PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DALAM PERSEPSI MASYARAKAT DESA PASIRSARI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu ( S1 ) dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : CHOIRUR ROZIQIN 231 06 006
JURUSAN SYARIAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN 2011
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: CHOIRUR ROZIQIN
NIM
: 231 06 006
Jurusan
: Syari‟ah STAIN Pekalongan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Islam Dalam Persepsi Masyarakat Desa Pasirsari” adalah benar-benar karya sendiri, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah penulis sebutkan sumber-sumbernya. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Pekalongan, 3 November 2011
CHOIRUR ROZIQIN NIM. 231 06 006
ii
Drs. H. Asmuni Hayat Jl. Asri Binagriya No.329 Pekalongan
Akhmad Jalaludin, MA Perum Griya Sejahtera B-II Tirto - Pekalongan
NOTA PEMBIMBING Lamp : 3 (tiga) exp Hal : Naskah Skripsi An. Sdr. CHOIRUR ROZIQIN Kepada Yth. Ketua STAIN Pekalongan c/q. Ketua Jurusan Syari‟ah DiPEKALONGAN Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah kami teliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi saudara : Nama : CHOIRUR ROZIQIN NIM : 23106006 Judul : PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DALAM PERSEPSI MASYARAKAT DESA PASIRSARI Dengan ini kami mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera dimonaqosahkan. Demikian harap menjadi perhatian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Asmuni Hayat Nip. 195312041985121001
Akhmad Jalaludin, MA. Nip. 197306222000031001
iii
KEMENTRIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN Jln. Kusumabangsa 09 Telp (0285) 412575 - 412572 Fax. 423418 Pekalongan Email:
[email protected] - stain
[email protected]
PENGESAHAN Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan mengesahkan Skripsi Saudara: Nama
: Choirur Roziqin
NIM
: 23106006
Judul Skripsi : PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DALAM PERSEPSI MASYARAKAT DESA PASIRSARI Yang telah diujikan pada hari Selasa tanggal 8 November 2011 dan dinyatakan berhasil serta diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana strata satu (S.1) dalam ilmu Syariah. Dewan Penguji
H. Sam‟ani, MA Penguji 2
Drs. H. Sudaryo El Kamali, MA Penguji 1
Pekalongan, 8 November 2011 Ketua STAIN Pekalongan
Dr. Ade Dedi Rohayana, M. Ag NIP. 197101151998031005
iv
PERSEMBAHAN
Rasa syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang dengan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Akhirnya penulis persembahkan Skripsi ini kepada : 1. Kedua orang tuaku, Bpk Aslori (ayah) dan Ibu Mujeni (Ibu) yang telah mencurahkan seluruh perhatian untuk putra tercintanya ini, serta selalu mendo’akanku siang dan malam tanpa kenal lelah. 2. Adikku tercinta Istiqomah yang selalu memberikan dorongan kepada penulis untuk selalu semangat berjuang. 3. Kekasih tersayang (Riza Prastika) yang selalu memberikan motifasi serta bantuan, semoga kaulah jodoh yang telah dipilihkan Allah untukku. 4. Keluarga besarku di Pasirsari terimakasih telah memberikan tempat untukku berteduh selama penyelesaian skripsi ini. 5. Teman-teman angkatan 2006, teman-teman KKN di Talun dan PPL di PA Pemalang.
v
MOTTO
ٌف أ ُ َّم ِتي َْر ْح َمة ِ َِِ ْخ ِتال “Perbedaan (pendapat) di antara umatku adalah rahmat (kasih sayang)”
vi
ABSTRAK Nama : CHOIRUR ROZIQIN NIM : 231 06 006 Judul : PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DALAM PERSEPSI MASYARAKAT DESA PASIRSARI Di Desa Pasirsari banyak kejadian yang beragam seputar tentang pembagian harta waris. Dari yang mulai kejadian tentang pembagian dengan cara Islam yang anak laki-laki mendapatkan 2 bagian dan anak perempuan 1 bagian. Ada juga yang semua ahli waris setuju untuk di bagi rata, dan mereka semua mendapat bagian ahli waris yang sama dengan tidak membeda-bedakan jenis kelaminnya. Adapula ketika sebelum meninggal dunia si mayyit telah membagikan rata kepada anak-anaknya. Ada juga yang dengan kesepakatan mufakat dari masing-masing ahli waris, sehingga ketika ada ahli waris yang sudah kaya, dia mau memberikan hak harta warisnya kepada saudaranya yang lebih miskin atau yang lebih membutuhkannya. Di sini tampak hukum waris Islam belum berpengaruh sepenuhnya di Desa Pasirsari ini, dengan masih banyaknya yang menggunakan hukum Adat di Desa Pasirsari ini. Melihat latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah adalah: Bagaimana persepsi masyarakat Desa Pasirsari Kec. Pekalongan Barat Kota pekalongan tentang pembagian harta waris menurut hukum kewarisan Islam? Apakah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi dan praktek penerapan hukum waris di masyarakat Desa Pasirsari?. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui cara pelaksanaan kewarisan di Desa Pasirsari. Serta Mengetahui pandangan atau persepsi masyarakat Desa Pasirsari tentang pembagian harta waris menurut hukum kewarisan Islam. Adapun kegunaan penelitian ini adalah diharapkan berguna sebagai khasanah keilmuan bagi masyarakat, khususnya masyarakat Pasirsari, Kec. Pekalongan Barat Kota Pekalongan yang berkaitan dengan masalah kewarisan menurut hukum Islam. Serta pengembangan ilmu kewarisan, khususnya yang terkait dengan permasalahan pembagian harta waris. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian, sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Dan metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode penelitian lapangan serta menggunakan analisa teori-teori sosiologi hukum. Hasil penelitian ini adalah persepsi masyarakat Desa Pasirsari yang mana yang golongan atas lebih mengetahui dan memahami tentang hukum waris Islam maka mereka meyakininya. Sehingga mereka bisa dikategorikan berpandangan teosentris. Sebaliknya masyarakat golongan menengah dan kebawah yang kurang dan bahkan tidak mengetahui dan memahami tentang hukum waris Islam, maka mereka meyakini hukum waris yang lain, yaitu hukum waris Adat. Sehingga mereka bisa dikategorikan berpandangan antroposentris.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami haturkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pelaksanaan Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Islam Dalam Persepsi Masyarakat Desa Pasirsari”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammas SAW., beserta kelurga, shahabat dan para pengikutnya. Penulis dalam menyelesaikan skripsi mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Tak pantas kiranya bila penulis tidak mengucapkan terima kasih serta memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Dr. Ade Dedi Rohayana, M. Ag, selaku Ketua STAIN Pekalongan 2. Bapak Tubagus Surur M. Ag, selaku Ketua Jurusan Syari‟ah STAIN Pekalongan. 3. Bapak H. Sam‟ani Sya‟roni, M.A, selaku Kaprodi AS Jurusan Syari‟ah STAIN Pekalongan. 4. Bapak Drs. H. Asmuni Hayat dan Bapak Akhmad Jalaludin, MA, selaku pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyusunan skripsi ini. 5. Bapak Drs. H. Sudaryo El Kamali, MA dan Bapak H. Sam‟ani, MA, selaku penguji skripsi yang telah memberikan saran dan kritik dalam ujian skripsi.
viii
6. Bapak dan Ibu dosen yang telah mengajarkan ilmu dan pengetahuannya selama saya menuntut ilmu di STAIN Pekalongan. 7. Bapak, Ibu, serta Adik yang telah memberikan dorongan moril maupun materiil kepada penulis. 8. Kepala Perpustakaan dan segenap pegawai yang telah melayani peminjaman buku dan lain-lain. 9. Sahabat – sahabat seperjuangan di Syari‟ah 2006. 10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu disini. Hanya tengadahan tangan serta iringan do‟a, semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat balasan pahala yang berlipat dari Allah SWT. Dan semoga selalu diberikan barokah ilmu, umur, serta rizqi oleh Allah SWT. Akhirnya penulis menyadari bahwa segala sesuatu pasti tidak sempurna demikian pula dengan skripsi ini. Saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini. Pekalongan, 3 November 2011 Penulis
CHOIRUR ROZIQIN NIM. 231 06 006
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN .........................................................................
ii
HALAMAN NOTA PEMBIMBING...............................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
v
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
vi
ABSTRAK .......................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................. 5 C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ...................................... 5 D. Penegasan Istilah ................................................................ 6 E. Telaah Pustaka ................................................................... 7 F. Kerangka Teori .................................................................. 13 G. Metode Penelitian .............................................................. 17 H. Sistematika Penulisan Skripsi ............................................ 21
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Pengertian Kewarisan.......................................................... 22 B. Sumber dan Dasar Hukum Kewarisan Islam ...................... 25 1. Dasar Hukum dari Al Qur‟an ....................................... 25 2. Dasar Hukum dari As-Sunnah ..................................... 29 3. Dasar Hukum dari Ijma‟ .............................................. 30 4. Dasar Hukum dari Ijtihad ............................................. 30 C. Rukun dan Syarat Kewarisan .............................................. 30 1. Rukun Kewarisan ......................................................... 30 x
2. Syarat Kewarisan ......................................................... 31 D. Sebab Terjadinya Waris ...................................................... 31 E. Penghalang Waris ................................................................ 33 1. Budak ........................................................................... 33 2. Pembunuh..................................................................... 34 3. Perbedaan Agama ........................................................ 36 F. Tata Cara Pembagian Harta Waris....................................... 37 1. Ahli Waris dari Golongan Laki-Laki ........................... 37 2. Ahli Waris dari Golongan Perempuan ......................... 37 3. Ahli Waris dan Bagian-Bagian Yang Diperolehnya .... 37
BAB III
PENDAPAT MASYARAKAT DESA PASIRSARI TENTANG PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM A. Gambaran Umum Desa Pasirsari ....................................... 42 1. Letak Geografis Desa ................................................... 42 2. Monografi dan Demografi Desa .................................. 43 3. Kondisi Keagamaan, Ekonomi, Sosial dan Budaya ..... 44 4. Kondisi Kegiatan Keagamaan ...................................... 49 B. Praktek dan Pendapat Masyarakat Desa Pasirsari Tentang Pembagian Waris Menurut Hukum Islam .......................... 51 1. Praktek Pembagian Harta Waris pada Masyarakat Desa Pasirsari ............................................................... 51 2. Pendapat
Masyarakat
Desa
Pasirsari
Tentang
Pembagian Waris Menurut Hukum Islam .................... 53
BAB IV
ANALISIS
TERHADAP
PERSEPSI
MASYARAKAT
DI
DALAM PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT HUKUM WARIS ISLAM A. Hubungan Antara Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat Tentang Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Islam .. 65 B. Antara Pandangan Teosentris dan Antroposentris ............. 69
xi
BAB V
PENUTUP A. Simpulan ............................................................................. 74 B. Saran-Saran ......................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sampai saat ini di Indonesia belum terbentuk hukum kewarisan secara nasional yang dapat mengatur pewarisan secara nasional. Sehingga dalam hukum kewarisan di Indonesia dapat menggunakan berbagai macam system pewarisan yaitu sistem hukum kewariswan menurut KUH Perdata, sistem kewarisan menurut hukum adat dan sistem kewarisan menurut hokum Islam. Ketiga sistem ini semua berlaku dikalangan masyarakat hukum di Indonesia. Terserah para pihak untuk memilih hukum apa yang akan digunakan dalam pembagian harta warisan yang dipandang cocok dan mencerminkan rasa keadilan. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dimungkinkan banyak dari anggota masyarakat yang mengunakan sistem hukum Islam. Tetapi seiring dengan perkembangangan zaman yang ditandai dengan kemajuan dan teknologi prinsip-prinsip dalam hukum Islam terus mengalami kemajuan yang pesat. Dan selalu mengikuti perubahan zaman guna untuk kemaslahatan umat di dunia. Tanpa membedakan baik laki-laki maupun perempuan. Asas hukum dalam pewarisan Islam memandang perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Di mana ahli waris laki-laki mendapatkan dua bagian dan ahli waris perempuan mendapatkan satu bagian. Sehingga sering
1
terjadi
polemik
dan
perdebatan
yang
kadang
kala
menimbulkan
persengketaan diantara para ahli waris. Pembagian warisan menurut asas Islam itu tidak lagi mencerminkan semangat keadilan untuk masyarakat kita sekarang ini, dapat dilihat antara lain dari banyaknya penyimpangan dari ketentuan tersebut, tidak saja oleh anggota masyarakat Islam yang awam dalam ilmu agama, tetapi juga oleh banyak ulama. Seraya tidak melaksanakan Hukum Faraidl Islam, tetapi tidak hendak dikatakan melanggar ajaran Islam tersebut, banyak ulama menggunakan hailah. Mumpung masih hidup mereka membagi kekayaan kepada putraputrinya sebagai hibah, masing-masing mendapat bagian sama besar tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Satu hal yang tampaknya kurang disadari oleh para ulama tersebut adalah : dengan membagi kekayaan kepada putra-putri mereka semasa mereka masih hidup itu secara tidak langsung mereka tidak percaya lagi kepada keadilan hukum Faraidl Islam. Sebab kalau mereka percaya mereka tidak akan mengambil tindakan pre-emptive itu. Dari segi akidah dan iman, sikap seperti itu merupakan masalah serius dan berbahaya. Juga terkesan sangat janggal bahwa dalam Negara yang UndangUndang Dasar dan sistem perundang-undangannya mengakui persamaan antara pria dan wanita, dan dimana peranan kaum wanita hampir setingkat dengan pria sebagai pencari nafkah untuk keluarga, dalam pembagian warisan justru dibedakan : anak perempuan hanya mendapatkan separuh dari yang diterima oleh anak laki-laki. 1
1
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta : Paramadina, 1997), hlm. 7-8
2
Semua itu tidak akan terjadi jika adanya pengetahuan dan pemahaman tentang hukum waris Islam itu sendiri. Sehingga mereka semua beranggapan bahwa pembagian harta waris menggunakan hukum waris Islam itu tidak mencerminkan keadilan. Sesungguhnya ada hikmah yang terdapat di dalam hukum waris Islam itu, karena hukum waris Islam terdapat dalam teks suci AlQur‟an yang mana Al-Qur‟an itu adalah sebagai pedoman dan petunjuk umat manusia untuk menuju rahmatan lil alamin. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam merupakan salah satu indikator kesadaran masyarakat terhadap hukum kewarisan Islam bagi masyarakat muslim pada umumnya dan khususnya masyarakat muslim. Oleh karena itu, orang yang mengetahui hukum kewarisan Islam berbeda daripada orang yang kurang atau tidak mengetahuinya. Masyarakat yang tidak mengetahui hukum waris Islam biasanya menggunakan kewarisan dengan hukum adat. Yang mana pembagiaannya berbeda dengan hukum waris Islam. Tetapi di dalam realitanya kedua hukum ini selalu digabungkan untuk menuju kepada keadilan. Maka dapat diketahui bahwa sebagian besar masyarakat muslim yang mengetahui sistem hukum kewarisan Islam dan adat di Desa Pasirsari membedakan pembagian hak warisan anak laki-laki dan anak perempuan. Fakta yang demikian merupakan suatu bukti bahwa proses penerimaan hukum kewarisan Islam yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pasirsari lambat laun hukum kewarisan Islam menjadi hukum kewarisan adat, atau hukum kewarisan adat yang sudah tidak sesuai kesadaran hukum
3
masyarakat muslim digantikan posisinya oleh hukum kewarisan Islam dalam mengatur masalah kewarisan. Di Desa Pasirsari, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan terdapat pembagian harta waris yang sangat beragam, sehingga sangat menarik untuk dikupas. Dimana karena adanya pemikiran masyarakatnya yang tradisionalis dan modernis. Yang mana masyarakat tradisionalis ini biasanya orang-orang yang pendidikan agamanya lebih kuat, karena telah mendapatkan ilmu pengetahuan agama di pondok pesantren. Sedangkan masyarakat yang modernis pemikirannya lebih menuju kepada pemikiran dan rasio di dalam menentukan suatu hukum yang ada. Sehingga timbul masyarakat yang memiliki beragam pendapat di dalam pembagian harta waris menurut hukum waris Islam. Yang mana ada yang menggunakan hukum waris Islam tersebut ada pula yang tidak menggunakan hukum waris Islam tersebut malah menggunakan hukum lain, yang di rasa nyaman dan menimbulkan rasa keadilan. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik mengadakan penelitian tentang “PELAKSANAAN PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT HUKUM ISLAM DALAM PERSEPSI MASYARAKAT DESA PASIRSARI”
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana persepsi masyarakat Desa Pasirsari Kec. Pekalongan Barat Kota Pekalongan tentang pembagian harta waris menurut hukum kewarisan Islam ? 2. Apakah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi dan pelaksanaan hukum waris di masyarakat Desa Pasirsari ?
C. Tujuan Dan Kegunaan 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui cara pelaksanaan kewarisan di Desa Pasirsari. b. Mengetahui pandangan atau persepsi masyarakat Desa Pasirsari tentang pembagian harta waris menurut hukum kewarisan Islam. 2. Kegunaan a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai khasanah keilmuan bagi masyarakat, khususnya masyarakat Pasirsari Kec. Pekalongan Barat Kota Pekalongan yang berkaitan dengan masalah kewarisan menurut hukum Islam. b. Hasil penelitian ini dapat berguna untuk pengembangan ilmu kewarisan, khususnya yang terkait dengan permasalahan pembagian harta waris.
5
D. Penegasan Istilah Pembagian
: Membagi sesuatu pada dua bagian yang lain yang saling seimbang atau saling berbeda satu dengan yang lain.
Harta Waris
: Harta peninggalan orang yang telah mati yang secara hukum syara‟ telah berhak dan sah beralih kepada ahli warisnya.2
Hukum Islam
: Peraturan yang dirumuskan berdasar wahyu Allah dan Sunnah Rosul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam.3
Persepsi
: Tanggapan atau pandangan langsung terhadap sesuatu serapan (permasalahan).4
Masyarakat
: Sejumlah manusia di arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.5
Desa Pasirsari
: Desa yang terletak di daerah Kota Pekalongan, Kecamatan Pekalongan Barat, dengan berbatasan dengan Desa Tegaldowo sebelu utara, Desa Tirto sebelah selatan, Desa Karang Jompo sebelah barat, dan Desa Kramatsari sebelah timur.
2
Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta : Prenada Media, 2003), hlm. 153 Zainudin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm. 3 4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), hlm. 675 5 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), Cet. Ke III Edisi III, hlm. 721 3
6
E. Telaah Pustaka Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA di dalam bukunya “Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurispudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Di dalam buku ini berisi tentang problematikaproblematika hukum keluarga Islam. Dimana terdapat pula problematika hukum waris. Di dalam buku ini dikemukakan adanya sebuah problem dalam pembagian harta waris. Yaitu pembagian harta waris dilakukan secara kekeluargaan, dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Dimana pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu sah, dengan ketentuan memenuhi syarat-syaratnya, yaitu adanya kecakapan bertindak secara hukum yang didasarkan atas kerelaan penuh dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembagian warisan. Akan tetapi jika adanya pemaksaan dan salah satu ahli waris tidak rela, maka pembagian itu tidak sah dan harus diulang kembali. 6 Iqbal Abdurrauf Saimima di dalam bukunya yang berjudul “Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam” berisi tentang masalah-masalah tentang ajaran Islam. Salah satunya adalah masalah tentang kewarisan Islam yang ketentuannya sudah jelas di Al-Qur‟an tetapi banyak yang meninggalkan ketentuan tersebut. Dalam pembagian harta warisan, Al-Qur‟an, Surat An-Nisa‟, ayat 11, dengan jelas telah menyatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih 6
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurispudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hlm. 334
7
besar daripada hak anak perempuan. Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal itu diketahui setelah terjun ke masyarakat. Dimana pada waktu itu ada laporan dari banyak hakim agama di berbagai daerah termasuk daerah-daerah yang terkenal Islamnya kuat seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. tentang banyaknya tindakan penyimpangan dari ketentuan Qur‟ani tersebut. Para Hakim agama seringkali menyaksikan, apabila seorang keluarga muslim meninggal, dan atas permintaan ahli warisnya Pengadilan Agama memberikan fatwa waris sesuai dengan hukum waris Islam atau Faraidh, maka kerap kali terjadi bahwa para ahli waris tidak melaksanakan fatwa waris tersebut, dan pergi ke Pengadilan Negeri untuk meminta agar diberlakukan sistem pembagian yang lain, yang terang tidak sesuai dengan Faraidh. Suatu hal yang perlu secara khusus dicatat disini ialah bahwa yang enggan melaksanakan fatwa waris dari Pengadilan Agama dan kemudian pergi ke Pengadilan Negeri itu tidak hanya orang-orang awam, melainkan juga banyak tokoh-tokoh organisasi Islam yang cukup menguasai ilmu-ilmu keislaman. Sementara itu telah membudaya pula penyimpangan tidak langsung dari ketentuan Qur‟ani tersebut. Banyak kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan pre-emptive. Semasa masih hidup mereka telah membagikan sebagian besar dari kekayaan mereka kepada anak-anak mereka, masing-masing mendapat bagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelamin sebagai hibah, atau semasa hidup mereka membikin banyak apa yang
8
di Kalimantan Selatan lebih terkenal dengan nama wasiat wajib. Dengan demikian, pada waktu mereka meninggal, maka kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, atau bahkan hampir habis sama sekali. 7 Dalam Buku yang berjudul Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Trasnformatif karya A Sukris Sarmadi. Di dalamnya terdapat berbagai persoalan tentang ketidakadilan penerapan hukum waris Islam di dalam masyarakat Islam sendiri. Karena adanya hukum adat yang sudah mengakar sejak nenek moyang dulu. Polemik hukum waris Islam yang mungkin juga agak mengelitik adalah persoalan mengenai persentuhannya dengan hukum adat. Munculnya teori receptio in complexu, teori Receptie, dan receptio a contratio- suatu konflik keberadaan hukum waris Islam ketika bersentuhan dengan hukum kewarisan adapt di Indonesia. Memahami hukum kewarisan adat di Indonesia, setidaknya ada tiga system yang berlaku, yakni kewarisan Individual, bercirikan adanya pembagian harta kepada orang-orang yang berhak baik dalam
system
pembagian
patrilinial,
matrilineal
ataupun
bilateral.
Konsekeunsinya ketika hukum waris Islam diterapkan akan berakibat sejumlah orang menjadi tertutup kemungkinan untuk memperoleh hak waris atau sejumlah keuntungan pembagian menjadi berkurang. Bagi masyarakat tertentu lainnya, kewarisan berdasarkan sitem kolektif yang berciran harta yang tak dibagi-bagi diantara sekumpulan ahli waris kecuali untuk dimanfaatkan secara produktif terutama terhadap mereka yang lebih 7
Iqbal Abdurrauf Saimima, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 2-3
9
memerlukannya. Konsekuensinya, sikap kekerabatan di antara mereka sejak lama telah terpupik dan bisa jadi, ketika hukum Islam diterpkan, mereka sebagai pemeluk agama Islam akan melaksanakannya dengan membuka kemungkinan perdamaian pembagian harta warisan, jikan ini yang mereka sepakati, situasi tertentu seperti harta waris yang dianggap sedikit atau dianggap kurang produktif adalah situasi yang akan mendukung terjadinya perdamaian pembagian (Ishlah). Sedangkan system kewarisan mayorat yang bercirikan anak tertualah yang akan menguasai seluruhharta pewaris. Konsekuensinya, hak mereka akibatnya dikurangkan. Di sini, bagi orang tua tertentu sebelum meninggalnya ada kemungkinan menghibahkan sebagian hartanya kepada anak tertua di mana unsur kekerabatan amat dekat anak tertua yang sejak lama didukung oleh kebiasaan hukum adat sebelum hukum Islam diterapkan. Hal ini sebenarnya bisa pula terjadi bagi masyarakat yang sebelum menerapkan system kewarisan individual patrilinial, matrilinia, ataupun bilateral karena pada dasarnya hukum waris Islam walaupun belakangan secara teoritis disebut dengan system kewarisan individual bilateral, tetap merupakan system baru yang berada dengan system kewarisan individual bilateral dalam kewarisan adapt mereka substansi tujuan keadilan tetap berbeda. Memperhatikan demikian, hibah dapat saja dijakan cara alternative untuk memenuhi rasa keadilan bagi orang-orangtertentu, atau cara pemberian bentuk lainnya tanpa syarat-syarat hibah menurut aturan Islam. Bagaimanapun, pola keadilan tersebut selalu akan ditolak oleh kelompok tradisional Islam. Di sini hukum Islam telah sempurna dan tidak
10
pernah akan berkompromi terhadap segala kesepakatan ahli waris lewat jalur Ishlah ataupun penghibahan untuk niat pelebihan bagi ahli waris tertentu sepeninggalnya. 8 Prof. Dr. H. Zainudin Ali, M.A. dalam bukunya yang berjudul “Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia”. Di dalamnya terdapat penelitian di Kabupaten Donggala yang membahas masalah persesuaian antara hukum kewarisan Islam dengan hukum kewaris adat yang ada di Kabupaten Donggala. Penelitian hukum kewarisan di Kabupaten Donggala bila diamati kesadaran hukum masyarakat muslim yang mendiami wilayah tersebut, tampak karakteristik yang berbeda dari daerah lainnya di Indonesia dan juga berbeda dari negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Perbedaan itu terjadi sebagai akibat dari perbedaan budaya hukum yang berlaku pada suatu daerah tertentu dengan daerah lainnya. Perbedaan budaya hukum tersebut, maka analisis pelaksanaan hukum kewarisan Islam di Kabupaten Donggala penulis menggunakan persesuaian antara hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat, pengetahuan dan pemahaman hukum masyarakat muslim di Kabupaten Donggala mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari ajaran Islam, sikap hukum bagi masyarakat muslim terhadap hukum kewarisan Islam, pola perilaku hukum kewarisan Islam, dan kesadaran hukum
8
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Trasnformatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 6-9
11
kewarisan Islam bagi masyarakat muslim yang mendiami Kabupaten Donggala. Indikator kesadaran hukum kewarisan Islam memerlukan acuan yang bervariasi yang pada garis besarnya meliputi 4 (empat) hal pokok sebagai berikut. 1. Seberapa jauh hubungan timbal balik antara hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala? 2. Seberapa jauh pengetahuan dan pemahaman masyarakat muslim di Kabupaten Donggala mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari ajarannya? 3. Bagaimanakah sikap hukum kewarisan masyarakat muslim di Kabupaten Donggala yang menjadi pilihan hukum dalam melakukan pembagian harta warisannya? 4. Bagaimanakah pola perilaku hukum kewarisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim di Kabupaten Donggala yang menjadi kesadaran hukumnya bila mempunyai kasus kewarisan? 9 Buku yang berjudul “Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi” karya Dr. H. M. Atho Mudzhar. Buku ini berisi mengenai ijtihadijtihad terhadap suatu hukum yang ada di masyarakat. Dari mulai ijtihad Umar bin al-Khattab dan pengaruhnya terhadap perkembangan tasyari pada masa-masa sesudahnya, fiqh dan reaktualisasi dalam Islam, serta berbagai
9
Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm. 146-147
12
fatwa MUI dan ijtihad para ulama dan tokoh Islam. Termasuk di dalamnya ijtihad dalam hukum pembagian harta waris. Dalam buku ini ijtihad waris yang dikemukakan oleh Munawir Sajdzali yang intinya memberikan bagian yang sama terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Spontan banyak ulama menentangnya, karena dianggap bertentangan dengan ayat Al-Qur‟an yang secara eksplisit telah mengatur hal itu. Akan tetapi argumentasi dari Munawir Sajdzali lebih kuat, dia menganggap bahwa sistem kekerabatan di Indonesia itu dominan sistem matrilinial, terlihat di daerah Sumatera Barat. Sebagai akibatnya banyak hak dan tanggung jawab juga berada pada kaum wanita. Dalam masyarakat modern yang cenderung memberikan kesempatan seimbang kepada laki-laki dan wanita, maka wajar saja kalau aspirasinya mengenai hak dan kewajiban juga seimbang. Dalam hal ini termasuk dalam hal warisan. Dari sinilah tampak bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia dimungkinkan untuk memberikan bagian yang sama untuk ahli waris laki-laki dan wanita asalkan para ahli waris itu sepakat demikian. Dan ini rupanya cara ulama Indonesia melakukan kompromi hukum dengan budaya lokal. Dengan kata lain para ulama berijtihad dalam masalah pembagian hukum waris ini. 10
F. Kerangka Teori Hukum itu dibuat tidaklah sekedar untuk memenuhi kebutuhan struktur kenegaraan, melainkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat suatu negara. 10
Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Lberasi, (Jakarta : Rajawali Press, 1999), hlm. 162-163
13
Dengan demikian maka sesungguhnya kehadiran hukum itu tidak terlepas dari masyarakatnya. Hukum itu ada untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, dan kultural masyarakat. Kehadiran hukum itu diharapkan memerankan beberapa fungsi yang diembannya. Terdapat dua fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum di dalam masyarakat, yaitu pertama sebagai sarana kontrol sosial dan kedua sebagai sarana untuk melakukan perubahan sosial. Sebagai sarana kontrol sosial maka hukum bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya. Di dalam peranannya yang demikian ini hukum hanya mempertahankan saja apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima di dalam masyarakat. Tetapi di luar itu hukum masih dapat menjalankan fungsi yang lain, yaitu dengan tujuan untuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat. 11 Masalah yang timbul kemudian berkaitan dengan bekerjanya hukum itu adalah pertanyaan mengenai apakah hukum yang dijalankan di dalam masyarakat itu benar-benar mencerminkan gambaran hukum yang terdapat di dalam peraturan hukum dan fungsi hukum tersebut. Dengan kata lain apakah hukum itu bisa efektif di dalam masyarakat tersebut. 12 Untuk membuat efektifitas hukum kiranya perlu tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Yaitu dengan menanamkan rasa kesadaran terhadap suatu hukum tersebut. Kesadaran hukum merupakan suatu penilaian terhadap apa yang dianggap sebagai hukum yang baik dan hukum yang tidak baik. 11
Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang : UMM Press, 2009), hlm. 24-25 12 Ibid, hlm. 33
14
Penilaian terhadap hukum tersebut di dasarkan pada tujuannya, yaitu apakah hukum tadi adil atau tidak, oleh karena keadilanlah yang diharapkan oleh warga masyarakat. Sudah tentu, bahwa penilaian tentang adil tidaknya suatu hukum senantiasi tergantung pada taraf persesuaian antara rasa keadilan pembentuk hukum dan rasa keadilan warga masyarakat yang kepentingankepentingannya diatur oleh hukum tadi, secara logis maka prosesnya adalah, bahwa seseorang harus memahami hukum tersebut, sebelum dia mempunyai kesadaran hukum. 13 Taraf kesadaran hukum suatu masyarakat bisa tercapai bilamana didasarkan pada faktor-faktor sebagai berikut : 1. Adanya pengetahuan tentang hukum Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu, hukum yang dimaksud di dini adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang atau pun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. 2. Adanya pemahaman hukum Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak
13
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1981) hlm. 211
15
tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.
3. Adanya sikap hukum Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. 4. Adanya pola perilaku hukum Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat. 14 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila indikator-inkator dari kesadaran hukum dipenuhi, maka derajat kesadaran hukumnya tinggi, begitu pula sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum warga masyarakat mengakibatkan para warga masyarakat mentaati dan mematuhi ketentuanketentuan hukum yang berlaku, begitu pula sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukumnya rendah, maka derajat kepatuhan terhadap hukum juga rendah. 15 Jadi kepatuhan seseorang terhadap hukum itu berkaitan dengan tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum suatu masyarakat. Kepatuhan masyarakat 14 15
Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, hlm. 35-36 Ibid, hlm. 37
16
terhadap hukum bisa pula dipengaruhi oleh masyarakat-masyarakat yang kompleks yang mempunyai bermacam-macam hukum, maka akan dijumpai keanekaan pula dalam derajat kepatuhan terhadap hukum-hukum tersebut. 16 Ada beberapa derajat penyebab mengapa warga masyarakat patuh pada hukum yaitu sebagai berikut : 1. Karena hukum tersebut dianggap sebagai patokan yang benar. 2. Karena hukum tersebut dianggap adil. 3. Karena memang demikian kebiasaannya. 4. Karena orang lain menganggapnya demikian. 5. Karena pembentuk hukum dianggap mempunyai alasan yang benar. 6. Karena hukum mempunyai tujuan-tujuan tertentu. 7. Karena hukum diperlukan melalui prosedur yang benar-benar demokratis. 8. Karena warga masyarakat bersikap acuh tak acuh. Dengan demikian apabila warga masyarakat menerima sistem hukum tersebut, maka sistem tadi akan menghasilkan tata tertib dalam pergaulan hidup. Kiranya telah jelas, betapa eratnya hubungan antara kepatuhan hukum dengan masalah kesadaran hukum. 17
F. Metode Penelitian 1) Jenis Penelitian
16
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1981), hlm. 352 17 Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, hlm. 365
17
Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), dengan jenis penelitian studi kasus yang terjadi di Desa Pasirsari, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan. Penelitian ini merupakan penelitian sosiologis empiris yaitu penelitian yang menggunakan teori-teori sosiologi hukum di dalam menganalisis berbagai persepsi dan praktek hukum waris Islam yang ada di Desa Pasirsari.18 Penelitian ini dilakukan karena dirasa belum ada yang meneliti, juga adanya fenomena yang menarik di dalam penelitian ini. Yang penelitian ini dilakukan di Desa Pasirsari, Kec. Pekalongan Barat, Kota Pekalongan. Dimana Desa tersebut desa perbatasan dengan Kabupaten Pekalongan. 2) Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif, yaitu pendekatan yang dimaksudkan agar dapat diketahui dan ditemukan makna yang lebih mendalam dan rinci mengenai akar permasalahan yang terjadi, yakni persepsi-persepsi masyarakat yang berkaitan dengan Kewarisan Islam di masyarakat yang terjadi di Desa Pasirsari, Kec. Pekalongan Barat, Kota Pekalongan. 3) Sumber Data Penelitian a. Sumber Data Primer Yaitu sumber data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data
18
Hupemus Sutopo, Metode-Metode Penelitian, (Jakarta : Tinta Mas, 1998), hal. 14
18
langsung pada subjek sebagai sumber yang dicari. Data-data tersebut diteliti oleh penulis langsung di lapangan, yakni berupa informasiinformasi mengenai kewarisan Islam dari berbagai persepsi-persepsi masyarakat yang ada di Desa Pasirsari. 19 b. Sumber Data Sekunder Yaitu sumber data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh penulis dari subjek penelitiannya. Data sekunder disebut juga data pendukung yang diperoleh melalui bukubuku tentang apa yang sedang diteliti oleh penulis yaitu mengenai Waris, antara lain Hukum Waris, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dan lain sebagainya. 20 4) Teknik Pengumpulan Data Penelitian a. Riset Kepustakaan (library research), yaitu suatu penyelidikan dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. b. Riset Lapangan (field research) yaitu suatu penyelidikan yang berdasarkan objek lapangan, daerah atau lokasi tertentu, guna mendapatkan data-data yang nyata dan benar. Riset lapangan ini penulis lakukan di Desa Pasirsari Kota Pekalongan dengan menggunakan metode sebagai berikut : a. Observasi
19 20
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hal. 91 Ibid, hal. 91
19
Yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan pengamatan dan dicatat yang sistematis tentang fenomena-fenomena yang diselidiki. Yaitu dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk mencari informasi-informasi mengenai apa yang akan diteliti. Disini penulis akan mencari informasiinformasi yang akan di wawancari untuk di minta pendapat dari mereka tentang bagaimana penerapan hukum kewarisan Islam di dalamnya. 21 b. Interview (wawancara) Yaitu pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan secara lisa antara penulis dengan responden.
22
Adapun
pihak yang diwawancarai adalah Ahli Waris di Pekalongan khususnya di Desa Pasirsari. Metode ini dipakai untuk memperoleh persepsi-persepsi masyarakat di Desa Pasirsari tentang hukum kewarisan Islam. 5) Analisa Data Penelitian Metode analisis data yaitu suatu metode untuk menganalisis data setelah semua data terkumpul. Perolehan data yang akan dianalisis yaitu suatu cara penelitian yang menggunakan pengamatan dan wawancara, yakni mengamati dan mewawancarai ahli waris yang ada di Desa Pasirsari mengenai kewarisan Islam yang ada di Desa Pasirsari, yang nantinya akan
21
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitia, Satuan Pendekatan Praktis, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1998), hal. 128 22 Hupemus Sutopo, Metode-Metode Penelitian, hal. 22
20
dianalisis dari data yang ada dengan berbagai teori-teori sosiologi hukum.23
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, agar tujuan pembahasan penelitian ini tersusun dengan sistematis, maka perlu dikemukakan sistematikanya sebagai berikut : Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi tentang hal-hal yang mengatur bentuk dan isi penelitian, meliputi latar belakang masalah yang diteliti, kedua pokok masalah, merupakan penegasan yang terkandung dalam latar belakang masalah, ketiga, tujuan dan kegunaan penelitian, keempat telaah pustaka, berisi penelusuran terhadap literature yang berkaitan dengan objek penelitian, kelima kerangka teoritik, keenam, metode penelitian, ketujuh, sistematika pembahasan. Bab kedua, tinjauan umum hukum kewarisan Islam yang meliputi pengertian kewarisan, dasar hukum kewarisan, unsur-unsur kewarisan, sebab terjadinya waris, penghalang kewarisan serta tata cara pembagian harta waris. Bab ketiga, menjelaskan mengenai gambaran umum Desa Pasirsari, praktek kewarisan yang ada di Desa Pasirsari dan persepsi-persepsi masyarakat di Desa Pasirsari tentang pembagian harta waris menurut hukum kewarisan Islam.
23
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 9
21
Bab keempat, berisi mengenai analisis terhadap persepsi-persepsi masyarakat di Desa Pasirsari tentang pembagian harta waris menurut hukum kewarisan Islam. Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran serta dilengkapi dengan daftar pustaka. BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM
A. Pengertian Kewarisan Istilah kewarisan berasal dari bahasa Arab al-irts yang secara leksikal berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain.
24
Kata al irts
merupakan bentuk masdar dari kata waratsa, yaritsu, irts. Masdar yang lain menurut ilmu sharaf masih ada beberapa bentuk, yaitu wirts, wiratsan, mirats.25 Secara bahasa, kata waratsa memiliki beberapa arti: Pertama, “mengganti”. Ini dapat dilihat dalam QS. An Naml, 27:16 sebagai berikut :
...... Artinya : Sulaiman menggantikan kenabian Daud …. 26
Maksud dari ayat tersebut adalah Nabi Sulaiman menggantikan kenabian serta mewarisi ilmu pengetahuannya.
24
Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jam al-alfaz wa al-A’lam Al-Qur’aniyah, (Kairo : Dar al Fikr al-Arabiy, 1968), hlm. 570 25 Ahmad Kuzari, Sistem Asabah (Dasar Perpindahan Harta Milik Atas Harta Peninggalan), (Rajawali Pers, Jakarta, 1996), hlm. 1 26 Al-Qur‟an dan Terjemahanya, Depag RI (Semarang : Toha Putra, 1998), hlm. 351
22
Kedua, “memberi”. Ini dapat dilihat dalam QS. Az Zumar, 39:74 sebagai berikut :
...... .....
Artinya : … Dan telah (memberi) kepada kamu tempat ini, sedang kamu (diperkenankan) menempati tempat di surga dimana saja kamu kehendaki… 27
Dan ketiga adalah “mewarisi”. Ini dapat dilihat dalam QS. Maryam, 19:6 sebagai berikut : 28
.......
Artinya : Yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub … 29
Berangkat dari makna dasar ini, maka dari segi makna yang lebih luas, kata al irts mengandung arti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada seseorang, atau perpindahan sesuatu dari suatu kaum kepada kaum lainnya, baik berupa harta, ilmu, atau kemuliaan. 30 Sedangkan pengertian secara istilah, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.31
Dalam
redaksi
27
yang
lain,
Hasby
Ash-Shiddiqy
Ibid, hlm. 551 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Rajawali Pers, Jakarta, 1998), hlm. 355 29 Al-Qur‟an dan Terjemahanya, hlm. 351 30 Muhammad Ali Al-Shabuni, Al Mawarist fi Syari’ah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh A.M. Basalamah dengan judul Pembagian Waris Menurut Islam, (Gema Insani Press, Jakarta, 2001), hlm. 33 31 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 108 28
23
mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiaannya.
32
Berbeda dengan definisi di atas, Wirjono
Projodikoro menjelaskan warisan adalah soal apa bagaimana berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup. 33 Hukum kewarisan sering dikenal pula dengan istilah faraid, bentuk jamak dari kata tunggal faridah yang artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al-Qur‟an.
34
Menurut sejarah penggunaan kata faraid lebih dahulu
daripada mawaris. Rasulullah SAW, menggunakan kata faraid dan tidak menggunakan kata mawarits. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas‟ud, disebutkan demikian.
ىت َ َ لَّ ُم ُْ ى ْلمُ ْس َنى:س لَّ َمى َ س ُْ ُاىهللاِى َ َى ُ ىز َ ًِ ْٕ َص لَّّىهللاُى َل َ ىلَ ـ َا,َْهى َ ِّى َ ْ ُ ُْ ٍىلَ ـ َىا ى(زَ يى حم د)ى...ىَ َ ِلّ ُم ُْ ٌَ ـى َ ىَت َ َ لَّ ُم ُْ ى ْلفَ َس ِئ َ ض َ ـس َ ََّ َ ِلّ ُم ُْيُى لى Dari Ibnu Mas‟ud dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “ Pelajari AlQur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang. Pelajari pula faraid dan ajarkanlahkepada orang-orang…” (HR. Ahmad) 35
Mawarits bersinonim dengan faraid, tetapi mempunyai spesifikasinya masing-masing, paling tidak dari segi sejarah dan perkembangannya sebagai cabang suatu ilmu. 36 32
T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Fiqih Mawaris, (Bulan Bintang, Jakarta, 1973), hlm. 18 Wirjono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1983), hlm. 13 34 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hlm. 356 35 Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali Muhammad, Nailul Author, (Beirut : Dar-el-jail, 1987), hlm. 168 33
24
Asy-Syarbini menulis definisi al-faraid sebagi berikut :
ىَ َ ْ ِسفَةُى َّ َُ بى لَ ُم ُ َّ ْل ِف ْمًُى ْل ُم َ ِل َ َص ِلى ِلَّى َ ْ ِسفَ ِةىذَ ِلك َ كى ِ ـ ِالزث ِ ِىَ َ ْ ِسفَ ةُى ْل ِح َ ـ كى ِ ُْ لَ د َْزى لَ ُُ ُج ٍ ّ ِْى َح ْ بى ِ َهى ل ِت ّ ْس َك ِةى ِل ُك ِ ّلىذ “Ilmu fiqih yang berkaitan dengan harta tinggalan, pengetahuan matematika yang dapat menyelesaikan pembayarannya, dan pengetahuan tentang ketentuan yang semestinya mengenai harta tinggalan itu untuk masing-masing siapa yang berhak.”37
Adapun T.M Hasby Ash-Shidiqy menulis definisi ilmu mawarits sebagai berikut :
ُ ثىَ َ ْهىالََٔ ِس ٍىَ َك ْٕ ِف َٕةٍى لت َّ ُْ ِش ْٔ ِعى َ ىَ ِزث َ ىَ ِ ْم د َُزى ُك ِ ّل َ ث َ فى ِ ًِى َ ْهىَٔ ِس ُ ِ ْل ُمىَٔ ْ ِس “ Ilmu yang dengannya dapat diketahui tentang yang berhak dan yang tidak berhak untuk mendapatkan warisan, serta ketentuan yang berlaku bagi tiaptiap ahli warisan dan penyelesaian pembagiannya.” 38
Dari kedua definisi yang dikemukakan tampak ada perbedaan dalam perkembangan apa yang dibahas, yaitu segi subjek ahli waris yang lebih mendapat perhatian dengan tambahan pembahasan tentang cara penyelesaian pembagian.
B. Sumber dan Dasar Hukum Kewarisan Islam 1. Dasar Hukum dari Al-Qur‟an a) QS. An-Nisa‟ 4:7
36
Ahmad Kuzari, Sistem Asabah (Dasar Perpindahan Harta Milik Atas Harta Peninggalan), hlm. 2 37 Muh. Syarbini al-Khattib, Mugni al-Muhtaj, juz ke-3, (Kairo : Mustofa al-Baby alHalaby, 1958), hlm. 3 38 T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Fiqih Mawaris, hlm. 18
25
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan”. 39 b) QS. An-Nisa‟ 4:11-12
39
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Depag RI, hlm. 62
26
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. 27
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteriisterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benarbenar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”. 40
c) QS. An-Nisa‟ 4:176
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang 40
Ibid., hlm. 62-63
28
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang lakilaki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudarasaudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara lakilaki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.41 d) QS. An-Nisa‟ 4:13-14
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungaisungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar”. “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. 42
2. Dasar Hukum dari As-Sunnah
41 42
Ibid, hlm. 84 Ibid, hlm. 63
29
Hadist Nabi Muhammad SAW yang secara langsung mengatur tentang kewarisan adalah sebagai berikut :
ضى ِأ َ ٌْ ِل ٍَ ـىفَ َم ـى َ لح مُ ُْ ى ْلفَ َس ِئ ِ َ ى:ىل ـاىزسُاىهللاىملسو هيلع هللا ىلصى:هى هى ب ـسىل ـاى ّىز ُج ٍلىذَك ٍَسى(زَ يى تفكى لًٕ)ى َ ََ ِم َٓىفَ ِِلَ َْل
Dari sahabat Ibnu Abbas berkata: Nabi SAW bersabda “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kerabatnya).” 43
ُ ىالََٔ ِس:ىلـاىزسُاىهللاىملسو هيلع هللا ىلصى:هىأسـ ةى هىشٔدىلـاى ىَالَى َ ثى ْل ُم ْ ِل ُمى ْل َك ـفِ َس ُ َٔ ِس ثى ْل َك ـ ِف ُسى ْل ُم ْ ِل َمى( تفكى لًٕ)ى Dari Usamah Ibnu Zaid berkata, Nabi SAW bersabda “ Tiadalah seorang muslim menerima pusaka dari orang kafir, dan tiada pula orang kafir menerima pusaka dari orang muslim.” 44
سلَّ ْمى َ س ُْ َاىهللاى َ َى ُ ّىز َ ًِ ْٕ َصلَّّىهللاى َل َ ِى َج ـ َءو:هىس دى هىأ ّىَل ـصىل ـاى ى ِ ِوّّىلَدْى َلَ َغى ِّى,ِهللا س ُْ َاى ى ُ ـز َ ِفّى َح َّ ِةى ْل َُ َ ِءى ِ ْه َ َٔ ىَجْ ٍى ِ ْ ت َ َّس ِّىفَمُ ْل ُ ى قى ِخ ُ لُ خ َ ْٓى َ َ ىَالَىت َ ِسحُىِ ّْى ِالَّى ْىَ ةُىأَفَ ـىت ُ ص َّد َ ِىَ َوَ ـىذُ َْى َ ـ ٍا َ ِ َهى ْل َُجْ ِى َ ـىت َ َس ُ ُس ُْ َاىهللاِى؟ىلَـ َاىالَىفَمُ ْل ُ ىفَ ـلخُّل جى؟ى َّ ىفَمُ ْل ُ ىفَ ـل,َى ىال:َ ـ ِلّى؟ىلَ ـ َاى ُ ـىز َ َٔش ْط ُسى ىَ َزحَت َكَ ى َ ْغىَِٕـ َءى َخ ْٕ ٌسى ِ ْهىأ َ ْنىتَرَ َز ٌُ ْمى َ ى لخُّلُجِى َك خِ ْٕ ٌسى َ َْ َك ِب ْٕ ٌسى ِوَّكَ ىأ َ ْنىتَرَ َز,لَ ـ َىا ـسى( تفكى لًٕ)ى َ ََّ ـلَةًىَٔت َ َكفَّفُ ُْ َنى لى Dari Saad Ibnu Abi Waqash berkata: “ Rasulullah SAW datang menjengukku pada tahun haji wada’ di waktu aku menderita penyakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau, “ Wahai Rasulullah, aku sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu? Aku ini orang berada, sementara tidak ada orang yang akan mewarisi aku kecuali seorang anak perempuan, apakah aku sedekah (warisan) kan dua pertiga hartaku? Jangan, jawab Rasulullah. Sepertiga? Tanya Sa’ad, Rasul menjawab, sepertiga, sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan adalah lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang memintaminta kepada oaring banyak.” 45 43
Al-Bukhori, Shahih al-Bukhori, Juz IV, (Kairo : Daar wa Mathba‟ al-Sya‟biy), hlm. 181 atau lihat Muslim dalam al-Nawawi, Syarhu Shahih Muslim, (Kairo : al-Mathba‟ alMishriyah), hlm. 53 44 Al-Bukhori, Shahih al-Bukhori, Juz IV, hlm. 94, Al Nawawi, Syarhu Shahih Muslim,, hlm. 52 45 Al-Bukhori, Shahih al-Bukhori, Juz IV, hlm. 178
30
3. Dasar Hukum dari Ijma‟ Ijma‟ yaitu kesepakatan para ulama atau sahabat sepeninggalan Rasulullah SAW, tentang ketentuan warisan yang terdapat dalam AlQur‟an maupun sunnah. Karena telah disepakati oleh para sahabat dan ulama, ia dapat dijadikan referensi hukum.
46
Sebagai contoh adalah
kesepakatan jumhur „ulama tentang perbedaan agama menjadi sebab tidak mendapatkan hak waris, yakni seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim apapun agamanya. 4.
Dasar Hukum dari Ijtihad Ijtihad
yaitu
pemikiran
para
sahabat
atau
ulama
dalam
menyelesaikan kasus-kasus pembagian warisan yang belum atau tidak disepakati. Misalnya terhadap masalah raad atau „aul, di dalamnya terdapat perbedaan pendapat sejalan dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabi‟in, atau ulama.
47
C. Rukun dan Syarat Kewarisan 1. Rukun Kewarisan Rukun waris ada tiga, yaitu : a. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
46 47
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hlm. 381-382 Ibid, hlm. 382
31
b. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan. c. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya. 48 Keberadaan tentang pewaris, shli waris, dan harta warisan oleh para ulama Faradiyun dianggap sebagai lingkaran kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi atas yang fundamenl (rukun) terjadinya kewarisan. 49 2. Syarat Kewarisan Syarat-syarat kewarisan ada tiga, yaitu : a. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukmi (misalnya dianggap telah meninggal). b. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia. c. Seluuh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah dan bagian masing-masing. 50
D. Sebab Terjadinya Waris 1. Sebab-sebab Adanya Hak Waris Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan waris, yaitu :
48
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist fi Syari’ah al-Islamiyah, hlm. 39 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah III, (Beirut : Dar al-Fikri, 1983 M/ 1403 H), hlm. 427 50 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist fi Syari’ah al-Islamiyah, hlm. 39-40 49
32
a. Kekerabatan hakiki (yang ad ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak saudara, paman, dan sebagainya. Firman Allah SWT : 51
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan”. (QS. An Nisa‟ : 7) 52
b. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar‟i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang bathil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris. Firman Allah dalam Qur‟an Surat An-Nisa‟, 4:12
51 52
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist fi Syari’ah al-Islamiyah, hlm. 39 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 61
33
.....
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteriisterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu”. 53 c. Al-Wala, adalah hubungan kewarisan karena seorang kemerdekakan hamba sahaya. Bagi laki-laki disebut Mu’tiq dan bagi perempuan disebut Mu’tiqoh.
54
Orang yang telah membebaskan budak berarti
telah mengembalikan kebebasan jati diri seseorang sebagai manusia, sehingga seseorang tersbut mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamkan Wala al-Itqi. 55 Sabda Rasulullah SAW : .
ى َ ْ تِ ِم ْٓىفَ ِـوَّ َمـى:هى ـئشةىزضٓىهللاى ىٍـىفم ـاىلٍـىزسُاىهللاىملسو هيلع هللا ىلصى ى( تفكى لًٕ)ى.ْل َُالَ ُءى ِل َم ْهى َ ْ تَكَى Dari Aisyah R.A. kemudian kepada perempuan itu Rasulullah SAW bersabda : “ merdekakanlah maka sesungguhnya hak walau itu untuk orang yang memerdekakan.” 56
E. Penghalang Waris Penghalang hak waris seseorang maksudnya adalah kondidi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga, yaitu: 57 53
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist fi Syari’ah al-Islamiyah, hlm. 63 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hlm. 402 55 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist fi Syari’ah al-Islamiyah, hlm. 39 56 Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali Muhammad, Nailul Author, hlm. 215 54
34
1. Budak Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuik mewarisi sekalipun dari saudaranya, sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak. Selain itu, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak dipandang sebagai orang yang tidak cukup melakukan perbuatan hukum. 58 Firman Allah
....
“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun”. (QS. An-Nahl, 16:75) 59 2. Pembunuh Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya) maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Rasulullah SAW, bersabda :
ىَ ِْنىلَ ْمىَٔك ُْهى َ ًُُهى هى ب ـسىل ـاىزسُاىهللاىملسو هيلع هللا ىلصى َ ْهىلَ ت َ َلىلَتِ ْٕ ًلىفَ ِـوًَُّىالََٔ ِسح َ ثى ُ ىَ ِز غ ْٕ ِس ِيى(زَ يى لبٍٕمّ)ى َ ًَُل 57
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist fi Syari’ah al-Islamiyah, hlm. 41-43 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hlm. 195 59 Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.cit, hlm. 220 58
35
Dari Ibnu Abbas R.A. Rasulullah SAW bersabda: “ Siapa membunuh seseorang mak ia tidak mewarisi orang itu sekalipun tidak punya ahli waris selainnya.” (H.R. Al-Baihaqy) 60
Sebagai contoh adalah dalam kasus ibu Qudamah, Khalifah Umar memutuskan perkara kewarisan harta tinggalan Ibnu Qudamah dimana ayahnya tidak diberi bagian sama sekali karena terbukti membunuh Ibnu Qudamah. Hak kewarisan terhadap peninggalan almarhum diberikan kepada saudaranya, meski dia mempunyai ayah yang semestinya adalah ahli waris yang paling dekat dengan menghijab saudaranya. Ayah tersebut tidak diberi hak karena telah membunuh Ibni Qudamah. 61 Menurut Imam Syafi‟i kriteria pembunuhan sebagai penghalang hak waris adalah mutlak untuk semua tindakan pembunuhan, baik yang disengaja maupun bukan, baik pembunuh itu mukallaf atau gila, dan sebagainya. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Ahmad Ibnu Hanbal berpendapat lain, yakni ada batasan tertentu dimana ada pembunuhan yang tidak mengakibatkan hilangnay hak menerima warisan. Di antaranya adalah pembunuhan yang dilakukan langsung, tapi dilakukan karena mempunyai hak untuk membunuh, pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak atau karena terdesak (tindakan reflek). 62 Kompilasi hukum Islam melalui pasal 173 menyebutkan bahwa hakim bisa memutuskan adanaya halangan menjadi ahli waris, antara lain sebagai berikut : 60
Ash-Syaukani, Nailul Author, hlm. 195 Fatchur Rohman, Ilmu Waris, (Al-Ma‟arif, Bandung, 1975), hlm. 81 62 Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam al-Tirkat wal-Mawaris, (Mesir : Dar al-Fikri alArabiy, 1963), hlm. 107 61
36
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang berat. 63
Bunyi dari ketentuan ini memang tidak terdapat dalam literature fiqih secara persis, akan tetapi ada yang mendekati ketentuan ini, yaitu pendapat dari Imam Malik. Beliau menyatakan bahwa pembunuhan yang terjadi mawani’ul irts harus ada didalamnya di antara dua unsur, yaitu bermaksud dengan sengaja (qosdu) dan permusuhan (udwan). Termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang bersedia menjadi saksi palsu (syahiduz zur). 64 3. Perbedaan Agama Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non-muslim, apapun agamanya. Hal ini telah ditegaskan oleh Rosulullah SAW dalam sabdanya :
ُ ىالََٔ ِس:ىلـاىزسُاىهللاىملسو هيلع هللا ىلصى:هىأسـ ةى هىشٔدىلـاى ىَالَى َ ثى ْل ُم ْ ِل ُمى ْل َك ـفِ ُس ُ َٔ ِس ثى ْل َك ـفِ ُسى ْل ُم ْ ِل َمى( تفكى لًٕ)ى Dari sahabat Usamah bin Zaid berkata, Rasulullah bersabda: “ Tiadalah seorang muslim menerima pusaka dari orang kafir dan tiada pula orang kafir menerima pusaka dari orang muslim.” 65 Jumhur ulama‟ berpendapat demikian, yakni termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Muadz bin Jabal r.a. yang menyatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi seorang kafir, tetapi tidak boleh
63
Cik Hasan Bisri dkk, KHI dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Logos, 1999), hlm. 196 64 Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam al-Tirkat wal-Mawaris, hlm. 111 65 Al Bukhori, Shahih al-Bukhori, hlm. 3
37
mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya‟lu walaa yu‟la „alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya). 66
F. Tata Cara Pembagian Harta Waris 1. Ahli waris dari golongan laki-laki Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada 15 (lima belas) : (1) anak laki-laki; (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki); (3) bapak; (4) kakek (dari pihak bapak); (5) saudara kandung laki-laki; (6) saudara laki-laki se-ayah; (7) saudara laki-laki seibu; (8) anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki; (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ibu; (10) paman (saudara kandung bapak); (11) paman (saudara paman se-ayah); (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah); (13) anak laki-laki paman se-ayah; (14) suami; (15) lakilaki yang memerdekakan budak. 67 2. Ahli waris dari golongan perempuan Adapun ahli waris dari kaum perempuan ada 10 (sepuluh), yaitu : (1) anak perempuan; (2) ibu; (3) cucu perempuan (dari keturunan laki-laki); (4) nenek (ibu dari ibu); (5) nenek (ibu dari bapak); (6) saudara kandung perempuan; (7) saudara perempuan se-ayah; (8) saudara perempuan seibu; (9) isteri; (10) perempuan yang memerdekakan budak. 68 3. Ahli waris dan bagian-bagian yang diperolehnya. a) Suami 66
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist fi Syari’ah al-Islamiyah, hlm. 43 Ibid, hl. 45 68 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist fi Syari’ah al-Islamiyah, hlm. 45 67
38
1) Mendapat ½ bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak dan cucu. 2) Mendapat ¼ bagian, apabila pewaris mempunyai anak dan cucu. 69 b) Istri 1) Mendapat ¼ bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak dan cucu. 2) Mendapat 1/8 bagian, apabila pewaris mempunyai anak dan cucu. 70 c) Anak Perempuan 1) Mendapat ½ bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak lakilaki. 2) Mendapat 2/3 bagian, apabila ada dua anak perempuan atau lebih, dengan ketentuan pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. 71 d) Cucu Perempuan dari keturunan anak laki-laki 1) Mendapat ½ bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak dan cucu laki-laki. 2) Mendapat 2/3 bagian, apabila ada dua cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki atau lebih, dengan ketentuan pewaris tidak mempunyai anak dan cucu laki-laki. 3) Mendapat 1/6 bagian, apabila ada cucu perempuan dari anak lakilaki seorang atau lebih, apabila pewaris meninggalkan (bersamasama) dengan seorang anak perempuan kandung. 72
69
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawaarits Fisy Syarii’ati Islaamiyyah, hlm. 46 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 89 71 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawaarits Fisy Syarii’ati Islaamiyyah, hlm. 50 70
39
e) Ibu 1) Mendapat 1/3 bagian, apabila pewaris tidak meninggalkan anak, cucu, dan saudara-saudari lebih dari seorang, sekandung atau seayah atau seibu saja. 2) Mendapat 1/6 bagian, apabila pewaris meninggalkan anak, cucu, dan saudara lebih dari seorang. 73 f) Ayah 1) Mendapat 1/6 bagian, apabila pewaris meninggalkan anak dan cucu. g) Kakek 1) Mendapat 1/6 bagian, apabila pewaris meninggalkan anak dan cucu, tetapi tidak meninggalkan ayah. h) Nenek 1) Mendapat 1/6 bagian, apabila pewaris tidak meninggalkan (tidak bersama-sama) dengan ibu. 74 i) Saudari Sekandung 1) Mendapat ½ bagian, apabila pewaris tidak meninggalkan anak lakilaki, cucu laki-laki, anak perempuan lebih dari seorang, cucu perempuan lebih dari seorang, bapak, kakek, dan saudara laki-laki sekandung.
72
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawaarits Fisy Syarii’ati Islaamiyyah, hlm. 57 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawaarits Fisy Syarii’ati Islaamiyyah, hlm. 57 74 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawaarits Fisy Syarii’ati Islaamiyyah, hlm. 57 73
40
2) Mendapat 2/3 bagian, apabila ada dua orang saudari sekandung atau lebih, dengan ketentuan apabila pewaris tidak meninggalkan anak, cucu, bapak, kakek, dan saudara laki-laki sekandung. 75 j) Saudari Seayah 1) Mendapat ½ bagian, apabila pewaris tidak meninggalkan anak lakilaki, cucu laki-laki, anak perempuan lebih dari seorang, cucu perempuan lebih dari seorang, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki seayah. 2) Mendapat 2/3 bagian, apabila ada dua orang saudari seayah atau lebih, dengan ketentuan apabila pewaris tidak meninggalkan anak, cucu, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, dan saudara seayah. 3) Mendapat 1/6 bagian, seorang saudari seayah atau lebih, dengan ketentuan apabila pewaris meninggalkan seorang saudara perempuan sekandung tidak lebih, dan tidak meninggalkan anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah. 76 k) Saudara seibu 1) Mendapat 1/3 bagian, seorang saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan, dua orang atau lebih, dengan ketentuan apabila pewaris tidak meninggalkan anak, cucu, bapak, dan kakek. 75
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawaarits Fisy Syarii’ati Islaamiyyah, hlm. 51 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, hlm. 87 76
41
2) Mendapat 1/6 bagian, seorang saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan, dengan ketentuan apabila pewaris tidak meninggalkan anak, cucu, bapak, dan kakek. 77
77
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, hlm. 87
42
BAB III PENDAPAT MASYARAKAT DESA PASIRSARI TENTANG PEMBAGIAN WARIS MENURUT HUKUM ISLAM
A. Gambaran Umum Desa Pasirsari 1. Letak Geografis Desa Desa Pasirsari merupakan salah satu dari dua belas desa yang ada di Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh. Dan berikut ini akan diuraikan secara rinci profil desa Pasirsari : a. Luas Desa Desa Pasirsari memiliki luas wilayah 492.576 Ha dengan 8 RW dan rincian sebagai berikut : 1) RW. I
: 22.930 Km2
2) RW. II
: 8.443 Km2
3) RW. III
: 46.430 Km2
4) RW. IV
: 76.920 Km2
5) RW. V
: 79.486 Km2
6) RW. VI
: 99.312 Km2
7) RW. VII
: 19.000 Km2
8) RW. VIII
: 84.42 Km2
43
b. Batas Desa Sebelah Utara
: Desa Tegaldowo Kab. Pekalongan
Sebelah Selatan
: Desa Tirto
Sebelah Barat
: Desa Karang Jompo Kab. Pekalongan
Sebelah Timur
: Desa Kramatsari
c. Struktur Wilayah Berdasarkan struktur wilayah desa Pasirsari terdiri atas 8 rukun warga (RW), dan 41 rukun tetangga (RT).
2. Monografi dan Demografi Desa a. Jumlah Penduduk Penduduk Desa Pasirsari yang berjumlah 8.250 jiwa di antaranya didominasi oleh kaum Laki-laki yaitu sebesar 4.177 jiwa dan yang perempuan sisanya sebesar 4.073 jiwa. Jumlah penduduk lakilaki dewasa sebesar 2.299 jiwa dan perempuan dewasa sebesar 2.401 jiwa. Adapun jumlah penduduk laki-laki anak-anak sebesar 1.878 jiwa dan perempuan anak-anak sebesar 1.672 jiwa. Penduduk Pasirsari kebanyakan yang tidak lulus SLTP hanya sampai ke jenjang Sekolah Dasar, sehingga membuat SDM penduduk Desa Pasirsari sangatlah kurang. Terbukti ada 1.740 jiwa penduduk Pasirsari hanya lulusan SD, dan hanya ada 54 Jiwa yang lulusan dari bangku perkuliahan, itu pun yang S1 hanya 34 orang saja, sisanya D1, D2 dan D3.
44
b. Mata Pencaharian Penduduk Dilihat dari jenis mata pencaharian mereka, mayoritas penduduk desa Pasirsari adalah buruh yang mana ada 3.031 buruh di Desa Pasirsari, didominasi oleh buruh Batik. Karena Desa Pasirsari termasuk Desa yang membuat batik atau yang lebih dikenal dengan nama babar batik yaitu hanya membuat batik saja, tetapi tidak menjualnya. Adapun buruh lainnya yang tidak kalah banyak di Desa Pasirsaria adalah buruh pabrik-pabrik yang ada di Kota Pekalongan maupun Kabupaten Pekalongan. Dan selebihnya adalah buruh bangunan dan buruh tani. Di samping mayoritas buruh di Desa Pasirsari ada juga PNS sebanyak enam puluh sembilan orang, Pensiunan sebanyak tiga puluh enam orang, Tani sebanyak tujuh puluh tiga orang, dan beberapa pengusaha sebanyak lima puluh satu orang, yang usahanya mayoritas adalah batik dan konveksi di Desa Pasirsari. Adapula Pedagang, yaitu sampai 323 orang, yang mana berbagai dagangan di perjualbelikan ada yang Dagang Sembako, Dagang Pulsa, Dagang Sayur dan masih banyak pedagang lainnya.
3. Kondisi Keagamaan, Ekonomi, Sosial dan Budaya a. Kondisi Keagamaan Masyarakat Pasirsari yang mayoritas beragama Islam memiliki tingkat pendidikan keagamaan Islam yang bermacam-macam. Mulai
45
dari yang berpendidikan Pondok Pesantren, Sekolah, sampai yang hanya mendapatkan ilmu keagamaan dari pengajian saja. Dari tingkat pendidikannya tersebut Masyarakat Pasirsari dapat digolongkan menjadi 3 Tipe yaitu : 1) Masyarakat Golongan Atas Yang dimaksud dengan masyarakat golongan atas adalah mereka yang pendidikan agamanya lebih luas dan tinggi, dibuktikan dengan pernah menuntut ilmu di Pondok Pesantren. Tak juga pernah menuntut ilmu di Pondok Pesantren. Mereka juga biasanya memberikan ilmu-ilmunya di dalam TPQ maupun Madrasah Diniyah, sering diminta untuk mengisi pengajianpengajian
rutin maupun
pengajian besar di Desanya. Juga
mereka-mereka yang sering Khutbah pada waktu sholat Jum‟at di Masjid Pasirsari. Tidak hanya menjadi Khutbah tapi juga sekalian Imam. Juga yang sering diminta mendoakan di dalam acara-acara Walimah baik nikah ataupun sunatan. 2) Masyarakat Golongan Menengah Yang dimaksud
masyarakat golongan menengah adalah
mereka yang mengetahui ilmu keagamaan, baik diperolehnya dari sekolah ataupun Pondok Pesantren. Hanya saja biasanya di Pondok Pesantrennya tidak begitu lama. Jadi ilmu yang didapat belum sebanyak yang sudah menuntut ilmu di Pondok Pesantren yang lama. mereka juga biasanya memberikan ilmunya di dalam TPQ
46
maupun Diniyah. Tetapi tidak sampai diminta untuk mengisi pengajian-pengajian. 3) Masyarakat Golongan Bawah Yang dimaksud masyarakat golongan bawah adalah mereka yang tidak pernah mendapatkan ilmu keagamaan dari pendidikan sekolah maupun Pondok Pesantren. Mereka hanya memperoleh ilmu keagamaan dari pengajian-pengajian rutin di musholamushola, atau pun pengajian akbar di Masjid, hanya sebatas haram dan halal saja. Tidak sampai mengetahui betul dalil dan dasarnya apa. Pada masyarakat Desa Pasirsari masih adanya 2 paham yaitu Tradisionalis dan Modernis. Masyarakat yang tradisionalis bisa dikatakan
adalah masyarakat yang terbelakang, masyarakat Islam
yang kolot. Mereka adalah yang berpegang pada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim. Dan mereka yang konsisten dalam berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama‟-ulama‟ terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan mengembangkan ajaran fiqh madzhab empat. Disamping itu ada ada pula masyarakat yang modernis di Desa Pasirsari yang dalam menyikapi ilmu keagamaan tidak hanya melihat segi dalilnya saja. Juga harus dipertanyakan dan di uji kebenarannya.
47
Apakah masih relevan untuk di lakukan pada masa sekarang. Mereka lebih suka berijtihad untuk mengatasi permasalahan hukum yang ada dengan melihat berbagai aspek-aspek dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat. b. Kondisi Ekonomi Masyarakat Desa Pasirsari tergolong tingkat ekonomi menengah. Yang mana seluruh warganya hampir dipastikan sudah bekerja. Karena tersedianya cukup lapangan pekerjaan di Desa Pasirsari dengan adanya para pengusaha-pengusaha batik. Sehingga banyak perekrutan tenaga kerja diambil dari warganya sendiri, kadang desa sebelah ikut bekerja di Desa Pasirsari. Akan tetapi pendapatannya masih rata-rata belum bisa untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Di Desa Pasirsari ada BKD (Bank Kredit Desa), yang mana bagi para pedagang atau pengusaha yang kekurangan modal bisa meminjam di BKD dengan bunga yang cukup rendah. Sehingga bisa untuk melancarkan usaha dan perdagangannya tersebut. Karena masih banyaknya persawahan di Desa Pasirsari. Tak lupa para petani ikut serta dalam peningkatan ekonomi di Desa Pasirsari. Dengan merekrut buruh Tani untuk di pekerjakan di persawahan yang ada. c. Kondisi Sosial dan Budaya Dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Desa Pasirsari masih kental dengan kegiatan gotong royong dalam berbagai hal.
48
Terbukti tiap 2 minggu sekali pada hari jum‟at di adakan
jum‟at
bersih. Yang mana seluruh warga tumpah ruwah untuk membersihkan rumput-rumput, selokan yang macet, dahan-dahan pohon yang menghalangi jalan. Dan juga dengan kegiatan pengajian akbar warga Pasirsari masih suka bergotong royong untuk mensukseskan pengajian tersebut. Mulai dari pencarian dana, pembuatan konsumsi, dan penataan tempat buat pengajian. Semuanya terlihat bergotong royong untuk mensukseskan acara tersebut. Di desa Pasirsari juga banyak kebudayaan keagamaan
yang
masih eksis sampai sekarang, seperti rebana, samproh, qosidah dan yang masih di gemari oleh kalangan masyarakat Desa Pasirsari adalah gambus dan marawis. Dimana didalamnya dilantunkan sholawatsholawat atas Nabi Muhammad SAW. Kebudayaan lain yang masih ada di Desa Pasirsari adalah acara pembacaan yasin dan tahlil atau yang disebut dengan tahlilan rutin tiap minggu. Banyak dilakukan per RT atau RW mengadakan acara tersebut, juga ada kegiatan pembacaan Berzanji, juga kegiatan pembacaan Manaqib. Dan yang paling besar adalah Tahlil Massal yang di adakan 1 bulan sekali oleh PCNU Desa Pasirsari. Semua ini sebagai wujud budaya untuk melestarikan produk keislaman di Desa Pasirsari tersebut.
49
3. Kondisi Kegiatan Keagamaan Keadaan sosial keagamaan masyarakat desa Pasirsari pada umumnya bersifat kondusif. Hal ini terlihat maraknya kegiatan tahlilan (bapak-bapak), tahlilan (ibu-ibu), berzanji (ibu-ibu), berzanji (putra-putri), manakib, simthu duror, marawis.
Juga dengan adanya kegiatan TPQ
(Taman Pendidikan Al-Qur‟an) yang semarak di Desa Pasirsari juga adanya Madrasah Diniyah untuk jenjang setelah selesai TPQ yang didalamnya mengajarkan ilmu-ilmu fiqh, aqidah, dan lain sebagainya. Dengan adanya fasillitas yang cukup memadai, sehingga dalam hal ini menuntut adanya partisipasi orang-orang yang dianggap mampu dalam hal pengembangan agama atau kegiatan keagamaan untuk melaksanakan pengajian di masjid dan musholla-musholla serta tempat lain yang kondusif. Di Desa Pasirsari juga adanya Ormas Islam yaitu Nahdlatul Ulama yang kegiatannya setiap 1 bulan sekali yaitu berupa Tahlil Massal serta tanya jawab seputar masalah keagamaan. Nahdlatul Ulama‟ mempunyai tingkatan-tingkatan organisasi. Di bawah Nahdlatul Ulama ada Anshor yang mana untuk yang sudah menikah dan yang belum cukup Lansia, adapun kegiatannya biasanya hampir sama dengan NU seperti Pembacaan Tahlil. Tidak jarang pula mengadakan kegiatan Tahlil Massal dan Tanya Jawab bersama. Adapun selanjutnya Organisasi dari bawahnya NU juga yaitu Banser yang mana bertugas untuk mengamankan dan menertibkan setiap ada kegiatan besar di Desa, misalnya peringatan Isro‟ Mi‟roj dan Hari Lahirnya Nabi Muhammad SAW. Di bawahnya Anshor
50
dan Banser ada organisasi khusus untuk Pemuda atau Remaja yaitu IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) yang mana kegiatan rutinya adalah setiap 1 minggu sekali Berzanji keliling ke anggota-anggotanya. Adapun kegiatan lainya biasanya ikut bersama dengan NU dan Anshor. NU juga mempunyai organisasi yang dipimpin oleh kaum wanita yaitu yang pertama adalah Muslimat. Organisasi ini di kelola oleh Ibu-Ibu yang usianya menginjak 50an. Dimana kegiatannya adalah 1 minggu sekali setiap habis jum‟atan ke mushola-mushola dengan acara Pembacaan Yasin dan Tahlil. Dan organisasi di bawah Muslimat adalah Fatayat, organisasi ini setara dengan Anshor anggota-anggotanya, akan tetapi organisasi ini untuk wanita yang mana kegiatanya hampir sama dengan organisasi Muslimat. Selanjutnya organisasi di bawah Fatayat adalah IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama‟), organisasi ini biasanya bekerjasama dengan organisasi IPNU untuk mengadakan program kerja tahunan. Adapun kegiatan rutinya adalah sama dengan IPNU yaitu berzanji keliling ke anggota-anggotanya. Dan semua organisasi ini bernaung di bawah Nahdlatul Ulama yang mempunyai tujuan untuk melestarikan ajaran ahlusunnah wal jamaah di Desa Pasirsari ini.
51
B. Praktek dan Pendapat Masyarakat Desa Pasirsari Tentang Pembagian Waris Menurut Hukum Islam 1. Praktek Pembagian Harta Waris pada Masyarakat Desa Pasirsari Praktek pembagian harta waris di Desa Pasirsari sangat beragam, ada yang menggunakan hukum Islam atau Faraidh, ada pula yang menggunakan hukum Adat, tak sedikit pula menggunakan hukum negara dengan Pengadilan Negara yang jadi solusinya buat mengurus masalah pembagian harta waris di dalamnya. Pembagian harta waris menggunakan hukum waris Islam di Desa Pasirsari bilamana ahli waris tersebut memahami tentang pembagian hukum waris Islam dan mengetahui manfaatnya.
78
Tetapi cara pembagian
secara hukum Islam sedikit realitasnya. Karena ketika pembagian harta waris menggunakan hukum Islam, tak jarang adanya ketidaksetujuan dari ahli waris yang merasa mendapatkan bagian tidak sama dengan yang lainnya. Semua ini terjadi karena akibat adanya persamaan gender di dalam Desa Pasirsari yaitu seorang perempuan juga mengerjakan pekerjaan lakilaki. Yang menyeimbangkan antara hak dan kewajiban seorang laki-laki dan perempuan. Tidak seperti di bangsa Arab yang kaum perempuan hanya diam saja di rumah tidak melakukan tugas seperti orang laki-laki.
78
Wawancara dengan Saudara Nurbaidin, Pasirsari, Hari Rabu Tanggal 11 September
2011.
52
Seandainya keadaan yang seperti itu terjadi di Indonesia, mungkin aturan hukum Islam bisa ditegakkan di Desa Pasirsari ini. 79 Adapula pembagian harta waris itu sebelum meninggal dunia atau yang biasa kita sebut dengan hibah. Biasanya sebelum orang meninggal dunia ketika memiliki tanah 5 hektar dan anak 5 itu di bagikan sama rata tanah tersebut kepada kelima anaknya, tidak membedakan itu jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Sehingga ketika sudah meninggal dunia tidak terjadi adanya persengketaan masalah harta waris pada ahli warisnya. 80 Maka dari itu mayoritas warga masyarakat Desa Pasirsari menggunakan hukum waris Adat yaitu membagi rata kepada ahli warisnya tanpa adanya perbedaan jenis kelamin harta waris tersebut. Karena dengan pembagian rata tersebut
bisa menimbulkan “Makno Rukun” yang
akhirnya tali silaturahmu tersebut tidak akan putus.
81
Dan harta waris
tersebut dapat bermanfaat dan barokah di dalam penggunaannya. Akan tetapi di Desa Pasirsari pembagian harta waris itu kepada anak-anaknya saja, padahal istri atau suami itu juga mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut.
82
Ada pula cara lain dengan jalan musyawarah semua
ahli waris untuk menentukan bagiannya masing-masing, yang nantinya akan terjadi kesepakatan mufakat semua ahli waris. Sehingga setelah 79
Wawancara dengan Bapak Ust. H. Rochim, Pasirsari, Hari Kamis Tanggal 8 September
80
Wawancara dengan Bapak Romadhon, Pasirsari, Hari Ahad Tanggal 11 September
81
Wawancara dengan Bapak Sumarhadi, Pasirsari, Hari Senin Tanggal 5 September 2011 Wawancara dengan Bapak Ust. Muttaqin, Pasirsari, Hari Ahad Tanggal 11 September
2011. 2011 82
2011
53
terjadi kesepakatan mufakat diharapkan tidak muncul sengketa di dalam pembagian harta waris tersebut. 2. Pendapat Masyarakat Desa Pasirsari Tentang Pembagian Waris Menurut Hukum Islam a. Pendapat Masyarakat Golongan Atas 1) Pengertian Hukum Waris Pendapat Ust. Muttaqin sebagai ketua PRNU Kelurahan Pasirsari yang beralamat di Jl. Sutan Sahrir RT. 02 RW. 04. Beliau mengartikan waris adalah harta peninggalan orang yang sudah mati yang harta itu dibagikan kepada ahli warisnya setelah dipotong hak-hak si mayyit itu seperti wasiat, hutang dan hak-hak lainnya. Adapun sifat hukum waris Islam itu sendiri menurut beliau hanya dalam pembagian harta waris menggunakan hukum Islam. Tetapi ketika tak menggunakan hukum Islam maka sifat hukum waris Islam itu hilang, berubah dengan hukum yang di sepakati oleh semua ahli waris. 83 Sedangkan pendapat Ust. Bini selaku Rois PRNU Kelurahan Pasirsari yang berlamat di Jl. Pramuka Gg. I RT. 04 RW. 04 berbeda dengan pendapat Ketua PRNU Kel. Pasirsari. Beliau berpendapat waris itu adalah tirkah (tinggalan orang tua) sesudah meninggal yang dibagikan kepada ahli warisnya. Dan sifat hukum waris Islam itu sendiri menurut beliau tidak
83
Wawancara dengan Ust. Muttaqin.
54
memaksakan, karena jika semua ahli waris itu ridho biridho, maka boleh menggunakan hukum rata. Sebagai dasarnya yaitu “Hukum itu berkisar pada alasan hukum tersebut”. Intinya bahwa semua hukum tergantung pada Illat, jika tidak adanya Illat maka hukum tidak berlaku. 84 Adapun Ust. H. Rochim yang sebagai ketua Anshor Kel. Pasirsari yang beralamat di RT. 02 RW. 04 pendapatnya sama dengan Ust. Muttaqin. Tetapi dalam hal sifat hukum waris sendiri berbeda. Beliau berpendapat jika sudah diakad Sulukh (Akad Perdamaian) semua sudah setuju dan memenuhi syarat-syaratnya seperti adanya ikrar. Maka boleh menggunakan hukum yang disepakati. Akan tetapi apabila tidak tercapai akad Sulukh (Akad perdamaian) maka menggunakan hukum apa semestinya yang ada di mawaris Islam. Karena Islam itu luwes tidak memaksa. 85 Bapak Kyai Muzaki sebagai ketua Masjid Al-Mustaqim Pasirsari berpendapat hampir sama dengan Ust. Muttaqin bahwa waris itu adalah peninggalan harta si mayyit (Tirkatil Mayyit) dikurangi hutang, wasiat jika ada, lalu sisanya dibagikan kepada ahli waris. Sedangkan sifat dari hukum waris Islam adalah tidak memaksa, semua itu tergantung dari ahli warisnya mau
84 85
Wawancara dengan Ust. Bini. Pasirsari, Hari Kamis Tanggal 8 September 2011 Wawancara dengan Ust. H. Rochim.
55
menggunakan Faraid (Hukum Islam) atau Taradhoyah (Ridho biridho). 86 2) Pandangan Narasumber dengan Ketentuan-ketentuan pembagian harta waris menurut hukum Islam Ust. Muttaqin memberikan persepsinya tentang ketentuan pembagian harta waris menurut hukum Islam yaitu bahwa pembagian harta waris itu di dahulukan menggunakan hukum Islam. Karena itu di rasa lebih adil. Adapun jika adanya musyawarah mufakat dari semua ahli waris untuk di bagi rata itu boleh-boleh saja. Karena hukum waris yang dibagi rata itu berkaitan dengan Islah yaitu damai tapi di dalamnya itu ada maksud kebaikan. 87 Adapun Ust. Bini berpendapat bahwa hukum waris Islam itu bisa terjadi bila ada Illat. Kalau tidak ada ya biasanya di bagi rata 1 : 1. Karena dengan dasar bahwa sama-sama anaknya dan harta itu dilihat tidak membeli cuma pemberian dari si mayyit. Kenapa harus di permaslahkan. Intinya nerima saja apa yang menjadi
kesepakat
dari
semua
pihak
ahli
waris.
Mau
menggunakan hukum waris Islam boleh. Hukum waris di bagi rata juga boleh. Karena Islam itu fleksibel. 88
86
Wawancara dengan Bapak Kyai Muzaki. Pasirsari, Hari Jum‟at Tanggal 9 September
87
Wawancara dengan Ust. Muttaqin. Wawancara dengan Ust. Bini.
2011. 88
56
Sedangkan Ust. H. Rokhim berpendapat bahwa dengan akad sulukh (akad perdamaian) semua sudah setuju dan memenuhi syarat-syaratnya seperti ikrar yang dilakukan oleh orang yang sudah baligh. Adapun yang belum baligh itu diberikan apa mestinya sesuai hukum Islam. Setelah itu semua sudah maka boleh menggunakan hukum yang di inginkan untuk membagikan harta waris tersebut. Akan tetapi jika tidak terjadi kesepakatan akad sulukh maka hukum Islam lah yang harus ditegakkan. 89 Dan yang terakhir pendapat dari Bapak Kyai Muzaki yang intinya
boleh
menggunakan
Faraid
boleh
menggunakan
Taradhoyah. Karena kedua hukum inilah yang di pakai dalam pembagian harta waris. Akan tetapi cara yang pertama di tempuh adalah system Taradhoyah yaitu ridho biridho dari semua ahli waris. Namun ketika tidak terjadi ridho biridho dari satu ahli waris saja. Maka ditempuhlah pembagian harta waris dengan menggunakan hukum waris Islam (Faraid). Adapun dasar Tarodhoyah ada pada Ijma‟ Ulama. Sedangkan dasar Faraid ada dalam Al Qur‟an di dalam pembagian harta waris tersebut. 90 b. Pendapat Masyarakat Golongan Menengah 1) Pengertian hukum waris Bapak Mustaghfirin seorang buruh Batik yang beralamat di Jl. Sutan Sahrir RT. 01 RW. 04 berpendapat bawa waris adalah 89 90
Wawancara dengan Ust. H. Rochim. Wawancara dengan Bapak Kyai Muzaki.
57
pembagian harta setelah mawaris meninggal (Orang yang mewariskan) kepada ahli warisnya setelah di potong wasiat, hutang baik kepada manusia maupun kepada Allah SWT. Pendapat beliau hampir sama dengan Ust. Muttaqin ketua PRNU. Adapun sifat dari hukum waris Islam itu sendiri menurut beliau tidak memaksakan, karena dengan keridhoan ahli waris yang dulunya laki-laki mendapatkan 2 bagian dan perempuan 1 bagian bisa menjadi sama-sama mendapatkan 1 bagian itu semua untuk kemaslahatan bersama. 91 Berbeda pendapat Saudara Nur Baidin sebagai seorang buruh batik yang beralamat di RT. 04 RW. 06 beliau berpendapat kalau waris itu adalah sebuah harta benda yang ditinggalkan oleh pemiliknya disebabkan meninggal dunia dan di bagikan kepada ahli warisnya. Semua harta benda tersebut adalah yang bisa diambil manfaatnya, sedangkan hutang bukan termasuk harta benda, tapi itu wajib di lunasi. Dan sifat dari hukum waris Islam menurut
beliau
adalah
tidak
adanya
pemaksaan
untuk
menggunakan hukum waris Islam boleh menggunakan hukum waris yang lain. Karena ahli waris yang ingin di bagi rata. Dan juga adanya kesepakatan dari ahli waris yang ingin di bagi rata, supaya tercipta kerukunan. 92
91
Wawancara dengan Bapak Mustaghfirin. Pasirsari, Hari Ahad Tanggal 11 September
92
Wawancara dengan Saudara Nur Baidin.
2011
58
Adapun pandangan dari Bapak Subakir selaku Lurah di Desa Pasirsari yang beralamat di RT. 03 RW. 06 ini mengatakan bahwa waris adalah ketika ada Bapak atau Ibu meninggal dunia yang meninggalkan harta, dan ada ahli waris sehingga dibagi kepada ahli waris. Akan tetapi jika masih ada suami atau istri maka belum boleh untuk di bagikan harta waris tersebut. Dan biasanya
hanya
kebijakan
dari
suami
atau
istri
untuk
membagikannya kepada anaknya. Agar ketika suami atau istrinya telah meninggal dunia maka sudah terbagikan hartanya kepada anaknya. Ahli waris di sini adalah anak semua. Sedangkan sifat dari hukum waris Islam adalah tidak memaksa karena tergantung dari persetujuan semua ahli waris mau memakai hukum Islam atau hukum Adat, yang penting biar tidak terjadi perselisihan di dalam pembagian harta waris tersebut. 93 Dan yang terakhir pandangan dari Bapak Lebe Pasirsari yaitu Bapak Romadhon yang beralamatkan di RT. 05 RW. 06 yang mengatakan bahwa waris itu adalah tinggalan orang tua yang meninggal dunia yang dibagikan kepada ahli warisnya setelah dikurangi hutang dan hak-hak lainnya. Sedangkan sifat dari hukum waris Islam itu sendiri adalah tidak memaksa karena kebiasaan kalau menggunakan hukum Islam bisa menyebabkan perpecahan di dalam keluarga. Kecuali orang yang santri yang
93
Wawancara dengan Bapak Subakir. Pasirsari, Hari Kamis Tanggal 8 September 2011
59
siap dengan hukum Islamnya. Makanya lebih baik di bagi rata saja dengan alasan menjaga kerukunan keluarga dengan kata lain ridho biridho lebih utama. 94 2) Pandangan Narasumber dengan Ketentuan-ketentuan pembagian harta waris menurut hukum Islam Menurut Bapak Mustaghfirin ketentuan jika setelah ada orang meninggal dengan meninggalkan harta waris itu waris yang dilakukan langsung menggunakan hukum Islam. Adapun jika semua ahli waris mufakat dibagi rata itu tidak masalah. Namun ketika terjadi perselisihan dikembalikan lagi kepada hukum Islamlah
yang
harus
menyelesaikannya.
Karena
bahwa
sesungguhnya harta warisan itu jika semua ahli waris saling ridho maka
menciptakan
maslahat.
Tetapi
jika
ngotot
untuk
mempertahankan bagiannya masing-masing walaupun ahli waris itu sudah mampu, maka harta warisan itu tidak berkah. Memang harta warisan itu hak, tapi janganlah kita berambisius dalam harta warisan, karena sudah banyak kasus orang yang terlalu rakus dengan harta warisan itu akan habis sendiri harta tersebut. Dengan kata lain kurang memberikan keberkahan harta tersebut. 95 Menurut narasumber Saudara Nur Baidin bahwa ketentuan pembagian harta waris menurut hukum Islam yang mana laki-laki mendapatkan 2 bagian dan perempuan mendapatkan 1 bagian di 94 95
Wawancara dengan Bapak Romadhon. Wawancara dengan Bapak Mustaghfirin.
60
rasa adil. Karena seorang laki-laki itu orang yang menanggung ketika mereka berkeluarga. Sedangkan seorang perempuan yang di tanggung di dalam berkeluarga. Akan tetapi di masa sekarang ketentuan di bagi rata antara laki-laki dan perempuan itu di rasa cukup adil juga. Jadi semuanya bisa di pakai semua tergantung dari situasi dan kondisi. 96 Sedangkan menurut Bapak Subakir selaku Lurah Desa Pasirsari
menurut
pandangannya
sangat
fleksibel
semua
tergantung dari ahli warisnya mau menggunakan hukum Islam yang 2 : 1 atau hukum Adat yang 1 : 1 asalkan tidak adanya perselisihan dan hidup rukun antar sesama ahli waris tersebut. 97 Adapun menurut pandangan dari Bapak Lebe Desa Pasirsari Bapak Romadhon bahwa ketika menggunakan ketentuan 2 : 1 itu biasanya tidak menimbulkan kepuasan di dalam semua ahli warisnya. Akan tetapi jika dilakukan dengan ketentuan 1 : 1 di rasa puas semua. Dan menjadikan ukhuwah Islamiyah. Seperti halnya contohnya FPI yang di rasa ekstrim menerapkan hukum Islam, begitu juga ketentuan 2 : 1 yang di rasa memberatkan ahli waris karena adanya perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. 98
96
Wawancara dengan Saudara Nur Baidin. Wawancara dengan Bapak Subakir. 98 Wawancara dengan Bapak Romadhon. 97
61
c. Pendapat Masyarakat Golongan Bawah 1) Pengertian Hukum Waris Responden dengan Nama Supriyanto alamat Jl. Angkatan 66 RT. 01 RW. VIII, pekerjaan Pedagang memberikan arti waris adalah Harta peninggalan orang yang meninggal dunia yang dibagikan kepada ahli warisnya. Adapun sifat hukum waris itu sendiri adalah tidak adanya paksaan di dalam pembagian harta peninggalannya. Boleh menggunakan hukum Islam ataupun hukum Adat. Itu semua tergantung dari musyawarah mufakat para ahli waris. 99 Berbeda dengan persepsi Bapak Sumarhadi dengan alamat Jl. Angkatan 66 RT. 01 RW. 08 pekerjaan Tukang Las yang mengatakan bahwa waris adalah orang yang meninggalkan dan meninggalkan harta benda yang nantinya akan di bagikan kepada anak-anaknya. Adapun Istri, Ibu, Ayah dan ahli waris yang lainnya hanya mendapatkan kebijaksanaan saja. Adapun sifat hukum waris itu tidak memaksa karena pembagian boleh di bagi rata tanpa melihat hukum waris Islam demi terciptanya keadilan. 100
Kalau Bapak Kasno berbeda pula persepsi dengan Bapak Supriyanto dan Bapak Sumarhadi. Bapak Kasno yang beralamat 99
Wawancara dengan Bapak Supriyanto. Pasirsari, Hari Ahad Tanggal 4 September
2011. 100
Wawancara dengan Bapak Sumarhadi.
62
di Jl. Angkatan 66 RT. 01 RW. 08 pekerjaan Buruh Batik berpendapat bahwa waris adalah pembagian harta peninggalan baik yang belum meninggal ataupun yang sudah meninggal dunia kepada anak-anaknya secara sama rata. Dan ahli waris yang lain seperti Ibu, Ayah dan yang lainnya hanya mendapatkan kebijaksanaan saja dari anak-anaknya. Sedangkan sifat Hukum waris itu sendiri adalah tergantung dari anak-anaknya mau membagi dengan hukum Islam dengan membedakan bagian antara laki-laki dan perempuan atau dengan hukum Adat yang di bagi rata yang di rasa lebih adil. 101 Berbeda pula dengan pendapat dari Fakhrozi alamat Jl. Angkatan 66 RT. 01 RW. VIII pekerjaan Tukang Becak yang mengatakan waris itu adalah peninggalan orang yang meninggal yang dibagikan kepada anak atau ahli waris. Peninggalan tersebut baik benda, uang, tanah atau hutang itu harus di waris. Dan istri tidak termasuk dalam ahli waris. Dia hanya mendapatkan persetujuan dari anak saja. Dan sifat hukum waris itu tergantung dari musyawarah keluarga mau memakai hukum apa ?. boleh hukum Islam dan hukum Adat. Tetapi apabila di musyawarahkan ada salah satu ahli waris yang mau di bagi menurut hukum Islam. Akan tetapi yang lainnya menginginkan menggunakan hukum Adat. Maka ahli waris yang satu tersebut harus mengikuti hukum
101
Wawancara dengan Bapak Kasno. Pasirsari, Hari Rabu Tanggal 7 September 2011
63
Adat dengan mengindahkan hukum Islam yang di inginkannya. 102
2) Pandangan Narasumber dengan Ketentuan-ketentuan pembagian harta waris menurut hukum Islam Bapak
Supriyanto
berpandangan
kalau
ketentuan
pembagian harta waris menurut hukum Islam yang ketentuannya laki-laki 2 bagian dan perempuan 1 bagian itu di rasa kurang adil. Beliau lebih memilih dengan ketentuan bagi rata atau 1 : 1 di dalam pembagian harta waris. Karena anak perempuan juga sama mengurusi orang tua. Sehingga alangkah baiknya kalau di bagi sama rata 1 : 1.103 Pendapat Bapak Sumarhadi hampir sama dengan Bapak Supriyanto yang lebih menekankan ke dalam pembagian bagi rata. Dengan melakukan persetujuan mufakat seluruh ahli waris yang ada. 104 Kalau Bapak Kasno berpendapat ketentuan 2 : 1 itu bisa di lakukan apabila anak-anaknya tidak bertentangan dengan pembagiannya tersebut. Tetapi jika bertentangan dan timbul perselisihan lebih baik menggunakan ketentuan 1 : 1 itu lebih adil menurutnya. Karena sama-sama mengurusi orang tuanya. 105
102
Wawancara dengan Bapak Fakhrozi. Pasirsari, Hari Rabu Tanggal 7 September 2011. Wawancara dengan Bapak Supriyanto. 104 Wawancara dengan Bapak Sumarhadi. 105 Wawancara dengan Bapak Kasno. 103
64
Sedangkan Bapak Fakhrozi persepsinya hampir sama dengan Bapak Supriyanto. Beliau lebih memilih ketentuan 1 : 1 karena di rasa bisa menciptakan kerukunan dan keadilan. 106
106
Wawancara dengan Bapak Fakhrozi.
65
BAB IV ANALISIS TERHADAP PERSEPSI MASYARAKAT DI DALAM PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT HUKUM WARIS ISLAM
A. Hubungan Antara Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat Tentang Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Islam. Masyarakat di Desa Pasirsari sangat beragam ada yang berfikiran tradisionalis ada pula yang berfikiran modernis. Masyarakat yang berfikiran tradisionalis biasanya meraka yang pendidikan agamanya sampai ke pondok pesantren yang minimal 5 tahun mengenyam pendidikan agamanya. Mereka sangat berpegang teguh kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Ketika terjadi permasalahan tentang suatu hukum, maka mereke merujuk atau mencari solusinya di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Sedangkan para masyarakat yang berfikiran modernis di Desa Pasirsari itu biasanya yang jarang atau bahkan tidak mengenyam pendidikan agama di pondok pesantren. Mereka hanya mendapatkan pendidikan agama di sekolah saja, dan ketika terjadi permasalahan tentang hukum Islam, mereka lebih senang menggunakan akalnya untuk menyelesaikannya, daripada menggunakan dali-dali Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Masyarakat Pasirsari juga begitu rendah pengetahuan di dalam ilmu agama. Apalagi yang berkaitan dengan masalah ilmu waris. Mereka jarang atau tidak pernah mendapatkan pelajaran mengenai ilmu waris tersebut. Sehingga ketika terjadi masalah waris tersebut, mereka menggunakan hukum
66
adat atau hukum sekitar yang di rasa lebih adil dan cocok untuk melakukan pembagian harta waris. Dengan menghiraukan hukum waris Islam yang sudah ada di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Ini semua tidak lepas dari pengetahuan dan pemahaman mereka yang lemah di dalam hukum waris Islam. Tidak seperti masyarakat Pasirsari golongan atas yang mana masyarakat tersebut lebih mengetahui dan paham akan hukum waris Islam tersebut, dari tujuannya sampai kepada manfaat hukum waris Islam itu sendiri. Selain itu juga masyarakat yang mengerti dan paham akan hukum waris Islam juga menerima hukum Islam tersebut dan berusaha untuk mentaati hukum Islam tersebut. Berbeda dengan golongan yang menengah yang mana golongan tersebut hanya mendapatkan ilmu agama dari pondok pesantren tidak cukup lama, seperti golongan masyarakat atas yang memperoleh cukup lama. Sehingga pemahaman dan pengetahuan mereka kurang begitu dalam tentang hukum waris Islam itu sendiri. Yang mengakibatkan kesadaran untuk melakukan hukum waris Islam itu sendiri cukup lemah. Adapula yang menyebabkan kesadaran hukumnya lemah yaitu sikap seseorang untuk mentaati hukum waris Islam itu sendiri kurang. Karena adanya faktor-faktor sosial yang begitu kuat di dalam pembagian harta waris tersebut. Apalagi dengan masyarakat golongan bawah yang notabene ilmu agamanya sangat kurang, karena tidak memperoleh ilmu agama di pendidikan pondok pesantren maupun di pendidikan formal. Hanya memperoleh pengetahuan agama di dalam pengajian-pengajian yang ada di mushola ataupun pengajian akbar. Sehingga menyebabkan kesadaran hukum terhadap
67
hukum waris Islam itu kurang. Juga adanya faktor kebiasaan masyarakat yang ketika dalam masalah pembagian harta waris menggunakan hukum adat saja, yang pembagiannya sama rata kepada ahli warisnya. Semua hal yang di atas itu merupakan suatu hal yang wajar berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut : 1. Seseorang tidak pernah mendapatkan secara nyata pendidikan mengenai sistem hukum kewarisan Islam, sehingga aturan apa saja yang ditemukan mengatur masalah kewarisan dalam lingkungan adat masyarakat muslim dianggapnya suatu aturan yang baku yang sesuai dengan hukum kewarisan Islam. 2. Pembagian harta warisan jarang dialami oleh seseorang dan bila itu pun terjadi pada dirinya, umumnya setiap orang hanya mengalami dua kali seumur hidup yaitu ketika kedua orang tuanya meninggal dunia. Lain halnya aturan yang mengurusi sholat, puasa, dan zakat yang mewajibkan setiap orang melaksanakannya setiap saat bila tiba waktunya. 3. Sistem hukum kewarisan Islam merupakan kewajiban agama Islam yang termasuk dalam lingkungan hukum perdata Islam, sehingga peranan aparat hukum dan perundang-undangan tidak tampak jika ada sengketa kewarisan yang diangkat. 107 Tampak bahwa kesadaran hukum warga masyarakat Pasirsari sangat kurang terhadap hukum waris Islam, karena pengetahuan dan pemahaman akan hukum waris Islam itu kurang. Dan juga adanya sikap belum bisa
107
Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, hlm. 148
68
menerima hukum waris Islam yang membedakan pembagiannya antar ahli waris yang laki-laki dan perempuan. Sehingga dengan kesadaran hukum yang kurang pada masyarakat Desa Pasirsari menyebabkan kepatuhan hukum warga Pasirsari terhadap hukum waris Islam juga sedikit. Dari sini kelihatan bahwa masyarakat golongan atas yang memiliki kesadaran hukum yang tinggi terhadap hukum waris Islam, karena pengetahuan dan pemahaman akan hukum waris Islam, juga adanya sikap untuk mentaati hukum waris Islam tersebut. Maka tingkat kepatuhan hukum mereka sangat kuat untuk mentaati hukum waris Islam tersebut, dan berusaha untuk mengamalkannya. Akan tetapi sebaliknya bagi masyarakat golongan menengah dan golongan bawah yang kesadaran hukumnya kurang terhadap hukum waris Islam, karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman akan hukum waris itu sendiri, juga adanya sikap yang masih ragu-ragu bahkan tidak untuk mentaati hukum waris Islam itu sendiri. Maka tingkat kepatuhan hukum mereka yang rendah terhadap hukum waris Islam itu sendiri. Juga masih adanya hukum Adat yang masih berlaku dan sangat kuat perkembangan di Desa Pasirsari ini. Sehingga mereka semua lebih memilih hukum Adat yang di rasa adil dan cocok untuk melakukannya. Jadi jelas bahwa hukum Islam itu belum bisa diterima oleh warga masyarakat Pasirsari. Karena tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka yang rendah. Sehingga mereka hanya menganggap hukum Islam itu tekstual saja. Karena hukum Islam menurut mereka apabila dipraktekkan lebih
69
menimbulkan madharatnya dari pada maslahatnya, yaitu dengan adanya perbedaan pembagian harta waris bagi laki-laki dan perempuan. Padahal sekarang hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan hampir sama, mengapa harus dibedakan di dalam pembagian harta waris. Sehingga pada prakteknya mereka menggunakan hukum adat yang dirasa lebih adil di dalam menyelesaikan permasalahan tentang pembagian harta waris, yang tidak menimbulkan persengketaan di dalamnya.
B. Antara Pandangan Teosentris dan Antroposentris Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa
orientasi
teosentris
berpusatkan pada Tuhan dan orientasinya adalah: “dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah,”. Adapun pengertian secara rinci pandangan teosentris adalah sebuah komitmen iman yang teguh terhadap orientasi teologi yang percaya bahwa semuanya berasal dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan. Atau dengan kata lain masyarakat Islam yang berfikiran bahwa melakukan apa yang dianggapnya keadilan harus mempertimbangkan apakah perbuatannya ini selaras dengan pesan-pesan yang tersirat dalam al-Quran dan al-Hadits . 108 Dalam Desa Pasirsari terdapat masyarakat yang berfikiran secara teosentris. Masyarakat itu adalah masyarakat golongan atas yang mengetahui dan memahami tentang hukum-hukum Islam, di sini bisa di contohkan dalam masalah pembagian harta waris menurut hukum Islam. masyarakat Desa Pasirsari yang golongan atas mereka beranggapan bahwa hukum waris Islam 108
http://aqwammedia.blogspot.com/2010/03/diskusi-perdana-fiqih-antroposentris.html tgl. 26 Oktober 2011
70
yang dilakukan itu dianggap patokan paling benar. Sesungguhnya masyarakat golongan atas yang mengetahui dan memahami hukum waris Islam secara detail mengatakan bahwa hukum waris Islam lah yang paling benar, karena hukum waris Islam itu berasal dari teks suci Al-Qur‟an yang menjadi pedoman atau petunjuk umat muslim. Jadi apa yang ada dalam Al-Qur‟an itu harus diamalkan. Mereka juga beranggapan bahwa hukum waris Islam itu adalah yang adil. Bagi masyarakat golongan atas hukum Islam lah yang dianggap adil, karena mereka beranggapan bahwa yang ada dalam teks suci Al-Qur‟an itu akan memberikan kesejahteraan dan kemaslahatan hidup umatnya. Karena ketika mereka tidak mengamalkan yang ada di dalam Al-Qur‟an, mereka berfikiran bahwa telah mengingkari Al-Qur‟an. Dan orang yang mengingkarai Al-Qur‟an mereka juga telah mengingkari agamanya sendiri. Maka dari itu mereka mengamalkan apa yang ada di dalam Al-Qur‟an yang dianggapnya ada hikmah lain di balik semuanya ini. Walaupaun hukum waris di sekitar mereka menggunakan hukum kebiasaan masyarakat setempat yaitu hukum waris Adat yaitu yang pembagian harta warisnya sama rata antara laki-laki dan perempuan 1:1. Tetapi masyarakat golongan atas dengan pengetahuan, pemahaman serta sikap mereka terhadap hukum waris Islam membuat mereka masih mau menggunakan hukum Islam tersebut. Atas dasar karena hukum waris Islam adalah hukum yang ada di nash Al-Qur‟an. Sehingga mereka berpatokan bahwa semua yang berdasarkan Al-Qur‟an jika dijalankan akan mendapat
71
kemaslahatan dan kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Juga karena bahwa Al-Qur‟an itu adalah firman Allah. Jadi apapun yang di firmankan oleh Allah, kita sebagai hambanya harus menjalankannya sesuai dengan kodrat kita sebagai manusia yaitu bertaqwa kepada Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Karena mereka mempunyai pemikiran bahwa kita hidup yaitu dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah. Sehingga mereka semua sangat patuh akan hukum waris Islam tersebut. Tampak jelas bahwa pandangan teosentris yang beranggapan bahwa semuanya berasal dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan, itu dimiliki masyarakat golongan atas yang notabene pendidikan agama Islamnya lebih tinggi dari yang lainnya. Mereka secara tidak sadar memiliki pandangan teosentris ini dalam memandang hukum waris Islam yang di dalamnya memuat pembagian harta waris Islam yang laki-laki mendapat 2 bagian dan perempuan mendapat 1 bagian 2:1. Di dalam masyarakat Desa Pasirsari selain adanya masyarakat yang berfikiran secara teosentris, adapula masyarakat yang berfikiran kebalikannya atau yang biasa disebut dengan antroposentris yaitu lawan kata dari teosentris. Di mana pandangan antroposentris secara sederhana yaitu memusatkan pemikirannya kepada manusia dan mengadopsi orientasi: “dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia.”. Sedangkan pengertian secara rinci adalah sebuah komitmen iman yang teguh terhadap orientasi teologi, yang percaya bahwa semuanya berasal dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Atau bisa dikatakan bahwa masyarakat Islam melakukan apa yang dianggapnya
72
keadilan tanpa harus mempertimbangkan apakah perbuatannya ini selaras dengan pesan-pesan yang tersirat dalam al-Quran dan al-Hadits. 109 Masyarakat yang berfikiran secara antroposentris di dalam Desa Pasirsari yaitu adalah masyarakat golongan menengah dan bawah. Mereka beranggapan bahwa menentukan suatu hukum perbuatan itu tidak semata-mata melihat dari nash Al-Qur‟an atau Al-Hadist. Bisa menggunakan metode lain untuk menentukannya yang dianggap bisa membawa keadilan dan kemaslahatan di dalamnya. Seperti yang di lakukan masyarakat Golongan menengah dan bawah yang melakukan hukum waris tanpa menggunakan hukum waris Islam. Karena mereka menganggap hukum yang paling benar menurut mereka adalah hukum adat yang dianggap paling cocok untuk digunakan di dalam pembagian harta warisan. Karena hukum adat lebih bisa menciptakan rasa ketenangan jiwa dan ketentraman apabila melaksanakannya. Sehingga tidak timbul adanya iri, dengki bahkan sampai perselisihan di dalamnya. Mereka juga beranggapan bahwa hukum yang mereka gunakan itu adil. Karena tidak membeda-bedakan antara jenis kelamin. Mereka semua mendapat bagian yang sama tidak itu laki-laki maupun perempuan. Sehingga tidak terjadi kecemburuan sosial di dalamnya. Juga terkesan sangat janggal bahwa dalam negara yang Undang-Undang Dasar dan sistem perundangundangannya mengakui persamaan antara pria dan wanita, dan di mana peranan kaum wanita hampir setingkat dengan pria sebagai pencari nafkah 109
http://aqwammedia.blogspot.com/2010/03/diskusi-perdana-fiqih-antroposentris.html tgl. 26 Oktober 2011
73
untuk keluarga, dalam pembagian warisan justru dibedakan : anak perempuan hanya mendapatkan sepatuh dari yang diterima oleh anak laki-laki. Sehingga itu tidak lagi mencerminkan semangat keadilan untuk masyarakat kita sekarang ini. 110 Jadi ketika berbicara keadilan mengenai suatu hukum, maka munculah deskripsi tentang suatu keadilan yaitu sebagai berikut : 1. Kebutuhan keadilan bukan hanya teks suci secara tersurat, tetapi ada sisi lain yang mengharuskan orang untuk menyelesaikannya secara mandiri. 2. Efektivitas hukum terjadi karena adanya perpaduan nilai-nilai keadilan yang bersifat substansif antara pesan hukum (teks suci atau apa saja) dengan masyarakat sebagai orang-orang yang secara langsung dibebani hukum (mukallaf). 3. Nilai-nilai sosial kultural dapat diperhitungkan dalam sistem kewarisan dan jika mungkin diterapkan sesuai dalam konteksnya.
111
Di lain sisi juga karena adanya hukum kebiasaan masyarakat sekitar yang menggunakan hukum sama rata dalam pembagian harta waris atau biasa disebut hukum Adat. Sehingga mereka dengan senang hati mengikutinya, karena dirasa hukum itu sangat cocok untuk diterapkan di dalam masalah hukum waris ini. Juga dirasa adil pula oleh mereka masyarakat golongan menengah dan golongan bawah. Menurut mereka sangatlah berpengaruh sekali hukum yang memang sudah menjadi kebiasaan di dalam suatu masyarakat. Karena dirasa adil dan benar oleh masyarakat tersebut. 110 111
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, hlm. 8 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Trasnformatif, hlm.
271
74
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Dari penelitian yang dilakukan dan setelah melakukan pembahasan serta analisis terhadap data yang ditemukan baik data primer maupun data sekunder, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi masyarakat Desa Pasirsari tentang pembagian harta waris menurut hukum Islam adalah sebagai berikut : a. Kebanyakan yang mengetahui betul pembagian harta waris menurut Islam adalah masyarakat golongan atas. Yang mana masyarakat tersebut adalah orang-orang tokoh agama dan Kyai di dalam Desa Pasirsari yang telah mempelajari ilmu hukum waris Islam di pondok pesantren. b. Masyarakat golongan menengah hanya mengetahui perbandingan pembagian antara ahli waris yang laki-laki dengan yang perempuan yaitu 2 : 1. Dan tidak mengetahui secara keseluruhan bagaimana cara membagi harta waris secara hukum Islam seluruhnya. Akan tetapi mereka lebih senang menerapkan pembagian harta waris menggunakan hukum Adat. Yaitu dengan persamaan pembagian antara laki-laki dan perempuan. c. Adapun golongan masyarakat tingkat bawah tidak tahu menahu tentang hukum waris Islam. Di sebabkan karena tidak memperoleh
75
pengajaran dan pengajian-pengajian di mushola yang menyinggung masalah hukum waris Islam. Sehingga mereka lebih memilih pembagian harta waris dengan di bagi rata antar ahli waris atau yang biasa disebut dalam istilah “Makno Rukun”. 2. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap persepsi dan pelaksanaan
hukum waris di masyarakat Desa Pasirsari adalah pengetahuan dan pemahaman akan hukum waris itu sendiri. Ketika kita melihat persepsi masyarakat golongan atas, mereka lebih mengetahui dan memahami tentang apa itu hukum waris Islam. Maka kesadaran hukum mereka sangat tinggi dan menyebabkan tingkat kepatuhan yang kuat terhadap hukum tersebut. Sehingga mereka meyakini bahwa hukum waris Islam lah yang benar dan adil. Karena hukum waris Islam itu berasal dari nash Al-Qur‟an, sedangkan Al-Qur‟an itu adalah firman Allah. Maka mereka meyakini kebenaran dan keadilan yang ada di dalam Al-Qur‟an firman Allah tersebut. Sehingga bisa dikategorikan mereka masyarakat golongan atas berpandangan teosentris yang beranggapan bahwa semuanya berasal dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah. Sebaliknya masyarakat golongan menengah dan bawah yang di dalam pengetahuan hukum waris mereka kurang mengetahui dan memahami akan hukum waris Islam. Sehingga menyebabkan mereka menggunakan hukum waris lain. Maka tingkat kesadaran hukum terhadap hukum waris Islam itu lemah, yang menyebabkan tingkat kepatuhan terhadap hukum waris Islam itu kurang bahkan tidak ada. Mereka lebih meyakini hukum waris lain yaitu hukum
76
waris adat, yang tidak membedakan pembagian antara laki-laki dan perempuan. Semuanya mendapatkan bagian yang sama rata di dalam pembagian harta waris. Sehingga mereka masyarakat golongan menengah dan bawah bisa dikategorikan berpandangan antroposentris yang melakukan
apa
yang
dianggapnya
keadilan
tanpa
harus
mempertimbangkan apakah perbuatannya ini selaras dengan pesan-pesan yang
tersirat
dalam
Al-Quran
dan
Hadits.
Karena
pandangan
antroposentris adalah sebuah komitmen iman yang teguh terhadap orientasi teologi, yang percaya bahwa semuanya berasal dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia.
B. Saran Untuk dapat mencerminkan hukum kewarisan yang baik perlu adanya pembelajaran dari para Tokoh Agama untuk memberikan nasehatnasehat tentang pentingnya menggunakan hukum waris Islam. Atau setidaknya memberikan wacana tentang hukum waris Islam. Karena memang sulit untuk menerapkan secara detail pembagian harta waris menurut hukum Islam di Desa Pasirsari ini. Karena hukum adat juga masih ikut andil di dalam masalah pembagian harta waris. Semoga saja dengan pembagian baik menggunakan hukum waris Islam maupun yang hukum Adat dapat menimbulkan ukhuwah Islamiyah dan kemaslahatan umat “Islam rahmatan lil alamin”
yaitu
rahmat
untuk semua
77
alam
dengan
mendahulukan
musyawarah untuk mencapai mufakat dan tidak bersekutu dalam hal yang tidak diridhoi oleh Allah. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca tentang ilmu kewarisan yang ada di dalam masyarakat. Yang mana inti dari hukum kewarisan adalah terciptanya rasa keadilan di masing-masing ahli waris tanpa ada persengketaan di kemudian hari. Akan tetapi namanya manusia tempatnya salah dan lupa, pasti ada beberapa kesalahan ataupun masih mengandung kekurangan, sehingga skripsi ini masih bisa ditindaklanjuti untuk penelitian untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi dan sempurna.
78
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Muslan. 2009. Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang : UMM Press. Al-Bukhori. t.th. Shahih al-Bukhori, Juz IV. Kairo : Daar wa Mathba‟ al-Sya‟biy. Ali, Zainudin. 2008. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Ali, Zainudin. 2006. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. al-Khattib, Muh. Syarbini. 1958. Mugni al-Muhtaj, juz ke-3. Kairo : Mustofa alBaby al-Halaby. Al-Shabuni, Muhammad Ali. 2001. Al Mawarist fi Syari’ah al-Islamiyah. diterjemahkan oleh A.M. Basalamah dengan judul Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta : Gema Insani Press. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian, Satuan Pendekatan Praktis. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Ash-Shiddieqy, TM. Hasbi. 1973. Fiqh Mawaris. Yogyakarta : Mudah. Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali Muhammad. 1987. Nailul Author. Beirut : Dar-el-jail. Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Bisri, Cik Hasan dkk. 1999. KHI dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Logos. Departemen Pendidikan Nasional. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Ibrahim, Muhammad Ismail. 1968. Mu’jam al-alfaz wa al-A’lam Al-Qur’aniyah. Kairo : Dar al Fikr al-Arabiy. J. Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Kuzari, Ahmad. 1996. Sistem Asabah (Dasar Perpindahan Harta Milik Atas Harta Peninggalan). Jakarta : Rajawali Pers.
79
M. Zein, Satria Effendi. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurispudensi dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta : Prenada Media. Mudzhar, Atho. 1999. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberas. Jakarta : Rajawali Press. Muhammad, Abu Zahrah. 1963. Ahkam al-Tirkat wal-Mawaris. Mesir : Dar alFikri al-Arabiy Muhibbin, Moh. dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Muslim dalam al-Nawawi. t.th. Syarhu Shahih Muslim. Kairo : al-Mathba‟ alMishriyah. Projodikoro, Wirjono. 1983. Hukum Warisan di Indonesia. Bandung : Sumur. Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers. Rohman, Fatchur. 1975. Ilmu Waris. Bandung : Al-Ma‟arif. Sabiq, Sayid. 1983. Fiqh al-Sunnah III. Beirut : Dar al-Fikri. Saimima, Iqbal Abdurrauf. 1988. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas. Sarmadi, A. Sukris. 1997. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Trasnformatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sjadzali, Munawir. 1997. Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta : Paramadina. Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah. 1981. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers. Soekanto, Soerjono dan Soleman b. Taneko. 1981. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : Rajawali. Summa, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Sutopo, Hupemus. 1998. Metode-Metode Penelitian. Jakarta : Tinta Mas Syarifudin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta : Prenada Media. http://aqwammedia.blogspot.com/2010/03/diskusi-perdana-fiqihantroposentris.html tgl. 26 Oktober 2011
80
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI 1.
Nama Lengkap
: Choirur Roziqin
2.
Tempat / Tanggal Lahir
: Pekalongan, 11 November 1988
3.
NIM
: 23106006
4.
Jenis Kelamin
: Laki-laki
5.
Alamat
: Pasirsari Jl. Angkatan 66 Gg. II No. 38 RT. 01 RW. 08 Pekalongan
DATA ORANG TUA 1. Nama Ayah
: Aslori
2. Nama Ibu
: Mujeni
3. Alamat
: Pasirsari Jl. Angkatan 66 Gg. II No. 38 RT. 01 RW. 08 Pekalongan
RIWAYAT PENDIDIKAN 1.
MIS Pasirsari Pekalongan
: Lulus Th. 2000
2.
SLTP Muhammadiyah Pekalongan
: Lulus Th. 2003
3.
SMK Negeri 2 Pekalongan
: Lulus Th. 2006
4.
STAIN Pekalongan Jurusan Syari‟ah
: Masuk Th, 2006
Demikian riwayat hidup di buat dengan sebenarnya.
Pekalongan, 3 November 2011
Choirur Roziqin
81
LAMPIRAN – LAMPIRAN Instrument Wawancara
Nama
: .............................................................................
Jenis Kelamin
: .............................................................................
Umur
: .............................................................................
Alamat
: .............................................................................
Hari/Tgl Wawancara
: .............................................................................
Pertanyaan-Pertanyaan : 1. Apakah yang anda mengerti dalam ilmu kewarisan ? a. Apakah hukum itu memaksakan
2. Bagaimana cara pembagian harta kekayaan jika ada si pemilik harta telah meninggal ? ....................................................................................................................... ....................................................................................................................... ....................................................................................................................... 3. Bagaimanakah realita yang ada di wilayah sekitar anda tentang masalah kewarisan ? ....................................................................................................................... ....................................................................................................................... ....................................................................................................................... 4. Bagaimana pendapat anda tentang pembagian harta waris menurut hukum kewarisan Islam ? a. Pandangan mereka tentang 2 : 1 b. Pandangan mereka tentang sama rata
82
Hasil Wawancara :
Nama
: Ust. Muttaqin
Umur
: 48 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 02 RW. 04
Hari/Tgl Wawancara
: Ahad, 11 September 2011
Beliau mengartikan waris adalah harta peninggalan orang yang sudah mati yang harta itu dibagikan kepada ahli warisnya setelah dipotong hak-hak si mayyit itu seperti wasiat, hutang dan hak-hak lainnya. Adapun sifat hukum waris Islam itu sendiri menurut beliau hanya dalam pembagian harta waris menggunakan hukum Islam. Tetapi ketika tak menggunakan hukum Islam maka sifat hukum waris Islam itu hilang, berubah dengan hukum yang di sepakati oleh semua ahli waris. Adapun realita di dalam masyarakat pasirsari di dalam pembagian harta warisan yang di titik beratkan bahwa harta peninggalan itu semua harus di wariskan kepada anak-anaknya. Tidak diperhitungkan kalau di dalam harta tersebut ada harta gono-gini buat suami atau istri yang di tinggal meninggal dunia. Dan harta itu harus di serahkan kepada suami atau istri yang di tinggal meninggal. Setalah itu harta tinggalan orang yang meninggal itu di bagi kepada ahli warisnya. Dan bisanya hanya di titik beratkan pada anak-anaknya. Padahal istri atau suami itu juga mendapat bagian dari harta warisan tersebut. Beliau memberikan persepsinya tentang ketentuan pembagian harta waris menurut hukum Islam yaitu bahwa pembagian harta waris itu di dahulukan menggunakan hukum Islam. Karena itu di rasa lebih adil. Adapun jika adanya musyawarah mufakat dari semua ahli waris untuk di bagi rata itu boleh-boleh saja. Karena hukum waris yang dibagi rata itu berkaitan dengan Islah yaitu damai tapi di dalamnya itu ada maksud kebaikan.
83
Nama
: Ust. Ahmad Bini
Umur
: 49 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 04 RW. 04
Hari/Tgl Wawancara
: Kamis, 8 September 2011
Beliau berpendapat waris itu adalah tirkah (tinggalan orang tua) sesudah meninggal yang dibagikan kepada ahli warisnya. Dan sifat hukum waris Islam itu sendiri menurut beliau tidak memaksakan, karena jika semua ahli waris itu ridho biridho, maka boleh menggunakan hukum rata. Sebagai dasarnya yaitu “Hukum itu berkisar pada alasan hukum tersebut”. Intinya bahwa semua hukum tergantung pada Illat, jika tidak adanya Illat maka hukum tidak berlaku. Sedangkan realita di Desa Pasirsari menurut beliau adalah menggunakan hukum Adat yaitu ridho birridho sesame ahli waris. Beliau sempat memberikan nasehat bahwa hukum Islam yang akan hilang di dunia yaitu diantaranya hukum waris Islam. Sekarang sudah tampak bahwa menurut beliau hukum waris Islam itu sekarang jarang dipraktekkan oleh masyarakat Desa Pasirsari. Beliau juga berpendapat bahwa hukum waris Islam itu bisa terjadi bila ada Illat. Kalau tidak ada ya biasanya di bagi rata 1 : 1. Karena dengan dasar bahwa sama-sama anaknya dan harta itu dilihat tidak membeli cuma pemberian dari si mayyit. Kenapa harus di permasalahkan. Intinya nerima saja apa yang menjadi kesepakat dari semua pihak ahli waris. Mau menggunakan hukum waris Islam boleh. Hukum waris di bagi rata juga boleh. Karena Islam itu fleksibel. Tetapi alangkah baiknya kita sebagai umat Islam menggunakan hukum waris Islam yang sudah ada aturannya di dalam Al-Qur‟an.
84
Nama
: Ust. H. Rokhim
Umur
: 34 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 05 RW. 04
Hari/Tgl Wawancara
: Kamis, 8 September 2011
Beliau mengartikan waris adalah harta peninggalan orang yang sudah mati yang harta itu dibagikan kepada ahli warisnya setelah dipotong hak-hak si mayyit itu seperti wasiat, hutang dan hak-hak lainnya Adapun dalam hal sifat hukum waris sendiri berbeda. Beliau berpendapat jika sudah diakad Sulukh (Akad Perdamaian) semua sudah setuju dan memenuhi syarat-syaratnya seperti adanya ikrar. Maka boleh menggunakan hukum yang disepakati. Akan tetapi apabila tidak tercapai akad Sulukh (Akad perdamaian) maka menggunakan hukum apa semestinya yang ada di mawaris Islam. Karena Islam itu luwes tidak memaksa. Adapun realita yang ada di sekitar sangat jauh berbeda dengan aturan hukum waris Islam. Karena adanya hak yang sama antara laki-laki dan perempuan semasa waktu di dalam keluarganya. Tidak seperti di bangsa Arab yang kaum perempuan hanya diam saja di rumah tidak melakukan tugas-tugas seperti orang laki-laki. Seandainya seperti bangsa Arab, mungkin aturan hukum waris Islam bisa di tegakkan di desa Pasirsari ini. Dan ini faktor yang paling utama di dalam pembagian harta waris di sekitar Desa Pasirsari yaitu kesamaan gender. Seorang perempuan juga mengerjakan pekerjaan laki-laki. Sehingga ketika ada pembagian harta waris, mereka iri karena sama-sama bekerja seperti orang laki-laki. Beliau juga berpendapat bahwa dengan akad sulukh (akad perdamaian) semua sudah setuju dan memenuhi syarat-syaratnya seperti ikrar yang dilakukan oleh orang yang sudah baligh. Adapun yang belum baligh itu diberikan apa mestinya sesuai hukum Islam. Setelah itu semua sudah maka boleh menggunakan hukum yang di inginkan untuk membagikan harta waris tersebut. Akan tetapi jika tidak terjadi kesepakatan akad sulukh maka hukum Islam lah yang harus ditegakkan.
85
Nama
: Kyai. Muzaki
Umur
: 55 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 04 RW. 03
Hari/Tgl Wawancara
: Jum‟at, 9 September 2011
Bapak Kyai Muzaki sebagai ketua Masjid Al-Mustaqim Pasirsari berpendapat hampir sama dengan Ust. Muttaqin bahwa waris itu adalah peninggalan harta si mayyit (Tirkatil Mayyit) dikurangi hutang, wasiat jika ada, lalu sisanya dibagikan kepada ahli waris. Sedangkan sifat dari hukum waris Islam adalah tidak memaksa, semua itu tergantung dari ahli warisnya mau menggunakan Faraid (Hukum Islam) atau Taradhoyah (Ridho biridho). Realita yang ada di Desa Pasirsari disamping menggunakan dua cara yaitu Faraidh dan Tarodhoyah. Ada pula menggunakan cara Hibah sebelum si pemilik harta tersebut meninggal dunia. Intinya harta tersebut di bagikan terlebih dahulu sebelum meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Sehingga ketika meninggal dunia tidak di permasalahkan lagi harta peninggalan si mayyit tersebut. Dan syarat untuk di hibahkannya harta tersebut adanya saksi yaitu semua anak harus datang dan tahu di dalam pembagian hibah harta tersebut. Beliau juga berpendapat bahwa boleh menggunakan Faraid boleh menggunakan Taradhoyah. Karena kedua hukum inilah yang di pakai dalam pembagian harta waris. Akan tetapi cara yang pertama di tempuh adalah system Taradhoyah yaitu ridho biridho dari semua ahli waris. Namun ketika tidak terjadi ridho biridho dari satu ahli waris saja. Maka ditempuhlah pembagian harta waris dengan menggunakan hukum waris Islam (Faraid). Adapun dasar Tarodhoyah ada pada Ijma‟ Ulama. Sedangkan dasar Faraid ada dalam Al Qur‟an di dalam pembagian harta waris tersebut.
86
Nama Umur Alamat Hari/Tgl Wawancara
: : : :
Mustaghfirin 38 Th Pasirsari RT. 01 RW. 04 Ahad, 11 September 2011
Bapak Mustaghfirin seorang buruh Batik yang beralamat di Jl. Sutan Sahrir RT. 01 RW. 04 berpendapat bawa waris adalah pembagian harta setelah mawaris meninggal (Orang yang mewariskan) kepada ahli warisnya setelah di potong wasiat, hutang baik kepada manusia maupun kepada Allah SWT. Pendapat beliau hampir sama dengan Ust. Muttaqin ketua PRNU. Adapun sifat dari hukum waris Islam itu sendiri menurut beliau tidak memaksakan, karena dengan keridhoan ahli waris yang dulunya laki-laki mendapatkan 2 bagian dan perempuan 1 bagian bisa menjadi sama-sama mendapatkan 1 bagian itu semua untuk kemaslahatan bersama. Di wilayah Pasirsari pembagian harta waris itu jarang ditemukan. Karena sebelum meninggal harta tersebut telah di hibahkan kepada anak-anaknya. Sehingga ketika meninggal dunia, hanya sedikit harta waris yang di tinggalkan. Makanya hukum waris Islam itu jarang digunakan di Desa Pasirsari ini, hanya orang yang mengetahui hukum waris Islam saja. Itu pun tidak menutup kemungkinan untuk membagikan hartanya sebelum meninggal dunia si peninggal harta waris tersebut. Menurut beliau ketentuan jika setelah ada orang meninggal dengan meninggalkan harta waris itu waris yang dilakukan langsung menggunakan hukum Islam. Adapun jika semua ahli waris mufakat dibagi rata itu tidak masalah. Namun ketika terjadi perselisihan dikembalikan lagi kepada hukum Islamlah yang harus menyelesaikannya. Karena bahwa sesungguhnya harta warisan itu jika semua ahli waris saling ridho maka menciptakan maslahat. Tetapi jika ngotot untuk mempertahankan bagiannya masing-masing walaupun ahli waris itu sudah mampu, maka harta warisan itu tidak berkah. Memang harta warisan itu hak, tapi janganlah kita berambisius dalam harta warisan, karena sudah banyak kasus orang yang terlalu rakus dengan harta warisan itu akan habis sendiri harta tersebut. Dengan kata lain kurang memberikan keberkahan harta tersebut
87
Nama
: Nur Baidin
Umur
: 27 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 06 RW. 04
Hari/Tgl Wawancara
: Rabu, 7 September 2011
Pendapat Saudara Nur Baidin sebagai seorang buruh batik yang beralamat di RT. 04 RW. 06 beliau berpendapat kalau waris itu adalah sebuah harta benda yang ditinggalkan oleh pemiliknya disebabkan meninggal dunia dan di bagikan kepada ahli warisnya. Semua harta benda tersebut adalah yang bisa diambil manfaatnya, sedangkan hutang bukan termasuk harta benda, tapi itu wajib di lunasi. Dan sifat dari hukum waris Islam menurut beliau adalah tidak adanya pemaksaan untuk menggunakan hukum waris Islam boleh menggunakan hukum waris yang lain. Karena ahli waris yang ingin di bagi rata. Dan juga adanya kesepakatan dari ahli waris yang ingin di bagi rata, supaya tercipta kerukunan. Adapun realita yang ada di desa Pasirsari adalah pembagian harta waris akan dilaksanakan sesuai dengan hukum waris Islam jika ahli waris tersebut memahami tentang pembagian hukum waris Islam dan mengetahui manfaatnya. Dan ada juga yang di bagi rata harta waris itu yaitu bagi orang-orang yang tidak memahami dan mengerti ilmu hukum waris Islam. Mereka hanya mengetahui hukum waris Adat yaitu adanya pembagian bagi rata harta waris tersebut. Jadi intinya jika orang tersebut paham dan mengerti tentang ilmu faroid, maka di pastikan pembagian harta warisnya menggunakan hukum waris Islam. Dan jika sebaliknya maka pembagian harta waris tidak menggunakan hukum waris Islam, menggunakan hukum waris Adat yang mengacu dengan persamaan gender. Menurut narasumber bahwa ketentuan pembagian harta waris menurut hukum Islam yang mana laki-laki mendapatkan 2 bagian dan perempuan mendapatkan 1 bagian di rasa adil. Karena seorang laki-laki itu orang yang menanggung ketika mereka berkeluarga. Sedangkan seorang perempuan yang di tanggung di dalam berkeluarga. Akan tetapi di masa sekarang ketentuan di bagi rata antara laki-laki dan perempuan itu di rasa cukup adil juga. Jadi semuanya bisa di pakai semua tergantung dari situasi dan kondisi.
88
Nama
: Subakir
Umur
: 56 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 03 RW. 06
Hari/Tgl Wawancara
: Kamis, 8 September 2011
Adapun pandangan dari Bapak Subakir selaku Lurah di Desa Pasirsari yang beralamat di RT. 03 RW. 06 ini mengatakan bahwa waris adalah ketika ada Bapak atau Ibu meninggal dunia yang meninggalkan harta, dan ada ahli waris sehingga dibagi kepada ahli waris. Akan tetapi jika masih ada suami atau istri maka belum boleh untuk di bagikan harta waris tersebut. Dan biasanya hanya kebijakan dari suami atau istri untuk membagikannya kepada anaknya. Agar ketika suami atau istrinya telah meninggal dunia maka sudah terbagikan hartanya kepada anaknya. Ahli waris di sini adalah anak semua. Sedangkan sifat dari hukum waris Islam adalah tidak memaksa karena tergantung dari persetujuan semua ahli waris mau memakai hukum Islam atau hukum Adat, yang penting biar tidak terjadi perselisihan di dalam pembagian harta waris tersebut. Realita pembagian di wilayah Pasirsari menggunakan hukum waris Adat yaitu jika terjadi kematian dan meninggalkan harta kekayaan untuk di wariskan kepada ahli warisnya. Maka pembagiannya harta kekayaan tersebut di bagi sama rata terhadap ahli warisnya masing-masing, dan tidak membedakan yang laki-laki dan yang perempuan. Karena dengan di bagi rata harta waris tersebut, itu di rasa adil, dan tidak ada terjadinya kecemburuan hati atau iri hati antara ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lain. Menurut pandangan beliau pembagian harta waris sangat fleksibel semua tergantung dari ahli warisnya mau menggunakan hukum Islam yang 2 : 1 atau hukum Adat yang 1 : 1 asalkan tidak adanya perselisihan dan hidup rukun antar sesama ahli waris tersebut.
89
Nama
: Romadhon
Umur
: 46 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 05 RW. 06
Hari/Tgl Wawancara
: Ahad, 11 September 2011
Pandangan
dari Bapak Lebe Pasirsari yaitu Bapak Romadhon yang
beralamatkan di RT. 05 RW. 06 yang mengatakan bahwa waris itu adalah tinggalan orang tua yang meninggal dunia yang dibagikan kepada ahli warisnya setelah dikurangi hutang dan hak-hak lainnya. Sedangkan sifat dari hukum waris Islam itu sendiri adalah tidak memaksa karena kebiasaan kalau menggunakan hukum Islam bisa menyebabkan perpecahan di dalam keluarga. Kecuali orang yang santri yang siap dengan hukum Islamnya. Makanya lebih baik di bagi rata saja dengan alasan menjaga kerukunan keluarga dengan kata lain ridho biridho lebih utama. Adapun realita yang ada biasanya di bagi sebelum orang itu meninggal dunia kepada para anak-anaknya. Misalnya saja apabila ada anak 5 dan memiliki tanah 5 hektar. Jadi masing-masing anak tersebut mendapatkan 1 hektar dengan tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan. Dan jika tak sempat di bagi ketika masih hidup, juga biasanya harta peninggalan tersebut tetap di bagi rata demi kemaslahatan umat dan tersambungnya tali silaturahmi serta menghindarkan dendam dan iri dari para ahli waris. Adapun menurut pandangan dari Bapak Lebe Desa Pasirsari Bapak Romadhon bahwa ketika menggunakan ketentuan 2 : 1 itu biasanya tidak menimbulkan kepuasan di dalam semua ahli warisnya. Akan tetapi jika dilakukan dengan ketentuan 1 : 1 di rasa puas semua. Dan menjadikan ukhuwah Islamiyah. Seperti halnya contohnya FPI yang di rasa ekstrim menerapkan hukum Islam, begitu juga ketentuan 2 : 1 yang di rasa memberatkan ahli waris karena adanya perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan.
90
Nama
: Supriyanto
Umur
: 41 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 01 RW. 08
Hari/Tgl Wawancara
: Ahad, 4 September 2011
Responden dengan Nama Supriyanto alamat Jl. Angkatan 66 RT. 01 RW. VIII, pekerjaan Pedagang memberikan arti waris adalah Harta peninggalan orang yang meninggal dunia yang dibagikan kepada ahli warisnya. Adapun sifat hukum waris itu sendiri adalah tidak adanya paksaan di dalam pembagian harta peninggalannya. Boleh menggunakan hukum Islam ataupun hukum Adat. Itu semua tergantung dari musyawarah mufakat para ahli waris. Realita yang ada di sekitar Bapak Supriyanto di dalam pembagian harta waris ada yang menggunakan hukum waris Islam, ketika peninggalannya banyak, tetapi juga semua itu tergantung dari ahli warisnya. Kalau memang bisa dimusyawarahkan untuk dibagi rata, maka dibagi rata. Karena menurut pandangan beliau pembagian bagi rata itu lebih adil. Daripada menggunakan hukum Islam yang berbelit-belit katanya. Bapak Supriyanto berpandangan kalau ketentuan pembagian harta waris menurut hukum Islam yang ketentuannya laki-laki 2 bagian dan perempuan 1 bagian itu di rasa kurang adil. Beliau lebih memilih dengan ketentuan bagi rata atau 1 : 1 di dalam pembagian harta waris. Karena anak perempuan juga sama mengurusi orang tua. Sehingga alangkah baiknya kalau di bagi sama rata 1 : 1.
91
Nama
: Sumarhadi
Umur
: 48 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 01 RW. 08
Hari/Tgl Wawancara
: Senin, 5 September 2011
Persepsi Bapak Sumarhadi dengan alamat Jl. Angkatan 66 RT. 01 RW. 08 pekerjaan Tukang Las yang mengatakan bahwa waris adalah orang yang meninggalkan dan meninggalkan harta benda yang nantinya akan di bagikan kepada anak-anaknya. Adapun Istri, Ibu, Ayah dan ahli waris yang lainnya hanya mendapatkan kebijaksanaan saja. Adapun sifat hukum waris itu tidak memaksa karena pembagian boleh di bagi rata tanpa melihat hukum waris Islam demi terciptanya keadilan. Adapun realita yang ada di sekitar yaitu pembagian harta waris dengan system bagi rata harta waris tersebut. Tidak menggunakan hukum waris Islam yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Karena mereka mengambil cara mudahnya biar tidak terjadi sengketa. Karena harta waris tidak untuk di sengketakan tapi untuk di manfaatkan oleh ahli warisnya biar menjadi harta waris yang barokah buat si ahli waris. Karena jika terjadi persengketaan harta waris itu, maka harta waris itu tidak bermanfaat dan menjadi tidak barokah bagi penerima ahli waris tersebut. Karena ahli waris tersebut harus adanya makno rukun di dalam pembagiannya terhadap ahli waris tersebut. Pendapat Bapak Sumarhadi berpandangan kalau ketentuan pembagian harta waris menurut hukum Islam yang ketentuannya laki-laki 2 bagian dan perempuan 1 bagian itu di rasa kurang adil. Beliau lebih memilih dengan ketentuan bagi rata atau 1 : 1 di dalam pembagian harta waris. Karena anak perempuan juga sama mengurusi orang tua. Sehingga alangkah baiknya kalau di bagi sama rata 1 : 1. Dengan melakukan persetujuan mufakat seluruh ahli waris yang ada.
92
Nama
: Kasno
Umur
: 60 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 01 RW. 08
Hari/Tgl Wawancara
: Rabu, 7 September 2011
Bapak Kasno yang beralamat di Jl. Angkatan 66 RT. 01 RW. 08 pekerjaan Buruh Batik berpendapat bahwa waris adalah pembagian harta peninggalan baik yang belum meninggal ataupun yang sudah meninggal dunia kepada anakanaknya secara sama rata. Dan ahli waris yang lain seperti Ibu, Ayah dan yang lainnya hanya mendapatkan kebijaksanaan saja dari anak-anaknya. Sedangkan sifat Hukum waris itu sendiri adalah tergantung dari anak-anaknya mau membagi dengan hukum Islam dengan membedakan bagian antara laki-laki dan perempuan atau dengan hukum Adat yang di bagi rata yang di rasa lebih adil. Adapun realita yang ada di desa Pasirsari adalah menggunakan hukum di bagi rata dan juga hukum waris Islam, tetapi masih banyak hukum di bagi rata di dalam desa Pasirsari di dalam pembagian harta waris tersebut. Karena kurangnya pengetahuan warga desa Pasirsari tentang hukum waris Islam. Dan di rasa hukum bagi rata lah yang lebih baik yang bisa menyebabkan kerukunan di dalam ahli waris tersebut. Bapak Kasno berpendapat ketentuan 2 : 1 itu bisa di lakukan apabila anakanaknya tidak bertentangan dengan pembagiannya tersebut. Tetapi jika bertentangan dan timbul perselisihan lebih baik menggunakan ketentuan 1 : 1 itu lebih adil menurutnya. Karena sama-sama mengurusi orang tuanya.
93
Nama
: Fahrozi
Umur
: 33 Th
Alamat
: Pasirsari RT. 01 RW. 08
Hari/Tgl Wawancara
: Rabu, 7 September 2011
Pendapat dari Fakhrozi alamat Jl. Angkatan 66 RT. 01 RW. VIII pekerjaan Tukang Becak yang mengatakan waris itu adalah peninggalan orang yang meninggal yang dibagikan kepada anak atau ahli waris. Peninggalan tersebut baik benda, uang, tanah atau hutang itu harus di waris. Dan istri tidak termasuk dalam ahli waris. Dia hanya mendapatkan persetujuan dari anak saja. Dan sifat hukum waris itu tergantung dari musyawarah keluarga mau memakai hukum apa ?. boleh hukum Islam dan hukum Adat. Tetapi apabila di musyawarahkan ada salah satu ahli waris yang mau di bagi menurut hukum Islam. Akan tetapi yang lainnya menginginkan menggunakan hukum Adat. Maka ahli waris yang satu tersebut harus mengikuti hukum Adat dengan mengindahkan hukum Islam yang di inginkannya. Realita yang ada di Desa Pasirsari adalah dibagi rata ketika ada anak 5 yang anak tersebut mendapat bagian warisnya sama, itu kebanyakannya. Tapi ada juga sebagian kecil yang menggunakan hukum waris Islam.
94