PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA PENYALAHGUNAANPSIKOTROPIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIASUNGGUMINASA DITINJAU DARI PERSPEKTIFHAK ASASI MANUSIA IMPLEMENTATION OF PRISONERS' ESTABLISHMENT OF PSYCHOTROPIC DRUG ABUSE IN NARCOTIC CORRECTIONAL INSTITUTION CLASS II A SUNGGUMINASA VIEWED FROM HUMAN RIGHT PERSPECTIVE.
Kartini1, VenyHadju2. Rahim Darma3 1
Fakultas Hukum Program PascasarjanaUniversitasHasanuddin 2 FakultasKesehatanMasyarakatUniversitasHasanuddin 3 FakultasPertanianUniversitasHasanuddin
AlamatKorespondensi : Kartini LembagaPemasyarakatanKlas II Kabupatenmaros 082190419473
ABSTRAK
Penelitian bertujuan mengetahui pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana penyalahgunaan psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas NA Sungguminasa dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia, dan faktorfaktor apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana penyalahgunaan psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A sungguminasa di injau dari perspektif Hak Asasi Manusia.Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan teknik pengambilan data ramdom sampling, dengan menggunakan tabulasi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Hak asasi Manusia di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa belum berjalan optimal. Hal ini ditunjukkan dari beberapa faktor: pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara,, pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan), pembinaan kesadaran hukum, pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat, yang mempengaruhi pembinaan sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, dan atupn ukum.
Kata kunci : Hak Asasi manusia
ABSTRACT
The objective of the research was to find out the establishment implementation on the psychotropic drug abuse prisoners in the Narcotic Correctional Institution Class II A Sungguminasa and the human right implementation, what inhibiting factors existed in the establishment implementation on the psychotropic drug abuse prisoners in the Narcotic Correctional Institution Class II A Sungguminasa viewed from the human right perspective.The research was carried out by using a qualitative descriptive research method. Samples were taken by a random sampling technique using a tabulation.The research result reveals that the human right implementation in the Narcotic Correctional Institution Class II A Sungguminasa has not been optimal. This is indicated by several factors: the establishments of: religious awareness, awareness of having a nation and a state, intelligence capability, legal awareness, integrating oneself to the community, which influence the establishments of human, artificial, legal regultation resources. Key-words: Human Right.
PENDAHULUAN Dalam rangka memberantas pengedaran gelap narkoba Internasional telah diadakan berbagai konvensi Internasional, antara lain bertujuan untuk menerapkan sanksi dan asas hukum pidana yang seragam. Dalam hal ini Indonesia telah mengeluarkan serangkaian perundang-undangan, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, antara lain undang-undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika,undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, keputusan Presiden No. 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional,dan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap Narkotika. Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mendapat reintegrasi sosial dan pulihnya kesatuan hubungan antara warga binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak Tahun 1964 dengan ditopang oleh Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang Pemasyarakatan itu menguatkan usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan dengan mengacu pada pemikiran itu. Lembaga pemasyarakan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana. agar dapat melakukan proses berintegrasi terhadap masyarakat hingga dapat berperan kembali menjadi anggota masyarakat yang bebas bertanggungjawab. Kegiatan didalam Lembaga Pemasyarakatan bukan sekedar untuk menghukum atau menjaga narapidana tetapi mencakup proses pembinaan agar warga binaan menyadari kesalahannya dan memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya. Dengan demikian jika warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelak bebas dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sediakala. Fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjaraan tetapi juga merupakan suatu proses rehabilitasi
sosial
warga
binaan
yang
ada
di
Lembaga
Pemasyarakatan.Sistem
Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan narapidana sebagai warga yang baik , juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh mereka, dan yang pasti ini merupakan penerapan yang tidak terpisahkan dari nilai kemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila.dan memandang narapidana sebagai mahkluk Tuhan, sebagai individu dan sekaliguis sebagai anggota masyarakat.
Reksodiputro,Marjono, (1991 dan 1994) mengemukakan bahwa filosofi tentang pemidanaan (penal philosophy) yang meliputi retribution, utilitarian, special deterrence dan behavioral preventation menentukan perlakuan terpidana (Narapidana) dalam Lapas. Filosofi Lapas adalah karantina untuk mendidik supaya Napi kelak dapat bergabung kembali dengan komunitasnya tanpa menimbulkan gejolak sosial. Dengan mencermati pendapat di atas, “Lapas bukan bertujuan membuat orang tersiksa agar tidak berkeinginan untuk mengulangi perbuatanperbuatan yang melanggar hukum. Secara historis harapa-harapan tersebut di atas menjadi obsesi yang tidak akan pernah terwujud. Konsep tentang resedivis tidak akan pernah ada seandainya obsesi Lapas seperti tersebut di atas menjadi kenyataan,”Aswanto (1999).
Eksistensi pemidanaan dalam
sistem
pemasyarakatan adalah upaya
untuk
menyadarkan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar menyesali perbuatannya, mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang aman tertib dan damai (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2002). Sahardjo (1963) mengemukakan pokok-pokok dasar memperlakukan narapidana dan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia sebagai berikut:(1) Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat, tidak boleh selalu ditunjukan pada narapidana bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia seperti manusia lainnya. (2) Jadi perlu diusahakan supaya tiap orang adalah mahkluk kemasyarakatan, tidak ada disampaikan kepada orang yang hidup diluar masyarakat, narapidana harus kembali kemasyarakat sebagai warga yang berguna dan sedapat-dapatnya tidak terbelakang. (3) Narapidana harus dijatuhi pidana hilang kemerdekaan bergerak disamping atau sesudah mendapat didkan berangsur-angsur mendapat upah untuk pekerjaannya. Untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana kasus psikotropika, sudah barang tentu diperlukan pendekatan yang lebih proaktif dengan cara melakukan pengenalan dan kesadaran terhadap potensi yang mereka dapat kembangkan.Pola pembinaan sebagaimana yang dtempuh ini, merupakan suatu penggabungan antara pembinaan intra dan ekstra yang menyangkut: (1) Kepribadian, (2) Kesadaran berbangsa dan bernegara (3) Kemampuan intelektual, keterampilan dan kemandirian. Menurut Leah (1981)HAM mempunyai dua pengertian dasar, pertama merupakan hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut. Hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia. Kedua, hak menurut
hukum yang dibuat sesuai proses pembentukan Konsep hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. Adapun dasar hak-hak ini adalah persetujuan orang yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga yang tunduk pada hal-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar dari arti yang pertama tersebut di atas. Sehubungan dengan itu, Hak Asasi Manusia warga binaan yang harus dihormati di Lembaga Pemasyarakatan yaitu : a)
Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya,
b) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani, c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran,d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, e) Menyampaikan keluhan, f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, g)
Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang
dilakukan, h) Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya, i) Mendapatkan pengurangan masa pidana (premisi), j) Mendapatkan kesempatan berassimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga, k)
Mendapatkan
Mendapatkan cuti menjelang bebas, m)
kebebasan
bersyarat,
l)
Mendapat hak-hak lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.Melalui pola pembinaan tersebut diatas diharapkan akan memberikan suatu kemanfaatan yang besar bagi setiap narapidana, sehingga keluar mereka dari pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, mereka akan menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi kepentingan masyarakat. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana penyalahgunaan psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Sungguminasa dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan Untuk mengetahui faktorfaktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana penyalahgunaan psikotropika
di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
Klas II A
sungguminasa di tinjau dari perpektif Hak Asasi Manusia.
METODE Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sungguminasa Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu institusi yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan narapidana secara umum dan narapidana yang terkait kasus penyalahgunaan psikotropika di Sulawesi Selatan. Teknik Pengumpulan Data Dalam prosespengumpulan data yang relevan dengan tujuan penelitian ini digunakan beberapa pendekatan. Untuk data primer (primary data), digunakan teknik pengumpulan data
melalui 3 (tiga) jenis yaitu : (1)Studi dokumen atau bahan pustaka (2) Pengamatan atau observasi dan (3) Wawancara atau interview secara verbal. Dalam kaitan ini penulis juga mempergunakan suatu daftar pertanyaan yang berstruktur (questionnaire) secara tertutup, artinya daftar pertanyaan itu disertai dengan pilihan jawaban oleh responden yaitu narapidana kasus
penyalahgunaan
psikotropika
di
Lembaga
Pemasyarakatan
Klas
IIA
Sungguminasa.Untuk data sekunder, digunakan melalui cara sebagai berikut : (1) Menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek yang diteliti, (2) Studi kepustakaan berupa referensi-referensi hukum, jurnal hukum, kamus hukum, dan hasil penelitian dibidang psikotropika, (3) Studi dokumentasi dengan mempelajari dokumen yang berkaitan dengan pokok masalah di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sungguminasa. Teknik Analisis Data Data yang telah diperoleh melalui kegiatan penelitian dianalisis secara kualitatif didukung oleh data kuantitatif, kemudian disajikan secara deskriptif yaitu dengan menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan sesuatu permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Penggunaan teknik anilisis kualitatif mencakup semua data penelitian yang telah diperoleh dari ketiga macam teknik pengumpulan data (wawancara), kuisioner, observasi dan dokumentasi.
HASIL Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Sungguminasa Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Sungguminasa
merupakan ruang
lingkup dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Selatan (selanjutnya disebut Kanwil.Kemen.Kum.HAM SULSEL) yang terletak di Desa Timbuseng Kab Gowa
yang tugasnya dikoordinir oleh Kepala Divisi Pemasyarakatan (selanjutnya
disebut Ka.Div.Pas) dan dibantu oleh Kepala Bidang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut Ka.Bid.Pas) serta dibantu oleh Kepala Seksi-Seksi lainnya. Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Sungguminasa Lapas Khusus Narkotika Sungguminasa berkapasitas 368 orang, terletak di jalan Lembaga desa Timbuseng kecamatan Pattalasang kabupaten Gowa, dibangun dalam empat tahap mulai tahun 2003 sampai dengan 2006. Melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sejak 2 Agustus 2007. Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Sungguminasa antara lain: (1).
yang terdiri dari,
Luas Tanah: 97.869 M2, (2). Luas Bangunan: 6.543,28 M2 dengan keadaan
bangunan permanen yang dikelilingi oleh tembok setinggi lebih kurang 6 (enam) meter dan setiap sudut tembok mempunyai pos jaga, di mana kesemuanya berjumlah 4 (empat) pos
penjagaan. Sebelum memasuki pintu gerbang Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Sungguminasa, terdapat pintu portir yang merupakan pusat dari semua pos-pos penjagaan dari tempat Narapidana/Tahanan tersebut. 3. Jumlah Blok: 4 Blok, yang terdiri atas 3 blok umum dan 1 blok khusus anak. Setiap kamar di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Sungguminasa berkapasitas 9 orang dan setiap kamar terdapat kamar mandi dan WC. Jumlah Pegawai yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Sungguminasa adalah berjumlah 75 orang yang terdiri dari 10 orang dengan jenis kelamin laki-laki dan 65 orang dengan jenis kelamin perempuan. Spesifikasi tugas, dokter berjumlah 1 orang, perawat berjumlah 3 orang dengan jenis kelamin perempuan, konselor Psikologi 1 orang dengan jenis kelamin perempuan. PolaPembinaanyangdilakukan Pola pembinaan yang dilakukan pada lembaga pemasyarakatan klas II A Sungguminasa
terhadap
narapidana
narkotika
adalah
berdasarkanKeputusanMenteriKehakimanRepublik Indonesia Nomor: M.02- PK.04.10Tahun 1990
tentangPolaPembinaannarapidanadapatdibagikedalam
bidangyakni:(1)PembinaanKepribadian
yang
meliputi,
2
(dua)
Pembinaankesadaranberagama,
Pembinaanberbangsadanbernegara, Pembinaankemampuanintelektual,Pembinaankesadaranhokum,
dan
Pembinaanmengintegrasikandiridenganmasyarakat.(2) Pembinaan kemandirian diberikan melalui
programketerampilanuntukmendukungusahamandiri,
ketrampilanuntukmendukungusahaindustrikecil,keterampilan dikembangkansesuaidenganbakat
para
yang
narapidanamasing-masing,
keterampilanuntukmendukungusaha-usahaindustriataukegiatanpertanian denganmenggunakanteknologimadyaatauteknologitinggi,
dan
(perkebunan)
misalnyaindustrikulit,
pabriktekstildansebagainya. Pembinaan tersebut memberi kesempatan untuk mengembangkan aspek-aspek pribadi yang ada pada diri narapidana yang bersifat seluas-luasnya. Prinsipnya pola pembinaan narapidana yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan narapidana / tahanan sebagai peraturan pelaksananya, namun pelaksanaannya tidak optimal dilakukan oleh petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan narkotika dan di samping itu juga karena adanya akibat over capacity atau kelebihan penghuni, serta kekurangan
petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan narkotika, maka pola pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan narkotika menjadi tidak efektif sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Setelah melihat pola pembinaan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, maka pola pembinaan tersebut sesuai dengan teori-teori tentang pemidanaan yang sebagaimana telah diutarakan sebelumnya dalam kerangka teori. Jadi teori yang dipergunakan dalam pola pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika adalah teori Pencegahan dan Teori Rehabilitasi. Maksudnya teori pencegahan sesuai dengan pola pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarkatan Narkotika karena penjatuhan hukuman bagi para narapidana sebagai upaya membuat efek jera yang berguna untuk mencegah terulangnya kembali tindak kejahatan yang mereka perbuat sebelumnya, walaupun masih tetap saja ada yang melakukan pengulangan tetapi masih dalam tingkat yang wajar. Dan hal tersebut terjadi dikarenakan adanya kelebihan penghuni dan kekurangan petugas/pegawai Lembaga Pemasyarakatan Narkotika . Sedangkan maksud teori Rehabilitasi sesuai dengan pola pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan narkotika karena memang penempatan seseorang yang dikatakan sebagai narapidana di tempat tertentu yang dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dengan maksud membatasi kemerdekaan seseorang yang bertujuan untuk memperbaiki pelaku kejahatan agar berprilaku wajar dan pantas dengan mencantumkan norma-norma yang berlaku di masyarakat atau dapat dikatakan merehabilitasi perilaku dari pelaku tindak kejahatan atau Narapidana.
PEMBAHASAN Dampak Yang Timbul Dari Pola Pembinaan Yang Dilakukan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dampak yang timbul dari pola pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan narkotika , antara lain: DampakPositifyaitu: (a) Diadakannyapembinaanberagamabagi para narapidana tidakpandaishalat,
menjadipandaidanpahamtentangshalat
BagiNarapidana
yang
yang
yang
baikdanbenar,(b) tidakpandaimengaji,
setelahkeluardariLembagaPemasyarakatannarkotikamenjadipandaimengaji, bahkandapatmengajarmengajiuntuk menjadibisamembacadanmenulis,
orang (d)
lain,(c)Baginarapidana
yang
butahuruf,
Menyadarisegalakesalahan
yang
telahdiperbuatselamainiadalahperbuatandosadanmenyesalisegalaperbuatan
yang
telahdilakukan,
(e)
Diadakannyapembinaankemandiriansepertimenjahit,
membuatkuekering/basah,
salon
menyulam,
dansebagainya,
bisamembuatnarapidanamenjadimandiridanberkaryasetelahbebasdariLembagaPemasyarakata nnarkotikabahkanbisamembukalapangankerjabagi orang lain. Dampak
Negatif
,yaitu:
DiadakannyapembinaandalamhalpenerimaanRemisisetiapharibesar danRemisiumumsetiaptanggal CutiMenjelangBebas,
17
Agustus,
(a)
agama
(remisikhusus)
sertapengajuanPembebasanBersyarat,
CutiBersyaratdanAsimilasi,
Narapidanamerasahukumannyamenjaditidakterasa,
maka
para
misalnyahukumannya
4
tahundanNarapidanatersebutbisasajamenjalaninya 2 tahunlebihsaja, danuntukhukuman 1 tahunhanyadijalani
9
bulansaja,
(b)Berhubungkarenapembinaankemandirianhanyaitu-itusaja,
membuat
para
Narapidanatersebutmerasabosandanmenganggaphanyauntukmengisiwaktusaja, AdanyaNarapidana
(c) yang
dipekerjakanuntukmembantupetugasdalammelakukanpekerjaandanterkadangdiberikanupah, sehinggaNarapidanatersebutmerasaenakdantimbul
rasa
nyamandidirinyasertatidakmerasasakitberada
di
LembagaPemasyarakatan,
(d)AdanyaperubahandariSistemKepenjaraankeSistemPemasyarakatan
yang
membawadampakdemokrasipembinaan yang mengedepankanHakAsasiManusiayaitu para NarapidanasertademokrasipembinaanmenimbulkandampaknegatifyaknimenurunnyadisiplinN arapidana,
narapidanamenjadikuranghormat
(dalamartimenghargaipetugas/
pegawaiLembagaPemasyarakatan) danpetugas/pegawaiLembagaPemasyarakatanterlaluberhati-hatidalammenindaknarapidana yang
melakukanpelanggarankarenaakanmendapatkansanksidariatasan
(KepalaLembagaPemasyarakatan). Faktor-Faktor yang MenjadiPenghambatBerjalannyaPolaPembinaanNarapidana Berdasarkan hasil
penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika
Sungguminasa, maka dalam pelaksanaan pola pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika tersebut terdapat beberapa faktor yang menjadi penghambat baik faktor interen maupun faktor eksteren. Faktor-faktor interen yang menjadi penghambat berjalannya pola pembinaan
di
Lembaga
Pemasyarakatan
(1)SaranaGegungLembagaPemasyarakatan,
Narkotika
adalah
sebagai
berikut:
(2)KualitasdanKuantitasPetugas,
(3)Sarana/FasilitasPembinaan, (4) AnggaranLembagaPemasyarakatan, (5)SumberDayaAlam,
(6)KualitasdanRagam
Program
Pembinaan.Selain
itu,
faktoreksterenyang
menjadipenghambatberjalannyapolapembinaannarapidana lembagapemasyarakatanklasIIAnarkotikaSungguminasa,
di yaitu:(1)Faktorekonomi
yang
diikutidenganminimnyalapanganpekerjaan yang adaatau yang tersedia, (2) Faktorpendidikan yang minim (pendidikan formal maupun non-formal) daripelakutindakkejahatan Upaya-upaya
yang
dilakukandalammengatasihambatan-hambatan
yang
terjadimenujusistempemasyarakatan yang lebihbaik Begitu kompleksnya permasalahan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, khususnya di Lembaga Pemasyarakatan klas II A Narkotika Sungguminasa, maka diperlukan suatu upaya reformasi mendasar dan menyeluruh. Dalam mengatasi hambatanhambatan yang terjadi dalam sistem pemasyarakatan. Upaya reformasi mendasar minimal dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah hal-hal antara lain: (1)Reformasidalam proses
kebijakanpemasyarakatan,
(2)
ReformasidalamSistemPembinaanNarapidanadenganmembuatmetodepemanfaatanwaktuluan g,(3) ReformasiparadigmatikPemasyarakatanharusdikembalikankepadakonsepsidasarnyasebagaiup ayareintegratifataumengintgrasikankembalipelakukejahatandenganmasyarakatnyasetelahterja dikonflikberupakejahatan Upaya-Upaya yang dilakukandalammengatasiover capacity Kelebihan penghuni (over capacity) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Narkotika Sungguminasa , berdasarkan hasil wawancara dengan Agustina Wati Nainggolan salah satu faktor penyebab makin tingginya jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan/Rumah tahanan negara adalah tidak terlepasnya pandangan dari masyarakat agar bentuk hukuman harus memberikan efek jera/menakutkan. untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas atau (over capacity),
maka
bisa
diatasi
dengan
beberapa
cara
antara
lain:(1)Mengajukanpermohonanuntukmerenovasiataumemperbaharuibangunan
yang
sudahada,
(2)
MengurangiataumembatasiNarapidanakeLembagaPemasyarakatan/RumahTahanan
Negara,
(3) MempercepatpengeluaranNarapidana dengan program CB,PB,Asimilasi,CMB,remisi dan lain-lain,
(4)
OptimalisasiPemindahan
narapidana
dariLapas/Rutan
yang
over
kapasitaskewilayah yang memilikiLapas yang masihdapatmenampungtambahanNarapidana. Upaya-Upaya yang dilakukandalam mengatasihambatan-hambatan terjadimenujusistempemasyarakatanyang lebihbaik
yang
Hambatan-hambatan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
harus
diatasi dengan berbagai cara untuk dapat menuju suatu pembaruan Sistem Pemasyarakatan yang lebih baik. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Narkotika antara
lain:(1)
PembenahanSumberDayaManusiaataudalamhalinipetugasataupegawaiLembagaPemasyarakat anNarkotika, (2) perubahansaranadanprasarana di dalamLembagaPemasyarakatan, (3) mengefektifkanpengklasifikasianNarapidanabaikdarisegiumur,
jeniskelamin,
jenistindakpidanadanlamanyapidana yang dijalani, (4) Mengoptimalkanmotivasibagi para Narapidana di dalammelaksanakan program-program pembinaan yang telahditentukan, (5) Narapidana yang mengulangitindakpidana (residivis), makaupaya yang dilakukanadalah memberdayakan pegawai Lapas yang berpendidikan psikolog dan bekerja sama dengan pihak Home Industri KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan maka kesimpulan yang dapat dilakukan
sebagai
berikut:(1)
Pembinaankesadaranberagama,
b)
PembinaanKepribadian
yang
meliputi:
a)
Pembinaankesadaranberbangsadanbernegara,
c)
Pembinaankemampuanintelektual (kecerdasan). d) Pembinaankesadaranhukum,
dan
e)
Pembinaanmengintegrasikandiridenganmasyarakat. (2) PembinaanKemandirian,meliputi: a) Keterampilanuntukmendukungusaha-usahamandiri, b) Ketrampilanuntukmendukungusahausahaindustrikecil, masing,
c) Ketrampilan yang dikembangkansesuaidenganbakatnyamasingd) Ketrampilanuntukmendukungusaha-usahaindutriataukegiatanpertanian
(perkebunan)
denganmenggunakanteknologimadyaatauteknologitinggi.
Berdasarkan
kesimpulan yang telah dikemukakan, maka berikut beberapa saran antara lain: (1)DiharapkankepadaLembagaPemasyarakatanKlas
II
A
NarkotikaSungguminasauntuklebihmeningkatkanSumberDayaManusiabagi
para
petugas/pegawaiLembagaPemasyarakatantersebutdenganberbagaimacampelatihanpelatihan yang
ada,
(2)DiharappkanSaranadanpra-sarana
yang
ada
LembagaPemasyarakatanklasIIANarkotikaSungguminasaditambahdandilengkapi, Diharapkanpemerintahpusatmemberikanperhatiankhususterhadapdampak timbuldarikelebihanpenghuni (over capacity) . DAFTAR PUSTAKA
di (3) yang
Aswanto.(1999).Jaminan Perlindungan HAM dalam KUHAP dan Peranan Bantuan Hukum Terhadap Penegakan HAM di Indonesia, Disertai,Universitas Airlangga, Surabaya. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. (2002). Sejarah Pemasyarakatan (Dari Kepenjaraan ke Pemasyarakatan). Departemen Kehakiman RI, Jakarta. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Pengedaran Gelap Narkotika. Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional. Leah, Levin. (1981).Human Rights Question and Answer, Unisco. Reksodiputra, Mardjono. (1991). Pemantapan Pelaksanaan hukum Tentang HAM, Hukum dan Pembangunan, No. 6, Jakarta (1994).HAM Dalam Sistem Peradilan pidana. Pusat Pelayaran Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta. Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika Tahun 1971. Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Undang-Undang Ri Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Pemberantasan Perdaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988.