THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
TODLER TEMPER TANTRUM Indanah1)Sri Karyati2) 1)
Jurusan Profesi Ners, Stikes Muhammadiyah Kudus email:
[email protected] 1) Jurusan Profesi Ners, Stikes Muhammadiyah Kudus email:
[email protected]
Abstract Temper Tantrum merupakan ledakan emosi anak usia toddler yang kuat sekali,Reaksi Tentrum merupakan respon yang terjadi jika kebutuhan anak khususnya todlertidak terpenuhi (Muhardi, 2010). Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku temper tentrum pada anak. Penelitia ini bertujuan mengetahui faktor yang berhubungan dengan temper tentrum pada anak usia toddler di PAUD Desa Loram Kulon Kecamatan Jati Kabupaten Kudus Tahun 2016. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa siswi di PAUDDesa Loram Kulon Kecamatan Jati Kabupaten Kudus berusia 1-3 tahun dan berjumlah 230 responden.Tekhnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Stratified Random Sampling berjumlah 146 responden.Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin anak, jumlah saudara, usia, pendidikan, pekerjaan orangtua, lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga dengan reaksi Temper tentrum anak dengan nilai p value masing masing <0,05. Berdasarkan analisis multivariat menunjukkan bahwa jumlah saudara merupakan variabel yang paling besar memberikan pengaruh terhadap reaksi Temper Tentrum pada anak dengan OR sebesar 4,92. Dengan hasil tersebut berarti anak yang memiliki saudara berpeluang 4,92 kali menunjukkan respon Tantrum yang tidak terkontrol/maladaptif. Kesimpulan : jumlah saudara merupakan variabel yang paling besar memberikan pengaruh terhadap reaksi Temper Tantrum pada anak Keywords: Temper Tantrum, todler 1. PENDAHULUAN Anak merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa. Anak memiliki potensi yang perlu ditumbuh kembangkan seluas-luasnya secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial-emosional. Dalam setiap pertumbuhan dan perkembangannya, setiap anak memiliki perbedaan karakteristik individual masing-masing (Riana, 2010). Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak bisa dipisahkan. Pertumbuhan dan perkembangan motorik dan fisik sangat berhubungan dengan perkembangan psikis anak. Dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, anak akan mengalami ‘golden periode” yang merupakan masa keemasan
pertumbuhan dan perkembangan. “Golden Periode” tersebut terjadi ketika anak menginjak usia 1 – 3 tahun. Pada Usia tersebut anak akan sangat peka dan sensitif terhadap berbagai rangsangan dan pengaruh dari luar. Saat masa keemasan, anak akan mengalami tingkat perkembangan yang sangat cepat, di mulai dari perkembangan berpikir, perkembangan emosi, perkembangan motorik, perkembangan fisik dan perkembangan sosial. (Anas, 2013). Masa toddler berada dalam rentang dari anak mulai berjalan sendiri sampai mereka berjalan dan berlari dengan mudah, yaitu mendekati usia 12 sampai 36 bulan(Potter, 2010). Perilaku anak pada masa toddler akan
1300
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
menguji kesabaran orang tuanya. Anak akan menjadi sangat egosentris dan tidak bisa melihat dari sudut pandang orang lain. Anak menginginkan kemandirian dan self-control untuk mengeksplorasi lingkungannya. Anak terkadang menunjukkan emosi yang berlebihan jika keinginnya tidak di turuti. Reaksi emosional anak yang berlebihan tersebut biasanya di tunjukkan dengan menangis, berdebat, berteriak, atau memukul. Reaksi emosional anak tersebut terjadi jika keinginan anak tidak di turuti oleh orang tuanya atau tujuan anak berbeda dengan tujuan dan respon orangtua. Respon emosional inilah yang disebut dengan temper tentrum. Respon yang terjadi jika kebutuhan anak untuk mandiri bertemu dengan kebutuhan orang tua akan keamanan dan kenyamanan anak (Muhardi, 2010). Temper tantrum sering terjadi pada saat anak menunjukkan sifat negativistik atau penolakan. Perilaku ini sering diikuti tingkah seperti menangis dengan keras, bergulingguling di lantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai kegiatan (Mashar,2011). Menurut Tandry (2010), Temper tantrum merupakan episode dari kemarahan dan frustasi yang ekstrim, seolah anak menjadi hilang kendali. Perilaku yang di tunjukkan antara lain berupa perilaku menangis, berteriak, dan gerakan tubuh yang kasar atau agresif seperti membuang barang, berguling di lantai, membenturkan kepala, dan menghentakkan kaki ke lantai. Pada anak yang lebih kecil (lebih muda) biasanya sampai muntah, pipis, atau bahkan sesak nafas karena terlalu banyak menangis dan berteriak. Bahkan terkadang anak menendang atau memukul orang tua atau orang dewasa lainnya. Jika kebutuhan anak untuk mandiri ini bertemu dengan kebutuhan orang tua akan keamanan dan kenyamanan, kondisi ini memunculkan temper tantrum(Muhardi, 2010). Perilaku temper tantrum seringkali terjadi pada anak-anak yang terlalu sering diberi hati, sering dicemaskan oleh orang tuanya, serta sering muncul pula pada anakanak dengan orang tua yang bersikap terlalu melindungi. (Hasan, 2011).
UAD, Yogyakarta
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Chichago, Amerika Serikat didapatkan 5080% temper tantrum terjadi pada usia 2-3 tahun terjadi seminggu sekali, dan 20% terjadi hampir setiap hari, dan 3 atau lebih temper tantrum terjadi selama kurang lebih 15 menit. (Tiffany, 2012).Penelitian lain yang dilakukan di Northwestern Feinberg, berdasarkan survei hampir 1.500 orang tua, studi ini menemukan bahwa sebesar 84% dari anak-anak usia 2-5 tahun meluapkan frustasinya dengan mengamuk dalam satu bulan terakhir, dan 8,6% diantaranya memiliki tantrum seharihari yang justru jika itu terjadi setiap hari merupakan tidak normal (Wakschlag, 2012). Umumnya perilaku temper tantrum berkembang sampai ke titik tertinggi pada usia 2 tahun, karena anak telah membangun kesadaran sebagai individu, memiliki pemahaman yang baik atau makna dari banyak kata, tetapi sulit merangkai kata-kata tersebut menjadi kalimat. Seiring bertambahnya usia temper tantrum pada anak akan menurun terutama ketika anak memasuki usia sekolah, yaitu usia diatas 4 tahun (Tandry, 2011). Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku ‘temper tentrum´pada anak. Faktor tersebut antara lain : Pendidikan orang tua, pola asuh orang tua, lingkungan (sosial dan keluarga), budaya, pengetahuan orang tua, pekerjaan orang tua, usia orang tua, jenis kelamin anak, dan jumlah saudara. Faktor lain yang terdapat dalam diri anak diantaranya juga memberikan pengaruh terhadap respon tentrum anak. Faktor tersebut antara lain : terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu, tidak terpenuhinya kebutuhan, anak merasa lelah, lapar atau dalam keadaan sakit (Hasan, 2011). Setiap perubahan yang terjadi pada anak. Perubahan eksternal dan juga internal yang sangat berkait erat dengan perubahan biologi yang kurang konsisten. Secara tidak langsung, ia mempengaruhi sikap orang tua terhadap reaksi anak-anak itu. Sekiranya orang tua kurang sensitif dengan perubahan emosi dan biologi anak-anak itu (Wulandari, 2013).Saat anak mengalami tantrum, banyak orangtua yang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang negatif, dan pada
1301
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
saat itu juga orangtua bukan saja bertindak tidak tepat tetapi juga melewatkan salah satu kesempatan yang paling berharga untuk membantu anak menghadapi emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut (Yusuf, 2011).Kesalahan penanganan pada masa perkembangan ini, akan menghambat perkembangan anak yang seharusnya optimal dari segi fisik dan psikologi. Berdasarkan fenomena tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan respon Temper Tentrum pada anak usia todler. 2. KAJIAN LITERATUR Temper Tentrum merupakan luapan kemarahan atau kekesalan, dan bisa terjadi pada semua orang.Namun, saat orang membicarakan tantrum, mereka biasanya membicarakan mengenai satu hal spesifik, yaitu luapan kemarahan yang dilakukan anak kecil.Tingkah laku ini biasanya mencapai titik terburuk sekitar usia 18 bulan hingga tiga tahun, dan kadang masih banyak dijumpai pada anak usia lima sampai enam tahun (Purnamasari, 2010). Menurut Chaplin (2009), Temper tantrummerupakan suatu ledakan emosi yang kuat dan disertai rasa marah, serangan agresif, ,menangis, menjerit-jerit, menghentak-hentakkan kedua kaki dan tangan pada lantai atau tanah. Temper tantrummerupakan luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Tantrumterjadi pada anak yang aktif dengan energi yang melimpah (Hasan,2011).Temper tantrum sering terjadi karena anak merasa frustasi dengan keadaannya, sedangkan ia tidak mampu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata atau ekspresi yang diinginkannya. Faktor- faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum diantaranya adalah : Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu. Anak menunjukkan respon tantrum guna menekan orang tua agar mendapatkan apa yang ia inginkan. Ketidakmampuan anak
UAD, Yogyakarta
mengungkapkan diri juga menjadi penyebab temper Tentrum. Anak-anak mempunyai keterbatasan bahasa. Pada saatnya dirinyaingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtua pun tidakdapat memahami maka hal ini dapat memicu anak menjadi frustasi dan terungkap dalam bentuk tantrum. Tidak terpenuhinya kebutuhan anak juga menjadi penyebab Temper Tentrum. Sebagai contoh: Anak yang aktif membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama.Apabila suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil, maka anak tersebut akan merasa stress.Salah satu contoh pelepasan stresnya adalah tantrum Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dan didominasi oleh orantuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku tantrum.Orang tua yang mengasuh anak secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak tantrum. Peran pengasuhan orang tua tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan orang tua. Melalui pengetahuan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana cara menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya dll. Kondisi sakit, lelah serta lapar dapat menyebabkan anak menjadi rewel. Anak yang tidak pandai mengungkapkan apa yang dirasakan maka kecenderungan yang timbul adalah rewel, menangis sertabertindak agresif.Anak yang merasa terancam, tidak nyaman dan stress apalagi bila tidak dapat memecahkan permasalahannya sendiri ditambah lagi lingkungan sekitar yang tidak mendukung menjadi pemicu anak menjadi tempertantrum. Aktivitas pengasuhan dan tingginya level tekanan dalam keluarga sering dihubungkan dengan gangguan pada masa kecil. Pengasuhan yang negatif dari keluarga sering memprediksikan munculnya masalah
1302
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
perilaku yang berkelanjutan pada anak. Pengasuhan yang asal-asalan, tidak konsisten, dan penuh penolakan akan mendatangkan kemarahan anak, frustrasi dan ketidakpatuhan. Sebaliknya, adanya kemampuan orangtua ataupun pengasuh untuk memenuhi kebutuhan anak akan tuntunan, dukungan, dan berbagi emosi yang positif yang mengatur tingkat perkembangan kepercayaan, pemahaman diri, serta kemauan untuk terlibat dengan orang lain dalam cara yang positif dan adaptif diyakini sebagai faktor positif bagi anak (Campbell, 2006). Aspek-aspek fisik dalam masyarakat seperti ketersedian lapangan bermain dan kehidupan bertetangga yang aman, sumber daya komunitas, seperti ketersediaan dan kualitas lingkungan prasekolah, adanya pekerjaan orangtua dan institusi pendidikan dan kesehatan telah seluruhnya dihipotesiskan mempengaruhi kualitas lingkungan anak dan pada akhirnya meningkatkan kualitas perkembangan anak (Campbell, 2006).Umur , pekerjaan, pendidikan orang tua menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi respon tentrum pada anak. Menurut Hurlock (2010) situasi yang menimbulkan temper tantrumntara lain : adanya rintangan terhadap gerak yang diinginkan anak, baik rintangan itu berasal dari orang lain atau dari ketidakmampuan diri sendiri. Rintangan terhadap aktivitas yang sudah mulai berjalan dan rintangan terhadap keinginan, rencana, dan niat yang ingin dilakukan anak. Hasan (2011) mengungkapkan bahwa Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Tantrum yang ditunjukkan anak dibawah usia 3 tahunmenangis dengan keras, menendang segala sesuatu yang ada di dekatnya, menjerit-jerit, menggigit, memukul, memekik-mekik, melengkungkan punggung, melemparkan badan ke lantai, memukul mukulkan tangan, menahan nafas, membentur -benturkan kepala, dan melempar- lempar barang. Untuk anak usia 3-4 Tahunperilaku – tentrum dengan menghentak-hentakkan kaki, berteriak-teriak, meninju, membanting pintu, mengkritik dan merengek. Sedang pada anka usia 5 tahun ke atasyaitu perilaku-perilaku pada 2 kategori usia di atas, memaki,
UAD, Yogyakarta
menyumpah, memukul kakak/ adik atau temannya, mengkritik diri sendiri, memecahkan barang dengan sengaja, dan mengancam. Menurut Anantasari (2007), ciri-ciri Tentrum antara lain Hidup tidak teratur (tidur makan,buang air besar dll), anak menjadi sulit beradaptasi dengan situasi atau orang orang baru. Anak juga menunjukkan suasana hatinya negative, cepat terpancing amarahnya dan sulit di alihkan perhatiannya. Perilaku Temper Tantrum bisa menunjukkan perilaku yang bisa terkontrol atau lebih bersifat Adaptif. Namun terkadang perilaku tantrum anak terkadang sangat susah dikendalikan / tidak terkontrol dan cenderung maladaptif. Perilaku adaptif ( adaptif behavior) diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memikul tanggung jawab social menurut ukuran norma social tertentu yang bersifat relative, sejalan dengan perkembangan usia Ginanjar (2006) mengungkapkan Perilaku Temper tantrum adaptif diantaranya : anak menghisap jempol, sulit tidur dan membasahi tempat tempat tidur ketika marah, anak memiliki masalah bicara dan komunikasi dengan orang tua dan orang lain, anak marah lebih dari 15 menit atau lebih dari 3 kali sehari dan pada anak yang remaja menjadi sulit dinasehati dan cenderung menantang Perilaku maladaptive anak adalah ketidakmampuan dalam penyesuaian mengimplikasikan seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan perilaku yang dikehendaki masyarakat.Perilaku temper tantrum mal adaptif tersebut antara lain : anak berperilaku marah, bertengkar dan memukul, anak marah dengan berbaring di lantai,menendang,berteriak, dan menahan nafas, anak mengamuk jika keinginan tidak terpenuhi dan anak berteriak ,menangis dan menghentakkan kaki dilantai ketika merasa lapar dan lelah Menurut Stanley Turecki, M.Ddalam Naila (2009) seorang psikiatris anak dan keluarga yang juga diplomat dari The American Board of Psychiatry and Neurology, membagi tantrum menjadi dua jenis, yaitu:
1303
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Manipulatif tantrum dan Temperamental Tentrum. Manipulatif tantrum yaitu tantrum akibat kemauan anak tidak dituruti.Misalnya anak minta dibelikan permen di supermarket tetapi tidak dituruti orang tua.Anak menjadi tantrum karena tidak dituruti keinginannya.Orang tua merasa malu karena perilaku anak tersebut, dan terpaksa membelikan permen. Anak akan salah persepsi dan menganggap bahwa jika dia tantrum, keinginan anak akan terpenuhi. Temperamental tantrum yaitu tantrum karena temperamen anak tidak dipahami.Misalnya anak yang tantrum karena disuruh mandi saat anak masih asyik bermain boneka.Anak tidak bisa dipaksa melakukan kegiatan yang tidak diinginkanya.Akan tetapi orang tua tidak mengerti kondisi anak, dan tetap memaksa anak. Akhirnya anak akan tantrum agar orang tua bisa memahami anak. Bentuk-bentuk temper tantrum menurut (Tandry, 2010 ) dan ( Muhartadi, 2010 ) bias terungkapkan dalma bentuk verbal dan fisik. Bentuk temper tantrum verbal diantaranya menangis dengan keras, menjerit-jerit, berteriak-teriak, merengek, memaki, mengancam.Bentuk temper tantrum fisik diantaranya menggigit, memukul, meninju, menendang, berguling-guling di lantai, melempar-lempar maina/barang, membanting pintu, menghentak-hentakkan kaki, menahan nafas, membenturkan kepala. Saat anak mengalami tantrum, banyak orangtua yang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang negatif, dan pada saat itu juga orangtua bukan saja bertindak tidak tepat tetapi juga melewatkan salah satu kesempatan yang paling berharga untuk membantu anak menghadapi emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut (Yusuf, 2011). Tantrum yang tidak diatasi dapat membahayakan fisik anak, selain itu anak tidak akan bisa mengendalikan emosinya atau anak akan kehilangan kontrol dan akan lebih agresif. Hal ini akan mengakibatkan anak tidak bisa menghadapi lingkungan luar, tidak bisa beradaptasi, tidak bisa mengatasi
UAD, Yogyakarta
masalah, tidak bisa mengambil keputusan dan anak tidak akan tumbuh dewasa, karena melewati tantrumakan membuat anak tumbuh dewasa (Dariyo, 2007). Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku tantrum adalah bahwa dengan tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit. Namun demikian bukan berarti bahwa tantrum sebaiknya harus dipuji dan disemangati (encourage). Jika orangtua membiarkan tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia tantrum) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orang tua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif. Sebaiknya orang tua memberikan pendekatan positif pada anak, misalnya dengan memberikan pujian, dan penghargaan yang lebih banyak dibandingkan hukuman (Meadow, 2009). Dengan bertindak keliru dalam menyikapi tantrum, orang tua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal(marah, frustasi, takut, jengkel, dan lain-lain)secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut (Soetjiningsih, 2007). Menurut Maryumi (2010) ada masa usia dimana seorang anak masih wajar untuk memiliki “temper tantrum”, yaitu pada usia 18 bulan sampai dengan 4 tahun. Akan tetapi bukan berarti jika anak menjadi tantrum pada usia itu orang tua dapat terus memaklumi tanpa melakukan tindakan, karena jika orang tua tidak membiasakan untuk memperlakukan anak yang tantrum dengan tepat sejak dini, bukan tidak mungkin anak tersebut akan terus memiliki”temper tantrum” sampai usianya dewasa nanti. Puncak tantrum terjadi saat usia 2-3 tahun, disebut juga toddler atau terrible two.
1304
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Mengapa terrible two ?karena anak-anak pada usia 2-3 tahun mempunyai karekteristik tersendiri yang berbeda dengan bayi dan anak usia prasekolah. Anak usia 2-3 tahun memiliki perilaku yang mirip dengan perilaku remaja, seperti misalnya sulit di nasihati dan cenderung menentang. Itulah mengapa anak pada usia ini mengalami puncak tantrum (Soetjiningsih, 2007). Pada anak usia 2-3 tahun, tantrum terjadi karena anak usia tersebut biasanya sudah mulai mengerti banyak hal dari yang didengar, dilihat maupun dialaminya, tetapi kemampuan bahasa atau berbicaranya masih sangat terbatas (Hasan, 2011). 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan deskripsi analitik dengan desain penelitian cross sectional Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan tekhnik Stratified Random Sampling. Penelitian dilakukan selama 1 bulan yaitu bulan Maret 2016
digunakan untuk mengetahui faktor yang dominan berpengaruh dengan menggunakan regresi logistic. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini membuktikan dan menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan, apakah ada hubungan antara jenis kelamin, jumlah saudara, usia, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan orangtua, lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga dengan temper tantrum pada anak usia toddler di PAUD Desa Loram Kulon Kecamatan Jati Kabupaten Kudus. Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa temper tantrum responden sebagian besar kategori terkontrol / adaptif yaitu sebanyak 81 orang (55,5%). Hal tersebut dapat di lihat pada Diagram 1. Diagram 1 Distribusi Responden Berdasarkan perilaku temper tentrem
Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia toddler di PAUD Desa Loram Kulon Kecamatan Jati Kabupaten Kudus sejumlah 230 anak beserta orang tuanya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 146 anak beserta orang tuanya. Penelitian ini menggunakan kuisioner yang berisi daftar pertanyaan tentang data demografi, jenis kelamin anak, jumlah saudara, faktor lingkungan, usia, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan orang tua dan temper tantrum yang sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas dengan dengan menggunakan korelasi Pearson product moment. Data pada penelitian ini dianalisis menggunakan satu program komputer. Data dianalisis dengan menggunakan analisis univariat, bivariat, dan multivariate. Analisis univariat dilakukan pada variabel jenis kelamin anak, jumlah saudara, faktor lingkungan, usia, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan orang tua dan temper tantrum Analisis bivariat yang digunakan adalah analisis chi square. Analisis multivariate
UAD, Yogyakarta
Adaptif / Terkontrol 55%
Mal Adaptif / Tidak Terkontrol 45%
Analisis univariat yang dilakukan terhadap variabel bebas didapatkan data bahwa, dari 146 responden anak Todler merupakan anak dengan rata rata usia 31 bulan ( 2 tahun, 6 bulan) , 73,3% (107) anak berjenis kelamin Laki Laki, 60 % (88) anak memilki saudara. Analisis terhadap faktor orang tua menunjukkan bahwa rata rata orang tua berusia 32 tahun dengan usia termuda 26 tahun dan tertua 34,5 tahun, 47,3% (70) orangtua berpendidikan SMA, 73% (107) memiliki pekerjaan dan sebagian besar 73 % (106) orangtua memliki berpengatahuan yang kurang tentang temper tantrum pada anakBerdasarkan analisa univariat terhadap variabel lingkungan, didapatkan hasil bahwa 51 % (75) anak berada pada lingkungan
1305
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
sekolah yang baik dan 55 % (81) anak berada pada lingkungan keluarga yang kurang baik atau kurang mendukung dalam menghadapi respon temper tantrum pada anak. Berdasarkan analisis bivariat variabel bebas terhadap variabel temper tantrum didapatkan hasil yang dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan tabel 1 didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
UAD, Yogyakarta
jenis kelamin anak dan jumlah saudara dengan temper tantrum pada anak usiatodler dengan p value 0,023 dan 0, 011.
Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Temper Tantrum pada anak usia Todler No
1
2
3
4
5
6
7
8
Variabel
Temper Tantrum
Total
OR (95%CI)
P Value
Mal Adaptif n %
n
%
n
%
54 11
50,5 28,2
53 28
49,5 71,8
107 39
100 100
2,59 1,17 -5,74
0, 023
18
31
40
69
58
100
2,547
0,011
47
53,4
41
46,6
88
100
1,27 – 5,11
45 20
36,6 87
78 3
63,4 13
123 23
100 100
0,087 0,024 – 0,307
37 20 8
63,8 28,6 44,4
21 50 10
36,2 71,4 55,6
58 70 18
100
Pekerjaan Orangtua Bekerja Tidak Bekerja
40 25
37,5 37,4
67 14
62,5 35,9
107 39
100 100
2,991 1,395 – 6,412
Pengetahuan Orangtua Baik Kurang Baik
17 48
42,5 45,3
23 58
57,5 54,7
40 106
100 100
1,120 0,54 – 2,33
0,853
Lingkungan Keluarga Baik Kurang Baik
21 44
32,2 54,3
44 37
67,7 45,7
65 81
100 100
0,401 0,203 – 0,792
0,012
Lingkungan Sekolah Baik Kurang Baik
25 40
33,3 56,3
50 31
41,6 43,7
75 71
100 100
0,388 0,198 – 0,76
0,008
Jenis Kelamin Laki Laki Perempuan Jumlah Saudara Tidak Memiliki Saudara Memiliki Saudara ≥ 1 Usia Orang Tua ≤ 35 tahun 35 tahun Pendidikan Tua Dasar Menengah Tinggi
Adaptif
0,000*
Orang
Tandry (2010) memaparkan temper tantrum adalah suatu perilaku yang tergolong normal dan merupakan bagian dari proses perkembangan yang pasti akan berakhir. Jika orang tua membiarkan tantrum berkuasa, berarti orang tua sudah menyemangati dan
0,000*
100
0,005
memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif. Anak laki-laki lebih membutuhkan perhatian yang banyak dibandingkan anak perempuan untuk mencapai suatu kemandirian. Pernyataan tersebut
1306
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
menunjukkan bahwa apabila seorang anak laki-laki dan perempuan diberikan perhatian yang sama belum tentu dapat melakukannya secara mandiri karena itu anak laki-laki harus lebih banyak mendapat perhatian, karena perkembangan anak laki-laki dibagian otak depan yang berfungsi untuk mengenali rangsangan-rangsangan penting sebagai pengendalian diri lebih lambat daripada anak perempuan (Darkusno, 2012 dalam Putri, 2013). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lisnawati (2012) dan Purba (2011) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan perilaku temper tantrum anak usia toddle. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada anak lakilaki cenderung sering marah Bentuk perilaku temper tantrum anak laki laki cenderung berupa respon emosi secara fisik sedangkan pada anak perempuan menunjukkan perilaku temper tantrum bentuk verbal ketika sedang marah. Selain usia, Jumlah saudara yang besar cenderung menghasilkan hubungan yang lebih banyak perselisihan daripada jumlah saudara yang kecil, Hurlock (2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lusiana (2015) dan Putriamanah (2015) mengenai fenomena temper tantrum juga menunjukan bahwa besarnya keluarga mempengaruhi sering dan kuatnya rasa cemburu anak yang menjadi salah satu pemicu anak berperilaku temper tantrum. Memiliki saudara dalam sebuah keluarga akan menimbulkan perilaku temper tantrum pada anak semakin tinggi karena waktu berkumpul tidak sama dengan anak yang lainnya (Rahman, 2013). Berdasarkan variabel orang tua (usia, pendidikan, pekerjaan, dan pengetahuan orangtua), hanya faktor pengetahuan yang nilai p ≥ 0,05 yaitu sebesar 0,0853 sehingga faktor pengetahuan tidak ada hubungan yang signifikan dengan respon temper tantrum pada anak usia todler. Berdasarkan analisis terhadap faktor orangtua, faktor usia seorang ibu mempunyai hubungan yang signifikan dengan respon temper tantrum. Usia ibu berpengaruh pada pola pikirnya sehingga apabila ibu yang mempunyai anak dengan risiko temper tantrum jika tidak mempunyai
UAD, Yogyakarta
pemikiran yang matang tidak bisa menangani perilaku temper tantrum anaknya dengan baik (Werdiningsih, 2012). Demikian juga dengan faktor pendidikan. Pendidikan orang tua yang tinggi dan baik dapat dijadikan sebagai media untuk menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara mengatur dan mengasuh anak yang baik, menjaga kesehatan anak, memantau tumbuh kembang anak dan pendidikan anak, (Soetjiningsih, 2010).Soetjiningsih (2007) juga mengungkapkan bahwa orang tua dengan latar belakang pendidikan tinggi akan bersikap lebih siap dalam mengasuh anaknya, karena pengetahuan. Pendidikan ibu yang cukup berpengaruh dalam memenuhi perannya, serta pengalaman ibu dalam merawat dan mengasuh anaknya (Werdiningsih, 2012). Namun, tingkat pendidikan yang mempunyai pendidikan dasar (SD-SMP) dapat berpengaruh pada kurangnya pemahaman informasi yang didapat terutama yang berhubungan dengan perkembangan anak. Orang tua yang memiliki pendidikan yang kurang akan mengalami keterlambatan informasi, lebih mendidik secara apa adanya sesuai apa yang diketahuinya, sehingga hal ini dapat berpengaruh pada perkembangan anak dalam kemampuan berperilaku. Bekerja adalah kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mencari nafkah atau mata pencaharian demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bekerja pada dasarnya adalah suatu usaha atau aktivitas yang dilakukan seseorang pada suatu instansi atau perusahaan, bekerja mempunyai manfaat positif bagi sang ibu maupun bagi keluarga (Alwi, 2000 dalam Nurhidayah, 2008). Pekerjaan orang tua atau seseorang akan mempengaruhi kemampuan ekonominya, untuk itu bekerja merupakan suatu keharusan bagi setiap individu sebab dalam bekerja mengandung dua segi, kepuasan jasmani dan terpenuhinya kebutuhan hidup (Handoko, 2010).Perilaku temper tantrum ditunjukkan pada anak yang kurang mendapat waktu kebersamaan antara ibu dan anak karena kesibukan pekerjaan. Para ibu bekerja untuk ikut berperan mendukung ekonomi (Nurhidayah, 2008).
1307
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Perilaku temper tantrum anak dapat dipengaruhi beberapa factor salah satunya adalah pengetahuan orang tua, orang tua. Orang tua yang memiliki cukup pengetahuan tentang penanganan perilaku temper tantrum akan segera cepat mengenali reaksi temper tantrum pada anaknya terutama pada usia 1 sampai 3 tahun dan mengetahui cara yang tepat jika anaknya mengalami temper tantrum di rumah ataupun tempat umum (Zaviera, 2008). Namun dalam penelitian ini, pengetahuan tidak ada hubungan yang signifikan dengan respon temper tantrum anak todler. Hal tersebut terjadi karena orangtua menganggap respon tantrum adalah respon yang pasti terjadi pada anak usia todler dan menganggap hal tersebut tidak membutuhkan perhatian yang khusus. Saat anak mengalami tantrum, banyak orangtua yang beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang negatif, dan pada saat itu juga orangtua bukan saja bertindak tidak tepat tetapi juga melewatkan salah satu kesempatan yang paling berharga untuk membantu anak menghadapi emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut (Yusuf, 2011). Hal tersebut berbeda dengan hasil penelitian Naheed (2013) tentang “Development Children During First 2 Years of Live” dimana disimpulkan bahwa pengetahuan dalam keluarga sangat mempengaruhi perkembangan pada anak. Semakin baik pengetahuan keluarga, maka akan mengoptimalkan perkembangan anak secara dini. Analisis bivariat terhadap faktor lingkungan menunjukkan bahwa baik lingkungan sekolah maupun lingkungan keluarga mendapatkan hasil p value ≤ 0,05 sehingga terdapat hubungan yang signifikan anatara lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga terhadap respon temper tantrum pada anak usia todler. Lingkungan juga berhubungan dengan respon temper tantrum pada anak usia todler Lingkungan Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan
UAD, Yogyakarta
pribadi anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilainilai kehidupan mempersiapkan anak menjadi pribadi yang baik. Pengaruh keluarga dalam penelitian anak sangat besar dalam berbagai macam sisi, kepribadian anak tergantung pada pemikiran tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya, lingkungan keluarga yang kondusif atau baik akan mewujudkan kepribadian anak yang baik, sebaliknya apabila lingkungan keluarga tidak kondusif atau kurang baik, maka kondisi ini tidak menutup kemungkinan untuk anak berbuat buruk atau meluapkan emosi untuk melampiaskan keinginannya yang tidak tercapai yang akan menyebabkan temper tantrum (Yusuf, 2012).Penelitian ini senada dengan penelitian Elliott (2010) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa adanya pengaruh signifikan keterlibatan orangtua dalam membantu penanganan emosi pada anak yang mengalami tantrum. Peran orangtua dalam memberikan pendidikan anak terbukti memberikan banyak dampak positif bagi anak dan pada perkembangan anak. Perilaku anak ditentukan oleh kuat lemahnya perasaan yang dapat menyenangkan atau mengganggu dirinya. Perasaan anak adalah sumber energi yang dapat menentukan perilakunya. Perasaan positif dapat menimbulkan kepercayaan diri yang memberikan kekuatan yang besar dalam memotivasi anak untuk membuka diri terhadap lingkungan untuk berkembang. Temper tantrum seringkali terjadi sebagai respon terhadap keinginan atau harapan yang tidak terpenuhi. Lingkungan sekolah dan teman sebaya yang baik akan menjadi model untuk ditiru oleh anak usia toodler, walaupun kelompok sepermainan belum begitu tampak pengaruhnya namun pada usia toddler anak sudah mempunyai sahabat-sahabat yang terasa dekat dengannya, sahabat juga cenderung memiliki kesempatan yang besar untuk memberikan pengaruh yang baik dan benar, walaupun tidak mustahil bahwa ada sahabat yang memberikan pengaruh yang kurang baik. Kelompok sahabat tersebut berkembang dengan lebih luas, perkembangan lebih luas itu antara lain disebabkan karena bertambah luas ruang lingkup pergaulannya, baik disekolah maupun
1308
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
diluar sekolah. Apabila teman sebayanya menampilkan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang baik maka anak cenderung akan terpengaruh untuk mengikuti atau mencontoh perilaku tersebut. Hal ini akan terjadi apabila anak kurang mendapat bimbingan dari keluarganya (Yusuf, 2012).
Anantasari.( 2007). Menyikapi Perilaku Agresif Anak. Jogjakarta: Kanisius.
Berdasarkan analisis multivariat menunjukkan bahwa jumlah saudara merupakan variabel yang paling besar memberikan pengaruh terhadap reaksi Temper Tentrum pada anak dengan OR sebesar 4,92. Dengan hasil tersebut berarti anak yang memiliki jumlah saudara lebih dari 1 berpeluang 4,92 kali menunjukkan respon Tentrum yang tidak terkontrol/maladaptif.
Arikunto, Suharsimi. (2006).Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
5. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian adalah ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin anak, jumlah saudara, usia, pendidikan, pekerjaan orangtua, lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga dengan reaksi Temper tentrum anak dengan nilai p value masing masing <0,05. Berdasarkan analisis multivariat menunjukkan bahwa jumlah saudara merupakan variabel yang paling besar memberikan pengaruh terhadap reaksi Temper Tentrum pada anak dengan OR sebesar 4,92. Dengan hasil tersebut berarti anak yang memiliki jumlah saudara lebih dari 1 berpeluang 4,92 kali menunjukkan respon Tentrum yang tidak terkontrol/maladaptif.
Barbara, K. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Edisi 7 ed., Vol. Volume 1). Jakarta: EGC.
6. DAFTAR PUSTAKA ___________. (2010). Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Alimul Hidayat, Aziz. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Tekhnik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Alitani, M. B. (2009, September 24). Pengaruh Metode Sosial Story terhadap Penurunan Temper Tantrum pada Anak Autis. Tesis Perpustakaan Unika.
1309
Andranita, M. (2008). Perbedaan Fokus Karir antara Pekerja yang Pindah Kerja dan Tidak Pindah Kerja. http://www.lontar.ui.ac.id.
Azwar,
S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Azwar. (2010). Sikap Manusia Teori & Pengukurannya. Jakarta : Pustaka Belajar.
Campbell,S.B.( 2006). Behavior Problems in Preschool Children, Clinical and Developmental Issues.USA :Guiford Press Dariyo,
Agoes.( 2007). Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama, Bandung : PT. Refika Aditama.
Dinantia, F. (2014). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Frekuensi dan Intensitas Perilaku Temper Tantrum pada Anak Toddler. JOM PSIK VOL.1 NO.2 OKTOBER 2014 . Djiwandono, S. E. (2006). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Grasindo. Drey. (2006). Ketika Anak Sulit Diatur: Panduan Orangtua Mengubah Masalah Perilaku Anak. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Fuad, I. (2010). Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Ginanjar, A. S. (2005). Penanganan Perilaku dan Kurikulum bagi Anak Autis. Jakarta: Mandiga. Hames,
P. (2005). Menghadapi dan Mengatasi Anak yang Suka Ngamuk. (S. Purwoko, Trans.) Jakarta: PT. Gramedia.
Handayani, W. (2006). Psikologi Keluarga. Jakarta: Pustaka Utama. Hasan, M. (2011). Pendidikan Anak Usia Dini. Jogjakarta: Diva Press. Hasan.
(2009). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kemampuan Ibu dalam Mengatasi Perilaku Temper Tantrum pada Anak Usia Balita di Kelurahan Delima Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru. Pekanbaru: PSIK UNRI. Hidayat, A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika. Hildayati, R. (2009). Penanganan Anak Berkelainan (Anak Dengan Kebutuhan Khusus). Jakarta: Universitas Terbuka. Hurlock, E.B. (2010).Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Imaniah, M. D. (2013). Perbedaan Pencapaian Tugas Perkembangan Anak Usia Prasekolah Pada Ibu Yang Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja Di Desa Serut Kecamatan Panti Kabupaten Jember. Itriyah. (2015). Pola Asuh Orang tua dengan Tempertantrum Anak Pada Warga Rumah Susun di Kotamadya Palembang , 1-6. Kirana, r. s. (2013). Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Temper Tantrum Pada Anak Pra Sekolah , 1-130. Lusiana,
E. (2015). Perbedaan Risiko Temper Tantrum Anak Usia
1310
UAD, Yogyakarta
Prasekolah antara Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja di Roudlotul Atfal MAN 2 Kelurahan Gebang Kecamatan Patral Kabupaten Jember. Digital Repository Universitas Jember . Mandleco, & Potts, N. L. (2007). Pediatric Nursing Caring for Children and Their Families 2nd Edition. Canada: Thomson Delmar Learning. Marcdante, K. J. (2014). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial, Edisi Keenam. Indonesia: Saunders Elsevier. Mashar, R. (2011). Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Mediansari, R. H. (2014). Hubungan antara Kecerdasan Emosional Orang Tua dengan Perilaku Temper Tantrum Anak Usia Toddler. perpustakaan.uns.ac.id . Meliono,I., dkk.,( 2007).Pengetahuan. Dalam: MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI;33-35. Mubarak, WahitIqbal, dkk.( 2007). Promosi Kesehatan Sebuah Pengantar Proses Belajar Mangajar dalam Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mudyaharjo. (2008). Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang DasarDasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Muhardi, A. (2010, oktober 5). Tantrum. html://scrib.com Niniek, K. (2011). Thesis Hubungan antara Tingkat pendidikan orang tua Dengan Orientasi pola asuh anak di Desa Losari Kidul Kecamatan Losari Kabupaten Brebes. http://lib.unnes.ac.id/6585/ (sitasi 28 juni 2012)
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
PAUD Dewi Kunti Surabaya. http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ju promkes7483a304abfull.pdf .
Notoatmodjo, S.(2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurhidayah, S. (2008). Pengaruh Ibu Bekerja dan Peran Ayah dalam Coparenting terhadap Prestasi Belajar Anak. Petranto, I. (2006). Rasa Percaya Diri Anak adalah Pantulan Pola Asuh Orang Tuanya. http://dwpptrijenewa.isusse.com/bull etin/?m=220060 . Rahmadiana. (2011). Mengkomunikasikan Moral pada Anak. Jakarta: PT Elex Komputindo. Rahmatsyah. (2012). Cara Mengatasi Temper Tantrum Anak .
http://library.upnvj.ac.id/pdf/s1ke perawatan09/207314009/bab2.pd f Rusmil, K. (2006). Pedoman Pelaksanaan Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh kembang Anak di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta: Depkes RI Soetjiningsih dan Ranuh, Gde. (2013). Tumbuh kembang anak edisi 2. Jakarta : EGC. Sujiono, Yuliani Nurani. (2009). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : PT. Indeks. Supartini, Y. (2014). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC. Surbakti. (2012). Parenting Anak-anak. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo Syafei, S. M. (2012). Bagaimana Anda Mendidik Anak. Bogor: Ghalia Indonesia. Syam, S. (2013). Hubungan Pola Asuh Orang Terhadap Kejadian Temper Tantrum Anak Usia Toddler Di
1311
UAD, Yogyakarta
Tandry,N.(2010). Bad Behavior, Tantrums and Tempers. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Wakschlag, Lauren S., Choi, Seung W., Carter, Alice S. (2012). Defining the developmental parameters of temper loss in early childhood: implication for developmental psychopathology.The Journal of Child Psychology and Psychiatry (Vol. 53, No.11, November 2012). Wawan, A dan Dewi, M. (2010). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia. Yogyakarta : NuhaMedika Wina, W., Mubiar, A., & Ira, R. (2013). Studi Deskriptif Kualitatif Upaya Guru dalam Mengatasi Anak Temper Tantrum di Taman KanakKanak Nurul Falaah. Bandung Wong, L. D. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik (Vol. 1). Jakarta: EGC. Wong, Donna L .(2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6. Jakarta : EGC Yusuf,
H. Syamsu. (2011). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zakiyah, N. (2015). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kejadian Temper Tantrum pada Anak Usia Toddler di Dukuh Pelem Kelurahan Batu Retno Banguntapan Bantul. Zaviera, F. (2008). Mengenali & Memahami Tumbuh Kembang Anak. Yogyakarta: Katahati.