(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Pelestarian Budaya Nasional Melalui Kegiatan Tradisional Srihadi (ketua), Sri Muryati (anggota) FPIPS IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected] ABSTRAK Latar belakang penelitian ini adalah berdasarkan rumusan yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 32 ayat 1 dan 2, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah berkewajiban memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Hal ini tentunya dimaksudkan agar kebudayaan nasional Indonesia bisa berada ditengah-tengah peradaban dunia. Kebudayaan nasional Indonesia ikut mewarnai peradaban dunia. Sedangkan disisi lain masyarakat tentunya juga dituntut untuk memelihara budaya daerah. Hal ini disebabkan budaya daerah merupakan kekayaan budaya nasional. Pemerintah menghormati dan memelihara sebagai kekayaan budaya nasional. Pembangunan yang hanya berorientasi pada upaya peningkatan pendapatan perkapita ternyata tidak menjamin adanya pemerataan hasil pembangunan. Seiring dengan kemajuan zaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada awalnya dipegang teguh, di pelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap suku dan daerah, kini terasa sudah hampir punah. Pada umumnya masyarakat sekarang dengan issu globalisasi merasa gengsi dan malu apabila masih mempertahankan dan menggunakan budaya lokal atau budaya daerah. Kebanyakan masyarakat sekarang lebih memilih untuk menampilkan dan menggunakan kesenian dan budaya modern daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri yang sesungguhnya justru budaya daerah atau budaya lokallah yang sangat sesuai dengan kepribadian bangsanya. Tanpa mereka sadari bahwa budaya daerah merupakan faktor utama terbentuknya kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah yang mereka miliki merupakan sebuah kekayaan bangsa yang sangat bernilai tinggi dan perlu dijaga kelestarian dan keberadaanya oleh setiap individu di masyarakat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan mengambil lokasi masyarakat di sekitar kota Semarang yang masih menyelenggarakan kegiatan tradisional. Adapun fokus penelitiannya adalah tentang kegiatan tradisional yang masih dilaksanakan masyarakat sekitar kota Semarang termasuk pelestariaannya. Data, sumber data dan nara sumber yang ditentukan dalam penelitian ini meliputi, data primer, data sekunder, orang, kejadian dan dokumen. Teknik pengumpulan data yang dipakai meliputi studi litelatur, observasi dan wawancara dengan teknik analisis data menggunakan Analysis Interactive model dari Miles dan Huberman. Keabsahan data menggunakan teknik ketekunan pengamatan dan triangulasi data. Hasil penelitian adalah: ( a ). Kegiatan tradisional masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat pendukung tradisi yang bersangkutan. Kegiatan tradisional tetap berakar pada budaya nasional, yang berarti bahwa budaya tradisional merupakan sumber kekayaan dari budaya nasional. ( b ). Tradisi suroan, nyadran maupun tradisi kungkum yang dilaksanakan di daerah - daerah tertentu masih tetap bertahan sampai saat ini, karena masyarakat pendukung budaya itu masih tetap menyelenggarakan tradisi itu setiap tahunnya. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut senantiasa melibatkan unsur golongan tua dan golongan muda, sehingga ada tali kesinambungan antara generasi terdahulu dengan generasi berikutnya. ( c ). Upaya pelestarian budaya tradisional dilakukan dengan cara melibatkan generasi muda dalam hal kepanitian, maupun pelaksanaan, sehingga generasi muda tidak sekedar menjadi panitia tetapi juga menjadi pelaku. ( d ) Pelaksanaan kegiatan tradisional memuat nilai-nilai: nilai ketuhanan, nilai sosial, nilai kerukunan, nilai budaya, nilai sejarah, nilai hiburan, nilai pendidikan, dan nilai ilmu pengetahuan. ( e ). Kegiatan tradisional tetap dilaksanakan, dengan tujuan agar masyarakat Indonesia yang majemuk dari sisi budaya tidak kehilangan budaya daerahnya. Sedangkan saran yang direkomendasikan kegiatan tradisional tetap harus mendapat pengarahan dan pengawasan, agar budaya daerah tidak menimbulkan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
100
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
pertentangan antara dua kelompok atau lebih yang berbeda pandangan, agar kegiatan tradisional tidak mengarah pada kegiatan yang bertentangan dengan nilai ketuhanan. Kata Kunci : Tradisional, Pelestarian, Budaya
PENDAHULUAN Berdasarkan rumusan yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 32 ayat 1 dan 2, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah berkewajiban memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Hal ini tentunya dimaksudkan agar kebudayaan nasional Indonesia bisa berada ditengah-tengah peradaban dunia. Kebudayaan nasional Indonesia ikut mewarnai peradaban dunia. Sedangkan disisi lain masyarakat tentunya juga dituntut untuk memelihara budaya daerah. Hal ini disebabkan budaya daerah merupakan kekayaan budaya nasional. Pemerintah menghormati dan memelihara sebagai kekayaan budaya nasional. Pembangunan yang hanya berorientasi pada upaya peningkatan pendapatan perkapita ternyata tidak menjamin adanya pemerataan hasil pembangunan. Seiring dengan kemajuan zaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada awalnya dipegang teguh, di pelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap suku dan daerah, kini terasa sudah hampir punah. Pada umumnya masyarakat sekarang dengan issu globalisasi merasa gengsi dan malu apabila masih mempertahankan dan menggunakan budaya lokal atau budaya daerah. Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk, yang mempunyai kekayaan kebudayaan. Salah satu dari kebudayaan itu sebagai hasil perpaduan dan akulturasi berbagai unsur yang datang sejalan dengan perkembangan zaman selama ribuan tahun. Perpaduan unsur budaya tersebut menghasilkan ciri-ciri khas daerah yang kadang kala mempunyai kemiripan antara daerah satu dengan daerah lain.Suatu bentuk unsur budaya tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia, kita dikenalkan dengan adanya masyarakat. Upacara tradisional mempunyai peran yaitu sebagai pembinaan sosial budaya masyarakat, penguat norma-norma dan nilai-nilai budaya yang perlu dimiliki. disamping itu juga menumbuhkan etos kerja kolektif, yang tercermin dalam ungkapan “gotong – royong nyambut gawe”. Dalam berbagai kesempatan, upacara tradisional itu memang melibatkan banyak orang. Upacara tradisional merupakan tingkah laku resmi yang dilakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan diluar kemampuan manusia yang diartikan Tuhan Yang Maha Esa, dapat pula diartikan kekuasaan super natural seperti roh nenek moyang pendiri desa roh leluhur dan sebagainya (Soekanto, 1991 : 155). Upacara tradisional juga dapat membangkitkan rasa aman bagi setiap warga masyarakat pendukungnya, karena upacara tradisional bisa menjadikan rasa solidaritas MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
101
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
masyarakat semakin kuat. Hal ini disebabkan di dalam upacara tradisional tersebut melibatkan seluruh warga masyarakat di dalam usaha mencapai tujuan bersama. Pada umumnya upacara tradisional itu bersifat turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang kepada anak cucunya, dan anak cucunya tersebut melestarikannya sesuai dengan fungsi didalam kehidupannya. Misalnya, Perayaan Saparan sebagai salah satu bentuk upacara tradisional di tanah jawa merupakan salah satu perhelatan yang menarik untuk diteliti. Apalagi keunikan sebar apem itu sangat khas sekali. Ditambah pula dengan kirab yang sengaja dilakukan sebelum acara inti digelar. Berbagai atraksi budaya pun ikut serta. Terlebih sebenarnya Upacara Yaaqawiyyu ini memiliki makna yang dalam, dimana Yaaqawiyyu itu sangat berhubungan dengan Ki Ageng Gribig, salah satu penyebar agama Islam di Jawa, termasuk Klaten. TINJAUAN PUSTAKA Koentjaraningrat ( 1981, 181 ) menjelaskan bahwa kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kata kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada pula sarjana yang mengupas kata budaya sebagai perkembangan dari kata majemuk budidaya yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan pengertian budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu ( Koentjaraningrat: 1981, 181 ) Kebudayaan pada hakekatnya ialah rekayasa warga masyarakat pendudkung budaya tersebut dalam menciptakan, menata dan melaksanakan tingkah laku yang disepakati bersama guna menjalankan kehidupan ini ( Jacobus: 2006, 117 ). Karena dilakukan oleh warga suatu kelompok masyarakat dan berulang terhadap situasi sosial yang dihadapinya, maka menjadi berpola, mengikuti alur pikir serta tingkah laku tertentu. Bagi warga masyarakat pendukung suatu budaya tertentu cenderung makin lama seseorang dalam budaya tersebut, maka makin tidak mudah meninggalkan perilakunya yang sudah menjadi tradisi kehidupan mereka. Budaya juga bisa merupakan sejumlah strategi atau cara-cara berlaku atau bertindak tertentu dalam menghadapi linkungan hidup suatu kelompok masyarakat tertentu. Dengan demikian, budaya ialah peluang dualistik bagi seseorang dalam berlaku, tetapi juga bisa menjadi kendala dan pengikat dalam kelompok serta masyarakatnya tampak sejalan dengan hakekat dua sisi menyata hidup manusia, yaitu keinginan bebas dan kehendak terikat yang tidak terpisahkan ( Garna: 1996, 201 ). Beberapa pengertian masyarakat dari beberapa sarjana adalah antara lain: 1. Mac Iver dan Page yang mengatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
102
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah. 2. Ralp Linton mengemukakan, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan secara jelas. 3. Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan ( Jacobus: 2006, 10 ). 4. Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi (2006:21),
mengistilahkan masyarakat
adalah struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial. Soejono Sukamto, masyarakat segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk hidup bersama. Allan Jhonson masyarakat adalah
kehidupan dan perilaku,
terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi
orang
dan
bagaimana
pula
orang
yang
terlibat
didalamnya
mempengaruhi sistem tersebut. Pitirim Sorokin, masyarakat adalah ilmu hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral),sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antaragejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yangmempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain. Lingkungan hidup sebagai media hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan faktor-faktor alam terdiri atas bermacam-macam proses ekologi yang merupakan suatu kesatuan yang utuh. Proses tersebut merupakan mata rantai penting yang menentukan daya dukung lingkungan terhadap pembangunan. Sebaliknya, pembangunan itu sendiri merupakan upaya sadar untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, tidak terlepas untuk mempengaruhi kegiatan lain dalam mata rantai ekosistem alam. Masalah keterbelakangan pembangunan, masalah kepadatan penduduk dengan pola penyebaran yang tidak merata di wilayah tanah air, serta semakin meningkatnya kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya alam merupakan problem yang perlu memperoleh perhatian, terutama pengaruh santun dengan masalah lingkungan hidup. Salah satu akibat dari hal tersebut adalah berjangkitnya ”kelaparan tanah usaha”, baik untuk usaha budi daya pertanian maupun bagi pemukiman, industri dan agro industri, serta untuk prasarana lainnya, hal mana menyebabkan terjadinya kegoncangan lingkungan hidup dan ekologis ( Widjaja: 1986 ).
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
103
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian
kualitatif yang merupakan penelitian untuk
menggambarkan secara kualitatif suatu gejala atau keadaan dan tidak dimaksudkan untuk mengkaji hipotesis tertentu. Fokus penelitian adalah tentang tradisi tata upacara kegiatan budaya yang masih diselenggarakan di Kota Semarang yang meliputi kegiatan suran, nyadran dan tradisi kungkum ( berendam ). Dalam penelitian kualitatif, informan tidak disebut sebagai subyek penelitian, sebab sumber data menyangkut orang mempunyai kedudukan yang sama anatarayang diteliti dan peneliti. Dalam penelitian ini melibatkan orang berperan sebagai orang kunci ( Key person ). Dalam hal ini adalah Kepala Kelurahan, dan warga masyarakat yang masih aktif menjalankan kegiatan tradisional. Data atau informan merupakan aspek penting dalam riset penelitian kualitatif lebih menekankan pada informasi lapangan dan langsung kepada sumber data untuk mendapatkan data yang valid. Informasi pada dasarnya adalah keterangan mengenai suatu gejala (fenomena) yang berupa manusia, peristiwa, dokumen, karya, bahasa dan lain-lain. Informasi dapat diperoleh dalam penelitian ini, maka digunakan teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut: ( 1 ) studi literatur, ( 2 ) observasi, ( c ) wawancara. Adapun teknik analisis data yang digunakan menggunakan Analysis Interactive model Miles dan Huberman yang meliputi: Reduksi Data, Penyajian Data dan penarikan kesimpulan. Sedangkan keabsahan data penggunanan ketekunan pengamatan dan triangulasi data.
HASIL PENELITIAN Berdasarkan rumusan yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 32 ayat 1 dan 2, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah berkewajiban memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Hal ini tentunya dimaksudkan agar kebudayaan nasional Indonesia bisa berada ditengah-tengah peradaban dunia. Kebudayaan nasional Indonesia ikut mewarnai peradaban dunia. Sedangkan disisi lain masyarakat tentunya juga dituntut untuk memelihara budaya daerah. Hal ini disebabkan budaya daerah merupakan kekayaan budaya nasional. Pemerintah menghormati dan memelihara sebagai kekayaan budaya nasional. Pembangunan yang hanya berorientasi pada upaya peningkatan pendapatan perkapita ternyata tidak menjamin adanya pemerataan hasil pembangunan. Dalam kaitannya dengan kebudayaan daerah maka BS salah seorang tokoh masyarakat yang ada di kelurahan Sampangan mengatakan: dalam masyarakat kita, kegiatan-kegiatan yang dilakukan jangan dipandang sebagai sesuatu yang menyekutukan
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
104
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Tuhan, tetapi mereka justru menyatu dengan alam dalam upaya untuk mencari Tuhan ( Hasil wawancara, Jumat, 3 Mei 2013 ). Pendapat dari BS sejalan dengan yang disampaikan oleh salah seorang tokoh agama yang ada di desa Grogol, kecamatan Banyumanik dalam melihat kegiatan sadranan yang dilaksanakan di desanya. Haji Drs. S mengatakan: “Nyadran merupakan tradisi turun temurun yang terus menerus dilaksanakan oleh msyarakat desa Grogol kecamatan Banyumanik. Kegiatan nyadran diawali dengan sambutan tokoh masyarakat, doa bersama, dilanjutkan jiarah kubur bersama ke makam keluarga masing-masing. Disana diadakan doa bersama, pemotongan tumpeng, tahlilan, makan bersama, pemotongan tumpeng serta doa penutup”. ( hasil wawancara, Senin, 6 Mei 2013 ). Kegiatan nyadran senantiasa melibatkan banyak orang, tidak hanya dilakukan oleh orang yang sudah lanjut usia, tetapi juga dilakukan oleh sekelompok orang muda. Keterlibatan orang muda tidak hanya terjadi pada acara nyadran, tetapi kegiatan yang diadakan di sekitar Tugu Suharto kelurahan Sampangan kecamatan Gajahmungkur juga banyak diikuti oleh golongan muda. Apalagi disekitar Sampangan banyak dijumpai perguruan tinggi, sehingga sangat mungkin keterlibatan para mahasiswa juga nampak pada acara kungkum di Tugu Suharto, seperti yang disampaikan oleh tokoh masyarakat BS dalam wawancara: Yang bertanggungjawab terhadap budaya kita ya kita sendiri, jika lebih dikecilkan lagi ya orang tua dalam keluarga yang bersangkutan. Kalau kemudian banyak mahasiswa yang datang ditempat acara-acara yang diselenggarakan di sekitar Tugu Suharto memang perlu dikaji lebih mendalam. Bagaimanapun perkembangan teknologi telah mengubah pola pikir mereka. Mereka mengatakan jadul kalau harus mengikuti pola pikir orang tua. Pernah suatu saat, pada saat saya di Klaten dalam rangka perayaan tradisi, saya kongkow di warung wedang jahe, melihat dan mendengar sendiri ada orang tua yang tidak lancar berkomunikasi karena penggunaan bahasa yang berbeda. Hal seperti itu siapa yang salah. . . . . . . . . . . . . ? ( hasil wawancara, Jumat, 3 Mei 2013 ). Berbeda dengan yang terjadi di Tugu Suharto yang karena dekat dengan perguruan tinggi dengan mahasiswa yang berasal dari beberapa daerah dengan membawa budaya masing-masing yang kadang-kadang berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain. Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk, yang mempunyai kekayaan kebudayaan. Salah satu dari kebudayaan itu sebagai hasil perpaduan dan akulturasi berbagai unsur yang datang sejalan dengan perkembangan zaman selama ribuan tahun. Perpaduan unsur budaya tersebut menghasilkan ciri-ciri khas daerah yang kadang kala mempunyai kemiripan antara daerah satu dengan daerah lain. Suatu bentuk unsur budaya tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia, kita dikenalkan dengan adanya masyarakat.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
105
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Pada kelompok masyarakat tertentu, kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya, apakah kegiatan nyadran, syuran ataupun “kungkum”di Tugu Suharto dianggap sebagai kegiatan yang musyrik. Hal yang seperti itu pernah dialami oleh BS tokoh masyarakat kelurahan Sampangan. “Saya punya pengalaman, saya diajak di daerah Jrakah sekitar Magelang. Saya diganggu oleh sekelompok orang, saya dikatakan musyrik. Saya katakan kepada mereka bahwa saya orang Islam, saya di sendang hanya mandi, saya hanya ingin memperoleh suasana yang tenang, dan saya tidak merasa merugikan orang lain. Saya juga biasa ke Nyatnyono Ungaran, mandi, terus naik lagi ke Sendang Putri, tapi ya hanya mandi saja, saya tidak kungkum. Sehingga menurut saya tergantung dari persepsi masing-masing orang” ( Hasil wawancara, Jumat, 3 Mei 2013 ). Kegiatan tradisional yang dilakukan oleh sebagian masyarakat pada dasarnya tidak pernah dilakukan oleh satu orang, tetapi selalu melibatkan banyak orang. Semakin kuat orang tersebut melaksanakan aktivitas tradisional, maka semakin kuat ikatan emosional seseorang dengan lingkungan sekitar. Seperti yang dikemukakan oleh Soerojo Wignjodipuro ( 1982: 14 ), dalam melakukan aktivitas tersebut sehingga timbullah suatu kebiasaankebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan disepakati bersama akhirnya menjadi adat. Adat tersebut menjadi suatu tingkah laku sehari-hari dari suatu masyarakat yang mampu mencerminkan kepribadian dan jiwa dari masyarakat itu akhirnya bisa memberikan ciri khas tersendiri dari masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Kebersamaan seperti ini nampak pada pelaksaan acara nyadran di dusun Grogol kecamatan Banyumanik seperti yang disampaikan oleh salah seorang pelaku acara tersebut: “Wah acara nyadran sangat ramai dan berlangsung meriah, acara sadranan terus dilakukan antara lain dengan memerankan dan melibatkan pemuda dalam panitia pelaksanaan sadranan. Baik dalam kerja bakti, persiapan kegiatan dan persiapan perlengkapan, serta segala kegiatan sadranan” ( Hasil wawancara, Senin, 6 Mei 2013 ). Hal senada juga dikatakan oleh Bapak S masyarakat dusun Grogol kecamatan Banyumanik dalam wawancara hari Senin tanggal 6 Mei 2013 sebagai berikut: “Budaya sadranan yang dilaksanakan setiap tahun tidak hanya dilakukan oleh sekelompok golongan tua saja, tetapi juga melibatkan para pemuda, utamanya dalam hal kepanitiaan. Hal ini dimaksudkan agar para pemuda memahami cara sadranan hingga budaya ini dapat saling sambung menyambung dari generasi satu kepada generasi berikutnya”. ( hasil wawancara hari Senin, 6 Mei 2013 ). Keterlibatan para pemuda tidak hanya terjadi pada acara sadranan di dusun Grogol kecamatan Banyumanik, tetapi juga terjadi di kelurahan Sampangan kecamatan Gajahmungkur, seperti yang dikatakan oleh Kepala Kelurahan Sampangan Bapak BS dalam wawancara hari Jumat tanggal 3 Mei 2013 sebagai berikut: “Kalau Tugu Suharto tidak dibuat terang benderang gimana ? Jadi tidak ada yang nonton. Kalau ada senter gimana ? MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
106
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Kebutuhannya sama yaitu yang mau kungkum itu siapa yang mau mengamankan siapa ? Ya. . . ., saling kerjasamalah. Saya pikir nanti kalau ada penyimpangan bisa diantisipasi. Kembali kepada manusia masing-masing”. ( hasil wawancara hari Jumat, 3 Mei 2013 ). Lebih lanjut Kepala Kelurahan ini secara nyata mengajak keterlibatkan pemuda dalam kegiatan-kegiatan tradisional seperti yang disampaikan berikut ini: “Tapi saya sering dengan kelompok pemuda melakukan kegiatan ritual-ritual. Kekhawatiran saya pada kelompok mahasiswa
tadi
ya
kelompok
radikal.
Sering
ketemu,
ngomong-ngomong
diberi
pemahaman, ya. . . . bisa. Kalau yang masuk Jawa ( maksudnya Sampangan ) tidak ada radikalnya, karena disitu aplikasinya pada unggah-ungguh” ( hasil wawancara hari Jumat, 3 Mei 2013 ). Kegiatan nyadran, suran ataupun kungkum pada masyarakat tertentu senantiasa dilaksanakan setiap tahun, meskipun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kadangkadang tidak dapat memahaminya. Kegiatan kegiatan tersebut sudah melekat bahkan mendarah daging seperti yang dikemukakan oleh Soekanto ( 1991: 155 ), Malam Satu Suro (Suroan) merupakan adat atau tadisi yang sudah melekat dan bahkan sudah mendarah daging pada masyarakat tertentu (Karena tidak semua masyarakat mengetahui dan melaksanakan tradisi tersebut). Tradisi Malam Satu Suro ini dilakukan secara turun-temurun dan terus menerus
untuk
dipertahankan serta dilaksanakan sampai sekarang. Tradisi
tersebut biasanya berupa upacara tradisional. Masyarakat yang masih melestarikan tradisi ini dan sering melaksanakan ritual hal ini biasanya dijumpai pada daerah pedesaan di pulau jawa. Upacara tradisional mempunyai peran yaitu sebagai pembinaan sosial budaya masyarakat, penguat norma-norma dan nilai-nilai budaya yang perlu dimiliki. disamping itu juga menumbuhkan etos kerja kolektif, yang tercermin dalam ungkapan “gotong – royong nyambut gawe”. Dalam berbagai kesempatan, upacara tradisional itu memang melibatkan banyak orang. Upacara tradisional merupakan tingkah laku resmi yang dilakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan pada kegiatan teknis sehari-hari, akan tetapi mempunyai kaitan dengan kepercayaan akan adanya kekuatan diluar kemampuan manusia yang diartikan Tuhan Yang Maha Esa, dapat pula diartikan kekuasaan super natural seperti roh nenek moyang pendiri desa roh leluhur dan sebagainya (Soekanto, 1991 : 155). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kegiatan tradisional dapat dilestarikan keberadaannya, atau akankah kegiatan-kegiatan itu akan hilang karena pengaruh budaya asing sebagai akibat dari pengaruh globalisasi. Kebanyakan masyarakat sekarang lebih memilih untuk menampilkan dan menggunakan kesenian dan budaya modern daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri yang sesungguhnya justru budaya daerah atau budaya lokallah yang sangat sesuai dengan kepribadian bangsanya. Tanpa mereka sadari bahwa budaya daerah merupakan faktor utama terbentuknya MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
107
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah yang mereka miliki merupakan sebuah kekayaan bangsa yang sangat bernilai tinggi dan perlu dijaga kelestarian dan keberadaanya oleh setiap individu di masyarakat. Di sisi lain Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang masyarakatnya mempunyai kebudayaan dan juga tidak kebal terhadap pengaruh Globalisasi ini. Disadari atau tidak globalisasi ibarat dua mata uang yang satu sisi juga membawa berbagai manfaat bagi kehidupan, namun di sisi lain juga membawa berbagai dampak negatif baik di bidang ideologi, politik, ekonomi,sosial, budaya maupun pertahanan dan keamanan. Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk, yang mempunyai kekayaan kebudayaan. Salah satu dari kebudayaan itu sebagai hasil perpaduan dan akulturasi berbagai unsur yang datang sejalan dengan perkembangan zaman selama ribuan tahun. Perpaduan unsur budaya tersebut menghasilkan ciri-ciri khas daerah yang kadang kala mempunyai kemiripan antara daerah satu dengan daerah lain.Suatu bentuk unsur budaya tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia, kita dikenalkan dengan adanya masyarakat. Kebanyakan
masyarakat
sekarang
lebih
memilih
untuk
menampilkan
dan
menggunakan kesenian dan budaya modern daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri yang sesungguhnya justru budaya daerah atau budaya lokallah yang sangat sesuai dengan kepribadian bangsanya. Tanpa mereka sadari bahwa budaya daerah merupakan faktor utama terbentuknya kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah yang mereka miliki merupakan sebuah kekayaan bangsa yang sangat bernilai tinggi dan perlu dijaga kelestarian dan keberadaanya oleh setiap individu di masyarakat. Di sisi lain Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang masyarakatnya mempunyai kebudayaan dan juga tidak kebal terhadap pengaruh Globalisasi ini. Disadari atau tidak globalisasi ibarat dua mata uang yang satu sisi juga membawa berbagai manfaat bagi kehidupan, namun di sisi lain juga membawa berbagai dampak negatif baik di bidang ideologi, politik, ekonomi,sosial, budaya maupun pertahanan dan keamanan. Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk, yang mempunyai kekayaan kebudayaan. Salah satu dari kebudayaan itu sebagai hasil perpaduan dan akulturasi berbagai unsur yang datang sejalan dengan perkembangan zaman selama ribuan tahun. Perpaduan unsur budaya tersebut menghasilkan ciri-ciri khas daerah yang kadang kala mempunyai kemiripan antara daerah satu dengan daerah lain.Suatu bentuk unsur budaya tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia, kita dikenalkan dengan adanya masyarakat. Kebanyakan
masyarakat
sekarang
lebih
memilih
untuk
menampilkan
dan
menggunakan kesenian dan budaya modern daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri yang sesungguhnya justru budaya daerah atau budaya lokallah yang sangat sesuai MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
108
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
dengan kepribadian bangsanya. Tanpa mereka sadari bahwa budaya daerah merupakan faktor utama terbentuknya kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah yang mereka miliki merupakan sebuah kekayaan bangsa yang sangat bernilai tinggi dan perlu dijaga kelestarian dan keberadaanya oleh setiap individu di masyarakat. Di sisi lain Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang masyarakatnya mempunyai kebudayaan dan juga tidak kebal terhadap pengaruh Globalisasi ini. Disadari atau tidak globalisasi ibarat dua mata uang yang satu sisi juga membawa berbagai manfaat bagi kehidupan, namun di sisi lain juga membawa berbagai dampak negatif baik di bidang ideologi, politik, ekonomi,sosial, budaya maupun pertahanan dan keamanan. Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk, yang mempunyai kekayaan kebudayaan. Salah satu dari kebudayaan itu sebagai hasil perpaduan dan akulturasi berbagai unsur yang datang sejalan dengan perkembangan zaman selama ribuan tahun. Perpaduan unsur budaya tersebut menghasilkan ciri-ciri khas daerah yang kadang kala mempunyai kemiripan antara daerah satu dengan daerah lain.Suatu bentuk unsur budaya tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia, kita dikenalkan dengan adanya masyarakat. Untuk masyarakat dusun Grogol kecamatan Banyumanik dan masyarakat kelurahan Sampangan kecamatan Gajahmungkur, mempunyai harapan dan keyakinan bahwa budaya itu tidak akan pernah lenyap, sebab dalam setiap kegiatan mereka selalu melibatkan para pemuda, generasi muda sebagai cara yang dilakukan untuk melestarikan budaya nenek moyang mereka. Masyarakat dusun Grogol yang diwakili oleh tokoh agama Haji S, tokoh masyarakat S dan tokoh pemuda F sebagai berikut: “Pelestarian budaya sadranan terus dilakukan antara lain dengan memerankan dan melibatkan pemuda dalam panitia pelaksanaan sadranan. Baik dalam kerja bakti, persiapan kegiatan dan persiapan perlengkapan, serta segala kegiatan sadranan. Sadranan adalah budaya yang harus diwariskan dari generasi ke generasi” ( hasil wawancara dengan tokoh agama, S, hari Sabtu 11 Mei 2013 ). Sadranan harus diketahui oleh generasi muda, oleh karena itu sadranan tidak pernah hanya melibatkan kelompok tua, tetapi juga melibatkan kaum muda. Hal ini dimaksudkan agar generasi muda tidak hanya sekedar melihat, tetapi juga bisa melaksanakan. Dengan melaksanakan berarti mereka telah melestarikan budayanya sendiri ( hasil wawancara dengan tokoh masyarakat S, hari Sabtu, 11 Mei 2013 ). Hal yang tidak jauh berbeda dikemukan oleh salah seorang pemuda yang aktif dalam kegiatan dusunnya. Dia memandang salah satu kunci tetap bertenggernya budaya daerah, salah satunya harus didukung oleh generasi mudanya, seperti yang disampaikan dalam wawancara berikut ini: “Saya sebagai pemuda ya harus aktif mengikuti kegiatan ini. Menurut saya, keliru kalau ada anak muda yang mengatakan tidak perlu terlibat dalam kegiatan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
109
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
orang-orang tua. Lha . . . . , kalau kita tidak terlibat, siapa yang akan menjaga budaya Indonesia, utamanya budaya jawa yang orang bilang adiluhung itu. . . . ?” ( hasil wawancara dengan F, hari Sabtu, 11 Mei 2013 ). Keterlibatan para pemuda dalam kegiatan yang bersifat tradisional tidak hanya terjadi pada masyarakat dusun Grogol kecamatan Banyumanik, tetapi juga terjadi pada masyarakat kelurahan Sampangan kecamatan Gajahmungkur. Bapak Kepala Kelurahan secara tegas mengatakan bahwa yang bertanggungjawab terhadap pelestarian kebudayaan tradisional adalah kita sendiri. Kalau masyarakat Jawa tidak ingin kehilangan budayanya sendiri, maka masyarakat Jawa yang harus menjaganya, seperti yang disampaikan berikut ini: “Kita sebagai orang Jawa mempunyai kuwajiban moral untuk nguri-nguri. Kalau ketemu priyayi sepuh, Jowo kuwi wis ora njowoni. Ini yang bertanggungjawab siapa ? kadang-kadang ya dikembalikan lagi. Kalau kita hanya ingin masalisasi thok, contohnya kelihatan barengbareng ke mesjid, ke gereja ( hanya seperti itu ). Misalnya malam hari tidak bisa tidur janjane nopo. . . . . ? Kalau kita mau sakjane wong Jowo kuwi gampang, mung saiki nek Jowo kuwi ketinggalan jaman ( sebetulnya tidak ). Jepang saja yang hanya haik. . . haik saja bisa. Kalau dibandingkan Jepang yang hancur saja, bisa jadi negara maju, bisa menjadi negara super power seperti itu, mungkin juga dari nilai budaya itu. “ ini negaramu, ayo dibangun” jangan tanya bayaran, tetapi nilai yang bisa kita berikan. Kalau tanya bayaran, negaramu rak bakal maju. Jepang pakai kimono tidak malu, tradisi minum teh saja masih kental. Kembali lagi yang salah siapa . . . . ? Yo, keluarga. Karena nilai-nilai itu tidak ditanamkan sejak anak bergelut di dalam keluarga. Anaknya, motornya diprotoli malah bangga. Ini orang tua lupa, bahwa ini embrio untuk ke depan” ( hasil wawancara hari Jumat, 10 Mei 2013 ). Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala kelurahan Sampangan kecamatan Gajahmungkur dapat dikemukakan bahwa banyak faktor yang harus diperhatikan agar kebudayaan daerah yang di sebagian wilayah oleh masyarakatnya dianggap sebagai kebudayaan yang mendarah daging ternyata dipengaruhi oleh banyak faktor. Soerjono Soekanto ( 1986, 480 ) mengatakan bahwa sistem sosial atau sistem kemasyarakatan mencakup pelbagai bidang kehidupan manusia yang merupakan subsistem karena menjadi bagian dari suatu kesatuan yang menyeluruh. Biasanya subsistem tersebut adalah: 1. Subsistem politik 2. Subsistem ekonomi 3. Subsistem sosial 4. Subsistem budaya 5. Subsistem pertahanan keamanan 6. Subsistem hukum.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
110
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
Masing-masing subsistem saling berkaitan secara fungsional karena menjadi wadah dan proses yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Subsistem sosial budaya merupakan struktur dan proses dalam suatu wadah tertentu dalam masyarakat yang mempunyai unsur-unsur pokok sebagai berikut: 1.
Kepercayaan yang merupakan pemahaman dari semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu kebenaran ( mutlak )
2.
Perasaan dan pikiran, yakni suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya, baik yang bersifat alamiah maupun sosial
3.
Tujuan yang merupakan suatu cita-cita yang harus dicapai dengan cara mengubah sesuatu atau mempertahankannya
4.
Kaidah atau norma yang merupakan pedoman untuk berperilaku pantas
5.
Kedududkan dan peranan, kedudukan ( status ) merupakan posisi posisi tertentu secara vertikal, sedangkan peran ( role ) adalah hak-hak dan kuwajiban, baik secara stuktural maupun prosedural
6.
Pengawasan, merupakan proses yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat mentaati norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat
7.
Sanksi, yakni persetujuan atau penolakan terhadap perilaku tertentu. Persetujuan terhadap perilaku tertentu dinamakan sanksi positif, sedangkan penolakan dinamakan sanksi negatif yang mencakup pemulihan keadaan, pemenuhan keadaan, dan hukuman dalam arti yang luas
8.
Fasilitas, merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai dan telah ditentukan terlebih dahulu
9.
Kelestarian dan kelangsungan hidup
10. Keserasian antara kualitas kehidupan dengan kualitas lingkungan ( Jacobus Ranjabar: 2006, 19 ). Berdasarkan kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan selama bertahun-tahun, tidak pernah terjadi sesuatu yang mengarah pada perpecahan ataupun pertengkaran sesama warga. Masyarakat pelaku menyadari sepenuhnya bahwa generasi tua harus mampu mewariskan budaya kepada generasi berikutnya. Pelaksanaan kegiatan tradisional yang berjalan dengan lancar sejalan dengan yang disampaikan oleh sesepuh masyarakat dalam wawancara hari Jumat, 10 Mei 2013 sebagai berikut: “Suronan wis kalakoni matahuntahun. Mben tahun kalakoni tanpo perkoro, amergo kasengkuyung wargo deso. Luwih-luwih poro pinisepuh kang demen tirakatan. Babar pisan ora ono kang ngalang-ngalangi kelestariane. Awit isining tirakatan, ora liyo yo mung nyenyuwun maring Gusti Kang Moho Agung supoyo deso lan wargo tansah kinayoman toto tentrem lan raharjo. Didohke soko sakebehing rubedo. Ananing saiki wis bedo, jalaran poro hanoman saiki duweni pinemu MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
111
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
dewe-dewe, kanti landasan ilmu-ilmu kang dikaweruhi soko pasinaone. Poro santri duweni pinemu,suronan ora perlu dianaake amargo ora ono anjuran ning Al-qur’an utowo Hadits. Dene kang mung duweni ilmu umum keno-keno wae adicoro suronan dianake, anggere ora gawe rusuhing deso,rusak ing wargo lan ora nerak laraning agomo Islam”. ( Tradisi suroan itu sudah berjalan bertahun-tahun,setiap tahun dilaksanakan tanpa ada masalah. Karena semua warga desa mendukung. Terlebih para sesepuh yang masih suka tirakatan,tidak ada yang sama sekali menghalang-halangi kelestariaanya. Adapun yang dimaksud tirakan itu yaitu tidak lain hanya memanjatkan doa kepada Tuhan yang Maha Esa. Agar warga desa selalu hidup tentram makmur dijauhkan dari segala bencana. Namun sekarang sudah berbeda, anak muda sekarang mempunyai pendapat sendiri-sendiri dengan dilandasi ilmu yang sudah didapatnya. Para santri mempunyai pendapat, tradisi suroan tidak perlu diadakan karena tidak dianjurkan di dalam Al-qur’an atau Hadist.Yang bukan seorang santri berpendapat, tradisi suroan boleh saja dilaksanakan yang penting tidak merusak warga desa dan melanggar larangan agama Islam.”) Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan baik acara tradisional di sekitar Tugu Suharto Sampangan, Sadranan di dusun Grogol kecamatan Banyumanik ataupun acara suroan di kelurahan Bendanduwur kecamatan Gajahmungkur pada dasarnya mempunyai nilai yang sangat majemuk, dari nilai ketuhanan, nilai sosial budaya, nilai kerukunan hidup, nilai budaya, nilai sejarah, nilai hiburan, nilai pendidikan dan nilai ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bastomi, 1996: 15 – 16 ) sebagai berikut: a. Nilai ketuhanan, sebab dalam suroan, nyadran ada acara berdoa bersama memohon pada Tuhan, ini berarti Tuhan tetap berada di atas segalanya b. Nilai sosial, sebab dalam suroan, nyadran terjadi saling memberi dan memberi dan menerima makanan, mereka membawa makanan sendiri-sendiri kemudian dikumpulkan dan dimakan bersama-sama. c. Nilai kerukunan hidup, karena dalam suroan, nyadran masyarakat berkumpul bersama untuk memanjatkan doa d. Nilai budaya, sebab dalam kegiatan suroan, nyadran selalu ada budaya yang diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya. e. Nilai sejarah, sebab masyarakat percaya bahwa adanya desa tersebut pasti ada tokoh yang merintis atau menempati pertama kali. f. Nilai hiburan, dalam kegiatan suroan, nyadran warga masyarakat dapat tertawa dan bertepuk tangan dengan meriah karena melihat adegan-adegan yang menurut mereka lucu. Sehingga hal ini menunjukan fungsi bahwa pagelaran wayang kulit sebagai hiburan bagi masyarakat penggemarnya g. Nilai pendidikan, kandungan nilai ini sangat luas diantaranya nilai etika, nilai moral, nilai politik, budi pekerti dan nilai sosial MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
112
(Edisi Khusus Dies Natalis) Vol : XX, No : 3, Agustus 2013
h. Nilai ilmu pengetahuan, bila makin tinggi kecerdasan penggemarnya, maka kegiatan suroan, nyadran dapat dijadikan obyek penelitian (Bastomi,1996:15-16). DAFTAR PUSTAKA
Asminto, 1998, Sejarah Kebudayaan Indonesia. Semarang : IKIP Press Depdikbud, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Daldjoeni, 1981, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung : Alumni Bandung Djoko Widagdho, dkk,1999, Ilmu Budaya Dasar. Bumi Aksara, Jakarta Harsoyo,1984, Pengantar Ilmu Antropologi, Bulan Bintang, Jakarta Jacobus Ranjabar,
2006, Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu Pengantar, Ghalia
Indonesia, Bogor. Ki Fudyartanta, 2010, Membangun Kepribadian dan Watak Bangsa Indonesia yang Harmonis dan Integral, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Koentjraningrat,1986, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta ------------------- ,1987, Kebudayaan Jawa, Gramedia, Jakarta ------------------- , 1987, Kebudayaan Mentalit dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta ------------------- (1975). Manusia dan Kebuadayaan di Indonesia. Jakarta:Djambatan Lexy J Moleong, 1991, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung Purwadi,2007, Ensiklopedi Adat – Istiadat Budaya Jawa, Panji Pustaka, Yogyakarta Suharsimi Arikunto,1998, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta Sujarwa, 2010, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sutopo, HB,1989, Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS, Surakarta. Soeryono Soekanto, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta Sidi Gazalba,1976, Masyarakat Islam, Bulan Bintang, Jakarta Tjejep Roehendi Rohidi, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta WJS Poerwadarminto, 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
113