PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PEMAHAMAN IBU MENGENAI TEMPER TANTRUM ANAK
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun oleh: Albertin Melati Widyaninta 119114040
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SKRIPSI
PEN,TAHAMAN IBU MENGENAI TEN'IPER TANTRUM ANAK
Disusun oleh:
Albertin Melati Widyaninta 1r9114040
Telah Disetuiui Oleh:
Dosen Pembirnbing.
l( ^
'^t
ip
A,trWtv'
l--rlt
u
Ratri Sunar Astuti. M.Si.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SKRIPSI
PEMAHAMAN IBU MENGEI\AI TEMPI,R TANTRUM AI\AK
Dipersiapkan dan ditulis oleh:
Albertin Melati Widyaninta
NIM: 119114040
Telah dipertanggrurgjawabkan di depan Panitia Penguli Pada tanggal 14 Mmet 2017
dan dinyatakan telah memenuhi syarat.
Nama lengkap
Penguji
I
Ratri Sunar Astuti, M. Si.
Penguji
II
M. L. Anantasari, M. Si.
Pengujitrl
P. Eddy Suhartanto. S. Psi.,
M
Si
Yoryakart4 ...........
1117 I CU I
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
'p\" g
c
ur,FW* \
*""?hi'iis z
Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si.
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN MOTTO
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan padaku.” Filipi 4:13
“Birds don’t just fly, they fall down and get up. Nobody learns without getting it wrong.” Try Everything, ost. Zootopia
“It’s time to see what I can do To test the limits and break through.” Let It Go, ost. Disney Frozen
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Demikian, usaha yang kutempuh melampaui batasku kupersembahkan kepada
Tuhan Yesus Kristus, yang selalu hadir dalam rupa percikan api semangat dalam titik terendahku.
Ibu Nien, yang segala perhatiannya dicurahkan padaku.
Bapak Budi, yang segala kepunyaanya disediakan bagiku.
Adik Eno, yang tingkah ajaibnya selalu bisa jadi pelarian atas jenuhku.
Aditya, yang mengajari untuk setia dalam perjuanganku.
Semua sahabat, rekan yang terlibat, yang bahkan kehadirannya tidak kuduga namun Tuhan hadiahkan padaku.
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya
tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya milik orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta,
13 fubruori
aotT
Penulis,
W?$s (Albertin Melati Widyaninta)
V1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MOTHER’S UNDESTANDING TO INFANT’S TEMPER TANTRUM Albertin Melati Widyaninta
ABSTRACT
This research aimed to explore mother’s understanding to child behavior while expressing temper tantrum. The design of this research is qualitative in interpretative phenomenological analysis method which applied to data obtained on semi-structured interview and observation. This research was conducted on three mothers who have a daughter or son aged 18 months to 3 years old and indicated with temper tantrum symptomps. The result showed that mother’s understanding about child temper tantrum vary based to educational degree and living place area. Variation of mother’s understanding about child temper tantrum implicated to variation of mother’s attitude to child temper tantrum. Furthermore, mother’s attitude to child temper tantrum implicated to mother’s responses to child temper tantrum and mother’s strategies to cope child temper tantrum.
Keywords: mother, understanding, attitude, strategy, temper tantrum
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PEMAHAMAN IBU MENGENAI TEMPER TANTRUM ANAK Albertin Melati Widyaninta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggali pemahaman ibu mengenai perilaku temper tantrum anak. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif fenomenologis yang diterapkan pada data yang diperoleh melalui metode wawancara semi terstruktur dan observasi. Informan yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah tiga orang ibu yang memiliki anak dalam rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun dengan indikasi temper tantrum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman ibu mengenai perilaku temper tantrum anak memiliki variasi sesuai dengan tingkat pendidikan dan lokasi tempat tinggal. Ragam pemahaman ibu mengenai temper tantrum mempengaruhi variasi sikap ibu terhadap temper tantrum. Selanjutnya, sikap ibu terhadap temper tantrum mempengaruhi cara ibu merespon dan memilih strategi untuk menanggulangi temper tantrum.
Kata kunci: ibu, pemahaman, sikap, strategi, temper tantrum
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Albertin Melati Widyaninta
NIM
: 119114040
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PEMAHAMAN IBU MENGENAI TEMPER TANTRUN{ ANAK
Besefia perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk rnenf itnpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di intemet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada
tanggal. 14 Junt 'rOll Yang menyatakan
ruO i 'dr{P " o }',
aa)L\$ (/ \-/
(Albertin Melati Widvaninta)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan penyertaan yang tiada berkesudahan sehingga penelitian
dengan
judul
PEMAHAMAN
IBU
MENGENAI
TEMPER
TANTRUM ANAK ini telah selesai. Penelitian ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Strata Satu (S1) Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama proses penyusunan, peneliti telah didukung oleh beberapa pihak. Oleh karena rasa syukur ini, peneliti hendak mengucapkan terima kasih kepada: 1. Tuhan Yesus Kristus. Terima kasih rasanya tidak cukup untuk mewakili betapa diriku bersyukur memiliki Tuhan selembut sekaligus sekuat Engkau yang penyertaan-Nya sungguh terasa dalam setiap proses penyelesaian penelitian ini. 2. Ibu Nien Haryanti, ibuku yang selalu percaya bahwa aku bisa melampaui segala yang sedang kuhadapi. Makasih ya, bu. Kepercayaan ibu buat Ela lah yang membuat Ela percaya diri buat ngerjain skripsi ini. Makasih, Ela udah ibu whatsapp terus, nanyain keadaan Ela. 3. Bapak Budi Widyatmoko, ayahku yang sudah mengupayakan untuk selalu memenuhi kebutuhanku. Makasih ya, pak. Ela selalu bisa bersandar pada bapak dan punya keyakinan bahwa Ela gak akan jatuh. 4. Adik Eno Widyananda, semoga skripsi mbak bisa jadi tambahan pengetahuan buat adek. Besok kuliahnya gak usah kelamaan kayak mbak.
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si. selaku pembimbing skripsi selama 5 semester. Terima kasih, ibu, atas pendampingan dan kesabaran ibu dalam pengerjaan skripsi ini. Terima kasih sudah meluangkan waktu yang banyak untuk membantu skripsiku ya, bu. 6. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. Selaku Dekan Fakultas Psikologi yang telah memimpin Fakultas Psikologi ini dengan tangguh dan bijaksana. 7. Kedua dosen penguji Ibu M. L. Anantasari, M. Si. Dan Ibu Diana Permata Sari, M. Sc. Yang telah membantu proses penyempurnakan skripsi saya. 8. Bapak Prof. Augustus Supratiknya, Ph. D. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah berkontribusi pada perkuliahan saya. 9. Segenap dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas passion ibu dan bapak sekalian dalam mentransfer ilmu yang memberi saya kesempatan untuk mengembangkan ilmu Psikologi dan bersama dengan para karyawan yang suasana kekeluargaannya membuat saya sangat kerasan di fakultas ini. 10. Aditya Dewantoro, pacar yang tingkah lakunya menjengkelkan tapi selalu mengusahakan semua yang baik buat perkembanganku menjadi pribadi yang semakin dan semakin baik. Makasih ya, ndut. Aku yakin 100% nggak ada satu orangpun yang sespesial (baca: seaneh, seunik, seajaib, dan senyeleneh) kamu! 11. Saktya Pratita dan Anoy Widya Sasmita, dua orang lelaki tangguh dan kompeten di Psikologi. Matur nuwun sanget, berkat kepercayaan kalian padaku (Saktya di BEMF Psi 13-14 dan Anoy di AKSI 2015), aku bisa berkembang, melampaui diriku, yang semula nggak mampu untuk sekedar
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berani tampil di depan orang banyak menjadi orang yang akhirnya dipercayakan untuk memimpin orang banyak. Salim, Sak, Noy. 12. Ghea Kuncahyani, Stella Vania, Agnes Wijaya, Retha Sekar Lelyana, Dianasia Tyas, Mira Toby, Bincik Primaturini, Bene Pasaribu, Rere Siniwi, Martha Sihombing, Bella Indyaningtyas, Angga Kurnianto, sebagai sahabatsahabat yang memberikan kenyamanan dalam kegelisahan dan penguatan dalam kebimbangan. Aku bersyukur karena Tuhan telah menghadiahkan kalian dalam hidupku. Peluk satu-satu! 13. Seksi Publikasi dan Dekorasi Psychofest 2011: Mas Plentong, Mbak Astrid, Agnes, Ateng, Anton. Berkat mas Plentong selaku koordinator seksi yang telah memilih aku jadi anggota, aku jadi kecebur di populasi cah kepanitiaan Psi dan menemukanku pada tambatan hatiku. 14. Konseptor dan Tutor AKSI 2012: Mas Hanif, Mas Kribo, Mbak Valen, Mbak Sondra, Mbak Tari, Saktya, Ateng, Mas Wawan, Mas Erga, Mbak Vita, Tyas, Bene, Bella, Rere, Agnes, Pika, Anita. Berkat dinamika bersama kalian bertujuh belas, aku jadi punya banyak soft skill baru yang menyadarkanku bahwa skill yang aku punya belumlah ada apa-apanya. 15. Panitia Inti BEMF 2013-2014: Saktya, Ani, Bella, Patrice, Fani. Berkat Saktya, aku jadi makin kecebur di populasi cah kepanitiaan fakultas, aku diajari banyak banget skill yang bikin aku mampu bertindak dalam lingkungan sosial. Makasih banget, mumet-mumet-nya kita berenam membekas di hati dan pelajarannya bisa kubawa sampai mati.
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16. Panitia AKSI 2015: Anoy, Elis, Vico. Anoy yang celelekan tapi berhati-hati, Elis yang skillful pada jobdesc dan keluguannya mencairkan suasana, dan Vico yang jahil tapi galak. Kita berempat adalah komposisi anggota divisi yang paling pas dan saling menunjang penyelesaian pekerjaan dan kekompakan. Aku kangen nge-ArtJog bareng lho! 17. Saudari-saudari KKN: Yasmine, Muti, Ayuk, Irene. Kehadiran kalian dalam hari-hariku selama satu bulan di Gupit mengajarkanku cara mencintai sesama dengan menerima apa adanya. Pendadaranku mbok do teko to! 18. Keluarga Psikologi 2011, semuanya, tak terkecuali, status apapun yang sekarang kalian sandang. Terima kasih bahwa keragaman kalian menciptakan dinamika yang unik, membuat nyaman, dan menujang perkembanganku di fakultas kita tersayang. Terima kasih telah menjadi bagian yang akan selalu kurindukan ketika pulang ke Jogja. 19. Ketiga informan yang telah menyediakan diri untuk berbagi pengalaman yang sangat bernilai untuk penelitianku. Terima kasih banyak, semoga senantiasa menjadi ibu yang tangguh dan skillful dalam menunjang perkembangan anakanak. 20. ChaCha Milk Tea, Hero Coffee, dan Peacock Coffee. Terima kasih telah menjadi tempat yang nyaman untuk ber-progress hingga aku menyelesaikan penulisan skripsi ini. Menjadi tempat yang membuatku melampaui diri, dari yang semula jam 22.00 sudah mengantuk sampai jadi tahan memandang laptop hingga subuh. Aku rekomendasikan ketiga tempat ini buat para pejuang skripsi selanjutnya!
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN ………………………………………………..………1 A. Latar Belakang ………………………………………………………..…1 B. Rumusan Masalah …………………………………………....………….8 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………………...8 D. Manfaat Penelitian ...…………………………………………………….8 BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….10 A. Temper Tantrum ……………………………………………………….10 1. Definisi temper tantrum ……………………………………………10 2. Usia kemunculan temper tantrum ....…………………………...……10 3. Perilaku yang menyertai temper tantrum ………………………......11 4. Faktor-faktor penyebab kemunculan temper tantrum ……………….12 5.
Klasifikasi temper tantrum yang normal dan abnormal................... 15
B. Strategi Menanggulangi Temper Tantrum ………..….............................16 C. Perkembangan Anak ...………………………………………..…………19 1. Perkembangan fisik dan motorik …………………………………....19 2. Perkembangan kognitif dan bahasa …………………………..……...20 3. Perkembangan sosial …………………………………………….…..23 4. Perkembangan emosi ……………………………………………..…25 5. Perkembangan agresi ..........................................................................30 D. Pemahaman Ibu
………………………………………………………..31
1. Memahami …………………………………………………………..31
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman ibu ...................... 35 3. Pentingnya memahami temper tantrum anak ………………………..36 E. Pertanyaan Penelitian ……………………………….…………………...37 1. Fokus penelitian……………………………………………...…….. 37 2. Pertanyaan pendukung ………………………………………………37 BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………39 A. Jenis Penelitian ……………………………………………………….…39 B. Fokus Penelitian ……………………………………………..………….40 C. Batasan Istilah …………………………………………………………...40 D. Partisipan Penelitian ……………………………………………...……...42 E. Metode Pengumpulan Data ……………………………………………...43 F. Panduan Wawancara ………………………………………..…………...46 G. Proses Pengumpulan Data ……………………………………………….47 H. Metode Analisis Data …………………………………………….……...48 I. Krediilitas Penelitian …………………………………………………….50 BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………….…52 A. Pelaksanaan Penelitian ……………………………….………………….52 B. Gambaran Informan ……………………………………….…………….55 1. Informan 1 …………………………………………………………...55 2. Informan 2 …………………………………………………………...56 3. Informan 3 …………………………………………………………...57 C. Hasil Penelitian: Deskripsi Tema Umum ………………………………..57 1. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak ……….………….58
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak ……………………61 3. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu ………………………...66 4. Strategi menanggulangi temper tantrum …………………………… 71 D. Pembahasan ……………………………………………………………...74 1. Informan 1 ……………………………………………………….… 75 a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak …………..…...75 b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak …………....…..76 c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu …………….……....78 d. Strategi menanggulangi temper tantrum …………………...……79 2. Informan 2 …………………………………………………………...80 a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak …………..…...80 b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak ………………..81 c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu ……………………83 d. Strategi menanggulangi temper tantrum ………………………...84 3. Informan 3 …………………………………………………………...85 a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak …………….....85 b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak …………….… 87 c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu …………………….89 d. Strategi menanggulangi temper tantrum ……………………...…90 BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………..95 A. Kesimpulan …………………………………………………..………….95 B. Keterbatasan Penelitian ………………………………………………… 96 C. Saran ………………………………………………………….………….96
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Panduan Wawancara …………………………………………………...46 Tabel 2. Data Demografi Informan
….…………………………………….....52
Tabel 3. Proses Pengumpulan Data Informan 1 …………………………………53 Tabel 4. Proses Pengumpulan Data Informan 2 …………………………………53 Tabel 5. Proses Pengumpulan Data Informan 3 …………………………………53 Tabel 6. Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum Anak ……………………91
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Skema 1. Pola Pengaruh Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum …………75
xviii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN
Informed Consent Informan 1 ………………………………………………….104 Biodata Informan 1 ...………………………………………………………
105
Informed Consent Informan 2 ………………………………………………….106 Biodata Informan 2
………………………………………………………… 107
Informed Consent Informan 3 ………………………………………………
108
Biodata Informan 3
109
.………………………………………………………
Tabel Analisis Isi Informan 1 ..…………………………………………………110 Tabel Analisis Isi Informan 2 …………………………………………………124 Tabel Analisis Isi Informan 3 …………………………………………………..157
xix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masa awal anak-anak adalah fase perkembangan dengan perubahan yang cukup menonjol. Masa ini merupakan tingkat perkembangan saat anakanak menghadapi dunia sosial yang lebih luas (Santrock, 2002). Anak-anak mulai keluar dari lingkup keluarga menuju lingkungan teman sebaya dan memasuki lingkungan sekolah. Pada masa ini, anak-anak sudah mulai memiliki pemahaman yang lebih kompleks mengenai lingkungan sosialnya (Bukatko, 2008). Mereka sudah menyadari dan mampu mengekspresikan keinginannya, namun mereka juga memahami bahwa lingkungan memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi, yang seringkali menghalanginya untuk mencapai keinginan-keinginannya. Anak-anak yang telah memahami hal-hal semacam ini kemudian mengalami konflik antara otonomi yang dimiliki dan rasa malu dan ragu-ragu yang ditimbulkan (Erikson dalam Santrock, 2007). Anak mengalami kebingungan akibat konflik tersebut. Ketika anak-anak dihadapkan pada situasi yang membingungkan, maka mereka akan mengalami frustrasi sehingga menunjukkan reaksi-reaksi tertentu (Gunarsa, 1987). Tidak jarang, reaksi-reaksi tersebut merupakan perilaku yang mengganggu dan merusak. Perilaku tersebut di antaranya menangis dan marah (Gunarsa, 1987), dan mengucapkan kata-kata kasar (Sarumpaet, 1978). Seorang ibu bercerita bahwa
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2
anak laki-lakinya kerap melemparkan semua baju ke lantai setiap kali ia pulang sekolah, tuturnya dalam tabloid Femina (no. 10/7-13Mar15 pada rubrik Anda dan Keluarga). Meggitt (2013) menyebut ledakan emosi frustrasi dan amarah yang tidak terkontrol, seperti berteriak, menangis, menolak bekerja sama, marah (dapat diekspresikan di antaranya dengan menendang, memukul, berteriak) sebagai tantrum. Meggitt (2013) menyatakan bahwa temper tantrum muncul sebagai akibat dari konflik antara hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dengan pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa frustrasi yang dialami anak pada situasi yang membingungkan baginya akan dapat memicu timbulnya tantrum. Temper tantrum memberikan dampak kepada ibu. Sebagian besar ibu melaporkan bahwa pada masa ini, mereka mulai merasa jengkel dan kewalahan ketika berhadapan dengan anaknya. Seperti yang diungkapkan oleh Astrika dalam tabloid Ayah Bunda (no. 13/ 23Jun-6Jul14), dalam rentang usia dua hingga tiga tahun, anaknya terlihat sering menangis, marah, menjerit, menendang-nendang, mengamuk, dan pandai berargumentasi. Berdasarkan perilaku tersebut, Astrika menyebut anaknya sebagai monster cilik. Hal senada juga diungkapkan oleh seorang ibu dengan 3 orang anak. Dalam tabloid Familia (ed. 13/Nov04), ia mengeluhkan bahwa anak keduanya berani melawan orang tua, mengganggu adiknya, dan kerap bertengkar dengan kakaknya. Ibu merasa sangat jengkel sehingga berteriak dianggap menjadi cara yang dianggap efektif untuk menekan kenakalan anak keduanya. Hingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3
usia tujuh tahun, ibu melabel anaknya sebagai trouble maker (atau peneliti menerjemahkannya sebagai si biang kerok). Meski melalui kedua fenomena di atas disebutkan bahwa temper tantrum menyusahkan ibu, sebuah sumber menyebutkan bahwa kemunculan temper tantrum merupakan perilaku yang biasa muncul dalam masa perkembangan anak, khususnya pada rentang usia 18 hingga 60 bulan (Potegal & Davidson (dalam Belden, Thomson, & Luby, 2008)). Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya karena anak belum cukup mampu mengkomunikasikan keinginannya dengan jelas (Kopp dalam Bukatko, 2008) atau karena kematangan fisiologis, yakni bagian frontal pada otak yang mengontrol gairah (excitation) dan penghambat (inhibition) sedang dalam proses pematangan (Fox & Schore dalam Bukatko, 2008) yang menyebabkan letupan keinginan dan kemampuan anak untuk mengontrol keinginannya seringkali berkonflik. Berdasarkan uraian di atas, terlihat adanya kesenjangan antara pemahaman para ibu dengan uraian para pakar mengenai temper tantrum yang muncul pada anak. Kemunculan tantrum seringkali menimbulkan rasa jengkel bagi ibu, bahkan rasa malu bila terlihat oleh orang lain (Azar, Reitz, & Goslin, 2008) sehingga sebagian ibu melabel anaknya sebagai anak yang nakal. Padahal, pemberian label semacam itu dapat berdampak buruk bagi anak. Dampak buruk labelling yang mungkin terjadi, salah satunya adalah terganggunya proses perkembangan anak pada tahapan selanjutnya seperti disebutkan pada Santrock (2002), yakni tekun versus rendah diri (industry
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4
versus inferiority). Santrock (2002) menyebut bahwa orang tua yang memberikan label “kacau” atau “berantakan” pada hasil karya anaknya, dapat mendorong perkembangan rasa rendah diri pada anak-anak. Menjadi ibu berarti mengambil tanggung jawab untuk mengasuh dan mendidik anak. Hal ini didukung oleh Kartono (1992) bahwa ibu harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikologis anaknya dalam mendampingi anak beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Dalam kasus temper tantrum, tanggung jawab tersebut dapat diwujudkan dalam sikap ibu saat menangani perilaku negatif yang muncul. Penanganan atau sikap yang sesuai hanya dapat dicapai apabila ibu memiliki pemahaman yang benar mengenai kondisi anaknya, khususnya mengenai perilaku temper tantrum yang diekspresikan anaknya. Pernyataan ini didasarkan oleh pernyataan
Anderson
(dalam
Supratiknya, 2012) yang menyebut bahwa dalam definisi „memahami‟ terdapat kemampuan untuk membedakan atau mengklasifikasi dan membuat perkiraan. Berdasarkan pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa ketika ibu memahami bahwa perilaku mengganggu dan merusak yang diekspresikan anaknya adalah temper tantrum, maka ibu akan mengambil sikap yang tepat. Sebaliknya, bila ibu tidak memahami bahwa perilaku-perilaku tersebut adalah temper tantrum, melainkan perilaku nakal, maka ibu akan menyikapi dengan salah dan berdampak buruk bagi anaknya. Berikut adalah sikap yang benar dalam menangani temper tantrum. Pada tabloid Ayah Bunda (no. 26/29Des14-11Jan15), Erweniati, seorang ibu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5
berbagi cerita bahwa anak perempuannya yang berusia 2 tahun menunjukkan perilaku berguling-guling di lantai untuk meminta dibelikan sebuah mainan di suatu pusat perbelanjaan. Karena sudah paham bahwa anaknya sedang mengekspresikan temper tantrum, maka ia menggendong anaknya ke luar toko dan membiarkan temper tantrumnya selesai. Setelah itu, ia dan anaknya berbicara dengan baik-baik dan mengajaknya pulang. Sementara itu, berikut adalah sikap yang salah dalam menangani tantrum. American Academy of Pediatrics (dalam Daniels, Mandleco, & Luthy, 2012) memberi contoh mengenai anak yang mengekspresikan temper tantrum karena menolak perintah ibu untuk tidur. Ibu mungkin menyikapi temper tantrum anaknya dengan membolehkan anaknya terjaga hingga larut malam. Namun, ibu mungkin tidak sadar bahwa sikapnya ini justru memberikan penguatan (reinforcement) pada perilaku tantrum anaknya. Anak pun mempelajari bahwa perilaku temper tantrum dapat digunakan untuk memperoleh keinginannya. Berdasarkan dua contoh di atas, tampak bahwa penanganan ibu mengenai perilaku tantrum anaknya masih bervariasi. Purnomo (1990) menyatakan bahwa keyakinan seseorang mengenai suatu situasi dapat menjadi dasar seseorang untuk memilih respon dalam bertindak. Maka dapat dikatakan bahwa perbedaan pemahaman ibu mengenai perilaku temper tantrum anaknya juga akan cenderung menampilkan variasi pada penanganan ibu terhadap perilaku tantrum anaknya. Gunarsa (1987) juga berpendapat bahwa tantrum dapat diatasi apabila ibu memiliki pemahaman yang cukup mengenai tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6
perkembangan dan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Hal inilah yang menjadi latar belakang bahwa pemahaman ibu mengenai temper tantrum perlu diteliti lagi. Maka akan lebih baik apabila ibu memiliki pemahaman yang lebih baik dalam melihat perbedaan antara perilaku tantrum dan perilaku mengganggu dan merusak lainnya, atau sering disebut sebagai perilaku nakal. Encyclopedia of Child Behavior and Development (2001) menjelaskan tantrum sebagai: 1). Perilaku yang merusak dan tidak diinginkan sebagai respon atas luapan emosi yang disebabkan oleh keinginan yang tidak dipenuhi, 2). Ketidakmampuan untuk mengontrol emosi yang disebabkan oleh frustrasi atau kesulitan untuk mengekspresikan keinginan tertentu. Menurut sumber yang sama, kondisi seperti ini umum ditemui pada anak dalam rentang usia 18 bulan hingga 4 tahun. Dengan demikian, perilaku tantrum perlu dipahami sebagai ekspresi ketidaknyamanan dan frustrasi atas konflik yang dialami oleh anak. Menurut Gunarsa (1987), suatu perilaku dapat disebut nakal apabila perilaku tersebut menimbulkan masalah bagi diri sendiri atau orang lain, dan melanggar nilai-nilai moral maupun sosial. Sebagai contoh, anak yang nakal akan menunjukkan perilaku seperti berbohong, memecahkan kaca jendela, mengganggu adik, dan mencuri barang milik orang lain (Gunarsa, 1987). Mengaitkan tantrum dengan kenakalan, sebuah artikel menyebutkan bahwa temper tantrum lebih tepat dimaknai sebagai ketidakmampuan anak untuk mengontrol perilakunya daripada dimaknai sebagai perilaku nakal (Montgomery, 1987). Sumber lain menyebutkan bahwa perilaku tantrum dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7
menjadi indikasi anak yang merasa tidak bahagia dan tidak nyaman, daripada anak yang nakal (McCaskill, 1941). Dengan demikian, melabel perilaku tantrum dengan kata „nakal‟ merupakan hal yang tidak tepat. Pemahaman mengenai temper tantrum anaknya merupakan kemampuan yang penting dikuasai oleh ibu dalam pengalamannya mengasuh anak. Paham berarti memahami makna, membedakan hal yang benar dan yang salah, serta membuat perkiraan atau strategi tertentu (Anderson dalam Supratiknya, 2012). Menurut Irmansyah (dalam Nurrachman dan Bachtiar, 2011), memahami adalah modal utama untuk membangun suatu hubungan yang positif dan saling membahagiakan. Bila melihat implikasinya, pengetahuan ibu dapat menstimulasi perkembangan fisik, kognitif, dan emosional anak (Balson, 1993), sebaliknya kegagalan ibu dalam mengidentifikasi maksud anak akan membuat ibu mengembangkan perasaan tidak mampu memahami dan menolong anak mereka (Balson, 1993), dan membuat anak mengembangkan rasa rendah diri (Sarumpaet, 1978; Purnomo, 1990; Santrock, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk menggali pemahaman ibu mengenai perilaku temper tantrum anaknya. Untuk mecapai tujuan tersebut, peneliti bekerja sama dengan para partisipan penelitian, yakni 3 orang ibu yang berdinamika dengan anak dengan indikasi temper tantrum dalam rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun. Untuk memperoleh informasi pemahaman mengenai temper tantrum yang bervariasi, masing-masing partisipan penelitian berasal dari latar belakang pendidikan dan ekonomi yang berbeda-beda. Penentuan variasi latar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8
belakang tersebut didasari oleh Azwar (2005) mengenai sikap, bahwa pembentuk sikap setidaknya dipengaruhi oleh pengalaman langsung, pendidikan, dan paparan terhadap media massa.
B. Rumusan Masalah Bagaimanakah pemahaman ibu mengenai perilaku tantrum anaknya?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menggali pemahaman ibu mengenai perilaku temper tantrum anaknya.
D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini menambah kelengkapan kajian mengenai temper tantrum dalam bidang Psikologi Perkembangan, khususnya dalam rangka memahami tahapan perkembangan (milestone) anak. Hingga saat ini, topik temper tantrum banyak dikaji dalam bidang pengasuhan (Nursing) khususnya dalam strategi penanggulangan perilaku temper tantrum. Secara praktis, penelitian ini lebih banyak ditujukan untuk para ibu. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan pemahaman mengenai temper tantrum, yakni membantu ibu mengenali berbagai perilaku yang diekspresikan anak pada temper tantrum, berbagai kondisi dan faktor penyebab kemunculan temper tantrum, gambaran dampak yang mungkin dapat dirasakan ibu akibat temper tantrum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9
Peneliti berharap melalui penelitian ini, para ibu dapat menerapkan praktik pengasuhan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi psikologis anaknya. Dengan menerapkan praktik pengasuhan yang sesuai, ibu dapat mejalankan perannya sebagai penunjang perkembangan anak agar sesuai dengan tahapan perkembangannya dan kesejahteraan psikologis akhirnya tercapai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Temper Tantrum 1. Definisi temper tantrum Temper tantrum dapat dikenali dari berbagai istilah, seperti „amukan‟, „mengamuk‟, dan „mengambek‟ (Meggitt, 2013; Suririnah, 2010). Temper tantrum didefinisikan sebagai semprotan emosi frustrasi dan amarah yang ekstrem dan tidak terkontrol pada anak-anak kecil yang tampak dari perilaku-perilaku tidak menyenangkan dan tidak sesuai dengan situasi, seperti menangis, berteriak, dan menyakiti diri sendiri (Daniels et al., 2012; Meggit, 2013; McCurdy dalam Daniels et al., 2012).
2. Usia kemunculan temper tantrum Kemunculan temper tantrum dapat dilihat pada usia 1 hingga 4 tahun (Harrington, 2009). Hasil penelitian oleh Sullivan & Lewis (2012), menunjukkan bahwa temper tantrum mulai muncul pada anak sekitar usia 12 bulan. Temper tantrum juga dapat diidentifikasi pada usia yang lebih besar, yakni mulai usia 16 hingga 36 bulan (Suririnah, 2010), pada rentang usia
18
bulan
hingga
4
tahun
(Koulenti
&
Anastassiou-
Hadjicharalambous, 2011), dan melewati usia 18 bulan (Hockenberry et al.
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11
dalam Dinantia, Indriati, dan Nauli, 2014). Bahkan, Meggitt (2013) menyebutkan bahwa tantrum biasanya terjadi pada anak usia 2 tahun. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku temper tantrum muncul pada rentang usia antara 18 bulan hingga 3 tahun.
3. Perilaku yang menyertai temper tantrum Temper tantrum dapat dikenali dari perilaku tampak seperti berikut. Harrington (2009) menyampaikan bahwa anak yang tantrum menunjukkan
perilaku
merengek,
mengeluh,
menolak
perintah,
membantah, memukul, berteriak, berlari, dan menantang guru atau orang tua. Suririnah (2010) menemukan bahwa berteriak-teriak, berbaring di lantai,
menendang,
membanting
barang-barang,
menahan
napas,
membenturkan kepala ke tembok atau lantai, menangis adalah perilaku yang kerap dijumpai pada anak tantrum. Berikut adalah klasifikasi perilaku temper tantrum berdasarkan sifatnya yang dikelompokkan menurut Belden et al., 2008 : a. Agresi yang tidak destruktif, terdiri dari perilaku menendang tanpa sasaran, menghentakkan kaki, memukul dinding, merengek, mengeluh, menolak perintah, membantah, berteriak, berlari, menantang guru atau orang tua. b. Menyakiti diri sendiri, terdiri dari perilaku memukul diri sendiri, membenturkan kepala, menahan nafas, menggigit diri sendiri, c. Agresi oral, terdiri dari perilaku menggigit orang lain, meludah pada orang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12
d. Agresif destruktif, terdiri dari perilaku menendang orang lain, memukul orang lain, melempar benda, merusak benda Berikut adalah klasifikasi perilaku temper tantrum berdasarkan intensitasnya yang dikelompokkan menurut Preschool Age Psychiatric Assesment (PAPA) dalam Belden et al., 2008 : a. Tantrum normatif, yakni tantrum yang jarang meningkat pada perilaku menangis-berteriak
berlebihan,
dan
tanpa
disertai
kerusakan-
kekerasan, atau keduanya. b. Tantrum berlebihan tanpa agresi, yakni tantrum yang tidak disertai agresi-kekerasan namun disertai dengan perilaku berteriak-menangis, dan/atau memukul tanpa sasaran. c. Tantrum berlebihan dengan agresi, yakni tantrum yang disertai dengan perilaku menangis-berteriak, juga agresi-kekerasan terhadap objek, orang lain, atau keduanya.
4. Faktor-faktor penyebab kemunculan temper tantrum Selain memahami definisi, usia kemunculan, dan perilaku yang sering muncul, para ibu juga perlu memahami pemicu temper tantrum. Terdapat berbagai hal yang dapat menyebabkan perilaku tantrum muncul. Suririnah (2010) menyebutkan bahwa anak yang mengekspresikan tantrum sebenarnya ingin mencari perhatian, hal ini mungkin dapat menjawab alasan temper tantrum muncul saat orang tua mengobrol dengan teman. Penyebab selanjutnya adalah rasa frustrasi. Anak dapat merasa frustrasi biasanya karena tiga hal berikut, yakni tidak diizinkan melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13
sesuatu yang diinginkan, tidak mau meyelesaikan aktivitas yang dikerjakan, atau dipaksa melakukan aktivitas yang tidak diinginkan. Selanjutnya, anak dapat mengekspresikan temper tantrum karena mereka mencontoh perilaku orang lain. Anak pernah melihat orang di sekelilingnya mengekspresikan emosi negatif dengan mengambek. Anak juga dapat menggunakan tantrum sebagai ancaman untuk mendapatkan hal yang diinginkannya. Hal ini dapat terjadi karena orang tua tidak konsisten dalam memberikan aturan mengenai hal yang boleh dan hal yang tidak boleh
dilakukan.
Penyebab-penyebab
yang
ditimbulkan
dari
ketidaknyamanan fisik seperti kelelahan, merasa lapar dan haus juga dapat memicu kemunculan temper tantrum. Pandangan dari sisi perkembangan anak disampaikan oleh Syam (2013). Temper tantrum merupakan usaha keras dari autonomy yang dikembangkan anak usia toddler dalam usahanya menolak aktivitas yang tidak disukai. Dalam menanggapi salah satu fenomena yang dialami anak dalam usia toddler, yakni kelelahan, Syam (2013) menjelaskan bahwa kelelahan merupakan tindakan sederhana sebagai toleransi dari frustrasi. Purnamasari dalam Syam (2013) menyampaikan bahwa anak usia 18 bulan hingga 3 tahun secara normal menunjukkan perilaku menentang perintah. Hal ini merupakan masa eksplorasi, yakni memelajari batasanbatasan di lingkungannya. Selain itu, perilaku menentang muncul karena anak sedang dalam fase mengembangkan otonominya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14
Meggitt (2013) dalam terjemahan atas buku aslinya Understanding Child Development, menjelaskan bahwa temper tantrum dapat terjadi ketika seorang anak sedang sakit atau lelah, tetapi seringkali terjadi karena ada konflik mengenai sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan olehnya. Meggitt (2013) menyebutkan tujuh kondisi yang menjadi pemicu tantrum, yakni frustrasi, tidak mendapatkan cukup perhatian, keinginan untuk mandiri, ditolak, lapar, lelah, dan terlalu terstimulasi, serta ingin mengetes batasan dan aturan. Berdasarkan
paparan
berbagai
referensi
di
atas,
peneliti
mengkategorisasi faktor-faktor kemunculan temper tantrum dalam 2 kelompok besar, yakni: a. Faktor penyebab 1) Faktor perkembangan: Menolak permintaan orang lain yang tidak disukai, sedang mengetes batasan dan aturan di lingkungan. Kedua hal ini berkaitan erat dengan fase otonomi yang sedang berkembang. 2) Faktor fisik: sedang sakit, kelelahan, dan lapar. b. Faktor pemicu 1) Faktor emosi: tidak mendapatkan cukup perhatian, ditolak, rasa frustrasi, dan rasa takut. 2) Faktor sosial: terganggu oleh pernyataan verbal yang provokatif dan mendapatkan penanganan yang salah dari orang tua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15
5. Klasifikasi temper tantrum yang normal dan abnormal Pada bagian ini akan disajikan klasifikasi anak yang disebut sehat, anak yang mengalami temper tantrum yang disebut sebagai normal dan anak yang mengalami temper tantrum yang disebut sebagai normal abnormal berdasarkan rentang usia anak. Menurut Belden et al. (2008), anak disebut sehat apabila tidak memiliki kriteria DSM-IV dalam psychiatric disorder apapun. Anak yang disebut sehat ini menunjukkan perilaku temper tantrum yang secara signifikan lebih sedikit menunjukkan kekerasan, menyakiti diri sendiri, merusak, dan agresi secara oral. Anak sehat mengalami tantrum dengan tingkat keparahan lebih ringan, durasi yang lebih pendek, dan membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk kembali ke keadaan normal. Menurut Daniels et al. (2012), temper tantrum anak disebut normal apabila memiliki ciri-ciri yang tergolong dalam katergori usia, perilaku, durasi, frekuensi, dan keadaan mood sebagai berikut. Anak mengalami temper tantrum pada rentang usia 12 bulan dan akan berakhir pada usia 4 tahun. Anak mengekspresikan perilaku menangis, meronta, manjatuhkan diri ke lantai, mendorong, menarik, atau menggigit objek. Dengan kata lain, anak mengekspresikan temper tantrum dengan intensitas Tantrum Berlebihan Tanpa Agresi berdasarkan PAPA dalam Berden et al., 2008. Temper tantrum hanya berdurasi hingga 15 menit dan berlangsung kurang dari 5 kali dalam sehari. Anak akan mampu mengembalikan moodnya ke keadaan normal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16
Sebaliknya, temper tantrum anak disebut abnormal apabila masih mengalaminya di atas usia 4 tahun. Anak mengekspresikan temper tantrum disertai perilaku melukai diri sendiri atau orang lain, atau memiliki intensitas Tantrum Berlebihan dengan Agresi berdasarkan PAPA dalam Belden et al., 2008. Durasi tantrum anak melebihi 15 menit dan berlangsung lebih dari 5 kali dalam sehari. Anak akan menunjukkan mood yang secara terus menerus negatif dalam tantrumnya.
B. Strategi Menanggulangi Temper Tantrum Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyebutkan bahwa pengasuh perlu melihat ekspresi keinginan anak sebagai hal yang normal, yakni usaha yang sehat untuk mencapai kemandirian, bukan karena keras kepala, sedangkan Balson (1993) menyatakan bahwa anak tidak berperilaku buruk karena mereka terganggu secara emosional, tetapi mereka menjadi terganggu secara emosional untuk berperilaku buruk. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pandangan atau sikap terhadap ekspresi tantrum sebagai hal yang normal menjadi langkah pertama untuk menanggulangi kemunculan perilaku yang destruktif. Menurut Beaty (2014), hal yang terlebih dahulu harus diperhatikan adalah pengelolaan atas reaksi emosional yang muncul. Untuk membantu anak-anak mengelola reaksi emosional tidak sesuai, ibu perlu melakukan halhal ini: 1. Menyingkirkan atau mengurangi penyebab emosi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17
2. Meredakan
respon
negatif
anak
dengan
membiarkannya
“mengeluarkannya” melalui tangisan, bicara, atau mengarahkan perasaan negatif ke tindakan non destruktif. 3. Menawarkan dukungan, kenyamanan, dan ide untuk kontrol diri. 4. Mencontohkan sendiri perilaku-perilaku yang terkendali. 5. Memberi anak kesempatan untuk membicarakan perasaan negatif secara sesuai. Meggitt (2013) mengatasinya dengan menyasar langsung ke perilaku temper tantrum yang telah muncul, seperti: 1. Menghindari penyebab tantrum dan mengalihkan perhatian anak. 2. Menghiraukan tantrum dengan memberikan perhatian sesedikit mungkin terhadap amukannya. 3. Tetap tenang dalam menghadapi anak yang sedang mengekspresikan tantrum. 4. Konsisten dengan penghirauan tersebut agar anak tidak mengulangi perilaku tantrum. 5. Memberi sentuhan yang lembut dengan pelukan kuat dan berbicara dengan tenang. 6. Memberi instruksi yang sederhana dan jelas untuk meredakan tantrumnya. 7. Memuji dan memberi hadiah bila anak berperilaku baik. 8. Menyediakan aktivitas yang menyenangkan. 9. Memperlakukan „setrap‟ atau time out bila tantrum muncul lagi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18
Berdasarkan beberapa referensi di atas, berikut adalah cara penanganan temper tantrum yang tepat: 1. Ibu harus tetap tenang 2. Ibu berusaha untuk menghindari penyebab tantrum 3. Ibu perlu menghiraukan anak bila tantrum sedang memuncak dengan memberikan perhatian sesedikit mungkin terhadap amukannya. Berikan anak kesempatan untuk mengekspresikan tantrumnya. Meggit (2013) menambahkan, apabila anak telah belajar untuk mengatur amarahnya sejak kecil, ia akan lebih mudah mengekspresikan emosinya ketika sudah besar nanti. 4. Konsisten dengan perilaku penghirauan tersebut agar anak tidak mengulangi perilaku temper tantrum. 5. Bila tantrum sudah mereda, beri pelukan untuk memberi kenyamanan pada anak sambil mendiskusikan perasaan negatif dan nasihat untuk mengontrol diri. Instruksikan dengan jelas. Hal ini berarti memberikan kesempatan anak
untuk
memverbalisasi
tantrumnya
dan
mengungkapkan
keinginannya. 6. Ibu harus menjadi contoh anak dalam mengendalikan emosi. 7. Apabila tantrum muncul lagi, cara lain yang dapat digunakan adalah mengalihkan perhatiannya ke aktivitas yang menyenangkan. Apabila tantrum tidak terkendali, cara yang dapat digunakan adalah strap di sudut ruangan atau kamarnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19
8. Apabila anak sudah mampu untuk mengendalikan tantrumnya, berikan pujian atau hadiah.
C. Perkembangan Anak Balson (1993) menyatakan dalam rangka memahami dan membantu perkembangan fisik, kognitif, dan emosional anak, orangtua harus mempunyai pengetahuan sehingga orangtua dapat membuat keputusan yang tepat mengenai anak-anak mereka dan dapat menstimulasi perkembangan mereka. Menurut Beaty (2014), anak-anak pada rentang usia antara 18 bulan hingga 3 tahun disebut sebagai anak usia prasekolah. Papalia et al. (2007) menyebut rentang usia sejak kelahiran hingga usia 3 tahun sebagai periode bayi (infancy) dan balita (toddlerhood). Batas ini diperjelas oleh Santrock (2007) dengan menyebut rentang usia 18 hingga 24 bulan sebagai periode bayi (infancy) sedangkan pada rentang usia 2 hingga 5 tahun sebagai masa awal anak-anak (early childhood).
1. Perkembangan fisik dan motorik Satu alasan bagi perubahan besar pada perilaku anak selama dua tahun pertama adalah perubahan besar pada tubuh mereka (Berk, 2012). Papalia & Feldman (2014) mengatakan bahwa pertumbuhan fisik dan perkembangan keterampilan anak usia 18 bulan hingga 3 tahun sangatlah cepat. Menurut Santrock (2007), ketika menginjak usia 2 tahun, mereka mencapai tinggi 32 hingga 35 inci atau sekitar 82 hingga 89 cm, bahkan menurut Berk (2012) tinggi mereka mencapai 36 inci atau 92 cm. Berat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20
badan mereka pun telah mencapai seperlima berat orang dewasa. Menurut Santrock (2007), saat usia 2 tahun, mereka berbobot 26 hingga 32 pon atau setara dengan 12 hingga 15 kg, sedangkan menurut Berk (2012) mereka berbobot 30 pon atau setara dengan 14 kg. Dengan pertumbuhan seperti ini, Berk (2012) menggambarkan bahwa di tahun kedua perkembangan mereka, kebanyakan balita terlihat bertubuh kurus. Anak-anak juga mengembangkan aspek motorik mereka sehingga mereka mulai menunjukkan keterampilan-keterampilan baru. Santrock (2007) menyebutkan bahwa anak pada usia 18 hingga 24 bulan mengembangkan keterampilan motorik kasar seperti 1) menyeimbangkan diri di atas kaki dalam posisi jongkok saat bermain dengan objek di lantai, 2) melompat-lompat di tempat, 3) berjalan cepat atau berlari dengan kaku dalam jarak pendek, dan 4) berjalan mundur tanpa kehilangan keseimbangan. Selanjutnya, Santrock (2007) menyebutkan bahwa pada usia 2 hingga 3 tahun, anak-anak telah mengembangkan keterampilan motorik halus, yakni mencoret-coret meski belum dapat menulis.
2. Perkembangan kognitif dan bahasa Berdasarkan tahap perkembangan kognitif Piaget dalam Santrock (2007), bayi semenjak masa kelahiran hingga 2 tahun berada pada tahap perkembangan kognitif yang pertama, yakni tahap sensorimotor. Pada tahap ini, bayi memperoleh pengetahuan tentang lingkungannya dari tindakan-tindakan fisik yang mereka lakukan, atau sebagaimana yang diungkapkan Berk (2012) bahwa mereka „berpikir‟ dengan mata, telinga,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21
tangan, dan instrumen sensoris-motorik lainnya. Pada tahap ini, Berk (2012) mengungkapkan bahwa bayi belum mampu melakukan banyak kegiatan di dalam kepala mereka, seperti berpikir dan bernalar. Mereka merepresentasikan pengalaman dan memecahkan masalah praktis seharihari dalam bentuk isyarat, permainan, dan ucapan. Kemudian, pada akhir tahap ini,mereka mengembangkan pemikiran simbolik awal (Santrock, 2007). Hal ini sesuai dengan Papalia & Feldman (2014) bahwa pada akhir tahun kedua, mereka berpikir menggunakan simbol dan menunjukkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Secara lebih rinci, Berk (2012) menjelaskan tahap perkembangan kognitif sensoris-motorik dalam enam subtahap, yakni 1) skema refleksif, 2) reaksi sirkuler, 3) reaksi sirkuler sekunder, 4) koordinasi reaksi sirkuler sekunder, 5) reaksi sirkuler tersier, 6) representasi mental. Subtahap skema refleksif berlangsung mulai dari kelahiran hingga 1 bulan. Subtahap skema refleksif hingga subtahap reaksi sirkuler tersier berlangsung dari masa kelahiran hingga usia anak 18 bulan. Pada usia 18 bulan hingga 2 tahun, anak mengalami perkembangan pada subtahap representasi mental. Pada subtahap ini, anak telah memiliki gambaran internal mengenai suatu objek atau suatu peristiwa tertentu. Kemampuan ini dapat ditemui misalnya pada saat anak memiliki solusi atas suatu masalah yang tiba-tiba muncul, dapat menemukan sebuah objek yang dipindahkan secara tidak tampak, dan memahami permainan pura-pura.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22
Selanjutnya, berdasarkan tahap perkembangan kognitif Piaget dalam Santrock (2007), anak berusia 2 hingga 3 tahun berada pada tahap perkembangan kognitif praoperasional, yang akan dialami anak hingga usia 7 tahun. Pada tahap ini, anak mulai menggunakan gambarangambaran mental untuk memahami lingkungannya, pemikiran-pemikiran simbolik, seperti yang diekspresikan melalui penggunaan kata-kata dan gambar-gambar mulai digunakan dalam penggambaran mental. Hal ini berarti tahap perkembangan kognitif mereka telah melampaui hubungan informasi sensorik dengan tindakan fisik. Namun demikian, muncul juga egosentrisme dan sentralisasi yang disebut sebagai hambatan dalam pemikiran anak pada tahapan ini. Adapun egosentrisme adalah ketidakmampuan anak untuk membedakan perspektif diri sendiri dan orang lain, sedangkan sentralisasi adalah pemusatan perhatian pada satu karakteristik dan pengabaian karakteristik lain. Perkembangan pada aspek kognitif mempengaruhi perkembangan pada aspek bahasa. Pada aspek bahasa, Papalia & Feldman (2014) menyatakan bahwa pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun, penggunaan bahasa berkembang dengan cepat. Secara lebih rinci dalam Santrock (2007) disebutkan bahwa pada usia 18 bulan, anak mengalami kemunculan ledakan kosakata. Pada usia 18 hingga 2 tahun, anak senang menggunakan ucapan dua kata. Penggunaan ini sangat bergantung pada gerak tubuh, nada, dan konteks anak. Pada rentang usia ini pula, anak mampu memahami kata-kata dengan cepat. Kemudian pada rentang usia 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23
hingga 3 tahun, anak mengalami peralihan dari penggunaan kalimatkalimat sederhana menjadi kalimat-kalimat yang lebih kompleks.
3. Perkembangan sosial Menurut Papalia et al. (2007), dalam periode bayi (infancy) dan balita (toddlerhood) sedang mengembangkan self-awareness. Dengan ini, mereka mulai memahami adanya berbagai keinginan dan kemampuan untuk
mencapai
keinginan
tersebut
secara
mandiri
sehingga
mengembangkan tahap perkembangannya dari kebergantungan ke otonomi. Pada rentang usia ini, mereka memiliki kelekatan dengan orang tua dan pengasuh maupun objek lain seperti mainan atau selimut. Meggitt (2013) menuliskan bahwa dalam mengembangkan keterampilan sosialnya, anak pada usia 2 tahun suka bermain di samping anak-anak lain, tapi tetap bermain sendiri. Mereka juga mulai merasa percaya diri, namun tetap membutuhkan bantuan orang dewasa, terutama ketika mengalami konflik. Menurut Gottman & DeClaire (1997), anak-anak usia 1 hingga 3 tahun telah mampu (1) mengembangkan makna tentang diri sendiri dan mulai menjajaki kemandirian, (2) berada dalam tahap perkembangan mandiri sehingga memberi anak pilihan sendiri dapat menjadi sarana yang tepat untuk memfasilitasi proses perkembangan otonomi, (3) menyimpan ingatan tentang tingkah laku yang mereka amati dari keluarga dan menirukan pada mainannya, (4) belum mempunyai keterampilan sosial untuk bermain bersama sehingga bekerjasama dan berbagi menjadi hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24
yang sulit. Meski demikian, perilaku tersebut tidak didasari sikap kasar, melainkan ungkapan makna diri yang sedang berkembang, yakni hanya dapat memikirkan sudut pandang diri sendiri, (5) disebut sebagai 2 tahun yang mengerikan, mereka terlihat jauh lebih menonjolkan diri, membangkang untuk pertama kalinya sehingga pelatihan emosi penting untuk menolong mereka menangani frustrasi dan amarah. Menurut Santrock (2007), anak pada usia 1 hingga 3 tahun sedang berada pada tahapan perkembangan psikososial Erikson, yakni otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu. Perkembangan ini ada kaitannya dengan perkembangan aspek fisik-motorik anak. Pada tahun pertama, pencapaian motorik anak adalah berjalan dengan mudah. Hal ini menyebabkan meningkatnya kemandirian, di mana otonomi vs malu dan ragu-ragu menjadi tahapan perkembangan psikososialnya. Perkembangan ini memungkinkan bayi untuk menjelajahi lingkungannya dengan lebih leluasa dan untuk memulai interaksi dengan orang lain dengan lebih siap. Selain itu, menurut Papalia et al. (2007), perkembangan tahap ini ditandai dengan pergantian dari kontrol eksternal ke kontrol diri sehingga mengutamakan keinginan mereka sendiri. Mereka menjadi lebih mampu untuk membuat keinginan mereka dikenal sehingga mereka menjadi terlihat lebih berkuasa. Untuk menyeimbangkannya, Erikson dalam Papalia et al. (2007) menempatkan malu dan ragu sebagai pengatur batasan-batasan dan membantu mereka mengenali kegunaan batasan tersebut.
Perkembangan
tahap
inilah
yang
mampu
menjelaskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25
kemunculan masa negatif anak. Anak-anak mulai mengembangkan pemahaman bahwa mereka makhluk individu, memiliki kontrol dan kekuatan yang menarik. Mereka terdorong untuk mencoba ide dan membuat keputusan sendiri. Ini adalah tanda normal dorongan otonomi.
4. Perkembangan emosi Santrock (2007) menyatakan bahwa emosi merupakan „bahasa‟ pertama yang dibangun oleh orang tua dan bayi untuk berkomunikasi dan dan menjadi faktor kunci dalam hubungan antara orang tua dan anak. Gallagher dalam Beaty (2014) menemukan kaitan antara pertumbuhan otak anak berkaitan dengan perkembangan emosinya. Otak anak tumbuh dalam kompleksitas dan sangat sensitif terhadap lingkungan yang mempengaruhinya (Papalia & Feldman, 2014). Gallagher dalam Beaty (2014) menjelaskan bahwa otak kanan mereka berperan dalam memproses emosi negatif, emosi intens, dan kreativitas sedangkan otak kiri mereka berperan dalam emosi positif, perkembangan bahasa, dan minat pada benda dan pengalaman baru. Pada 3 tahun pertama, otak belahan kanan tumbuh lebih besar, maka anak perlu didampingi untuk mengontrol
emosi
negatif. Anak-anak prasekolah sudah mampu
merasakan emosi seperti tertekan, marah, takut, sedih, terkejut, tertarik, kasih sayang, dan senang. Respon terhadap reaksi emosi yang mereka rasakan tergantung pada tingkat kedewasaan, lingkungan, reaksi orang lain di sekitarnya, dan pembimbingan yang anak terima dari pengasuhnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26
Secara umum, anak pada rentang usia antara 18 bulan hingga 3 tahun mengalami perkembangan aspek emosi sebagai berikut 1) mengalami
bermacam-macam
perasaan
baru
yang
sering
kali
bertentangan, 2) sulit mengontrol dan menahan emosi, 3) semakin paham berbahasa dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan emosi, 4) mulai mampu mengekspresikan perasaan mereka dengan kata-kata, namun sering frustrasi jika tidak mempu mengekspresikan diri, 5) mampu menyadari dan menanggapi perasaan orang lain, 7) lebih banyak bermain dengan anak-anak lain pada usia 2.5 tahun, namun tetap tidak mau berbagi mainan dengan anak-anak lain (Meggitt, 2013). Berikut adalah tahapan perkembangan emosi anak berdasarkan tahapan usia anak. Pada usia 6 hingga 12 bulan, emosi dasar yang muncul adalah bahagia, kaget, sedih, jijik, dan marah. Ragam emosi semakin bertambah pada usia 12 hingga 18 bulan dan terus berkembang. Penyesuaian sosial dan empati (pada tingkat awal) juga mulai muncul (Papalia et al., 2007). Anak-anak pada usia 18 bulan telah mampu menunjukkan emosi dan tingkah laku bervariasi, yakni senang, marah, penasaran, tegas, dan sebagainya. Mereka juga mampu memahami batasan, bermain jauh dari orang tua, dan memikmati kasih sayang dari orang tua (Meggitt, 2013). Pada usia 18 hingga 30 bulan, anak sedang mengembangkan emosi yang bersifat mengevaluasi diri, seperti malu, cemburu, empati sebagai pendahulu kemunculan rasa malu dan bersalah. Pada usia inilah fase negativisme dimulai (Papalia et al., 2007). Santrock
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27
(2007) menambahkan bahwa emosi positif yang muncul pada rentang usia ini adalah antusiasme, bahagia, cinta, sedangkan emosi negatif yang muncul adalah cemas, marah, sedih. Saat anak telah berusia 2 tahun, mereka dapat menunjukkan tanda empati dan peduli. Mereka cenderung menunjukkan perilaku seperti membantu atau menirukan pekerjaan rumah tangga. Mereka juga suka meminta anggota keluarga untuk berada di dekatnya. Namun di sisi lain, mereka menggunakan agresi fisik jika frustrasi atau marah. Sering kali, mereka mengekspresikan frustrasi dengan menangis dan meronta, frekuensinya memuncak selama tahun ini. Mereka senang bermain sendiri, suka menyuruh, menentang, dan tidak sabar menunggu giliran. Mereka posesif terhadap mainannya namun dapat menawarkan mainan untuk anak lain. Mereka juga menginginkan segala sesuatu “persis seperti biasanya” (Allen & Marotz, 2010). Pada usia 30 bulan hingga 3 tahun, anak-anak menunjukkan perkembangan kemampuan untuk “membaca” emosi orang lain, sehingga mental state mulai terbentuk, dan mereka memahami intensi orang lain (Papalia et al., 2007). Santrock (2007) menjelaskan bahwa seiring bertambahnya pengalaman pada masa awal anak-anak (early childhood), mereka megembangkan berbagai macam emosi seperti rasa bangga, malu, dan bersalah. Antara usia 2 dan 4 tahun, anak sudah dapat mendeskripsikan emosinya dan belajar lebih mengenai penyebab perasaan-perasaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28
Maka, dengan deskripsi para ahli di atas, berikut adalah ciri-ciri perkembangan anak usia 18 bulan hingga 3 tahun: a. Pada rentang usia 18 hingga 24 bulan disebut sebagai periode bayi (infancy) sedangkan pada rentang usia 2 hingga 5 tahun disebut sebagai masa awal anak-anak (early childhood). b. Memiliki tinggi badan 82 hingga 92 cm dan berat badan 12 hingga 15 kg sehingga kebanyakan dari mereka terlihat bertubuh kurus. c. Sudah mampu berdiri seimbang, melompat di tempat, berlari dengan kaku. Belum mampu menulis. d. Rata-rata dari mereka telah mampu berjalan dengan mudah. Hal ini menyebabkan meningkatnya kemandirian, di mana otonomi vs malu dan ragu-ragu menjadi tahapan perkembangan psikososialnya. Perkembangan
ini
memungkinkan
bayi
untuk
menjelajahi
lingkungannya dengan lebih leluasa dan untuk memulai interaksi dengan orang lain dengan lebih siap. e. Sedang mengembangkan kemandirian atau otonomi; yang ditandai dengan anak mulai memahami identitas diri, batasan lingkungan, dan mengembangkan tahap dasar empati, namun masih menggunakan sudut pandang sendiri. Perkembangan ini masih pada tahap awal atau belum berkembang sempurna, sehingga masih sering gagal dalam meregulasi emosi dan sering kali menunjukkan perilaku negatif. Selain itu, perilaku membangkang, menentang, dan sikap kasar sering ditemui pada usia ini untuk mengekspresikan otonominya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29
f. Pada rentang usia 0 hingga 2 tahun merespon bersadarkan stimulus yang diterima oleh mata, telinga, dan tangan, sedangkan pada rentang usia 2 hingga 3 tahun mampu bernalar secara sederhana dan berkomunikasi dengan ibu. Kata-kata sederhana dan gambar disarankan untuk menambah efektivitas komunikasi dengan anak. g. Sudah mampu mengungkapkan emosi dengan kata-kata, namun ketika menemui kesulitan (rasa frustrasi), maka sering mengekspresikan dengan menangis dan meronta h. Respon
anak
terhadap
lingkungan
tergantung
pada
tingkat
kedewasaan, mengobservasi dan meniru orang lain, dan pengasuhan orang tuanya. Terdapat beberapa penjelasan mengenai perilaku negatif yang muncul: 1) Fase negativisme, yakni puncak kemunculan perilaku buruk sedang berlangsung. 2) Otak kanan yang berfungsi dalam memproses emosi negatif tumbuh lebih besar sehingga perkembangan emosi negatif lebih pesat pada usia ini. 3) Bermacam-macam perasaan baru bermunculan, sehingga anak mengalami kebingungan untuk mengenali emosi tersebut dan menggunakannya untuk merespon lingkungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30
5. Perkembangan agresi Menurut Tremblay dalam Berk (2006), setiap anak yang memasuki masa akhir bayi (tahun kedua kehidupan (Berk, 2006)) menunjukkan agresifitas seiring bertambahnya interaksi dengan saudara kandung dan teman sebaya. Pada usia awal prasekolah, secara umum anak menunjukkan dua tipe agresi, yakni agresi instrumental dan agresi permusuhan (Berk, 2006). Agresi instrumental merupakan agresi yang ditunjukkan oleh anak ketika menginginkan objek, keistimewaan, atau tempat sendiri dengan perilaku mendorong, berteriak, atau menyerang orang lain
yang menghalanginya; sedangkan agresi permusuhan
merupakan agresi yang dimaksudkan oleh anak untuk menyakiti orang lain. Menurut Berk (2006), Agresi permusuhan terbagi menjadi tiga jenis, yakni agresi fisik, agresi verbal, dan agresi relasional. Agresi fisik dapat dikenali ketika anak menunjukkan perilaku membahayakan orang lain melalui perilaku-perilaku fisik, seperti memukul, menendang, atau merusak barang milik orang lain. Agresi verbal dapat dikenali ketika anak menunjukkan
perilaku-perilaku
verbal,
seperti
mengancam
untuk
melakukan agresi fisik, ejekan nama, dan olok-olok yang menunjukkan permusukan. Agresi relasional dapat dikenali ketika anak menunjukkan perilaku merusak relasi melalui eksklusi sosial, gosip buruk, atau manipulasi pertemanan, seperti mengatakan “Pergi, aku bukan temanmu!”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31
Menurut Tremblay et al. dalam Berk (2006), memasuki masa awal anak-anak, secara berangsur-angsur agresi fisik digantikan oleh agresi verbal seiring berkembangnya kemampuan bahasa anak. Berk (2006) menyebutkan bahwa memasuki usia prasekolah, agresi instrumental menurun seiring berkembangnya kemampuan anak untuk menunda rasa puas yang membuat mereka mampu menurunkan keinginan terhadap barang milik orang lain. Selanjutnya, Tremblay et al. dalam Berk (2006) menyebutkan bahwa anak-anak dengan usia lebih tua lebih mampu mememahami maksud jahat sehingga lebih sering menunjukkan perilaku balas dendam dengan cara-cara yang kasar. Menurut Berk (2006), perubahan perilaku agresi dalam rentang usia prasekolah merupakan hal yang wajar. Vaughn dalam Berk (2006), agresi ditujukkan oleh anak untuk mengekspresikan sense of self yang digunakan untuk mempelajari partisipasi dan penyelesaian masalah secara sosial. Meski Berk (2006) menyebutkan agresi sebagai hal yang wajar, sumber yang sama juga menyebutkan bahwa pada beberapa anak dengan emosi negatif, impulsif, dan tidak menurut, agresi akan berlangsung lebih lama.
D. Pemahaman Ibu 1. Memahami Shiraev (2011) mendeskripsikan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah informasi yang memiliki tujuan atau kegunaan. Orang-orang menggunakan pengetahuan untuk bermacam-macam tujuan. Terdapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32
empat jenis pengetahuan menurut Shiraev (2011) dan yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah pengetahuan populer, yakni pengetahuan yang diperoleh dari asumsi sehari-hari mengenasi fenomena-fenomena psikologis. Asumsi tersebut biasanya diekspresikan dalam bentuk kepercayaan, evaluasi, atau dugaan-dugaan tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Shiraev (2011), pengetahuan berisi informasi. Sebuah model dari Waugh dan Norman dalam Solso, Maclin, dan Maclin (2008) menjelaskan proses informasi pada manusia. Mulanya, stimulus dari lingkungan diterima oleh alat indera dan disimpan dalam penyimpanan sensorik. Kemudian stimulus masuk ke dalam memori jangka pendek. Stimulus tersebut kemudian disaring, sehingga informasi akan dilupakan atau disimpan ke dalam penyimpanan permanen yakni memori jangka panjang. Informasi yang disaring dalam proses inilah yang kemudian akan memunculkan respon. Hurlock (1989) menyatakan bahwa suatu pengetahuan ditentukan oleh konsep. Konsep bukanlah kesan yang diterima langsung oleh alat indera, melainkan hasil dari proses pengolahan dan perpaduan, sedangkan kesan indera terpisah-pisah. Unsur-unsur dalam berbagai obyek atau situasi yang ditangkap oleh alat indera berpadu menjadi satu konsep. Konsep dapat berhubungan dengan orang, benda, dan kesan terhadap suatu hal. Menurut Hurlock (1989), konsep bersifat simbolik karena bergantung pada sifat situasi yang dihadapi dan akan berubah pada situasi lain. Selain itu, konsep memiliki muatan emosional sehingga seringkali menentukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33
perasaan seseorang terhadap orang, benda, atau situasi yang disimbolkan oleh konsep tersebut. Muatan emosional ini seringkali juga menentukan respon seseorang. Konsep memiliki sifat kompleks, yang akan berubah ketika terdapat penambahan pengalaman dan pengetahuan baru. Selain menentukan pengetahuan, menurut Hurlock (1989), konsep merupakan aspek yang penting untuk menentukan keyakinandan perilaku seseorang. Konsep yang mencakup sikap positif atau memiliki muatan emosi yang menyenangkan akan memberi dorongan kepada seseorang untuk bertindak secara positif, misalnya menerima. Sebaliknya, konsep yang memiliki muatan emosi yang tidak menyenangkan akan mendorong ke tindakan negatif, misalnya menghindari. Hurlock (1989) menekankan bahwa keakuratan konsep seseorang mempengaruhi pengertiannya. Semakin banyak konsep yang dimiliki seseorang, semakin tepat dan besar pengertiannya. Kata „mengerti‟ menurut Smith (2013) memiliki arti yang sama dengan „memahami‟ atau juga melakukan interpretasi, yakni mengidentifikasi, berempati, dan memaknai. Memahami adalah salah satu kategori pada taksonomi kognitif yang dipopulerkan oleh Bloom et al. Anderson (dalam Supratiknya, 2012) menyatakan bahwa memahami berarti mampu menjelaskan berbagai gagasan atau konsep, memahami makna dan menafsirkan berbagai perintah maupun masalah, serta merumuskan suatu masalah dengan mendeskripsikannya sendiri. Sumber yang sama juga menjabarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34
beberapa perilaku yang dapat mencerminkan pemahaman seseorang, di antaranya mampu menginterpretasi, memparafrase, memberi contoh, membandingkan, membedakan, mengklasifikasi, menyimpulkan, membuat perkiraan, dan memprediksi. Menurut Hardiman (2015), memahami adalah hal yang berbeda dari mengetahui. Memahami mengandung makna empati sehingga dapat dikatakan bahwa memahami dilakukan dengan hati sedangkan mengetahui dilakukan dengan kepala, memahami dapat menjangkau permukaan sedangkan mengetahui hanya sampai permukaan. Seseorang dapat saja memiliki banyak pengetahuan, namun sedikit pemahaman. Memahami tidak bertujuan untuk sekedar memperoleh data, melainkan untuk menangkap makna. Berdasarkan pemaparan mengenai pemahaman ibu, perkembangan anak, dan ulasan mengenai temper tantrum, seorang ibu dikatakan memiliki pemahaman tentang temper tantrum pada anaknya ketika a. Berdasarkan observasi ibu terhadap anaknya, mampu mendefinisikan tantrum atau mengklasifikasikan perilaku yang diekspresikan anaknya sebagai tantrum (aspek kognitif) b. Menyebutkan tantrum adalah hal yang normal (aspek kognitif) c. Memiliki muatan emosi positif mengenai tantrum (aspek afektif) d. Mampu menyikapi dan merespon atau menangani dengan dengan benar (aspek konatif)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman ibu Azwar (2005) memaparkan teori mengenai mengenai sikap. Faktor-faktor pengaruh dan pembentuk sikap di antaranya terdiri dari 3 faktor berikut ini. a. Faktor pertama, pengalaman pribadi sebagai pengalaman yang meninggalkan kesan kuat, yakni pengalaman yang melibatkan faktor emosional. Faktor ini dipilih sebagai dasar penyusunan kriteria pertama, yakni ibu yang mengalami langsung pengasuhan anak dengan indikasi temper tantrum. b. Faktor kedua, institusi pendidikan sebagai dasar pembentukan pemahaman dan konsep moral seseorang. Faktor ini dipilih sebagai dasar penyusunan kriteria kedua, yakni kategorisasi latar belakang pendidikan informan, dengan alasan bahwa tingkat pendidikan diharapkan mampu memberi variasi informasi khususnya mengenai definisi temper tantrum. c. Faktor ketiga, paparan media massa sebagai faktor yang dipandang sebagai landasan kognitif bagi terbentuknya sikap dan persepsi terhadap pengalaman tertentu. Faktor ini dipilih sebagai dasar penyusunan kriteria kedua, yakni kategorisasi tempat tinggal informan, dengan alasan bahwa paparan terhadap media massa dapat diseleksi melalui lokasi informan mempraktikkan pengasuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36
3. Pentingnya memahami temper tantrum anak Dalam aplikasinya di kehidupan sehari-hari, „memahami‟ orang lain adalah modal utama untuk suatu hubungan yang positif dan saling membahagiakan (Irmansyah dalam Nurrachman dan Bachtiar, 2011). Dalam rangka memahami dan membantu perkembangan fisik, kognitif, dan emosional anak, ibu harus mempunyai pengetahuan sehingga dapat membuat keputusan yang tepat mengenai anak-anak mereka dan dapat menstimulasi perkembangan mereka (Balson, 1993). Balson (1993) juga mengungkapkan pentingnya orang tua untuk memahami bahwa emosi diciptakan bagi anak untuk mencapai suatu tujuan dalam perkembangannya. Anak tidak berperilaku buruk karena mereka terganggu secara emosional, tetapi mereka menjadi terganggu secara emosional untuk berperilaku buruk. Menurut Papalia et al. (2007), pengasuh yang melihat ekspresi keinginan anak sebagai hal yang normal dapat membantu mereka belajar kontrol diri, mendorong mereka memiliki perasaan mampu, dan menghindari konflik terlalu banyak. Ketidakmampuan orang tua dalam memahami emosi negatif anaknya seringkali ditemui pada perilaku ibu yang memberikan labelling negatif yang berdampak buruk pada anaknya. Purnomo (1990) menyebutkan bahwa orang tua yang menghina anaknya akan membuat anak menjadi rendah diri, sedangkan Santrock (2002) juga mendukung ide tersebut dengan mengatakan bahwa orang tua yang memberikan label
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37
“kacau” atau “berantakan” pada hasil karya anaknya, dapat mendorong perkembangan rasa rendah diri pada anak-anak. Dampak buruk tidak hanya berimplikasi pada anak, namun juga pada ibu. Balson (1993) menyatakan bahwa kegagalan mengidentifikasi maksud anak, atau dengan kata lain ketika ibu tidak memahami maksud dari ekpresi tantrum anak, akan mengakibatkan orang tua mengembangkan emosi negatif. Emosi tersebut di antaranya adalah perasaan tidak bisa mengatasi, menanggulangi, memahami, atau menolong anak-anak mereka.
E. Pertanyaan Penelitian 1. Fokus penelitian Fokus penelitian ini adalah menggali pemahaman ibu mengenai temper tantrum yang diperoleh dari pengalamannya dalam mengasuh dan menangani anak dalam rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun yang mengekspresikan tantrum.
2. Pertanyaan Pendukung Untuk memperoleh kesimpulan mengenai tingkat pemahaman ibu, maka dibutuhkan beberapa pertanyaan sampingan yang mampu menuntun informan memberikan informasi yang mendalam. Adapun pertanyaan bertujuan untuk mengungkap a. Pengalaman ibu dalam mengasuh anak b. Perilaku anak yang menonjol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38
c. Aspek kognitif dan afektif (hal-hal yang dirasakan) ibu yang menyertai pengalaman dalam mengasuh anak d. Strategi penanganan yang sudah dilakukan pada perilaku tantrum e. Sumber informasi mengenai penanganan tersebut f. Efektivitas mengenai penanganan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini hendak menggali pemahaman ibu mengenai perilaku temper tantrum anaknya. Dengan demikian, peneliti memiliki kebutuhan untuk memperoleh data berupa informasi yang sungguh berasal dari sudut pandang orang yang mengalami sendiri fenomena yang dikaji sebagai topik penelitian ini. Untuk memenuhi kebutuhan penelitian tersebut, peneliti memilih untuk menggunakan metode kualitatif. Peneliti memilih metode kualitatif karena memiliki beberapa fitur yang dibutuhkan di dalam penelitian. Adapun fitur tersebut adalah mampu mengungkap sudut pandang ibu secara lengkap dan mendalam, seperti disampaikan oleh Geerts (dalam Smith, 2013) bahwa metode kualitatif memungkinkan perolehan data yang subur dan terperinci mengenai fenomena yang diteliti. Data yang subur dan terperinci, menurut Geerts & Smith (2013), mampu menghasilkan interpretasi atas data mengenai persepsi, pemahaman, atau penuturan para partisipan terhadap fenomena tertentu yang diperoleh dalam wawancara. Sejajar dengan tujuan dalam penelitian ini, peneliti memilih metode analisis fenomenologi. Moelong (2008) mendefinisikan fenomenologi sebagai 1) pengalaman fenomenologikal atau pengalaman subjektif, 2) suatu studi tentang kesadaran dan perspektif pokok dari seseorang (Husserl dalam
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40
Moelong, 2008), 3) penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang. Moelong (2008) juga menyatakan bahwa fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi dunia. Dengan kata lain, memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan Smith (2013), yakni secara umum penelitian psikologi fenomenologi bertujuan untuk menjelaskan situasi yang dialami secara pribadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga fenomenologi tidak mencoba mereduksi gejala dalam variabel-variabel dan juga tidak mengontrol konteksnya. Secara singkat, mengalami sendiri seperti yang sebenarnya. Dengan demikian, metode analisis fenomenologi sesuai dengan kebutuhan penelitian, kemudian dipilih dan digunakan dalam penelitian ini.
B. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah menggali pemahaman ibu mengenai temper tantrum yang diperoleh dari pengalamannya dalam mengasuh dan menangani anak dalam rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun yang mengekspresikan tantrum.
C. Batasan Istilah Batasan istilah perlu dipaparkan pada bagian ini dengan tujuan untuk menjelaskan, menyediakan pemahaman, dan menegaskan kembali sehingga meminimalisir terjadinya miskonsepsi mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41
1. Temper Tantrum Berikut adalah batasan indikasi temper tantrum pada anak menurut Daniels et al. (2012): a. Ditandai dengan perilaku negatif yang ekstrem, seperti menangis, meronta, manjatuhkan diri ke lantai, mendorong, menarik, atau menggigit objek. b. Anak mengalami temper tantrum pada rentang usia 12 bulan dan akan berakhir pada usia 4 tahun. c. Temper tantrum hanya berdurasi hingga 15 menit d. Temper tantrum hanya berlangsung kurang dari 5 kali dalam sehari.
2. Pemahaman ibu Istilah ‘pemahaman ibu’ mengacu kepada deskripsi ibu mengenai a. Definisi temper tantrum, yakni uraian tentang perilaku yang diekspresikan oleh anak disertai istilah orisinil yang ibu berikan pada ekspresi perilaku-perilaku tersebut dan faktor-faktor yang dimaknai ibu sebagai penyebab kemunculan perilaku temper tantrum. b. Pengaruh temper tantrum terhadap ibu, yakni segala hal yang dimaknai ibu sebagai dampak-dampak yang mempengaruhi sikap dan respon ibu terhadap ekspresi perilaku temper tantrum anak. Sikap mengacu pada pandangan-pandangan ibu terhadap temper tantrum dan emosi-emosi yang menyertainya, sedangkan respon adalah wujud perilaku ibu dalam menanggapi temper tantrum anaknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42
c. Strategi-strategi yang ibu terapkan untuk menanggulagi temper tantrum anaknya.
D. Partisipan Penelitian Partisipan penelitian ini adalah tiga orang ibu yang dikelompokkan berdasarkan tiga kelompok latar belakang status pendidikan dan ekonomi. Adapun kriteria subjek adalah: 1. Ibu yang sudah memiliki anak yang berada pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun dan memiliki indikasi temper tantrum. 2. Kelompok pertama adalah ibu dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi rendah, yakni mengenyam pendidikan hingga SD dan SMP/sederajat dan tinggal di kawasan perkampungan. Kelompok kedua adalah ibu dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi menengah, yakni mengenyam pendidikan hingga SMA/sederajat dan tinggal di kawasan kota kelurahan/kecamatan. Kelompok ketiga adalah ibu dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi tinggi, yakni mengenyam pendidikan S1 ke atas dan tinggal di kawasan kota. Kedua kriteria ini disusun dengan tujuan agar informasi terkait pandangan mengenai temper tantrum dapat diperoleh. Dasar penyusunan kriteria di atas adalah teori Azwar (2005) mengenai sikap, bahwa pengaruh dan pembentuk sikap di antaranya terdiri dari 3 faktor berikut ini. Faktor pertama, pengalaman pribadi sebagai pengalaman yang meninggalkan kesan kuat, yakni pengalaman yang melibatkan faktor emosional. Faktor ini dipilih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43
sebagai dasar penyusunan kriteria pertama, yakni ibu yang mengalami langsung pengasuhan anak dengan indikasi temper tantrum. Faktor kedua menurut Azwar (2005), institusi pendidikan sebagai dasar pembentukan pemahaman dan konsep moral seseorang. Faktor ini dipilih sebagai dasar penyusunan kriteria kedua, yakni kategorisasi latar belakang pendidikan informan, dengan alasan bahwa tingkat pendidikan diharapkan mampu memberi variasi informasi khususnya mengenai definisi temper tantrum. Faktor ketiga menurut Azwar (2005), paparan media massa sebagai faktor yang dipandang sebagai landasan kognitif bagi terbentuknya sikap dan persepsi terhadap pengalaman tertentu. Faktor ini dipilih sebagai dasar penyusunan kriteria kedua, yakni kategorisasi tempat tinggal informan, dengan alasan bahwa paparan terhadap media massa dapat diseleksi melalui lokasi informan mempraktikkan pengasuhan. Untuk memperoleh partisipan sesuai dengan kriteria tersebut, peneliti menggunakan metode pemilihan random purposive sampling. Metode ini dipilih karena dalam penelitian ini setiap ibu dapat menjadi informan, selama yang bersangkutan memenuhi kedua kriteria yang telah disusun.
E. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara. Metode ini dipilih peneliti karena memiliki keuntungankeuntungan tertentu yang dapat berguna dan membant proses pengumpulan data pada penelitian ini. Downs et al. (1980) menuliskan bahwa wawancara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44
adalah metode yang memfasilitasi peneliti dan partisipan hadir secara fisik dan memverbalisasi pesan sehingga memungkinkan perolehan data yang bersifat visual dan nonverbal. Menurut Downs et al. (1980), hal ini yang menjadikan wawancara memiliki keuntungan, yakni 1) seseorang lebih termotivasi untuk berbagi dengan adanya kehadiran orang lain, 2) partisipan cenderung memberikan lebih banyak data saat berbicara dibandingkan menulis, 3) pertukaran data lisan memungkinkan lebih besarnya kesempatan untuk melakukan probing, mengklarifikasi jawaban, dan menyediakan timbal balik. Adapun ketiga keuntungan tersebut merupakan fitur metode wawancara yang dapat membantu pengumpulan data sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Jenis wawancara yang dipilih adalah wawancara semi terstruktur. Menurut Smith (2013), wawancara jenis ini memungkinkan peneliti dan partisipan terlibat dalam dialog yang di dalamnya berisi pertanyaan yang dapat dimodifikasi sesuai dengan jawaban partisipan dan juga memungkinkan peneliti menggali wilayah yang menarik dan penting dalam sesi wawancara. Smith (2013) menjelaskan bahwa wawancara semi-terstruktur mampu memfasilitasi terbentuknya hubungan empatik, memungkinkan keluwesan yang lebih besar dalam pengambilan data dan memungkinkan wawancara untuk memasuki wilayah-wilayah baru, dan cenderung untuk menghasilkan data yang lebih subur. Oleh karena itu, peneliti memilih jenis ini dengan alasan untuk mencapai fleksibilitas dalam pengambilan data yang sesuai dengan sifat luwes dan mendalam dari anaslisis fenomenologi interpretatif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45
Untuk menunjang perolehan data yang lengkap dan dalam, penelitian ini dimulai dengan membangun rapport atau hubungan erat, bersahabat (Aiken & Groth-Marnat, 2009) kepada masing-masing partisipan. Menurut Downs, et al. (1980), rapport dapat membangun kenyamanan dan kepercayaan,
baik bagi peneliti maupun partisipan, sehingga harapannya
partisipan memberikan kesediaannya untuk membagikan pengalamannya yang akan menjadi data penelitian tanpa interaksi defensif. Menurut Downs et al. (1980), ada beberapa hal yang dapat ditawarkan peneliti kepada partisipan untuk membangun rapport, di antaranya perkenalan peneliti, kenyamaan nonverbal seperti senyuman dan jabat tangan, suguhan seperti kopi, obrolan informal seperti cuaca, perjalanan, dan berita terkini, bertanya kabar, dan humor. Selain melakukan rapport sesuai dengan anjuran Downs et al. (1980), peneliti juga akan menyediakan informed consent dalam bentuk tertulis. Informed consent adalah peryataan formal yang dibuat oleh seseorang dengan orang lain sebagai izin penggunaan informasi pribadi orang tersebut untuk tujuan khusus (Aiken & Groth-Marnat, 2009). Selain bertujuan untuk memenuhi syarat etis penelitian, pemberian informed consent juga penting dilakukan untuk menambah kenyamanan dan keterbukaan partisipan karena menjadi jaminan kerahasiaan informasi yang diberikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46
F. Panduan Wawancara Tujuan penggunaan panduan wawancara adalah menjadikannya sebagai pemandu (guideline) sehingga proses wawancara menjadi terarah sesuai dengan topik penelitian serta mencapai perolehan data yang lengkap. Berikut adalah panduan wawancara yang digunakan Tabel 1. Panduan Wawancara No. 1.
Tema Pengalaman mengasuh anak
Pertanyaan 1. Bagaimana pengalaman ibu dalam mengasuh (nama anak)? 2. Bisakah ibu menceritakan pengalaman yang menyenangkan? 3. Bisakah ibu menceritakan pengalaman yang tidak menyenangkan?
1. 2.
Tujuan Sebagai pertanyaan ‘pemanasan’, pembukaan Memunculkan tema tentang temper tantrum
2.
Temper Tantrum
4. Ketika ibu mengalami pengalaman mengasuh (nama anak) yang tidak menyenangkan, apa saja kah perilaku-perilaku yang diekspresikan (nama anak)? 5. Menurut ibu, apa yang menyebabkan perilaku tersebut muncul? 6. Disebut sebagai apakah perilaku-perilaku tersebut?
Meneliti pemahaman ibu mengenai temper tantrum anaknya: 1. Memperoleh data perilaku yang muncul 2. Memperoleh data istilah/label temper tantrum 3. Memperoleh data faktor penyebab
3.
Tantrum bagi ibu
7.
Ketika (nama anak) sedang mengekspresikan tantrum, apa pengarunya bagi ibu? 8. Bagaimana yang ibu rasakan? 9. Bagaimana yang ibu pikirkan? 10. Menurut ibu, apakah tantrum itu baik, buruk, atau normal?
1. 2.
11. Apakah yang biasanya ibu lakukan untuk menangani tantrum ketika sedang muncul? 12. Menurut ibu, bagaimanakah penilaian ibu sendiri mengenai penanganan yang biasa ibu lakukan?
1.
4.
Tindakan ibu
3.
2.
Memperoleh data sikap Memperoleh data pandangan Memperoleh data perasaan
Memperoleh data cara ibu menangani tantrum Memperoleh data efektivitas ibu menangani tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47
G. Proses Pengumpulan Data Proses ini terdiri dari tiga kegiatan utama yang dilakukan secara berurutan. Ketiga kegiatan tersebut yakni membangun rapport, kegiatan wawancara topik penelitian, dan kegiatan member checking. Proses pertama, kegiatan pembangunan rapport dilaksanakan sebagai upaya untuk memperoleh informasi mengenai latar belakang Informan dan kondisi anak berkaitan dengan indikasi temper tantrum. Selain untuk membangun hubungan yang nyaman antara peneliti dengan informan, pembangunan rapport menjadi teknik untuk memeriksa kembali kesesuaian kriteria pemilihan Informan yang telah dirancang dalam penelitian ini. Kedua, pada kegiatan pengumpulan data, peneliti menerapkan wawancara sebagai metode utama untuk memperoleh informasi tentang topik penelitian. Peneliti juga menerapkan metode observasi untuk melengkapi proses pengumpulan data. Ketiga,
pada
kegiatan
member
checking,
peneliti
berusaha
memparafrasekan informasi yang telah dikumpulkan dari informan, kembali kepada Informan. Kegiatan ini perlu melalui proses kondensasi dari seluruh informasi yang disampaikan oleh Informan menjadi data yang lebih ringkas. Kegiatan member checking ditempuh untuk memastikan bahwa informasi yang ditangkap oleh peneliti telah sesuai dengan informasi dan maksud yang disampaikan oleh informan, sehingga disebut sebagai upaya mencapai validitas data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48
Sebagian instrumen pengumpulan data, peneliti menyajikan 12 pertanyaan inti kepada ketiga Informan secara terpisah, pada waktu dan tempat sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui antara peneliti dan masing-masing informan. Peneliti menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada para Informan dengan tujuan utama untuk mengungkap pandangan ibu mengenai temper tantrum berdasarkan pengalamannya mengasuh anak dengan indikasi temper tantrum. Adapun cara peneliti menyusun istilah ‘pandangan ibu’ adalah dengan mengkondensasi informasi yang diperoleh dari para Informan dalam bentuk tema-tema yang akan diperoleh sebagai hasil dari proses analisa tematik.
H. Metode Analisis Data Setelah melakukan proses pengumpulan data, peneliti melakukan proses analisis data. Penelitian ini menggunakan jenis metode analisis interpretatif atau lazim disebut sebagai interpretative phenomenological analysis (IPA). Jenis ini dipilih oleh peneliti sebagai metode analisis data karena dipandang mampu mencapai tujuan penelitian, yakni menggali pemahaman ibu mengenai temper tantrum yang diperoleh dari pengalamannya dalam mengasuh dan menangani anaknya bila melihat prinsip IPA yang berusaha mengambil sudut pandang orang yang mengalaminya sendiri (Smith, 2013). Smith (2013) mengungkapkan bahwa sarana pokok dalam kajian ini adalah makna yang terkandung dalam pengamatan, kejadian, dan keadaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49
partisipan. Selain itu, IPA juga menekankan kognisi sebagai pusat perhatian dalam analisis pembuatan makna, baik dari partisipan maupun peneliti (Smith, 2013). Dalam kacamata IPA, Smith (2013) mengungkapkan bahwa manusia dipandang sebagai kesatuan kognitif, bahasa, afektif, dan fisik sehingga memiliki asumsi bahwa terdapat hubungan antara perkataan, pemikiran, serta emosi partisipan. Dengan menyadari hal itu, Smith (2013) juga menuntun para peneliti IPA untuk mengusahakan partisipan mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka untuk kemudian menginterpretasikan keadaan emosi dari perkataan yang mereka ucapkan. Menurut Strauss & Corbin (2009) bahwa dalam penelitian kualitatif, terdapat tiga unsur utama, yakni 1) data dapat diperoleh dari berbagai metode, namun yang biasanya dilakukan oleh peneliti kualitatif adalah wawancara dan observasi, 2) terdiri atas beberapa prosedur analisis dan interpretasi, yang keduanya bertujuan untuk memahami data. Dalam prosesnya, diperlukan teknik yang disebut dengan pengkodean atau sering disebut sebagai coding, 3) pelaporan temuan berupa tulisan maupun lisan. Peneliti perlu melakukan ketiga langkah ini sehingga tujuan untuk memperoleh informasi sesuai dengan fenomena yang dialami para informan dapat tercapai, seperti Smith (2013) menyatakan bahwa penelitian kualitatif memberi penekanan pada pentingnya strategi analisis yang sebisa mungkin selalu dekat dengan sistim simbolis asal pemahaman tersebut muncul, atau yang ditekankan oleh Supratiknya (2015) bahwa proses ini disebut sebagai metode analisis isi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50
Proses analisis data yang akan dilakukan sesuai dengan saran Smith (2013) sebagai langkah-langkah pokok dalam analisis data fenomenologi, yakni 1) peneliti memulai dengan berpegang pada sudut pandang feomenologis, kemudian membaca seluruh deskripsi yang dipaparkan oleh partisipan, 2) menyusun bagian-bagian deskripsi untuk mengklarifikasi poinpoin penting atau meaning units yang tersembunyi dalam keseluruhan deskripsi, 3) mentransformasi atau memodifikasi data asli dengan tujuan untuk mengungkap yang tersirat menjadi tersurat dan untuk menggeneralisasikannya dengan makna psikologis. Paparan dari Smith (2013) bahwa IPA dapat membantu peneliti menginterpretasi makna yang terkandung dalam pengalaman berdasarkan pemaparan partisipan ini telah dipertimbangkan peneliti menjadi metode yang tepat untuk mencapai tujuan peneliti. Bila menggunakan penjelasan yang sesuai dengan penelitian, makna yang akan diinterprestasi merupakan pemahaman ibu mengenai temper tantrum anaknya, konteks pengalaman merupakan pengalaman ibu mengasuh anak, dan pemaparan merupakan perkataan dari partisipan yang diperoleh peneliti dalam proses wawancara.
I. Kredibilitas Penelitian Untuk memperoleh validitas dalam penelitian ini, teknik yang dipilih adalah member checking. Proses member checking akan dilakukan dengan cara memaparkan kembali pernyataan yang disampaikan oleh partisipan kepada partisipan dalam bentuk narasi yang tela diringkas oleh peneliti. Teknik ini dipilih karena memungkinkan partisipan sendiri sebagai pemberi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51
timbal balik berupa koreksi atas narasi yang telah disusun atau dengan kata lain selaras dengan prinsip IPA yang menekankan sudut pandang partisipan sendiri, bukan mencapai objektivitas informasi (Smith, 2013).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pemahaman ibu mengenai perilaku temper tantrum anaknya. Dalam penelitian ini, peneliti berdinamika bersama 3 orang informan. Berikut adalah data demografi informan. Tabel 2. Data Demografi Informan
No
Inisial Nama
Pendidikan
Area Tempat Tinggal
1.
LPU
SLTA
Perkampungan
2.
DRW
S1
Kecamatan
3.
S
S2
Kota
Pekerjaan Ibu rumah tangga Karyawan swasta PNS
Usia Anak 18 bulan 37 bulan 38 bulan
Dua dari tiga responden di atas telah memenuhi kriteria pemilihan partisipan penelitian, yakni Informan 1 dan Informan 3, sedangkan Informan 2 tidak memenuhi kriteria jenjang pendidikan. Peneliti tetap mempertahankan Informan 2 sebagai partisipan penelitian dengan alasan bahwa Informan 2 mampu memberikan data mengenai pemahaman temper tantrum yang berbeda dengan Informan 1 dan Informan 3. Peneliti melakukan proses pengumpulan data selama tiga bulan, dimulai pada 16 Mei 2016 hingga Juli 2016. Proses ini terdiri dari tiga kegiatan utama yang dilakukan secara berurutan, yakni membangun rapport, kegiatan wawancara topik penelitian, dan kegiatan member checking. Tahap pengumpulan data disajikan dalam tabel berikut.
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53
Tabel 3. Proses Pengumpulan Data Informan 1
Informan 1 (LPU) Hari, No. tanggal
Durasi
Lokasi
Keterangan
1.
16 Mei 2016
20 menit, 18 detik
Kediaman informan: JT I no. 118 RT 45, RW 10 Badran, Jetis, Yogyakarta
2.
Juli 2016
15 menit
s. d. a.
Pembangunan rapport, wawancara, dan observasi. Member checking
Tabel 4. Proses Pengumpulan Data Informan 2
Informan 2 (DRW) Hari, No. Durasi tanggal
Lokasi
Keterangan
1.
25 Mei 2016
53 menit, 27 detik
Kediaman informan: Jl. Tunjung baru, Gg. Subagiyono, no. 15B, Baciro, Yogyakarta
Pembangunan rapport dan wawancara
2.
Juli 2016
15 menit
s. d. a.
Member checking
Durasi
Lokasi
Keterangan Pembangunan rapport dan wawancara Member checking
Tabel 5. Proses Pengumpulan Data Informan 3
Informan 3 (S) Hari, No. tanggal
1.
20 Mei 2016
40 menit, 52 detik
Kediaman informan: Jl. Taman Siswa, Mergansan Kidul, MG II / 1170, Kota Yogyakarta
2.
Juli 2016
15 menit
s. d. a.
Berikut adalah hasil yang diperoleh melalui ketiga kegiatan tersebut. Pertama, melalui kegiatan pembangunan rapport peneliti dapat membangun hubungan yang nyaman dengan informan. Dengan kegiatan ini pula, peneliti memperoleh informasi mengenai latar belakang informan dan kondisi anak berkaitan dengan indikasi temper tantrum, sehingga mencapai kesesuaian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54
kriteria pemilihan informan yang telah dirancang dalam penelitian ini dan proses dapat dilanjutkan ke kegiatan kedua. Kedua, kegiatan pengumpulan data dengan metode wawancara dan observasi, peneliti mampu memperoleh informasi tentang topik penelitian. Pada praktiknya, kedua kegiatan ini dapat dilaksanakan dalam hari yang sama. Kondisi ini disebabkan karena peneliti memperoleh kesesuaian kriteria pemilihan informan dan ketiga informan telah mengungkapkan kesediaannya untuk menjadi subjek penelitian dan sepakat untuk mengikuti kegiatan wawancara pada waktu dan tempat yang sama. Ketiga,
pada
kegiatan
member
checking,
peneliti
berusaha
memparafrasekan informasi yang telah dikumpulkan dari informan, kembali kepada informan. Kegiatan ini perlu melalui proses kondensasi dari seluruh informasi yang disampaikan oleh informan menjadi data yang lebih ringkas. Proses ini menyebabkan perlunya interval waktu sepanjang satu bulan terhitung setelah kegiatan pengumpulan data selesai dilaksanakan. Melalui kegiatan member checking, peneliti mampu mencapai validitas data dengan memperoleh kepastian bahwa informasi yang ditangkap oleh peneliti telah sesuai dengan informasi dan maksud yang disampaikan oleh informan. Peneliti menyusun instrumen pengumpulan data berupa 12 pertanyaan inti yang ditujukan kepada ketiga informan secara terpisah, pada waktu dan tempat sesuai dengan keterangan pada Tabel 1. Melalui pertanyaanpertanyaan tersebut, peneliti mampu mengungkap pandangan ibu mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55
temper tantrum berdasarkan pengalamannya mengasuh anak dengan indikasi temper tantrum. Istilah „pandangan ibu‟ adalah kondensasi informasi yang diperoleh dari para informan dalam bentuk tema-tema melalui proses analisa tematik. Tema-tema yang diperoleh adalah kumpulan kata, kalimat, atau istilah yang dinilai penting terkait topik penelitian, yakni yang ditemukan dalam paparan informan mengenai deskripsi temper tantrum, dampak temper tantrum bagi dirinya, sikap terhadap temper tantrum, dan strategi untuk menanggulangi temper tantrum anak.
B. Gambaran Informan 1. Informan 1 Informan 1 berinisial LPU, merupakan seorang ibu yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Kegiatan sehari-hari Informan 1 adalah mengasuh kedua anaknya dan mengelola sebuah warung makanan di halaman rumahnya. Informan 1 memiliki 2 orang anak, anak pertamanya seorang laki-laki dan anak keduanya seorang perempuan. Anak Informan 1 yang memiliki indikasi temper tantrum adalah anak keduanya, berinisial N yang berusia 18 bulan ketika proses pengumpulan data berlangsung. Dalam pengalaman pengasuhannya, Informan 1 tidak didampingi orang lain untuk mengasuh anaknya, termasuk suaminya yang bekerja di luar kota. Informan 1 berlatar belakang pendidikan SLTA dan berdomisili di Jetis, Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56
Berdasarkan paparan di atas, Informan 1 memenuhi kriteria sebagai ibu yang memiliki anak pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun dan tergolong dalam kelompok ibu pertama yakni latar belakang pendidikan dan ekonomi rendah dan tinggal di kawasan perkampungan.
2. Informan 2 Informan 2 berinisial DRW, merupakan seorang ibu yang berprofesi sebagai karyawan swasta. Kegiatan sehari-hari Informan 2 adalah bekerja di sebuah kantor sehingga pada pukul 07.00 WIB hingga 16.00 WIB dan bekerja 6 hari seminggu. Informan 2 memiliki seorang anak laki-laki dan sedang mengandung bayi berusia 3 bulan saat proses pengumpulan data berlangsung. Anak Informan 2 yang memiliki indikasi temper tantrum berusia 37 bulan, berinisial D. Informan 2 tinggal satu rumah bersama kedua orang tua, adik, suami, dan anaknya sehingga pengalaman pengasuhan Informan 2 memperoleh bantuan dari suami, ibu, dan adik, terutama ketika Informan 2 tidak bersama dengan anaknya. Informan 2 berlatar belakang pendidikan S1, berdomisili di Baciro, Yogyakarta. Berdasarkan paparan di atas, Informan 2 memenuhi kriteria sebagai ibu yang memiliki anak pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun dan tergolong dalam kelompok ibu kedua yakni latar belakang ekonomi menengah dan tinggal di kawasan kecamatan, namun tidak memenuhi kriteria latar belakang pendidikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57
3. Informan 3 Informan 3 berinisial S, merupakan seorang ibu yang berprofesi sebagai PNS. Kegiatan sehari-harinya sebagai PNS dipandang Informan 3 mampu dijalani secara seimbang dengan waktu yang diluangkan untuk bersama dengan anak-anaknya di rumah. Informan 3 memiliki 2 orang anak, anak pertamanya seorang perempuan dan anak keduanya seorang laki-laki. Anak Informan 3 yang memiliki indikasi temper tantrum adalah anak keduanya, berinisial Y yang berusia 38 bulan ketika proses pengumpulan data berlangsung. Dalam pengalaman pengasuhannya, Informan 3 didampingi oleh suaminya. Informan 3 berlatar belakang pendidikan S2 dan berdomisili di Taman Siswa, Yogyakarta. Berdasarkan paparan di atas, Informan 3 memenuhi kriteria sebagai ibu yang memiliki anak pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun dan tergolong dalam kelompok ibu ketiga yakni latar belakang pendidikan dan ekonomi tinggi dan tinggal di kawasan kota.
C. Hasil Penelitian: Deskripsi Tema Umum Berdasarkan hasil analisa tematik terhadap data yang telah terkumpul, ditemukan 4 tema umum, yakni Dinamika Praktik Pengasuhan Ibu terhadap Anak, Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum Anak, Pengaruh Temper Tantrum Anak terhadap Ibu, dan Strategi untuk Menanggapi Temper Tantrum. Berikut adalah deskripsi dari keempat tema umum sebagai sajian hasil penelitian:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58
1. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak a. Dinamika dalam pengasuhan Informan 2 dan Informan 3 menuturkan bahwa mereka mengalami dinamika pengasuhan yang menyenangkan, sedangkan Informan 1 mengalami dinamika pengasuhan yang menyenangkan sekaligus tidak menyenangkan seperti pada kutipan-kutipan berikut “Bisa cerita nggak mbak, pengalamannya mbak D mengasuh … Nyenengin ya, mbak ya. Kalau masih bayi kan nyenengin.” (no. 1, Informan 2) “Tante bisa ceritain pengalaman yang menyenangkan, nggak, waktu mengasuh Dik Y? Semua menyenangkan kayaknya. Semuanya menyenangkan.” (no. 8, Informan 3) “Curhat aja pengalamannya Mbak P mengasuh ini, Dik N. Ya seneng-seneng gimana ya mbak ya, seneng-seneng jengkel” (no. 1, Informan 1)
Dalam relasi dengan anaknya, tampak bahwa 2 informan memiliki kecenderungan yang sama, yakni membandingkan sifat kedua anaknya. “Aku nggak, anakku yang pertama nggak, apa, soalnya nggak kayak gitu e, mbak. Laki-laki tapi pendiam. Nggak kayak yang ini, perempuan tapi kok mbandel. Mbandele tu, bandel sangat-sangat bandel. Super-super.” (no. 30, Informan 1) “Jadi saya sering ngobrol sama suamiku, “Kok ini beda ya?” Ini sama adiknya. Kalau ini, kalau saya marah, dia cepat tanggap. Jadi kalau suamiku bilang, mungkin karena dia perempuan, ini laki-laki. Yang adiknya lebih usil dibanding ini.” (no. 19, 20, Informan 3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59
Kecenderungan ini tampaknya muncul pada Informan 1 dan Informan 3 yang memiliki 2 orang anak dengan jenis kelamin berbeda sehingga cenderung membandingkan perbedaan pada aspek peran gender anak, sedangkan kecenderungan ini tidak muncul pada Informan 2 yang memiliki 1 orang anak. Meski tidak disampaikan dengan cara membandingkan, peran gender muncul pula dalam pandangan Informan 3 terhadap sifat anak seperti kutipan berikut “”Kasihan” itu, padahal udah diulang-ulang tuh nangis terus. Baper banget anakku itu. Cowok tapi baper.” (no. 54, Informan 2)
Maka berdasarkan kemunculannya pada ketiga informan, peran gender merupakan
aspek
yang
dipandang
penting
bagi
ibu
dalam
perkembangan anaknya. Proses analisis juga menghasilkan gambaran kelekatan ibu dan anaknya melalui gambaran pola relasi antara mereka. “Oh dah bisa pulang sendiri? Udah, kalau main dia pulang sendiri. … Semenjak tak tinggal jualan gini trus dia main sama temene. Kalau orang bilang apa, dia ngikutin gitu. Disuruh nyanyi, juga nyanyi, kalau salim ya salim. Nggak pemalu gitu dia aku sukane. Nggak pemalu, nggak cengeng.” (no. 15, 9, Informan 1) “Makanya aku ngak pernah ninggalin dia, mbak. Baru kemarin aku ninggalin dia ke Malang karena aku ada urusan kerja, kan. Dia nyariin, rewel, aku pusing aku. Aku mulai kerja juga stress, ninggalin anak, soalnya aku nggak pernah ninggalin, sejam-dua jam itu udah pusing. Udah nggak kuat.: (no. 4, 5, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60
“Tapi begitu saya full di rumah, ke mana-mana ngikut. Ditinggal saja, aduh, mau buang sampah di depan harus tunggu dia. Kalau nggak, rewel.” (no. 7, Informan 3)
Maka dari kutipan di atas, terdapat perbedaan bahwa Informan 1 cenderung melepas anaknya, sedangkan Informan 2 dan Informan 3 lekat dengan anaknya.
b. Pandangan ibu terhadap sosok anak Pengalaman informan dalam mengasuh anak menghasilkan paparan mengenai kondisi anak. Paparan Informasi 1 mengenai kondisi perkembangan kemampuan anak tampak pada kutipan berikut “Senenge nek kalau itu lho, kalau dia bisa nyanyi sendiri, kayak gitu. Dia sesuka hatinya kayak gitu lho, mbak. Terus makan sendiri.” (no. 2, Informan 1) “Kalau orang bilang apa, dia ngikutin gitu. Disuruh nyanyi, juga nyanyi. Kalau salim, ya salim. Nggak pemalu gitu dia, aku sukane. Nggak pemalu, nggak cengeng. Tapi kalau udah nakal, ya nakal terus.” (no. 9, Informan 1)
Informan 2 menilai kondisi anak berkembang dengan normal. “Terus, beranjak dia bisa tengkurap, terus bisa mberangkang, bisa rambatan, jalan. Itu yang paling nyenengin kan kita tahu perkembangan-perkembangan anak tuh lho. Jadi senang kalau anaknya bisa tumbuh biasa, ya normal lah.” (no. 2, Informan 2) “Nggak menyenangkannya, kadang ngeyel. Udah bisa ngeyel.” (no. 15, Informan 2) “Terus kadang kalau nonton film juga dia entar selanjutnya ngomong apa gitu, dia tahu. … Tangannya dikeplak-keplakin, kayak film purba itu, film zaman purba tapi kartun itu. Jadi dia tuh bisa hafal, terus gerakannya juga hafal.” (no. 38, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61
Sesuai kutipan di atas, Informan 2 memiliki pandangan bahwa anak menunjukkan kemampuan untuk meniru perilaku orang lain dan sudah mempelajari kemampuan baru, yakni membantah. Kemampuan anak untuk meniru juga ditemui pada informasi yang dituturkan oleh Informan 3 “.. dia juga ini, apa yang kakaknya buat, sering dia tiru. Biasanya itu main jadi guru, dia ikutan. … Umur dua tahun setengah mungkin, dia sudah bisa seperti itu, baru mau masuk ke tiga tahun, belum lama.” (no. 28, Informan 3) “Terus, sekarang ini dia imajinasinya udah mulai, dia sudah mulai mengarang cerita sendiri, sudah mulai. Terus kayak kemarin kan dia, saya nggak ngerti, suami saya yang ngasih tau tuh, di tangannya si itu, Captain America atau Iron Man? Iron Man. Itu ada putihputihnya ya? Itu bedak dia taruh di sini, saya tuh nggak ngerti.” (no. 60, Informan 3)
2. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak a. Definisi temper tantrum Ketiga Informan memiliki istilah yang berbeda untuk melabel perilaku mengganggu yang diekspresikan anaknya. Informan 1 dan Informan 3 memberi label perilaku tantrum anaknya dengan istilah „rewel‟, sedangkan Informan 2 memberi istilah „histeris‟. “Tapi kalau aku, kalau jengkel itu, kalau dia baru rewel tu.” (no. 3, Informan 1) “Tapi begitu saya full di rumah, ke mana-mana ngikut. Ditinggal saja, aduh, mau buang sampah di depan harus tunggu dia. Kalau nggak, rewel.” (no. 7, Informan 3) “Ditinggal kerja, ke dokter, papanya kenapa-napa itu pasti dia histeris. Pokoknya kalau ada yang kenapa-napa, histeris dia.” (no. 58, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62
Para informan memberikan istilah-istilah ini untuk melabel ekspresi perilaku anak seperti menangis, agresi terhadap diri sendiri, orang lain, maupun objek mati, menolak perintah, dan menunjukkan perilaku-perilaku resisten. “Nangisnya kencang, nangisnya kencang. Kalau udah rewel banget itu, di tempat tidur dia tengkurap. … Sambil nangis dia tengkurap. Nggak mau di … nggak mau disentuh.” (no. 13, Informan 3) “Terus njambak-njambak kayak gini lho mbak, trus sampe rambutnya brodol itu, bener mbak. Trus kalau umpamanya sama saya, dicokotin tu. Sama anak tetangga juga kayak gitu.” (no. 5, Informan 1) “Ditelepon nggak mau. Ya kayak istilahnya marah, nggak mau, sampai nanti hp-nya ditendang, apa digigit hp-nya.” (no. 25, Informan 3) “Em, aku pernah sih dipukul sama dia. Karena aku ajak mandi, dia nggak mau, aku dipukul.” (no. 22, Informan 2)
b. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunculan temper tantrum Faktor penyebab dipertimbangkan sebagai bagian dalam tema pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak karena hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap Informan mengungkapkan informasi yang khas dan unik yang tampaknya muncul berdasarkan latar belakang masing-masing Informan. 1) Faktor internal Faktor internal yang ditemukan dalam wawancara terdiri dari faktor emosi dan faktor fisik anak. Faktor emosi merupakan faktor penyebab yang diungkapkan oleh ketiga Informan. Adapun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63
emosi yang dimaksud adalah rasa gemas, rasa jengkel maupun marah, dan tidak mampu meregulasi keinginan sehingga ledakan berbagai emosi tersebut diekspresikan anak melalui perilaku temper tantrum. “Gulung-gulung itu lho mbak, trus kruwes-kruwes mukae, trus njiwit-njiwit kayak gitu, he-e. … Kalau dia gemes, kalau dia jengkel kayak gitu.” (no. 5, Informan 1) “Bangun pagi itu dia minta gendong, buka mata itu dia “Ibu gendong.”, terus kalau saya nggak mau, a itu bisa rewel.” (no. 33, Informan 3)
Selain faktor emosi, Informan 1 dan Informan 2 menyebutkan bahwa faktor fisik seperti kutipan di bawah ini menjadi penyebab anak mengekspresikan temper tantrum. “Jadi kalau ngantuk itu, terus badannya baru nggak enak itu lho, mbak. Capek-capek kayak gitu, trus tidure kagol itu lho, mbak, ya itu mesti itu. Terus laper banget juga sukanya kayak gitu. Kerep iki senengane kayak gitu tuh loh mbak.” (no. 10, Informan 1)
2) Faktor eksternal Faktor eksternal yang ditemukan dalam wawancara terdiri dari faktor sosial anak dan pengaruh dari tontonan anak. Faktor sosial yang bersinggungan dengan anak juga merupakan faktor penyebab yang diungkapkan oleh ketiga Informan. Faktor sosial yang dipandang ibu sebagai penyebab adalah ketika temper tantrum muncul karena meniru orang tua, berpisah dengan figur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64
lekat, minimnya sosialisasi dengan orang dewasa, interupsi orang lain atas keinginan anak, dan diganggu oleh teman sebaya. “Kalau nggigit mungkin dari aku ya, mbak. Karena aku kalau lagi sebal gitu, itu minta, minta gigit.” (no. 31, Informan 2) “Kalau ditinggal. Kalau itu tuh, kayak tadi nyariin papanya. Kayak gitu tuh, teriak kayak gitu. Ya, polnya nangisnya anakku kayak gitu.” (no. 57, Informan 2) “Kakaknya, dulu kita di Palu banyak, keluarga satu rumah banyak. E.. jadi dia lebih cepat, apa, cepat beradaptasi dengan orang, ngomongnya lebih cepat, lebih ini, kalau kakaknya. Tapi dibandingkan adiknya ini, nggak. Karena di rumah kita hanya waktu itu tambah saudara sepupu saya, orang besar hanya bertiga, tambah Mbak Ning di sebelah, sama Oxka, Oxky. Ya gitu.” (no. 3, Infoman 3) “E.. seperti kalau mandi itu, dia pingin mandi sendiri, tapi saya sabunin, dia nggak suka, dia mulai rewel itu. Kalau dia sudah bilang “nggak”, itu mesti nggak. Kalau saya lakukan, itu bisa memicu dia rewel.” (no. 32, Informan 3) “Semenjak tak tinggal jualan gini trus dia main sama temene, nanti kalau dia diapain gitu pulang sendiri nangis, sambil nangis, itu “Bu, lara, bu lara.” (no. 15, Informan 1)
Informan 2 dan Informan 3 menyatakan bahwa film yang ditonton anaknya berdampak pada perubahan perilaku, seperti pada kutipan di bawah ini. “Saya nggak tau, apa karena pengaruh film, … Dia itu mulai kayak gitu, saya nonton itu Captain America, Iron Man, Superman, nah tiga bulan-empat bulan terakhir itu, itu film yang dia tonton, … jadi sampai kakaknya ini ngeluh “Ini karena ibu semua ini, ibu kasih adik nonton yang seperti itu.” Jadi kadang-kadang kakaknya yang jadi sasaran, jadi dia yang jadi Superman, dia yang jadi seperti itu. Itu pengaruh juga kayaknya itu. Salah, salah memilih film.” (no. 52, 54, 58, 59, Informan 3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65
Selain keempat faktor yang kemunculannya berulang pada ketiga informan tersebut, terdapat pula faktor-faktor yang unik dan khas bagi masing-masing informan. Informan 1 menyebutkan bahwa faktor keturunan, pikiran buruk ibu selama kehamilan, dan kehadiran entitas yang tidak diketahui menjadi faktor yang kemunculannya mendahului kemunculan ekspresi tantrum anaknya. “Aku mikirnya, kok bisa kayak gitu, turun siapa lho, mbak. Apa dulu pas hamil, ndelok jatilan, gulung-gulung. Katanya kalau orang hamil nek mbatin kan nganu nggih, kadang turunnya ning anak, nggih.” (no. 28, Informan 1) “Dia kalau nangis tu dia mintanya ke luar, maksudnya ke luar rumah. Nggak tau, mesti, di dalam rumah ada apanya. Tapi kalau di luar rumah mesti langsung diam.” (no. 32, Informan 1)
Bagi Informan 3, perubahan signifikan yang terjadi pada frekuensi kebersamaan dengan anaknya menjadi faktor yang menyebabkan perubahan perilaku pada anaknya.
Informan 3
menyatakan bahwa anaknya menunjukkan perilaku melekat yang mengganggu semenjak Informan 3 memiliki banyak waktu luang. Setiap kali keinginan anak untuk melekat tidak dipenuhi, anak akan mengekspresikan temper tantrum. “Tapi begitu saya full di rumah, ke mana-mana ngikut. Ditinggal saja, aduh, mau buang sampah di depan harus tunggu dia. Kalau nggak, rewel.” (no. 7, Informan 3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66
3. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu a. Dampak yang dirasakan ibu akibat temper tantrum Memiliki pengalaman mengasuh anak dengan indikasi temper tantrum memberikan berbagai pengaruh pada ibu. Pengaruh-pengaruh tersebut dikelompokkan dalam kategori dampak temper tantrum terhadap ibu. Bagi seluruh Informan, perilaku temper tantrum anak memberikan dampak pada aspek emosi ibu, yakni rasa heran, kasihan, stres, dan panik. “Itu perempuan tapi kayak gitu e mbak. Nggak kayak kakaknya. Kakake itu dulunya diam, nggak kayak gitu. Tapi kok adike kok malah dadi kaya ngene kok, haduh. Stress aku, mbak.” (no. 7, Informan 1) “Wis jane kasian to, mbak kalau anak nggulung-nggulung gitu. Tapi nek, nek ditulungi nanti ndak tuman.” (no. 26, Informan 1) “Bikin emosi, emosi naik-turun. Yang rewelnya itu? Iya. He-e. Itu, bikin itu, “Uh Y, ampun ibu”.” (no. 36, Informan 3) “Cuma kadang-kadang, kalau sama aku, aku lagi apa.. kayak gugup apa ya. Jadi kayak kemrungsung. Jadi kayak mau ngatasi dia tuh malah kemrungsung aku, aku harus gimana, aku harus piye, kayak gitu kan.” (no. 47, Informan 2)
Dampak temper tantrum yang juga berimplikasi pada ketiga informan adalah pada aspek aktivitas atau pekerjaan para informan. Dampak yang dirasakan adalah rasa terganggu ketika menjalankan aktivitas, terlambat tiba di tempat kerja, dan tersitanya waktu untuk menanggulangi temper tantrum anak di agenda pekerjaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67
“Tapi kalau aku, kalau jengkel itu kalau dia baru rewel tu. Kan aku baru sibuk ngejualin, kan jualan to, mbak, he-eh, baru ngejualin trus dia rewel tuh ah. Tak cubit, mbak. Tenan, mbak.” (no. 3, Informan 1)
“Kalau mengganggu pekerjaan sih, kalau telat juga nggak ada hukuman juga sih, karena tempatku.. seharusnya jam setengah delapan. Jadi setengah delapan lebih sepuluh apa istilahnya, batasnya. Jadi, aku ya masih itu, sih, masih bisa.” (no. 45, Informan 2) “Mangkelnya gimana ya. Ya gimana ya mangkel, kesal. Kesal, e, apa ya, ya karena saya harus, yang harusnya saya udah, udah harusnya ngerjain sesuatu yang lain, tapi saya harus bujukin dia dulu.” (no. 40, Informan 3)
Selain pada aspek emosi dan aktivitas, Informan 1 dan Informan 2 juga merasakan dampak seperti memperoleh penilaian negatif dari lingkungan sosial tergolong dalam dampak pada aspek sosial. “Kadang kalau dia digangguin orang, itu suka mukul, dibales. Ya kalau, kalau anak kecil sih ya, kalau berantem sih biasa lah. Cuma orang tuanya tuh yang agak gimana.” (no. 19, Informan 2) “Aku kan ya, waduh nek iki.. iya nek ibuke tau kalau anak kecil emang kayak gitu. Tapi nek ibuke yang nganu, nek ora terimo nek ngene ki, “Wah anakku dingenekke, wah anakku dingenekke” ngko aku dilabrak meneh. Emang udah pernah dilabrak? Itu gara-gara yang besar itu.” (no. 34, Informan 1)
b. Sikap ibu terhadap perilaku temper tantrum anaknya Sikap ibu adalah segala penilaian dan kesan yang diekspresikan oleh masing-masing informan terhadap kondisi temper tantrum anaknya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, Informan 1 tidak menampakkan sikapnya terhadap temper tantrum, Informan 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68
menampakkan sikapnya, dan Informan 2 sangat menampakkan sikapnya. Informan 3 memandang rewel sebagai perilaku yang wajar diekspresikan oleh anaknya. “Kan ada masa di mana dia rewel, ada masa di mana dia mutung.” (no. 9, Informan 3)
Dalam perilaku rewel, terdapat pula perilaku anak yang aktif bergerak, yang juga dipandang wajar. Pandangan ini dilandasi oleh alasan bahwa dalam masa anaknya sekarang, rewel adalah perilaku yang normal. “Em, aktif, he-eh. Normal untuk anak seusia dia. Artinya itu perlu, dibanding dia e.. apa namanya, diam, nggak bergerak, itu normal. Dan itu mungkin, karena dia laki-laki, lebih usil.” (no. 22, 23, Informan 3)
Informan 2 memandang perilaku-perilaku anaknya yang termasuk dalam indikasi temper tantrum, sebagai sifat bawaan anaknya dan sebagai kenakalan yang tergolong wajar untuk anak seusianya. Pandangan ini tampak dalam kutipan-kutipan berikut ini. “Mungkin kalau dia lagi emosi banget, jengkel, dia emang susah orangnya. Susah mau diapa-apain.” (no. 41, Informan 2) “Kalau nakal sih anak nakalnya masih dalam istilah wajar kan. Nggak nakal sampai mencuri apa apa kan ya, masih wajar aja sih.” (no. 17, Informan 2) “Ya kalau, kalau anak kecil sih ya, kalau berantem sih biasa lah.” (no. 19, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69
“Tapi kalau menggulung-gulung, aku juga nggak ngerti. Ya mungkin tingkah lakunya anak kecil emang kayak gitu kali.” (no. 32, Informan 2) “Pernah sih kayak gitu, tapi anakku nggak sering, sering banget. Kira-kira frekuensinya? Sampe 8, kali (maksudnya poin 8 dari 10). Kira-kira kemunculannya, seminggu sampai berapa kali? Jarang banget, mbak, anakku teriak-teriak. Teriak, sih, tapi nggak sampai apa banget.” (no. 56, Informan 2)
Selain perilaku-perilaku yang menjadi indikasi temper tantrum, anak juga menunjukkan perilaku melekat. Paralel dengan pandangan terhadap temper tantrum anak, Informan 2 juga memandang wajar perilaku melekat anak. “Kalau menurutku normal. Aku aja sering kayak gitu. Aku yang udah gede aja masih sering nyari mamaku. “Mama ke mana?” “Mamaku mana?” Apalagi anak kecil. Anak kecil tu deketnya sama orang tua kan.” (no. 71, Informan 2) “Kalau dia nyariin papanya kayak gitu, jadi dia ada rasa takut ditinggal juga. Care lah sama keluarganya, peduli.” (no. 72, Informan 2)
Tampaknya pandangan wajar tersebut menuntun Informan 2 untuk cenderung menyikapi dampak temper tantrum anak terhadapnya dengan memakluminya, seperti tampak dalam kutipan berikut. “Kalau mengganggu pekerjaan sih, kalau telat juga nggak ada hukuman juga sih, karena tempatku.. seharusnya jam setengah delapan. Jadi setengah delapan lebih sepuluh apa istilahnya, batasnya. Jadi, aku ya masih itu, sih, masih bisa. … Kalau ngganggu sih nggak ya. Cuma kadang-kadang, kalau sama aku, aku lagi apa.. kayak gugup apa ya. Jadi kayak kemrungsung. Jadi kayak mau ngatasi dia tuh malah kemrungsung aku, aku harus gimana, aku harus piye, kayak gitu kan.” (no. 45, 47, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70
Sikap Informan 2 untuk memaklumi ekspresi perilaku anaknya dan menyatakan tidak adanya dampak buruk yang ditimbulkan dari perilaku itu menjadi alasan Informan 2 untuk kemudian menolak istilah tantrum yang diberikan kepada perilaku-perilaku anaknya. “ … anak-anak bisanya juga cuma nangis. Kalau sakit juga taunya juga nangis, ngapa-ngapain, pusing atau sakit perut kan, kalau lapar juga bisanya cuma nangis kan. Jadi, nggak tantrum juga ya?” (no. 42, Informan 2)
c. Respon ibu terhadap perilaku temper tantrum Berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai pengalaman masing-masing informan dalam pengasuhan, peneliti menemukan tema-tema penting seperti cara ibu memandang kondisi anak sehingga terungkap cara ibu mendeskripsikan tantrum, sikap ibu terhadap tantrum, cara ibu mendeskripsikan dampak temper tantrum anak pada dirinya. Tema-tema tersebut kemudian menuntun peneliti mengungkap respon informan dalam mengasuh anak dengan indikasi temper tantrum. Informan 1 merespon kondisi anak dengan emosi negatif seperti jengkel dan marah. Selain itu, Informan 1 juga merespon dengan keluhan, bahkan label negatif. “Aduh, aku duh. Kok anakku kaya ngene ki. Nakal banget lho, mbak anakku yang ini, haduh. Masyaallah, aku nganti, ck. Nggak bisa anteng, mbak.” (no. 23, Informan 1) “ … perempuan tapi kok mbandel. Mbandele tu mbandel sangatsangat bandel. Super, super.” (no. 30, Informan 1)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71
Informan 2 merespon kondisi anaknya dengan panik. Ketika anak mengekspresikan temper tantrum, Informan 2 menjadi panik. Dalam pikirannya, Informan 2 ingin segera meredakan temper tantrum anaknya, namun kepanikannya membuat Informan 2 mengatasinya dengan terburu-buru padahal Informan 2 mengaku bahwa ia tahu ia harus mengatasinya dengan tenang. “Ya itu, aku jadi kayak kemrungsung ngatasin dia tu. Jadi kayak.. istilahnya, seharusnya pelan.. tapi aku kayak kemrungsung, jadi bingung dewe aku, mbak. Bingung mau gimana. Kayak kemrungsung. Terburu-buru biar dia cepat diam, gitu.” (no. 68, Informan 2)
Informan 3 mengaku bukan sosok yang sabar dalam menghadapi perilaku temper tantrum anaknya. Respon yang sering diekspresikan oleh Informan 3 adalah dengan mengeluh. “Tapi tante sabar yah? Nggak juga sebenarnya. Nggak juga sih, …” (no. 48, Informan 3) “Ngoceh sendiri, “Uuh, ampun aduh Y, minta ampun ibu, Y” ya kayak gitu.” (no. 37, Informan 3)
Dengan demikian, ketiga informan memberikan respon negatif terhadap ekspresi perilaku temper tantrum anaknya.
4. Strategi untuk menanggulangi temper tantrum Cara pandang ibu terhadap gejala temper tantrum mempengaruhi cara ibu menyikapi dan merespon temper tantrum pada anaknya. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa ketiga informan memberikan respon pada perilaku temper tantrum dengan cara-cara negatif. Berbagai sikap dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72
respon tidak menyenangkan tersebut kemudian mengerakkan ibu untuk menanggulangi perilaku-perilaku yang muncul, sehingga ibu berusaha memilih dan menerapkan berbagai strategi untuk mengurangi perilaku yang telah muncul dan mencegah sebelum perilaku tersebut menjadi bertambah parah. Ketiga informan menerapkan 2 strategi yang sama, yakni memberi kenyamanan melalui sentuhan fisik dan mengalihkan perhatian. Sentuhan fisik diwujudkan dalam perilaku menggendong, memeluk, dan mencium yang kemudian dilanjutkan dengan mengajak melakukan aktivitas lain sebagai pengalih perhatian, seperti pada kutipan berikut. “… terus, kalau lagi nangis-nangis, apa lagi gemes gitu sama diri sendiri apa sama mamanya itu, Mbak P itu ngapain? Tak gendhong itu, terus tak ajak main muter-muter nanti kan dia diam.” (no. 31, Informan 1) “Kalau Dik D kayak gitu, biasanya Mbak D melakukan apa? Gendong, kalau nggak aku kasih makanan, coklat, biar dia diam.” (no. 73, Informan 2) “Biasanya pertama itu saya peluk. Peluk dulu, saya cium-cium biasanya.” (no. 42, Informan 3)
Informan 2 dan Informan 3 menerapkan strategi diskusi bersama anaknya untuk menanggulangi temper tantrum. Informan 2 berusaha menenangkan dan menanyakan penyebab anaknya menangis sebagai berikut. (Hasil observasi) Saat anak mendekati Informan 2 sambil menangis memanggil-manggil ayahnya, dengan nada bicara yang tenang dan mimik yang biasa, Informan 2 mengatakan “Papa pergi” kepada anaknya. Kemudian bertanya “Nangis tu kenapa?”. (no. 59, Informan 2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73
Informan 3 melakukan diskusi sebagai strategi pendahulu sebelum menerapkan time-out pada anaknya. Diskusi dilakukan oleh Informan 3 kepada anaknya dengan bujukan kemudian membuat perjanjian untuk strategi time-out, seperti pada kutipan berikut “Tapi kalau udah peluk-peluk cium-cium nggak, bujuk pakai kata-kata. Terus kalau udah sampai ke tahap dia susah, susah buat berhenti, ya sudah “Y ibu tinggal di dalam sini, ibu keluar.” Jadi saya tinggalin dia di kamar sendiri, saya keluar. Karena sudah sampai ke tahap dia, dia nggak mau berhenti, “Ibu mau gendong Y kalau Y sudah berhenti nangis.” Sampai itu, titik terakhir dia sampai segitu.” (no. 43, 44, Informan 3)
Informan 1 dan Informan 3 menangani temper tantrum anaknya dengan strategi time-out, yakni strategi yang melibatkan penghirauan terhadap perilaku mengganggu yang diekspresikan oleh anak. Informan 1 memilih strategi ini dengan tujuan untuk melatih kesadaran anak atas perilaku
mengganggunya,
berharap
munculnya
niat
anak
untuk
memperbaiki perilaku, sehingga perilaku mengganggu akhirnya hilang. “Tapi kalau dia gulung-gulung itu tak biarin kok, mbak. Ben, nantikan ndak tuman to, mbak. Tak biarin. Tapi pasti nggak mau berdiri. Mesti tambah le mbengok-mbengok tambah le “Bapak”, hah, pokokmen tambah kabeh disebutke, mbak, sopo sek dia tau. Tapi tak jarne wae, tak luwehke wae.” (no. 19, 20, Informan 1) “Terus kalau udah sampai ke tahap dia susah, susah buat berhenti, ya sudah “Y ibu tinggal di dalam sini, ibu keluar.” Jadi saya tinggalin dia di kamar sendiri, saya keluar.” (no.44, Informan 3)
Dalam penerapannya, Informan 1 juga melakukan hukuman fisik kepada anaknya. “Tapi kalau aku kalau jengkel itu kalau dia baru rewel tu. Kan aku baru sibuk ngejualin, kan jualan to mbak, he-eh, baru njualin trus dia rewel tuh ah, tak cubit mbak, tenan, mbak.” (no. 3, Informan 1)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74
“Sambil tak cubit apa tak gebleg itu.” (no. 16, Informan 1) “Nanti kalau tak jiwit itu, “A, bapak, bapak” gitu, manggil-manggil bapake itu pasti.” (no. 18, Informan 1)
Strategi yang tergolong unik ditemukan pada Informan 2. Oleh kerena Informan 2 memiliki pandangan bahwa temper tantrum anaknya disebabkan oleh ketidaknyamanan fisik, maka strategi memanggil terapis pijat anak juga menjadi strategi yang dipilih Informan 2 untuk memberi kenyamanan fisik pada anaknya. ”Biasa dipanggil pijat? Ini mau pijat ini. Ooo.. biar sehat ya dik, ya? Dia seminggu sekali ini, karena dia nggak mau diam kan. Kalau tidur ini, banyak tingkahnya. Kakehan polah itu kalau tidur. “ (no. 60, Informan 2) “Sering pijat itu buat apa mbak? Untuk mengatasi kecapekannya. Soalnya dia lari-lari, numpak sepeda. Kalau kecapekan juga kadang panas. Mengantisispasi biar nggak kayak gitu. Karena anakku sering banget sih, gampang banget dia..” (no. 63, Informan 2)
D. Pembahasan Berdasarkan 4 tema umum yang telah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya, peneliti memperoleh pola sebagai berikut. Masing-masing informan memiliki pemahaman mengenai temper tantrum yang diwakilkan melalui cara para informan memberi istilah pada perilaku mengganggu yang diekspresikan oleh anaknya dan kondisi-kondisi yang dinilai dapat memicu kemunculan perilaku-perilaku tersebut. Pemahaman tersebut menjadi dasar para informan untuk mengevaluasi temper tantrum anaknya dan menetapkan sikap dan respon terhadapnya yang dapat dilihat dari cara masing-masing
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75
informan memandang dampak temper tantrum anak pada dirinya dan menilai apakah perilaku-perilaku anaknya dipandang wajar baginya. Dampak yang dirasakan oleh masing-masing informan disertai pandangan kewajaran atas ekspresi perilaku anaknya yang cenderung dinilai secara negatif mendorong para informan melakukan sesuatu untuk mengatasinya. Berbagai cara yang diterapkan oleh para informan ini kemudian disebut sebagai strategi untuk menanggulangi temper tantrum. Berikut adalah skema dari pola yang telah dipaparkan di atas, bagaimana satu hal membentuk hal lainnya secara berurutan. Skema 1. Pola Pengaruh Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum
Pemahaman mengenai temper tantrum
Sikap terhadap temper tantrum
Respon terhadap temper tantrum
Strategi untuk menanggulangi temper tantrum
1. Informan 1 a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak Informan 1 menyatakan bahwa dirinya merasa senang apabila anaknya menunjukkan kualitas-kualitas baik pada perilakunya, seperti tidak takut dengan orang lain dan terbiasa bermain tanpa pendampingan Informan 1. Sebaliknya, Informan 1 merasa kesal atas perilaku rewel anaknya. Dengan demikian, Informan 1 mengalami emosi positif dan negatif secara seimbang dalam praktik pengasuhannya. Selain itu, diperoleh gambaran bahwa Informan 1 membangun relasi dengan anaknya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76
dengan cenderung melepas anaknya, dalam arti memberi kepercayaan pada anak untuk bermain di sekitarnya tanpa terlalu banyak melibatkan diri pada aktivitas bermain anak. Relasi Informan 1 dengan anaknya seperti paparan di atas menunjukkan adanya kecenderungan tipe secure attachment, yakni kelekatan dengan ciri memiliki relasi yang aman dengan orang asing, kondisi perpisahan sehari-hari dengan ibu, dan tetap dekat dengan ibu (Ainsworth dalam Santrock, 2002). Informan 1 mendeskripsikan anaknya sebagai sosok yang mandiri dan memiliki kecakapan sosial yang baik. Kedua sifat tersebut merupakan karakteristik perkembangan masa awal anak-anak (Santrock, 2002). Selain itu, Informan 1 juga menyebut bahwa “bandel” bukanlah sifat yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang anak perempuan. Maka, peran gender merupakan acuan yang digunakan Informan 1 untuk menilai pantas dan tidak pantas suatu perilaku bagi anaknya.
b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak Informan 1 menyebut temper tantrum dengan istilah „rewel‟, yakni label untuk perilaku bergulung-gulung, menangis, berteriak, tidak ingin berdiri; mencakar wajah, mencubit, menjambak rambut sendiri sebagai ekspresi gemas. Selain itu, Informan 1 menyebutkan beberapa perilaku mengganggu lain yang diekspresikan oleh anaknya seperti menggigit dan membalas perilaku tidak menyenangkan ibu, serta menggigit dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77
mencakar teman sebagai pertahanan diri atas perilaku yang tidak menyenangkan. Gambaran perilaku mengganggu anak yang disampaikan oleh Informan 1 sesuai dengan definisi yang diungkapkan oleh Suririnah (2010) yang menyebut temper tantrum sebagai „mengamuk‟. Adapun perilaku yang disebutkan oleh Informan 1 sesuai dengan ilustrasi Young (1945) bahwa anak mengekspresikan temper tantrum dengan menjatuhkan diri ke lantai sambil berteriak dan melawan siapapun yang memaksanya berdiri dan memberhentikan amarahnya, juga seperti salah satu dari sekian perilaku yang disebutkan oleh Suririnah (2010) yakni menangis dan Harrington (2009) yakni berteriak. Ekspresi perilaku temper tantrum oleh anak Informan 1 seperti mencakar, mencubit, dan menjambak rambut digolongkan oleh peneliti sebagai perilaku agresi pada diri sendiri. Kelompok perilaku ini memiliki kesamaan dengan istilah lain dari temper tantrum yang disebut oleh Koulenti dan Anastassiou-Hadjicharalambous (2011) dalam Encyclopedia of Child Behavior and Development, yakni problem perilaku agresif, meski tidak terdapat keterangan mengenai objek yang dituju melalui agresi anak. Informan 1 menyebut bahwa perilaku rewel anak didahului oleh beberapa kondisi, salah satunya disebabkan oleh kondisi anak yang sedang sakit, kelelahan, mengantuk, tidur tidak nyaman, dan sangat lapar. Peneliti mengkategorisasikan kelima sebab ini sebagai faktor fisik pemicu temper
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78
tantrum anak. Kondisi-kondisi yang disebutkan oleh Informan 1 ini sesuai dengan faktor-faktor penyebab temper tantrum yang dijabarkan oleh Suririnah (2010) dan Meggitt (2013), yakni kelelahan, merasa lapar, dan haus. Selain faktor fisik, menurut Informan 1, perilaku rewel anak disebabkan oleh beberapa faktor berikut: keturunan, pikiran buruknya selama kehamilan, dan adanya entitas lain di rumah. Peneliti tidak menemukan literatur mengenai pengaruh ketiga faktor ini terhadap temper tantrum anak selama proses penelitian, sehingga dapat disebut sebagai hasil temuan yang khas dalam penelitian ini.
c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu Informan
1
menyampaikan
bahwa
temper
tantrum
anak
memberikan dampak seperti rasa kasihan akibat tangisan yang tidak kunjung reda, rasa heran akibat perilaku yang diekspresikan oleh anak tidak sesuai ekspektasinya, dan rasa stress akibat perilaku anak yang mengganggunya. Peneliti mengkategorisasikan ketiga dampak ini sebagai dampak yang merugikan Informan 1. Pada pertanyaan mengenai pandangan terkait nilai kewajaran mengenai ekspresi tantrum anaknya, Informan 1 menjawab dengan perbandingan dan menyebut perbedaan perilaku kedua anaknya dan menunjukkan respon negatif atas perilaku anaknya dengan indikasi temper tantrum. Peneliti menyimpulkan bahwa Informan 1 tidak memandang wajar kemunculan perilaku temper tantrum pada anaknya. Kesimpulan ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79
juga didukung dengan Informan 1 yang memberikan respon negatif dengan melabel anaknya sebagai sangat nakal. Menurut Baron dan Byrne (2006), istilah „sikap‟ mengacu pada evaluasi seseorang terhadap objek tertentu yang dapat memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap objek tersebut. Pada uraian di atas, Informan 1 memaparkan evaluasinya melalui cara pandang terhadap dampak yang dirasakannya serta rasa tidak suka melalui penilaian tidak wajar terhadap perilaku temper tantrum anaknya. Dengan mengacu pada hal tersebut, peneliti menjadikan poin „Pengaruh Temper Tantrum Anak Terhadap Ibu‟ sebagai indikator sikap ibu terhadap temper tantrum anak.
d. Strategi untuk menanggulangi temper tantrum Saat anak mengekspresikan perilaku rewel, Informan 1 merespon dengan menghiraukan tangis anak. Strategi ini diterapkan oleh Informan 1 secara konsisten. Informan 1 berharap dengan melakukan strategi tersebut, anak akan memahami maksud baik Informan 1 kemudian memiliki kesadaran untuk memperbaiki perilakunya sehingga harapannya anak tidak rewel lagi. Strategi ini sesuai dengan strategi yang disarankan oleh Meggitt (2013) untuk menanggulangi temper tantrum anak, yakni menghiraukan tantrum dengan memberikan perhatian sesedikit mungkin terhadap amukannya dan konsisten dengan penghirauan tersebut agar anak tidak mengulangi perilaku tantrum. Selain itu, Informan 1 juga menerapkan strategi mengalihkan perhatian anak dengan menggendongnya pergi menjauhi penyebab rewel.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80
Strategi ini sesuai dengan strategi yang disarankan oleh Beaty (2014) untuk menanggulangi temper tantrum anak, yakni menyingkirkan atau mengurangi penyebab emosi. Sedangkan cara Informan 1 menggendong anaknya, peneliti golongkan sebagai strategi Meggitt (2013) yakni memberi sentuhan yang lembut dengan pelukan kuat.
2. Informan 2 a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak Dalam rutinitas pengasuhannya, Informan 2 adalah seorang ibu yang sangat memperhatikan kebutuhan anak dan menampakkan kecemasan mengenai kondisi kesehatan anaknya. Informan 2 menyatakan bahwa dirinya memiliki kelekatan dengan anak, dan menyatakan bahwa anaknya juga memiliki kebutuhan untuk lekat dengannya. Informan 2 bahkan mengaku dirinya merasakan sensasi sakit di kepala saat meninggalkan anaknya dinas ke luar kota karena memikirkan betapa anaknya membutuhkan kehadiran Informan 2 untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Informasi tersebut sesuai dengan gambaran insecure attachment yang disampaikan oleh Ainsworth dalam Santrock (2002). Informan 2 memandang anaknya memiliki sifat malas bangun dan malas mandi, juga cenderung menyimpan dendam apabila disakiti orang lain. Informan 2 mengungkapkan bahwa secara fisik, anaknya rentan merasa lelah. Selain itu, Informan 2 menyatakan bahwa anaknya berada dalam fase perkembangan suka mengeyel.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81
Kecenderungan ini dijelaskan oleh Erikson dalam Papalia (2007) sebagai karakteristik perkembangan anak usia 18 bulan hingga 3 tahun, yakni tahap otonomi. Perilaku mengeyel terkait dengan fase anak yang sedang berada dalam masa yang mengutamakan keinginan mereka sendiri sehingga mereka menjadi terlihat lebih berkuasa. Dengan demikian, mengeyel merupakan perilaku yang kemunculannya wajar pada anak dalam rentang usia ini.
b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak Informan 2 menyebutkan perilaku membantah, menggigit, memukul, mengentakkan kaki, bergulung-gulung, dan menangis yang diekspresikan anaknya untuk menolak perintah maupun hal yang tidak inginkan sebagai „mengeyel‟, sedangkan ekspresinya disebut sebagai „histeris‟. Informan 2 menceritakan bahwa temper tantrum anak kerap muncul saat waktu mandi tiba. Perilaku Informan 2 yang melepas pakaian anak untuk mandi membuat anaknya marah sehingga mengekspresikan tangis. Atau pada kasus lain yang serupa, Informan 2 menceritakan bahwa Informan 2 mengangkat anaknya keluar dari kamar mandi untuk membatasi waktu mandi. Tindakan Informan 2 juga membuat anaknya marah sehingga mengekspresikan kaki meronta-ronta dan mengatakan tidak mau. Berdasarkan kasus tersebut, anak mengekspresikan tantrum dengan perilaku menangis dan meronta karena Informan 2 memaksa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82
untuk mandi dan di saat yang lain menghentikan mandinya atau disebut Suririnah (2010) dipaksa melakukan aktivitas tertentu dan tidak diizinkan melakukan sesuatu yang diinginkan. Kedua hal tersebut disebut Suririnah (2010) sebagai penyebab frustrasi, atau emosi negatif yang kerap disebut Informan 2 sebagai marah. Selain kedua faktor penyebab di atas, Informan 2 juga menyatakan bahwa anaknya menangis ketika mengalami perpisahan dengan ayahnya. Informan 2 mengatakan bahwa anaknya merasa takut ditinggal
sehingga mengekspresikannya dengan
berteriak-teriak
histeris. Kondisi semacam ini disebut sebagai perpisahan sehari-hari dan terganggunya anak oleh kondisi ini digolongkan Ainsworth (dalam Santrock, 2002) sebagai karakteristik relasi insecure attachment. Kondisi ini tampaknya membuat anak Informan 2 merasa takut, dan takut yang dialami anak merupakan faktor yang disebut Mullen (1983) sebagai persoalan mendasar dari temper tantrum. Dengan demikian, faktor penyebab temper tantrum anak yang kedua adalah rasa takut. Informan
2
menyebutkan
bahwa
ketika
marah,
anak
mengekspresikan dengan menggigit benda. Informan 2 memandang perilaku ini dapat terbentuk karena anak meniru dirinya sebagai orang tua yang mengekspresikan kesal dengan menggigit benda. Penyebab ini sesuai dengan teori Suririnah (2010) yang menyatakan bahwa anakanak mengekspresikan temper tantrum karena mereka mencontoh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83
orang lain. Adapun meniru atau perilaku imitasi merupakan karakteristik perkembangan pada masa awal anak-anak (Gottman dan DeClaire (1997) dan Allen dan Marotz, 2007).
c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu Peneliti mengkategorisasikan dampak temper tantrum ke dalam dua aspek. Pada aspek emosi, Informan 2 merasa panik ketika ledakan temper tantrum anak muncul. Ketika panik, Informan 2 mengaku bingung dan mengalami konflik. Informan 2 merasa tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk meredakan temper tantrum dengan tenang dan perlahan, namun di sisi lain ingin meredakan temper tantrum anak dengan segera. Sebagai ibu yang bekerja, kemunculan temper tantrum anak di pagi hari mempengaruhi aktivitas Informan 2 untuk bersiap pergi ke kantor dan pernah mengakibatkan Informan 2 terlambat tiba di tempat kerja. Peneliti menggolongkan hal ini dalam dampak temper tantrum pada aspek aktivitas ibu, meski sempat Informan 2 sendiri tidak merasa terganggu akan hal itu dengan alasan tidak mendapat hukuman karena memiliki toleransi keterlambatan di kantor. Penilaian
Informan
2
bahwa
perilaku
anaknya
tidak
memberikan dampak buruk baginya paralel dengan sikap Informan 2 terhadap perilaku-perilaku yang diekspresikan oleh anaknya. Sikap Informan 2 tampak melalui cara pandangnya terhadap emosi negatif yang diekspresikan anaknya, yakni sebagai sifat bawaan sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84
Informan 2 tidak memiliki kendali atasnya. Pada perilaku nakal anaknya seperti bertengkar atau “berantem”, Informan 2 memandang sebagai perilaku yang wajar, dan ekspresi bergulung-gulung saat menangis sebagai perilaku anak seusianya. Selain menilai wajar, Informan 2 juga memaklumi perilaku lekat sebagai hal yang normal karena perilaku ini diakui Informan 2 masih juga ditunjukkan olehnya kepada orang tuanya sehingga memandang perilaku lekat sebagai ungkapan kepedulian terhadap keluarga. Dengan demikian, terdapat kongruensi antara penilaian wajar dengan sikap memaklumi temper tantrum anak.
d. Strategi untuk menanggulangi temper tantrum Informan 2 menanggulangi temper tantrum dengan beberapa strategi. Beberapa merupakan strategi yang juga diterapkan oleh informan lainnya, beberapa merupakan strategi yang hanya ditemui pada Informan 2. Seperti kedua informan lainnya, saat ledakan temper tantrum anak muncul, Informan 2 mengajak anaknya untuk berbicara dengan tenang, menanyakan apa yang terjadi padanya walau anaknya tidak memberikan respon jawaban dan tangisnya tidak juga mereda. Informan 2 kemudian mengatakan informasi yang tidak benar atau berbohong sebagai strategi untuk memberi ketenangan pada anak. Strategi ini merupakan salah satu yang disarankan oleh Meggitt (2013)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85
yakni
tetap
tenang
dalam
menghadapi
anak
yang
sedang
mengekspresikan tantrum. Strategi yang hanya ditemui pada Informan 2 adalah memanggil terapis pijat anak. Informan 2 mengatakan bahwa anaknya rentan mengalami kelelahan fisik, sedangkan anak suka bermain dan bersepeda. Rasa lelah yang diekspresikan anak dengan tidur tidak nyenyak,
akan
menimbulkan
tangisan
yang
histeris.
Untuk
mengatasinya, Informan 2 memanggil terapis pijat untuk datang ke rumah dengan frekuensi dua kali seminggu.
3. Informan 3 a. Dinamika praktik pengasuhan ibu terhadap anak Informan 3 menyatakan bahwa pengalaman pengasuhan bersama anaknya didominasi oleh perasaan senang, terutama pada saat bermain bersama kedua anaknya. Informan 3 menggambarkan sosok anaknya sebagai anak yang aktif dan banyak bergerak. Informan 3 berpendapat bahwa anak laki-laki memiliki sifat yang lebih usil dan tidak seharusnya bermain masak-masak, sehingga Informan 3 menggunakan
peran
mengkategorisasikan
gender baik-buruknya
sebagai perilaku
patokan
untuk
anak
dalam
perkembangannya. Ketika memasuki usia 3 tahun, Informan 3 menemukan perubahan perilaku pada anaknya. Anaknya yang semula mandiri kemudian menjadi sangat melekat pada dirinya. Informan 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86
menyebutkan bahwa penyebab utama kemunculan perilaku melekat ini adalah perubahan kondisi dari Informan 3 yang semula banyak berkegiatan di luar rumah menjadi banyak berkegiatan di dalam rumah. Perilaku semacam ini merupakan indikasi bahwa anak memiliki relasi insecure attachment terhadap ibunya (Ainsworth dalam Santrock, 2002). Selain perubahan seperti yang dipaparkan di atas, Informan 3 juga melihat adanya perubahan yang terjadi pada perkembangan bahasa, imajinasi, dan kemampuan imitasi anaknya. Menurut Santrock (2007) sejak usia 18 bulan hingga 2 tahun, anak sedang mengembangkan tahap kognitif praoperasional. Pada tahap ini Piaget (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa anak telah menggunakan bayangan-bayangan
dalam
kepalanya
untuk
memahami
lingkungannya. Perkembangan ini berimplikasi pada kemampuan bahasa anak, yakni mampu memahami kata-kata dnegan cepat, seperti instruksi-instruksi yang diberikan oleh Informan 3 dalam dinamika pengasuhan sehari-hari. Implikasi lain terlihat pada perkembangan imajinasi dan imitasi anak. Informan 3 menyatakan bahwa aktivitas anak menonton film superhero menyebabkan anak mengidentifikasi diri dengan superhero favoritnya dan meniru adegan yang tidak jarang menunjukkan agresivitas kepada orang lain. Hal ini disebabkan oleh perkembangan kemampuan anak yang menyimpan ingatan tentang tingkah laku yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87
mereka amati dan menirukannya. Agresivitas anak tidak didasari sikap kasar, melainkan ungkapan makna diri yang sedang berkembang (Gottman dan DeClaire (1997).
b. Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak Informan 3 menyebut temper tantrum dengan istilah „rewel‟, seperti halnya istilah yang diungkapkan Suririnah (2010) sebagai „mengamuk‟. Istilah ini digunakan sebagai label untuk ekspresi perilaku anaknya seperti menangis, tengkurap, tidak ingin disentuh (Suririnah,
2010),
dan
memukul
diri
sendiri
(Koulenti
dan
Anastassiou-Hadjicharalambous, 2011). Informan 3 menyatakan bahwa kerewelan anaknya memiliki tiga tingkat keparahan yang dibedakan berdasarkan intensitas tangis anaknya. Informan 3 merujuk rewel tingkat pertama pada perilaku menangis dengan intensitas rendah, tingkat kedua pada perilaku menangis dengan lebih kencang dan tengkurap di atas kasur, dan tingkat ketiga merujuk pada perilaku menangis tanpa mau berhenti. Informan 3 menyebut adanya kontribusi dari beberapa faktor yang dipandang sebagai penyebab kemunculan berbagai perilaku mengganggu tersebut. Peneliti mengkategorisasikanya sebagai faktor emosi, faktor sosial, dan faktor teknologi. Faktor emosi adalah penyebab-penyebab perilaku rewel yang berkaitan dengan minimnya kemampuan anak untuk meregulasi ledakan emosi yang muncul akibat Informan 3 tidak memenuhi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88
permintaan anak. Meggitt (2013) menyebutnya ditolak sebagai pemicu temper tantrum dan Suririnah (2010) sebagai tidak diizinkan melakukan sesuatu yang diinginkan. Selanjutnya, faktor sosial adalah penyebab-penyebab perilaku rewel yang berkaitan dengan orang lain, seperti disebutkan oleh Informan 3 mengenai kemunculan rewel anak dengan kondisi anak berkembang pada minimnya kehadiran orang dewasa dan banyaknya waktu luang yang Informan 3 miliki bersama anaknya. Kartono (1992) menyebutkan bahwa keterlibatan ibu dalam menjamin kesejahteraan psikologis anaknya dalam mendampingi anak beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Tampaknya Informan 3 menggunakan cara pandang ini, yakni bahwa minimnya kehadiran orang dewasa pada perkembangan
anaknya
memberi
dampak
pada
minimnya
perkembangan kemampuan adaptasi sosial anak. Terakhir, faktor teknologi adalah penyebab-penyebab perilaku rewel yang berkaitan dengan pengaruh film yang anak tonton. Ketika anak menonton film, ia melihat perilaku tokoh film yang menarik baginya dan melakukan imitasi sehingga perilaku agresi dalam perilaku rewel anak muncul pada aktivitas sehari-hari anak. Dengan demikian, perkembangan kemampuan imitasi anak pada usia 3 tahun seperti disampaikan Gottman dan DeClaire (1997) menjadi penyebab yang berkontribusi pada temper tantrum anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 89
c. Pengaruh temper tantrum anak terhadap ibu Informan 3 menyatakan bahwa temper tantrum menganggu penyelesaian aktivitas pekerjaannya. Informan 3 memperoleh kerugian waktu yang semestinya dapat digunakan untuk melakukan pekerjaan, menjadi dipergunakan untuk menanggulangi perilaku rewel anaknya. Dampak ini menyebabkan Informan 3 merespon perilaku rewel dengan rasa tidak sabar dan berbagai keluhan. Meski demikian, Informan 3 menyikapi perilaku-perilaku tersebut sebagai ekspresi yang wajar bagi seorang anak laki-laki. Informan 3 memandangnya sebagai ciri khas sifat usil dari seorang anak laki-laki yang berimplikasi pada perilaku banyak bergerak.
d. Strategi untuk menanggulangi temper tantrum Informan 3 telah memahami kecenderungan anak yang moody sehingga melakukan hal-hal untuk mencegah terjadinya kemunculan temper tantrum. Strategi pencegahan yang dilakukan Informan 3 adalah dengan menjaga mood anaknya semenjak pagi hari. Apabila indikasi temper tantrum mulai muncul, Informan 3 berusaha untuk memenuhi keinginan anak sehingga temper tantrum dapat dicegah agar tidak benar-benar terjadi. Informan
3
memandang
bahwa
bahwa
anaknya
mengekspresikan temper tantrum dengan tiga tingkat keparahan, maka ia menerapkan 3 tingkat strategi penanggulangan. Pada tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90
pertama, ketika anak menangis dengan intensitas rendah, Informan 3 menanggulangi dengan memberi pelukan dan ciuman atau Meggitt (2013) menyebutnya sebagai sentuhan yang lembut. Pada tingkat kedua, ketika anak menangis dengan lebih kencang dan tengkurap di atas kasur, Informan 3 melakukan bujukan melalui kata-kata. Strategi ini sesuai dengan strategi yang disampaikan oleh Beaty (2014). Strategi
ini
bertujuan
untuk
mengalihkan
perhatian
seperti
disampaikan oleh Meggitt (2013). Pada tingkat ketiga, ketika anak menangis tanpa mau berhenti, Informan 3 menanggulangi dengan membuat perjanjian bahwa anaknya harus tetap berada di dalam kamar hingga anak menyelesaikan tangisannya. Strategi ini disebut Meggitt (2013) sebagai time-out. Informan 3 mengaku memperoleh informasi mengenai strategi time-out dari acara televisi mengenai pengasuhan anak.
Berdasarkan keterangan di atas, berikut peneliti sajikan hasil penelitian pada Tabel 6 di halaman sebaliknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91
Tabel 6. Pemahaman Ibu Mengenai Temper Tantrum Anak Label Informan Pemahaman Mengenai Temper Tantrum
Informan 1 a.
b.
c.
Pengaruh Temper Tantrum Anak Terhadap Ibu
a.
b.
c.
Strategi untuk Menanggulangi Temper Tantrum
a. b. c.
Informan 2
Menyebut dengan istilah rewel. Menyebut perilaku: bergulunggulung, agresi fisik diri sendiri (mencakar, mencubit, menjambak), agresi fisik fisik org lain (mencakar, menggigit), menangis, tidak mau berdiri, berteriak. Faktor penyebab: keturunan, pikiran buruk ibu, emosi anak, ketidaknyamana n fisik anak, sosial, entitas lain tak terjelaskan. Dampak: kasihan, heran, stress, sosial. Sikap: temper tantrum merupakan perilaku yang tidak wajar.
a.
Respon: emosi negatif, memberi label negatif. Hukuman fisik Time-out Mengalihkan perhatian
c.
Informan 3
Menyebut dengan istilah mengeyel. Menyebut perilaku: marah, menangis, bergulunggulung, membantah, menolak, menggigit, memukul, menghentak kaki, menendang.
a.
c.
Faktor penyebab: emosi, fisik, sosial, teknologi.
c.
Faktor penyebab: emosi, sosial, teknologi
a.
Dampak: emosi, pekerjaan, sosial.
a.
Dampak: emosi, pekerjaan.
b.
Sikap: memandang wajar, memaklumi, menolak istilah temper tantrum Respon: panik
b.
Sikap: memandang wajar
c.
Respon: mengeluh
Memberi kenyamanan fisik Melakukan diskusi Mengalihkan perhatian
a.
Mencegah dengan menjaga mood anak Memenuhi keinginan anak Memberi kenyamanan Melakukan diskusi Mengalihkan perhatian Time-out
b.
a.
b. c.
b.
b. c. d. e. f.
Menyebut dengan istilah rewel Menyebut perilaku: melekat, menangis, tengkurap, tidak mau disentuh, pukul diri sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 92
Pada bagian ini, peneliti hendak memaparkan adanya temuan yang bersifat khas dari ketiga partisipan penelitian. Informan 1 dengan latar belakang pendidikan rendah dan tinggal di daerah perkampungan, memiliki pandangan bahwa temper tantrum merupakan perilaku yang tidak wajar. Informan 1 memiliki pemahaman bahwa temper tantrum disebabkan oleh faktor-faktor yang cenderung sulit untuk diukur, seperti halnya faktor keturunan dan entitas lain tak terjelaskan yang menyebabkan ledakan ekspresi temper tantrum anak. Motif Informan 1 untuk menanggulangi temper tantrum adalah cenderung untuk memenuhi harapan diri sendiri, yakni agar anak memperbaiki perilakunya dan untuk memenuhi harapan sosial, yakni agar tidak memperoleh perlakuan buruk dari orang lain. Informan 2 dengan latar belakang pendidikan tinggi dan tinggal di daerah kota kecamatan memiliki pandangan bahwa temper tantrum merupakan perilaku yang wajar dan tidak merasa terganggu atas dampak yang ditimbulkannya, meski hasil analisa mengungkapkan bahwa temper tantrum anak telah mengindikasikan kondisi dengan tingkat keparahan yang tinggi. Sikap Informan 2 tampaknya dipengaruhi oleh ketidaknyamanan dirinya atas citra negatif yang akan diberikan pada anaknya apabila memberi keterangan mengenai temper tantrum. Sikap ini tampak melalui sulitnya Informan 2 memberi istilah pada ledakan emosi anak. Selain itu, pemahaman Informan 2 mengenai faktor penyebab temper tantrum anak berkisar pada penyebabpenyebab yang tampak secara fisik, seperti meniru objek yang anak lihat. Informan 2 sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai strategi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93
menanggulangi temper tantrum anak, namun belum bisa mengontrol dirinya untuk tenang menghadapi. Informan 3 dengan latar belakang pendidikan tinggi dan tinggal di daerah kota memiliki pandangan bahwa temper tantrum adalah ekspresi perilaku yang wajar. Informan 3 memaparkan beberapa informasi yang sesuai dengan milestone perkembangan anak yang disebutkan oleh para ahli sehingga menyikapi kemunculan perilaku temper tantrum sebagai hal yang wajar dan menanggulangi dengan strategi yang sesuai. Pemahaman Informan 3 mengenai temper tantrum berkisar mengenai tingkatan keparahan yang perlu ditanggulangi dengan strategi yang bertahap. Informan 3 mengungkapkan faktor-faktor penyebab temper tantrum dalam berbagai aspek, yakni paparan teknologi dan lingkungan pada aspek emosi dan kognitifnya. Dengan demikian, peneliti hendak memaparkan bahwa dalam penelitian ini, pemahaman ibu terhadap temper tantrum menampakkan variasi berdasarkan latar belakang pendidikan dan lokasi tempat tinggalnya. Latar belakang ibu memungkinkan adanya variasi perbedaan paparan sumber ilmu pengetahuan mengenai fenomena temper tantrum yang meliputi perilaku yang diekspresikan anak dan faktor-faktor yang menyebabkan ekspresi perilaku tersebut, yang kemudian berpengaruh pada cara ibu memandang sebuah fenomena yang cenderung serupa, yakni temper tantrum anak. Baron dan Byrne (2006) menjelaskan hal ini sebagai sikap, yakni evaluasi seseorang terhadap suatu objek. Dari empat sumber pembentuk sikap, tiga di antaranya yang membentuk sikap ibu terhadap fenomena temper
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94
tantrum adalah paparan media massa, pengaruh nilai-nilai kelompok, dan orang lain. Pengaruh sumber-sumber ini terhadap sikap ibu bervariasi sesuai dengan latar belakang masing-masing ibu berdasarkan tingkat pendidikan dan lokasi tempat tinggal. Baron dan Byrne (2006) juga menjelaskan bahwa sikap seseorang cenderung mempengaruhi tingkah laku sehingga teori ini dapat menjelaskan bahwa variasi pemahaman ibu mengenai temper tantrum anaknya dipengaruhi oleh sikap ibu terhadap temper tantrum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari penelitian ini, peneliti dapat menyimpulkan hal-hal berikut: 1. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah dan tinggal di lokasi perkampungan, memandang temper tantrum sebagai fenomena yang diturunkan. Temper tantrum yang disebabkan oleh faktor fisik merupakan perilaku tak wajar sehingga dan perlu ditanggulangi dengan time-out untuk menumbuhkan kesadaran diri anak dalam memperbaiki diri. 2. Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi dan tinggal di lokasi kecamatan, memandang temper tantrum sebagai ekspresi yang wajar. Ibu menyebut wajar karena temper tantrum disebabkan oleh anak meniru perilaku buruk orang tua dan ingin selalu dekat dengan orang tua, sehingga perlu ditanggulangi dengan memberi lebih banyak perhatian pada anak. 3. Ibu dengan tingkat pendidikan tinggi dan tinggal di lokasi perkotaan, memandang temper tantrum sebagai ekspresi yang wajar. Hal ini disebabkan oleh perkembangan anak secara normal, namun temper tantrum yang muncul perlu ditanggulangi secara bertahap sesuai dengan tingkat keparahan ekspresi temper tantrumnya.
95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96
B. Keterbatasan Penelitian Peneliti menyatakan bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai berikut: 1. Partisipan penelitian kurang dapat mewakili sampel populasi Informan 2, yakni tingkat pendidikan menengah. Hal ini disebabkan karena calon informan dengan karakteristik yang dimaksud tidak bersedia memberi informasi dan peneliti memiliki keterbatasan waktu. 2. Literatur mengenai topik temper tantrum kurang memadai sehingga berimplikasi pada keterbatasan referensi peneltian. 3. Data yang diperoleh dalam penelitian ini kurang eksploratif. Hal ini disebabkan karena peneliti menyadari keterbatasan performansi kerja selama proses pengerjaan penelitian ini. 4. Peneliti tidak memastikan kondisi temper tantrum anak sebelum melakukan proses pengumpulan data
C. Saran Berdasarkan hasil penelitian, terdapat banyaknya variasi mengenai pemahaman informan mengenai fenomena temper tantrum yang pada akhirnya berakibat pada variasi strategi untuk menanggulangi temper tantrum. Strategi yang diterapkan informan memiliki dampak langsung terhadap perkembangan psikolois anak. oleh karena itu, peneliti menyampaikan saran sebagai berikut. 1. Bagi para ibu dan pendamping anak usia 1 hingga 3 tahun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97
Memiliki pengetahuan yang meluad dan mendalam mengenai temper tantrum anak merupakan hal yang penting. Pengetahuan yang dimaksud meliputi milestone perkembangan anak sesuai usianya, ekspresi-ekspresi perilaku yang mengindikasikan temper tantrum, serta segala faktor yang mungkin dapat menyebabkan anak berperilaku demikian. Pengetahuan yang benar tentu akan membantu para ibu dan para pendamping anak untuk memilih sikap yang sesuai sehingga respon yang tepat dapat diterapkan kepada anak. Memahami bahwa anak pada usia 1 hingga 3 tahun sedang mengembangkan berbagai kemampuan baru, maka baiklah para ibu dan para pendamping merespon dan menanggulangi ekspresi perilaku temper tantrum dengan strategi-strategi yang dapat membantu perkembangan psikologis anak. Bantuan dapat dilakukan dengan cara membantu anak mengenali emosi yang sedang mereka rasakan dan membantu anak mengekspresikan emosinya dengan perilaku-perilaku yang membangun, seperti yang disajikan dalam penelitian ini pada bagian tinjauan pustaka.
2. Bagi peneliti selanjutnya Berdasarkan proses yang telah dijalani dalam penelitian ini, sebaiknya peneliti selanjutnya memperhatikan beberapa hal penting yang dapat menunjang kualitas penelitian selanjutnya. Pertama, peneliti sebaiknya berada pada kondisi optimal dalam proses pengumpulan dan pengolahan data. Kedua, peneliti sebaiknya melakukan pertemuan dengan masing-masing informan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98
lebih dari dua kali. Ketiga, peneliti sebaiknya lebih memanfaatkan metode observasi saat proses pengumpulan data yang terdiri dari data mengenai kondisi temper tantrum anak dan data mengenai pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak. Keempat, secara khusus untuk partisipan yang bekerja atau memiliki sedikit waktu berdinamika dengan anak, disarankan untuk menambah informan lain yang mengasuh anak tersebut. Keempat hal ini ditujukan agar penelitian dapat memberikan informasi yang cukup memadai mengenai dinamika ibu dalam fenomena temper tantrum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99
DAFTAR PUSTAKA
Aiken, L. R. & Groth-Marnat, G. (2009). Pengetesan dan Pemeriksaan Psikologi. (ed. 12, jilid 2). Jakarta: Indeks Allen, K. E., & Marotz, L.R. (2010). Profil Perkembangan Anak: PraKelahiran Hingga Usia 12 Tahun. (ed.5). Jakarta: PT Indeks. Azar, S. T., Reitz, E. B., & Goslin, M. C. (2008). Mothering: Thinking is part of the job description: Application of cognitive views to understanding maladaptive parenting and doing intervention and prevention work. Journal of Applied Developmental Psychology 29(4), 295-304. Diunduh dari https://www.researchgate.net/publication/222839699_Mothering_Thinking_is _part_of_the_job_description_Application_of_cognitive_views_to_understan ding_maladaptive_parenting_and_doing_intervention_and_prevention_work Azwar, S. (2005). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Diunduh dari http://www.psychoshare.com./file-821/psikologikepribadian/sikap-pengertian-definisi-dan-faktor-yang-mempengaruhi.html Balson, M. (1993). Menjadi Orangtua yang Lebih Baik. Jakarta: Binarupa Aksara. Baron, R. A. & Byrne, D. (2006). Social Psychology. (11 th ed.). USA: Pearson Education, Inc. Beaty, J. J. (2014). Observasi Perkembangan Anak Usia Dini. (ed. 7). Jakarta: Kencana. Belden, A. C., Thomson, N. R., & Luby, J. L. (2008). Temper tantrums in healthy versus depressed and disruptive preschoolers: defining tantrum behaviors associated with clinical problems. J Pediatr, 152(1): 117–122. Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2211733/ Berk, L. E. (2006). Child Development. (7th ed.). Boston: Pearson. Berk, L. E. (2012). Development Trough Lifespan: Dari Prenatal Sampai Remaja (Transisi Menjelang Dewasa). (ed. 5). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bukatko, D. (2008). Child and Adolescent Development: A Chronological Approach. USA: HoughtonMiffin Company. Daniels, E., Mandleco , B., & Luthy, K. E. (2012). Assessment, management, and prevention of childhood temper tantrums. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 24. Diunduh dari http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1745-7599.2012.00755.x/pdf Dinantia, F., Indriati, G., dan Nauli, F. A. (2014). Hubungan pola asuh orang tua dengan frekuensi dan intensitas perilaku temper tantrum pada anak toddler. JOM PSIK, 1 (2). Diunduh dari http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad =rja&uact=8&ved=0ahUKEwiZ7eym77fUAhXHQY8KHT8LDkoQFggrMA E&url=http%3A%2F%2Fjom.unri.ac.id%2Findex.php%2FJOMPSIK%2Farti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100
cle%2Fdownload%2F3406%2F3302&usg=AFQjCNFvAyg2CcsWbmdDL1Pi Q2vZiBsYeQ Downs, C. W., Smeyak, G. P., & Martin, E. (1980). Professional Interviewing. NY: Harper & Row Publishers Gottman, J., dan DeClaire, J. (1997). Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia Gunarsa, S. D. (1987). Psikologi Anak Bermasalah. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hardiman, F. B. (2015). Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida. Yogyakarta: PT Kanisius. Harrington, R. G. (2009). Temper tantrums: Guidelines for parents. Diunduh 9 dari http://www.nasponline. org/resources/ behavior/tantrums_ho.aspx Hurlock, E. B. (1978). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Hurlock, E. B. (1989). Perkembangan Anak. (ed. 6, jilid 2). Jakarta: Erlangga. Kartono, K. (1992). Psikologi Wanita: Mengenal Wanita Sebagai Ibu dan Nenek (jilid 2). Bandung: Mandar Maju. Koulenti, T., & Anastassiou-Hadjicharalambous, X. (2011). Encyclopedia of child behavior and development. Diunduh dari http://link.springer.com/referenceworkentry/10.1007/978-0-387-79061 -9 _2881 Meggitt, C. (2013). Memahami Perkembangan Anak. Jakarta: PT Indeks McCaskill, C. L. (1941). Emotional health in childhood. The American Journal of Nursing, 41 (1), 66-69. Diunduh dari http://www.jstor.org/tc/accept?origin=/stable/pdf/3415206.pdf?refreqid=excel sior%3Ae80ebaf992c47f68db1bf5310d420924 Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Montgomery, C. L. (1987). Taming a tyrant. The American Journal of Nursing, 87(2), 234-238. Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3643764 Mullen, J. K. (1983). Understanding and managing temper tantrum. Child care quarterly, 12(1), 59–70. Diunduh dari https://link.springer.com/article/10.1007/BF01258080 Nurrachman, N., & Bachtiar, I. (2011). Psikologi Perempuan: Pendekatan Kontekstual Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Atmajaya. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman , R. D. (2007). Human Development. (10th ed.). New York: McGraw-Hill. Papalia, D. E. dan Feldman, R. D. (2014). Menyelami Perkembangan Manusia. (ed. 12, jilid 1). Jakarta: Salemba Humanika. Purnomo, H. B. (1990). Memahami Dunia Anak-anak. Bandung: Mandar Maju. Santrock, J. W. (2002). Life-span Development: Perkembangan Masa Hidup (ed. 5, jilid 1). Jakarta: Erlangga. Santrock, J. W. (2007). Child Development. (11th ed.). New York: Mc-Graw-Hill.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101
Sarumpaet, R. I. (1978). Rahasia Mendidik Anak. Bandung: Indonesia Publishing House. Shiraev, E. (2011). A History of Psychology: A Global Perspective. United States of America: Sage Publication. Smith, J. A. (2013). Dasar-dasar Psikologi Kualitatif: Pedoman Praktis Metode Penelitian. Bandung: Nusa Media. Solso, R. L., Maclin, O. H., dan Maclin, M. K. (2008). Psikologi Kognitif. (ed. 8.). Jakarta: Erlangga. Strauss, A. dan Corbin, J. (2009). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sullivan, M. W. & Lewis, M. (2012). Relations of early goal-blockage response and gender to subsequent tantrum behavior. Infancy. 17(2), 159-178. Diunduh dari http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1532-7078.2011.00077.x/full Supratikya, A. (2012). Penilaian Hasil Belajar dengan Teknin Nontes. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma Supraktiknya, A. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dalam Psikologi. Yogyakarta: Sanata Dharma. Suririnah (2010). Buku Pintar Mengasuh Balita. Jakarta: Gramedia Syam, S. (2013). Hubungan pola asuh orang terhadap kejadian temper tantrum anak usia toddler di PAUD Dewi Kunti Surabaya. Jurnal Promkes, 1 (2), 164-169. Diunduh dari http://journal.unair.ac.id/filerPDF/jupromkes7483a304abfull.pdf
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Informed Consent Saya Albertin Melati Widyaninta, mahasislvi jenjan-e
Sl
pfogram studi Psikologi
Universitas Sanata Dharma. Saya sedans melakllkan penelitian LrntLrk memenuhi syarat Llntuk memperoleh gelar sarjana. Saya melakLrkan penelitian ntengenai pengalarnan seorang ibu dalam mengasuh anak batita.
Untr-rk memperoleh data penelitian, saya membLrtuhkan bantuan dari kr-rrang lebih 6 (enam) orang ibu yang memiliki pengalaman mengasuh anak vang pada rentang usia
l8
bLrlan
hingga 3 tahun. Bantuan yang dapat anda berikan adalah berLrpa intbrmasi yang disampaikan dari proses wa'vvancara bersama saya sebagai peneliti. Infbrmasi tersebr-rt akan saya kLrmpr"rlkan dan saya olah sehingga memperoleh data tentang berbagai pengalamarr ibu dalam mengasuh anak.
Dalam proses \vawancara, saya akan memberikan sekitar l0 (sepuluh) pertanvaan pokok dan beberapa peftanyaan sampingan sehingga wawancara akan rnembutuhkan u,aktu sekitar 2
hingea 3 jam. Dalam wa\\'ancara. anda disarankan untLrk nrenrberikan intbnnasi dengan apa adanva. diperbolehkan untuk menolak pertan\aan \anq tidak inSin anda -lauab. dan bertanya mengenai informasi apapun terkait dengan penelitian.
Demikian infbrmasi \anq sa\a sampaikan terkait densarr penelitian. Sa1,a akan sangat terbuka untuk memberikan tanibahan intbrmasi apabila terdapat infbrmasi 1,ang kuran* jelas. Apabila anda bersedia untuk berbaei inlbrnrasi mengenai pen-galaman dalam mensasuh batita. silakan bubuhkan tanda tansan anda di barrah ini.
Saya yarlg bertanda tangan
di bawah ini telah rrernbaca
dern menrahanri
irrtbnrasi ili atas.
serta menyatakan kesediaan saya untuk berbagi infbrmasi rlensenai pengalarrran sa\a dalarn mengasuh batita.
Parrisipan penel itian.
Peneliti.
A Ibertin
L-
Melati \Vid)'an inta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Biodata
I.
Ibu
Nama ibu
Alamat
LuFtbr Q'qut Urvrn:an\ gaamn s-r t fif8 tt
Pendidikan
CLTA
Pekerjaan
r?-T
II.
Anak
Nama anak
\toovo. Aqr\a
Jenis kelamin
(
Tanggal lahir
) Laki- laki
Perempuan
4- tluuer"hr poF\ dari
.Atak kePendidikan
8()
?uur'
3
)
(Usia:
\B
urrun;
bersaudara
Pengasuh
pendamping
1
Yf; riaat
(
_ ) Ya, oteh
:
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahvva sara telah mengisi inlbrrnasi di atas
dengan sebenar-benarnya dan bersedia memberikan informasi tersebut untuk kepentingarr penelitian.
Partisipan penelitian
Lkkba
ke-
|
qqut U
16 Mer tOtb
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Informed Consent Saya Alberlin Melati Widyaninta, mahasiswi jenjang S1 pfogranr studi Psikologi Universitas Sanata Dhanna. Saya sedang melakukan penelitian untuk rnemenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Saya melakukan penelitian mengenai pen-ealalnan seorang ibu dalarn mengasuh anak batita.
Untuk memperoleh data penelitian, saya membutuhkan bantuan dari kurang lebih
6
(enam) orang ibu yang rnemiliki pengalaman mengasuh anak yang pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun. Bantuan yang dapat anda belikan adaiah belupa intbmasi yang disarr-rpaikan dari proses wawancara bersama saya sebagai peneliti. Iniorniasi tersebut akan saya kutlpulkan
dar-t
saya olah sehingga rnerrpcroleh clata tentang berbagai pengalar-nan ibu clalam nrengasuh anak.
Dalarn proscs \\/awancala, saya akan menrbcrikan sekitar .1.- l-,'h"'-.11,r ur!1r u!u!rqPQ
harno'1\ia.y!r rqrr-Yqsrr
.-.'-"'.;-,..rurrrPrrreicrr
.v1rrrle
'-.' ^l-..'.
l0
(sepr,rhrh) pertan.vaar-r pol
'..-'..h,,trrhl.-.-
.' oi.-t"
"^l..it.'.
')
hin-tga 3 jan-r. Dalarn \\rawancara. anda clisarankan untuk menrbelikan infirnlasi dengan apir adanya, diperbolehkan untuk rrenolak pertanvaan rang ticlak ingin anda jauab. clan bertanya mengenai infbnnasi apapun tefkait dengan penelitian.
Dernikian inlbnlasi \ang sa)'a sampaikan terkait ciengan penelitian. Sava akrn sangat telbuka untuk rnemberikan tambahan intbrmasi apabila terdapat intbmrasi yang kurang jelas. Apabila anda bersedia untuk belbagi infbnnasi mengenai pengalarnan dalam rnengasuh batita, silakan bubuhkan tanda tansan anda di bawah ini.
Saya yang bertanda tangan di bawah
ini telah membaca dan memaharni inlbrmasi di
atas,
serta menyatakan kesediaan saya untuk berbagi informasi mengenai pengalaman saya dalam mensasuh batita.
Parlisipan
0o,vi
enelitian,
KtzH
IJI
Peneliti.
44k Albertin Melati Widvaninta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Biodata
I.
Ibu
Nama ibu
, Dvi
Rerq
L$il^yanei Sukrg tgono
Alamat
Pendidikan Pekerjaan
II.
Anak
.fr
\ar-na anak Jenis kelanrin
,'i A{uabrtc Kunrcro
1r/; lari-laki (_
;Pclcnrpuan
Trn.roel lrhir Anak ke-
(Usia:
hbulanl
:ldarifbersauclara
Pendidikan Pengasuh
pendamping
1
1l l tirtuu(
-
) Ya, oleh
Saya yang bertanda tangan di bawah
:
ini menyatakan bahwa
saya telah rnengisi
infbrmasi di atas
dengan sebenar-benarnya dan bersedia memberikan inforrnasi tersebut untuk kepentingan penelitian.
.l Partisipan penelitian ke-
ls
l'{ei rotb
2
,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
I
lnformed Consent Saya Albertin Melati Widyanirrta, malrasisr,vi jenjang
Sl
progfam studi Psikologi
Urriversitas Sanata Dltarma. Saya sedang melakLrkan penelitian untirk meinenuhi syarat untirk trterrrperoleh
-qelar
sariana. Saya rnelakukan penelitian mengenai pengalantan seoraltg ibr,r dalarn
menp.asirtr anak batita.
Untuk memperoleh data penelitian. saya mernbutuhkan bantuan dari kurang lebih (e
6
nanr) orang ibu yang memiliki pengalaman men-easuh arrak yang pada rentang Lrsia 18 bLrlan
Iringga 3 tahun. Bantuan yarrg dapat anda berikan adalah benrpa infbrmasi yang disarnpaikarr dari pfoses \,vawancara bersama saya sebagai peneliti. lntbrmasi tersebut akan say'a kirmpulkarr dan saya olah sehingga memperoleh data tentang berbagai pengalaman ibLr dalarrr mengasuh anak.
Dalam proses wawancara. saya akan memberikan sekitar 10 (sepuluh) perlany,aan pokok dan beberapa pertanyaan sampingan sehingga wawancara akan mernbutLrhkan lvaktu sekitar 2
hingga 3 jarn. Dalam wawancara, anda disarankan Lrntuk rrernberikan infbrmasi dengan apa adanya. diperbolehkan untuk menolak pertanyaan yang tidak ingin anda jawab. dan bertanva mengenai informasi apapun terkait dengan penelitian.
Dernikian infbrmasi yang saya sampaikan terkait dengarr penelitiarr. Saya akan sangat terbr"rka
untuk memberikan tambahan informasi apabila terdapat infbrmasi yang kurang jelas.
Apabila anda bersedia LrntLrk berbagi informasi mengenai pengalaman dalam mengasuh batita. silakarr br,rbr-rhkan tanda tangan anda di bar,vah ini.
Saya yang bertanda tangan
di bawah ini telah mernbaca dan nremahami infbrrnasi di
atas.
serta meltyatakan kesediaan saya untuk berbagi informasi mengenai pengalaman sa)'a dalanr mengasuh batita.
Partisipan penel itiarr.
Peneliti.
S+uAlbertin Melati Widyaninta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Biodata
I.
IbLr
5i
Nama ibu
lv"*-
?\.?hn^^lisr^/q
Alamat
.
M.og.^r.- kil,l ,\{g.0 1tilo
Pendidikan
Pvr
Pekerjaan
ll.
Anak
Dror*.
Nama anak Jenis kelamin
r-
(
]a)
Alb,nnu^
.
Laki-taki ( _ ) Perernpuan
Tanggal lahir Anak ke-
(Usia:?3
L
dari 2
bulan)
bersaudara
Pendidikan Pengasuh
pendamping
( tz)Tidak(_)Ya,oleh
Saya yang bertanda tangan
di bawah ini
menyatakan, bahr,va saya telah mengisi informasi
di
atas
dengan sebenar-benarnya dan bersedia mernberikan informasi tersebut trrrtuk kepentinean penelitian.
Partisipan
nelitiarr ke- 3
$11r/ana
ao Me( tolb
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 110
Tabel Analisis Isi Informan 1 (Bagian 1) Keterangan: I1= Informan 1 N = Inisial anak I1 dengan indikasi temper tantrum I = Ibu, yakni I1 A = Anak, yakni N No
Satuan Makna
1.
Curhat aja pengalamannya, Mbak P mengasuh ini Dik N. Ya seneng-seneng gimana ya mbak ya, seneng-seneng jengkel (tertawa). Senenge nek kalau itu lho, kalau dia bisa nyanyi sendiri, kaya gitu.Dia sesuka hatinya kayak gitu lho mbak.Terus makan sendiri.
2.
3.
4.
5.
Tapi kalau aku kalau jengkel itu kalau dia baru rewel tu.Kan aku baru sibuk ngejualin, kan jualan to mbak, heeh, baru njualin trus dia rewel tuh ah, tak cubit mbak, tenan, mbak. Senengnya aku nggak nangis, nggak cengeng itu, sama siapa-siapa juga nggak takut. Misalnya kalau pas lagi ini, Dik N-nya lagi rewel, biasanya tuh ngapain aja sih?
Satuan Makna yang Dipadatkan Transformasi 1 Transformasi 2 I1 mengalami Pengasuhan I1 pengalaman yang diisi dengan menyenangkan gabungan emosi dan mengesalkan positif dan emosi dalam mengasuh negatif. anaknya, N.
Kode I: Perasaan senang bercampur dengan kesal.
I1 merasa senang ketika anak mampu bernyanyi-nyanyi sendiri (karena menurutnya N terlihat bahagia) dan ketika makan tanpa dibantu orang lain. I1 merasa jengkel ketikaN rewel pada saat I1 sedang bekerja sehingga mencubit N.
I1 merasa senang ketika anaknya terlihat bahagia dan mampu melakukan aktivitas secara mandiri.
A: Terlihat senang. A: Perilaku mandiri.
I1 merasa kesal ketika kerewelan N mengganggu pekerjaan I1 sehingga menanganinya dengan memberi hukuman fisik kepada N.
A: Perilaku rewel mengganggu pekerjaan I1. I: Memberi hukuman fisik. I: Jengkel
I1 menyukai sifat N yang tidak cengeng dan tidak cangung kepada orang lain.
I1 menyukai sifat N yakni tidak mudah menangis dan memiliki kecakapan sosial yang baik. I1 menceritakan bahwa N mengekspresikan rewel dengan perilaku
A: Tidak cengeng. A: Cakap secara sosial.
I1 menceritakan bahwa ketika rewel, N mengekspresikan perilaku
A: Bergulunggulung. A: Agresi fisik diri sendiri. A: Agresi fisik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 111
6.
Gulung-gulung itu lho mbak,trus kruwes-kruwes mukae,trus njiwitnjiwit kayak gitu, he-e. Oh ya? Kesendiri?He-e. Terus njambaknjambak kayak gini lho mbak, trus sampe rambutnya brodol itu, bener mbak. Trus kalau umpamanya sama saya, dicokotin tu. Sama anak tetangga juga kayak gitu. Kalau dia gemes,kalau dia jengkel kayak gitu. Itu baru kali ini kok, mbak. Kalau kemarinkemarin itu nggak kayak gitu. Sama saya itu cuma diam, kalau dinganu diam, kalau sekarang malah mbales. Kalau dinakalin sama N itu dikruwes, dicokoti sampe merah itu. Anaknya tetanggaku nangis.
bergulung-gulung, mencakar wajah, mencubit, dan menjambak rambut diri sendiri hingga rambutnya rontok, serta menggigit ibu dan temannya. I1 menyatakan bahwa perilaku tersebut diekspresikan N ketika merasa gemas dan kesal.
bergulung-gulung, agresi terhadap diri sendiri, dan agresi terhadap orang lain ketika N merasa gemas dan kesal.
orang lain. A: Rasa gemas. A: Rasa jengkel.
I1 baru mengalamikemun culan perilaku rewel N akhirakhir ini. Sebelumnya, N bersikap baik namun saat ini menunjukkan perilaku membalas apabila mendapat perlakuan yang tidak diinginkan dari temannya dengan perilaku mencakar dan menggigit sehingga temannya mengalami perubahan kondisi kulit dan menangis.
I1 baru melihat kemunculan perilaku rewel N akhir-akhir ini. Perilaku-perilaku tersebut berbeda dengan perilaku N sebelumnya, yakni menjadi agresif secara fisik) hingga menyakiti orang lain.
A: Degradasi kualitas perilaku A: Agresi fisik orang lain, merugikan orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 112
7
Itu perempuan tapi kayak gitu e mbak. Nggak kayak kakaknya. Kakake itu dulunya diam, nggak kayak gitu. Tapi kok adike kok malah dadi kaya ngene kok,haduh. Stress aku, mbak.
I1 mengatakan bahwa N berjenis kelamin perempuan namun berperilaku agresi. Selain itu, perilaku agresi tidak ditemukan pada pengalaman I1 mengasuh anak pertamanya. Kedua hal tersebut membuat I1 bertanya-tanya dan merasa tertekan.
8.
Kira-kira kenapa Dik N kayak gitu? Aku nggak, nggak nganu e mbak, kok yo isa kaya ngono ki. Kayak Masha itu.
9.
Tapi dia hiperaktif, mbak. Kalau orang bilang apa, dia ngikutin gitu. Disuruh nyanyi, juga nyanyi, kalau salim ya salim. Nggak pemalu gitu dia aku sukane. Nggak pemalu, nggak cengeng, tapi kalau udah nakal ya nakal terus (tertawa). Sama orang baru ya mau ya? Mau.
I1 bertanya-tanya mengenai penyebab perilaku N yang digambarkan seperti Masha (adapun Masha adalah seorang tokoh serial TV animasi berusia balita yang terkenal tidak dapat diam) I1 memberi istilah hiperakif pada beberapa perilaku N yakni mengikuti permintaan orang lain, seperti menyanyi dan bersalaman tanpa malu. I1 menyikai sikap ini karena manjadikan N tidak pemalu dan tidak cengeng. Meski demikian, I1 juga menceritakan ketika N menunjukkan perilaku nakal,
I1 menyayangkan perilaku agresi yang dilakukan N karena tidak sesuai dengan harapan I1 mengenai peran gender N dan harapan I1 dalam mengasuh N setelah memiliki pengalaman pengasuhan terhadap anak pertamanya sehingga membuat I1 merasa tertekan. I1 menyayangkan perilaku N yang tidak dapat berdiam diri.
I: Ekspektasi terhadap perilaku anak sesuai peran gender I: Perbedaan perilaku kedua anaknya I: Rasa stress
I1 mengistilahkan perilaku N bersedia mengikuti permintaan orang lain sebagai hiperaktif (dan menyukai sifat N tersebut) karena perilaku tersebut menjadikan N berani bersosialisasi dengan orang lain dan orang baru. Meski demikian, I1 mengatakan bahwa N juga memiliki sifat
A: Cakap secara sosial. I: Memberi label negatif.
I: Rasa heran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 113
10.
11.
12.
Kira-kira kenapa ya, kok bisa gitu Dik N-nya? Jadi kalau ngantuk itu, terus badannya baru nggak enak itu lho, mbak. Capek-capek kayak gitu, trus tidure kagol itu lho, mbak, ya itu mesti itu. Terus laper banget juga sukanya kayak gitu. Kerep iki senengane kayak gitu tuh loh mbak.Di waktuwaktu tertentu? Hee. Mesti nggrawuti, mboh sopo sik dinganu, gemes.
Mesti dia mau pinjem bolpen, nah itu terus sama kakake nggak boleh, ha nanti terus kakake direbut, diini, dicokot, dah. Tapi nek bolpen dah dikasih ya uwis, nggak dinganu.
maka seterusnya akan nakal.
nakal yang cenderung konstan, yang sesungguhnya tidak diinginkan oleh I1.
I1 mengatakan bahwa keadaan yang biasanya menjadi penyebab kemunculanperila ku nakal pada N adalah mengantuk, sakit, lelah, tidak nyaman saat tidur, dan sangat lapar.
10+11 I1 mengatribusikan faktor-faktor ketidaknyamanan pada keadaan fisik dan dorongan emosi negatif N sebagai penyebab perilaku N mencakar siapapun.
10+11 A: Sakit A: Lelah. A: Tidur tidak nyaman A: Sangat lapar A: Agresi fisik orang lain. A: Rasa gemas
I1 mengatakan bahwa N mengekspresikan perilaku agresi pada orang lain ketika keinginannya tidak dipenuhi kemudian berhenti ketikaorang tersebut telah memenuhi keinginannya.
A: Indikasi gangguan ledakan keinginan.
I1 mengatakan bahwa keadaan fisik N yang tidak baik disertai dorongan rasa gemas menyebabkan N mengekspresikan perilaku mencakar siapapun. I1 menyertakan contoh kemunculan perilaku Nyakni ketika N ingin meminjam benda milik kakaknya namun tidak diperbolehkan. N mengekspresikan perilaku merebut benda dan menggigit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 114
13.
14.
15.
Kalau Mbak P bilangnya apa kalau dik N lagi kayak gitu? Apa ya, nakal trus kagolan. Wis nakal tenan kok mbak kae. Penekan juga loh mbak dia. Sering penekan, manjatmanjat. Manjatnya ke mana? Kursi atau?Kursi, terasteras kayak gini, terus berdiri nanti apa, nyanyi-nyanyi sendiri gitu, nggak nganu, oh pokok men hiperaktif (nada bicara lebih tinggi). (Terdengar suara tetangga menertawakan Dik N yang meninggalkan lokasi wawancara dan ibunya yang menanyakan arah kepergian anaknya)Oh dah bisa pulang sendiri? Udah, kalau main dia pulang sendiri. Semenjak tak tinggal jualan gini trus dia main sama temene, nanti kalau dia diapain gitu pulang sendiri nangis, sambil nangis, itu “Bu, lara, bu lara.” Itu artinya apa?
kakaknya. Perilaku tersebut berhenti ketika kakaknya telah memberikan benda tersebut. I1 menyebut N sangat nakal dan kaku.
I1 memberi label negatif terhadap perilaku N.
I: Memberi label sangat nakal.
I1 memberi istilah hiperaktif pada perilaku N ketika senang memanjat furnitur rumah sambil berdiri bernyanyi-nyanyi dengan nada bicara yang tidak mendukung/tidak menyukai perilaku ini.
I1 menyayangkan perilaku hiperaktif N –senang memanjat.
A: Perilaku hiperaktif
(I1 mempercayakan N untuk bermain di luar rumah ketika I1 bekerja di rumah.) I1 menyatakan bahwa N mengekspresikan menangis dan merengek saat/bila lingkungan tidak bersahabat dengan N.
I1 mengatakan bahwa N mengekspresikan menangis dan merengek oleh sebablingkungan yang tidak bersahabat dengannya.
A: Perilaku mandiri A: Diganggu teman sebaya A: Perilaku menangis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 115
16.
17.
18.
19.
Sakit. Oh tadi habis disuntik to, mbak, “Lara, bu, lara, lara, iki lara.” Biasanya kalau ngomong “Nakal” gitu, cuma buat mbak P sendiri apa ngasih tau “Kamu tu nakal.” ke Dik N apa gimana? Sambil tak cubit apa tak gebleg itu. “Mbok ora nakal to, kek kayak gitu ngko rak nduwe kanca. Nek ra nduwe kanca mesakne koe.” gitu. Dek e mung meneng wae. Cuma diam, mbak, diam kalau dikasih tau. Nanti kalau tak jiwit itu, “A, bapak, bapak” gitu, manggil-manggil bapake itu pasti. Trus bapaknya mbantuin? Nggak, bapaknya kerja. Nggak ada yang mbantuin. Tapi kalau dia gulung-gulung itu tak biarin kok, mbak. Ben, nantikan ndak tuman to, mbak. Tak biarin.
I1 menangani perilaku nakal N dengan cara mencubit dan memukul
I1 menangani perilaku nakal N dengan hukuman fisik.
I: Memberi hukuman fisik
I1 menasihati bahwa perilaku nakalnya akan mengakibatkan N kehilangan teman. N tidak merespon nasihat I1.
I1 menangani I: Memberi perilaku nakal N nasihat dengan berbicara dengan tenang dan tidak mendapat respon dari N.
Ketika I1 menangani perilaku nakal N dengan mencubit, N merespon dengan merengek meminta perlindungan ayahnya yang saat itu di luar jangkauannya. I1 tidak merespon perilaku bergulung-gulung N untuk mencegah N mengulangi perilakunya.
Hukuman fisik I1 kepada N mendapat respon dari N dengan merengek meminta pertolongan kepada ayah/figur afeknya.
I: Memberi hukuman fisik A: Perilaku menangis
I1 melakukan pembiaran atas perilaku bergulung-gulung untuk tujuan inhibisi.
I: Menghiraukan tantrum I: Ekspektasi akan inhibisi perilaku tantrum anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 116
20.
21.
22.
23.
24.
Tapi pasti nggak mau berdiri. Mesti tambah le mbangokmbengok tambah le “Bapak”, hah, pokokmen tambah kabeh disebutke, mbak, sopo sek dia tau. Tapi tak jarne wae, tak luwehke wae. Biasanya berhenti nggak kalau sudah didiamin gitu? Nanti kalau ada temene lewat itu, itu baru berhenti. Itu kalau didiamin nggak berhentiberhenti. Ho-o. Trus umpamane ada kakake lewat, “Cup, sayang.” “Huu..” malah kayak gitu. Wis, tak nengke wae. Itu kalau sama anak laki-laki sebayanya dia tu, diitu, mbak, agresif. Dipeluk, dicium-ciumin. Cowoknya kan takut to, mbak. Dipeluk sama N sampe nggeledhak, jatuh, trus katane kepalanya diduduki itu, mbak. Aduh, aku duh. Kok anakku kaya ngene ki. Nakal banget lho, mbak anakku yang ini, haduh. Masyaallah, aku nganti, ck. Nggak bisa anteng, mbak. Trus biasanya
I1 menyatakan bahwa saat N mengekspresikan perilaku merengek, tidak ingin berdiri, dan berteriak-teriak memanggil orang di sekitarnya. I1 tetap tidak memberi respon. I1 menceritakan bahwa apabila dan kakaknya mendekat, N akan berhenti menangis apabila temannya sedangkan pembiaran yang dilakukan ibunya akan membuatnya tetap menangis.
Pembiaran atas perilaku tidak ingin berdiri dan menangis N bersifat konstan.
I: Konsistensi penghirauan A: Perilaku tidak ingin berdiri A: Perilaku berteriak
Strategi yang diterapkan I1 pada N tidak mendapat dukungan atau inkongruen dengan perlakuan lingkungan sosial terhadap N,
I: Inkongruensi strategi ibu dengan perlakuan sosial pada N
I1 memberi istilah N dengan istilah agresif atas perilaku N yang memeluk dan menciumlawan jenis sebayanya hingga jatuh, kemudian menduduki kepalanya.
22 + 23 I1 melabel perilaku agresi fisik terhadap lawan jenis dengan istilah agresif dan merasa prihatin dengan sifat N tersebut.
22 + 23 I: Memberi label sangat nakal. I: Ekspresi mengeluh
I1
I: Marah
I1 mengekspresikan emosi negatif yang ditimbulkan dari perilaku N yang disebutnya sebagai sangat nakal dengan perilaku banyak bergerak. I1 merasa jengkel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 117
25.
26.
kalau lagi, lagi kayak gitu, apa yang dirasakan sama Mbak P? Ya jengkel, mbak. Mesti marah-marah terus aku, mbak. Pengaruhnya buat mbak P apa pas lagi Dik N lagi nakal gitu? Ikut darah tinggi (tertawa). Ikut emosi. Wis jane kasian to, mbak kalau anak nggulung-nggulung gitu. Tapi nek, nek ditulungi nanti ndak tuman.
27.
Nek dibiarin kan biar dia tau to,“Aku didiamin sama ibuku e, mbok aku tak nganu.” Nek dia kan nggak, nek tak diamin, yo wis dia gulunggulung, malah bobokan dia mbak. Ya wis, tak nengke wae. Nek ada temennya baru nganu dia, Baru bangun? he em, baru bangun.
28.
Terus, kalau yang dipikirkan apa pas lagi Dik N lagi gulung-gulung gitu? Aku mikirnya, kok
dengan perilaku N dan mengekspresikann ya dengan marah.
mengekspresikan rasa jengkel terhadap perilaku nakal N dengan marah.
I1 merasa kesal terhadap perilaku nakal N.
25 + 26 + 27 I1 mengalami konflik di antara rasa iba terhadap kesusahan yang dialami N dan usaha untuk memperbaiki perilaku N.
25 + 26 + 27 I: Emosi negatif terhadap tantrum anak I: Rasa kasihan I: Ekspektasi akan inhibisi perilaku tantrum anak I: Ekspektasi bahwa strategi ibu akan dipahami anak I: Ekspektasi akan perubahan perilaku anak I: Ekspektasi tidak terpenuhi
28 + 29 I1 mengatribusikan penyebab kemunculan perilaku N pada
28 + 29 I: Faktor keturunan I: Pikiran buruk ibu I: Ekspresi
I1 merasa kasihan ketika melihat N mengekspresikan bergulung-gulung namun di sisi lain I1 merasa khawatir apabila perilakunya berulang apabila memberikan perhatian pada perilaku tersebut. I1 mengatakan bahwa tujuannya untuk melakukan pembiaran adalah agar tumbuh kesadaran dari N untuk mengubah perilaku nakalnya, namun yang terjadi justru perilaku bergulunggulungnya semakin parah dan hanya dapat behenti ketika teman seusianya mendekat. I1 berusaha mencari penyebab kemunculan tantrum pada N, faktor keturunan dan pikiran saat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 118
29.
30.
31.
bisa kayak gitu, turun siapa lho, mbak. Apa dulu pas hamil, ndelok jatilan, gulung-gulung (berbicara sambil menahan tertawa). Katanya kalau orang hamil nek mbatin kan nganu nggih, kadang turunnya ning anak, nggih. Aku mbatin, kayak Masha, itu lho mbak, film Masha. Apa ndhisik ak mbatin Masha itu. Aduh tobat aku kalau kayak Masha tenan. Bapakke wis tobat lho, mbak, tenan. Isa kaya ngene to, N. Ya piye, ndhisik aku yo ra ngerti, isa kaya ngene ki. Kalau dek N lagi kayak gitu tu, menurut mbak P itu baik, buruk, apa normal di umurnya yang segini? Emh, aku nggak. Anakku yang pertama nggak, apa, soalnya nggak kayak gitu e, mbak. Laki-laki tapi pendiam. Nggak kayak yang ini, perempuan tapi kok mbandel. Mbandele tu mbandel sangatsangat bandel. Super, super. Terus, kalau lagi gulung-gulung tadi kan sama Mbak P
kehamilan, seperti menonton pertujukan Jathilan dan acara di televisi (yang menunjukkan tokoh utamanya memiliki perilaku tidak bisa diam) menjadi beberapa alasan.
faktor keturunan dan pikiranpikiran buruk selama masa kehamilan dan menyayangkan perilaku N itu dapat terbentuk.
mengeluh
I1 mencoba menilai kewajaran perilaku N dengan membandingkan perilaku dan peran gender kedua anaknya. Setelah melihat perbedaannya, I1 melabel perilaku N sangat nakal.
I1 memberikan label sangat nakal pada N disebabkan oleh ketidaksesuaian ekspektasi I1 dalam pengalaman pengasuhan dengan anak pertamanya dan juga disebabkan oleh ketidaksesuaian antara perilaku dan peran gender N.
I: Perbedaan perilaku kedua anaknya I: Ekspektasi terhadap perilaku anak sesuai peran gender I: Memberi label sangat nakal.
I1 menggendong dan mengajak N berkeliling dengan
I1 mengatasi tangisan N dengan mengalihkan
I: Mengalihkan perhatian I: Efektif
I1 khawatir, merasa tidak sanggup, dan menyayangkan apabila perilaku N menjadi seperti tokoh acara televisi tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 119
32.
didiamin, he-e to bener to, terus, kalau lagi nangisnangis, apa lagi gemes gitu sama diri sendiri apa sama mamanya itu, Mbak P itu ngapain? Tak gendhong itu, terus tak ajak main muter-muter nanti kan dia diam. Tak slamurslamurke, udah diam dia. Dia tu kalau disuruh diam tu nggak sulit, harus sampai apa.. Cuma dikasih di luar rumah langsung diam. O, tapi cepat reda ya?he-e, cepat reda. Terus, menurut Mbak P gimana, itu tu udah manjur apa belom caranya kayak gitu, yang nggendong mutermuter terus ... Langsung diam, mbak, kalau nangis kayak gitu. Dia kalau nangis tu dia mintanya ke luar, maksudnya ke luar rumah. Nggak tau, mesti, di dalam rumah ada apanya. Tapi kalau di luar rumah mesti langsung diam.
tujuan untuk mengalihkan N dari tangisannya. I1 berkata bahwa menenangkan N tidaklah sulit, hanya dengan mengajaknya ke luar rumah.
perhatian N dan A: Mudah strategi ini ditenangkan dinyatakan efektif. ketika tantrum
I1 mengatakan bahwa dalam setiap tangisan N, N meminta untuk diajak ke luar rumah karena I1 percaya bahwa di rumahnya ada entitas tertentu yang menyebabkan N menangis sehingga dengan berada di luar rumah, tangis N reda.
I1 memiliki pandangan bahwa terdapat entitas tertentu di dalam rumah yang berkontribusi dalam tangisan N, melihat dari fenomena N yang meminta untuk ke luar rumah ketika menangis dan fenomena redanya tangis N ketika sudah di luar rumah. Hal ini
A: Kehadiran entitas tertentu I: Mengalihkan perhatian I: Efektif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 120
33.
Agresif tuh yang aku nggak sukane, mbak. Kalau sama perempuan nggak kayak gitu. Tapi kalau sama laki-laki tu lho, anak laki-laki langsung dipeluk, langsung diciumin. Dia anak laki-laki tu ya gilo kan ya mbak. Dia jatuh to, itu langsung ditumpaki lho mbak kepalanya.
34.
Aku kan ya, waduh nek iki.. iya nek ibuke tau kalau anak kecil emang kayak gitu. Tapi nek ibuke yang nganu, nek ora terimo nek ngene ki, “Wah anakku dingenekke, wah anakku dingenekke” ngko aku dilabrak meneh. Emang udah pernah dilabrak? Itu garagara yang besar itu. (Sambil tertawa).
I1 mengatakan bahwa dirinya tidak suka dengan perilaku agresif N yang hanya dijumpai dalam relasinya dengan teman sebaya lawan jenis. Perilaku yang tampak adalah memeluk, mencium, dan menduduki kepala setelah temannya terjatuh. I1 menyatakan bahwa teman N merasa jijik. I1 merasa cemas apabila ketidaktahuan ibu teman N mengenai kewajaran perilaku anak pada rentang usia tertentu akan berimbas buruk pada I1.
juga yang membentuk I1 untuk melakukan strategi menangangan tangisan N dengan mengalihkan perhatian dari luar rumah. 33 + 34 I1 tidak menyukai perilaku agresif N karena tidak menginginkan penilaian negatif dan protes dari lingkungan sosial.
33 + 34 I: Ekspresi mengeluh I: Mendapat penilaian negatif dari lingkungan sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 121
Tabel Analisis Isi Informan 1 (Bagian 2) Keterangan: I1 = Informan 1 N = Inisial anak I1 dengan indikasi temper tantrum I = Ibu, yakni I1 A = Anak, yakni N No.
Kode
1
I: Perasaan senang bercampur dengan kesal.
7 30 7 30 2 2 15 4 4 9 14 3 5 5 5 6 11 15 18 20 20 20 31 6
I: Ekspektasi terhadap perilaku anak sesuai peran gender I: Perbedaan perilaku kedua anaknya A: Terlihat senang. A: Perilaku mandiri. A: Tidak cengeng A: Cakap secara sosial. A: Perilaku hiperaktif A: Perilaku rewel mengganggu pekerjaan A: Bergulunggulung. A: Agresi fisik diri sendiri. A: Agresi fisik orang lain.
SubKategori Dinamika emosi ibu dalam pengalaman pengasuhan
Kategori
Dinamika dalam pengasuhan Gambaran relasi ibu dan anak Pengalaman ibu dalam pengasuhan
Gambaran sifat anak
Perilaku anak yang menjadi indikasi tantrum
Pandangan terhadap sosok anak
Perilaku tantrum anak
A: Perilaku menangis A: Perilaku tidak ingin berdiri A: Periaku berteriak Mudah ditenangkan A: Degradasi
Tema
Kualitas tantrum Dampak tantrum
Dampak tantrum
Tantrum anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 122
kualitas perilaku 28 28 29 5 11 5 12 10 10 10 10 10
I: Faktor keturunan I: Pikiran buruk ibu
A: Rasa jengkel. A: Indikasi gangguan ledakan keinginan. A: Sakit A: Lelah A: Mengantuk A: Tidur tidak nyaman A: Sangat lapar
Faktor fisik pemicu tantrum anak
I: Memberi label sangat nakal.
Memberi label negatif
A: Kehadiran entitas tertentu
20
Faktor pemicu tantrum anak
I: Rasa heran I: Rasa stress I: Rasa kasihan
32
19
Faktor emosi pemicu tantrum anak
Faktor sosial pemicu tantrum anak Faktor yang belum diketahui sebagai pemicu tantrum Dampak tantrum terhadap emosi ibu
A: Diganggu teman sebaya
34
terhadap anak
A: Rasa gemas.
15
7 8 26 13 23 30 3 7 23 29 34 24 25
terhadap anak Faktor keturunan pemicu tantrum anak Faktor pikiran ibu pemicu tantrum anak
Dampak tantrum terhadap ibu
I: Jengkel I: Rasa stress I: Ekspresi mengeluh
Emosi negatif
I: Marah I: Emosi negatif I: Mendapat penilaian negatif dari lingkungan sosial I: Menghiraukan tantrum I: Konsistensi
Respon ibu terhadap tantrum anak
Faktor yang mempengaruhi respon terhadap tantrum Time-out Prinsip/Nilai-nilai
Strategi ibu menangani tantrum
Pengalaman ibu dalam pengasuhan anak tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 123
31 3 18 16 19 27 27 27
21
31 32
penghirauan I: Mengalihkan perhatian
pengasuhan Mengalihkan perhatian
I: Mencubit
Hukuman fisik
I: Inhibisi perilaku tantrum anak I: Strategi ibu dipahami anak I: Perubahan perilaku anak I: Ekspektasi tidak terpenuhi I: Inkongruensi strategi ibu dengan perlakuan sosial pada N I: Efektivitas strategi pengalihan
Motivasi dan ekspektasi ibu menangani tantrum
Kendala strategi penanganan tantrum Efektivitas strategi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 124
Tabel Analisis Isi Informan 2 (Bagian 1) Keterangan: P1 = Informan 2 D = Inisial anak I2 dengan indikasi temper tantrum I = Ibu, yakni I2 A= Anak, yakni D
No
Satuan Makna
1.
Bisa cerita nggak, mbak, pengalamannya mbak D mengasuh .. Nama adiknya siapa? D, Dik D. Ya. D itu dari umur berapa? Nol? Ya, dari kelahirannya. Nyenengin ya, mbak, ya. Kalau masih bayi kan nyenengin. Masih belum ngerti apa-apa juga. Terus, beranjak dia bisa tengkurap, terus bisa mberangkang, bisa rambatan, jalan. Itu yang paling nyenengin kan kita tahu perkembanganperkembangan anak tuh lho. Jadi senang kalau anaknya bisa tumbuh biasa, ya normal lah. Terus apa lagi ya? Alhamdulillah sih aku bisa nyusuin 3 tahun. Gara-garanya aku berhenti nyusuin .. Sebenarnya aku
2.
3.
Satuan Makna yang Dipadatkan Transformasi 1 Transformasi 2 I2 1+2 mengungkapkan Pandangan I2 rasa senangnya terhadap bayi D dalam mengasuh sebagai sosok D di usia bayi yang lugu dan karena pada usia menunjukkan itu, menurut I2 D perkembangan belum mengerti fisik yang normal apa-apa. membuat I2 memiliki kesan positif terhadap pengalaman pengasuhannya.
I2 merasa paling senang saat melihat D menunjukkan perkembangan yang normal, yakni mampu tengkurap, merangkak, berjalan dengan tumpuan benda sekitar, dan berjalan mandiri. I2 merasa bersyukur atas kemampuannya untuk menyusui D selama 3 tahun dan masih ingin meneruskannya
I2 merasa dirinya mampu secara fisik dan memandang D masih membutuhkan dirinya,
Kode I: Memandang bayi sebagai sosok lugu A: Menunjukkan perkembangan yang normal
I: Kelekatan dengan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 125
belum berhenti nyusuin, karena aku hamil jadi udah nggak kuat. Sebenernya pengen masih terus sih, soalnya aku nggak tega yah. Soalnya dia masih Masih pengen ya? He’eh. Terus alhamdullilah juga air susuku masih banyak, kadang aja sering keluar sendiri. 4.
5.
Terus apa? Apapun, boleh cerita. Mm, dia sukanya kalau tidur itu ini, mainan, mainan puting, putingnya buat mainan. Jadi, dia baru bisa tidur, kalau nggak .. Makanya aku nggak pernah ninggalin dia, mbak, baru kemarin aku ninggalin dia ke Malang karena aku ada urusan kerja kan. Dia nyariin, rewel, aku pusing, aku. Aku mulai kerja juga stress, ninggalin anak, soalnya aku nggak pernah ninggalin, sejam-dua jam itu udah pusing. Udah nggak kuat. Karena dia kan manggilin bapaknya terus.
kerena merasa tidak tega melihat D masih ingin menyusu dan I2 masih memproduksi ASI dengan jumlah melimpah. I2 mengatakan bahwa ia harus berhenti menyusui karena keadaan fisik setelah kehamilan anak kedua tidak mendukung. I2 menyatakan bahwa ia tidak pernah meninggalkan D karena D hanya dapat tidur setelah memankan putting susu I2.
menyababkan I2 memiliki kelekatan dengan D.
I2 merasa D membutuhkan dirinya, membuat I2 tidak tega meninggalkan D.
A: Kelekatan dengan ibu
I2 bercerita bahwa ia tidak terbiasa meninggalkan D karena D akan tersu memanggil ayahnya dan membuat I2 tidak bisa meninggalkan d lebih dari 2 jam. Akibatnya, ketika I2 menginggalkan D ke luar kota, D rewel mencari I2. Hal ini membuat I2 merasa pusing, stress, dan tidak kuat meneruskan
D mengalami perpisahan dengan figur lekat, D merespon dengan rewel. Kondisi dan respon D, memunculkan sensasi fisik yang tidak menyenangkan bagi I2.
I: Kelekatan dengan anak A: Kelekatan dengan ibu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 126
6.
Umur dua tahun dua bulan, dia aku masukin playgroup. Awalnya aku ngelatih karena aku mau masuk kerja, biar dia kebiasaan. Ternyata, aku yang harus nungguin, ikut sekolah juga selama 7 bulan baru dia bisa mau ditinggal.
7.
Terus.. Makan, nah makannya itu susah, dari umur berapa ya, susahnya .. Mau jalan itu, udah jalan itu susah. Jadi kan istilahnya kata orang udah jalan itu pasti kurus ya, katanya. Mulai susah, tapi susunya kencang. Nah dia baru mau, mau makan, lahapnya makan tu umur 2 tahun ke atas itu, mulai ada nafsu makan. Terus berat badannya juga susah, susah naiknya, dikasih vitamin. Padahal dia aktif banget. Dia diamnya kalau mau tidur aja. Suka lari, itu aktivitasnya, maunya main aja. Tapi itu sih, dia orangnya habis makan, pagi makan, tidur, ntar siang bangun, makan, tidur lagi. Sehari tidur bisa 5
8.
pekerjaannya. I2 menceritakan bahwa saat D berusia 2 tahun 2 bulan, I2 memasukkan D ke sebuah playgroup agar D terbiasa berpisah dengan I2 ketika bekerja. Namun yang terjadi, I2 menunggu D hingga 7 bulan. I2 menceritakan D mengalami kendala makan ketika sudah mampu berjalan hingga menginjak usia 2 tahun yang mengakibatkan berat badan D sulit bertambah sehingga I2 mengatasinya dengan memberi D asupan vitamin.
I2 menceritakan bahwa D memiliki perkembangan motorik normal, yakni aktivitas fisik yang aktif dan pola tidur yang seimbang.
I2 merancang pelatihan aktivitas mandiri untuk D namun membutuhkan waktu lama untuk berhasil.
I: Kelekatan dengan anak
7 + 8 + 9 + 10 I2 memberi perhatian pada setiap kebutuhan fisik dan aktivitas fisik D, selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan D.
I: Memenuhi kebutuhan makanan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 127
9.
10.
11.
kali. Apa lagi ya? Itu, susah makan buah. (Mulai terdengar suara D menangis). Senang buahnya itu pisang, pisang sama durian. Terus habis itu sekarang senang banget sama mangga. Sekarang maunya mangga tok. Sayur juga susah, sampai aku beliin apa itu, vegeblend ya, vegeblend sayur. Tapi udah 3 tahun, eh 2 tahun lebih ini dia udah mau doyan sayur, karena susah, dia belum bisa ini, mbak, ngunyah. Ngunyahnya lama. Daging aja kalo nggak diituin dulu .. Cacah? He’em, terus kalau sayuran nggak dipotongpotong kecil kayak buat tim gitu, dia nggak bisa. Langsung mau mual. Jadi kalau makan, dia kering, kalau nggak, nggak bisa. Harus yang lembeklembek lauknya, (Terdengar suara D menangis lagi), kalau nggak, dia nggak mau. Sama makan itu bubur Sun itu. (Tampak D mendekati I2. “Papa D (nama ayahnya)”,
I2 menceritakan bahwa D suka memilih-milih makanan, dalam hal ini konsumsi buah-an sehingga I2 mengatasinya dengan memberi asupan suplemen.
I2 menceritakan bahwa D mengalami kesulitan dalam mengunyah sehingga I2 mengatasinya dengan cara menghaluskannya sebelum dikonsumsi D.
Ketika D menangis mencari ayahnya
D mengekspresikan tangis dan
I: Memberi informasi bohong
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 128
tangis D. “Papa baru kerja sebentar”, jawab I2. “Aaaaa”, rengek D. “Oh papa di atas kok, papa di atas”, kata I2. (Pada waktu ini, ayah D sedang berada di lur rumah). “Papa D (nama ayahnya)”, D masih menangis. D kemudian dibujuk oleh neneknya menjauh dari I2.)
12.
Terus dia ngerti kondisi aku. Kalau seumpamanya minta apa gitu, “Ma, mama sudah punya uang belum?”. Kalau “Mama nggak punya uang.” ya udah dia nggak minta, jadi dia tahu.. Kalau dibilangin sama mbak D? He’eh. Kadang ngelihat, ngelihat isi dompet itu, “Oh nggak ada uangnya, Ma?” “Nggak ada, uangnya mama tuh nggak ada.” Emang aku nggak pernah pegang cash kan, mbak. “Mama nggak punya uang.” Jadi kalau mau tak ajak ke Amplaz, apa main gitu, “Mama memangnya sudah punya uang?”, “Mama jadi nggak?”, “Nggak ah, mama nggak punya uang.” Ngerti, dia sudah
yang sedang pergi bekerja, I2 mencoba memberi tahu D namun D tetap merengek sehingga I2 mengatakan bahwa ayahnya berada di lantai dua. D tetap menangis sehingga neneknya datang dan mengajak D menjauh dari I2. I2 menyatakan bahwa D memahami kondisi I2. I2 menceritakan bahwa ketika D menginginkan sesuatu, D terlebih dahulu menanyakan keadaan keuangan I2 atau memeriksa sendiri dompet I2 dan memahami I2 ketika mengatakan tidak memiliki uang.
rengekan kehilangan figur lekatnya, I2 menenangkan dengan memberikan informasi yang tidak benar, Ibu I2 menunjukkan peran dalam menanggulangi tantrum D.
I: Orang lain dalam pengasuhan
D bertanya keadaan I2, I2 merasa dipahami oleh D.
I: Dipahami anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 129
13.
14.
ngerti. Bisa ngerti. Tapi, ini, kemarin. Aku hamil, dia sempat marah. Dia marah, mukul, “Ini tuh mamaku.” gitu, “Ini mamaku”. Mungkin dia belum ngerti ya, tapi lamalama juga tahu sih.
Kalau aku minta mbak D cerita pengalaman yang menyenangkan .. Ya itu, kita tahu perkembangan anak dari ya belum bisa ngapa-ngapa, cuma minum asi aja, sampai bisa bikin tim, sibuk pagi-pagi (Terdengar D menangis lagi). Terus apa ya, ngerti perkembangan bisa jalan, merangkak, rambatan.. Punya anak nyenengin pokoknya. Jadi ada teman, jadi kekuatan keluarga. Anak kan harta, mbak. Jadi, aku ulang ya? Tadi senangnya karena tahu perkembangan, jadi punya pengalaman, kesibukan dalam pengasuhan, sampai yang terakhir itu menjadi harta. D jadi
I2 menceritakan bahwa dalam kehamilan anak keduanya, D memukul I2 sambil mengatakan bahwa I2 adalah ibunya. Menurut I2, hal ini terjadi karena D belum memahami dan suatu saat kan memahaminya. I2 merasa senang dapat melihat perkembangan kemampuan anaknya dan memiliki kesibukan menyiapkan makanan. Selain itu, I2 memandang anak sebagai sosok yang berharga, yang menemani, dan menjadi kekuatan keluarga.
I2 mengandung adik D, D mengekspresikan marah dengan memukul I2, D mengekspresikan rasa cemburu secara verbal, I2 memandang D belum memahami, I2 memandang perilaku D wajar sehingga memakluminya. D menunjukkan perkembangan kemampuan, I2 melakukan aktivitas-aktivitas khas pengasuhan, I2 memiliki pandangan positif terhadap D mengembangkan kesan positif I2 dalam pengalaman pengasuhannya.
A: Indikasi sibling rivalry A: Perilaku memukul
I: Perkembangan kemampuan anak I: Aktivitas pengasuhan anak I: Pandangan terhadap anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 130
15.
16.
kekuatan keluarga. Kalau yang tadi menyenangkan, kalau yang tidak menyenangkan tuh apa mbak? Nggak menyenangkannya, kadang ngeyel. Udah bisa ngeyel.
Kadang tuh aku marahnya tuh, dia suka ini.. nggigitin mainannya, suka dimakan. Jadi kalau aku beli mainan yang dari karet itu, aku harus hati-hati banget, karena suka dimakan. Itu aja, kempong aja sampai lubang gede banget. Aku sampai eh.. sampai bingungbingungnya. Ditelan itu, mbak? Kadang ya itu, kalau nggak ketahuan mungkin ditelan ya. Kadang kalau ketahuan ya saya suruh ngelepehin. Ya itu, takut. Marah tuh takut, bukan jengkel ya, kan takut umpamanya ngganggu kesehatan, ngganggu pencernaannya, ngganggu perutnya. Masih takut, berbahaya apa nggak. Mungkin kita nggak tahu
I2 tidak menyukai sifat D yang sudah dapat membantah (mengeyel).
I2 marah dengan perilaku D yang suka menggigit benda-benda karena I2 cemas apabila benda asing akan berakibat pada kesehatan D sehingga marah dan takut kemudian memintanya untuk memuntahkan potongan bendabenda yang terlanjur masuk mulut D.
D menunjukkan kemunculan perilaku membantah yang tidak diinginkan oleh I2 namun dipandang sebagai perilaku yang muncul dalam suatu fase perkembangan tertentu. D menggigit objek yang terbuat dari bahan yang mudah tertelan, I2 sangat cemas dengan status kesehatan fisik D yang diakibatkan oleh kandungan bahan yang mungkin tertelan D, I2 merespon dengan marah dan memina D untuk memuntahkan objek yang sudah terlanjur berada di mulut D.
A: Perilaku membantah I: Anak memiliki fase membantah
I: Cemas dengan kesehatan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 131
17.
18.
19.
akibatnya entar gimana kan. Terus, sama apa ya.. Kalau nakal sih anak nakalnya masih dalam istilah wajar kan. Nggak nakal sampai mencuri apa apa kan ya, masih wajar aja sih. Kalau ngeyelnya tuh kayak apa, mbak? Bisa diceritain? Jadi tuh kalau disuruh, jangan digigitin, nah itu. Kadang suka jengkel kan, “Dikasih tahu tuh nggak ngeyel, entar kalau kamu sakit gimana?” (mencontohkan dengan pitch lebih tinggi dari berbicara biasa). Gitu tuh. Susah dikasih tahunya, mbak. Terus, apa ya. Kadang kalau dia digangguin orang, itu suka mukul, dibales. Ya kalau, kalau anak kecil sih ya, kalau berantem sih biasa lah. Cuma orang tuanya tuh yang agak gimana.
I2 memandang bahwa kenakalan D masih dalam kategori wajar.
I2 menceritakan bahwa sifat membantah D adalah sulit dinasihati untuk tidak menggigit mainannya. I2 merasa kesal dengan sifat D ini adahal I2 cemas dengan kesehatan D.
I2 menceritakan bahwa kadang kala, D membalas ketika dipukul oleh temannya. Menurut I2, berkelahi adalah hal yang biasa dilakukan anak kecil namun orang tua temannya yang cenderung menanggapi dengan tidak baik.
I2 tidak pernah melihat D mencuri, maka I2 memandang kenakalan D dalam tahap wajar, I2 memaklumi perilaku D. I2 memiliki kekhawatiran akan kesehatan D, I2 memberi perintah untuk menjauhi objek berbahaya bagi kesehatan D, D tidak patuh dengan I2, membuat I2 merasa kesal.
I: Memaklumi perilaku negatif anak
I2 memandang bahwa D memiliki kecenderungan untuk membalas perilaku buruk yang dilakukan orang lain kepadanya. I2 memandang ini sebagai perilaku yang biasa dilakukan anakanak namun berdampak pada hubungan sosial antara I2 dengan orang tua temannya.
I: Memaklumi perilaku negatif anak
A: Perilaku membantah I: Cemas dengan kesehatan anak I: Rasa kesal
A: Dendam I: Mendapat penilaian negatif dari lingkungan sosial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 132
20.
21.
22.
Itu kalau mandi. Iya, keset banget itu, mbak. (mengungkapkan dengan nada tidak mendukung) Kalau bangun pagi, susah banget itu bangunnya. Susah mandi, susah bangun. Terus, kalau ini perilakunya apa, mbak? Kalau susah mandi tadi kan Mbak D bilang .. Marah. Marah, nangis, kalau dicopot bajunya itu nangis, marah. Marahnya kayak apa? Kalau dicopot bajunya itu nggak mau. Sampai bajunya kelepas, itu nangisnya baru diam. Ada lagi nggak, mbak, ekspresinya dia kalau lagi .. Marah juga kadang, marahnya kalau diangkat gitu ya kakinya gini-gini (memperagakan gerakan meronta) “Ma, nggak mau, turun”, kayak gitu. Kakinya apa? Meronta? He’e. Sama, mandi juga kayak gitu kadang. Kalau merontanya kira-kira menyakiti yang lain apa nggak? Em, aku pernah sih dipukul sama dia.
I2 mengatakan bahwa D malas mandi dan malas bangun dengan nada bicara yang tidak mendukung.
Perilaku D sulit dibangunkan dan mandi dipandang I2 sebagai perilaku malas D. I2 tidak menyukainya.
I: Kesan negatif terhadap sifat negatif anak
I2 menceritakan bahwa D mengekspresikan penolakan, marah dengan perilaku menangis saat I2 melepas pakaian D sebelum mandi. Selain itu, D juga mengekspresikan gerakan kaki meronta ketika tubuhnya diangkat oleh I2.
D mengekspresikan marah dengan perilaku menangis dan menghentakkan kaki sebagai penolakan atas I2 yang melepas pakaian D untuk mandi.
A: Emosi marah A: Menolak hal yang tidak diinginkan/ disukai
I2 menceritakan bahwa D mengekspresikan perilaku memukul atas ketidaksukaannya
I2 menceritakan bahwa D mengekspresikan penolakan dengan perilaku memukul dalam
A: Menolak hal yang tidak diinginkan/ disukai
A: Malas
A: Perilaku menangis A: Perilaku menghentakkan kaki
A: Perilaku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 133
23.
24.
25.
26.
Karena aku ajak mandi, dia nggak mau, aku dipukul. Em, tapi nggak.. Tapi sering atau nggak? Nggak sih, nggak sering. Hanya pernah aja. Tapi anakku emang sukanya nggigitin, mbak, apalagi sama papanya. Kalau gemes tu, dia tuh sukanya nggigit. Kalau dia nggak gigit, dia marah.
. I2 menyatakan bahwa perilaku ini tidak sering diekspresikan oleh D, melainkan hanya pernah.
frekuensi yang minim.
memukul
I2 menceritakan bahwa D mengekspresikan rasa gemas dengan perilaku menggigit, terutama kepada ayahnya. Bila tidak menggigit, D marah.
A: Rasa gemas
Tapi, sama papanya, mungkin karena papanya ini kan.. kerja di luar terus, jadi dia gemesnya pakai nggigit itu. Ya papanya ya pasrah. Digigitin apanya? Digigitin tangannya, pundaknya. Sama kadang kalau kita ke luar kota gitu, nggak mau ditelepon. Ditelepon nggak mau. Ya kayak istilahnya marah, nggak mau, sampai nanti hp-nya ditendang, apa digigit hp-nya.
I2 mengasumsikan bahwa D merasa gemas karena ayahnya bekerja di luar kota.
D mengekspresikan rasa gemas dengan perilaku menggigit, terutama kepada ayahnya. Kegagalan ekspresi menggigit membuat D marah. D mengalami perpisahan dengan figur lekat, kondisi ini membuat D gemas, D merespon dengan ekspresi tantrum menggigit anggota tubuh ayahnya. D mengalami perpisahan dengan figur lekat, merespon dengan protes dan marah dengan ekspresi menendang dan menggigit ponsel.
Apabila D mengalami pertemuan
A: Reunion meredakan tantrum
Ya kalau.. Tapi entar kalo udah dateng, ya udah
I2 menyatakan bahwa perilaku marah D yang diekspresikan dengan menolak penggilan telepon dengan menendang dan menggigit ponsel disebabkan oleh protesnya terhadap kepergian orang tuanya ke luar kota. Sikap D terhadap orang tuanya akan kembali
A: Perilaku menggigit
A: Rasa gemas A: Perilaku menggigit
A: Perpisahan dengan figur lekat A: menendang ponsel A: Menggigit ponsel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 134
biasa.
27.
28.
29.
normal ketika orang tuanya kembali.
I2 menceritakan bahwa D mengekspresikan perilaku bergulung-gulung ketika I2 menyebutnya sulit dibangunkan. Apalagi kalau I2 menceritakan lampunya dimatiin, bahwa D eh kalau lampunya memiliki ‘ritual’ dihidupin. Ha, itu sebelum tidur, marah banget tuh yakni tidur kalau lampunya dengan posisi dihidupin karena dia lampu mati, tidurnya gelap, terdengar suara kalau nggak gelap, penghantar tidur nggak bisa tidur. seperti dari Terus harus ada televisi, musik, suara juga, kayak atau nyanyian I2, TV, atau musik. Dan dan memainkan tidurnya harus payudara I2. Haldinyanyiin juga, hal di atas disebut mbak. Sama, itu, sebagai ritual mainan, pelukan karena hal gitu, mainan nenen tersebut menjadi gitu, kalau nggak, syarat untuk D ditidurin, di pipi. tidur. Bila ritual Dibuka, mbak, tersebut tidak nggak cuma gitu, dipenuhi oleh I2, (tertawa kecil) maka D tidak dibuka terus dapat tidur dan ditempelin di pipi, akan dimasukin di mengakibatkan D hidung, kayak gitu. menjadi sangat Kalau nggak, marah. marah. Nggak bisa tidur dia. Makanya pas Saat I2 pergi ke kemarin sempat 2 luar kota, D tidak hari ke Malang itu, dapat pusing aku, karena menjalankan gini-gininya dia ritual tersebut. nggak dapet, karena Hal ini malamnya nyariin. menyebakan D Kalau yang susah bangun, mbak, ekspresinya apa? Gulung-gulung. Gulung-gulung di kasur.
kembali dengan figur lekatnya, D menunjukkan perilaku normal. D menunjukkan perilaku bergulung-gulung untuk megekspresikan penolakan terhadap perintah.
A: Menolak perintah A: Bergulunggulung
D memiliki ritual A: Keinginan sebelum tidur, tidak dipenuhi marah apabila ritual tidak A: Marah dipenuhi.
I2 mengalami perpisahan dengan D, I2 kehilangan momen kelekatan, I2 merasakan
I: Muncul gejala fisik tidak menyenangkan ketika mengalami perpisahan dengan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 135
30.
31.
32.
33.
Kira-kira menurut Mbak D, tadi ada perilaku kan itu ada marah, nangis, meronta, gigit, terus ada juga gulung-gulung di kasur, kira-kira itu penyebabnya apa ya? Aku juga nggak paham sih, dia belajar dari mana. Aku juga nggak ngerti kenapa dia bisa kayak gitu. Kalau nggigit mungkin dari aku ya, mbak. Karena aku kalau lagi sebal gitu, itu minta, minta gigit. Aku biasanya nggigit, tapi nggak sampai sakit gitu, pokoknya ngigit aja. Entar aku langsung lega. Kayak gitu biasanya. Nggigitin suamiku (tertawa). Paling dia ngikutin aku. Tapi kalau menggulung-gulung, aku juga nggak ngerti. Ya mungkin tingkah lakunya anak kecil emang kayak gitu kali. Kalau penyebab, tadi kan penyebab ekspresinya, kalau penyebab Dik D susah mandi, susah bangun, ngeyel itu kira-kira kenapa?
mencari I2 sehingga menyebabkan I2 merasa pusing. Awalnya, I2 menyatakan tidak paham dengan penyebab/pemicu kemunculan perilaku mengganggu yang diekspresikan oleh D.
sensasi fisik tidak menyenangkan.
I2 kemudian menyatakan bahwa ekspresi menggigit kemungkinan muncul karena menitu perilaku I2. I2 mengaku suka menggigit suaminya untuk memperoleh rasa lega atas kekesalannya.
Meniru perilaku orang tua menyebabkan perilaku mengganggu D.
A: Meniru perilaku orang tua
I2 memandang ekspresi bergulung-gulung merupakan perilaku yang wajar untuk anak seusia D. I2 menyebutkan bahwa perilaku sulit mandi, sulit dibangunkan, dan membantah merupakan hasil proses meniru
I2 memandang ekspresi bergulung-gulung merupakan perilaku yang wajar untuk anak seusia D. Meniru perilaku orang tua menyebabkan perilaku mengganggu D.
I: Bergulunggulung hal yang wajar
I2 belum yakin dengan pemicu kemunculan perilaku mengganggu yang diekspresikan oleh D.
A: Meniru perilaku orang tua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 136
34.
35.
Ngikutin papanya. Ngikutin bapaknya tuh, bapaknya kalau bangun, siang. Susah juga dibangunin. Itu papanya kalau ngak kerja, nggak bangun. Sama sih kayak aku. Jadi, itu meniru orang tua, begitu, mbak? Ya, mungkin. Atau, hal-hal apa yang memicu Dik D seperti itu? TV. Bisa jadi kan ya. Karena dia tuh ngoleksi DVDnya banyak, mbak. Judul-judulnya apa, kebanyakan, tema-temanya? Kebanyakan kartun, terus kadang aku.. apa namanya, film anak-anak, ada bayi, apa itu.. Kartun tapi? Nggak, orang juga. Orang, tapi dia.. Siapa sih pemerannya.. Fast to Furious yang dia mengasuh bayi kecil itu. Badannya besar, The Pacifier ya judulnya? Ya mungkin itu, mengasuh bayi-bayi itu.
perilaku ayah D. I2 juga mengaku bahwa perilaku ini ada pada dirinya.
I2 menyebutkan bahwa film menjadi pemicu perilaku mengganggu yang diekspresikan oleh D. I2 menceritakan bahwa jenis film yang ditonton oleh D adalah film kartun atau film bertema anak-anak.
D yang senang menonton film dipandang I2 memicu kemunculan perilaku tantrum.
A: Menonton film
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 137
36.
37.
38.
Seneng banget itu kalau tingkahnya bayi-bayi. Jadi dia tu sama liatin Youtube bayi-bayi ketawa, bayi-bayi ketawa lucu itu kan, “Dik, dik bayinya lucu banget.” Sering tak liatin kayak gitu sih, mbak. Mungkin itu juga bisa. Meniru kah, atau apa? Kadang sih pernah nih, ada anak-anak, apa, ada film juga. Tingkahnya bayi kan, anakku dah balita kan, “Papa, papa” “Nggak, nggak” (meniru rengekan bayi). Aku suka sebel banget, “Kok kamu kayak gitu? Kamu kan udah gede.” “Mama, mami”, kayak gitu terus. Kadang ketawaketawa piye, ya njengkelin, “Ngapain sih kamu ngikut-ngikutin, kayak bayi aja, dik.”, kayak gitu. “Papa, susu, susu.” Ya. Kayak gitu lah, mbak. Ya mungkin ngikutin yang kayak gitu ya. Terus kadang kalau nonton film juga dia entar selanjutnya ngomong apa gitu, dia tahu. Kayak apa sih, film The Croods itu, “Is Dead” “Is Dead” itu juga ini,
I2 bercerita bahwa D senang melihat perilaku tertaea dan merengek bayi yang ia lihat dalam film dan video yang I2 perlihatkan pada D. Menurut I2, D meniru perilaku bayi yang ia lihat dalam perilaku yang ditunjukkan pada I2.
Konten video tersebut memberikan dampak pada D yakni D suka meniru rengekan bayi
A: Perilaku meniru video, regresi
I2 merasa kesal dengan perilaku D yang tidak sesuai dengan usianya ketika D meniru perilaku bayi pada video yang D tonton.
I2 merespon negatif perilaku D yang menunjukkan regresi.
I: Respon negatif terhadap regresi anak
I2 bercerita bahwa D hafal dan suka menirukan dialog dan gerakan dari film yang telah ia tonton.
Kemampuan meniru berkembang sesuai usianya
A: Perilaku meniru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 138
39.
40.
41.
ngikut-ngikutin. Tanggannya dikeplak-keplakin, kayak film purba itu, film zaman purba, tapi kartun itu. Jadi dia tuh bisa hafal, terus gerakannya juga hafal. Jadi ya, niru kayaknya, niru.. ya Malah itu tu lucu, mbak, kayak, itu tuh nggak nakal, mbak, malah lucu, unik. Terus, kalau ada di buku, aku membacanya tuh ‘tantrum’, apakah Dik D mengalami itu juga? Ya, D sih kalau kita mau ngomong, dia mau, welcomewelcome aja. Mungkin kalau dia lagi emosi banget, jengkel, dia emang susah orangnya. Susah mau diapaapain.
I2 memandang perilaku meniru sebagai hal yang lucu.
I2 memandang positif perilaku meniru D.
I: Respon positif terhadap perilaku meniru anak
I2 menolak istilah tantrum dengan menceritakan bahwa apabila I2 menerapkan strategi berbicara pelan-pelan, maka D akan menerimanya. Saat D merasakan sangat jengkel, D akan sulit untuk ditangani. Hal ini dimaklumi oleh I2.
I2 menolak istilah tantrum karena menurutnya, perilaku mengganggu D masih dapat diatasi dengan strategi diskusi.
I: Bukan tantrum
I2 hanya menganggap bahwa perilaku mengganggu D disebabkan oleh temperamennya yang tergolong sulit
I: Memaklumi temperamen anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 139
42.
43.
44.
45.
Kalau menangis, apakah mengganggu atau bagaimana? Kalau mengganggu, nggak ya, mbak, anak-anak bisanya juga cuma nangis. Kalau sakit juga taunya juga nangis, ngapa-ngapain, pusing atau sakit perut kan, kalau laper juga bisanya cuma nangis kan. Jadi, nggak tantrum juga ya? Kalau gitu, aku belum pakai istilah itu, tapi melihat ekspresi-ekspresi yang ada. Kirakira pengaruhnya apa? Ketika Dik D mengekspresikan lagi ngeyel, terus susah mandi, susah bangun, pengaruhnya buat Mbak D apa, sebagai yang mengasuh? Aku kan ini, jam 7 harus berangkat, kalau dia susah bangun, aku pasti telat kan. Ya, itu kadang aku juga kan, bingung, mbak. Apalagi kalau suamiku lagi nggak ada di rumah, di Jogja. Aku harus, jadi aku harus menguasai anakku sendiri. Jadi kan ya itu jadi.. Aku boleh bilang kalau itu mengganggu
I2 menyatakan bahwa perilaku D tidak menganggu dengan alasan bahwa perilaku menangis adalah ekspresi wajar untuk anak-anak sehingga tidak dapat digolongkan menjadi temper tantrum.
I2 menyatakan bahwa perilaku D tidak menganggu dengan alasan bahwa perilaku menangis adalah ekspresi wajar untuk anak-anak sehingga tidak dapat digolongkan menjadi temper tantrum.
I: Kewajaran tantrum
I2 bercerita bahwa perilaku yang sulit untuk dibangunkan memberi dampak yakni I2 terlambat tiba di tempat kerja.
Perilaku mengganggu D memberi dampak pada pekerjaan I2.
I: Terlambat kerja
I2 mengaku bingung apabila harus mengurus D sendiri tanpa suaminya.
I2 membutuhkan dukungan suaminya untuk mengatasi tantrum D.
I: Butuh dukungan sosial
I2 tidak menganggap keterlambatan I2
Tanpa memperoleh hukuman, I2
I: Mengecilkan dampak tantrum pada dirinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 140
46.
47.
pekerjaan? Em, kalau mengganggu kan.. mengganggu pekerjaan? Iya, apakah mengganggu pekerjaan? Kalau mengganggu pekerjaan sih, kalau telat juga nggak ada hukuman juga sih, karena tempatku.. seharusnya jam setengah delapan. Jadi setengah delapan lebih sepuluh apa istilahnya, batasnya. Jadi, aku ya masih itu, sih, masih bisa. Cuma kadang kalau dia emang susah banget ya, aku harus tinggal. Kadang ya aku pasrahin adikku, kayak gitu. Jadi aku ya kadang, kalau pas lagi itu sih nyusahin. Kadang sih.
Kalau mengenai Dik D itu marah, nangis gitu, itu mengganggu mbak nggak sih? Kalau ngganggu sih nggak ya. Cuma kadang-kadang, kalau sama aku, aku lagi apa.. kayak gugup apa ya. Jadi kayak kemrungsung. Jadi kayak mau ngatasi dia tuh malah kemrungsung aku, aku harus gimana, aku harus piye, kayak gitu kan.
tiba di tempat kerja sebagai hal yang mengganggu pekerjaannya karena tidak memperoleh hukuman atas keterlambatannya
memandang perilaku mengganggu D tidak mengganggu pekerjaan I2.
Bila tantrum D muncul pada waktu I2 harus segera bekerja dan dalam intensitas yang tinggi, I2 membutuhkan bantuan adiknya untuk menangani D. I2 perilaku D tidak mengganggunya, hanya merasa terburu-buru dan panik saat menangani perilaku D.
Tanggung jawab pada pekerjaan membuat I2 membutuhkan bantuan adiknya untuk menangani D.
I: Butuh dukungan sosial
I2 tampak menghiraukan atribusi mengganggu pada perilaku D.
I: Mengecilkan dampak tantrum pada dirinya
Tantrum D muncul, I2 menjadi panik, terdapat kienginan untuk mengatasi namun terhambat oleh rasa panik.
I: Mengecilkan dampak tantrum pada dirinya
I: Panik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 141
48.
49.
50.
51.
Terus, aku mau kembali lagi ketika Dik D lagi.. apa ya, aku mengistilahkannya apa ya.. ketika itulah, susah, lagi memunculkan pengalamanpengalaman yang tidak menyenangkan buat mbak D.. Kalau lagi itu, nggak menyenangkan banget. Nggak mau makan, susah gitu. Maunya cuma itu. Susah tidur juga, nggak bisa tidur. Pengaruh mamanya ke situ? Nggak bisa tidur, aku. Papanya mah tidur, tidur aja. Iya, soalnya mamanya yang paling dekat sama anaknya. Tapi kalau menurut mbak D, dik D itu nakal apa nggak? Nakal tapi nggak nakal. Nakal wajar. Sewajarnya anak.
Ketika D mengekspresikan perilaku tersebut, I2 merasakan pengalaman yang sangat tidak menyenangkan. Perilakunya terdiri dari sulit makan dan sulit tidur.
Emosi negatif yang dirasakan oleh I2 hanya ketika tantrum dipandang I2 mengganggu diri D sendiri.
I: Emosi negatif
Perilaku D membuat I2 tidak dapat tidur.
Dampak perilaku D pada I2 adalah mengganggu kesempatan tidur.
A: Sulit tidur
I2 memandang perilaku D sebagai perilaku nakal yang berada pada tingkat yang wajar.
I2 memaklumi perilaku Ddan ekspresi-ekspresi yang menyertainya.
I: Memandang wajar perilaku nakal
Perilakunya mengganggu nggak mbak? Dia kalau diusilin itu, yang aku takutin. Sama mbak D, sama keluarga, atau sama yang.. Sama anak-anak lain lah istilahnya. Jadi aku takut kalau di
I2 memandang D suka membalas perilaku usil temannya. I2 mengkhawatirkan bahwa D akan menyimpan dendam dan kemudian hari akan membalas perilaku teman
I2 khawatir apabila D mengekspresikan perilaku mengganggu di luar kendalinya.
I: Tidak mampu mengendalikan tantrum anak
A: Sulit makan A: Sulit tidur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 142
52.
sekolah dia diusilin, takut kalau mbales itu. Kan dia orangnya suka mbales itu. Walaupun dinakalin sekarang, kalau dia mbalesnya nanti, masih inget. Kadang, aku takutnya kayak gitu. Sama ponakanku itu, pasti digituin, pasti diusilin, diambilin mainannya, kan dia nggak terima. Langung, langsung dipukulin. Kalau sama mbak D pernah nggak digituin? Pernah. Aku ambil hp. Dia lagi pake, terus “Pinjem, dik, mama mau telepon.”, uh, marah dia, “Mama nakal (memperagakan gerakan memukul)”, sambil mukul. Sakit, mbak, maksudnya intensitasnya.. Nggak, ya nggak.
yang pernah mengganggunya.
I2 menceritakan pengalaman bahwa ketika mainan D diambil, D merasa tidak suka, lalu membalas dengan perilaku memukul I2 walau pukulan D tidak menyakitkan I2.
D mendapat perilaku yang tidak menyenangkan, D mengembangkan emosi negatif, D mengekspresikan dengan verbal dan pukulan dengan intensitas rendah.
A: Objek lekat direnggut A: Memukul dg intensitas rendah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 143
53.
Berbicara soal nangis, nangis di waktu-waktu kapan aja adik D? Jatuh, main. Ya kalau mainan direbut, itu pasti nangis kok, mbak. Kalau digangguin, tantenya suka nggangguin, nangis pasti. Kalau dibentak dia. Itu ceritanya gimana? Dia lagi mainan, dia nggak sengaja mukul, atau nggak sengaja ngejatuhin apa. “D, nggak boleh kayak gitu!” (dengan pitch lebih tinggi). Dia mungkin kaget.
I2 menceritakan bahwa D menangis pada saat terjatuh saat bermain, saat mainannya direbut, diganggu oleh adik I2, dan dibentak. Bentakan yang bermaksud peringatan ini disampaikan dengan pitch
yang tinggi sehingga menurut I2, D merasa kaget lalu menangis.
Situasi-situasi seperti rasa sakit fisik, objek afeknya direnggut, merasakan ganguan, mendengar suara dengan pitch tinggi yang ditujukan padanya, dan berempati pada kesedihan oran lain.
A: Sakit fisik A: Objek lekat direnggut A: Merasakan gangguan A: Suara keras A: Empati A: Menangis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 144
54.
55.
Sama kalau lihat film, mbak, ah yaampun mellow banget. “Ih ngapain kamu?” “Ma, kasian, ma.”, kayak gitu banget dia. Mellow banget tuh. Baper banget dia. Dibawa perasaan kok dia. Masha, apa tuh ya.. penguin itu apa ya. Itu ketemu sama pandanya itu. Lama nggak ketemu. Oh penguin yang ada di Masha itu? Iya, yang suka “Papa, papa”. “Kasian” itu, padahal udah diulang-ulang tuh nangis terus. Baper banget anakku itu. Cowok tapi baper. Kenapa, kasian gitu? “Heee.. kasian. Itu nakal ya, Ma?”, gitu. Aku kadang kalau dimarahin suamiku gitu, aku marah. Apa, nangis juga. Disuapin, dikasih minum, “Nggak pa pa, ya.”, kayak gitu. Ya walaupun suamiku cuma boong, boongan. Kayak gitu diajarin mama papanya, “Ini, kalau ini, dikasih tissue.” Nggak sih, kadang aku juga kaget sih, anakku kok bisa kayak gitu.
Selain itu, I2 juga bercerita bahwa D menangis saat menonton acara televisi dan melihat I2 dimarahi oleh suami I2. I2 menilai bahwa kedua hal tersebut membuat perasaan D terhanyut.
I2 menyatakan bahwa ia tidak mengajarkan D untuk menunjukan perilaku tersebut, malah kaget dan merasa perilaku d adalah hal yang
A: Empati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 145
56.
57.
58.
Lucu, lucu. Kalau nangis yang teriak-teriak, benar-benar, wah mungkin sampai.. kalau partisipan skripsiku yang lain sampai “tobat, tobat” gitu, ada nggak sih pengalaman yang seperti itu? Pernah sih kayak gitu, tapi anakku nggak sering, sering banget. Kita-kira frekuensinya? Sampe 8, kali (maksudnya poin 8 dari 10). Kira-kira kemunculannya, seminggu sampai berapa kali? Jarang banget, mbak, anakku teriak-teriak. Teriak, sih, tapi nggak sampai apa banget. Kalau ditinggal. Kalau itu tuh, kayak tadi nyariin papanya, kayak gitu tuh, teriak kayak gitu. Ya, polnya nangisnya anakku kayak gitu (merujuk pada tangisan yang tadi terdengar). Kayak gitu paling maksimal? He’em. Takut ditinggal. Kalau kayak gini tu saat apa aja? Ditinggal kerja, ke dokter, papanya kenapa-napa itu pasti dia histeris.
lucu. I2 menjawab bahwa dirinya pernah mengalami pengalaman mengasuh D yang menangis dengan tingkat keparahan 8 dari 10 poin namun dengan kemunculan yang minim. I2 memandangnya sebagai hal yang normal.
I2 bercerita bahwa D akan menangis apabila sedang mencari ayahnya. D menangis dengan disertai teriakan.
I2 menyatakan bahwa D takut ditinggal kerja oleh I2, takut untuk menemui dokter, dan khawatir akan hal
I2 tampak menghiraukan atribusi mengganggu pada perilaku D.
I: Mengecilkan makna mengganggu pada tantrum anaknya I: Memandang wajar perilaku tantrum
Mengalami perpisahan dan cemas terhadap kondisi dengan figur lekatnya, D merespon dengan menangis histeris. Perpisahan dengan figur lekat menjadi pemicu tantrum D.
A: Kecemasan akan perpisahan A: Menangis histeris A: Perpisahan dengan figur lekat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 146
59.
60.
61.
62.
Pokoknya kalau ada yang kenapa-napa, histeris dia. Pernah neneknya kepleset itu, takut tenggelam, “Uti, uti!” gitu. (Terdengar suara D menangis mengatakan “Papa, papa jangan pergi” berkali-kali. I2 dengan tenang (dan biasa saja) mengatakan bahwa “Papa pergi”, ekspresinya pun santai sambil mengatakan “Nangis tu kenapa?” kemudian segera mengatakan “Itu mbak datang tu, mau pijat.” (untuk mengalihkan perhatiannya)). Biasa dipanggil pijat? Ini mau pijat ini. Ooo.. biar sehat ya dik, ya? Dia seminggu sekali ini, karena dia nggak mau diam kan. Kalau tidur ini, banyak tingkahnya. Kakehan polah itu kalau tidur. Mbak D mengistilahkannya apa? Histeris apa? Histeris nggak kalau begitu? (sambil menunjukkan D yang saat itu masih menangis) Hehe, aku belum tahu. Aku baru sekali ketemu. (Suami I2 datang menyapa dan
buruk yang terjadi pada ayah dan neneknya. I2 memberi istilah ekspresi D disebut histeris. Ketika I2 menghadapi D yang menangis karena mencari ayahnya, I2 menjelaskan dengan tenang bahwa ayahnya sedang pergi. Penjelasan ini disertai dengan menanyakan kepada D alasannya menangis dan mengalihkan D untuk berbicara hal lainnya.
D mengalami perpisahan dengan ayahnya, I2 mengatasi dengan strategi berbicara dengan tenang dan mengalihkan perhatian.
A: Perpisahan dengan figur lekat
I2 menanggulangi kebiasaan D yang tidur dengan gerakan-gerakan tak nyenyak dengan metode pijat anak dengan frekuensi 1 kali dalam semingu.
Kondisi tidur D tidak nyenyak, I2 mengatasi dengan bantuan terapis pijat anak tradisional.
A: Tidur tidak nyenyak
I2 masih ragu untuk melabel perilaku D sebagai perilaku histeris.
I2 masih ragu untuk melabel perilaku D sebagai perilaku histeris.
I: Keraguan akan label histeris (sub: Defense terhadap kondisi tantrum anak?)
Suara tangisan D terdengar lagi
I2 telah mengangap
I: Memandang wajar perilaku
I: Berbicara dengan tenang I: Mengalihkan perhatian
I: Memanggil terapis pijat anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 147
63.
64.
mengikuti beberapa menit sesi wawancara. D masih menangis dengan intensitas yang sama, memanggil papanya, sehingga baik I2, suami I2, dan D berada di lokasi wawancara. Suami I2 mengobrol dengan biasa dengan saya, tanpa menghiraukan tangisan D.) Gitu ya, paling nangis khawatir sama kalau mau bobok? Mau bobok atau sedang bobok? Pas boboknya. Kalau kecapekan dia gerak-gerak terus. Oh kalau kecapekan? Hanya kalau kecapekan? He’em. Sering pijat itu buat apa mbak? Untuk mengatasi kecapekannya. Soalnya dia lari-lari, numpak sepeda. Kalau kecapekan juga kadang panas. Mengantisispasi biar nggak kayak gitu. Karena anakku sering banget sih, gampang banget dia.. Aku kan susah to mbak mengistilahkan ekspresiekspresinya.. Apa ya? Histeris? Aku juga bingung. Histeris tu kok
dengan intensitas yang sama seperti sebelumnya. I2 dan suaminya menghiraukan tangisan D dengan terus mengobrol dengan peneliti.
tangis D sebagai perilaku yang wajar.
tantrum
I2 bercerita bahwa D akan mengalami demam dan tidur dengan gerakangerakan tak nyenyak ketika D sedang kelelahan akibat berlarian dan bersepeda. I2 menanggulangi dengan metode pijat anak. Menurut I2, D sangat rentan sakit dan tidur tidak nyenyak akibat kelelahan.
Berlarian dan bersepeda menyebabkan D mengalami kelelahan dengan gejala demam dan tidur tak nyenyak. I2 menangulangi dengan metode pijat anak tradisional.
A: Rentan kelelahan
I2 mengaku bingung dengan istilah yang digunakan untuk melabel perilaku anaknya, kemudian tercetus label
I2 memberikan label ‘histeris’ pada perilaku D meski merasa itu sebagai istilah yang menganggu.
I: Memberi label negatif, dengan defense (?)
I: Memanggil terapis pijat anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 148
kayaknya heboh banget deh, terlalu heboh. Lainnya histeris apa ya? Ya wis kayak gitu lah, histeris. 65.
66.
67.
68.
Itu mengganggu nggak, mbak? Kalau aku sih nggak. Cuman, kalau Utinya kadang “Kok nangis tuh kenapa?” (Nada tenang) Gitu. Aku juga kadang gitu. Dia ribut sama papanya. Papanya juga kadang suka nggigit sendiri, mbak. Nggigiti anaknya itu. Gemes terus nangis. Tak tonjok, mbak, kalau anakku digituin. Kurang ajar, anakku digigitin (sambil tertawa). Terus kira-kira, kalau Dik D lagi nangis-nangis kayak gitu yang parah kayak yang kita lihat itu, yang dirasakan Mbak D apa? Ya itu, aku jadi kayak kemrungsung ngatasin dia tu. Jadi kayak.. istilahnya, seharusnya pelan.. tapi aku kayak kemrungsung, jadi bingung dewe aku, mbak. Bingung mau gimana. Kayak kemrungsung. Terburu-buru biar dia cepat diam, gitu.
‘histeris’ walau menurut I2 terdengar berlebihan dan akhirnya pun memberi istilah ‘histeris’. I2 mengaku tidak merasa terganggu dengan perilaku histeris D. Menurut I2, D membuat neneknya bertanya keadaan D saat histeris. Suami I2 kadang mengusili D dengan cara menggigit karena gemas hingga D menangis. I2 menanggulanginya dengan cara menonjok suaminya.
I2 mengaku ada rasa terburu-buru untuk mengatasi perilaku histeris D walau I2 mengetahui bahwa dirinya perlu untuk tenang dalam mengatasi situasi ini. I2 memandang bahwa ketika ia menanganinya dengan segera, maka D akan segera tenang.
I2 mengaku tidak merasa terganggu dengan perilaku histeris D. Menurut I2, tantrum D justru memberi dampak pada neneknya.
I: Tidak merasakan dampak tantrum anak I: Mengatribusi dampak tantrum pada orang lain
I2 menalami situasi bahwa D menalami ancaman, I2 merespon denan menunjukkan perlawanan bertujuan untuk melindungi D.
I: Melindungi anaknya
Secara kognitif, I2 paham bahwa dirinya perlu tenang untuk mengatasi D namun I2 justru menatasinya dengan panik. Konflik antara pemahamannya dengan keinginannya untuk membuat D segera tenang membuatnya bingung.
I: Konflik kognitif-afektif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 149
69.
70.
71.
72.
Itu yang dirasakan? Kalau yang dipikirkan? Mungkin aku mikirinnya apa tak ajak ke luar, naik motor, atau apa. Kadang aku mikirinnya kayak gitu. Tapi kadang, aku nggak pernah kesampaian karena gitu.. Jadi nggak pernah kesampaian. Berarti cepat redanya? He’em, cepat. Kalau kayak gini tadi cepat ya? Cepat. Kalau menurut mbak D itu, ketika Dik D mengekspresikan dengan cara itu, itu baik, buruk, apa normal? Kalau menurutku normal. Aku aja sering kayak gitu. Aku yang udah gede aja masih sering nyari mamaku. “Mama ke mana?” “Mamaku mana?” Apalagi anak kecil. Anak kecil tu deketnya sama orang tua kan. Kalau dia nyariin papanya kayak gitu, jadi dia ada rasa takut ditinggal juga. Care lah sama keluarganya, peduli.
Ketika tangis D sedang berlangsung, I2 memikirkan pilihan-pilihan seperti mengajak D pergi sambil memboncengnya dengan motor. I2 mengatakan bahwa pilihanpilihan strategi tersebut tidak pernah terlaksana karena tangis D cepat reda.
Secara kognitif, I2 merespon tantrum D denan pilihan-pilihan strategi untuk menangulangi tantrum D.
I: Respon kognitif
Tangis D cepat reda, I2 tidak sempat merealisasikan rencana strategistrategi tersebut.
A: Cepat reda
I2 memandang perilaku-perilaku histeris yang diekspresikan D merupakan hal yang wajar. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh I2 yang mengaku masih sering mencari ibunya. Maka terlebih D yang masih dalam usia kecil yang dipandang lekat dengan orang tua.
Melihat kondisi bahwa D masih dalam usia yang kecil dan memandang bahwa dirinya mamiliki kelekatan pada ibunya, I2 memandang bahwa perilaku tantrum D merupakan hal yang wajar.
I: Memandang wajar perilaku tantrum
I2 memandang bahwa perilaku D mencari ayahnya disebabkan oleh rasa takut ditinggal dan merupakan indikasi dari rasa peduli terhadap
I2 memandang bahwa kelekatan pada figur lekat/afek merupakan indikasi peduli terhadap keluarganya.
I: Lekat artinya peduli
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 150
73.
Kalau Dik D kayak gitu, biasanya Mbak D melakukan apa? Gendong, kalau nggak aku kasih makanan, coklat, biar dia diam. Kalau nggak, aku liatin DVD. Kalau yang paling efektif sih ini, dinenenin. Itu dimainin apa diminum? Ya diminum. Dua bulan ini masih begini.
74.
Sama ini, kadang kalau makan dia nggak suka, dimuntahin. Walaupun udah di mulut, dimuntahin. Itu kadang yang ngebuat aku “Heemm” (mengekspresikan kekesalan). Soalnya udah keburu jengkel banget. Tapi kalau sakit sih, aku maklum, nggak maksa banget. Bikin susu dikentalin. Aku juga bingung, kalau dikentalin ngaruh apa nggak. Tapi kan kalau orang-orang, dikentalin biar kenyang, gitu kan. Nah aku ikut-ikut aja lah.
75.
76.
Terus, kira-kira menurut mbak D caranya dengan
keluarganya. Strategi yang biasa I2 lakukan untuk menangani perilaku histeris D adalah dengan menggendong, memberi coklat, menyuguhkan tayangan DVD, dan memberi ASI untuk menenangkan D. I2 memandang strategi yang paling efektif adalah dengan memberi ASI pada D. I2 menceritakan bahwa D akan memuntahkan makanan yang tidak ia suka. Hal ini membuat I2 sangat kesal dan jengkel, kecuali saat D sakit, maka I2 memaklumi perilaku tersebut.
Untuk memenuhi kebutuhan makanan D, I2 meracik susu yang lebih kental dari biasanya karena mengikuti kepercayaan bahwa susu yang kental akan membuat anak menjadi kenyang. I2 menilai strategi menggendong,
Strategi yang dilakukan oleh I2 untuk menangulangi tantrum D adalah memberi kenyamanan, makanan kesukaan, dan mengalihkan perhatian.
I: Memberi kenyamanan I: Memberi makanan kesukaan I: Mengalihkan perhatian
I2 memaklumi perilaku menggangu D pada kondisi tertentu.
I: Memaklumi perilaku tantrum
I2 I: Memperhatikan memperhatikan kesehatan anak kesehatan fisik D.
I2 menilai strategi yan telah dilakukannya
I: Efektif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 151
digendong, dikasih coklat, ditontonin DVD, sama dikasih asi itu udah efektif atau belum, meredakan? Sambil dimainmainin gitu. Aku efektif sih, mbak.
memberi cemilan, menyuguhkan tayangan DVD, dan memberi ASI untuk diminum maupun dimainkan merupakan strategi yang efektif untuk meredakan perilaku histeris D.
untuk menangulangi tantrum D sudah efektif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 152
Tabel Analisis Isi Informan 2 (Bagian 2) Keterangan: I2 = Informan 2 D = Inisial anak I2 dengan indikasi temper tantrum I = Ibu, yakni I2 A= Anak, yakni D
No 3 5 6 4 5 7 8 9 10 12 16 18
29
67 75 14 1 2 14 19 20 63 1 2 14 15
Kode
SubKategori
Kategori
Tema
I: Kelekatan dengan anak A: Kelekatan dengan ibu I: Memenuhi kebutuhan makanan anak I: Dipahami anak I: Cemas dengan kesehatan anak I: Muncul gejala fisik tidak menyenangkan ketika mengalami perpisahan dengan anak I: Melindungi anaknya I: Memperhatikan kesehatan anak I: Aktivitas pengasuhan anak I: Memandang bayi sebagai sosok lugu I: Pandangan terhadap anak A: Dendam A: Malas A: Rentan kelelahan A: Menunjukkan perkembangan yang normal I: Perkembangan kemampuan anak I: Anak memiliki
Gambaran relasi ibu dan anak
Dinamika dalam pengasuhan
Pengalaman ibu dalam pengasuhan
Aktivitas pengasuhan
Gambaran sifat anak
Gambaran keadaan fisik anak Gambaran perkembangan anak
Pandangan terhadap sosok anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 153
36 38 20
37
39 13 22 15 18 21
21 21
22 23 24 25 25 27 27 28 48 48 49 52 53 57
fase membantah A: Perilaku meniru video A: Perilaku meniru I: Kesan negatif terhadap sifat negatif anak I: Respon negatif terhadap regresi anak I: Respon positif terhadap perilaku meniru anak A: Perilaku memukul A: Perilaku membantah A: Menolak hal yang tidak diinginkan/ disukai A: Perilaku menangis A: Perilaku menghentakkan kaki A: Menolak hal yang tidak diinginkan/ disukai A: Perilaku menggigit A: Menendang ponsel A: Menggigit ponsel A: Menolak perintah A: Bergulunggulung A: Marah A: Sulit makan A: Sulit tidur A: Memukul dg intensitas rendah A: Menangis A: Menangis
Respon terhadap sifat anak
Respon terhadap perkembangan anak
Perilaku anak yang menjadi indikasi tantrum
Perilaku tantrum anak
Tantrum anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 154
58 60 21 23 24 28 33 52 53 53 54 55 57 58 13 25 57 59 31 53 34 35 53 53 70
histeris A: Tidur tidak nyenyak A: Emosi marah A: Rasa gemas A: Keinginan tidak dipenuhi A: Meniru perilaku orang tua A: Objek lekat direnggut A: Empati A: Kecemasan akan perpisahan A: Indikasi sibling rivalry A: Perpisahan dengan figur lekat A: Meniru perilaku orang tua A: Merasakan gangguan
A: Sakit fisik A: Suara keras A: Cepat reda
Kondisi tantrum
Dinamika tantrum anak
Faktor sosial pereda tantrum
Faktor pereda tantrum anak
Dampak tantrum terhadap emosi ibu Dampak tantrum terhadap pekerjaan ibu
Dampak tantrum terhadap ibu
18 47 48 43
I: Terlambat kerja
19
11
Faktor sosial pemicu tantrum
Faktor teknologi pemicu tantrum Faktor fisik pemicu tantrum
A: Menonton film
A: Reunion meredakan tantrum I: Rasa kesal I: Panik I: Emosi negati
26
Faktor emosi pemicu tantrum
I: Mendapat penilaian negatif dari lingkungan sosial I: Orang lain dalam
Dampak tantrum terhadap aspek sosial ibu Dukungan sosial
Kebutuhan ibu dalam pengasuhan
Pengalaman ibu dalam pengasuhan anak tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 155
44 46 40
61
17 19 32
41 42 56 62 71 74 45 46 47 50
56
65
72 51
66
64
pengasuhan I: Butuh dukungan sosial I: Bukan tantrum I: Keraguan akan label histeris (sub: Defense terhadap kondisi tantrum anak?) I: Memaklumi perilaku negatif anak I: Bergulunggulung hal yang wajar I: Memaklumi temperamen anak
anak tantrum
Menolak label tantrum
I: Memandang wajar perilaku tantrum I: Memaklumi perilaku tantrum I: Mengecilkan dampak tantrum pada dirinya I: Memandang wajar perilaku nakal I: Mengecilkan makna mengganggu pada tantrum anaknya I: Tidak merasakan dampak tantrum anak I: Lekat artinya peduli I: Tidak mampu mengendalikan tantrum anak I: Mengatribusi dampak tantrum pada orang lain I: Memberi label negatif, dengan defense (?)
Memandang wajar
Sikap ibu terhadap tantrum anak
Rasa tidak mampu mengambil kendali
Respon ibu terhadap tantrum anak
Respon ibu terhadap tantrum anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 156
68 69 73 11 60 60 59 59 73 73 76
I: Konflik kognitif-afektif I: Respon kognitif I: Memberi kenyamanan I: Memberi informasi bohong I: Memanggil terapis pijat anak I: Berbicara dengan tenang
Memberi kenyamanan
Melakukan diskusi
I: Mengalihkan perhatian I: Mengalihkan perhatian I: Memberi makanan kesukaan
Mengalihkan perhatian
I: Efektif
Efektivitas strategi
Strategi ibu menangani tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 157
Tabel Analisis Isi Informan 3 (Bagian 1) Keterangan: I3 = Informan 3 Y = Inisial anak I3 dengan indikasi temper tantrum I = Ibu, yakni I3 A= Anak, yakni Y No
Satuan Makna
1.
Sifat-sifatnya yang tadi sudah disebut itu masih penakut alias yang ‘berani kandang’ itu Iya, berani kandang. Terus, kalau nangis susah untuk ditangani, begitu. ee.. bukan juga susah ditangani. Gimana ya, agak, agak lama bujukinnya. Terus kalau sama kakaknya ini kan, kakaknya dulu kita di Palu banyak, keluarga satu rumah banyak. E, jadi dia lebih cepat, apa, cepat beradaptasi dengan orang, ngomongnya lebih cepat, lebih ini, kalau kakaknya. Tapi dibandingkan adiknya ini, nggak. Karena di rumah kita hanya waktu itu tambah saudara sepupu saya, orang besar hanya bertiga, tambah Mbak Ning di sebelah, sama
2.
3.
Satuan Makna yang Dipadatkan Transformasi 1 Transformasi 2 I3 menyatakan Ibu memberi label bahwa anaknya, Y, negatif pada anak bersifat berani kandang.
Kode I: Anak berani kandang
I3 membutuhkan banyak waktu untuk menangani tangisan Y.
Ibu membutuhkan waktu lebih untuk menangani anaknya
I: Waktu ekstra
Menurut I3, kurangnya kehadiran orang dewasa di dalam perkembangan Y menyebabkan kurangnya kemampuan Y dalam bersosialisasi.
Faktor sosial menjadi faktor pembentuk perilaku anak.
A: Minim kehadiran orang dewasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 158
4.
5.
Oxka, Oxky. Ya gitu. Kalau dibanding, saya semester satu, semester satu masih ada saudara sepupu saya di sini. Itu saya masih sering tinggal ke kampus, dia itu nggak nangis. Malah sering sama ibunya Oxky. Malah, kalau saya pulang kampus, itu, cuma liat sebentar, dia udah ke sebelah lagi, main. Tidur, tidur di sebelah, malam itu pun kalau udah tidur baru saya ajak ke sini. Itu saya semester satu, satu tahun. Semester satusemester dua. Ini untuk jenjang S2 kan ya? S2. Begitu saya selesai teori, teori kelas, saya kan lebih banyak di rumah karena thesis, saudara sepupu saya pulang, saya yang ngasuh dia. Nah, sejak dari situ, Bu Ning ke Jakarta dua bulanan sebulan, sejak dari situ dia udah nggak ini lagi. Saya ke kamar mandi dia ikut, nyuci aja ikut. Mungkin karena nggak ada
I3 menceritakan bahwa sebelumnya, kehadiran sepupu I3 di rumah dan tetangga yang tinggal di sebelah rumahnya menyebabkan Y menunjukkan perilaku cuek pada I3, seperti tidak menangis ketika ditinggal pergi, bersedia diasuh oleh tetangganya, seperti hanya melihat I3 sebentar setelah perpisahan, dan sering tidur di rumah tetangga.
Kehadiran orang dewasa lain dalam pola pengasuhan anak dapat meredam tantrum anak, yakni dalam ekspresi tangis dan keinginan anak untuk melekat pada ibunya. Kehadiran orang lain dalam pola pengasuhan anak dapat mengurangi perilaku melekat pada ibunya.
A: Kehadiran orang lain (meredan perilaku melekat)
I3 bercerita bahwa semenjak I3 memiliki waktu luang yang lebih banyak, sepupu I3 tidak tinggal serumah lagi, dan tetangga pergi sejenak, Y menjadi sangat melekat dengan I3.
Ketidakhadiran orang lain dalam pengasuhan dan banyaknya waktu luang ibu menjadi faktor anak memiliki perilaku melekat pada ibu.
A: Kehilangan sosok dewasa lain A: Ibu memiliki banyak waktu luang (menimbulkan perilaku melekat) A: Perilaku melekat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 159
6.
7.
8.
9.
mamanya jadi kan ada sama yang lain ... He-e, saya mikirnya begitu karena kemarin mungkin saya di kampus, dia mau ke sana.
Tapi begitu saya full di rumah, ke mana-mana ngikut. Ditinggal saja, aduh, mau buang sampah di depan harus tunggu dia. Kalau nggak, rewel.
Tante bisa ceritain pengalaman yang menyenangkan nggak waktu mengasuh Dik Y? Semuanya menyenangkan kayaknya. Semuanya menyenangkan. Kan ada masa di mana dia rewel, ada masa di mana dia mutung.
I3 menceritakan bahwa Y ingin selalu ikut dengan I3 meski hanya melakukan aktivitas di rumah, seperti pergi ke kamar mandi dan mencuci pakaian. I3 bercerita bahwa semenjak I3 memiliki waktu luang yang lebih banyak, Y menjadi sangat melekat dengan I3.
Anak mengekspresikan perilaku melekat
A: Perilaku melekat
Ibu memiliki banyak waktu luang, anak menunjukkan perilaku melekat, bila tidak dipenuhi, anak rewel.
A: Ibu memiliki banyak waktu luang (menimbulkan perilaku melekat)
I3 menceritakan bahwa Y ingin selalu ikut dengan I3 meski hanya melakukan aktivitas di rumah, seperti membuang sampah. Bila I3 tidak memenuhi keinginan Y untuk melekat, Y rewel. I3 menilai bahwa dirinya mengalami hal yang menyenangkan.
I3 menyatakan bahwa Y memiliki saat di mana ia rewel.
A: Perilaku melekat I: Tidak memberi kelekatan (menyebabkan rewel)
Penilaian positif dalam pengasuhan.
I: Perasaan senang
Perilaku rewel adalah hal yang wajar kemunculannya
I: Rewel adalah wajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 160
10.
11.
Anaknya ini, apa ya kalau orang di tempat saya itu bilang cepat, kalau sana bilang sih ‘hati sedikit’, kalau sini apa? Ya cepat … Em, hatinya kecil gitu? Jadi nggak bisa, nggak bisa salah dikit itu mutung. Apa ya kalau sini? Ati kecil kalau saya bilang. Saya nggak ngerti kalau bahasa sini tuh apa, pokoknya ati kecil lah, kalau istilah di sana, Sulawesi. Agak-agak mirip dengan sensitif. Terus kalau Y itu e sesuatu yang harus dia kerjakan, misalnya ini kan, misalnya ini, topitopi ini, dia yang harus letakkan di meja, tetapi saya yang letakkan, dia marah, dia mutung dan harus diulang lagi. Dia nangis, nah berhentinya itu kalau saya ulang lagi, dia yang nempatkan. Tapi kadangkadang dia mutung, dia marah. Setahun belakangan ini kayak gitu.
I3 menilai Y memiliki sifat berhati kecil yang diekspresikan oleh perilaku rewel dan mutung bila keinginannya salah ditangani.
I3 menyatakan Y menginginkan segala sesuatunya dilakukan tepat seperti yang diinginkan oleh Y. I3 menceritakan bahwa bila keinginan Y tidak dipenuhi, Y akan mengeskpresikan kemarahannya dengan menangis dan meminta I3 untuk mengembalikan keadaan seperti semula. I3 baru menemukan perilaku Y tersebut satu tahun belakangan.
dalam diri anak. Ibu memberi label negatif pada anak.
Anak menunjukkan perkembangan otonominya Interupsi ibu atas otonomi anak akan menyebabkan anak mengekspresikan tantrum.
I: Anak berhati kecil
A: Perkembangan otonomi A: Interupsi atas perkembangan otonomi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 161
12.
13.
14.
Saya buang sampah tanpa nunggu dia, saya harus balik lagi, tapi sampah itu harus ada di tangan saya, harus saya ambil lagi dari tempat sampah. Dia ikut lagi. Kayak gitu. Jemur pakaian, nggak boleh saya jemur, harus tunggu dia, kalo nggak nanti rewelnya lama. Kalo rewel tuh apa aja, tante, perilakunya? Nangisnya kencang, nangisnya kencang. Kalau udah rewel banget itu, di tempat tidur dia tengkurap. Sambil nangis kah? heeh. Sambil nangis dia tengkurap. Nggak mau di, nggak mau disentuh. Biasanya dibujukinnya itu ini kalau udah itu, ulang lagi caranya atau dialihkan ininya, dialihkan pikirannya. Apa ya di, ini misalnya ini ada Iron Man itu ada kartun apa, diajak ngobrol itu bisa hilang. Biasanya itu bapaknya yang, tugasnya yang itu.
I3 menceritakan Anak bahwa Y ingin mengekspresikan selalu ikut dengan perilaku melekat. I3 meski hanya melakukan aktivitas di rumah, seperti membuang sampah dan menjemur pakaian.
A: Perilaku melekat
I3 menyebutkan bahwa Y mengekspresikan rewel dengan perilaku menangis dengan kencang dan tengkurap di tempat tidur tanpa ingin disentuh.
Menangis kencang, tengkurap, dan tidak ingin disentuh dilabel ibu sebagai rewel.
A: Rewel A: Menangis kencang A: Tengkurap di tempat tidur A: Tidak ingin disentuh
Strategi yang biasa I3 lakukan untuk menanggulangi perilaku tantrum Y adalah mengikuti kemauan Y, mengalihkan perilaku Y dengan mengajak berbicara, menontonkan film, dan mengajak bermain yang biasa dilakukan oleh suami I3.
Mengikuti kemauan anak, mengalihkan dengan mengajak berbicara, menonton, dan bermain adalah cara yang biasa dilakukan oleh ayah untuk menanggulangi perilaku rewel anak.
I: Membutuhkan dukungan suami I: Mengikuti kemauan anak I: Mengajak berbicara I: Mengajak menonton I: Mengajak bermain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 162
15.
16.
Yang menhandle itu? iya. Biasanya kalau minta diulang lagi itu, permintaannya si Dik Y sendiri apa dari tantenya yang.. Dia sendiri. “Y, mesti Y yang ini.” kayak gitu. Tapi kalau dia sudah kadung nangis, sudah ini, walaupun diulang lagi, tetep aja. Agak lama ininya dianya, bisa paling lama itu bisa sampai setengah jam itu, kecuali cepat dialihkan. Dialihkan misalkan dengan diajak ngobrol atau diliatin film, atau diajak main. Kalau bujuknya 16aja harus pakai.. paling sering kita itu dialihkan dengan diajak cerita “Oh iya kemarin Y nonton apa ya.. oh nonton Iron Man ya. Itu seperti apa?” Nanti dia cerita, dia cerita hilang menangisnya, tapi ketika, habis itu dia ingat lagi, dia nangis lagi, diajak lagi ngobrol.
I3 harus segera mengalihkan Y, bila tidak maka meskipun keinginan Y sudah dipenihi, ia akan tetap menangis dengan durasi yang lama.
Strategi ibu menjadi tidak efektif apabila anak sudah terlanjur menangis.
I: Segera harus ditangani (gambaran tantrum anak)
I3 paling sering menangani dengan cara mengajak Y berbicara untuk mengalihkan pikiran Y, namun bila ingat maka Y akan menangis lagi.
Strategi yang dirasa paling efektif untuk menangani perilaku rewel anak adalah pengalihan, meski strategi ini perlu proses yang berulang.
I: Konsistensi penerapan strategi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 163
17.
18.
Kira-kira kenapa ya, tante? Menurut tante kenapa Dik Y tuh suka rewel begitu? Nah itu yang saya nggak tahu. Saya nggak tau itu (tertawa). Apa bisa tante, yang sebelumnya diceritain karena dulu kalau Kak I kan banyak, di lingkungan yang banyak orang, kalau begitu dia bisa lebih adaptasi.. Iya. Mungkin itu juga, dia kan nggak terlalu, apa ya, kalau kakaknya ini kemarin sama siapa aja di dalam rumah, ya orang di rumah yang sekeliling, sama tetangga nggak. Tapi, lebih karena orang di rumah banyak, jadi sosialisasinya lebih bagus. Tapi kalau si adiknya ini nggak. Kalau aku bahasakan ‘tidak terlalu terlatih sosialisasi’ gitu kah? Iya. Lingkungan mainnya kan cuma sini, depan itu temannya satu. Seumuran? beda setahun-dua tahun. Kalau saya
I3 mengaku tidak mengetahui penyebab kemunculan perilaku rewel Y. Berdasarkan pengalaman I3 mengasuh anak pertamanya, penyebab perilaku rewel berhubungan dengan sosialisasi dengan lingkungan temat tinggal.
Ibu memiliki pandangan bahwa perilaku rewel berkaitan dengan pengalaman sosial anak.
I: Pengalaman sosial anak
I3 menyatakan
Pengalaman sosial
I: Pengalaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 164
19.
20.
21.
22.
bandingkan dengan ini (menunjuk kakaknya), ini kan cepat, dia ngomongnya cepat, terus e pola pikirnya.. Jadi saya sering ngobrol sama suamiku, “Kok ini beda ya?” ini sama adiknya. Kalau ini, kalau saya marah, dia cepat tanggap. Jadi kalau suamiku bilang, mungkin karena dia perempuan, ini laki-laki. Yang adiknya lebih usil dibanding ini.
Usilnya gimana, tante? Gimana ya.. Apa ya? Pecicilan. Banyak gerak dibanding ini, kakaknya. Dibanding kakaknya, dia lebih itu. Terus kalau tante menyebut perilakunya Dik Y yang seperti itu apa? Apa ya. Apa ya. Saya nggak pernah mengistilahkan soalnya itu. Istilahnya apa ya? Anak laki-laki itu kan biasanya lebih aktif, lebih suka main, naik di kursi ini. Aktif gitu kah tante, kalau
bahwa sosialisasi yang dinilai berhasil juga mempengaruhi perkembangan kemampuan bicara dan pola pikir anak pertamanya. I3 menilai adanya perbedaan anata kedua anaknya.
anak berkaitan dengan perkembangan kemampuan bicara dan pola pikir anak.
sosial anak
Ibu memberi perhatian pada perbedaan sifat kedua anaknya.
I: Perhatian pada perbedaan sifat anak
I3 menyatakan bahwa suaminya memandang perbedaan sifat kedua anaknya disebabkan oleh peran gender yang berbeda antar keduanya. I3 menyatakan bahwa Y lebih banyak bergerak dari pada kakaknya.
Ibu memberi perhatian pada peran gender masing-masing anaknya.
I: Perhatian pada peran gender anak
Ibu mendeskripsikan anak banyak bergerak
A: Banyak bergerak
I3 mengatakan perilaku Y sebagai anak laki-laki yang lebih suka bermain dan menaiki kursi dengan istilah aktif.
Sifat anak yang suka bermain dan perilaku menaiki kursi disebut ibu sebagai aktif.
A: Aktif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 165
23.
24.
25.
26.
27.
mengistilahkanny a? Em, aktif, he-eh. Kira-kira kalau tante, apa namanya, berpendapat gitu, apakah menurut tante itu baik, buruk, atau normal Dik Y? Normal untuk anak seusia dia. Artinya itu perlu, dibanding dia e apa namanya diam, nggak bergerak, itu normal. Dan itu mungkin, karena dia lakilaki, lebih usil. Tapi usilnya anak laki-laki ini saya bilang agak-agak cengeng. Cengengnya tu gimana, tante? Apa ya, cepat nangis, cepat nangis. Salah dikit, nangis. Dikit-dikit. Jadi, “Siapa juara satu nangis?” Kalau dia bilang, “Dik Anggoro itu juara satu”, Dik Anggoro itu yang depan rumah, dia juara dua nangis. Tapi kalau ketawa main, main ketawa. Tertawa, tertawa. Aku ngulang lagi pertanyaan yang sebelumnya ya, tante, kira-kira pengalaman
I3 menilai perilaku aktif seabagai hal yang normal untuk anak seusia Y dengan alasan bahwa aktif diperlukan, lebih baik daripada diam, dan merupakan hal yang wajar bagi anak laki-laki.
Dengan pandangan I: Aktif adalah bahwa aktif wajar diperlukan, lebih baik daripada diam, dan merupakan hal yang wajar dengan peran gender anaknya, ibu memandang aktif sebagai sifat yang normal.
I3 mengatakan bahwa Y usil dan cengeng apabila diperlakukan dengan salah.
Ibu mendeskripsikan anak dengan sifat mudah menangis apabila mendapat perlakuan yang tidak sesuai.
A: Cengeng
I3 menceritakan bahwa Y mengakui dirinya mudah menangis.
Pendapat I3 mengenai perilaku tantrum Y mendapat penguatan dari Y
A: Cengeng
I3 menyatakan bahwa Y memiliki saat di mana ia bersuka hati setelah rewel. Pengalaman menyenangkan I3 dalam mengasuh Y meliputi: bermain bersama
Perilaku rewel dan suka hati adalah hal yang wajar kemunculannya dalam diri anak. Bermain bersama dengan anak merupakan pengalaman yang menyenangkan bgi
I: Dinamika emosi anak
I: Bermain bersama dengan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 166
mengasuhnya Dik Y itu seneng ketika ngapain aja? Main apa ya, main apa kita ya. Tempat tidur, main sembunyisembunyi, main kitik-kitikan, main rumah-rumahan, tenda-tendaan.
28.
29.
Terus itu, karena kakaknya perempuan dia senang masakmasak, masakmasak. Mobil-mobil main juga, tapi karena lihat kakaknya main masakmasak, dia juga ini apa yang kakaknya buat, sering dia tiru. Biasanya kakaknya itu main jadi guru, dia ikutan. Jadi apa? Apa yang diucapkan kakaknya, dia ikutin di belakang. Tapi nggak, nggak, kira-kira berapa bulan ya? Umur dua tahun setengah mungkin, dia sudah bisa seperti itu, baru mau masuk ke tiga tahun, belum lama. Berarti kalau aku ulang lagi, pengalaman yang
di tempat tidur, seperti bersembunyi, kitik-kitik, dan rumah-rumahan. Pengalaman menyenangkan I3 dalam mengasuh Y meliputi: bermain bersama di tempat tidur, seperti bersembunyi, kitik-kitik, dan rumah-rumahan. I3 menceritakan bahwa Y senang mengikuti permainan yang dimainkan oleh kakaknya, seperti bermain masakmasakan dan guruguru-an. I3 mengamati munculnya kemampuan Y untuk meniru perilaku kakaknya antara usia 2.5 hingga 3 tahun
ibu.
Anak menunjukkan perkembangan emosi, yakni meniru perilaku orang di sekitarnya (imitasi), berkembang sesuai dengan milestonenya.
A: Imitasi
Bermain bersama dengan anak merupakan
Bermain bersama dengan anak merupakan
I: Bermain bersama dengan anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 167
30.
31.
32.
menyenangkan Tante S bersama Dik Y itu main bersama? Main. Kalau dibalik, pengalaman yang tidak menyenangkanny a? Apa ya. Kalau mandiin dia, itu dia seneng main air di kamar mandi, mesti lama, sedangkan saya masih punya pekerjaan yang lain. Nah dibujukinnya itu susah, terus nangis. Kalau dia lagi rewel-rewel itu.
pengalaman yang menyenangkan bgi ibu.
pengalaman yang menyenangkan bgi ibu.
I3 menyatakan bahwa pengalaman tidak menyenangkan terjadi ketika Y bermain air saat mandi dalam waktu yang lama sedangkan I3 memiliki pekerjaan lain.
Terganggunya pekerjaan ibu oleh aktivitas anak membuat pengalaman pengasuhan yang tidak menyenangkan bagi ibu.
I: Merasa pekerjaan terganggu
I3 mengatakan bahwa sulitnya untuk dibujuk mengakhiri main airnya membuat Y menagis. Perilaku itulah yang disebut I3 sebagai rewel.
A: Interupsi atas keinginan
Kapan aja tante, Dik Y itu rewel? e.. seperti kalau mandi itu, dia pingin mandi sendiri, tapi saya sabunin, dia nggak suka, dia mulai rewel itu. Kalau dia sudah bilang “nggak”, itu mesti nggak. Kalau saya lakukan, itu bisa memicu dia rewel.
I3 menceritakan bahwa Y suka berkata “Tidak” dan itu harus dituruti, apabila I3 tidak menuruti maka anak memicu Y untuk berperilaku tantrum.
Mandi yang lama bukanlah perilaku tantrum anak, melainkan tangisan anak ketika menolak untuk dibujuk ibunya untuk menyudahi mandinya. Dengan kata lain, pemicu tantrum anak adalah adanya keinginan anak yang mendapat interupsi ibu. Berikut adalah pola tantrum anak: anak memiliki keinginan tertentu, ibu tidak memenuhi keinginan (menginterupsi) anak, anak mengekspresikan perilaku tantrum. Terdapat dua alasan besar penyebab tantrum anak, yakni
A: Gagal meregulasi keinginan A: Interupsi atas keinginan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 168
Nggak boleh salah dikit, kalau udah salah itu bisa memicu dia buat rewel.
33.
34.
35.
36.
37.
Bangun pagi itu dia minta gendong, buka mata itu dia “Ibu gendong.”, terus kalau saya nggak mau, a itu bisa rewel. Seharian gitu? Maksudnya moodmood-annya itu, he-eh. Kalau udah pagi itu, udah. Makanya kalau saya, dia bangun pagi, usaha, usaha sih, jangan dibuat dia ini. Kalau nggak itu sampai malam itu, dikit-dikit nangis, dikit-dikit in, nggak bisa ini.
Kemudian, pengaruhnya perilaku Dik Y yang kayak gitu buat Tante S apa? Bikin emosi, emosi naik-turun. Yang rewelnya itu? Iya. He-e. Itu, bikin itu, “Uh Y, ampun ibu”. Terus tante biasanya mengekspresikan nya gimana kalau gitu, kalau tante lagi emosi gitu
I3 bercerita saat bangun tidur, Y suka meminta gendong pada I3, ketika I3 menolak maka Y akan rewel I3 bercerita bahwa mood buruk Y dapat berlangsung hingga sehari lamanya. I3 mengupayakan pencegahan tantrum Y dengan menghindari halhal yang mungkin dapat memicu tantrum. I3 mengatakan bahwa tantrum Y akan berlangsung hingga malam dan mudah muncul bila tidak dicegah. I3 merasa bahwa emosinya naikturun dan mengekspresikan ketidaksanggupan nya dalam menghadapi tantrum Y.
I3 mengekspresikan emosinya dengan mengomel dan mengeluhkan ketidaksanggupan
perkembangan otonomi dan ketidakmampuan anak untuk meregulasi ledakan keinginannya Y mengekspresikan perilaku melekat
Rewel Y berlangsung lama
A: Perilaku melekat A: Gagal meregulasi keinginan A: Interupsi atas keinginan A: Durasi lama
Ibu membutuhkan usaha lebih untuk menjaga kondisi mood anak
I: Menjaga mood anak
Tantrum anak memberikan dampak negatif pada keadaan emosi ibu.
I: Keadaan emosi tak menentu
Ibu merespon tantrum anak dengan memberi nasihat dan mengeluh. Ibu tidak memberi
I: Memberi nasihat I: Mengeluh I: Menghindari hukuman fisik
I: Mengeluh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 169
38.
39.
sama Dik Y? Saya suka ngoceh. Karena nggak ini tangan, jadi saya mulut, “Cecececececet.” Ngocehnya sendiri apa ke Dik Y-nya? Ngoceh sendiri, “Uuh, ampun aduh Y, minta ampun ibu, Y” ya kayak gitu. Usia berapa itu pertama kali rewel? Satu tahun belakangan ini ya? Semenjak ini, Bu Ning ke Jakarta. Semenjak Bu Ning ke Jakarta, saudara sepupuku pulang, saya full, full waktuku sama dia, semejak dari situ. Semenjak dari situ? He-e, karena sebelumsebelumnya dia nggak kayak gitu, nggak, maksudnya ada sama Bu Ning dia nggak.. Malah dulu itu waktu masih, saya masih aktif kuliah, kalau dia nangis, yang bujukin ini bapak ibunya Oxky, dengar aja suara nangisnya, udah. Kalau saya lagi mau ngerjain sesuatu, kalau dia udah rewel kan ini, saya dah, saya
nya menangani Y. I3 mengaku tidak menangani Y dengan tangannya.
hukuman fisik.
I3 menceritakan kondisi-kondisi yang mengawali kemunculan tantrum Y, yakni kepergian tetangga ke luar kota, sepupu yang mengasuh Y tidak tinggal serumah lagi, dan I3 memiliki waktu luang yang lebih banyak bersama Y.
Perpisahan dengan figur pengganti orang tua dan pertemuan dengan orang tua menjadi kondisi anak mengekspresikan tantrum.
A: Kehilangan sosok dewasa lain
I3 bercerita bahwa tantrum Y mengganggu agenda kegiatan I3
Tantrum anak memberikan dampak negatif pada aktivitas ibu
I: Aktivitas terganggu
A: Ibu memiliki banyak waktu luang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 170
40.
41.
harus begini, begini, itu udah harus keini, ngerubah jadwal. Yang menyesuaikan mamanya? iya. Terus, itu kan tadi, kira-kira apa sih yang tante rasain pas lagi si Dik Y rewel? Apa ya, mangkel. Gimana tuh, tante, bisa diceritain nggak? Mangkelnya gimana ya. Ya gimana ya mangkel, kesal. Kesal, e, apa ya, ya karena saya harus, yang harusnya saya udah, udah harusnya ngerjain sesuatu yang lain, tapi saya harus bujukin dia dulu. Oh jadi mangkelnya lebih karena apa yang sudah tante rencanakan.. he-e iya yang sudah dipersiapkan jadi nggak kelakon? iya, karena saya tipe orang yang, yang habis ini, ini, habis gini yaa harus begini, begini, udah punya ini … Udah punya schedule? he-e. Nah biasanya itu kalau ada bapaknya di
I3 merasa kesal terhadap perilaku kerewelan Y karena karena I3 perlu menyempatkan waktu untuk membujuk Y sehingga mengganggu pekerjaan I3.
Kemunculan perilaku tantrum anak dengan kondisi ibu yang memiliki pekerjaan lain membuat ibu perlu menyisihkan waktu untuk mengatasi perilaku anak sehingga membuat pekerjaannya tertunda. Merasa waktu terbuang oleh karena tantrum anak membuat ibu merasa kesal.
I: Kesal I: Aktivitas terganggu
I3 mengatakan bahwa suaminya biasa untuk
Ibu membuthkna dukungan suami untuk
I: Membutuhkan dukungan suami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 171
42.
43.
44.
rumah, yang bujukin bapaknya, karena suami saya lebih apa ya, lebih pintar bujukin anak dibanding saya. Terus biasanya tante ngapain aja untuk apa, strategi yang biasa tante lakukan supaya meredakan kerewelan? Biasanya pertama itu saya peluk. Peluk dulu saya cium-cium biasanya.
Tapi kalau udah peluk-peluk ciumcium nggak, bujuk pakai kata-kata. Terus kalau udah sampai ke tahap dia susah, susah buat berhenti, ya sudah “Y ibu tinggal di dalam sini, ibu keluar.” Jadi saya tinggalin dia di kamar sendiri, saya keluar. Karena sudah sampai ke tahap dia, dia nggak
membujuk Y dari rewelnya karena suaminya dipandang oleh I3 lebih mampu untuk membujuk Y. I3 menceritakan bahwa ia memiliki berbagai strategi untuk menanggulangi tantrum Y, yakni dengan cara memeluk, mencium, mengajak berbicara, kemudian menghiraukan tantrumnya. Strategi-strategi ini dilakukan oleh I3 sesuai dengan tingkat keparahan tantrum Y.
menanggulangi perilaku tantrum anak.
Ibu memiliki strategi menanggulangi tantrum anak sesuai dengan tingkat keparahannya: tahap pertama memberi sentuhan lembut dengan pelukan, tahap kedua mengalihkan perhatian anak dengan berbicara dengan tenang, kemudian yang terakhir menerapkan penghirauan dan time-out yang konsisten disertai dengan instruksi yang sederhana dan jelas. I3 menceritakan Ibu memiliki bahwa ia memiliki strategi berbagai strategi menanggulangi untuk tantrum anak menanggulangi sesuai dengan tantrum Y, yakni tingkat dengan cara keparahannya: memeluk, tahap pertama mencium, memberi sentuhan mengajak lembut dengan berbicara, pelukan, tahap kemudian kedua menghiraukan mengalihkan tantrumnya. perhatian anak Strategi-strategi ini dengan berbicara dilakukan oleh I3 dengan tenang, sesuai dengan kemudian yang tingkat keparahan terakhir
I: Menawarkan kenyamanan pada anak I: Mengalihkan perhatian I: Menghiraukan tantrum I: Membuat perjanjian
I: Menawarkan kenyamanan pada anak I: Mengalihkan perhatian I: Menghiraukan tantrum I: Membuat perjanjian I: Time-out
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 172
45.
46.
47.
mau berhenti, “Ibu mau gendong Y kalau Y sudah berhenti nangis.” Sampai itu, titik terakhir dia sampai segitu.
tantrum Y. I3 sudah menjadikan membuat perjanjian antara I3 dan Y yakni akan menggendong Y apabila Y berhenti menangis.
Nah responnya gimana Dik Y? “Y tidak mau nurut ibu, tidak mau diam, Y di sini saja.” kayak gitu. Biasanya dia narik baju, narik baju minta peluk,
I3 sudah menjadikan membuat perjanjian antara I3 dan Y yakni apabila Y tidak menuruti I3 untuk diam, Y harus berdiam diri di kamar.
tapi saya ambil, saya letakkan lagi. E.. “Ibu mau ambil kalau diam. Tapi kalau masih nangis, nggak.” Nah “Y diam, Y diam.” Tapi begitu saya ambil dia, “Uuu..” saya, sudah, perjanjiannya kayak gitu. Perjanjiannya kalau Y diam. Saya letakkan lagi. Jadi biasanya itu kalau dia lagi rewel-rewel itu bisa sampai empat
menerapkan penghirauan dan time-out yang konsisten disertai dengan instruksi yang sederhana dan jelas. Ibu memberikan instruksi yang sederhana dan jelas
I3 berkata bahwa Y ketika Y dihiraukan oleh I3, Y merespon dengan cara menarik meminta peluk I3. I3 tetap memposisikan Y di dalam kamar selama Y masih menangis.
Ibu menggunakan strategi time-out Anak menunjukkan perilaku melekat
I: Konsistensi A: Perilaku melekat
I3 melakukan perjanjian dengan konsisten, meski cara tersebut dapat I3 lakukan sebanyak 4 hingga 5 kali dalam 1 periode tantrum Y.
Ibu menerapkan penghirauan dan time-out dengan konsisten Perlu ditangani hingga 5 kali adalah gambaran tantrum anak.
I: Konsistensi A: Bolak-balik ditangani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 173
48.
49.
50.
51.
kali sampai lima kali. Bolak-balik itu. Tapi tante sabar yah? Nggak juga sebenarnya. Nggak juga sih, cuma saya ngindarin kontak fisik.
Oh ya, tante tau strategi seperti itu dari mana, tante, sumbernya? Itu, apa itu Nannynanny apa sih acara di televisi itu? Oh Nanny 911 itu? Yang Barat itu. Iya. Saya cuma pernah lihat waktu itu dibilang, pada saat kalau dia sudah rewel sekali, dia nggak ini, tinggalin dia di dalam kamar, sendiri tapi harus pegang komitmen. E dia, kita nggak boleh ini.. katanya. Jadi saya ngikutin katanya aja. Tadi kan tante kan sebut bahwa Y ada rewel awal sama rewel udah kebablasan, itu aku mau tanya lagi ya, nah kalau
I3 menilai dirinya tidak sabar menghadapi rewel Y namun berusaha menghindari kontak fisik dengan Y.
Ibu menerapkan strategi time-out
I: Tidak sabar I: Menghindari kontak fisik dengan anak
I3 bercerita bahwa pemahaman mengenai strategi untuk menanggulangi tantrum Y berasal dari acara TV bertema pengasuhan anak.
Acara televisi adalah sumber informasi ibu mengenai strategi penanggulangan tantrum anak
I: Program tv
I3 bercerita bahwa acara tersebut memaparkan strategi untuk menghadapi anak rewel dengan meninggalkannya sendiri di dalam kamar dan membuat komitmen. I3 mengatakan bahwa ia mengikuti strategi tersebut. Berdasarkan pengalaman I3, Y memiliki 2 tingkatan tantrum yakni tingkat awal dengan perilaku menangis dan
I3 menerapkan informasi yang diperolehnya dari acara TV tersebut, yakni menggunakan strategi penghirauan/timeout untuk menanggulangi tantrum anak, disertai pula dengan komitmen. Y mengalami tantrum dengan intensitas menangis yang berbeda, sesuai dengan tingkat keparahannya.
A: Bertahap A: Semaki parah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 174
52.
53.
54.
yang tahap awal, itu perilakunya kayak apa, tante? Dia nangisnya belum kencang, itu yang tahap awalnya. Kalau udah masuk yang tahap akhirnya itu, di a.. baru sekarang ini. Saya nggak tau, apa karena pengaruh film,
tingkat akhir dengan perlaku menangis kencang.
I3 menduga penyebab keparahan tantrum Y yang terjadi akhir-akhir ini adalah film.
Menonton film dipandang ibu dapat memicu perilaku tantrum Y, maka perkembangan perilaku meniru dapat menyebabkan tantrum anak.
A: Film
dia marah itu dia (memperagakan gerakan memukul paha) Dia pukul mama? sambil pukul badannya. Dia itu mulai kayak gitu, saya nonton itu Captain America, Iron Man, Superman, nah tiga bulanempat bulan terakhir itu, itu film yang dia tonton,
Perilaku yang ditunjukkan adalah memukul badan sendiri.
Y mengalami tantrum dengan perilaku agresi pada diri sendiri
A: Agresi diri sendiri
3 hingga 4 bulan lalu, anak menonton film tanpa agresi dan bermain masakmasakan yang dipandang ibu tidak sesuai dengan peran gendernya. Maka ibu menyuguhkan film superhero yang dipandang lebih sesuai dengan peran
Menonton film pahlawan super dipandang ibu dapat memicu perilaku tantrum Y, maka perkembangan perilaku meniru dapat menyebabkan tantrum anak.
A: Film
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 175
55.
56.
gendernya. Namun tanpa disangka, anak mengalami perubahan perilaku yang dipandang ibu terjadi akibat genre film yang telah disuguhkan oleh ibu karena empat 3 hingga 4 bulan bulan yang lalu dia lalu, anak mainnya masakmenonton film masak. Jadi saya tanpa agresi dan ngeluh sama bermain masaksuami, “Ini Y ini masakan yang laki-laki mainnya dipandang ibu masak-masak ini. tidak sesuai Nggak main itu dengan peran lho, laki-laki.” gendernya. Maka Terus saya ambilin ibu menyuguhkan itu film, saya film superhero copy-in film dari yang dipandang warnet, yang saya lebih sesuai pilihin itu dengan peran Superman, gendernya. Batman, yang film Namun tanpa ini, tapi kartun. Oh disangka, anak mengalami kartun, bukan perubahan perilaku yang animasi? Kartun, bukan, yang dipandang kartun. ibu terjadi akibat genre film yang Sebelumnya itu, telah disuguhkan sebelum film Iron oleh ibu Man segala I3 bercerita bahwa macam itu, dia ia mendapat protes yang nontonnya dari anak itu yang hanya Minion, yang tidak pertamanya oleh karena pilihan film ada kontak fisik, yang diberikan berkelahioleh I3 kepada Y. berkelahi nggak ada. Agresi gitu ya? A, Minion, apa ya yang sekarang itu ya, e, ada yang Pada Zaman Dahulu kala itu yang kelinci-kelinci..
Ibu memberi perhatian pada peran gender anak dan aktivitasnya, memiliki emosi negatif apabila terdapat ketidaksesuaian, dan berusaha memperbaikinya.
I: Perhatian pada peran gender anak
Ibu memberi perhatian pada peran gender anak dan aktivitasnya, memiliki emosi negatif apabila terdapat ketidaksesuaian, dan berusaha memperbaikinya. Ibu merasa kehilangan dukungan dari anak pertamanya atas langkahnya mengganti genre film untuk disuguhkan pada
I: Perhatian pada peran gender anak I: Kehilangan dukungan dari anak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 176
57.
58.
59.
60.
Oh yang MNC TV itu ya? harimau, sampai sekarang dia masih sering nonton. Terus apa itu, Super Wings, pesawat-pesawat itu, anjing-anjing. Gitu. Waktu dia masih sering main yang masak-masak itu, yang dia nonton ya kayak gitu, tapi begitu empat bulan yang lalu, empat bulan kalau nggak salah, dia mulai saya kasih nonton itu, jadi sampai kakaknya ini ngeluh “Ini karena ibu semua ini, ibu kasih adik nonton yang seperti itu.” Jadi kadangkadang kakaknya yang jadi sasaran, jadi dia yang jadi Superman, dia yang jadi (menirukan gaya pahlawan super) seperti itu. Itu pengaruh juga kayaknya itu. Salah, salah memilih film.
Terus, sekarang ini dia imajinasinya udah mulai, dia sudah mulai mengarang cerita sendiri, sudah mulai. Terus kayak
anak keduanya.
I3 mengatakan bahwa film mempengaruhi perulaku Y dan hal ini adalah suatu kesalahan. I3 bercerita bahwa Y senang menirukan tokoh pahlawan super yang Y tonton. I3 mengkau tidak memahami apa yang dilakukan Y,
Ibu merasa bersalah atas pilihan film yang disajikan pada anaknya
I: Merasa bersalah
Anak menunjukkan perkembangan emosi, yakni imitasi perilaku tokoh yang dilihatnya. .
A: Perkembangan imajinasi A: Imitasi I: Membutuhkan dukungan suami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 177
61.
62.
kemarin kan dia, saya nggak ngerti, suami saya yang ngasih tau tuh, di tangannya si itu Captain America atau Iron Man? Iron Man itu ada putih-putih ya? Itu bedak dia taruh di sini, saya tuh nggak ngerti. “Fyuh.. fyuh..” (memperagakan Y memainkan bedaknya sebagai cahaya tangan Iron Man) Jadi saya, “Itu Y buat apa?” Terus suamiku yang bilang, “Itu lho, Iron Man itu tangannya ada putih-putihnya. Nah dia itu, maksudnya itu.” Jadi bedak itu habis sama dia belakangan garagara film Iron Man itu, Captain America. Tapi ini bicara udah jelas ya, tante? Udah. Terus udah dia kalau dikasih tau gitu paham ya? E.. iya.
suami I3 yang memberi tahunya.
I3 mengatakan bahwa dirinya tidak mengerti dengan perilaku Y menirukan tokoh pahlawan super, sedangkan suaminya mengerti
Ibu menilai dirinya kurang memahami imajinasi anak, namun suami membantunya untuk memahami.
I: Membutuhkan dukungan suami
I3 mengiyakan bahwa Y sudah mampu berbicara dengan jelas dan mampu memahami instruksi.
Kompetensi dasar anak dalam mengkomunikasik an strategi-strategi dalam menangani tantrum sudah tercapai.
A: Perkembangan bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 178
Tabel Analisis Isi Informan 3 (Bagian 2) Keterangan: I3 = Informan 3 Y = Inisial anak I3 dengan indikasi temper tantrum I = Ibu, yakni I3 A= Anak, yakni Y No
Kode
8
I: Perasaan senang
27
I: Bermain bersama dengan anak I: Perhatian pada perbedaan sifat anak
29 19 20 55 56 56 59 21 22 24 25
I: Perhatian pada peran gender anak I: Kehilangan dukungan dari anak I: Merasa bersalah A: Banyak bergerak A: Aktif A: Cengeng
26
I: Dinamika emosi anak
28 60
A: Imitasi
60 62 5 6 7 12 33 46 13 13
A: Perkembangan imajinasi A: Perkembangan bahasa
A: Perilaku melekat
A: Rewel A: Menangis kencang
SubKategori Dinamika emosi ibu dalam pengalaman pengasuhan
Kategori
Tema
Dinamika dalam pengasuhan Gambaran relasi ibu dan anak
Pengalaman ibu dalam pengasuhan
Gambaran sifat anak Pandangan terhadap sosok anak Gambaran perkembangan anak
Perilaku anak yang menjadi indikasi tantrum
Perilaku tantrum anak
Tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 179
13 13 53 34 51 51 15 47 32 33 3 5 38 7 5 7 38 11 31 32 33 52 54 4 2 30 39 40 36 40 14 41 60
A: Tengkurap di tempat tidur A: Tidak ingin disentuh A: Agresi diri sendiri A: Durasi lama A: Bertahap A: Semakin parah I: Segera harus ditangani A: Bolak-balik ditangani A: Gagal meregulasi keinginan A: Minim kehadiran orang dewasa A: Kehilangan sosok dewasa lain I: Tidak memberi kelekatan A: Ibu memiliki banyak waktu luang A: Interupsi atas perkembangan otonomi
Kualitas tantrum
Dinamika tantrum
Faktor emosi pemicu tantrum
Faktor sosial pemicu tantrum
Faktor pemicu tantrum
A: Interupsi atas keinginan A: Film
Faktor teknologi pemicu tantrum
A: Kehadiran orang lain (reunion) I: Waktu ekstra I: Merasa pekerjaan terganggu I: Aktivitas terganggu I: Keadaan emosi tak menentu I: Kesal
Dampak tantrum terhadap aktivitas ibu
I: Membutuhkan dukungan suami
Dukungan sosial
Faktor sosial pereda tantrum
Faktor pereda tantrum anak
Dampak tantrum terhadap ibu
Dampak tantrum terhadap emosi ibu Kebutuhan ibu dalam pengasuhan anak tantrum
Pengalaman ibu dalam pengasuhan anak tantrum
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 180
61 9 23
I: Rewel adalah wajar I: Aktif adalah wajar
36 37 48
I: Tidak sabar
49
I: Program tv
35 14 42
43 14 37 42 43 14 14 42 43 42 43 43 16 46 47 37 48
I: Mengeluh
I: Menjaga mood anak I: Mengikuti kemauan anak I: Menawarkan kenyamanan pada anak I: Menawarkan kenyamanan pada anak I: Mengajak berbicara I: Memberi nasihat I: Membuat perjanjian I: Membuat perjanjian I: Mengajak menonton I: Mengajak bermain I: Mengalihkan perhatian I: Mengalihkan perhatian I: Menghiraukan tantrum I: Menghiraukan tantrum I: Time-out I: Konsistensi penerapan strategi I: Menghindari hukuman fisik
Memandang wajar Respon negatif ibu terhadap tantrum anak Sumber informasi ibu Tindak pencegaham Memenuhi keinginan anak
Sikap ibu terhadap tantrum anak Respon ibu terhadap tantrum anak
Menawarkan kenyamanan
Melakukan diskusi Strategi ibu menangani tantrum
Mengalihkan perhatian
Time-out
Prinsip/ Nilai-nilai pengasuhan