Editor: M. Zainuddin Daulay
PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG URGENSI PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA DI INDONESIA
Penulis: H. Bashori A. Hakim, H. M. Yusuf Asry, Akmal Salim Ruhana, Ibnu Hasan Muchtar, Haidlor Ali Ahmad, Haris Burhani, Elma Haryani, Ahsanul Khalikin, Zabidi
KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT Kementerian Agama RI PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Badan Litbang dan Diklat 2015 Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta, 2015
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
i
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia ISBN : 978-602-8739-40-5 ix + 300 hlm; 15 x 21 cm. Cetakan ke-1 Oktober 2015
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengancara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit Tim Penulis: H. Bashori A. Hakim, H. M. Yusuf Asry, Akmal Salim Ruhana, Ibnu Hasan Muchtar, Haidlor Ali Ahmad, Haris Burhani, Elma Haryani, Ahsanul Khalikin, Zabidi Editor: M. Zainuddin Daulay
Desain cover dan Layout oleh : I Nyoman Suwardika, SE
Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No.6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421 http://puslitbang1.kemenag.go.id
ii
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Ihwal pengaturan hubungan “lalulintas” antarumat beragama menjadi fokus penelitian ini. Adanya pengaturan oleh Negara terhadap unsur-unsur hubungan antarumat beragama kerap dipandang intervensi. Kehadiran pengaturan juga sering dipersepsi kedigdayaan kuasa Negara atas agama. Padahal, filosofi kehadiran Negara adalah adanya pihak yang disepakati bersama mengantarai dan mengatur lalulintas hubungan antar warga negara. Absennya Negara dalam urusan lintas apalagi gesekan antarumat justeru pengabaian tugas dan fungsinya. Tetapi sejauh mana pengaturannya, memang menjadi soal. Karena itu, penting melakukan penelitian lapangan, “mendengar dari mulut pertama”, para pemuka agama, terkait sejauhmana pengaturan hubungan antarumat beragama diperlukan, termasuk bentuk dan lingkupnya. Terlebih lagi lokusnya beberapa kota besar di Indonesia yang multi etnisdan agama. Tujuh kabupaten/ kota tersebut, yakni: Medan, DKI Jakarta, Surabaya, Palangkaraya, Denpasar, Ambon danJayapura. Kota-kota ini merupakan ibu kota Provisinsi, bahkan ibu kota Negara yakni DKI Jakarta yang sangat multi etnis, budaya dan agama. Hasil penelitian menunjukkan, pada umumnya pemuka agama berpendapat bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama urgen (91,12%), Pengaturan dinilai bermanfaat bagi pemeliharaan kerukunan umat beragama (93,07%), Mereka berpandangan yang berwenang mengatur adalah pemerintah bersama parapemuka agama dari berbagai agama, namun posisi pemerintah dalam hal ini lebih merupakan fasilitator (83,17%%), bentuk pengaturannya yang dikehendaki berupa undang-undang (67,33%), dan umumnya Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
iii
mengemukakan bahwa sanksi hokum penting di berikan kepada para pelanggar peraturan tentang hubungan antar umat beragama (96,04%). Para Pemuka Agama cenderung sepakat terhadap 9 (Sembilan) aspek hubungan antarumat beragama yang perlu pengaturan, dengan skala persepsi yang bervariasi, kesembilan aspek itu yakni: pendirian rumah ibadat, penyiaran agama, pendidikan agama, peringatan hari besar keagamaan, bantuan luar negeri, pemakaman jenazah, perkawinan beda agama, pengangkatan anak dan penyalahgunaan/ penodaan agama. Penelitian yang mendasari buku ini tentu tidak lepas atas dukungan semua pihak, sejak pembahasan Desain Operasional, Studi Penjajakan, Pengumpulan data lapangan dan Diskusi Terfokus dan Pra Seminar Hasil Penelitian serta Seminar Hasil Penelitian. Untuk itu, kami mengucapkan terimakasih kepada para Narasumber, Pemuka Agama, dan Aparatur Kementerian Agama Wilayah/ Kabupaten/ Kota atas pemberian data dan sumbangan pemikiran untuk tercapainya tujuan penelitian. Tentu Buku ini masih ada kekurangannya, dan penyempurnaan akan dilakukan pada kesempatan penerbitan selanjutnya, dengan harapan buku ini member manfaat. Jakarta, November 2014 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
H. Muharam Marzuki, Ph.D NIP.19630204 199403 1 002
iv
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI Bissmillahirrahmanirrahim Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Dengan rasa gembira disertai ucapan puji dan syukur kepada Allah SWT, saya menyambut gembira terbitnya buku “Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pegaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia” ini. Buku ini di samping buku-buku Pusat I lainnya menunjukkan kesungguhan Pusat ini dan para penelitinya untuk mengangangkat tema-tema aktual dalam melakukan penelitian. Hal ini saya pandang tepat mengingat masalah kemajemukan dan kerukunan merupakan masalah esensial bagi bangsa Indonesia. Terlebih saat ini pemerintah tengah berupaya untuk mewujudkan sebuah Rancangan UndangUndang tentang Perlindungan Umat beragama. Fenomena belakangan sering disebut bahwa berbagai kasus intoleran atas nama agama masih kerap terjadi. Peristiwa konflik telah menorehkan kisah pelik kehidupan antar kelompok di Indonesia. Ada kesan sebagian kalangan bahwa negara kurang memberikan perlindungan yang memadai terhadap para korban. Berangkat dari dorongan semangat ini, saya memandang penyusunan UU Perlindungan Umat Beragama dianggap perlu dan mendesak untuk dilakukan agar negara memiliki landasan hukum dalam memberikan perlindungan terhadap semua pemeluk Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
v
agama tanpa kecuali. Dengan tidak mengurangi arti penting nilai-nilai atau bingkai kerukunan lainnya, maka regulasi dipandang patut didahulukan karena merupakan landasan bagi semua pihak untuk mewujudkan kerukunan di negeri ini. Apalagi jika mengingat bahwa meskipun telah ada landasan hukum perlindungan umat beragama tercakup di dalam UUD 1945 Pasal 29 dan Pasal 28 (Amandemen), namun belum ada UU yang bersifat organik mengelaborasi hal itu. Sesungguhnya pengelolaan kemajemukan dari aspek yuridis tidak dipahami hanya untuk keperluan aspek yuridis itu semata. Dalam konteks pengelolaan yang hakiki, kemajemukan harus dikelola dalam sebuah proses value creation yang berkesinambungan untuk membentuk budaya rukun. Dalam hal ini, seluruh unsur dan lapisan masyarakat harus terlibat menghadapi berbagai tantangan. Isu yang diusung saat ini bukan lagi the struggle for power, melainkan terbentuknya budaya masyarakat yang rukun agar potensi bangsa yang melimpah dapat dioptimalkan bagi kebesaran bangsa. Dalam rangka itulah penelitian yang mengungkap pemikiran para pemuka agama tentang pengaturan hubugan antarumat beragama ini sangat bermakna. Cakrawala pemikiran mereka yang luas yang mampu mengidentifikasi berbagai hal sangat penting memperkaya wawasan kita untuk memperkuat dan memajukan NKRI maupun dalam kerangka RUU Perlindungan Umat Beragama yang saat ini tengah disusun. Saya berharap agar buku ini dapat menginspirasi kesadaran bersama kita akan pentingnya pemeliharaan kerukunan yang kokoh di Indonesia. Akhirnya, sekali lagi vi
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
saya mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberi andil terhadap terbitnya buku ini. Semoga seluruh jerih payah yang kita sumbangkan menjadi catatan amal baik dari Allah SWT. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, November 2015 Kepala Badan Litbang dan Diklat
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
vii
viii
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
PROLOG Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia Sebuah Pengantar Husni Rahim
Kasus Tolikara Papua (Juli 2015) dan kasus Singkil Aceh (Oktober 2015) masihmembuktikan bahwa konflik agama belum terselesaikan dengan baik. Penelitian ini tampaknya dilakukan sebelum kasus itu terjadi. Berkaitan dengan masalah ini, Kementerian Agama melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaanm pada tahu 2014 telah melakukan penelitian dengan judul “ Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat beragama di Indonesia”. Penelitiasn ini difokuskan ke tujuh propinsi yang dianggap mewakili situasi kerawanan konflik antarumat beragama yaitu Jayapura (Papua), Ambon (Maluku), Bali, Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Surabaya (Jawa Timur), D.K.I. Jakarta dan Medan (Sumatera Utara). Masalah pokok dalam penelitian ini “Bagaimana pandangan para pemuka agama tentang pengaturan hubungan antarumat beragama untuk pemeliharaan dan peningkatan kerukunan”. Tiga hal utama yang menjadi fokus permasalahan. Pertama, bagaimana pendapat para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan?. Kedua; Bagaimana bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama? dan Ketiga; aspek-aspek apa yang perlu diatur terkait hubungan antarumat Bergama dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama? Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
ix
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pimpinan Kementerian Agama khususnya dan Pemerintah umumnya sebagai bahan penyusunan regulasi tentanghubungan antarumat beragama di Indonesia. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa 1. Hampir semua pemuka agama di berbagai daerah penelitian mengatakan bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama urgen untuk dilakukan dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama. Juga pengaturan tersebut dikehendaki tidak hanya terbatas di daerah-daerah rawan konflik, tetapi juga di daerah yang selama ini relatif kondusif sebagai upaya antisipatif. Pengaturan hubungan antarumat beragama ini penting untuk penguatan jaminan law enforcement sehingga diharapkan tidak ada yang main hakim sendiri jika muncul kasus benturan antarumat beragama. Sekalipun demikian, di antara pemuka agama ada sebagian kecil yang berpendapat bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama belum terlalu urgen, pengaturan perlu tetapi tidak mendesakuntuk dilakukan. Malah mereka menyatakan untuk sementara ini Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 dianggap cukup memadai. 2. Tentang Siapayang berwewenang Mengatur Hubungan Antarumat Beragama?. Semua pemuka agama sepakat bahwa yang berwewenang mengatur hubungan antarumat beragama adalah Pemerintah bersama para pemuka agama dari berbagai agama sebagai perwakilan 3. Tentang Bentuk Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama:Para pemuka agama di berbagai daerah beragam x
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
pendapat mengenai bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama. Mereka cenderung pengaturan hubungan antarumat bergama dalam bentuk undangundang, namun ada juga yang menghendaki dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden atau SK presiden. 4. Tentang hal-hal yang perlu diatur dalam peraturan tersebut; Hampir seluruh pemuka agama menyatakan sembilan aspek penting yang perlu diatur yaitu: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat,penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan,pendidikan agama, pemakaman jenazah, bantuan luar negeri kepada lembaga/ormas keagamaan,perkawinan beda agama, pengangkatan anak, dan penyalahgunaan dan atau penodaan agama Kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian ini tampaknya berhasil memenuhi disain dan tujuan penelitin yang menganggap perlu pengaturan hubungan antarumat beragama di Indonesia dalam bentuk undang-undang seperti dalam kesimpulan dan rekomdasinya. Namun harus diperhatikan bahwa upaya menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia sudah sejak lama dilakukan. Sejak tahun 1967 Pemerintah telah melaksanakan dialog antar umat beragama. Upaya dialog tersebut kemudian dikenal sebagai “Musyawarah Antar Umar Beragama” yang melibatkan para tokoh-tokoh agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha) di Indonesia. Dialog tersebut telah menjangkau seluruh propinsi di Indonesia. Demikian pula berbagai regulasi telah diterbitkan semenjak 1965 dalam bentuk Ketetapan Presiden (1965), Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
xi
Petunjuk Presiden (1981), Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (1967, 1979, 2006), Keputusan Menteri Dalam Negeri (1975), Keputusan Menteri Agama (1979, 1980, 1996), Surat Edaran Menteri Agama (1981, 2006), Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (2006), Surat Kawat Menteri Dalam Negeri (1975) dan Instruksi Menteri Agama (1978, 1981). Hampir semua jenis regulasi telah dilakukan. Memang , yang belum regulasi dalam bentuk undang-undang. Selain bentuk regulasi yang disebutkan di atas, pemerintah juga melakukan upaya-upaya lain. Melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama Republik Indonesia, secara rutin tiap tahun, sejak tahun 2000menyelenggarakan kegiatan Dialog Pangembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Tingkat Pusat dan Pemuka Agama Daerah. Kegiatan ini berakhir sampai tahun 2013 karena telah mencakup semua provinsi di Indonesia. Puslitbang Kehidupan Keagamaan juga telah melakukan sejumlah kajian, penelitian, seminar, workshop dan pengembangan wawasan multikultural antar pemuka agama. Demikian juga berbagai kegiatan sosialisasi peraturan, pemberdayaan kehidupan multikultural langsung kepada masyarakat telah dilaksanakan. Pertanyaannya kenapa masih juga terjadi konflik agama? Apakah semua usaha Pemerintah dan tokoh-tokoh agama selama ini kurang efektif? Memang inilahyang harus dicari jawabannya. Mungkin Puslitbang Kehidupan Keagamaan perlu mengkaji ulang dan mengevaluasi terhadap berbagai kegiatan dan program yang telah dilakukan selama ini. Juga perlu mengkaji ulang berbagai regulasi yang telah ditetapkan apakah berjalan efektif? Bila tidak dimana hambatannya dan apa sebabnya. xii
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Apakah sudah perlu kita membuat regulasi baru dalam bentuk undang-undang?Akankah regulasi melalui undangundang yang digagas Kementerian Agama dan didukung oleh hasil penelitian ini akan membuahkan hasil yang diharapkan? Masalah konflik agama adalah masalah yang kompleks karena menyangkut banyak aspek dan banyak pihak, karena itu penyelesaiannya tidak dapat secara parsial hanya diserahkan pada tokoh agama ataupun pada aparat keamanan. Bila hanya itu yang dilakukan dalam meredakan konflik, maka penyelesaiannya juga hanya sesaat tidak bertahan lama. Tugas meredakan konflik ini menjadi tugas semua pihak. Bukan hanya tokoh-tokoh agama dan aparat keamanan, tapi juga semua institusi dapat ikut meredakan konflik dengan bergerak bersama dalam melakukan berbagai kegiatan yang tidak membedakan agama (sarak). Menarik mencermati pendapat Syafiq Murni yang membagi konflik antarumat beragama di Indonesia dalam tiga wilayah yaitu wilayah ajaran, wilayah sosial dan wilayah kemanusiaan. Titik temu yang dapat mendekatkan hubungan antarumat beragama adalah melalui kerjasama dan sharing dalam wilayah sosial dan kemanusiaan. Dua wilayah ini akan mudah mempertemukan mereka karena masing-masing merasa membutuhkan dan merasakan manfaatnya. Sedangkan dalam wilayah ajaran harus ditumbuhkan sikap saling memahami dan menghargai ajaran agama masing-masing. Menarik pendapat Victor Tanja yang menganjurkan adanya reorientasi misi dan dakwah. Misi dan dakwah tujuannya bukan untuk menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian (kualitas). Persoalan seperti inilah yang perlu didialogkan dengan Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
xiii
terbuka dan dalam suasana sejuk dengan tujuan kedamaian Indonesia. Menemukan sebanyak mungkin persamaan antar kelompok dan memahami serta menghargai adanya perbedaan diantara mereka merupakan kunci penyelesaian konflik agama. Wilayah mana Dengan banyaknya program atau kegiatan bersama akan mendekatkan hubungan antar kelompok. Demikian juga dengan memahami dan menghargai perbedaan dalam wilayah ajaran akan menghilangkan kesalahfahaman dan rasa permusuhan. Konflik bergerak dari perbedaan yang dibenturkan satu sama lain, sedangkan Kerukunan bergerak dari kesamaan-kesamaan universal dan dari memahami serta menghargai perbedaan. Dua konsep besar ini harus selalu disandingkan bila ingin kehidupan dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia berjalan damai tanpa benturanbenturan antar kelompok agama.Tugas para tokoh agama sudah benar sering duduk bersama mengkaji “kenapa timbul konflik”, lalu meredakan konflik kepada umatnya masingmasing. Tampaknya usaha itu harus ditambah lagi dengan mencari nilai-nilai kesamaan yang dapat membuat kedua kelompok bekerjasama. Disinilah nantinya diperlukan keterlibatan institusi lain untuk mendukung program ini. Duduk bersama mencari nilai kesamaan lalu mencari program apa yang dapat dikerjakan bersama antara dua kelompok itu. Misalkan antar sekolah Islam dan Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu dapat mencari nilai kesamaan seperti semua sekolah mereka ingin unggul dalam sains dan teknologi. Maka sekolah-sekolah mereka itu dapat bersamasama saling bantu membantu untuk meningkatkan mutu pelajaran sainsdan teknologi, misalkan dengan sharing xiv
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
kelebihan masing-masing, baik dalam SDM (guru), fasilitas yang ada ataupunmembuat kelompok belajar bersama ataupun kompetisi bersama. Kerjasama seperti diatas dapat juga dilakukan dalam bidang kesehatan antar rumah sakit islam dan rumah sakit Kristen atau Katolik, atau Hindu dan Budha. Makin banyaknya program-program bersama akan mendekatkan rasa persaudaraan antar mereka dan bila tiba-tiba terjadi gesekan , maka rasa persaudaraan dan kebersamaan akan meredakan atau paling tidak meminimalisir ketegangan tersebut.
Jakarta, 26 Oktober 2015
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
xv
xvi
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
PRAKATA EDITOR Kalangan ahli sosial berpandangan bahwa kemajemukan bangsa Indonesia merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena kemajemukan, selain merupakan potensi kekuatan, juga menyimpan potensi ketegangan dan konflik yang dapat mengancam kehidupan suatu bangsa dan negara. Oleh karena itu, pengelolaan kemajemukan yang baik merupakan keniscayaan bagi sebuah bangsa majemuk seperti Indonesia. jika tidak ia akan menjadi penghalang bagi tumbuhnya bangsa yang kuat. Cliffort Geetz dalam kaitan ini mengingatkan bahwa kemajemukan dapat menjadi persoalan besar dalam kehidupan negara bangsa, yakni ketika masing-masing kelompok sulit berinteraksi, tidak memiliki konsensus bersama atas nilai-nilai dasar kenegaraan dan kebangsaan ( Clifort Geertz,1998: 28). Hal senada dikemukakan oleh Hefner bahwa Negara demokrasi berperan menjaga keharmonisan dan kesatuan bangsa: ”demokrasi mustahil tanpa modernisasi, dan modernisasi menuntut homogenisasi kebudayaan politis. Jika homogenitas politik ini tidak atau belum ada, negara harus menjadi ujung tombak dalam menanamkan sebuah kebudayaan umum di antara warga negaranya yang beraneka ragam” (Robert W.Hefner, 2007:21). Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan “kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti protestan ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
xvii
lainya. Jhon Locke dalam tulisannya yang terkemuka berjudul An Essay Concerning The True Original, Extent and End of Civil Government menyatakan betapa hubungan negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan dalam konteks legislasi. Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini, agama melalui tokoh/pemuka agama memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan. Dalam konteks itulah, tatkala pemerintah melalui Kementeria Agama berencana membuat Rancangan UndangUndang Perlindungan Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Keagamaan memandang perlu malakukan studi tentang padangan Pemuka Agama tentang urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kecenderungan hegemonik yang membuat terjerumus pada tindakan represif, sebaliknya spirit agama-agama supaya mengutamakan rahmatan lil ‘alamin dalam suatu kehidupan demokratis yang disokong oleh negara. Buku berjudul “ Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia” ini adalah merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan dimaksud yang sebelum diedit berjudul: “Laporan Penelitian Hubungan Antarumat Beragama: Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama”. Buku yang ada dihadapan sidang pembaca saat ini, mencoba membahas pandangan para Pemuka Agama dari enam agama di tujuh kabupaten/kota mengenai pandangan para pemuka agama tentang pengaturan hubungan antarumat beragama xviii
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
dalam kaitannya dengan pemeliharaan dan peningkatan kerukunan. Adapun kabupaten/kota dimaksud adalah: Medan, DKI Jakarta, Surabaya, Palangkaraya, Denpasar, Ambon dan Jayapura. Sedangkan aspek-aspek pokok yang disorot dalam kajian ini adalah menyangkut: 1) pendapat para pemuka agama tentang urgensi pengaturan, 2) bentuk pengaturan dan, 3) aspek-aspek yang perlu diatur. Bab I dan Bab II buku ini secara berturut-turut memperkenalkan teknis penelitian dan gambaran umum lokasi. Sebelum teknis penelitian diuraikan latar belakang mengapa penelitian ini penting dilakukan, disusul kemudian rumusan permasalahan, tujuan, kegunaan, metode, lokasi, dan operasionalisasi konsep. Sedangkan Bab III membahasa secara luas tentang hasil penelitian, yakni menyangkut tiga pokok aspek penelitian. Selanjutnya, Bab IV memuat Penutup, terdiri dari Kesimpulan dan Rekomendasi mengenai hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam membuat maupun muatan aturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan antarumat beragama. Dengan demikian, keseluruhan isi buku ini yang dirangkai ke dalam empat Bab ditambah lampiran temuan spesifik dari tujuh lokasi, diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi sidang Pembaca yang budiman menyangkut persoalan pengaturan hubngan antarumat beragama di Indonesia. Jakarta, November 2015 Editor,
Dr. H.M. Zainddin Daulay, M.Hum
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
xix
xx
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN ....................................... iii SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI ........................ v PROLOG ............................................................................ ix PRAKATA EDITOR ......................................................... xvii DAFTAR ISI ...................................................................... xxi I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................... B. Permasalahan ................................................ C. Tujuan ............................................................ D. Kegunaan ...................................................... E. Metode Penelitian ........................................ F. Lokasi Penelitian .......................................... G. Operasionalisasi Konsep .............................
1 8 9 9 10 11 12
II.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 15
III.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..
21
IV.
PENUTUP .............................................................
39
DAFTAR PUSTAKA .......................................................
41
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...............................................
45
INDEKS .............................................................................. 299
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
xxi
xxii
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Bangsa Indonesia secara sosiologis terdiri dari masyarakat majemuk, dari segi suku, budaya, adat-istiadat maupun agama. Kemajemukan tersebut, apabila dikelola dengan baik, akan menjadi aset atau modal sosial untuk memperkuat kerukunan, persatuan dan kesatuan serta kebesaran bangsa. Namun jika tidak dikelola secara baik, maka kemajemukan potensial menjadi bencana, rentan bagi kemungkinan timbulnya disharmoni dan perpecahan di kalangan masyarakat. Terkait dengan dua kecenderungan kemajemukan di atas, di Indonesia kerukunan umat beragama relatif kondusif. Betapapun demikian, banyak pihak menyadari bahwa kerukunan umat beragama bukan statis, ia merupakan kondisi yang dinamis, mengikuti gerak dinamika kehidupan umat beragama yang berkembang. Kondisi dan tingkat kerukunan berjalan fluktuatif dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya keagamaan, namun juga oleh non keagamaan. Berdasarkan hasil kajian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2007 misalnya, terindikasi sejumlah faktor non-keagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi dan sosial budaya. Adapun faktor keagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama ada sebelas aspek yaitu: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, bantuan keagamaan luar Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
1
negeri, perkawinan antar pemeluk berbeda agama, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan dan transparansi informasi keagamaan (Badan Litbang dan Diklat, 2013: 106109). Dalam hubungan antarumat beragama, faktor-faktor keagamaan maupun non keagamaan diatas tidak jarang menimbulkan gesekan yang dapat memicu terjadinya konflik di kalangan umat beragama. Bahkan konflik yang terjadi dapat menimbulkan tindak kekerasan di tengah masyarakat. Kasus kekerasan dan konflik bernuansa agama yang pernah terjadi di Ambon dan Poso tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Persoalan lainnya, kebebasan beragama termasuk salah satu faktor keagamaan yang memicu konflik. Kebebasan beragama bagi bangsa Indonesia merupakan hak individu yang secara konstitusional dijamin oleh Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini terlihat secara jelas dalam UUD 1945 Pasal 28 E Ayat (1) dan Ayat (2) yang menyebutkan : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (Ayat (1) dan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” (Ayat (2). Kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh Negara. Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2):“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sekalipun demikian, hak dan kebebasan beragama dimaksud bukan berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa mempertimbangkan kepentingan 2
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
dan ketertiban umum dalam tatanan masyarakat yang demoktaris. Dalam UUD 1945 Pasal 28 J ditegaskan bahwa: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Ayat.1). Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” (Ayat 2). UUD 1945 Pasal 28 J Ayat (2) di atas mengindikasikan perlunya pembatasan yang ditetapkan melalui regulasi atau aturan perundang-undangan. Berdasarkan hal tu, maka inisiatif pemerintah melakukan regulasi dan pengaturan terkait hubungan antarumat beragama adalah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat umat beragama dan jaminan dalam menjalankan hak dan kebebasan beragama dalam sebuah negara demokratis dimaksud. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hefner yang mengatakan bahwa: ”demokrasi mustahil tanpa modernisasi, dan modernisasi menuntut homogenisasi kebudayaan politis. Jika homogenitas politik ini tidak atau belum ada, negara harus menjadi ujung tombak dalam menanamkan sebuah kebudayaan umum di antara warga negaranya yang beraneka ragam” (Robert W.Hefner, 2007:21). Dalam konteks penyiapan regulasi oleh pemerintah itulah maka salahsatu program penelitian dan pengembangan yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat pada tahun 2014 adalah penelitian tentang urgensi pengaturan kerukunan umat beragama. Urgensnya pengaturan ini, terkait dengan pelanggaran hak kebebasan Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
3
beragama yang secara kuantitatif cenderung meningkat belakangan ini. Hal ini diketahui antara lain dari laporan hasil monitoring lembaga-lembaga masyarakat sipil, seperti: Setara Institute, The Wahid Institute dan Moderate Muslim Society. Berdasarkan hasil monitoring Setara Institut, sejak tahun 2007 sampai tahun 2009 tercatat setidaknya terjadi 600 peristiwa kekerasan dan intoleransi terhadap hak kebebasan beragama di seluruh Indonesia (Setara Institute, 2010). Juga diungkap dalam Negara Harus Bersikap: Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia 2007-2009). Lembaga lain, The Wahid Institute melaporkan, pada tahun 2008 terdapat 59 kali kasus kekerasan dan intoleransi terhadap hak kebebasan beragama di Indonesia dan pada tahun 2010 sebanyak 63 kasus (The Wahid Institute, 2008: 44 ). Moderate Muslim Society mencatat, sepanjang tahun 2010 telah terjadi 81 kasus kekerasan dan intoleransi terhadap hak kebebasan beragama di Indonesia dan menilai sepanjang tahun 2010 sebagai tahun kelam kebebasan beragama (Kompas, Tahun Kelam Beragama, 22 Desember 2010). Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia mencatat bahwa sepanjang tahun 2007 sampai tahun 2010 terjadi 107 kasus kekerasan terhadap kebebasan beragama dengan rincian: 10 peristiwa pada tahun 2007, 8 peristiwa pada tahun 2008, 40 peristiwa pada tahun 2009 dan 49 peristiwa pada tahun 2010 (Kompas, Kapolri: Bekukan Ormas Bermasalah, 31 Agustus 2010). Dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan beragama bagi bangsa Indonesia adalah merupakan hak asasi bagi setiap individu yang secara konstitusional dijamin oleh undang-undang. Dalam UUD 1945 4
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Pasal 28 I Ayat (1) dinyatakan bahwa: “ kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah bagian dari hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Bahkan lebih lanjut dalam Ayat (2) ditegaskan bahwa: “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan demikian”. Meskipun telah ditegaskan dalam konstitusi bahwa kebebasan beragama bagi setiap individu telah dijamin oleh undang-undang atau negara, namun di kalangan masyarakat masih saja terjadi pelanggaran atas hak kebebasan beragama yang acapkali menimbulkan kekerasan. Adanya kasus upaya konversi agama seperti yang pernah terjadi di Kota Denpasar pada tahun 2012 yang lalu mengindikasikan masih adanya sejumlah pelanggaran terhadap kebebasan beragama (Bashori A. Hakim, 2014: 44). Menyadari rawannya hubungan di kalangan umat beragama di Indonesia, pemerintah terus menerus menggalang berbagai upaya untuk menjaga dan meningkatkan kerukunan umat beragama melalui sejumlah regulasi dan aktivitas. Di antaranya: 1. Penetapan Presiden RI No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; 2. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh PemelukPemeluknya;
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
5
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai undang-undang; 4. Surat Kawat Menteri Dalam Negeri No.264/KWT/DTPUM/DV/V/1975 perihal Penggunaan Rumah Tempat Tinggal Sebagai Gerteja; 5. Instruksi Menteri Agama No. 4 Tahun 1978 tentang Kebijakan Mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan; 6. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia; 7. Keputusan Menteri Agama No. 35 Tahun 1980 tentang Wadah Musyawarah Antarumat Beragama; 8. Instruksi Menteri Agama RI No. 3 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Daerah Sehubungan Dengan Telah Terbentuknya Wadah Musyawarah Antarumat Beragama; 9. Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981 tentang Penyelenggaraan Hari-hari Besar Keagamaan; 10. Petunjuk Presiden sehubungan dengan Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981; 11. Keputusan Menteri Agama RI No.84 Tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan Kerukunan Hidup Umat Beragama; 6
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
12. Keputusan Presiden RI No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat Cina; 13. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB dan Pendirian Rumah Ibadat; 14. Surat Menteri Agama No. MA/12/2006 perihal Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu; 15. Edaran Menteri Dalam Negeri No. 450/2576/SJ perihal Pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB; Selain bentuk regulasi, pemerintah juga melakukan upaya-upaya lain. Melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama Republik Indonesia, secara rutin tiap tahun, sejak tahun 2000 menyelenggarakan kegiatan Dialog Pangembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Tingkat Pusat dan Pemuka Agama Daerah. Kegiatan ini berakhir sampai tahun 2013 karena telah mencakup semua provinsi di Indonesia. Sejumlah kegiatan berupa kajian, penelitian, seminar, workshop dan pengembangan telah banyak dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Kegiatan yang bersifat operasional langsung kepada masyarakat berupa sosialisasi peraturan, pemberdayaan kehidupan multikultural dilakukan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama dan Kantor-Kantor Wilayah Kementerian Agama di seluruh Provinsi. Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
7
Meskipun telah cukup banyak peraturan dan upaya terkait kerukunan umat beragama, dirasakan masih ada hal yang kurang untuk menjaga kerukunan umat beragama yang lebih kokoh ke depan. Yaitu suatu regulasi yang mengatur secara komprehensif tentang kerukunan umat beragama berikut sanksi hukum bagi pelanggarnya. Hal ini secara asumtif dipandang perlu dilakukan mengingat makin dinamisnya kehidupan umat beragama di Indonesia serta belum adanya suatu landasan hukum yang kuat untuk pemeliharaan kerukunan umat beragama. Dalam rangka merespon hal itulah, maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2014 melakukan penelitian dengan judul: “Penelitian tentang Hubungan Antarumat Beragama: Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama”. Hasil penelitian ini menjadi dasar isi buku ini yang setelah diedit, dikemas dengan judul “Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia”. Permasalahan Permasalahan pokok dalam penelitian adalah: “Bagaimana pandangan para pemuka agama tentang pengaturan hubungan antarumat beragama untuk pemeliharaan dan peningkatan kerukunan?”. Dalam penelitian berupaya untuk diungkap beberapa hal di balik permasalahan tersebut, sebagai berikut:
8
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
a. Bagaimana pendapat para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan?; b. Bagaimana bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama? c. Aspek-aspek apa saja yang perlu diatur terkait hubungan antarumat beragama dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama?
Tujuan Adapun tujuan penelitian, adalah untuk: a. Menghimpun pendapat para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama; b. Mengetahui bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama untuk pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama; c. Mengetahui pemeliharaan beragama;
aspek-aspek yang perlu diatur dalam dan peningkatan kerukunan umat
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian diharapkan berguna bagi pimpinan Kementerian Agama khususnya dan pemerintah umumnya sebagai bahan penyusunan regulasi tentang hubungan antarumat beragama di Indonesia. Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
9
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data terdiri atas wawancara, studi pustaka dan dokumentasi serta pengamatan. Oleh karena penelitian ini tentang “pandangan masyarakat”, maka pengumpulan data di lapangan melalui wawancara untuk memperoleh informasi yang akurat dari masyarakat. Teknik ini merupakan teknik utama yang digunakan oleh para penelti dalam rangka pengumpulan data lapangan. Keluasan dan kedalaman data marupakan alasan pertimbangan dipilihnya teknik dimaksud. Wawancara dilakukan kepada sejumlah informan yang terdiri atas perwakilan unsur masyarakat dari berbagai kalangan agama di lokasi penelitian, meliputi: para pemuka agama, pimpinan ormas/ lembaga kegamaan, kalangan akademisi dan tokoh adat. Peneliti dalam melakukan wawancara menggunakan pedoman wawancara yang dipersiapkan sebelumnya sehingga dikategorikan sebagai jenis wawancara terencana atau standardized interview (Koentjaraningrat, 1983:138). Namun demikian, untuk memperoleh data yang lebih luas dan dalam, peneliti menyusun materi wawancara yang telah disusun sesuai dengan relevansi dan permasalahan yang dikaji. Sejalan dengan metode kualitatif sebagai pilihan¸ maka eksplanasi hasil kajian bersifat deskriptif (John W. Creswell, dalam Aris Budiman, et.all, (Ed.), 2002:140). Studi pustaka dan dokumentasi dilakukan dengan menelaah sejumlah buku, majalah, surat kabar dan terbitan lainnya serta dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Untuk menghasilkan data yang lebih akurat dan absah, teknik triangulasi juga dilakukan, yakni dengan cara memeriksa sumber-sumber lain. Dengan 10
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
kata lain, data yang diperoleh telah ditanyakan ulang (di crosscheck) kepada para informan dari unsur masyarakat yang berbeda (Lexy J. Moleong, 2002:178). Untuk keperluan pengayaan dan penguatan data, dilakukan penyebaran angket berisi pertanyaan-pertanyaan terkait keperluan kajian. Hasil penyebaran angket disajikan secara sederhana dalam bentuk matrik. Selain itu, dilakukan Focus Group Discussion (FGD) di lokasi penelitian yang dihadiri oleh sejumlah narasumber yang dipandang mengetahui dan memahami permasalahan sehingga informasi yang diperoleh lebih terjamin keakuratannya. Keseluruhan data yang diperoleh diolah melalui tahapan editing, klasifikasi, komparasi dan interpretasi atau penafsiran. Terkait penafsiran data, terdapat tiga tujuan, yaitu: deskripsi semata, deskripsi analitik dan penyusunan teori substantif (Schaltzman dan Strauss (1973) sebagaimana dikutip Lexy J. Moleong, 2002: 197-198). Untuk penelitian ini, penafsiran data dilakukan secara deskriptif semata-mata sebagai bahan penyusunan laporan. Untuk uji ketepatan pertanyaan-pertanyaan, sebelum kegiatan pengumpulan data lapangan dilakukan penjajakan lapangan oleh para peneliti. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di tujuh wilayah provinsi. Masing-masing provinsi diambil satu kabupaten/kota sebagai lokus penelitian. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas keragaman agama yang dianut penduduk di kabupaten/kota yang dipilih dengan asumsi bahwa relasi antarumat beragama di kabupaten/kota tersebut tergolong tinggi, termasuk tingkat intelektual dan wawasan keagamaannya. Selain keragaman Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
11
agama, perimbangan jumlah umat masing-masing agama dan mayoritas agama tertentu di suatu kabupaten/kota juga menjadi kriteria pengambilan lokasi penelitian. Berdasarkan pertimbangan itulah, maka Medan, DKI Jakarta, Surabaya, Palangkaraya, Denpasar, Ambon dan Jayapura terpilih sebagai lokasi penelitian. Operasionalisasi Konsep Terdapat sejumlah konsep digunakan ketika penelitian, yaitu:
operasional
yang
a. Pandangan: berasal dari kata “pandang” yang berarti penglihatan yang tetap dan agak lama. Secara rinci, kata “pandangan” (n) memiliki beberapa arti, yaitu: (a) Hasil perbuatan memandang, memperhatikan, melihat, dsb.; (b) Benda atau orang yang dipandang, disegani, dihormati, dsb.; (c) Pengetahuan; (d) Pendapat (Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangana Bahasa Dep. P dan K, 1995:722-723). Mengacu kepada beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan “pandangan” dalam penelitian ini adalah “pendapat atau pengetahuan” masyarakat yang diperoleh melalui kegiatan memperhatikan atau mencari tahu mengenai urgensi atau pentingnya pembentukan peraturan tentang kerukunan umat beragama yang dilakukan dalam kurun waktu yang tidak sesaat. b. Pemuka agama: adalah tokoh komunitas umat beragama, baik yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 12
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
2011:37). Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan “pemuka agama” dalam penelitian ini adalah tokoh komunitas agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, baik yang memimpin atau tidak memimpin suatu ormas keagamaan, diakui atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan. c. Pengaturan: berasal dari kata dasar “atur”, sinonim dengan kata “tata”. Awalan kata “pe” dan akhiran “an” memiliki makna “membuat jadi”. Dengan demikian, “pengaturan” atau “penataan” berarti bahwa sesuatu yang di-atur atau di-tata menjadi teratur atau tertata. Dalam konteks penelitian, pengaturan berarti upaya yang dilakukan untuk mengatur agar kerukunan umat beragama terpelihara. Upaya untuk mengatur atau regulasi yang dilakukan dapat berbentuk SK Menteri, SK Bersama (SKB) dua Menteri atau lebih, Peraturan Menteri, SK Presiden, Peraturan Presiden dan Undang-Undang. d. Kerukunan umat beragama: adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan 8 Tahun 2006, dalam Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, 2011:36).
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
13
14
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sebagaimana diutarakan di bagian terdahulu, penelitian ini dilakukan di tujuh kabupaten/kota di berbagai wilayah provinsi, yakni: Medan, DKI Jakarta, Surabaya, Palangkaraya, Denpasar, Ambon dan Jayapura. Kota tersebut merupakan ibukota provinsi dan Jakarta merangkap sebagai Ibukota Negara Indonesia. Ketujuh kota tersebut berkedudukan sebagai pusat pemerintahan daerah, memiliki kelebihan dari kota-kota lainnya di wilayah provinsi masingmasing. Mulai dari pendidikan yang beragam, baik jenis maupun stratanya, hingga perekonomian yang relatif mudah diakses. Berbagai kelebihan tersebut, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pendatang, sehingga penduduk di kota tadi menjadi lebih besar dan majemuk, baik dari sisi suku, etnis, budaya serta agama. Berdasarkan jumlah penduduknya, kota lokasi penelitian di atas dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, kota yang jumlah penduduknya mencapai lebih dari 2 juta jiwa, dan kedua, kota yang hanya mencapai ratusan ribu jiwa. Kota yang jumlah penduduknya mencapai lebih dari 2 juta jiwa adalah DKI Jakarta sebanyak 7.758.726 jiwa (Kanwil Kemenag DKI Jakarta, 2014), Kota Surabaya 3.188.852 jiwa (Kemenag Kota Surabaya, 2012), dan Kota Medan 2.372.277 jiwa (Kemenag Kota Medan, 2014). Adapun kota yang jumlah penduduknya hanya mencapai ratusan ribu jiwa adalah Ambon dengan jumlah penduduk sebanyak 454.819 jiwa (Kemenag Kota Ambon, 2012), Jayapura 273.928 jiwa (BPS Kota Jayapura, 2013), Denpasar 273.880 jiwa (BPS Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
15
Provinsi Bali, 2013), dan Palangkaraya 220.962 jiwa (BPS Kota Palangkaraya, 2011). Dari segi budaya, masyarakat di berbagai kota di atas pada umumnya memiliki budaya atau kearifan lokal. Nilainilai budaya dan kearifan lokal dimaksud pada umumnya masih eksis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat serta fungsional sebagai perekat hubungan sosial, termasuk dalam hubungan umat beragama. Di antara kearifan lokal yang masih eksis tersebut misalnya: di Palangkaraya, selain budaya Dayak yang merupakan budaya penduduk asli Kalimantan Tengah terdapat budaya Banjar. Dalam budaya Dayak dapat dilihat antara lain “Rumah Betang”yang dibangun atas prinsip “melai petak mandeng hite eka pambelum je kata taha” yang berarti: di situ tanah diinjak di situlah tempat hidup selamalamanya. Filosofi ini menunjukkan bahwa masyarakat Dayak hidup damai dan rukun dengan masyarakat lainnya di Kalimantan Tengah (Y. Ad. Dan Sal. AR.,2007:22-24). Di Kota Denpasar dan Provinsi Bali umumnya, terdapat kearifan lokal: menyama braya, tat twam asidan basudewa kutumbakam yang intinya bahwa orang-orang Bali dalam hidup bermasyarakat dan berhubungan dengan orang lain lebih mengedepankan prinsip kebersamaan, gotongroyong, tolong-menolong dan toleransi. Di Kota Jayapura, terdapat banyak paguyuban-paguyuban yang dapat mendorong terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis (Syam, wawancara, 28 Maret 2014). Selain itu, ada tradisi kerukunan masyarakat Papua yang telah terbangun sejak jaman nenek-moyang mereka yang bersumber dari kearifan lokal masyarakat Fak Fak dan Raja Ampat. Kearifan lokal dimaksud adalah “satu tungku tiga batu” yakni pemerintah, adat dan agama. Sudah menjadi tradisi di Fak Fak dan Raja 16
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Ampat pada saat masyarakat membangun rumah ibadat saling membantu meskipun berbeda agama (Iribrm., wawancara, 10 Maret 2014). Di Surabaya dan Jawa Timur umumnya terdapat kearifan lokal masyarakat yang antara lain tertuang dalam ungkapan “sira ya ingsun, ingsun ya sira” yang mencerminkan kebersamaan dan persatuan. Masyarakat di Ambon memiliki kearifan lokal yakni “pela gandong”yang mereka warisi secara turun-temurun dari nenek-moyang mereka. Sekalipun ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa pada akhir-akhir ini kearifan lokal tersebut terkesan mulai ditinggalkan kalangan masyarakat, namun dalam penelitian ini terlihat adanya upaya untuk menghidupkan kembali dalam rangka penguatan kerukunan di wilayah Ambon dan Maluku pada umumnya. Dari segi kehidupan keagamaan, kegiatan keagamaan umat Islam di beberapa lokasi penelitian seperti : Medan, DKI Jakarta dan Surabaya terlihat marak karena jumlah umat Islam di kota-kota tersebut lebih banyak dibanding dengan umat lain. Di Kota Denpasar yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, kegiatan keagamaan umat Hindu secara jelas terlihat lebih dominan dibanding dengan umat lainnya. Sedangkan di Ambon dan Jayapura kegiatan keagamaan umat Kristiani cenderung lebih marak karena mayoritas penduduknya beragama Kristen. Keberadaan organisasi keagamaan di masing-masing kelompok agama yang mengusung berbagai aktivitas keagamaan, menambah maraknya kehidupan keagamaan di berbagai lokasi penelitian. Komposisi jumlah pemeluk masing-masing agama di tujuh lokasi penelitian adalah sebagai berikut: Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
17
(1) Medan: umat Islam menempati posisi jumlah mayoritas yakni 1.346.358 jiwa, kemudian berturut-turut : Kristen 391.700 jiwa, Buddha 256.801 jiwa, Katolik 149.146 jiwa, Hindu 40.095 jiwa dan Khonghucu 33 jiwa ( Kemenag Kota Medan, 2014); (2) DKI Jakarta: umat Islam menempati posisi jumlah mayoritas yakni 7.448.605 jiwa, Kristen 731.517 jiwa, Buddha 546.087 jiwa, Katolik 443.634 jiwa. Hindu 96.701 jiwa dan Khonghucu 3.932 jiwa (Kanwil Kemenag DKI Jakarta, 2014); (3) Palangkaraya: Umat Islam 216.884 jiwa, Kristen 86.766 jiwa, Katolik 5.657 jiwa, Hindu 4.950 jiwa, Budha 528 jiwa, Khonghucu 17 jiwa dan Aliran Kepercayan 2.070 jiwa (BPS Kota Palangkaraya, 2012); (4) Surabaya: umat Islam menempati posisi jumlah mayoritas yakni 2.373.720 jiwa, Kristen 295.186 jiwa, Katolik 145.240 jiwa, Buddha 48.824 jiwa, Hindu 27.15 jiwa dan Khonghucu 296 jiwa (Kemenag Kota Surabaya, 2013); (5) Denpasar: umat Hindu menempati posisi jumlah mayoritas yakni 538.166 jiwa, Islam 195.045 jiwa, Kristen 25.272 jiwa, Katolik 17.249 jiwa, Buddha 12.704 jiwa dan Khonghucu 153 jiwa (Kemenag Kota Denpasar, 2012); (6) Ambon: umat Kristen menempati posisi jumlah mayoritas yakni 165.194 jiwa, Islam 133.815 jiwa, Katolik 21.230 jiwa, Hindu 454 jiwa dan Buddha 291 jiwa, sedangkan umat Khonghucu belum terdata (Kemenag Kota Ambon, 2012);
18
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
(7) Jayapura: umat Kristen menempati posisi jumlah mayoritas yakni (42,18 %) dari jumlah penduduk Kota Jayapura yang berjumlah 273.928 jiwa, Islam (32,87 %), Katolik (23,77 %) dan selebihnya terdiri atas penganut Hindu dan Buddha (BPS Kota Jayapura, 2013). Untuk keperluan aktivitas peribadatan masing-masing umat beragama di setiap kota diatas, tersedia rumah-rumah ibadat secara proporsional berbanding lurus dengan jumlah pemeluk masing-masing agama. Meskipun penduduk di setiap kota lokasi penelitian terdiri berbagai pemeluk agama, namun kerukunan umat beragama di sebagian besar lokasi relatif kondusif. Sebagian lainnya, seperti Ambon, Denpasar dan Jayapura cenderung rentan terhadap timbulnya konflik. Bahkan di Ambon misalnya, pada tahun 1999 hingga beberapa tahun setelah itu pernah terjadi konflik yang berujung kerusuhan sosial bernuansa agama. Konflik serupa juga pernah terjadi di Denpasar terkait pendirian/pembangunan rumah ibadat oleh komunitas suatu agama yang mendapat penolakan dari komunitas agama lain. Pada saat penelitian ini, kota-kota tersebut relatif aman, tidak lagi terjadi konflik, namun perlu tetap waspada, karena tidak mustahil timbul konflik serupa pada masa yang akan datang. Hal ini mengingat adanya sejumlah potensi yang memungkin demikian. Menyadari kemungkinan demikian maka upaya-upaya penangkalan secara dini perlu dilakukan untuk tetap terpeliharanya kerukunan di kalangan umat beragama. Antara lain melalui regulasi yang lebih kuat dan fungsional di masyarakat.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
19
20
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Masyarakat umat beragama yang diteliti ini berada di kota yang memiliki kriteria umat beragama yang beragam serta memiliki tingkat intelektual yang relatif memadai. Untuk kota Medan, disamping memenuhi kriteria di atas, juga tergolong sebagai kota dengan jumlah umat beragama relatif berimbang, yaitu antara Islam dan Kristen. DKI Jakarta dan Surabaya bercirikan kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kota Denpasar mayoritas penduduknya beragama Hindu, Kota Ambon dan Jayapura mayoritas penduduknya beragama Kristiani. Sedangkan Palangkaraya, di samping terdapat umat dari berbagai agama, juga terdapat penganut Kaharingan. Melalui keragaman latarbelakang ini maka para pemuka agama dari masing-masing lokasi yang menjadi narasumber dan informan penelitian, relatif dapat memberikan pendapat dan pandangan-pandangan yang komprehensif terkait permasalahan yang dikaji. Pengalaman dan wawasan mereka yang luas dalam hidup berdampingan dengan umat beragama lain dapat menjadi landasan positif untuk berkontribusi pemikiran terkait upaya penyusunan regulasi bagi pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama di Indonesia. Hasil penelitian dan pembahasan yang dipaparkan dalam makalah ini adalah merupakan rangkuman dari temuan di tujuh lokasi penelitian. Adapun materi pokok hasil temuan lapangan Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
21
dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu: pendapat para pemuka agama terkait urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama; bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama yang diperlukan; dan aspek-aspek yang perlu diatur dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama. Ketiga hal ini disajikan dalam bentuk rangkuman sebagai berikut: 1.
Pendapat Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat beragama Para pemuka agama di berbagai daerah penelitian pada umumnya mengatakan bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama urgen untuk dilakukan dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama. Urgensitas pengaturan hubungan antarumat beragama tersebut di sampaikan oleh hampir semua pemuka agama dari semua unsur agama di seluruh lokasi penelitian. Juga pengaturan tersebut dikehendaki tidak hanya terbatas di daerah-daerah yang cenderung rawan konflik, tetapi juga di daerah yang selama ini relatif kondusif sebagai upaya antisipatif. Sekalipun demikian, di antara pemuka agama ada sebagian kecil yang berpendapat bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama belum terlalu urgen, pengaturan perlu tetapi tidak mendesak untuk dilakukan. Di Ambon, hampir semua pemuka agama menyatakan pengaturan hubungan antarumat beragama urgen dilakukan. Yang menyatakan tidak terlalu urgen, beralasan antara lain bahwa kesadaran multikulturalisme sementara umat beragama semakin tinggi, kesadaran akan revitalisasi kearifan lokal “pela gandong” semakin tumbuh kembali, serta adanya kesadaran tentang pentingnya
22
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
hidup rukun dan damai pasca konflik kekerasan di Ambon dan Maluku pada tahun 1999-2004 yang lalu. Di DKI Jakarta, juga ada pemuka agama yang berpendapat bahwa untuk saat ini pengaturan hubungan antarumat beragama tidak terlalu urgen dilakukan, karena umat beragama di DKI Jakarta pada saat sekarang telah rukun. Sementara ini Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 dianggap cukup memadai. Sedangkan para pemuka agama yang lain pada umumnya sependapat tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama. Di Denpasar, para pemuka agama pada umumnya juga mengemukakan pendapat senada dengan para pemuka agama di Ambon yang mengatakan pengaturan hubungan antarumat beragama urgen untuk dilakukan. Hanya saja, aturan atau regulasi yang dibuat hendaknya senetral mungkin, tidak ada keberpihakan dalam mengatur hubungan antarumat beragama. Di Surabaya para pemuka agama mengemukakan pendapat senada dengan di Ambon. Lebih jauh mereka menambahkan, yang penting aturan yang dibuat tidak masuk ke dalam wilayah ajaran masing-masing umat beragama karena tata aturan terkait ajaran agama merupakan hak prerogatif dan wewenang umat beragama yang bersangkutan. Di Jayapura, para pemuka agama dari berbagai unsur umat beragama pada umumnya juga menyatakan pengaturan hubungan antarumat beragama urgen untuk dilakukan. Demikian pula halnya Palangkaraya, para pemuka agama menyatakan persetujuan dan persamaan pendapat bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama sangat perlu. Mereka Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
23
bahkan mengharapkan perlu adanya pengaturan terhadap tri kerukunan di Indonesia, meliputi kerukunan antarumat beragama, kerukunan intern umat beragama dan kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah. Di Medan, tidak jauh berbeda dengan daerah lain. Para pemuka agama di kota ini terbelah ke dalam dua kelompok ketika menyikapi urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama. Satu kelompok berpendapat bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama penting diadakan, sedangkan kelompok yang lain tidak melihat urgensi keberadaannya. Para pemuka agama yang tidak menganggap urgen pengaturan hubungan antarumat beragama mengatakan bahwa regulasi yang telah ada selama ini dirasakan tidak banyak membantu penciptaan dan pemeliharaan kerukunan. Kerukunan merupakan sikap interior untuk siap menerima orang yang berbeda agama. Kerukunan tidak dapat dicapai hanya melalui banyaknya aturan. Karena itu pemerintah diharapkan lebih mendorong adanya edukasi kerukunan umat beragama dibanding regulasi kerukunan. Sementara itu, bagi para pemuka agama yang berpendapat pengaturan hubungan antarumat beragama adalah urgen, mereka mengacu bahwa negara kita sebagai negara hukum sehingga segala perikehidupan bermasyarakat, bernegara dan beragama perlu ditata, diatur secara baik. Dalam kaitannya dengan argumentasi, para pemuka agama memiliki alasan beragam terkait urgensnya pengaturan hubungan antarumat beragama. Pada umumnya mereka memberikan alasan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, terdiri atas berbagai kelompok agama yang rentan terhadap konflik. 24
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Oleh karenanya aturan tentang hubungan antarumat beragama logis dan urgen untuk dibuat. Aturan dimaksud dapat menjadi pedoman atau acuan penanganan jika terjadi kasus konflik antarumat beragama. Alasan lain, seperti dalam contoh-contoh berikut. Di DKI Jakarta ada pemuka agama yang menjelaskan pentingnya pengaturan hubungan antarumat beragama untuk penguatan jaminan law enforcement sehingga diharapkan tidak ada yang main hakim sendiri jika muncul kasus benturan antarumat beragama. Di Palangkaraya, ada pemuka agama yang mengemukakan pandangan perlunya pengaturan hubungan antarumat beragama lantaran Indonesia memiliki wilayah sangat luas dan tradisi berbeda. Peraturan-peraturan yang ada sekarang cenderung parsial dan relatif lama sehingga perlu penyesuaian dengan kondisi terkini. Juga perlu ada penyelarasan antara daerah yang satu dengan yang lain. Di Jayapura, pemuka agama menyuarakan alasan perlunya aturan untuk dapat terlindunginya pihak minoritas, pencegahan terhadap timbulnya konflik antarsuku karena di Jayapura suku hampir identik dengan agama. Konflik antar suku dapat merembet kepada konflik antar agama. Di Ambon para pemuka agama memberikan alasan hampir serupa dengan pemuka agama di Palangkaraya dan Jayapura. Masyarakat Ambon yang majemuk, cenderung rawan konflik, dinamika kerukunan fluktuatif dengan tren intoleransi semakin tinggi. Selain itu, pemahaman demokrasi dan kebebasan beragama yang cenderung “tanpa batas” pada era reformasi sekarang ini membuat hubungan antarumat beragama
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
25
semakin kompleks sehingga perlu pengaturan hubungan antarumat beragama yang lebih memadai. Di Surabaya, pemuka agama memberikan alasan urgensnya pengaturan hubungan antarumat beragama demi kepentingan keseragaman acuan hukum, untuk mencegah terjadinya benturan antarumat beragama, melindungi hak-hak dan kepentingan masing-masing agama. Alasan senada dikemukakan oleh pemuka agama di Denpasar. Di daerah ini, pemuka agama memandang penting pengaturan relasi antarumat beragama untuk menghindari timbulnya konflik kepentingan akibat rasa cemburu antarumat beragama. Di Medan, pemuka agama juga memberikan alasan urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama untuk menangkal kemungkinan terjadinya konflik di kalangan umat beragama. Regulasi hubungan antarumat beragama penting mengingat bangsa Indonesia yang multikultural dan multiagama, memungkinkan timbulnya gesekan dan konflik utamanya dalam penyiaran/penyebaran agama. Selain itu, dipandang perlu penjabaran Pasal 29 UUD 1945 sebagai undang-undang organik di bidang agama. Adapun pandangan mengenai manfaat pengaturan, para pemuka agama berpendapat hampir sama di seluruh lokasi penelitian. Yaitu alasan kepastian hukum, rujukan yang sama manakala ada kasus hubungan antarumat beragama, serta terciptanya kedamaian dan ketenteraman umat beragama. Alasan kepastian hukum seperti disuarakan oleh para pemuka agama di Denpasar. Agar umat beragama merasa tidak ada yang merasa dianaktirikan dikemukakan pemuka agama di Jayapura. Supaya umat beragama lebih merasakan kedamaian dan 26
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
ketenangan disampaikan pemuka agama di Palangkaraya. Sementara pemuka agama di Surabaya cenderung menggunakan alasan ketenteraman dan kepastian rujukan hukum. 2. Kewenangan Antarumat
dan
Bentuk
Pengaturan
Hubungan
Hubungan
Antarumat
Beragama a. Wewenang Beragama
Pengaturan
Seperti halnya pendapat tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama, para pemuka agama juga variatif dalam memberikan pendapat terkait bentuk pengaturan. Sekalipun variatif, namun dari berbagai pendapat yang disampaikan dapat ditarik suatu benang merah bahwa yang berwenang mengatur hubungan antarumat beragama adalah pemerintah bersama para pemuka agama dari berbagai agama sebagai perwakilan umat beragama. Posisi pemerintah dalam proses penyusunan peraturan tersebut lebih sebagai fasilitator disamping melegitimasi peraturan. Variasi pendapat para pemuka agama terkait kewenangan pengaturan hubungan antarumat beragama ini, seperti berikut: Di Ambon, para pemuka agama sependapat bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama merupakan wewenang bersama antara pemerintah, pemuka agama dan masyarakat. Minimal pemerintah bersama para pemuka atau tokoh dari masing-masing agama. Di Denpasar, ada pemuka agama yang menyampaikan supaya diberikan kepada sebuah lembaga, terdiri dari utusan lembaga-lembaga yang Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
27
bertugas sebagai pembina berdasarkan ketetapan pemerintah, seperti halnya Bakor Pakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) pada masa lalu. Di Surabaya, ada pemuka agama yang berpendapat bahwa yang berhak mengatur adalah para pemuka agama melalui musyawarah dan pemerintah sebagai fasilitator. Pendapat lain mengatakan yang berwenang mengatur adalah pemerintah agar memiliki kekuatan hukum, namun tidak mengabaikan masukan dari para pemuka agama. Di Jayapura, pada umumnya pemuka agama setuju yang berwenang mengatur hubungan antarumat beragama adalah pemerintah. Tapi ada yang memberikan catatan bahwa yang dimaksud pemerintah di sini adalah pemerintah daerah dan Kantor Kemenag, bekerjasama dengan tokoh adat. Di Medan, pemuka agama pada umumnya sependapat bahwa yang berwenang mengatur hal dimaksud adalah pemerintah selaku eksekutor di samping juga sebagai fasilitator. Namun dalam proses perumusannya dipandang perlu melibatkan perwakilan dari para pemuka atau tokoh-tokoh agama. b. Bentuk Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama: Para pemuka agama di berbagai daerah beragam pendapat mengenai bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama. Mereka cenderung pengaturan hubungan antarumat bergama dalam bentuk undangundang, namun ada juga yang menghendaki dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden atau SK presiden. Adapun ragam pendapat para pemuka
28
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
agama mengenai bentuk pengaturan ini dapat dilihat sebagai berikut: Di Ambon, para pemuka agama sependapat tentang bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama dalam undang-undang, agar dapat menampung substansi undang-undang terkait yang telah ada sebelumnya. Selain itu, bentuk undangundang dianggap lebih baik karena akan memberikan sanksi hukum kepada siapa saja yang melanggar. Namun karena proses membuatan undang-undang memerlukan waktu yang lama dan dengan biaya besar, maka untuk tahap awal cukup dalam bentuk peraturan presiden. Di DKI Jakarta, kebanyakan pemuka agama sependapat bentuk regulasi pengaturan hubungan antarumat beragama ini setingkat lebih tinggi dari PBM, dapat berbentuk peraturan presiden atau keputusan presiden. Jika pengaturannya dalam bentuk undangundang, dikhawatirkan akan mengundang masalah baru. Namun, ada juga sebagian pemuka agama yang menghendaki bentuk pengaturannya berupa undangundang. Di Denpasar, pemuka agama merekomendasikan bentuk pengaturannya seperti PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Bentuk PBM ini dirasakan sudah cukup mengakomodasi pihak-pihak yang berbeda agama, sekalipun ada persoalan keagamaan yang belum tertampung. Apabila pengaturan dalam bentuk undang undang, pemuka agama disini mengkhawatirkan akan timbul kerancuan dengan PBM dan akan banyak kelompok keagamaan yang merasa Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
29
khawatir tidak tersentuh oleh undang-undang yang akan dibuat bertebut. Di Surabaya, para pemuka agama berbeda pendapat seputar bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama ini. Ada yang mengatakan regulasi yang dibuat sebaiknya berupa peraturan setingkat menteri atau SKB beberapa menteri, peraturan pemerintah atau perda yang dibuat sesuai kondisi daerah masing-masing. Sebagian lainnya berpendapat bentuk pengaturannya lebih tepat berupa undangundang agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Di Jayapura, pendapat para pemuka agama juga terbagi dalam menentukan bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama. Ada yang menghendaki dalam bentuk peraturan presiden, disamping lainnya menghendaki bentuk undangundang. Di Medan, sebagaian besar pemuka agama cenderung melihat bentuk undang-undang sebagai cara pengaturan terbaik. Namun, disertai catatan bahwa jika undang-undang belum dapat disusun, setidaknya dibuat dalam bentuk Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden maupun Peraturan Pemerintah. Mereka menambahkan, regulasi yang dibuat hendaknya tidak menyangkut semua aspek hubungan antarumat beragama, tetapi cukup beberapa aspek kehidupan keagamaan saja. 3.
Aspek-aspek Yang Perlu Diatur Dalam Hubungan Antarumat Beragama Ada dua hal menyangkut pandangan pemuka agama yang dicari dalam bagian ini¸ yaitu:
30
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Pemeliharaan hubungan antarumat beragama; dan Perlu tidaknya sanksi hukum terhadap para pelanggar peraturan hubungan antarumat beragama. a. Pemeliharaan Hubungan Antarumat Beragama: Hampir seluruh pemuka agama yang menyatakan penting atau urgens pembuatan pengaturan hubungan antarumat beragama memberikan rincian penjelasan bidang mana saja yang perlu dan tidak perlu diatur dalam peraturan dimaksud. Secara keseluruhan ada sembilan aspek yang menjadi topik perhatian, yaitu: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan, pendidikan agama, pemakaman jenazah, bantuan luar negeri kepada lembaga/ormas keagamaan, perkawinan beda agama, pengangkatan anak, dan penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Dalam beberapa aspek, para pemuka agama di daerah cenderung sama melihat hal-hal yang perlu diatur. Misalnya, aspek penyiaran agama, disetujui untuk diatur mengingat hal ini penting untuk peningkatan keimanan, selain terkait dengan persoalan konversi agama. Dalam kaitan ini, sebagian besar mereka mengusulkan agar substansi pengaturan dalam bidang penyiaran agama hendaknya ditujukan kepada umat yang seagama saja. Pendapat ini diperoleh dari pemuka agama di Ambon dan Palangkaraya. Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
31
Di Jayapura, pemuka agama berpendapat bahwa penyiaran agama dan pendirian rumah ibadat adalah merupakan hak masing-masing umat beragama, karena itu tidak perlu diatur. Jika diatur dan dibatasi maka hal itu akan melanggar HAM. Di Denpasar, justru pemuka agama memandang perlu membuat aturan menyangkut kesembilan aspek dimaksud sepanjang aspek-aspek tersebut dirasakan mengganggu ketertiban umum dan meresahkan masyarakat. Hal lain seputar penyiaran agama yang menjadi pusat perhatian para pemuka agama di aerah adalah tentang pengertian penyiaran agama, penggunaan tenaga penyiar agama dari luar negeri, materi penyiaran agama tidak menyinggung perasaan pemeluk agama lain, penyiaran agama yang dilakukan melalui pendidikan agama, penyiaran agama di tempat sendiri/milik umat beragama bersangkutan. Aspek lainnya adalah entang pendirian rumah ibadat. Di ranah rumah ibadat ini, pemuka agama memperhatikan beberapa soal agar memperoleh kejelasan dalam pengaturan. Yaitu, pengertian rumah ibadat, pendirian rumah ibadat yang cenderung kompetitif sehingga berpotensi timbulnya konflik antarumat beragama, peluang pendirian rumah ibadat yang tanpa mengikuti prosedur atau persyaratan dalam PBM, pendirian rumah ibadat 32
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
disesuaikan dengan kondisi daerah. Pemikiran ini diangkat dari masukan penelitian di Ambon dan Palangkaraya. Adapun aspek-aspek lainnya mengenai penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan, pendidikan agama, pemakaman jenazah, bantuan luar negeri kepada lembaga/ormas keagamaan, perkawinan beda agama, pengangkatan anak, dan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, pemuka agama umumnya setuju diatur dengan argumen yang hampir sama dengan kebijakan pemerintah terkait dengan aspek-aspek tersebut. b. Sanksi Hukum: Para pemuka agama di Ambon, Surabaya, Denpasar dan Jayapura, melihat penting adanya sanksi hukum bagi pelanggar peraturan perundangundangan hubungan antarumat beragama. Sanksi ini dianggap penting, antara lain untuk menciptakan kedamaian di kalangan umat beragama, terjaganya ketertiban dan keamanan masyarakat, untuk menghindari konflik antarumat beragama, dan untuk tegak dan ditaatinya peraturan yang dibuat. Adapun bentuk sanksi yang diajukan, bisa berupa pidana, teguran secara tertulis. Jika pelanggaran dilakukan oleh lembaga/ormas atau sejenisnya, dalam bentuk pelanggaran yang relatif berat maka sanksi yang diberikan dapat berupa pencabutan legalitas hukum atau pembubaran. Pemuka agama di Surabaya menambahkan bahwa sanksi hukum berupa penjara tidak perlu, Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
33
karena bentuk pelanggaran yang dilakukan bukan termasuk kategori kriminal. Namun mereka sependapat bahwa perlu adanya kriteria sanksi secara berjenjang sesuai bobot pelanggaran yang dilakukan. Sanksi yang diberikan, mulai dari peringatan secara lisan, tertulis, hingga pembubaran atau pencabutan izin operasional jika pelaku pelanggaran oleh organisasi atau lembaga. Pembahasan Mencermati hasil kajian tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama, bentuk pengaturan dan aspek-aspek yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama, hasil kajian memperlihatkan hampir tidak ada pertentangan antara data dari hasil wawancara dengan data dari hasil angket. Artinya, dari hasil wawancara diperoleh penjelasan bahwa para pemuka agama pada umumnya menganggap pengaturan hubungan antarumat beragama urgen untuk dilakukan walaupun dengan berbagai alasan yang beragam. Dari hasil angket dengan persoalan yang sama dan lokasi yang sama, diperoleh hasil jawaban bahwa sebagian besar responden juga menyatakan pengaturan hubungan antarumat beragama urgen dilakukan. Demikian pula hasil data tentang bentuk pengaturan dan aspek-aspek yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama. Kenyataan demikian mengindikasikan adanya pendapat dan kehendak yang kuat di kalangan masyarakat/umat beragama yang diwakili para pemuka agama di berbagai lokasi penelitian, bahwa umat beragama dalam hidup bermasyarakat dan beragama dengan umat 34
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
beragama lain perlu diatur. Mereka menyadari bahwa heterogenitas bangsa kita yang terdiri atas berbagai pemeluk agama menjadikan pengaturan hubungan antarumat beragama merupakan suatu keniscayaan. Dalam melakukan pengaturan tersebut, kehadiran pemerintah diharapkan. Sedangkan dalam proses penyusunan dan perumusan peraturan yang diperlukan, dipandang perlu mengikutsertakan unsur-unsur masyarakat, terlebih para tokoh dan pemuka berbagai agama. Dalam kaitannya dengan bentuk aturan yang dibuat, para pemuka agama pada umumnya menghendaki bahwa peraturan yang dibuat hendaknya berbentuk undang-undang dengan alasan di samping agar memiliki kekuatan hukum yang pasti dengan adanya sanksi hukum yang jelas, agar supaya peraturan yang dibuat benar-benar diterapkan, masing-masing kelompok agama merasa memiliki hak yang sama di mata hukum , memiliki kesetaraan dan tidak ada tirani mayoritas-minoritas. Alasan demikian kiranya dapat dimengerti karena dengan adanya aturan hukum yang jelas dan mengikat berupa undang-undang, maka setiap kelompok agama merasa terayomi hak-hak beragamanya tanpa membedakan antara umat beragama yang satu dengan umat beragama yang lain. Dengan demikian secara psikologis kelompok agama minoritas merasa terayomi secara hukum, tidak ada tirani mayoritas-minoritas. Sementara pemuka agama yang lain menghendaki peraturan yang dibuat cukup dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan presiden, tidak harus berupa undang-undang. Dalam kaitan ini dimaknai, bahwa kehendak untuk menegakkan peraturan secara konsekuen lebih tinggi dari sekedar bentuk undang-undang. Terlepas adanya Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
35
perbedaan persepsi para pemuka agama tentang bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama tersebut, paling tidak hal ini mengindikasikan bahwa para pemuka agama memiliki kesadaran hukum yang relatif tinggi dalam upaya pemeliharaan hubungan antarumat beragama dan untuk kerukunan antarumat beragama. Mengenai sembilan aspek yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama, oleh para pemuka agama pada umumnya, menunjukkan adanya kesadaran para pemuka agama bahwa aspek-aspek tersebut rawan terhadap timbulnya konflik di kalangan umat beragama sehingga perlu ada pengaturan. Meskipun di masing-masing lokasi penelitian terdapat budaya atau kearifan lokal yang mengandung nilai kerukunan, namun hal itu dirasakan belum cukup, apalagi budaya dan kearifan lokal tersebut akhir-akhir ini cenderung kurang terasa makin berkurang peranannya dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan sanksi hukum bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan tentang hubungan antarumat beragama yang didukung oleh hampir seluruh pemuka agama, mengindikasikan kuatnya komitmen mereka mewujudkan kehidupan yang tertib, rukun dan damai di kalangan umat beragama. Dengan sanksi hukum, dipandang kelompok umat beragama setara didepan hukum, lepas dari sekat-sekat kelompok agama dalam penarapan hukum, seperti kelompok agama mayoritas maupun minoritas. Untuk melengkapi rangkuman hasil penelitian ini, berikut dipaparkan hasil angket dari berbagai lokasi penetian sebagai berikut:
36
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
HASIL ANGKET PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG URGENSI PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA DI TUJUH LOKASI PENELITIAN N o.
Item – Item Pernyataan
1 1.
2.
3.
Prosentase (%)
2
Jumlah Jawaban Responden di Tujuh Lokasi Penelitian (N = 101) 3
Pengaturan hubungan antarumat beragama urgen: a. Setuju b. Tidak setuju c. Tidak tahu
92 7 2
91,12 6,90 1,98
94 6 1
93,07 5,94 0,99
84 10
83,17 9,90
Pengaturan tsb. bermanfaat untuk meningkatkan kerukunan: a.Setuju b.Tidak setuju c.Tidak tahu Pemerintah punya wewenang mengatur hub.antarumat beragama: a.Setuju
4
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
37
4.
5.
6.
38
b.Tidak setuju c.Tidak tahu Bentuk aturan/regulasi: a.Per. Menag b.SKB Menag & Menteri terkait c.Per. Pres. d. SK.Pres. e.Undang-undang f. Tdk.tahu Aspek-aspek yang perlu diatur: a.Penyiaran agama b.Pendirian rumah ibd. c.Perayaan hari besar agama d.Penddidikan Agama e.Pemakaman jenazah f.Bantuan Luar Negeri g.Perkw.beda agama h.Pengangkatan anak i.Penyalah gunaan/penodaan agama Perlu ada sanksi hukum bagi para pelanggar peraturan: a.Setuju b.Tdk.setuju c.Tdk.tahu
7
6,93
6 7 9 2 68 5
5,94 6,93 8,91 1,98 67,33 4,95
80 64 71 86 60 67 60 62 68
79,21 63,37 70,30 85,15 59,41 66,34 59,41 61,39 67,33
97 4
96,04 3,96
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
BAB IV PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian beberapa hal berikut:
di
atas,
dapat
disimpulkan
a. Para pemuka agama pada umumnya memandang pengaturan hubungan antarumat beragama urgen dilakukan untuk pemeliharaan kerukunan umat beragama. Heterogenitas masyarakat yang terdiri atas berbagai agama memungkinkan timbulnya kerawanan dan konflik di kalangan umat beragama, merupakan pertimbangan utama bagi mereka yang mendasari pandangan tersebut. b. Bentuk pengaturan, oleh para pemuka agama pada umumnya dikehendaki dalam bentuk undang-undang agar peraturan yang dibuat memiliki kekuatan hukum untuk ditaati. Selain itu, secara psikologis untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi kalangan umat beragama masing-masing, merasa setara di mata hukum, tidak ada tirani kelompok minoritas-mayoritas ataupun dominasi mayoritas-minoritas. Bagi pemuka agama yang belum menghendaki bentuk perundang-undangan dalam pengaturan ini, memandang cukup peraturan pemerintah, peraturan presiden atau keputusan presiden sebagai bentuk pengaturan yang lain. c. Pemuka agama secara umum berpendapat sembilan aspek terkait hubungan antarumat beragama perlu diatur. Yaitu: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, pendidikan Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
39
agama, perayaan hari besar keagamaan, bantuan luar negeri, perkawinan beda agama, pengangkatan anak, pemakaman jenazah dan penodaan agama. Seluruh aspek dimaksud perlu diatur karena rawan terhadap kemungkinan timbulnya konflik di kalangan umat beragama. Hanya saja mereka beragam dalam hal-hal pengaturan setiap aspek. Rekomendasi a. Hasil pendapat para pemuka agama mengenai urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama yang umumnya cenderung melihat perlunya pengaturan, seharusnya menjadi rujukan bagi pimpinan Kementerian Agama bersama instansi terkait dalam mewujudkan aturan hubungan antarumat beragama di Indonesia. Dalam proses pembentukan peraturan, hendaknya mengikutsertakan berbagai unsur masyarakat, terutama para tokoh atau pemuka agama. b. Bentuk peraturan yang dibuat hendaknya berupa undangundang agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat, setidaknya berbentuk peraturan pemerintah. c. Materi yang diatur diharapkan mencakup sembilan aspek sebagaimana disebut di atas, karena aspek-aspek tersebut dipandang cenderung rawan terhadap kemungkinan timbulnya konflik di kalangan umat beragama.
40
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Basyaruddin, Peta Dakwah Kota Medan, Medan: Perdana Publishing, 2013, hlm. 220-221 Hasani, Islamail dan Bogar Tigor Naipospos (Ed), Menjamin Kebebasan, Mengatur Kehidupan Beragama; Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragagama/Berkeyakinan, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara,, 2011 Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2013 Nasution, Dewina Ulfah, Kepuasan Pernikahan pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama, skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, 2010 Purba, Iman Pasu, Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama dalam Konstitusi Republik Indonesia, tesis pada IAIN Sumatera Utara, 2012 Putra, Dharma Kelana,Potensi Konflik Komunitas Jawa Muslim terhadap Etnis Berbeda dan Penganut Agama Lain di Kota Medan, skripsi pada FISIP Universitas Sumatera Utara, 2010 Ruhana, Akmal Salim dan Abd. Rahman Mas’ud, “Negara Sekuler ‘mengatur’ Agama: Pengelolaan Kehidupan Keagamaan di Singapura dan Lesson Learned untuk Indonesia”’ dalam Salim R (ed.), Managing Religious Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
41
Life: Studi Komparasi Pengelolaan Kehidupan Keagamaan di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2013 Simamora, Bintang Oktavia, Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus tentang Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di Kota Medan), FISIP USU, 2012 Sirait, Mahmuddin, Kebijakan Pemerintah Kota Medan terhadap Kerukunan Umat Beragama, Skripsi pada IAIN Sumatera Utara, 2012 Utami, Ratri, Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan, tesis pada Universitas Sumatera Utara, 2011 Winarno, Dicky Sapto, Aliran atau Bidat dalam Agama Kristen Protestan (Studi Kasus: Komunitas Saksi Yehuwa di Kota Medan), Skripsi pada FISIP Universitas Sumatera Utara, 2007 http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/940/dalihan-natolu, diakses pad 21 April 2014 Pointers bahan paparan Prof. Dr. Abdul Djamil (ketika itu sebagai Kepala Badan Litbang dan Diklat) berjudul “Mengelola Hubungan Umat Beragama di Indonesia”.Dipresentasikan pada diskusi tentang RUU KUB yang diselenggarakan oleh PKUB Setjen. Kementerian Agama, 21-23 Desember 2011 di Hotel Kawanua Jakarta. (Tidak diterbitkan) 42
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Provinsi DKI Jakarta Dalam Angka 2013 Ma’mun I.R, dkk, Potret Hubungan Etnis dan Agama di Jakarta: Referensi, 2012, hlm. 5 Syaifudin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 337 Harahap, Syahrin, Teologi Kerukunan, Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal. 15 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011, Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, Jakarta,Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, Edisi Tanya Jawab yang Disempurnakan. --------------- , 2007, Hasil Kajian Badan Litbang Dan Diklat, Jakarta, Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI. Budiman, Aris, dkk. (Ed.), 2002, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, Jakarta, KIK Press, Edisi Revisi, Cetakan Kedua. Hakim, Bashori, A. , 2013, (Makalah) Laporan Penelitian: Upaya Konversi Agama di Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat. Koentjaraningrat, 1981, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Edisi Baru.
Jakarta,
Moleong, Lexy, J., 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, Cetakan Ketujuhbelas. Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
43
Soekanto, Soerjono, 1993, Kamus Sosiologi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Edisi Baru, Cetakan Ketiga. Tim Penyusun, Ensiklopedi Indonesia (4), 1980, Jakarta, Ichtiar Baru, Van Hoeve. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,Departemen P dan K, Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cetakan Keempat.
44
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
LAMPIRAN – LAMPIRAN
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
45
PENELITIAN TENTANG HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA: PANDANGAN PARA PEMUKA AGAMA TENTANG URGENSI PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA DI KOTA SURABAYA TAHUN 2014 Oleh: H. Bashori A. Hakim A. PENDAHULUAN Bangsa Indonesia secara sosiologis terdiri atas masyarakat yang majemuk, baik dari segi suku, budaya, adat-istiadat maupun agama. Kemajemukan tersebut apabila dikeloka secara baik merupakan aset kekayaan bangsa yang dapat menjadi perekat untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun jika tidak dikelola secara baik maka keragaman di atas rentan bagi kemungkinan timbulnya disharmoni dikalangan masyarakat. Terlepas dari persoalan demikian, kerukunan umat beragama di Indonesia selama ini secara umum dapat dikatakan relatif kondusif. Betapapun, kita sadari bahwa kerukunan umat beragama merupakan kondisi yang dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan umat beragama itu sendiri. Dinamika kondisi dan tingkat kerukunannya terjadi secara fluktuatif yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor keagamaan semata, namun dipengaruhi oleh banyak faktor dan situasi. Berdasarkan hasil kajian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 46
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
misalnya, terindikasi ada sejumlah faktor non- keagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi dan sosial budaya. Adapun faktor keagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama ada sebelas aspek yaitu tentang: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan antar pemeluk berbeda agama, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan dan transparansi informasi keagamaan (Badan Litbang dan Diklat, 2007). Dalam hubungan antarumat beragama, faktorfaktor di atas tidak jarang menimbulkan gesekan yang dapat memicu timbulnya konflik di kalangan umat beragama. Bahkan konflik yang terjadi dapat menimbulkan tindak kekerasan dalam kehidupan masyarakat yang terdiri atas umat beragama yang beragam. Kasus kekerasan dan konflik bernuansa agama yang pernah terjadi di Ambon dan Poso tahun 1999 merupakan salahsatu contoh betapa keragaman agama dalam suatu masyarakat dapat menimbulkan benturan antar komunitas agama yang berbeda. Kasus-kasus konflik bernuansa agama pada hakekatnya juga terkait dengan persoalan kebebasan beragama yang bagi bangsa Indonesia merupakan hak individu yang secara konstitusional dijamin oleh UndangUndang Dasar (UUD) 1945. Hal ini terlihat secara jelas dalam UUD 1945 Pasal 28 E Ayat (1) dan Ayat (2) yang menyebutkan : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (Ayat (1) dan “Setiap orang Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
47
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” (Ayat (2). Kebebasan beragama tersebut bahkan dijamin oleh negara, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sekalipun demikian, hak dan kebebasan beragama dimaksud bukan berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa mempertimbangkan kepentingan dan ketertiban umum dalam tatanan masyarakat yang demoktaris. Dalam UUD 1945 Pasal 28 J ditegaskan bahwa: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Ayat 1). Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” (Ayat 2). UUD 1945 Pasal 28 J Ayat (2) di atas secara jelas menegaskan bahwa untuk menjalankan hak dan kebebasan individu –termasuk kebebasan beragamaperlunya pembatasan oleh pemerintah yang ditetapkan melalui regulasi /undang-undang yang wajib ditaati oleh setiap warga Negara. Dengan demikian maka inisiatif pemerintah melakukan regulasi dan pengaturan terkait hubungan antarumat beragama dalam hidup beragama pada dasarnya bukan bermaksud membatasi hak beragama seseorang, melainkan justru sebagai upaya untuk memberikan pelayanan masyarakat/umat beragama 48
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
dalam menjalankan hak dan kebebasan beragama. Tegasnya, Indonesia sebagai Negara demokrasi berperan menjaga keharmonisan dan kesatuan bangsa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hefner yang mengatakan bahwa: ”demokrasi mustahil tanpa modernisasi, dan modernisasi menuntut homogenisasi kebudayaan politis. Jika homogenitas politik ini tidak atau belum ada, negara harus menjadi ujung tombak dalam menanamkan sebuah kebudayaan umum di antara warga negaranya yang beraneka ragam” (Robert W.Hefner, 2007:21). Terkait dengan pelanggaran hak kebebasan beragama, terindikasi secara kuantitatif ada kecenderungan meningkat pada belakangan ini. Hal ini diketahui setidaknya dari laporan hasil monitoring lembaga-lembaga masyarakat sipil seperti: Setara Institute, The Wahid Institute dan Moderate Muslim Society. Berdasarkan hasil monitoring Setara Institute sejak tahun 2007 s/d 2009 tercatat setidaknya telah terjadi 600 peristiwa kekerasan dan intoleransi terhadap hak kebebasan beragama di seluruh Indonesia (Setara Institute, 2010, Negara Harus Bersikap: Tiga Tahun Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 20072009). The Wahid Institute melaporkan, pada tahun 2008 telah terjadi 59 kali aksi kekerasan dan intoleransi terhadap hak kebebasan beragama di Indonesia dan pada tahun 2010 terjadi sebanyak 63 kasus (The Wahid Institute, 2008, Menapaki Bangsa yang Kian Retak: Laporan Tahunan Pluralisme Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008). Moderate Muslim Society mencatat, sepanjang tahun 2010 telah terjadi 81 kasus kekerasan dan intoleransi terhadap hak kebebasan beragama di Indonesia dan menilai sepanjang tahun 2010 sebagai tahun kelam Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
49
kebebasan beragama (Kompas, Tahun Kelam Beragama, 22 Desember 2010). Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia mencatat bahwa sepanjang tahun 2007 s/d 2010 telah terjadi 107 kekerasan terhadap kebebasan beragama dengan rincian: 10 peristiwa pada tahun 2007, 8 peristiwa pada tahun 2008, 40 peristiwa pada tahun 2009 dan 49 peristiwa pada tahun 2010 (Kompas, Kapolri: Bekukan Ormas Bermasalah, 31 Agustus 2010). Dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan beragama bagi bangsa Indonesia adalah merupakan hak asasi bagi setiap individu yang secara konstitusional dijamin oleh undang-undang. Dalam UUD 1945 Pasal 281 Ayat (1) dinyatakan bahwa: “ kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah bagian dari hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Bahkan lebih lanjut dalam Ayat (2) ditegaskan bahwa: “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan demikian”. Meskipun telah ditegaskan dalam konstitusi bahwa kebebasan beragama bagi setip individu telah dijamin oleh undang-undang atau negara, namun di kalangan masyarakat masih saja terjadi pelanggaran atas hak kebebasan beragama yang acapkali menimbulkan benturan bahkan kekerasan. Adanya kasus upaya konversi agama seperti yang pernah terjadi di Kota Denpasar pada tahun 2012 yang lalu (Bashori A.Hakim, Laporan Penelitian tentang Upaya Konversi Agama di Pasar Badung, Kota Denpasar, Bali, 2013), mengindikasikan masih adanya pelanggaran terhadap kebebasan beragama. 50
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Menyadari rawannya hubungan di kalangan umat beragama lantaran perbedaan agama, sesungguhnya berbagai upaya antisipasif untuk menggalang dan memelihara kerukunan umat beragama telah dilakukan oleh pemerintah melalui sejumlah regulasi. Regulasi itu merupakan konsekuensi logis dari makna yang terkandung dalam Pasal 28 J UUD 1945 Ayat (1) dan (2) di atas. Di antara regulasi dimaksud misalnya: Penetapan Presiden RI No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya, Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun 1978 tentang Kebijakan Mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981 tentang Penyelenggaraan Hari-hari Besar Keagamaan, dan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB dan Pendirian Rumah Ibadat. Selain peraturan-peraturan di atas, dalam upaya peningkatan kerukunan umat beragama Kementerian Agama melalui Badan Litbang dan Diklat dalam hal ini Puslitbang Kehidupan Keagamaan, sejak tahun 2000 secara rutin setiap tahun menyelenggarakan kegiatan Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
51
Dialog Pangembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Tingkat Pusat dan Pemuka Agama Daerah. Hingga tahun 2013, kegiatan yang pada dasarnya untuk menggalang dan meningkatkan kerukunan antarumat beragama di berbagai daerah ini telah dilakukan di semua provinsi di Indonesia. Meskipun banyak regulasi yang telah dibuat pemerintah, namun dirasakan masih ada persoalan kehidupan umat beragama yang belum ditampung dalam aturan yang sudah ada, di samping adanya peraturanperaturan yang tidak relevan lagi dengan orde reformasi. Selain itu, ada peraturan-peraturan yang multitafsir, masih bersifat parsial serta tidak adanya sanksi yang tegas dan mengikat terhadap para pelaku pelanggaran aturan yang ada . Upaya-upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama yang dilakukan oleh pemerintah melalui sejumlah regulasi dan kegiatankegiatan yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama di atas, ternyata belum menghasilkan dampak yuridis dan respon secara maksimal di kalangan umat beragama. Menyadari kondisi demikian maka semestinya sudah saatnya dibentuk suatu regulasi yang mengatur secara komprehensif tentang kerukunan umat beragama berikut sanksi hukum bagi pelanggarnya. Upaya ini perlu dilakukan untuk meningkatkan pemeliharaan kerukunan umat beragama di kalangan masyarakat. Dalam rangka merespon upaya di atas, maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2014 52
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
melakukan penelitian dengan judul: “Penelitian tentang Hubungan Antarumat Beragama: Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Kerukunan Umat Beragama”. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pandangan para pemuka agama tentang urgensi pengaturan kerukunan umat beragama, bentuk dan aspek-aspek yang diatur”. Secara rinci, penelitian ini akan mengungkap beberapa permasalahan berikut: (1) Bagaimana pendapat pemuka agama ttg urgensi pengaturan KUB ? (alasan urgensi); (2) Bagaimana bentuk pengaturan tentang kerukunan umat beragama yang perlu dilakukan; dan (3) Aspek-aspek apa saja yang perlu diatur dalam kerukunan umat beragama tersebut. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Menghimpun informasi dari para pemuka agama tentang urgensi pengaturan kerukunan umat beragama; (2) Mengetahui bentuk pengaturan tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan (3) Mengungkap aspek-aspek yang perlu diatur dalam kerukunan umat beragama. Hasil penelitian ini berguna bagi pimpinan Kementerian Agama sebagai bahan untuk menyusun pengaturan Kerukunan Umat Beragama. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, didukung data kuantitatif. Teknik pengumpulan data terdiri atas wawancara, studi pustaka dan dokumentasi serta pengamatan. Oleh karena penelitian ini tentang “pandangan masyarakat”, maka pengumpulan data di lapangan melalui wawancara untuk memperoleh informasi yang akurat dari masyarakat merupakan pengumpulan data yang utama dilakukan peneliti. Keluasan dan kedalaman data yang Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
53
dikumpulkan melalui wawancara merupakan upaya yang harus dilakukan peneliti. Wawancara dilakukan kepada sejumlah informan yang terdiri atas perwakilan unsur masyarakat dari berbagai kalangan agama yang terdapat di lokasi penelitian, meliputi: para pemuka agama, pimpinan ormas/lembaga kegamaan, kalangan akademisi dan tokoh adat. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Peneliti dalam melakukan wawancara menggunakan jenis wawancara terencana (standardized interview) karena menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya (Koentjaraningrat, 1983:138). Namun demikian, untuk memperoleh data yang lebih luas dan mendalam, peneliti diharapkan mengembangkan sendiri materi wawancara yang telah disusun dalam pedoman wawancara, sepanjang ada relevansi dengan permasalahan yang dikaji. Sejalan dengan metode yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka kajian yang dilakukan menggunakan 54 ubstant kualitatif dan eksplanasi hasil kajiannya bersifat deskriptif. Sebagai kajian dengan 54 ubstant kualitatif maka peneliti merupakan 54ubstantiv pokok, baik dalam proses pengumpulan data maupun analisis data. Data didekati melalui 54ubstantiv manusia (John W. Creswell, dalam Aris Budiman, et.all, (Ed.), 2002:140). Studi pustaka dan dokumentasi dilakukan dengan menelaah buku-buku, majalah, surat kabar dan terbitan lainnya serta dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Sedangkan observasi dilakukan terhadap obyek-obyek yang berkaitan dengan 54ubst kajian sejauh hal itu dapat dilakukan. 54
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah melalui tahapan: editing, klasifikasi, komparasi dan interpretasi/penafsiran. Mengenai penafsiran data dalam kaitannya dengan pelaporan hasil penelitian, menurut Schaltzman dan Strauss (1973) sebagaimana dikutip Lexy J. Moleong (2002) ada tiga macam tujuan penafsiran data, yaitu: deskripsi semata-mata, deskripsi analitik dan penyusunan teori 55 ubstantive. Untuk keperluan penelitian ini sesuai permasalahan dan tujuan penelitian maka penafsiran data dilakukan secara deskriptif sematamata sebagai bahan penyusunan laporan hasil penelitian. Untuk menghasilkan data yang lebih akurat dan keabsahan data, pengumpulan data dilakukan melalui teknik triangulasi, dengan cara pemeriksaan melalui sumber-sumber lain (Lexy J. Moleong, 2002:178). Dengan demikian maka data yang telah diperoleh ditanyakan ulang kepada para informan dari unsur masyarakat yang berbeda atau di cross-check dengan data lain yang dianggap valid. Data kuantitatif disajikan dalam bentuk prosentase. Selain itu, dilakukan Focus Group di lokasi penelitian yang dihadiri narasumber yang dianggap mengetahui data yang dikumpulkan sehingga data akurat.
Dicussion (FGD) oleh sejumlah dan memahami yang diperoleh
Untuk menghasilkan pilihan lokasi penelitian yang lebih tepat sesuai dengan tujuan penelitian dan untuk uji ketepatan pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam pedoman wawancara, sebelum kegiatan pengumpulan data lapangan dilakukan penjajakan lapangan di lokasi
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
55
penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. Penjajakan lapangan dilakukan oleh peneliti yang bersangkutan. Penelitian ini dilakukan di Kota Surabaya, dengan asumsi bahwa Kota Surabaya sebagai salah satu kota besar di Indonesia berpenduduk beragam dari segi agama, sehingga tingkat hubungan atau relasi antarumat beragama relatif tinggi. Di samping itu, para pemuka agamanya diasumsikan memiliki wawasan dan tingkat intelektualitas keagamaan yang relatif tinggi, sehingga tingkat kritisnyapun relatif tinggi. Dengan kriteria demikian diharapkan hasil kajian yang diperoleh sesuai tujuan penelitian akan lebih maksimal. B. OPERASIONALISASI KONSEP Untuk menyamakan persepsi dalam memahami beberapa konsep yang akan dielaborasi/dioperasionalkan dalam penelitian ini, ada beberapa istilah yang dipergunakan dalam penelitian yang perlu dijelaskan. Beberapa istilah dimaksud yaitu: 1. Pandangan: berasal dari kata “pandang” yang berarti penglihatan yang tetap dan agak lama. Secara rinci, kata “pandangan” (n) memiliki beberapa arti, yaitu: (a) Hasil perbuatan memandang, memperhatikan, melihat, dsb.; (b) Benda atau orang yang dipandang, disegani, dihormati, dsb.; (c) Pengetahuan; (d) Pendapat (Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangana Bahasa Dep. P dan K, 1995:722723). Mengacu kepada beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan “pandangan” dalam penelitian ini adalah “pendapat atau pengetahuan” 56
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
masyarakat yang diperoleh melalui kegiatan mengetahui atau memperhatikan dalam kurun waktu yang tidak sesaat mengenai urgensi atau pentingnya pembentukan peraturan tentang kerukunan umat beragama. 2. Pemuka agama: adalah tokoh komunitas umat beragama, baik yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011:37). Berdasarkan pengertian di atas maka yang dimaksud dengan “pemuka agama” dalam penelitian ini adalah tokoh komunitas agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu yang memimpin atau tidak memimpin suatu ormas keagamaan dan diakui atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan. 3. Pengaturan: berasal dari kata dasar “atur” , sinonim dengan kata “tata”. Awalan kata “pe” dan akhiran “an” memiliki makna “membuat jadi”. Dengan demikian, “pengaturan” atau “penataan” berarti bahwa sesuatu yang di-atur atau di-tata menjadi teratur atau tertata. Dalam konteks penelitian, pengaturan berarti upaya yang dilakukan untuk mengatur agar kerukunan umat beragama terpelihara. Upaya untuk mengatur atau regulasi yang dilakukan dapat berbentuk SK Menteri, SK Bersama (SKB) dua Menteri atau lebih, Peraturan Menteri, SK Presiden, Peraturan Presiden dan Undang-Undang. 4. Kerukunan umat beragama: adalah keadaan hubungan 57 esame umat beragama yang dilandasi Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
57
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan 8 Tahun 2006, dalam Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, 2011:36). C. GAMBARAN SEKILAS KOTA SURABAYA Kota Surabaya dalam tata pemerintahan merupakan salahsatu dari Daerah Tingkat II yang ada di Provinsi Jawa Timur, berstatus sebagai Ibukota Provinsi Jawa Timur. Luas wilayahnya mencapai sekitar 290,44 km2. Secara geografis wilayah Kota Surabaya terletak di pesisir Utara bagian Timur Laut Provinsi Jawa Timur, tepatnya berada di sebelah Barat Selat Madura. Batas-batas wilayahnya, sebelah Utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah Selatan dengan Kabupaten Sidoarjo, sebelah Barat dengan Kabupaten Gresik dan sebelah Timur berbatasan dengan Selat Madura (BPS Kota Surabaya, Surabaya Dalam Angka, 2012). Kota Surabaya dengan jumlah penduduk mencapai 3.188.852 jiwa pada tahun 2012 (Kantor Kementerian Agama Kota Surabaya, 2012), menjadikan kota ini berkembang sebagai kota metropolitan dengan beragam etnis dan suku yang kaya budaya. Di antara suku-suku nusantara yang ada di Kota Surabaya misalnya: suku 58
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Madura, Bali, Makassar, Bugis, Sunda, Banjar dan Batak yang membaur dengan suku Jawa yang merupakan penduduk asli Surabaya, membentuk pluralisme budaya yang kemudian menjadi ciri khas masyarakat Kota Surabaya. Namun tidak dapat dipungkiri eksistensi budaya orang-orang asli Surabaya dan suku Madura terasa dominan dalam kehidupan masyarakat Surabaya. Selain itu ada berbagai etnis misalnya: etnis Melayu, Cina, India, Arab dan Eropa, yang ikut memberi warna dalam kehidupan masyarakat. Di antara ciri khas masyarakat asli Surabaya adalah mudah bergaul, gaya bicaranya sangat terbuka. Meskipun tampak seperti bertempramen kasar, namun masyarakat Surabaya sangat demokratis, toleran dan suka menolong orang lain (Diolah dari Data: www.surabaya.go.id-Situs Resmi Pemerintah Kota Surabaya, 4/11/2014). Sebagai kota metropolitan dengan posisi lokasi yang strategis, Kota Surabaya merupakan pusat kegiatan ekonomi masyarakat yang dinamis, menjadi lalu-lintas sekaligus persinggahan bagi orang-orang dari berbagai daerah (Data: www.surabaya.go.id-Situs Resmi Pemerintah Kota Surabaya, 4/11/2014). Keragaman agama yang dipeluk penduduk Kota Surabaya, mewarnai dinamika kehidupan keagamaan masyarakat. Masing-masing komunitas agama dengan leluasa dapat mengekspresikan dan mengaktualkan ajaran agama masing-masing. Karena umat Islam menempati posisi jumlah mayoritas maka dapat dipahami jika komunitas agama ini terlihat paling menonjol kegiatan keagamaannya. Jumlah pemeluk masing-masing agama, berdasarkan data pada tahun 2013 adalah: jumlah Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
59
pemeluk agama Islam = 2.373.720 jiwa, Kristen = 295.186 jiwa, Katolik = 145.240 jiwa, Hindu = 27.115 jiwa, Buddha = 48.824 dan Khonghucu = 396 jiwa (Disarikan dan diolah dari Data Kantor Kemenag Kota Surabaya, 2013). Kehidupan keagamaan masing-masing komunitas agama di Kota Surabaya diwarnai oleh keberadaan ormasormas keagamaan masing-masing agama. Berdasarkan data Kantor Kemenag Kota Surabaya, jumlah Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dengan sifat kekhususan organisasi keagamaan yang terdaftar di Kantor Kemenag Kota Surabaya sebanyak 23 Ormas. Dari jumlah tersebut, 19 di antaranya merupakan ormas Islam. Selebihnya, yakni 4 ormas berupa ormas Kristen. Selain itu terdapat 1 ormas bernuansa kebangsaan (Data Kantor Kemenag Kota Surabaya, 2010). Keberadaan ormas-ormas keagamaan ini memberikan nuansa keberagamaan dalam dinamika kehidupan keagamaan masyarakat, sekaligus menambah maraknya kegiatan keagamaan masyarakat. D. PANDANGAN TENTANG PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA 1. Pandangan Tentang Urgensi Pengaturn Hubungan Antarumat Beragama Para pemuka agama dari berbagai komunitas agama yang terdiri atas para pimpinan ormas keagamaan dari 6 agama yakni: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, pada dasarnya memberikan pandangan yang sama tentang perlunya ada pengaturan terhadap hubungan antarumat
60
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
beragama dalam rangka kerukunan umat beragama.
upaya
pemeliharaan
Pengaturan tersebut urgen untuk dilakukan, sepanjang tidak masuk ke ranah ajaran agama masingmasing umat, karena hal itu merupakan wewenang dan hak prerogative masing-masing umat beragama untuk mengatur. Akan tetapi mereka memberikan alasan yang beragam tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama. Berbagai alasan yang mereka kemukakan, dapat dirangkum sebagai berikut: a) untuk keseragaman acuan untuk menata hubungan antarumat beragama sekaligus sebagai rujukan bersama; b) untuk menghindari benturan kepentingan antarumat beragama karena kalau tidak diatur masingmasing umat beragama akan membuat aturan sesuai keinginan sendiri; c) untuk menggiatkan kembali peraturan-peraturan tentang kerukunan umat beragama yang telah dibuat oleh Pemerintah; d) untuk mengakomodasikan hak-hak dan kepentingan agama masing-masing. Terkait dengan manfaat adanya pengaturan hubungan antarumat beragama, para pemuka agama memberikan pandangan yang beragam pula, antara lain: a) kerukunan umat beragama diharapkan meningkat, ada ketenteraman di kalangan mereka karena ada rujukan yang pasti dalam tata hubungan antarumat beragama; b) tidak ada kalangan umat beragama yang merasa kesulitan dan atau disulitkan dalam mengimplementasikan ajaran agamanya karena peraturan yang dibuat adalah merupakan hasil Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
61
musyawarah bersama antar para tokoh agama; c) antarumat beragama akan saling menghormati, menghargai; d) secara yuridis ada rujukan dan pijakan yang sama untuk mengimplementasikan aturan-aturan terkait hubungan sosial keagamaan di kalangan umat beragama. 2. Wewenang Pengaturan Hubungan Beragama dan Bentuk Pengaturannya a. Wewenang Pengaturan Hubungan Beragama:
Antarumat Antarumat
Paling tidak ada tiga kelompok pendapat di kalangan para pemuka agama tentang pihak yang berwenang melakukan pengaturan hubungan antarumat beragama, yakni: (i) Yang berhak mengatur hubungan antarumat beragama adalah para pemuka agama sendiri melalui musyawarah antar pemuka agama, untuk memperoleh kesepakatan bersama mengenai aspek-aspek hubungan sosial keagamaan apa saja yang perlu diatur. Pemerintah dalam kaitan ini berfungsi selaku fasilitator. Pendapat ini disampaikan oleh sebagian besar para pemuka agama ; (ii) Yang berhak mengatur hubungan antarumat beragama adalah pemerintah bersama para pemuka agama. Kedua unsur ini perlu duduk bersama untuk menghasilkan kesepakatan bersama; (iii) Yang berwenang melakukan pengaturan adalah pemerintah, karena pemerintahlah yang lebih berhak mengatur, sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Namun, materi yang diatur
62
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
tidak mengabaikan masukan dari para pemuka agama. b. Bentuk Pengaturan: Para pemuka agama juga beragam dalam memandang tentang bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama. Di antara pandangan mereka adalah: (i) Sebaiknya berupa undang-undang agar memiliki kekuatan hukum sehingga tidak ada yang melanggar. Namun pendapat ini hanya dari satudua orang pemuka agama; (ii) Berupa peraturan setingkat menteri atau berupa SKB Menterimenteri; (iii) Berupa peraturan pemerintah atau Perda yang dibuat sesua dengan kondisi daerah masing-masing. 3. Aspek-Aspek Yang Diatur Semua para pemuka agama - yang dijadikan sebagai narasumber- memandang semua aspek yang terdiri atas 9 aspek yakni: penyebarluasan/penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan, pendidikan agama, pemakaman jenazah, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan beda agama, pengangkatan anak dan penodaan agama, adalah penting untuk diatur dalam pengaturan hubungan antarumat beragama. Mereka memandang bahwa aspek-aspek di atas merupakan wilayah sensitif yang perlu disepakati bersama pengaturannya dalam menata hubungan social antarumat beragama, agar tidak menimbulkan persoalan di kalangan umat beragama. Bahkan di antara mereka memberikan stressing terhadap aspekPandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
63
aspek tertentu yang sangat perlu diatur, antara lain: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, pemakaman jenazah, pendidikan agama dan perkawinan beda agama. Untuk perkawinan beda agama, di antara pemuka agama menyatankan perlunya peraturan yang membolehkan perkawinan antar orang yang agamanya berbeda, dengan alasan agar tidak terjadi hubungan yang tidak sah antara orang-orang yang memang telah menjalin rasa cinta. Tentang perlu-tidaknya sanksi hukum, pada umumnya para pemuka agama memandang tidak perlu adanya sanksi hukum dalam bentuk penjara bagi para pelanggar peraturan yang akan dibuat, karena pelanggarannya bukan masalah kriminal. Namun pada umumnya sependapat adanya sanksi secara berjenjang sesuai bobot pelanggarannya, mulai dari peringatan lisan, peringatan tertulis, hingga pelarangan kegiatan atau pencabutan izin (jika berupa lembaga atau organisasi keagamaan).
64
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011, Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, Edisi Tanya Jawab yang Disempurnakan. Budiman, Aris, dkk. (Ed.), 2002, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, Jakarta, KIK Press, Edisi Revisi, Cetakan Kedua. Hakim, Bashori, A., 2013, Laporan Penelitian Upaya Konversi Agama di Pasar Badung – Kota Denpasar, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat. Hefner, Robert, W., 2007, ……………. Koentjaraningrat, 1981, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Edisi Baru.
Jakarta,
Moleong, Lexy, J., 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, Cetakan Ketujuhbelas. Soekanto, Soerjono, 1993, Kamus Sosiologi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Edisi Baru, Cetakan Ketiga. Tim Penyusun, Ensiklopedi Indonesia (4), 1980, Jakarta, Ichtiar Baru, Van Hoeve. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,Departemen P dan K, Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cetakan Keempat. Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
65
66
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA Pandangan Pemuka Agama Kota Ambon1 Oleh H. M. Yusuf Asry2
1. PENDAHULUAN Latar Belakang dan Masalah. Kebebasan memeluk agama dan keyakinan dijamin oleh konstiusi dan peraturan perundang-undangan (UUD RI 1945, Psl. 28 E dan (Psl 9 ayat (2). Dalam menjalankan hak dan kebebasan itu tiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang sebagai pengakuan, jaminan dan penghargaan hak dan kebebasan orang lain (Psl 28 J ayat (1) dan (2). Amanat Konstitusi tersebut ditindak lanjuti oleh Pemerintah dengan menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang agama, khususnya terkait kerukunan antarumat beragama. Pemerintah bersama masyarakat terus berupaya 1 Makalah
hasil penelitian Hubungan Antarumat Beragama: Pandangan Pemuka Agama tentang Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Kota Ambon, Provinsi Maluku yang disampaikan pada Pra Seminar yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI tanggal 25 April 2014 di Hotel Sofyan Jakarta. 2Wakil Ketua Komisi Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Lektor Kepala pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Profesor Doktor Moestopo (Beragama) Jakarta (HP. 0812-1901949).
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
67
menciptakan dan memelihara kerukunan umat beragama juga dengan kearifan lokalnya masing-masing. Hasilnya secara umum kerukunan umat beragama di Indonesia kondusif. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2012 menunjukkan, bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia cukup harmonis dengan indeks 3,673, termasuk Provinsi Maluku sebelum dan pasca konflik tahun 19992004 kerukunan umat beragama cukup harmonis, bahkan hasil survei 2012 dengan indeks 4 melebihi rata-rata nasional. Intoleransi yang dilaporkan oleh pers barat, dan yang dicatat oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) hanya bersifat terbatas dan kasuistik. Namun hubungan antarumat beragama ditandai oleh fenomena sosial yang berkembang dari waktu ke waktu. Fenomena tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya ialah dinamika kerukunan, yaitu kasus intoleransi umat beragama dari tahun 2009 ke tahun 2010 naik 2,6%, dan menurut Kepolisian dari tahun 2009 ke tahun 2010 naik (5,6%) pristiwa, ketersediaan dan pelaksanaan perangkat aturan yang ada belum dilakukan penyesuaian dengan peraturan perundang-undang yang mutakhir serta tuntutan perubahan sosial dan sistem pemerintahan otonomi dearah atau reformasi, pengaruh global terutama informasi, komunikasi dan transportasi yang berdampak pada kehidupan keagamaan semakin kompleks, politisasi kearifan lokal, dan kebijakan pusat 3 Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Hasil Survei Nasional Indikator Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Jakarta, 2012.
68
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
yang mengarah pada degradasi peran pemuka agama dan pemimpin tradisional. Sehubungan dengan hal tersebut di atas muncul pertanyan dasar apakah perlu dan urgen atau tidak adanya pengaturan tentang hubungan antarumat beragama yang menjamin terpeliharanya keharmonisan dan kerukunan masyarakat. Untuk itulah diadakan penelitian ini dengan tema “Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama: Pandangan Pemuka Agama Ambon, Maluku”. Rumusan Masalah. dirumuskan, sebagai berikut:
Pertanyaan
penelitian
(1) Bagaimana pandangan pemuka agama tentang perlu dan urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama? (2) Apa saja aspek pengaturan hubungan antarumat beragama oleh pemuka agama? (3) Apa bentuk legalisasi hukum yang diinginkan oleh pemuka agama tentang pengaturan hubungan antarumat beragama? Tujuan dan Kegunaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab ketiga pertanyaan yang telah disebutkan. Hasilnya sebagai masukan bagi pimpinan kementerian agama dalam menyusun pengaturan hubungan antaruma beragama di Indonesia. Oleh karena itu target yang hendak dicapai ialah tersusunnya bahan untuk perumusan pengaturan hubungan antarumat beragama yang dimaksud. Konsep Operasional. Dalam tulisan ini digunakan sejumlah konsep yang perlu diberikan rumusannya untuk Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
69
memperoleh kesamaan makna. Konsep yang sebagai berikut:
dimaksud
Pandangan ialah pendapat yang diperoleh dari pengetahuan tentang sesuatu yang menjadi pilihan keyakinan. Pandangan di sini berkaitan tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama. Pemuka agama ialah tokoh dari sutu umat beragama, baik pimpinan ormas keagamaan maupun tokoh panutan yang mendapat pengakuan dan penghormatan oleh masyarakat lingkungannya 4 . Pemuka agama di sini meliputi enam agama, yaitu: Ulama (Islam), Pendeta (Katolik dan Kristen), Pendande (Hindu), Pandita (Buddha) dan pemuka Khonghucu. Namun di lapangan tidak ditemukan data penganut Khonghucu. Pengaturan ialah upaya menata sesuatu sehingga tertib dan harmoni atau rukun. Pengaturan dalam penelitian ini ialah norma-norma yang menjadi acuan dalam hubungan antarumat beragama agar terwujud relasi yang harmoni atau rukun. Pangaturan menyangkut materi (pasal dan ayat), serta bentuk legalisasi hukumnya. Misalnya surat edaran, keputusan, peraturan bersama, surat keputusan bersama, keputusan menteri, keputusan presiden hingga peraturan pemerinah dan undang-undang. Kerukunan umat beragama ialah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling 4Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 2006/No.8 Tahun 2006 (PBM) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepela Daerah/Wakil Kepala Derah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pmberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat dalam Buku Saku Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2011, hal.37.
70
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara5. Konflik ialah pendapat dan tindakan saling berlawanan atau bertentangan satu dengan yang lain. Pada dasarnya terdapat dua faktor utama penyebab konflik. Faktor non agama yaitu: sosial-budaya, ekonomi dan politik. Faktor keagamaan 11 variabel, yaitu: pendirian rumah ibadat, penyiaran agama, bantuan kegamaan luar negeri, perkawinan antarpemeluk agama berbeda, pengangkatan anak, pendidikan agama, peringatan harihari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan, dan trasparansi informasi keagamaan6. Metode. Jenis penelitian ini kualitatif yang didukung angka dalam bentuk prosentase jawaban nara sumber. Prosentase di sini terbatas sesuai jumlah yang ditentukan yaitu 15 dari 21 nara sumber. Angka tersebut dimaksudkan sebagai pendukung jawaban naratif dari hasil wawancara dan hasil diskusi (FGD). Lokus penelitian ditentukan dengan mempertimbangkan faktor: (1) heterogenitas pemeluk agama terdiri atas Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha, (2) daerah konflik sosial bernuansa agama -Kristen Islam- tahun 1999-2004, dan (3) muncul kesadaran akan pentingnya pengaturan hubungan antarumat beragama pasca konflik. Atas dasar tersebut lokasi penelitian dipilih 5Ibid.,
hal. 36. Kustini, Editor, Evektivitas Sosialisasi PBM Tahun 2006, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kemenerian Agama RI, 2007.. 6
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
71
Kota Ambon, salah satu dari kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Data dihimpun melalui studi dokumen dan kepustakaan, wawancara yang disertai cek list jawaban. Studi kepustakaan melalui pengumpulan dan telaah data yang relevan dari dokumen, buku, majalah, jurnal dan surat kabar. Pandangan nara sumber dihimpun melalui wawancara dengan para pemuka agama. Kriteria nara sumber, yaitu: (1) pemuka agama, yaitu pimpinan ormas keagamaan, (2) pemuka agama, yaitu tokoh yang menjadi panutan di lingkungannya, (3) pemuka agama yaitu aktivis kampus (intelektual) yang peduli masalah keagamaan. Dengan kritetria tersebut di atas dipilih nara sumber sesuai tujuan (purposive) penelitian yang dapat memahami subtansi masalah penelitian. Esensi jawaban dimasukkan dalam ceklist diisi oleh nara sumber. Selanjutnya, diklarifikasi pada saat focus group discussion (FGD) tanggal 04 April 2014. Jumlah nara sumber 21 orang, dan yang mengikuti FGD 15 orang. Wawancara menggunakan pedoman agar efektif dan fokus untuk menjawab permasalahan. Isi pedoman berisi garis besar pertanyaan yang dikembangkan oleh Peneliti sebagai instrumen penelitian. Data yang telah terhimpun dianalisis melalui tiga alur kegiatan secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan verifikasi/penarikan kesimpulan 7 . Selanjutnya dirumuskan rekomendasi. Secara keseluruhan kegiatan ini diawali penjajakan lapangan tanggal 13 s/d 17 7B.
72
Metthew Miles dan A. Michael Huberman, 1992, hal. 15-20.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Maret 2014, dan penelitian tanggal 31 Maret s/d 8 April 2014. Dalam penelitian lapangan dibantu oleh seorang staf adminisrasi (Endang Anjar Sulanjari, SH). 2. AMBON SELAYANG PANDANG a. Kondisi Geografis dan Kependudukan Kota Ambon sebagian besar terletak di wilayah pulau Ambon. Luas wilayah 377Km2. Secara geografis berbatasan: sebelah utara dengan Petuanan Desa Hitu, Hila Keitetu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, sebelah selatan dengan Laut Banda, sebelah timur dengan Petuanan Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, dan sebelah barat dangan Petuanan Desa Hatu, Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah. Kota Ambon terdiri dari lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Nusaniwe, Sirimau, Teluk Ambon, Teluk Ambon Baguala dan Kecamatan Leitimur Selatan. Semuanya terbagi pada 30 desa, 20 kelurahan, 3 dusun 297 RT dan 1.060 RW8. Ambon 2012 dihuni penduduk 354. 464 jiwa, terpadat di Kecamatan Sirimau 1,727 jiwa perkm2 dan terjarang di Kecamatan Leitimur Selatan 199 jiwa perkm2. Dari segi jenis kelamin terdiri dari 178.878 laki-laki (50,46%) dan perempuan 175.586 jiwa atau 49,54%9.
8Badan Pusat Statistik Kota Ambon, Kota Ambon dalam Angka 2013, Ambon, 2013, hal. 28. 9Ibid., hal. 58.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
73
Masyarakat Ambon kumpulan banyak etnis, dan tercatat hampir 50 kelompok suku bangsa dan sub suku. Hasil penelitian Summer Institute of Linguistik, bahwa di Maluku terdapat lebih dari 117 suku dan sub suku yang mendiami pulau-pulau di Maluku yang terbentang dari utara ke selatan. Suku asli antara Lain Seram, Tanibar, Kei, Buru dan Lease. Sedangkan suku pendatang yang dominan ialah Buton, Bugis, Makassar, dan Jawa10 Dalam pergaulan sehari-hari penduduk yang beragam etnis dan agama hidup membaur, dengan tempat tinggal tersegregasi atas etnis dan agama yang dianut11, baik oleh desain penjajah masa lalu maupun dampak konflik sosial tanhun 2000-an. Konflik Islam versus Kristen tahun 1999 hingga 2004 telah terjadi eksodus pemeluk agama dari tengah-tengah umat beragama lain, dan menyatu pada komunitasnya masing-masing untuk rasa aman. Misalnya, umat Islam terkonsntrasi di kawasan Batu Batu Merah Sirimau, sedangkan Kristen di kawasan Kudamati Nusaniwe. Hingga saat ini perbatasan kedua komunitas umat dijaga POS TNI dan juga POS Polisi. Sementara konsentrasi Muslim antara lain di Waihoang, Kebun Cengkeh dan Batu Merah. Konsentrasi komunitas Kristen amtara lain di Karpan, Desa Amahusu dan Kelurahan Benteng Kecamatan Nusaniwe, Gunung Nona dan Kudamati. Akibat segregasi sosial pasca konflik terdapat masjid dan gereja 10 Prof. DR. Watloly,.A., Mengenal Sejarah dan Kearifan Maluku, Cahaya Pineleng, Jakarta, 2012, hal. 1. 11 Wawancara Abd. Gani Rehalat, S.Ag., Kepala Sub Bagian Tata Usaha Kantor Kementerian Agama Kota Ambon, 17 Maret 2014.
74
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
di mana sekitarnya tidak ada lagi jamaahnya karena telah hijrah ke masing-masing komunitasnya. Misalnya Masjid Nurul Ishlah Paso ditinggal pindah oleh jamaahnya sehingga saat ini hanya dimakmurkan para pedagang Muslim sekitar masjid dan polisi yang kantornya tidak jauh dari lokasi masjid 12 . Sebaliknya menurut seorang pendeta Gereja Bethel Indonesia (GBI), bahwa Gereja Doa di Desa Hila juga ditinggalkan jemaatnya. Namun ketika suasana kondusif damai dilakukan kebaktian di gereja tersebut oleh jemaat yang datang dari luar. Begitu juga gereja di Larike Baba Karet13. Di samping itu juga terdapat kawasan berpenduduk campuran seperti Kristen dan Islam seperti di Desa Wayame Kecamatan Teluk Ambon. Wayame ini satu-satunya desa di Ambon yang damai ditengah konflik sosial membara di seluruh penjuru kota. Hal ini karena adanya tokoh multikulturalis, kharismatik, berani tegas, kepercayaan diri yang kuat (trust), konsensus antara pemuka agama Islam dan Kristen, dan penegakan sanksi konsensus oleh komunitas masing-masing umat secara tegas dan transparan14.
12 Wawancara dengan H. Husen Sahari, S.Ag ., M.Si., pemuka Agama Islam/Sekretaris Nahdlatul Ulama (NU) Kota Ambon) tanggal 01 April 2014, 13 Wawancara dengan Pdt Yan Ch. Wattimena, S.TH., Pimpinan Gereja Bethel Indonesia (GBI), Ambon 04 April 2014. 14Wawancara dengan Prof. DR. Watloly,.A., Pemuka Gereja Kristen Maluku (GPM), Guru Besar Universitas Pattimura dan Penasihat Tim 20 Perdamaian Wayame, Ambon 05 April 2014 dan dengan Hanafi Ketua Tim 20 Perdamian Wayame dan Mantan anggota Tim Perjanjian Perdamaian Malino, Ambon, tanggal 05 April 2014.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
75
b. Kehidupan Sosial-Budaya dan Ekonomi Penduduk Kota Ambon ada yang kehidupannya kurang beruntung atau miskin. Dengan upaya pemerintah daerah jumlahnya dapat diturunkan dalam lima tahun terakhir. Hasil Survei Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 tercatat 22.300 penduduk miskin (5,97%). Kondisi perumahan dan lingkungannya yang tak layak huni, belum lagi sekitar seribuan anak terlantar dan anak nakal. Sekalipun demikian pertumbuhan ekonomi Kota Ambon tercepat di antara kabupaten se-Provinsi Maluku (8,7%). Bidang pendidikan terdapat lembaga Taman kanak-Kanak, Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan sederajat hingga perguruan tinggi negeri dan swasta. Di antaranya ialah Universitas Patimura (UNPATTI), Universitas Darusslam, Universitas Kristen Indonesia Maluku, Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Trinitas, dan Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAKPN), Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Katolik (STPAK), Sekolah Tinggi Ilmu Komputer, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA ALAPKA), Akademi Keperawatan, Akademi Kesehatan, dan Politiknik Negeri. Ambon daerah kepulauan yang diapit oleh lautan membuat mata pencarian warga beragam, yaitu pertanian, perikanan, perdagangan, perindustrian dan parawisata. Pendatang berasal dari Buton, Bugis, Makassah (BBM) dan Jawa umumnya pekerja keras, ulet dan hemat lebih menguasai ekonomi. Pedagang Muslim lebih dominan menguasai pusat pasar. Sementara penduduk asli Ambon yang sebagian besar beragama 76
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Kristen lebih mengejar status sosial dan birokrasi sipil, seperti pegawai negeri, politisi, tentara dan polisi 15 . Namun pasca konflik kehidupan ekonomi umat Kristen mulai memilih profesi dagang di perumahan dan di pasar bahkan ada yang menjadi tukang becak. Relasi antarpenduduk secara individual atau antarpribadi beda agama nampak saling pengertian sehingga “kerukunan terjalin”. c. Kehidupan Keagamaan Islam terlebih dahulu berkembang di Maluku sebelum Katolik dan Kristen. Di Maluku Utara telah berdiri empat kerajaan Islam, yaitu: Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Portugis pertama kali menyebarkan Katolik di Ambon. Kemudian missionris Belanda menyebarkan agama Kristen Protestan. Dari Kota Ambon inilah sebagai pintu Injil, agama Katolik dan Kristen tersebar ke seluruh Indonesia16. Kini Ambon dihuni oleh pemeluk agama yang tercatat di Kantor Kemenetrian Agama Kota Ambon tahun 2012 mencapai 454.819 jiwa. Komposisi pemeluk agama terdiri dari Islam 133.815 Islam (33,96%), 165.194 Kristen (36.32%), 21.230 Katolik (2,14%), 454 Hindu (0,09%) dan 291 Buddha (0,08%). Rumah ibadat telah berdiri 431 buah, terdiri dari 243 masjid (33,17%), 270
15 John Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, Obor Indonesia, Jakarta, 2004, hal.78. 16John Pieris, Op.Cit., hal.221.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
77
gereja Kristen (62,64%), 16 gereja Katolik (3,71%), 2 pura (0,46%) dan dua 2 vihara (0,46%%)17. Organisasi kemasyarakatan keagamaan yang tercatat pada Seksi Bimas Islam ada 15, yaitu: Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), HMM, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), BKPRMI, BIMM, Gerakan Pemuda Anshor, BKMT, Nahdlatul Ulama (NU), Muslimat NU, Fatayat Nahdlatul Ulama (NU), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Muhammadiyah, Aisyiyah, Mathla’ul Anwar, Al Irsyad, Al Khairat dan BIMM. Di samping itu juga ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Organisasi keagamaan yang terdaftar pada Pemerintah Kota Ambon tahun 2010 hanya 6 buah, yaitu: Klasi Gereja Protestan Maluku (GPM) Kota Ambon, Klasis GPM Pulau Ambon, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Ambon, Wakil Uskup Amboina Wilayah Kota Ambon, Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Ambon, dan Bala Keselamatan Kota Ambon. Di samping itu juga ada yang terdaftar sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang terkait dengan agama yaitu: Persaudaraan Muslim Indonesia Kota Ambon dan Rabithah Alawiyah Cabang Ambon. Organisasi kepemudaaan terkait agama ialah : Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kota Ambon, Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM) Daerah Kota Ambon dan Pulau Ambon, 17 Wawancara dengan tanggal Dwi Wahyuni, S.Pd.B., staf Pembimas Agama Buddha Kanwil Kementerian Agama Provinsi Maluku, Ambon taggal 04 April 2014
78
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Pemuda Katolik Kota Ambon, HMI Cabang Ambon, IMM Kota Ambon, IPM Cabang Ambon, Peajar Islam Indonesia (PII) Kota Ambon, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (MII) Cabang Ambon, dan Korps Alumni HMI Kota Ambon. Masih banyak lagi organsasi keagamaan yang belum mendaftar kan diri ke pemerintah daerah Kota Ambon seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Ikatan Sarjana Katolik (Iskat) Kota Ambon. Penyuluh agama di Ambon sebgaimana di daerah lain di Indonesia terdiri dari Penyuluh Agama PNS dan Non PNS. Jumlah penyuluh agama sebanyak 877 orang, yang terdiri 21 penyuluh agama PNS ( 18 Islam, 2 Kristen dan 1 Katolik). Sedangkan penyuluh agama non PNS 856 orang yang terdiri dari: 456 Penyuluh Agama Islam, 325 Penyuluh Agama Kristen dan 75 Penyuluh Agama Katolik. Aktivitas keagamaan di Kota Ambon cukup semarak sebagaimana terlihat dari pendirian dan banyaknya rehab bangunan rumah ibadat. Betapun konflik sosial tahun 1999 hubungan antarumat beragama masih terdapat potensi rukun yang direkat oleh kearifan lokal yang dikenal dengan pela, gandong. Hubungan atas dasar keterunan (genealogi) dan historis (adat istiadat)18. Hal ini nampak dari gotong royong, seperti tradisi saling membantu dalam pendirian rumah ibadat dan saling kunjung pada perayaan hari-hari besar keagamaan, sekalipun mengalami degradasi atau pelemahan.
18John
Pieris, Op.Cit., hal.145-146.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
79
Menurut John Pieris konflik dan kerusuhan di Ambon bukan hanya melibatkan faktor agama tetapi faktor utamanya ialah politik19. Faktor konflik yang lain ialah segregasi sosial berbasis agama, kesenjangan sosial ekonomi, sosial politik perbutan kekuasan birokrasi. Hubungan internal umat suatu agama adakalanya juga terjadi konflik. Misalnya di kalangan umat Islam kampung Hitu dengan Morela, di kalangan Kristen antara kampung Ema dan Soya, Naku dan Kilang, Ema dengan Hukurela, Naku dengan Hatalai, Naku dengan Kilang, Naku dengan Hutumuri, Naku dengan Mahia. Naku dan Mahia bukan hanya seagama tetapi segandong karena hampir 90% orang Mahia berasal dari Naku20 Selain itu juga terjadi konflik antar kampung Kristen dengan kampung Islam seperti antara Waai (Kristen) dengan Tulehu (Islam), antara Batu Merah (Islam) dengan Mardika (Kristen). Namun konflik tersebut bukan karena sentimen agama, tetapi lebih disebabkan oleh batas-batas tanah (wilayah/petuanan) atau biasa karena perkelahian antarpemuda21, minuman keras dan penegakkan hukum yang tidak tegas 22 serta kepentingan elite politik lokal dan nasional23, politisasi birokrasi, politisasi agama atau perebutan kekuasaan
19Ibid.,
hal. 98. hal.142. 21Ibid., hal. 143. 22 Wawancara dengan Pdt. Dominggus Mayaut, S,Th., Ketua Bidang Pelayanan dan Pembangunan Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Ketua FKUB Kota Ambon, tanggal 04 April 2914. 23Ibid., hal. 148. 20Ibid.,
80
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
legislatif dan eksekutif 24 , serta kebijakan pemerintah yang melemahkan kepemimpinan tradisonal25. Dampak konflik masa lalu menimbulkan warisan, antara lain (1) segregasi tempat tinggal penduduk atas suatu agama dan etnis, dan penggunaan agama sebagai pengendali kekuasaan. Namun pasca konflik penduduk semakin sadar bahwa tragedi yang memilukan itu agar tidak terulang lagi karenarekayasa yang merugikan semua, merasa jenuh dengan konflik. Seorang nara sumber mengungkapkan, bahwa konflik sosial di Maluku merupakan “proyek tidak aman. Tidak aman supaya ada proyek” 26 . Koflik sosial atas dasar kepentingan elite pusat dan lokal. Seorang nara sumber menyatakan gambaran koflik kekerasan di Maluku, “Genderang di Jakarta, tarinya di Ambon, Maluku”27. Kesadaran itulah membuat nara sumber umumnya menyatakan, bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama perlu dan urgen, dan menilai penting revitalisasi kearifan lokal yang dikenal dengan pela gandong (Ambon/Maluku Tengah, hiboalamo (Maluku Utara) dan larvu ngabal (Maluku Tenggara). Karena selama 20 tahun terakhir ini kearifan lokal tersebut mengalami “degradasi fungsional”, melemah mejadi bersifat simbolik, dan merupakan media mendukung konflik sosial.
24Ibid.,
hal. 154. hal. 169. 26Wawancara dengan DR. Abidin Wakano, M.Ag, Direktur Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) dan Direktur ARM IAIN Ambon, tanggal 02 April 2014 27Wawancara dengan H. Husen Sahari, S.Ag., M.Si., Loc.Cit. 25Ibid.,
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
81
3. PANDANGAN PEMUKA AGAMA a. Urgensi dan Manfaat Pengaturan Seluruh nara sumber (N15) menyampaikan pandangan yang sama bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama perlu dibuat dan bersifat urgen (N14) atau mendesak karena adanya dinamika kerukunan dengan tren intolransi mengalami peningkatan, substansi aturan perlu penyesuaian dan penyempurnaan seiringan dengan era otonomi daerah dan tuntutan perubahan sosial serta pengaruh global. Kecuali seorang pastor yang berpandangan perlu tetapi tidak mendesak (urgen)28. Alasan yang berpandangan perlu diatur dan urgen (N14) cukup bervariasi, mencakup: masyarakat Ambon sebagai miniatur masyarakaat Indonesia yang majemuk berpotensi rawan konflik, dinamika kerukunan yang fluktuatif dengan tren intoleransi makin tinggi, konflik antarumat beragama dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, materi pengaturan yang belum dilakukan penyesuaian dan penyempurnaan, tuntutan perubahan sosia dan pengaruh dinamika global, paham keagamaan transnasional, kepentingan media massa yang mengabaikan kerukunan, pengaturan belum disertai sanksi bagi pelanggarnya, dan pengaturan hubungan antarumat beragama akan menjamin terpelihara keharmonisan dan kerukunan umat beragama.
28 Wawancara
dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr., Wakil Uskup Amboina, Ambon,tanggal 02 April 2014.
82
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
.
Dinamika kerukunan umat beragama bersifat fluktuatif, dan secara kuantitatif dilaporkan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), bahwa kasus intoleransi atau kekerasan atas nama agama dalam kurun waktu lima tahun terakhir dengan tren mengalami kenaikan. Hasil pemantauan dan pencatatan The Wahid Institut pada tahun 2008 terjadi 59 kasus dan pada tahun 2010 sebanyak 63 kasus, yang berati naik 4 kasus (2,67%). Moderate Muslim Soceity mencatat tahun 2010 sebanyak 81 kasus. Kepolisian RI mencatat pada tahun 2009 sebanyak 40 pristiwa dan pada tahun 2010 sebanyak 49 pristiwa, berati mengalami kenaikan 9 pristiwa (5,6%). Pada gilirannya dapat mengancam kerukunan dan harmoni hubungan antarumat beragama, kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Materi peraturan tentang kerukunan umat beragama perlu disesuaikan. Belum diselaraskan dengan era sistem pemerintahan otonomi daerah (otda) atau era reformasi yang bergulir sejak 1998. Tuntutan perubahan sosial yang berkembang, dan pengaruh global tertutama di bidang informasi, komunikasi dan transformasi (IKT) telah memasuki ranah kehidupan keagamaan yang semakin kompleks 29 sehingga diperlukan adanya kelengkapan peraturan terkait kerukunan umat beragama. Kebijakan pemerintah juga nampak melemahkan peran pemuka agama dan tokoh tradisional dengan kebijakan
29Misalnya pengaruh ideologi dan paham keagamaan transnasional yang dihadapkan dengan nilai-nilai ke Indonesiaan. Sebagai contoh ketika konflik di Ambon pada peringatan hari-hari besar keagamaan Islam ada yang mengibarkan bendera Palestina, sebaliknya ketika acara umat Kristen mengibarkan bendera Israil. Hal ini menggambarkan seakan konflik di Ambon adalah terkait konflik IsreilPalestina.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
83
penyeragaman struktur pemerintahan desa, serta politisasi kearifan lokal. Pemahaman demokrasi dan kebebasan beragama di era reformasi yang cenderung “kebablasan”. Kebebasan cenderung mengabaikan kebebasan orang atau kelompok lain sesungguhnya dibatasi oleh pula oleh peraturan perundang-undangan. Di sinilah perlu pengaturan 30 . Negara Indonesia sedang dan terus berkembang sehingga perlu pengaturan dalam hubungan antarumat makin dinamis dan kompleks 31 Secara umum substansi aturan kerukunan umat beragama memang telah ada tetapi belum memadai, dan masih bernuansa senralistik -produk era Orde Lama (1947-1965 dan era Orde Baru (1966-1988)-. Sedangkan sejak tahun 1998 telah digulirkan era reformasi dengan sistem otonomi daerah (otda). Dalam konteks ini tentu aturan yang ada perlu disesuaikan dengan peraturan perundang undangan yang baru, dan kemungkinan penambahan aturan baru, serta perlunya sanksi bagi pelanggarnya, seperti Undang-Undang No. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalah-gunaan dan/atau Penodaan Agama. Pengaruh globalisasi ditandai dengan kemajuan informasi, komunikasi dan transportasi (IKT) memasuki ranah kehidupan keagamaan sehingga persoalannya semakin kompleks. Demikian pula pengaruh paham keagamaan transnasional menyebar atau dibawa dari luar
30Prof. DR. Tonny D. Pariela, MA, “Pentingnya UU Ormas dalam Mengatur dan Mengarahkan Tertib Kehidupan Bermasyarakat”, Ambon, 2012, hal. 4. 31 Wawancara dengan Arsal Rizal Tuasikal, SH., MH., Pemuka pemuda Nahdlatul Ulama/Pimpinan Institut Tifa Damai Maluku, Ambon, 01 April 2014.
84
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
negeri yang menilai pemahaman keagamaan di tanah air ini perlu disesuaikan dengan standar luar. Apu-pun isi dan bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama harus ada, dan merupakan kebutuhan nyata untuk menata aktivitas beragama dan bermasyarakat dalam realitas kemajemukan bangsa. Orang Maluku semakin menyadari konflik itu merugikan semua pihak, “menang jadi arang, kalah jadi abu”32. Pengaturan hubungan antarumat beragama perlu tetapi tidak urgen (N!) dengan alasan: (1) Kesadaran multikulturalisme pemuka agama dan sementara umat beragama makin tinggi. (2) Kesadaran akan revitalisasi kearifan lokal “pela gandong” makin tumbuh. (3) Keinginan implementasi ajaran agama-agama tentang kasih dan damai oleh pemuka masing-masing umat. (4) Kesadaran pentingnya hidup rukun dan damai pasca konflik kekerasan di Ambon, Maluku (1999-2004)33. b. Kewenangan dan Bentuk Legalisasi Pengaturan Menurut nara sumber, bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama adalah merupakan kewenangan bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, pemuka 32 Wawancara dengan Drs. H. Idris Latuconsina, pemuka Agama Islam/sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Maluku, Ambon, tanggal 14 Maret dan 01 April 2014, dan dengan Pdt. Dominggus Mayaut, S.Th., Ketua Bidang Pelayanan dan Pembangunan Gereja Protestan Maluku, Ambon, tanggal 01 April 2014. 33Wawancara dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr., Loc. Cit.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
85
agama dan masyarakat (N15) 34 . Minimal pemerintah bersama para tokoh dari masing-masing agama35. Adapun alasannya: (1) Pengaturan mengenai hubungan antar umat beragama, sehingga semua pihak harus berperan aktif memberi masukan. (2) Pemerintah mampu menyiapkan naskah akademik dan sunstansi aturan tersebut. (3) Pemerintah dapat memfasilitasi sosialisasi naskah akademik dan substansi aturan untuk dikritisi oleh pemerintah daerah yang akan mengawal pelaksanaannya di wilayah yurisdiksi kerjanya36, serta wakil-wakil dari tiap umat beragama sebagai pembina umat beragama37. Bentuk legalisasi hukum mengatur hubungan antarumat beragama secara umum disarankan oleh nara sumber dengan Undang-Undang (N15). Alasan yang dikemukan:
(1) Relasi atau interaksi antarwarga negara yang beda agama harus diatur oleh negara agar terwujud hidup rukun dan damai bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara38.
34Ibid. 35Wawancara dengan H. Husen Sahari, S.Ag., M.Si., Loc.Cit. dan wawancara dengan Mariyoto, S.Pd., M.Hum., Pemuka Agama Buddha, dan Pembimas Buddha, Ambon tanggal 1 April 2014. 36Wawancara dengan Drs. H. Idris Latuconsina, Loc.Cit. 37Wawancara dengan Naryoto, S.Pd., M.Hum., Loc.Cit. 38 Wawancara dengan H. Husen Sahari, S. Ag., M.Si, Loc.Cit., dan Wawancara dengan Mariyoto, S.Pd., M.Hum., Loc.Cit..
86
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
(2) Dapat menampung substansi undang-undang yang telah ada, seperti Undang-Undang No. 1/PNPS/tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan peraturan perundang-undangan yang ada.
(3) Memiliki
sanksi melanggarnya.
hukum
bagi
siapa-pun
yang
Namun dengan realita pengaturan bersifat urgen atau mendesak untuk segera ditetapkan dan biaya proses penetapan undang-undang perlu waktu yang cukup dan dana relatif besar, maka pada tahap awal disarankan ditetapkan dalam bentuk Peraturan Presiden, karena terkait berbagai instansi pemerintah dan institusi kemasyarakatan39. c. Aspek yang Perlu dan Tidak Perlu Diatur a) Pemeliharaan Hubungan Antarumat Beragama 1) Penyiaran Agama Penyiaran dan/atau penyebarluasan ajaran agama kepada orang yang telah beragama sangat perlu pengaturan (N15). Alasannya: (1) Hak berkeyakinan merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dipengaruhi untuk berganti keyakinan (konversi/murtad) kecuali atas kesadaran dan kemauan sendiri. (2) Semua agama mengajarkan ekspanasi, seperti dalam Alkitab disebutkan “beritakan Injil ke 39Ibid.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
87
sekalian bangsa” 40 sehingga rawan konflik baik antar maupun intern umat beragama41. (3) Menghindari ketersinggungan akibat penyiaran agama kepada orang yang beragama yang dapat mengganggu stabilitas keamanan42. (4) Menjaga hubungan harmoni antarumat beragama43. Hal yang perlu diatur terkait dengan penyairan agama, yaitu: (1) Penyamaan pengertian tentang penyiaran agama. Penyiaran agama internal adalah baik dengan tujuan untuk meningkatkan keimanan masingmasing umat beragama. (2) Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk membujuk atau mempengaruhi orang yang telah beragama dengan motovasi apa-pun untuk pindah agama. (3) Tidak boleh menerima tenaga penyiar agama dari luar negeri untuk mengamakan orang telah beragama. (4) Penyiaran agama kepada orang belum beragama boleh dengan tujuan membimbing dan mengenalkan agama yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa44.
40 Wawancara dengan Pdt. Hendry Lolain, S.Th., Ketua Majeis Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia, Ambon, tanggal 02 April 2014. 41Wawancara tertulis dengan Mariyoto, S.Pd., M.Hum., Loc.Cit.. 42Wawancara dengan H. Husen Sahari, S.Ag., M.Si., Loc.Cit. 43Ibid. 44Wawancara dengan Drs. H. Idris Latuconsina, Loc.Cit.
88
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
(5) Penyiar agama dari luar tidak melakukan penyiaran yang merusak warna keagamaan Indonesia, apalagi sampai menolak semangat keindonesiaan45 (6) Materi penyiaran agama melalui media massa harus memiliki konten yang tidak menyinggung perasaan pemeluk agama lain46 (7) Dalam penyiaran agama tidak boleh ada fitnah terhadap agama lain dan/atau dengan cara-cara merendahkan atau menghina agama orang lain47. 2) Pendirian Rumah Ibadat Pendirian rumah ibadat perlu diatur (N15). Alasannya: (1) Menjamin penunaian hak beribadat bagi masingmasing orang beragama yang dijamin dalam konstitusi. (2) Bangunan rumah ibadat sebagimana bangunan lain umumnya perlu mengikuti planologi kota untuk keindahan dan ketertiban lingkungan. (3) Menjaga hubungan harmonis antarwarga beda agama yang telah terjalin baik sebelumnya. (4) Menjamin kepemilikan aset rumah ibadat dan tata letak lokasi antarrumah ibadat48
dengan DR. Abidin Wakano, M.Ag., Loc. Cit. dengan Andreas MP Ratuanik, SH.,MM., M.Hum, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Maluku, Ambon, tanggal 01 April 2014. 47Wawancara dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr., Loc.Cit. 45Wawancara
46 Wawancara
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
89
(5) Missi tertentu dalam pendirian rumah ibadat seperti penambahan kuantitas penganut dilingkungan sekitarnya, dan untuk dukungan memperoleh kekuasaan (politik)49. Aspek yang perlu diatur: (1) Kesamaan pengertian rumah ibadat. Karena diberbagai daerah masih memasukkan tempat ibadat keluarga sebagai rumah ibadat seperti mushalla, kapel, dan cetya. Hal ini tidak sejalan dengan pengertian rumah ibadat dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. (2) Kesatuan pemahaman pasal tertentu dalam PBM yang multi tafsir. Misalnya jumlah pengguna rumah ibadat (90 orang) dan persetujuan warga masyarakat sekitarnya (60 orang) yang dimuat dalam PBM, karena hakikatnya identik dengn tidak ada aturan tersebut. (3) Kompetisi pendirian rumah ibadat yang berpeluang pada konflik antarumat beragama karena tanpa pengaturan. (4) Rumah ibadat merupakan indentitas keagamaan komunitas suatu agama tertentu. (5) Memberikan peluang diperbolehkan pendirian rumah ibadat tanpa mengikuti persayaratan teknis bngunan dan administratif dalam PBM jika tidak 48 Wawancara dengan Pdt. Dominggus Mayaut, S.Th., Ketua Bidang Playanan dan Pembangunan Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Ketua FKUB Kota Ambon, 02 April 2014. 49Wawancara dengan Drs. H. Idris Latuconsina, Loc.Cit.
90
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
ada masalah atau dipermasalahkan 50 . Sebagai contoh untuk Maluku pendirian rumah ibadat tidak begitu dipermasalahkan dengan PBM, karena umumnya menggunakan kearifan lokal berupa janji pendirian rumah ibadat tidak mengaggu umat beragama lain51. 3) Penyelenggaraan Hari-Hari Besar Keagamaan Penyelenggaraan hari-hari besar keagamaan perlu diatur (N15). Alasannya: (1) Menghindari gangguan dan ketertiban lingkungan, seperti penggunaan pengeras suara yang berlebihan, dan perparkiran yang mengganggu lalu lintas jalan umum. (2) Penggunaan atribut dari negara luar, seperti bendera Palestina oleh umat Islam dan bendera Israil oleh Kristen di Ambon52. Aspek yang perlu diatur: (1) Person orang lain agama tidak diundang pada acara peribadatan/liturgi. Ketentuan ini telah jelas dalam ajaran tiap agama, seperti Islam “Agama bagimu dan agamaku bagiku” (lakum dinukum waliyaddin, Qs Al Kaafirun: 6). Karena itu umat Islam tidak pernah mengundang umat beragama lain untuk shalat,
dengan DR. Abidin Wakano, M.Ag, Loc. Cit. dengan Drs. H. Idris Latuconsina, Loc.Cit. 52Wawancara dengan Pdt. Dominggus Mayaut, S,Th., Loc.Cit., dan dengan DR. Abidin Wakano, M.Ag., Loc. Cit. 50Wawancara 51Wawancara
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
91
bukan karena kebencian tetapi itu ketentuan agama53. (2) Pada kegiatan peribadatan hanya diundang dan dihadiri oleh orang yang se-agama. (3) Dapat mengundang pemeluk agama lain pada acara seremonial atau perayaan hari besar keagamaan sebagai ungkapan rasa syukur dan kebersamaan. (4) Pada acara peribadatan tidak boleh mengundang orang lain agama guna menghindari penodaan agama dan pencampur-adukan ajaran agama (sinkretisme), seperti pristiwa hostia di Kupang dan Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)54. (5) Dalam surat undangan agar dicantumkan susunan acaranya, baik seremonial maupun 55 ritual/ibadahnya . (6) Penganut agama lain dibuka kesempatan untuk memberikan sumbangan dana atau meteri lainnya atas dasar sukarela, sebagai bentuk kepedulian dan pembangunan kerukunan antarumat beragama56 (7) Pejabat beragama lain dapat diundang pada acara seremonial berikut ibadat karena keduanya sulit dipisahkan, tetapi jika atas kemaun dan kesadaran
53 Ibid., dan wawancara dengan A. Madjid Makssar, Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Maluku, Ambon tanggal 04 April 2014. 54Ibid. 55 Wawancara tertulis dengan Sukardi Rukianto, Pemuka Agama Hindu/Pembimas Hindu Kanwil Kementerian Agama Provinsi Maluko, Ambon tanggal 02 April 2014. 56Wawancara dengan H. Husen Sahari, S.Ag., M.Si., Loc.Cit.
92
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
sendiri ikut acara kebaktian tidak dikenakan hukuman57. (8) Pejabat negara yang diundang dan datang di tempat peringatan hari besar keagamaan, hendaknya tidak dilarang jika yang bersangkutan mau ikut kebaktian58 (9) Kebolehan mengucapkan selamat dalam rangka membangun silaturahim dan persaudaraan sejati59, baik sebelum dan sesudah ibadat/ritual umat beragama. 4)
Pendidikan Agama Pendidikan agama pada sekolah dibedakan antara negeri dan swasta. Pendidikan agama di sekolah negeri perlu diatur (N15). Alasannya: (1) Sekolah negeri diselenggarakan oleh pemerintah atau negara yang terbuka bagi siapa-pun, dan apapun agama yang dianut anak didik. (2)
Menjaga agar anak didik tidak bingung dalam memahami agamanya sendiri, kecuali kalangan mahasiswa dapat diberikan sejenis perbandingan agama untuk memperluas wawasan. Aspek yang perlu diatur:
(1) Pendidikan agama diberikan sesuai agama anak didik dan oleh pendidik yang sama agamanya. 57 Wawancara dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr., Op.cit., dan tanggal 04 April 2014 58Ibid. 59Wawancara dengan DR. Abidin Wakano, M.Ag, Loc. Cit.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
93
Karena pendidikan adalah karakter dan kepribadian.
berkenaan
dengan
(2) Pendidikan agama bagi siswa yang jumlahnya kecil dapat digabungkan dengan anak didik dari kelas lain, dan/atau dari sekolah lain, kemudian diberikan pendidikan agama oleh pendidik yang seagama dengan anak didik tersebut. (3) Pendidikan agama selain bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan perlu dikembangkan pada toleransi beragama (N15). (4) Menjaga kesatuan berbangsa dan bernegara60. (5) Menghargai dan memberi kesempatan tiap siswa mendapatkan pelajaran agama sesuai agamanya61. (6) Pendidikan agama di semua jenjang mengembangkan spirit interpersonal 62 menghargai keragaman
perlu untuk
Pendidikan agama pada sekolah swasta yang didirikan oleh suatu yayasan agama memiliki ciri khas tersendiri tidak perlu diatur (N13), seperti seminari dan madrasah. Alasannya: (1) Missi sekolah sesuai ajaran agama tertentu. Misalnya pada sekolah Islam misinya ialah Islam. Demikian pula lembaga pendidikan yang didirikan oleh yayasan agama lainnya, seperti Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. 60Wawancara 61Wawancara 62Ibid.
94
dengan H. Husen Sahari, S.Ag., M.Si., Loc.Cit. dengan MP Ratuanik, SH., MM., M.Hum, Loc. Cit.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
(2) Wilayah manajemen lembaga pendidikan yang bersangkutan sesuai ciri khas sekolah63. (3) Siswa harus mengikuti kurikulum pelajaran sekolah termasuk pendidikan agama. Misalnya, seorang anak masuk sekolah Islam atau Kristen, maka konsekwensinya harus mengikuti agama sesuai kurikulum sekolah tersebut64. 5) Pemakaman Jenazah Pemakaman jenazah terdapa dua pandangan, yaitu perlu dan tidak perlu diatur. Pemakaman jenazah perlu diatur (N13), dengan alasan: (1) Aturan agama tentang pemakaman jenazah ditemukan pada tiap agama. Misalnya Islam dimulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan hingga menguburkannya. (2) Pemakaman jenazah urusan agama dapat mengudang konflik bagi ahli musibah, dan tidak sejalan dengan ajaran pokok agama itu sendiri. (3) Jangan membuat orang yang meninggal susah. Diserahkan saja pada keluarga yang meninggal65. (4) Pemakaman jenazah seperti tersebut di atas perlu diatur untuk menghindari komplin dari keluarganya jika kemudian hari keluarganya dimakamkan tidak sesuai agama yang dipeluknya.
63Ibid. 64Wawancara 65Wawancara
dengan Drs. H. Idris Latuconsina, Loc.Cit. dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr., Loc.Cit.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
95
Aspek yang perlu diatur ialah: (1) Penyelenggaraan jenazah meninggal dunia..
sesuai
(2) Pemakaman jenazah sesuai masing-masing agama66.
agama
keyakinan
yang ajaran
(3) Jenazah yang tidak diketahui agamanya dimakamkan sesuai kesaksian keluarga terdekat dan/atau sesuai agama mayoritas setempat. (4) Jenazah yang tidak memiliki identitas agama dan tidak dikatahui oleh masyarakat yang menemukannya, maka dapat diakukan secara agama sesuai agama masyarakat 67 , karena dalam keadaan “porce majeur”68. (5) Dalam pandangan seorang pastur dan pemuka agama Islam (N2), bahwa pemakaman jenazah tidak perlu diatur, cukup diserahkan pada keluarga terdekat dari orang yang meninggal dunia tersebut69. Di samping karena hal tersebut telah jelas dalam ajaran agama masing-masing70.
dengan Drs. H. Idris Latuconsina, Loc.Cit. Wawancara dengan Pdt. Dominggus Mayaut, T.Th., Ketua Bidang Playanan dan Pembangunan Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Ketua FKUB Kota Ambon tanggal 02 April 2014. 68Ibid. 69Wawancara dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr, Loc. Cit. 70Wawancara dengan H. Husen Sahari, S.Ag., M.Si., Loc.Cit. dan wawancara dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr., Loc.Cit. 66Wawancara 67
96
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
6) Bantuan Luar Negeri Bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia perlu diatur (N15). Alasannya: (1) Menghindari kecurigaan antarumat beragama dan persaingan antarumat beragama. (2) Menjaga harga pelaksananya.
diri
bangsa
dan
melindungi
Aspek yang perlu diatur: (1) Jenis bantuan seperti dana, material dan tenaga rohaniawan. (2) Keharusan melaporkannya kepada pemerintah daerah, dan untuk diketahui pemerintah (pusat), baik jumlah dan jenis bantuan maupun peruntukannya71. 7) Perkawinan Beda Agama Pandangan tentang perkawinan beda agama terbagi dua: perlu dan tidak peru diatur. Perlu diatur (N14). Alasannya: (1) Mengacu pada Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (2) Sah nikah sesuai ajaran agama yaitu menikah sesuai agama. Menurut Al Quran telah jelas disebutkan pada surat Al Baqarah ayat 221. Menurut hukum Kanonik (Katolik) kawin beda agama tidak sah72. 71 Ibid., dan wawancara dengan Drs. H. Idris Latuconsina, Loc.Cit., dan wawancara dengan Pdt. Dominggus Mayaut, S,Th., Loc.Cit. 72Wawancara dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr., Loc.Cit.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
97
Aspek yang perlu diatur: (1) Anak dari perceraian kedua orang tua beda agama harus dijamin menentukan pilihan agama yang dianutnya pada saat ia telah dewasa karena beragama dan berkeyakinan merupakan hak asasi dari tiap orang. (2) Pernikahan sah hanya menurut agamanya masingmasing, sesui Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan73. Menurut pandangan seorang nara sumber (pastor, N1), bahwa perkawinan beda agama tidak perlu diatur74. Alasannya:
8)
(1)
Telas jelas dalam ajaran agama.
(2)
Telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan75
Pengangkatan Anak Pengangkatan anak perlu diatur (N15). Alasannya: (1) Menjamin pilihan agama oleh anak angkat jika telah dewasa. (2) Boleh mengasuh anak angkat sesuai agama orang tua angkatnya76
73Ibid
. dan wawancara dengan DR. Abidin Wakano, M.Ag, Loc. Cit.. dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr., Loc.Cit., 75Wawancara dengan Pdt. Dominggus Mayaut, T.Th., Loc.Cit. 76Wawancara dengan Arsal Rizal Tuasikal, SH., MH., Loc.Cit. 74Wawancara
98
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Aspek yang perlu diatur: (1) Orang tua angkat yang beda agama tidak boleh memasakan pilihan suatu agama kepada anak angkatnya, karena anak tersebut berada pada posisi lemah dan belum mampu menentukan pilihannya. (2) Anak yag telah berusia dewasa diberi hak77 untuk memilih agamanya78. (3) Hak dasar hidup anak angkat menjadi tenggung jawab orang tua angkat seperti tempat tinggal, sandang, pangan dan pendidikan yang layak79. 9) Penyalah gunaaan dan/atau Penodaan Agama Penyalah-gunaaan dan/atau perlu diatur (N15). Alasannya:
penodaan
agama
(1) Penodaan terhadap kesakralan agama dapat konflik antar dan intern umat beragama. (2) Mmengajak seseorang untuk tidak beragama betentangan dengan sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. (3) Menjaga stabilitas negara. Aspek yang perlu diatur: (1) Tidak boleh mengajak dan mempengaruhi orang lain untuk menafsirkan ajaran agama yang mengarah pada intoleransi. (2) Tidak boleh mengajak dan mempengaruhi orang lain mempraktikkan ajaran agama yang 77Ibid. 78Ibid. 79
Ibid., dan wawancara dengan Drs. H. Idris Latuconsina, Loc.Cit
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
99
menyimpang dari pokok ajaran yang inklusif atau moderat80. b) Sanksi Atas Pelanggaran Sanksi atas tiap pelanggaran terhadap aturan kerukunan beragama sangat perlu (N14). Alasannya: (1) Menjaga hubungan antarumat beragama yang harmoni dan rukun. (2) Menghindari konflik antarumat beragama karena merasa agamanya “diacak-acak” atau dicampur adukkan (sycretisme) denga ajaran lain. Bentuk sanksi atas pelanggaran terhadap aturan hubungan antarumat beragama: (1) Minimal teguran secara tertulis81 (2) Dikenakan pidana penjara sesuai berat-ringannya pelanggaran yang dilakukan maksimal 10 tahun. (3)
Menurut pandangan seorang nara sumber (pastor, N1) cukup dengan penjara 1 hingga 2 tahun 82 karena dalam kurun waktu itu dilakukan pembinaan mental spiritual dan pertobatan83
(4) Jika pelaggaran dilakukan oleh sebuah wadah/organisasi/perkumpulan dan/atau badan/yayasan dapat dicabut legalisasi hukumnya sesuai peraturan yang berlaku84.
80Ibid.
dengan H. Husen Sahari, S.Ag., M.Si., Loc.Cit. dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr., Loc.Cit. 83Wawancara dengan Pastor Armandus Oratmangun, Pr., Loc.Cit. 84Ibid. 81Wawancara 82Wawancara
100
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
c)
Kewajiban dan Tanggung Jawab Penyelenggaraan Pemerintah, pemerintah daerah, pemuka agama dan masyarakat berkewajiban mentaati paraturan hubungan antarumat beragama. elain itu juga bertanggung jawab atas pelaksanaan peraturan hubungan antarumat beragama. Alasannya: (1) Peraturan tersebut harus ditegakkan secara bersama-sama termasuk aparat penegak hukum85. (2) Penegakkan hukum harus diikuti dengan sanksi, baik administrasi maupun hukum (pidana) agar menimbulkan efek jera86
d) Saran Nara Sumber Beberapa saran pokok oleh para nara sumber: (1) Mengingat urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama adalah perlu (N15) dan urgen (N14), maka sebaiknya ditetapkan terlebih dahulu dalam bentuk Peraturan Presiden 87 agar segera dapat diwujudkan. (2) Memproses Peraturan Presiden menjadi UndangUndang agar memiliki dasar hukum yang kuat berikut sanksinya88.
85Ibid.,
dan wawancara dengan Drs. H. Idris Latuconsina, Loc.Cit dengan Andreas MP Ratuanik, SH., MM., M.Hum., Loc.Cit. 87Wawancara dengan Drs. H. Idris Latuconsina, Ibid. 88Wawancara dengan H. Husen Sahari, S.Ag., M.Si., Loc.Cit. 86Wawancara
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
101
(3) Mekanisme yang ditempuh hendaknya disusun draft pengaturan oleh pemerintah (Kementerian Agama bersama instansi terkait) terlebih dahulu, kemudian disosialisasikan kepada majelis-mejelis agama sebagai representasi kelompok umat beragama dan LSM terkait. (4) Peraturan tentang kerukunan beragama harus mengakomodasi hukum adat yang berlaku 89 dan kearifan lokal yang mendukung. (5) Dalam pengaturan kerukunan beragama agar tidak memasuki ranah ajaran/doktrin agama90. 4. ANALISIS Peraturan perundang-undangan terkait hubungan anatarumat beragama telah ada dengan bentuk hukum yang beragam, mulai dari Surat Edaran Menteri, Keputusan Menteri, Surat Ketusan Bersama Menteri, Peratutan Bersama Menteri, hingga Penetapan Presiden dan Undang-Undang. Tidak dapat disangkal hampir semuanya produk perundangundang terkait dengan hubungan antarumat beragama produk pemerintah sentralistik. Sedangkan mulai tahun 1998 telah digulirkan era reformasi dan sistem otonomi daerah (otda). Dengan demikian paraturan perundangan yang ada perlu penyesuaian dengan peraturan yang baru, melengkapi aturan yang belum tertampung seiring dengan perubahan sosial yang cepat, dan mempertegas substansi hukum yang multi tafsir. Dalam konteks inilah pengaturan hubungan
89Wawancara 90Wawancara
102
tertulis dengan Maryoto, S.Pd., M.Hum., Loc.Cit. dengan Pdt. Dominggus Mayaut, T.Th., Loc.Cit.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
antarumat beragama dinilai perlu, bahkan mendesak untuk ditetapkan (urgen). Aspek materi yang perlu diatur dengan memperhatikan materi peraturan perundang-undangan yang ada, dan hasil kajian dan penelitian. Pengaturan tersebut perlu legalisasi hukum yang kuat. Namun mengingat waktu yang lama dan biaya yang relatif besar, maka tahap awal dapat ditetapkan dalam bentuk Peraturan Presiden, untuk selanjutnya dapat ditingkatkan menjadi Undang-Undang agar memiliki sanksi hukum, guna menghindari seperti yang dikatakan oleh Ketua FKUB Provinsi Maluku “tidak seperti macan ompong”. Hal ini berdampak pada peran FKUB yang digambarkan, “bagaikan pemadam kebakaran”. Oleh karena itu perlu peraturan perundang-undangan yang mengikat harus dipatuhi disertai sanksi. Hubungan antarumat beragama dalam masyarakat Ambon khususnya dan secara umum di Maluku sebelum tahun 1999 dikenal dengan nilai- nilai kekerabatan, persuadaraan, kesetaraan dan nilai-nilai pluralisme. Hal ini tercermin dari budaya atau kearifan lokal “pela gandong”91. Pasca konflik 1999-2004, masyarakat umumnya merasa jenuh dengan konflik, dan kembali berupaya merevitaliasi kearifan lokal dalam membangun kerukunan dan persaudaraan antarumat beragama. Budaya pela gandong konon lahir dari tradisi “perburuan kepala” (head hunter)92, pada saat konflik antara 91 DR. Abidin Wakano, M.Ag, “Maluku dan Keindahan Sejarahnya, Harmoni Kehidupan Masyarakat Maluk Berbasis Kearifn Lokal” dalam Josep Antonius Ufi dan Hasbullah Assel, Mengenal Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku, Pineleng, Jakarta, 2012, hal. 5. 92Ibid., hal 7.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
103
wilayah dan desa-desa pada masyarakat Maluku masa lalu93. Kemudian dalam rangka kedamain muncul pela (pealu=saudara laki-laki) yaitu mereka mengikat janji untuk tidak saling menyerang atau bersumpah untuk menjalin persaudaraan94. Semangat budaya pela adalah pengakuan dan penerimaan antara sesama manusia meskipun berbeda agama dan negeri, tetapi tidak menghalangi mereka untuk mengangkat diri sebagai “orang basudara” (orang yang bersaudara). Pela antarnegeri, dan kebanyakan antar Islam dengan Kristen, seperti Pela Batu Merah (Islam) dengan Paso (Kristen). Karena itu, persaudaraan dalam budaya Maluku sangat mengargai perdedaan, baik suku, agama maupun golongan95. Gandong (kandung = persaudaraan berdasarkan garis keturunan96. Pela gandong inilah di era konflik sosial tidak lagi berperan untuk persaudaran karena disusupi kepentingan politik, sehingga seakan pela gandong berganti fungsi untuk konflik. Politisasi “pela gandong” dan politisasi agama untuk kepentingan ekonomi dan kekuasaan telah membuat Ambon konflik antara Islam (acan, salam) dengan Kristen (obed, serani). Di sinilah kearifan lokal pela gandong dan larvul ngabal tak berdaya. Namun pasca konflik bernuansa Islam versus Kristen tahun 1999-2004, relasi antarumat beragama kembali relatif rukun, sebagaimana terlihat partisipasi non Muslim dalam menyukseskan Musabaqah Tilatil Quran Tingkat Nasional 93Ibid., 94Ibid., 95Ibid. 96Ibid.,
104
hal. 51. hal 6. hal. 44.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
XXIV tahun 2012 yang lalu. Sekalipun relasi antarumat beragama nampak diwarnai oleh segregasi sosial dan tempat tinggal akibat konflik masa lalu. Masyarakat menyadari bahwa konflik tidak ada yang diuntungkan, semua pihak korban jiwa dan harta. Segregasi sosial dan taruma menyelinapi kehidupan masyarakat. Meraka ingin revitalisasi kearifan lokal “pela gandong” seperti sedia kala. Tetapi sayang trauma yang masih menyelimuti jiwa sebagian warga nampak belum ditangani secara serius oleh pemerintah daerah. Jika tidak diletakkan pundasi kerukunan yang mantap dikhawatirkan terjadi siklus konflik 50 tahunan. 5. PENUTUP Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan, maka disimpulkan:
temuan
penelitian
dan
Nara sumber penelitian (N 15) memiliki pandangan yang sama, bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama adalah perlu (N15) dan mendesak atau urgen N14). Hal ini didasarkan pada sembilan faktor utama: (1) keadaan masyarakat Ambon sebagai miniatur masyarakat Indonesia yang majemuk berpotensi rawan konflik, (2) segregasi sosial “bom waktu” bagi konflik, (3) dinamika kerukunan nasional yang fluktuatif dengan tren intoleransi makin tinggi dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat Ambon Maluku, (4) materi pengaturan yang belum dilakukan penyesuaian dan penyempurnaan, (5) tuntutan perubahan sosial, pengaruh dinamika global dan paham keagamaan transnasional, (6) kepentingan media massa yang mengabaikan kerukunan, (7) pengaturan belum disertai sanksi bagi pelanggarnya, (8) pasca Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
105
konflik sosial di Ambon dan Maluku tahun 1999-2004 menumbuhkan kesadaran akan perlunya pengaturan kerukunan umat beragama, dan (9) konflik antarumat beragama dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Pengaturan hubungan antarumat beragama perlu tetapi tidak urgen karena: (1) kesadaran multikulturalisme pemuka agama dan sementara umat beragama makin tinggi, (2) kesadaran akan revitalisasi kearifan lokal “pela gandong” makin tumbuh, (3) implementasi ajaran agama-agama tentang kasih dan damai oleh pemuka masing-masing umat. Aspek hukum yang perlu diatur terkait hubungan antarumat beragama ialah dalam hal yang dapat menimbulkan konflik (N 15), yaitu sembilan aspek: (1) penyiaran agama, (2) pendirian rumah ibadat, (3) penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan, (4) pendidikan agama, (5) pemakaman jenazah, (6) bantuan luar negeri, (7) perkawinan beda agama, (8) pengangkatan anak, dan (9) penyalah gunaan dan/atau penodaan agama. Nara sumber yang berpandangan, bahwa dalam hubungan antaruma beragama tidak perlu diatur meliput lima aspek yaitu: (1) pendidikan agama, (2) pemakaman jenazah, (3) bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia, (4) perkawinan beda agama, (5) pengangkatan anak (N/Pastor). Pendidikan agama pada sekolah swasta tidak perlu diatur karena memiliki misi dan ciri khas agama tertentu dan pemakaman jenazah yang telah diatur dalam ajaran agama-agama N1/MUI). Aspek hukum yang perlu diadopsi dalam pengaturan hubungan antarumat beragama ialah kearifan lokal yang mendukung kerukunan antarumat beragama, seperti “pela gandong” pada masyarakat Maluku, khususnya Ambon. 106
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Legalisasi hukum pengaturan hubungan antarumat beragama yang diinginkan nara sumber (N 14) ialah dalam bentuk undang-undang, karena: (1) memiliki dasar hukum yang kuat. (2) mengikat semua pihak. (3) memiliki sanksi hukum. Namun karena sifatnya urgen, maka pada tahap awal dapat ditatapkan dalam bentuk Peraturan Presiden. Proses ini diharapkan dapat lebih cepat dan biaya relatif terjangkau, serta kewenangan Presden RI. Pada tahap selanjutnya ditingkatkan menjadi Undang-Undang. Rekomendasi. Dari temuan penelitian, pembahasan dan kesimpulan di atas, direkomendasikan, sebagai berikut: 1)
Dengan modal hasil penelitian ini dan kajian, kementerian agama melalui Badan Litbang dan Diklat kiranya telah dapat menyusun naskah akademik dan materi Rencana Peraturan Presiden tentang Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama.
2)
Draft naskah akademik dan materi pengaturan hubungan antarumat beragama. tersebut agar disosialisasikan kepada instansi terkait dan majelis-majelis agama (MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI DAN MATAKIN), ormas keagamaan, pemuka agama-agama, pakar dan praktisi hukum, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terkait. Selanjutnya dirumuskan Naskah Akademik dan materi aturannya.
3)
Legalisasi awal pengaturan hubungan antarumat beragama sebaiknya dalam bentuk Peraturan Presiden, selanjut dapat ditingkatkan menjadi Undang_Undang.
4)
Dalam pengaturan hubungan antarumat beragama perlu mengakomodasi adat-istiadat setempat dan/atau kearifan lokal yang mendukung kerukunan. Pendirian rumah
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
107
ibadat tanpa masalah dapat dilakukan sekalipun tidak memenuhi parsyaratan teknis dan adminitratif dalam PBM Tahun 2006, seperti pendirian rumah ibadat di Ambon dan Maluku hampir tidak ada masalah. 5)
Pemerintah dan pemerintah daerah hendaknya mengembangkan dialog dan perjumpaan agama-agama secara lebih kreatif dalam memperkuat kerukunan dan persaudaraan (basudara di Ambon dan Maluku).
6)
Saran khusus kepada Pemda Kota Ambon dan ormas kegamaan, Forum Lintas Agama atau Iman, majelis agama, FKUB dan pemuka agama: (1) Reintegrasi sosial pasca konflik sosial bernuansa agama melalui: efektivitas peran trauma center, pembauran warga yang tersegregasi secara sosial, dan pengenalan jatidiri melalui camping siswa dan mahasiswa lintas agama, dan live in pamuda antaragama. (2) Pengamanan aset dan rumah ibadat warisan konflik oleh pemerintah daerah dan komunitas agama menjaga kepemilikan aset rumah ibadat yang tinggal pindah pemilik dan penggunanya, menghindari relokasi aset yang dapat berdampak pada eksklusifitas hubungan antarumat beragama (KristenIslam) di Kota Ambon dan Provinsi Maluku. (3) Pembuatan peta kerukunan yang difasilitasi oleh pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh institusi keagamaan dan LSM yang mendeskripsikan daerah rawan sosial (integrasi dan konflik) dalam rangka antisipasi muncul konflik yang mengganggu
108
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
kerukunan beragama dan ketertiban masyarakat, sekaligus menjaga kerukunan antarumat beragama. (4) Pemberdayan FKUB sehingga mampu memberdayakan umat beragama dan masyarakat seperti bidang ekonomi, sosial dan budaya melalui dukungan dana dan sarana, serta pengembangan tugas forum ini oleh pemerintah daerah. 1) Nara sumber penelitian (N 15) memiliki pandangan yang sama, bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama perlu (N14) dan mendesak atau urgen (N14). Hal ini didasarkan pada: (1) Kemajemukan penduduk Ambon dan Maluku sebagai bagian bangsa Indonesia berpotensi rawan konflik. (2) Fenomena konflik dan kekerasan antarumat beragama secara nasional cenderung mangalami peningkatan, dan kemungkinan berdampak pada masyarakat Ambon dan Maluku. (3) Konflik sosial di Ambon dan Maluku tahun 1999-2004 yang me mobilisasi umat beragama menimbulkan banyak korban jiwa dan harta, serta masih menyimpan trauma. (4) Potensi konflik laten dengan segregasi atas agama dan etnis. (5) Perebutan penguasaan sumber ekonomi para kalangan elite dan politik birokrasi. (6) Potensi konflik dan fenomena kekerasan atas nama agama dapat membahayakan kerukunan antarumat beragama, serta bisa mencidrai persatuan dan kesatuan bangsa dalam wadah NKRI. 2) Hanya seorang nara sumber (N1) memiliki pandangan bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama perlu tetapi tidak mendesak (tidak urgen) ditetapkan karena: (1) Wawasan multikural penduduk semakin berkembang. (2) Pencerahan umat tentang kerukunan dan kedamaian oleh pemuka agama semakin meluas. (3) Penyampaian ajaran Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
109
agama-agama tentang kasih sesama semakin menggema. (4) Kejenuhan berkonflik Ambon dan Maluku (1999-2004) menimbulkan cinta damai, dan kesadaran akan revitalisasi kearifan lokal yang mendukung kerukunan masyarakat melalui “pela gandong”. 3) Materi hukum terkait hubungan antarumat beragama yang perlu diatur ialah aspek yang dapat menimbulkan konflik (N 15), yaitu: (1) penyiaran agama, (2) pendirian rumah ibadat, (3) penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan, (4) pendidikan agama, (5) pemakaman jenazah, (6) bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia, (7) perkawinan beda agama, (8) pengangkatan anak, dan (9) penyalah gunaan dan/atau penodaan agama. 4) Hanya seorang nara sumber (pastor, N 1) berpandangan, bahwa dalam hubungan antaruma beragama tidak perlu diatur meliput lima aspek yaitu: (1) pendidikan agama, (2) pemakaman jenazah, (3) bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia, (4) perkawinan beda agama, (5) pengangkatan anak. Seorang nara sumber lain (MUI) berpandangan, bahwa (1) pendidikan agama pada sekolah swasta tidak perlu diatur karena memiliki misi dan ciri khas agama tersendiri, serta (2) pemakaman jenazah juga tidak perlu diatur karena telah diatur dalam ajaran agama-agama. 5) Materi hukum yang perlu diadopsi dalam pengaturan hubungan antarumat beragama ialah kearifan lokal yang mendukung kerukunan antarumat beragama, seperti “pela gandong” pada masyarakat Maluku, khususnya Ambon.
110
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
6) Legalisasi hukum pengaturan hubungan antarumat beragama yang diinginkan nara sumber (N 14) ialah dalam bentuk undang-undang, karena: (1) Memiliki dasar hukum yang kuat. (2) Mengikat semua pihak. (3) Memiliki sanksi hukum. Namun karena sifatnya urgen, maka pada tahap awal dapat ditatapkan dalam bentuk Keputusan atau Peraturan Presiden. Proses ini dapat lebih cepat dan biaya relatif terjangkau, serta kewenangan pada seorang Presden RI. Pada tahap selanjutnya diupayakan menjadi UndangUndang. Rekomendasi. Dari temuan penelitian, pembahasan dan kesimpulan di atas, maka direkomendasikan, sebagai berikut: 7)
Dengan modal hasil penelitian ini dan kajian, Kementerian agama melalui Badan Litbang dan Diklat kiranya telah dapat menyusun naskah akademik dan materi Rencana Peraturan Presiden tentang Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama.
8)
Draft naskah akademik dan materi pengaturan hubungan antarumat beragama. tersebut agar disosialisasikan kepada instansi terkait dan majelis-majelis agama (MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI DAN MATAKIN), ormas keagamaan, pemuka agama-agama, pakar dan praktisi hukum, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) terkait. Selanjutnya dirumuskan Naskah Akademik dan materi aturannya.
9)
Pengaturan hubungan antarumat beragama oleh nara sumber adalah perlu dan urgen, maka sebaiknya legalisasi awal dalam bentuk Peraturan Presiden karena dapat diproses secara cepat dengan biaya yang relatif
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
111
murah, dan oleh Presiden RI. Peraturan Presiden tersebut dapat ditingkatkan menjadi Undang-Undang sesuai mekanisme yang berlaku untuk memenuhi harapan hasil penelitian. 10) Dalam pengaturan hubungan antarumat beragama perlu mengakomodasi kearifan lokal yang mendukung kerukunan, separti pendirian rumah ibadat tanpa masalah dapat dilkukan sekalipun tidak memenuhi parsyaratan teknis dan adminitratif yang diatur dalam PBM Tahun 2006. Karena pendirian rumah ibadat di Ambon dan Maluku umumnya hampir tidak ada masalah. 11) Pemerintah dan pemerintah daerah hendaknya mengembangkan dialog dan perjumpaan agama-agama secara lebih kreatif dalam memperkuat kerukunan dan persaudaraan (basudara di Ambon dan Maluku). 12) Secara umum kepada Pemda Kota Ambon dan ormas kegamaan, Forum Lintas Agama atau Iman, majelis agama, FKUB dan pemuka agama disarankan: (5) Percepatan reintegrasi sosial pasca konflik sosial bernuansa agama melalui: efektivitas peran trauma center untuk menghilangkan traumatik konflik kekerasan, pembauran warga yang tersegregasi tempat tinggal karena mencari daerah aman saat konflik, dan pengenalan jatidiri dengan camping siswa dan mahasiswa lintas agama, dan live in pamuda antaragama. (6) Pengamanan aset dan rumah ibadat warisan konflik dengan: pemerintah dan komunitas agama menjaga kepemilikan aset rumah ibadat yang tinggal pindah pemilik dan penggunanya, menghindari relokasi aset 112
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
yang dapat berdampak pada eksklusifitas hubungan antarumat beragama (Kristen-Islam) di Kota Ambon dan Provinsi Maluku. (7) Pembuatan peta kerukunan oleh dan/atau difasiltasi olah pemerintah daerah oleh institusi pemerintah bersama lembaga keagamaan dan LSM yang mendeskripsikan daerah rawan sosial (integrasi dan konflik) dalam rangka antisipasi muncul konflik yang mengganggu kerukunan beragama dan ketertiban masyarakat, sekaligus menjaga kerukunan antarumat beragama. (8) Pemberdayan FKUB oleh pemerintah dengan menjadikan tugas forum ini untuk dan mampu memberdayakan umat beragama dan masyarakat seperti di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
113
DAFTAR PUSTAKA
Badan Statistik Kota Ambon, Kota Ambon dalam Angka 2013, Ambon, 2013. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Sosialisasi PBM dan Tanya Jawabnya, Jakarta, 2011. Bohm MSC., C.J dan Frits Pangemanan, Sejarah Gereja Katolik Maluku Utara, 1534-2009, Penerbit Kanisius, 2010. Malik, Ichsan, dkk., Mematahkan Kekerasan dengan Semangat Bakubae, Yappika, Jakarta, 2013. Manuptty, Jacky, Carita Orang Basudara: Kisah-Kisah Perdamaian dari Maluku, Lembaga Antar Iman Maluku, Ambon, 2014. Pieris, John, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, Obor Indonesia, 2004. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kompilasi Kebijakanadan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012. Watloly, A., dkk., Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku, Cahaya Pineleng, Jakarta, 2012.
114
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Lampiran: 1 DAFTAR NARASUMBER PENELITIAN URGENSI PENGATURAN HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA “PANDANGAN PEMUKA AGAMA KOTA AMBON” (28 Maret s/d 8 April 2014) NO. 1.
NAMA ISLAM Drs. H. Idris Latuconsina
2.
Dr. Abidin Wakano, M.Ag
3.
Arzal Rizal Tuasikal, SH, MH Drs. Abd. Majid Makassar
4.
5
H. Husen Sahiri, S.Ag., M.Si
PEMUKA AGAMA
NO. HP
Sekretris Majelis Ulama Indonesia Provinsi Maluku/Ketuan FKUB Provinsi Maluku
081343470600
Direktur Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM)/Direktur Ambon Reconsiliation and Mediation Centre IAIN Ambon Aktivis NU/Institut Tifa Damai
085243393613
Ketua Muhamadiyah Wilayah Maluku
081343086343
Ketua MUI Kota Ambon/Sekretria NU Kota Ambon
08134331302
081344413993
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
115
6
KRISTEN Pdt. D. Mayaut, S.Th
7.
Pdt. Hendri Lolain, S.Th
8.
Pdt. Tauran EDR Pdt. Yan Wattimena, S.Th Pdt. Jacky Manuputy, S.Th Pdt. DR. Lis Marantika, S.Th KATOLIK Pastor Amandus Oratmangun Pr Andreas MP Ratuanik, SH, MM, M.Hum
9. 10 11
12. 13.
14
14. 15
116
Yoserizal Wakanubun, SS HINDU I Dewa Gede Putra Sukardi Riyanto, S.Ag
Ketua Bid Pelayanan dan Pengembangan Gereja Protestan Maluku/Ketua FKUB Kota Ambon Ketua Majelis Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia, Maluku Ketua Gereja Advent Hari ke-7 Gereja Bethel Indonesia Ketua Litbang Gereja Protestan Maluku Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku
085243766669
Wakil Uskup Amboina Kota Ambon Ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia Maluku/Dosen FKIP UNPATI Ambon Ketua Pemuka Katolik Ambon
081343035993
Ketua PHDI Kota Ambon Pemuka Agama Hindu/Pembimas Hindu
081343094726
081343288185
081356616298 085243553742 082125924466 081310013552
081343226659
081298570629
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
16. 17
BUDHA Naryoto, S.Pd, M.hum Dwi Dwi Wahyuni, S.Pd.B.
18
Prof. DR. Watloly, A
19
Hanafi
20.
21
Pemuka Agama/Unsur Pemerintah Drs. H. Hanafi Kasim, M.M.Pd
Abd. Gani Rehalat, S.Ag
Pemuka Agama Budha Staf Pembimas Agama Buddha Kanwil Kementerian Agama Provinsi Maluku Pemuka Agama Kristen/Penasihat Tim 20 Perdamaian Wayame/Akademisi Mantan Wakil Islam dalam Tim 20 Perdamaian Wayame/Tim Malino/Tokoh Masyarakat
Pemuka Agama Islam/Kepala KanKemenag Kota Ambon Pemuka Agama Islam
081282039498
081343081844
081343270011
081355051870
081381001808
Catatan: Nama nara sumber yang dicetak miring tidak diedarkan atau tidak mengisi angket.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
117
118
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Ihwal Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama: Perspektif Pemuka Agama di Kota Medan97 Oleh : Akmal Salim Ruhana98
PENDAHULUAN Latar Belakang Perdebatan mengenai hubungan agama dan negara mungkin sudah usang, tapi implementasinya dalam konteks Negara “Pancasila” Indonesia, tetap penting dan menarik. Ekstrimnya, dalam negara agama (teokratis) hubungan keduanya sangat erat bahkan senafas, sedangkan dalam negara sekuler sebaliknya, berpisah. Di negara Pancasila, yang terjadi adalah “jalan tengah”. Agama tidak menjadi dasar negara, tetapi spirit dan nilai-nilai agama mewarnai negara. Negara tidak mengatur agama, tetapi mendukung terlaksananya ajaran agama penduduknya. Uniknya lagi, dalam konstitusinya dinyatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bermakna bahwa negara beragama? Lebih jauh lagi, ambiguitas hubungan agama dan negara di atas, berimbas pada tarik-menarik “penghindaran atau pertemuan” keduanya dalam kebijakan publik. Sebagian pihak 97 Makalah Pra Seminar Hasil Penelitian, dipresentasikan pada 25 April 2014 di Hotel Sofyan, Jakarta. 98 Peneliti Muda pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Surel:
[email protected].
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
119
ingin membebaskan kebijakan negara dari unsur agama, yang lain sebaliknya. Sebagian pihak ingin negara turut mengatur hal-ihwal agama warganya, yang lain menghindarkannya. Lebih spesifik lagi, mungkin ini titik-temu tarik-menarik itu: membolehkan kehadiran tangan negara pada ihwal agama di ranah forum externuum ekspresi beragama, dan mengharamkannya masuk ke ranah forum internuum keyakinan agama. Jadi, melarang negara mengatur perihal meyakini agama, dan membolehkan negara mengatur hubungan sosial antarumat beragama. Persis pada titik ini, ihwal pengaturan hubungan “lalu lintas” antarumat beragama, penelitian ini ingin difokuskan. Adanya pengaturan oleh negara terhadap unsur-unsur hubungan antarumat beragama kerap dipandang intervensi. Kehadiran pengaturan juga sering dipersepsi kedigdayaan kuasa negara atas agama. Padahal, filosofi kehadiran negara adalah adanya pihak yang disepakati bersama mengantarai dan mengatur lalu lintas hubungan antarwarga negara. Absennya negara dalam urusan lintas apalagi gesekan antarumat justeru pengabaian tugas dan fungsinya. Tetapi sejauhmana pengaturannya, memang menjadi soal. Karena itu, penting melakukan penelitian lapangan, “mendengar dari mulut pertama”, para pemuka agama, terkait sejauhmana pengaturan hubungan antarumat beragama diperlukan, termasuk bentuk dan lingkupnya. Terlebih lagi lokusnya Kota Medan, Sumatera Utara, yang dipersepsi publik Indonesia sebagai daerah dengan heterogenitas penduduk tinggi namun tetap damai-harmonis. Ada kesan karakter orangnya berwatak keras dan bersuara lantang, namun solidaritas persaudaraannya tinggi dan hatinya damai, cinta kerukunan. Unik dan menarik. 120
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Permasalahan Permasalahan pokok penelitian ini adalah, “bagaimana pandangan para pemuka agama di Kota Medan tentang perlunya pengaturan hubungan antarumat beragama.” Adapun secara terperinci, penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan penelitian berikut: 1. Bagaimana pendapat pemuka agama di Kota Medan tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama? 2. Bagaimana bentuk pengaturan tentang hubungan antarumat beragama tersebut? 3. Aspek apa saja yang perlu diatur dalam pengaturan hubungan antarumat beragama itu? Tujuan Selaras dengan permasalahan yang hendak dijawab, penelitian ini bertujuan untuk: 1. menghimpun informasi dari para pemuka agama di Kota Medan tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama; 2. mengetahui bentuk pengaturan antarumat beragama tersebut; dan
tentang
hubungan
3. mengetahui aspek-aspek yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama, disertai penjelasan aspek dimaksud. Kajian Terdahulu Penelitian ini tentu bukan yang pertama. Telah banyak penelitian dan kajian sebelumnya yang mengkaji soal Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
121
pengaturan hubungan antaraumat beragama, beberapa aspekaspeknya, kondisi kerukunan umat beragama, atau hal-hal dimaksud dalam konteks lokal Kota Medan atau Sumatera Utara. Beberapa diantaranya sebagai berikut: a. Pada tahun 2011, penulis melakukan penelitian mengenai dinamika kehidupan keagamaan dan aspek-aspek yang diatur di dalam regulasi negara Singapura. 99 Meski terdengar janggal, ternyata faktanya di ‘negara sekuler’ ini hal-ihwal kehidupan keagamaan tetap diatur oleh negara, dalam kerangka ketertiban umum. Di Singapura, misalnya, ada Administration of Muslim Law Act/AMLA (Chapter 3), setara dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, yang di sana mengatur tentang: keberadaan Majlis Ugama Islam Singapore (MUIS), Mahkamah Syariah (The Syariah Court), pengaturan dana keagamaan, masjid dan madrasah, haji, halal, serta urusan muslim lainnya. Tak heran jika penelitian ini antara lain menyimpulkan: “Jika Singapura yang menegaskan diri sebagai negara sekuler saja pada praktiknya mengatur ihwal kehidupan keagamaan warganya, maka apatah lagi Indonesia yang mengakui agama sebagai spirit kehidupan warga negaranya. Jika Singapura memiliki perangkat regulasi untuk kerukunan, yakni Maintenance of Religious Harmony Act, maka tidak berlebihan jika Indonesia memerlukan dan merasakan urgensi kehadiran regulasi serupa. Lebih-lebih problem dan kasus keagamaan yang muncul di Indonesia de facto sangat
99 Baca Akmal Salim R dan Abd. Rahman Mas’ud, “Negara Sekuler ‘Mengatur’ Agama: Pengelolaan Kehidupan Keagamaan di Singapura dan Lesson Learned untuk Indonesia”, dalam Akmal Salim R (ed.), Managing Religious Life: Studi Komparasi Pengelolaan Kehidupan Keagamaan di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2013.
122
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
menuntut adanya pegangan bagi negara mengelola hal ihwal keagamaan ini.” b. Kajian SETARA Institute (2011) menguatkan perlunya regulasi yang menjamin kebebasan beragama. Menurut laporan ini, persoalan kebebasan beragama/berkeyakinan yang saat ini mengalami kemunduran salah satunya harus dijawab dengan membentuk UU baru. Sejumlah peraturan yang saat ini tersedia tidak cukup memberikan keadilan bagi warga negara. Sekalipun membentuk RUU bukanlah jawaban tunggal atas fakta-fakta pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, tetapi di level negara, salah satu intervensi yang dapat dikembangkan adalah dengan membentuk UU baru. RUU dimaksud secara substantif harus memuat jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan dan substansi yang memungkinkan penghapusan praktik diskriminasi dan kekerasan atas nama agama.100 c. Demikian juga kajian Iman Pasu Purba101, yang melakukan analisis hukum tentang perlindungan kebebasan beragama dalam UUD 1945. Bahwa secara normatif, konstitusi RI sudah cukup memadai mengatur masalah kebebasan beragama. Namun perlu penyempurnaan isi, misalnya pernyataan dengan tegas mengenai tidak beragama. Penjabaran juga pada umumnya tidak bertentangan dengan konsitusi, tetapi ada beberapa penjabarannya yang multitafsir. Belum ada aturan yang detail yang mengatur masalah agama dan aliran kepercayaan. Perlu ada undang-undang
100 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (Ed), Menjamin Kebebasan, Mengatur Kehidupan Beragama; Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011. 101 Iman Pasu Purba, Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama dalam Konstitusi Republik Indonesia, tesis pada IAIN Sumatera Utara, 2012.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
123
tentang agama dan aliran kepercayaan serta undang-undang kerukunan umat beragama. d. Sementara itu, kajian Mahmuddin Sirait102 terkait kebijakan Pemkot Medan tentang Kerukunan Umat Beragama, antara lain menyimpulkan bahwa untuk mempersatukan masyarakat kota Medan yang beragam, banyak kebijakan (baca: pengaturan) yang dibuat oleh pemerintah kota Medan sehingga tercipta kerukunan. Kebijakan tersebut dapat dilakukan pemerintah kota Medan dengan selalu menyampaikan pidato kerukunan, memberikan bantuan finansial, dan berlaku adil sebagai pemerintah. Hal ini dilakukan seiring dengan adanya perpanjangan tangan Pemkot dalam mengelola kerukunan, yakni FKUB. e. Selain itu, terdapat sejumlah kajian terkait beberapa aspek kehidupan keagamaan di Sumatera Utara yang memiliki relevansi kuat dengan kajian ini. Kajian Dicky Sapto 103 tentang komunitas Saksi Yehuwa di Kota Medan, misalnya, memberi gambaran bagaimana praktik penyiaran agama oleh aliran ini. Lalu Dewina Ulfah 104 memberi gambaran tentang dinamika pasangan beda agama. Sementara itu, kajian Ratri Utami105 memberi gambaran ihwal pemakaman
102 Mahmuddin Sirait, Kebijakan Pemerintah Kota Medan terhadap Kerukunan Umat Beragama, skripsi pada IAIN Sumatera Utara, 2012. 103 Dicky Sapto Winarno, Aliran atau Bidat dalam Agama Kristen Protestan (Studi Kasus : Komunitas Saksi Yehuwa di Kota Medan), Skripsi pada FISIP Universitas Sumatera Utara, 2007. 104 Dewina Ulfah Nasution, Kepuasan Pernikahan pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama, skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, 2010. 105 Ratri Utami, Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan, tesis pada Universitas Sumatera Utara, 2011.
124
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
jenazah di Kota Medan. Adapun Dharma Kelana 106 menggambarkan potensi konflik komunitas Jawa-Muslim terhadap etnis berbeda dan penganut agama lain di Kota Medan. Selain itu, masih banyak kajian akademis lain yang memperkaya bahan kajian ini. Penelitian dan kajian di atas banyak mengkaji sisi-sisi kehidupan keagamaan, terkait kebebasan beragama, kerukunan, dan sekitar penghaturannya. Hanya saja, kebanyakan lebih bersifat kajian pustaka dan lingkup kajian yang sektoral. Maka dalam konteks itulah penelitian ini hendak melengkapi kajian terdahulu: mengangkat perspektif para tokoh agama (yang notabene representasi aspirasi umatnya) serta merangkainya secara lebih utuh. Dengan demikian, kajian ini menjadi penting dan terlihat distingsi serta urgensinya. Metode Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini menggunakan wawancara, observasi, dan kajian pustaka dalam pengumpulan datanya. Wawancara dilakukan terutama dengan para pemuka agama dari enam agama di Kota Medan, meliputi wakil: MUI kota dan provinsi, PGI Wilayah Sumut, Badan Kerjasama Antar Gereja (BKAG) Kota Medan, Keuskupan Sumut, PHDI/MHI, Walubi, dan Makin Kota Medan. Selain itu, tokoh-tokoh forum lintas agama, yakni anggota FKUB Provinsi dan Kota serta Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama (LPKUB). Selain wawancara tatap muka, dilakukan juga wawancara-tertulis melalui email, 106 Dharma Kelana Putra, Potensi Konflik Komunitas Jawa Muslim terhadap Etnis Berbeda dan Penganut Agama Lain di Kota Medan, skripsi pada FISIP Universitas Sumatera Utara, 2010.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
125
khususnya terhadap pemuka agama yang karena sesuatu hal tidak berhasil ditemui pada masa pengumpulan data lapangan. Observasi dilakukan dalam masa penjajakan pada 15-17 Maret 2014 dan masa pengumpulan data lapangan pada 1-8 April 2014 di Kota Medan, Sumatera Utara. Adapun kajian pustaka dilakukan pada pra dan pasca penelitian lapangan, terhadap buku dan dokumen terkait, termasuk sejumlah sripsi, tesis, dan disertasi dari sejumlah universitas. Dalam menganalisis data digunakan Analisis Data Kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1982), yakni dengan mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Penulis menekankan kajian ini sebagai penelitian kualitatif, hendak mendalami sisi argumentasi dari setiap pendapat pro dan kontra—dalam isu yang diketahui ‘terbelah’ atas pro-kontra ini. Kuantifikasi pendapat, yang juga digunakan dalam penelitian ini, memang juga digunakan, namun hal itu semata untuk pengetahuan peneliti tentang kecenderungan pendapat saja. SEKILAS KOTA MEDAN Lokus kajian ini, Kota Medan, merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara. Kota dengan luas sekitar 265,10 km² ini adalah satu dari 33 kabupaten/kota di provinsi ini. Berada di koordinat 3º.27’ - 3º.47’ 126
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Lintang Utara dan 98º.35’ - 98º.44’ Bujur Timur, Kota Medan berbatasan langsung dengan dengan Kab. Deli Serdang, baik di sebelah Utara, Selatan, Barat maupun Timur. Secara administratif, saat ini Kota Medan terbagi atas 21 kecamatan dengan 151 kelurahan dan terbagi dalam 2001 lingkungan. Kec. Medan Labuhan adalah terluas (13,83%), dan yang terkecil Kec. Medan Maimun (1,12%). Selengkapnya pembagian wilayah administratif Kota Medan, sebagai berikut: Tabel 1 Nama Kecamatan, Kelurahan, dan Lingkungan di Kota Medan Tahun 2013
N o
Nama dan Luas Kecamatan
Jumlah Kelurah an
Jumlah Lingkun gan
Nama
Luas (km2)
1
Medan Tuntungan
20,68 (7,80%)
9
75
2
Medan Johor
14,58 (5,50%)
6
81
3
Medan Amplas
11,19 (4,22%)
7
77
4
Medan Denai
9,05 (3,41%)
6
82
5
Medan Area
5,52 (2,08%)
12
172
6
Medan Kota
5,27 (1,99%)
12
146
7
Medan Maimun
2,98 (1,12%)
6
66
8
Medan Polonia
9,01 (3,40%)
5
46
9
Medan Baru
5,84 (2,20%)
6
64
10
Medan Selayang
12,81 (4,83%)
6
63
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
127
11
Medan Sunggal
15,44 (5,82%)
6
88
12
Medan Helvetia
13,16 (4,96%)
7
88
13
Medan Petisah
6,82 (2,57%)
7
69
14
Medan Barat
5,33 (2,01%)
6
98
15
Medan Timur
7,76 (2,93%)
11
128
16
Medan Perjuangan
4,09 (1,54%)
9
128
17
Medan Tembung
7,99 (3,01%)
7
95
18
Medan Deli
20,84 (7,86%)
6
105
19
Medan Labuhan
36,67 (13,83%)
6
99
20
Medan Marelan
23,82 (8,99%)
5
88
21
Medan Belawan
26,25 (9,90%)
6
143
Jumlah
265,10 (100%)
151
2001
Sumber: Kota Medan Dalam Angka 2013, BPS Kota Medan Pada tahun 2012, penduduk Kota Medan mencapai 2.122.804 jiwa. Dibanding hasil Proyeksi Penduduk 2012, terjadi pertambahan penduduk sebesar 5.580 jiwa (0,26%). Dengan luas wilayah mencapai 265,10km², kepadatan penduduk mencapai 7.987jiwa/km². Selengkapnya, berikut data mengenai penduduk Kota Medan 2013, Tabel 2.
128
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Tabel 2 Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, dan Tingkat Kepadatan Penduduk di Kota Medan Tahun 2013
N o
Nama Kecamata n
Penduduk (jiwa) Jumlah
Laki
Prmp
Luas (km2 )
Kepadata n (jiwa/km2)
1
Medan Tuntunga n
82 042
39 887
42 155
20,68
3 967,21
2
Medan Johor
125 913
62 005
63 908
14,58
8 636,01
3
Medan Amplas
116 227
57 615
58 612
11,19
10 386,68
4
Medan Denai
142 001
71 374
70 627
9,05
15 690,72
5
Medan Area
96 675
47 802
48 873
5,52
17 513,59
6
Medan Kota
72 685
35 236
37 449
5,27
13 792,22
7
Medan Maimun
39 665
19 422
20 243
2,98
13 310,40
8
Medan Polonia
53 552
26 321
27 231
9,01
5 943,62
9
Medan Baru
39 577
17 574
22 003
5,84
6 776,88
10
Medan
100 455
49 266
51 189
12,81
7 841,92
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
129
Selayang 11
Medan Sunggal
112 967
55 425
57 542
15,44
7 316,52
12
Medan Helvetia
145 519
71 211
74 308
13,16
11 057,67
13
Medan Petisah
61 855
29 371
32 484
6,82
9 069,65
14
Medan Barat
70 912
34 748
36 164
5,33
13 304,32
15
Medan Timur
108 792
52 629
56 163
7,76
14 019,59
16
Medan Perjuanga n
93 526
45 167
48 359
4,09
22 866,99
17
Medan Tembung
133 841
65 417
68 424
7,99
16 751,06
18
Medan Deli
170 931
86 482
84 449
20,84
8 202,06
19
Medan Labuhan
112 642
57 333
55 309
36,67
3 071,78
20
Medan Marelan
147 318
74 673
72 645
23,82
6 184,63
21
Medan Belawan
95 709
48 917
46 792
26,25
3 646,06
1 047 875
1 074 929
265,10
8 007,5 6
2 122 804
Sumber: Kota Medan Dalam Angka 2013, BPS Kota Medan
130
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Saat penelitian dilakukan, Kota Medan dipimpin oleh Drs. H. T. Dzulmi Eldin S, M.Si. sebagai pelaksana tugas (plt.) Wali Kota Medan yang mulai menjabat sejak 15 Mei 2013. Ia menggantikan Drs. H. Rahudman Harahap, M.M yang dinonaktifkan karena diduga terlibat kasus korupsi. Proses kasus dan penonaktifan yang berliku, menyebabkan perpolitikan lokal terlihat agak hangat, meski roda pemerintahan tetap berjalan dengan baik. Di jajaran legislatif, DPRD Kota Medan pada tahun ini beranggotakan 50 orang, yang terdiri atas: 7 orang Fraksi PKS, 4 orang Fraksi PAN, 14 orang Fraksi Demokrat, 5 orang Fraksi PDI Perjuangan, 4 orang Fraksi Golkar, 4 orang Fraksi PDS, 4 orang Fraksi Patriot Persatuan Pembangunan dan 3 orang Fraksi Medan Bersatu. Sebagai ibukota provinsi, kegiatan perekonomian di Kota Medan cukup pesat. Data BPS menyebutkan, laju pertumbuhan ekonomi kota Medan pada tahun 2012 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada tahun ini pertumbuhan ekonomi Kota Medan mencapai 12,59 persen. Beberapa sektor yang pertumbuhannya di atas rata-rata adalah sektor Bangunan (15,51%), sektor keuangan, asuransi dan jasa jasa perusahaan (15,50%). Jika dilihat kontribusi masingmasing sektor pendapatan regional pada tahun 2012 masih sangat dominan berasal dari keuangan, asuransi, usaha persewaan, bangunan, tanah dan jasa perusahaan sebesar 15,50 persen. Di Sumatera Utara, etnis yang ada adalah: Melayu, Batak, Nias, Jawa, Minang, Aceh, Cina, Arab, India/Tamil, dan Bugis. Sedangkan suku antara lain: Suku Batak Mandailing, Toba, Angkola, Karo, Simalungun, dan Dairi Pakpak. Demikian halnya, di Kota Medan komposisi penduduk berdasarkan suku/etnis juga sedemikian beragam. Indahnya, keragaman Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
131
etnis dan suku tersebut tetap terjalin dalam bingkai kerukunan dan kerjasama. Ada sejumlah kearifan lokal, seperti dalihan natolu 107 yang menguatkannya, atau juga adat Aron seperti diungkapkan Baharudin, “Di Sumatera Utara terdapat 8 etnis besar yang di dalamnya terdapat beberapa agama, misalnya di suku Karo di situ ada Islam, juga ada Kristen dalam sebuah komunitas keluarga. Di tengah masyarakat Karo terdapat adat Aron, di mana seorang yang membutuhkan pertolongan, misalnya menggarap lahan pertanian tanpa dikoordinir mereka langsung bekerja sama tanpa melihat agamanya apa sehingga terjadi komunikasi yang alamiah.”108 Perihal kondisi kehidupan keagamaan menarik melihat komposisi penduduk menurut agama, jumlah rumah ibadat, dan dinamika organisasi kemasyarakatan dengan berbagai aktivitasnya. Kota Medan yang bagi pengunjung pemula 107 Dalihan Na Tolu merupakan kearifan lokal dalam tradisi Batak, dimana terdapat tiga posisi penting kekerabatan bangsa Batak. Pertama, Hula-hula atau Tondong, yaitu kelompok yang posisinya "di atas", sehingga disebut Somba Somba Marhula Hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Kedua, Tubu atau Sanina, yaitu kelompok orang orang yang posisinya "sejajar". Posisi tersebut yaitu teman/saudara semarga, sehingga disebut Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Ketiga, Boru yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di bawah". Posisi tersebut yaitu saudara perempuan dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut Elek Marboru artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat. Dikutip dari http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/940/dalihan-na-tolu, diakses pada 21 April 2014. 108 Wawancara SETARA dengan Kombes (Pol.) Baharudin Djafar, Kabid. Humas Polda Sumatera Utara, pada 25 Desember 2010. Dikutip dari Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (Ed), Menjamin Kebebasan, Mengatur Kehidupan Beragama; Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011., hlm. 26.
132
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
terkesan “China Town”, ternyata mayoritas penduduknya beretnis melayu dan beragama Islam. Berikut selengkapnya data jumlah penduduk dan rumah ibadat di Kota Medan. Tabel 3 Data Pemeluk Agama dan Rumah Ibadat di Kota Medan Tahun 2013
Konghuc u
Budha
Hindu
Katolik
Kristen
Islam
matan
Data Penduduk Jumlah Pendudu k
Keca
1
Medan Kota
81.483
37.373
-
21.948
314
23.578
-
2
Medan Barat
97.272
51.212
14.793
4.995
1.325
25.891
-
3
Medan Timur 112.729
71.765
18.075
5.485
3.824
13.565
-
4
Medan Baru
54.185
13.529
17.653
7.110
13.511 17.073
-
5
Medan Denai 184.776
132.193
42.565
9.095
107
866
-
6
Medan Johor
146.267
78.082
-
-
146
267
-
7
Medan Petisah
139.997
37.917
19.550
5.694
2.130
74.506
-
8
Medan Belawan
95.584
67.090
19.836
4.893
76
3.689
-
9
Medan Deli
100.248
8.386
2.536
12.167
478
50
-
10
Medan Tuntungan
92.571
62.396
19.414
10.301
133
101
-
11
Medan Marelan
132.584
114.964
4.372
2.691
227
6.467
33
12
Medan Labuhan
134.697
95.536
29.040
2.347
29
7.745
-
13
Medan Polonia
64.816
39.625
11.830
667
3.625
9.069
-
14
Medan Selayang
99.982
55.083
32.434
9.457
1.474
1.534
-
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
133
Medan Sunggal
137.362
64.458
29.963
20.737
9.136
12.868
-
16 Medan Area
131.363
93.061
6.807
1.647
429
29.709
-
15
17
Medan Tembung
161.986
108.675
40.875
2.179
917
9.340
-
18
Medan Maimun
52.586
36.006
4.928
1.283
658
7.654
-
19
Medan Helvetia
132.677
84.717
30.174
14.190
408
3.188
-
20
Medan Amplas
114.640
87.979
24.391
3.223
192
737
-
21
Medan Perjuangan
104.472
6.311
22.464
9.037
956
8.904
-
Jumlah
2.372.27 7
1.346.358
391.700 149.146 40.095 256.801
33
Sumber: Kementerian Agama Kota Medan 2014
Data Rumah Ibadah Vihara
Klenteng
-
-
12
-
2
Medan Barat
34
26
14
-
1
5
-
3
Medan Timur
52
26
25
-
3
12
-
4
Medan Baru
15
28
12
6
2
1
-
5
Medan Denai
83
45
72
4
-
4
-
6
Medan Johor
64
15
15
-
-
2
-
7
Medan Petisah
35
19
-
33
-
12
5
8
Medan Belawan
28
27
31
6
-
4
-
9
Medan Deli
64
11
13
3
115
2
7
134
Gereja
30
Katolik
34
Gereja
34
Kristen
Medan Kota
matan
Musholl a
1
No
Masjid
Kuil
Keca
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
10
Medan Tuntungan
37
10
29
-
-
-
-
11
Medan Marelan
46
25
12
1
-
3
13
12
Medan Labuhan
47
52
19
-
1
6
-
13
Medan Polonia
22
2
13
3
1
13
-
14
Medan Selayang
47
13
36
10
-
-
4
15
Medan Sunggal
64
22
25
1
15
-
-
16
Medan Area
50
63
5
3
-
29
-
17
Medan Tembung
61
17
31
-
1
2
-
18
Medan Maimun
23
22
-
-
-
2
5
19
Medan Helvetia
62
25
23
3
1
2
-
20
Medan Amplas
58
28
14
11
1
-
-
21
Medan Perjuangan
52
25
23
-
-
2
-
Jumlah
978
535
442
84
141
113
34
PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA Dalam banyak literatur, diskursus mengenai “pengaturan negara atas urusan agama” kerap dikaji dalam bab hubungan agama dan negara. Sekali lagi, di dalam konteks negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, hubungan keduanya menjadi sesuatu yang tak henti diperdebatkan. Dasar negara Pancasila memang telah menjadi konsensus, sudah final, namun implementasinya dalam praktik bernegara kerap Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
135
diperebutkan oleh beragam perspektif. Ada yang memaknainya sebagai “Indonesia negara Pancasila dan bukan negara agama” sehingga segala kebijakan negara harus steril dari aspirasi agama. Di sisi lain menerjemahkan “Indonesia negara Pancasila yang agamis”, dengan melandaskan pasal pertamanya, Indonesia negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Terlepas dari semua perdebatan itu, Indonesia kini telah mewujud menjadi negara Pancasila, bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Agama menjadi inspirasi atau spirit dalam kehidupan bernegara, meski negara dibebaskan dari unsur ajaran agama. Adanya sejumlah regulasi seperti dalam pengelolaan zakat dan haji yang terkesan bernuansa agama, misalnya, sejatinya hanya dalam lingkup luaran-agama. UU No. 23 Tahun 2011 yang merevisi UU No. 38 Tahun 1999 adalah Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat. Bukan tentang substansi ajaran zakatnya, melainkan manajemen pengelolaannya. Demikian juga UU No. 13 Tahun 2008 adalah tentang Penyelenggaraan Haji. Bukan tentang ibadat hajinya (yang merupakan ajaran agama), melainkan manajemen penyelenggaraannya.109 Di Indonesia telah banyak pengaturan/regulasi yang berkaitan dengan atau bernuansa agama, seperti soal zakat dan haji tersebut, namun dalam hal hubungan antarumat beragama sangat sedikit, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali. Padahal, diketahui ada beberapa kondisi hubungan antarumat beragama yang memerlukan perangkat regulasi. Terjadinya kasus gesekan atau konflik antarumat beragama, misalnya, menjadi indikasi kuat perlunya “aturan main” bagaimana Lihat Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2013. 109
136
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
hubungan interaksi seharusnya terjadi. Atau, larangan apa yang harus disepakati bersama agar hubungan antarumat terjalin harmonis. Namun, persis disini titik perdebatannya. Pro kontra ihwal pengaturan dimulai sejak nilai urgensi adanya pengaturan itu. Hal ini juga dipengaruhi kuat-lemahnya posisi negara dalam kaitan urusan publik. Di masa Orde Baru, pemerintah terkesan kuat dan bisa mengatur “menurut ukurannya” bagaimana warga harus berperilaku agar tentram. Sedangkan di era reformasi, di mana terbuka kebebasan berpendapat dan terjadi penguatan kelompok sipil, maka setiap kebijakan pemerintah selalu mendapat respon dan kritikan dari masyarakat. Kondisi pun selalu terkesan dinamis. Pada tahun 2003, misalnya, ketika Pemerintah berupaya menyusun regulasi terkait kerukunan umat beragama (RUU KUB), lalu segera ada respon negatif dari banyak pihak, meski juga ada dukungan dari pihak lainnya. Pro kontra pengaturan kehidupan beragama setidaknya terbelah dalam dua kubu dengan argumentasinya masing-masing. Dengan pertimbangan tertentu, penyusunan RUU kemudian pada saat itu dihentikan. Lalu pada 2009-2011, aspirasi pentingnya regulasi di bidang hubungan antarumat beragama muncul kembali, dan bahkan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014. Reaksi pro kontra pun kembali muncul, bahkan sejumlah lembaga melakukan kajian tersendiri. Kajian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menilai pentingnya pengaturan hubungan antarumat beragama ini. Alasannya, sebagaimana butir paparan Abdul Djamil: 1. Meski Indonesia bukan negara agama, secara historis, agama dalam masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang penting dan menentukan sejarah bangsa. Oleh karenanya agama perlu dilindungi. Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
137
2. Secara sosiologis, Indonesia merupakan negara yang multiagama, multietnik, dan multikultur. Kondisi ini mengandung potensi konstruktif tetapi juga potensi destruktif. Maka diperlukan pengaturan untuk mengelola kehidupan keagamaan dalam masyarakat heterogen tersebut. 3. Secara yuridis, perihal kebebasan dan perlindungan agama telah tercakup di dalam UUD 1945 Pasal 29 dan Pasal 28 (Amandemen), tetapi belum ada UU organik mengenai bentuk kebebasan dan perlindungan itu--selain beberapa hal berkaitan dengan agama dan HAM yang telah diatur pada pasal 28 UUD 1945 (amandemen). Meskipun demikian perlu aturan pelaksanaannya. Juga terkait dengan agama, di dalam UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyiratkan adanya agama yang diakui dan agama yang belum diakui. Padahal faktanya tidak pernah ada pengakuan terhadap sesuatu agama, melainkan pelayanan agama. Maka UU ini perlu untuk menegaskan posisi sejatinya. 4. Sekadar komparasi-horizontal, UU sejenis ini (misal namanya Harmony Act) juga diperlukan dan telah ada di beberapa negara lain seperti Burma dan Malaysia, atau bahkan di negara yang lebih sekuler seperti Singapura. Maka apatah lagi bagi Indonesia yang memposisikan agama sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan bernegara, tentu UU ini sangat diperlukan. 5. Hasil Sidang Mahkamah Konstitusi tentang Judicial Review UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, meski tetap mempertahankan keberlakuan UU ini namun mengisyaratkan atau bahkan menyarankan adanya penyempurnaan undang-undang 138
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
tersebut, agar lebih sesuai dengan kaidah hukum dan kondisi faktual saat ini. 6. Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia sesungguhnya juga dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain. Pembatasan kebebasan beragama hanya dapat dilakukan oleh undang-undang. Hingga saat ini belum ada undang-undang yang mengatur tentang kebebasan beragama dan pembatasan atas kebebasan beragama tersebut. Padahal di lapangan beberapa kasus kerap menghadap-hadapkan aparat dengan masyarakat. Di satu sisi pemerintah dan aparat berupaya untuk menjaga ketertiban umum dan keamanan, di sisi lain pemerintah/aparat dituduh sebagai pelanggaran hak kebebasan beragama. Perlu aturan yang tegas soal ini. 7. Perlindungan, pemeliharaan dan pengembangan terhadap kelangsungan pranata dan lembaga keagamaan merupakan tanggung jawab pemerintah bersama-sama masyarakat beragama sebagai manifestasi negara beradasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Pranata dan lembaga keagamaan telah menjadi aset bangsa dalam mewujudkan negara Indonesia merdeka, memiliki peranan sebagai mendorong pembangunan dan kontrol terhadap tindakan negatif dalam berbangsa dan bernegara. Bentuk perlindungan, pemeliharaan dan pengembangan pranata dan lembaga keagamaan mesti diatur melalui undang-undang. 8. Propaganda atau penyiaran agama mempunyai tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan pengamalan ajaran agama. Negara memberikan kebebasan propaganda atau penyiaran agama untuk tujuan tersebut, dan negara tidak membenarkan propaganda dengan bujukan dan pemberian untuk mempengaruhi orang lain Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
139
supaya pindah agama, juga propaganda untuk tidak beragama. Ketidakrukunan terkait dengan propaganda atau penyiaran agama merupakan hal yang sering terjadi, dan perlu diatur secara baik oleh suatu UU.110 Adapun terkait hal-hal yang perlu diatur, menurut Djamil, adalah hal-hal di luar substansi agama, yakni hal-hal yang berkaitan dengan lalu lintas hubungan antar umat beragama (baik internal suatu agama maupun antar agama) yang secara historis/sosiologis hal-hal itu terbukti telah mengganggu kondisi kerukunan umat beragama. Dari kajian Badan Litbang dan Diklat, terdapat setidaknya terdapat 11 faktor keagamaan yang dapat mengganggu kondisi kerukunan umat beragama. Hal-hal itu adalah: penyiaran agama, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan, dan pendirian rumah ibadat. Maka kiranya hal-hal inilah yang harus dirumuskan pola pengaturannya agar mampu menjawab kondisi faktual gangguan kerukunan akibat hal-hal terkait.111 Sementara itu, SETARA Institute, LSM yang concern pada advokasi kebebasan beragama/berkeyakinan, juga melakukan
110 Pointers bahan paparan Prof. Dr. Abdul Djamil (ketika itu sebagai Kepala Badan Litbang dan Diklat) berjudul “Mengelola Hubungan Umat Beragama di Indonesia”. Dipresentasikan pada diskusi tentang RUU KUB yang diselenggarakan oleh PKUB Setjen. Kementerian Agama, 21-23 Desember 2011 di Hotel Kawanua, Jakarta. (Tidak diterbitkan)., hlm. 3-5. 111 Ibid., hlm. 5.
140
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
kajian yang juga menyimpulkan perlunya regulasi serupa namun tekanannya pada jaminan kebebasan beragama. Studi menegaskan urgensi RUU Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, dan secara umum menggambarkan pilihan dalam bentuk UU, yang dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar HAM, antidiskriminasi, tidak segregatif, dan meletakkan kerukunan sebagai faktor determinan bukan sebagai faktor independen. UU bukan mengatur dampak tapi justru harus mengatur tindakan-tindakan negara dan/atau masyarakat yang mampu menciptakan kerukunan. 112 Adapun beberapa butir pokok materi muatan RUU yang diharapkan atau diusulkan dicakup, adalah sebagai berikut: kewajiban negara dan batas-batas dimana negara melakukan intervensi; definisi kerukunan, kebebasan beragama/berkeyakinan, agama, keyakinan, dan agama tradisi, pindah agama, tidak beragama (atheisme), ibadah, aktivitas keagamaan, penyebaran agama, penyiaran agama; kriminalisasi terhadap intoleransi berdasarkan agama dan pernyataan kebencian, pendirian rumah ibadah, peran pemimpin agama/Forum Kerukunan Umat Beragama, larangan, mekanisme komplain, dan institusi pengemban mandat RUU. Dari paparan di atas, tergambar dinamika ragam perspektif terkait pengaturan hubungan antarumat beragama. Argumentasi para pihak beranjak dari cara pandang soal kebebasan beragama, kerukunan, dan penempatan posisi negara/pemerintah dalam pengelolaannya. Bagaimana pendapat para pemuka agama di Medan?
112
Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (Ed.), Menjamin Kebebasan.... hlm.
53
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
141
PENGATURAN: PERSPEKTIF PEMUKA AGAMA MEDAN Urgensi, Kewenangan, dan Bentuk Pengaturan Para pemuka agama di Kota Medan berbeda pandangan mengenai urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama. Ada yang melihat urgensi kehadirannya, namun ada pula yang kurang melihat nilai pentingnya. Setidaknya sebagaimana tercermin dari pendapat narasumber dalam kajian ini, para pemuka agama Kristen dan Katolik tidak merasa perlu adanya pengaturan negara/pemerintah atas urusan agama, sedangkan pemuka yang lainnya relatif setuju. Dikatakan Bonaventura, Anggota Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Keuskupan Agung Medan: Regulasi atau pengaturan Pemerintah sesungguhnya tidak banyak membantu menciptakan dan memelihara kerukunan. Semakin banyak pengaturan sebenarnya mau mengatakan bahwa kita semakin tidak mampu hidup sebagai manusia yang sungguh-sungguh manusia. Kerukunanan tidak dicapai lewat banyaknya aturanaturan, karena kerukuanan itu soal sikap interior untuk siap menerima orang yang berbeda agama. Pembentukan sikap interior inilah yang sebernanya harus lebih dikwatirkan ketika berbicara tentang kerukunan. Maka yang perlukan adalah pendidikan, pembinaan sejak dini akan arti dan makna hidup berdampingan, yang digali dari nilai-nilai Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika. Bila perlu jadikan argumen kerukunan ini test and property bagi calon pegawai negeri. Nah, disini Pemerintah bisa masuk dalam mengawasi dan menjamin terlaksananya pendidikan dan pembinaan itu di lembaga-lembaga pendidikan dan juga harus bisa mengawasi dan menjamin bahwa semua pegawai negeri, pejabat 142
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
pemerintah yang diangkat harus bisa menghormati agama lain, bisa menerima agama lain, sadar dan menerima bahwa Pancasila, dan bukan agama tertentu adalah Dasar Negara Republik Indonesia.113 Sementara itu, Sekum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Wilayah Sumatera Utara, Enida Girsang, lebih menganjurkan agar Pemerintah lebih mendorong edukasi masyarakat dibanding regulasi kerukunan. Baginya, semakin kerukunan diperdebatkan semakin kita merasa tersekat dalam kelompok-kelompok agama, padahal kita pada hakikatnya sama sebagai manusia. Ditegaskan pula perlunya perubahan mindset paradigma mayoritas-minoritas agama, seraya mengkritik proporsionalitas keanggotaan FKUB.114 Di pihak lain, Ketua LPKUB Sumatera Utara, Ahmad Rivai menyatakan perlunya regulasi atau pengaturan, dalam kerangka penciptaan keteraturan. Dikatakannya: Sudah pastilah perlu, mengacu kepada bahwa negara kita ini adalah negara hukum, yaitu yang ditunjukkan UUD 1945 Pasal 1. Bahwa negara kita ini negara hukum. Oleh karena negara kita ini negara hukum maka seluruh peri kehidupan bernegara perlu ditata dengan sebaik-baiknya. Hal ini mencerminkan bahwa segala sesuatu itu perlu diatur secara hukum, karena dengan pengaturan secara hukum inilah, dengan bentuk berbagai perundangundangan maka kehidupan ini dapat terselenggara dengan tertib dan teratur. Sesuatu yang wajar-wajar saja, sebagaimana halnya bidang-bidang kehidupan yang lain 113
Wawancara-tertulis dengan Pdt. Hendrikus Bonaventura G, pada April
2014. Wawancara penulis dengan Pdt. Enida Girsang, Sekum PGIW Sumut, pada 3 April 2014. 114
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
143
memerlukan pengaturan, mengapa menyangkut kehidupan beragama tidak ada pengaturan?115 Senada dengan pendapat ini, pemuka agama Islam lainnya, Maratua Simanjuntak, Ketua MUI Provinsi Sumatera Utara, menguatkan perlunya regulasi hubungan antarumat beragama. Mengingat profil bangsa Indonesia yang besar, multikultural, dan multiagama, yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, pergesekan, bahkan konflik, utamanya dalam proses penyebaran masing-masing agama, yang bagi umat beragama hal itu merupakan tugas atau perintah agamanya. Karena potensi konflik itu, maka diperlukan adanya regulasi. Selain itu, ketiadaan regulasi tentang agama, sebagai penjabaran Pasal 29 UUD 1945, juga mendorong perlunya regulasi hubungan antaragama ini. Termasuk mengatur soal adanya orang di Indonesia yang tidak beragama, boleh atau tidak.116 Sementara itu, pemuka agama Buddha, Sutopo, menyatakan setuju Pemerintah membuat regulasi mengenai hubungan antarumat beragama. Meski disampaikan juga ada beberapa hal yang diperlukan adalah penguatan 117 Demikian juga Djendi Kumar, pemuka implementasinya. agama Hindu, menyetujui pengaturan beberapa aspek dan tidak pada aspek tertentu lainnya.118 Mengenai posisi kewenangan mengatur, para pemuka agama hampir serempak menyatakan menyerahkannya pada 115
Wawancara penulis dengan Ahmad Rivai Harahap, Ketua LPKUB, pada
2 April 2014. 116
Wawancara penulis dengan Maratua Simanjuntak, Ketua MUI, pada 3
April 2014. 117
Wawancara penulis dengan Sutopo, anggota FKUB dari Buddha, pada 7
April 2014. 118
144
Pendapat Djendi Kumar dalam FGD, pada 4 April 2014.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Pemerintah sebagai eksekutor, atau sebagai fasilitator, di mana proses perumusan melibatkan perwakilan tokoh agama. Pola perumusan sebagaimana dilakukan pada penyusunan PBM nampaknya lebih dipilih para pemuka agama. Sebagaimana diketahui, PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 disusun berdasarkan draf yang dibuat oleh Pemerintah, lalu didiskusikan secara serial bersama majelis agama, dan setelah disepakati, rumusan akhirnya ditetapkan oleh Pemerintah. Hanya saja, seseungguhnya ada prosedur penyusunan suatu undangundang, yang diatur secara rigid di dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karenanya, kecenderungan aspirasi yang menunjuk UndangUndang sebagai bentuk regulasi, tentu tidak akan semudah menyusun PBM tersebut. Ada proses perumusan Naskah Akademik, pengajuan ke DPR, proses parlemen yang melibatkan kepentingan politik, hingga rangkaian proses panjang persetujuannya. Karena itu, tak salah jika sebagian pemuka agama menunjuk bentuk lain regulasi lain, seperti: Perpres atau Keppres, sebagai alternatif jika Undang-Undang belum bisa disusun.119 Demikian juga Maratua, dalam konteks penguatan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, menginginkan UU namun setidaknya Perpres atau PP. Dikatakannya: “... karena itu kalau menurut saya (PBM) harus ditingkatkan, kalaupun tidak Undang-Undang minimal Peraturan Presiden, atau Peraturan Pemerintah. Tapi sebaiknya Undang-Undang!”120
119 Misalnya disampaikan susunan pilihan regulasi oleh Sahdin, anggota LPKUB dari Islam, pada FGD 4 April 2014. Sahdin yang menyetujui adanya pengaturan, memilih UU sebagai bentuk regulasi yang disetujui, kemudian Peraturan Presiden dan SK Presiden sebagai alternatif dua dan tiga. 120 Wawancara penulis dengan Maratua Simanjuntak, Ketua MUI, pada 3 April 2014.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
145
Menariknya, ternyata pendapat setuju atau tidaknya terhadap perlunya regulasi hubungan antarumat beragama tidaklah berlaku umum terhadap segala aspek. Pernyataan ketidaksetujuan terhadap adanya regulasi, ternyata bisa diralat untuk beberapa aspek kehidupan keagamaan tertentu. Secara umum menolak pengaturan, misalnya, namun dalam sisi tertentu setuju dan bahkan mengusulkannya. Berikut selengkapnya aspek-aspek yang dinilai diperlukan pengaturannya, menurut pandangan para pemuka agama di Kota Medan. Aspek-aspek yang Perlu Pengaturan Untuk melihat kecenderungan (pilihan) pendapat pemuka agama, berikut hasil rekapitulasi angket-ceklis, yang digunakan sebagai pendamping proses wawancara.121 Untuk upaya pemeliharaan hubungan antarumat beragama, perlu dilakukan pengaturan terhadap aspek-aspek berikut:
Setuju
Tidak
Tida k
Tidak
Setuju
Tah u
Jawab
a. Penyiaran agama
9
1
-
2
b. Pendirian rumah ibadat
8
2
-
2
c. Penyelenggaraan perayaan hari besar keagamaan
5
3
-
4
121 Angket/ceklis diberikan kepada sebagian narasumber, di awal atau di akhir wawancara. Yang diberi angket terdiri atas 12 orang, dengan rincian latar belakang agama: Islam 5, Kristen 2, Katolik 1, Hindu 1, Buddha 2, dan Khonghucu 1. Uniknya, apa yang ditulis/dipilih dalam angket, ternyata tidak selalu sama dengan penjelasan lisan apa yang diungkapkan beberapa narasumber ketika wawancara. Ada penjelasan-penjelasan atas pilihan ‘hitam-putih’ dalam angket yang disampaikan. Misalnya ada yang menjawab “tidak setuju” urusan perayaan hari besar diatur, namun pada saat wawancara dijelaskan, “tidak setuju kalau menyangkut acara ritual, namun setuju kalau semata non-ritual, demi kerukunan. Namun demikian, pada umumnya pendapat lisan-tulisan narasumber relatif lurus, dan karenanya hasil tabulasi tersebut memadai untuk sekadar melihat gambaran kecenderungan.
146
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
d. Pendidikan agama
9
2
-
1
e. Pemakaman jenazah
3
5
-
4
f. Bantuan keagamaan luar negeri pada lembaga keagamaan
4
4
-
4
g. Perkawinan antarumat yang berbeda agama
7
1
-
4
h. Pengangkatan anak
7
2
-
3
i. Penyalahgunaan dan atau penodaan agama
6
2
-
4
Dari gambaran di atas, tampak bahwa kecenderungan (kuantitatif)nya setuju pada adanya pengaturan dalam beberapa aspek kehidupan keagamaan. Namun, longgarnya penentuan latar belakang/profil dan jumlah narasumber, sisi argumentasi persetujuan atau ketidaksetujuan lebih penting dielaborasi. Berikut penjelasannya. a. Penyiaran Agama Terkait penyiaran agama, pada umumnya setuju adanya pengaturan. Besarnya potensi gesekan akibat usaha penyiaran agama (utamanya oleh agama-misi, Abrahimic religions; Islam, Kristen, dan Yahudi), menjadi alasan perlunya pengaturan ini. Dalam konteks Kota Medan, hal ini pada tahun belakangan ini memang tidak terlalu mengemuka adanya gesekan itu, namun di kalangan tertentu (utamanya pucuk-pucuk pimpinan tokoh agama) gejala itu cukup terasa. 122 Pengaturannya itu sendiri 122 Dalam buku ini tergambar sebentuk kekhawatiran atas upaya dakwah (Islam). Lebih tegas lagi, pada bagian “tantangan dakwah” tercantum butir-butir: kejahatan pemurtadan dan Kristenisasi, banyaknya sekolah non muslim yang dimasuki/diminati oleh umat Islam, dan adanya kompetisi misi umat dari agama lain.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
147
secara substansial masih dipandang memadai sebagaimana butir-butir dalam SKB No.1 Tahun 1979 tentang Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri untuk Lembaga Keagamaan. Hanya saja perlu peningkatan kekuatan hukumnya. Hanya saja, ada juga yang menolak adanya pengaturan apalagi dengan sanksi hukum tertentu. Alasannya bahwa penyiaran agama adalah perintah agama, itu tugas suci, misi agama. Yang lebih tepat adalah pendewasaan umat, atau memberi tahu bagaimana cara berdakwahnya yang baik.123 Sementara itu, Hotman Hutasoit dari PGI Wilayah Sumatera Utara, merasa tidak masalah dengan pengaturan soal penyiaran agama, diungkapkannya: Jadi tentang penyiaran agama sebenarnya buat kita tidak ada masalah, peraturan yang sudah diatur di SKB 1/79 tidak menjadi masalah bagi kita. Sebab.. walaupun di Kristen itu gereja misi namanya, tapi kita justeru ke dalam misi kita ke dalam...tapi itu dalam tanda petik ya, karena saya bicara sebagai PGI. Tapi kalau di luar PGI, nah itu, memang ada pemahaman seperti itu. Tapi kalau bagi kita dari PGI, penginjilan ke dalam lah itu, penguatan iman dari jemaat kita, bukan ekspansi...124 b. Pendirian Rumah Ibadat Isu ini yang paling banyak diungkap oleh para pemuka agama. Konteks kehadiran FKUB dan tantangan kasus kerukunan belakangan ini memang banyak terkait hal ini. Pada Baca selengkapnya Prof. Dr. Basyaruddin, MS, Peta Dakwah Kota Medan, Medan: Perdana Publishing, 2012, hlm. 220-221. 123 Pendapat tersebut berkembang dalam diskusi LPKUB, pada 4 April 2014. 124 Diungkapkan Pdt. Hotman Hutasoit, wakil PGI di LPKUB, dalam FGD 4 April 2014.
148
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
umumnya mengungkapkan perlunya pengaturan soal pendirian rumah ibadat ini. Sejumlah kasus rumah ibadat yang terjadi menegaskan pentingnya kehadiran regulasi ini, yang saat ini berwujud PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Hanya saja, PBM yang ada sekarang ini, bagi banyak narasumber dinilai perlu ditingkatkan kekuatan hukumnya agar lebih efektif.125 Meski demikian, kritik terhadap PBM juga banyak disampaikan. Bahwa persyaratan 90 dan 60 dinilai menyulitkan di lapangan, membuka kemungkinan penyiasatan atau penyalahgunaan oleh aparat di bawah. Karenanya dihapuskan saja persyaratan itu. 126 Bahkan ada juga usulan agar PBM sekalian dicabut karena justeru setelah ada PBM banyak rumah ibadat jadi bermasalah. Hal ini utamanya dalam proses pendirian atau renovasi gereja. Usul lain menginginkan perihal pendirian rumah ibadat diungkapkan Rivai, bahwa soal pendirian rumah ibadat cukup dengan Undang-Undang yang ada terkait bangunan gedung, dan/atau dokumen Rencata Tata Ruang Wilayah (RTRW). Jadi, dengan adanya ketentuan yang tegas dari pemerintah soal boleh atau tidakbolehnya mendirikan suatu rumah ibadat didasarkan pada dokumen RTRW yang ada di wilayah tersebut. Intinya, mengefektifkan Undang-Undang yang ada, terkait pengaturan bangunan gedung. Karena mendirikan bangunan apapun, rumah ibadat atau klab malam, misalnya, sama-sama diwajibkan mematuhi peraturan mengenai bangunan gedung itu.
125 Misalnya diungkapkan Maratua, Aisyah, dan Palit Harahap, dalam rangkaian wawancara dan FGD. 126 Misalnya diusulkan Rivai Harahap, wawancara tanggal 2 April 2014.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
149
c. Peringatan Hari Besar Keagamaan Di Kota Medan, tidak ada masalah dengan perayaan peringatan hari besar keagamaan. Bahkan Pemda setempat sengaja memfasilitasi perayaan hari besar bersama, yang didanai dari APBD namun diisi seutuhnya oleh umat agama bersangkutan. Tegasnya, Pemerintah Kota Medan mengadakan acara pameran Christmas Party untuk tingkat Kota Medan, untuk turut merayakan Natal bagi umat Kristen. Pemkot juga mengadakan acara pameran untuk merayakan Idul Fitri bagi umat Islam. Acara-acara ini dikemas secara besar dan menarik sekaligus untuk mengundang wisatawan lokal. Ada sedikit problem ketika di suatu sekolah berciri khas Kristen diadakan pesta Natal bersama seluruh siswa, dimana siswa muslim juga harus ikut padahal di dalam prosesnya ditengarai ada unsur ritual. d. Pendidikan Agama Banyak kasus di Kota Medan terkait pendidikan agama di sekolah. Bahwa di sekolah-sekolah berciri khas agama tertentu banyak anak didik yang tidak mendapatkan pelajaran agama, dan oleh guru yang seagama. Sebagian diharuskan ikut pelajaran agama utama di sekolah tersebut, sebagian lainnya dibebaskan tidak ikut pelajaran tanpa disiapkan guru agama bersangkutan. Hal ini terutama pada sekolah-sekolah Kristen dan Katolik, di mana banyak anak didik muslin dan Buddha yang menjadi muridnya dengan alasan kualitas sekolahnya. Karena itu kebanyakan narasumber mengamini pentingnya pengaturan soal ini. Padahal, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Agama dan Penjelasannya (PP No. 55 Tahun 2007)
150
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
telah secara gamblang dan jelas mengaturnya. Disebutkan di dalam UU 20/2003 dan PP 55/2007 sebagai berikut: UU 20/2003: Pasal 12 ayat (1): Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Pasal 37 ayat (1): Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. pendidikan agama. Pasal 65 ayat (2) : Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia. PP No. 55 Tahun 2007: Pasal 9 ayat (1): Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Karena itu, sebagian pihak menegaskan yang diperlukan sekarang adalah implementasi UU Sisdiknas secara lebih baik. Dalam hal ini Pemerintah didorong untuk menyediakan guru agama secara lebih memadai. e. Pemakaman Jenazah Narasumber umumnya merasa tidak perlu adanya pengaturan tersendiri soal pemakaman jenazah. Meski sempat
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
151
terjadi “kasus perebutan” jenazah,127 namun hal itu dipandang kasuistik, dan baru kali ini terjadi. Soal kapasitas ruang pemakaman pun merasa belum ada masalah, dipandang tersedia cukup luas untuk beberapa tahun ke depan. Bahwa di Kota Medan, pemakaman dikelompokkan berdasarkan agamanya. Ada Komplek Pemakaman Muslim, dst. Namun demikian, menarik mencermati hasil kajian yang menganalisis berapa jumlah Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Kota Medan yang dibutuhkan berikut luasannya untuk 20 tahun ke depan dan persentasenya dalam mendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan. 128 Kajian ini menunjukkan bahwa pengadaan TPU oleh pemerintah sudah sangat mendesak. Jumlah luasan yang dihasilkan berbeda secara signifikan berdasarkan ketiga metode (metode Pemerintah, metode Angka Kematian Kasar, dan metode Angka Harapan Hidup). Metode yang direkomendasikan adalah metode perhitungan TPU dengan melalui Angka Kematian Kasar karena dianggap paling mewakili angka kematian yang sesungguhnya. Informasi ini sesungguhnya warning atas 127 Bahwa di Kabupaten Sedang Bedagai, belum lama ini terjadi kasus dimana seorang suami yang semula Kristen dan lalu berpindah agama ke Islam dan menikahi wanita muslimah, meninggal setelah sebelumnya mengalami sakit yang cukup lama. Pada saat akan diurus, pihak keluarga lamanya yang beragama Kristen meminta janazah untuk diurus dan dimakamkan dengan cara Kristen, karena keluarga masih memandang sang ayah masih Kristen—selain selama sakit merekalah yang membiayai. Namun pihak keluarga baru yang muslim meyakini kalau almarhum telah berpindah ke Islam, dan aka harus diurus dan dimakamkan secara Islam. Sempat terjadi adu tegang diantara dua keluarga besar, namun berhasil, ditengahi oleh pemuka agama di kedua agama. Akhirnya, sang jenazah disemayamkan dan didoakan 1 hari di rumah keluarga Kristen, lalu esoknya baru diurus dan dimakamkan secara Islam oleh kelurga yang muslim. Demikian sebagaimana diceritakan Maratua, wawancara pada 3 April 2014. 128 Ratri Utami, Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan, tesis pada Universitas Sumatera Utara, 2011.
152
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
kondisi di atas: ketersediaan ruang di tengah pembangunan kota. f. Bantuan keagamaan luar negeri pada lembaga keagamaan Mengenai bantuan luar negeri juga tidak terlalu menjadi soal. Bahwa substansi SKB No. 1/1979 waktu dulu dilatari oleh adanya bantuan besar-besaran dari luar negeri ke Indonesia. Namun konteks itu saat ini tidak tepat lagi. Meski demikian, saat ini diyakini bantuan luar negeri masih berjalan, meski tak sekuat dulu. Tidak ditemukan ada gangguan kerukunan akibat hal tersebut. Memang ada soal di kalangan Buddha. Bahwa sekarang ini ada kelompok dalam Buddha di luar negeri yang memberikan bantuan finansial tertentu kepada umat Buddha di Indonesia namun dengan permohonan tertentu. Persisnya mengajak untuk bergabung dalam kelompok si donatur tersebut. Hal ini cukup merepotkan bagi kalangan internal Buddha, karena dipandang mengganggu kelompok-kelompok jemaat yang telah ada, dan umat pun terganggu.129 g. Perkawinan antarumat yang berbeda agama dan Pengangkatan Anak Para pemuka agama menilai perlunya pengaturan mengenai hal ini. Namun sesungguhnya soal perkawinan ini telah ada di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini menganut perkawinan seagama, pasangan satu agama. Dalam praktiknya memang diketahui banyak praktik kawin beda agama dan melakukan perkawinan di luar negeri. Karenanya, banyak pendapat agar segera merevisi UU
129
Diungkapkan Ibu Juli, wakil umat Buddha, FGD tanggal 4 April 2014.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
153
No.1/1974 untuk mengakomodasi terjadinya kawin beda agama ini.
solusi
atas
problem
Di sisi lain, dalam praktik perkawinan beda agama di Kota Medan, persisnya antara Batak dan Tionghoa, pasangan menghormati dan menghargai perbedaan budaya dalam pernikahan mereka. Mereka berusaha untuk membaur dan melebur dengan budaya pasangannya. Terjadi perubahan pandangan dunia (agama, nilai-nilai, dan perilaku) pada pasangan minoritas dan memilih untuk mengikuti keyakinan pasangan yang dominan. Perpindahan agama ini menjadi problem tersendiri pada waktunya. 130 Apalagi kajian atas perkawinan pasangan beda agama menyimpulkan bahwa merasa puas pada aspek yang berbeda-beda dan sama-sama merasa tidak puas pada aspek religious orientation. Penelitian ini menyarankan agar para pasangan berbeda agama yang belum menikah, memprtimbangkan kembali niat untuk menikah dengan pasangan beda agama. 131 Kajian-kajian ini menegaskan potensi problematik dalam kasus perkawinan beda agama. Searah dengan perkawinan beda agama, ihwal pengangkatan anak yang berbeda agama merasa perlu diatur, merujuk pada aturan yang telah ada. Seperti diketahui, dalam UU Anak ditegaskan tentang pilihan bagi anak dalam menentukan agamanya setelah dewasa.
130 Selengkapnya baca Bintang Oktavia Simamora, Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus tentang Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di Kota Medan), FISIP USU, 2012. 131 Selengkapnya baca Dewina Ulfah Nasution, Kepuasan Pernikahan pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama, skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, 2010.
154
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
h. Penyalahgunaan dan atau penodaan agama Soal ini hampir umumnya setuju adanya pengaturan. Hanya saja mekanismenya yang diperdebatkan. Penodaan agama, selama ini, diatur di dalam UU No.1/PNPS/1965 yang telah di-judicial review dan dikokohkan posisinya. Banyak pihak menghendaki revisinya agar lebih sesuai dengan konteks zaman sekarang. Putusan MK terkait peninjauan UU ini pun menyisipkan perlunya memperbaiki redaksi dan substansi UU ini, meski saat ini masih dipertahankan dalam rangka, salahsatunya, mengisi kekosongan hukum. Terkait usulan pengaturan pencegahan penodaan agama, setuju dengan mengangkat substansi UU No.1/PNPS/1965, dengan penegasan pada sensitivitas HAM dan penentuan pihak otoritatif yang memberikan penilaian ketersimpangan/penodaan. Analisis Dari sekian pendapat yang dipaparkan di atas, dapat dilakukan analisis dengan membuat matriks atas isu dan isi argumentasinya, baik bagi yang mendukung adanya regulasi bersangkutan maupun yang menolaknya. Kedua pendapat dipersandingkan secara setara untuk agar dapat secara imbang dilihat kekuatan argumentasinya, bukan jumlah pendapatnya.
Hal pengaturan: 1. Urgensi regulasi hubungan antarumat beragama
Mendukung pengaturan, karena: Menghindari gesekan/konflik Penciptaan ketertiban umum
Menolak pengaturan, karena: Umat sudah dewasa, justeru memperkuat segmentasi
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
155
2. Siapa mengatur dan oleh apa
3. Penyiaran agama
Mengisi kekosongan hukum soal hubungan antarumat beragama
Efektifkan regulasi lain yang ada
Pemerintah
(tidak perlu)
UU, kalau tidak, Perpres atau PP Menghindarkan gesekan penyiaran (mis: dakwah vs misionari) Banyak kelompok penyiar agresif
4. Pendirian rumah ibadat
Edukasi masyarakat
Menciptakan ketertiban dan piranti menangani konflik Ada kejelasan dalam menangani
Penyiaran perintah suci agama Penyiaran ke internal (peningkatan iman umat/jemaat) PBM justeru mempersulit PBM membuat masalah baru Implementasinya liar
5. Perayaan hari besar keagamaan
Menjaga keyakinan umat dari ritualterselubung dalam perayaan
Bersama menikmati perayaan
6. Pendidikan agama
Banyak anak didik tidak menerima pelajaran agama, oleh guru seagama
Sudah ada UU Sisdiknas
Pendidikan bisa jadi alat penyiaran
156
Pendidikan untuk pendidikan, bukan alat penyiaran agama
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
7. Pemakaman jenazah
Menghindari ‘rebutan’ jenazah
Kasusnya jarang, urusan kecil
Keterbatasan space komplek TPU 8. Bantuan keagamaan luar negeri pada lemb. keag.
Agar tercipta keteraturan/ ketertiban
Praktiknya tidak lagi mengkhawatirkan
Menghindari penyalahgunaan bantuan untuk penyiaran
9. Perkawinan antarumat yang berbeda agama
Perlu untuk menjawab soal perkawinan beda agama
Sudah ada UU No.1/1974
10. Pengangkatan anak
Menjaga hak anak dalam agama
Sudah ada UU Hak Anak
Menghindari konflik keluarga 11. Penyalahgunaan dan atau penodaan agama
Menjaga kesucian agama dari penyimpangan UU PNPS perlu penyempurnaan
Sudah cukup UU No.1/PNPS/1965 Rawan kesewenangan dalam pelaksanaannnya
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
157
PENUTUP Kesimpulan Menjawab pertanyaan penelitian di atas, kesimpulan penelitian ini adalah: 1. Terkait urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama, para pemuka agama di Kota Medan setidaknya terbagi atas dua kelompok dengan argumentasinya masing-masing. Pertama, yang menolak pengaturan, tidak melihat urgensinya, karena tanpa regulasi pun masyarakat sudah cenderung pada kerukunan/keteraturan. Undang-Undang yang ada sudah dinilai memadai, asalkan diterapkan secara adil dan optimal. Selain itu, Pemerintah ditunut melakukan edukasi masyarakat agar semakin beragama dengan baik. Kedua, kelompok sebaliknya, sangat memandang urgensi pengaturan karena banyaknya potensi gesekan dan konflik, serta adanya kekosongan regulasi terkait hubungan antarumat beragama di Indonesia. Menimbang argumentasinya, pandangan yang melihat urgensinya regulasi ini tampak lebih dominan. Hanya saja, persetujuan atau ketidaksetujuan tidak berlaku untuk semua aspek. Pada beberapa aspek setuju pengaturan, tapi tidak pada aspek lainnya. 2. Bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama pada umumnya menginginkan berupa Undang-Undang— mengingat adanya kekuatan hukumnya, ada sanksi di dalamnya. Meski demikian, sebagian narasumber menyatakan jika UU terkait hubungan umat beragama belum bisa dirumuskan, maka setingkat Perpes atau PP menjadi pilihan.
158
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
3. Adapun aspek-aspek yang dinilai perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama, adalah: a) dalam kategori sangat penting, meliputi: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, pendidikan agama, perkawinan antarumat yang berbeda agama, pengangkatan anak dan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; dan b) dalam kategori kurang penting, meliputi: penyelenggaraan perayaan hari besar keagamaan, bantuan keagamaan luar negeri pada lembaga keagamaan, dan pemakaman jenazah. Saran 1. Susun NA dan RUU Perlindungan dan Kebebasan Beragama berdasar temuan lapangan. 2. Gagas konsep “Format Kehidupan Beragama yang Ideal” berdasar hasil riset selama ini.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
159
Senarai Bacaan Basyaruddin, Peta Dakwah Kota Medan, Medan: Perdana Publishing, 2012, hlm. 220-221. Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos (Ed), Menjamin Kebebasan, Mengatur Kehidupan Beragama; Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011. Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2013. Nasution, Dewina Ulfah, Kepuasan Pernikahan pada Istri yang Memiliki Pasangan Beda Agama, skripsi pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, 2010. Purba, Iman Pasu, Analisis Hukum Mengenai Perlindungan Kebebasan Beragama dalam Konstitusi Republik Indonesia, tesis pada IAIN Sumatera Utara, 2012. Putra, Dharma Kelana, Potensi Konflik Komunitas Jawa Muslim terhadap Etnis Berbeda dan Penganut Agama Lain di Kota Medan, skripsi pada FISIP Universitas Sumatera Utara, 2010. Ruhana, Akmal Salim dan Abd. Rahman Mas’ud, “Negara Sekuler ‘Mengatur’ Agama: Pengelolaan Kehidupan Keagamaan di Singapura dan Lesson Learned untuk Indonesia”, dalam Akmal Salim R (ed.), Managing Religious Life: Studi Komparasi Pengelolaan Kehidupan Keagamaan di Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2013.
160
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Simamora, Bintang Oktavia, Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus tentang Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di Kota Medan), FISIP USU, 2012. Sirait, Mahmuddin, Kebijakan Pemerintah Kota Medan terhadap Kerukunan Umat Beragama, skripsi pada IAIN Sumatera Utara, 2012. Utami, Ratri, Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan, tesis pada Universitas Sumatera Utara, 2011. Winarno, Dicky Sapto, Aliran atau Bidat dalam Agama Kristen Protestan (Studi Kasus : Komunitas Saksi Yehuwa di Kota Medan), Skripsi pada FISIP Universitas Sumatera Utara, 2007. http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/940/dalihan-na-tolu, diakses pada 21 April 2014. Pointers bahan paparan Prof. Dr. Abdul Djamil (ketika itu sebagai Kepala Badan Litbang dan Diklat) berjudul “Mengelola Hubungan Umat Beragama di Indonesia”. Dipntasikan pada diskusi tentang RUU KUB yang diselenggarakan oleh PKUB Setjen. Kementerian Agama, 21-23 Desember 2011 di Hotel Kawanua, Jakarta. (Tidak diterbitkan).
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
161
162
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
PENELITIAN PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG URGENSI PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA Oleh: Ibnu Hasan Muchtar PENDAHULUAN E. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam agama. Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman agama itu mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing-masing dan berpotensi menimbulkan konflik. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama yang sejati, harus tercipta satu konsep hidup bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial yang berbeda agama guna menghindari ledakan konflik antarumat beragama yang terjadi tiba-tiba. Indonesia dinilai telah berhasil menempatkan diri sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Namun keberhasilan ini belum sepenuhnya menggambarkan kondisi obyektif bangsa yang demokratis, karena masih diwarnai oleh berbagai bentuk gejolak dan aksi kekerasan yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan nasional. Keadaan yang dapat berdampak pada instabilitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
163
kelihatan semakin memperhatinkan dan rapuh. Semangat reformasi yang bertujuan menegakkan kehidupan yang demokratis dan pemerintahan yang lebih baik, nampaknya belum sesuai dengan harapan. Kehidupan demokrasi terkadang menyimpang dan keluar dari normanorma, hal tersebut sering diwujudkan dalam bentuk tindakan anarkis sebagai perwujudan kekecewaan atau guna mencapai tujuan kepentingan kelompok. Hal ini melemahnya wawasan kebangsaan serta makin melemahnya simpul-simpul persatuan dan kesatuan bangsa. Negara menjamin kemerdekaan memeluk agama, sedangkan pemerintah berkewajiban melindungi penduduk dalam melaksanakan ajaran agama dan ibadat, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum. Tugas pemerintah memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar dan tertib, baik intern maupun antar umat beragama. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya mempunyai kewajiban memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Terlepas dari persoalan demikian, kerukunan umat beragama di Indonesia selama ini secara umum dapat dikatakan relatif kondusif. Betapapun, kita sadari bahwa kerukunan umat beragama merupakan kondisi yang dinamis, seiring dengan dinamika 164
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
kehidupan umat beragama itu sendiri. Dinamika kondisi dan tingkat kerukunannya terjadi secara fluktuatif yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor keagamaan semata, namun dipengaruhi oleh banyak faktor dan situasi. Berdasarkan hasil kajian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama misalnya, terindikasi ada sejumlah faktor non- keagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi dan sosial budaya. Adapun faktor keagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama diantaranya tentang: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, dan kegiatan kelompok sempalan dan transparansi informasi keagamaan (Badan Litbang dan Diklat, 2007). Dalam hubungan antarumat beragama, faktorfaktor di atas tidak jarang menimbulkan gesekan yang dapat memicu timbulnya konflik di kalangan umat beragama. Bahkan konflik yang terjadi dapat menimbulkan tindak kekerasan dalam kehidupan masyarakat yang terdiri atas umat beragama yang beragam. Kasus kekerasan dan konflik bernuansa agama yang pernah terjadi di Ambon dan Poso tahun 1999 merupakan salahsatu contoh betapa keragaman agama dalam suatu masyarakat dapat menimbulkan benturan dan kekerasan antar komunitas agama yang berbeda. Kasus-kasus konflik bernuansa agama pada hakekatnya juga terkait dengan persoalan kebebasan beragama. Kebebasan beragama bagi bangsa Indonesia merupakan hak individu yang secara konstitusional Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
165
dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini terlihat secara jelas dalam UUD 1945 Pasal 28 E Ayat (1) dan Ayat (2) yang menyebutkan : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (Ayat (1) dan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” (Ayat (2). Kebebasan beragama tersebut bahkan dijamin oleh negara, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2):“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sekalipun demikian, hak dan kebebasan beragama dimaksud bukan berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa mempertimbangkan kepentingan dan ketertiban umum dalam tatanan masyarakat yang demoktaris. Dalam UUD 1945 Pasal 28 J ditegaskan bahwa: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Ayat 1). Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”(Ayat 2). UUD 1945 Pasal 28 J Ayat (2) di atas secara jelas menegaskan bahwa untuk menjalankan hak dan kebebasan individu–termasuk kebebasan beragamaperlunya pembatasan oleh pemerintah yang ditetapkan melalui regulasi/undang-undang yang wajib ditaati oleh setiap warga negara. Berdasarkan paparan di atas, maka inisiatif pemerintah melakukan regulasi dan pengaturan 166
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
terkait hubungan antarumat beragama dalam hidup beragama pada dasarnya bukan bermaksud membatasi hak beragama seseorang, melainkan justru sebagai upaya untuk memberikan pelayanan masyarakat/umat beragama dalam menjalankan hak dan kebebasan beragama.Tegasnya, Indonesia sebagai negara demokrasi berperan menjaga keharmonisan dan kesatuan bangsa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hefner yang mengatakan bahwa: ”demokrasi mustahil tanpa modernisasi, dan modernisasi menuntut homogenisasi kebudayaan politis. Jika homogenitas politik ini tidak atau belum ada, negara harus menjadi ujung tombak dalam menanamkan sebuah kebudayaan umum di antara warga negaranya yang beraneka ragam” (Robert W.Hefner, 2007:21). Dalam konteks proses upaya penyiapan regulasi oleh pemerintah itulah maka salahsatu program penelitian dan pengembangan yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat pada tahun 2014 adalah penelitian tentang urgensi pengaturan kerukunan umat beragama. Menyadari rawannya hubungan di kalangan umat beragama lantaran perbedaan agama, sesungguhnya berbagai upaya antisipasif untuk menggalang dan memelihara kerukunan umat beragama telah dilakukan oleh pemerintah melalui sejumlah regulasi. Regulasi itu merupakan konsekuensi logis dari makna yang terkandung dalam Pasal 28 J UUD 1945 Ayat (1) dan (2) di atas. Di antara regulasi dimaksud adalah: 1. Penetapan Presiden RI No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
167
2. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh PemelukPemeluknya (diganti dengan PBM tahun 2006); 3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai undang-undang; 4. Surat Kawat Menteri Dalam Negeri No.264/KWT/DTPUM/DV/V/1975 perihal Penggunaan Rumah Tempat Tinggal Sebagai Gereja; 5. Instruksi Menteri Agama No. 4 Tahun 1978 tentang Kebijakan Mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan; 6. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia; 7. Keputusan Menteri Agama No. 35 Tahun 1980 tentang Wadah Musyawarah Antarumat Beragama; 8. Instruksi Menteri Agama RI No. 3 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Daerah Sehubungan Dengan Telah Terbentuknya Wadah Musyawarah Antarumat Beragama; 9. Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981 tentang Penyelenggaraan Hari-hari Besar Keagamaan; 10. Petunjuk Presiden sehubungan dengan Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981; 11. Keputusan Menteri Agama RI No. 84 Tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan Kerukunan Hidup Umat Beragama; 168
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
12. Keputusan Presiden RI No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat Cina; 13. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB dan Pendirian Rumah Ibadat; 14. Surat Menteri Agama No. MA/12/2006 perihal Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu; 15. Edaran Menteri Dalam Negeri No. 450/2576/SJ perihal Pembentukan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB; Meskipun telah banyak peraturan perundangan terkait kerukunan umat beragama yang telah dibuat pemerintah, namun dirasakan masih ada persoalan kehidupan umat beragama yang belum ditampung dalam aturan yang sudah ada, di samping adanya peraturanperaturan yang tidak relevan lagi saat ini. Selain itu, ada peraturan-peraturan yang multitafsir, masih bersifat parsial serta tidak adanya sanksi yang tegas dan mengikat terhadap para pelaku pelanggaran aturan yang ada. F. Permasahan Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pandangan para pemuka agama tentang
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
169
urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama, bentuk dan aspek-aspek yang diatur”. Secara rinci, penelitian ini akan mengungkap beberapa permasalahan berikut: 1. Bagaimana pendapat pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama? (alasan urgensi) 2. Bagaimana bentuk pengaturan tentang hubungan antarumat beragama yang perlu dilakukan? 3. Aspek-aspek apa saja yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama tersebut ? C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Untuk menghimpun informasi dari para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama; 2. Untuk mengetahui bentuk pengaturan tentang hubungan antarumat beragama; 3. Untuk mengetahui aspek-aspek yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama; D. Kegunaan Hasil penelitian ini berguna bagi pimpinan Kementerian Agama sebagai bahan untuk menyusun pengaturan Hubungan Antarumat Beragama.
170
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
GAMBARAN UMUM KALIMANTAN TENGAH DAN KOTA PALANGKA RAYA 1. Kondisi Geografi dan Administrasi Pemerintahan Pada awalnya Kalimantan Tengah merupakan satu kresidenan (Residentie Oosst-Borneo) dari tiga kresidenan wilayah Kalimantan yang berkedudukan di Kalimantan Selatan. Sejak kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 hingga tahun 1956 muncul aspirasi penduduk untuk pembentukan provinsi yang terpisah dari Kalimantan Selatan. Pada tanggal 10 Desember 1956, Ketua Koordinasi Keamanan Daerah Kalimantan “MILONO” membacakan pengumuman terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari tiga kabupaten, yaitu Barito, Kapuas dan Kotawaringin. Berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 10 Tahun 1957 terbentuk Provinsi Kalimantan Tengah, dan ditetapkan waktu/hari jadinya tanggal 23 Mei 1957. Provinsi Kalimantan Tengah terletak pada 0º45¹ lintang Utara, 3º30¹ Lintang Selatan, dan 111¹ Bujur Timur, berada ditengah-tengah pulau Kalimantan, dan dapat dijadikan poros penghubung antara provinsi lainnya di pulau Kalimantan, yang berhadapan dengan laut/pulau Jawa. Luas daerah ini 153.564 km² atau 1,2 kali luas Pulau Jawa, yang menempati provinsi terluas ketiga setelah Papua dan Kalimantan Timur (saat ini menempati posisi terluas kedua setelah Papua karena Kalimantan Timur telah terbagi menjadi 2 dengan Kalimantan Utara). Daerah ini berbatasan; sebelah utara dengan Kalimantan Barat dan Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
171
Kalimantan Timur, sebelah timur dengan Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, sebelah selatan dengan laut Jawa, dan sebelah barat dengan Kalimantan Barat. Gubernur dan pejabat gubernur provinsi Kalimantan Tengah hingga saat ini sudah 12 orang, mulai gubernur pertama RTA Milono, sekaligus pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah, dan gubernur saat ini mulai menjabat tahun 2005 sampai sekarang (2012), yaitu gubernur Agustin Teras Narang, SH, dan wakil gubernur Ir. H. Achmad Diran (Biro Humas Setdaprov., 2011: 2-3 dan BPS Kalteng, 2011: Li-Lii). Wilayah administrasi pemerintahan Kalimantan Tengah terbagi 13 kabupaten dan satu kota, dengan 129 kecamatan dan 1. 350 desa. 2. Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi Kalimantan Tengah dihuni oleh penduduk sesuai sensus tahun 2010 mencapai 2.202.599 jiwa terdiri, dari 1.147.878 laki-laki (52,11%) dan 1,054.721 perempuan (47,89%). Penduduk terbanyak di Kabupaten Kotawaringin Timur 374. 636 jiwa, dan terkecil di Kabupaten Sukamara 44.952 jiwa. Kepadatan penduduk tergolong jarang sekitar 14 orang per-km² (Biro Humas Setdaprov., 2011: 4 dan 7). Dilihat dari segi mata pencaharian, penduduk Kalimantan Tengah pada tahun 2010 penduduk yang berumur 15 tahun ke atas, yang bekerja menurut lapangan usaha utama terdiri dari: pertanian, kehutanan, perkebunan dan perikanan 564. 806 jiwa (55%), pertambangan dan penggalian 55. 850 (5%) jiwa, industri pengolahan 35. 652 jiwa (3%), listrik, gas dan air 2. 052 jiwa 172
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
(0,02%), bangunan 53. 264 jiwa (5%), perdagangan, rumah makan dan hotel 139. 802 jiwa (14%), angkutan, pergudangan dan komunikasi 35. 520 jiwa (3%), keuangan, asuransi, tanah dan jasa perusahaan 7.153 jiwa (1%), jasa kemasyarakatan 128.571 jiwa (13%) (BPS Provinsi Kalteng, 2011; 64-65), dan pegawai negeri sipil daerah berjumlah 59.097 orang. Di bidang pendidikan pada tahun 2011 terdapat Taman Kanak-Kanak Negeri 15 unit dan TK Swasta 920 unit, Sekolah Dasar Negeri 2.304 unit dan SD Swasta 83 unit, Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri 7 unit dan Swasta 1 unit, Sekolah Menengah Pertama Negeri 364 unit dan SMP Swasta 97 unit, Sekolah Menengah Umum Negeri 117 unit, SMU Swasta 57 unit, SMU Luar Biasa Negeri 4 unit dan SMU LB Swasta 2 unit, Sekolah Menengah Kejuruan (BPS Provinsi Kalteng 2011:85). Sekolah agama terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Di Palangka Raya terdapat perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Palangka Raya, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palangka Raya (STAIN), Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN), dan Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Dari segi etnis, penduduk Kalimantan Tengah asal setempat ialah etnis Dayak. Ada sekitar 10 etnis Dayak, 4 bahasa Dayak dan sekitar terdiri dari 250-an sub etnis Dayak (Desi Erawati, 145). Etnis lainnya berasal dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur (termasuk Madura), Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, Makassar dan Lampung. Namun dalam kehidupan seharihari pengaruh budaya Dayak pada acara ritual siklus kehidupan tampak lebih dominan dari yang lainnya. Dari Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
173
kebudayaan, budaya Banjar cukup dominan. Budaya Dayak dapat dilihat dari falsafah Rumah Betang yang dibangun atas prinsip “Melai Petak Mandeng Hite Eka Pambelum Je Kata Taha”, yang berarti “di situ tanah diinjak di situlah tempat hidup selama-lamanya”. Filosofi ini menunjukkan bahwa masyarakat Dayak hidup damai dan rukun dengan masyarakat lainnya di Kalimantan Tengah (Yeri Adriyanto dan Salim AR, 2007: 22-24). Salah satu dari 14 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah ialah Kota Palangka Raya, yang juga adalah Ibukota Provinsi. Dari segi geografis, wilayah ini terletak pada 113º 30¹ - 140º - 07¹ bujur timur, 1º 30¹ - 2º 24¹ Lintang Selatan, dengan luas 2.400 km² atau 1,56% dari luas Provinsi Kalimantan Tengah. Daerah ini berbatasan sebelah timur dengan Kabupaten Gunung Mas, sebelah selatan dengan Kabupaten Pulang Pisau, dan sebelah barat dengan Kabupaten Katingan. Dari segi wilayah administrasi pemerintahan Kota Palangka Raya terbagi pada 5 Kecamatan, yaitu Kecamatan Pahandut, Sebangau, Jekan Raya, Bukit Batu, dan Rukumpit. Wilayah kecamatan tersebut terbagi 30 kelurahan, 642 RT dan 157 RW. Wilayah ini dihuni penduduk pada tahun 2010 sebanyak 220.962 jiwa yang terdiri dari 113.005 laki-laki (51%) dan 107.957 perempuan (49%). Persebaran penduduk menurut wilayah kecamatan tidak merata. Mata pencaharian pokok penduduk beragam, meliputi: PNS, TNI/POLRI, karyawan swasta, jasa pedagang, petani dan nelayan. Penduduk 15 tahun ke atas menurut pekerjaan utama pada tahun 2009 terdiri dari: 174
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
petani 12.291 jiwa (10,25%), pertambangan dan penggalian 1.703 jiwa (1,55%), industri 4.289 jiwa (3,89%), litrik, gas dan air 834 jiwa (0,76%), konstruksi 12.059 jiwa (10,95%), perdagangan 33.452 jiwa (30,37%), teransportasi dan komunikasi 7.440 (6,75%), keuanagan 2.952 jiwa (2,68%) dan jasa 16,146 jiwa (32,81%) (BPS Kota Palangka Raya, 2010:72). Penduduk dari segi pendidikan umum meliputi Taman Kanak-Kanak 125 unit, Sekolah Dasar 120 unit, Sekolah Luar Biasa 2 unit, Sekolah Menengah Pertama 48 unit, Sekolah Menengah Atas 28 unit dan Sekolah Menengah Kejuruan 16 unit. Sekolah agama terdiri dari: 25 raudlatil athfal, 5 MIN, 12 MIS, 2 Madarasah Tsanawiyah negeri, 12 Madrasah Tsanawiyah Swasta, 1 Madrasah Aliyah Negeri dan 5 Madrasah Tsanawiyah Swasta (BPS Kota Palangka Raya, 2010:92), dan 3 sekolah tinggi agama, yaitu: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN), dan Seolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN). Dari segi pendidikan yang ditamatkan 10 tahun ke atas yaitu: tidak sekolah 19.217 orang (12,07%), tamat SD atau setingkat 30.574 orang (19,24%), tamat SMP atau setingkat 28.292 orang (17,80%), tamat SMA atau setingkat 51.363 orang (32,32%), SLA kejuruan 8.069 orang (5,11%), D1dan 2 22,020 orang (1,26%), D3 dan sarjana muda 4.398 orang (2,75%), D4/sarjana 12.944 orang (8,14%), dan S2/S3 sebanyak 2.066 orang (1,32%) (BPS Kota Palangka Raya, 2010:71).
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
175
3. Kehidupan Keagamaan Penduduk Provinsi Kalimantan Tengah dari segi pemeluk agama pada tahun 2010, mayoritas Islam sebanyak 1.623.643 jiwa (78%), Kristen 346.559 jiwa (17%), Katolik 76.419 jiwa (0.4%), Hindu 26.128 jiwa (0.1%), Buddha 1.441 jiwa (0.01%) dan lainnya 1.401 jiwa (0.01%) (BPS Provinsi Kalteng, 2011:160). Rumah ibadat yang tercatat pada tahun 2010 terdiri dari Islam 1.620 masjid (49%), Kristen 1.406 gereja (43%), Katolik 161 gereja induk (0.05%), Hindu 78 pura (0.02%), Buddha 14 vihara (0.004%). Jumlah tersebut belum termasuk 1.960 langgar dan 498 mushalla, 169 balai jemaat Kristen dan 428 pastori, 74 gereja pembantu Katolik, 45 sanggah dan 427 balai hindi serta sebuah Cetia (BPS Provinsi Kalteng, 2011:160161). Sedangkan rumah ibadat di Kota Palangka Raya: Islam 112 masjid (54%), Kristen 88 gereja (43%), Katolik 1 gereja induk (0.005%), Hindu 3 pura (0.01%), Buddha 2 vihara (0.01%). Jumlah tersebut belum termasuk 118 langgar/mushalla, 8 pastori, 4 gereja pembantu dan 15 balai Katolik, (FKUB Kabupaten Palangka Raya, 2010:13). Secara umum keadaan umat beragama di Kota Palangka Raya kondusif rukun (Achmad Diran, 5 Juni 2012, Djawahir Tanthowi, 7 Juni 2012), Dalam sebuah keluarga Dayak adalah biasa menganut agama yang berbeda. Tradisi silahturahim sangat kental dengan saling kunjung mengunjungi antar mereka yang berbeda agama seperti pada saat terjadi perkawinan, perayaan hari-hari besar keagamaan, saling kerjasama dalam kepanitiaan, seperti panitia Musabaqoh Tilawatil Qur’an, Pesparawi Kristen, Atsana Dharma Gita Hindu, Pesta Tandak Intan 176
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Kaharingan dan festival pembacaan kitab suci Dharmapada, serta adanya pembinaan kehidupan beragama oleh pemerintah. Selain itu juga berkembang kearifan lokal seperti “open house” atau menerima tamu pada hari-hari besar keagamaan dan penggunaan pengeras suara di rumah ibadat yang peduli lingkungan (FKUB Kota Palangka Raya, 2010:5-7). Di kalangan umat beragama Kalimantan Tengah, tumbuh dan berkembang organisasi keagamaan. Di antaranya yang tercatat pada Kantor Kementerian Agama tahun 2010 mencapai 55 buah dan yang tercatat di kantor Kementerian Agama Kota Palangka Raya sebanyak 38 buah. Di antaranya organisasi Islam yaitu: MUI, GP Anshor, Fatayat, Muslimat NU, IPNU, FKDMI, Pemuda Muhammadiyah, IMM, IRM, Nasyiatul Aisyiah, PMII, HMI, BPRMI, Pemuda Muslimin Indonesia (PMI), KAMMI, MMI, Al Hidayah, Pemuda Islam, Hizbut Tahrir, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), LPTQ, Majelis dakwah Islamiyah (MDI), Toriqoh Mu’tabaroh, dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Di kalangan Kristen terdapat Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), DPI, PII dan Eka Shinta. Di kalangan Katolik tercatat ada PMKRI. Organisasi keagamaan Buddha, antara lain Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia, Majelis Buddhayana Indonesia, Majelis Pandita Buddha Maytrea Indonesia, Wanita Buddhis Indonesia, dan WALUBI. Organisasi di lingkungan Hindu antara lain PHDI, Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Pusat (MB-AHK) pusat dan daerah, kecamatan hingga ranting, Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Perada, Perhimpunan Wanita Hindu Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
177
Kaharingan, Perhimpunan Pemuda dan Mahasiswa Hindu Kaharingan, Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (IMHDI) dan Penandita Shangha Nusantara. (Asry Yusuf dalam Laporan hasil penelitian Peran Pemerintah Daerah dalam Pemeiharaan KUB, tahun 2010) 4. Kondisi Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Agama. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa di daerah Kalimantan Tengah ini umumnya dan Kota Palangka Raya saat ini dalam kondisi yang kondusif. Kondisi ini tidak terlepas dari kekuatan potensi rukun yang dimiliki, salah satunya berdasarkan kearifan lokal. Kearifan lokal itu terdapat pada Rumah Betang, yakni rumah panjang yang dihuni berbagai anggota keluarga yang mungkin juga berbeda agama, yang dilandasi cinta kasih, persaudaraan dan kerukunan. Rumah Betang ini bisa merepresentasikan Bhinneka Tunggal Ika, sebab ia mewadahi keragaman agama dalam satu rumah yang melampaui dimensi keagamaan. Dengan rumah bersama ini, masing-masing orang beragama tidak memosisikan diri sebagai an sich umat beragama, melainkan terlebih keluarga yang bisa hidup bersama. Rumah Betang ini strategis bagi pengamalan nilainilai kerukunan, hingga ke level keluarga. Jika sudah sampai ke level ini, maka kerukunan beragama akan mengakar hingga ke dalam sub-sistem sosial terkecil, yakni keluarga. Dari sini kerukunan beragama akan menjadi pengamalan hidup sehari-hari, dan menyentuh pola hubungan sosial yang paling terdekat, yakni antarkeluarga. Jika setiap keluarga memiliki Rumah Betang, 178
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
maka keseluruhan masyarakat akan memiliki ikatan kerukunan yang kuat. Sebab sebagai totalitas sosial, masyarakat telah dibentuk oleh sub-keluarga yang telah mampu mengamalkan kerukunan beragama dalam kehidupan kesehariannya, dan ini berkat mediasi Rumah Betang. (Kearifan Lokal Daerah, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Tahun 2009). Keberadaan kearifan lokal ini didukung oleh kesadaran pemerintah dan para pemuka masyarakat untuk lebih mewujudkan kehidupan umat yang rukun, khususnya setelah peristiwa Februari 2001 (kerusuhan Sampit) dengan tekad untuk menjaga agar tidak terulang kembali peristiwa serupa. Tekad ini kemudian diperkuat dengan keteguhan dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdirinya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi dengan diikuti oleh FKUB Kabupaten/Kota dengan mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah menunjukkan betapa pentingnya kerukunan. Dengan adanya FKUB tempat berkumpulnya para pemuka agama ini, masyarakat bawah akan terbiasa dengan wacana keagamaan yang tidak ekslusif. Dengan adanya kegiatan silaturrahim pada setiap acara peringatan hari-hari besar keagamaan misalnya, masyarakat bawah tidak alergi dengan orang beragama lain. Pembinaan kerukunan agama hingga ke level bawah ini menjadi penting, sebab level ini yang potensial terprovokasi oleh isu-isu sensitif keagamaan. Karena pemahaman masyarakat bawah masih awam, maka mereka dengan mudah termakan oleh isu provokatif tersebut. (Ketua FKUB Prov. Kalteng 29 Maret 2014). Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
179
Namun demikian bukan berarti kondisi kerukunan yang secara normatif terlihat kondusif dan rukun-rukun saja, tidak mempunyai masalah dan berpotensi menimbulkan konflik dimasa depan. Hal ini yang perlu menjadi perhatian bersama baik oleh para pemuka agama, masyarakat dan pemerintah daerah bahkan aparat keamanan. Diantara potensi yang mungkin muncul dan terjadi yang perlu mendapat perhatian adalah: 1. Isu yang berkaitan dengan agama: a. Mulai muncul gerakan fanatisme agama yang disampaikan melalui khutbah, ceramah dalam ruang terbuka; b. Hadir pengikut agama baru di kalangan Kristen misalnya sudah hadir Pengikut Pemuja Nama Yahweh. Gerakan ini bukan hanya mengancam kalangan internal Kristen tetapi juga di kalangan umat Islam dengan mengatakan bahwa Nama Allah itu nama dewa sungai, bulan dan matahari, sedangkan untuk umat Kristiani mereka menolak nama Allah disebut di dalam Alkitab yang dikeluarkan oleh Lembaga Al-Kita Indonesia. c. Keberadaan yayasan/rumah singgah dan atau nama lain yang digunakan untuk menampung anak-anak kurang mampu/yatim agar memperhatikan keberagamaan yang dianut oleh anak dimaksud; d. Penggunaan rumah tinggal/ruko sebagai tempat ibadat agama tertentu;
180
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
e. Masih terdapat anak didik di sekolah-sekolah yang belum mendapatkan pelajaran agama dan yang diajarkan oleh guru yang seagama; f.
Terdapat tuntutan sebagiam masyarakat penganut suatu agama agar diakui sebagai agama resmi.
2. Isu yang berkaitan dengan sosial ekonomi: a. Pembagian bantuan oleh pemda terhadap palayan agama yang masih dianggap kurang adil; b. Pembagian bantuan terhadap kegiatan Perayaan Hari-Hari Besar Keagamaan (PHBK) yang disama ratakan kurang memperhatikan jumlah penganut agama yang ada; 3. Isu yang berkenaan dengan Politik: a. Apatisme sebagian masyarakat terhadap pesta demokrasi 5 tahunan baik Pemilu maupun Pemilihan Presiden. Muncul istilah Golput (Golongan Pencari Uang Tunai), NPWP (Nomor Piro Wani Piro); b. Isu suksesi kepimimpinan daerah (Pilkada) tahun 2016, saat ini sudah mulai terdengar perbicangannya; c. Pengangkatan dan penempatan birokrasi yang dianggap kurang memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam peraturan kepegawaian.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
181
TEMUAN PENELITIAN Setelah data terkumpul, selanjutnya diolah sesuai dengan prosedur yang telah direncanakan, seperti telah dipaparkan dalam Bab 3. Dalam bab ini disajikan beberapa temuan yaitu (1) hasil wawancara dengan 10 orang pemuka agama tentang perlu tidaknya pengaturan hubungan antarumat beragama, intern umat beragama dan hubungan umat beragama dengan pemerintah yang terkenal dengan istilah Tri Keruknan Umat Beragama, (2) respons 27 orang pemuka agama, yang dikumpulkan melalui kuesioner. A. Pandangan Tentang Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama 1. Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama Berdasarkan hasil wawancara terhadap 10 orang pemuka agama di kota Palangka Raya, terungkap dengan jelas persetujuan dan persamaan pendapat bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama di negara tercinta sangat perlu bahkan lebih dari itu diharapkan juga perlunya pengaturan terhadap Tri Kerukunan di Indonesia (Intern, Antarumat dan Umat Beragama dengan Pemerintah). Berbagai alasan dikemukakan diantaranya, masyarakat kita sangat majemuk dari segi agama dan suku, luasnya wilayah, peraturan yang ada saat parsial dan sudah ada yang sangat lama maka perlu ada penyesuaian dengan kondisi saat ini. Dari informan muslim (A) misalnya mengatakan bahwa “dalam ajaran agama Islam jelas bahwa interaksi sosial sesama umat ciptaan Tuhan boleh dilakukan bahkan harus dilakukan 182
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
dalam kaitannya dengan urusan kemanusian, sosial kemasyarakatan. Bagaimana tidak karena kita masih berada di dunia dan memerlukan orang lain, tentu sepanjang yang diperbolehkan oleh ajaran agama yang diyakini”. Salah seorang pemuka Buddha (S) menjelaskan kata “hubungan antarumat beragama akan terjalin jika ada kehidupan yang saling menghormati dan tidak saling mengganggu satu dengan yang lainnya.” Pemuka Hindu (R), menjelaskan “ sejak kecil sudah mengalami bahwa kehidupan di Palangka Raya tidak terdapat masalah dengan hubungan antarumat beragama.” Lebih jauh R, mengatakan, “jika kita sadar bahwa agama itu bukan Tuhan, jikalau kita percaya Tuhan, bukan agama yang dituhankan maka akan melihat bahwa semua agama baik.” Dari pemuka Kristen (Pdt. Y) mengatakan, kontek yang jelas di Palangka Raya, lebih spesifik pihak Kristen dengan agama lain bisa hidup rukun karena komitmen dari awal tidak berbicara hal mengenai perbedaan.” Sedangkan Pdt. S, mengatatakan, jangan menyinggung yang bukan kita, kita miliki tetapi mengayomi agama sendiri dengan baik. 2. Manfaat Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama Semua perbuatan memiliki tujuan. Demikian pula halnya dengan hubungan antarumat beragama, sangat bermnanfaat dimana umat merasakan adanya kedamaian dan ketenangan, diantaranya di Palangka Raya tempat rumah ibadat bisa berdampingan, misalnya masjid dan gereja tanpa ada perasaan terganggu antarumat pemeluk agama. Kunci kerukunan, berangkat dari “filosofi mengasihi sesama manusia dengan cara memiliki hubungan yang baik antaranggota jemaat dan lingkungannya,’ kata Pendeta (S), Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
183
yang juga diungkap Pendeta (Y) adalah “orang yang bisa mengasihi, dia bisa melakukan kerukunan umat beragama.” Dalam kaitan ini Pendeta (S) menegaskan “kita tidak boleh menilai yang lain, tetapi bagaimana [kita] menjalani agama masing-masing dan teologi yang dianut bisa saja dijalani bersama-sama.” Kehidupan dalam konteks kemajemukan itu menurut Pendeta (Y) berangkat dari Firman Tuhan yang mengingatkan bahwa kita [adalah] mahluk ciptaan Tuhan [yang] tidak bisa hidup sendiri.” Untuk itu, landasannya, seperti kata Pendeta (S) adalah bahwa “ iman harus dijabarkan dalam hidup: kasih kepada saudara-saudara tanpa mencampuri iman (garis miring oleh peneliti). Karena itu khotbah menurut Pendeta (S) “mempunyai nilai pengajaran tentang Yesus.” Karena itu pula, kata Pendeta (S) “dalam pengajaran kebenaran harus sesuai dengan kehendak Tuhan sehingga bisa dihubungkan dengan lingkungan.” Selanjutnya, selaras dengan semangat hidup dalam konteks kemajemukan budaya, suku, ras dan agama, Pendeta (S) menekankan betapa penting bagi para Pendeta, yang diibaratkannya sebagai “pekerja di ladang Tuhan” untuk menyampaikan kebenaran, sebab kebenaran itulah yang memerdekakan orang. Secara lugas dikatakannya, “Dalam menyampaikan Firman Tuhan, tidak perlu kita mengkritik orang lain, kelompok lain [sebab] itu tidak akan membangun, malah akan membangun sikap yang tidak baik kepada jemaat.” Pokok pikiran tersebut selaras dengan paparan pemuka Buddha (S) yang mengatakan “dalam memajukan masyarakat di sekitar kita, khususnya bagi antar umat beragama, harus ada toleransi, toleransi antarumat beragama, dan kita sebagai umat-umat yang beragama . . . tidak boleh 184
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
menyinggung agama orang lain.” Esensi dari upaya memajukan masyarakat, kata Pendeta (S) yaitu “khotbah menyatu dalam tindakan, dalam kasih, dalam action…memajukan masyarakat secara keseluruhan adalah khotbah yang disertai dengan tindakan.” Karena itu seperti kata Pendeta (S) khotbah jangan hanya “disampaikan di mimbar terus berhenti, tetapi ditindaklanjuti lewat sikap hidup, tingkah laku. Selanjutnya kepercayaan terhadap pendeta dibangun melalui “kesucian hidup dan tingkah laku yang baik.” Terkait dengan kehidupan bermasyarakat, Pendeta (Y) Berharap “semakin bertumbuh dalam iman dan saling toleransi terhadap orang di lingkungan sekitarnya.” B. Aspek-Aspek yang Perlu Diatur Dalam Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama Dalam pandangan para pemuka agama yang diwawancarai kaitannya dengan pengaturan soal keagamaan responden sepakat bahwa yang perlu diatur bukan hanya hubungan antarumat beragama, namun juga termasuk pengaturan yang berkaitan dengan urusan di internal satu agama dan juga hubungan umat beragama dengan pemerintah. Berikut hal-hal yang perlu diatur diantaranya: 1. Hubungan Antarumat Beragama Dalam perjalanan sejarah kehidupan beragama di tanah air pasang surut tingkat kerukunan terjadi. Dari Tri Kerukunan istilah yang lahir pada zaman Menteri Agama Mukti Ali, hubungan antarumat beragama inilah yang sering mencuat dari segi katidak-rukunannya. Berbagai faktor penyebab muncul ketidakrukunan hubungan antarumat Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
185
beragama, diantara yang berkenaan dengan soal keagamaan sebagaimana hasil kajian Balitbang dan Diklat Kementeian Agama sebagai berikut: a. Penyiaran Agama Dalam hal penyiaran agama seluruh informan sepakat bahwa peraturan yang ada saat ini (SKB No. 1 Tahun 1979, pen.) selain sudah sangat lama masyarakat sudah tidak memperhatikan lagi juga peraturan ini perlu ada penyesuaian kembali, lebih dari itu semua perlu ada pengawasan dari segi materi, media yang digunakan, waktu dan tempat penyampaiannya. Hal-hal yang perlu diatur dalam penyiaran agama antara lain: 1. Penyiaran agama dilakukan untuk meningkatkan keyakinan dan memperluas pengetahuan agama, tidak untuk tujuan konversi agama; 2. Dilakukan melalui pendidikan agama; 3. Ditujukan kepada umat yang seagama; 4. Ditempat sesuai agamanya/yang dimiliki oleh kelompok/komunitas agama yang bersangkutan; 5. Dilarang penyiaran agama melalui penyebaran panflet dan atau media masa yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada; 6. Penggunaan speaker tidak ketenangan umat beragama.
boleh
mengganggu
Untuk membangun kerukunan itu telah dikembangkan program siaran di TVRI pada minggu kedua (setiap bulan). Bahkan untuk membina kerukunan itu, seperi penuturan Pendeta (S) “ada khotbah yang 186
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
menunjukkan antaragama.”
keunikan
seperti
perbandingan
Sadar atau tidak disadari, seperti ungkap Pendeta (S), memang “pernah” pendeta dalam berkhobah menyinggung agama lainnya. Menurut Pendeta (S) “dalam khotbah jemaat diarahkan untuk melakukan dan juga menerapkan bukan hanya kepada sesama jemaat tetapi juga kepada [penganut] agama lainnya sehingga terjalin toleransi.” Untuk menghindari konflik, caranya menurut Pendeta (S) yaitu “jangan menyingggung agamaagama lainnya, sebab semua orang [men]cari keselamatan.” Kendatipun demikian beberapa pendeta menjelaskan, tidak dipungkiri, yaitu ada saja isi khotbah yang menilai agama lainnya, walaupun secara umum di Palangka Raya, toleransi antarumat beragama cukup tinggi. Dan dalam kaitan ini ada khotbah berisi kerukunan beragama yang disiarkan pada minggu kedua di RRI. b. Pendirian Rumah Ibadat Pada umumnya para pemuka menyetujui bahwa pendirian rumah ibadat perlu diatur sesuai dengan daerah. PBM tahun 2006 sudah cukup membantu saat ini namum perlu ditingkatkan statusnya baik berdiri sendiri maupun diintegrasikan menjadi Undang-undang dan mencakup urusan keagamaan yang lain. Di Kalimantan Tengah diantara anggota FKUB saling bekerjasama termasuk dalam pengajuan izin rumah ibadat tidak menerapkan 100% PBM tahun 2006, yang penting ada tanah tempat dimana akan dibangun, izin dari masyarakat sekitar maka akan diberikan rekomendasi untuk Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
187
mendirikan rumah ibadat. Pada umumnya di Kalimantan Tengah pendirian rumah ibadat sudah sesuai dengan PBM tahun 2006. c. Penyelenggaraan Peringatan Hari Besar Keagamaan 1. Tradisi yang baik selama ini berjalan di Kalteng dimana pemerintah memfasilitasi perayaan hari besar keagamaan, budaya saling kunjung-mengunjungi berjalan seperti yang baru saja terjadi perayaan Hari Raya Nyepi, setidaknya di kalangan pemuka agama yang tergabung di dalam FKUB; 2. Dalam penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan, di dalamnya tidak boleh ada unsur ibadat/ritual agama yang dirayakan/diperingati; 3. Pada dasarnya dihadiri oleh pemeluk agama yang bersangkutan, namun dapat dihadiri oleh pemeluk agama lain berdasarkan asas kekeluargaan; 4. Jika mengundang umat lain hendaknya dalam Surat Undangan dicantumkan susunan acaranya; 5. Diselenggarakan sebagai sarana peningkatan penghayatan dan pengamalan agama serta membina kerukunan umat beragama; 6. Biaya penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan pada dasarnya menjadi tanggungjawab pemeluk agama yang bersangkutan, namun umat lain dapat memberikan sumbangan atas dasar suka rela; 7. Jika suatu agama sedang merayakan hari besar sebaiknya jangan dirayakan pada fasilitas umum (memperhatikan tempat dan waktu)
188
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
d. Pendidikan Agama 1. Perlu penegasan kembali UU No. 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional yang menyangkut pendidikan agama; 2. Pendidikan agama diajarkan oleh pendidik yang seagama; 3. Pendidikan agama selain bertujuan untuk meningkatkan keimanan ketakwaan sesuai ajaran agamanya, juga untuk menumbuhkan dan mengembangkan rasa toleransi terhadap umat beragama lain; e. Pemakaman Jenazah 1. Pemakaman jenazah dilaksanakan sesuai ajaran agama orang yang bersangkutan; 2. Dalam hal jenazah tidak diketahui agamanya, pemakamannya dilakukan berdasarkan kesaksian keluarga terdekat, atau sesuai ajaran agama mayoritas masyarakat setempat dan oleh sebab itu pencantuman identitas agama di dalam KTP diperlukan; 3. Tempat pemakaman di Palangka Raya sudah diatur oleh pemerintah setempat sesuai dengan agama yang dianut yaitu penyediaan lahan oleh pemerintah dan ini perlu dilakukan secara nasional; f.
Bantuan Keagamaan Luar Negeri kepada Lembaga/ormas Keagamaan 1. Jika hal ini perlu juga diatur maka perlu penyesuaian dengan Undang-undang keormasan yang sudah ada;
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
189
2. Tatacara penerimaan bantuan Luar Negeri mungkin yang perlu diatur; 3. Jenis bantuan dapat berupa uang, tenaga rohaniwan atau bantuan lain; 4. Transparansi penggunaan bantuan (ada laporan), termasuk tenggang waktu (lamanya) tenaga rohaniwan. g. Perkawinan Beda Agama 1. Perkawinan hanya dapat dilakukan dengan orang yang seagama ini sudah tercantum di dalam UU No. 1 Tahun 1974; 2. Apabila di kemudian hari salahsatu pihak (suami atau isteri) berpindah agama lain, maka orang tuanya tidak dapat memaksakan anaknya untuk mengikuti agamanya; 3. Berbeda dengan agama Islam dan Kristenya yang tidak mengakui adanya pernikahan beda agama, dalam agama Hindu dan Budha memperbolehkan adanya pernikahan beda agama ini juga perlu mendapat perhatian. h. Pengangkatan/adopsi anak 1. Jika agama antara anak angkat dengan orang tua angkat berbeda, maka orang tua angkat tidak boleh memaksakan agamanya untuk diikuti anak angkatnya (mengikuti agama orangtua sebelum usia 17 tahun); 2. Pendidikan agama anak angkat menjadi tanggungjawab orang tua angkatnya dan dididk sesuai dengan agamanya;
190
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
3. Yang dimaksud dengan pengangkatan anak baik yan dilakukan secara individual maupun yang dilakukan oleh kelompok/yayasan. i. Penyalahgunaan atau Penodaan Agama 1. Pengaturan soal penodaan agama ini perlu disesuaikan dengan Unadng-undang yang ada UU No. 1/PNPS tahun 1965; 2. Larangan mengajak/mempengaruhi orang lain untuk melakukan penafsiran yang menyimpang dari pokok ajaran agamanya termasuk di dalamnya ucapan; 3. Larangan mengajak/mempengaruhi orang lain untuk melakukan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok ajaran agamanya; 4. Simbol-simbol yang digunakan tidak pada tempatnya, misalnya ada simbol-simbol agama Buddha yang ditaruh bukan pada tempatnya. j. Tranparansi Informasi Tranparansi informasi keagamaan dipandang perlu juga diatur agar tidak terjasdi saling curiga di antara penganut umat beragama dan dapat memberikan kemudahan kepada pemerintah di dalam memberikan pelayanan keagamaan. Hal-hal yang perlu diatur menurut informan misalnya berkenaan dengan jumlah pemeluk suatu agama, jumlah rumah ibadat dan hal lain yang berkenaan dengan kepentingan umum. 2. Hubungan Internal Umat Beragama Sebagian informan, misalnya dari pemuka agama Buddha (S), melihat masih ada kekisruhan diantara intern Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
191
pemeluk satu agama dan jika diurus pemerintah akan lebih sulit karena ada keberpihakan dari pihak yang berkuasa padahal seharusnya pemerintah memfasilitasi secara adil (proforsional). Namun dalam diskusi disadari jika tidak ada wadah yang memfasilitisai penyelesaian kekisruhan yang ada maka akan terjadi ketidakpastian dan berlarut-larut untuk perlu juga diatur dalam satu peraturan yang mengikat. Pengaturan dimaksud sematamata yang bekenaan dengan intraksi sesama bukan soal doktrin agama. Pemuka agama Hindu (R) mengatakan, aturan sekedar aturan tetapi sosialisasi kurang. Begitu turun pada akar rumput tidak dirasakan. Aturan yang dilakukan sejauh mana tidak terlalu penting, yang penting adalah bagaimana sosialisasinya. Saat ini peraturan ada namun tidak ada sangsi yang jelas. Namun yang menjadi pertanyaan, jika ada sangsi pada umat, apakah nantinya tidak menjadi masalah. Hal ini dimaksudkan adalah interaksi sosial bukan pada substansinya karena selama ini hanya aturan tetapi tidak ada sanksi. Inti dari persetujuan para informan terhadap perlunya peraturan yang mengatur sampai pada tahap internal satu agama adalah hal-hal yang berkenaan dengan intraksi sosialnya bukan doktrin agamanya. Misal soal persyaratan pendirian suatu kelompok/aliran/organisai di dalam satu agama. 3. Umat Beragama dengan Pemerintah Pemuka Buddha (S) mengatakan, perlunya netralitas pemerintah terhadap semua aliran agama karena selama ini masih terlihat ada unsur kepentingan termasuk dalam 192
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
instansi pemerintah sendiri, Lebih jauh (S) mengatakan, dalam agama Buddha sendiri jika pemimpin di Jakarta (Ditjen Bimas Buddha yang berkuasa dari golongan tertentu (mis: Teravada) maka akan lebih memperhatikan golongannya dari pada yang lain. Pemuka Hindu (R) mengatakan, memberikan apresiasi pada pemerintah, dalam hal pembinaan tetapi karena ada rasa minoritas sehingga secara intern sering di adu. Diharapkan pemerintah lebih tajam kepada substansi bukan kepentingan. Selama ini umat Hindu di Kalimantan Tengah merasa seperti dikerdilkan sehingga mengganggu kerukunan minimal tidak berat sebelah dan perlu adanya kerjasama antara kementrian agama dengan pemerintah daerah. Pemuka Kristen pendeta (Y) mengatakan di Kalimantan Tengah sangat menghargai fungsi Bimas Kristen walaupun baik di kota Palangka Raya dan empat kabupaten masih belum ada. Pemerintah sangat mendukung Panitia Hari Besar Kristiani (PHBK) dan juga Badan Musyawarah Antar Umat Kristiani (Bamukri). Lebih lanjut pendeta (S), mengatakan, pemerintah tingkat provinsi di Kalimantan Tengah bekerjasama dengan PHBK dimana PHBK menempatkan dan merekomendasikan unsur-unsur pemerintah di PHBK melalui kegiatankegiatan yang tejalin dan memfasilitasi dan tidak mendeskriditkan apapun termasuk pengurusan IMB. Kesimpulan yang dapat ditangkap adalah informan setuju ada pengaturan hubungan antarumat beragama dengan pemerintah dan lebih rinci dapat jabarkan dalam bentuk hak dan kewajiban bagi masing-masing.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
193
C. Respons Kuisoner Respons yang terdiri atas 27 orang terekam dalam jawaban mereka terhadap kuesioner sebanyak 8 butir dengan pola respons Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Tidak Tahu (TT). Ke-8 butir tersebut menyingkap efek hubungan antar umat beragama berdasarkan persepsi para pemuka agama berkaitan dengan kerukunan umat beragama di Palangka Raya. Dalam upaya penataan dan penertiban hubungan di bidang keagamaan antarumat beragama, maka pengaturan tentang hubungan antar umat beragama adalah urgen dilakukan.. Asumsi ini diperkuat data yaitu kecenderungan jamaat mayoritas (92,6 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu segelintir (7,4%) yang menyatakan tidak tahu. Berkenaan dengan pengaturan tentang hubungan antar umat beragama bermanfaat untuk meningkatan kerukunan hidup beragama bagi umat beragama. (92,6 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu segelintir (7,4%) yang menyatakan tidak setuju. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur/membuat regulasi mengenai hubungan antarumat beragama (74,1%0 yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (18,5%) yang menyatakan tidak setuju, dan segelintir (7,4%) yang menyatakan tidak tahu. Bentuk regulasi tersebut berupa: Peraturan Menteri Agama; (14,8%) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu segelintir (7,4%) yang menyatakan tidak setuju; SKB 194
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Menteri Agama dan Menteri terkait; (7,4 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (11,1%) yang menyatakan tidak setuju, Peraturan Presiden; (3,7 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (7,4%) yang menyatakan tidak setuju, Surat Keputusan (SK) Presiden; (3,7 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (7,4%) yang menyatakan tidak setuju, dan undang-undang (59,26 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (7,4%) yang menyatakan tidak setuju. Untuk upaya pemeliharaan hubungan antar umat beragama, perlu dilakukan pengaturan terhadap aspekaspek: Penyiaran agama (88,89 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (7,4%) yang menyatakan tidak setuju (3,7 %) mengatakan tidak tahu; Pendirian rumah ibadat (85,18 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (7,4%) yang menyatakan tidak setuju; Penyelenggaraan perayaan/peringatan hari besar keagamaan (81,47 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (3,7%) yang menyatakan tidak setuju; Pendidikan agama (85,18 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (7,4%) yang menyatakan tidak setuju; Pemakaman jenazah (77,78%) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu segelintir (11,1%) yang menyatakan tidak setuju dan selebihnya yaitu segelintir (3,7%) yang menyatakan tidak tahu; Bantuan keagamaan Luar Negeri kepada lembaga/ormas keagamaan; Bantuan keagamaan Luar Negeri kepada lembaga/ormas keagamaan (77,78%) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (7,4%) yang menyatakan tidak setuju dan segelintir (11,1%) yang menyatakan tidak tahu.; Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
195
Perkawinan antarumat yang berbeda agama (77,78 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (14,8%) yang menyatakan tidak setuju; Pengangkatan anak (74,07 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (18,5%) yang menyatakan tidak setuju; Penyalahgunaan dan atau penodaan agama; (29,6 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (69,94%) yang menyatakan tidak setuju; Bagi para pelanggar peraturan pemerintah, perlu dikenakan sanksi hukum terhadap pelanggarnya sesuai jenis dan tingkat pelanggaran yang dilakukan 100 % responden menyatakan setuju. Pemeliharaan hubungan antar umat beragama menjadi tanggungjawab pemerintah bersama masyarakat/umat beragama secara bersama-sama (96,3 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (3,7 %) yang menyatakan tidak setuju. Pemeliharaan hubungan antar umat beragama menjadi tanggungjawab pemerintah (37,03 %) yang mengaku setuju, dan selebihnya yaitu (62,96%) yang menyatakan tidak setuju
196
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
E. Diskusi ANGKET PENELITIAN (DALAM BENTUK ANGKA) HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG URGENSI PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA TAHUN 2014 Provinsi
:
Kabupaten/Kota :
Nama Responden
:
Organisasi/lembaga:
Mohon dijawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memilih salahsatu alternatif jawaban (setuju, tidak setuju, tidak tahu) dengan cara memberi tanda silang (X) atas jawaban yang dipilihdalam kolom jawaban yang tersedia.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
197
198
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
PENELITIAN HUBUNGAN ATARUMAT BERAGAMA Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Kota Jayapura Papua Oleh: Haidlor Ali Ahmad Pendahuluan Kerukunan umat beragama merupakan kondisi yang dinamis seiring dengan dinamika kehidupan umat beragama itu sendiri. Dinamika tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh factor keagamaan semata, tetapi juga dipengeruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama terindikasi ada sejumlah factor nonkeagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi dan social budaya. Adapun faktor keagamaan yang mempengaruhi ada sebelas aspek, yaitu: penyiaran agama, pendirian rumah ibadah, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan antarpemeluk berbeda agama, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok keagamaan sempalan dan transparansi informasi keagamaan (Badan Litbang dan Diklat Kemenag, 2007). Kasus-kasus konflik bernuansa agama pada hakekatnya juga terkait dengan persoalan kebebasan beragama. Kebebasan beragama bagi bangsa Indonesia Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
199
merupakan hak individu yang secara konstitusional dijamin oleh Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yakni dalam Pasal 28E (1) dan (2) yang menyebutkan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” dan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Kebebasan beragama tersebut bahkan dijamin oleh negara, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 29 (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sekalipun demikian, hak dan kebebasan beragama dimaksud bukan berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa mempertimbangkan kepentingan dan ketertiban umum dalam tatanan masyarakat yang demokratis. Dalam UUD 1945 Pasal 28J (1) dan (2) ditegaskan: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”, dan “Dalam mejalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. UUD 1945 Pasal 28J (2) di atas secara jelas menegaskan bahwa untuk menjalankan hak dan kebebasan individu – termasuk kebebasan beragama – perlu adanya pembatasan oleh pemerintah yang ditetapkan melalui regulasi/undangundang yang wajib ditaati oleh setiap warga negara. 200
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Berdasarkan paparan di atas, maka inisiatif pemerintah melakukan regulasi dan pengaturan terkait hubungan antarumat beragama dalam hidup beragama pada dasarnya bukan bermaksud membatasi hak beragama seseorang, melainkan justru sebagai upaya untuk memberikan pelayanan masyarakat/umat beragama dalam menjalankan hak dan kebebasan beragama. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hefner, sebagai berikut: “Demokrasi mustahil tanpa modernisasi, dan modernisasi menuntut homogenisasi kebudayaan politis. Jika homogenitas politik ini tidak atau belum ada, negara harus menjadi ujung tombak dalam menanamkan sebuah kebudayaan umum di antara warga negaranya yang beraneka ragam”. (Robert W. Hefner, 2007: 21). Dalam konteks proses penyiapan regulasi oleh pemerintah itu maka salah satu program penelitian dan pengembangan yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2014 adalah penelitian “Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama”. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pendapat pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama? 2. Bagaimana bentuk pengaturan tentang hubungan antarumat beragama yang akan disiapkan? 3. Aspek-aspek apa saja yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama? Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
201
Tujuan Penelitian 1. Untuk menghimpun informasi dari para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama. 2. Untuk mengetahui bentuk pengaturan tentang hubungan antarumat beragama. 3. Untuk mengetahui aspek-aspek yang perlu diatur dalam hubungan antar umat Bergama. Sekilas Kota Jayapura Kota Jayapura terletak pada kordinat 137ᵒ 27’-141ᵒ 41’ BT dan 1ᵒ 27’-3ᵒ 49’ LS. Luas wilayah Kota Jayapura 940 km² (0.30% dari seluruh luas wilayah Provinsi Papua). Kota Jayapura terbagi menjadi lima distrik, Distrik Muara Tami merupakan distrik dengan wilayah terluas (626,7 km²). Sedangkan Distrik Jayapura Selatan merupakan distrik terkecil (43,4 km²). Wilayah Kota Jayapura dibatasi oleh: Lautan Pasifik di sebelah utara; Negara Papua New Guinea (PNG) di sebelah timur; Kabupaten Keerom di sebelah selatan; dan Kabupaten Jayapura di sebelah barat.(Kota Jayapura Dalam Angka Tahun 2013). Jumlah penduduk Kota Jayapura berdasarkan data tahun 2012 mencapai 273.928 jiwa yang tergabung dalam 64.606 rumah tangga. Penduduk tersebut terdiri dari 129.186 penduduk perempuan dan 144.742 penduduk laki-laki. Jumlah penduduk laki-laki 12% lebih banyak dibandingkan penduduk perempuan. Penduduk Kota Jayapura mengalami pertambahan 1,08% dari tahun sebelumnya. Jumlah penduduk terbanyak di Distrik Abepura (77.995 jiwa) dan Distrik Muara Tami berpenduduk paling sedikit (11,916 jiwa). Dengan luas wilayah Kota Jayapura 940 km² maka kepadatan penduduk 202
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
hanya mencapai 291 jiwa/km². (Kota Jayapura dalam Angka Tahun 2013). Penduduk Kota Jayapura secara kasat mata tampak cukup heterogen, seperti pada umumnya kota-kota di Indonesia, meski tidak ada data tentang jumlah etnis (penduduk asli dan pendatang). Zulham Ma’mun menyebutnya sebagai “Indonesia Mini” karena semua etnis ada di Kota Jayapura. (Wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14). Kehidupan Sosial-Ekonomi Secara ekonomi Provinsi Papua sangat potensial, selain tanahnya subur dan penduduknya masih jarang, di dalam perut bumi tanah Papua sangat kaya aneka tambang, antara lain yang menjadi primadona adalah emas dan tembaga. Oleh karena itu, wilayah Indonesia paling timur ini menjadi sasaran para pendatang (transmigran) baik yang merupakan program pemerintah maupun secara individu, Mereka yang datang secara individu ada yang bekerja di pemerintahan, perusahaan swasta, wirausaha, baik yang masuk kategori industri besar, maupun industri kecil (home industry), dan usaha dangang besar maupun kecil. Usaha dagang kuliner termasuk kategori penjaja makanan kaki lima di Papua cukup menjanjikan. Informan kami mengatakan “dagang makanan di Papua tidak ada yang tidak laku”. (Wawancara dengan Syamsudin, 28/3/14). Hasil penelitian kami di Desa Temu Wangi, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (1991) menemukan adanya pedagang pakaian antarpulau yang berdagang hingga ke tanah Papua, meskipun mereka hanya pedagang kecil yang menjajakan dagangannya secara berkeliling dari kampung ke Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
203
kampung, tetapi dapat memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Sehingga mereka dapat merubah kehidupannya di Klaten dari kalangan miskin menjadi warga yang berkecukupan. Kehidupan Sosial-Budaya dan Kearifan Lokal Di Kota Jayapura banyak paguyuban-paguyuban. Keberadaan paguyuban-paguyuban dapat mendorong harmonisasi karena ada komunikasi yang cukup baik dengan para anggota dan ada pertemuan anggota secara rutin.(Wawancara dengan Syamsudin, 28/3/14). Kerukunan di Papua sudah dibangun sejak jaman nenek moyang yang bersmber dari kearifan lokal masyarakat Fak Fak dan Raja Ampat, yakni “satu tungku tiga batu” (pemerintah, adat dan agama). (Wawancara dengan Iribaram, 10/3/14 dan Khafidz, 3/4/14). Di Fak Fak dan Raja Ampat 132 sudah menjadi tradisi dalam membangun rumah ibadah masyarakat selalu saling membantu meskipun berbeda agama. Kearifan lokal ini bersumber dari kehidupan sistem kerajaan di Fak Fak yang berawal dari titah raja agar masyarakat saling bantu membantu (gotong royong) dalam semua kegiatan termasuk membangun rumah ibadat. Selain itu kerukunan di Fak Fak juga terbentuk dari adanya cross link antara marga dan agama, seperti masyarakat Batak. Misalnya, di Fak Fak fam Patipi ada yang beragama Islam, Kristen dan Katolik. (Wawancara dengan Iribaram, 10/3/14).
132 Meskipun Kabupaten Fak Fak dan Raja Ampat secara administrasi kepemerintahan sekarang masuk wilayah Papua Barat, tetapi wilayah budaya dan persebaran pengaruhnya tidak bisa dibatasi oleh pembagian wilayah kepemerintahan.
204
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Kondisi Keamanan Para pejabat pemerintah dan beberapa informan kami banyak yang mengatakan bahwa Papua merupakan “zona damai”. (Wawancara dengan Iribaram, Andy dan Syamsudin, 10/3/14). Demikian pula pada waktu kami mengikuti kunjungan Dialog Multi Kultural ke Papua (2008) seorang pejabat yang menerima kami di Kantor Kemenag Kota Jayapura mengatakan “Kota Jayapura kota yang aman. Bapak jangan kuwatir soal keamanan, di sini tidak ada copet tidak seperti di Jakarta, Bapak jalan-jalan hingga larut malam pun dijamin aman-aman saja”. Indikator keamanan Kota Jayapura antara lain toko-toko banyak yang buka sampai larut malam bahkan pagi hari. Karena tidak pernah ada gangguan dari perampok, gangguan yang ada hany dari para pemabuk. (Wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14). Namun belakangan ini berbagai macam kerusuhan telah muncul di Kota Jayapura. Sebagaimana yang diberitakan Metro TV, di Abepura telah terjadi perkelaian antarpemuda, berupa penyerangan yang dilakukan kelompok pemuda gunung terhadap kelompok pemuda pendatang dengan menggunakan anak panah dan parang. Konflik antarkelompok pemuda ini berawal dari adanya pesta miras. (Metro TV, 29/3/14, jam 09.03 WIT). Minuman keras sering menjadi pemicu timbulnya kekerasan, (Wawancara dengan Wayan, 10/3/14, Agus, Syamsudin, dan Ma’mun, 29/3/14). Belakangan ada upaya berbagai fihak untuk mengurangi beredarnya miras, melalui razia, mimbar-mimbar rohani dan tulisan dalam spanduk “Orang Mabuk Tidak Masuk Surga” yang terpampang di depan sebuah gereja sebagaimana peneliti pernah melihat sendiri. Tapi upaya tersebut belum membuahkan hasil secara Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
205
maksimal, kerena razia yang dilakukan pihak berwajib baru sebatas pedagang kecil, sementara agen-agen besar miras belum tersentuh. (Agus, 29/3/14). Informan kami menambahkan, pada tahun 2012 yang lalu terjadi kasus penembakan dilakukan oleh anggota OPM di tengah kota di dekat kantor polda, di Abepura dan di Polmak. (Wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14). Faktor utama konflik di Papua adalah faktor kesukuan. Faktor agama hampir tidak ada. Konflik yang sering terjadi antara etnis Papua dan non-Papua. Kondisi seperti Poso/Ambon bisa saja terjadi di Papua karena di Papua “suku identik dengan agama” (Wawancara dengan Kuntara, 2/4/14). Menurut hemat peneliti, konflik antaragama bisa saja terjadi di Papua –meski beberapa informan kami mengatakan Papua aman, Papua “zona damai”, masyarakat Papua sangat toleran, toleransi di Papua bersifat alamiah– karena gejalagejala ke arah konflik antaragama semakin tampak jelas. Dahulu peperangan antarkampung yang dilakukan orang gunung merupakan bagian dari ritual untuk mengembalikan kesuburan tanah, dan peperangan ini hanya terjadi di wilayah pegunungan. Dalam perkembangannya peperangan yang dilakukan orang-orang gunung tidak hanya terbatas ritual saja, tetapi ada juga yang atas dasar balas dendam. Belakangan ini mobilitas orang gunung sudah sedemikian rupa, mereka sudah banyak yang tinggal di kota, meski mereka tetap mempertahankan budaya mereka tinggal dan membangun rumah-rumah sederhana di bukit-bukit yang mengelilingi kota Jayapura. Peperangan lebih tepatnya konflik disertai dengan kekerasan yang dilakukan orang gunung tidak lagi sebatas sesama orang gunung, tetapi telah melebar berhadapan dengan orang pantai (sesama Papua) bahkan juga 206
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
dengan pendatang. Sedangkan di Papua “etnis identik dengan agama”. Hal ini hendaknya menjadi perhatian berbagai pihak untuk mengantisipasi agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Karena sebelum terjadi konflik di Ambon, menurut Dr Basman sebenarnya sudah tampak gejalagejalanya. Kehidupan Keagamaan Agama Islam merupakan agama yang pertama masuk ke masuk ke P Papua, meski tidak diketahui secara pasti pada abad berapa. Namun antara abad XIII dan XIV Sultan Masur dari Tidore pernah melakukan perjalanan hingga Manokwari. Kekuasaan Kesultanan Tidore sampai Ke Papua, Papua New Guinea (PNG) dan daerah-daerah kepulauan sebelah timur PNG, bahkan ada yang mengatakan sampai P Nuku Lae-Lae di dekat Amerika Latin. Namun kerena di pusat pemerintahan kesultanan Tidore sering terjadi peperangan sehingga wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan menjadi kurang bahkan sama sekali tidak terkontrol. Agama Islam di Papua banyak dianut oleh penduduk asli di wilayah Fak Fak dan Raja Ampat. (Wawancara dengan Khafidz, 3/4/14). Sedangkan penganut agama Islam di Kota Jayapura sekarang pada umumnya adalah warga pendatang dari luar P Papua, meski tidak sedikit pula penduduk asli yang menganut agama Islam. Sedangkan agama Kriten datang ke tanah Papua dibawa oleh dua orang missionaries Jerman, Otto dan Gesler yang meminta ijin kepada Sultan Tidore tahun 1901. Kemudian dua orang missionaries tersebut dikawal oleh
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
207
pasukan kesultanan Tidore hingga sampai di Manokwari. (Wawancara dengan Khafidz, 3/4/14). Jumlah penganut agama secara prosentase sebagai berikut: penganut agama Kristen 42,18%, Islam 32,87%, Katolik 23,77% dan sisanya penganut Buddha dan Hindu. Semua penganut agama yang ada di Kota Jayapura telah memiliki rumah ibadah yang memadai sesuai dengan representasi jumlah umatnya. Sedangkan jumlah rumah ibadah yang tersedia yaitu: 270 gereja Kristen; 122 masjid; 58 gereja Katolik; 3 wihara dan 1 pura. (Kota Jayapura dalam Angka Tahun 2013). Hubungan antar pemuka agama dan pemuka adat cukup harmonis. Papua tanah damai untuk semua orang. Kelima agama yang ada selalu berupaya mengantisipasi terjadinya tindakan kekerasan. Timbulnya permasalahan di tingkat akar rumput. (Wawancara, Iribaram, 10/3/14). Keharmonisan di tingkat pemda juga cukup baik, misalnya ada “doa damai bersama” semua umat beragama ikut hadir bersama-sama. (Wawancara dengan Wayan, 10/3/14). Menurut Sulham Ma’mun, meskipun agamanya termasuk minoritas, tapi tidak ada kesulitan untuk membangun rumah ibadah di Papua, tidak seperti di daerah lain (off the record). (Wawancara, Ma’mun, 29/3/14). Konflik yang muncul biasanya bersifat pribadi karena persoalan adat dan etnis. Pemicunya para pemuda yang akrab dengan miras. (Wawancara”, Wayan, 10/3/14). Sebagaimana konflik antarpemuda di Abepura antara kelompok pemuda gunung yang menyerang kelompok pemuda pendatang, yang bermula dari pesta miras (Metro TV, 29/3/14, jam 09.3 WIT).
208
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Namun kadang-kadang masalah pemuda yang tidak ada hubungannya dengan agama, justru isu agama yang dimunculkan. (Wawancara, Wayan, 10/3/14). Ada pula tidak kekerasan yang tidak dapat diketahui motif dan masalahnya. Sebagaimana pembunuhan yang terjadi di Komplek TNI di Angkasa, seorang Muslim yang sedang menuju masjid untuk shalat subuh dipenggal kepalanya. Peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu itu tidak bisa diunngkap motif dan akar masalahnya, kerena pelakunya tidak diketemukan hingga sekarang. (wawancara, Ma’mun, 29/3/14). Setelah terjadinya tindakan pembunuhan tersebut kemudian ada pertemuan dari berbagai pemuka agama dan semua pemuka agama mengutuk perbuatan keji tersebut. Dari pihak pemda, ada himbauan agar peristiwa seperti itu tidak akan terulang kembali, karena Papua sebagai “zona damai”. (Wawancara, Ma’mun, 29/3/14). Adapun jika terjadi konflik non-agama kemudian dimunculkan isu keagamaan, maka para pemuka agama menyampaikan kepada umat masingmasing agar tidak mudah termakan isu dan masyarakat dihimbau agar tetap beraktivitas seperti biasa. Peran para pemuka agama ini cukup efektif, karena masyarakat Papua sangat taat kepada tokoh agamanya. (Wawancara, Iribaram, 10/3/14). Selain para pemuka agama, pemuda lintas agama juga ikut serta mengantisipasi timbulnya dampak dari ulah provokator yang sering menghembuskan isu-isu agama. Misalnya jika muncul isu-isu agama para pemuda lintas agama selalu berupaya meredam gejolak emosi para pemuda dengan mengecek ke lapangan. Belakangan mereka saling memberikan nomor HP sehingga mempermudah kerja mereka untuk mengecek isu-isu konflik keagamaan yang biasanya Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
209
disampaikan melalui SMS. Sekarang pemuda lintas agama sudah melangkah jauh lebih maju dengan melakukan dialog antar agama. (Wawancara, Iribaram, 10/3/14). Kerukunan Umat Beragama Keadaan kehidupan keagamaan di Papua umumnya dan khususnya Jayapura normal-normal saja, (Wawancara, Kuntara dan Jasmani, 2/4/14). Toleransi antarumat beragama cukup tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Toleransi di Papua bersifat alamiah. Agama mayoritas di Papua adalah Kristen, tetapi umat beragama lain tidak pernah mengalami kesulitan dalam upaya membangun rumah ibadah. Di Papua tidak pernah ada penolakan pembangunan rumah ibadah, 133 apalagi sampai menimbulkan tindakan kekerasan. (Wawancara, Kuntara, 2/4/14). Di Papua hubungan lintasagama tidak ada masalah. Karena pada dasarnya orang Papua takut (hormat) kepada orang beribadah. Mereka ingin hidupnya lebih baik dari hari ke hari. (FGD, Mofu 3/4/14) Menurut Sandra Hamadiy kunci kerukunan pada tokoh agama masing-masing, karena ajaran agama yang disampaikan oleh para tokohnya akan mempengaruhi cara pandang umat. (FGD, Hamadiy, 3/4/14). Di Papua justru yang sering muncul masalah adalah masalah intern, antara lain dengan masuknya faham-faham baru, seperti Islam Modernis (Global Ikhwan), pimpinan Abuya Attamimi yang berpusat di Sentani. Aliran ini oleh MUI setempat sudah dinyatakan sebagai aliran “sesat”. Selain 133 Pernah terjadi rencana penggusuran masjid di Jl. Merak Putih Buper yang kemudian didialogkan dengan Wakil Gubernur dalam Dialog Multi Kultural yang diselenggarakan Puslitbang Kehidupan Kegamaan (2007) sehingga masjid tersebut tidak jadi digusur.
210
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
itu juga ada aliran yang dikenal dengan nama Al Ghozi. Ajaran atau fahamnya yang meresahkan umat, antara lain, shalawat dianggap bidah, tidak boleh melakukan dzikir di masjid dengan bersuara. Aliran ini disponsori oleh Radio SQ. (Wawancara, Khafidz, 3/4/14). Pandangan Beragama
tentang
Pengaturan
Hubungan
Antarumat
Peraturan tentang hubungan antarumat beragama yang ada masih relevan. Meski ada hal-hal tertentu yang perlu ditambah. Misal, anggota FKUB perlu rekomendasi dari kementerian agama. Karena Kristen memiliki banyak denominasi, sehingga tidak terwakili di FKUB (wawancara dengan Jasmani, 2/4/14). a.
Urgensi Hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antarumat perlu ada aturan. Terdapat 8 orang yang mejawab perlu. Dengan alasan yang berbeda-beda, sebagai berikut: Adanya aturan ada landasan hukum untuk bertindak. (Wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14); Pengaturan harus lebih bijak, fleksibel, memperhatikan konteks kedaerahan dan keberagaman. Karena kebijakan yang digeneralisasi atas dasar persepsi mayoritas akan menimbulkan sikap diskriminasi. (Wawancara dengan Wanggai, 31/3/14); Sandra Hamediy sependapat dengan Wanggai, peraturan tidak digeneralisir. (Hamediy dalam FGD, 3/4/14); Kehidupan yang baik membutuhkan adanya aturan. Tetapi aturan harus berdiri sebagai atturan, tidak ada muatan lain. (Wawancara dengan
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
211
Yoku, 1/4/14); Aturan yang sudah ada dieruskan, tapi perlu direvisi sehingga dapat menjamin kerukunan yang lebih maksimal. (Wayan dalam FGD, 3/4/14). Peraturan diperlukan untuk melindungi pihakpihak tertentu yang minoritas, juga perlindungan dari konflik antarsuku, karena suku identik dengan agama. Konflik antarsuku bisa saja merembet kepada konflik antaragama. Sehingga perlu ada perlindungan kepada suku minoritas (Wawancara, Kuntara, 2/4/14); Masyarakat masih membutuhkan pengaturan (Wawancara, Jasmani, 2/4/14). b.
Manfaat Adanya aturan tersebut sangat bermanfaat, sehingga agama yang ada tidak merasa dianaktirikan. Sehingga semuanya bisa hidup rukun. Sebaliknya, jika tidak ada aturan, maka yang dijadikan acuan hanya “ilmu kira-kira” dan menurut pendapat masing-masing. (Wawancara, Ma’mun, 29/3/14). Agar umat memiliki rambu-rambu dalam bertindak. (Wawancara, Wanggai, 31/3/14). Aturan kita perlukan demi ketenteraman. (Wawancara dengan Yoku, 1/4/14). Agar bisa lebih tertib, lebih teratur. Kehidupan yang harmonis akan tercapai kalau aturan dilaksanakan secara baik, dan yang melanggar diberi sanksi yang memebrikan efek jera. (Harun dalam FGD, 3/4/14). Menurut Kuntara, karena toleransi dalam kehidupan keagamaan di Papua bersifat alamiah, maka peraturan tentang hubungan antarumat hanya sebagai pelengkap saja. Agar yang alamiah semakin teratur, membudayakan semua fihak, tokoh agama dan akar
212
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
rumput. Sehingga semua dapat memahami tanah Papua adalah milik bersamadan semua ikut menjaga toleransi yang ada. (Wawancara, Kuntara, 2/4/14). Kewenangan Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama 1.
Kewenangan Pengaturan Terdapat 5 orang mejawab yang berhak mengatur hubungan antarumat adalah pemerintah. Ada yang memberi catatan, sebagai berikut: Yang dimaksud adalah pemda dan kankemenag setempat; Pada hal-hal tertentu pengaturannya diserahkan kepada pemda; Perlu ada kejasama dengan adat; Jika bersinergi dengan adat akan lebih baik. Wanggai mengatakan ada hal-hal tertentu yang pengaturannya diserahkan kepada pemda. Misalnya, pemberin ijin aliran keagamaan transnasional yang akan buka cabang di daerah harus ada rekomendasi dari Kementerian Agama pusat. (Wawancara denga Wanggai, 31/3/14). Jika masalah yang diatur melampau masyarakat adat maka yang mengatur adalah pemerintah. Apalagi jika berdampak konflik (Wawancara dengan Yoku, 1/4/14). Berbeda dengan pendapat Pater Darius Kuntara, perlu ada kerjasama antara pemerintah dan adat. Dimana di adat ada ondoafi (ketua adat), selain itu karena di Papua adat masih kuat dan tidak bisa diabaikan. Ini merupakan kerjasama yang menarik karena pemerintah punya dana dan ondoafi punya massa. (Wawancara, Kuntara, 2/4/14). Hampir senada dengan Kuntara, untuk bersinergi dengan adat tentu lebih baik, sesuai dengan kearifan lokal “satu
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
213
tungku tiga batu” agama).(………..). 2.
(pemerintah,
adat
dan
Bentuk Pengaturan Bentuk pengaturan yang dipilih, yang menjawab bentuk pengaturan berupa peraturan presiden 2 orang, undang-undang 2, tidak bisa menjawab 1. Alasan yang mereka kemukakan sebagai berikut: Jika peraturan yang sudah ada sekarang ditingkatkan itu akan lebih bagus. Kalau peraturan seperti yang sudah ada, kurang ditaati, karena tidak ada sangsi. Perlu ada sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera. Peningkatannya tahap demi tahap, tidak langsung berbentuk undang-undang, karena kalau langsung berbentuk undang-undang akan disorot oleh LSM dan negara-negara lain. Oleh karena itu peningkatnya sekarang cukup dalam bentuk peraturan presiden atau perpres.(Wawancara, Ma’mun, 29/3/14). Albert Yoku mengatakan hal ini harus ditanyakan kepda pakar hukum. Aturan yang mempunyai kekuatan yuridis di bawah UUD 1945 itu apa? Sementara Albert Yoku memilih bentuk undang-undang (Wawancara, Yoku, 1/4/14). Kuntara melihat peraturan menteri kurang diindahkan. Padahal peraturan menteri sudah cukup baik. Akan tetapi perlu ditingkatkan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalau perlu ditingkat menjadi undang-undang, sehingga bisa untuk menjaga toleransi. (wawancara, Kuntara, 2/4/14). Sementara Wanggai belum bisa memberikan pendapatnya tentang bentuk pengaturan, karena jika
214
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
berbentuk undang-undang yang merupakan peraturan tertinggi, dikhawatirkan akan mengekang kebebasan orang dalam beragama. Apalagi jika terdapat klausulklausul yang sensitif. Sementara peraturan menteri saja sudah mengikat. (Wawancara, Wanggai, 31/3/14). Sama seperti Hendrikus Harun yang masih menghadapi dilema untuk memilih bentuk-bentuk pengaturannya. Dia agak bingung, apa mungkin mengatur dalam bentuk undangundang, bisa terjebak masuk wilayah pribadi dianggap melanggar HAM. Mungkin bisa ditingkatkan ke perpres. (FGD, Harun, 3/4/14). Aspek-aspek yang Perlu Diatur Hendrikus Harun pada prisipnya setuju dengan semua aspek-aspek yang akan diatur. Meskipun di kalangan gereja ada keyakinan “tanpa diatur oleh negara, gereja bisa tumbuh dengan baik berdasarkan landasan teologis”. (FGD, Harun, 3/4/14). a.
Penyiaran Agama Yang menjawab penyiaran agama perlu diatur 3 orang, tidak perlu diatur 2 orang. Alasan-alasan yang mereka kemukakan sebagai berikut: Kalau tidak ada peraturan, di Papua orang miskin mudah dipengaruhi, misalnya dengan diberi “kepeng” (uang) orang dengan mudah berpindah agama. (Wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14). Dalam pengaturan penyiaran agama perlu ditambah adanya klausul penyiaran agama internal. Karena di Papua masalah yang sering muncul adalah penyiaran agama internal. (Wawancara dengan Wanggai, 31/3/14). Pater
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
215
Darius Kuntara penyiaran agama idealnya termasuk hak azasi. Siapapun punya hak untuk menyiarkan agama. Untuk menjaga toleransi diperlukan undang-undang. Undang-undang untuk melindungi hak azasi. Apabila ada seseorang ingin pindah agama tidak boleh dihalanghalangi. Meski di kalangan pemimpin agama hal itu dianggap pencaplokan. Demikian pula di tingkat akar rumput pertentangan cukup kental. Sehingga diperlukan undang-undang yang mengaturnya dan untuk mejaga kesinambungan toleransi. (Wawancara dengan Kuntara, 2/4/14). Sedangkan alasan bagi yang berpendapat bahwa penyiaran agama tidak perlu diatur, karena hal ini menyangkut sesuatu yang melampaui akal sehat. Seseorang menilai ajaran, mempercayai adanya kuasa yang besar. Seseorang mau menjadi umat agama tertentu adalah sangat pribadi. Hal itu adalah menyangkut HAM, tidak bisa dibatasi dan diatur. Kalau diatur akan menimbulkan fanatisme, dan akan melakukan intimidasi yang dapat melahirkan korban dan menimbulkan kekacauan. Termasuk memberlakukan peraturan khusus, seperti “perda syariah”, sehingga mengisolasi daerah tertentu yang diatur oleh pemuka agama, tidak bernuansa nasionalis dan menjadi ekslusif. Seperti juga di Papua Barat, ada wacana perda khusus “Manokwari Kota Injil” yang diprotes seluruh Indonesia. Soal iman tidak perlu perda. Tetapi kepercayaan yang kuat lewat kebudayaan, berjiwa Injil. Hidup dengan siapa saja boleh saja tidak perlu ada perda.(Wawancara, Yoku, 1/4/14). Penyiaran agama bebas-bebas saja, sepanjang tidak menyalahi etika (wawancara, Jasmani, 2/4/14).
216
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
b.
Pendirian Rumah Ibadah Yang menjawab pembangunan rumah ibadah perlu diatur 4 orang, yang menjawab tidak perlu diatur 1 orang. Alasan mereka sebagai berikut: Karena di Papua, bisa saja muncul kasus yang spesifik. Misalnya dalam pembelian tanah (untuk rumah ibadah) orang tua setuju, tapi anaknya belum tentu setuju. Sehingga ketika orang tuanya meninggal dunia, bisa saja anaknya menggugat tanah yang sudah dijual oleh orang tuanya untuk pembangunan rumah ibadah tersebut. Selain itu jarak antar rumah ibadah perlu juga diatur, sehingga ketika aga kegiatan di rumah ibadah yang satu tidak akan mengganggu kegiatan rumah ibadah yang lain. Kecuali kalau pengurus masing-masing rumah ibadah bisa saling kerja sama, misalnya kerjasama dengan melibatkan pemuda lintas agama dalam mengatur parkir kendaran orang-orang yang melakukan peribadatan. (Wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14). Wanggai mengusulkan penghapusan klausul jumlah orang dalam persetujuan dari masyarakat. Demikian pula persetuan masyarakat diganti dengan persetujuan pemuka agama sebagai representasi masyarakat. Dalam hal ini juga tidak perlu adanya jumlah berapa banyak pemuka agama yang menyetujuinya. (Wawancara denganWanggai, 31/3/14). Menurut Albert Yoku, di Papua orang Islam ingin membangun masjid di tengah-tengan masyarakat Kristen tidak perlu dilarang. Tetapi menyangkut jumlah orang (pengguna) itu perlu diatur. Misalnya GKI, 15 KK itu
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
217
merupakan angka dasar untuk membentuk satu jemaat. Di bawah itu disebut calon jemaat, tempat ibadahnya sangat sederhana, non-permanen atau berupa tenda. Dalam pendirian rumah ibadah jumlah orang (pengguna) yang menentukan, bukan pelarangan pendirian rumah ibadah. Pendirian rumah ibadah justru perlu diikuti kerjasama yang baik dengan umat lain. Kalau membangun rumah ibadah meimbulkan ketidaknyamanan apa enaknya. Kalau sampai menimbulkan peperangan sama saja dengan niat suci dikerjakan dengan bunuh-bunuhan. (Wawancara, Yoku, 1/4/14). Pendirian rumah ibadah masih perlu diatur. Informan kami mencontohkan di Wamena ada pembangunan sebuah gereja yang ditolak oleh masyarakat setempat. Karena ada aturan tentang pembangunan rumah ibadah maka masalah tersebut dikembalikan kepada aturannya. Informan kami mengingatkan “silahkan mendirikan gereja, tapi harus umat setempat”. Sebenarnya keberadaan peraturan tidak lain untuk melindungi umat yang sudah didominasi oleh umat tertentu. Meski pada umumnya pendirian rumah ibadah di Papua tidak dipersulit, termasuk masjid. (Wawancara, Kuntara, 2/4/14). Pendirian rumah ibadah harus didasari jumlah sekian orang itu kan menyalahi sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga tidak perlu diatur karena melanggar HAM. (Wawancara, Jasmani, 2/4/14).
218
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
c.
Penyelenggaraan PHB Keagamaan Responden yang menjawab penyelenggaraan peringatan hari besar (PHB) keagamaan perlu diatur 1 orang, yang menjawab tidak perlu di atur 5 orang. Alasan mereka sebagai berikut: Yang menjawab perlu ditur karena yang bersangkutan telah melakukan aturan yang ia buat untuk menghari terjadinya konflik. Aturan yang ia maksudkan adalah menghimbau kepada pengurus masjid yang ada di samping rumahnya agar tidak melakukan PHBI pada hari Minggu. Karena di depan masjid tersebut terdapat dua gereja, dia khawatir nanti kegiatan PHBI itu akan mengganggu kebaktian di dua gereja tersebut. (Wawancara, Ma’mun, 29/3/14). Sedangkan yang menjawab tidak perlu diatur karena merasa khawatir jika PHB keagamaan diatur akan muncul misalnya larangan dihadiri umat lain. Di Papua PHB keagamaan biasa dilakukan bersama-sama. Misalnya, doa bersama, Natal bersama, halal bi halal diselenggarakan pemprov. Jika ada pengaturan hendaknya pengatuan itu menuju kepada pembangunan kerukunan. Hal-hal yang sudah menjadi tradisi hendaknya tidak diubah.(Wawancara, Wanggai, 31/3/14). Penyelenggaraan PHB Keagamaan di Papua semuanya aman, punya relasi yang harmoni, menghargai hari-hari keagamaan sebagai hari suci bagi seiap pemeluk. Semua mengakui adanya Yang Maha Kuasa dalam kehidupannya. Keberadaan Yang Maha Kuasa dipercayai semua agama. Dalam hal ini perlu disarankan agar pemimpin-pemimpin dan uamatnya harus sama-sama
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
219
menghormati hari besar keagamaan. (wawancara, Yoku, 1/4/14). Di Papua perayaan hari besar bersifat alamiah, antarumat sudah biasa saling mengunjungi. Baik perayaan Natal maupun Idul Fitri mereka saling mengunjungi. Penggunaan loud speker untuk merayakan hari besar keagamaan bukan hanya di kalangan Muslim saja, tetapi di gereja Kristen. Sehingga perlu adanya peraturan untuk menjaga toleransi, selain untuk mengantisipasi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. (wawancara, Kuntara, 2/4/14). Penyelenggaraan PHB keagamaan tidak perlu diatur. Hal ini dikembalikan saja kepada toleransi dan masing-masing hendaknya tahu diri. (wawancara, Jasmani, 2/4/14). Dalam melaksanakan PHB keagamaan di Papua, masyarakat beragama biasanya saling menjaga parkiran. Pada PHB Kristen, pemuda Islam membantu parkiran, sebaliknya pada PHB Islam, pemuda Kristen yang menjaga parkiran. (Wawancara, Kuntara, 2/4/14; FGD, Lamtiur, 3/4/14). d.
Pendidikan Agama Yang berpendapat bahwa pendidikan agama perlu diatur 6 orang, yang tidak perlu 1 orang. Alasan mereka sebagai berikut: Karena di Papua banyak anak Kristen yang sekolah di sekolah Islam dan sebaliknya anak-anak Muslim sekolah di sekolah Kristen. (wawancara, Ma’mun,
220
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
29/3/14). Sedangkan Wanggai lebih melihat dalam pendidikan keagamaan ada kewenangan pemerintah untuk menyusun kurikulum berbasis pluralisme dan multikulturalisme dengan tetap menghargai kearifan local. (Wawancara, Wanggai, 31/3/14). Albert Yoku setuju dengan Sisdiknas, pendidikan agama perlu diatur. Pendidikan agama bagi siswa yang berbeda agama, tempatnya harus dikhususkan, seperti beribadah juga dikhususkan. Untuk menjaga agar tidak terjadi konflik antara pemimpin yayasan dengan guru agama yang berbeda. Kecuali kalau tingkat pluralism masyarakat sudah tinggi, sementara ini pandangan masyarakat masih sempit. (Wawancara, , 1/4/14). Pendidikan agama perlu diatur. Semua lembaga pendidikan harus mengacu kepada sisdiknas. Satu orang anak didik pun harus dilayani pendidikan agamanya. Pemerintah harus bertanggung jawab, harus menyediakan tenaga guru yang sesuai dengan agama anak didik yang membutuhkan. (wawancara, Jasmani, 2/4/14). Agar dalam buku-buku pegangan atau bacaan siswa tidak hanya menonjolkan agama tertentu. (Hamadiy, FGD, 3/4/14). Perlu adanya pendidikan pluralism dalam yayasan-yayasan pendidikan keagamaan. Sehingga dalam yayasan-yayasan ada keragaman. Selain itu juga disarankan agar ada materi pelajaran agama meliputi agama yang ada di lingkungan yayasan dan yayasan harus menyediakan guru-guru agama yang agamanya sesuai dengan agama yang diampu. (FGD, Lamtiur, 3/4/14). Sedangkan yang berpendapat bahwa pendidikan agama tidak perlu diatur memberikan alasan bahwa Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
221
pendidikan agama cukup dipercayakan kepada orang tua, termasuk orang tua ingin menyekolahkan anaknya di sekolah yang berbeda agama. Dengan demikian justru anak mengetahui keragaman. Pendidikan agama harus dibedakan dengan iman. Pendidikan agama hanya sebagai pelengkap. (wawancara, Kuntara, 2/4/14). e.
Pemakaman Yang berpendapat bahwa pengurusan jenazah dan pemakaman perlu diatur 4 orang, tidak perlu 2 orang. Alasan mereka sebagai berikut: Pemakaman harus ada pemilahan. Di Papua pemakaman sendiri-sendiri. Jika dalam satu tempat harus ada pemilahan. (Wawancara, Ma’mun, 29/3/14). Pengaturan pemakaman meliputi tempat dan terutama menyangkut tarif pemakaman. Tarif pemakaman di Jayapura mencapai Rp 8 juta untuk membeli tanah adat. Sehingga ada seloroh, “kalau belum punya tabungan minimal Rp 8 juta jangan meninggal dulu”. (Wawancara, Wanggai, 31/3/14). Peraturan tersebut di Jayapura yang utama terkait dengan tempat (pemakaman). Meskipun sudah ada perda tentang pemakaman, tapi masih ada pungutan liar. Pungutan liar ini mencapai Rp 50 ribu, cukup memberatkan para peziarah. Seharusnya dinas terkait dapat memberantas pungutan liar tersebut, karena penyediaan pemakaman sebagai pelayanan. (FGD, Hafidz, 3/4/14). Pengurusan jenazah perlu ada pengaturan tingkat daerah (Wawancara, Kuntara, 2/4/14). Pemakaman tidak perlu diatur. Sedangkan di Papua sendiri tidak ada sekat. Kesadaran untuk
222
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
mengasihi sudah tinggi. Masalah sakit, kematian dan pendidikan adalah wilayah yang universal tidak perlu dibuat fanatisme (Wawancara, Yoku, 1/4/14). Pemakaman dibiarkan berjalan sebagamana yang sudah ada. Yang penting pemerintah sudah menyiapkan lahan. (Wawancara, Jasmani, 2/4/14).
f.
Bantuan Luar Negeri Yang menjawab bantuan luar negeri perlu diatur 3 orang, tidak perlu diatur 1 orang, yang tidak bisa menjawab 1 orang. Alasan mereka sebagai berikut: Meski semua kelompok agama sangat membutuhkan bantuan luar negeri, karena agama bersifat universal. Tetapi bantuan dari luar tetap perlu diatur agar jangan sampai masuk bantuan dari jaringan terorisme internasional. (Wawancara, Wanggai, 31/3/14). Menurut Albert Yoku, segala sesuatu yang bersifat normatif, hidup sesuai dengan hukum Tuhan harus diikuti pula dengan ketaatan kepada hokum Negara. Misalnya, bantuan tenaga dari luar, selama 3 bulan visanya habis, harus diperpanjang. Yang bersangkutan harus ke luar negeri dulu. Bagi organisasi yang baik, hal itu sudah diantisipasi. Di GKI ada bidang kemitraan, secara pereodik selalu memantau paspor dan visa tenaga bantuan asing, sudah habis masanya apa belum. Agama harus menghargai hokum Negara dan hokum internasional. Yang seperti itu juga berlaku di Negaranegara lain. Sedangkan bantuan financial, kalau sudah ada kerjasama antar lembaga antar Negara tidak perlu
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
223
dideteksi oleh pemerintah secara ketat. Karena sudah ada pengawasan dari perbankan secara baik. Diisamping sudah ada kuwajiban setiap lembaga untuk melaporkan kekayaannya. Jika perbankan melihat adanya kekayaan yang tidak wajar, perbankan bisa melaporkannya kepada yang berwajib. (Wawancara, Yoku, 1/4/14). Pater Darius Kuntara belum mengetahui urgensinya pengaturan bantuan luar negeri. Adapun jika pemerintah ingin mengetahui jumlah dana bantuan luar negeri yang diterima oleh suatu yayasan itu sah-sah saja. Tapi jika yayasan yang menerima bantuan itu harus melaporkan jumlah bantuan yang diterima, ia belum mengetahui urgensinya. Sedangkan untuk tenaga asing masih perlu adanya aturan. Meski jumlah pater dari Eropa menyusut, dan itu tergantung jumlah pater local. Justru sekarang banyak mengirim tenaga rohaniawan ke negara-negara lain. (Wawancara, Kuntara, 2/4/14). Bantuan luar negeri tidak perlu diatur karena semua agama sudah biasa menerima bantuan dari luar negeri. Sepanjang bantuan tersebut tidak menekan, tidak ada dampak negatifnya, sah-sah saja. Apalagi untuk wilayah Papua, bantuan luar negeri sulit untuk distop. Kalau bantuan tersebut distop, akan muncul pertanyaan “Kalau bantuan luar negeri distop, mana bantuan dari Jakarta?”(wawancara, Ma’mun, 29/3/14). Bantuan luar negeri baik menyangkut bantuan finansial maupun tenaga, Jasmani tidak bisa memberikan jawaban. (wawancara, Jasmani, 2/4/14).
224
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
g.
Perkawinan Beda Agama Perkawinan beda agama perlu diatur 4 orang, debatable 1 orang. Alasan mereka sebagai berkut: Zulham Ma’mun mengatakan “Di Papua ada istilah ‘celsi’ (cewek lengah, sikat!)”. Meski untuk Papua pengaturan kawin campur itu sulit diterapkan. Karena banyak pejabat yang melakukannya, sehingga ada istilah “satu atap dua kiblat”. (Wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14). Karena ada kuwajiban bagi rohaniawan untuuk memberi nasehat kepada setiap keluarga. Jika satu keluarga beda agama ada kesulitan untuk memberikan nasehat. (Wawancara, Yoku, 1/4/14). Menurut Wanggai pengaturan perkawinan beda agama masih debatable karena pelarangan terhadap perkawinan hanya dengan alasan perbedaan agama dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. (Wawancara, Wanggai, 31/3/14). Perkawinan beda agama ditingkat sipil perlu diatur, karena pencatatannya harus satu agama. Tapi di tingkat gerjea ada kemungkinan dispensasi. Karena di gereja Katolik penganut agama lain tidak harus menjadi katolik (Wawancara, Kuntara, 2/4/14). Perkawinan beda agama menurut Jasmani tetap sebagaimana yang sudah diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Jika ada dua insan yang saling mencintai namun berbeda agama, mereka dibiarkan sepakat dulu untuk memilih agama yang mereka lebih yakini. Selanjutnya baru mereka bisa dikawinkan. (Wawancara, Jasmani, 2/4/14).
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
225
h.
Pengangkatan Anak Adopsi anak perlu diatur 3 orang, tidak perlu 2 orang. Alasan mereka sebagai berikut: Kalau tidak ada aturan di kemudian hari setelah orang tua angkatnya meninggal akan muncul masalah waris, karena merasa sebagai anak kandung. Di Papua pada umumnya agama anak angkat mengikuti agama orang tua angkatnya. Hal ini tidak ada masalah, yang penting bagi anak angkat adalah dapat memperoleh kesejahteraan. Justru yang sering menjadi masalah adalah faktor pendidikan kedisiplinan yang biasanya sulit diikuti oleh anak angkat. Sehingga akhirnya anak angkat tersebut pergi meninggalkan orang tua angkatnya karena tidak mau mengikuti pendidikan kedisiplinan orang tua angkat. (Wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14). Wanggai mengatakan karena dikemudian hari tidak tau apa yang terjadi. Sehingga perlu adanya paying hukum. Jika tidak ada aturan dapat merugikan salah satu fihak. (Wawancara denganWanggai, 31/3/14). Jika anak diadopsi dari masih bayi perwaliannya ada di orang tua angkat, maka agamanya pun mengikuti orang tua angkatnya. Tetapi jika pengadopsiannya anak sudah memiliki agama maka perlu ada aturan. (Wawancara dengan Kuntara, 2/4/14). Adopsi anak tidak perlu diatur, karena terlalu mencampuri urusan pribadi masyarakat/umat. (Wawancara denganYoku, 1/4/14). Jika anak diadopsi masih bayi agamanya pasti mengikuti orang tua yang mengadopsinya. Demikian pula bagi anak yang diadopsi sudah besar (sudah mengerti agama) pemerintah tidak
226
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
perlu ikut campur tangan. Masalah agama diserahkan atas kesepakatan antara anak dan orang tua yang mengadopsinya. Meski demikian Jasmani tidak sependapat dengan kebiasaan orang Indonesia yang menyembunyikan riwayat anak adopsi. Ia lebih setuju riwayat anak tidak boleh ditutupi (Wawancara dengan Jasmani, 2/4/14).
i.
Penodaan Agama Penodaan agama perlu diatur 6 orang, perlu ditinjau klembali 1 orang. Alasan mereka sebagai berikut: Karena prinsip, akidah, dan syariah tidak bisa ditawar-tawar. Hal ini penting untuk menjaga kemurnian agama. (Wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14, Iribaram, 10/3/14 dan Khafidz, 3/4/14). Peraturan yang sudah ada perlu dilanjutkan. Jika hal itu tidak diatur, yang berbahaya adalah munculnya upaya-upaya penyesatan. Dalam agama Katolik dan Kristen sudah dilakukan standardisasi (kanonisasi) dan itu harus diikuti. (Wawancara denganYoku, 1/4/14). Penodaan agama perlu diatur, untuk melindungi tatacara agama tertentu, karena ada hal-hal sacral yang tidak diketahui oleh umat lain. (Wawancara dengan Kuntara, 2/4/14). Sepanjang peraturan itu untuk kepentingan umat, peraturan itu diperlukan. Karena pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan solusi pada umat beragama. (Wawancara dengan Jasmani, 2/4/14). Sedangkan menurut Tony Wanggai, pengaturan tentang penodaan agama perlu ditinjau kembali. Majelis
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
227
agama hendaknya tidak membuat keputusan yang mengaramkan pemikiran orang. Pemikiran orang tidak bisa dilarang atau diharamkan. (Wawancara denganWanggai, 31/3/14).
Perlu tidaknya Sanksi Jika terjadi pelanggaran peraturan hubungan antarumat beragama perlu ada sanksi 5 orang, dengan alasan sebagai berikut: Sanksi tersebut hendaknya berupa sanksi pidana. Sanksi harus tegas dan jelas, supaya tertib, damai dan mereka dapat hidup berdampingan secara damai. (Wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14). Menurut Wanggai sanksi bagi para pelanggar peraturan harus diberi sanksi yang memberikan efek jera. Selama ini penegakan hokum masih kurang. Sehingga sering terjadi pelanggaran secara berulang-ulang. (Wawancara dengan Wanggai, 31/3/14). Menurut Yoku, jangan membuat aturan tanpa sanksi. Sanksi itu berguna untuk mencegah agar supaya tidak ada orang yang melanggar peraturan. Sanksi disesuaikan dengan tingkatan perbuatannya. Misal, kalau hanya pelanggaran secara lisan, apa sanksinya; kalau pelanggaran berupa kekerasan apalagi sampai menimbulkan korban nyawa, tentu hukumannya berbeda. Hukuman sesuai dengan hokum yang berlaku. (Wawancara dengan Yoku, 1/4/14). Sudah sewajarnya peraturan ada kaitannya dengan sanksi bagi yang melanggar. (wawancara dengan Jasmani, 2/4/14). Sanksi diserahkan kepada hukum (Wawancara dengan Kuntara, 2/4/14).
228
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Kewajiban dan Tanggungjawab Penyelenggaraan Kewajiban dan tanggungjawab penyelenggeraan sanksi ada di tangan pemerintah dijawab 5 orang, dengan alasan sebagai berikut: Kedaulatan dan kewibawaan pemerintah harus ditegakkan, sehingga dapat menjatuhkan sanksi yang tegas kepada para pelanggar aturan. (wawancara dengan Ma’mun, 29/3/14). Jika dilakukan oleh pemerintah, aspek netralitas akan lebih terjaga. Misalnya, jika ada dua kelompok yang bersengketa maka akan lebih terjamin keputusan keadilannya. (Wawancara dengan Yoku, 1/4/14). Pemberi sanksi pemerintah (wawancara dengan Kuntara, 2/4/14). Jika peraturan itu peraturan pemerintah, maka yang memberi sanksi adalah pemerintah. Jika peraturan itu peraturan adat maka yang memberikan sanksi adalah adat. (Wawancara dengan Jasmani, 2/4/14). Angket N=10 N0
Penggaturan
Setuju
Tdk Setuju
Tidak Tahu
1
Urgensi pengaturan tentang hubunggan antarumat beragama
7
1
2
2
Pengaturan tentang hubungan antarumat beragama bermanfaat untuk tingkatkan kerukunan hidup beragama bagi umat beragama
9
3
Pemerintah punya kewenangan untuk mengatur hubungan antar umat beragama
10
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
1
229
4
Bentuk regulasi a.
Peraturan Menteri Agama
2
b.
SKB Menteri Agama dan Menteri terkait
4
c.
Peraturan Presiden
2
1
2
1
d. Surat Presiden e. 5
Kepuutusan
Undang-undang
6
Aspek-aspek yang perlu diatur a.
Penyiaran Agama
9
1
b.
Pendirian Rumah Ibadah
9
1
c.
Penyelenggaraan Keagamaan
8
1
d. Pendidikan agama
9
1
e.
Pemakaman Jenazah
5
5
f.
Bantuan Luar Negeri
6
2
g.
Perkawinan agama
8
2
h. Pengadopsian anak
6
3
1
i.
7
2
1
PHB
berbeda
Penodaan agama
6
Bagi pelanggar peraturan perlu diberi sanksi hukum
10
7
Pemeliharaan hubungan antarumat beragama adalah tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat/umat beragama
10
230
1
2
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
8
Pemeliharaan hubungan antarumat menjadi tanggungjawab pemerintah
4
No
Pengaturan
Alasan Mendukung Pengaturan
1
Adanya regulasi hubungan antarumat beragama
Ada landasan hukum (ramburambu) untuk bertindak Berguna bagi ketenteraman Kehidupan yang baik membutuhkan adanya aturan Untuk melindungi umat, terutama umat minoritas. Masyarakat masih membutuhkan pengaturan Agar masyarakat (umat) lebih tertib dan teratur.
2
Kewenangan Pengaturan
5
1
Alasan Menolak Pengaturan
Pemerintah Pusat Pemerintah dan
Aliran transnasional yang
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
231
Kemenag Pusat
akan membuka cabang di daerah harus ada rekomendasi dari Kementerian Agama Pusat.
Pemda dan Kan Kemenag setempat Pemerintah dan adat
3
Karena di Papua adat masih kuat, adat tidak dapat diabaikan, sehingga perlu ada kerja sama pemerintah dengan adat. Pemerintah mempunyai dana, Ondo afi (ketua adat) mempunyai massa,
Bentuk Pengaturan Kurang ditaati, karena tidak ada sangsi.
Keputusan Menteri Agama
SKB Menteri Agama dan Menteri terkait Peraturan Presiden
232
Peningkatan secara bertahap (cukup Perpres), kalau
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Undang-undang akan disorot oleh LSM dan Negara lain. Surat Kepuutusan Presiden Undang-undang
4
Penyiaran Agama
Mempunyai kekuatan yuridis. Bisa ditaati, sehingga dapat untuk mejaga toleransi. Jika tidak ada aturan di Jayapura orang mudah berpindah agama dengan imingiming uang. Perlu ada klausul pengaturan penyiaran agama internal, karena di papua yang sering muncul adalah masalah penyiaran agama internal Untuk menjaga kesinambungan toleransi.
Takut disorot oleh LSM dan Negara lain. Dianggap melanggar HAM. Karena menyangkut masalah HAM, tidak bias diatur dan dibatasi. Penyiaran agama hendaknya dibebaskan saja sepanjang tidak menyalahi etika .
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
233
5
234
Pendirian Rumah Ibadah
Kasus spesifik Papua, orang sudah setuju menjual tanah untuk rumah ibadah, ketika orang tua meninggal anak belum tentu setuju. Jarak antara satu rumah ibadah dengan rumah ibadah yang lain juga perlu diatur. Sehingga jika ada kegiatan tidak mengganggu kegiatan di rumah ibadah yang lain Mengusulkan klausul jumlah orang dalam persetujuan masyarakat. Diganti dengan persetujuan pemuka agama sebagai representasi masyarakat, dan tidak ada ketentuan jumlah pemuka agama. Jumlah pengguna perlu diatur. Di GKI 15 KK
Kalau diatur berarti melanggar HAM.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
merupakan angka dasar untuk membentuk satu jemaat. 6
Penyelenggaraan PHB Keagamaan
Untuk menghindari terjadinya konflik.
7
Pendidikan Agama
Karena di papua banyak siswa Kristen sekolah di
Khawatir akan muncul larangan menghadiri PHB keagamaan bagi umat lain. Antarumat yang berbeda agama mempunyai relasi yang harmoni, sudah terbiasa saling mengunjungi dan saling membantu dan menolong dalam pelaksanaan PHB Keagamaan.
Pendidikan agama cukup dipercayakan
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
235
sekolah Islam dan sebaliknya siswa Islam di Sekolah Kristen Ada kewenangan pemerintah untuk menyusun kurikulum berbasis pluralisme dan multikulturalisme. Perlu adanya pendidikan pluralisme dalam yayasan-yayasan pendidikan keagamaan, sehingga ada keragaman dalam yayasan. Mengacu pada sisdiknas, seorang anak didik pun harus dilayani pendidikan agamanya. Pendidikan agama bagi siswa yang berbeda agama tempatnya harus dipisahkan, supaya tidak terjadi konflik antara pemilik yayasan dengan guru yang berbeda agama.
236
kepada orang tua, termasuk orang tua ingin menyekolahk an anaknya di sekolah yang berbeda agama.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Agar dalam bukubuku pegangan siswa tidak menonjolkan agama tertentu. 8
Pemakaman
Harus ada pemilahan antara makam penganut agama yang berbeda. Pengaturan meliputi tempat dan tarif pemakaman. Perlu ada pengaturan tingkat daerah.
9
Bantuan Keagamaan dari Luar Negeri
Untuk menghindari masuknya bantuan jaringan terorisme. Selain umat beragama harus taat kepada hokum Tuhan, harus diikuti pula ketaan kepada hokum Negara.
Masalah sakit, kematian dan pendidkan agama adalah wilayah yang universal tidak perlu dibuat fanatisme. Yang penting pemerintah sudah menyiapkan lahan. Semua agama sudah biasa menerima bantuan dari luar negeri.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
237
10
Perkawinan Beda Agama
11
Pengadopsian anak
12
Penodaan Agama
13
Perlu tidaknya sanksi
14
Kewajiban dan tanggung jawab Penyelenggaraan
Kesimpulan 1. Untuk menghimpun informasi dari para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama. 2. Untuk mengetahui bentuk pengaturan tentang hubungan antarumat beragama. 3. Untuk mengetahui aspek-aspek yang perlu diatur dalam hubungan antar umat Bergama. Rekomendasi 1. Untuk menghimpun informasi dari para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama. 2. Untuk mengetahui bentuk pengaturan tentang hubungan antarumat beragama. 3. Untuk mengetahui aspek-aspek yang perlu diatur dalam hubungan antar umat Bergama.
238
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG URGENSI PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA DI DKI JAKARTA134 Oleh: Haris Burhani dan Elma Haryani135
Latar Belakang dan Masalah Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang sangat pluralistik, memiliki kemajemukan dalam kelompok etnis dengan kekhasan latar belakang tradisi, bahasa daerah, adat istiadat, seni, budaya dan agama. Kemajemukan tersebut apabila dikeloka secara baik merupakan aset kekayaan bangsa yang dapat menjadi perekat untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun jika tidak dikelola secara baik maka keragaman diatas rentan bagi kemungkinan timbulnya disharmoni di kalangan masyarakat. Salah satu wujud keberagaman yang ada di Indonesia, dapat dilihat di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Jakarta memiliki luas wilayah 662,33 km persegi
134 Makalah disampaikan pada Pra-Seminar Hasil Penelitian Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Umat Beragama yang diselenggarakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Balitbang dan Diklat Kemenag, 25 April 2014 di Hotel Sofyan Betawi Jakarta 135Calon Peneliti PadaPuslitbang Kehidupan Keagamaan
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
239
yang dihuni 10,09 juta.136 Terdiri dari berbagai etnis, suku dan adat istiadat yang ada di seluruh nusantara. Sebagai ibu kota negara, tentunya diharapkan keberadaan kota Jakarta diwarnai identitas nasional yang bersifat politis (Bhinneka Tunggal Ika), berupa kesatuan budaya (unity) sebagai salah satu kekuatan dalam penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonensia.137 Kerukunan umat beragama di Jakarta selama ini secara umum dapat dikatakan relatif kondusif. Kebijakan Pemerintahan Provinsi DKI mengakomodir dan menaungi perbedaan yang ada. Memang pernah terdapat konflik masa lalu. Kita juga tidak dapat menutup mata atas terjadinya konflik-konflik antar penganut agama dan keyakinan, seperti yang terjadi pada Kasus Doulos. Hal ini disebabkan komunikasi tersumbat antara beberapa pihak dengan masyarakat sekitar. Kita harus menghormati mereka tentang pemahaman hukum maupun surat-surat keputusan tentang ketentraman situasi yang baik. Semua warga harus mentaati. Seminar Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), 138 harus ditaati karena dibuat untuk membangun situasi dimana tidak saling menggunakan kesempatan dan kelemahan pihak-pihak lain. SKB dua menteri tentang membangun tempat ibadah tersebut masih layak dipertahankan untuk menjaga kondisi agar lebih nyaman. 139
136Provinsi
DKI Jakarta Dalam Angka 2013 Ma’mun I.R, dkk, Protret Hubungan Etnis dan Agama di Jakarta: Referensi, 2012, hlm. 5 138Yang dimaksud adalah PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 139 Ma’mun I.R, dkk, Protret Hubungan Etnis dan Agama di Jakarta: Referensi, 2012, hlm. 169 137
240
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Keragaman yang terjadi di Jakarta telah dapat disikapi oleh masyarakatnya dengan baik. Ketika di daerah lain marak terjadi penutupan terhadap gereja-gereja, di Jakarta tidak pernah terjadi. Forum Komunikasi Umat Beragama di Jakarta telah berperan dan berjalan baik menjembatani dan memfasilitasi dialog antar umat beragama.140 Betapapun, kita sadari bahwa kerukunan umat beragama merupakan kondisi yang dinamis, seiring dengan dinamika kehidupan umat beragama itusendiri. Dinamika kondisi dan tingkat kerukunannya terjadi secara fluktuatif yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor keagamaan semata, namun dipengaruhi oleh banyak factor dan situasi. Berdasarkan hasil kajian Ba dan Litbang dan Diklat Kementerian Agama misalnya, terindikasi ada sejumlah faktor non- keagamaan yang memengaruhi kerukunan umat beragama, yaitu: politik, ekonomi da nsosial budaya. Potensi konflik di Jakarta lebih banyak disebabkan ekonomi, bukuan keragaman masyarakat. Di Jakarta, kasus-kasus seperti premanisme yang saling menguasai wilayah pasar. Ini tidak lain adalah persoalan ekonomi tetapi masih dalam kategori jarang atau tidak banyak. Seperti konflik premanisme yang terjadi di Pasar Pramuka beberapa tahun lalu. 141 Adapun faktor keagamaan yang mempengaruhi kerukunan umat beragama ada sebelas aspek yaitu tentang: penyiaran agama, pendirian rumah ibadat, bantuan keagamaan luarnegeri, perkawinan antar pemeluk berbeda agama, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, 140 Wawancara Ahmad Syafii Mufid dalam Ma’mun I.R, dkk, Protret Hubungan Etnis dan Agama di Jakarta: Referensi, 2012, hlm. 182 141 Wawancara Fransz Magnis Suseno dalam Ma’mun I.R, dkk, Protret Hubungan Etnis dan Agama di Jakarta: Referensi, 2012, hlm. 197
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
241
kegiatan kelompok sempalan dan transparansi informasi keagamaan (Badan Litbang dan Diklat, 2007). Menyadari rawannya hubungan di kalangan umat beragama lantaran perbedaan agama, sesungguhnya berbagai upaya antisipasi funtuk menggalang dan memelihara kerukunan umat beragama telah dilakukan oleh pemerintah melalui sejumlah regulasi. Regulasi itu merupakan konsekuensi logis dari makna yang terkandung dalam Pasal 28 J UUD 1945 Ayat (1) dan (2) di atas. Meskipun telah banyak peraturan perundangan terkait kerukunan umat beragama yang telah dibuat pemerintah, namun dirasakan masih ada persoalan kehidupan umat beragama yang belum ditampung dalam aturan yang sudah ada, di samping adanya peraturan-peraturan yang tidak relevan lagi dengan orde reformasi. Selain itu, ada peraturanperaturan yang multitafsir, masih bersifat parsial serta tidak adanya sanksi yang tegas dan mengikat terhadap para pelaku pelanggaran aturan yang ada . Upaya-upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama yang dilakukan oleh pemerintah melalui sejumlah regulasi dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama di atas, ternyata belum menghasilkan dampak yuridis dan respon secara maksimal dikalangan umat beragama. Menyadari kondisi demikian maka semestinya sudah saatnya dibentuk suatu regulasi yang mengatur secara komprehensif tentang kerukunan umat beragama berikut sanksi hokum bagi pelanggarnya. Upaya ini perlu dilakukan untuk meningkatkan pemeliharaan kerukunan umat beragama di kalangan masyarakat.
242
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Dalam rangka merespon upaya di atas, maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2014 melakukan penelitian dengan judul: “Penelitian tentang Hubungan Antarumat Beragama: Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama”. Rumusan Masalah Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pandangan para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama, bentuk dan aspek-aspek yang diatur” Secara rinci, penelitian ini akan mengungkap beberapa permasalahan berikut: 1. Bagaimana pendapat pemuka agama ttg urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama? (alas an urgensi) 2. Bagaimana bentuk pengaturan tentang antarumat beragama yang perlu dilakukan ?
hubungan
3. Aspek-aspek apa saja yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama tersebut ? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pendapat pemuka agama ttg urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama, mengetahui bentuk pengaturan tentang hubungan antarumat beragama yang perlu dilakukan dan
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
243
mengetahui Aspek-aspek apa saja yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama tersebut. Kerangka Konseptual Pembentukan UU atau peraturan perundangan dibawahnya pada dasarnya adalah kegiatan mengatur masyarakat. Proses pembentukan UU di era reformasi dapat dilihat empat aspek, yaitu: aspek kelembagaan, aspek masyarakat, aspek pengaturan dan aspek pembahasan. Keempat aspek tersebut secara bersama-sama telah mendorong proses pembentukan UU di era reforamsi yang melahirkan adanya transparansi, partisipasi dan akuntablilitas dan pada gilirannya bermura pada demokratisasi dalam proses pembentukan UU. 142 Meskipun kadang belum sepenuhnya mendekati rasa keadilan masyarakat. Ilmu tentang Tuhan menyangkut eksistensi, sifat dan kekuasaannya, hubungan Tuhan dengan manusia, dan sebaliknya hubungan manusia dengan Tuhan dan termasuk di dalamnya hubungan antarmanusia yang didasarkan pada norma dan nilai-nilai ketuhanan. Saat bicara tentang hubungan Tuhan dengan manusia, apalagi manusia yang beragama, maka hubungan ini menjadi hubungan teologis, dan hubungan teologis ini dalam aplikasinya tidak hanya bersifat vertikal, tetapi juga horizontal (hubungan antarsesama manusia). Aplikasi hubungan manusia dengan sesamanya tidak dapat dikatakan bersifat duniawi (sekuler=profane) semata, karena ia didasarkan pada keyakinan teologis. Dalam konteks ini, dipahami bahwa tidak 142Syaifudin,
Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hal. 337
244
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
ada satupun aktivitas manusia yang terlepas dari keyakinan teologisnya, termasauk hubungan antar-penganut agama yang berbeda. 143 Kerukunan Umat Beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.144 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data terdiri atas wawancara, studi pustaka dandoku mentasi serta pengamatan. Wawancara dilakukan kepada sejumlah informan yang terdiri atas perwakilan unsure masyarakat dari para pemuka 6 agama baik merupakan pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di DKI Jakarta maupun pemuka agama diluar organisasi FKUB. Wawancara juga dilakukan menggunakan wawancara terstruktur (sejenis angket) untuk mendukung deskripsi kualitatif. Studi pustaka dan dokumentasi dilakukan dengan menelaah buku-buku, majalah, surat kabar dan terbitan lainnya serta dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang dikaji.
143 Syahrin
Harahap, Teologi Kerukunan, Prenada Media Group, Jakarta,
2011, hal. 15 144Ketentuan
Umum dalam PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
245
Selain itu, dilakukan Focus Group Dicussion (FGD) di lokasi penelitian yang dihadiri oleh sejumlah narasumber yang dianggap mengetahui dan memahami data yang dikumpulkan sehingga data yang diperoleh akurat. Sekilas Gambaran Umum Lokasi Kota Jakarta 145 sudah berdiri sejak abad yang silam, tepatnya pada awal abad XVII persisnya tahun 1527. Dimulai dari nama “GEMEENTE dan STADGEMEENTE BATAVIA” kemudian berubah menjadi “JAKARTA TOKUBETSUSHI“. Pada jaman pendudukan Jepang sampai Indonesia merdeka dan sekarang lebih dikenal dengan KOTA METROPLITAN JAKARTA. Secara astronomis Provinsi DKI Jakarta terletak antara 6 120 Lintang Selatan dan 106o480 Bujur Timur. Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata +7 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur Nomor 171 tahun 2007, adalah berupa daratan seluas 662,33 km2 dan berupa lautan seluas 6.977,5 km2. Wilayah DKI memiliki tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu, dan sekitar 27 buah sungai/ saluran/ kanal yang digunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. 0
0
Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi DKI Jakarta memiliki batas-batas: disebelah utara membentangpantai dari Barat sampai ke Timur sepanjang +35 km yang menjadi tempat bermuaranya 9 buah sungai dan2 buah kanal, yang berbatasan dengan Laut Jawa, sementara di sebelah selatan 145DKI
246
Jakarta Dalam Angka 2013
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
dan timur berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Barat, sebelah barat dengan Provinsi Banten. Wilayah administrasi Provinsi DKIJakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota Administrasi dan satu Kabupaten Administratif, yaitu: Kota Adm. Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara masingmasing dengan luas daratan seluas 141,27 km2, 188,03 km2, 48,13km2, 129,54 km2 dan 146,66 km2 serta Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu (8,70 km2). Jumlah Penduduk DKI Jakarta pada tahun 2012 Lakilaki 5.026.389 Perempuan 4.735.018 Total 9.761.407 DKI Jakarta dijadikan lokus penelitian ini dikarenakan Jakarta dengan masyarakat yang multikultural baik dari segi agama, etnis dan budaya. Kondisi ini memang sejak awal terbentuknya kota dan dalam perkembangannya yang dipicu oleh arus urbanisasi dan migrasi keragaman budaya.
Kehidupan Keagamaan Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
247
Penduduk Berdasarkan Agama Kab/ Kota
Jaktim
Jakbar
Jakpus
Jaksel
Jakut
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Islam
2,420,854
1,308,601
733,633
1,776,028
1,209,489
7,448,605
Kristen
2,604,170
543,621
1,422
2,641,878
1,519,426
7,310,517
Katolik
89,979
145,646
56,654
56,686
94,669
443,634
Hindu
18,824
20,518
17,452
22,715
17,192
96,701
Buddha
86,536
178,689
106,640
36,948
137,274
546,087
759
1,024
16
46
2,087
3,932
5,221,122
2,198,099
915,817
4,534,301
2,980,137
15,849,476
Kong hucu Jumlah
Sumber: Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta, 2014
248
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Jumlah Rumah Ibadat
Kep. Kab/ Kota Serib u
Jakut
Jaktim
Jaksel
Jakpus
Jakbar
Jumlah/ Total
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(1)
(2)
Masjid
11
434
921
748
427
506
3,047
Mushola
29
910
1,657
1,285
452
1,287
5,620
Gereja/ Katolik
-
305
208
165
184
202
1,064
Gereja/ Kristen
-
9
11
6
8
11
45
Pura/ Kuil
-
10
5
4
8
1
28
Vihara
-
28
10
7
15
38
98
Cetiya
-
35
9
12
84
140
1,731
2,821
1,106
2,129
10,042
Jumlah
40
2,215
Sumber: Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta, 2014
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
249
Pembahasan dan Analisis Urgensi Kebijakan Kerukunan Umat beragama Menangani multikulturalisme di DKI Jakarta
dan
Dengan luas 662,33 km2, Jakarta dihuni oleh 10,09 juta penduduk pada malam hari dan 12,5 juta penduduk pada siang hari (akibat penduduk komuter dari wilayah sekitar yang melaksanakan aktivitas di Jakarta). Komposisi penduduk Jakarta sangat heterogen, multi etnis, karena seluruh suku bangsa di Indonesia terwakili di Jakarta dengan keragaman adat dan budayanya. Kondisi ini sering saya sebut bahwa Jakarta merupakan miniaturnya Indonesaia dan melting pot nya budaya bangsa kita. Dengan jumlah penduduk yang besar dan beragama, kehidupan kota Jakarta sangat dinamis,kompleks, kerasa dan penuh tantangan. Namun saya bersyukur, bahwa kehidupan masyarakat Jakarta tetap rukun, tentram, aman dan damai, jauh dari konflik bernuasa SARA seperti yang terjadi di daerah-daerah lain. Masyarakat Jakarta telah menyadari bahwa keragaman agama, etnis dan budaya merupakan keragaman dan pemersatu kebhinnekaan. 146 Pendapat pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama (alasan urgensi) Hampir semua informan sebanyak 12 pemuka agama menyampaikan pendapat bahwa pengaturan hubungan umat beragama terutama hubungan antarumat beragama itu penting. Tapi dalam tingkat keurgentnya ada 1 informan mengatakan tidak terlalu urgent pembuatan aturan tersebut 146Pidato Mantan Gubernur Sutiyoso ada acara Pelepasan Guru Berprestasi dan Berdedikasi serta Menerima Peserta Pertukaran Pemuda antar Provinsi Tahun 2006, 9 Agustus, hal. 125 dalam Ma;mun I.R, dkk, Protret Hubungan Etnis dan Agama di Jakarta: Referensi, 2012, hal 131
250
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
karena kondisi saat ini masyarakat di DKI Jakarta sudar rukun dan telah ada regulasi kerukunan yang cukup yakni PBM. Sebanyak 11 responden/ informan berpendapat pembuatan aturan hubungan antarumat beragama adalah urgen dilakukan mengingat aturan yang sekarang ada tidak mengikat. Aturan itu memang penting. Tetapi tergantung apakah dijalankan atau tidak. Adanya FKUB saat ini dirasakan manfaat yang besar bagi relasi antarumat beragama di Jakarta. Jika nantinya pengaturan hubungan antarumat beragama yang mengikat dibuat juga diperlukan pemahaman yang komprehensif dalam pelaksanaaan baik oleh masyarakat yang diatur, negara maupun yudikatif. Dikhawatirkan terjadi misintepretasi yang memahami aturan tersebut sehingga merugikan hububungan antaruma beragama.147 Dalam perjalanan Jakarta terdapat begitu banyak konflik, yang hingga saat ini pun belum dapat dipastikan tidak akan terulang kembali. Konflik sosial yang pernah terjadi di DKI Jakarta antara lain di Kebayoran Lama, Manggarai, Kramat Jati, Kalijodo, Cilincing yang terjadi antarkelompok warga masyarakat yang membawa simbolsimbol suku/ etnis dan atau agama.148 Konflik-konflik tersebut dipicu oleh faktor ruang hidup atau perebutan ekonomi antara lain perebutan kavling usaha, gejala premanisme, penguasaan jenis usaha/ pekerjaan tertentu dan adanya provokator. Diluar faktor penyebab konflik itu terjadi konflik yang secara spesifik dipicu oleh faktor keagamaan. Potensi 147Wawancara
dengan Pemuka Katolik Rudi Pratikno dari hasil Wawancara Kepala Bakesbang dalam 125 dalam Ma’mun I.R, dkk, Protret Hubungan Etnis dan Agama di Jakarta: Referensi, 2012, hal 136 148 Disarikan
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
251
benturan kepentingan antara kelompok masayarkat dan hubungan mayoritas-minoritas yang kurang harmonis yang disebabkan faktor keagamaan, yaitu dalam beberapa hal: 149 pendirian rumah ibadat, penyiaran agama, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan beda agama, perayaan hari besar keagamaan, pedodaan agama. Pengaturan hubungan antarumat mapun intern umat beragama penting dibuat karena filosofinya bahwa dua orang suami istri saja ada aturan-aturan. Apalagi umat beragama yang jumlahnya banyak. Dibutuhkan kerelaan mau diatur dari masyarakata/ umat beragama. Dengan adanya pengaturan maka ada jaminan law enforcement diharapkan tidak ada yang main hakim sendiri jika terjadi benturan.150 Hubungan antarumat beragama penting dilakukang pengaturan. Namun dengan saling komunikasi dan bertemu antar tokoh agama maka sebenarnya hubungan antarumat beragama telah berjalan dengan baik. Hanya saja bebera kali terjadi teror oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab terjadi di Jakarta. Hal ini semua majelis agama tidak membenarkan adanya teror tersebut. Materi regulasi yang ada selama ini berjalan dengan baik yaitu PBM. Sebaiknya aturan seperti PBM itu saja ditingkatkan menjadi aturan yang setingkat lebih tinggi akan berjalan law enforcement.151 Umat Buddha sangat mendukungan penciptaan masyarakat yang demokratis, agamis dan bertoleransi. Jakarta sebagai kota yang penduduknya multikultural dan majemuk. 149 Disarikan dari hasil Wawancara Kepala Bakesbang dalam 125 dalam Ma’mun I.R, dkk, Protret Hubungan Etnis dan Agama di Jakarta: Referensi, 2012, hal 136 150Wawancara dengan Pemuka Islam Syaiful Bahri 151Wawancara dengan Pemuka Buddha Bapak Liem Wiraatmaja
252
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Multikulturalisme Jakarta dapat menjadi unsur positif dan pereka persatuan kesatuan, apabila masyarakat Jakarta mempunyai kebudayaan yang berlaku umum dan coraknya seperti mozaik. Di dalam mozaik tersebut tercakup semua kebudayaan dari masing-masing suku, agama, ras ataupun golongan yang ada dalam masyarakat Jakarta. Karena jumlah kami kecil, maka peran umat Buddha untuk membangun masyarakat multikultural di Jakarta juga masih kecil. Berbeda dengan teman-teman yang lain, sekalipun kecil tapi memiliki SDM yang menonjol karena manajemennya ketat. 152 Melalui kesadaran dan pemahaman beragama yang tinggi dengan sendirinya umat beragama akan hidup rukun tanpa ada pengaturan. Kerukunan itu budaya, tradisi yang merupakan bagian dari bagian dari ajaran agama, semua agama mengajarkan toleransi/kerukunan beragama. Perlu atau tidak pengaturan itu tergantung dari tingkat pemahaman beragama dalam masyarakat. Karena kondisi sekarang tingkat pemahaman beragama masyaraka maka pengaturan tersebut diperlukan. Seandainya PBM yang sekarang ada sudah dianggap cukup berarti tidak diperlukan pembuatan aturan lagi. Jika memang diperlukan, namun tidak harus sampai pada tingkat Undang-undang (UU) cukup setingkat lebih tinggi saja misalnya Kepres. Dugaan saya jika dibuat UU akan mengundang masalah baru terutama misintepretasi dan akan menimbulkan “kekerasan agama” 153 Regulasi/ pengaturan hubungan antarumat beragama perlu dibuat tetapi diperlukan pengaturan bertahap bisa 152 Disarikan dari hasil wawancara dengan Pandita Alvin S.Purnama, Pengurus Pusat Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia dalam Ma’mun I.R, dkk, Protret Hubungan Etnis dan Agama di Jakarta: Referensi, 2012, hal 216-219 153Wawancara dengan Pemuka Islam H. Syamsul Muarif
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
253
berbentuk perpres/ kepres. Jika aturan lebih tinggi dari PBM misal perpres/ kepres sangat penting di tengah era otonomi daerah karena substansinya mengacu pada PBM yakni Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB dan Pendirian Rumah Ibadat. Hal ini saya yakin berefek pemerintah daerah akan tunduk terutama terkait anggaran. 154 Bentuk pengaturan tentang hubungan antarumat beragama yang perlu dilakukan Sebagian besar informan (10 orang) berpendapat bahwa pengaturan hubungan antarumat beragama bentuk setingkat lebih tinggi dari PBM. Bisa berbentuk Perpres/ Kepres. Hanya 2 informan yang berbedapat bahwa diperlukan pengaturan berbentuk UU. Aspek-aspek yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama tersebut a. Penyelenggaraan Kerukunan Umat Beragama - Perayaan dan peringatan hari besar keagamaan - Penyebarluasan Agama - Pemakaman jenazah - Pendirian tempat ibadat b. Forum Kerukunan Umat Beragama c. Bantuan Luar Negeri
154Wawancara
254
dengan Ahmad Syafii Mufid, Ketua FKUB DKI Jakarta
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011, Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, Jakarta,Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, Edisi Tanya Jawab yang Disempurnakan. Budiman, Aris, dkk. (Ed.), 2002, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, Jakarta, KIK Press, Edisi Revisi, Cetakan Kedua. Hakim, Bashori, A., 2013, Laporan Penelitian Upaya Konversi Agama di Pasar Badung – Kota Denpasar, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat. Hefner, Robert, W., 2007, ……………. Koentjaraningrat, 1981, PengantarIlmu Antropologi, Rineka Cipta, EdisiBaru.
Jakarta,
Moleong, Lexy, J., 2002, MetodePenelitianKualitatif, Bandung, Remaja Rosda karya, Cetakan Ketujuh belas. Soekanto, Soerjono, 1993, Kamus Sosiologi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, EdisiBaru, CetakanKetiga. Tim Penyusun, Ensiklopedi Indonesia (4), 1980, Jakarta, Ichtiar Baru, Van Hoeve. Tim Penyusun KamusPusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Departemen P dan K, Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cetakan Keempat.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
255
256
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG URGENSI PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA DI PROVINSI BALI Ahsanul Khalikin & Zabidi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menyadari rawannya hubungan di kalangan umat beragama lantaran perbedaan agama, sesungguhnya berbagai upaya antisipasif untuk menggalang dan memelihara kerukunan umat beragama telah dilakukan oleh pemerintah melalui sejumlah regulasi. Regulasi itu merupakan konsekuensi logis dari makna yang terkandung dalam Pasal 28 J UUD 1945 Ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa: “kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah bagian dari hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Bahkan lebih lanjut dalam Ayat (2) ditegaskan bahwa: “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan demikian”. UUD 1945 Pasal 28 J Ayat (2) di atas secara jelas menegaskan bahwa untuk menjalankan hak dan kebebasan individu –termasuk kebebasan beragamaperlunya pembatasan oleh pemerintah yang ditetapkan melalui regulasi /undang-undang yang wajib ditaati oleh Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
257
setiap warga negara. Inisiatif pemerintah melakukan regulasi dan pengaturan terkait hubungan antarumat beragama dalam hidup beragama pada dasarnya bukan bermaksud membatasi hak beragama seseorang, melainkan justru sebagai upaya untuk memberikan pelayanan masyarakat/umat beragama dalam menjalankan hak dan kebebasan beragama. Tegasnya, Indonesia sebagai negara demokrasi berperan menjaga keharmonisan dan kesatuan bangsa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hefner yang mengatakan bahwa: ”demokrasi mustahil tanpa modernisasi, dan modernisasi menuntut homogenisasi kebudayaan politis. Jika homogenitas politik ini tidak atau belum ada, negara harus menjadi ujung tombak dalam menanamkan sebuah kebudayaan umum di antara warga negaranya yang beraneka ragam” (Robert W.Hefner, 2007:21). Upaya-upaya pemeliharaan dan peningkatan kerukunan umat beragama yang dilakukan oleh pemerintah melalui sejumlah regulasi, ternyata belum menghasilkan dampak yuridis dan respon secara maksimal di kalangan umat beragama. Menyadari kondisi demikian maka semestinya sudah saatnya dibentuk suatu regulasi yang mengatur secara komprehensif tentang kerukunan umat beragama berikut sanksi hukum bagi pelanggarnya. Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau 258
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Serangan. Pandangan semua pemuka agama yang ada di Provinsi Bali terhadap perbedaan agama dan keyakinan sangat toleran dan kondisi kerukunan sangat terpelihara dengan baik. Dalam rangka merespon upaya di atas, maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2014 melakukan penelitian dengan judul: “Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama”. B. Permasalahan Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana pandangan para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama, bentuk dan aspek-aspek yang diatur” Secara rinci, penelitian ini akan mengungkap beberapa permasalahan berikut: Bagaimana pendapat pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama?, Bagaimana bentuk pengaturan tentang hubungan antarumat beragama yang perlu dilakukan?, dan Aspek-aspek apa saja yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama tersebut? C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk: Untuk menghimpun informasi dari para pemuka agama tentang urgensi pengaturan hubungan antarumat beragama; Untuk mengetahui bentuk pengaturan tentang Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
259
pemeliharaan hubungan antarumat beragama; Untuk mengetahui aspek-aspek yang perlu diatur dalam hubungan antarumat beragama. D. Kegunaan Hasil penelitian ini berguna bagi pemerintah dalam hal ini pimpinan Kementerian Agama dan DPR RI sebagai bahan untuk menyusun rancangan undang-undang pengaturan hubungan antarumat beragama. E. Metode Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, didukung data kuantitatif. Teknik pengumpulan data terdiri atas wawancara, studi pustaka dan dokumentasi serta pengamatan. Oleh karena penelitian ini tentang “pandangan pemuka agama”, maka pengumpulan data di lapangan melalui wawancara untuk memperoleh informasi yang akurat dari pemuka agama merupakan pengumpulan data yang utama dilakukan peneliti. Keluasan dan kedalaman data yang dikumpulkan melalui wawancara merupakan upaya yang harus dilakukan peneliti. Wawancara dilakukan kepada sejumlah informan yang terdiri atas perwakilan unsur majelsi agama dari berbagai kalangan agama yang terdapat di lokasi penelitian. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Peneliti dalam melakukan wawancara menggunakan jenis wawancara terencana (standardized interview) karena menggunakan pedoman 260
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya (Koentjaraningrat, 1983:138). Namun demikian, untuk memperoleh data yang lebih luas dan mendalam, peneliti mengembangkan sendiri materi wawancara yang telah disusun dalam pedoman wawancara, sepanjang ada relevansi dengan permasalahan yang dikaji. Studi pustaka dan dokumentasi dilakukan dengan menelaah buku-buku, majalah, surat kabar dan terbitan lainnya serta dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Sedangkan observasi dilakukan terhadap obyek-obyek yang berkaitan dengan kajian sejauh hal itu dapat dilakukan. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah melalui tahapan: editing, klasifikasi, komparasi dan interpretasi/penafsiran. Untuk keperluan penelitian ini sesuai permasalahan dan tujuan penelitian maka penafsiran data dilakukan secara deskriptif semata-mata sebagai bahan penyusunan laporan hasil penelitian. Untuk menghasilkan data yang lebih akurat dan keabsahan data. Selain itu, dilakukan Focus Group Dicussion (FGD) di lokasi penelitian yang dihadiri oleh sejumlah narasumber yang dianggap mengetahui dan memahami data yang dikumpulkan sehingga data yang diperoleh akurat. Untuk menghasilkan pilihan lokasi penelitian yang lebih tepat sesuai dengan tujuan penelitian dan untuk uji ketepatan pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam pedoman wawancara, sebelum kegiatan pengumpulan data lapangan dilakukan penjajakan lapangan di lokasi penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
261
F. Lokasi Penelitian Pengambilan lokasi penelitian didasarkan atas keragaman agama yang dianut penduduk di suatu daerah dan diasumsikan relasi/ketersinggungan antarumat tinggi, termasuk wawasan keagamaan dan relasi antaragama (Kriteria:, tingkat intelektual tinggi, adanya factor kesadaran. Berdasarkan kriteria demikian, maka lokasi penelitian dimaksud Kota Denpasar sebagai ibukota Provinsi Bali. G. Operasionalisasi Konsep Untuk menyamakan persepsi dalam memahami beberapa konsep yang akan dielaborasi/dioperasionalkan dalam penelitian ini, ada beberapa istilah yang dipergunakan dalam penelitian yang perlu dijelaskan. Beberapa istilah dimaksud yaitu: 1. Pandangan: berasal dari kata “pandang” yang berarti penglihatan yang tetap dan agak lama. Secara rinci, kata “pandangan” (n) memiliki beberapa arti, yaitu: (a) Hasil perbuatan memandang, memperhatikan, melihat, dsb.; (b) Benda atau orang yang dipandang, disegani, dihormati, dsb.; (c) Pengetahuan; (d) Pendapat (Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangana Bahasa Dep. P dan K, 1995:722723). Mengacu kepada beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan “pandangan” dalam penelitian ini adalah “pendapat atau pengetahuan” masyarakat yang diperoleh melalui kegiatan mengetahui atau memperhatikan dalam kurun waktu yang tidak sesaat mengenai urgensi atau pentingnya 262
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
pembentukan peraturan tentang kerukunan umat beragama. 2. Pemuka agama: adalah tokoh komunitas umat beragama, baik yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011:37). Berdasarkan pengertian di atas maka yang dimaksud dengan “pemuka agama” dalam penelitian ini adalah tokoh komunitas agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu yang memimpin atau tidak memimpin suatu ormas keagamaan dan diakui atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan. 3. Pengaturan: berasal dari kata dasar “atur”, sinonim dengan kata “tata”. Awalan kata “pe” dan akhiran “an” memiliki makna “membuat jadi”. Dengan demikian, “pengaturan” atau “penataan” berarti bahwa sesuatu yang di-atur atau di-tata menjadi teratur atau tertata. Dalam konteks penelitian, pengaturan berarti upaya yang dilakukan untuk mengatur agar kerukunan umat beragama terpelihara. Upaya untuk mengatur atau regulasi yang dilakukan dapat berbentuk SK Menteri, SK Bersama (SKB) dua Menteri atau lebih, Peraturan Menteri, SK Presiden, Peraturan Presiden dan Undang-Undang. 4. Kerukunan umat beragama: adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
263
agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan 8 Tahun 2006, dalam Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, 2011:36). II. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Kondisi Geografi dan Demografi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang dikenal dengan sebutan Pulau Dewata (paradise island). Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok, beribukota Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Provinsi Bali mempunyai luas wilayah mencapai 5.636,66 km2 atau 0,29 % dari luas seluruh wilayah Indonesia. Selain wilayahnya yang terdiri atas satu pulau utama yaitu P. Bali, terdapat pulau-pulau kecil seperti: Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan dan Pulau Menjangan. Secara geografis provinsi Bali merupakan sebuah pulau yang di tengahnya terdapat bentangan pegunungan memanjang dari Barat ke Timur. Bentangan pegunungan di atas secara geografis membagi wilayah Provinsi Bali menjadi dua bagian, yaitu Bali Utara dengan dataran rendah yang sempit dan kurang landai dan Bali Selatan dengan dataran rendah yang luas dan landai. Selain pegunungan, keadaan alamnya diwarnai oleh adanya 4 buah danau yaitu: Danau Beratan, Danau Buyan, Danau 264
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Tamblingan dan Danau Batur. Danau-danau ini merupakan aset pariwisata, selain pantai Sanur dan Kuta yang terkenal dengan keindahannya. Kondisi alamnya juga didukung oleh kawasan hutan di daerah pegunungan yang membentang dari Barat sampai bagian Timur wilayah Bali, yang berfungsi sebagai pelindung erosi dan banjir. (BPS, Bali Dalam Angka, 2013, hal. 3 - 4). Sebagaimana layaknya provinsi lain di Indonesia, Provinsi Bali juga memiliki struktur pemerintahan yang sama, dimulai dari gubernur hingga camat. Secara administratif, pemerintahan hampir sama dengan provinsi lain. Tetapi mulai dari kepala desa hingga struktur terbawah, agak berbeda dengan daerah lain. Jika dalam struktur pemerintahan umumnya, terdiri dari kepala desa/lurah, kepala dusun/kepala lingkungan, ketua RW kemudian ketua RT. Di Bali struktur administratifnya adalah kepala desa/lurah, kepala dusun/kepala lingkungan, dan yang terbawah adalah kelian banjar. Banjar mirip dengan kampung, bisa terdiri dari 50-200 KK (kepala keluarga), keanggotaannya biasanya bersifat turun temurun. Untuk struktur pemerintahan adat, tiap desa di Bali dipimpin oleh bendesa adat (kelian desa) yang kedudukannya hampir setara dengan kepala desa/lurah, hanya saja bendesa adat adalah pemimpin adat yang bertugas untuk menjalankan awig-awig (undang-undang adat) di desa bersangkutan. Di bawah bendesa adat, ada kelian adat/kelian banjar. Di beberapa banjar di Bali, jabatan antara kelian banjar dan kelian adat biasanya dirangkap oleh satu orang, namun ada juga yang membedakannya. Dalam satu desa administratif bisa terdapat beberapa desa adat. Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
265
Maksudnya adalah desa A bisa terdiri dari desa adat B, desa adat C, dan desa adat D. Hal ini kaitannya dengan historis. Desa adat sudah ada sejak zaman kearajaan, setelah berakhirnya era kerajaan, maka pemerintah republic membentuk desa administratif. Secara administratif Provinsi Bali terbagi menjadi 8 kabupaten, 1 kota, 57 kecamatan, 715 desa/kelurahan, 1.482 Desa Pekraman dan 3.625 Banjar Pekraman. Luas wilayah masing-masing kabupaten beragam. Sesuai dengan urutan, luas wilayah Kabupaten Buleleng memiliki wilayah paling luas, yakni 1.365,88 km², kemudian Kabupaten Jembrana 841,80 km², Kabupaten Karangasem 839,54 km², Kabupaten Tabanan 839,33 km², Kabupaten Bangli 520,81 km², Kabupaten Badung 418,52 km², Kabupaten Gianyar 368,00 km², Kabupaten Klungkung 315,00 km² dan Kota Denpasar memiliki wilayah paling sempit yakni 127,78 km² (BPS, Bali Dalam Angka, 2013, hal. 5). Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2012 Provinsi Bali berpenduduk mencapai 3.686.665 jiwa, terdiri dari laki-laki sejumlah 1.850.073 jiwa (50,18%), dan perempuan 1.836.592 jiwa (49,82%). Jumlah penduduk tahun 2011 ini naik 3,19% dari sebelumnya 3.572.831 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut, Kabupaten Buleleng merupakan daerah yang berpenduduk terbesar dengan jumlah penduduk mencapai 693.625 jiwa atau (18,81%) dari seluruh penduduk Bali. Sedangkan wilayah yang terpadat penduduknya adalah di Kota Denpasar yaitu mencapai 654 jiwa per-km², ini merupakan angka kepadatan penduduk paling tinggi dibanding dengan
266
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Bali. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut di bawah ini: Tabel Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali, Tahun 2012 No. Kabupaten/
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Kota 1.
Jembrana
137.376
137.772
275.148
2.
Tabanan
220.002
221.898
441.900
3.
Badung
210.786
209.289
420.075
4.
Gianyar
230.389
227.793
458.182
5.
Klungkung
94.008
96.859
190.867
6.
Bangli
108.143
108.661
216.804
7.
Karangasem
229.206
227.998
457.204
8.
Buleleng
346.283
347.342
693.625
9.
Denpasar
273.880
258.980
532.860
Jumlah
1.850.073
1.836.592
3.686.665
Sumber: Bali Dalam Angka, Badan Pusat Statistik (BPS) Prov. Bali, 2013, hal.29). Persebaran penduduk di setiap kecamatan terlihat kurang merata. Sebagian besar penduduk terdapat di Kecamatan Denpasar Selatan, berjumlah 244.851 jiwa Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
267
(31,05%) dari jumlah penduduk Kota Denpasar. Kemudian 229.432 jiwa (29,09%) penduduk berada di Kecamatan Denpasar Barat, 175.899 jiwa (22,31%) di Kecamatan Denpasar Utara dan 138.404 jiwa (17,55%) selebihnya terdapat di Kecamatan Denpasar Timur (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2011, hal 29). Apabila umur 5 s/d 24 tahun dikategorikan sebagai usia sekolah, maka sebanyak 267.552 jiwa (33,93%) merupakan penduduk usia sekolah. Apabila umur 15 s/d 49 tahun dikategorikan sebagai usia kerja/produktif maka sebagian besar penduduk yakni 499.490 jiwa (63,34%) merupakan penduduk produktif (Diolah dari data Badan Pusat Statistik Kota Denpasar 2013, hal.33). Kota Denpasar sebagai daerah terbuka di samping merupakan Ibukota Provinsi Bali, berpenduduk dari latarbelakang suku dan etnis. Suku Bali yang merupakan penduduk asli Kota Denpasar dan Provinsi Bali, menempati posisi jumlah terbesar. Berdasarkan keterangan dari beberapa kalangan terutama penduduk asal Bali, jumlah suku Bali mencapai tidak kurang dari 60% dari jumlah penduduk Kota Denpasar. Sedangkan 30% sisanya terdiri atas suku Jawa, Sasak, Flores, Timor, Bugis, Ambon, Madura, Minang, Sunda dan suku-suku lain di Indonesia. Sebagai daerah wisata, di Kota Denpasar terdapat pula penduduk asing. Tanpa dirinci asal kewarganegaraan penduduk asing dimaksud, tercatat jumlah mereka tidak kurang dari 2.009 jiwa, terdiri atas 1.027 laki-laki dan 982 perempuan (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2011, hal. 34). Berdasarkan catatan Kantor Tenaga Kerja Kota Denpasar tentang Warga Negara Asing yang memohon izin kerja di Denpasar tahun 2010, mereka 268
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
antara lain berasal dari: Taiwan, Jepang, Perancis, Belanda, Jerman, Cina, Swiss, Kanada dan New Zealand (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2013, hal. 45). B. Kehidupan Politik
Budaya,
Pendidikan,
Ekonomi
dan
Di Provinsi Bali khususnya Kota Denpasar terasa sangat kental dengan nuansa budaya dan adat Bali-nya. Justru kehidupan masyarakat Bali yang hingga saat sekarang masih tetap konsisten mengaktualkan adatbudaya Bali dalam kehidupan sehari-hari yang mereka warisi secara turun-temurun dari nenek-moyang mereka, menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan masyarakat luar Bali khususnya para turis asing untuk mengunjungi Bali, sehingga Bali terkenal di seluruh dunia sebagai daerah wisata. Kekhasan adat dan budaya Bali ini menjadikan Bali berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Di antara kekhasan dimaksud misalnya: seni ukir khas Bali, tari Kecak, wayang Bali, perkumpulan/organisasi pengairan sawah disebut subak, adanya semacam “pemerintahan adat” yang disebut ”banjar”, serta tradisi penamaan kepada anak menurut urutan lahir seperti anak I diberi nama Putu/Gede, anak II Made, anak III Komang/Nyoman, anak IV Ketut, anak V kembali lagi ke nama I. Selain itu, masyarakat Bali memiliki kearifan lokal antara lain “menyama braya” yang berarti kebersamaan, hidup bersama/berdampingan, atau dalam istilah umum “gotong-royong”. Langgengnya budaya Bali dalam kehidupan masyarakat di atas tidak terlepas dari peran Pemerintah Provinsi Bali dalam mengupayakan pembangunan bidang budaya dengan Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
269
pembinaan secara berjenjang melalui banjar maupun lembaga dan organisasi kesenian. Pembinaan dilakukan dengan mengadakan pesta kesenian tingkat kabupaten/kota hingga tingkat provinsi. Pengembangan seni budaya tersebut diarahkan untuk menunjang aktivitas hiburan dan pariwisata. Hingga kini tercatat ada 384 organisasi kesenian di Kota Denpasar (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2013, hal.193). Di bidang pendidikan, untuk pelayanan pendidikan di Kota Denpasar terdapat sarana pendidikan mulai tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). Jumlah TK negeri 1 buah dan TK swasta 214 buah. Jumlah Sekolah Dasar (SD) negeri 171 buah, SD swasta 51 buah. Jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 54 buah, jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) negeri 14 buah dan SLTA swasta 48 buah. Sedangkan jumlah Perguruan Tinggi (PT) negeri dan swasta sebanyak 24 buah. Terdapatnya sekolah-sekolah swasta mulai dari jenjang pendidikan terendah hingga perguruan tinggi di atas, mengindikasikan tingginya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan bagi para generasi penerus mereka (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2011, hal. 55-85). Di bidang ekonomi, kehidupan perekonomian di Kota Denpasar diwarnai oleh ragam pekerjaan penduduk dalam berbagai sektor. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai 43,26 % dari jumlah penduduk Kota Denpasar. Jumlah tersebut jauh melebihi jumlah penduduk Provinsi Bali yang bekerja di sektor yang sama yakni hanya mencapai 26,24 %. Jumlah terbesar kedua yaitu sektor jasa yang 270
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
mencapai 24,45 %, lalu penduduk yang bekerja di sektor industri sebanyak 13,94 %. Kemudian berturut-turut penduduk yang bekerja di sektor angkutan dan komunikasi sebanyak 8,23 %, sektor keuangan 4,93 %, sektor bangunan/konstruksi 4,21 %, sektor pertanian 0,88 % dan sektor listrik, gas dan air minum 0.09 % (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2011, hal.42). Penduduk Kota Denpasar yang bekerja di sektor pertanian tersebut jauh lebih sedikit dibanding dengan kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Bali yang seluruhnya mencapai sekitar 30,87 % dari jumlah penduduk Provinsi Bali. Kehidupan politik masyarakat terlihat dari antara lain keberadaan partai-partai politik di Kota Denpasar. Pada periode Pemilu 2009 dan Pemilu sebelumnya, terdapat paling tidak 6 partai politik yang memiliki perwakilan di DPRD Kota Denpasar. Ke 6 partai politik dimaksud yaitu: PDIP, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gabungan, Amanat Bangkit Sejahtera dan Partai Indonesia Raya. Partai PDIP pada Pemilu 2009 dan Pemilu sebelumnya memperoleh suara terbanyak, ditandai oleh jumlah anggota di DPRD Kota Denpasar mayoritas yakni 17 wakil pada Pemilu 2009 dan 24 wakil pada Pemilu sebelumnya. Partai Golkar dan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 menempati urutan kedua dengan jumlah anggota di DPRD Kota Denpasar masing-masing 19 wakil. Pada Pemilu sebelumnya Partai Demoktar menempati posisi ketiga dengan jumlah wakil di DPRD Kota Denpasar hanya 4 orang. Sedangkan Partai Amanat Bangkit Sejahtera pada Pemilu 2009 tidak ada wakilnya di DPRD Kota Denpasar. Berbeda dengan Partai Indonesia Raya yang pada Pemilu 2009 memiliki wakil di DPRD sedangkan pada Pemilu sebelumnya tak memiliki wakil di Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
271
DPRD Kota Denpasar (Diinterpretasi dari Data Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2013, hal. 21). C. Kehidupan Keagamaan Kehidupan keagamaan dalam keseharian masyarakat Provinsi Bali pada umumnya dan khususnya Kota Denpasar, terlihat dominan diwarnai upacaraupacara keagamaan umat Hindu. Upacara keagamaan dimaksud antara lain: penempatan sesaji di tempattempat tertentu seperti di depan pintu pagar rumah, di perempatan jalan, di bawah pohon yang mereka anggap keramat dan di tempat pemujaan manifest di tiap rumah mereka. Kegiatan sesaji tersebut dapat kita saksikan setiap hari di berbagai tempat. Selain itu ada upacara keagamaan (Hindu) yang mereka lakukan pada momen-momen tertentu seperti pada waktu Bulan Purnama dan Bulan Tilem setiap bulan. Keadaan demikian dapat dimaklumi karena selain dalam kepercayaan umat Hindu di Bali sarat dengan upacara keagamaan, sebagian besar penduduk Provinsi Bali beragama Hindu. Demikian pula penduduk Kota Denpasar, mayoritas juga beragama Hindu. Mereka pada umumnya terdiri atas orang-orang Bali yang merupakan penduduk asli Pulau Bali. Berdasarkan data Sensus Penduduk Tahun 2010 di atas, terdata jumlah penduduk Kota Denpasar mencapai 788.589 jiwa. Dilihat dari segi agama, jumlah umat Hindu menempati posisi mayoritas yakni 538.166 jiwa (68,24 %) dari jumlah penduduk Kota Denpasar. Jumlah umat Islam menempati posisi terbesar kedua yakni 195.045 jiwa (24,73 272
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
%). Posisi ketiga yaitu umat Kristen dengan jumlah 25.272 jiwa (3,20 %), selanjutnya berturut-turut umat Katolik dengan jumlah 17.249 jiwa (2,19 %), umat Buddha 12.704 jiwa (1,61 %) dan Khonghucu 153 jiwa (0,03 %) (Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar, Januari 2012, hal. 14). Masing-masing umat beragama di atas tersebar di 4 kecamatan di Kota Denpasar, dengan rincian: Umat Hindu sebagian besar terkonsentrasi di Kecamatan Denpasar Selatan dengan jumlah 170.725 jiwa dan Denpasar Barat 143.548 jiwa. Umat Islam sebagian besar terkonsentrasi di Kecamatan Denpasar Barat dengan jumlah 70.455 jiwa dan Denpasar Selatan 54.013 jiwa. Umat Kristen terkonsentrasi di Kecamatan Denpasar Selatan dengan jumlah 10.094 jiwa dan Denpasar Barat 7.367 jiwa, umat Katolik di Kecamatan Denpasar Selatan 5.692 jiwa dan Denpasar Timur 5.427 jiwa, umat Buddha di Kecamatan Denpasar Selatan 4.263 jiwa dan Denpasar Barat 4.165 jiwa, sedangkan umat Khonghucu sebagian besar terkonsentrasi di Kecamatan Denpasar Selatan dengan jumlah 64 jiwa (Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar, Januari 2012, hal.14). Untuk keperluan peribadatan, masing-masing agama memiliki rumah ibadat yang jumlahnya secara proporsional relatif sejalan dengan jumlah pemeluk masing-masing agama. Umat Hindu memiliki rumah ibadat/bangunan suci berupa: Kahyangan Tiga 105 buah155), Kahyangan lainnya 105 buah156), Swagina 75 155
Kahyangan Tiga yaitu Puseh, Desa, Dalem yang diempon oleh Desa
Pakraman. Kahyangan lainnya yaitu Pura di luar Kahyangan Tiga dan masih diempon oleh Desa Pakraman/Banjar. 156
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
273
buah157) dan Kahyangan Jagad 1 buah158). Umat Islam memiliki masjid 26 buah dan mushalla 80 buah. Umat Kristen memiliki gereja 67 buah, umat Katolik memiliki gereja 4 buah dan kapel 1 buah, umat Buddha memiliki vihara 7 buah dan cetya 3 buah, sedangkan umat Khonghucu memiliki klenteng 1 buah (Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar, Januari 2012, hal. 15). Pembinaan rohani, masing-masing agama memiliki tenaga rohaniawan yakni: Hindu 1.658 orang terdiri atas pendeta dan pemangku; Islam 180 orang, terdiri atas ulama, khatib dan mubaligh; Kristen 68 orang pendeta; Katolik 25 orang, terdiri atas pastor, uskup dan suster; dan Buddha 34 orang terdiri atas bikkhu dan upakara (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2011, hal. 199-200). Untuk peningkatan pendidikan dan pengetahuan agama, masing-masing agama memiliki sarana pendidikan berupa sekolah agama. Umat Hindu memiliki 187 TK Hindu, 233 SD Hindu, 44 SMP Hindu, 1 IHDN dan 1 UNHI. Umat Islam memiliki 17 RA, 7 MI, 4 MTs., 2 MA, 22 Madrasah Diniyah dan 8 Pondok Pesantren. Umat Kristen memiliki 2 TK, 2 SD, 3 SMP dan 2 SMA. Umat Katolik memiliki 2 TK, 3 SD, 3 SMP dan 2 SMA (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2011, hal. 78-82). Selain itu, umat Hindu memiliki lembaga pendidikan: Pratama Widya Pasraman, Adi Widya Pasraman, Madyama Widya Pasraman, Utama Widya Pasraman dan Pesantian yang seluruhnya berjumlah 166 buah dikelola swasta. Umat Islam memiliki TPQ, TK Islam dan Majelis Taklim Swagina yaitu Pura sungsungan profesi tertentu, misalnya Subak Kahyangan Jagad yaitu Pura umum lainnya, terdiri atas: Dang Kahyangan, Sad Kahyangan dan Jagadnatha. 157 158
274
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
seluruhnya berjumlah 117 buah. Umat Buddha memiliki Sekolah Minggu Buddha sebanyak 5 buah dan umat Khonghucu memiliki Sekolah Minggu Khonghucu 1 buah (Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar, Januari 2012, hal. 13-14). Selain lembaga-lembaga pendidikan agama di atas, dalam upaya koordinasi kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial bernuansa agama, masing-masing kelompok agama memiliki lembaga atau organisasi keagamaan, antara lain: Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Denpasar, Gerakan Muda Budhis Indonesia (GEMA BUDHI), Perhimpunan Pemuda Hindu, Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Kota Denpasar, Muslimat NU Kota Denpasar, Pengajian al-Hidayah, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikata Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Aisyiyah Kota Denpasar, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), PD Wanita Islam, Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kota Denpasar, serta Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren (Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik Kota Denpasar, Data-Data Lengkap Ormas Umum, Ormas Keagamaan, Yayasan, LSM, Paguyuban, Aliran Kepercayaan, 2011). Dinamika kehidupan keagamaan masyarakat selain diwarnai oleh kegiatan keagamaan masing-masing umat beragama, diwarnai pula oleh kebijakan-kebijakan pemerintah –termasuk Pemerintah Provinsi Bali dan Walikota Denpasar- terkait dengan fungsinya dalam memberikan pelayanan di bidang kehidupan keagamaan masyarakat. Kebijakan dimaksud antara lain Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
275
dimanifestasikan dalam berbagai peraturan seperti: Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 yang berisi pedoman tentang Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB dan Pendirian Rumah Ibadat, Peraturan Gubernur Bali Nomor 32 Tahun 2008 tentang FKUB, Keputusan Gubernur Bali Nomor 1047/01-D/HK/2008 tentang Pembentukan dan Susunan Keanggotaan FKUB Provinsi Bali, serta Peraturan Walikota Denpasar Nomor 8 Tahun 2009 tentang FKUB Kota Denpasar. Secara administratif Kota Denpasar terbagi menjadi 4 kecamatan, 43 kelurahan/desa. Keempat kecamatan dimaksud yaitu: (1) Kecamatan Denpasar Selatan terdiri atas 10 kelurahan/desa, (2) Kecamatan Denpasar Timur terdiri atas 11 kelurahan/desa, (3) Kecamatan Denpasar Barat terdiri atas 11 kelurahan/desa dan (4) Kecamatan Denpasar Utara terdiri atas 11 kelurahan/desa (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2013, hal 1). Berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia, di Kota Denpasar –dan seluruh wilayah Provinsi Bali- di samping terdapat pemerintahan desa/kelurahan terdapat pula banjar. Di Kecamatan Denpasar Selatan selain terdapat 10 desa dinas/kelurahan, terdapat pula 11 desa adat, 106 banjar dinas dan 90 banjar adat. Di Denpasar Timur selain 11 desa dinas/kelurahan terdapat pula 12 desa adat, 87 banjar dinas dan 97 banjar adat. Di Denpasar Barat selain terdapat 11 desa dinas/kelurahan terdapat pula 2 desa adat, 112 banjar dinas dan 106 banjar adat. Sedangkan di 276
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Denpasar Utara selain terdapat 11 desa dinas/kelurahan terdapat pula 10 desa adat, 102 banjar dinas dan 99 banjar adat. Dengan demikian di wilayah Kota Denpasar selain secara nasional terdapat 43 pemerintahan desa/kelurahan yang disebut desa dinas, terdapat pemerintahan adat yang jenis dan jumlahnya jauh lebih banyak dibanding dengan pemerintahan desa/kelurahan. Jenis-jenis pemerintahan adat dimaksud yaitu: desa adat 35 buah, banjar dinas 407 buah dan banjar adat 392 buah (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2013, hal. 17). Sebagian besar yakni sekitar 10.136 ha wilayah Kota Denpasar terdiri atas tanah kering, sekitar 2.632 ha berupa persawahan dan selebihnya terdiri atas antara lain tambak, kolam, tebat dan empang (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2011, hal.1). III. PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG URGENSI PENGATURAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA A. Pandangan tentang Antarumat Beragama
Pengaturan
Hubungan
1. Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama Semua tokoh agama di Bali refresentatif mewakili masing-masing lembaga agama dalam kepengurusan FKUB, semua sepakat dengan hati nurahi agar semua umat selalu rukun, saling berangkulan, meskipun diakui ada riak-riak tapi tidak menjadi masalah. Hari Nyepi saja contohnya bagi umat Hindu diapit semua umat-umat agama lainnya, hari raya idhul fitri, natal, imlek atau hari raya lainnya juga Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
277
sama. Ada yang Hindu, Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Khonghucu sesungguhnya tidak ada perbedaan, sudah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga semua kita bersaudara, dalam kearifan lokal Bali konsep "Menyama braya", nyamu ‘saudara’ braya ‘dekat’ maksudnya saudara dekat. Bagaimana suadara yang ada di Bali dekat betul-betul tidak ada perbedaan. Pemerintah ke depan perlu membuat sebuah regulasi hubungan antarumat beragama, meskipun di Bali sudah ada aturan yang disepakati dalam awekawek begitu juga yang diatur dalam PBM No. 9 & 8 Tahun 2006. Tentunya yang sudah disepakati jangan ada yang melanggar dan harus diberikan sanksi. Kadang-kadang aturan ataupun sanksi bagi orangorang desa banyak tidak diketahui, yang berbahaya aturan itu disalahgunakan oleh orang tertentu (wawancara dengan A. Gede Muliawan, S. Ag., M. Si__ Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Bali). Melihat perkembangan sekarang, ke depan sebagai tokoh agama yang menjadi panutan umat beragama, bagi saya penting ada regulasi atau pedoman aturan hubungan antarumat beragama sebab semakin lama masyarakat semakin mengerti, mereka harus punya pedoman, orang intelek perlu ada pedoman. Perlu aturan atau regulasi yang senitral mungkin pengaturannya tidak ada keberpihakan dalam hubungan antarumat beragama. Sebagai dasar dalam berinteraksi, tapi kalau tidak diatur jalan sendirisendiri yang membuat api dalam sekam, kalau diatur ada masalah jalan keluarnya jelas, kalau tanpa 278
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
pengaturan bagaimana kita bisa mengatakan orang itu tidak sesuai aturan. Selama ini ada aturan Peraturan Pemerintah, yang sebaiknya menyangkut semua agama yang keluar itu undang-undang pengaturan hubungan antarumat beragama (wawancara dengan Dr. I. Gst Ngurah Sudiana, M. Si. __Ketua Umum PHDI Provinsi Bali) Menurut saya aturan tetap penting karena tadi hablum minannas, tapi aturan yang bisa diterima oleh seluruh rakyat, paling tidak bisa diterima oleh masyarakat umum diterima sudah bagus, sebab kalau tidak diterima susah, aturannya mesti harus didialogkan, kalau aturannya sudah jelas jadi semua bisa enak dan baik, tetapi juga dibaringi pemerintah yang punya integritas, bisa adil, ada pengawasan DPR, sebab yang membuat undang-undang pemerintah bersama DPR. Alternatif lain bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama berupa adat tradisi yang sudah bagus berupa kearifan local “awek-awek” dan “myama braya” rumah ibadat pura dan masjid berdekatan tidak ada masalah (wawancara dengan H.M. Taufiq Asádi, S. Ag__ Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Bali). Berkaitan dengan relasi antarumat beragama memang perlu diatur oleh pemerintah dalam peraturan-peraturan sehingga tidak ada gesekan atau konflik kepentingan, tentu peraturan itu dimaksudkan untuk memayungi semua komponen masyarakat, mengayomi semua umat beragama yang ada di Indonesia. Maka peraturan itu bisa mengatur hal-hal seperti itu, tapi kaitan dengan kehidupan iman tidak Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
279
bisa diatur dalam satu aturan pemerintah melainkan internal keyakinan umat agama yang bersangkutan, tapi kalau sudah berkaitan dengan relasi berhubungan saya dengan orang lain ini mesti diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik kepentingan, rasa kecemberuan antar umat beragama (wawancara dengan Romo Evensius Dewantoro, Pr.__Keuskupan Bali). Bila regulasi undang-undang sudah ada manfaatnya orang akan lebih berhati-hati dalam berprilaku karena ada hak dan kewajiban diikuti dengan sangsi hukumannya (wawancara dengan Pdt. Eka Wiradharma__Wadah Antar Lembaga Umat Buddha Indonesia (WALUBI) Provinsi Bali). 2. Manfaat adanya Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama Sebenarnya kalau dibuatkan aturan manfaatnya besar, karena berbagai masalah yang ditimbulkan tadi ada patokannya yang diselesaikan berdasarkan undang-undang hubungan antarumat beragama. kalau sampai sekarang masih banyak mengembang tidak ada selesainya (Dr. I. Gst Ngurah Sudiana, M. Si.). Manfaatnya untuk bangsa, karena UUD 1945 melaksanakan menertibkan kepentingan dunia, bagaimana melaksanakan ketertiban dunia kalau dirinya tidak tertib. Dampaknya adanya aturan lebih mudah kalau ada penyelesaian dan peraturan itu mestinya sosialisasinya menyentuh hati rakyat (H.M. Taufiq Asádi, S. Ag). 280
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Manfaat adanya regulasi undang-undang semua orang tahu diri dan tahu siapa orang-orang disekitarnya, mengenal orang supaya tidak menimbulkan konflik dan juga tahu hak dan kewajibannya (Romo Evensius Dewantoro, Pr). B. Kewenangan Pengaturan Hubungan Beragama dan Bentuk Pengaturannya
Antarumat
1. Kewenangan Beragama
Antarumat
Pengaturan
Hubungan
Pengaturan hubungan antarumat beragama menurut saya mestinya sudah ada kelompokkelompok pembinaan, sekarang siapa yang diberi tugas pemerintah itulah yang bertugas, dulu ada Pakem dialah yang bertugas (H.M. Taufiq Asádi, S. Ag). 2. Bentuk Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama Menurut Romo Evensius bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama selama ini mengacu pada PBM no. 9 & 8 Tahun 2006 selama ini sudah bisa mengakomodir banyak pihak yang berbeda latar belakang agama walaupun mungkin juga ada merasa kurang terjawab kebutuhannya melalu PBM ini, tetapi sementara itu yang terbaik. Menurut saya kalau sampai ketingkat undang-undang apakah tidak menimbulkan kerancuan antara PBM dengan undangundang, karena kalau sudah sampai mengikat sedemikian rupa pasti banyak kelompok atau kalangan Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
281
merasa tidak puas atas tidak tersentuh oleh undangundang itu. Jangan sampai undang-undang isinya sudah menyentuh keyakinan, sebab keyakinan seseorang bukan urusan negara melainkan urusan yang bersangkutan dengan Tuhan (agama), relasi yang berkaitan dengan hubungan antarumat beragama, mungkin bisa melihat ke hal-hal apa yang ada di PBM, aturan pemerintah atau peraturan daerah yang mengakomodir semua kepentingan tidak menimbulkan konflik, tidak menimbulkan juga pertanyaan sehingga peraturan itu baik untuk semua saya kira boleh ditingkatkan menjadi undang-undang, tapi kalau dipertanyakan masih menjadi wacana dikalangan masyarakat bawah tentu sangat hati-hati (Romo Evensius Dewantoro, Pr). C. Aspek-Aspek yang Perlu Diatur dalam Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama 1. Aspek-Aspek yang Perlu Diatur Penyiaran Agama Menurut Gst Ngurah Sudiana, dengan adanya beberapa kejadian penyiaran agama di wilayah provinsi Bali ini sebaiknya ada aturan. Contoh; penceramah agama kalau mau ke Bali atau ke daerah lain mestinya paham dulu bagaimana interaksi masyarakat di Bali. Jangan memutus hubungan dengan dalil agama, hubungan sosial diputus dengan agama bisa berbahaya. Sedangkan hubungan kita sudah baik, begitu ada ceramah agama berhenti anda dengan saya. Ketemu dengan saya dianggap musyrik, 282
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
orang memberikan bantuan, tukar makanan misal buah-buahan syirik, kecuali tidak halal jangan. Pendirian rumah ibadat Aspek pendirian rumah ibadat, contohnya bagi orang Bali mendirikan Pura tidak sesuai pada tempatnya misalnya mendirikan Pura di wilayah desa orang lain sebelum mendapatkan izin desa setempat, mendirikan Pura di tanah negara tanpa izin, ada kejadian Pemda Bali membongkar Pura karena berada di lahan negara di Jembaran ada Pura dan patung Airlangga, karena aset pemda dan tanpa izin. Mushalla, masjid, gereja, wihara juga sama. Antara Budha dan Khonghucu rebut masalah rumah ibadat “Klenteng”. Masjid juga ada yang dibongkar, asal mula kontrak bikin mushallah kecil, lama kelamaan menjadi masjid. Regulasi yang mengatur hubungan antarumat beragama adalah undang-undang tapi masukan-masukan dari tokoh-tokoh agama (Gst Ngurah Sudiana). Terkait dengan rumah ibadat ada kesulitan-kesulitan yang dirasakan terutama perlu adanya ketegasan kesungguhan pihak pemerintah daerah seperti kasus masjid di daerah Belimbing sudah 20 tahun dijadikan mushalla dan sudah dilakukan shalat jum’atan, tanahnya berupa wakaf, kemudian ditutup oleh desa adat banjar. Sudah disurati oleh Komnas HAM, sudah dikunjungi oleh Staf Presiden (Ali Masykur), bahkan surat Komnas HAM belum dijawab oleh Bapak Walikota Denpasar, padahal menurut etika pemerintah Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
283
mestinya sudah 15 hari harus sudah ada jawaban, apa boleh atau tidak bisa dibuka untuk direhab bangunan masjid itu atau dengan cara tukar goling, sementara bangunan itu sudah ditutup selama 8 tahunan. Kasus ini dipandang pemerintah kota Denpasar dibilang takut dengan desa adat banjarnya. Meskipun aturan PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 sudah ada, namun yang menonjol tetap desa adat banjarnya. Namun masalah internal umat Islam juga ada terjadi konflik seperti; masalah pergantian pengurus, masalah laporan keuangan, kejadian ini umat Islam tidak kompak dalam manajemen kepengurusannya (H.M. Taufiq Asádi, S. Ag). Aspek penyiaran agama, pendirian rumah ibadat atau lainnya selama ini masalah yang dihadapi selalu ada muncul dari kelompok-kelompok tertentu yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, mungkin maksud dan tujuannnya benar dan baik tetapi maksud dan tujuannya perlu dikomunikasikan dengan pihak lain, ada beberapa kejadian yang berhubungan dengan umat beragama lain yang menimbulkan keresahan dan bahkan ketidaknyamanan, dan masalah-masalah itu difasilitasi dengan baik oleh FKUB (Romo Evensius Dewantoro, Pr). Pemakaman jenazah Pemakaman untuk zenajah di Bali ini pernah terjadi perdebatan di Dalung untuk mendirikan kuburan muslim, sementara di wilayah Bali sudah banyak kuburan muslim dibeberapa tempat, di sana 284
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
karena banyak muslimnya kemudian mau dibuatkan lagi. Di Bali ada dibagi menjadi konsep; disucikan …… (Pura), tempat penduduk, tempat kuburan. Sekitar bepas di_hulunya desa dibangun tempat kuburan muslim, sedangkan Pura itu tidak boleh di hulunya ada kuburan. Kemudian juga orang Bali masalah ada yang tidak ikut desa ada tidak dikasih kubur, maka pihak PHDI mengambil alih melakukan kremasi yang difasilitasi desa adat. Sekarang pada umumnya pemakaman zenajah tidak ada mengalami kesulitan, problem yang terjadi masalah harga tanah yang sangat mahal, di Denpasar sekitar 10 meter persegi harga tanah mencapai Rp. 400 – 500 juta, bagi muslim di kembalikan ke kampung Jawa, misalnya penduduk muslim ada di Gianyar (Gst Ngurah Sudiana). Tempat pemakaman zenajah masih ada beberapa yang dikukuhkan untuk umat Islam, cuma yang menjadi masalah ada tanah yang sudah disiapkan untuk kuburan kemudian tidak boleh, pertama di Pekawun, Kedalung sekarang sudah ada lebih jauh di Jembran, makanya semua itu harus diatur. Sekarang di Suwung sudah ada awek-aweknya 5 tahun bisa dibongkar, dalam arti awek-awek ke dalam (H.M. Taufiq Asádi, S. Ag). Pengangkatan anak Pengasuhan anak biasanya dititip panti-panti, kalau yang adopsi orang Islam juga sering diingatkan binnya harus jelas, tidak boleh kita mengambil hak asasi manusia orang lain menjadi binnya anak kita, jadi Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
285
binnya harus jelas dimaksudkan untuk kebaikan orang Islam. Di daerah ini yang banyak yayasan biasanya orang Islam dibanding orang Hindu, Kristen. Tapi saya belum mendengar orang Islam yang diadopsi mereka, tapi karena yayasan umat Islam sebagai pelopor panti sudah lama, umumnya sasarannya orang-orang Hindu. Semua itu sudah diatur melalui undangundang tentang adopsi, cuma tinggal kita melaksanakannya, umat Islam jangan mengadopsi anak orang menjadi anak kita tetapi menjadi kebaikan kita (H.M. Taufiq Asádi, S. Ag). Menurut Gst Ngurah Sudiana, pengangkatan atau pengasuhan anak banyak kejadian. Ada anak angkat yang dikelola keluarganya. Misalnya si A mengangkat anak dari Jawa, ada keluarga yang tidak setuju takut anak yang diangkat mengambil warisan. Cara penyelesaiannya yang penting sudah ada kesepakatan dari keluarga sampai ke pengadilan sudah ada aktenya. Banyak anak-anak Hindu atau Muslim yang dipelihara panti asuhan Kristen akhirnya banyak yang masuk Kristen, di Bali sudah banyak keluarganya yang mengambil alih anak asuh itu. Biasanya panti asuhan Hindu ataupun Muslim anak asuhnya dari Hindu sendiri atau Muslim sendiri. 2. Pemeliharaan Hubungan Antarumat Beragama Yang berkewajiban memelihara kerukunan adalah seluruh masyarakat yang menjadi warga bangsa Indonesia, kalau pemerintah dasarnya memang memberikan kondusip karena sesuai dengan amanahnya 286
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945 melindungi segenap tumpah darah dan seluruh bangsa Indonesia, yang terlindungi lahir dan bathin, terus supaya cerdas, supaya sejahtera sebab kadang-kadang bukan masalah agama melainkan kesenjangan ekonomi. Kemudian ketertiban dunia, melaksanakan ketertiban dunia bagaimana kita mau melaksanakan ketertiban dunia kalau kita sendiri tidak tertib, tertib sendiri diantaranya ada aturan termasuk kehidupan antarumat beragama (H.M. Taufiq Asádi, S. Ag). Menurut Ngurah Sudiana pemeliharaan kerukunan menjadi tanggung jawab semua pihak selain aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Menurut Romo Evensius semua aspek yang sudah ada dalam berbagai peraturan bila ditingkatkan menjadi undang-undang sangat hati-hati, karena banyak hal yang diatur oleh lembaga malah jauh lebih baik daripada diatur undang-undang, sehingga saya sangat hati-hati untuk memberikan pendapat, itu tadi urusan internal, urusan lembaga yang bersangkutan, urusan yang berkaitan keselamatan jiwa seseorang diatur oleh lembaga jauh lebih baik, dan orang lebih dengar daripada aturan pemerintah. Namun beberapa aspek itu ada yang diatur dalam undang-undang kalau sudah dianggap menggangu ketertiban keamanan, tapi ada yang tidak perlu diatur karena menyangkut pilihan hidup, menyangkut iman seseorang. Selama ini belum ada kegiatan penyiaran agama atau kegiatan dalam bentuk apa saja yang merugikan masyarakat secara umum, tapi ada juga kegiatan Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
287
penyiaran agama yang dilakukan satu rumah ke rumah lain, satu tempat ke tempat yang lain dengan obyek sasaran misalnya mempengaruhi orang masuk keagama tertentu, masuk kepercayaan tertentu, ini sebenarnya sangat meresahkan masyarakat dan menimbulkan relasi yang terganggu. Kegiatan-kegiatan seperti ini kalau memang merugikan kepentingan bersama silakan diatur dalam undang-undang (Romo Evensius Dewantoro, Pr) 3. Perlu Tidaknya Sanksi Hukum Pengaturan yang diberikan berupa sanksi sangat penting, tapi yang porposional, karena aturan tanpa sanksi ibaratnya macan kertas guna mengambil langkah menyelesaikan kasus yang terjadi (Dr. I. Gst Ngurah Sudiana, M. Si.). Menurut Taufiq Asádi terkait dengan sangsi hukuman, biasanya seluruh undang-undang memang menyangkut masalah pidana dan perdatanya kalau ada pelanggaran tinggi dan rendahnya. misalnya dilakukannya adopsi anak, nanti anaknya sudah besar mengerti yang sesungguhnya bisa menggugat karena terjadi penipuan. Demikian juga kalau orang merasa dipaksa untuk mengikuti agamanya padahal dia sendiri tidak mau ikut masuk itu berarti salah, bisa hukuman pidana bukan perdata karena unsur pemaksaan, pemaksaaan itu tetap dilarang. Saya setuju saja menjadi undang-undang tentang hubungan antarumat beragama. Cuma nanti prosesnya sehingga negara tetap tertib, aman, nyaman, damai dari semua pihak.
288
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
4. Kewajiban dan Tanggungjawab Hubungan Antarumat Beragama
Penyelenggaraan
Menurut Romo Evensius Dewantoro jangan sampai undang-undang isinya sudah menyentuh keyakinan, sebab keyakinan seseorang bukan urusan negara melainkan urusan yang bersangkutan dengan Tuhan (agama), relasi yang berkaitan dengan hubungan antarumat beragama, mungkin bisa melihat ke hal-hal apa yang ada di PBM, aturan pemerintah atau peraturan daerah yang mengakomodir semua kepentingan tidak menimbulkan konflik, tidak menimbulkan juga pertanyaan sehingga peraturan itu baik untuk semua, saya kira boleh ditingkatkan menjadi undang-undang, tapi kalau dipertanyakan masih menjadi wacana dikalangan masyarakat bawah tentu sangat hati-hati. D. Saran terkait Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama dan Implementasinya Bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama selama ini mengacu pada PBM no. 9 & 8 Tahun 2006 selama ini sudah bisa mengakomodir banyak pihak yang berbeda latar belakang agama walaupun mungkin juga ada merasa kurang terjawab kebutuhannya melalu PBM ini, tetapi sementara itu yang terbaik. Menurut saya kalau sampai ketingkat undang-undang apakah tidak menimbulkan kerancuan antara PBM dengan undangundang, karena kalau sudah sampai mengikat sedemikian rupa pasti banyak kelompok atau kalangan merasa tidak puas atas tidak tersentuh oleh undang-undang itu (Romo Evensius Dewantoro, Pr). Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
289
ANGKET PENELITIAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA: PANDANGAN PEMUKA AGAMA TENTANG URGENSI PENGATURAN KUB TAHUN 2014 Provinsi
Nama Responden
:
Kabupaten/Kota :
Organisasi/lemb.
:
Mohon dijawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memilih salahsatu alternatif jawaban (setuju, tidak setuju, tidak tahu) dengan cara memberi tanda silang (X) atas jawaban yang dipilih dalam kolom jawaban yang tersedia. No.
Pertanyaan
Setuju
1.
Dalam upaya penataan dan penertiban hubungan di bidang keagamaan antarumat beragama, maka pengaturan tentang kerukunan umat beragama adalah urgen dilakukan.
12
2.
Pengaturan tentang kerukunan umat beragama bermanfaat untuk meningkatan kerukunan hidup beragama bagi umat beragama.
12
290
Tidak Tidak Setuju Tahu
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
3.
Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur/membuat regulasi mengenai hubungan antarumat beragama.
4.
Bentuk regulasi tersebut berupa: (Pilih salahsatu jawaban berikut):
12
a. Peraturan Menteri Agama; a. SKB Menteri Agama dan Menteri terkait;
1
b. Peraturan Presiden;
1
c. Surat Keputusan Presiden;
(SK)
d. Undang-undang 5.
10
Untuk upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama, perlu dilakukan pengaturan terhadap aspek-aspek di bawah ini: a. Penyiaran agama;
12
b. Pendirian rumah ibadat;
12
1
c. Penyelenggaraan perayaan/peringatan besar keagamaan ;
10
2
d. Pendidikan agama ;
hari 12
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
291
e. Pemakaman jenazah;
11
1
f. Bantuan keagamaan Luar Negeri kepada lembaga/ormas keagamaan;
9
2
g. Perkawinan antarumat yang berbeda agama;
3
7
h. Pengangkatan anak;
10
1
i. Penyalahgunaan dan atau penodaan agama;
5
6.
Bagi para pelanggar peraturan pemerintah, perlu dikenakan sanksi hukum terhadap pelanggarnya sesuai jenis dan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
12
7.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggungjawab pemerintah bersama masyarakat/umat beragama secara bersamasama.
12
8.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggungjawab pemerintah.
6
5
1
1
Jumlah =
292
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
IV. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Respon pemuka agama terhadap urgensi pengaturan hubungan antar umat beragama pada umumnya sangat setuju dilakukan regulasi oleh pemerintah, namun ada beberapa aspek yang tidak perlu diatur pemerintah melainkan diserahkan kepada umat beragama dan tokoh agama serta lembaga masyarakat yang sudah ada. 2. Bentuk pengaturan hubungan antarumat beragama selama ini mengacu pada PBM no. 9 & 8 Tahun 2006 selama ini sudah bisa mengakomodir banyak pihak yang berbeda latar belakang agama walaupun mungkin juga ada merasa kurang terjawab kebutuhannya melalu PBM ini, tetapi sementara itu yang terbaik. Kalau sampai ketingkat undang-undang apakah tidak menimbulkan kerancuan antara PBM dengan undang-undang, karena kalau sudah sampai mengikat sedemikian rupa pasti banyak kelompok atau kalangan merasa tidak puas atas tidak tersentuh oleh undangundang itu. 3. Berbagai peraturan bila ditingkatkan menjadi undang-undang sangat hati-hati, karena banyak hal yang diatur oleh lembaga malah jauh lebih baik daripada diatur undang-undang, sehingga saya sangat hati-hati untuk memberikan pendapat, itu tadi urusan internal, urusan lembaga yang bersangkutan, urusan yang berkaitan keselamatan jiwa seseorang diatur oleh lembaga jauh lebih baik, Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
293
dan orang pemerintah.
lebih
dengar
daripada
aturan
4. Yang berkewajiban memelihara kerukunan adalah seluruh masyarakat yang menjadi warga bangsa Indonesia, kalau pemerintah dasarnya memang memberikan kondusip karena sesuai dengan amanahnya Undang-Undang Dasar 1945 melindungi segenap tumpah darah dan seluruh bangsa Indonesia, yang terlindungi lahir dan bathin, terus supaya cerdas, supaya sejahtera. B. Rekomendasi Sehubungan dengan respon pemuka agama yang ada, maka diharapkan Pemerintah ke depan perlu membuat sebuah regulasi hubungan antarumat beragama, meskipun di Bali sudah ada aturan yang disepakati dalam awek-awek begitu juga yang diatur dalam PBM No. 9 & 8 Tahun 2006.
294
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011, Sosialisasi PBM & Tanya Jawabnya, Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, Edisi Tanya Jawab yang Disempurnakan. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Provinsi Bali Dalam Angka, 2013 Budiman, Aris, dkk. (Ed.), 2002, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, Jakarta, KIK Press, Edisi Revisi, Cetakan Kedua. Hakim, Bashori, A., 2013, Laporan Penelitian Upaya Konversi Agama di Pasar Badung – Kota Denpasar, Jakarta, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat. Hefner, Robert, W., 2007, ……………. Koentjaraningrat, 1981, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Edisi Baru.
Jakarta,
Moleong, Lexy, J., 2002, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, Cetakan Ketujuhbelas. Soekanto, Soerjono, 1993, Kamus Sosiologi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Edisi Baru, Cetakan Ketiga. Tim Penyusun, Ensiklopedi Indonesia (4), 1980, Jakarta, Ichtiar Baru, Van Hoeve. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,Departemen P dan K, Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cetakan Keempat. Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
295
Data Informan 1. Majelis Agama PHDI Provinsi Bali -
Dr. I. Gst Ngurah Sudiana, M. Si. __Ketua Umum PHDI Provinsi Bali
-
Ida Bagus Gst Wiana__ Ketua FKUB Provinsi Bali
-
Drs. Ketut Wiana, M. Ag__ Ketua Bidang Keagamaan dan Lintas Iman PHDI Pusat
-
A.A. Gede Muliawan, S. Ag., M. Si__ Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Bali
2. Majelis Agama & Tokoh Islam -
H.M. Taufiq Asádi, S. Ag__ Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Bali
-
Drs. H. Syamsul Bahri, M. Pd.I__Tokoh Agama Islam & Kabag TU Kanwil Kemenag Prov. Bali
-
H. Roihan Mukhlis__Majelis Ulama Indonesia/Wakil Sek FKUB Prov. Bali
-
H. Mustafa Amin__ Majelis Ulama Indonesia/FKUB Kota Denpasar
-
H. Taufiq__Polda Provinsi Bali
3. Majelis Agama & Tokoh Agama Kristen
296
-
Pdt. Made Budiarsa, M. Si__ Musyawarah Pelayanan Antar Gereja (MPAG) Badung
-
Pdt. Made Andrias__FKUB Kota Denpasar & Gereja Kristen Injili Nusantara (GKIN)
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
4. Majelis Agama Katolik -
Romo Evensius Dewantoro, Pr__Keuskupan Bali
5. Majelis Agama Budha -
Pdt. Eka Wiradharma__Wadah Antar Perwakilan Umat Buddha Indonesia Provinsi Bali
6. Majelis Agama Khonghucu -
Haksu Darmadi Slamet, Bsc,__Ketua Derokh Matakin Bali
-
Adinatha, SE__Ketua Matakin Provinsi Bali
-
Ir. Darsana__Ketua Matakin Kabupaten Badung.
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
297
298
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
INDEKS A Abdul Djamil, 42, 137, 140, 162 Ambon, 2, 12, 15, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 25, 27, 29, 31, 33, 47, 67, 69, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 96, 103, 104, 105, 106, 108, 109, 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 165, 206, 207, 268
D Dayak, 16, 173, 176 Denpasar, 5, 12, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 23, 26, 27, 29, 32, 33, 50, 65, 255, 262, 264, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273, 274, 275, 276, 277, 283, 285, 295, 296 Dialog, 7, 52, 205, 210 Diklat, 1, 2, 3, 7, 8, 12, 41, 42, 43,
B
46, 51, 52, 57, 65, 67, 70, 71, 107,
Badan Litbang, 1, 2, 3, 7, 8, 12, 41,
161, 162, 165, 167, 186, 199, 201,
42, 43, 46, 51, 52, 57, 65, 67, 70,
239, 241, 242, 243, 255, 259, 263,
71, 107, 111, 114, 119, 122, 136,
295
111, 114, 119, 122, 136, 137, 140,
137, 140, 161, 162, 165, 167, 199,
Discussion, 11
201, 242, 243, 255, 259, 263, 295
DKI, 12, 15, 17, 18, 21, 23, 25, 29,
Bakor Pakem, 28
43, 239, 240, 245, 246, 247, 248,
Basyaruddin, 41, 148, 161
249, 250, 251, 254
Buddha, 13, 18, 19, 57, 60, 70, 71,
E
77, 78, 86, 94, 117, 144, 146, 150, 151, 153, 176, 177, 183, 184, 191, 192, 208, 252, 253, 263, 273, 274, 275, 280, 297
Eropa, 59, 224 Esensi, 72, 185
C Creswell, 10, 54
Ekonomi, 76, 172, 178, 203, 269
F Fenomena, 68, 109
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia
299
FGD, 11, 55, 71, 72, 144, 145, 148, 149, 153, 210, 211, 212, 215, 220, 221, 222, 246, 261
253, 263, 272, 273, 274, 275, 278, 284, 285, 296 Ismail, 123, 132, 141, 161
Focus, 11, 55, 246, 261
G Geografis, 73
J J. Moleong, 11, 55 Jayapura, 12, 15, 16, 17, 19, 21, 23,
Gereja, 75, 78, 80, 85, 88, 90, 96,
25, 26, 28, 30, 32, 33, 199, 202,
114, 116, 125, 134, 143, 168, 177,
203, 204, 205, 206, 207, 208, 210,
296
222, 233
Group, 11, 43, 55, 245, 246, 261
H HAM, 4, 32, 50, 138, 141, 155, 215, 216, 218, 225, 233, 234, 283 Hindu, 13, 17, 18, 19, 21, 57, 60, 70, 71, 77, 92, 94, 116, 133, 144, 146, 151, 173, 175, 176, 177, 183,
K Kaharingan, 21, 177 Katolik, 13, 18, 19, 57, 60, 70, 71, 76, 77, 79, 89, 94, 97, 114, 116, 133, 134, 142, 146, 150, 151, 176, 177, 204, 208, 225, 227, 251, 263, 273, 274, 278, 297
190, 192, 193, 208, 263, 272, 273,
Kearifan Lokal, 103, 114, 179, 204
274, 275, 277, 286
Kerukunan Umat Beragama, 7,
I IAIN, 41, 42, 76, 81, 115, 123, 124, 161, 162 Islam, 13, 17, 18, 19, 21, 43, 57, 59, 60, 70, 71, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 83, 85, 91, 94, 95, 96, 104, 108, 113, 117, 122, 132, 133, 144, 145, 146, 147, 150, 151, 152, 173, 175, 176, 177, 180, 182, 190, 204, 207, 208, 210, 217, 220, 235, 252,
300
42, 51, 53, 68, 70, 85, 124, 125, 141, 162, 169, 179, 210, 245, 254, 276 Konflik, 19, 25, 41, 71, 74, 109, 125, 161, 205, 206, 208, 212, 251 Konghucu, 133 Kristen, 13, 17, 18, 19, 21, 42, 57, 60, 70, 71, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 83, 91, 94, 95, 104, 108, 113, 117, 124, 132, 133, 134, 142, 146, 147, 148, 150, 151, 152, 162, 173, 175, 176, 177, 180, 183, 193, 204,
Pandangan Pemuka Agama tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia