1
Pelantikan Anak Domba Wahyu 5:1-14 Pengantar Dua minggu yang lalu kita membahas tentang Wahyu pasal 2 dan 3. Waktu itu Pak Michael dan Pak Robinson mengetengahkan tentang tantangan-tantangan eksternal dan internal yang sedang dihadapi oleh ketujuh jemaat (minoritas) di Asia Kecil. Dari pihak luar, Jemaat dipaksa untuk mengakui kaisar (Domitianus, 81-96 M)) Romawi sebagai Dominus et Deus Noster (the Son of God), suatu amanat yang tidak mungkin dituruti oleh orang Kristen yang setia. Tetapi dari sebab itulah maka mereka disiksa. Selain itu, tantangan eksternal datang dari pihak orang Yahudi. Mereka memprovokasi kaisar untuk menghambat penyebaran ajaran Kristen karena bagi mereka, agama Kristen adalah sekte baru yang tidak sejalan dengan ajaran agama resmi, yang tidak memiliki tradisi kuno, yang tidak mempunyai identitas nasional, dan yang tidak mempunyai tanah air serta pusat ibadah seperti agama Yahudi.1 Karena saking marahnya kepada orang Yahudi, lalu Yohanes menyebut mereka sebagai ‘jemaat Iblis’ (2:9-10). Kita juga mencatat tantangan-tantangan internal pada pertemuan pertama misalnya tentang kelompok-kelompok Kristen pengikut Nikolaus, Bileam, dan Izebel yang membolehkan para pengikutnya untuk memuja dewa, makan daging persembahan berhala, dan melakukan percabulan (2:2-3, 6; 2: 14-15, 20). Semua tantangan baik eksternal maupun internal tersebut (pasal 1-3) mengacam eksistensi umat Kristen, terutama mereka yang sungguh setia mempertahankan kemurnian iman kepada Yesus Kristus. Menghadapi tantangan, pengambatan dan penindasan yang luar biasa berat seperti saya jelaskan di atas, maka Yohanes menulis surat kepada jemaat-jemaat dari pengasingannya di pulau Patmos (1:9). Dengan gaya bahasa apokaliptik, Yohanes berusaha untuk meyakinkan para pembaca tentang keyakinannya, bahwa meskipun penganiayaan itu sangat berat namun akan tiba masanya di mana kuasa Allah dalam diri Anak Domba akan memenangkan pertarungan. Minggu lalu kita membaca pasal 4. Di sana kita menemukan seolah-olah Yohanes mendapat undangan istimewa ke surga (4:1). Perhatian pembaca tentu saja beralih dari Patmos ke surga. Menurut penjelasan Pak Yusak, visi Yohanes tentang sorga di pasal 4 merupakan penggenapan dari janji-janji Tuhan di pasal 2 dan 3. ‘Pusat simbolik dari penglihatan di pasal 4 terletak pada ‘takhta sorgawi’ yang di atasnya Dia duduk’ (4:3). Dengan begitu maka menurut Pak Yusak ‘penulis kitab Wahyu hendak menegaskan kepada orang-orang beriman ketika itu bahwa tidak ada Allah selain dari Dia yang duduk di atas singgasana sorgawi’, ‘yang hidup untuk selama-lamanya’. Orang Kristen patut menyembah dengan setia hanya kepada Dia, satu-satunya Allah, yang sedang berdiam di atas takhta sorgawi itu. Lalu, bagaimana dengan pasal 5 (1-14)? Pasal 5 merupakan lanjutan dari pasal 4 dan menjadi bagian tak terpisahkan dari pasal 6-8 yang menguraikan tentang ketujuh meterai. Sesuai tugas yang diberikan kepada saya, maka pembahasan akan dibatasi pada pasal 5. Penjelasan Teks Jika di pasal 4 perhatian Yohanes terarah kepada ornament dan takhta sorgawi serta kepada Dia yang duduk di atas takhta itu maka dalam pasal 5 Yohanes (seolah-olah) hadir dan menyaksikan upacara pelantikan atau penobatan Anak Domba sebagai raja (ayat 1-14). Sidang pembaca diundang untuk memperhatikan secara berurut ‘gulungan kitab’ serta ‘tujuh meterai’ (ayat 1), berikut ikut menggumuli pertanyaan tentang siapa yang mempunyai 1
J. M. Vianney Paluku, ‘War and Victory of the Lamb in the Book of Revelation’ in Hekina Review, HekimaR: 2005, pp. 68-69.
2
wewenang untuk membuka ‘gulungan kitab’ itu (ayat 2-5), dilanjutkan dengan jawaban tetua bahwa singa dari suku Yehuda-lah yang memiliki wewenang untuk itu (ayat 6-10), dan akhirnya aklamasi dan hymne atau pujian-pujian kepada Anak Domba (ayat 11-14). Gulungan kitab dengan tujuh meterai (ayat 1) Pada momen ini perhatian penulis tertuju bukan lagi kepada Dia yang duduk di atas takhta itu tetapi kepada ‘sebuah gulungan kitab’ yang ada di tangan kanan-Nya. Tampak bagi Yohanes tulisan yang ada di dalam dan di sebelah luar kitab itu (meski tidak bisa dibaca) dan gulungan kitab itu disegel dengan tujuh meterai. Menurut Biale, dokumen rahasia itu adalah kitab ‘tersembunyi dan termetrai’ yang telah dijanjikan Tuhan melalui Daniel untuk nanti dibuka pada masanya (Dan 12:4, 9) dan Yohanes menjadi saksi atas penggenapan janji itu.2 Bagi saya kesan yang ingin ditampilkan dalam ayat ini yakni bahwa Sang Raja yang ada di atas takhta itu sedang memegang suatu dokumen penting yang mau diumumkan ke publik. Isi dokumen itu baru akan diketahui dengan jelas setelah gulungan itu dibaca. Tetapi, pertanyaan kemudian adalah: Siapa yang layak? (ayat 2-5) Pertanyaan ini terlontar dari tokoh lain (seorang malaikat): "Siapakah yang layak membuka gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya?" Pada momen ini suasana menjadi hening dan penuh ketegangan karena seperti pengakuan Yohanes: “tidak ada seorangpun yang di sorga atau yang di bumi atau yang di bawah bumi, yang dapat membuka gulungan kitab itu atau yang dapat melihat sebelah dalamnya.” Jika demikian halnya maka rahasia Illahi yang tertulis dalam kitab itu tidak akan diketahui sama sekali. Padahal Yohanes dan pembaca mungkin berharap bahwa dengan datangnya ke sorga, Allah akan menyingkap rahasia di balik kesengsaraan dan penindasan yang sedang dialami oleh orang Kristen pada masa itu serta menunjukan cara yang tepat menyikapi kondisi yang sulit itu. Ketika harapannya tidak terpenuhi maka Yohanes menangis (ayat 4). Membaca bagian ini saya tibatiba ingat sejumlah teman pendeta yang ‘menangis’ pada saat mereka merasa tidak berdaya menghadapi tantangan-tantangan dalam pelayanan dan juga merasakan bahwa Allah begitu lamban untuk menolong mereka. Pertanyaannya: bolehkah kita menangis? Tentu saja boleh. Tetapi mengapa seorang di antara tua-tua di sekeliling takhta itu melarang Yohanes: "Jangan engkau menangis”? Mungin Yohanes ditegur sebab ia menangis karena bimbang bahwa di sorga tidak ada lagi yang bisa membuka kitab itu (ayat 3). Di ayat 5, maksud larangan menangis itu menjadi lebih jelas. Rupanya pembaca diminta untuk berhenti menangis dan mulai mengarahkan perhatian mereka kepada tokoh utama yang akan diperkenalkan kemudian. Tokoh itu adalah: ‘singa dari suku Yehuda, yaitu tunas Daud, yang telah menang’. Ketiga gelar itu diarahkan kepada Yesus Kristus. Dia-lah yang dipandang layak untuk membuka gulungan kitab itu dan membuka ketujuh meterainya. Kita bisa mendiskusikan lebih jauh dalam kelompok apakah gelar ‘singa dari suku Yehuda’ itu bisa dikenakan kepada Yesus dan bagaimana implikasi praktisnya dalam kepemimpinan umat? Kewenangan ada pada Anak Domba (ayat 6-10) Menyusul keterangan dari wakil tua-tua itu, Yohanes menggiring pembaca untuk mengenal lebih dekat sang tokoh yang diidam-idamkan itu. Dikatakan, ada seekor ‘Anak Domba tampak (seperti) sudah disembelih (the slain Lamb), berdiri di dekat takhta itu dan di tengahtengah keduapuluh empat tetua dan keempat makluk itu. Anak Domba itu ‘bertanduk tujuh 2
G. K. Beale, The Book of Revelation: A Commentary on the Greek Text, Michigan/Cambridge: Grand Rapids, 1999, p. 347.
3
dan bermata tujuh’. Yohanes menafsirkan ketujuh tanduk itu sebagai ‘tujuh Roh Allah yang diutus ke seluruh bumi.’ Masalah yang muncul dalam bagian ini adalah bagaimana memahami kontras antara janji seorang tetua di ayat 5 (‘singa dari Yehuda’) dan apa yang Yohanes saksikan sendiri di ayat 6 (‘seekor Anak Domba’). Ataukah lebih baik kita membiarkan saja kontras ini dengan memaklumi keterangan dari sang tua, bahwa biasanya kalau sudah tua dan mata kabur, melihat Anak Domba dikira singa? Tetapi kalau demikian maka kita juga meragukan kemampuan Yohanes mengidentifikasi anak domba yang ia lihat. Kalau seekor anak domba bertanduk 7 agak aneh, bukan? Jangan-jangan yang dilihat Yohanes adalah seekor rusa. Tentu tidak demikian maksudnya. Singa dari Yehuda dan Anak Domba adalah symbol dari ‘kuasa/kekuasaan’ atau ‘model kepemimpinan’ yang dimiliki oleh sang tokoh. Dalam Kejadian 49:9-10, Yakub memberkati Yehuda dengan kuasa seperti kekuatan seekor singa yang sulit dilawan. Ia dapat bangkit dan menelan mangsanya secara tiba-tiba. Itulah harapan mesianik yang sudah lama dinantikan oleh bangsa Israel menjadi penyelamat untuk menghidupkan kembali takhta Daud.3 Wahyu 5:5 mengambil alih gambaran kekuatan singa itu untuk menyatakan bahwa kemahakuasaan Kristus serupa dengan kekuatan seekor singa yang sedang datang dan siap membela umat-Nya yang tertindas. Sementara itu Anak Domba lengkap dengan tujuh tanduk merupakan gambaran tentang kuasa Kristus yang diperoleh melalui kematian di kayu salib (the slain Lamb) dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati sebagai bukti bahwa Ia telah mengalahkan musuh utama yaitu kematian kekal melalui peristiwa kebangkitan. Kuasa kebangkitan Anak Domba membawa efek penebusan dan penghakiman akhir bagi para musuh umat-Nya; serta membangun suatu kerajaan imamat bagi mereka yang sudah ditebus (5:10). Kitab Wahyu menyebut Anak Domba sebanyak 29 kali dan selalu terkait dengan penyelenggaraan ibadah. Dengan demikian Anak Domba yang adalah Yesus Kristus sendiri menjadi titik sentral dari ibadah.4 Anak Domba itu kemudian mendekati takta itu dan menerima gulungan kitab dari tangan Dia yang duduk di atas takhta itu. Penyerahan gulungan kitab itu menandai penyerahan wewenang secara penuh dari Dia yang duduk di atas takhta kepada sang Anak Domba. Serentak dengan penyerahan wewenang itu, keempat makhluk dan kedua puluh empat tua-tua itu tersungkur di hadapan Anak Domba itu sambil memegang kecapi dan cawan emas, penuh dengan kemenyan. Keempat makluk, wakil seluruh ciptaan dari keempat penjuru dunia, tersungkur sebagai bukti pengakuan mereka akan kemahakuasaan sang Anak Domba. Demikian juga, keduapuluh-empat tua-tua yang adalah wakil dari orang-orang yang ditebus oleh Anak Domba itu5, tersungkur dan menyembah sebagai bukti bahwa tak satupun kuasa di sorga dan di bumi, termasuk penguasa lalim Romawi, yang layak mendapat hormat dan pujian kecuali Anak Domba dan Dia yang duduk di atas takhta itu. Sujud sembah tersebut dilanjutkan dengan lantunan nyanyian baru (ayat 9,10). Nyanyian baru itu mengungkapkan tentang alasan fundamental mengapa Anak Domba itu layak menerima kitab itu dan membuka meterai-meterainya: “karena Engkau telah disembelih dan dengan darahMu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa.” Kuasa penebusan darah Kristus tidak terbatas pada satu suku/bangsa tertentu tetapi bersifat universal, bagi seluruh dunia. Kita bisa berdiskusi lebih jauh dalam kelompok tentang makna gelar Kristus sebagai Anak Domba dalam hidup dan pelayanan gereja masa kini. Apakah gelar ‘Anak Domba’ 3
Paul Spilsbury, The Throne, the Lamb & the Dragon, USA: Inter Varsity Press, 2002, p. 69. Donald Guthrie, ‘The Lamb in the Structure of the Book of Revelation’ in Vox Evangelica XII, London Bible College, 1981, p. 64. 5 Jerome mengemukakan pendapat bahwa ke-24 tua-tua itu mewakili umat Tuhan yang sudah ditebus, yakni: 12 suku Israel + 12 rasul sedangkan 4 binatang mewakili seluruh ciptaan pada keempat penjuru bumi. Lihat: Jerome D’Souza, the Book of..., p. 107. 4
4
mengindikasikan adanya pola kepemimpinan Kristen tertentu yang dapat diaplikasikan pada masa-masa krisis? Aklamasi dan hymne bagi Anak Domba (ayat 11-14) Jika dalam ayat 8-10, sikap sujud dan puji terbatas pada keempat makluk dan keduapuluh empat tua-tua, maka oleh pengaruh mereka, banyak malaikat sekeliling takhta serta makhlukmakhluk dan tua-tua dalam jumlah berlaksa-laksa dan beribu-ribu laksa menyuarakan hymne yang sama dengan suara nyaring: "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan pujipujian!" Ini adalah afirmasi terhadap sikap dan pengakuan keempat makluk dan para tua-tua di ayat sebelumnya sekaligus merupakan panggilan untuk terus melaksanakan misi pekabaran Injil agar makin banyak suara mengenal dan memuliakan Dia. Ketika suara mereka makin menggema, seluruh makhluk di sorga, di bumi, dan yang ada di bawah bumi, serta semua yang ada di dalam laut bersama-sama memuliakan Dia. Demikian mereka berseru: "Bagi Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya!" Mewakili ciptaan dari keempat penjuru bumi, keempat makhluk itu berkata: "Amin". Lalu para tua-tua itu jatuh tersungkur dan menyembah. Itulah rangkaian tata cara pelantikan Anak Domba sebagai penguasa semesta, penebus, dan hakim atas mereka yang menyengsarakan umat-Nya.6 Dengan pelantikan tersebut, Yohanes dan sidang pembaca diingatkan untuk tidak tunduk dan menyembah kepada penguasa lain selain kepada Anak Domba dan Dia yang duduk di takhta itu. Lalu Apa yang terjadi sesudah pelantikan Anak Domba itu? Kita nantikan pembahasan pasal 6 dst. Kepustakaan: Donald Guthrie, ‘The Lamb in the Structure of the Book of Revelation’ in Vox Evangelica XII, London Bible College, 1981. G. K. Beale, The Book of Revelation: A Commentary on the Greek Text, Michigan/Cambridge: Grand Rapids, 1999. J. M. Vianney Paluku, ‘War and Victory of the Lamb in the Book of Revelation’ in Hekina Review, HekimaR: 2005. Jerome D’Souza, the Book of Revelation: Power, Violence and Suffering, Bangalore-India: Asian Trading Corporation, 2005. Paul Spilsbury, The Throne, the Lamb & the Dragon, USA: Inter Varsity Press, 2002. Klitren Lor, 2 February 2012 Welfrid Fini Ruku
6
Beale mengatakan bahwa ketika Yohanes menulis pasal 4 dan 5, ia dibayang-banyangi oleh janji tentang ‘Anak Manusia’ dalam Daniel 7. Karena itu menurut dia, Yohanes menganggap bahwa wahyu yang ia terima merupakan penggenapan atas nubuat Daniel. G.K. Beale, The Book ...., pp. 368/9.
1
Beberapa catatan tambahan atas bahan Pengantar PA Bp. Welfrid Fini Ruku Saya tidak punya tanggapan prinsipial untuk bahan dari Bp. Welfrid. Karena itu saya hanya akan memberikan beberapa catatan tambahan saja. [Dengan mengingat Wahyu 6-8, yang merupakan kesatuan utuh pasal 4-8, alternatif judul berikut mungkin lebih tepat: “Kemenangan dan kuasa Sang Anak Domba menjadi dasar kekuatan dan harapan jemaat”]. 1. Catatan tambahan untuk bagian Pendahuluan Wahyu 2 &3 menceritakan hal-hal yang terkait dengan pergumulan/penindasan jemaatjemaat di Asia Kecil. Dalamnya ada juga: penghiburan dalam penindasan, reaksi jemaat terhadap kesukaran/penindasan yang mereka alami – baik yang bersifat positif maupun negatif. Karena pembahasan dua pasal itu disatukan dalam satu kali PA (dalam waktu yang sangat terbatas!), maka sdr. Michel (juga bapak Robinson) tidak mungkin membahas semua hal itu, padahal semua itu penting untuk memahami berita kitab Wahyu. Bp. Welfrid coba mengangkat beberapa hal terkait dengan hal itu (walau belum semua). Berikut adalah tambahan saya untuk bahan bp. Welfrid itu. Ungkapan ‘jemaat Iblis’ untuk jemaat Yahudi bukan sekedar ungkapan kemarahan, tetapi juga ungkapan ‘kenyataan’. Jemaat Yahudi mendapat dispensasi dari penguasa Roma – mereka tidak diwajibkan menyembah patung kaisar (sebagai dewa). Jemaat Kristen pada mulanya dianggap sebagai salah satu sekte agama Yahudi, mereka juga dibebaskan dari keharusan menyembah patung kaisar. Tetapi jemaat Yahudi, yang memusuhi kekristenan, ‘melaporkan’ kepada penguasa bahwa agama kristen bukanlah sekte agama Yahudi (dengan maksud agar orang kristen juga diwajibkan menyembah patung kaisar). ‘Memaksa’ orang menyembah patung kaisar, apakah ini bukan perbuatan ‘jemaat Iblis’?! (melanggar hukum I & II dari Dasatitah). ‘Melakukan percabulan’ (dalam istilah bp. Welfrid ; dlm PB dipakai istilah ‘berbuat zinah’ yang dirangkaikan dengan ‘makan persembahan berhala’ – 2: 14,20) tidak perlu dikaitkan dengan ‘perzinahan/perselingkuhan seksual’. Istilah ‘berbuat zinah’ di sini berkaitan dengan ‘perzinahan’ yang menghianati perjanjian kasih dengan Allah (=penyembahan patung kaisar, menganggap kaisar sebagai dewa/allah/theos yang disembah di samping Allah). Contoh untuk reaksi jemaat yang negatif dapat kita lihat dalam sikap yang berlebihan dalam menjaga ‘ajaran dan kesucian gereja’ sehingga mereka kehilangan kasih yang semula (2: 2-5; menghukum/membuang mereka yang tersesat); juga tampak dalam sikap yang tidak peduli sama sekali dengan hal menjaga ‘ajaran dan kesucian gereja’ yang berkaitan erat dengan penyelamatan bagi mereka yang sesat – yang hakikatnya kehilangan kasih kepada saudara seiman (2: 13-16). 2. Catatan tambahan untuk bagian Penjelasan Teks Kitab apokaliptik, sesuai dengan makna kata ‘apokaliptik’, adalah kitab yang mau ‘membuka tudung’ atas apa yang masih tersembunyi dari mata jemaat: yaitu mengenai apa yang sesungguhnya sedang terjadi dalam sejarah kehidupan yang sudah/sedang
2
terjadi. Kitab/gulungan yang dimeteraikan itu memuat pembukaan ‘rahasia’ yang masih tertutup itu. Pembukaan ‘rahasia’ itu sangat penting untuk memahami kepastian sejarah/nasib jemaat, dan itu tentu saja sangat penting untuk penguatan jemaat dalam menghadapi penindasan yang menimpa mereka. Karena itulah Yohannes menangis ketika tidak seorangpun berlayak membuka meterai dan mengungkap isi gulungan/kitab itu (5: 4). Kelayakan Anak Domba yang tersembelih, yang oleh bp. Welfrid dikaitkan dengan kemenangan sang Anak Domba, merupakan ciri khas ‘aliran Yohannes’. Dalam injil Yohannes, penyaliban Yesus Kristus diistilahkan dengan istilah-istilah yang bernada ‘kemenangan’: ‘ditinggikan’ (Yoh. 3: 14), ‘dimuliakan’ (Yoh. 12: 23), penyalibanNya dimaknai sebagai ‘penghakiman atas penguasa dunia/kuasa gelap’ (Yoh. 12: 31-33). ‘panggilan untuk terus melaksanakan misi pekabaran Injil agar makin banyak suara mengenal dan memuliakan Dia’ – maksud kata-kata ‘misi pekabaran Injil’ dari kutipan di atas sudah saya tanyakan kepada bp. Welfrid. Beliau tidak memaksudkannya sebagai ‘usaha kristenisasi’ – yang penting dari kalimat ini adalah ‘panggilan agar . . . mengenal dan memuliakan Dia/Sang Anak Domba yang tersembelih’. Usulan bp. Welfrid: diskusikan bagaimana realisasi ‘panggilan’ ini? (Bp. Welfrid tidak sempat merevisi bahan yang sudah diserahkannya, karena itu saya ‘mewakilinya).