Peluang untuk Studi Kartografi Politik Indonesia Representasi Spasial Sistem Sosial Kompleks Hokky Situngkir
[email protected] Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute Research Fellow at Surya Research International
July 7th 2007
Abstrak Makalah menunjukkan bagaimana studi kartografi dapat dieksploitasi untuk mengurangi kompleksitas permasalahan representasi data dengan pemetaan yang akurat pada bidang spasial. Kajian geo‐visualisasi ini mengadaptasi persamaan difusi yang sering digunakan dalam ilmu fisika untuk konstruksi kartogram sebagaimana diusulkan pada [15]. Makalah membangun beberapa kartogram yang berkenaan dengan deskripsi statistik sistem politik di Indonesia dan keterwakilan aspirasi masyarakat melalui pemilihan umum. Beberapa peluang pengembangan studi kartografi ini juga digambarkan sebagai arah kerja penelitian lanjutan. Kata Kunci: kartogram, geovisualisasi, sosiofisika, persamaan difusi, sistem kompleks sosial. 1
1. Latar Belakang Keunikan perkembangan kajian terhadap sistem sosial senantiasa berada pada batas‐batas yang mungkin antara universalitas dan sifat unik yang dimiliki oleh manusia tersebut [1]. Kajian terhadap sebuah entitas atau fenomena dalam sistem sosial senantiasa tidak pernah sederhana melainkan sangat kompleks sebagai sifat alamiah dari masyarakat itu sendiri. Kajian ilmu sosial mesti memperhatikan kompleksitas ini melalui upaya analitik yang menjembatani apa yang universal dan apa yang unik [2]. Ini merupakan inti dari kajian humaniora integratif yang berupaya untuk mendudukkan sistem sosial dalam batas‐batas spasio‐temporalnya namun tetap mengacu kepada perilaku universal yang ada padanya. Beberapa batasan perilaku universal adalah kenyataan tentang heterogenitas agen dan bagaimana pengaturan diri sendiri pada kondisi kritikal telah membrojolkan (emerging) sifat distribusi ekor gemuk yang terkenal dengan persistensi hukum Pareto dalam sistem sosial dan ekonomi [3], distribusi populasi dalam kependudukan [4], keterhubungan sosial [5] bahkan ke berbagai dampak‐dampak sosial budaya manusia [6]. Berbagai pendekatan interdisiplin dengan wajah ekonofisika maupun sosiofisika [7] telah menunjukkan hal‐hal yang menarik ini, bahwa sistem sosial tak mungkin lepas dari formalisasi dan keketatan definitif meski tak mungkin pula terbelenggu pada pendekatan formal ini. Ini merupakan daya tarik dan tantangan berbagai pendekatan interdisiplin dalam perspektif kompleksitas dalam kajian humaniora baik ekonomi, politik, ilmu perilaku dan psikologi, dan sebagainya. Namun di sisi lain, berbagai pendekatan interdisiplin tersebut telah pula memahami sifat kebergantungan pada jalur (path dependence) dan kepekaan pada kondisi awal (sensitive to initial conditions) dari sistem kompleks sosial tersebut. Hal inilah yang menjadi biang keladi dari keunikan pada sistem sosial yang senantiasa membuat ilmu sosial harus selalu berdiri pada studi kasus fenomena sosial pada tempat (spasial) dan waktu (temporalitas). Dalam hal ini terdapat dua kajian yang dalam waktu yang akan datang tentunya akan menjadi landasan kerja penelitian yang sangat menarik. Pertama, pendekatan pemodelan berbasis agen yang dirintis penggunaannya dalam berbagai penelitian interdisiplin dalam rangka memberikan penjelasan atas berbagai fenomena sosial yang dilakukan melalui pendekatan masyarakat buatan (artificial societies) telah cukup populer. Pendekatan ini bersandar pada kenyataan sifat ketaklinieran level deskripsi mikro dan makro dalam sistem sosial melalui upaya observasi dengan simulasi komputer: agen dan perilakunya “ditumbuhkan” dalam dunia virtual komputasi dan pada platform ini analisis dan eksperimentasi atas sistem sosial tiruan tersebut dapat dilakukan [8]. Isu ini secara terpisah dilatarbelakangi atas ikhwal ketaklinieran pendekatan fenomena makro‐sosial dan level aktor/agen sosial yang menjadi penyebab fenomena makro tersebut [9]. Kedua, pendekatan teknologi komputasi telah pula memberikan kemampuan analitik agar dunia artifisial tak hanya berkaitan pada aturan (rule) mikro yang menjadi dasar teknik rekayasa (engineering) dari agen sosial buatan, namun berbagai teknik sedemikian agar visualisasi agen tempat “tumbuh” juga memiliki kemiripan dengan dunia nyata. Ini ditopang oleh perkembangan teknologi Geographic Information System (GIS) yang saat ini telah dapat dieksploitasi bahkan dengan komputer/laptop dengan spesifikasi umum [10]. Hal ini merupakan tren masa depan termutakhir dari pengembangan perangkat analitik pemodelan berbasis agen [11]. Sebuah aplikasi sederhana telah dilakukan untuk memahami potensi bahaya atas epidemi flu burung melalui teknik lapisan‐lapisan (layers) raster matriks dengan implementasi terpadu aturan otomata selular pada matriks peta Indonesia [12].
2
Kedua hal ini menjadi arahan pengembangan sains modern yang menjadi kajian menarik sains kompleksitas di masa yang akan datang. Intinya adalah upaya representasi data analisis dari hasil observasi pada lingkup spasio‐temporal sedemikian sehingga baik rekanan peneliti lain (ataupun pengguna (user) hasil analisis) mendapatkan pemahaman dengan cepat dan tepat sehingga fungsi sains dan penelitian sebagai penopang sistem pengambilan keputusan dapat tercapai dengan efektif. Secara sederhana, perkembangan termutakhir di atas memiliki motif utama agar data (baik hasil simulasi maupun representasi analisis) dapat terangkum dalam visualisasi yang dapat dengan mudah dipahami; dalam hal ini, visualisasi yang paling mewakili secara spasial tentunya adalah peta yang dirancang sedemikian rupa sehingga merepresentasikan baik informasi yang ingin disampaikan maupun kisaran posisinya di muka bumi [13]. Hal inilah yang ingin diketengahkan oleh makalah ini, yakni satu dari sekian teknik representasi analisis data berbasis peta sehingga informasi yang diketengahkan menjadi semakin cepat untuk diakuisisi. Meski harus disadari bahwa dampak dari uraian dalam makalah ini memiliki lingkup dan disiplin ilmu yang luas dalam berbagai representasi data dalam analisis sosial, kita memilih sistem politik Indonesia sebagai bahan kajian dengan alasan ketersediaan data sebagai pertimbangan utama. Makalah ini disusun dalam struktur sebagai berikut. Diskusi akan diawali dengan beberapa hal yang berkaitan dengan representasi data berdasarkan peta geografis dan beberapa teknik kartografi. Bagian ini diikuti dengan diskusi penggunaan teknik difusi pada ilmu fisika yang digunakan untuk konstruksi kartogram. Makalah disertai dengan studi kartografi pada sistem politik aktual Indonesia yang berkenaan dengan representasi spasial dari aspirasi masyarakat melalui partai politik dan beberapa hal yang berkenaan dengannya. Makalah diakhiri dengan arah pengembangan lanjutan pada bidang kartografi melalui teknik serupa untuk berbagai bidang analitik pada sistem sosial dan ekonomi secara umum. 2. Konstruksi Kartogram Difusi Kartografi merupakan studi pembuatan peta, yang secara historis adalah upaya menggambarkan wajah geografis muka bumi. Saat ini, peta sudah tak hanya digunakan untuk keperluan navigasi atau tujuan‐tujuan penelaahan geoposisi semata. Peta telah digunakan untuk berbagai keperluan yang salah satunya adalah untuk merepresentasikan data secara visual bahkan dapat pula berguna untuk upaya mencari informasi dan pola spasial [14]. Secara umum, kartografi telah berubah fungsi menjadi upaya rekayasa pada peta, melalui teknik pewarnaan dan gradasi, penggambaran bentuk, dan sebagainya sehingga pola representasi yang dikehendaki dapat muncul secara visual dengan berbagai constraint mulai dari akurasi informasi yang ditunjukkan bahkan hingga nilai‐nilai estetika dan keindahan. Penggunaan kartogram telah sangat luas penggunaannya untuk berbagai tujuan mulai dari keperluan visualisasi penjualan produk yang berskala besar, analisis politik, analisis cuaca dan iklim, hingga keperluan‐keperluan intelijen, militer, pertahanan dan keamanan [10]. Berbagai pendekatan kartografi telah banyak digunakan. Dalam hal analisis peta politik, misalnya, kartogram – sebutan akrab untuk visualisasi peta dengan informasi lebih dari sekadar informasi geoposisi – acap digunakan baik oleh para analis maupun sekadar sebagai snap show berita politik. Sebuah peta yang acap kita lihat, misalnya ditunjukkan pada gambar 1. Pada peta tersebut ditunjukkan seberapa besar kemenangan Partai Golkar pada hasil Pemilihan Umum 2004 yang lalu. Dalam bentuk kartogram semacam ini, warna 3
dan gradasi adalah variabel yang digunakan untuk merepresentasikan data. Pada gambar tersebut ditunjukkan bahwa wilayah dengan warna hitam adalah wilayah yang dimenangi secara telak oleh PDI‐Perjuangan dan warna yang putih oleh Partai Golkar. Kartogram model ini cukup akurat dan memiliki kelebihan yakni mampu menunjukkan kemenangan relatif dari kedua partai terbesar di Indonesia tersebut. Namun mengingat warna abu‐abu menjadi dominan dalam kartogram tersebut, konsentrasi dari perolehan suara menjadi kurang begitu kentara. Gambar 1. Kartogram perbandingan kekuatan partai poiltik besar di Indonesia: PDIP (warna hitam) dan GolKar (warha putih). Beberapa daerah mengindikasikan perolehan suara yang berimbang menjadikan warna abu‐abu menjadi dominan (data: http://www.kpu.go.id/).
Dalam konstruksi pemodelan kartogram, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni: (1) Kartogram pada prinsipnya menggambarkan tidak seluruh bumi namun hanya beberapa bagian dari globe sehingga bentuk (membesar dan mengecil) area permukaan daratan menjadi tidak mengubah seluruh wajah kulit bumi. (2) Perubahan secara merata permukaan dari bagian daratan sebagai bentuk representasi senantiasa dilakukan seragam (isotropik) sedemikian sehingga bentuk yang tervisualisasi pada kartogram masih dapat dikenali secara sederhana dan fokus perhatian adalah pada besar relatif antara satu area spasial dengan area spasial lainnya. (3) Kartogram dapat saja menghasilkan data yang kecil luas areanya bahkan mungkin menjadikan sebuah darat “hilang” dari kartogram. Hal ini secara prinsip tidak seharusnya terjadi pada kartogram yang dihasilkan. Hal ini biasanya disiasati dengan menerapkan batasan toleransi dalam penentuan luas area sehingga daratan yang secara geospasial memang kecil ditambah berkerapatan rendah tetap terlihat pada kartogram sebagai bagian sangat kecil secara relatif dengan area lainnya.
4
Model yang ditunjukkan pada makalah ini merupakan bentuk kartogram alternatif dengan akurasi yang secara kualitatif diharapkan cukup baik diajukan pada pekerjaan seminal kartografi difusi Gastner & Newman (2004). Model ini cukup menarik karena bersandar pada metode yang deterministik yakni dengan meminjam konsep‐konsep fisika elementer tentang difusi. Dari sisi constraint pertama sebagaimana ditunjukkan di atas: lebih dari sekadar representasi warna, pengembangan kartogram pada dasarnya bertujuan lebih ke arah perubahan bentuk garis pantai dan wilayah dari peta spasial yang ada sehingga lebih detail dalam merepresentasikan data statistika atau nilai data kerelatifan yang ingin ditampilkan. Dalam hal kartografi dua dimensi, secara matematis kita perlu melakukan transformasi T (1) Gvektor _ geografis = {( x, y )} ⎯⎯ → K vektor _ kartografis = T {( x, y )} dari sebuah bidang A ke bidang lain, B , sedemikian sehingga diperoleh turunan Jacobian atas nilai x dan y sebagai ∂ (Tx , Ty ) ρ ( x, y ) = (2) ∂ ( x, y ) <ρ> yang proporsional terhadap kerapatan data yang ingin direpresentasikan ( ρ ( x, y ) pada kartogram yang menunjukkan luas wilayah relatif pada peta, di mana masing‐masing x dan y menunjukkan besaran latituda dan longituda pada peta dan < ρ > sebagai nilai rata‐rata dari kerapatan data. Bentuk normalisasi ini adalah teknik yang digunakan agar total luas wilayah daratan yang digambarkan tetap sama sebelum dan sesudah transformasi. Ini penting mengingat kartogram adalah visualisasi kenisbian antara dua atau lebih variabel yang ingin ditampilkan. Melalui teknik ini, diharapkan kartogram yang dihasilkan juga memenuhi syarat lain dari kartografi yaitu bahwa bentuk dari garis pantai (coast line) dari pulau atau batasan wilayah (geographical boundaries) kartogram sedikit banyak masih mengandung bentuk yang segambar dengan bentuk aslinya dengan perubahan bentuk yang mesti proporsional. Tujuannya tentunya adalah untuk memudahkan identifikasi atas wilayah spasial yang ingin direpresentasikan. Implementasi persamaan difusi (misalnya pada fluida seperti gas) yang diusulkan pada [15] secara umum diperoleh melalui adaptasi kepada peta kartogram sebagai berikut. Bayangkan terdapat dua buah ruangan yang sama sekali tersekat dan tidak ada satu pun lubang atau celah di antara keduanya. Jika suatu pintu di antara keduanya dibuka lalu di salah satu ruangan yang tekanan udaranya lebih tinggi sebuah durian dikupas, maka dalam sekejap kedua ruangan telah mewangi durian yang hampir sama kuatnya. Jika perpindahan wangi durian dari satu titik ke titik lain kita modelkan sebagai sebuah besaran vektor ⎛ x(t ) ⎞ r (t ) = ⎜ ⎟ sebagai fungsi waktu, t , maka medan aliran difusi wangi durian tersebut ⎝ y (t ) ⎠ dapat kita tulis atas melalui tiga sifat sederhana, yakni: ‐ Aliran difusi senantiasa bergerak dari tempat yang kerapatan udaranya tinggi ke yang lebih rendah (berbeda dengan muatan listrik yang justru mengalami perpindahan
5
‐
dari tempat bermuatan rendah ke yang bermuatan lebih tinggi). Hal ini dapat ditulis sebagai fungsi gradien dari kerapatan ρ (r , t ) , (3) J ( r , t ) = −∇ρ ( r , t ) Persamaan di atas juga menggambarkan bahwa semakin curam perbedaan kerapatannya, maka aliran difusi tentu juga makin cepat.
‐
Kerapatan bau durian tersebut jika cenderung dikonservasi sepanjang durian tersebut tidak rusak atau dihilangkan dari sistem, kita tulis sebagai ∂ρ (r , t ) ∇i J ( r , t ) = − (4) ∂t
Ketiga sifat ini memberi kita persamaan difusi yang sudah cukup dikenal, ∂ρ (r , t ) ∇ 2 ρ (r , t ) = (5) ∂t Dan solusi dari persamaan ini merupakan bentuk konstruksi dari kartogram yang ingin ditampilkan. Dalam hal perpindahan kerapatan dalam difusi ini, untuk mempermudah adaptasi, kita juga memahami bahwa medan difusi ini dapat kita tunjukkan dalam persamaan kecepatan difusi sebagai J (r , t ) v (r , t ) = (6) ρ (r , t ) dan dengan substitusi pada persamaan‐persamaan sebelumnya diperoleh ∇ρ ( r , t ) v (r , t ) = − (7) ρ (r , t ) Dari persamaan ini kita memahami bahwa kerapatan total data awal (pada t = 0 ) adalah sama dengan kerapatan (dalam bentuk luas area geoposisi) geografis dan kemudian terjadi perubahan kumulatif nilai ρ (r , t ) sedemikian sehingga mencapai limit t → ∞ di mana secara kontinu semua titik yang ditunjukkan oleh vektor lokasi telah memenuhi syarat dan kartogram kita telah selesai. Secara matematis ditulis, t
r (t ) = r (0) + ∫ v (r , t ')dt '
(8)
0
Bukti (proof) secara demonstratif tentang bagaimana pemodelan pada persamaan (8) memenuhi syarat‐syarat kartogram serta langkah‐langkah algoritmis solusi numerik telah ditunjukkan pada [15]. Dari model ini dengan memperhatikan langkah‐langkah solusi
6
numerik atas perssamaan difu usi di atas, kita melaku ukan implementasi komputasionaal untuk mempeeroleh karto ogram sebaggaimana yang kita inginkan [16]. 3. Karto ogram Polittik Indonesiia Mungkin saalah satu asspek dalam kehidupan modern di mana perh hitungan relatif atas populassi dan keraapatan pen nduduk adaalah hal‐hal yang berrkaitan den ngan sistem m politik ketika berbicara tentang reepresentasi aspirasi warga w negaara. Terdapat banyak sekali aint yang peerlu dipertiimbangkan dalam pen nentuan jum mlah pendu uduk yang menjadi constra dasar perhitungan p n kursi perwakilan rakyat, luassnya sebuaah daerah pemilihan, hingga belakan ngan pola perhitungan p n dan sistem m pemilihan yang digunakan [17 7]. Pada bagian ini, kita meendiskusikan beberapaa hal menaarik yang daapat tervisu ualisasikan melalui kartogram difusi yaang kita kon nstruksi. Indonesia merupakan n negeri yang y secaraa geografiss dikelilingii oleh lauttan dan samudeera. Fakta ini i menunju ukkan bahw wa Indonessia adalah negara n kepulauan terb besar di dunia saat ini. Akibatnya, perrtimbangan migrasi pe enduduk dari satu tem mpat ke tem mpat lain di tidak sessederhana negara kon ntinental, yang y dalam m pemilihan n tempat residensi menjad mungkin lebih dipengaruhi oleh fakto or‐faktor so osial dan ekonomi; e di Indonesiaa faktor geospassial menjad di faktor yan ng cukup do ominan. Gamb bar 2. Peta geo ospasial Indon nesia dengan aakurasi ukuran per pulau sttandar.
Gambar 3. K Kartogram Ind donesia yang m menggambarkkan jumlah peenduduk. (da ata: http://ww ww.bps.go.id) 7
Distribusi penduduk di Indoneesia menun njukkan siffat skala ssebagaiman na telah ditunjukkan untuk data longittudinal dem mografi Indo onesia padaa [4] yang artinya distribusinya tidak m merata. Secaara visual deengan menggunakan kkartogram d difusi yang kita bangun n, hal ini menjad di sangat teerlihat polaa relatifnya per pulau per propin nsi sebagaii ditunjukkaan pada gambarr 3. Namun ketika kita berbicara soal representasi aspirrasi masyarrakat, sebaggaimana layaknyya negara kkontinental, kepadatan n pendudukk dirasakan tidak dapat dijadikan sebagai asumsi tunggal meeski kita mengetahui bahwa pulaau Jawa, seebagai bagian paling “gemuk” “ dari sisi kepadatan n pendudukk. Hal ini teerlihat dari representaasi keterwakilan yang dari sisi onal antaraa keterwakilan dan jumlah pemahaaman polittik mungkkin kurang proporsio pendud duk. Dari peenelitian sebelumnya [18], kita te elah mendisskusikan lan ndasan dan n prinsip yang diigunakan dalam pemillihan jumlah daerah pemilihan p d keterwaakilan di daalamnya dan yang memang secaara eksplisitt membedaakan demoggrafi di pulau Jawa dan luar Jawa. Dari sisi ogram sebaggaimana dittunjukkan p pada gambaar 4. keterwaakilan, dipeeroleh karto Gam mbar 4. Kartogram keterwakkilan masyarakat di Dewan Perwakilan R Rakyat sebagai hassil pemilihan u umum 2004. (data: http://www.kp pu.go.id/)
Gambarr 5. Kartogram m pendapatan domestik bru uto total dari m masyarakat In ndonesia. (datta: http://ww ww.datastatisttik‐indonesia.ccom)
Terdapat banyak b pollemik dari sisi permaasalahan keterwakilan n ini sebaggaimana ditunjukkan pada [[19]. Makalah ini tentu u saja tidak berusaha u untuk mencari resolusi apapun m bertujuan untuk u menunjukkan kkekuatan vissualisasi dari disskusi seputaar hal ini, melainkan yang diimunculkan n pada karttogram yan ng kita bangun. Namu un di satu sisi, mungkkin yang menjad di alasan utaama dari peembedaan rrepresentassi antara peenduduk di JJawa dan lu uar Jawa 8
adalah kondisi peerekonomiaan yang memang m sangat banyaak didomin nasi oleh aktivitas a produkssi di luar pulau Jawa mengingat m kekayaan sumber s dayya alam yan ng dimilikin nya. Dari data yaang kita peroleh dari Badan Pusaat Statistik (2005) kitaa menggam mbarkan kartogram pendap patan domestik bruto o dari masyarakat In ndonesia dan d hasilnyya cukup menarik sebagaiimana digam mbarkan paada gambarr 5. Beberap pa daerah tterlihat sanggat “gemukk” relatif dibandiingkan pulau jawa. Yang menjaadi diskusi yyang cukup p menarik adalah bagaimana reprresentasi pe er partai politik d di lembaga legislatif kitta sebagai h hasil pemilih han 2004 yaang lalu. Paada gambar 1, telah ditunjukkan kartoggram kerelaatifan perolehan suaraa dua partaai terbesar di Indonesiia, yakni Partai Golkar G dan n PDI‐P. Pada gambarr 6 dan 7, representaasi keterwaakilan dari masing‐ masing partai terssebut kita ggambarkan dalam karto ogram difusi untuk meelihat keterrwakilan masing‐‐masingnyaa. Gambar 6. Reepresentasi asspirasi masyarrakat melalui Partai GolKarr. (data: http://www.kp pu.go.id/)
Gam mbar 7. Repressentasi aspirasi masyarakatt melalui Partai PDI‐Perjuan ngan. pu.go.id/) (data: http://www.kp
Dari kedua gambar tersebut, terlihat dominasi keterwaakilan masyarakat yangg tinggal di pulau u Jawa sanggat besar oleh kedua p partai terse ebut. Namun secara reelatif, untukk daerah luar pu ulau Jawa, kebanyakan k n masyarakkat memperrcayakan asspirasinya p pada Partai Golkar relatif terhadap t p partai PDI‐P P. Kartogram ini dibu uat dengan menggunaakan data anggota legislatiif per partaai politik yaang diperoleeh melalui data Komissi Pemilihan n Umum In ndonesia 9
untuk h hasil pemilih han umum 2004. Secaara relatif, kkartogram aaspirasi maasyarakat In ndonesia ini mirip p ketika kitaa mengobseervasi data wakil rakyaat yang beraasal dari darri Partai Golkar dan Partai Demokrat. Sebagai bahan b perbandingan yang y menaarik untuk diamati, kita juga menggaambarkan kkartogram d dari keterwakilan masyyarakat melalui Partai Keadilan Se ejahtera seperti ditunjukkaan oleh gambar 9. Di D sini terlihat secara relatif, baahwa keterrwakilan ejahtera di D DPR sangat besar. masyarakat di pulaau Jawa melalui Partai Keadilan Se Gam mbar 8. Kartoggram aspirasi masyarakat m melalui Partai Demokrat di DPR. pu.go.id/) (data: http://www.kp
Gambarr 8. Kartogram m aspirasi masyarakat melallui Partai Kead dilan Sejahterra di DPR. pu.go.id/) (data: http://www.kp
Adalah pen nting untuk dicatat bahwa b setiaap kartograam yang kkita bangun n dalam nden satu sama s lain – – artinya kaartogram in ni menggam mbarkan makalah ini bersiffat indepen ⎛ x ⎞ kartograam ⎛ x ' ⎞ ⎯⎯ → ⎜ ⎟ , antara sattu daerah dengan kerelatiifan kepadatan data,, ρ (r (t )) : ⎜ ⎟ ⎯⎯⎯ ⎝ y⎠ ⎝ y '⎠ daerah lainnya di IIndonesia. M Melalui mettodologi kartografi sem macam ini b berbagai stu udi yang pat dilakukaan dan hall ini tentu saja sedikiit banyak d dapat mem mberikan kompreehensif dap gambarran tentangg data. 4. DIsku usi & Arah P Penelitian LLanjut Sebagaimana telah ditunjukkan pada kerja k sebelumnya [20 0], sistem politik merupaakan sistem m kompleks dan berbaggai pendekaatan perlu dilakukan u untuk memodelkan 10
sifat rasionalitas anggota masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya melalui partai politik pada pemilihan umum. Hal ini berkaitan dengan kondisi pengaturan diri sendiri (self‐ organized) dari masyarakat. Kompleksitas permasalahan yang ada di satu sisi menjadikan diskusi yang disertai dengan representasi data yang komprehensif seringkali sulit dilakukan. Studi kartografi ini diharapkan dapat menjadi semacam tool‐box yang cukup menarik dalam visualisasi kerapatan data statistik dalam format spasial. Teknik ini bertujuan untuk mengurangi kompleksitas permasalahan yang ada sehingga pemahaman kita akan data diupayakan untuk ditingkatkan. Tentu saja, kartografi yang dibangun tak hanya dapat digunakan untuk keperluan politik semata dan tak pula hanya sekadar untuk representasi data di level nasional. Implementasi lanjutan dari studi kartografi ini bersifat sangat fleksibel dalam kerangka teknik geo‐visualisasi untuk kawasan yang lebih kecil, misalnya per kabupaten atau wilayah perkotaan, dengan masukan data dari berbagai bidang observasi. Kita menggunakan proposal model yang ditawarkan pada [15] untuk membuka peluang dimungkinkannya studi kartografi politik di Indonesia. Kartografi pada dasarnya bertumpu pada representasi data statistika tentang kepadatan relatif dari data pada bidang geo‐spasial (baik 2 dimensi maupun 3 dimensi, baik pada waktu statik maupun secara dinamis dengan data longitudinal). Dalam kartografi yang ditunjukkan dalam makalah ini, diskritisasi persamaan difusi standar digunakan dalam merepresentasikan data. Perumusan dasar kartografi yang ditunjukkan memberi peluang pembentukan variasi kartografi lainnya. Beberapa pengembangan lanjutan dapat dilakukan dengan analisis kuantitatif atas data‐data yang diperoleh melalui metodologi kartografi. Pendekatan‐pendekatan seperti aplikasi korelasi data secara spasial dapat dilakukan untuk berbagai tujuan. Hal ini merupakan kerja‐kerja lanjut dari penelitian yang dipaparkan dalam makalah ini. Pengakuan Penulis berterima kasih atas bantuan Santi Rahmayuliani untuk pemrosesan data. Penelitian ini dikerjakan dalam mata penelitian CS07007b Bandung Fe Institute. Makalah ini juga memperkenalkan website kartogram difusi Indonesia yang memuat berbagai data kartografi Indonesia untuk visualisasi berbagai bidang: http://compsoc.bandungfe.net/kartografi-indonesia/ Karya yang Disebutkan [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9]
Situngkir, H. (2002). “Apa Yang Bisa Kita Ketahui?: Memperkenalkan Humaniora Integratif Chaotik”. BFI Working Paper Series WPA2002. Situngkir, H. (2003). “How Far Can We Go Through Social System?: Algorithmic Information Social Theories”. Journal of Social Complexity 2 (1): 57‐64. Situngkir, H. & Surya, Y. (2006). “Menggunjingkan Sifat Hukum Pangkat”. Buletin BFI 1: 40‐3. Mulianta, I. & Situngkir, H. (2005). “Power Law Signatures in Indonesian Population”. BFI Working Paper Series WPT2004. Barabasi, A‐L. (2003). Linked: How Everything is Connected to Everything Else and What It Means for Bussiness, Science, and Everyday Life. Plume. Situngkir, H. (2007). “An Alternative to See Melody as ‘Language’”. BFI Working Paper Series WPK2007. Surya, Y., Situngkir, H., Hariadi, Y. & Suroso, R. (2004). Aplikasi Fisika dalam Analisis Keuangan: Mekanika Statistika Interaksi Agen. SDMIPA. Epstein, J.M., dan Axtell, R. (1996). Growing Artificial Societies: Social Science from the Bottom Up. The Brookings Institution Press & MIT Press. Coleman, J.S. (1990). Foundations of Social Theory. Harvard UP. 11
[10] Foresman, T. W. (eds.). (1998). The History of Geographic Information Systems: Perspectives from the Pioneers. Prentice‐Hall. [11] Gimblett, H. R. (eds.) (2002). Integrating Geographic Information Systems and Agent‐Based Technologies for Modeling and Simulating Social and Ecological Phenomena. Oxford UP. [12] Situngkir, H. (2004). “Epidemiology with Cellular Automata: Case of Study the epidemics of avian flu in Indonesia”. BFI Working Paper Series WPE2004. [13] Friendly, M. & Dennis, D. J. (2007). Milestones in the History of Thematic Cartography, Statistical Graphics, and Data Visualization. Publikasi on‐line URL: http://www.math.yorku.ca/SCS/Gallery/milestone/milestone.pdf [14] Miller, H. J. & Han, J. (eds.) (2001). Geographic Data Mining and Knowledge Discovery. Taylor & Francis. [15] Gastner, M. T. & Newman, M. E. J. (2004). “Diffusion‐based Method for Producing Density‐Equalizing Maps”. PNAS 101 (20): 7499‐504. [16] Implementasi dilakukan pada lingkungan komputasi Matlab. Namun beberapa iterasi yang memakan waktu dilakukan dengan menggunakan compiler C. Dalam sistem operasi Windows hal ini dapat dilakukan dengan melakukan instalasi compiler/builder C pada Matlab atau menggunakan emulator sumber terbuka (open source) seperti Cygwin. Lebih lanjut dapat dilihat pada http://compsoc.bandungfe.net/kartografi-indonesia/ [17] Saari, D. G. (1994). Geometry of Voting. Springer‐Verlag. [18] Mauludy. R. & Situngkir, H. (2007). “Trees of Electoral District in Indonesian Legislative Election: Empirical Case of Assortments in 2004 General Election.”, BFI Working Paper Series WPF2007). [19] Kartawidjaja, P. R. & Pramono, S. (2007). Akal‐akalan Daerah Pemilihan. Perludem, USAid, & DRSP. [20] Situngkir, H. & Surya, Y. (2004). “The Political Robustness in Indonesia”. BFI Working Paper Series WPM2004.
12