KONSTRUKSI SOSIAL ELIT AGAMA TENTANG PLURALISME DAN DIALOG ANTARUMAT BERAGAMA Zainuddin Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Abstract The objectives of this research are: the first, to understand the social construction of religious elites (Islam-Christianity) in Malang on religious pluralism and interreligious dialogues; the second, to understand the religious attitudes of religious elites (Islam-Christianity) in Malang; the third, to understand the pattern of relation and interreligious dialogues that was developed by religious elites (Islam-Christianity) in Malang. In general, this research is used for: the first, developing theory of science and social construction on religious pluralism and interreligious dialogues. How do the religious elites construct the pluralism and interreligious dialogues as part of interreligions relation. The locus of this research is Malang as the pluralistic city: ethnicity, religions, cultures and languages. The subjects of this research are the religious elites (Islam and Christianity) elected from the activists of interreligious dialogue. In conclusion, this research shows that the socio-religious formation of religious elites in Malang is: Fundamentalist and moderate. Furthermore, the result of this research detail shows that the social construction of religious elites on religious pluralism are: the first, the construction of religious pluralism is deonticdiachronic/ non-reductionistic and normative; the second, the religious attitude of Islam fundamentalist is exclusive-Islamcentric, inclusive-Islamcentric and inclusive-theocentric. While, the construction of religious pluralism according to Christian moderate elites is plural; the third, the pattern of relation of fundamentalist elite is co-existence, and the pattern of relation moderate elite (both Islam or Christian) is pro-existence. While the orientation of interreligious dialogues that they build generally is dialogue in community/ dialogue of life, except the fundamentalist Islam elites, that his orientation was theologic-islamization. Keywords: pluralisme, fundamentalisme, agama, Islam, Kristen, dialog.
Seja “pluralisme” dan “dialog antarumat beragama” dieksternalisasi oleh elit agama Kristen Protestan di dunia Barat, sejak itu wacana tersebut menjadi issu penting hingga kini, dan sejak itu pula pluralisme dan dia288
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
log anatrumat beragama menjadi fenomena sosial yang menyejarah sekaligus fenomenal. Pluralisme dan dialog antaragama (interreligious dialogue) tak hanya menjadi realitas bagi kaum Kristiani, tetapi juga umat yang lain, termasuk Islam. 1.
Konteks Masalah Bagaimana respon dan pandangan masyarakat terhadap pluralisme agama? Terdapat dua kelompok pemikiran besar dalam merespon pluralisme agama. Kelompok pertama menganggap bahwa pluralisme agama sebagai sesuatu yang niscaya (conditio sin quanon), sedangkan kelompok kedua menganggap bahwa pluralisme agama sebagai paham dan bukan hal yang niscaya. Menurut kelompok yang menolak pluralisme agama, mereka berpendapat bahwa “pluralitas agama” dan “pluralisme agama” merupakan dua hal yang berbeda. Pluralitas agama adalah kondisi di mana pelbagai macam agama mewujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan “pluralisme agama” adalah suatu paham yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama dan benar. Pluralisme tersebut menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan merupakan agenda penting globalisasi. Oleh karena itu menganggap “pluralisme agama” sebagai sunnah Allâh adalah claim yang keliru dan berlebihan.1 Di Indonesia, issu pluralisme dan dialog antarumat beragama menjadi marak setelah di introdusir oleh Nurcholish Madjid, Mukti Ali, dan Djohan Efendi, dan pada tahun-tahun terakhir ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya, Budhy Munawar Rahman dengan Paramadina-nya, Ulil Abshar Abdalla dkk. dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya. Sementara itu bagi kelompok Islam radikal seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizb al-Tahrîr Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), dengan tegas mereka menolak pluralisme agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan pluralisme agama karena menurut MUI, implikasi pemahaman seperti ini akan mengubah aspek-aspek baku dari suatu ajaran dengan mengikuti ajaran lain, yang demikian itu tidak dikehendaki oleh ajaran manapun.2 Dalam konteks relasi antarumat beragama, kota Malang memiliki ciri khas tersendiri, misalnya terlihat adanya relasi dan komunikasi yang telah terjalin antarelit agama (kiai, pendeta, pastur dan seterusnya.) dan intelektual (dosen, kalangan professional dan mahasiswa). Relasi ini
1
Lihat Majalah Islamiya dalam Pengantar, Tahun I No. 3 (September-Nopember 2004), 5-6.
2
http://id.wikipedia.org/wiki/polemik, Pluralisme Agama di Indonesia, diakses 15 Februari 2008.
Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
289
termanifestasi dalam keterlibatan mereka secara aktif dalam dialog-dialog dan kerjasama sosial maupun akademik. Misalnya Institut Pendidikan Theologia (IPTh) Balewiyata dan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Malang dalam setiap tahunnya secara rutin menyelenggarakan Studi Intensif tentang Islam (SItI) bekerjasama dengan para dosen UIN Malang yang tergabung dalam Lembaga Kajian, Penelitian dan Penerbitan Lintas Agama “Toleransi” dan kalangan pondok pesantren di beberapa tempat di Jawa Timur. Demikian pula Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKAUB), Gerakan Muda Antar Umat Beragama (Gema UB) dan Perempuan Antar Umat Beragama (PAUB) telah menjadi bagian penting dalam mewujudkan suasana kerukunan hidup antarumat beragama. Fenomena semacam ini memberikan keunikan tersendiri bagi jama>’ah Islam atau jemaat Kristen pada level grass-root. Secara sosiologis maupun psikologis, kedekatan hubungan tersebut memberikan dampak pada pemahaman tradisi di antara mereka, misalnya umat Kristen dapat mengenal tradisi Islam yang dibangun oleh pondok pesantren dan perguruan tinggi Islam secara empirik, begitu juga sebaliknya umat Islam menjadi tidak asing dengan tradisi Kristen yang ada di gereja dan lembaga pendidikan Kristen. Bahkan dalam setiap kegiatan, agenda acara selalu dimulai dan diakhiri dengan doa (baca: doa bersama) yang dipimpin oleh salah seorang dari mereka secara bergantian, misalnya dalam Christian-Muslem Dialogue agenda acaranya dibuka dengan doa dari perwakilan Kristen, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan shalawat Badar yang dipimpin oleh perwakilan Islam. Lalu dilanjutkan dengan renungan dan nyanyian religius yang bertitel Pray for the Peace of Humanity. Kemudian dilanjutkan dengan refleksi yang disampaikan oleh perwakilan Kristen dan Muslim dan diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh perwakilan Muslim. Namun di sisi lain, hubungan yang disharmonis di antara umat Islam dan Kristiani di kota Malang ini juga masih terjadi, sehingga perselisihan pun tak dapat terelakkan, misalnya kasus VCD training doa yang mencaci maki al-Qur’an oleh sebuah Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI) di Hotel Asida, Batu; kasus pelecehan Islam yang dilakukan oleh Ali Markus yang terjadi tanggal 19 Maret 2007 di GKJW Tulungrejo, Selecta, juga di kota Batu, sempat memicu kemarahan keras umat Islam di Malang. Fenomena keragaman (pluralitas) agama merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh setiap orang beragama, utamanya oleh elit agama. Eksistensi komunitas yang di dalamnya terdapat sekelompok orang dan pelbagai tradisi agama dan juga budaya yang hidup bersama dan berdampingan, merupakan tantangan khusus yang mereka hadapi. Dalam konteks pluralitas agama dan relasi antarumat beragama di kota Malang inilah tentu juga masih menyisakan problem dan sekaligus 290
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
tantangan yang harus dihadapi bersama oleh elit agama. Bagaimana mereka memahami pluralisme itu sendiri, bagaimana mereka menyikapi, dan pola apa yang mereka bangun dalam konteks relasi antarumat beragama? 2.
Fokus dan Tujuan Penelitian Dilatarbelakangi oleh konteks masalah di atas, maka fokus masalah yang ingin diteliti adalah sebagai berikut: Pertama, memahami konstruksi sosial elit agama (Islam-Kristen) di Malang tentang pluralisme dan dialog antarumat beragama; Kedua, memahami sikap keberagamaan elit agama (Islam-Kristen) di Malang; Ketiga, memahami pola relasi dan dialog antarumat beragama yang dibangun dan dikembangkan antarelit agama (Islam-Kristen) di Malang. Subjek dan sumber data penelitian ini adalah “individu” elit agama (Islam dan Kristen). Elit agama Islam dan Kristen dipilih dari elit dan aktivis dialog agama yang tergabung dalam kelompok “Toleransi”, FKAUB, NU, Muhammadiyah dan MUI.
3.
Manfaat Penelitian Secara umum penelitian tentang Relasi Islam-Kristen ini diharapkan berguna bagi: Pertama, pengembangan teori ilmu pengetahuan dalam kajian konstruksi sosial elit agama tentang pluralisme dan dialog antarumat beragama. Bagaimana elit agama mengkonstruk pluralisme dan dialog antarumat beragama sebagai bagian yang tak terpisahkan dari relasi agama-agama? Penelitian ini juga bisa dijadikan dasar pertimbangan bagi pengambil kebijakan (pemerintah, baik pusat maupun daerah) dalam hal penguatan dan pembinaan kerukunan antarumat beragama. Kedua, secara lebih spesifik, penelitian ini ingin melihat ulang tesis John Hick dan Lagenhausen tentang empat wajah pluralisme agama, yaitu: pluralisme agama normatif, pluralisme agama soteriologis, pluralisme agama epistemologis, dan pluralisme agama aletis. Demikian pula tesis Panikkar dan Mulder tentang kategorisasi sikap keberagamaan manusia, Marty. Watt, Hassan dan Abou Fadl tentang formasi sosial keagamaan elit agama.
4.
Metode dan Pendekatan Penelitian ini bermaksud memahami pemahaman (understanding of understanding) elit agama yang berkenaan dengan pluralisme dan dialog antarumat beragama. Bagaimana elit agama mengkonstruk pluralisme dan dialog antarumat beragama, termasuk di dalamnya adalah terkait dengan makna agama, makna kerukunan antarumat beragama, toleransi
Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
291
beragama, kebebasan beragama, doa bersama dan sebagainya. Pluralisme dan dialog antarumat beragama sebagai issu aktual dan global di kalangan masyarakat beragama memerlukan kajian dan penelitian lebih lanjut. Sebagai issu global, pluralisme dan dialog antarumat beragama perlu dipahami dari perspektif elit agama. Karena temuan teoretis yang hendak dibangun dalam penelitian ini adalah lebih mementingkan perspektif pemahaman dan pemaknaan subjektif tentang pluralisme dan dialog antarumat beragama oleh elit agama sebagai subjek penelitian, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif (qualitative research) dengan mengunakan teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Luckmann. Dalam perspektif konstruksi sosial tersebut dinyatakan, bahwa individu dengan institusinya adalah sebuah dialektika yang terekspresi dalam tiga kategori, yaitu: pertama masyarakat sebagai produk individu; kedua, masyarakat sebagai realtias objektif; dan ketiga, individu adalah produk masyarakat atau sosial. Dialektika ini dimediasikan oleh pengetahuan yang didasarkan atas memori pengalaman di satu sisi dan oleh peranan yang diekspresikan oleh individu dalam orde sosial di sisi lain.3 5.
Pengolahan dan Analisis Data Setelah data terkumpul, pengolahan data dilakukan secara bertahap di lapangan dengan memberikan kode (coding) dan memisahkan data sesuai dengan tipologinya. Tahap berikutnya dilakukan setelah data terkumpul seluruhnya. Pengolahan data tahap ini bertujuan untuk mengungkapkan sejumlah informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian. Menurut Miles,4 analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilahan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatancatatan tertulis di lapangan. Reduksi data dilakukan selama penelitian berlangsung, setelah peneliti di lapangan sampai laporan tersusun. Reduksi data merupakan bagian dari analsis data dengan suatu bentuk analsis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak diperlukan, dan mengorganisasi data sehingga kesimpulan final dapat diambil dan diverifikasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Dengan analisis tersebut diharapkan dapat diperoleh gambaran
3
Lihat Water Malcoln, Modern Sosiological Theory (London: Sage Publications, 1994), 35.
292
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
secara jelas pandangan elit agama teatang pluralisme dan dilaog antarumat beragama, sikap keberagamaan serta pola relasi dan dialog antarelit agama di Malang. 6.
Temuan Penelitian 1.
Konstruksi Sosial Pluralisme Agama: Fundamentalis Versus Moderat a. Wajah Pluralisme Agama Menurut Elit Agama Fundamentalis Sebagaimana yang dipahami oleh elit agama fundamentalis, bahwa pluralisme agama memiliki makna yang berbeda dengan apa yang dipahami oleh elit agama moderat. Dalam konteks penelitian ini, yang termasuk dalam kategori elit agama fundamentalis adalah elit agama Islam, yaitu Baidlowi Muslich, Djumransjah, Taufik Kusuma dan Nur Afandi. Jika menggunakan kategorisasi Legenhausen, maka pluralisme agama menurut elit agama fundamentalis berwajah deontic-diachronic/ non-reduksionis, artinya bahwa pada beberapa daur sejarah tertentu, Tuhan memberikan wahyu untuk umat manusia melalui seorang Nabi atau Rasul. Perintah dan kehendak Ilahi ini terus menyempurna dan melahirkan keragaman tradisi agama. Ditetapkannnya Muhammad sebagai pembawa risalah Islam terakhir, memutuskan mata rantai penyempurnaan tradisi agama, sekaligus menuntut seluruh umat manusia untuk memeluk wahyu terakhir ini sebagai konsekuensi dari pengamalan dan pelaksanaan perintah Ilahi, dan pada saat yang sama juga mencegah pluralisme liberal atau reduktif. Dalam konteks ini, elit agama fundamentalis berpandangan bahwa agama yang sesuai dengan akidah Islam adalah tauhid sebagaimana yang ditegaskan pula dalam QS. Ali Imran: 85, bahwa agama yang diturunkan oleh Allah melalui para Rasul-Ny adalah Islam. Dengan demikian, agama selain Islam adalah baþil. Oleh karena itu, seperti halnya MUI,5 kelompok fundamentalis menolak pluralisme, liberalisme dan sekularisme sebagai paham satu paket. Karena menurut mereka, kelompok Liberal menafsirkan ayat dengan mengandalkan akal semata.
4 5
Lihat Miles dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep Rohadi (Jakarta: UI Press, 1997), 73-75. Dalam Munasnya pada 26-29 Juli 2005, Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebelas fatwa yang antara lain mengharamkan liberalisme, pluralisme agama,dan skularisme. Paham yang mengatakan, bahwa “semua agama adalah sama” menurut MUI berimplikasi terhadap adanya pengubahan aspek-aspek baku dari suatu ajaran dengan mengikuti ajaran lain.
Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
293
Dalam konteks penafsiran ayat, kelompok fundamentalis berpendapat, bahwa ayat Wa lan tarðâ ‘anka al-Yahûd wa al-Na]âra....6 khiþabnya tidak hanya kepada Nabi Muhammad saja, tetapi juga untuk umatnya dan berlaku sepanjang masa. Menurut mereka, ayat tersebut jelasjelas menegaskan, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela jika mereka belum menjadikan orang Islam masuk agamanya. Dan ini terbukti juga hingga sekarang, di mana orang-orang Barat, Yahudi dan Nasrani terus-menerus melecehkan dan mendiskriditkan umat Islam, seperti di antaranya kasus karikatur Nabi Muhammad dan pelecehan Islam lainnya. Menurut kelompok fundamenlais, hanya agama Islam yang memiliki otentisitas sumber ajaran berupa al-Qur’an dan al-Hadith. Selain itu, bahasa yang digunakan juga masih otentik yang terus digunakan hingga saat ini dan menjadi bahasa internasional. Adapun agama lain, seperti Kristen, tidak memiliki landasan literal yang otentik. Selain itu tidak didapatkan keseragaman antara satu kitab yang ditulis oleh satu penulis dengan penulis yang lain sehingga melahirkan banyak versi Injil (Injil Matius, Barnabas, Lukas dan lain-lain), sementara itu bahasa Ibrani sebagai bahasa asli Injil sudah punah. Apalagi dengan agama lain yang tidak memiliki kejelasan sumber ajaran kecuali prasangka-prasangka, maka sudah jelas lebih salah lagi. Kelompok fundamentalis menggunakan dalil-dalil al-Qur’an sebagai hujjah-nya, misalnya ayat-ayat sebagai berikut: “Sesungguhnya agama (yang sah) di sisi Allah hanyalah Islam”,7 “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”; 8 Kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah di dunia ini pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun kepadanya;9 Dan kebenaran itu hanya ada pada agama Allah;10 “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah mengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.11 Menurut kelompok fundamentalis, pluralisme agama adalah paham sesat, yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
6 7 8 9 10 11
al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 120. al-Qur’an, 3 (Ali Imran): 19. al-Qur’an, 3 (Ali Imran): 85. al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 147. al-Qur’an, 3 (Ali Imran): 19. al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 120.
294
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
kebenaran setiap agama bersifat relatif. Pluralisme non-Muslim menurut kelompok fundamentalis bukan untuk kepentingan pemahaman, atau murni doktrin, tetapi lebih bermakna pada kepentingan mereka sebagai minoritas. Dengan kata lain, pluralisme mereka sangat tendensius. Mereka takut jika dianggap darahnya halal oleh orang Islam. Menurut kelompok fundamentalis, orang-orang non-Muslim haram memulai mengucapkan salam kepada orang Islam, karena Nabi bersabda, artinya: “Janganlah kalian memulai kaum Yahudi dan jangan pula kaum Nasrani dengan ucapan salam.” Tetapi jika mereka lebih dahulu mengucapkan salam kepada kita, maka hendaklah kita mengucapkan seperti salam mereka kepada kita, sebagaimana firman-Nya: “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa)”.12 Ucapan salam orang non-Muslim kepada orang Muslim tidak terlepas dari dua hal: pertama, jika mereka jelas-jelas mengucapkan salam dengan kalimat assalâmu’alaikum, maka kita boleh menjawab wa ‘alaikum; kedua, jika mereka mengucapkan assalâmu’alaikum (semoga kematian menimpamu), maka kita mengucapkan, wa’alaikum (juga menimpamu). Demikian ini, karena dulu kaum Yahudi pernah datang kepada Rasulullah lalu mengucapkan salam kepadanya dengan ucapan, assâmu’alaikum, mereka tidak jelas mengucapkan lâm. Assâm artinya al-maut (kematian), maksudnya mereka mendoakan Nabi agar mati. Karena itu Nabi memerintahkan untuk mengucapkan pada mereka, wa’alaikum. Jadi, jika mereka mengucapkan, Assâmu’alaikum maka kita membalas dengan ucapan, wa’alaikum, maksudnya, semoga kematian itu menimpa kalian pula. Inilah wajah pluralisme agama kelompok fundamentalis yang disebut Legenhausen sebagai pluralisme agama non-reduksionis atau deontic-diachronic. b.
Wajah Pluralisme Agama Menurut Elit Agama Moderat Jika menggunakan kategorisasi John Hick, maka pluralisme agama menurut elit agama Moderat berwajah normative-soteriologic. Dalam hal ini terdapat dua kelompok moderat dari elit agama Kristen dan kelompok elit agama Islam. Di kalangan elit agama Moderat Islam, pluralisme agama mereka berwajah normative, sementara dari kalangan elit agama Moderat Kristen berwajah normative-soteriologic. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hick, bahwa pluralisme agama normatif (normative-religious pluralism), adalah pluralisme agama yang menyeru kepada semua pihak untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan agama lain, menjauhkan arogansi dan menyebarkan toleransi.
12 al-Qur’an, 4 (al-Nisa): 86.
Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
295
Tokoh pencetus pluralisme agama ini adalah Fridrich Schleiermacher, Rudolf Otto dan secara par-exellence adalah John Hick. Sementara pluralisme agama soteriologis (soteriological-relgious pluralism) berpandangan, bahwa selain umat Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani. Pluralisme agama ini merupakan lanjutan dari pluralisme religius-normatif. Dalam konteks ini, pluralisme normative-soteriologic menyeru kepada semua pihak untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan agama lain, menjauhkan arogansi dan menyebarkan toleransi, karena menurut mereka, bahwa selain umat Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani. Supaya Islam tidak dianggap sebagai agama kekerasan dan teroris, maka menurut elit agama moderat perlu ada gerakan Islam jalan “tengah”. Islam “jalan tengah” menurutnya adalah, Islam moderat, sebagaimana sabda Nabi: Ahabb al-adyân ilâ Allâh al-hanîfiyyat al-samhah, agama yang paling dicintai oleh Rasulullah adalah agama yang toleran. Menurut kelompok moderat, sebagaimana yang dikatakan Tholhah, jika pluralisme diartikan “kesamaan” antarumat beragama mestinya dibolehkan, akan tetapi jika dimaknai secara sinkretisme memang harus dikaji lagi. Kelompok moderat menyatakan, bahwa dulu pada zaman Rasulullah saw, ada seorang utusan dari masyarakat Nasrani yang ingin mengadakan ritual kebaktian pada sore hari, tetapi para sahabat merasa keberatan, lalu Nabi mengatakan: “biarkan!”. Nabi memberikan izin pada mereka tetapi bukan untuk dijadikan kebiasaan. Terkait dengan doa bersama kelompok moderat sebagaimana yang dikatakan Tholhah, umat Islam boleh mendoakan orang non-Islam, mendoakan untuk menjadi muslim atau selamat di dunia. Yang dilarang adalah mendoakan orang non-Muslim yang sudah mati. Doa bersama adalah untuk masing-masing supaya selamat. Doa laknat berlaku bagi orang non-Muslim yang jelas-jelas memusuhi Muslim. Salam kepada nonMuslim dalam pengertian selamat di dunia tidak apa-apa, alias boleh. Menurut kelompok moderat, sebagaimana yang dinyatakan Hasyim, bahwa antara orang Kristen dan orang Islam memiliki bagian yang sama. Dalam teori universalisme Islam, terdapat nilai kerahmanan. Sementara kerahiman merupakan kehendak Allah yang berlaku pada waktu di akhirat nanti. Ini tergantung teologi mana yang dibenarkan oleh Allah, dan itu nanti, tidak sekarang. Menurut kelompok moderat, doa bersamasama sah, karena Tuhan masing-masing agama tidak akan tertukar. Dalam pandangan kelompok moderat, sebagaimana yang dikatakan Najib, doa bersama adalah doa kepada Tuhan, bukan kepada patung atau selainnya. Doa bersama bukan membenarkan kebenaran agama lain, namun mendoakan untuk keselamatan bangsa, problem disintegrasi, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk kerukunan antarumat beragama. 296
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
Dengan demikian doa bersama seperti ini malah dikatakan “wajib”. Ada salah satu ulama yang menyamakan doa bersama ini dengan shalat istisqâ’ yang di situ terdiri dari beberapa agama. Termasuk dalam hal ini adalah mengucapkan atau menjawab salam kepada umat non-Islam. Menurut Najib, mengucapkan atau menjawab salam kepada umat non-Islam boleh saja, sebab menurutnya, hadis tentang larangan salam konteksnya waktu itu umat Islam dalam kondisi tidak damai atau dalam permusuhan. Maka itu, jika kondisinya sudah damai tidak masalah. Termasuk yang disebut dalam QS. al-Baqarah: 120,13 karena menurut konteksnya, Nabi terus berusaha mengajak mereka untuk masuk Islam. Lantas Tuhan menegurnya dengan ayat tersebut. Inilah wajah pluralisme agama kelompok moderat Islam yang disebut Hick sebagai pluralisme agama normative-soteriologic. 2. a.
Elit Agama dan Sikap Keberagamaan Sikap Keberagamaan Elit Agama Fundamentalis Jika menggunakan terminologi Panikkar, sikap keberagamaan kelompok elit fundamentalis Islam bercorak ekslusif-Islamsentris, artinya mereka menegaskan bahwa tidak ada keselamatan di luar agamanya. Baik ekslusivisme Islam maupun Kristen sama-sama mengklaim kebenaran masing-masing, sehingga keduanya bersifat permusuhan (subjektivispartikularis). Jika orang Kristen menegaskan, bahwa tidak ada keselamatan di luar gereja (extra ecdesiam nulla salus), maka demikian pula orang Islam juga menegaskan, bahwa tidak ada keselamatan di luar Islam sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran: 85, “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan ia di akhirat termasuk orangorang yang rugi”.14 Dalam konteks ini, kelompok elit fundamentalis Islam selalu menegaskan, bahwa pengakuan dan kebenaran dalam agama setelah diutusnya Nabi Muhammad adalah Islam. Oleh sebab itu tidak ada agama yang harus diikuti setelah diutusnya Nabi Muhammad kecuali agama Islam. Dengan demikian, dakwah Islam harus ditegakkan terus-menerus agar umat selamat terbebas dari kesesatan dan memperoleh keselamatan (salvation). Prinsip demikian ini harus terus-menerus ditegakkan dalam rangka dakwah-islamiyah.
13 "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. 14 al-Qur’an, 3 (Ali Imran): 85.
Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
297
Kelompok elit fundamentalis Islam sebagaimana Taufik meng-claim, bahwa hanya agama Islamlah yang memiliki otentisitas sumber ajaran berupa al-Qur’an dan al-Hadith. Selain itu, bahasa yang digunakan masih otentik dan digunakan hingga saat ini dan menjadi bahasa internasional. Adanya ilmu hadis juga memperkuat otentisitas ajaran ini karena perunutan periwayat dan kandungan hadis dapat dilakukan pada ulama hadis saat ini sampai pada ulama penulis hadis dan bahkan sanad yang sampai pada Rasul Muhammad. Yang demikian ini tidak didapat dalam agama manapun kecuali Islam. Adapun agama lain, semisal Kristen, tidak memiliki landasan literal yang otentik berupa sumber ajaran yang dibukukan oleh murid-murid nabi-nabi mereka. Selain itu tidak didapatkan keseragaman antara satu kitab yang ditulis oleh satu penulis dengan penulis yang lain sehingga melahirkan banyak versi Injil (Injil Matius, Barnabas, Lukas dan lain-lain). Demikian pula, bahasa Ibrani sebagai bahasa asli Injil saat ini sudah punah. Lantas, apalagi dengan agama lain yang tidak memiliki kejelasan sumber ajaran kecuali prasangka-prasangka, maka sudah jelas lebih salah lagi. Makna kerukunan antarumat beragama menurut elit fundamentalis Islam adalah para penyeru kebenaran Islam tidak dihalangi dan dihambat dalam menyampaikan kebenaran Islam kepada pemilik agama yang salah demi menyelamatkan mereka dari jurang api neraka, namun apabila non-Muslim bersikap bermusuhan dan menghambat penyebaran kebenaran, maka hal ini tidak dapat dikatakan kerukunan. Termasuk kebebasan beragama berarti, bahwa setiap orang diberi oleh Allah kebebasan untuk memilih, sesuai firman Allah: “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama (Islam), sesungguhnya sudah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”15. Namun, ancamnya, resiko masuk neraka ditanggung sendiri. Elit fundamentalis Islam memiliki sikap mengambil jarak dan tetap berhati-hati untuk menjaga iman mereka dari penetrasi agama lain. Oleh sebab itu seperti yang dikatakan oleh Baidlowi, orang Islam tidak boleh terlalu cinta kepada mereka (orang-orang non-Muslim) supaya tidak tergoda imannya. Kiai juga berpesan kwpada umat Islam untuk tidak toleran di bidang yang menyangkut akidah dan syari’ah, termasuk di bidang kesenian dan budayapun harus tetap hati-hati, jangan ada pembauran, atau pencampuradukan, karena yang demikian itu akan menimbulkan perpecahan. Kompromi budaya boleh asal sudah diislamisasi. Seperti halnya Baidlowi, Djumransjah juga menegaskan, bahwa umat Islam harus memiliki prinsip lakum dînukum waliya dîn. Umat Islam harus dapat membedakan mana yang mu’âmalah dan mana yang
15 al-Qur’an, 2 (al-Baqarah) : 256.
298
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
ibâdah. Dalam berhubungan dengan agama lain Djumransjah mempunyai prinsip persaudaraan (ukhuwwah), yaitu ukhuwwah basharyiyyah, imâniyah dan waþaniyyah. b.
Sikap Keberagamaan Elit Agama Moderat Sikap keberagamaan kelompok elit Islam moderat bercorak inklusif-Islam sentris, artinya mereka berpendapat bahwa orang-orang beragama lain juga bisa selamat dari neraka dan memperoleh kebahagiaan kekal (Islamsentris). Menurut Tholhah, bahwa semua agama diberikan kepada manusia supaya mereka dapat menjalani hidup secara lebih baik dalam nuansa kebesaran Tuhan semesta alam, melakukan semua ajaran atau pesan yang telah diberikan Tuhan. Dari pandangan ini, agama juga berfungsi untuk menciptakan situasi harmoni dan saling menghormati untuk mengendalikan konflik yang mungkin timbul. Semua pihak harus samasama menyadari akan pentingnya persatuan dan kesatuan umat, melalui pemahaman agama masing-masing secara benar dan tepat. Perlu ada moderasi dalam beragama, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Bagaimana sejatinya makna agama itu, sehingga agama menjadi pemersatu umat. Setiap agama menurut Tholhah, mempunyai dasar teologis untuk meng-claim kebenaran dirinya. Dalam waktu yang sama, semua agama juga mempunyai dasar teologis untuk menyatakan bahwa hanya Tuhan dan wahyulah yang mempunyai bobot kebenaran yang absolut. Sedangkan manusia yang menyampaikan ajaran agama adalah memberikan interpretasi. Dan karena itu, interpretasi manusia atas wahyu menjadi kebenaran yang tidak absolut, tetap nisbi/ relatif seiring dengan keterbatasannya sebagai manusia. Dengan semangat dan sikap itu, maka kerukunan dan keharmonisan beragama dapat diupayakan dan diwujudkan. Tholhah mengimbau kepada para elit agama untuk terlibat dalam urusan sosial-kemanusiaan, supaya terwujud titik temu agama-agama. Umat beragama tidak lagi disibukkan oleh “mempertobatkan” orang lain yang dianggapnya belum beriman dan kafir, yang ini menjadi masalah serius kita semua yang harus segera dicarikan solusinya. Oleh sebab itu, diperlukan dakwah yang mementingkan kualitas dari pada kuantitas. Menurut kelompok elit Islam moderat, bahwa orang Islam perlu mengedepankan etika global sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Pada waktu melakukan ibadah haji terakhir, Nabi Muhammad membuat pernyataan yang merupakan etika global: “Wahai umat manusia, semua orang berasal dari Adam, sedang Adam dari ekstrak tanah. Orang Arab tidak lebih mulia daripada Non-Arab, orang kulit
Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
299
putih tidak lebih mulia daripada orang kulit hitam, kecuali karena kelebihan ketakwaannya. Makhluk ini semuanya merupakan keluarga Allah, maka diantara mereka yang paling dicintai-Nya adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada keluarga-Nya”.
Dalam konteks ini, sebagaimana ungkap Abou Fadl,16 kelompok moderat Islam sangat memperhatikan ayat-ayat salâm atau kedamaian, kesentosaan, ketenangan, atau ketentraman. Ayat-ayat salâm adalah ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan kebutuhan tidak saja akan toleransi antaragama, melainkan untuk bekerja sama secara moral yang berusaha menegakkan kebajikan di muka bumi. Sebagaimana yang dijelsakan oleh kelompok Islam moderat, bahwa dalam konteks relasi dengan kelompok musuh, umat Islam seharusnya mencoba mengingatkan mereka akan kewajiban moral mereka kepada Tuhan, tetapi jika musuh itu dengan angkuh menolak kebenaran, umat Islam seharusnya meninggalkan sembari memberikan salâm kepada mereka. Dalam dinamika seperti ini, umat Islam seyogyanya menunjukkan sikap yang dapat meyakinkan musuh mereka bahwa perbedaan pendapat di antara mereka tidaklah bersifat personal, dan bahwa umat Islam tidak menampakkan dendam atau kebencian terhadap musuh mereka. Sampaisampai ketika musuh menolak ajaran dan berpaling dari mereka, alQur’an memandu umat Islam bahwa satu-satunya respons yang tepat terhadap penolakan ini adalah mendoakan agar musuh mereka mendapat anugerah kedamaian. Inilah yang sangat kontras dengan pandangan kelompok Islam fundamentalis, yang selalu menjadikan diri mereka sebagai kelompok superior dan berusaha menghegemoni kelompok non-Mulsim.17 Lebih jauh lagi Hasyim mengatakan, bahwa antara orang Kristen dan orang Islam memiliki bagian yang sama. Dalam teori universalisme Islam, terdapat nilai kerahmanan. Sementara kerahiman merupakan kehendak Allah yang berlaku pada waktu di akhirat nanti. Ini tergantung teologi mana yang dibenarkan oleh Allah, dan itu nanti, tidak sekarang. Di sinilah Hasyim berbeda dengan elit Islam yang inklusif-Islamsentris, maka ia dapat dikategorikan sebagai inklusif-teosentris. Sementara itu sikap keberagamaan yang plural ditunjukkan oleh elit agama Kristen. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bambang Ruseno, bahwa agama-agama dunia yang semula menjadikan agamanya masingmasing sebagai pusat, kini harus mau menerima, bahwa Tuhanlah yang menjadi pusat dari semua agama, tidak ada perbedaan yang hakiki antara
16 Abou al-Fadl, Khaled, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), 252. 17 Ibid.
300
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
agama yang satu dengan yang lain Pluralisme dinyatakan dalam teksteks Kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Baik dalam Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama dinyatakan, bahwa Allah menyatakan diri kepada umat pilihan-Nya adalah satu-satunya Allah dan merupakan Allah bangsa-bangsa (Ul.6:4; 4;35, 39; Yes 43:10-11). Karena itu perjanjian Allah dengan Musa dinyatakan: “Aku akan menjadi Allah-mu dan engkau akan menjadi umat-Ku” (Im. 26:12) yang didahului oleh perjanjian-Nya dengan Abraham (Kej. 15:17-21; 17:1, 14), Nuh dengan tanda pelangi (Kej.9:16) dan Adam (Kej.1-5) dan selanjutnya diteruskan melalui Daud (Maz. 89) dan Al-Masih adalah perjanjian dengan seluruh umat manusia dan bahkan seluruh dunia. Dengan demikian, sejarah keselamatan tidak dibatasi hanya pada satu umat pilihan saja, melainkan seluruh umat manusia. Pilihan Allah tidak memutuskan Israel dari bangsa-bangsa, melainkan justru menempatkan mereka dalam relasi dengan bangsa-bangsa. Hal yang senada juga disampaikan oleh Suwignyo dengan mengatakan, bahwa jika mau jujur —kata dia— sumber keyakinan agama, yaitu kitab suci pun sebenarnya merupakan ramuan berbagai bahan dasar yang “tidak suci”. Padahal —lanjut dia— semua orang beragama sepakat bahwa jiwa menjadi abdi Allah yang rendah hati, yang taat, adalah dasar terdalam moralitas beragama sebelum tecemar oleh ketidakrelaan dan ketidaksukaan. 3. a.
Pola Relasi dan Model Dialog Antarumat Beragama Pola Relasi dan Model Dialog Antarumat Beragama Menurut Elit Agama Fundamentalis Pola relasi elit agama fundamentalis bercorak ko-eksistensi, artinya kelompok tersebut bisa menerima kehadiran agama lain, hanya saja dalam tahap ini suasana toleransi lebih menunjukkan pada tataran permukaan atau kulitnya saja, belum menyentuh pada subsatansinya. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Baidlowi, bahwa kerukunan antarumat beragama perlu memperhatikan hal-hal sebagaimana berikut: pertama, masing-masing umat beragama supaya tetap menjaga apa yang diyakini (akidah dan syari’ahnya); kedua, masing-masing agama supaya saling menolong, membantu satu sama lain dalam bidang mu’âmalah. Umat Islam harus tetap berhati-hati untuk menjaga iman mereka. Jangan terlalu cinta kepada mereka supaya tidak tergoda oleh mereka. Demikian pula dengan kebebasan beragama tetap ada batasbatasnya, artinya, umat Islam tidak bisa seenaknya mengikuti atau pindah-pindah agama, atau mengikuti aliran-aliran yang keliru, karena yang demikian itu tidak dibenarkan oleh Islam itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang dikatakan: “Kebebasan beragama bukan berarti bebas
Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
301
memeluk agama yang mengarah pada sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Generasi muda Islam harus diarahkan untuk memilih Islam. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Taufik Kusuma, bahwa kebebasan beragama tidak diterapkan kepada orang yang sudah masuk Islam, karena mereka sudah dalam jalur kebenaran. Para penyeru kebenaran Islam tidak dihalangi dan dihambat dalam menyampaikan kebenaran Islam kepada pemilik agama yang salah demi menyelamatkan mereka dari jurang api neraka, namun apabila non-Muslim bersikap bermusuhan dan menghambat penyebaran kebenaran, maka hal ini tidak dapat dikatakan kerukunan. Bahwa perbedaan agama adalah realitas (kenyataan), oleh sebab itu perlu diterima adanya. Toleransi antarumat beragama tetap harus dilandasi dan dibatasi dengan prinsip-prinsi sebagai berikut: Kebenaran itu hanya ada pada Islam dan selain Islam adalah bat{il, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam QS. Ali Imran:19, yang maksudnya, bahwa kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah di dunia ini pasti dan tidak ada keraguan sedikitpun. Model dialog antarumat beragama menurut elit agama fundamentalis bercorak sosiologis. Memang, seperti halnya Baidlowi, ia bersedia melakukan dialog antarumat beragama, namun bukan dialog teologis, tetapi sosiologis (dialogue in community/ dialogue of life), sebagaimana ungkapnya: “Dialog perlu dibatasi dalam masalah-masalah kebangsaan dan keumatan, dan tidak boleh berbenturan dengan akidah. Dialog yang dilakukan juga bukan tentang ajaran, tetapi harus lebih pada masalah-masalah sosial”. Karena Baidlowi tetap percaya dengan firman Allah dalam QS. al-Baqarah: 20 yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai orang Islam mau masuk agamanya. Dan ini terbukti hingga sekarang, di mana orang-orang Barat, Yahudi dan Nasrani terus-menerus melecehkan dan mendiskriditkan umat Islam, seperti di antaranya kasus karikatur Nabi Muhammad dan lain sebagainya. Jika Baidlowi dan Djumransjah menginginkan dialogue in community/ dialogue of life, maka berbeda dengan Taufik Kusuma, dialog antaragama menurutnya harus membawa manfaat bagi kaum Muslimin dan dapat menyadarkan pengikut ajaran yang salah. Namun jika tidak, maka harus dijauhi. Oleh sebab itu, doa bersama pun menurut mereka hukumnya haram. Sementara terkait dengan dialog antarumat beragama, Afandi menerima dengan catatan dialog yang bertujuan untuk mencari titik temu (kalimah sawâ) dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Di kalangan elit fundamentalis Islam, tidak terdapat perbedaan dalam mengkonstruk “pluralisme agama”, artinya mereka memiliki kesamaan pandangan. Namun pada aspek “dialog antarumat beragama” ada perbedaan pandangan di antara mereka. Jika Baidlowi, Djumransjah 302
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
dan Nur Afandi memiliki pemahaman dialog antarumat beragama yang bercorak sosial-kemasyarakatan (in community/ of life), maka Taufik Kusuma bercorak teologis-islamisasi. Karena menurut Taufik, dialog antarumat beragama harus membawa manfaat bagi kaum Muslimin dan dapat menyadarkan pengikut ajaran yang salah, tetapi jika tidak, misalnya malah menimbulkan fitnah dan kebingungan bagi umat Islam hendaknya dijauhi. Dengan demikian, kelompok elit fundamentalis Islam menerima dialog bersyarat. b.
Pola Relasi dan Model Dialog Antarumat Beragama Menurut Elit Agama Moderat Sementara itu kelompok elit moderat yang membuka hubungan timbal balik ke segala arah, menunjukkan pola relasi keterbukaan terhadap posisi serta peran agama di tengah-tengah masyarakat modern dan pluralistik (pro-eksistensi). Sebagaimana menurut Hans Kung, bahwa pola pro-eksistensi adalah memilih cara interaksi atau dialog antarumat beragama yang tidak sekadar menuju toleransi, melainkan dialog yang transformatif, aktif dan terbuka. Pola relasi elit agama moderat sebagaimana menurut Pandoyoputro, bercorak ekumenis, artinya, mereka menghargai penganut agama lain dan menghargai ajaran-ajaran yang mereka yakini, karena menurut kelompok elit moderat, bahwa dalam ajaran agama lain terdapat unsurunsur kebenaran. Menurut elit agama moderat, toleransi sejati didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat setiap manusia, hati nurani serta kayakinan dan keikhlasan sesama yang bersedia bertukar pikiran atau berdialog dengan sikap terbuka untuk mencari pengertian, toleran dalam arti positif. Toleransi juga berarti sabar, lapang dada, sedia memahami orang lain dengan tidak ingin saling mengganggu antara satu dengan yang lain. Namun untuk kehidupan masyarakat majemuk beragama seperti Indonesia ini toleransi saja tidak cukup. Sebab dalam toleransi dapat saja orang tidak ambil pusing, tidak peduli dan masa bodoh dengan yang lain. Sehingga walaupun kelihatannya setiap hari mereka hidup bersama, tetapi sebenamya mereka hidup sendiri-sendiri. Bahkan dapat saja mereka hidup sendiri-sendiri secara eksklusif. Jika demikian yang terjadi, maka juga dapat menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan berubah menjadi benturan-benturan sosial. Oleh karena itu perlu toleransi ekuemenis atau pro-eksistensi, yaitu hidup bersama yang saling peduli, saling mengkayakan dan menyejahterakan antara satu dengan yang lain dalam persaudaraan yang sejati. Jika saja setiap pemeluk agama dapat melakukan yang demikian ini, maka agama tidak hanya secara eksklusif memikirkan dirinya sendiri, melainkan benar-benar berpikir untuk sesama dan akan menjadi berkat Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
303
bagi orang lain, bahkan untuk semua orang dan lingkungan kehidupan ini secara utuh. Namun toleransi dimaksud tidak sampai membuat orang terlalu mencampuri urusan internal agama lain. Oleh sebab itu, yang penting semua agama dapat menjalankan tugasnya masing-masing, tidak mengganggu dan harus dapat menjaga hidup bersama secara damai. Sementara itu model dialog antarumat beragama menurut elit agama moderat bercorak kultural dan humanis. Karena itu menurut mereka, dialog harus mengangkat issu-issu tentang keadilan dan kemanusiaan. Tholhah termasuk elit agama moderat yang mengakui “pluralisme nonsinkretik” dan menerima dialog antarumat beragama. Jika menggunakan istilah Kimball pilihan dialog elit agama moderat termasuk dialog kemasyarakatan atau dialog kehidupan (dialogue in community/ dialogue of life). Dalam rangka dialog, sikap dasar yang perlu ditumbuhkan jelas bukan hanya mencari titik temu perspektif yang menyatukan, melainkan juga menyadari dan menghargai perbedaan yang mengkayakan. Dinamisme dialog adalah dinamisme yang tidak jatuh sekedar pada kelegaan karena menemukan aneka kesamaan pandangan, melainkan juga yang menjangkau kegembiraan karena menyambut aneka keragaman dari masing-masing pandangan. Dialog antarumat beragama yang dilakukan oleh —baik Hasyim Muzadi maupun Tholhah Hasan— tidak hanya sebatas dialog dalam konteks masyarakat Indonesia, tetapi sudah pada level internasional. Hal ini sesuai dengan kapasitasnya sebagai elit NU yang mewakili sebagian besar umat Islam Indonesia. Sementara Tholhah juga sebagai seorang (mantan) Menteri Agama yang banyak terlibat dengan urusan hubungan antarumat beragama, baik pada level nasional maupun internasional. Najib termasuk aktivis dialog yang menawarkan dialog dua model: dialog wacana dan dialog karya. Menurutnya, yang harus pertama dilakukan adalah dialog wacana, kemudian baru ditindaklanjuti dengan dialog karya (dialogue in community/ dialogue of life). Dari belajar tentang Islam berubah menjadi belajar bersama orang Islam atau sebaliknya; dan mampu memahami kultur lain secara langsung (Cross cultural process). Najib juga mengakui, bahwa semua agama mengajak kepada kebaikan. Oleh sebab itu ia menghendaki toleransi aktif, yaitu toleransi yang proeksistensi. Baik Hasyim maupun Tholhah menyarankan pentingnya dialog yang berwawasan kemanusiaan, yang memperjuangkan moralitas bersama, antarumat beragama dan antarumat manusia. Karena menurut Hasyim, pemeluk umat beragama perlu melakukan kebajikan sosial bersama semisal pemberantasan kemiskinan dan pengangguran (dialogue in community/ dialogue of life). Hal ini sesuai dengan ajaran Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Baqarah: 62: 304
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang \âbiin,18 siapa saja di antara mereka yang benarbenar beriman kepada Allah,19 hari kemudian dan beramal saleh,20 mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” 21
Kelompok elit agama moderat menghendaki pentingnya dialog karya atau dialog kehidupan (dialogue in community/ of life). Bagaimana umat beragama bertitik tolak dari latarbelakang imannya masing-masing berusaha mempercakapkan tentang masalah-masalah kemanusiaan bersama seperti masalah kemiskinan, penanggulangan bencana, keutuhan ciptaan dan kemudian bersama-sama berupaya bekerjasama untuk mengatasinya. Demikian pula menurut Armada Riyanto, sikap dasar yang perlu ditumbuhkan dalam rangka dialog jelas bukan hanya mencari titik temu perspektif yang menyatukan, melainkan juga menyadari dan menghargai perbedaan yang mengkayakan. Dinamisme dialog adalah dinamisme yang tidak jatuh sekadar pada kelegaan karena menemukan aneka kesamaan pandangan, melainkan juga yang menjangkau kegembiraan karena menyambut aneka keragaman dari masing-masing pandangan. 7.
Kesimpulan Terdapat dua formasi sosial elit agama di Malang, yaitu fundamentalis dan moderat. Dari kedua formasi elit agama tersebut, maka melahirkan konstruksi tentang pluralisme dan dialog antarumat beragama yang bervariasi, yaitu: Pertama, bagi kelompok elit Islam fundamentalis, konstruksi pluralisme agama berwajah deontic-diachronic/ non-reduksionis, artinya bahwa ditetapkannnya Muhammad saw. sebagai pembawa risalah Islam terakhir, memutuskan mata rantai penyempurnaan tradisi agama, sekaligus menuntut seluruh umat manusia untuk memeluk wahyu terakhir ini sebagai konsekuensi dari pengamalan dan pelaksanaan perintah Ilahi.
18 Sâbiin ialah orang-orang yang mengikuti shari’at Nabi-Nabi zaman dahulu atau orangorang yang menyembah bintang atau dewa-dewa. 19 Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan \âbiin yang beriman kepada Allah termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah. 20 Ialah perbuatan yang baik yang diperintahkan oleh agama Islam, baik yang berhubungan dengan agama atau tidak. 21 al-Qur’an, 2 ( al-Baqarah): 62.
Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
305
Sementara itu terdapat dua wajah pluralisme elit agama moderat. Bagi elit Islam moderat, pluralisme agama mereka berwajah normatif (normative-religious pluralism), artinya mereka tetap menyeru toleransi dan menjauhkan arogansi. Sedangkan bagi elit Kristen moderat (baik Protestan maupun Katolik) pluralisme agama yang mereka konstruk berwajah normatif-soteriologik (normative-soteriological-religious pluralism), artinya mereka menyeru toleransi dan menjauhkan arogansi, dan menurut mereka, penganut agama-agama besar di dunia memiliki kedudukan yang sama dalam konteks justifikasi keyakinan agama. Atau dengan kata lain, mereka memandang bahwa kebenaran agama bersifat nisbi; kebenaran setiap agama memiliki nilai yang sama dan tidak satupun berada di atas yang lainnya, dan setiap agama tidak bisa dipaksa bersatu dan meniadakan agama yang lain. Kedua, bahwa sikap keberagamaan elit agama di Malang juga bervariasi. Bagi Islam fundamentalis sikap keberagamaan mereka bercorak eksklusif-Islamsentris dan bagi elit Islam moderat ada yang bercorak inklusif-Islamsentris di satu sisi, dan bercorak inklusif-teosentris di sisi lain. Sementara itu, bagi elit agama moderat dari kalangan Kristen bercorak plural. Ketiga, bahwa pola relasi dan dialog antarumat beragama elit agama di Malang juga bervariasi. Bagi elit Islam fundamentalis, pola relasi mereka bercorak ko-eksistensi, artinya bahwa mereka bisa menerima kehadiran agama lain (toleran). Hanya saja toleransi mereka lebih menunjukkan pada tataran permukaan, belum menyentuh pada subsatansinya. Sementara bagi elit agama moderat (baik Islam maupun Kristen) bercorak pro-eksistensi, yaitu mereka beranggapan, bahwa agama-agama eksistensinya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan keberadaannya untuk kehidupan bersama. Agama-agama berjuang bersama untuk mengatasi masalah kemanusiaan bersama, misalnya kebodohan, kemiskinan, korupsi dan sebagainya. Semua agama bersamasama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan dan memberantas kebatilan dan kezaliman. Sementara itu orientasi dialog antarumat beragama yang dibangun oleh elit agama di Malang (baik elit Islam maupun Kristen) pada umumnya berorientasi kemasyarakatan (dialogue in community/ dialogue of life), kecuali dari elit Islam fundamentalis yang berorientasi teologis-islamisasi.*** *)
306
Zainuddin Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam pada Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Minat penelitiannya di fenomen-fenomen keagamaan masyarakat modern.
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
BIBLIOGRAFI Abdalla, Ulil Abshar. “Beberapa Kendala Praktis Dialog Antar Agama” dalam Harian Kompas, 5/8/2000. Abu Rabi’, Ibrahim. “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The Twenty-First Century”, dalam Jurnal Studia Islamika. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998. Abou al-Fadl, Khaled. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005. Abraham, Salie. “Pluralism and Islamic Studies Dictate or Dialogue” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? Diktis Depag RI bekerjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006. Akasheh, Khaled. “Strengthening Interreligious Dialogue to Achieve Global Peace” Makalah The 2nd International Conference of Islamic Scholars, Jakarta, 20-22 Juni 2006. al-Bana, Jamal. Al-Ta’addudiyyah fi Mujtama Islamy. Kairo: Dar al-Fikr al-Ismay, 2001. Ali, Mukti. “Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi”, dalam Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.). Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, Jakarta: INIS, 1992. ——————. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998. ——————. Agama dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Biro Humas Depag RI, 1973. Al-Suyuþi dan al-Mahalli, Jalâl al-Dîn. Tafisr Jalalain Juz 1 Al-\abÔni, Ali. Shafwat al-Tafâsir. Bairut: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1981. Andito (ed). Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008. Arifin, Syamsul et.al. “Pluralisme Keagamaan di Pedesaan: Studi tentang Pola Interaksi sosial Tiga Kelompok Agama (Islam, Kristen, Budha) di Mojoreje, Batu” dalam Seri Penerbitan Ditjen Bagais Depag RI, 2004. Arikunto, S. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Aksara,1989. Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina, 1999. Bakker J. Pembinaan Sikap Dialog Islam-Kristiani di Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Katolik Pradnjawidya, 1972. Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
307
Nurcholish Madjid, Djohan Effeni, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, pent. Nanang Tahqiq, Jakarta: Paramadina, 1999. Berger, Peter L. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES, 1991. ————— dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta, LP3ES, 1990. Billah, M.M. “Pluralitas Agama di Indonesia: Memilih Kerangka Pemahaman atas Keberadaan Aliran Keagamaan dari Perspektif Teologi dan HAM”, Makalah Malang: UIN Malang, 2007. Bogdan, Robert C. dan Sari Knop Biklen. Qualitatif Research in Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, 1998. Bruinessen, Martin Van. “Muslim Fundamentalism: Can it be Understood or Should be Explained a Way”, Makalah tidak diterbitkan,1992 Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang, Kota Malang Dalam Angka Tahun 2004 BPS Kota Malang, 2005. —————. Kota Malang Dalam Angka Tahun 2006, BPS Kota BPS Kota Malang, 2007. Castells, M. The City And The Grasroots: A Cross-Cultural Theory Of Urban Social Movement. London: Edward Arnold, 1983. Coward, Harold. Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1989. —————. “Religious Pluralism and the Future of Religions” dalam Thomas Dean (ed), Religious Pluralism and Truth Essays on Cross Cultural Philosophy of Religion, State University of New York Press, 1995. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI, 1992. Effendi, Djohan. “Dialog Antar Agama: Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan?”, dalam Majalah Prisma 5, Juni 1978. ————— “Kemusliman dan Kemajemukan Agama” dalam Th. Sumartana, et al. Dialog: Kritik dan Identitas Agama dalam Sumartana Th. et.al. Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 1993. Fanani, Muhyar. “Mewujudkan Dunia Damai: Studi atas Sejarah Ide Pluralisme Agama dan Nasionalisme di Barat’ dalam Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam Salatiga: P3M STAIN Salatiga, 2003. Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat, Jilid 2, Jakarta: Kanisius, 1980. Hans-Dieter Evers & Rudiger Korff, Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial, ter. Zulfahmi. Yayasan Obor Indonesia, 2002. 308
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
Hanafi, Hassan. Dialog dan Revolusi, terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. —-——— Religious Dialogue & Revolution, Essay on Judaism, Christianity & Islam. Cairo: The Anglo Egyptian Bookshop, 1977. Haryatmoko. Pluralisme Agama dalam Perspektif Filsafat. Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Yogyakarta: PPS IAIN Sunan Kalijaga, 1999. Hasan, Tholhah. “Reaktualisasi Pembinaan Kerukunan Umat Beragama”. Makalah, Malang: IPTH-GKJW, 1999. ——————. “Keadilan dan Kemanusiaan dalam Pluralitas Agama: Perspektif Islam” dalam Toleransi, Jurnal Kerjasama Lintas Agama dan Keyakinan Vol.1, No.1 Januari-Maret 2000. ——————. “Reaktualisasi Pembinaan Kerukunan Umat Beragama” dalam Musyawarah Cendekiawan Umat Beragama dan Forum Komunikasi-Konsultasi Kerukunan Hidup Antarumat Beragama (Malang: STAIN Malang, 1999. Hassan, Riaz. Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim, Jakarta: Rajagrafndo Persada, 2006. Hasil Diskusi dalam Forum Moslem-Christian Dialogue, Building Up Justice and Humanity or Religious Pluralism. Malang: IPTh-GKJW, 1999. Hick, John (ed), Truth and Dialogue: The Relationship Between World Religions. London: Sheldon Press, 1974. Hornby, AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford: University Press. 1986. Horluc, Hasan. New Muslim Discourses on Pluralism in the Post-Modern Age: Nursi on Religious Pluralism and Tolerance. The International Institute of Islamic Thought American Jaournal of Islamic Social Sciences 2002. Husaini, Adian. Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani, 2006. Ibn Kathir, Mukhta]ar Ibn Kathir, jilid II. Kairo: Dâr al-Turâth al-‘Arabi, 1987. Idris Syah. Meraba Gajah dalam Gelap: Sebuah Upaya Dialog Islam-Kristen. Jakarta: Graffiti Press, 1986. Ilyas, Hamim. “Akar Fundamentalisme dalam Perspektif Tafsir al-Qur’an” dalam Abe Gebriel, Negara Tuhan, The Thematic Encyclopaedia. Yogyakarta: SR-Ins. Publishing, 2004. Kapolres Kota Malang. “Peranserta Masyarakat dalam Upaya Penanggulanagan Terorisme di Indonesia”. Makalah (Malang: UMM, 9 Desember 2005. Khaldun, Ibn tt. Muqaddimhah, Mesir: Maktabah al-Nahd}ah Kroeger, James H. (ed). “Interreligious Dialogue: Perspective Catholic”. Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
309
Philipenes: Mission Studies, 1990, dalam Devhy Setya Wibawa, et.al., Dialog Antar Agama: Bibliografi Beranotasi, 1960-1995, Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat UNIKA Atmajaya, 1980. Kung, Hans. “Sebuah Model Dialog Kristen-Islam” dalam Jurnal Paramadina, Juli-Desember 1998. Legenhausen, Muhammad. Islam and Religious pluralism, terjemah Arif Mulyadi dan Ana Farida, Jakarta: Lentera Basritama, 2002. Madjid, Nurcholish. “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.1 Vol.IV, Th. 1993. ————— “Hubungan Antarumat Beragama: Antara Ajaran dan Kenyataan”, dalam W.A.L. Stokhof (red.), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), Jakarta : INIS, 1990. ————— et.al., Fiqh Lintas Agama: Membangun Maysrakat Inklusif-Pluralis Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004 —————”Dialog Di antara Ahli Kitab: Sebuah Pengantar” dalam George B. Grose dan B.j. Hubbard, Tiga Agama Satu Tuhan, terj. Santi Indra Astuti, Bandung: Mizan, 1998, xiii. Magnis Suseno, Frans. “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Quo Vadis Islamic Studies di Indonesia? Diktis Depag RI bekserjasama dengan PPs UIN Alauddin Makassar, 2006. Malik Thoha, Anis. “Wacana Kebenaran Agama dalam Perspektif Islam (Telaah Kritis Gagasan Pluralisme Agama)”. Makalah, Malang: UMM, 2005. —————. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis . Jakarta: Gema Insani, 2005. Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif , terj. Tjetjep Rohadi, Jakarta: UI Press, 1997. Marty, E dan Appelby. Fundamentalism and the State. University of Chicago Press, 1991. Miles dan Huberman, Analisis Data Kualitatif , terj. Tjetjep Rohadi (Jakarta: UI Press, 1997) Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarta, 2992. Mulder, Niels. “Perkembangan Dialog Antar Agama di Dunia Modern” dalam Sumartana Th. et.al. Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 1993. Musa, Ali Maskan. “Konstruksi Sosial Kiai tentang Nasionalisme Pasca Orde Baru” Disertasi UNAIR, Surabaya, 2005. 310
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
Muzadi, Hasyim. Gerakan Moral Nasional, Malang: el-Kapim-al-Hikam, tt. ——————. Islam Rahmatan Lil’alamin Menuju Keadilan dan Perdamaian Dunia: Perspektif Nahdlatul Ulama, Surabaya: Pidato Pengukuhan Doktor Honoris Causa, 2006. ——————.”Politik dan Demokrasi Perspektif Islam” dalam ChristianMuslim Dialogue, Building Up Justice and Humanity on Religious Pluralism, Malang: IPTh, Balewiyata, 16 Februari 2001. ——————.”Hubungan Muslim dan Kristen di Jawa Timur Sebagai Bagian dari Inodensia” dalam Christian-Muslim Dialogue, Building Up Justice and Humanity on Religious Pluralism, Malang: IPTh, Balewiyata, 13 September 1999. Nasr, Hossein. The Need for Sacred Science. United Kingdom: Curzon Press, 1993. Nasution, Harun. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: CV. Tarsito, 1996. Nur Syam. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS, 2005. Onghokham. “Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah” dalam Th Sumartana et.al. Dialog: Kritik dan Identitas Agama.Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 1993. Pulungan, J. Suyuþi, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an, Jakarta: Rajawali Press, 1994. Rahman, Budhy Munawar. “Pluralisme dan Teologi Agama-Agama Kristen-Islam” dalam Elga Sarapung dan Tri Widiyanto (ed.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2005. —————. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2000. Rahardjo, Mudjia et.al., Prof. K.H. Muhammad Tholchah Hasan: Kiai Tanpa Pesantren, Malang: Paramasastra Press, 2007. Reese, William L. Dictionary of Philosophy and Religion. New York: Humanities Books, 1999. Riyanto, Armada. “Nilai-Nilai Agama dalam Rangka Persaudaraan Sejati: Perspektif Katolik”, dalam Muslem-Christian Dialogue: Building Up Justice and Humanity on Religious Pluralism, Malang: IPTH Balewiyata, 1999. —————.”Nilai-Nilai Agama: Dialogical dan Rekonsiliatif: Perspektif Gereja Katolik” dalam Jurnal Toleransi, vol. 1, no. 2, 2002. Ronowidjojo, C. D. “Kebijakan Strategis Peningkatan Kerukunan Kehidupan Beragama Dalam Rangka Memperkukuh Ketahanan Nasional”, Makalah Seminar Keukunan Antar Umat Beragama yang diselengdarakan oleh FKAUB Kota Malang, 6 Juni 2004. Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
311
Ropi, Ismatu. Fragile Relation: Muslims and Christians in Modern Indonesia Jakarta: Logos. 2000. Rose, Jerry D. Introduction to Sociology 4th Edition. Chicago: Rand McNally College Publishing Company. 1980. Ruseno, Bambang. Modul Studi Intensif Antar Umat Beragama. Malang: IPTh Balewiyata, 2006. ——————. “Nilai-Nilai Agama dalam Persaudaraan Sejati: Perspektif Kristen” dalam Jurnal Toleransi, vol. 1, no. 2, 2002. ——————. Modul Studi Intensif Antar Umat Beragama. Malang: IPTh Balewiyata, 2006. Santoso, Thomas. “Kekerasan Politik Agama: Suatu Studi Konstruksi Sosial tentang Perusakan Gereja di Situbondo, 1996”, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 2002. Suwignyo. “Agama dan Tatanan Masyarakat Indonesia Baru” dalam Musyawarah Cendekiawan Umat Beragama dan Forum KomunikasiKonsultasi Kerukunan Hidup Antarumat Beragama, Malang: STAIN Malang, 1999. —————. “Agama Ataukah Religiusitas”? dalam Jurnal Toleransi, vol. 1, no. 2 Th. 2000. Schuon, Frithjof. Mencari Titik Temu Agama Agama. terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987. Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999. Siraj, Said Aqil. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, Bandung: Mizan, 2006. Solomon, Robert C. dan Katheleen M. Higgins, Sari Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 2002. Soroush, Abd. Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali. Bandung: Mizan, 2003. Stark, Rodney. One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, terj. M. Sadat Ismail. Jakarta: Nizam, 2003. Stokhof, W.A.L. (red.). Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), Jakarta : INIS, 1990. Suaedy dan Hermawan Sulistiyo. Kiai dan Demokrasi: Sebuah Potret Pandangan tentang Pluralisme, Toleransi, Persamaan, Negara, Pemilu dan Partai Politik. Jakarta, P3M-The Asia Foundation 2000. Sudarto. Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999. Sumartana Th. “Dari Konfrontasi ke Dialog: Beberapa Aspek Landasan Historis-Teologis Hubungan Antaretnis dan Agama di Indonesia” dalam Th. Sumartana et.al. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia.Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2005. 312
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010
—————.”Menuju Dialog Antar Iman”, Pengantar dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Dian/Interfedei, Seri Dian I/Tahun I, 1993. Sumbulah, Umi. “Islam Radikal dan Pluralisme Agama: Studi Konstruksi Sosial Aktivis Hizbut Tahrir dan Majlis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi”. Disertasi, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2006. Sunardi. “Dialog: Cara Baru Beragama, Sumbangan Hans Kung Bagi Dialog Antar Agama” dalam Th Sumartana et.al. Dialog: Kritik dan Identitas Agama Yogyakarta: Dian/ Interfidei, 1993. Suparlan, Parsudi. “Agama Sebagai Sasaran dan Penelitian” dalam Sujangi (ed). Kajian Agama dan Masyarakat, Jakarta, Badan Litbang Departemen Agama RI. 1991. —————. “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama: Agama Sebagai Sasaran Penelitian Antropologi” dalam Parsudi Suparlan (ed), Pengetahuan Budaya, Ilmu-Ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-Masalah Agama. Jakarta: Badan Litbang Agama, Departemen Agama RI.1982. Suseno, Frans Magnis. “The Challenge of Pluralism” dalam Kamaruddin Amin et.al., Tim, Kumpulan Rekaman Hasil Seminar Agama-Agama. Jakarta: Departemen dan Pengembangan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, 1984. Tanduk, Christian. “Analisa Kritis Terhadap Tiga Model Perjumpaan dengan Agama lain Menuju Kristologi, Misiologi dan Eklesiologi Kontekstual”, Makalah tidak diterbitkan , May 8, 2007. Tibi, Bassam. Islam and Cultural Accomodation of Social Change. Boulder, San Fransisco & Oxford: Westview Press. 1991. Toha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Gema Insani, 2005. Wahid, Abdurrahman. Muslim di Tengah Pergumulan. Jakarta : Lappenas, 1981. Water Malcoln, Modern Sosiological Theory (London: Sage Publications, 1994) —————.”Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.). Passing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998. Yuli, Gunawan. “Gereja Kristen Jawi Wetan dan Program SIKI: Sebuah Upaya Membangun Dialog dan Kerjasama Antar Umat” dalam Modul Studi Intensif Antar Umat Beragama, Malang: IPTh, 2006. Zada, Hamami. “Agama dan Etnis: Tantangan Pluralisme di Indonesia” dalam Sururin dan Maria Ulfa (ed), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam. Jakarta: Nuansa-Fatayat NU-Ford Foundation, 2006. Zainuddin, Konstruksi Sosial Elit Agama
313
Zainuddin, M. Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam. Jakarta: Lintas Pustaka, 2006. —————. et.al. “Respon Masyarakat Awam (Islam-Kristen) Terhadap Dialog Antarumat Beragama di Kabupaten Malang”, Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Depag RI. 2003. dan diterbitkan dalam Seri Penerbitan Ditjen Bagais Depag RI, 2004. Zainul Abas. “Pluralisme dalam Perspektif”, Makalah dalam Annual Conference Kajian Islam di Bandung, 26-30 Nopember, 2006. Zulaikha. “Toleransi Awu-awu: Potret Dialog Antar Agama di Jawa Timur” dalam Jurnal GERBANG, Oktober 2002-Januari 2003. Majalah, Jurnal, Surat Kabar dan Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/polemik, Pluralisme Agama di Indonesia. 15 Februari 2008. http://www.tajuk.com/edisi20_th2, 13 Januari 2006 http:/id.org/wiki/Malang. 3 Januari 2006. http://www.tabloidnurani.com/serambi/serambi%20329.html, 2 Maret 2008 Harian Jawa Pos, Kamis 20 September 2007. Harian Surya, Senin 23 April 2007. Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4, Volume IV, 1993. Majalah Sabili, 7 Desember 2007. Majalah Islamiya Tahun I No. 3 September-Nopember 2004.
314
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 2, Oktober 2010