PELESTARIAN ARSIP : Menyelamatkan Warisan Budaya Bangsa
Dr. Dewi Ladiawati, M.Si.
Abstract: Tropical area has a variety of crucial problems related to with archival activities, particularly in keeping archives. Fungus, a high temperature and relative humidity are the causes of damaging archives. Silent attacks of insects do worsen the bad condition of archives. This paper will discuss archive preservation in order to save them as part of the national heritage. Besides, this study will show the aims and functions or infrastructure necessary for the preservation of archives.
Key Words: archives, archivist, preservation, tropical climete, insect, fungus, temperature, humidity.
PENDAHULUAN Salah satu warisan yang perlu dilestarikan oleh setiap generasi dari masa ke masa adalah arsip. Hal ini karena arsip dapat digunakan sebagai sumber informasi dan kajian bagi berbagai disiplin ilmu seperti sejarah, arkeologi, hukum, arsitektur, dan lainnya. Hasil penelitian dari sumber arsip dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian preservasi arsip perlu dilakukan semaksimal mungkin, terutama bagi negara berkembang yang beriklim tropis. Indonesia merupakan negara tropis yang terdiri dari tujuh pulau besar dan ribuan pulau kecil. Pada umumnya kawasan tropis didefinisikan sebagai kawasan darat
1
dan air. Dengan mendominasi sekitar 40 % dari seluruh permukaan darat bumi ini, kawasan tropis menjadi tempat tinggal hampir separuh penduduk dunia. Kawasan ini pada umumnya bersuhu panas, dan memiliki sedikit perubahan musim. Ada perbedaan cuaca di kawasan tropis, namun 90 % dari kawasan ini mencakup wilayah bercuaca panas dan lembab. 10 % sisanya berbentuk seperti gurun, dan ditandai dengan hawa panas dan kering (Baish, 1987). Secara garis besar hanya ada tiga kawasan cuaca yang dipertimbangkan. Pertama, zona sangat panas dan gersang, termasuk gurun, dengan cuaca laut yang kering dan panas. Kedua, zona lembab - hangat, termasuk cuaca khatulistiwa seperti Indonesia. Ketiga, zona sedang, termasuk cuaca dataran tinggi tropis. Pembagian ke dalam tiga zona cuaca ini bersifat umum dengan cuaca yang berbeda. Kondisi lokal bisa juga sangat berbeda dengan cuaca suatu kawasan yang ada, tergantung pada topografi, ketinggian dan lingkungannya, yang bersifat alami atau dibangun oleh manusia. Adanya kondisi
seperti
kandungan udara dingin, angin lokal, kumpulan air, urbanisasi,
ketinggian dan permukaan tanah bisa mempengaruhi cuaca lokal (Gut, 1933).
MASALAH PELESTARIAN ARSIP DI DAERAH TROPIS Pada umumnya temperatur tinggi dan kelembaban relatif memainkan peranan penting dalam proses kemerosotan kimia dan biologi, serta memberikan suasana yang kondusif bagi pembiakan serangga tropis (Arnoult, 1995). Ada beberapa faktor yang membuat kehidupan arsip sangat sulit di kawasan Asia/Pasifik, terutama pada
negara
berkembang, seperti: cuaca tropis, kerusuhan politik/ perang, kurangnya pengetahuan
2
tentang
kebutuhan
melestarikan
arsip oleh
pemerintah, perbedaan
bahasa dan
keahlian membaca arsip. Pendanaan kegiatan kearsipan termasuk preservasi, berkaitan erat dengan sistem
politik yang berlaku. Pemerintah di sebagian
besar negara berkembang
memberikan prioritas yang sangat rendah pada kegiatan kearsipan. Anggaran untuk kegiatan arsip sering sangat rendah sehingga tidak tersedia dana yang memadai untuk melakukan
perawatan arsip, menyediakan
tempat penyimpanan yang layak bagi
khasanah arsip, serta mengelola ruang pelayanan arsip dengan sarana dan prasarana yang memadai. Pelestarian arsip dianggap sebagai pemangkasan
anggaran bagi kegiatan
barang mewah. Tidak jarang
pelestarian
terjadi
arsip. Dengan demikian perlu
disosialisasikan bahwa pemerintah harus mengakui arti penting arsip serta kebutuhan untuk melestarikan warisan suatu bangsa, agar dapat mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pelestarian arsip. Proses kerusakan arsip di daerah tropis sangat kompleks. Secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah perusak arsip yang disebabkan dari dalam media arsip, yang berkaitan erat dengan proses pembuatan bahan seperti keasaman kertas, dan unsur lainnya seperti tinta. Sumber keasaman yang berasal dari dalam kertas antara lain residu dari bahan kimia yang digunakan pada waktu pembuatan kertas, seperti lignin, alum rosin, dan zat pemutih. Adapun faktor eksternal yaitu faktor dari luar arsip, seperti pengaruh unsur fisika, kimia, biologi, faktor penggunaan dan penanganan yang salah, serta bencana alam dan musibah. Faktor fisika terdiri dari cahaya, suhu dan kelembaban udara, serta debu. Faktor kimia meliputi senyawa gas, dan polusi udara. Faktor biologi mencakup jamur,
3
bakteri, serangga, binatang pengerat. Faktor penggunaan dan penanganan arsip yang salah, seperti perpindahan, pameran, reproduksi. Faktor bencana alam dan musibah meliputi kebakaran, banjir, perang, bencana alam, dan pencurian. Panas yang berlangsung hampir selama setahun memacu laju kerusakan pada arsip. Pada prinsipnya setiap kenaikan 100 C pada temperatur akan mengurangi separuh kehidupan arsip (Thomson, 1994). Radiasi ultraviolet dan unsur energi dalam sinar dengan temperatur tinggi akan mengakibatkan
percepatan
oksidasi dan hidrolis.
Dampak kontaminasi kimiawi akan sangat besar ketika udara berada pada titik jenuh dan pengembunan terjadi. Di dalamnya, kandungan senyawa tinggi telah berdampak pada material organis. Ketika kelembaban dan temperatur tinggi dibiarkan tak terkontrol, kemerosotan terjadi sangat cepat, sehingga menciptakan lingkungan yang layak bagi agen-agen biologi. Jamur tidak aktif dalam kelembaban yang relatif rendah, namun ketika mencapai 70 %, maka jamur akan hidup dan berkembang biak. Di samping hal tersebut di atas, hama dan serangga merupakan perusak arsip yang sangat cepat, karena sedikit demi sedikit mereka memakan kertas yang merupakan media arsip konvensional (Baish, 1987).
APAKAH PELESTARIAN ITU?
A.
Pengertian Pelestarian Arsip
Secara konsep, istilah pelestarian arsip
sering disebut juga dengan istilah
Preservasi (Preservation) Arsip. Preservasi atau pelestarian arsip adalah perlindungan 4
fisik arsip terhadap kerusakan atau unsur perusak (Terminologi Kearsipan Nasional, 2002). Di dalam Terminologi Kearsipan Nasional (2002), disebutkan ada pelestarian arsip langsung dan tidak langsung. Pelestarian arsip langsung adalah menyediakan prasarana dan sarana perlindungan arsip, termasuk bangunan, metode, penyimpanan arsip dan perbaikan fisik. Pelestarian tidak langsung adalah mengusahakan alih media dari arsip kertas ke mikrofilm, kaset video, kaset rekaman suara dan sebagainya. Peter Walne (1988) mendefinisikan preservasi adalah tindakan perlindungan arsip terhadap kerusakan,
atau dari faktor yang melemahkan
kondisi
arsip, dan
perbaikan terhadap arsip yang rusak. MacKenzie (1996), memberikan definisi dengan pengertian yang sangat luas yang dapat mencakup keseluruhan bidang pelestarian arsip. Definisi yang ia utarakan sebagai berikut : 1.
Preservasi, arti saat ini dalam bidang kearsipan, mengacu kepada segala sesuatu yang mendukung ke arah perbaikan fisik koleksi (khasanah arsip).
2.
Konservasi, berpadunya fisik arsip dengan bahan-bahan pendukung perbaikan, dan ini hanya merupakan bagian dari pelestarian arsip.
3.
Pelestarian tidak langsung, mencakup bangunan, metode penyimpanan arsip, jaminan terhadap keamanan dan penanganannya.
4.
Pelestarian dengan pengganti (duplikasi) atau format ulang. Ini berarti membuat reproduksi arsip, biasanya dengan
microfilm, dan kemudian menggunakan
kopian (copy) untuk menggantikan yang asli, sehingga mengurangi risiko robek atau membusuk pada arsip asli dan mempertahankan kondisinya.
5
Ada definisi lain yang menarik dari Memori Program Dunia (Memory of the World-website) yang memisahkan antara pengertian pelestarian atau preservasi dan konservasi. Menurut pendapatnya, sebagi berikut: 1.
Preservasi adalah pemrograman dan pengorganisasian semua kegiatan konservasi koleksi arsip secara umum.
2.
Konservasi adalah sebuah konsep yang mencakup konservasi preventif (pencegahan) yang bermaksud mengurangi risiko penurunan: kontrol lingkungan, perawatan
dan perlindungan rutin
koleksi arsip dengan
menggunakan
penanganan yang memadai, sarana anti pencurian dan membuat dokumen tiruan bagi dokumen asli yang sering digunakan. Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa preservasi atau
pelestarian arsip adalah tindakan perlindungan dan perawatan terhadap arsip sehingga dapat disimpan
dan dimanfaatkan dalam jangka waktu lama. Berdasarkan pada
pengertian ini, maka kegiatan preservasi meliputi kegiatan pemeliharaan, penyimpanan, dan pengamanan arsip baik fisik maupun informasinya. Secara garis besar, kegiatan utama pelestarian arsip terdiri dari dua hal. Pertama, pemeliharaan arsip
dari berbagai faktor perusak, baik yang disebabkan oleh faktor
internal maupun faktor eksternal. Penanganan dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, baik peralatan, kondisi ruang penyimpanan, suhu dan kelembaban ruang penyimpanan, keamanan, restorasi yakni melakukan perbaikan terhadap arsip yang sudah rapuh. Kedua, reproduksi arsip dalam rangka pelestarian informasi yang terkandung dalam media arsip.
6
B.
Tujuan dan Fungsi
Dalam melakukan kegiatan pelestarian arsip terdapat tujuan dan fungsi. Tujuan utama pelestarian arsip yakni untuk melindungi fisik arsip agar tahan lama, menghindarkan kerusakan sehingga kandungan informasinya dapat terjaga semaksimal mungkin. Hal ini dilakukan mengingat siklus alam menunjukkan bahwa semua unsur zat organis akan merosot. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelestarian arsip, yaitu : 1.
Mempertahankan otentisitas dan reliabilitas arsip;
2.
Arsip permanen;
3.
Menyimpan arsip berdasarkan medianya;
4.
Ruang penyimpanan yang bersih dengan suhu dan kelembaban udara yang stabil, 200 C, serta AC selama 24 jam per hari dalam setahun;
5.
Melakukan perawatan terhadap arsip yang rapuh atau rusak dengan hati-hati. Di dalam melakukan pelestarian arsip terdapat beberapa fungsi, yaitu:
1.
Perlindungan. Arsip dilindungi dari berbagai unsur perusak;
2.
Pengawetan. Dengan dirawat secara baik, arsip bisa menjadi lebih tahan lama;
3.
Kesehatan. Dengan perawatan yang baik, arsip menjadi bersih, bebas dari debu, jamur, binatang perusak, sehingga petugas dan pengguna arsip menjadi terlindung dari penyakit;
4.
Pendidikan. Petugas dan pengguna arsip harus belajar cara memakai dan merawat arsip. Mereka tidak boleh membawa makanan dan minuman ke ruang penyimpanan dan layanan arsip;
7
5.
Kesabaran. Merawat arsip memerlukan kesabaran;
6.
Keindahan. Dengan melakukan pelestarian arsip yang baik, maka ruang penyimpanan arsip menjadi lebih indah, sehingga memberikan motivasi kerja para petugas kearsipan dan meningkatkan minat baca para pengguna arsip.
C.
Sarana dan Prasarana
Dalam melakukan pelestarian arsip yang baik perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, sesuai standar yang berlaku Sarana dan prasarana yang harus ada adalah: 1.
Gedung dan ruang penyimpanan yang representative.
2.
Pedoman dan standar pelestarian arsip.
3.
Laboratorium.
4.
Peralatan dan alih media.
5.
Rak
arsip,
lemari
arsip,
AC,
dehumidifier,
thermometer,
hygrometer,
thermohygrometer, trolley, leafcaster, rewinder, video tape cleaner, film cleaner, telecine, stein back, kamera microfilm, mesin prosesing, komputer, scanner. 6.
Wadah penyimpan arsip terdiri dari boks, amplop, can.
D.
Proses Pelestarian Arsip
Di dalam melakukan pelestarian arsip terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui. Tahapan-tahapan tersebut terdiridari :
8
1.
Persiapan Dalam melakukan persiapan, kegiatan yang dilakukan adalah: a. Menempatkan arsip hasil akuisisi pada ruang transit untuk diseleksi dan dibersihkan dari berbagai faktor perusak arsip; b. Memindahkan arsip yang sudah diseleksi dan dibersihkan ke ruang penyimpanan; c. Merawat atau memperbaiki arsip yang rusak.
2.
Pemeliharaan Pemeliharaan arsip dilakukan untuk menjamin bahwa arsip disimpan di tempat yang baik dan aman dengan fasilitas lengkap dan dapat ditemukan secara cepat. Dalam pemeliharaan, kegiatan yang dilakukan adalah : a. Menata arsip sesuai dengan grupnya; b. Menyimpan dan menata arsip sesuai dengan format dan medianya; c. Mengatur kestabilan suhu dan kelembaban udara ruang penyimpanan arsip; d. Mengontrol fisik arsip secara rutin; e. Mengontrol lingkungan tempat penyimpanan arsip; f. Menindaklanjuti hasil temuan kontrol terhadap fisik dan lingkungan arsip.
3.
Perawatan/ Restorasi Perawatan atau restorasi arsip adalah tindakan yang dilakukan dalam memperkuat kondisi fisik arsip yang mengalami kerusakan atau mengalami penurunan kualitas secara fisik. Termasuk di dalamnya penggunaan metode yang dianggap tepat. Kegiatan yang dilakukan adalah: a. Mendaftar arsip yang akan diperbaiki;
9
b. Mencatat
jenis, metode dan rangkaian tindakan
perawatan yang pernah
dilakukan terhadap arsip yang bersangkutan; c. Melaksanakan perawatan secara tepat dan hati-hati; d. Melakukan pemeriksaan secara berkala. 4.
Reproduksi Reproduksi adalah melakukan penggandaan arsip baik menggunakan peralatan optik maupun fotografik. Contoh reproduksi adalah fotokopi, pembuatan foto, mikrofilm, reproduksi kaset, dan film. Jenis reproduksi arsip terdiri dari mengkopi dan alih media. Mengkopi adalah kegiatan menggandakan arsip dengan format hasil penggandaan yang sama dengan aslinya. Contohnya, dari format kertas digandakan menjadi format kertas. Tidak demikian halnya dengan alih media, meskipun merupakan kegiatan penggandaan tetapi hasilnya akan berbeda dengan aslinya. Contohnya, format asli film reel dialihmediakan ke format video tape/kaset, format asli kertas dialihmediakan ke mikrofilm, digital dan sebagainya. Arsiparis harus memahami tentang pembuatan media arsip. Hal tersebut akan
berguna dalam memilih bentuk media untuk menyimpan, daya tahan setiap media, dan dampak berbagai media arsip. Arsiparis harus turut aktif dalam pembuatan reproduksi untuk menentukan media apa yang memadai; kertas daur ulang dapat digunakan jika arsip tidak disimpan lebih dari 10 tahun, tetapi kertas yang bebas asam digunakan untuk arsip yang diperlukan lebih lama. Mikrofilm untuk jangka waktu lama harus diproses secara cermat menurut standar tertinggi, dan disimpan di ruang penyimpanan yang
10
memadai. Lain halnya dengan mikrofilm yang tidak untuk jangka waktu lama, tidak memerlukan banyak perhatian pada pengolahan, penyimpanan dan penanganan. Dalam melakukan reproduksi terutama bagi arsip media baru harus hati-hati dalam menentukan media, karena adanya perkembangan tipe dan model yang sangat cepat dalam peralatan media baru. Usahakan untuk memilih media dan peralatan penunjang yang berkualitas, serta tidak terlalu cepat pergantiannya agar mudah diakses. Ada tiga tujuan utama melakukan reproduksi, yaitu : 1.
Mengawetkan gambar dan suara dalam keadaan stabil untuk batas waktu yang lama.
2.
Menentukan keamanan dan melindungi informasi jika aslinya rusak atau hilang.
3.
Membuat duplikasi sebagai pengganti yang asli agar tidak cepat rusak karena sering dipinjam dan digunakan. Pembuatan macam-macam duplikasi sangat penting untuk menjamin bahwa
masing-masing media mudah diidentifikasi, baik dalam kegunaan maupun jenisnya. Akan lebih baik jika dalam reproduksi menggunakan pemberian kode warna, yakni merah untuk duplikasi pemeliharaan dan perlindungan, hijau untuk duplikasi, dan biru duplikasi untuk referensi.
E.
Orang yang Bertanggung jawab
Siapa yang bertanggung jawab bagi pelestarian arsip ? Jawabannya adalah petugas arsip atau Arsiparis, dan semua orang yang bekerja di bagian yang berhubungan langsung dengan arsip, seperti di bagian pengolahan, penyimpanan dan layanan arsip,
11
serta laboratorium. Orang-orang yang melakukan perbaikan arsip tergolong sebagai ahli teknik yang bertugas
melaksanakan perbaikan. Mereka juga menganjurkan dan
melaksanakan kegiatan pelestarian secara umum, seperti mengontrol lingkungan tempat menyimpan arsip dan mengontrol fisik arsip. Para teknisi ini melaksanakan prosedur pelestarian di bawah arahan tenaga konservator terlatih atau petugas arsip yang berpengalaman. Manajer atau orang yang paling bertanggung jawab di bagian khasanah arsip, bertanggung jawab bagi pelestarian secara umum, seperti menjamin kondisi lingkungan tempat penyimpanan khasanah arsip cukup memadai dan layak pakai, memperhatikan ada tidaknya penyakit pada arsip, serta menjamin keberadaan fisik arsip senantiasa berada pada tempatnya. Setiap staf maupun petugas arsip hendaknya diberitahu atau diarahkan menuju pelestarian arsip, penanganan reproduksi yang cermat untuk mengurangi kerusakan, pengangkutan arsip secara hati-hati, dan mendidik pengguna tentang bagaimana sebaiknya akses dan penanganan mereka dalam menggunakan arsip, menasihatkan pada pembuatan reproduksi arsip kertas agar hati-hati.
PERKEMBANGAN PELESTARIAN ARSIP DI INDONESIA
Di negara-negara berkembang dengan laju perekonomian rendah, tampak bahwa fasilitas dan kondisi politik hampir tidak mendukung kebutuhan untuk menjamin warisan budaya bangsa. Demikian pula halnya dengan Indonesia sebagai negara berkembang dengan laju perekonomian yang belum mencapai taraf yang diharapkan, alokasi dana untuk kegiatan kearsipan masih jauh dari yang diharapkan. Seringkali anggaran untuk
12
kegiatan pelestarian arsip dikurangi untuk menunjang kegiatan lain yang dianggap “lebih penting.” Hal tersebut terjadi di pemerintahan tingkat pusat maupun daerah. Hendaknya mereka ingat bahwa masih perlu mengatur pelayanan nasional bagi perlindungan warisan budaya bangsa, daripada membangun sebuah mall besar, sehingga mereka yang ingin melestarikan sisa-sisa peninggalan masa lalu harus bersabar. Di tengah kondisi seperti di atas, Arsip Nasional RI (ANRI) sebagai lembaga yang bertanggung jawab di bidang kearsipan, memberi angin segar di bidang pelestarian arsip, disaat terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tanggal 26 Desember 2004 lalu. Bencana yang menelan korban jiwa, menghancurkan gedung dan harta rakyat Aceh termasuk buku dan surat tanah, juga melenyapkan arsip sebagai bukti sejarah peradaban dan perkembangan rakyat Aceh. Upaya yang dilakukan ANRI adalah mencari bantuan dari negara lain. Jepang melalui Tokyo Reservation and Concervation Centre (TRCC) dan Japan International Corporation (JIC), bersedia bekerjasama dengan ANRI dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menangani arsip pertanahan yang rusak akibat bencana tsunami di NAD. ANRI sebagai lembaga yang bertanggung jawab di bidang penyelamatan dan pembinaan kearsipan nasional melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara mengeluarkan Surat Edaran MENPAN Nomor SE/06/M.PAN/3/2005 tentang Program Perlindungan, Pengamanan dan Penyelamatan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap musibah/bencana; serta Nomor SE/07/M.PAN/3/2005 tentang Pendataan, Penyelamatan dan Pelestarian Dokumen/Arsip Negara. Keluarnya dua Surat Edaran ini memberikan semangat baru bagi ANRI untuk menyelamatkan arsip sebagai memori kolektif bangsa.
13
Setelah melakukan berbagai macam proses, maka diputuskan cara penanganan arsip pertanahan yang terendam lumpur. Seluruh arsip yang rusak parah direndam dalam etanol (alkohol 70%), dan arsip yang kerusakannya tidak parah dibersihkan dengan cairan etanol. Arsip tersebut lalu dikeringkan dan didata oleh Arsiparis ANRI. Selanjutnya dimasukkan ke dalam rak pengering untuk dibawa ke Jakarta. Sebanyak 13 ton arsip pertanahan dibawa dari NAD dengan menggunakan pesawat Hercules. Setiba di Jakarta, arsip yang terdiri dari buku tanah, surat ukur, warkah, serta surat keputusan hak atas tanah, dimasukkan ke dalam Cold Storage dengan suhu -40 C. Kemudian dimasukkan ke dalam Vacuum Freeze Dry Chamber , mesin pengering yang didatangkan dari Jepang untuk dipinjamkan kepada ANRI. Arsip yang sudah hancur dan susah dibuka karena lengket oleh lumpur serta tercemar berbagai bakteri/jamur yang berbahaya, ternyata dapat dibuka lagi. Pada peringatan satu tahun bencana tsunami di NAD tanggal 26 Desember 2005, arsip pertama hasil perbaikan di ANRI diserahkan kembali kepada rakyat Aceh. Berdasarkan uraian di atas, terbukti bahwa pelestarian arsip sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , arsip merupakan
bukti pertanggungjawaban nasional, sebab arsip mempunyai nilai guna
administratif, hukum, keuangan, penelitian, pendidikan, dan sejarah. Dengan pentingnya kandungan nilai tersebut, maka tindakan pelestarian arsip sangatlah perlu.
PENUTUP Arsip merupakan hasil dari kegiatan organisasi atau lembaga dalam menjalankan tujuannya. Arsip tercipta secara otomatis dan tidak secara sengaja dibuat. Itu sebabnya
14
arsip bersifat unik. Arsip merupakan memori kolektif bangsa yang memiliki nilai tersendiri. Nilainya perlu dilakukan
tidak bisa diukur dengan materi. Oleh sebab itu pelestarian arsip
dalam rangka turut serta menjaga warisan budaya bangsa. Dengan
melakukan pelestarian arsip berarti menumbuhkan jiwa nasionalis berbangsa. Bangsa yang menghargai arsip adalah bangsa yang bermartabat. Pelestarian arsip perlu dilakukan secara benar dan berkelanjutan oleh tenaga ahli terlatih, karena jika arsip yang dikerjakan rusak maka tidak bisa dicari gantinya. Arsip berguna bagi masyarakat luas sebagai sumber ilmu pengetahuan, karena bersifat netral dalam mengungkapkan kebenaran, sehingga menjadi sumber yang dapat memberikan keuntungan sebagai bukti. Dengan demikian maka pelestarian arsip di Indonesia bukan hanya tanggungjawab ANRI, tetapi merupakan tanggungjawab seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Arnoult, J. Proceedings of the Pan-African Conference on the preservation and conservation of library and archival materials. Nairobi, Kenya: 21-25 June 1993. The Hague: IFLA, 1995. Arsip Nasional RI.
Terminologi Kearsipan Nasional. ANRI, Jakarta, 2002.
---------------------“Rekonstruksi Penyelamatan Arsip Badan Pertanahan Nasional NAD.” Media Kearsipan Nasional. Edisi 46, 2006, hal. 8-12. ---------------------“Peranan Arsip Dalam Menumbuhkan Jiwa Nasionalis, “ Media Kearsipan Nasional. Edisi 47, 2007, hal. 55. 15
Baish, M. Special problems of conservation Administration News 31: 4-5, 1987. Gut, P.
in
the
tropics. Conservation
Climate Responsive Building. St. Gallen:SKAT, 1993.
Harvey, Ross. “Preservation,” dalam Keeping Archives. Editor Judith Ellis. The Australian Society of Archivist, 1993. MacKenzie, G.P.
“Establishing a Preservation Programme,” Janus I, 1996, p.86-99.
Penn, Ira A. Records Management Handbook. England: Gower Publishing Limited, 1994. Surat Edaran MENPAN Nomor SE/06/M.PAN/3/2005 tentang Program Perlindungan , Pengamanan dan Penyelamtan Dokumen/ Arsip Vital Negara terhadap musibah/bencana Surat Edaran MENPAN Nomor SE/07/M.PAN/3/2005 tentang Pendataan, Penyelamatan dan Pelestarian Dokumen/ Arsip Negara Teygeler, Rene Preservation of Archives in Tropical Climates. Paris-The hagueJakarta, 2001. Thomson, G. The Museum Environment. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994. Walne, Peter.
Dictionary of Archival Terminology. Munchen, 1986.
16
Hurricane Katrina Experiences and Lessons Learned Alfred E. Lemmon Abstrak : Dalam tulisan ini, Lemmon berbagi pengalaman dan mengungkapkan pelajaran yang dapat diambil dari kejadian bencana Badai Katrina yang menyapu Kota New Orleansn Negara bagian Lousiana, Amerika Serikat, terutama yang menimpa dua institusi yakni : Pusat Dokumentasi Sejarah New Orleans dan Keuskupan Agung New Orleans ( The Historic New Orleans Collection an Archdiocese of New Orleans). Pelajaran pertama yang dapat dipetik yaitu bagaimana rencana konstruksi infrastruktur yang tidak memadai, sebab ketika bencana terjadi sambungan telepon kabel maupun selular terputus; padamnya jaringan listrik; kebutuhan untuk segera membangun kontak dengan pejabat instansi dan segenap staf dan upaya untuk memperoleh jaminan ijin untuk memeriksa seluruh koleksi yang ada. Pengalaman mengajarkan untuk menghadapi bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi, rencana antisipasi yang baik merupakan suatu hal yang mutlak. Betapa dari kejadian ini seluruh arsip yang ada ditemukan dalam keadaan utuh sebab telah dialih mediakan dalam bentuk microfilm dan samasekali bahan arsip yang mengandung nilai sejarah tidak mengalami kerusakan. Ada beberapa langkah kegiatan yang perlu dilakukan : meninjau kembali rencana penanganan
bencana; adanya kebijakan
[penjaminan yang baik terutama atas bahan-bahan dokumentasi dan koleksi yang bernilai tinggi, jaminan social dan kesehatan serta seluruh program layanan untuk kepentingan
1
yang mendesak; pembelajaran individual dalam menghadapi tantangan dengan cara selalu memperbarui ketrampilan secara berkelanjutan. Dengan begitu permasalahan mendasar dan pengalaman kedua lembaga yang ada di Kota New Orleans tersebut dalam menghadapi bencana Badai Katrina patut dijadikan pelajaran. Bagaimana mereka merumuskan dengan seksama antisipasi atas kemungkinan bencana yang akan terjadi dan pengaruhnya terhadap hilangnya arsip serta langkahlangkah yang diambil untuk mengamankannya; dibutuhkan rencana kegiatan untuk melatih segenap staf dan mendorong mereka untuk bersikap kreatif dalam menghadapi situasi darurat; diperlukan rencana tanggap darurat dan pemulihan bencana guna melindungi dan menjamin tetap berjalannya roda organisasi, dan tata kerja dan bila mungkin perbaikan atas arsip yang rusak, ini semua sebagai unsure yang wajib divantumkan dalam pedoman penanganan bencana.
Introduction Recent and not so recent disasters have drawn attention to the vulnerability of archives, libraries, and museums. However, the following observation by Associated Press writer David B. Caruso is most sobering. Millions of rare artifacts in museums and libraries across the United States are slowing disintegrating because of improper storage, according to a survey said to be the largest-ever look at the condition of such collections. Damage is occurring at institutions of all sizes, but is worse at smaller-town museums and historical societies. The survey of conditions at 3,370 museums, libraries and archives found that many lacked the basic environmental controls that prevent photographs from losing color, keep rare books from crumbling to dust and protect military uniforms from being devoured by insects. A quarter was deemed potentially vulnerable to damaging fluctuations in temperature, light and humidity. Another 65 percent had already sustained damage in their collections.
2
Only one in five institutions have a paid staff dedicated to storing material, and fewer than one in three had an up-to-date assessment of the overall conditions of their collection. Eighty percent of the institutions lacked a plan for detailing with how their objects might be saved if a natural disaster occurs.1 According to a March 29, 2005 media alert from “Earth Observatory,” more than onethird of the United States’ population lives in hazard-prone areas.2 Chief among the causes of disasters are:
Blizzards and snowstorms, drought, earthquake, epidemic,
famine, flood, forest fire, hailstorm, heat wave, hurricanes, ice storm, landslides and mudslides, tornados, tsunami, and volcanic eruptions. During the twentieth century, the United States suffered major natural disasters such as: 6 major blizzards and snowstorms (including the so called “Storm of the Century” of 1950 with hurricane force winds and heavy snow across 22 states); a ten year drought (1930-1940); 8 major earthquakes; 3 major epidemics (including the 1949-1952 polio epidemic and the 1918 influenza epidemic with more than 500,000 deaths), 10 floods (including the 1927 Mississippi River flood); 7 major forest fires, 2 stifling major heat waves; 26 hurricanes (with the 1926 hurricane that struck Miami cost the equivalent of more than $84 billion presentday U.S. dollars); 28 ferocious tornado systems, a tsunami; and volcanic eruption. Such a litany is indeed monotonous, but it underscores the importance of the topic at hand.3 From the late 1980s to late1990s a combination of improvements in weather forecasting and warning systems combined with improved building codes have greatly reduced the number of fatalities from natural disasters in the U.S. The trend in 1998 indicated that the states most affected by the costs of hurricanes (Florida, North Carolina, and Texas) and earthquakes (California and Washington) also had the largest increase in both population and revenue.4
3
It should also be noted that natural disasters are more frequent and costly. On December 30, 1999, the U. S. Geological Survey issued a warning that “The costs of natural disasters – lives lost, homes destroyed, economies disrupted – have skyrocketed in this century, as the world’s population has grown and has moved into areas that are vulnerable to earthquakes, hurricanes, landslides, and other natural hazards. Keep in mind the following information from the Independent Insurance Agents of America. Prior to 1987, the United States had not experienced a natural disaster with insured losses greater than $1 billion. Since that time, there have been 8 such events.5 But there is reason for hope. By understanding how and where these natural events occur, so that we can build and live safely on the earth, and by providing real-time information about floods, earthquakes, and other hazards, so that we can respond effectively when disaster strikes, the USGS is helping to build stronger, safer communities that are resilient to natural disasters.6 The solution is proper planning according to the association. A major problem is adequate building codes appropriate to the region. The August 21, 2006, report of Len Tylka, as President of the Florida Homebuilders Association, shows how building codes can reduce damage: But since Hurricane Andrew, there have been dramatic improvements. Today’s building code is one of the strongest in the country. Homes built under the new code that experienced Hurricane’s Charley and Ivan performed as they were designed – lives were saved and property damage was minimized. FEMA praised Florida’s code for reducing the overall amount of damage. But to make sure the code is as strong as it should be, the Commission engaged the country’s best scientific minds to evaluate its strength. This scientific review was supported by the Governor and insurance industry, and the home building industry agreed to accept its results7 “Sound, up-to-date and successful building codes are essential for construction, but codes must also be enforced and continuously updated to effectively contribute to
4
disaster mitigation,” according to Leonard C. Brevik, National Association of Professional Insurance Agents CEO in his 2006 address to the National Council on Insurance Legislators. He further noted additional costs are not more expensive and are “well worth the investment” and cited recent findings that “structures built to higher standards are 77 percent less likely to be damaged.”
After highlighting disaster
prevention as a means to save lives, suffering, loss of property and jobs, he ended his presentation with the sobering observation that not all can be mitigated as: "the nature of Nature is that the unanticipated will sometimes happen, despite our best efforts."8 It should be clear that several factors are basic to disaster preparedness. But the most basic of all considerations begin with the choice of topographical location for library, archive, or museum. The1878 Topographical and Drainage Map of New Orleans and the Surrounding Area by Thomas Hardee, is the key to understanding Hurricane Katrina impact on New Orleans. The 1878 map clearly outlines neighborhoods of the city historically subject to flooding and those areas that have not suffered flooding. As the 20th century developed, citizens eventually trusted in technology and developed the “low, swampy terrain behind the natural levees of the river and the lake,” an area that historically has proven to have drainage problems.9
The accuracy of Hardee’s map is
reflected in Katrina’s damage, as the very areas depicted with drainage problems suffered the most. Furthermore, Barthélemy Lafon’s Plan of the City and Environs Of New Orleans, Taken from actual Survey (1816), clearly depicts the limit of the 1816 flood that covered the rear of the city, flooding the low swampy ground behind the natural levee of the river.”10 Institutions depicted in areas as prone to flooding in the 1816 and 1878 maps are precisely those that suffered the greatest losses. It is critical to remember that New Orleans, like many major cities in the United States, is in a region of
5
adverse geography. As seen in the Katrina experience, the location of topography must be a critical factor in the location and subsequent development of construction projects. The experience of Katrina has reaffirmed that the construction of archives, libraries, and museums must adhere to all building codes and sound curatorial principal. The use of extensive glass walls, the use of basements, proper placement of mechanical systems, and a host of other architectural decisions are the beginning of a disaster plan. A disaster plan alone is not adequate. Staff members must be trained to be able to respond efficiently and effectively. Two case studies My observations in this paper are based primarily upon the experiences of two institutions – The Historic New Orleans Collection, a privately funded museum/research center, and the Archdiocese of New Orleans, the second oldest Catholic diocese in the United States, whose original territory stretched from Key West, Florida to Southern Canada. Both institutions had disaster plans and both plans functioned properly, though one institution had relatively minor damage and the other sustained severe damage. The Historic New Orleans Collection Upon learning of an impending hurricane on the Saturday morning, August 27, the disaster plan was implemented.
Staff members called a previously assigned
telephone number to receive instructions. Upon arrival, staff members returned all items to their proper location in vaults. Staff and public areas were totally secured. Items on exhibit on ground floor exhibition rooms were stored on the second floor. By being on the second floor, they would be safe from potential flooding, while the floor above served as protection in the event of roof failure.
6
Previously prepared visquin curtains were lowered over all shelves, all equipment was secured and protected, and “snakes” were placed in front of all doorways to inhibit the flow of water, within the building, in the event of flooding. Windows were secured with pre-cut plywood. Once the building was properly secured, an “emergency response cart” was positioned at the emergency entrance.11 Within a matter of 5 hours, the building had been successfully secured. On Sunday morning, August 28, the storm had greatly strengthened. Preparations were reviewed and additional precautions undertaken where deemed necessary. In the aftermath of the hurricane, staff learned that the buildings survived with relatively minor damage. The institution is located in an area not prone to flooding and a top priority is the maintenance of all buildings. However, staff soon learned that the well-designed disaster plan was not adequate due to the situation as a result of the storm: 1.Contact lists, even with alternate numbers, were rendered basically useless, as telephone lines and cell phone towers were equally destroyed.
In fact, land lines
functioned much better than cell phones. E-mail was unavailable due to the lack of electricity. The major challenge was to reestablish communications, both with staff and government officials. Contact numbers for the appropriate government officials and agencies had been rendered useless. In the days after Katrina, communications became increasingly difficult with staff members. Upon realizing the severity of the damage, many staff members left their original evacuation point to be with relatives who could assist them with a long-term evacuation. Once reaching their ultimate point of refuge, most acquired new cell phones and/or established new e-mail addresses. Slowly the staff was reassembled when the director of systems established a “Google Group” and a “staff only page” on our web site.
7
On September 8, ten days after the storm, we received assistance from the Louisiana National Guard and the state police to return in a convoy to New Orleans to secure collections and evacuate previously designated “priority items.” The Director of the research center coordinated communications with the state police, the fine arts moving company, the executive director, director of museum programs, financial officer, the institution’s building supervisor and the staff member responsible for the computer system. Given the elevated risk of fire and a prolonged period without electricity, it was a critical action.
Fortunately, both of our fine arts movers had taken appropriate
precautions prior to the storm. As they had crews in place, we were able to evacuate the priority collections and move them to the Alexandria Museum of Art, a small museum with state of the art facilities about 6 hours distant from New Orleans. Due to curfews and travel difficulties, staff had 5 hours to inspect and evacuate collections from 3 sites.
The work had to be accomplished with no electricity or
elevators. Fortunately, the emergency response carts were placed near the entrance to the building. Additionally, certain collections deemed “priority” are stored in preferred locations, regardless of the classification number, specifically for ease of retrieval in an emergency situation. Therefore, all priority manuscripts were grouped together in one vault, all priority rare books in another, and in a third all of the priority visual collections. Furthermore, each storage container for these items is identified by a reflector to assist in the ease of retrieval. Movers and staff formed an assembly line, material carefully was removed, an emergency evacuation inventory form completed, and the trucks loaded. In the process, however, several valuable lessons were learned. Flashlight batteries lose power far faster than imaginable in an emergency situation. Secondly, in preparing the collections for the
8
hurricane, we used carts to store books that were being processed. It was a fatal mistake and cost valuable time as each of those books had to be removed in order to use the carts to evacuate priority items. With the priority books being in phase boxes, it was very easy to simply place them on a cart and shrink wrap the cart. Arriving at the Alexandria Museum of Art, we faced another challenge as the only available vault had no shelving units. Coca Cola delivery crates were placed on the floor, and materials carefully placed on top of them. Visual collections remained in their respective print cases on Coca Cola crates. Books remained on the carts. Paintings remained wrapped carefully in ethafoam and mover’s blankets. During the unpacking, any containers damaged in the move were photographed, and made a notation on the emergency evacuation inventory form. The evacuation trip did reveal one physical need at our New Orleans off-site storage facility requiring immediate attention: None of our regular contractors had received permission to return to the city to work, however, through stroke of luck, a contactor who was cleared to enter New Orleans to assist a hospital was able to help us. This underscores just how quickly a well prepared disaster plan was rendered useless and the importance of creative solutions. On September 15 we were given permission to return to New Orleans a second time. The purpose of the trip was to remove additional items, and inspect the facilities another time. Our local fine arts mover had a pass from the Office of Emergency Management to enter New Orleans, the city was stable, and a police escort was not necessary. Controls into the city were still tight however. Indeed, it took more than one hour for the appropriate papers to be checked at the entry point into New Orleans. All cars in our convoy had magnetic signs identifying them as “rescue” vehicles.
9
Citizens and businesses were allowed to return to New Orleans based upon zones (postal codes). Senior staff members who could return did so immediately. Even though electrical service to the zone where the institution is located, it was necessary to bring every supply imaginable for both the institution and individuals. The initial days were spent preparing the buildings to greet returning staff members and working with the HVAC service company.
Other measures were undertaken immediately.
Special
security badges for all staff members were prepared. Normally a routine task, the lack of operating businesses required the badges to be made in a nearby city. Even then it took two days to make them as opposed to the few minutes required under normal circumstances. As movement within the city was still limited, the badge listed the addresses of all of the institution’s facilities. Staff members were required to complete a new staff contact questionnaire. As addresses, telephone numbers, and e-mail addresses had changed for a large number of staff members, this was mandatory. They were required to list two contact people, one of whom had to be outside of the greater New Orleans metropolitan region. Finally, on October 3, staff members who could return to work did return to work, over a month after Katrina struck New Orleans. The first assignment upon return was a thorough cleaning of the building. The top of every shelving unit was vacuumed. All items on shelves were removed; the items were checked for any sign of stress due to the hurricane or the aftermath. Shelves were cleaned with alcohol. At the same time, the all buildings were monitored, on multiple occasions, for potential environmental hazards. On October 12, the museum division of the institution reopened, and one week later, the research center reopened. Construction and disaster response companies were highly visible.
Dangers
associated with construction soon became immediately apparent. A construction crew
10
placed a trash bin adjacent to the off site storage facility. Unfortunately, it caught fire. A security guard noticed immediately. As a result damage was minimal. Had it not been observed and immediate action taken, however, a major disaster would have resulted. When conditions were stable, the evacuated priority collections were returned from Alexandria. Staff was sent to Alexandria to inventory and prepare the material for transfer. Upon arrival in New Orleans, everything was again inventoried, inspected for damages, and the evacuation condition reports updated where necessary. Daily life remained severely impacted for months. The institution’s mailing list, and e-mail list were no longer accurate. Due to the vast needs in the region, obtaining routine archival supplies was a challenge. Receiving supplies was additionally hindered as United Parcel Service in New Orleans had lost all but 4 trucks. As work resumed, the disaster plan was updated to address the challenges of a major regional disaster. Among changes was the evacuation of the institution’s van. While accession records are routinely microfilmed and a copy stored off site, the microfilms were not stored with the priority collections, nor was a set evacuated. A complete set of all microfilmed accession records are now stored with the priority collections. Our emergency response carts were updated to include items such as hard hats, hammers, and safety goggles to name just a few. Routine daily procedures were updated, including emptying refrigerators in the staff lounges every Friday. In addition, in the event of a hurricane, all groceries must be removed from the refrigerator and staff lounge. Magnetic gates leading to the research center were rendered useless with the absence of electricity. They are now equipped with padlocks in the event of electrical failure. An agreement with a hotel chain was arranged to house essential staff in the immediate aftermath of a disaster.
11
Generic self-carboning rescue inventory forms have been added to the disaster carts. Department heads have been issued laptop computers. Every staff member has been issued a new, separate e-mail account not reliant on the institution’s server. Critical numbers and contact information were distributed to staff members in a readily available simple format. However, the final, critical lesson learned was simple: staff must be trained to respond in a practical, creative and intelligent fashion to a disaster as time does not permit consulting a disaster plan. The written disaster plan should be considered as a training manual for response to a disaster. In the end the two most difficult commodities to locate were communication and access to accurate information - the very two prerequisites for which the recovery efforts depend. In the months after Katrina, The Historic New Orleans Collection experienced new ways of serving the community. Staff members were dispatched to local shopping centers to operate information centers on how families could salvage lost treasures. As the institution was able to re-open within six weeks to the public, staff members were critical in providing information to the press. Immediately, the institution launched a major documentation project. Staff photographers documented all neighborhoods of the city, ephemera documenting the rebuilding effort have been systematically collected, and major oral history project documenting the first responders was initiated. The focus of the oral history project has been the first-responders. As first-responders came from throughout the country, it was necessary for staff to travel throughout the country to interview them.
An exhibition “City of Hope: New Orleans after Katrina” was
developed specifically to demonstrate how the city has handled and survived prior floods. A significant educational component was developed that included lectures on
12
topography, history of flooding, and legal issues.
On the one-year anniversary of
Katrina, a special reception was held honoring the first-responders, who assisted thousands of individuals and families in the hours and days after the disaster. As a gift to the community, the institution proceeded with a planned major exhibition “Common Routes: St. Domingue●Louisiana.” Opening six months after the city was devastated, more than three dozen museums and individual collectors from throughout the United States, Spain and France loaned items to the exhibition. The exhibition, designed to explore the historical relation between the two former French colonies, had been planned for three years and in the wake of Katrina: “The Historic New Orleans Collection renewed its commitment to presenting this exhibition to the public. Although many Louisianans have been displaced, and all have been shaken, our unique cultural heritage remains a rallying point. May this exploration of our common routes help to inspire those who are committed to rebuilding our beloved region.” 12 In the aftermath of Katrina, France responded very quickly to the needs of its former colony.
Within two months, the French Minister of Culture and Media Renaud
Donnedieu de Vabres, Ambassador Jean-David Levitte, and Consul General Pierre Lebovic began a highly ambitious program to assist the cultural heritage of the devastated region. On March 2, 2007, 400 Years of French Presence in Louisiana: Treasures from the Bibliothèque nationale de France opened at The Historic New Orleans Collection. The same day Femme, Femme, Femme, an exhibition depicting the evolution of women drawn from museums in France, opened at the New Orleans Museum of Art. Both exhibitions are part of the French contribution to the recovery effort, as well as the on-going educational and musical exchange programs.
13
Archives of the Archdiocese of New Orleans The importance of a good disaster plan is more critical for the less fortunate. The Archdiocese of New Orleans has a cooperative agreement with the Diocese of Baton Rouge. The early records from the French and Spanish colonial periods and the antebellum period were stored in a building that suffered significant water damage. Fortunately, none of the components of that historic archive were harmed. However, due to lack of basic services and the fragility of the building, it had to be moved to Baton Rouge. The damage was a result of a broken sprinkler pipe and not flooding. The other two major archival facilities for the archdiocese were in heavily flooded areas. Finally, every building owned by the archdiocese was damaged, including administrative offices, churches, schools, and numerous social services support facilities. The archivist of the Diocese of Baton Rouge immediately became involved in the rescue effort of the archive the Archdiocese of New Orleans.
In that instance, the lesson learned is not the
importance of the first 48 hours, but what to do in the first 48 days after a major disaster. Four months after Katrina, they were still rescuing bound volumes of documents. Unfortunately, given the vast size of the Archdiocese of the New Orleans, the process continued for months. In addition, to the Diocese of Baton Rouge assisting them, once housing was available, archivists from other dioceses and institutions came to come to help. Such “assistance” visits were usually a week or two in length. Plastic buckets became the archival container de rigeur.
Coca Cola crates
became critical in the sorting and initial care of damaged documents. Ten months after Katrina, they were working with bound volumes of documents stored on shelves. With the water and the passage of time, they expanded. The archivist had to choose one
14
bound volume to sacrifice to be able to save others. They were still using hammers and crowbars to force open filing cabinets.
Fortunately, they had had a very active
microfilming project. All of their records were basically microfilmed through early 2005. The Archives of the Archdiocese have now added some very minor, but critical changes to their disaster plan. For example, they learned that records of churches that had used a certain type of paper and indelible ink pens could easily be restored. Whereas, other types of papers and pens made any salvage effort impossible. The Archives of the Archdiocese of New Orleans also learned that the impact of Katrina changed their daily functions.
With so many documents such as birth
certificates, marriage certificates, and death records being destroyed in civil repositories, the Archives of the Archdiocese, as a sacramental record is accepted by the United States government and financial institutions, is now the primary source of much needed documentation for the collection of life insurance policies, social security, Medicare, and a host of other critical services. Today, they handle more than 750 requests for such documents a week. In addition, the Archives of the Archdiocese of New Orleans and the Diocese of Baton Rouge have done a particularly good job of educating individuals about the challenges they face by provided regular updates, with photographs of progress being made. The web-site address is www.diobr.org/archives. Common experiences among all institutions Common problems experiences by all institutions, no matter what the damage situation was: 1. Location of archives, 2. basic construction of archives, 3. the staff actually being trained how to respond in a disaster as opposed to having a disaster plan, 4. the need for improved communications and information, 5. lack of electricity as the
15
major source of damage, 6. lack of a regional disaster plan, 7. lack of special provisions for cultural institutions, and 8. knowing how to work with a disaster recovery company. 1.
Know your topography. As mentioned earlier, we can not prevent natural disasters from recurring; many
communities are located in an “adverse geography.” While we can not reverse nature or geography, we can build more intelligently.
Building more intelligently requires
knowledge of the region and informed decisions as to where archival repositories should actually be built. 2.
Building intelligently. Once the decision is made as to where to build a facility, care must be taken to
place mechanical systems in a location where they will suffer the least amount of damage in the event of a storm.
Buildings with mechanicals on the ground floor suffered
tremendous damage and, in many cases, were operating a year after Katrina. In contrast, buildings with the mechanical equipment placed appropriately were fully operational within a matter of weeks. Buildings with the mechanicals in the basement were rendered basically useless for over a year. The United States National Oceanographic and Atmospheric Administration has very detailed guidelines on a variety of topics, such as protecting windows during a storm. However, most people and institutions do not know how to protect windows properly, nor know of the existence of these recommendations. Stan Goldenberg, of NOAA, is the author of a highly useful paper entitled “A Short Lesson in Building Effective Shutters.”13
16
The web site of the agency has a tremendous amount of useful information applicable for any institution devoted to cultural heritage. www.nhc.noaa.gov.
The web site is:
The site addresses a wide variety of issues. Additionally, the
Institute for Business and Home Safety has a wide variety of brochures available and a highly useful web site.14 The web site (www.ibhs.org) has valuable, printable pamphlets on topics such as earthquakes, floods, freezing weather, hail, hurricanes, tornados, water damage, wildfires, maintenance, recovery, disaster, and safety review. 3.
Training for a disaster. It is not enough to merely have a disaster plan. The staff must train for a disaster.
The staff must learn to find creative solutions to problems encountered. In many cases supplies will not be readily available and a conservator not immediately available. Therefore, practicing building a humidifying chamber with a large, plastic storage box, a plastic crate and water can be critical. In many cases, it is more than just having a ready solution; it is being trained to think of solutions when normal procedures are not possible. 4.
Improved communications and information. One of the major challenges was securing of accurate information. We readily
learned that information was often inaccurate. Broadcasts showed “the French Quarter under 5 feet of water.” The neighborhood shown was not the French Quarter, however, but a section of the city several miles away. Statements made by elected officials were often abbreviated to the point that they did not reflect the actual situation or circumstances.
Local radio commentators were reporting news phoned into them,
without verifying the information prior to airing it. In short, communication and access to accurate information – two things upon which the recovery efforts depended upon –
17
were the two most difficult commodities to locate. Another major long term problem in the recovery effort has been videos of the damage in the days immediately after the hurricane. A videos shown on television without a date imprinted on it can be very misleading. Film footage days and months old was being shown constantly and as a result was misleading the public as to the actual situation. The lack of communication was a critical component of the disaster. Institutions had problems communicating with government authorities, but larger institutions in particular frequently had problematic internal communication problems. Communication must be a regular part of any institution’s disaster plan. Regular communication must exist between the institution and local emergency response units, such as police and fire. The basic fact is that if you experience a disaster you do not have time to explain to first responders who you are and what you do. It is critical to have ongoing dialogue with such agencies and have routine visits of your facility. 5.
The lack of electricity At this point in time, it appears that most of the damage suffered by cultural
institutions were not as a result of the flood waters or wind damage, but a result of the lack of electricity for extended periods of time, resulting in materials being subjected to unsafe temperature and humidity conditions. 6.
Even though there have been numerous regional disasters in North America,
institutions have been slow to develop regional disaster plans, and instead focused on disaster plans that affected only one institution. The great ice storms of Montreal in 1961, 1986 and 1998 – the last of which left parts of Montreal without electricity for 6 months;15 the hurricanes of the Southeastern United States and the flooding in the Central United States serve as reminders of the need for regional disaster plans.
18
Libraries in San Diego, California have developed a “disaster response network,” and a consortium of institutions including, but not limited to, California State University, San Bernardino Library, California State Polytechnic University and the University of California, Riverside was established. Both of these response networks have made their mission statement, recommendations, and agreements for mutual aid available.16 The amount of information currently available via the internet is vast. “Disaster preparedness and response: A Primer on Disaster Preparedness, Management and Response: PaperBased Materials” is particularly valuable.17 It contains emergency preparedness plans for institutions such as Harvard University18 and the Massachusetts Institute of Technology.19 7.
Lack of special provisions for cultural institutions In the wake of Katrina, it was painfully obvious that there was no plan in place to
assist professionals in determining damage to their institutions.
While it was
theoretically possible for some institutions to return to assess and care for collections, there were no government provisions to assist them with such a task in the initial days after the disaster. Institutions did what they could through highly creative means without government aid. Cultural institutions must be part of the regional disaster planning process. It is critical that institutions documenting the identity of individuals, ownership of land, judicial records and others necessary to rebuild the affected area be given top priority. 8.
Knowing how to work with a disaster recovery company. It is important to realize that experiencing such a disaster affects every aspect of
one’s life. People working for cultural institutions, in the vast majority of cases, do so out of basically altruistic motives. At the same time, the same individuals in such a
19
disaster have frequently lost everything they owned. To put it simply, the ability to make informed decisions can be potentially impaired due to the trauma of the event. Disaster response companies have many options available to address a wide variety of needs. However, due to the stressful nature of the situation, it could well be advisable that, prior to making decisions concerning treatment of items or addressing the overall condition of a facility, that an outside colleague be used to help guide an institution in making the proper decision. The assisting individual does not need to be on site. Indeed, it may not be possible for the person to be on site. It is critical, though, that before making major decisions to double-check the proposed solution Finally, as custodians of the human record of the area affected by a major disaster, the personnel of cultural institutions are in a key position to assure that the cultural heritage of the region is preserved.
In many cases, it will actually mean
educating people about the importance of the cultural heritage of the affected region, as opposed to the popularized version of the region’s heritage. While many staff members will be busy assessing damage, rescuing collections, and preparing to resume operations, other staff members will inevitably be called upon by authorities to provide historical context of the disaster and the news media to provide accurate information on the affected community. Providing such information is critical to the rebuilding effort and clearly demonstrates the importance of such an institution as custodian of the cultural memory.
20
DAFTAR PUSTAKA 1
Chicago Sun Times, December 5, 2005
2
Insurance Information Institute Media: Hot Topics and Updates, November, 2006, (http://www.iii.org/media/hottopics/insurance/financialmar/) noted: “As commercial and residential development along the Atlantic and Gulf coasts mushroomed in the 1980s, insurers' exposure to hurricane losses soared. A study by AIR Worldwide estimated that the value of insured coastal property exposed to hurricane losses at $6.7 trillion in 2004 or 36 percent of the value of all property in coastal states. In Florida alone, a state with coastal properties that amount to 79 percent of its total property values insured coastal properties were valued at more than $1.9 trillion. New York was close second.” The build-up of property values coincided with a lull in hurricane activity. But Hurricane Andrew (1992) and the Northridge earthquake (1994) and an unusually high number of major hurricanes in the 2004 and 2005, culminating with Hurricanes Katrina, Wilma and Rita which together caused close to $56 billion in insured property damage according to ISO, have drawn attention to the risks the insurance industry now faces. Sophisticated modeling of disaster scenarios suggest that a major hurricane hitting Miami could cost insurers as much as $80 billion. Before Hurricane Andrew, the outside range of insured damage from a major disaster was thought to be about $8 billion.
3
Earth Observatory is a freely-accessible publication of NASA available on the Internet. Its purpose is to provide the public with new satellite imagery and scientific information on the earth’s climate and environmental change. For a compilation of the 100 worse natural disasters worldwide in the twentieth-century consult: http://www.disastercenter.com/disaster/TOP100C.html. Additionally The U.S. Natural Hazard Statistics provide statistical information on fatalities, injuries and damages caused by weather related hazards. These statistics are compiled by the Office of Services and the National Climatic Data Center from information contained in Storm Data, a report comprising data from NWS forecast offices in the 50 states, Puerto Rico, Guam and the Virgin Islands.
4
G. van der Vink, R. M. Allen, J. Chapin, M. Crooks, W. Fraley, J. Krantz, A. M. Lavigne, A. LeCuyer, E. K. MacColl, W. J. Morgan, B. Ries, E. Robinson, K. Rodriquez, M. Smith, and K. Sponberg, Department of Geosciences, Princeton University, Princeton, N.J. “Why the United States Is Becoming More Vulnerable to Natural Disasters” Eos, (1998, 553). The article can be viewed electronically at http://www.agu.org/sci_soc/articles/eisvink.html. The American Geophysical Union website is an excellent source of information on natural disasters.
5
“Statement of David Daniel on behalf of the Independent Insurance Agents and Brokers of America before the Subcommittee on Capital Markets, Insurance and Government Sponsored Enterprises, Committee on Financial Services, United 21
States House of Representatives,” September 13,2006, (financialservices.house.gov/media/pdf/091306dd.pdf). 6
Tom Ross, Neal Lott, “A Climatology of 1980-2003: Extreme Weather and Climate Events,” Technical Report 2003-01, (Ashville, NC: National Climatic Data Center, NOAA/NESDIS, US Department of Commerce, 2003). Included in this study is an analysis of billion dollar climate and weather disasters from 1980-2003. Also consult: David E. Alexander, Natural Disasters, (Springer, 1993) According to the Mission Statement of the USGS, the agency serves the Nation by providing reliable scientific information to: describe and understand the Earth; minimize loss of life and property from natural disasters; manage water, biological, energy, and mineral resources; and enhance and protect our quality of life. (http://www.usgs.gov/stratplan/vision.html). Leslie Haggin Geary, “Disaster-proof your disaster insurance: How to protect your home when Mother Nature kicks in the door,” June 20, 2002, (http://money.cnn.com/2002/06/18/pf/yourhome/q_disasterinsure/index.htm).
7
http://www.fhba.com/index.cfm?referer=content.contentItem&ID=1080
8
Dave Kaiser, “Legislators hear insurance industry's resounding voice after the storm” Insurance Journal, March 20, 2006. (http://www.insurancejournal.com/magazines/southeast/2006/03/20/features/6 8726.htm)
9
Alfred E. Lemmon, John T. Magill, Jason R. Wiese, Charting Louisiana; Five Hundred Years of Maps, (New Orleans: Historic New Orleans Collection, 2003), 335
10 11
12
317 The contents of an emergency cart should not only include material needed to assist in the recovery effort of the institution’s holdings, but also the basic necessities that the workers will need in an adverse situation, including, but not limited to, items such as M[eals] R[eady] to E[at], high energy food bars (with a 5 year shelf life), first aid kits, water purification tablets, emergency blankets, port-a-potty toilet seat lids, toilet chemical pouches, toilet liners, and 5 gallon plastic buckets to serve as actual toilets. Priscilla Lawrence, “Preface,” Common Routes: St. Domingue●Louisiana, (New Orleans: The Historic New Orleans Collection, 2006), 8
13
http://www.aoml.noaa.gov/hrd/shutters/index2.html
14
Among brochures available are: “Keep Wind and Water Out: A Guide to High Wind Protection;” “Is Your Home Protected from Hurricane Disaster?” “Manufactured Home Inspection Checklist;” “Still Standing: Trim Your Risk of Tree Problems;”
22
“Roofing the Right Way;” and “You Can Go Home Again: Returning Home after a Natural Disaster.” Free single copies of these publications are available by calling the Institute toll-free at 1-866-657-4247. 15
Mark Abley, editor, Stories from the Ice Storm, (Toronto: McClelland and Stewart, Inc, 1999).
16
http://orpheus.ucsd.edu/sildrn/list.html and http://www.ieldrn.org/MissHist.htm
. 17
http://palimpsest.stanford.edu/bytopic/disasters/
18
http://preserve.harvard.edu/emergencies/hurriances.html
19
http://libraries.mit.edu/preservation/disasterresponse.html Alfred E. Lemmon Director of The Williams Research Center, a division of The Historic New Orleans Collection 533 Royal St. New Orleans, La. 70130 USA
[email protected]
23
PENGUJIAN IDENTIFIKASI KERUSAKAN ARSIP FILM AKIBAT ASAM DI ARSIP NASIONAL RI Roby Syafurjaya dan Sari Hasanah Abstract: Cellulose acetate-based film archives can’t be avoided from decomposition and deterioration caused by theirs own base material or improper storage condition. This deterioration can be shown by blocking on the film rolls, acid smell (vinegar syndrome), or silvering out on the film surface. The test on film storage rooms of the National Archives of Indonesia (second, third, and fourth floors of G building) in 2006 showed that the temperature and relative humidity are not stable and do not fulfill the standard of storage room. Based on the acidity of 2000 film archives rolls (± 7.5 % from all collections of film archives in National Archives of Indonesia), 99.7 % of the 16 mm film archives are in good condition and only 50 % of the 35 mm film archives are in good condition. Improper storage condition will increase the acidity double in the next 2-15 years so the film archives will be difficult to be saved. Keyword : film archives, blocking, vinegar syndrome, silvering out, film storage, film deteriorations.
Arsip film berbahan dasar selulosa acetate tidak terlepas dari proses dekomposisi dan deteriorasi yang diakibatkan baik oleh bahan penyusun film itu sendiri maupun karena kondisi penyimpanan yang tidak sesuai. Proses deteriorasi pada film dapat ditandai dengan pengerasan pada gulungan film, bau asam (vinegar sindrome) dan atau keluarnya lapisan endapan perak berwarna putih pada film (silvering out). Hasil pengujian pada 1
ruang penyimpanan film Arsip Nasional RI gedung G lantai 2,3 dan 4 di tahun 2006 menunjukan bahwa kondisi suhu dan kelembaban masih belum stabil dan tidak sesuai dengan standar ruang penyimpanan. Hasil pengujian kondisi keasaman terhadap 2000 reel arsip film (± 7.5% dari koleksi arsip film di ANRI) menunjukan bahwa 99,7% arsip film 16 mm berada dalam kondisi baik dan hanya 50% arsip film 35 mm yang berada dalam kondisi baik. Dengan kondisi penyimpanan yang tidak sesuai dengan ketentuan dikhawatirkan arsip film akan naik kondisi pH-nya menjadi 2 kali lipat pada 2 – 15 tahun kedepan sehingga sulit untuk diselamatkan. Keyword : Arsip film, bloking, vinegar syndrome, cermin perak, penyimpanan film, deteriorasi arsip film
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Khasanah arsip film di Arsip Nasional mempunyai jumlah dan peranan yang cukup signifikan. Hingga saat ini koleksi arsip film yang disimpan di ruang penyimpanan arsip film sudah mencapai 160.000 reel film dalam berbagai jenis copy dan ukuran. Mengingat media penciptaan film itu sendiri yang sangat mudah terdeteriorasi maka sangatlah mungkin kondisi arsip film yang disimpan menjadi sangat bervariasi baik kualitas fisiknya
maupun
informasinya.
Keberadaan
arsip
film
sebagai
bahan
pertanggungjawaban nasional menuntut tindakan pelestarian yang maksimal untuk menjaga kondisi arsip film selalu dalam keadaannya yang terbaik, baik kondisi fisik maupun informasinya. Terjadinya proses kerusakan pada arsip film dapat terjadi karena faktor internal 2
dan eksternal. Faktor internal berasal dari bahan penyusun film dan prosesing film itu sendiri, sedangkan faktor eksternal adalah kondisi lingkungan di mana arsip film disimpan. Dengan kata lain, faktor internal merupakan faktor bawaan pada media penciptaan arsip film itu sendiri sehingga tidak dapat dirubah sedangkan faktor eksternal merupakan faktor lingkungan dimana arsip film itu disimpan. Bahan dasar arsip film yang terdiri selulosa asetat tidak terlepas dari proses dekomposisi dan deteriorasi yang diakibatkan baik oleh bahan penyusun film itu sendiri maupun karena kondisi penyimpanan yang tidak sesuai. Proses deteriorasi pada film dapat ditandai dengan pengerasan pada gulungan film, bau asam dan atau keluarnya lapisan endapan perak berwarna putih pada film. Endapan perak yang dihasilkan akan sangat berbahaya baik bagi arsip film itu sendiri maupun bagi pengelola (petugas), karena mengandung bahan kimia berbahaya seperti perak nitrat dan bahan lainnya yang berasal dari emulsi film. Apabila kondisi ini tidak segera dihentikan maka film sebagai bahan informasi dan memori kolektif bangsa akan mengalami kerusakan atau bahkan musnah. Oleh karena itu diperlukan suatu tindakan pencegahan dan penanganan yang cepat dan tepat untuk mencegah musnahnya arsip film tersebut. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan mengidentifikasi kerusakan arsip secepat mungkin sebelum kerusakan berlanjut. Identifikasi ini dapat dilakukan dengan identifikasi kondisi keasaman pada arsip film. Kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap perubahan fisik film. Akibat suhu dan kelembaban ruang penyimpanan yang tidak konstan, menyebabkan beberapa koleksi film yang tersimpan di ANRI mengalami kerusakan. Ciri-ciri kerusakan ini ditandai dengan keluarnya lapisan perak nitrat pada film (silvering out) dan keluarnya bau asam yang khas seperti cuka dari film (vinegar syndrome). Proses lebih lanjut dari kerusakan ini adalah terjadinya pengerasan pada 3
gulungan film (blocking), sehingga film menjadi lengket satu sama lain dan menyebabkan hilangnya image yang ada pada film. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya informasi yang terdapat dalam arsip. Untuk menanggulangi kerusakan lebih lanjut yang dapat mengakibatkan musnahnya informasi dalam arsip film maka diperlukan identifikasi yang cepat dan tepat mengenai kondisi arsip film dan kondisi penyimpanannya sehingga dapat ditentukan langkah langkah penanganannya untuk menyelamatkan arsip film tersebut.
B. Tujuan Tujuannya dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi kondisi arsip film yang disimpan di Arsip Nasional RI terutama kondisi keasamannya sebagai tahap awal terjadinya kerusakan. 2. Mengidentifikasi kondisi ruang penyimpanan arsip film di Arsip Nasional RI terutama suhu dan kelembaban yang sangat berpengaruh terhadap kondisi arsip film.
TINJAUAN PUSTAKA A. Arsip Film 1.
Pengertian Arsip film adalah arsip yang isi informasinya terekam dalam medium seluloid
yang menyajikan citra bergerak (moving image) dalam rangkaian gambar fotografik dan 4
suara pada bahan dasar film, yang penciptaannya menggunakan rancangan teknis dan artistik dengan peralatan khusus. Arsip film mempunyai beragam jenis dan bentuk yang berbeda, baik ukuran, jenis bahan penyusun dan citra pembentuk image. Berdasarkan ukurannya (gauge) arsip film dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu film 8 mm, 16 mm, 35 mm, dan 70 mm. Sedangkan berdasarkan bahan penyusunnya maka dapat dibedakan menjadi film nitrat, film asetat dan film polyester tergantung dari jenis bahan yang digunakan sebagai plastik support. Berdasarkan citra pembentuk image film maka arsip film dapat dibedakan menjadi film berwarna dan hitam putih. 2.
Jenis Film Selama periode awal abad 19 hingga abad 20, terdapat beberapa jenis film
berdasarkan bahan penyusun dasar yang digunakannya yaitu : a.
Film nitrat Film nitrat mempunyai lapisan dasar selulosa-nitrat (cellulose nitrate). Polimer selulosa nitrat mempunyai sifat yang kurang stabil dan mudah terbakar, jika terdeteriorasi polimer nitrat ini dapat menjadi menguning, lengket, mengkerut, tergantung dari tingkat deteriorasi yang terjadi. Film fotografik nitrat disebut juga seluloid, nitroselulose, flamable film, pyroxolin atau flame film.
b.
Film asetat Film base selulosa ester biasanya mengacu pada triasetat, diasetat atau asetat. Film jenis ini pada awal penggunaannya dikembangkan menjadi film 5
untuk jangka simpan permanen, namun ternyata film ini tidak lebih stabil dari film nitrat. Tingkat perkiraan waktu hidup/waktu simpan adalah 100 tahun pada suhu 700F (210C). Perbedaannya dengan film base nitrat adalah selulosa ester ini tidak mudah terbakar. Kebanyakan film produksi abad 20-an adalah film selulosa ester termasuk juga didalamnya film dan tranparansi yang diproduksi saat ini. Film berwarna pada umumnya merupakan film asetat.
o Selulosa asetat (asetat, selulosa asetat propionat, dan selulosa asetat butirat), pertama kali dikembangkan sekitar tahun 1935an, dan merupakan film asetat pertama yang digunakan untuk menggantikan film nitrat.
o Selulosa diasetat, film jenis ini dikembangkan pada tahun 1937an untuk menggantikan film nitrat dan asetat. Seperti halnya film asetat, diasetat tidak mempunyai jangka simpan yang lebih lama dari nitrat. Film jenis ini mudah kehilangan warna, mengerut dan bergelombang seiring dengan waktu. Kondisi penyimpanan, khususnya suhu dan kelembaban mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kerusakan film ini. Selulosa diasetat mulai digantikan oleh triasetat pada tahun 1948.
o Selulosa triasetat, merupakan film ester asetat generasi terakhir yang pernah diproduksi. Pertama kali diproduksi pada tahun 1948 sebagai film citra bergerak dan menjadi umum digunakan pada tahun 1949. Pada awal tahun 1960an film jenis ini mulai dilaporkan terdeteriorasi pada kondisi penyimpanan yang panas dan lembab. c.
Film Poliester (polietilen tereptalat) 6
Film Poliester, mengacu pada lapisan dasar plastik film yang mulai digunakan sejak tahun 1950an. Poliester mempunyai komposisi yang lebih stabil dan mempunyai waktu hidup yang lebih lama dibandingkan dengan asetat. Umumnya film yang bertanda estar atau cronar merupakan film base poliester. Film jenis ini mempunyai jangka simpan yang lebih lama hingga kurang lebih 500 tahun. 3.
Konstuksi Film Arsip film mempunyai konstruksi yang khusus, serta biasanya tersusun atas 3
komponen penting, yaitu : a.
Base/Bahan dasar plastik sebagai support Merupakan lapisan pembawa atau penguat pada film, bagian ini menjadi dasar di mana image gambar atau informasi film disimpan. Bagian ini mempunyai karakteristik yang transparan, kuat dan fleksibel. Pada umumnya polimer penyusun base film ini adalah selulosa triasetat, polimer lainnya adalah selulosa diasetat, selulosa nitrat dan poliester. Bagian ini juga umumnya didukung lagi oleh lapisan pelindung/backing layer yang bahan penyusunnya adalah gelatin atau polimer seperti Polivinil-alkohol (PVA). Lapisan pelindung ini berfungsi untuk melindungi film dari perubahan fisik yang diakibatkan oleh perubahan dimensi dan volume image sebagai akibat perubahan suhu dan kondisi penyimpanan.
7
Gambar 1. Konstruksi Arsip Film
Image Emulsi
Base/support Backing layer / Lapisan belakang
b.
Emulsi Gelatin
Bagian emulsi ini mengandung materi/bahan pembentuk image pada film. Pada film berwarna, bagian emulsi ini terdiri dari berbagai lapisan pembentuk image. Sedangkan pada film hitam putih pada umumnya hanya mempunyai tidak lebih dari 2 lapisan berbeda. Bagian emulsi ini sangat tipis dan sangat mudah terkena kerusakan fisik seperti abrasi atau gores. Emulsi gelatin ini juga bersifat hidroskopik dan sangat mudah menyerap uap air dari udara, serta sensitif terhadap perubahan pH, sehingga jika film mulai terdekomposisi atau terkena serangan jamur maka dapat dengan mudah terlarut dalam air dan perawatan akuatik (aqueous treatment) tidak dapat digunakan.
8
c.
Image yang tersusun atas pewarna/color dyes dan atau perak nitrat
Image perak dalam film terbentuk dari ekspose perak halida oleh cahaya. Gambar pada film hitam-putih terdiri dari partikel logam perak yang halus. Image pada film berwarna terdiri dari berbagai lapisan bahan pewarna (color dyes). Kedua jenis image ini dapat terdeteriorasi sebagai akibat dari efek pencahayaan dan reaksi bahan-bahan kimia yang disebabkan oleh polutan dari luar maupun dari base film itu sendiri yang terdekomposisi. Asam yang diserap dari lingkungan atau dari bagian film itu sendiri dapat bereaksi dengan perak membentuk senyawa perak yang memyebabkan memudarnya warna pada image film. Senyawa–senyawa sulfur juga dapat bereaksi dengan perak pada image membentuk senyawa perak yang menimbulkan warna kekuningan atau kecoklatan pada image film. 4.
Identifikasi Jenis Dasar Film Jenis dasar film dapat ditentukan dengan uji polarisasi (polarization test), uji nyala
(burn test), uji apung (float test) dan uji difenilamin (diphenylamine test).
a.
Uji tanda (mark test) Film dengan dasar asetat biasanya mempunyai tanda tulisan safety film pada bagian pinggir strip film.
b.
Uji polarisasi Uji ini dapat digunakan untuk menentukan jenis film dengan dasar polyester. Film dengan jenis polyester akan terpolarisasi pada saat diterpakan sinar 9
melalui filter polarisasi membentuk spektrum penuh seperti pelangi pada film tersebut. Sedangkan pada film dasar asetat hanya menampakan cahaya yang berkelip tanpa adanya spektrum pelangi. Pengujian ini merupakan pengujian tanpa
merusak
contoh
sehingga
sangat
dianjurkan
penggunaannya
dibandingkan dengan pengujian lainnya untuk arsip film. c.
Uji nyala (burn test)
Pengujian ini dilakukan dengan membakar contoh film. Film nitrat akan terbakar secara spontan dan terus terbakar secara konsisten hingga habis dengan warna nyala putih hingga kekuningan. Sedangkan film asetat hanya akan meleleh dan nyala akan padam begitu api dijauhkan. Film nitrat akan mengeluarkan bau khas seperti kamper sedangkan film asetat akan mengeluarkan bau asam setat. d.
Uji apung (float test) Pengujian ini dilakukan dengan mengapungkan sebagian kecil contoh film kedalam larutan trikloroetane.
Film ester asetat akan mengapung pada
permukaan larutan, film nitrat tenggelam dan film polyester akan melayang di dalam larutan. e.
Uji difenilamin (spot test) Pengujian ini dilakukan dengan meneteskan larutan difenilamin (dalam 90% H2SO4) keatas permukaan contoh film. Pada permukaan Film nitrat akan berubah menjadi biru gelap, sedangkan pada selulosa ester dan polyester hanya akan membentuk warna biru terang/biru pucat (NPS, Meuseum Hand Book, 1999;11) .
10
B. Kerusakan Arsip Film 1.
Vinegar syndrome Bahan penyusun film itu sendiri dapat terdekomposisi menghasilkan asam yang
akan mempercepat proses kerusakan film lebih lanjut, proses ini dikenal dengan vinegar syndrome. Mekanisme ini terjadi karena adanya group asetyl pada base film yang terlepas karena udara lembab, panas dan asam bergabung dengan uap air membentuk asam asetat (vinegar). Ditandai dengan terciumnya bau asam asetat/ cuka dari film. Reaksi kimia yang menyebabkan proses deteriorasi pada film merupakan reaksi autokatalitik. Ini berarti hasil dari proses asam (deteriorasi) dapat mengkatalisasi terjadinya reaksi deteriorasi selanjutnya. Sekali proses ini dimulai maka reaksi kerusakan selanjutnya terjadi sangat cepat. 2.
Silvering out Image pada film tidak terlepas dari proses dekomposisi dan deteriorasi yang
diakibatkan oleh bahan penyusun itu sendiri. Image pada film mengandung emulsi yang disusun oleh perak nitrat dan atau bahan pewarna/dyes. Emulsi film dapat mengalami deteriorasi yang ditandai dengan pengerasan pada gulungan rol film dan keluarnya endapan perak nitrat berwarna putih pada bagian emulsi film. Proses ini dikenal dengan nama Silvering out. Silvering out juga dapat terjadi pada foto positif yang ditandai dengan terbentuknya lapisan cermin perak (mirroring) pada bagian foto. Silvering out ini juga dapat diakibatkan oleh proses oksidasi perak yang terjadi dalam film atau foto.
11
Selain silvering out, beberapa jenis kerusakan pada arsip film juga sebagai berikut : Bergelombangnya permukaan film, vinegar syndrome, pengerutan pada permukaan film (shrinkage) yang mengakibatkan berubahnya dimensi film, timbulnya gelembung udara pada image film, pemisahan lapisan emulsi. 3.
Faktor penyebab Terjadinya kerusakan arsip film baik silvering out maupun vinegar syndrome dapat
terjadi karena faktor internal dan ekternal. Faktor internal berasal dari bahan penyusun film dan prosesing film sendiri, sedangkan faktor ekternal adalah kondisi lingkungan dimana arsip film disimpan. Faktor internal penyebab terjadinya silvering out disebabkan karena image yang terbentuk pada film berasal dari ekspose perak halida oleh cahaya, dimana perak merupakan logam yang sangat reaktif dan sangat mudah bereaksi dengan oksidator dan senyawa polutan lainnya seperti asam atau sulfur. Senyawa oksidator dan perak dapat bereaksi membentuk oksida perak yang bergerak secara bebas dalam emulsi film. Efek ini dapat terlihat pada saat perak oksida tersebut telah mencapai permukaan dan menyebabkan timbulnya lapisan cermin perak dan memudarnya image pada film (NFSA). Faktor internal lainnya diakibatkan oleh prosesing film yang tidak benar, kondisi film yang basah dan residu tiosulfat yang masih tersisa pada saat prosesing arsip film dapat mempercepat proses kerusakan pada arsip film dan foto. Faktor eksternal lingkungan penyimpanan yang mempengaruhi terjadinya proses kerusakan adalah suhu, kelembaban, polutan dari udara serta bahaya yang berasal dari air, cahaya, jamur, serangga, serangan mikrobiologi, kontak dengan bahan kimia dalam 12
bentuk padat, cair dan gas dan kerusakan akibat kontak fisik (ISO 5466:1992). Sedangkan kondisi yang paling berpengaruh terhadap akselerasi proses kerusakan adalah kondisi kelembaban dan suhu penyimpanan film serta polutan seperti sulfur dan senyawa asam yang dapat bereaksi dengan perak pada film (NFSA). Nilai suhu dan kelembaban berdasarkan Standar Internasional (ISO) untuk penyimpanan arsip film adalah maksimum 21 oC dan 15 s/d 40 %. Akselerasi proses kerusakan pada arsip dapat diasumsikan berdasarkan tabel standar kerusakan film berdasarkan standar
Image Permanent Institute seperti
ditunjukan pada tabel 1 dan 2 berikut :
Tabel 1.
Estimasi Waktu Kerusakan (tahun) Pada Film Asetat Baru (Keasaman 0,5) Pada Suhu dan Kelembaban Tertentu*
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
RH Suhu -1 0C 2 0C 4 0C 7 0C 10 0C 13 0C 16 0C 18 0C 21 0C 24 0C 27 0C 29 0C 32 0C 35 0C 38 0C 41 0C 43 0C 46 0C
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
2000 1250 800 600 400 250 175 125 90 60 45 30 20 16 11 8 6 4
1500 900 600 400 300 200 125 90 70 45 35 25 17 12 9 7 5 4
1000 700 450 300 200 150 100 70 50 35 25 18 13 10 7 5 4 3
700 500 350 250 150 100 80 50 40 25 20 14 10 7 5 4 3 2
500 350 250 175 125 80 60 40 30 20 15 11 8 6 4 3 2 2
400 250 175 125 90 60 45 30 25 16 12 9 6 5 3 3 2 1
300 200 150 100 70 50 35 25 17 13 9 7 5 4 3 2 2 1 13
19.
49 0C
3
3
2
2
1
1
1
Keterangan : * waktu yang dibutuhkan oleh film baru (fresh film) untuk mencapai keasaman 0,5.
Tabel 2.
Estimasi Waktu Kerusakan (Tahun) Pada Film Asetat Yang Mulai Terdegradasi (Keasaman 0,5-1,0) Pada Suhu dan Kelembaban Tertentu* No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Keterangan:
*
RH Suhu -1 0C 2 0C 4 0C 7 0C 10 0C 13 0C 16 0C 18 0C 21 0C 24 0C 27 0C 29 0C 32 0C 35 0C 38 0C 41 0C 43 0C 46 0C 49 0C
20%
50%
80%
540 350 230 150 100 65 45 30 20 15 10 7 5 3 2 2 1 1 1
110 75 50 35 25 15 10 7 5 4 2 2 1 1 1 <1 <1 <1 <1
30 25 15 10 9 6 5 4 3 2 2 1 1 1 1 <1 <1 <1 <1
waktu yang dibutuhkan oleh film untuk meningkat keasamannya dari 0,5 menjadi 1,0 Sumber : IPI (Image Permanence Institute), Rochester Institute of Technology
HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN Kegiatan ini merupakan studi pendahuluan yang dibatasi hanya pada arsip film 14
yang disimpan di ruang penyimpanan arsip film gedung F lantai 2, 3 dan 4 Arsip Nasional RI, pengujian terhadap jenis film lainnya hanya sebagai pembanding.
A. Peralatan dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
1.
Peralatan
a. Alat untuk memeriksa kondisi lingkungan ruang penyimpanan 1)
Thermohygrograph;
2)
Thermohygrometer SWEMA AIR;
3)
UV light monitor ELSEC;
4)
Air Flow Tester TESTO;
5)
UV/light illumination;
b. Peralatan Pengujian
1)
pH meter HORIBA;
2)
Neraca Analitik;
3)
Desikator;
4)
Burner/bunsen;
5)
Peralatan gelas lainnya.
15
2.
Bahan a. Bahan pembuatan indikator ABC 1)
Bromocresolgreen indikator;
2)
Akuadest;
3)
Larutan NaOH 0,1 N;
4)
Kertas saring/kertas serap;
5)
Ethanol;
6)
Kertas indikator.
b. Bahan Pengujian 1)
pH indikator universal;
2)
A-D strips paper check;
3)
Buffer pH 4 dan 7.
B. Metode Pengujian 1.
Identifikasi Kondisi Ruang Penyimpanan
Pengukuran kondisi ruang penyimpanan arsip film dilakukan secara rutin selama 8 bulan (Maret s/d Desember 2006) dengan periode waktu secara acak sebanyak 3 kali dalam satu bulan. Pelaksanaan pengukuran dilakukan perlantai sebanyak 10 titik baik normal storage maupun cool storage untuk parameter suhu dan kelembaban. Hasilnya 16
pengukuran dirata-ratakan dan dibandingkan dengan standar ruang penyimpanan dan estimasi waktu kerusakan arsip film berdasarkan tabel IPI.
2.
Identifikasi Umum Arsip Film Koleksi Arsip Nasional RI Arsip film ditentukan jenis dasarnya (nitrat, asetat atau poliester) dengan
menggunakan uji tanda, uji apung, dan uji nyala. Pengujian dilakukan terhadap contoh film yang rusak dan status dimusnahkan atau pada bagian film yang tidak mengandung image/informasi (bagian leader). Sampling dilakukan secara acak berdasarkan format ukuran (35 mm dan 16 mm) sehingga dianggap mewakili jenis arsip film.
3.
Identifikasi Kondisi Arsip Film
Identifikasi kondisi arsip film dilakukan secara acak yang mewakili koleksi arsip film diruang penyimpanan arsip gedung F lantai 2. jumlah sampel yang diuji sebanyak 2000 reel film pada ruang normal storage dan 2000 reel film pada ruang cool storage (± 7.5% dari koleksi arsip film) yang terdiri dari 1000 reel film 16 mm dan 1000 reel film 35 mm. Sampel diuji dengan menggunakan indikator ABC dan dibandingkan dengan indikator pH Universal. Penampakan warna indikator dibandingkan dengan tabel standar warna dan dicatat grade kondisi arsip film. Data kondisi arsip film diolah dengan menghitung prosentase kondisi arsip film dengan masing masing grade dan nilai pHnya. Sebagai bahan perbandingan dilakukan juga pengujian terhadap mikrofilm, mikrofiche, rekaman suara dan video. Gambar 2.
Indikator ABC Dalam Satu Cetakan
17
C. Hasil Pengujian dan Pembahasan 1.
Kondisi Ruang Penyimpanan Salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi arsip film adalah
lingkungan penyimpanan arsip itu sendiri, yaitu kondisi suhu dan kelembaban. Oleh karena itu kegiatan pengujian ini diawali dengan pengukuran kondisi ruang penyimpanan terutama kondisi suhu dan kelembaban. Pengukuran dilakukan pada sepuluh titik dan kemudian hasilnya dirata-ratakan. Nilai interval suhu dan kelembaban ditunjukan pada tabel berikut ini : Tabel 3. No 1
2
3
Hasil Pengukuran Suhu dan Kelembaban di Ruang Penyimpanan Gedung F Ruang
Suhu (OC) Interval Range
Kelembaban (%RH) Range interval
Lantai 2 Cool storage Normal storage Lantai 3 Cool storage
13.4-24.1 19.7-25.4
10.7 5.7
48.7-71.4 46.3-66.9
22.7 20.6
14.1-22.3
8.2
48.3-70.3
20.0
Normal storage Lantai 4
18.2-23.5
5.3
47.8-63.4
15.6
Cool storage Normal storage
13.7-24.1 19.3-24.5
10.2 5.2
51.2-68.2 45.2-60.1
17.0 14.9
Standar Maks 210C, 15-40% RH ; Fluktuasi kelembaban dan suhu maks 5 %, 2 OC
Data pada tabel diatas menunjukan bahwa kondisi suhu dan kelembaban ruang penyimpanan masih belum sesuai standar yang ditentukan. Kondisi suhu di ruang penyimpanan arsip film umumnya berada diatas standar maksimum yang ditetapkan
18
yaitu 21 OC dan fluktuasi tidak lebih dari 2OC. Kondisi kelembaban umumnya berada diatas atandar yang diperkenankan yaitu maksimum 40% dengan fluktuasi tidak lebih dari 5 %. Kondisi ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kerusakan pada arsip film. Suhu yang tinggi dapat mengurangi kelenturan film dan mengurangi kualitas warna dan image pada film. Aspek penting dari suhu adalah pengaruhnya terhadap kelembaban di ruang penyimpanan, penurunan temperatur drastis dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban. Tingkat perubahan suhu yang tinggi umumnya dapat pula menyebabkan perubahan kelembaban. Kondisi kelembaban diatas 60 % untuk jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan emulsi gelatin pada film, serta menyebabkan pertumbuhan jamur yang akan mengakibatkan emulsi film menjadi lunak dan lengket. Kelembaban tinggi juga dapat menyebabkan perubahan pada emulsi perak dan warna pada film. Penyimpanan pada kelembaban yang rendah dapat mencegah pertumbuhan jamur dan mengurangi tingkat degradasi pada film, namun hal ini juga dapat menyebabkan lapisan gelatin dan base pada film menjadi mengkerut dan retak. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan kondisi suhu dan kelembaban diruang penyimpanan baik cool storage maupun normal storage yang tidak stabil, semua ruangan menunjukan kondisi fluktuasi suhu dan kelembaban yang besar melebihi standar. Berdasarkan pengukuran dan dibandingkan dengan tabel estimasi IPI, jika suhu dan kelembaban penyimpanan film mencapai 240C;70% maka hanya dibutuhkan waktu selama 40 tahun bagi arsip film untuk dapat terdeteriorasi menghasilkan asam. Selanjutnya jika sudah dalam kondisi asam, reaksi autokatalitik akan membuat film semakin terdeteriorasi dan hanya membutuhkan waktu 3 tahun bagi film untuk terdegradasi menghasilkan asam hingga asam yang dihasilkan menjadi 2 kalinya. 2.
Identifikasi Umum Arsip Film 19
Koleksi arsip film yang disimpan di Ruang Penyimpanan Arsip Gedung F Arsip Nasional RI mencapai kurang lebih 160.000 reel film dari berbagai jenis dan kondisi yang berbeda. Secara umum dari sejumlah besar arsip tersebut merupakan jenis film dengan base asetat, seperti dibuktikan dengan pengujian terhadap sampel arsip yang dicuplik dari arsip film yang direstorasi atau yang dalam status musnah. Hasil pengujian ditunjukan pada tabel berikut : Tabel 3.
Hasil Identifikasi Arsip Film
No
Sampel
Reel
Float test
Burn test
Marking test
1
Reel film
16 mm
Base asetat
Base asetat
Tulisan “Safety film”
2
Reel film
35 mm
Base asetat
Base asetat
Tulisan “Safety film”
Pengujian identifikasi film juga ditunjukan pada gambar berikut :
(a) Burn test
(b) Float test
(c) Edge marking
Gambar 4. Pengujian Identifikasi Film
Hal ini menunjukan bahwa semua arsip film merupakan base asetat yang sangat mungkin untuk terdeteriorasi menghasilkan asam asetat yang ditunjukan dengan bau asam cuka yang khas.
20
3.
Pengujian Kondisi Arsip Film Hasil pengujian kondisi arsip film yang dilakukan ditunjukan pada tabel berikut :
Tabel 4. No 1
2
Jenis Film Film 16 mm
Film 35 mm
Hasil Pengujian Kondisi Arsip Film Grade
Jumlah
Prosentase
Range pH
Keterangan
Grade A
996
99.6
>5
Kondisi baik
Grade B
1
0.1
4-5
Mulai terdegradasi
Grade C
3
0.2
<4
Terdegradasi, kondisi asam
Grade A
500
50.0
>5
Kondisi baik
Grade B
111
11.1
4-5
Mulai terdegradasi
Grade C
83
38.9
<4
Terdegradasi, kondisi asam
Berdasarkan hasil pengujian dapat terlihat bahwa sampel film 16 mm umumnya berada dalam kondisi baik (grade A). Lain halnya dengan kondisi sampel arsip film 35 mm, hasil pengujian menunjukan bahwa hanya 50 % arsip film yang berada dalam kondisi baik sedangkan sedangkan sisanya mulai terdegradasi dan mengeluarkan asam. Kondisi arsip film 35 mm yang disimpan di ruang penyimpanan Arsip Nasional RI dikhawatirkan sudah mencapai fase autokatalisis (proses percepatan reaksi kimia dengan sendirinya atau dengan zat katalis yang dihasilkan oleh senyawa itu sendiri) dimana sebagian besar film telah terdeteriorasi mengeluarkan asam yang dapat menjadi katalis
21
yang mempercepat terjadinya reaksi kerusakan yang berlanjut pada film. Hal ini dapat ditunjukan oleh hasil pengujian dimana 50% sampel arsip film mempunyai grade B dan C, dengan kondisi pH yang kurang dari 5. hal ini ditambah lagi dengan kondisi yang fluktuatif dan tidak sesuai dengan standar, maka dikhawatirkan tingkat kerusakan film dapat menjadi lebih besar. Jika kita asumsikan bahwa arsip film yang disimpan di depo ANRI dalam kondisi baik, maka film base asetat dengan kondisi penyimpanan suhu 13,4 – 24,10C dan kelembaban 48,7 – 71.4% RH (seperti tabel 1 diatas), maka menurut standar IPI, film akan mulai terdegradasi vinegar syndrome (keasaman film mencapai 0,5) pada umur penyimpanan antara kira-kira 16 s/d 150 tahun. Tetapi jika didasarkan pada hasil pengujian tingkat kerusakan arsip film dengan kertas indikator ABC yang menunjukkan sebagian arsip film 35 mm sudah mengalami gejala vinegar syndrome maka dengan kondisi suhu dan kelembaban seperti diatas, hanya dibutuhkan waktu 2–15 tahun bagi arsip film untuk terdegradasi hingga meningkat keasamannya menjadi 2 kali lipat dari 0,5 menjadi 1,0 dan seterusnya sehingga kondisi film tidak dapat diselamatkan lagi. Dari gambaran diatas terlihat bahwa arsip film tidak sama seperti halnya arsip kertas yang dapat disimpan lama. Arsip film khususnya dengan base asetat dapat terdegradasi dengan sendirinya selama di tempat penyimpanan. Jika kondisi suhu dan kelembaban ruang penyimpanan yang tidak sesuai dibiarkan berlanjut maka masalah deteriorasi arsip film ini akan semakin besar, serta tindakan preservasi yang dibutuhkan menjadi lebih sulit dan membutuhkan biaya yang besar. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan fisik arsip film adalah dengan memisahkan fisik arsip film yang sudah terdeteriorasi dari film yang kondisinya 22
baik untuk menghindarkan kontak asam dari udara ruangan penyimpanan. Sedangkan untuk arsip film yang sudah mulai terdeteriorasi perlu dilakukan pengangin-anginan dan lain-lain, tetapi masih perlu dilakukan pengujian. Untuk menyelamatkan informasinya adalah dengan sesegera mungkin melakukan alih media ke bentuk arsip lainnya, agar hasil alih media dengan kualitas terbaik.
PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data data yang diperoleh dari pengujian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1.
Secara keseluruhan kondisi ruang penyimpanan arsip film di lantai 2, 3, dan 4, masih belum sesuai standar yang dipersyaratkan menurut standar penyimpanan arsip film, ISO 5466 : 1992, dimana kondisi penyimpanan arsip film sebaiknya diatur pada suhu maksimum 21oC dan kelembaban 15 – 40% RH dengan fluktuasi maksimum 2 oC dan kelembaban 5 %.
2.
Koleksi arsip film di ANRI umumnya film dengan jenis dasar asetat.
3.
Kondisi fisik arsip film 16 mm di ruang penyimpanan arsip film di gedung F lantai 2, 99% dalam kondisi baik, sedangkan arsip film 35 mm hanya 50 % yang berada dalam kondisi baik.
B. Saran
23
1.
Sebaiknya kegiatan monitoring ruangan penyimpanan arsip film dilakukan secara rutin setiap hari terutama pemeriksaan setting AC dan dehumidifier agar kondisi ruangan penyimpanan yang ideal dapat dicapai. Karena dengan kondisi ruang penyimpanan yang ada sekarang dikhawatirkan arsip film akan naik kondisi pHnya menjadi 2 kali lipat pada 2 – 15 tahun kedepan sehingga sulit untuk diselamatkan.
2.
Perlunya dipasang air cleaner diruangan penyimpanan arsip film untuk menjamin sirkulasi udara yang baik dan menyerap bau asam dari arsip film terutama diruang cool storage, karena diruang tersebut tersimpan negatif dan stock shoot film sebagai master arsip.
3.
Perlunya
dipasang
alat
pengukur
suhu
dan
kelembaban
yang
baru
(thermohygrometer) karena hasil pengukuran alat yang terpasang sekarang sudah tidak valid. 4.
Sebaiknya alih media arsip film ke bentuk media arsip lainnya lebih ditingkatkan lagi mengingat deteriorasi arsip film akan terus berlangsung dengan sendirinya apalagi dengan kondisi saat ini.
5.
Perlu dilakukan pendataan kondisi arsip secara menyeluruh agar dapat dilakukan langkah perbaikan secepatnya sebelum kerusakan pada arsip film berlanjut.
24
DAFTAR PUSTAKA Arsip Nasional RI,. Manajemen Arsip Audio Visual, Modul. Pusat Diklat Arsip Nasional RI. 2001. Elise Calvi,. Preserving Access to Research Materials on Cellulose-Acetate Base Microfilm in the University of Delaware Library, Preservation Department, University of Delaware Library, July 2003 ISO 5466,. Processed Safety Photographic Films, Storage Practices, 1992 (E). James Reilly,. IPI Storage Guide for Acetate Film. Rochester, NY: Image Permanence Institute, 1996 Robley, Les-Paul,. Vinegar Syndrome Articles, American Sinematographer June 1996 Edition. Arsip Nasional RI,. Pedoman Pengelolaan Arsip Film, Jakarta, Arsip Nasional RI, 2002. Unger, Carol,. Storage Microfilms : What Are They Doing in The Dark. AbbeyNewsLetter Volume 16 No. 4, August 1992. http: //www.nfsa.afc.gov http : // palimpset.stanford.edu/byorg/abbey/an/an16/an16-4/an16-407.html
25
Notulen Rapat Rencana Kerja Penerbitan Jurnal Ilmiah Kearsipan Pusjibang Siskar Arsip Nasional RI Tanggal Pukul Tempat
: 01 Mei 2007 : 10.00 s.d 12.00 : Ruang Rapat Gedung C Lt.8
Rapat yang dihadiri tim kerja memutuskan beberapa langkah sebagai berikut: 1.Susunan Redaksi dengan komposisi: - Pelindung : Djoko Utomo Ahmadsyah Naina - Pimpinan Redaksi : Sumrahyadi - Dewan Redaksi : Toto Widyarsono Sambudi SW - Redaktur : - Ketua : Bambang Barlian - Sekretaris : Lily Tifa - Anggota : Tamsir Oloan EHP Marpaung Nurarta Situmorang Dwi Yuli Astuti Samsrini Marwati Nur Mas Intan BM - Layout : Furqon Imamsyah Ahda Dwinda Meigita - Distributor : Hendro Subekti Anggariyani Kurniasih - Alamat Redaksi : Arsip Nasional RI Jl.Ampera Raya No.7 Jakarta 12560 Telp.(021)7805851 Fax.(021)78102807805812 http:www.anri.go.id e-mail:info@anri. go.id 2.Tema yang ditetapkan : “Penyelamatan Arsip” 3.Artikel : - Bencana - Preservasi - Penyusutan - Alih Media 4.Format tulisan : - Makalah terdiri dari15- 20 halaman - Spasi ganda - Jenis huruf times new roman - Tulisan merupakan hasil kajian pribadi/tim - Tulisan belum pernah dipublikasikan,dimuat/dicetak - Tulisan diterima paling lambat tgl 29 juni 2007
Susunan Redaksi: Pelindung Pimpinan Redaksi Dewan Redaksi
Redaktur Ketua Sekretaris Anggota
Layout Distributor Alamat Redaksi
Tema:
: Djoko Utomo Ahmadsyah Naina : Sumrahyadi : Sauki Hadiwardoyo Mustari Irawan Toto Widyarsono Sambudi SW : : Bambang Barlian : Lily Tifa : Tamsir Oloan EHP Marpaung Nurarta Situmorang Dwi Yuli Astuti Samsrini Marwati Nur Mas Intan BM Sriyanto : Sri Wulandari Furqon Imamsyah Ahda Dwinda Meigita : Hendro Subekti Anggariyani Kurniasih : Arsip Nasional RI Jl.Ampera Raya No.7 Jakarta 12560 Telp.(021)7805851 Fax.(021)78102807805812 http:www.anri.go.id e-mail:info@anri. go.id
Penyelamatan Arsip (Pasca bencana, Preservasi, Penyusutan, Alih Media, dll)
Kriteria Penulisan : 1. Tulisan merupakan hasil penelitian/hasil kajian (Lapangan/Pustaka baik perorangan maupun tim) atau karya tulis ilmiah. 2. Makalah ditulis menggunakan kertas A4 dengan jenis hurup Times New Roman dan jumlah halaman 15 sampai dengan 20 memakai spasi ganda. 3. Tulisan belum pernah dipublikasikan atau belum pernah dimuat/dicetak dalam media lain. 4. Makalah/tulisan yang masuk ke redaksi tidak dapat dikembalikan dan menjadi milik dewan redaksi 5. Bagi tulisan yang memenuhi kriteria dan dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kearsipan akan diberikan imbalan yang menyenangkan. 6. Tulisan Diterima redaksi paling lambat tanggal 29 Juni 2007
Dalam rangka penyusunan Jurnal Ilmiah Kearsipan, dengan ini Redaksi Jurnal Ilmiah Kearsipan memberikan kesempatan kepada seluruh pegawai ANRI untuk berpartisipasi dalam membuat tulisan/makalah yang akan dimuat dalam Jurnal Kearsipan Edisi II, dengan kriteria sebagai berikut : Tema:
Penyelamatan Arsip (Pasca bencana, Preservasi, Penyusutan, Alih Media, dll)
Kriteria Penulisan : 1. Tulisan merupakan hasil penelitian/hasil kajian (Lapangan/Pustaka baik perorangan maupun tim) atau karya tulis ilmiah. 2. Makalah ditulis menggunakan kertas A4 dengan jenis hurup Times New Roman dan jumlah halaman 15 sampai dengan 20 memakai spasi ganda. 3. Tulisan belum pernah dipublikasikan atau belum pernah dimuat/dicetak dalam media lain. 4. Makalah/tulisan yang masuk ke redaksi tidak dapat dikembalikan dan menjadi milik dewan redaksi 5. Bagi tulisan yang memenuhi kriteria dan dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kearsipan akan diberikan imbalan yang menyenangkan. 6. Tulisan Diterima redaksi paling lambat tanggal 29 Juni 2007
STRATEGI PEMILIHAN PROGRAM PRIORITAS PRESERVASI ARSIP STATIS DENGAN TEKNIS ANALISIS SWOT: Studi Kasus Preservasi Arsip Audio-Visual dan Elektronik pada Direktorat Preservasi, ARSIP NASIONA RI
Drs. AZMI MSi
Abstract: Archives preservation is one form among the keeping archives (textual, audiovisual and electronic media), which follow by certain technique in order to keep the archives in long period of time and its information is used properly. As a matter of fact, archives preservation is know as a generic term for totality of measures maintaining the integrity of the archives and the information contained them. It includes all the managerial and financial consideration, storage and accomodation provisions, staffing levels, policies techniques and methode involved in safeguarding the holding of archival institutions. There are someffactors influence the archives preservation performance, specially the audio-visual and electronic archives around the Directorate of Preservation, which influence to the archives rescuing in the National Archives of the Republic of Indonesia (ANRI). Now day, there are known to be 3 (three) main issued in connected the audio-visual and electronic archives preservation in ANRI : low of human resources the capability; no certain standard operational procedure (SOP) for archives preservation; limit of infrastructure and tool. As part of a good government, ANRI has the responsibility to protect an to guarantee the public rigth toward the collective memory of the nations which kept within the audio-visual and electronic archives. One of the ANRI’s main task is connected to how the audio-visual and electronic archives collection could be safed and preserved for public interest. Strategy in choosing the actual issued in priority program of archives preservation, by refering the urgency, serious, and growth, as the rational and measurable technique analysis to increase the ANRI’s performance in keeping audiovisual and electronic archives as part of the collective memory of the nations. SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) technique analysis
1
model describes in detail both the internal and external environment to find out factors, which cause the influenced to the successful of ANRI in preservationing the the audiovisual and electronic archives. Through SWOT technique analysis which influenced the ANRI’s successful in archives management is categoried into Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats as the basic to definite the target, goal and strategy in deciding the ANRI’s main priority program for the preservation, so ANRI has a advantage in reaching the vition and misson as the archival institutions. Key Words:: Preservation, Programme, Swot Analysis, Audiovisual Records, Electronic Records, Directour of Preservation.
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai lembaga pemerintah
nondepartemen (LPND) yang salah satu tugas pokoknya adalah melestarikan dan menyediakan arsip sebagai bahan pertanggungjawaban nasional dalam rangka kehidupan kebangsaan. Keberadaan ANRI dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa tidak terlepas dari adanya kebutuhan untuk menciptakan manajemen
pemerintahan
yang
efisien
dan
efektif.
Informasi
mengenai
penyelenggaraan negara dan pemerintahan perlu dikelola dengan baik sebagai memori kolektif bangsa dan menjadi sumber informasi publik bagi generasi kini dan mendatang. Sebagai bagian dari pemerintahan yang baik, ANRI berkewajiban melindungi dan menjamin hak publik terhadap memori koleksi bangsa (good government is good recordkeeping). Substansi tugas pokok ANRI melekat pada bagaimana khasanah arsip yang disimpannya, yakni informasi terekam tentang penyelengaraan negara yang memiliki nilai historis yang
disebut dengan istilah arsip statis (achives) dapat
diselamatkan dan dilestarikan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat.
2
Pengaruh globalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdampak kepada berbagai ragam informasi arsip statis yang harus diselamatkan dan dilestarikan oleh ANRI. Salah satu dampak globalisasi tersebut adalah semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dukungan data dan informasi yang bersumber dari arsip audio-visual dan elekronik. Hal ini membawa konsekuensi logis terhadap kebutuhan penyelamatan dan pelestarian arsip audio-visual dan elekronik yang memadai. Salah satu faktor penentu keberhasilan pelestarian arsip audio-visual dan elekronik dalam rangka penyelamatan arsip statis sebagai informasi publik adalah tersedianya Standar Operasional Prosedur (SOP) preservasi audio-visual dan elekronik. Preservasi arsip merupakan salah satu bentuk penyelamatan arsip yang dilakukan agar informasi yang disimpan di dalamnya dapat digunakan sebaik-baiknya oleh pengguna arsip. Kesiapan ANRI dalam menyediakan SOP preservasi audio-visual dan elekronik yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan preservasi audio-visual dan elekronik, merupakan kewajiban konstitusional seperti disebutkan pada Pasal 6 ayat a dan Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2007 bahwa pemerintah penyelenggaraan
kearsipan
nasional
dengan
mempertinggi mutu
penyelenggaraan
kearsipan
yang
membimbing ke arah kesempurnaan. Pasal 9 ayat 1 menyebutkan Arsip Nasional Pusat wajib menyimpan, memelihara dan menyelamatkan arsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b UU ini dari Lembaga-lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintahan Pusat. Dalam konteks preservasi arsip audio-visual dan elekronik untuk peningkatan akses dan mutu layanan arsip statis kepada publik, maka penyusunan SOP preservasi
3
arsip audio-visual dan elekronik merupakan upaya untuk mewujudkan layanan prima di ANRI. Hal ini merupakan bagian dari implementasi UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil, yakni aparatur dituntut memberikan pelayanan prima agar masyarakat memperoleh kepuasan atas layanan yang telah diterimanya. Lemahnya strategi dalam penentuan program kerja prioritas preservasi arsip statis, yang berdampak terhadap kurang optimalnya kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik di ANRI, menarik perhatian penulis untuk menulis makalah dengan judul : “ Strategi Pemilihan Program Prioritas Preservasi Arsip Statis dengan Teknis Analisis SWOT: Studi Kasus Preservasi Arsip Audio-Visual dan Elektronik pada Direktorat Preservasi, Arsip Nasional RI”
B.
Limitasi Studi Studi ini memiliki keterbatasan pada hal-hal berikut :
1.
Studi hanya membahas kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronika tidak membahas kinerja preservasi arsip jenis lainnya;
2.
Studi ini merupakan studi kasus pada Direktorat Preservasi di ANRI, sehingga fenomena yang terjadi tidak dapat digeneralisasikan untuk kasus-kasus di tempat lainnya;
3.
Studi ini hanya didasarkan data sekunder dari dokumen dan data hasil observasi lapangan, sehingga ketepatan analisis kurang optimal;
4.
Studi dilakukan dalam waktu singkat, sehingga pengumpulan data dan pembahasan dilakukan kurang menyeluruh.
4
C. 1.
Metodologi Rasionalisasi Pendekatan Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung dengan data-data kuantitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong,2004:4).
2.
Model Analisis Model analisis yang digunakan dalam studi ini adalah analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats), yaitu suatu proses memerinci keadaan lingkungan internal dan eksternal guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan
organisasi
ke
dalam
katagori
strengths,
weaknesses, opportunities, threats, sebagai dasar untuk menentukan tujuan, sasaran dan strategi mencapainya, sehingga organisasi memiliki keunggulan meraih masa depan yang lebih baik (Sianipar, 2003:23). 3.
Teknik Pengunpulan Data Dalam studi ini, penulis menggunakan pengumpulan data kualitatif dengan teknik studi pustaka terhadap dokumen resmi yang berkaitan dengan preservasi seperti buku, pedoman, makalah, laporan tahunan dan dokumen resmi lainnya yang diterbitkan ANRI). Teknik pengumpulan data lainnya adalah survei atau observasi lapangan ke unit-unit kerja yang melaksanakan fungsi pelestarian arsip audio-visual dan elektronik di lingkungan Direktorat Preservasi ANRI.
5
D.
Isu Aktual Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja preservasi arsip audio-visual dan
elektronik pada Direktorat Preservasi yang berpengaruh terhadap tingkat keselamatan arsip statis di ANRI. Berdasarkan hasil pengamatan sementara penulis, ada tiga isu utama yang berkembang saat ini, yaitu: 1. Rendahnya kompetensi SDM; 2. Belum adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) preservasi arsip; 3. Terbatasnya prasarana dan sarana. Untuk menetapkan prioritas isu aktual dari tiga permasalahan yang diidentifikasi tersebut, penulis menggunakan teknik analisis Model Urgensi, Serious, Growth (USG) , sebagai berikut: Tabel 1 :
Diagram Urgensi, Serious, Growth
NO.
MASALAH
URGENSI
1.
Rendahnya kompetensi SDM
5
5
4
14
5
5
3
13
5
5
5
15*)
2.
3.
Terbatasnya prasarana dan sarana Belum tersedianya standar operasional prosedur (SOP) preservasi arsip audio-visual dan elektronik
SERIOUS GROWTH
TOTAL
*) Masalah yang diprioritaskan untuk diselesaikan adalah masalah yang memiliki total skor tertinggi berdasarkan skala nilai 1- 5. Nilai terendah 1 dan nilai tertinggi 5.
6
Berdasarkan hasil analisis terhadap isu-isu aktual yang di kemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa isu utama dan menjadi prioritas harus segera dihadapi dan dicarikan solusinya, yaitu “ belum tersedianya standar operasional prosedur preservasi (SOP) arsip audio-visual dan elektronik, sehingga perlu adanya SOP preservasi arsip audio-visual dan elekronik agar kinerja preservasi arsip di ANRI dapat berjalan dengan optimal”. Sebagai salah satu upaya (sasaran) yang harus dilakukan dalam jangka pendek dan sangat segera harus dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah ”menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik, dalam rangka pelestarian arsip statis di ANRI dan meningkatkan akses dan mutu layanan arsip statis kepada masyarakat”.
KERANGKA KONSEPTUAL A.
Konsepsi Sistem Preservasi Arsip Sebuah sistem terbentuk dari komponen-komponen yang berintegrasi atau
bekerjasama satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu, di mana tidak dapat dicapai oleh masing-masing komponen secara independen (Dephub 2006:5). Sistem preservasi arsip merupakan suatu sistem yang dibentuk oleh komponen-komponen : 1.
Komponen liveware (Manusia: Arsiparis, Konservator), sebagai pelaku kegiatan preservasi;
2.
Komponen hardware (sarana dan prasarana kearsipan : gedung/depo, ruang penyimpanan, ruang perawatan, ruang reproduksi, video evaluator, rewinder
7
machine, rak, boks, can, spool, leader, dlll), sebagai tempat kegiatan dan peralatan pendukung kerja preservasi arsip; 3.
Komponen environment (Lingkungan: cuaca dan faktor alam), sebagai faktor luar yang turut mempengaruhi kelancaran sistem preservasi arsip;
4.
Komponen software (Peraturan perundangan-perundangan, standarisasi, manual sebagai perangkat lunak yang berfungsi mengatur dan mengontrol sistem preservasi arsip).
5.
Lingkungan organisasional, sebagai internal sistem preservasi arsip yang lebih melihat kepada kebijakan-kebijakan lembaga dalam mengatur sistem preservasi arsip. Mengacu kepada sistem preservasi kearsipan nasional, maka sistem preservasi
merupakan entitas yang terdiri dari preservasi arsip berbasis bahan dasar kertas, audiovisual dan elektronik yang meliputi aspek manusia, sarana dan prasarana, lingkungan, lingkungan organisasi, peraturan perundang-undangan, standar dan pedoman yang saling berinteraksi, membentuk satu sistem preservasi kearsipan yang efisien dan efektif. Model sistem preservasi arsip secara sederhana dapat digambarkan seperti pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1 : Model Sistem Preservasi Arsip
8
MODEL SISTEM PRESERVASI ARSIP
Liveware
Software
Archives Preservation System
Hardware
Environment
B.
Preservasi Secara konsep, istilah preservasi arsip sering disebut juga dengan istilah
“Pelestarian”. Preservasi atau pelestarian arsip adalah proses dan kerja dalam rangka perlindungan fisik arsip terhadap kerusakan atau unsur perusak dan restorasi/reparasi bagian arsip yang rusak atau arsip yang rusak. Preservasi langsung adalah menyediakan prasarana dan sarana perlindungan arsip, termasuk bangunan, metode, penyimpanan arsip dan perbaikan fisik. Preservasi tidak langsung adalah mengusahakan substitusi atau alih media, misalnya melakukan penggandaan dan alih media ke mikrofilm atau kaset video, kaset rekaman suara, dan lain-lain. (Terminologi Kearsipan nasional, 2002). Preservasi arsip merupakan salah satu bentuk penyelamatan arsip
yang
dilakukan agar data dan informasi yang disimpan di dalamnya dapat digunakan sebaikbaiknya oleh generasi sekarang maupun generasi yang mendatang. Senada dengan hal
9
itu, Ellis dalam buku Keeping Archives (1993: 476) mendefiniskan preservasi sebagai tindakan yang memungkinkan bahan arsip baik fisik maupun informasi yang terkandung didalamnya dapat disimpan dan dipertahankan selama mungkin. Pada sisi lain Ellis (1993:476) mendefinisikan preservasi sebagai tindakan yang memungkinkan bahan arsip baik media fisiknya maupun informasinya yang terkandung di dalamnya dapat disimpan dan dipertahankan selama mungkin. Michael Roper (1989), mendefinisikan preservasi adalah keseluruhan tindakan pemeliharaan kesatuan dan isi informasi arsip, yang meliputi semua aspek pelestarian arsip, keuangan, sarana, sumber daya manusia, metode dan teknik, serta penyimpanannya dalam rangka penyelamatan khasanah arsip. Peter Walne (1988), mendefinisikan preservasi adalah keseluruhan proses dan tindakan dalam rangka perlindungan arsip terhadap kerusakan atau dari faktor-faktor yang melemahkan kondisi arsip dan perbaikan terhadap arsip yang rusak. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa preservasi atau pelestarian arsip adalah tindakan perlindungan dan perawatan arsip sehingga dapat disimpan dan dimanfaatkan dalam jangka waktu lama. Berdasarkan pada pengertian ini, maka kegiatan preservasi meliputi kegiatan pemeliharaan, perawatan, penyimpanan, perlindungan atau pengamanan arsip baik fisik maupun informasinya. Dengan kata lain pelestarian atau preservasi arsip secara umum bertujuan untuk melindungi fisik arsip agar tahan lama, menghindarkan kerusakan sehingga kandungan informasinya dapat terjaga selamanya. Kegiatan preservasi arsip secara umum terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu: 1.
Pemeliharaan arsip dari ancaman faktor-faktor perusak, baik yang bersumber dari internal maupun eksternal. Dalam hal ini dilakukan kegiatan penyimpanan
10
arsip sesuai dengan standar penyimpanan : gedung, ruang penyimpanan, peralatan, suhu dan kelembaban udara; 2.
Perawatan dan perbaikan arsip yang rusak sebagai akibat pemeliharaan yang kurang baik, bencana, salah dalam penggunaan, dan sebagainya;
3.
Reproduksi arsip dalam rangka pelestarian informasi arsip : alih media, copy. Preservasi arsip mempunyai tujuan untuk melindungi fisik arsip agar tahan lama,
menghindarkan kerusakan sehingga kandungan informasinya dapat terjaga selamanya. Karena itu ketika melakukan preservasi arsip ada beberapa prinsip-prinsip preservasi yang harus diperhatikan, yaitu :1) dilaksanakan dengan mempertahankan otentisitas dan realibilitas arsip, 2) dilaksanakan sejak dinyatakan sebagai arsip, 3) penyimpanan arsip memperhatikan jenis media rekamnya, 4) penyimpanan arsip dilaksanakan pada ruang simpan yang memenuhi syarat, dengan suhu dan kelembaban udara yang stabil, 5) perawatan arsip dilaksanakan dengan tingkat ketelitian yang tinggi (ketahanan dan eviden suatu arsip). Martoatmodjo (1994:6) menyebut preservasi dengan istilah pelestarian, yang mempunyai beberapa fungsi, yaitu : 1) Perlindungan : arsip dilindungi dari serangga, manusia, jamur, panas matahari, air, dsb. 2) Pengawetan : dengan dirawat baik-baik, arsip menjadi bisa lebih lama digunakan, 3) Kesehatan : dengan pelestarian yang baik, arsip menjadi bersih, bebas dari debu, jamur, binatang perusak dan sumber penyakit, 4) Pendidikan : user dan petugas kearsipan sendiri harus belajar bagaimana cara memakai dan merawat arsip, 5) Kesabaran : merawat arsip ibarat merawat bayi atau orang tua, sehingga harus sabar, 6) Sosial : pelestarian tidak bisa dikerjakan oleh seorang diri, petugas kearsipan harus mengikutsertakan user untuk tetap merawat arsip, 7) Ekonomi :
11
dengan pelestarian yang baik, arsip menjadi lebih awet dan biaya operasional kantor dapat dihemat, 8) Keindahan : dengan pelestarian yang baik, penataan fisik arsip akan lebih mudah, ruang penyimpanan menjadi indah, sehingga memberikan motivasi kerja para petugas kearsipan. Pelaksanaan preservasi arsip akan sangat tergantung dari tingkat kemampuan masing-masing organisasi. Untuk menjelaskan pelaksanaan preservasi arsip, Teygeler (2001:34) mengembangkan model preservasi arsip yang dikenal dengan model piramida konservasi (coservation pyramid). Pada bagian bawah model piramid ini merupakan bagian yang penting untuk semua koleksi, dan bagian puncak merupakan tindakan khusus bagi konservator. Secara keseluruhan “preservation pyramid“ terdiri dari 4 komponen, yaitu : 1) konservasi preventif (preventive conservation), 2) konservasi pasif (passive conservation), 3) konservasi aktif (active conservation), 4) restorasi (restoration). Gambar 2: Model Piramida Conservation Restoration
Active Passive conservation Preventive ti Gambar. Piramida Preservasi (preservation pyramid)
12
1.
Preventive conservation (konservasi preventif) Adalah semua tindakan langsung atau tidak langsung untuk mencegah atau
mengurangi kerusakan objek, berkaitan dengan pemenuhan ketentuan kondisi lingkungan, dan cara akses objek secara baik untuk memperpanjang daya hidupnya. Dimulai dari garis kebijaksanaan yang tegas meliputi pelatihan, pendirian sikap dan profesionalisme semua staf. Tugas utama lembaga kearsipan adalah menjamin khasanah/koleksi arsip statis senantiasa tersedia untuk diakses dan dimanfaatkan baik bagi generasi kini dan generasi mendatang. Karena itu daripada harus memperbaiki arsip yang rusak adalah jauh lebih efisien dan efektif melakukan pencegahan/pengurangan kerusakan arsip. Walaupun kerusakan bahan akan terus berlangsung, tetapi sesungguhnya dapat diperlambat, di mana ilmu pengetahuan dapat memberikan saran tentang cara-cara untuk mempanjang jangka hidup objek. Pencegahan adalah lebih baik daripada pengobatan, khususnya untuk yang tidak mempunyai cukup dana dan juga merupakan cara yang paling aman terhadap keselamatan seluruh koleksi.
2.
Passive conservation (konservasi pasif) Adalah tindakan langsung atau tidak langsung yang berhubungan dengan cara
memperpanjang daya hidup objek. Meliputi pemeliharaan tempat penyimpanan yang baik; sirkulasi udara, air purification (penyaringan udara), pemasangan air conditioning, kebersihan depot dan pengontrolannya. Hal yang paling utama dalam passive conservation adalah melakukan survei mengenai kondisi fisik dari koleksi.
3.
Active conservation (konservasi aktif)
13
Adalah semua tindakan langsung atau tidak langsung yang bertujuan untuk mempanjang
jangka
hidup
objek.
Meliputi
pemasukan
objek
dalam
boks,
pembungkusan kembali objek, pembersihan objek, deasidifikasi dan pemusnahan hama. Pada tahapan ini, kegiatan active conservation dapat dilakukan oleh orang-orang yang bukan konservator.
4.
Restoration (restorasi, perbaikan) Adalah semua tindakan untuk memperpanjang jangka hidup objek sesuai dengan
kaidah-kaidah estetika dan etika, dengan mempertahankan keutuhannya yang berhubungan dengan sejarah. Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh konservator yang sangat terlatih. Pada tahapan ini, untuk merestorasi objek akan memerlukan biaya yang mahal dan menghabiskan banyak waktu.
C. Norma, Standar, Pedoman dan Manual Dalam perangkat pelaksanaan tugas kepemerintahan pedoman merupakan bagian dari sistem NSPM (Norma, Standar, Pedoman dan Manual). Keempat aspek tersebut berada pada jenjang berbeda. Norma berada pada jenjang paling atas, standar pada jenjang kedua, pedoman dan manual pada masing-masing pada jenjang ketiga dan keempat. Badan Litbang Departemen Perhubungan (2005) memberikan definsi NSPM sebagai berikut : 1) Norma adalah aturan/ketentuan yang mengikat sebagai panduan atau pengendalian dalam melaksanakan kegiatan, 2) Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang diberlakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan, 3)
14
Pedoman adalah acuan yang bersifat umum yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dapat disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan daerah/instansi setempat, 4) Manual adalah acuan operasional yang penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik setempat. Standardisasi sebagai unsur pendukung keselamatan arsip, mempunyai peranan penting dalam mengoptimalisasi pendayagunaan sumber daya yang ada. Tujuan standardisasi preservasi arsip adalah terwujudnya jaminan mutu produk dan jasa preservasi arsip guna menunjang tercapainya tujuan-tujuan strategis penyelenggaraan kearsipan statis, seperti peningkatan akses dan mutu pelayanan, pengurangan terjadinya musibah/bencana, efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan sumber daya yang ada. Standar adalah suatu spesifikasi teknis atau sesuatu yang diberlakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keamanan, keselamatan, lingkungan, perkembangan IPTEK, pengalaman, perkembangan masa kini dan mendatang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
KERANGKA TRANSFORMASI VISI DAN MISI ANRI
Tahun 1971 adalah tahun lahirnya sebuah undang-undang yang menjadi payung hukum penyelenggaraan kearsipan di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 7 tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan. Kemudian didasarkan kepada Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1974 Arsip Nasional RI (ANRI) menjadi sebuah lembaga nondepartemen yang berkedudukan di ibukota negara dan berada
15
langsung di bawah serta bertanggungjawab kepada Presiden. Untuk kepentingan pertanggungjawaban nasional kepada generasi mendatang, menjamin kesinambungan pelaksanaan pembangunan secara terus menerus perlu diselamatkannya bahan-bahan bukti yang nyata, otentik dan reliabel mengenai kehidupan kebangsaan yang pada umumnya dan penyelenggaraan pemerintahan negara pada khususnya baik mengenai masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Mengantisipasi globalisasi dan perubahan lingkungan strategis lainnya, serta untuk memberikan mutu pelayanan yang prima kepada masyarakat dalam bidang kearsipan, maka ANRI pun dituntut untuk melakukan berbagai perbaikan ke arah kesempurnaan layanan arsip untuk menciptakan citra positif lembaga ini. Hal ini penting mengingat bahwa kedaulatan dan kepentingan rakyatlah yang harus senantiasa dikedepankan, karena rakyat saat ini menuntut terwujudnya “tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)” yang ditandai dengan empat pilar elemen utama yang saling keterkaitan satu sama lainnya yaitu : transparansi, partisipasi, penegakan hukum dan akuntabilitas. Dalam rangka mendukung terciptanya Good Governance serta merespon terhadap perubahan sosial dan perubahan dalam lingkungan strategis, ANRI telah merumusan visi lembaga yakni menjadikan arsip sebagai simpul pemersatu bangsa. Untuk mendukung visi tersebut telah ditetapkan misi lembaga yaitu: 1.
Memberdayakan
arsip
sebagai
tulang
punggung
manajemen
pemerintahan dan pembangunan; 2.
Memberdayakan arsip sebagai bukti akuntabilitas kinerja aparatur;
16
3.
Memberdayakan arsip sebagai bahan bukti sah di pengadilan;
4.
Menjadikan arsip sebagai memori kolektif dan jati diri bangsa, warisan nasional dan bukti pertanggungjawaban nasional;
5.
Memberikan akses seluas-luasnya untuk kepentingan pemerintahan dan pembangunan, masyarakat, penelitian dan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan bangsa sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
Perwujudan misi yang berhubungan dengan pembahasan tulisan ini adalah misi pada poin 4 dan 5, yaitu menjadikan arsip sebagai memori kolektif dan jati diri bangsa, warisan nasional dan bukti pertanggungjawaban nasional, serta memberikan
akses
seluas-luasnya
untuk
kepentingan
pemerintahan
dan
pembangunan, masyarakat, penelitian dan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan bangsa sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam bidang preservasi arsip audio-visual dan elektronik merupakan salah satu pengembangan tupoksi ANRI dalam rangka menjabarkan misi ANRI yang keenam, yaitu melestarikan dan memanfaatkan arsip konvensional dan media baru.
KINERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Belum optimalnya kinerja
preservasi arsip audio-visual dan elektronik
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain prasarana dan sarana, volume khasanah arsip, kompetensi SDM kualitas bahan/material arsip dan belum tersedianya SOP
17
preservasi. Hal ini berpengaruh langsung terhadap kelestarian khasanah arsip statis dan berdampak pula terhadap tingkat kualitas layanan informasi arsip statis kepada masyarakat peminat arsip. Tabel 2 di bawah ini yang menggambarkan kondisi prasarana dan sarana berdasarkan kegunaannya yang tersedia pada Direrktorat Preservasi. Tabel 2 :
Prasarana dan Sarana berdasarkan kegunaanya Pada Subdit Pengolahan Arsip Media Baru
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Depo/repository Ruang restorasi arsip Ruang reproduksi Ruang laboratorium Telesine Audio reproduction machine Video tape evaluator (VHS, U-matic, Betacam) Rewinder machine Recleaning tape recorder
Kegunaan Penyimpanan Perawatan Alih media Pengujian bahan dan peralatan Alih media film Alih media rekaman suara Perawatan arsip video Perawatan arsip film dan mikrofilm Perawatan arsip rekaman suara
Sumber: Direktorat Preservasi, ANRI 2007
Kondisi prasarana dan sarana yang tersedia saat ini apabila mengacu kepada konsep preservasi arsip belum memadai lagi, sehingga menjadi kendala tersendiri dalam preservasi arsip audio-visual dan elektronik. Permasalahan lain yang dihadapi Direktorat Preservasi dalam melestarikan arsip audio-visual dan elektronik, adalah banyak volume/jumlah khasanah arsip yang harus diolah. Masalah ini merupakan peluang bagi unit tetapi sekaligus bisa menjadi ancaman apabila tidak ditangani dengan baik.
Tabel 3 di bawah ini menggambarkan
jumlah/volume arsip audio-visual dan elektronik yang tersimpan di ANRI berdasarkan jenis medianya.
18
Tabel 3: Jumlah Khasanah Arsip Audio-Visual dan Elektronik No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Arsip Arsip film Arsip Video Arsip Audio (kaset, oral history) Arsip Foto Arsip Microfilm Arsip Microfiche CD
Jumlah 116.952 reel 37.216 kaset 27.309 kaset 1.600.245 lembar 2760 can 7540 lembar 48 keping
Sumber: Direktorat Preservasi, ANRI 2007.
Aspek lain yang mempengaruhi kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik adalah kompetensi SDM yang bertugas memelihara dan merawat arsip. Umumnya kompetensi SDM preservasi rendah, mereka sebagian tamatan SLTA dengan latar belakang kearsipan yang minim. Arsiparis yang ditempatkan pada unit kerja preservasi umumnya Arsiparis Tingkat Keterampilan dengan kemampuan teknologi informasi yang rendah. Preservasi arsip audio-visual dan elektronik senantiasa mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga sistem preservasi arsip jenis ini tidak hanya bersandar pada upaya manual. Dengan demikian SDM preservasi (Staf, Konservator, Arsiparis) bahkan kalau memungkinkan pejabatanya pun harus memiliki kompetensi teknis kearsipan, khususnya bidang preservasi arsip dan didukung dengan kemampuan dalam bidang teknologi informasi yang memadai. Tabel 4 dan 5 berikut ini menggambarkan SDM (staf dan Arsiparis) di luar pejabat struktural berdasarkan tingkat pendidikan pada Direktorat Preservasi per Juli 2007 yang tersedia berdasarkan kualifikasi pendidikannya.
19
Tabel 4 :
NO
SDM (Staf dan Arsiparis) Direktorat Preservasi Berdasarkan Tkt. Pendidikan, per Juni 2007
Tingkat Pendidikan
Jumlah
%
1.
Sarjana S1
5 orang
8,33 %
2.
Diploma III
6 orang
10
%
3.
SLTA (SMA, SMEA, STM, KPAA)
45 orang
75
%
4.
SMP
4 orang
6,66 %
Jumlah
60 orang
100 %
Sumber: Bagian Kepegawaian ANRI, 2007
Tabel 5 :
NO
SDM (Staf dan Arsiparis) Unit Kerja Penyimpanan, Restorasi ARMEDBAR dan Laboratorium Berdasarkan Tkt. Pendidikan, per Juni 2007
Tingkat Pendidikan
Jumlah
%
1.
Sarjana S1
4 orang
18,20 %
2.
Diploma III
4 orang
18,20 %
3.
SLTA (SMA, SMEA, STM)
13 orang
59,10 %
4.
SMP
2 orang
9,10 %
Jumlah
22 orang
100 %
Pokok-pokok pengembangan dan peningkatan kinerja di masa yang akan datang yang berhubungan dengan preservasi arsip audio-visual dan elektronik tidak terlepas
20
dari pijakan dan pedoman tugas pokok, fungsi dan program-program prioritas ANRI secara keseluruhan. Peningkatan kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik semata-mata hanyalah upaya untuk mengoptimalkan berbagai sumber daya yang ada dan telah dimiliki oleh ANRI, khususnya yang ada di lingkungan preservasi arsip media baru, Direktorat Preservasi. Diharapkan dengan mengembangkan sistem preservasi arsip audio-visual dan elektronik yang ada dapat terciptanya peningkatan kinerja preservasi arsip media baru, yang pada akhirnya adalah pada peningkatan kinerja ANRI sebagai lembaga pembina kearsipan nasional. Berdasarkan visi, misi, program-program prioritas dan strategi pembangunan kearsipan nasional seperti telah diuraikan di atas, penulis perlu merumuskan tujuan yang ingin dicapai di masa yang akan datang dengan tetap mempertimbangkan berbagai sumber daya yang ada dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Tujuan yang ingin dicapai pada masa yang akan datang adalah “meningkatnya kinerja presrvasi arsip statis”, sehingga kondisi kinerja preservasi arsip statis sebagai informasi publik saat sekarang dapat berubah seperti yang diinginkan. Sasaran merupakan bagian integral dari proses perencanaan strategis instansi pemerintah, untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan rencana jangka panjang dan meletakkan dasar yang kuat untuk menilai dan memantau kinerja organisasi. Atas dasar tujuan tersebut di atas, maka ditetapkan sasaran jangka pendek untuk pencapaian tujuan yang diinginkan, yaitu: “meningkatnya kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik”.
21
ANALISIS DAN PROGRAM A.
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Dalam upaya mewujudkan keadaan yang diinginkan. Direktorat Preservasi
memiliki potensi positif sebagai kekuatan pendorong dan memiliki kelemahankelemahan yang merupakan kekuatan penghambat. Selain itu sesuai dengan karakteristik kegiatan yang melibatkan unit kerja lain, juga dapat memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif karena dapat menciptakan peluang-peluang, namun di sisi lain juga dapat menjadi ancaman-ancaman bagi kelancaran pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Peningkatan kinerja presrvasi arsip audio-visual dan elektronik dapat dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi peningkatan kinerja tersebut. Metode yang dapat digunakan adalah metode analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats). Langkah pertama yang ditempuh melakukan inventarisasi faktor-faktor internal dan eksternal. Kemudian melakukan identifikasi faktor mana yang masuk faktor kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) pada faktor internal, serta peluang (opportunities) dan ancaman (treats) pada faktor eksternal. 1.
Identifikasi Faktor Internal Setelah dilakukan inventarisasi terhadap faktor-faktor internal maka dapat diidentifikasi faktor kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses).
22
a.
Kekuatan (strengths), merupakan pendorong internal untuk mencapai tujuan dan sasaran, antara lain meliputi : tersedianya kewenangan, tersedianya Arsiparis, motivasi kerja pegawai tinggi.
b.
Kelemahan (weaknesses), merupakan penghambat dari faktor internal untuk mencapai tujuan dan sasaran, antara lain meliputi : tidak tersedianya SOP preservasi arsip, minimnya prasarana dan sarana, anggaran terbatas.
2.
Identifikasi Faktor Eksternal Setelah dilakukan inventarisasi terhadap faktor-faktor eksternal maka dapat diidentifikasi faktor peluang (opportunities) dan ancaman (threats). a.
Peluang (opportunities), merupakan pendorong eksternal untuk mencapai tujuan dan sasaran, antara lain meliputi: volume khasanah/koleksi arsip besar, meningkatnya pengguna arsip audio-visual dan elektronik, adanya standar internasional pengelolaan arsip.
b.
Ancaman (threats), merupakan penghambat dari faktor eksternal untuk mencapai tujuan dan sasaran, antara lain meliputi : rendahnya akses publik terhadap arsip, rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip, rendahnya pengolahan arsip.
Identifikasi terhadap faktor internal dan eksternal yang dapat mempengruhi kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini.
23
Tabel 6:
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
No
Faktor Internal Strenghts W1
Weaknesses Terbatasnya prasarana dan sarana
S1 S2
Tersedia kewenangan Tersedia Arsiparis
S3
Motivasi kerja pegawai tinggi
NO
Faktor Eksternal Opportunities Threaths Volume khasanah/koleksi arsip T1 Rendahnya pemanfaatan dan besar pendayagunaan arsip Meningkatnya pengguna arsip arsip T2 AV dan elektronik Rendahnya akses publik terhadap arsip Adanya standar internasional pengelolaan arsip T3 Rendahnya pengolahan arsip
O1 O2 O3
W2
Belum adanya SOP preservasi AV dan elektronik
W3
Terbatasnya anggaran
B.
Evaluasi dan Pemilihan Faktor Kunci Keberhasilan
1.
Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal Setelah dilakukan identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal sebagaimana
terdapat pada tabel 6 di atas tahap selanjutnya adalah melakukan penilaian/evaluasi terhadap faktor-faktor tersebut. Penilaian dilakukan untuk menentukan faktor-faktor yang memiliki nilai lebih dibandingkan dengan faktor-faktor lain, baik dari segi urgensinya, dukungan atau kontribusi maupun keterkaitan faktor terhadap misi organisasi. Penilaian terhadap aspek-aspek tersebut masing-masing diuraikan sebagai berikut. a. Penentuan nilai urgensi (NU) dan bobot faktor (BF) Penilaian menggunakan model rating scale (skala nilai) dari nilai terendah 1 sampai nilai tertinggi 5. Selanjutnya ditentukan bobot setiap faktor (BF), dengan rumus BF = NU/jumlah NU kali 100%. Jumlah NU untuk faktor internal (strengths dan
24
weaknesses) dan eksternal (opportunities dan threats) sehingga didapatkan bobot masing-masing faktor, sebagaimana dapat dilihat pada tabeI 8. b. Penentuan nilai dukungan (ND) dan nilai bobot dukungan (NBD) dari nilai terendah 1 sampai nilai tertinggi 5. Selanjutnya ditentukan nilai bobot dukungan setiap faktor (BF), dengan rumus NBD= ND x BF, sehingga didapatkan nilai bobot dukungan masing-masing faktor, hasilnya dapat dilihat pada tabel 8. c. Penentuan nilai keterkaitan (NK), nilai rata-rata keterkaitan (NRK) dan nilai bobot keterkaitan (NBK). Penilaian keterkaitan antarfaktor (NK) menggunakan skala penilaian dari nilai terendah 1 sampai nilai tertinggi 5. Selanjutnya ditentukan nilai rata-rata keterkaitan setiap faktor (BF), dengan rumus NRK = TNK / Jumlah N-1. TNK adalah total nilai keterkaitan faktor, jumlah N adalah jumlah faktor internal dan eksternal yang dinilai yaitu sebanyak 12 - 1 = 11, sehingga didapatkan nilai rata-rata keterkaitan masing-masing faktor. Setelah mengetahui nilai rata-rata keterkaitan (NRK) setiap faktor, dilakukan perhitungan nilai bobot keterkaitan (NBK) dengan cara mengalikan NRK dengan BF, yang hasilnya dapat dilihat pada tabeI 8. d. Penentuan total nilai bobot (TNB) Perhitungan total nilai bobot (TNB) menggunakan rumus TNB = NBD + NBK. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa faktor yang mempunyai nilai tertinggi dianggap faktor strategis. Faktor-faktor dengan nilai tertinggi pertama dan kedua dari masing-masing unsur strengths, weaknesses, opportunities, dan threats dipilih sebagai faktor kunci keberhasilan (FKK), yang selanjutnya akan menjadi acuan
25
dalam perumusan tujuan. Penilaian faktor internal berkaitan dengan urgensi dari setiap faktor menggunakan pendekatan komparasi, seperti tabel 7 berikut ini. Tabel 7: NO A B C D E F
NO
Nilai Urgensi FAKTOR INTERNAL Tersedianya kewenangan Tersedianya Arsiparis Motivasi kerja pgw tinggi Terbatasnya prasarana dan sarana Belum ada SOP preservasi AV dan Elektronik Terbatasnya anggaran FAKTOR EKSTERNAL
FAKTOR LEBIH URGEN A B C D E F
BOBOT TOTAL
X A C
A X B
C B X
D D C
E E E
A B C
2 2 3
14 % 14 % 20 %
D E
B E
C E
X E
E X
D E
2 5
14 % 33,3 %
A
B
C
D
F
X
1
6,7 %
2
3
3
3
4
1
15
100 %
FAKTOR LEBIH URGEN A B C D E F
BOBOT TOTAL
OPPORTUNITIES (PELUANG) A B C
Volume khasanah/koleksi arsip besar Meningkatnya pengguna arsip Adanya standar internasional
X A C
A X C
C C X
A B D
A E E
A B F
4 2 2
26,6 % 14 % 14 %
A A A
B E B
D E B
X E F
E X F
F F X
1 4 2
6,7 % 26,6 % 14 %
4
2
2
1
3
3
15
100 %
THREATS (ANCAMAN) D E F
Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip
Rendahnya akses publik terhadap arsip Rendahnya pengolahan arsip JUMLAH
26
Tabel 8: No.
Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal FAKTOR INTERNAL
N U
BF %
ND
NBD
2
7.00
5
0.35
2
7.00
5
0.35
1
2
X
5
NILAI KETERKAITAN 3 4 5 6 7 8
9
10
NRK 11 12
NBK
TNB
FKK 2
STRENGHTS (kekuatan) 1 2
Tersedianya Arsiparis Motivasi kerja pgw tinggi
3
Tersedianya kewenangan
4
Weaknesses (kelemahan) Terbatasnya prasarana dan sarana
3
10.00
4
0.40
5 4
X 4
4
5
5
4
5
4
4
4
4
4
4.36
0.30
0.65
4
4
4
4
5
4
3
4
4
5
4.18
0.29
0.64
5
5
5
5
4
4
5
4
4
4.45
0.44
0.98
X
1
2.27
5 6
Belum ada SOP preservasi arsip AV dan Elektronik Terbatasnya anggaran
2 5 1
7.00 17.00 3.40
4 5 4
0.35 0.85 0.14
4 5 4
3 4 4
4 5 5
5 X 5 5
5
5
4
4
4
4
4
4.00
0.28
0.63
2
4
5
5
5
5
5
5
4.81
0.81
1.66
1
4
4
4
3
3
3
3.90
0.13
0.27
X 4 X
2.56 7 8 9
Opportunities (peluang) Volume khasanah/koleksi arsip besar Meningkatnya pengguna arsip AV dan elektronik Adanya standar internasional
4 2
13.40 7.00
5 4
1.09 0.67
5 4
5 4
5 4
5 5
5 4
4 4
5 X 5
3
4
4
4
4.45
0.59
1.68
1
4
4
5
4
4.27
0.29
0.96
2
4
5
4
3.63
0.25
0.60
X 2
7.00
4
0.35
4
3
4
4
5
4
3
4 X
3.24 10 11 12
Threats (ancaman) Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip Rendahnya akses publik terhadap arsip Rendahnya pengolahan arsip
1
3.40
4
0.14
4
4
5
4
5
3
4
4
4
X
5
4
4.18
0.51
0.65
2
4
13.40
4
0.54
4
4
4
4
5
3
4
5
5
5
X
5
4.36
0.89
1.43
1
2
7.00
4
0.35
4
5
4
4
5
3
4
4
4
4
5
4.18
0.36
0.71
30
100%
X
2.67
27
2.
Penentuan Faktor Kunci Keberhasilan Langkah selanjutnya, untuk melihat peta kekuatan internal dan eksternal
berdasarkan hasil evaluasi keterkaitan dari masing-masing faktor, dilakukan pemetaan dengan membandingkan TNB Kekuatan = 2,27; Kelemahan = 2,56); Peluang= 3,24) dan Ancaman = 2,67), maka organisasi berada pada kuadran III. Hal ini menunjukkan bahwa Direktorat Preservasi memiliki faktor kunci keberhasilan yang dapat digunakan sebagai acuan utama dalam memprojeksikan tujuan, yakni kelemahan kunci dan peluang kunci. Berdasarkan suatu pertimbangan logis, bahwa dengan optimalisasi kelemahan kunci dapat disusun suatu tujuan antara berupa perubahan atau perbaikan kelemahan kunci tertentu yang dianggap masih potensial meraih kesempatan kunci. Tujuan yang dirumuskan berorientasi pada perubahan atau perbaikan salah satu kelemahan kunci. Untuk mencapai tujuan itu harus diperhitungkan
kemampuan
memanfaatkan peluang kunci dan kemampuan mengatasi kelemahan kunci. Faktor kunci keberhasilan (FKK) dapat dibuat dalam suatu format seperti pada tabel 9. Tabel 9:
Faktor-Faktor Kunci Keberhasilan FAKTOR INTERNAL
No 1. 2.
Strengths (Kekuatan) Adanya kewenangan Tersedianya Arsiparis
No 1 2
Weaknesses (Kelemahan) Belum SOP preservasi AV dan elektrnik Prasarana dan sarana terbatas
FAKTOR EKSTERNAL No 1. 2.
Opportunities (Peluang) Khasanah/koleksi arsip besar Meningkatkan pengguna arsip
No T1 T2
Threats (Ancaman) Rendahnya akses publik terhadap arsip Rendahnya pemanfaatan dan pendayagunaan arsip
3.
Peta Posisi Kekuatan Organisasi Direktorat Prservasi Berdasarkan total nilai bobot (TNB) dari strengths, weaknesses, opportunities
dan threats, maka dapat diketahui peta kekuatan organisasi Direktorat Preservasi dalam upaya meningkatkan kinerja publikasi hasil penelitian tansportasi berada pada kwadran III. Hal ini menunjukkan bahwa Direktorat Preservasi memiliki faktor kunci keberhasilan yang dapat digunakan sebagai acuan utama dalam memproyeksikan tujuan, yakni kelemahan kunci dan kesempatan kunci kekuatan. Hal tersebut dapat digambarkan dalam gambar 3.. Gambar 3 : Posisi Kekuatan Organisasi
S = 2 27
T = 2,67
O = 3,24
S-W = 0,29 O – T = 0,57 W = 2,56
S–W=
2,27 – 2,56
=
0,29
O–T =
2,67 – 3,24
=
0,57
C.
Tujuan, Sasaran dan Kinerja
1.
Tujuan Memperhatikan peta posisi kekuatan organisasi yang berada pada kuadran III, maka
dapat dirumuskan alternatif tujuan dengan menggunakan faktor kunci keberhasilan, yaitu dengan jalan mengatasi kelemahan kunci dan memanfaatkan peluang kunci seoptimal mungkin sebagaimana yang tercantum dalam tabel 10. Table 10:
Perumusan Tujuan (pada kuadran III) Faktor Kekuatan Kungi (FKK) Kelemahan Kunci
Peluang Kunci
Alternatif Tujuan
1. Belum ada SOP Preservasi AV dan Elektronik
1. Khasanah/Koleksi Arsip Besar
Menyusun SOP Preservasi AV dan Elektronik
2. Terbatasnya Prasarana dan Sarana
2. Meningkatnya Pengguna Arsip
Menambah Prasarana dan Sarana
Selanjutnya dari dua alternatif tujuan tersebut, ditentukan satu tujuan yang mempunyai nilai tertinggi dengan memakai skaia nilai 1 sampai 5 berdasarkan nilai manfaatnya (M), dan nilai kemampuan mengatasi kelemahan (KML), serta kemampuan mengatasi ancaman (KMA). Nilai-nilai M, KML, dan KMA dari setiap faktor kunci dijumlahkan sehingga menghasilkan total nilai (TN). Total nilai yang paling besar dipilih sebagai tujuan prioritas yang akan dicapai, seperti pada tabel 11 berikut ini.
Table 11:
Penilaian dan Penentuan Tujuan (pada kwadran III) Faktor Kekuatan Kunci (FKK) Kelemahan Kunci
Peluang Kunci
Alternatif Tujuan
M
KM L
KMA
TN
1. Belum ada SOP Preservasi AV dan Elektronik
1. Volmume Khasanah/Kolek si Arsip Besar
Menyusun SOP preservasi arsip statis
5
5
5
14*
2. Terrbatasnya Prasarana dan Sarana
2. Meningkatnya Pengguna Arsip
Menambah Prasaranan dan sarana
5
4
4
13
Dari matriks penilaian di atas, ditentukan prioritas tujuan yaitu menyusun SOP preservasi arsip statis.
2.
Sasaran dan Kinerja Langkah selanjutnya adalah menyusun sasaran tahunan untuk mencapai tujuan.
Sasaran yang hendak dicapai adalah menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik. Tujuan dan sasaran peningkatan kinerja preservasi arsip audio-visual dan elektronik dalam kurun waktu 1 atau 5 tahun ke depan dengan indikator kinerja sebagai berikut: a) Input : uang, SDM, komputer, ATK, referensi, 2) Process : menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik, 3) Output : naskah SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik, 4) Outcome : preservasi arsip audio-visual dan elektronik dilaksanakan berdasarkan standar, 5) Benefit : arsip audio-visual dan elektronik dapat diselamatkan dari faktor-faktor perusak dan dilestarikan selama mungkin, 6) Impact : akses, mutu layanan dan pemanfaatan arsip statis untuk kepentingan publik meningkat.
D.
Strategi dan Program
Setelah tujuan, sasaran dan kinerja ditetapkan, perlu juga ditetapkan strategi pelaksanaannya yang ditujukan untuk memadukan atau mengintegrasikan antar faktor kunci keberhasilan agar terjadi sinergi dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain, strategi merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Dengan memperhatikan bahwa peta posisi organisasi berada pada kwadran III, maka strategi yang akan diterapkan adalah strategi perlunya stabilitas, yang merupakan perpaduan antara kelemahan kunci dan peluang kunci (strength and opportunity) yang selanjutnya disebut strategi WO, yaitu mengurangi/memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang. Diagram 1 menunjukkan penyusunan formulasi strategi SWOT yang akan diambil, yaitu yang menggunakan pola interaksi perpaduan kelemahan kunci 1 dan 2 dengan peluang 1 dan 2. Dengan pola ini, dalam setiap kuadran terdapat dua alternatif strategi.
Diagram 1 : Formulasi Strategi SWOT FKK INTERNAL
Strengths (Kekuatan) 1. Adanya kewenangan 2. Tersedianya Arsiparis
Weaknesses (Kelemahan) 1. Belum ada SOP preservasi AV dan elektronik 2. Terbatasnya prasarana dan sarana
FKK EKSTERNAL Opportunities (Peluang) 1. Volume khasanah/koleksi arsip besar 2. Meningkatnya pengguna arsip
Threaths (Ancaman)
Strategi SO 1.1 Manfaatkan kewenangan guna mengatasi volume khasanah/koleksi arsip yang besar 1.2 Manfaatkan kewenangan guna mengatasi meningkatnya pengguna arsip 2.1 Manfaatkan teresedianya Arsiparis guna mengatasi volume arsip yang besar 2.2 Tingkatkan pelayanan arsip
Strategi ST
1. Rendahnya akses publik thp arsip 1.1 Manfaatkan kewenangan guna 2. Rendahnya pemanfaatan dan meningkatkan akses publik thp penggunaan arsip arsip 1.2 Manfaatkan kewenangan guna meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip 2.1 Manfaatkan tersedianya Arsiparis guna meningkatkan akses publik thp arsip 2.2 Manfaatkan tersedianya Arsiparis guna meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip
Strategi WO 1.1 Susun SOP preservasi AV dan elektronik dalam melestarikan volume khasanah/koleksi arsip besar 1.2 Susun SOP preservasi AV dan elektronik dalam mengatasi meningkatnya pengguna arsip 2.1 Tambahkan prasarana dan sarana dalam mempreservasi Volume khasanah/koleksi arsip besar 2.2 Tambahkan prasarana dan sarana dalam mengatasi meningkatnya pengguna arsip
Strategi WT 1.1 Tingkatkan akses publik thp arsip melalui penyusunan SOP preservasi AV dan elektronik 1.2 Tingkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip penyusunan SOP preservasi AV dan elektronik 2.1 Tingkatkan akses publik thp arsip melalui penambahan prasarana dan sarana 2.2 Tingkatkan pemanfaatan dan penggunaan arsip melalui penambahan prasarana dan sarana.
Alternatif Strategi WO dipilih karena merupakan alternatif yang berada pada kwadran III sesuai dengan peta posisi kekuatan organisasi Direktorat Prerservasi yang
telah dibahas pada bagian sebelumnya. Pemilihan strategi sesuai dengan peta posisi kekuatan organisasi ini dinamakan pemilihan strategi dengan pendekatan strategi fokus. Setelah alternatif strategi WO dipilih, langkah selanjutnya adalah penentuan satu strategi dari beberapa alternatif yang ada melalui teori tapisan, yaitu berdasarkan tiga kriteria berikut: 1) efektivitasnya dalam mencapai sasaran (efektivitas), 2) sumber daya yang digunakan paling efisien (biaya), 3) kepraktisan dalam melaksanakannya (kemudahan). Tabel 12 berikut ini ditunjukkan pemilihan strategi dengan teori tapisan. Tabel 12:
Teori Tapisan
No
Alternatif Strategi
Efektivitas
Kemudahan
Biaya
Total
1.
Manfaatkan kewenangan guna mengatasi volume khasanah/koleksi arsip yang besar
3
4
4
12
2
Susun SOP preservasi AV dan elektronik dalam melestarikan volume khasanah/koleksi arsip besar
5
5
5
15*
3.
Manfaatkan kewenangan guna meningkatkan akses publik thp arsip
4
4
4
12
4.
Tingkatkan akses publik thp arsip melalui penyusunan SOP preservasi AV dan elektronik
5
5
4
14
Ket.
Dari Tabel 12 di atas, alternatif yang prioritas adalah menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik. Untuk menjamin terlaksananya strategi dengan baik dalam mencapai sasaran kinerja, maka disusun suatu kebijakan operasional sebagai pedoman atau acuan dalam menjabarkan strategi ke dalam program dan kegiatan. Kebijakan operasional ini merupakan acuan pedoman yang memberikan arah program dan kegiatan serta sumber daya yang diberdayakan.
Tabel 13 di bawah ini menunjukkan keseluruhan langkah peningkatan kinerja yang dimulai dari tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program dan kegiatan. Tabel 13 : Tujuan
Strategi, Kebijakan, Program, dan Kegiatan Sasaran
Menyusun SOP Menyusun preservasi arsip SOP statis preservasi arsip audiovisual dan eektronik
Strategi
Kebijakan
Susun SOP Peningkatan preservasi sistem preservasi AV dan arsip statis elektronik
Program Penyusunan SOP arsip audio-visual dan elektronik
Kegiatan 1. Mengidentifikas i masalah 2. Mengumpulkan referensi dan data 3. Menyusun naskah SOP 4. Menyelenggarak an ekspose 5. Melaksanakan sosialisasi 6. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan
Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa kebijakan operasional yang akan diambil oleh Direktorat Preservasi adalah peningkatan sistem preservasi arsip statis. Kebijakan tersebut diimplementasikan ke dalam satu program yaitu penyusunan SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik dengan kegiatan-kegiatan : 1) Mengidentifikasi masalah, 2) Mengumpulkan referensi dan data, 3) Menyusun naskah SOP, 4) Menyelenggarakan ekspose SOP, 5) Melaksanakan sosialisasi SOP, 6) Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan.
PENUTUP A.
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan terhadap permasalahan pada makalah ini, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Masalah yang perlu segera diatasi, diidentifikasi dengan teknik analisis Model Urgensi, Serious, Growth (USG), yaitu “ belum tersedianya SOP preservasi arsip auidio-visual dan elektronik, sehingga perlu disusun SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik”;
2.
Hasil identifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pelaksanaan
tupoksi
Direktorat
Preservasi,
ditemukan
faktor
kunci
keberhasilan, yakni : a.
Kekuatan
: tersedianya kewenangan, tersedianya Arsiparis
b.
Kelemahan :
belum adanya SOP preservasi arsip audio-visual dan
elektronik, terbatasnya prasarana dan sarana c.
Peluang : khasanah/koleksi arsip besar, meningkatnya pengguna arsip
d.
Ancaman : rendahnya akses publik terhadap arsip, rendahnya pemanfaatan dan penggunaan arsip.
3.
Berdasarkan hasil penilaian dan penentuan alternatif tujuan. maka yang menjadi prioritas adalah menyusun SOP preservasi arsip audio-visual dan elektronik. Dari rumusan tujuan ini ditentukan sasaran yang terukur , yaitu meningkatnya sistem preservasi arsip audio-visual dan elektronik;
4.
Melalui diagram formulasi strategi SWOT dengan mengkombinasikan faktorfaktor yang ada di setiap unsur SWOT ditemukan alternatif strategi. Sesuai peta kekuatan, Direktorat Preservasi berada di kwadran III, maka strategi yang dipilih adalah strategi WO, yaitu menyusun standar operasional prosedur (SOP) preservasi arsip-audio visual dan elektronik dalam rangka melestarikan volume khasanah arsip yang besar.
B.
Saran Penyusunan standar operasional prosedur (SOP) preservasi arsip-audio visual dan
elektronik merupakan salah satu alternatif tujuan dalam peningkatan kinerja preservasi pada Direktorat Preservasi ANRI, maka agar pelaksanaan kegiatan tidak mendapat kendala di lapangan sebaiknya dilakukan hal-hal berikut ini. 1.
Perlu adanya peningkatan koordinasi kerja dengan unit kerja terkait, seperti Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sistem Kearsipan, Direktorat Pemanfaatan dan Pendayagunaan Arsip, , Direktorat Pengolahan dan Direktorat Akuisisi Arsip;
2.
Perlu dilakukan peningkatan terhadap prasarana dan sarana;
3.
Perlu adanya standar peningkatan kompetensi SDM;
4.
Perlu langkah-langkah kerja yang disusun secara terencana;
5.
Perlu adanya kebijakan anggaran yang pro preservasi.
DAFTAR PUSTAKA Ashari, Edy Topo, dan Desi Fernanda. Membangun Kepemerintahan yang Baik. Bahan Ajar Diklat Pim Tingkat III, LAN, 2005. Ellis, Judith. Eds Keeping Archives. Port Melbourne: Thorpe, 1993. Entang, dkk. Isu Aktual Sesuai Tema. Bahan Ajar Diklat Pim Tingkat III, LAN, 2005. Hadiwardoyo,Sauki .Terminologi Kearsipan, ANRI, 2002. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat. Keputusan Kepala ANRI Nomor: Kep.03 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Arsip Nasional Republik Indonesia . Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 63/KEP/M.PAN/ 7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik Keputusan Presiden RI Nomor 105 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Arsip Statis Martoatmodjo, Karmidi .Pelesetarian Bahan Pustaka. Universitas Terbuka, Diknas, 1994. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; Sianipar, J.P.G, dan Entang . Teknik-teknik Anaisis Manajemen., Bahan Ajar Diklat Pim Tingkat III, LAN, 2005. Teygeler, Rene’. Preservation of Archives in Tropical Climates: An annoted bibliography, Paris, The Hague, Jakarta: 2001. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan (Lembaran Negara RI Tahun 1971 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2964) UNESCO . Preservation For Achives and Libraries. Paris : Unesco, 2001. Weda, Suwardi. Pengaruh Motivasi dan Disiplin Kinerja terhadap Efektivitas Kepemimpinan Kepala SMU di Kota Makasar. Tesis Program Pascasarjana, Universitas Negeri Makasar, 2002. Wallace, Patria E, at,al. Records Management :Integrated Information System. Englewood Clifft: Prentice Hall, 1992.
PENYELEMATAN ARSIP VOC : IDENTIFIKASI KERUSAKAN PADA ARSIP HOGE REGERING Arsiparis Pengolahan Arsip VOC Abstact : The VOC presence in and around Monsoon Asia resulted not only in warehouses packed with spices, textiles, porcelain and silk, but also in shiploads of documents. Most of the papers found in VOC archives were produced by locally-stationed Company officials, but much was also produced by the peoples with whom they interacted: kings and noblemen, traders and middlemen, shippers and shahbandars (harbor masters). The information network that the VOC built up for its business operations is impressive indeed. Data on political, economic, cultural, religious, and social circumstances over a broad area circulated between hundreds of VOC officials and dozens of establishments around the world and the administrative centers in the Netherlands and at Batavia, now the city of Jakarta. Once the center of VOC administration in Asia, Jakarta maintains almost half of the VOC archives worldwide, nearly 15,000 VOC files occupying an pressive 1,800 meters of shelf space. Time and the tropical climate have not been kind to the VOC archives. A fact-finding mission the repositories of VOC archival papers in Asia revealed widespread damage to the paper records from climate and conditions of storage as well as wear and tear resulting from the consultation of the documents. These are clear threats to the archives survival. Key Words: VOC archives, Information, maintains, tropical climate, repositories, damage,
archives survival.
1
PENDAHULUAN
Saat ini Arsip Nasional RI sedang berbenah diri dalam upaya untuk memberi layanan prima bagi masyarakat. Membangun obsesi untuk menjadikan ruang layanan arsip sebagai tempat yang representatif bagi peneliti menjadi tujuan utama bagi ANRI dalam memenuhi tugas dan fungsinya sebagai lembaga penyimpan arsip statis. Hal pokok yang menjadi kunci keberhasilan dalam memberi layanan prima bagi peneliti adalah : ketersediaan sarana penemuan kembali, kondisi fisik arsip yang baik, serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkwalitas. Salah satu masalah besar bagi ANRI sebagai instansi yang bertanggungjawab terhadap kelestarian arsip adalah menjaga kondisi fisik arsip itu sendiri. Arsip yang disimpan di ANRI meliputi arsip periode VOC (1602 - 1800), periode Hindia Belanda (1800-1811), periode Inggris (1811-1816). Mengingat sebagian arsip tersebut sudah berusia ratusan tahun dan iklim tropis Indonesia menjadikan beberapa khasanah arsip, terutama arsip periode VOC mengalami kerusakan. Tidak menutup kemungkinan bahwa kerusakan akan menyebar dan menular ke arsip-arsip lain dikemudian hari. Sebagaimana diketahui bahwa iklim tropis negara-negara Asia menjadi salah satu penyebab utama kerusakan kertas. Apabila tidak tertangani dengan baik maka dapat dipastikan bahwa kondisi fisik arsip akan kritis dan dapat terjadi bencana kearsipan, "the calamity of archive" mengingat beragam/kompleksnya kerusakan yang dialami. Pada arsip Hoge Regering, sebagai salah satu khasanah yang berasal dari periode VOC, semua kategori kerusakan dapat ditemukan seperti : Band en Blockschade 2
(ippervlakte schade, rug beschadiging, iersleten naaiwerk, gebroken binding, vervorming, losse fragmenten), chemische schade (brand, foxing, ink-en/of kopervraat, plakband en/of tapeschade, roest en oxidatie, verzuring, oude reparaties), mechanische schade (scheuren, randbeschadeging, mechanische verkleving, verpakkingschade, geweld en/of oorlogschade), plaag schade (schade door insecten, insectengangen, schade door knaagdieren) dan vocht schade (vlekken en verkleuring, vervilting, schimmelvorming, verkleving). Peningkatan kerusakan yang diakibatkan oleh kelima hal tersebut, tidak datang secara tiba-tiba seperti halnya ancaman banjir, kebakaran atau bencana alam lain, namun kerusakan berjalan dengan pasti dan akhirnya informasi akan hilang. Dengan gambaran tersebut di atas, perlu dilakukan sebuah kajian yang bertujuan mengetahui seberapa besar tingkat kerusakan yang telah terjadi pada arsip VOC. Arsip Hoge Regering diambil sebagai contoh bagi kajian awal ini, dengan pertimbangan: 1. Secara umum, arsip Hoge Regering dapat mewakili arsip periode VOC (kurun waktu arsip yang paling tua yang dimiliki oleh ANRI), dan volume khasanah arsipnya cukup besar (lebih dari 4500 nomor berkas). 2. Keseluruhan tahap pengolahan arsip telah selesai dikerjakan. Hasil akhir berupa sebuah inventaris arsip telah berada di ruang layanan informasi untuk digunakan oleh peneliti, dan penataan fisik serta penyimpanan arsip sudah selesai dilaksanakan. Dengan demikian penghitungan data untuk mengisi variabel-variabel penelitian dapat dilakukan dengan tingkat validitas yang dapat dipertanggungjawabkan. 3. Sebagian dari fisik arsip ini belum direstorasi, sehingga dimungkinkan kerusakan akan lebih cepat bertambah.
3
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi arsip periode VOC, khususnya arsip Hoge Regering. Penanganan masalah kerusakan arsip dalam waktu sesegera mungkin dan berkesinambungan, diharapkan dapat mencegah "the calamity of archive" dan tidak berkembang menjadi "the calamity for the informational world".
A.
KERANGKA TEORI
Secara menyeluruh, arsip dapat dikatakan sebagai ingatan kolektif suatu bangsa, yang akan memungkinkan sebuah negara belajar dari sejarahnya di masa lampau dan memvisualisasikan masa depan yang hendak dirancangnya. Arsip secara umum dikenal sebagai kumpulan dokumen berharga yang terbatas penggunaannya sebagai catatan sejarah, kini telah berkembang menjadi sistem informasi yang dapat dipergunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dimasa kini maupun dimasa mendatang. Arsip yang tertua yang disimpan di Arsip Nasional RI adalah arsip VOC. (Gaastra, Femme S.: 1991) Dutch in 1602 opgerichte Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) is van alle handelscompagnieen uit de zeventiende en achttiende eeuw ongetwijfeld de meest succesvolle geweest. De VOC slaagde er spoedig na haar oprichting in de Portugezen, die al een eeuw eerder hun handelsimperium in Azie gevestigd hadden, ver terug te dringen en als mededinger in de Europees-Aziatische handel nagenoeg uit te schakelen. Seluruh kantor VOC di Asia berkantor pusat di Batavia. Pada waktu yang bersamaan, mengingat letaknya yang strategis Batavia juga
merupakan tempat terpenting dan menjadi satu-satunya
pelabuhan kedatangan dan keberangkatan kapal dan dari Eropa. Sebagai Kantor Pusat di 4
Batavia dibentuk perangkat administrasi dengan pimpinan Hoge Regering yang terdiri atas Gubernur Jenderal dan Raad van Indie tentu saja fungsi utamanya adalah mengatur lalu lintas perdagangan antar factori seperti Jepang, Srilangka, Afrika Selatan, Malaka, dan lainlain. Ramainya jalur pelayaran dan korespondensi antara negeri induk dengan kantor-kantor dagang
menjadikan Batavia menjadi pusat administrasi. Hal ini dapat terlihat hingga
sekarang dimana arsip VOC di Jakarta hampir lebih dari separuh arsip VOC yang ada diseluruh dunia. Arsip Nasional RI sebagai
lembaga penyimpan arsip statis bertanggung jawab
terhadap keadaan arsip yang berada didalamnya, seperti disyaratkan pada Keputusan Presiden RI No. 105 tahun 2004 tentang Pengelolaan Arsip Statis dalam Pasal 15: (1) Perawatan arsip statis oleh Arsip Nasional Republik Indonesia, Lembaga Kearsipan Provinsi, dan/atau Lembaga Kearsipan Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan restorasi terhadap terjadinya kerusakan; (2) Perawatan arsip statis melalui kegiatan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan terhadap kondisi fisik dan informasi yang dikandung dalam arsip statis; (3) Perawatan arsip statis melalui kegiatan restorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditujukan terhadap kondisi fisik arsip statis yang mengalami kerusakan. Ada 4 faktor penyebab kerusakan pada arsip, yaitu: 1. Biologi; 2. Fisika; 3. Kimia; 4. Manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor biologi banyak menimpa arsip di negaranegara yang berada di daerah tropis. Termasuk kategori ini antara lain adalah bakteri, jamur dan segala jenis serangga. Untuk kerusakan yang disebabkan faktor fisika yang berperan adalah cahaya, panas dan uap air. Ketiganya menyebabkan terjadinya reaksi foto kimia, hidrolisa atau oksidasi di dalam kertas. Adapun faktor kimia disebabkan karena adanya gas 5
asam, debu atau asap yang terkandung di dalam udara dan juga akibat reaksi kimia yang disebabkan oleh zat-zat yang terkandung di dalam arsip dalam hal ini kertas itu sendiri. Disamping 3 faktor diatas, faktor manusia mempunyai peranan sangat besar, karena faktor ini dapat mempercepat atau memperlambat kerusakan kertas. Kelalaian tangan manusia dapat menyebabkan rusaknya arsip dalam penggunaan, pengepakan dan penyimpanan. Untuk menangani kerusakan dan mempertahankan keberlangsungan arsip perlu dilakukan preservasi. Menurut Paul Conways (Ellis, Judith: 1993) Preservasi kearsipan adalah pengambilalihan, pengorganisasian dan pendistribusian sumber-sumber (manusia, peralatan, penganggaran) untuk menjamin pembatasan yang cukup dalam bidang sejarah dan mempertahankan nilai informasi budaya serta aksesibilitas untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Sementara itu (Teygeler, Rene.: 2001) MacKenzie gives very broad definitions, which more or less cover the whole field of conservation : (1) Preservation, in its current meaning in the archive world, refers to everything which contributes to the physical wellbeing of the collections; (2) Conservation, or direct physical intervention with the material, is only one part of preservation; (3) Indirect preservation includes the building, archive storage methods security against threats, and handling; (4) Preservation by substitution or reforming. This means making copies of the records, normally on microfilm, and then using the copies in place of the originals, thereby reducing tear and wear on the latter and preserving their condition. Pengambilan tindakan yang tepat dalam menangani kerusakan arsip sangat membantu pengguna agar tetap memperoleh informasi yang mereka butuhkan tanpa harus kecewa karena arsip yang dicari dalam keadaan rusak. Untuk itu diperlukan identifikasi 6
kerusakan arsip yang dapat dilakukan bersamaan ketika menata arsip menjadi sebuah jalan masuk, sebagai salah satu langkah prioritas penanganan terhadap arsip-arsip yang harus segera dilakukan perbaikan. Seperti disebutkan dalam Keputusan Presiden RI No. 105 tahun 2004 tentang Pengelolaan Arsip Statis, dalam pasal 17, yaitu: (1) Kegiatan restorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat(3) dilakukan dengan: a. mencatat kerusakan kondisi fisik yang terjadi pada arsip statis; b. menentukan metode dan rangkaian tindakan perbaikan kondisi fisik arsip statis yang mengalami kerusakan; c. melaksanakan tindakan perbaikan kondisi fisik arsip statis sesuai dengan metode dan rangkaian tindakan perbaikan sebagaimana dimaksud dalam huruf b.; (2) Pelaksanaan kegiatan restorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan keutuhan informasi yang dikandung dalam arsip statis.
B.
PEMBAHASAN Dalam melaksanakan pengolahan arsip, Arsiparis biasa menggunakan sarana
pendeskripsian berupa kartu fisches. Namun untuk arsip periode VOC hal ini
tidak
dilakukan. Peran kartu digantikan dengan sebuah formulir pendiskripsian yang memuat seluruh unsur-unsur pendiskripsian. Halaman pertama dari formulir digunakan untuk mendeskripsikan informasi arsip itu sendiri, sedangkan pada halaman kedua (ke-2) terdapat "Schade Identificatie Formulier". Sehingga selain berperan sebagai pencatat informasi arsip, formulir tersebut juga digunakan sebagai instrumen pengumpulan data, pencatatan dan pengidentifikasian kerusakan yang terjadi pada setiap item/nomor arsip. Data hasil
7
pencatatan dianalisa dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Contoh formulir Schade Identificatie Formulier Archief (blok) Inventaris nummer Naam schadeopnemer Object identificatie Schade Categorie
Datum gebonden Niet gebonden Code
0 0
Ernstig
Band & Block schade B Chemische schade C Mechanische schade M Plaag schade P Vocht schade V Kenmerken van de geconstateerde schade (X) Oppervlakte schade B Rug beschadiging B Versleten naaiwerk B Gebroken binding B Vervorming B Losse fragmenten B Brand C Foxing C Ink-en/of Kopervraat C Plakband en/of tapeschade C Roest en oxidatie C Verzuring (bros, brittle) C Oude reparaties C Scheuren M Randbeschadeging M Mechanische verkleving M Verpakkingschade M Geweld en/of oorlogschade M Schade door insecten P Insectengangen P Schade door knaagdieren P Vlekken en verkleuring V Vervilting V Schimmelvorming V Verkleving V
Zeer Ernstig
Definitie Ernstig : rusak parah Zeer Ernstig : sangat rusak parah
OPMERKINGEN
Overig
8
Pengumpulan data kerusakan arsip dilakukan melalui pemeriksaan pada seluruh arsip khasanah Hoge Regering dengan cara : 1.
Memberi tanda pada formulir kerusakan (formulier schade), mengenai jenis kerusakan yang ditemukan pada setiap nomor arsip.
2.
Melakukan penghitungan pada setiap jenis kerusakan.
3.
Penggambaran hasil penghitungan data dituangkan kedalam bentuk tabel atau diagram dengan tujuan mempermudah dan memperjelas hasil penghitungan data.
Tabel 1. Hasil Penghitungan
Hasil Identifikasi Jumlah Arsip Rusak Berdasarkan Jenis Kerusakan B 406
C 717
M 242
Jumlah Total Arsip HR HR Rusak P 357
Keterangan : B : Band en block schade C : Chemische schade M : Mechanische schade
V 381
Restorasi Belum
4536
846
771
Tingkat Kerusakan
Sudah
75
E
727
ZE
44
P : kerusakan (Plaag schade) V : kerusakan (Vocht schade) E : rusak parah (Ernstig) ZE : rusak sangat parah (Zeer ernstig)
Berdasarkan data tahun 2002 ketika melakukan kegiatan rekonstruksi terhadap arsip Hoge Regering, diperoleh data bahwa dari 4536 nomor yang diidentifikasi terdapat 846 nomor mengalami kerusakan atau sekitar 19 %, sementara sisanya sebanyak 3690 nomor atau 81 % berada dalam kondisi relatif cukup baik. Jumlah tersebut merupakan akumulasi terhadap kelima jenis kerusakan sebagaimana tercantum dalam Diagram 1. 9
Diagram 1.
Prosentasi Arsip Hoge Regering dalam kondisi rusak 19%
81%
Jumlah total arsip Hoge Regering dalam kondisi baik Jumlah total arsip Hoge Regering dalam kondisi rusak
Dalam diagram 1 tampak bahwa prosentasi kerusakan yang mencapai 19 %, melebihi standar batas kerusakan yang dapat ditoleransi. Menurut Judith Ellis dalam Keeping Archives, Amerika mensyaratkan batas toleransi tingkat kerusakan dalam satu khasanah arsip antara 6 % - 10 %. Dengan prosentasi kerusakan yang hampir mendekati angka 20 % dapat disimpulkan telah terjadi kerusakan yang cukup signifikan pada arsip Hoge Regering. Secara keseluruhan arsip Hoge Regering berjumlah 4536 nomor. Dari hasil identifikasi diperoleh data bahwa 846 nomor arsip mengalami kerusakan, dimana sebanyak 771 nomor (91 %) belum direstorasi sementara yang sudah direstorasi sebanyak 75 nomor (9%) (lihat diagram 2).
10
Diagram 2. Prosentasi Arsip Hoge Regering Yang Sudah dan Yang Belum di Restorasi 9% Sudah direstorasi Belum di restorasi 91%
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa arsip yang belum direstorasi, sebanyak 44 nomor ( 6% dari jumlah yang belum direstorasi) mengalami kerusakan sangat parah, tergolong dalam kategori zeer ernstig. Sisanya sebanyak 727 nomor atau 94 % dari jumlah yang belum direstorasi mengalami kerusakan parah atau masuk dalam kategori ernstig (lihat diagram 3).
Diagram 3. Prosentasi Tingkat Kerusakan Pada Arsip Hoge Regering Yang Belum di Restorasi 6%
Ernstig (rusak parah)
94%
Zeer ernstig (sangat rusak parah)
Kondisi fisik arsip Hoge Regering dapat dikategorikan kedalam empat (4) kategori, yaitu : Baik (Goed), Sedang (Matig), Rusak Parah (Ernstig), Sangat rusak parah (Zeer Ernstig). Korelasi antara arsip yang belum direstorasi dan tingkat kerusakan menunjukkan adanya hubungan kausalitas. Arsip yang telah direstorasi berada pada kondisi matig,
11
sehingga tidak dimasukkan dalam penghitungan. Walaupun begitu kondisinya juga tidak dapat digolongkan dalam kategori goed. Tingkat kerusakan pada arsip yang belum direstorasi, dapat dikelompokkan menjadi dua (2) kategori : Ernstig dan Zeer ernstig. Identifikasi menunjukkan bahwa arsip yang belum pernah mendapat perawatan/restorasi sebagaimana tersebut di atas, berada dalam kondisi yang lebih buruk dibanding dengan yang telah direstorasi. Hal ini sangat beralasan karena proses restorasi merupakan satu upaya mengurangi kerusakan. Metode laminasi yang dipergunakan oleh ANRI pada waktu itu (tahun 1979), menggunakan bahan dasar kertas yang bebas asam dan lem. Proses ini membuat kertas rapuh menjadi lebih kuat, sehingga umur arsip lebih bertahan untuk jangka waktu panjang. Pengamatan lebih lanjut terhadap arsip Hoge Regering yang mengalami kerusakan menunjukkan bahwa jenis kerusakan tersebut mencakup : 1.
Band en block schade adalah kerusakan yang terjadi pada sampul (cover) dan atau blok arsip yang dijilid. Kerusakan meliputi : kekeliruan penjilidan, lepasnya jahitan pada jilidan, rusaknya punggung jilidan, rusak/hilangnya sampul muka dari jilidan, hilangnya sebagian isi jilidan . Gambar 1 contoh Band en Blokschade (B) Gambar 1 Contoh Band en blokschade (B) De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998
12
2.
Chemische schade merupakan kerusakan pada arsip akibat berbagai faktor baik dari dalam maupun dari luar yang bersifat kimiawi. Kerusakan tersebut antara lain berupa kerusakan yang diakibatkan oleh kebakaran, terbentuknya noda-noda dari bahan-bahan yang terbuat dari metal seperti karat yang berasal dari paperklip, pengikisan kertas yang diakibatkan oleh tinta (ink corrosion), bekas yang ditinggalkan oleh selotip yang menempel, kertas rapuh. Gambar 2 contoh chemische scade. Gambar 2. Contoh Chemische schade (C) De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998
3.
Mechanische schade adalah kerusakan yang disebabkan oleh faktor manusia. Termasuk kedalam jenis kerusakan ini antara lain: kerusakan yang diakibatkan oleh penggunaan arsip itu sendiri dan tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh pengguna seperti menggunting, memotong dengan pisau, dan lain-lain. Gambar 3 contoh Mechanische schade.
13
Gambar 3. Contoh Mechanische schade (M) De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998
4.
Plaag schade meliputi dua kategori yaitu kerusakan yang disebabkan oleh serangga dan binatang pengerat. Serangga yang biasanya menimbulkan kerusakan pada kertas arsip antara lain : kecoa, kutu buku (silverfish), rayap, tikus dan lain sebagainya. Hewan-hewan ini merusak dengan cara memakan bahan kertas, membuat sarang (lubang) atau meninggalkan jejak berupa noda kecoklatan. Gambar 4 contoh Plaag Schade. Gambar 4. Contoh Plaag schade (P) De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998
14
5.
Vocht schade adalah kerusakan yang diakibatkan oleh kelembaban lingkungan yang ditunjukkan dengan terbentuknya noda-noda berwarna lebih kecoklatan, tumbuhnya jamur dan perubahan warna kertas arsip. Gambar 5 contoh Vocht Schade Gambar 5. Contoh Vocht schade (V) De Nieuwe schade-atlas TON-Rijksarchiefdienst Denhaag 1998
Dari hasil pendataan yang telah dilakukan, sebagaimana tercantum pada tabel 1, kerusakan terbanyak adalah Chemische schade. Kerusakan ini disebabkan oleh bahan-bahan yang berasal dari dalam kertas maupun faktor dari luar kertas. Bahan dasar kertas seperti serat tumbuhan mengandung selulosa, ditambah bahan lain seperti lem dapat
mengalami
perubahan akibat dari proses kimiawi yang berlangsung antara serat itu sendiri dengan bahan perekatnya. Pengaruh dari luar seperti kebersihan, suhu udara dan kelembaban relatif disekitarnya semakin mempercepat timbulnya kerusakan lebih lanjut pada arsip tersebut (lihat diagram 4 dan 5).
15
Diagram 4.
Jumlah Kerusakan
T a b e l J e n is K e ru s a k a n B lo c k e n b a nd s c ha d e C he m is c he s c ha d e M e c ha nis c he s c ha d e P la a g s c ha d e
800 600 400 200 0 1 J e n is K e ru s a k a n
V o g ht s c ha d e
Diagram 5. P rosentasi B erdasar Jenis K erusakan
B lo ck e n b a nd s cha d e
18%
19%
17% 12%
34%
C he m is che s cha d e M e cha nis che s cha d e P la a g s cha d e V o g ht s cha d e
Disamping kerusakan secara kimiawi, arsip juga dapat mengalami kerusakan dikarenakan rusaknya cover atau pelindung arsip. Termasuk dalam kerusakan jenis ini adalah akibat penggunaan yang tidak hati-hati atau ceroboh pada waktu mengeluarkan dan memasukkan arsip kedalam boksnya sehingga kertas terlipat, sobek (patah) dan kehilangan informasi. Sebagai tindak lanjut dari pendataan kondisi fisik arsip yang belum direstorasi, maka mulai tahun 2003 telah dilakukan restorasi arsip Hoge Regering. Restorasi arsip Hoge Regering dilakukan menggunakan metode Leaf Casting dengan cara mengisikan bubur kertas kedalam arsip rusak ( berlubang ) akibat korosi oleh tinta maupun karena serangga 16
dan binatang pengerat. Metode tersebut berbeda dengan metode laminasi atau Katpalia Methode. Prinsip dasar metode laminasi adalah melapisi arsip menggunakan dua lembar kertas tipis dan diberi perekat. Metoda Leaf Casting dipilih dengan pertimbangan kertas akan menjadi lebih kuat karena terisinya lubang-lubang kertas termasuk juga pori-pori kertas dengan bubur kertas. Pada proses restorasi, penjilidan arsip tidak lagi dilakukan karena dalam salah satu proses penjilidan, arsip mendapat tekanan yang cukup kuat (di-press) sehingga dapat memperburuk kondisi arsip. Dalam proses akhir rekonstruksi arsip dan restorasi terhadap arsip yang rusak, arsip dibungkus dengan kertas pembungkus dan boks yang bebas asam.
C.
KESIMPULAN Dari hasil kajian menunjukkan bahwa hampir 20 % dari arsip Hoge Regering
mengalami kerusakan dan ke lima jenis kerusakan teridentifikasi didalam khasanah arsip ini. Kerusakan disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu faktor kimia, fisika dan biologi serta manusia. Faktor kimia merupakan faktor yang paling berperan dalam menimbulkan kerusakan pada arsip VOC. Ada hubungan kausalitas antara kondisi arsip dengan tindakan restorasi. Arsip yang sudah mengalami restorasi dalam hal ini dilaminasi kondisinya lebih baik dibanding dengan yang belum di restorasi. Dalam melakukan restorasi, khususnya dengan metoda Leaf Casting yang akhir-akhir ini diterapkan, maka penjilidan arsip tidak dilakukan lagi sebagai upaya untuk mengurangi kerusakan arsip. Untuk meminimalkan kerusakan arsip maka ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan : 17
1.
Kondisi ruang penyimpanan arsip harus selalu dalam kondisi stabil baik suhu, kelembaban, dan kebersihannya.
2.
Pemilihan bahan material arsip yang bebas asam.
3.
Perlakuan arsip secara tepat, baik dalam tahap pengolahan, pemindahan, penyimpanan serta penggunaannya. Proses identifikasi kerusakan dilakukan bersamaan dengan proses pengolahan arsip.
Hal ini dilakukan sebagai langkah awal proses restorasi, dimana data tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan prioritas penanganan terhadap arsip-arsip yang rusak.
18
DAFTAR PUSTAKA
Eusman, Elmer,. Conservation of Objects Damaged by Iron Gall Ink. 2001. Gaastra, Femme S,.De Geschiedenis van de VOC. Leiden, 1991. ICA,Comma.International Journal on Archives,2001. Suhardi, Hardi dan Yayan Daryan,. Terminologi Kearsipan Indonesia. Jakarta, 1998. Arsip Nasional Republik Indonesia-Nationaal Archief Denhaag. Inventaris van het archief van de Gouverneur-Generaal en Raden van Indie (Hoge Regering) 1611-1811. Jakarta, 2002. Ellis, Judith. Keeping Archives, Second Edition. The Australian Society of Archivistic Inc, 1993. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2004 tentang,. Pengelolaan Arsip Statis. National Archives of India. Repair and Preservation of Records. New Delhi, 1998. Arsip Nasional Republik Indonesia,. Pemeliharaan dan Penjagaan Arsip. Jakarta, 1980. Teygeler, Rene. Preservation of Archives in Tropical Climates. ICA, 2001. Restaurator. International Journal for the Preservation of Library and Archivan Material, Vol. 16. Munksgaard-Copenhagen, 1995. TANAP. Brochure. 2001 TIM PENULIS 1. Dwi Nurmaningsih (360 000 437) 2. Euis Shariasih
(360 000 649)
3. Kris Hapsari
(360 000 588)
4. Risma Manurung
(360 000 622)
19