “Metodologi Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (Ibnu Katsir)” diakses pada 9 April 2017 dari: https://hadyussari.wordpress.com/2010/09/06/metodologi-tafsir-alqur%E2%80%99anul-%E2%80%98azhim-ibnu-katsir/
96
Setiawan, Ebta. “Intelektual: Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online” artikel diakses pada tanggal 31 Maret 2017, dari http://kbbi.web.id/intelektual. Syihab, Muhammad Rizieq. “Aksi Bela Islam,” artikel diakses pada 4 November 2016 dari
Wahyura, Putu. “Kita Jaga Agar Isu-isu Agama Tidak Dipakai Isu Politik,” di akses pada 09-12-2016 di http://bali.tribunnews.com/2015/09/29/ketua-fkub-kita-jagaagar-isu-isu-agama-tidak-dipakai-isu-politik. Widianto, Willy. “Alasan MUI Nyatakan Syi’ah Sesat” artikel ini diakses pada 13 Mei 2014 dari http://www.tribunnews.com/nasional/2011/02/18/inilah-alasan-muinyatakan-ahmadiyah-sesat. “Mencari Intelektual Profetik” dari Yendra, Musfi. http://www.antarasumbar.com/berita/134240/mencari-intelektual-profetik.html Zubil, Sudirman Timsar. “Fenomena Penghancuran Masjid di Kota Medan” artikel diakses 11-12-2016 dari http://www.voaislam.com/lintasberita/suaraislam/2011/12/05/16913/fenomena-penghancuranmasjid-di-kota-medan/#sthash.tndX1Col.dpbs.