Peranan Belia dalam Menjaga Kerukunan Antarumat Beragama: Pengalaman Indonesia1 Oleh: Akmal Salim Ruhana2
Pendahuluan Sebagai bangsa yang multikultural dan multirelijius, Indonesia dihadapkan pada tantangan disharmoni sosial yang cukup besar. Kondisi geografis yang luas dan berpulaupulau serta kondisi demografis yang majemuk, menjadikan pengelolaan kehidupan masyarakatnya tidak selalu mudah dilakukan. Terlebih, proses demokratisasi pascareformasi 1998 serta gelombang modernisasi turut mendinamisasi interaksi sosial di dalam masyarakat yang plural ini. Tak heran, dalam konteks Indonesia, ihwal kerukunan umat beragama merupakan salahsatu isu penting dan senantiasa aktual. Menyadari potensi konfliktual tersebut di atas, segenap elemen bangsa terus menerus melakukan upaya pengelolaan kehidupan bermasyarakat dan pemeliharaan kerukunan. Salahsatu elemen yang berperan adalah kalangan pemuda (belia), dengan berbagai ragam profil dan aktivitasnya. Belia atau pemuda memang memiliki peranan penting dan strategis dalam hal ini, karena di tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan. Tulisan ini akan mencoba memaparkan beberapa sisi peran kalangan pemuda dalam menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Sebuah gambaran tentang pengalaman Indonesia dalam memelihara kerukunan umat beragama (baca: keharmonisan sosial), khususnya yang diperankan oleh kalangan pemuda. Paparan akan diawali dengan gambaran tentang kondisi Indonesia, sebagai konteks yang tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang peran generasi muda ini. Sekilas Indonesia Dengan luas wilayah sekitar 1.904.569 km2, Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. Terdapat 17.508 pulau dengan sejumlah perairan yang menghubungkannya. Sekitar 9.634 pulau diantaranya bahkan belum memiliki nama. Terletak pada koordinat 6°LU - 11°08' LS dan 95° BT - 141°45' BT, Indonesia diapit Benua Asia dan Benua Australia. Indonesia berbatasan di bagian Utara dengan Negara Malaysia, Singapura, Filipina, dan Laut Cina Selatan; di bagian Selatan dengan Negara Australia, Timor Leste, dan Samudra Indonesia; di bagian Barat dengan Samudra Indonesia; dan di bagian Timur dengan Negara Papua Nugini, Timor Leste, dan Samudra Pasifik.
1
Kertas kerja dipresentasikan dalam “Program Konvensyen Pendakwah Muda Institusi Pengajian Tinggi ASEAN 2013,” di Universiti Sains Islam Malaysia (USIM), Negeri Sembilan, Malaysia, pada 3 Februari 2013. 2 Peneliti Muda pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama Republik Indonesia. Alumni dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Alamat surel:
[email protected].
-1-
Secara administratif, Indonesia terbagi atas 34 provinsi, 502 kabupaten/kota, 6.636 kecamatan dan 76.155 kelurahan. Seiring dengan pemekaran wilayah, jumlah-jumlah wilayah administratif ini terus berubah. Jumlah penduduknya saat ini mencapai 237.641.326 jiwa dengan memiliki latar belakang yang beraneka ragam, baik dalam hal etnis/suku, warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama dan keyakinan. Setidaknya ada 1.128 suku bangsa dengan adat istiadatnya masing-masing yang sangat kaya, dan sedikitnya ada 750 bahasa daerah. Terdapat enam agama yang banyak dipeluk masyarakat Indonesia, yakni agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Di samping itu, terdapat sejumlah agama dan kepercayaan lainnya yang hidup dan berkembang di Indonesia. Selengkapnya, berikut data tentang komposisi jumlah pemeluk agama di Indonesia: Tabel 1 Jumlah Pemeluk Agama berdasarkan Hasil Sensus 2010 Agama
Jumlah Pemeluk Islam 207.176.162 Kristen 16.528.513 Katolik 6.907.873 Hindu 4.012.116 Buddha 1.703254 Khonghucu 117.091 Lainnya 1.196.317 Jumlah 237.641.326 Sumber: BPS, Hasil Sensus Tahun 2010.
% 87,18 6,96 2,91 1,69 0,72 0,05 0,50 100%
Meski Islam merupakan agama yang paling banyak dipeluk di dalam masyarakat Indonesia (87,18%), namun Islam bukanlah agama negara. Secara politik kenegaraan posisinya sama dengan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Indonesia bukanlah negara agama dan bukan juga negara sekular, melainkan negara Pancasila (five pillars). Ihwal agama tidak menjadi domain negara, meski keberadaannya memberi spirit dalam kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam bernegara. Di beberapa provinsi, Islam bukan agama mayoritas. Di Bali, misalnya, mayoritas masyarakatnya beragama Hindu; di Nusa Tenggara Timur mayoritas penduduk beragama Katolik; sedangkan di Sulawesi Utara dan Papua mayoritas penduduk beragama Kristen. Adanya ketersebaran dan kondisi mayoritas-minoritas ini menjadikan adanya keseimbangan dalam konstruk hubungan antarwarga negara di Indonesia. Umat beragama yang mayoritas di tingkat tertentu adalah minoritas di tingkatan lainnya, dan demikian sebaliknya. Hal ini menjadikan suatu umat beragama yang mayoritas tidak akan sewenang-wenang kepada pemeluk agama minoritas di suatu daerah, karena saudaranya di daerah yang minoritas tentu juga tidak ingin diperlakukan serupa. Berikut data jumlah penduduk berdasarkan agama di Provinsi Bali, Papua, Sulawesi Utara, dan NTT.
-2-
Tabel 2 Jumlah dan Persentase Pemeluk Agama Tahun 2009 di Provinsi Bali, Papua, Sulawesi Utara, dan NTT Bali NTT Jumlah % Jumlah Islam 329.785 9,15 399.543 Kristen 34.674 0,96 1.602.059 Katolik 25.630 0,71 2.569.149 Hindu 3.194.207 88,64 9.690 Buddha 18.560 0,52 851 Khonghucu 614 0,02 0 Lainnya 0 0,00 57.450 Jumlah 3.603.470 100 4.638.742 Sumber: BPS, Hasil Sensus Tahun 2005 Agama
% 8,61 34,54 55,38 0,21 0,02 0,00 1,24 100
Sulawei Utara Jumlah % 640.991 30,29 1.429.795 62,67 140.956 6,18 10.936 0,48 8.010 0,35 798 0,03 0 0,00 2.281.486 100
Papua Jumlah % 404.293 14,57 1.775.888 64,00 586.916 21,15 4.638 0,17 2.933 0,11 0 0,00 30 0,00 2.774.698 100
Dinamika Kerukunan Umat Beragama Masyarakat Indonesia yang beragama ini pada dasarnya merupakan masyarakat yang cenderung pada kedamaian dan kerukunan. Secara sosiologis-empiris, budaya damai cukup kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak ada satupun agama yang berkembang di Indonesia yang mengajarkan permusuhan antar sesama manusia. Sebagai contoh, agama Islam mengajarkan keselamatan dan kedamaian, karena bahkan kata ‘Islam’ sendiri secara etimologis berarti keselamatan atau kedamaian. Ajaran senada juga terdapat dalam agama-agama lain seperti: Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, yang mengajarkan tentang kasih, damai, sejahtera, dharma dan sebagainya. Kenyataan demikian menunjukkan bahwa agama-agama dalam tataran tertentu sama-sama mengajarkan perdamaian, mengajarkan hidup damai, budaya damai, dan tidak mengajarkan permusuhan, perseteruan maupun konflik. Secara umum kondisi bangsa Indonesia juga aman, rukun dan kondusif. Sejak merdeka pada tahun 1945, Indonesia telah dan terus membangun negeri, yang mengindikasikan adanya prasyarat suasana aman dan kondusif untuk pembangunan itu. Interaksi masyarakat (baca: umat beragama) pada umumnya juga berjalan baik dan kondusif, tercipta adanya suasana saling menghormati, toleransi, bahkan kerjasama antaragama. Di Indonesia banyak organisasi sosial lintas agama yang menunjukkan bentuk kerjasama antarumat beragama yang sangat intens. Mereka bergerak bersama untuk kemanusiaan dengan tetap memegangi keyakinannya masing-masing, hingga misalnya dikenal slogan “ukhuwah terjalin, aqidah terjamin”. Hanya saja, secara kasuistik tidak dapat dipungkiri adanya sejumlah kasus sosial yang bernuansa agama yang mengganggu kondisi kerukunan beragama dan ketentraman sosial itu. Sejumlah konflik etnorelijius (bernuansa etnis dan atau keagamaan) telah pernah terjadi di Indonesia—terutama menjelang dan pascareformasi 1998. Beberapa diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut: pada tahun 1996 terjadi Peristiwa Situbondo dan Kerusuhan Tasikmalaya; tahun 1997 terjadi kasus berlatar etnis-agama di Pekalongan, Temanggung, Banjarnegara, dan Sanggauledo; tahun 1999 terjadi kerusuhan etnis di Sampit; dan yang
-3-
aktual, tahun 2006 sampai 2012 terjadi beberapa kasus terkait aliran Ahmadiyah, dan terkait pendirian rumah ibadat. Kasus Ahmadiyah misalnya terjadi di Bogor, Sukabumi, Serang, Cianjur, Bandung, dan Tasikmalaya. Sedangkan kasus terkait pendirian rumah ibadat antara lain kasus pendirian Masjid di Batuplat, pendirian gereja Yasmin Bogor dan Filadelfia Bekasi. Kasus-kasus yang bersifat kasuistik-lokal di suatu wilayah Indonesia ini memang telah memberi kesan negatif bahwa Indonesia tidak lagi aman. Atau, sebagaimana dituduhkan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs) pascasidang UPR di Jenewa 2012 lalu, bahwa Indonesia semakin tidak toleran dengan banyaknya kasus-kasus etnorelijius atau tindakan kekerasan tertentu. Pendapat ini sejatinya keliru karena memandang Indonesia yang luas hanya dari titik-titik rawan tertentu dan karenanya sangat tidak representatif. Kejadian sesuatu kasus di beberapa lokasi saja kemudian digeneralisasi untuk menggambarkan seakanakan berlaku secara umum, menasional. Padahal, kondisi objektif secara keseluruhan gambaran nasional Indonesia masih aman dan terkendali. Sebuah kajian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, telah berhasil menginventarisasi faktor-faktor keagamaan yang kerap mempengaruhi kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal-hal itu adalah terkait penyiaran agama, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan antar pemeluk agama berbeda, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan, dan terkait pendirian rumah ibadat. Di samping itu, ada juga faktor non-keagamaan yang juga mempengaruhi bahkan kerap cukup dominan berpengaruh, yakni faktor kesenjangan sosial-ekonomi, dan dinamika politik. Beberapa kasus etnorelijius di atas menunjukkan statemen ini. Bahwa konflik di Ambon beberapa tahun lalu, misalnya, ternyata bukanlah konflik agama melainkan konflik akibat perebutan sumber-sumber ekonomi dan politik lokal. Unsur agama baru ikut serta setelah para penggerak konflik menggunakan agama dan simbol-simbol keagamaan sebagai upaya mengakselerasi dan meraih dukungan massa. Demikian juga konflik antar etnik di Sampit tahun 1999 lalu, juga bukanlah konflik agama melainkan konflik ekonomi dan etnik yang kebetulan berhimpitan dengan identitas pemelukan agama. Lalu, apa yang dilakukan Pemerintah? Secara garis besar kebijakannya ada dua. Pertama, melakukan pemberdayaan masyarakat atau umat beragama untuk semakin dewasa dalam beragama dan bermasyarakat. Dengan demikian, problem-problem antarumat beragama dapat secara mandiri ditangani dan diselesaikan diantara mereka. Pemberdayaan ini antara lain dilakukan dengan fasilitasi, edukasi, dan akomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat umat beragama. Adapun hal kedua, penguatan regulasi yang mengatur lalu lintas umat beragama dalam berinteraksi diantara mereka. Hal ini dimaksudkan memberi rambu-rambu atau aturan yang disepakati bersama agar semua umat beragama tertib dan saling menghormati satu sama lain, sehingga kondisi kerukunan tercapai. Diantara regulasi itu misalnya dengan penerbitan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006, yang antara lain mengatur terkait pendirian rumah ibadat. Selain itu, ada Surat Keputusan Bersama 3 Menteri terkait penanganan kasus Ahmadiyah di Indonesia.
-4-
Sejumlah program juga dilakukan dalam rangka memberdayakan umat beragama, yakni dengan pengembangan toleransi beragama dan wawasan multikultural. Sejak tahun 2002 hingga kini, misalnya, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan program “Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Dearah.” Hingga tahun 2012 ini sudah dilakukan di 31 provinsi, dan rencananya dua provinsi akan dilakukan tahun 2013 ini. Dalam program ini, masing-masing dua orang perwakilan pemuka agama tingkat pusat (dari enam agama di Indonesia) melakukan perjalanan bersama ke suatu provinsi dan kabupaten/kota, bertemu dengan pemuka agama setempat, berdialog, dan mengunjungi rumah-rumah ibadat (masjid, gereja, pura, wihara, dan lithang). Mereka saling memahami kekhasan mereka satu sama lain, menghormati perbedaan yang ada, dan berupaya menjaga keharmonisan diatas segala perbedaan itu. Para pemuka agama itu kemudian dapat saling mengenal, saling bercanda akrab, bertanya satu sama lain tentang apapun, sehingga terjalin ukhuwah wathaniyah dan basyariyah diantara mereka. Dalam saat yang sama, akidah mereka tetap terjaga dan terjamin, karena diantara mereka saling memahami posisi keyakinannya dan lalu saling menghormatinya, bertoleransi. Hal ini kemudian secara langsung dilihat oleh umat di daerah tersebut sebagai gambaran kerukunan antarumat beragama—yang diharapkan juga dapat dilakukan di tingkat grassroot, sehingga kerukunan umat beragama dan keharmonisan sosial senantiasa tercipta. Adapun di tingkat pemuda, ini yang akan menjadi bahasan-panjang selanjutnya, dilakukan program “Kajian Penyadaran dan Pendampingan dalam Penguatan Kedamaian (Peacekeeping) dengan Pendekatan Participatory Action Research,” atau cukup disebut “Peacekeeping melalui PAR”. Program ini telah tiga tahun dilaksanakan. Pada tahun 2009 di 6 kota, yaitu: Bekasi (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Makassar (Sulawesi Selatan), Palu (Sulawesi Tengah), Mataram (NTB), dan Ternate (Maluku Utara). Kemudian tahun 2010 juga dilaksanakan di 6 kota, yaitu: Banda Aceh (NAD), Pontianak (Kalimantan Barat), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Samarinda (Kalimantan Timur), dan Kupang (NTT). Sedangkan pada tahun 2011 dilakukan di 4 kota, yaitu: Badung (Bali), Medan (Sumatera Utara), Bantul (DI Yogyakarta), dan Manado (Sulawesi Utara). Jika tahun 2009 dan 2010 dilakukan di daerah-daerah pascakonflik, pada tahun 2011 dilakukan di daerah yang relatif aman dan tidak ada sejarah konflik. Kegiatan-kegiatan ini bertujuan untuk membangun jaringan perdamaian dengan mencetak kader-kader perdamaian muda di berbagai daerah. Kegiatan dilakukan dengan pendekatan andragogis selama 4 hari, dan diikuti oleh sebanyak 22 orang pemuda/i lintas agama di masing-masing kota yang dipilih. Gambaran pelaksanaan program ini akan dibahas dalam bagian tersendiri. Peran Pemuda untuk Kerukunan Pada setiap zaman di manapun, pemuda adalah segmen masyarakat yang senantiasa diunggulkan. Peran dan kiprahnya tidak saja mengisi sejarah kehidupan suatu masyarakat, namun juga menggerakkannya. Tidak berlebihan jika sejarah Islam, misalnya, menyebut beberapa kisah heroik dan aspiratif tokoh-tokoh muda di zamannya, yang mewarnai kegemilangan Islam saat itu. Bahkan Al-Quran menceritakan bagaimana kegigihan pemuda bernama Ibrahim dalam menjaga akidah. Demikian halnya sekelompok pemuda Ashabul Kahfi yang dengan berani berjuang dan berkorban dalam mempertahankan keyakinan dari -5-
tirani kekufuran. Sungguh kisah-kisah yang telah menginspirasi pemuda-pemuda setelahnya. Di zaman modern ini, misalnya, telah bermunculan para pejuang-mujahid muda di medanmedan perjuangan fisik. Demikian juga telah bermunculan pemuda-pemuda penemu dan atau pengembang ilmu pengetahuan yang telah mewarnai dunia. Akan halnya di dunia IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi), di ranah ilmu sosial pun telah tumbuh para perekayasa perubahan sosial yang kebanyakan dari kalangan muda (social agent). Dalam kerangka penciptaan kerukunan dan keharmonisan sosial, sebagaimana pembahasan di atas, peran pemuda juga sangat signifikan. Selain memang cukup kuat secara fisik dan memiliki daya kreativitas serta idealisme yang tinggi, pemuda juga diyakini mampu menjadi agen perubahan di dalam masyarakat—mungkin karena beban sosiohistorisnya masih sedikit. Menjadi signifikan juga karena biasanya usia muda menjadi jumlah terbanyak dalam postur penduduk berdasarkan usia. Dalam konteks Indonesia, misalnya, pada tahun 2012 pemudanya memang memiliki kekuatan dalam jumlah (strength by number). Data statistik menyebutkan, sekitar 168 juta orang Indonesia berumur di bawah 40 tahun, yang berarti mayoritas penduduk Indonesia dari segi umur adalah Generation X dan Y. Istilah Gen X digunakan untuk mendefinisikan orang-orang yang lahir antara tahun 1960-an sampai tahun awal dekade 1980-an, sedangkan Gen Y untuk yang lahir dari awal dekade 1980-an sampai awal dekade 2000-an. Jika proses perubahan dan bergulirnya reformasi di Indonesia tahun 1998 dimotori dan digerakkan oleh Gen X itu, maka Gen Y diharapkan mengisi era ini dengan upaya-upaya serius untuk pembangunan—antara lain dengan menjaga kerukunan sebagai prasyarat pembangunan itu sendiri. Diantara upaya penguatan peran pemuda untuk kerukunan di Indonesia dilakukan pertama kali dengan penyadaran akan pentingnya nilai kerukunan itu sendiri. Kemudian, mereka dibekali wawasan dan skill pengelolaan kerukunan. Setelah itu, mereka diharapkan secara sadar dan atas inisiatif sendiri melakukan upaya-upaya pemeliharaan kerukunan itu, bersama dengan dan di dalam masyarakat. Skema pemikiran inilah yang kemudian diwujudkan dalam program “Kajian Penyadaran dan Pendampingan dalam Penguatan Kedamaian (Peacekeeping) dengan Pendekatan Participatory Action Research.” Program yang digagas dan dilaksanakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini, sejatinya berupaya menggerakkan elemen pemuda dalam upaya-bersama memelihara kerukunan umat beragama di Indonesia—bersama dengan kalangan tua dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan forum lainnya. Tegasnya, program ini berupaya menciptakan kader-kader muda perdamaian, sekaligus membuat jaringan diantara mereka. Jika diantara mereka ada yang pernah mengalami konflik etnorelijius, atau terpaksa mendapat ‘beban sejarah’ dari generasi sebelumnya terkait konflik, maka mereka disadarkan dan diyakinkan akan pahitnya konflik dan manisnya damai. Sehingga dengan keterampilan mendeteksi anasir konflik, teknik resolusi konflik, dan cara mengelola konflik, diharapkan justeru mereka akan menjadi pelopor penjaga perdamaian ke depan. Jejaring lintasagama dan etnis dikuatkan agar selalu ada komunikasi diantara mereka, sehingga hal itu akan lebih membantu menyelesaikan persoalan jika suatu saat terjadi. Dan jika diantara mereka tidak pernah mengalami sejarah konflik, hanya tahu istilah damai, mereka akan digali untuk bisa memahami apa itu hakiki kedamaian. Bahwa damai berarti tidak konflik. Artinya mereka tetap
-6-
harus mengetahui apa itu konflik, anasir konflik, cara-cara mengatasi konflik, dan seterusnya, sehingga mereka bisa waspada dan bertindak jika suatu saat terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Bahwa anda jangan terlena dalam suasana kedamaian, karena senantiasa ada potensi laten konflik yang menyertainya. Seperti apa program peacekeeping dilakukan? Berikut salahsatu contoh gambaran pelaksanaan program ini yang dilakukan penulis bersama tim peneliti di Manado, Sulawesi Utara pada akhir tahun 2011 lalu. Memahami Damai Manado: Contoh ‘Peacekeeping melalui PAR’3 Manado, ibukota Sulawesi Utara, dikenal sebagai daerah yang damai, tidak ada sejarah konflik di daerah ini. Meski penduduknya heterogen dari segi suku dan agama, namun keadaannya relatif kondusif. Hal ini sedikit unik, karena di daerah lain yang kondisinya heterogen etnis dan agama ternyata kerap kali dilanda ketidakrukunan. Maka, (resep) apa yang menyebabkan Manado damai? Atau bahkan, benarkah Manado damai? Pertanyaan di atas ini penting mengingat ada dua kategori damai, yaitu damai positif dan damai negatif. Dalam konteks sosiologis di mana ketimpangan pranata sosial-politik masih mendominasi, maka wilayah yang dianggap damai sesungguhnya masuk kategori damai negatif—terdapat konflik laten yang suatu saat bisa muncul ke permukaan. Hal ini menegaskan perlu adanya upaya penyadaran dan pendampingan dalam penguatan kedamaian, sebagai upaya pencegahan, resolusi, sekaligus pemeliharaan perdamaian yang diciptakan masyarakat sendiri. Untuk itulah maka kajian penyadaran dan pendampingan dalam penguatan kedamaian perlu dilakukan untuk mengungkap hal ihwal pemeliharaan kedamaian oleh masyarakat. Jika kedamaian Manado itu telah diuji status dan tingkat kedamaiannya serta ditemukenali resep yang membuatnya damai, maka kiranya resep itu dapat dicobaterapkan di daerah-daerah lain agar juga dapat meraih atau mempertahankan kedamaian. Secara umum, kajian ini menggunakan pendekatan Participatory Action Research (PAR), yang dilaksanakan dengan: 1. Focussed Group Discussion (FGD) sebagai bentuk assessment, dan juga dalam tingkat tertentu juga sebagai wahana pelatihan bagi para pelopor perdamaian; dan 2. Kegiatan pendampingan masyarakat dengan pendekatan PAR oleh para peserta FGD. Bahkan, sebelum FGD dan kegiatan PAR dilaksanakan, dilakukan riset awal untuk mengumpulkan data dan informasi, mendapatkan gambaran umum wilayah, dan persiapan teknis pelaksanaan kegiatan berikutnya. Riset awal dilakukan pada 6-11 Oktober 2011 di Kota Manado dan sekitarnya, sedangkan FGD dilaksanakan pada tanggal 17-20 Oktober 2011 bertempat di Hotel Santika, Bunaken, Kota Manado. Mendampingi proses pelaksanaan kegiatan PAR oleh peserta FGD, pada 11-16 November 2011 dilakukan monitoring dan evaluasi kegiatan. Riset awal dilakukan dengan asumsi bahwa idealnya Participatory Action Research membutuhkan waktu yang lama, berbulan bahkan bertahun. Karena kajian ini dilaksanakan 3
Bagian ini diangkat dan disarikan dari Akmal Salim, dkk., “Memahami Damai Manado: Bina Damai Etnorelijius melalui PAR”, makalah dipresentasikan pada Seminar Hasil Penelitian pada 10 Desember 2011 di Hotel Merlynn Park, Jakarta.
-7-
dalam waktu yang terbatas, sementara untuk kepentingan informasi mendalam dari lapangan dibutuhkan pemetaan terhadap rumusan permasalahan yang perlu dijawab, maka riset ini dilakukan untuk agar sedikit membantu proses pemetaan dan pendalaman tersebut. Dalam riset awal berhasil dikumpulkan data-data geografis, demografis, dan keagamaan. Sejumlah buku dijadikan rujukan dan sejumlah informan-kunci berhasil diwawancarai. Data dan informasi akan dipaparkan kemudian, namun hasil lain dari riset awal adalah rancangan calon peserta FGD sekaligus tempat yang dipilih. Peserta FGD, sebagai calon kader pelopor perdamaian di Kota Manado, dijaring berdasarkan kriteria yang cukup ketat sesuai desain kajian ini, yaitu: usia muda (16-30 tahun), aktivis sosial/keagamaan, dan memperhatikan keseimbangan latar belakang etnis, agama, juga jender. Maka didapat peserta FGD di Kota Manado, sebagai berikut: Tabel 3 Daftar Peserta FGD di Kota Manado No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama Rusmala Panurat Arman J Bawala Fonny Mamanua Marlin Edam, SP Rike Lahope I Made Wida Marchanti Tilung Silvia O. Limpele Muh. Helmi Arsjad Jerry Mongi Siska Sofian Kemala Ang Hartati Maehmud S.Ag Yuni P. Monoarfa Hery Anwar, SIP Mario M Benyamin Alexander S. Wongkar Jeanne Bawinti S.Sos Wayan Erawan Jiesanti D. Doerachman Akson Mahare Srirahayu Gaib Venly Oktavianus Legi Moureen Tamasoleng
Agama Islam Islam Kristen Kristen Kristen Hindu Konghucu Kristen Islam Katolik Buddha Buddha Islam Islam Islam Kristen Kristen Kristen Hindu Konghucu Kristen Islam Katolik Budha
Pekerjaan Guru Wiraswasta Pendeta Swasta PNS Guru Karyawan Swasta PNS PNS Swasta PNS Mahasiswa Swasta IRT PNS Swasta Pendeta PNS Mahasiswa Mahasiswa Swasta PNS Wiraswasta Dosen
Asal Organisasi Keimaman Masjid Al-Munawarah Keimaman Masjid Al-Munawarah Tokoh Agama Tokoh Pemuda Kristen Pemuda Kristen Pradah / pemuda Hindu Tokoh Pemuda Konghucu Kemenag Manado Kemenag Manado Tokoh Agama Katolik Tokoh Adat Tionghoa Pemuda Agama Buddha Tokoh Adat Pemuda Gorontalo Tokoh Agama Islam BKMT Pemuda Islam Pemuda KGPM Tokoh Agama Tokoh Adat Sangihe Keluarga Mahasiswa Hindu Konghucu Pemuda Gereja KGPM Anggota Forum Kerukunan FKUB Pengurus Pemuda Katolik Tokoh Agama Budha
Mengenai kecamatan yang dipilih, setelah mempertimbangkan heterogenitas agama dan etnis penduduknya, serta informasi bahwa di daerah itu dikenal damai, maka terpilih Kecamatan Tuminting, tidak jauh dari pusat Kota Manado. Kecamatan ini juga dianggap sebagai wilayah yang paling padat penduduknya dengan keragaman budaya dan agama yang hampir berimbang. Di kecamatan yang berpenduduk 55.314 jiwa ini, jumlah pemeluk Islam dan Kristennya hampir berimbang. Selengkapnya, pemeluk Islam berjumlah 26.025 jiwa, Kristen 25.732 jiwa, Katolik 1.291 jiwa, Buddha 283 jiwa, dan Hindu 31 jiwa. Tidak ada
-8-
pemeluk Khonghucu di sini. (Kec. Tuminting Dalam Angka 2010). Di sini terdapat rumah ibadat mesjid 34 buah dan gereja 46 buah. Kecamatan ini dibatasi Teluk Manado/Laut Sulawesi di bagian Barat, Kecamatan Bunaken di Utara, Kecamatan Singkil di Timur dan Kecamatan Wenang di Selatan. Dalam luas wilayah 403,57 Ha atau 4,0357 km2, terdapat penduduk 55.314 jiwa (tahun 2008), artinya tingkat kepadatannya 13.706 jiwa/km.2 Dari segi etnis sangat beragam, setidaknya ada etnis Minahasa, Gorontalo, dan Arab, dengan terdapat kampung-kampung tempat konsentrasi penduduk dengan pemelukan agama yang sama. Unik. Seperti Kampung Arab yang dihuni banyak keturunan Arab, muslim, dimana terdapat banyak masjid; dan Kampung Cina dihuni kebanyakan keturunan Tionghoa dengan Klentengnya. Namun kesan segregasi sosial-agama ini tidak seutuhnya benar karena di dalam kampung-kampung itu tetap terdapat pemeluk agama lain dan hubungan antar kampung berjalan biasa dan cair. Jika terjadi masalah bentrokan remaja, misalnya, lebih dilihat dari segi kenakalan remajanya, bukan soal kampung komunitas Islam dan lainnya. Corak keagamaan masyarakat dalam konteks Manado juga menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan dalam hal terpeliharanya relasi agama dan etnis yang harmonis dalam setting sosial keagamaan Manado yang majemuk. Corak keagamaan masyarakat Manado yang relatif moderat khususnya di kalangan Muslim menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi positif dalam pemeliharaan dan penguatan budaya damai. Setelah data dan informasi dari Riset Awal ini cukup membekali dan memetakan, maka selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk pembekalan wawasan dan keterampilan para peserta. Tahap ini dilakukan dalam 4 hari, dengan cara pembelajaran orang dewasa (andragogis). Peserta yang berjumlah 22 orang dari berbagai agama itu diinapkan di sebuah hotel, dengan sejumlah agenda sesi pertemuan, outdoor, dan game-game pemecah suasana (icebreaking). Materi-materi yang disampaikan secara menarik oleh fasilitator dalam suasana fun namun serius, setelah melakukan orientasi program, adalah topik-topik sebagai berikut: 1. Pengenalan Pendekatan PAR, yakni meliputi: PAR sebagai Pendekatan Riset, Prinsipprinsip PAR, Etika Peneliti PAR, Tahapan Kegiatan PAR, dan PAR untuk Penguatan Kedamaian. 2. Penerapan PAR dalam Penanganan Konflik Etnoreligius, yang meliputi: a. Assessment Konflik Etnoreligius (Kajian Sumber Ekonomi dan Mata Pencaharian, Peta Lokasi Konflik, dan Alur Sejarah Konflik); b. Analisis Konflik Etnoreligius (3P Analysis, Web’s Actors Analysis, Problem Tree Analysis, LCP Analysis, Analisa Matriks Rangking, dan Kajian Sebab-Akibat); c. Perencanaan Partisipatif Penanganan Konflik Etnoreligius (Pemilihan Alternatif Aksi dan Kasus Konflik, Penentuan Penanggung Jawab Kegiatan, Penetapan Pendukung Kegiatan, Pembuatan Jadual Kegiatan, Proses Perenanaan, dan Penulisan Laporan Kegiatan); d. Tindakan Bersama Penanganan Konflik Etnoreligius; dan e. Evaluasi dan Refleksi Partisipatif (Apa saja yang dievaluasi, bagaimana melakukan evaluasi partisipatif, serta Mengenali dan Menganalisa Manfaat Program/Kegiatan).
-9-
3. Studi PAR untuk Penanganan Konflik Etnoreligius (Contoh Studi PAR Kedamaian Sosial di Halmahera Barat, PAR Kedamaian Sosial di Poso, PAR Kedamaian Sosial di Makassar, dan PAR Kedamaian Sosial di Kota Semarang), serta Lesson Learned Kasus PAR. Mengenai PAR, penting digambarkan sedikit disini. Sesuai dengan istilah yang digunakan, Participatory Action Research atau Riset Aksi Partisipatif memiliki tiga dimensi utama, yakni dimensi riset, dimensi aksi, dan dimensi partisipasi. Sebagai sebuah riset, PAR mengacu pada sejumlah metodologi ilmiah yang sudah dikembangkan selama ini, khususnya dalam pendekatan fenomenologis dan kualitatif. Seluruh pengumpulan dan pengolahan data dilakukan bersama anggota komunitas secara partisipatif. Pendekatan riset yang menargetkan “perubahan dari dan oleh diri pelaku” ini, memosisikan peneliti sebagai fasilitator dan live in di dalam masyarakat. Prinsip-prinsip pendekatan PAR adalah: partisipasi, orientasi aksi, triangulasi, dan fleksibilitas. Adapun etika peneliti PAR antara lain: sabar, mendengarkan tidak mendominasi, menghargai, mau mendengarkan, sederajat, akrab, tidak menggurui, berwibawa, tidak memihak, dan bersikap terbuka. Adapun alur PAR sebagai berikut: Gambar 1 Alur Proses PAR Pengumpulan Data
Refleksi dan evaluasi
Analisis Data
Perencanaan partisipatif
Aksi Bersama
Para peserta yang diberi modul “Panduan Penanganan Konflik Etnorelijius dengan Pendekatan PAR” cukup cepat terbantu memahami materi-materi kunci di atas. Sehingga selanjutnya ketika sesi praktik, mereka tampak cukup cepat mengikuti dan melaksanakannya. Bahwa peserta dibagi atas dua kelompok, dimana di setiap kelompok dibuat kepengurusan dan diminta menyusun sebuah rencana aksi (proposal) suatu kegiatan PAR di lingkungan kampung mereka: permasalahan yang dekat dengan keseharian mereka. Permasalahan yang diangkat dipilih dalam diskusi internal mereka, menurut pertimbangan urgensi dan kemungkinan ketercapaiannya. Berikut rencana aksi kedua kelompok, hasil diskusi mereka di sesisesi akhir FGD di Manado. Tabel 4 Rencana Aksi Kegiatan PAR di Manado Kelompok I (Kelompok Cinta Damai) Jenis Kegiatan
Funbike dan Bazaar
Alasan-alasan
Kegiatan Fun Bike diharapkan dapat menciptakan kepedulian untuk hidup bersama sebagai suatu wujud kedamaian. Demikian pula, kegiatan bazaar diharapkan memupuk kebersamaan sebagai wujud kepedulian bagi sesama.
- 10 -
Lokasi kegiatan
Kelurahan Tuminting, Kecamatan Tuminting, Kota Manado
Waktu pelaksanaan
Sabtu, 22 Oktober 2011
Tempat pelaksanaan
Start dari Kantor Lurah Tuminting dan Finish di Lapangan EksKantor Lurah
Peserta yang terlibat
Tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM dan seluruh lapisan masyarakat
Panitia
Penanggung Jawab: BKSAUA Kelurahan Tuminting dan Lurah Tuminting Ketua: Pdt. Alexander Wongkar, S.Th.; Sekretaris: Akson Mahare, SH. MH; Bendahara: Syane Bawinti, S.Sos.; Seksi Sekretariat: Mauren Tamasoleng dan Yuni Monoarfa; Seksi Publikasi/Dokumentasi : Srirahayu Gaib, S.Sos dan Mario M. Benyamin; Seksi Konsumsi: Jiesianti D Doerachman dan Hartati Mahmud.Sag.; Seksi Perlengkapan: Wayan Erawan; Seksi Keamanan: Venly O. Legi; dan Seksi Humas: Heri Anwar, Sip.
Anggaran
Total Rp 25.000.000,-
Kelompok II (Kelompok Harmoni) Jenis Kegiatan
Lomba Kebersihan antar Lingkungan; Jalan Sehat dan Senam Bersama; serta Lomba Masak
Alasan-alasan
Dengan lomba-lomba ini, masyarakat dapat memiliki semangat gotong royong dan bersama-sama peduli terhadap kebersihan lingkungan sekitar tanpa melihat perbedaan; dapat berinteraksi sosial yang bermanfaat untuk kesehatan dan memupuk rasa persaudaraan; serta memupuk kebersamaan dalam mengembangkan ide kreatif untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar.
Lokasi kegiatan
Kelurahan Bitung Karangria, Kecamatan Tuminting, Kota Manado
Waktu dan tempat pelaksanaan
Lomba Kebersihan antar Lingkungan, bertempat di tiap lingkungan, pada 7-12 November 2011. Jalan Sehat dan Senam Bersama bertempat di Boulevard II, Karang Ria, dengan Start- Finish di Kantor Lurah Karangria, dan dengan rute Jalan Sehat di jalan-jalan di wilayah di Kelurahan Bitung Karangria, Kecamatan Tuminting. Keduanya direncanakan pada Sabtu, 12 November 2011. Lomba Masak bertempat di depan Kantor Lurah Bitung Karangria pada Jumat, 11 November 2011.
Peserta yang terlibat
Warga di Lingkungan 1 s.d. 5. Khusus untuk lomba masak, masing-masing lingkungan mengutus 2 tim untuk mengikuti lomba. Tiap tim terdiri dari 3 orang dengan formasi warga yang berbeda agama.
Panitia
Ketua: Jerry Mongi; Sekertaris: Marlin Edam, SP.; Bendahara: Rusmala Panurat; Koordinator Lomba Kebersihan: Silvia Octaviane Limpele, AM.Ak; Koordinator Jalan Sehat Senam Bersama: Kemala Ang, SE.; Koordinator Lomba Masak: Pdt. Fonny Mamanua, STh.; Seksi Sekertariat: Helmi Arsjad, SP.; Seksi Dokumentasi & Publikasi: Marchanti Tilung, SE.; Seksi Keamanan: I Made Wida, S.Ag.; Seksi Perlengkapan: Arman Bawala; dan Seksi Konsumsi: Rike Lahope, ST.
Anggaran
Total Rp 31.450.000,-
- 11 -
Untuk mengimplementasikan rencana aksi di masyarakat ini, mereka kemudian diberikan dana stimulan oleh Kantor Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kementerian Agama Jakarta. Dana tambahan mereka upayakan sendiri, baik melalui proposal permohonan dana, mengupayakan bantuan-fisik sukarela warga, atau bahkan dari pengiklan produk tertentu. Kegiatan PAR pun dilaksanakan pada waktunya oleh masing-masing kelompok. Tim fasilitator dari Puslitbang yang sebelumnya membekali wawasan tentang perdamaian dan PAR juga datang sebagai pemantau (tim monev). Rencana kegiatan yang telah dipersiapkan secara baik, dalam satu dan lain hal pada pelaksanaannya harus menyesuaikan, karena sangat bergantung pada realitas kondisi lapangan. Berikut gambaran singkat laporan pelaksanaan kegiatan oleh kedua kelompok. 1. Kelompok Cinta Damai Sebagaimana alur PAR, kelompok Cinta Damai pertama-tama melakukan kegiatan dengan melakukan assesment dengan melakukan serangkaian pengumpulan data dan informasi dengan menemui beberapa pihak meliputi: tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat pemerintah setempat di Tuminting. Tim peneliti kelompok Cinta Damai berhasil memperoleh data penting terkait dengan tujuan penelitian diantaranya adalah data monografi Tuminting sebagaimana tergambar di bawah ini. Kelurahan Tuminting merupakan salah satu dari 10 kelurahan (Sindulang Satu, Sindulang Dua, Kampung Islam, Bitung Karangria, Sumompo, Maasing, Mahawu, Tumumpa Satu dan Tumumpa Dua) yang ada di Kecamatan Tuminting, Kota Manado. Penduduknya, sesuai data per 1 November 2011 berjumlah 1.792 KK, dengan jumlah jiwa sebanyak 6.453.000, tersebar di 6 lingkungan. Dengan keragaman agama (Kristen 3.802 jiwa; Katolik 218 jiwa; Islam 2.364 jiwa; Hindu 21 jiwa; Budha 48 jiwa) dan budaya (Minahasa, Gorontalo Sangihe-Talaud, Bugis, Jawa, Arab, dan Cina) penduduk Kelurahan Tuminting telah berbaur, kawin-mawin, baik antaragama maupun antarbudaya sehingga tidak terlalu terlihat perbedaan atau pengelompokan dalam aktivitas hidup sehari-hari. Sebagai pusat Kecamatan sekaligus pusat perekonomian, adanya pasar tradisional, pasar swalayan, kompleks pertokoan dan sebuah pabrik kopi, maka matapencaharian penduduknya juga beragam (PNS, Karyawan swasta, PKL, Pedagang toko dan pasar, jasa dll). Ada 6 gereja dan 2 mesjid untuk masing-masing agama, Kristen dan Islam, sebagai tempat beribadah. Umat Katolik, Gerejanya ada di Kelurahan Bitung Karangria yang berbatasan dengan Kelurahan Tuminting. Umat Budha, tempat ibadanya di vihara Kebajikan Agung yang ada di kelurahan Buha, Kecamatan Mapanget yang berbatasan langsung dengan Kec. Tuminting. Umat Hindu beribadah di Pure Jagadhita, kelurahan Taas-Kecamatan Tikala. Selain memperoleh data tersebut, tim peneliti juga melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh untuk memperoleh informasi. Setelah ditentukan waktu dan tempat untuk pertemuan dengan Toga, Tomas dan Pemerintah, kelompok segera melakukan perkunjungan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dan penjelasan mengenai kehidupan keumatan dan kemasyarakatan. Saat bertemu dengan Bapak Yamin Wahab, Imam Mesjid “Baitul Mahmur”, didapatkan informasi mengenai kehidupan jemaah yang meskipun terdiri dari
- 12 -
beragam budaya (Gorontalo, Bugis, Jawa Arab, Minahasa) namun tetap terbina kebersamaan dalam setiap kegiatan-kegiatan keagamaan. Perbedaan tradisi/budaya dijadikan sebagai kekayaan untuk saling mendukung dan melengkapi. Dalam kehidupan sosial/kemasyarakatan tetap terpelihara toleransi yang sudah sekian lama terbina di antara masyarakat yang beda agama. Bahkan dalam kegiatan-kegiatan hari besar keagamaan maupun peristiwa duka/pesta nampak kerjasama untuk saling membantu dan menghargai. Sebagai Imam Mesjid, Bapak Yamin Wahab sangat disegani dan berperan dalam membina kerukunan jemaah maupun keharmonisan hidup bermasyarakat. Semisal, pernah terjadi baku lempar batu antar pemuda (Kristen) di kelurahan Bitung Karangria, dan ada batu yang mengenai Mesjid yang menimbulkan kemarahan jemaah khususnya para pemuda dan remaja Mesjid. Bapak Yamin Wahab dapat menenangkan dan memberi penjelasan setelah ditelusuri penyebab ‘batu nyasar’. Dalam perkunjungan di Kantor Jemaat GMIM “NAZARET”, tim peneliti bertemu Pdt. Teddy Tiwang, STh, sebagai Pendeta Jemaat. Dari percakapan yang berlangsung diperoleh informasi dan keterangan sekitar kehidupan antar jemaat maupun jemaat dengan masyarakat. Meskipun sebagian besar anggota jemaat berlatar belakang tradisi/budaya Sangihe-Talaud, namun kerukunan selalu terbina. Apalagi berbaurnya tradisi/budaya, dengan kawin-mawin maka semakin erat terikat persaudaraan di antara anggota jemaat. Kehidupan bersama antar agama pun nampak jelas hubungan yang saling menerima dan memberi, saling menghormati dan menghargai. Bila ada keributan yang disebabkan perkelahian dan melibatkan orang-orang yang beda agama, maka persoalan tersebut dilihat sebagai tindak kriminal biasa, yang tidak akan berdampak pada kerukunan dan toleransi hidup beragama. Pertemuan dengan Pemerintah Kelurahan Tuminting dan Tokoh masyarakat, tim berjumpa dengan Drs. Boyke Pandean sebagai Lurah Tuminting, dan beberapa tokoh masyarakat yang juga dipercaya sebagai Kepala Lingkungan, a.l: Denny Muhaling, Eduward Takasana, Tans Himur dan Risnawati Abdul. Percakapan dimulai dengan penjelasan tentang keberadaan kelompok “Cinta Damai” dan mengenai maksud dan tujuan pertemuan. Awalnya muncul keraguan kelompok ’kader dadakan’ untuk menyampaikan penjelasan di hadapan Pemerintah dan Tokoh Masyarakat. Kelompok berupaya untuk menghindari kesan ‘mengusik’ kehidupan masyarakat yang ada di Kelurahan Tuminting. Namun setelah mendengar sambutan Pemerintah dan tokoh masyarakat yang memberi apresiasi atas kehadiran kelompok dan apa yang telah dilakukan kelompok dengan menjumpai tokoh agama serta kegiatan Lomba Kebersihan Lingkungan yang nanti akan dilaksanakan setelah direncanakan bersama. Dari informasi dan pejelasan serta tanggapan dari tokoh agama, tokoh masyarakat, dan Pemerintah Kelurahan Tuminting, kelompok sepakat, walau masih berupa asumsi, bahwa kehidupan rukun dan damai di Kelurahan Tuminting bersumber dari kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara yaitu: “sitou timou tumou tou” (manusia hidup memanusiakan manusia lain) serta apayang menjadi semboyan masyarakat Sulawesi Utara yaitu: torang samua basudara, deng baku-baku sayang (kita semua bersaudara dan saling menyayangi). Dari proses assessment tersebut, kelompok ini sesuai proposal awal berencana membuat lomba Funbike dan Bazaar. Kegiatan ini diharapkan mampu memupuk keber- 13 -
samaan segenap masyarakat dan sebagai wujud nyata kepedulian bagi sesama. Hanya saja, rencana kegiatan ini terkendala kondisi alam (hujan) dan kurang tepat secara timing yang ternyata berbarengan dengan event lokal yang menyedot perhatian baik kalangan muda dan maupun tua di wilayah itu. Karenanya, kelompok ini mengubah kegiatannya menjadi Lomba Kebersihan Lingkungan antar blok/lingkungan. Kegiatan ini diyakini akan menggerakkan masyarakat di setiap kelompok masyarakat untuk saling berinteraksi dalam kebersamaan yang melintasi perbedaan-perbedaan identitas. Dalam kegiatan Lomba Kebersihan Lingkungan telah disepakati bersama bahwa penilaian tidak hanya kebersihan lingkungan tetapi juga soal tingkat keamanan dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Untuk penilaian tingkat keamanan diukur dari jumlah laporan masyarakat per lingkungan yang ditangani oleh Pemerintah Kelurahan. Sedangkan untuk penilaian partisipasi masyarakat dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan memelihara kebersihan. Pada saat pengumuman Lomba Kebersihan Lingkungan pada hari Jumat, 25 November 2011, yang dipusatkan di Lingkungan III, telah diawali dengan kegiatan bersihbersih di masing-masing lingkungan dan penanaman pohon (program Pemerintah Kota). ‘Setiap partisipasi ada apresiasi’ pemenang Lomba Kebersihan, juara 1- 3 mendapat dana stimulus guna melengkapi inventaris masing-masing lingkungan. Bersamaan dengan itu juga dilaksanakan permainan ketangkasan, yang di dalamnya terkandung unsur kerjasama, dan diakhiri makan bersama dengan menu utama Tinutuan, makanan khas Manado. Dari kegiatan ini, kelompok melakukan refleksi. Bahwa rukun dan damai di Kelurahan Tuminting adalah nyata. Semboyan torang samua basudara, deng baku-baku sayang bukanlah semata semboyan, namun tergambar dalam sedikit momen khusus yang mereka adakan ini. Dengan Lomba Kebersihan Lingkungan, misalnya, semua masyarakat dari masing-masing blok/lingkungan dengan latar belakang yang beragam dapat sama-sama saling membantu, baku bantu, baku sayang, dan semakin menyadari indahnya kebersamaan dalam damai. 2. Kelompok Harmoni Sebagaimana kelompok Cinta Damai, ada beberapa penyesuaian kegiatan yang dilakukan kelompok Harmoni. Mengikuti alur PAR, kelompok ini mula-mula melakukan assessment dengan melakukan serangkaian pengumpulan data dan informasi dengan menemui beberapa pihak, yakni: tokoh agama, tokoh masyarakat, dan aparat pemerintah setempat di Bitung Karangria. Tim peneliti kelompok Harmoni pertama sekali menemui tokoh agama Kristen, Ibu pendeta Jenny Tulungan, S. Th., selaku ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat Petra Bitung Karangria. Selain melakukan silaturahmi dengan Ibu Pendeta Jenny Tulungan, STh di ruang kerjanya (sekretariat Gereja Petra), juga dilakukan diskusi dan tanya jawab dengan beberapa pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan kedamaian dan kebersamaan di daerah Bitung Karangria. Ibu Pendeta menyampaikan bawah selam 4 tahun bertugas sebagai ketua BPMJ “Petra” Bitung Karangria dan tinggal di lingkungan tersebut, tidak pernah terjadi konflik dan
- 14 -
tidak ada hal sekecil apapun yang bisa memicu untuk menjadi konflik. Harapannya ke depan agar kedamaian tetap terjaga hingga masa yang akan datang. Rencana bertemu tokoh agama Islam yang semula akan bertemu dengan Imam Mesjid Darussalam, tapi urung karena beliau tidak berada di tempat. Akhirnya tim bertemu dengan salah satu tokoh Agama Islam yaitu Bapak Irwan Mamonto, SH, pengurus Badan Ta’mir Mesjid Darussalam, yang juga berprofesi sebagai pengacara. Setelah diterima dengan baik dan berkenalan, tim melakukan wawancara, menggali informasi tentang bagaimana tingkat kedamaian antar umat beragama di Kelurahan Bitung Karangria. Menurut Bapak Irwan, sudah sekian tahun tinggal di daerah itu, mulai lahir sampai sekarang, tidak pernah ada terjadi konflik apapun baik agama maupun etnis. Hal ini, menurutnya, karena masyarakat yang ada di Kelurahan Bitung Karangria tingkat kesadarannya tinggi, dimana kerukunan diwujudkan melalui hari besar agama dan kerja bakti bersama di rumah-rumah Ibadah dan di rumah duka. Harapannya ke depan kiranya masyarakat tetap menjaga kerukunan, kedamaian dan kebersamaan yang sudah terbina selama ini, serta melawan provokator yang mau menghancurkan kedamaian di wilayah ini. Tim juga menggali informasi dari tokoh masyarakat dan pemuda. Bapak Olden Mantiri, guru sekaligus penatua, menyatakan bahwa selalu terjadi kerjasama yang baik antar umat beragama, yaitu melalui ‘rukun duka’ tanpa mengenal agama dan etnis, hari raya ketupat bersama, dan Natal bersama seluruh warga. Adapun tokoh pemuda, Pengurus Karang Taruna Bitung Karangria, menyatakan bahwa tidak pernah terjadi konflik antar umat beragama kecuali konflik personal. Menurutnya, karena semua pihak belajar dari pengalaman daerah yang sudah terjadi konflik, dimana semua orang tidak bisa berbuat apa-apa karena semua harta benda tempat tinggal habis serta tidak bisa beraktivitas, maka mereka memilih menghindari adanya konflik. Demikian halnya pihak pemerintah daerah setempat, yakni Pak Lurah, menegaskan bahwa di masyarakat di Kelurahan Bitung Karangria tidak pernah terjadi konflik sara, yang ada hanyalah konflik pribadi, tapi tidak sampai mempengaruhi orang lain. Meski di Kelurahan Bitung Karangria terdapat banyak suku dan agama, namun tingkat toleransinya cukup tinggi. Untuk menegaskan statemennya itu, diketahui data etnis dan pemeluk agama di Bitung Karangria. Secara etnis, di Bitung Karangria ada suku Batak, Minang, Banten, Sunda, Jawa, Bali, Dayak, Bugis, Makasar, Ambon, dan Flores. Secara pemelukan agama, Muslim 489 jiwa, Katolik 189 jiwa, Protestan 2.025 jiwa, dan Budha 81 jiwa. Dari proses assessment tersebut di atas, tim menyimpulkan bahwa adanya heterogenitas di satu sisi dan kedamaian di sisi yang lain telah dirasakan semua pihak di Bitung Karangria. Ketiadaan sejarah konflik di daerah ini, adanya kesadaran meruginya hidup berkonflik (belajar dari wilayah konflik), harapan-harapan untuk terus menjaga kedamaian, adalah diantara poin yang menguatkannya. Hanya saja, dengan harapan-harapan terus menjaga itu tersirat adanya kekhawatiran akan ancaman di masa depan. Misalnya, dengan kalimat “(ayo) melawan provokator yang mau menghancurkan kedamaian di wilayah ini,” artinya, masyarakat perlu terus disadarkan mengenai kedamaian dan anti-konflik. Untuk itu, tim bersama ibu lurah setempat kemudian melakukan perencanaan (melanjutkan proposal yang disusun) dengan memberi alternatif-alternatif kegiatan yang - 15 -
dapat memberi penguatan akan kesadaran bersatu dalam keberbedaan, dan bersama secara sadar menjaga kedamaian. Maka digelarlah sejumlah kegiatan lomba sebagai wahananya. Kegiatan lomba ini di awali dengan Jalan Sehat Bersama seluruh masyarakat dan dengan garis start dari rumah dinas camat pada pukul 05.00 wita. Pagi itu seluruh masyarakat sudah berkumpul untuk jalan sehat, namun tiba-tiba hujan mengguyur Kota Manado dengan sangat deras. Sebagian peserta pulang ke rumah dan sebagian masih bertahan sampai hujan berhenti. Setelah hujan berhenti dilanjutkan dengan Senam Bersama di Kantor Kelurahan Bitung Barangria bersama dengan Lurah, masyarakat dan panitia. Setelah selesai senam bersama dilanjutkan dengan sarapan pagi bersama sambil berdiskusi tentang situasi dan kondisi yang terjadi karena hujan. Menjelang siang, kegiatan lomba masak dilakukan. Tema lomba masak “Kreasi Cakalang Fishfood” ini diikuti oleh 5 kelompok dengan 3 orang peserta yang beda agama di tiap kelompoknya. Maksud dan tujuan lomba ini yaitu untuk menciptakan kebersamaan, kerukunan kerjasama dan kedamaian. Kriteria penilaian yaitu: kerjasama, ketepatan waktu, kebersihan, keindahan menyajikan, dan rasa. Kegiatan ini berlangsung dengan aman, tertib dan harmonis. Para tim penilai terdiri dari 3 orang, yaitu; Lurah, Ibu Pendeta, dan perwakilan pemuda. Hasil penilaian lomba mendapatkan 3 kelompok yang terbaik. Namun yang paling menarik ternyata yang mendapat juara 1 adalah terdiri dari kalangan nenek-nenek yang sudah berumur 60 tahunan. Lomba ini akhirnya ditutup dengan makan bersama dan foto bersama. Dari rangkaian lomba di atas, tim melakukan refleksi bahwa secara substansial kegiatan lomba ini bisa menunjukan kepada kita semua, kaum muda, yang pergaulannya cenderung mudah konflik, bersama seluruh masyarakat pada umumnya, bahwa ternyata kedamaian, kebersamaan, serta kerukunan itu sudah lama tercipta, dan harus terus dijaga. Para generasi muda penerus menjadi pihak yang wajib mempertahankannya, dengan penuh kesadaran akan nilai penting perdamaian. Refleksi juga mengonfirmasi pernyataan bahwa Sulawesi Utara terkenal dengan slogan “Torang Samua Basudara “ dan Kota Manado juga terkenal dengan “Kota Tinutuan“ (bubur khas Manado). Artinya Kota Manado terdiri dari bermacam-macam agama dan etnis tetapi tetap satu. Sama dengan “Tinutuan” yang terdiri atas bermacam-macam sayur dan bahan-bahan lainnya namun tetap enak dalam satu sajian. Adanya tingkat toleransi yang sangat tinggi, rasa persaudaraan, dan kebersamaan membuat masyarakat Manado tetap damai. Selain itu, ditemukan bahwa salah satu faktor yang turut mempengaruhi terciptanya perdamaian di Manado adalah adanya perkawinan beda suku. Berdasarkan hasil riset awal, FGD, dan kegiatan PAR oleh kedua kelompok, dapat disimpulkan beberapa hal –sebagai jawaban persoalan— sebagai berikut: 1. Kota Manado yang berpenduduk majemuk memang damai. Hal ini terbukti dari absennya kasus-kasus etnorelijius di Kota Manado—bahkan ketika wilayah tetangganya, PosoSulawesi Tengah dilanda konflik keagamaan beberapa waktu lalu. 2. Secara historis, suasana kedamaian dan perdamaian di Manado sudah berlangsung sejak lama. Kondisi ini telah memberikan kontribusi yang sangat positif bagi terwujudnya budaya damai dan kondusif di Manado. Tingkat pendidikan masyarakat Manado pun pada - 16 -
umumnya relatif tinggi sehingga tidak mudah terprovokasi. Selain itu, efektifnya forumforum antarumat beragama seperti BKSAUA dan FKUB memberi dukungan kuat pada kedamaian. Masyarakat Manado juga telah belajar dari pengalaman buruk masyarakat di daerah lain yang mengalami berbagai tragedi kemanusiaan dan kesulitan akibat konflik agama maupun konflik etnik. Kondisi tersebut menghadirkan suatu harapan dan keinginan serta komitmen untuk terus membangun, memelihara kedamaian dan perdamaian di Manado. 3. Kearifan lokal begitu hidup dalam masyarakat Manado, seperti pranata sosial bernama Sosial Duka, hidup di tingkat lingkungan. Sosial duka menjadi pranata sosial yang merekatkan dan menguatkan kebersamaan masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan etnik pada saat ada anggota masyarakat yang wafat. Di samping itu, pranata lain yang sangat populer adalah Torang Samua Basaudara atau “sitou timou tumou tou”. 4. Terjadi kerjasama yang baik antara semua pihak terutama tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemerintah dalam upaya menyemai, membangun dan memelihara perdamaian dan kedamaian di Manado melalui forum-forum formal dan informal seperti FKUB, BKSAUA dan forum-forum kultural lainnya di masyarakat. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengupayakan kerukunan dan budaya damai, serta fasilitasinya terhadap forum-forum antarumat beragama menjadi faktor penguat. 5. Posisi sentral tokoh agama di masyarakat Manado relatif efektif dan strategis dalam upaya menyebarkan pandangan pandangan keagamaan yang moderat dan tole ran. Pembumian makna dialog terus disampaikan ke masyarakat bawah untuk menerima cahaya kedamaian ini guna menjalankan kehidupan dalam suasana yang tenang tanpa ketakutan dan kecemasan. Di samping itu tokoh agama juga berupaya keras dalam menyampaikan pesan agama untuk terus membangun kesadaran dalam beragama yang tidak hanya sekadar berwajah kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial. Kesalehan sosial, selain bermakna kepedulian di bidang ekonomi, juga kepedulian untuk tidak menghardik umat dari agama lain, menegakkan kemanusiaan manusia dan keadilan yang bermoral. 6. Dinamika politik lokal memang berpotensi mengganggu kedamaian yang ada. Selain itu, adanya tindakan kriminal yang disebabkan minuman keras juga menjadi tantangan bagi kedamaian masyarakat di Kota Manado. Penutup Kerukunan umat beragama adalah kondisi dinamis. Perubahannya dapat dengan sangat cepat terjadi seiring dengan dinamika perkembangan zaman ataupun kondisi sosial, politik, dan budaya di suatu tempat. Karenanya, kewaspadaan adalah keniscayaan. Peningkatan kesadaran, penguatan wawasan, dan pembekalan keterampilan tentang kerukunan adalah hal-hal yang harus segera dilakukan. Dan para pemuda menjadi pihak yang mendapat prioritas untuk hal-hal ini, karena merekalah aktor sekaligus pemilik masa depan. Dari contoh pelaksanaan Peacekeeping melalui PAR di Manado, tampak bahwa kalangan pemuda di sana telah cukup tersadarkan dengan arti penting ‘damai positif’. Secara pribadipribadi, mereka telah mampu mendeteksi dan menyadari adanya potensi-potensi konfliktual laten di dalam suasana ‘damai’ selama ini. Adapun dalam kaitannya dengan masyarakat, para - 17 -
pemuda itu dapat turut ‘hadir’ dan berkontribusi dalam upaya harmonisasi sosial—secara sadar. Diantara mereka (peserta FGD/PAR yang berbeda-beda agama dan etnis ini) juga terjalin ikatan-lanjutan, baik di dunia maya melalui jejaring media sosial, maupun face to face dalam reuni-reuni ataupun kegiatan tertentu yang dikelola oleh salahsatu diantara mereka ataupun oleh Kementerian Agama setempat. Jejaring serupa saat ini telah ada di 15 wilayah lainnnya di bagian Barat-Tengah-Timur Indonesia. Secara kalkulasi total kepesertaan, masing-masing ada 22 orang di 16 provinsi. Berarti saat ini telah ada sebanyak 352 kader pelopor perdamaian di 16 provinsi di Indonesia. Meski tidak semua jejaring itu kini cukup kokoh terjalin dan aktif berkegiatan bersama, namun diseminasi kesadaran tentang kedamaian dan perdamaian telah dilakukan. Benih-benih kerukunan itu telah tersemai, dan menjadi harapan bagi masa depan bangsa yang lebih baik. Mudah-mudahan sedikit pengalaman Indonesia ini mengandung lesson learned untuk memperkaya wawasan sahabat belia serantau. Semoga. Jakarta, Februari 2013
- 18 -