PERSEPSI AKTIVIS GENDER INDONESIA TERHADAP SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS 2:1 DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh : Maulana Hamzah NIM : 106044101371
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M
PERSEPSI AKTIVIS GENDER INDONESIA TERHADAP SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS 2:1 DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh : Maulana Hamzah NIM : 106044101371
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M
i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi dengan judul ”Persepsi Aktivis Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam”, telah diujikan dalam munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Kamis tanggal 03 Desember 2010, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Jurusan Peradilan Agama. Jakarta, 03 Desember 2010 Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM Nip: 195505051982031012 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA Nip. 195003061976031001
(.........................)
2. Sekretaris
:
Kamarusdiana, S.Ag, MH Nip. 197202241998031003
(.........................)
3. Pembimbing 1
: Drs. H. Hamid Farihi, MA Nip. 195811191986031001
(.........................)
4. Pembimbing 2
: Drs. Heldi, M.Pd Nip. 196304141993031002
(.........................)
5. Penguji 1
:
H. Damanhuri, SH Nip. 194703081971071001
(.........................)
6. Penguji 2
:
Dra. Maskufa, M.Ag Nip. 196807031994032002
(.........................)
ii
PERSEPSI AKTIVIS GENDER INDONESIA TERHADAP SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS 2:1 DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) Oleh:
MAULANA HAMZAH NIM: 106044101371
Di bawah Bimbingan
Pembimbing 1
Pembimbing 2
Drs. H. Hamid Farihi, MA NIP: 195811191986031001
Drs. Heldi, M.Pd NIP: 196304141993031002
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 November 2010
Maulana Hamzah
iv
ABSTRAK Maulana Hamzah NIM: 106044101371, “Persepsi Aktivis Gender Indonesia terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam”. Skripsi, konsentrasi peradilan agama program studi ahwal syakhsiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1431 H/2010 M, xi + 62 halaman + 7 lampiran. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana persepsi para aktivis gender Indonesia terhadap sistem waris 2:1 dalam konsep pembagian kewarisan hukum Islam. Mengetahui apa yang menjadi latar belakang dari persepsi mereka dan apa saja argumen yang mereka utarakan, serta solusi apa yang mesti dijalankan dalam menghadapi sikap pro dan kontra terhadap sistem pembagian dua berbanding satu antara anak laki-laki dan perempuan ini. Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan (library research) yang deskriptif sesuai dengan hukum normatif. Metode desktiptif analitis yaitu metode yang memaparkan mesalah-masalah sebagaimana adanya disertai argumentasi-argumentasi, dan metode deskriptif explanatoris yaitu metode yang berdasarkan rasional dan logis secara induktif dan deduktif terhadap sasaran pemikiran. Skripsi ini menyimpulkan bahwa sistem pembagian waris yang diatur dalam al- Qur’an sudah sesuai dengan fitrah manusia. Namun yang harus dicermati dan lebih difokuskan adalah perhatian kita terhadap pengelolaan harta waris itu sendiri, jangan sampai menjadi sia-sia begitu saja. Dan terhadap perbedaan pendapat harus dijadikan sebagai sebuah rahmat bukan laknat, sehingga kita dapat terus berkarya dan melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang bermanfaat. ¾
Kata kunci
¾
Pembimbing : Drs. H. Hamid Farihi, MA. Drs. Heldi, M.Pd
¾
Daftar pustaka : 1983-2010
: Aktivis Gender, Waris 2:1, Hukum Waris Islam
v
ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhingga banyaknya. Demikian pula tak luput shalawat serta salam kita haturkan kepada kekasih Allah Baginda Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Persepsi Aktivis Gender Indonesia terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam” sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana hukum Islam. Dalam proses penyelesaian skripsi ini, banyak sekali hikmah serta manfaat yang didapat dan menjadi kesan yang sangat bermakna. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada para pihak yang telah memberikan bantuan, dan bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada kedua orang tua tercinta yang selalu mencurahkan kasih sayang yang tiada henti-hentinya. Semoga amal keduanya mendapat balasan yang setimpal di sisi Allah SWT. Amin. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus dosen penasehat akademik jurusan Peradilan Agama kelas A angkatan 2006.
vi
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua program studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 3. Drs. H. Hamid Farihi, MA. Dan Drs. Heldi, M.Pd. selaku pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar membimbing sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan. Semoga amal beliau diberi ganjaran oleh Allah SWT. 4. Para aktivis yang bersedia untuk diwawancarai yaitu bapak Abdul Wahid Maryanto, Lc., M.Ba. dari Yayasan Puan Amal Hayati, dan mas M. Taufik Damas, Lc. Dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Penulis ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk memperoleh data-data dalam penyelesaian skripsi ini. 5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengamalkan ilmunya kepada penulis semoga menjadi ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Dan seluruh staf perpustakaan Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Untuk Ayah saya tercinta H. Mugeni dan ibunda tercinta Eti Sukarti serta untuk kakak dan adik-adik tersayang yang telah memberikan nasehat serta dukungan yang tak terhingga bagaikan sinar matahari yang tak bosanbosannya menyinari bumi ini. 7. Untuk seluruh sahabat penulis, khususnya kepada Arif Rahman dan segenap kawan-kawan Komcab, Firman Abdurrahman, Ahmad Afandi, S.HI., Asep Dadan dan seluruh teman seperjuangan yang telah mewarnai hari-hari penulis vii
dengan hal-hal yang bersifat positif terutama sahabat-sahabat Peradilan Agama kelas A angkatan 2006 yang memberikan kesan tersendiri bagi Penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh komponen yang telah berjasa dan memberikan kontribusi baik moriil maupun materiil. Penulis tidak bisa membalas kebaikan mereka kecuali dengan doa semoga Allah SWT membalas amal perbuatan dan budi baik sekalian. Amin.
Jakarta, 10 November 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING........................................................iii LEMBAR PERNYATAAN........................................................................................iv ABSTRAK...................................................................................................................v KATA PENGANTAR................................................................................................vi DAFTAR ISI..............................................................................................................vii BAB I PENDAHULUAN …………………..……………….......................………..1 A. Latar Belakang Masalah………………………………………………............1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………………………....5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………………..6 D. Tinjauan Kajian Terdahulu…………………………………………………....7 E. Metode Penelitian ……………………………………………………….........9 F. Teknik Penulisan…………………………………………………….......…..12 G. Sistematika Penulisan……………………………………………………......12 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS 2:1..........................................14 A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam...............................................................14 B. Dasar Hukum Waris........................................................................................18 C. Rukun dan Syarat Waris..................................................................................27 D. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam...............................................................28 ix
E. Pengertian Persepsi..........................................................................................30 F. Konsep Keadilan 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam...................................32 BAB III KONSEP PEMBAGIAN WARIS ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MENURUT AKTIVIS GENDER INDONESIA...........35 A. Pengertian Gender...........................................................................................35 B. Karakteristik Aktivis Gender Indonesia..........................................................40 C. Persepsi Para Aktivis Gender terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 Disertai Argumen-Argumen yang Melatarbelakangi Persepsi Mereka...........43 BAB IV HASIL PENELITIAN MENGENAI PERSEPSI AKTIVIS GENDER INDONESIA TERHADAP SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS 2:1.................................................................................................................54 A. Analisa tentang Persepsi Aktivis Gender Indonesia terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam.........................54 B. Solusi dalam Menghadapi Sikap Pro dan Kontra terhadap Sistem Pembagian Waris 2:1..........................................................................................................57 BAB V PENUTUP ..................................................................................................60 A. Kesimpulan......................................................................................................60 B. Saran................................................................................................................61 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................62 LAMPIRAN...............................................................................................................65
x
1
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah Di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini, berbagai budaya dan keanekaragaman adat istiadat sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Termasuk dalam hal ini adalah masalah pembagian harta waris. Sudah tidak asing lagi bagi kita bahwa perkara harta peninggalan ini sering sekali menimbulkan polemik tersendiri di masyarakat, apalagi di masa-masa serba sulit seperti sekarang ini. Sebagai akibat dari tuntutan keadaan yang sulit, peran perempuan seringkali menjadi sangat dibutuhkan dalam kehidupan rumah tangga. Banyak fenomena yang terjadi di masyarakat yang mengatasnamakan kebutuhan hidup, perempuan bekerja membantu suami mencari penghasilan tambahan. Bahkan, tidak jarang pula seorang isteri menjadi tulang punggung keluarga. Bila kita perhatikan partisipasi perempuan dalam kehidupan sehari-hari, maka kita akan mendapatkan betapa besar peran wanita dalam menopang ekonomi keluarga. Sebagai contoh peran wanita sebagai sumber daya manusia yang dimanfaatkan untuk tenaga kerja di pabrik-pabrik (buruh), perkantoran (karyawati), tenaga kerja wanita (TKW) yang dikirim ke luar negeri, dan lain sebagainya. Bahkan lebih dari itu, bangsa Indonesia pun pernah dipimpin oleh presiden dari kalangan perempuan yakni Megawati Soekarno Putri. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini
2
sebagai sumber daya manusia, peran perempuan semakin penting dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bila dilihat dari struktur bangsa Indonesia yang multikultur, kita bisa amati bersama ada beberapa hukum adat yang berlaku di beberapa wilayah di Indonesia. Sebagai contoh sistem adat Minangkabau yang memberikan porsi warisan lebih besar kepada anak perempuan ketimbang laki-laki, padahal mayoritas warga Minangkabau beragama Islam. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa efektifitas hukum kewarisan Islam di Indonesia belum sepenuhnya diadopsi dan dipraktekan secara utuh. Hingga saat ini, di negara-negara Islam yang memberlakukan sistem kewarisan Islam, baik dari golongan Syi’ah, Sunni, maupun negara-negara Islam yang telah mengusahakan pengkodifikasian hukum waris lewat sistem perundangundangan seperti Turki dan lain-lain, masih tetap menggunakan dan mempertahankan sistem pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan. Begitupula di Indonesia, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176 ditegaskan bahwa apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.1 Ini berarti apabila anak perempuan berjumlah dua orang dan ada seorang anak laki-laki, maka masing-masing anak perempuan memperoleh 1/4 sedangkan anak laki-laki 2/4, cara seperti ini ditentukan
1
Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.131.
3
langsung oleh al- Qur’an surat al- Nisaa/ 4:11, tanpa dapat diinterpretasikan lain karena teks tersebut dianggap telah jelas.
£⎯ßγn=sù È⎦÷⎫tGt⊥øO$# s−öθsù [™!$|¡ÎΣ £⎯ä. βÎ*sù 4 È⎦÷⎫u‹sVΡW{$# Åeáym ã≅÷VÏΒ Ìx.©%#Ï9 ( öΝà2ω≈s9÷ρr& þ’Îû ª!$# ÞΟä3ŠÏ¹θム$£ϑÏΒ â¨ß‰¡9$# $yϑåκ÷]ÏiΒ 7‰Ïn≡uρ Èe≅ä3Ï9 ϵ÷ƒuθt/L{uρ 4 ß#óÁÏiΖ9$# $yγn=sù Zοy‰Ïm≡uρ ôMtΡ%x. βÎ)uρ ( x8ts? $tΒ $sVè=èO ÿ…ã&s! tβ%x. βÎ*sù 4 ß]è=›W9$# ϵÏiΒT|sù çν#uθt/r& ÿ…çµrOÍ‘uρuρ Ó$s!uρ …ã&©! ⎯ä3tƒ óΟ©9 βÎ*sù 4 Ó$s!uρ …çµs9 tβ%x. βÎ) x8ts? tβρâ‘ô‰s? Ÿω öΝä.äτ!$oΨö/r&uρ öΝä.äτ!$t/#u™ 3 A⎦ø⎪yŠ ÷ρr& !$pκÍ5 ©Å»θム7π§‹Ï¹uρ ω÷èt/ .⎯ÏΒ 4 â¨ß‰¡9$# ϵÏiΒT|sù ×οuθ÷zÎ) ∩⊇⊇∪ $VϑŠÅ3ym $¸ϑŠÎ=tã tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 «!$# š∅ÏiΒ ZπŸÒƒÌsù 4 $YèøtΡ ö/ä3s9 Ü>tø%r& öΝß㕃r& Artinya: ”Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al- Nisa’/4:11). Ayat tersebut menjelaskan bahwa anak laki-laki mendapatkan porsi warisan dua bagian perempuan. Dalam ayat tersebut, muncullah tanggapan dari para cendekiawan muslim. Menurut Thohir al Haddad dan Nashr Abu Zaid, bahwa pembagian tersebut 2:1 sudah tidak berlaku untuk masa kini dengan alasan keadaan berbeda, dengan menggunakan kaidah fikih:
4
ﻭ ﹾﺍ ﹶﳌ ﹶﻜﺎ ِﻥ ﻣﺎ ِﻥ ﺰ ﻴ ِﺮ ﺍﻟﻐ ﺘﺣ ﹶﻜﺎ ِﻡ ِﺑ ﺮ ﹾﺍ َﻷ ﻴﻐ ﺗ ”Taghoyyurul ahkam bi taghoyyuri zaman wal makan” (suatu hukum bisa berubah jika keadaan dan waktunya berubah juga).2 Suatu kenyataan perubahan telah terjadi bahwa perempuan hari ini telah ikut berpartisipasi bersama laki-laki dalam menjalani kehidupan ini dalam segala aspeknya: ekonomi, budaya, pendidikan dan politik, dan sebagainya sebagaimana laki-laki. Tidak sedikit pula cendekiawan muslim yang tetap memegang teguh prinsip pembagian 2:1 ini karena kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa sampai kapanpun tugas yang diemban oleh seorang laki-laki lebih berat ketimbang dengan beban yang diemban perempuan. Contoh yang sangat sering mereka utarakan adalah mencari nafkah dan menjadi pemimpin dalam keluarga serta masih banyak lagi contoh-contoh yang menjadi landasan mereka tetap berpegang teguh pada prinsip pembagian 2:1 yang telah diterangkan dalam al-Qur’an surat al- Nisa ayat 11. Selain itu, mereka mempertimbangkan kepada sejarah diberlakukannya pembagian 2:1, dimana perempuan tidak mendapat bagian warisan apapun dalam hukum kewarisan sebelum Islam, sekarang menjadi mempunyai kedudukan kokoh, mendapat seperdua dari perolehan anak laki-laki yang selama ini mengambil semua harta peninggalan.3
2
Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih (Al-Qowa’idul Fiqhiyyah), (Surabaya: Kalam Mulia, 1992), h.38. 3
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: sinar grafika, 2004), h.117
5
Berangkat dari pola pikir yang seperti inilah penulis berpikir untuk mencoba meneliti lebih jauh masalah pewarisan yang ada pada masyarakat ini. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk membahas masalah ini secara jelas dan gamblang tentang sistem pembagian waris yang terdapat dalam al- Qur’an beserta letak keadilan dengan sistem pembagian 2:1 dalam hukum kewarisan Islam dan bagaimana persepsi para aktivis gender mengenai sistem ini dengan berkutat pada relevansi dan efektifitasnya pada masa kini dengan mengangkatnya dalam judul: ”Persepsi Aktivis Gender Indonesia terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam”
B.
Batasan dan Rumusan Masalah Dalam menyusun skripsi ini, untuk mempermudah pembahasan, penulis akan
membatasi dan merumuskan masalah sesuai dengan judul skripsi yaitu persepsi aktivis gender Indonesia terhadap sistem pembagian harta waris 2:1 dalam hukum kewarisan Islam. 1.
Batasan Masalah Yang pertama, penulis akan membatasi aktivis gender yang akan dijadikan
objek penelitian, yaitu para aktivis atau penggiat masalah perempuan yang ada di Indonesia. Mengingat begitu luasnya wilayah Indonesia bila ingin menggalinya secara detail, maka penulis akan lebih memfokuskan penelitian pada persepsi aktivis tentang sistem pembagian harta waris 2:1 yang telah dimuat dalam buku-buku ilmiah atau literatur-literatur yang ada kaitannya dengan masalah ini serta tidak menutup
6
kemungkinan persepsi-persepsi mereka yang penulis angkat dari artikel-artikel yang dimuat dalam media-media cetak maupun dari hasil wawancara. Dengan demikian locus (ruang lingkup) dari penelitian ini menjadi lebih sempit, sehingga penelitian menjadi jelas dan terarah. 2.
Rumusan masalah Kemudian yang kedua, penulis akan merumuskan masalah yang menjadi
fokus penelitian ini yaitu: a. Bagaimana persepsi para aktivis gender Indonesia terhadap sistem pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan disertai argumen mereka? b. Apakah solusi yang tepat untuk menanggapi sikap pro dan kontra terhadap sistem pembagian harta waris 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis persepsi dan argumen para aktivis gender Indonesia terhadap sistem pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan. b. Untuk mengetahui solusi yang tepat dalam menanggapi sikap pro dan kontra terhadap sistem pembagian harta waris 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan.
7
2. Adapun manfaat penelitian ini adalah: a. Untuk memberikan kajian dalam memperkaya literatur serta penelitian secara mendalam lebih lanjut. b. Sebagai kontribusi pemikiran terhadap kajian hukum kewarisan Islam terutama dalam konsep keadilannya. c. Untuk dijadikan bahan rujukan pada kajian-kajian ilmiah selanjutnya.
D.
Tinjauan Kajian Terdahulu Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi/ tesis/ disertasi yang secara
khusus membahas tema atau judul dan masalah yang serupa khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan di Fakultas Hukum Universitas lain pada umumnya. Hemat penulis, ada beberapa karya tulis lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum, di antaranya : Nilayatul Maula, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Konsep Pembagian Waris Anak Laki-Laki dan Perempuan Menurut Prof. Dr. H. Munawwir Sjadzali, MA.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. Eli Nurmalia, “Respons Perempuan terhadap Sistem Pembagiam Waris 2:1 dalam Hukum Kewarisan Islam” (Studi di Rt.04/05 Kelurahan Bojongkulur Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor). Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2008.
8
Uun Ru’yatul Hilal, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Praktek Hukum Waris Bagi Rata pada Masyarakat Desa Bahagia, Kecamatan Babelan Kotamadya Bekasi”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Data pada skripsi yang pertama, yaitu skripsi dari saudari Nilayatul Maula, ia lebih memfokuskan penelitiannya pada pemikiran seorang tokoh saja yaitu Munawwir Sjadzali. Jenis penelitian ini memang sama seperti yang penulis gunakan yaitu jenis penelitian kepustakaan (library research), namun tidak memakai wawancara, sedangkan penulis selain juga menggunakan metode wawancara, juga tidak memfokuskan penelitian hanya pada seorang tokoh saja, melainkan banyak tokoh. Dalam skripsi kedua, yakni skripsi saudari Eli Nurmalia, meliputi wilayah Bojongkulur Kabupaten Bogor. Pada skripsi terdahulu ini penulisnya menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) dan hanya membahas masalah respons dari perempuan di wilayah itu yang mereka semua tidak dapat dipastikan mengerti akan sistem pembagian dalam kewarisan Islam. Adapun dalam skripsi terdahulu yang ketiga, yakni skripsi dari saudari Uun Ru’yatul Hilal lebih cenderung meneliti lebih dalam tentang praktek pembagian secara merata terhadap harta waris yang terjadi di wilayah desa Bahagia. Dan jenis penelitian dalam skripsi yang ketiga ini hampir sama dengan skripsi yang kedua yaitu dengan lebih mengutamakan jenis penelitian lapangan (field research).
9
Sedangkan, penulis memposisikan skripsi ini kepada pemikiran para aktivis gender Indonesia dalam menanggapi permasalahan sistem pembagian 2:1. Begitu pula dengan jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (library research). Dengan demikian
skripsi ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan terdahulu. Oleh karena itu pula penulis merasa perlu untuk mengangkat tema atau judul dan pembahasan yang diangkat dalam skripsi ini.
E.
Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian a. Dilihat dari segi jenis datanya penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif karena data-data yang penulis gunakan berupa data kualitatif.
Selain itu, jenis penelitian yang penulis gunakan adalah
penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan yang dimaksud adalah penulis berupaya mencari data-data dari literaturliteratur dan referensi yang berhubungan dengan skripsi ini. Referensi diambil dari al- Qur’an dan Hadits, juga kitab-kitab fikih klasik dan kontemporer yang berkaitan dengan materi penelitian, kemudian bukubuku yang berkaitan dengan kesetaraan gender, kewarisan wanita dalam Islam dan dari bahan-bahan lain seperti karya tulis skripsi, makalah, majalah, koran, artikel serta bahan-bahan lainnya yang dapat mendukung judul skripsi di atas.
10
b. Dari segi tujuannya penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis karena bertujuan memberikan gambaran dan penjelasan tentang pokok permasalahannya yakni efektifitas pembagian harta waris 2:1 antara anak laki-laki dan perempuan dalam perspektif aktivis gender Indonesia. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data terdiri dari dua sumber, yakni: 1) Sumber primer, yaitu berupa hasil wawancara, dokumen-dokumen, bukubuku yang menyangkut dengan kewarisan Islam, fikih perempuan, kesetaraan gender. 2) Sumber sekunder, yakni memberikan penjelasan dan menguatkan data primer yang mencakup karya tulis berupa makalah, koran, majalah dan lain-lain dengan mengambil materi yang relevan dengan pembahasan skripsi ini. Adapun Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara karena salah satu metode penelitian yang digunakan berupa wawancara. Penulis juga menggunakan pedoman dokumentasi yang memuat garis-garis besar atau kategori yang akan dicari datanya, dan checklist yaitu daftar variabel yang akan dikumpulkan datanya, sebagai instrumen
11
penelitian karena salah satu metode penelitian yang penulis pakai adalah metode dokumentasi.4 3. Teknik Pengolahan Data Dalam penelitian yang menggunakan metode library research ini, dalam pengolahan data digunakan metode kualitatif, yakni dengan cara pengumpulan data sebanyak-banyaknya kemudian diolah menjadi satu kesatuan data mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil materimateri yang relevan dengan permasalahan lalu dikomparasikan.
4. Teknik Analisis Data Metode analisis data dalam skripsi ini adalah kualitatif-normatif yakni analisa data dari berbagai dokumen yang berkaitan dengan kewarisan Islam dan persepsi aktivis gender Indonesia. Selain itu, dalam penulisan skripsi ini, penulis juga menggunakan metode analisis induktif, yaitu dengan cara menganalisa data yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik pada kesimpulan umum.
4
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, cet.XII (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h.135-136.
12
F. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini semua berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta cet.1, 2007.
G. Sistematika Penulisan Sistematika yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I:
Seperti pada umumnya merupakan pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, lalu dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu kemudian dilengkapi dengan metode penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II: Penulisan mencakup tinjauan umum tentang waris, yang terdiri dari pengertian hukum kewarisan Islam, dasar hukum waris, pengertian persepsi, dan konsep keadilan 2:1 dalam hukum kewarisan Islam. Bab III: Lebih fokus terhadap apa yang disebut dengan gender dan perkembanganya, kemudian menerangkan secara jelas konsep pembagian waris 2:1 menurut aktivis gender dan disertai dengan argumen-argumen yang melatarbelakangi persepsi mereka.
13
Bab IV: Penulis berkutat pada hasil penelitian mengenai sistem pembagian waris 2:1, dengan mengemukakan: analisa penulis akan persepsi para aktivis yang sudah dibahas, dan mencoba menawarkan solusi dalam menghadapi sikap pro dan kontra terhadap sistem bagi waris 2:1 ini. Bab V: Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran kemudian diakhiri dengan daftar pustaka dan dilengkapi dengan lampiran.
14
BAB II Tinjauan Umum Tentang Waris 2:1
A. Pengertian Waris 1) Pengertian Secara Etimologi ”lafadz faraid faridhah
()ﻓﺮﻳﻀﺔ
()ﻓﺮاﺋﺾ
merupakan jama’ (bentuk plural) dari lafadz
yang mengandung arti mafrudhah ( )ﻣﻔﺮوﺿﺔyang sama
artinya dengan muqaddarah ( )ﻣﻘﺪرةyaitu: suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat di dalam alQur’an, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan dengan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan faraid”.5 Adapun penggunaan kata mawarits
()ﻣﻮارث
lebih melihat kepada
yang menjadi objek dari hukum ini yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata mawarits merupakan bentuk plural dari kata miirats
()ﻣﻴﺮاث
yang berarti mauruts
()ﻣﻮروث
yakni harta yang diwarisi.
Dengan demikian maka arti kata warits yang dipergunakan dalam beberapa
5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h.5
15
kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan itu, karena kata warits artinya adalah orang pewaris.6
2) Pengertian Secara terminologi Para ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang ilmu faraidh atau fiqh mawarits. Walapun definisi-definisi yang mereka utarakan secara redaksional berbeda, namun, memiliki pengertian yang sama. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Muhammad al- Syarbiny yang mendefinisikan ilmu faraidh sebagai berikut:
ﺪ ِﺭ ﻌ ِﺮﹶﻓ ِﺔ ﹶﻗ ﻣ ﻭ ﻚ ﻌ ِﺮﹶﻓ ٍﺔ ﹶﺫِﻟ ﻣ ﺻ ﹸﻞ ِﺍﹶﻟﻰ ِّ ﻮ ﻤ ﺏ ﺍﹾﻟ ِ ﺴﺎ ﺤ ِ ﻌ ِﺮﹶﻓ ِﺔ ﺍﹾﻟ ﻣ ﻭ ﺙ ِ ﺭ ﻖ ِﺑﺎﹾﻟِﺈ ﻌﱠﻠ ﺘﻤ ﻪ ﺍﹾﻟ ﹶﺍﹾﻟ ِﻔ ﹾﻘ .ﻖ ﺣ ﺮ ﹶﻛ ِﺔ ِﻟ ﹸﻜ ﱢﻞ ِﺫﻱ ﻦ ﺍﻟِﺘ ﺐ ِﻣ ِ ﻮﺍ ِﺟ ﺍﹾﻟ Artinya: “ilmu fiqh yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris)”.7 Hasbi ash- Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
6 7
Ibid. h.5
Suparman Usman, Yusuf Somawinata. Fiqh Mawaris:Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h.14
16
.ﻳ ِﻊﻮ ِﺯ ﺘﻴ ﹸﺔ ﺍﻟﻴ ِﻔﻭ ﹶﻛ ﺙ ٍ ﻭﺍ ِﺭ ﺭ ﹸﻛ ﱢﻞ ﺪﺍ ﻭ ِﻣ ﹾﻘ ﺙ ﻳ ِﺮ ﹸ ﻦ ﹶﻟﺎ ﻣ ﻭ ﺙ ﻳ ِﺮ ﹸ ﻦ ﻣ ﻑ ِﺑ ِﻪ ﺮ ﻌ ﻳ ﻢ ِﻋ ﹾﻠ Artinya: “ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya”.8 Dengan demikian kita dapat tarik kesimpulan dari beberapa definisi yang diungkapkan di atas, bahwa imu faraidh itu mencakup tiga unsur penting di dalamnya, yaitu: 1. Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris, 2. Pengetahuan tentang bagian-bagian setiap ahli waris, dan 3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.9 Dalam literatur hukum di Indonesia, digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya menyadur dari bahasa Arab, yaitu: waris, warisan, pusaka dan hukum kewarisan. Yang menggunakan nama hukum waris, memandang kepada orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini. Sedangkan yang menggunakan nama warisan, memandang kepada warisan yang menjadi objek dari hukum itu. Untuk maksud terakhir ini ada yang memberi nama dengan pusaka yaitu nama lain 8 9
Ibid. h.14
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Aldizar dan Fathurrahman,(Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h.13
17
dari harta yang dijadikan objek warisan, terutama yang berlaku di lingkungan adat Minangkabau. Dalam istilah hukum baku yang digunakan adalah kata kewarisan, dengan mengambil asal kata waris dengan tambahan awalan ke- dan akhiran – an. Kata waris itu sendiri dapat berarti orang pewaris sebagai subjek dan dapat pula berarti proses. Dalam arti pertama mengandung makna ”hal ihwal orang yang menerima harta warisan” dan dalam arti kedua mengandung makna ”hal ihwal peralihan harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup”. Arti yang terakhir ini yang digunakan dalam istilah hukum.10 Penggunaan kata hukum di awalnya mengandung arti seperangkat aturan yang mengikat dan penggunaan kata Islam di belakang mengandung arti dasar yang menjadi rujukan. Dengan demikian dengan segala titik lemahnya, hukum kewarisan Islam itu dapat diartikan dengan: ”seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua orang yang beragama Islam”.11
10
Ibid. h.13
11
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.6
18
B. Dasar Hukum Waris Adapun dasar-dasar hukum yang dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan pemberlakuan hukum waris bagi umat Islam adalah sebagai berikut: 1. Ayat-ayat al- Qur’an: a)
QS. al- Nisa (4): 7
Èβ#t$Î!≡uθø9$# x8ts? $£ϑÏiΒ Ò=ŠÅÁtΡ Ï™!$|¡ÏiΨ=Ï9uρ tβθç/tø%F{$#uρ Èβ#t$Î!≡uθø9$# x8ts? $£ϑÏiΒ Ò=ŠÅÁtΡ ÉΑ%y`Ìh=Ïj9 ∩∠∪ $ZÊρãø¨Β $Y7ŠÅÁtΡ 4 uèYx. ÷ρr& çµ÷ΖÏΒ ¨≅s% $£ϑÏΒ šχθç/tø%F{$#uρ Artinya: ”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(QS.al- Nisa’:4/7) Ayat diatas menjadi landasan bagi kita untuk mengetahui bahwa setiap anak kandung baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan harta peninggalan dari orang tuanya yang telah meninggal dunia. Sebabnya sudah tentu karena hubungan darah antara mereka. Adapun bagian yang diperoleh masing-masing daripada mereka yang telah ditetapkan menjadi ahli waris tidak dijelaskan dalam ayat ini, melainkan diterangkan pada ayat selanjutnya yaitu pada ayat kesebelas masih dalam surat al-nisa’.
19
b) QS. al-Nisa (4): 11
È⎦÷⎫tGt⊥øO$# s−öθsù [™!$|¡ÎΣ £⎯ä. βÎ*sù 4 È⎦÷⎫u‹sVΡW{$# Åeáym ã≅÷VÏΒ Ìx.©%#Ï9 ( öΝà2ω≈s9÷ρr& þ’Îû ª!$# ÞΟä3ŠÏ¹θム$yϑåκ÷]ÏiΒ 7‰Ïn≡uρ Èe≅ä3Ï9 ϵ÷ƒuθt/L{uρ 4 ß#óÁÏiΖ9$# $yγn=sù Zοy‰Ïm≡uρ ôMtΡ%x. βÎ)uρ ( x8ts? $tΒ $sVè=èO £⎯ßγn=sù ϵÏiΒT|sù çν#uθt/r& ÿ…çµrOÍ‘uρuρ Ó$s!uρ …ã&©! ⎯ä3tƒ óΟ©9 βÎ*sù 4 Ó$s!uρ …çµs9 tβ%x. βÎ) x8ts? $£ϑÏΒ â¨ß‰¡9$# 3 A⎦ø⎪yŠ ÷ρr& !$pκÍ5 ©Å»θム7π§‹Ï¹uρ ω÷èt/ .⎯ÏΒ 4 â¨ß‰¡9$# ϵÏiΒT|sù ×οuθ÷zÎ) ÿ…ã&s! tβ%x. βÎ*sù 4 ß]è=›W9$# tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 «!$# š∅ÏiΒ ZπŸÒƒÌsù 4 $YèøtΡ ö/ä3s9 Ü>tø%r& öΝß㕃r& tβρâ‘ô‰s? Ÿω öΝä.äτ!$oΨö/r&uρ öΝä.äτ!$t/#u™ ∩⊇⊇∪ $VϑŠÅ3ym $¸ϑŠÎ=tã
Artinya: ”Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.al- Nisa’:4/11) Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang bagian anak pada permulaan ayat, yaitu bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, hal ini menunjukkan betapa pentingnya mendahulukan anak dalam perbagian harta pusaka dari orang tuanya sendiri.
20
c) QS. al-Nisa (4): 12
Ó$s!uρ ∅ßγs9 tβ$Ÿ2 βÎ*sù 4 Ó$s!uρ £⎯ßγ©9 ⎯ä3tƒ óΟ©9 βÎ) öΝà6ã_≡uρø—r& x8ts? $tΒ ß#óÁÏΡ öΝà6s9uρ ∅ßγs9uρ 4 &⎥ø⎪yŠ ÷ρr& !$yγÎ/ š⎥⎫Ϲθム7π§‹Ï¹uρ ω÷èt/ .⎯ÏΒ 4 z⎯ò2ts? $£ϑÏΒ ßìç/”9$# ãΝà6n=sù $£ϑÏΒ ß⎯ßϑ›V9$# £⎯ßγn=sù Ó$s!uρ öΝà6s9 tβ$Ÿ2 βÎ*sù 4 Ó‰s9uρ öΝä3©9 ⎯à6tƒ öΝ©9 βÎ) óΟçFø.ts? $£ϑÏΒ ßìç/”9$# »'s#≈n=Ÿ2 ß^u‘θム×≅ã_u‘ šχ%x. βÎ)uρ 3 &⎦ø⎪yŠ ÷ρr& !$yγÎ/ šχθß¹θè? 7π§‹Ï¹uρ ω÷èt/ .⎯ÏiΒ 4 Λä⎢ò2ts? ⎯ÏΒ usYò2r& (#þθçΡ%Ÿ2 βÎ*sù 4 â¨ß‰¡9$# $yϑßγ÷ΨÏiΒ 7‰Ïn≡uρ Èe≅ä3Î=sù ×M÷zé& ÷ρr& îˆr& ÿ…ã&s!uρ ×οr&tøΒ$# Íρr& Zπ§‹Ï¹uρ 4 9h‘!$ŸÒãΒ uöxî A⎦ø⎪yŠ ÷ρr& !$pκÍ5 4©|»θム7π§‹Ï¹uρ ω÷èt/ .⎯ÏΒ 4 Ï]è=›W9$# ’Îû â™!%Ÿ2uà° ôΜßγsù y7Ï9≡sŒ ∩⊇⊄∪ ÒΟŠÎ=ym íΟŠÎ=tæ ª!$#uρ 3 «!$# z⎯ÏiΒ Artinya: ”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.(QS.al- Nisa’:4/12) Ayat 12 surah al- Nisa’ ini merupakan kelanjutan dari ayat 11 yang melengkapi penjelasan mengenai pembagian dari harta pusaka yang
21
ditinggalkan oleh si pewaris kepada ahli warisnya. Sebenarnya, inti dari ayatayat kewarisan adalah ayat 11 dan 12 surah al- Nisa’ ini. Di sini diatur perolehan anak, ibu bapak, janda duda, dan saudara serta wasiat dan hutang. Adapun yang menjadi asbabun nuzul dari turunnya ayat 11 dan 12 ini adalah suatu kejadian yang dialami oleh Sa’ad bin Rabi’ dalam hubungan dengan perang Uhud, bulan Syawal tahun ke-3 Hijrah. Peristiwa ini diabadikan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan alTirmidzy:
ﺘﺎﻨﺑﺗﺎ ِﻥ ِﺇﻫﺎ ﷲ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﻳﺎ ﺖ ﻬﺎ ﹶﻓ ﹶﻘﺎﹶﻟ ﻴ ِﻦ ﹶﻟﺘﻨﺑ ﺮﹶﺃ ﹸﺓ ِﺑِﺈ ﻤ ﺕ ﺍﹾﻟ ِ ﺟﹶﺄ :ﷲ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِ ﺒ ِﺪ ﺍﻋ ﺑ ِﻦ ﺟﺎِﺑ ِﺮ ﻦ ﻋ ﻭﹶﻟﺎ ﻣﺎﹰﻟﺎ ﻤﺎ ﻬ ﻉ ﹶﻟ ﺪ ﻳ ﻢ ﻤﺎ ﹶﻓﹶﻠ ﻬ ﻣﺎﹶﻟ ﺧ ﹶﺬ ﻤﺎ ﹶﺃ ﻬ ﻤ ﻋ ﻭ ِﺇ ﱠﻥ ﺪﺍ ﻴﺷ ِﻬ ﺣ ٍﺪ ﻡ ﹸﺃ ﻮ ﻳ ﻴ ِﻊ ﹸﻗِﺘ ﹶﻞﺮِﺑ ﺑ ِﻦ ﺍﻟ ﻌﺪ ﺳ ﻮ ﹸﻝ ﺳ ﺭ ﺚ ﻌ ﹶ ﺒﺙ ﹶﻓ ِ ﺮﺍ ﻴﻳ ﹸﺔ ﺍﹾﻟ ِﻤﺖ ﺁ ﺰﹶﻟ ﻨﻚ ﹶﻓ ﷲ ِﻓﻰ ﹶﺫِﻟ ُ ﻀﻲ ﺍ ِ ﻳ ﹾﻘ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ.ﻣﺎ ﹲﻝ ﻤﺎ ﻬ ﻭﹶﻟ ﺤﺎ ِﻥ ِﺇﱠﻟﺎ ﻨ ِﻜﺗ ﻤﺎ ﻬ ﻣ ﻂ ﹸﺃ ِ ﻋ ﻭ ﹶﺍ ﻴ ِﻦﻌ ٍﺪ ﺍﻟﱠﺜﹶﻠﹶﺜ ﺳ ﺘ ِﻲﻨﺑﻂ ﺍ ِ ﻋ ﹶﺃ:ﻤﺎ ﹶﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ ﻤ ِﻬ ﻋ ﻢ ِﺇﹶﻟﻰ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ﺍ ﷲ ِﺍ 12
.ﻚ ﻮ ﹶﻟ ﻬ ﻲ ﹶﻓ ﺑ ِﻘ ﻣﺎ ﻭ ﻦ ﻤ ﺍﻟﺜﱡ
Artinya: “Dari Jabir bahwa ia berkata: datang janda Sa’ad bin Rabi’ kepada Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah, Ini ada dua orang anak perempuan 12
Abu Dawud, Sunan Abi Daud II, (Cairo: Musthafa al-Babiy, 1952), h.109; Abu Isa alTirmiziy, al-Jami’u al-Shahih IV (Cairo: Musthafa al-Babiy, 1938), h.414
22
dengan saya, bapak keduanya telah mati syahid ketika ikut berperang dengan engkau di medan Uhud. Paman keduanya (saudara laki-laki kandung sa’ad) mengambil harta bendanya (warisan Sa’ad), tidak disisakannya sedikitpun juga, sedangkan keduanya tidak dapat dikawinkan kecuali mereka mempunyai harta. Lalu berkata Rasulullah: Allah akan memberi ketentuan mengenai hal ini. Maka turunlah ayat kewarisan (QS.al-Nisa’/4: 11-12). Rasul lalu mengirim utusan memanggil paman kedua anak perempuan itu. Sesudah menghadap, Rasul memerintahkan: berikan kepada kedua anak perempuan Sa’ad 2/3 harta peninggalan dan ibunya 1/8 harta pennggalan dan sisanya ambillah olehmu. Pembagian warisan ini menurut para sahabat merupakan pembagian warisan pertama dalam Islam.13 2. Sunnah Nabi: Hadits Nabi Muhammad saw. yang mengatur kewarisan antara lain: a.) Hadits dari Ibnu Abbas menurut riwayat al- Bukhari:
ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻮ ﹸﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ:ﺎ ﹶﻗﺎ ﹶﻝﻬﻤ ﻨﻋ ﺎﻟﹶﻰﺗﻌ ﷲ ُ ﻲ ﺍ ﺿ ِ ﺭ ﺱ ٍ ﺒﺎﻋ ﺑ ِﻦﻦ ِﺍ ﻋ 14
(ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻖ ﺘ ﹶﻔﻣ ) .ﺟ ٍﻞ ﹶﺫ ﹶﻛ ٍﺮ ﺭ ﻭﹶﻟﻰ ﻮ ِﻟﹶﺄ ﻬ ﻰ ﹶﻓ ﺑ ِﻘ ﻤﺎ ﻬﺎ ﹶﻓ ﻫِﻠ ﺾ ِﺑﹶﺄ ﺮﺍِﺋ ﻮﺍ ﺍﹾﻟ ﹶﻔ ﺤ ﹸﻘ ِ ﹶﺃﹾﻟ:ﻢ ﺳﱠﻠ ﻭ
Artinya: ”Berikanlah faraid (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan lakilaki yang terdekat” (muttafaq alaih). Jika ada pertanyaan tentang manfaat penyebutan kata dzakar (lakilaki) setelah kata rajul (laki-laki), padahal rajul dan dzakar sama saja?
13 14
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h.44
Syekh Abi Abdillah Abdussalam Allusy, Ibanah al- Ahkam Fi Syarhi Bulughul Maram Juz III, (Beirut: Dar El- Fikr, 2004) Cet.1, h.222
23
Jawabannya adalah karena penyebutan tersebut merupakan penegasan yang menggantikan posisi anak perempuan.15 b.) Hadits Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhariy, Muslim, Abu dawud, al-Tirmiziy, dan Ibnu Majah:
ﹶﻟﺎ:ﻢ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ﺍ ﻰ ﻨِﺒ ﹶﺃ ﱠﻥ ﺍﻟ:ﻪ ﻨﻋ ﷲ ُ ﻲ ﺍ ﺿ ِ ﺭ ﻳ ٍﺪﺯ ﺑ ِﻦ ﻣ ﹶﺔ ﺳﺎ ﻦ ﹸﺃ ﻋ ﻭ 16
(ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻖ ﺘ ﹶﻔﻣ ) .ﻢ ﺴِﻠ ﻤ ﺮ ﺍﹾﻟ ﺙ ﺍﹾﻟ ﹶﻜﺎِﻓ ﻳ ِﺮ ﹸ ﻭ ﹶﻟﺎ ﺮ ﻢ ﺍﹾﻟ ﹶﻜﺎِﻓ ﺴِﻠ ﻤ ﺙ ﺍﹾﻟ ﻳ ِﺮ ﹸ
Artinya: ”Dari Usamah bin Zaid (semoga Allah meridhainya) bahwa Nabi saw. Bersabda: seorang muslim tidak mewarisi non-muslim dan nonmuslim tidak mewarisi seorang muslim”(muttafaq alaih). c.) Hadits Nabi dari Amr bin Syuaib menurut riwayat al- Nasa’iy dan Daruquthniy:
ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻮﻝﹸ ﺍ ﺭﺳ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ:ﺪ ِﻩ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﺟ ﻦ ﻋ ﻴ ِﻪﻦ ﹶﺍِﺑ ﻋ ﺐ ٍ ﻴﻌ ﺑ ِﻦ ﺷ ﺮِﻭﻋﻤ ﻦ ﻋ ﻭ ﺒ ِﺪﻋ ﻦ ﺑﻩ ﺍ ﺍﻭ ﹶﻗﻮ ﻲ ﺭِﻗ ﹾﻄِﻨ ﺍﺍﻟﺪﻲ ﻭ ﺎِﺋﻨﺴﻩ ﺍﻟ ﺍﺭﻭ .ﻴ ﹲﺊﺷ ﺙ ِ ﺍﺮﻦ ﺍﻟﹾ ِﻤﻴ ﺲ ِﻟ ﹾﻠﻘﹶﺎِﺗ ِﻞ ِﻣ ﻴ ﹶﻟ:ﻢ ﺳﱠﻠ 17
15
.ﻤ ٍﺮﻭ ﻋ ﻋﹶﻠﻰ ﻪ ﻭ ﹾﻗ ﹶﻔ ﺏ ﻮﺍ ﺼ ﻭﺍﻟ ﻲ ﺴﺎِﺋ ﻨﻪ ﺍﻟ ﻋﱠﻠ ﻭ ﹶﺃ ﺮ ﺒﺍﹾﻟ
Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Hukum Waris, h.19
16
Syekh Abi Abdillah Abdussalam Allusy, Ibanah Al-Ahkam Fi Syarhi Bulughul Maram Juz III, (Beirut: Dar El- Fikr, 2004) Cet.1, h.226 17
Ibid. h.232
24
Artinya: ”Dan dari amr bin syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada bagian dari harta warisan bagi seorang pembunuh.” (HR. al- Nasa’iy dan Daruquthniy) Kedua hadits di atas menjadi acuan bagi kita bahwa di antara penghalang seseorang mendapatkan harta warisan adalah kafir atau murtad dan pembunuh si mayit. Hal ini telah disepakati oleh jumhur ulama. d.) Hadits Nabi dari Sa’ad bin Abi Waqqash menurut riwayat al-Bukhari:
ﺕ ِ ﻮ ﻤ ﻋﹶﻠﻰ ﺍﹾﻟ ﻪ ﻨﺖ ِﻣ ﻴﻌ ﺳ ﺿﺎ ﹶﻓﹶﺄ ﺮ ﻣ ﻤ ﱠﻜ ﹶﺔ ﺖ ِﺑ ﺿ ﺮ ﻣ :ﺹ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ٍ ﻭﱠﻗﺎ ﺑ ِﻦ ﹶﺃِﺑﻰ ﻌ ِﺪ ﺳ ﻦ ﻋ ﻣﺎﹰﻟﺎ ﻲ ﷲ ِﺇ ﱠﻥ ِﻟ ِ ﻮ ﹶﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﻳﺎ ﺖ ﺩِﻧﻰ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ ﻮ ﻌ ﻳ ﻢ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ﺍ ﻰ ﻨِﺒﺗﺎِﻧﻰ ﺍﻟﹶﻓﹶﺄ ﺮ؟ ﹶﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ ﺸ ﹾﻄ ﺖ ﹶﻓﺎﻟ ﹸﻗ ﹾﻠ,ﻲ ؟ ﹶﻓ ﹶﻘﺎ ﹶﻝ ﹶﻟﺎ ﻣﺎِﻟ ﻲ ﻕ ِﺑﹸﺜﹸﻠﹶﺜ ﺪ ﺼ ﺗﻲ ﹶﺃﹶﻓﹶﺄ ﻨِﺘﺑﺲ ِﻟﻲ ِﺍﱠﻟﺎ ِﺇ ﻴﻭ ﹶﻟ ﺮﺍ ﻴﹶﻛِﺜ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺮ ِﻣ ﻴﺧ ﻴﺎ ًﺀﻙ ﹶﺃ ﹾﻏِﻨ ﺪ ﻭﹶﻟ ﺖ ﺮ ﹾﻛ ﺗ ﻚ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻧﺮ ِﺇ ﻴﺚ ﹶﻛِﺒ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﺍﻟﺜﱡﹸﻠ ﹸ,ﺚ ﺖ ﺍﻟﺜﱡﹸﻠ ﹸ ﻭ ﹸﻗ ﹾﻠ ,ﹶﻟﺎ 18
.ﺱ ﻨﺎﻮ ﹶﻥ ﺍﻟ ﺘ ﹶﻜ ﱠﻔ ﹸﻘﻳ ﻋﺎﹶﻟ ﹰﺔ ﻢ ﻬ ﺮ ﱠﻛ ﺘﺗ
Artinya: “Dari Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: saya pernah sakit di mekkah, sakit yang membawa kematian. Saya dikunjungi oleh Nabi saw. Saya berkata kepada Nabi: Wahai Rasulullah, saya memiliki harta yang banyak, tidak ada yang akan mewarisi harta kecuali seorang anak perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua pertiganya? jawab Nabi: ”tidak”. Saya berkata lagi: bagaimana kalau separuhnya ya rasulullah? jawab Nabi: ”tidak”. Saya berkata lagi: ”sepertiga?” Nabi berkata: sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya bila kamu meninggalkan
18
Ibid. h.232
25
keluargamu berkecukupan lebih baik dari meninggalkannya berkekurangan, sampai-sampai meminta kepada orang.” (HR. Bukhari) Hadits ini menjadi dasar bahwasanya meninggalkan keturunan dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik ketimbang meninggalkan keturunan dalam keadaan miskin, karena kalau seseorang sudah miskin artinya ia akan lemah, dan kebanyakan dari orang yang lemah itu dekat kepada kekafiran. Begitu pula sebaliknya orang yang berkecukupan akan menjadi kuat, dan Allah lebih menyukai umat-Nya yang kuat daripada yang lemah. e.) Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat al-Bukhariy dan Muslim:
ﻭﹶﻟﻰ ﻧﺎ ﹶﺃ ﹶﺃ:ﻢ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ﺍ ﻨِﺒﻰﻋ ِﻦ ﺍﻟ ﻪ ﻨﻋ ﷲ ُ ﻲ ﺍ ﺿ ِ ﺭ ﺮ ﹶﺓ ﻳﺮ ﻫ ﻦ ﹶﺍِﺑﻰ ﻋ ﻭ ﻩ ﺅ ﻀﺎ ﻨﺎ ﹶﻗﻴﻌﹶﻠ ﻣﺎﹰﻟﺎ ﹶﻓ ﻙ ﺮ ﺘﻳ ﻢ ﻭﹶﻟ ﻦ ﻳﺩ ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﻭ ﺕ ﻣﺎ ﻦ ﻤ ﻢ ﹶﻓ ﺴ ِﻬ ِ ﻧ ﹸﻔﻦ ﹶﺃ ﻦ ِﻣ ﻴﺆ ِﻣِﻨ ﻤ ِﺑﺎﹾﻟ .19ﻪ ﺘ ﺭﹶﺛ ﻮ ﹶﻓ ﹾﻠ
ﻣﺎﹰﻟﺎ ﻙ ﺮ ﺗ ﻦ ﻣ
Artinya: “Dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad saw. berkata: saya adalah lebih utama bagi seorang muslim dan diri mereka sendiri. Siapasiapa yang meninggal dan mempunyai hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya, maka sayalah yang akan melunasinya. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya.” (HR. Bukhari Muslim)
19
Ibid. h.233
26
f.) Hadits Nabi dari Jabir bin Abdullah menurut riwayat Ibnu Majah:
ﻴ ِﻪﻋﹶﻠ ﷲ ُ ﺻﱠﻠﻰ ﺍ ﷲ ُ ﻮ ﹸﻝ ﺍ ﺳ ﺭ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ:ﻣ ِﺔ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﺮ ﺨ ﻣ ﺑ ِﻦ ﻮ ِﺭ ﺴ ﻭ ﺍﹾﻟ ِﻤ ﷲ ِ ﺒ ِﺪ ﺍﻋ ﺑ ِﻦ ﺟﺎِﺑ ِﺮ ﻦ ﻋ ﺢ ﻴﺼ ِ ﻳ ﻭ ﻰ ﺒ ِﻜﻳ ﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ ﻬﹶﻠﺎ ﹸﻟ ﺳِﺘ ﻭ ﺍ ﺣﺎ ﹶﻗﺎ ﹶﻝ ﺻﺎ ِﺭ ﺘ ِﻬ ﹶﻞﺴ ﻳ ﺘﻰﺣ ﻲ ﺼِﺒ ﺙ ﺍﻟ ﻳ ِﺮ ﹸ ﻢ ﹶﻟﺎ ﺳﱠﻠ ﻭ 20
.ﺲ ﻌ ِﻄ ﻳ ﻭ ﹶﺃ
Artinya: ”Dari Jabir bin Abdullah dan Miswar bin Makhramah berkata keduanya berkata Rasulullah SAW: seorang bayi tidak berhak menerima warisan kecuali ia lahir dalam keadaan bergerak dengan jeritan. Gerakannya diketahui dari tangis, teriakan dan bersin.” (HR. Ibnu Majah) Bila kita gabungkan antara hadits-hadits di atas dengan ayat-ayat al- Qur’an yang telah diuraikan sebelumnya, jelaslah bagi kita bahwa dalil-dalil tersebut telah mencakup seluruh hukum waris. Dengan kata lain, dalil-dalil di atas telah menjelaskan pembagian harta waris secara fardh ’bagian tetap’ dan ta’shib ’bagian lunak’.21 3. Ijma’ Para sahabat, tabi’in ”generasi pascasahabat”, dan tabi’it tabi’in ”generasi pasca-tabi’in”, telah berijma’ atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraidh dan tiada seorang pun yang menyalahi ijma’ tersebut.
20
Ibid.
21
Komite Fakultas Syariah Al-Azhar, Hukum Waris, h.19
27
C. Rukun dan Syarat Waris 1. Rukun pusaka mempusakai itu ada tiga hal, yaitu
ﻭ ﹲ ﺭ ﻮ ﻣ ) yaitu harta warisan yang ditinggalkan oleh si mati yang a. Mauruts (ﺙ akan dibagi-bagikan kepada ahli waris, setelah diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat, kalau ada meninggalkan wasiat. b. Muwarrits (ﺙ ﺭ ﹲ ﻮ ﻣ ) yaitu orang yang meninggal dunia, baik karena mati hakiki, maupun hukmi. Mati hukmi maksudnya, dia sudah dianggap mati atas putusan pengadilan, seperti karena telah lama menghilang atau sebabsebab lainnya. c. Warits (ﺙ ﻭﺍ ِﺭ ﹲ ) yaitu ahli waris yang akan menerima pembagian warisan seperti
karena
ada
hubungan
perkawinan
dan
hubungan
darah
(keturunan).22
2. Syarat-Syarat Pusaka Mempusakai Ada Tiga Hal, Yaitu: a. Orang yang mewaritskan (muwarrits) sudah meninggal, b. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup, pada saat kematian muwarrits,
22
M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.13
28
ِ ﺭ ﻊ ﹾﺍ ِﻻ ﻮﺍِﻧ ﻣ ) untuk mendapatkan c. Tidak ada penghalang (mawani’ul irtsi = ﺙ warisan.23 D. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh uang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas tersebut adalah: asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat kematian24. Untuk lebih jelasnya, penulis akan memberikan perinciannya sebagai berikut: 1. Asas Ijbari Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan menerima. Cara peralihan seperti ini disebut secara ijbari. Kata ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendaknya sendiri. Dalam hukum kewarisan Islam sendiri diberlakukannya asas ijbari ini mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan ahli warisnya. Adanya asas ijbari
23
Ibid. h.15
24
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h.17
29
dalam hukum Islam sendiri pun dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih, dan dari segi kepada siapa harta itu beralih. 2. Asas Bilateral Asas bilateral berarti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan lakilaki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. 3. Asas Individual Asas kewarisan secara individual mengandung makna bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi; kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. 4. Asas Keadilan Berimbang Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan, kata adil dapat diartikan sebagai berikut: keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
30
5. Asas Semata Akibat Kematian Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung, maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. Dengan demikian hukum kewarisan Islam, hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup, karena masalah wasiat diatur tersendiri dalam hukum kewarisan Islam.25
E. Pengertian Persepsi 1) Pengertian Secara Etimologi Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti dari kata persepsi adalah: 1. tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu serapan, 2. proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.26 Atau juga diartikan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Sedangkan penginderaan sendiri 25 26
Ibid. h.18
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002). h.675.
31
merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera. Namun, proses tersebut tidak berhenti di situ saja, pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. 27 Dalam kamus standar dijelaskan bahwa persepsi dianggap sebagai sebuah pengaruh ataupun sebuah kesan oleh benda yang semata-mata menggunakan pengamatan penginderaan.28 2) Pengertian Secara Terminologi Beberapa tokoh memiliki beberapa pengertian menganai persepsi, diantara tokoh itu adalah Moskowiz dan Orgel (1969) yang menyatakan bahwa persepsi itu merupakan proses yang integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya.29 Sedangkan menurut Gibson dan Donely (1994) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Ada pula Rakhmat Jalaludin (1998), yang menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
27
Bimo Walgito, Psikologi Sosial; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Andi, 2007), ed.revisi,
h.53 28
Abdurrahman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h.88 29
Bimo Walgito, Psikologi Sosial; Suatu Pengantar, h.54
32
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.30 Sebenarnya masih banyak lagi tokoh yang mendefinisikan persepsi, namun penulis mengambil kesimpulan dari beberapa definisi di atas bahwa persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalamanpengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang berarti.
F. Konsep Keadilan 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam Salah satu asas dalam hukum kewarisan Islam adalah asas keadilan berimbang. Yang dimaksud dengan asas keadilan berimbang adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan (kebalikan dari asas keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat yang menganut sistem garis keturunan patrilineal, yang ahli warisnya hanyalah keturunan laki-laki saja/garis kebapakan).
30
Setia Budi, Tinjauan Pustaka: Pengertian Persepsi, Artikel diakses pada tanggal 13 April 2010 dari http://www.damandiri.or.id/file/Setiabudiipbtinjauanpustaka.pdf
33
Dasar hukum asas ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan al-Qur’an surat anNisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176. 31 Syariat telah menentukan bagian anak perempuan dan bagian anak laki-laki, yaitu satu berbanding dua (setengah bagian anak laki-laki). Pembagian ini bukan merupakan kezaliman, sebab pemberian warisan berbeda dengan pembagian kasih sayang yang menuntut kesamaan dalam pemberian. Tidak boleh berbuat zalim terhadap anak perempuan dengan tidak memberikan haknya dalam kedua pemberian (kasih sayang dan harta waris), karena ia termasuk orang yang berhak atas kedua pemberian tersebut menurut ketetapan syara’ bahkan telah ditentukan pembagiannya, supaya ia menunaikan tanggung jawabnya dan menjaga kehormatannya dengan keridhaan Tuhannya yang maha suci. Kalau beberapa kenyataan dapat disimpulkan sejumlah faedah: bahwa anak perempuan setelah pernikahannya dan setelah melahirkan anak-anaknya, akan berubah persepsinya tentang hak miliknya dari harta warisan peninggalan ayahnya, dan berbeda dengan persepsi sebelumnya ketika ia masih bersama saudarasaudaranya di rumah keluarganya. Perlu diketahui bahwa anak perempuan dewasa yang mengetahui hakekat penggunaan nafkah tersebut dengan benar dan bijaksana adalah anak perempuan yang mampu menentukan sikap yang tepat dalam menghadapinya (mampu mengambil tindakan yang bijaksana terhadap harta tersebut), yaitu jika ia menghendaki untuk
31
h.121
Kamil Musa, Anak Perempuan dalam Pandangan Islam, (Jakarta: CV. Firdaus, 1994),
34
memiliki harta ia akan mengambil haknya secara sempurna atau jika ia telah memandang situasi dan kondisi lain dari sudut-sudut kehidupan keluarganya maka ia akan bersikap toleran, yaitu dengan merelakannya (tidak mengambilnya).32 Demikianlah konsep keadilan yang ada dalam hukum kewarisan Islam, dari hal tersebut kita dapat melihat seperti apa gambaran keadilan yang terdapat dalam konsep pembagian warisan antara anak laki-laki dengan perempuan.
32
Ibid. h.121
35
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG AKTIVIS GENDER INDONESIA
A. Pengertian Gender 1. Definisi Gender
Kata gender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan istilah "jender". Jender diartikan sebagai "interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan"33. Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin".34 Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.35 Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
33
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, (1992), h.3 34
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983), h. 265 35
The apparent disparity between man and women in values and behavior. Lihat Victoria neufeldt (ed.), Webster’s New World Dictionary, (New York: Webster’s New World Clevenland, 1984), h.561
36
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.36 Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).37 Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Linda L. Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai lakilaki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).38
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.39 Sejalan dengan perkataan Elaine showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-
36
Helen Tierney (ed.), Women’s Studies Encyclopedia, Vol.1, (New York: Green Wood Press), h.153 37
Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introduction, (London: Mayfield Publishing Company, 1993), h.4 38
Linda L. Linsey, Gender Roles: a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice Hall,
1990), h.2 39
“Gender is a basis for defining the different contributions that man and woman make to culture and collective life by dint of which they are as man and women”. Lihat H.T. Wilson, Sex and Gender, making cultural sense of civilization, (Leiden New York, Kobenhavn, Koln: E.J. Brill, 1989), h.2
37
budaya, ia menerapkannya sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.40
Dari berbagai definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan ditinjau dari perbedaan struktur sosial dan budaya di masyarakat.
2. Perbedaan Antara Sex dan Gender
Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti "jenis kelamin") lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan lakilaki dan perempuan dari segi anatomi biologi.41
Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) 40
Nasaruddin Umar. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 34. 41
Ibid. h.34
38
dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang lakilaki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love-making activities), selebihnya digunakan istilah gender.42
Untuk lebih jelasnya, penulis akan membaginya ke dalam sebuah tabel sebagai berikut: Perbedaan Utama43 Jenis kelamin (sex) 1. Jenis kelamin bersifat alamiyah 2. Jenis kelamin bersifat biologis. Ia
Gender 1. Gender bersifat sosial-budaya dan merupakan buatan manusia
merujuk kepada perbedaan yang
2. Gender bersifat sosial-budaya dan
nyata dari alat kelamin dan
merujuk kepada tanggung jawab,
perbedaan terkait dalam fungsi
peran, pola perilaku, kualitas-
kelahiran
kualitas,
3. Jenis kelamin bersifat tetap, ia akan sama di mana saja 4. Jenis kelamin tidak bisa berubah
42
43
dan
lain-lain
yang
bersifat maskulin dan feminin. 3. Gender bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari
Ibid. h.36. Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2001) cet.I, h.4.
39
satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari satu keluarga ke keluarga lainnya. 4. Gender dapat dirubah
3. Kesetaraan Gender, Keadilan Gender dan Pengarusutamaan Gender
Adapun kesetaraan gender dapat diartikan dengan suatu ”suatu kondisi yang mencerminkan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, masyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.”44
Sedangkan keadilan gender adalah ”kondisi dan perlakuan yang adil bagi perempuan dan laki-laki sehingga untuk mewujudkan kondisi-kondisi tersebut, diperlukan langkah-langkah yang bertujuan menghentikan ketidakadilan yang secara sosial dan dari sisi sejarah menghambat perempuan dan laki-laki berperan dan menikmati hasil pembangunan dengan setara.”45
44
Zaitunah subhan, peningkatan Kesetaraan Dan Keadilan Jender Dalam Membangun Good Governance, (Jakarta: el- Kahfi, 2002), h.7 45
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 1999.
40
Istilah yang mucul berikutnya adalah pengarusutamaan gender atau gender mainstreaming (sebagaimana tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender) yang berarti ”suatu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan yang mengintegrasikan pengalaman, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan, program, peraturan serta anggaran dalam segala bidang (politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pertahanan keamanan, dan kemasyarakatan).”46
B. Karakteristik Aktivis Gender Indonesia 1. Isu-Isu Utama Dalam Islam Yang Dijadikan Mindset Pergerakan Aktivis Gender Kaum feminis menganggap bahwa kaum muslimat saat ini berada dalam suatu sistem yang diskriminatif, diperlakukan tidak adil karenanya tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam dan dasar Islam. Kaum muslimat dianggap sebagai korban ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dikonstruksi melalui budaya dan syariat.47 Sehingga mereka mempertanyakan tafsiran ayat-ayat al- Qur’an yang dianggap mengundang bias gender, diantaranya: (1) tentang kesaksian perempuan dalam hutang piutang (QS. al- Baqarah/2: 282), (2) tentang hak waris perempuan 46
47
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, Tentang Pengarusutamaan Gender.
M. Shiddiq al-Jawi, “menghancurkan agenda global barat; feminisme”. Moch. Nanan Syaifuddin, harta warisan untuk ahli waris laki-laki dan perempuan menurut hukum Islam. Artikel diakses pada tanggal 10 februari 2010 dari www.khilafah1924.org
41
dan laki-laki (QS. al- Nisa/4: 11), (3) tentang kebolehan laki-laki berpoligami (QS. al- Nur/24: 30-31 dan al- ahzab/33: 53-59). Mereka mengatakan bahwa pembagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan 2:1 adalah diskriminatif, bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyah) dan keadilan sosial. Hukum yang seperti ini hanya akan memarginalkan dan mendehumanisasi perempuan, mendiskriminasi, dan mensubordinasi perempuan. Hukum yang dilahirkan oleh masyarakat dan budaya patriarkis, dimana laki-laki selalu menjadi pusat kuasa dan misoginis (kebencian terhadap perempuan). Oleh karena itu mereka mengusulkan, agar proporsi pembagian lakilaki perempuan sama 1:1 atau 2:2, untuk tujuan ini menurut mereka, tidak hanya cukup sekedar melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekonstruksi (pembongkaran) terhadap bebatuan ideologi yang melilitnya berabad-abad. Dengan dasar Kesetaraan gender inilah kondisi syariat Islam yang menurut mereka bias masculine-centris yang didominasi oleh fiqih dan tafsir maskulin. Artinya sudah terjadi semacam ”operasi kelamin” terhadap ayat-ayat suci alQur’an. Kini tibalah saatnya menurut mereka untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat hukum yang praktis temporal, teknik operasional (juz’iyyah) agar sesuai dengan nilai-nilai universal dan terbebas dari muatan lokal arabisme.48
48
Ibid.
42
2. Pola Pikir Aktivis Gender Dalam Menghadapi Masalah Kewarisan Menyangkut masalah kewarisan, maka laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk menerima warisan dari orang tua (bila meninggal dunia) sesuai dengan QS. al- Nisa/4 :7. berdasarkan ayat tersebut antara laki-laki dan perempuan memiliki hak dalam hal warisan. Walaupun pada akhir ayat di atas ada isyarat bahwa masing-masing memiliki bagian yang telah ditetapkan sedikit atau banyaknya. Karena seandainya bagiannya sama, tentulah kalimat di atas tidak perlu ada.49 Selanjutnya pada QS. al- Nisa/4 :11 dijelaskan bahwa bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Secara sepintas dapat dikatakan bahwa ayat tersebut bias gender karena yang diinginkan (adil) adalah 1:1. Namun, sebagian pakar menyatakan bahwa justru 2:1 itulah yang sarat dengan nilai-nilai keadilan. Dengan alasan bahwa laki-laki mendapat dua bagian dari perempuan karena kewajibannya dari hal materi juga melebihi dari perempuan. Hal tersebut dapat dilihat pada kewajiban laki-laki memberi mahar pada calon isteri. Laki-laki berkewajiban memberi nafkah kepada isteri (lihat alBaqarah: 223 dan al- Thalaq: 6 dan 7) yang menekankan bahwa kewajiban nafkah tersebut disesuaikan dengan kadar kemampuan suami.50
49
Laporan Penelitian: Studi Tentang Masalah Gender Dari Sudut Pandang Agama Islam, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Bekerja Sama Dengan Pusat Studi Wanita IAIN ALAUDDIN Makassar, (Makassar: 2001) 50
Ibid.
43
Dengan alasan tersebut, maka pembagian warisan 2:1 merupakan ketentuan Allah yang sudah menjadi lambang keadilan. Berdasarkan tanggung jawab dalam mengayomi keluarga. Demikian halnya dengan ayat-ayat yang lain pada QS. al- Nisa/4: 11 dan 12 telah ditetapkan Allah secara gamblang tentang jumlah bagian yang diterima, misalnya ibu dan bapak, atau isteri dan suami. Mencermati ayat-ayat tentang warisan pada umumnya, bagian itu disebut Allah secara jelas angka-angkanya, karena pada umumnya manusia cenderung pada warisan (harta) sedangkan kalau bukan angka-angka yang jelas maka mudah diubah.51
C. Persepsi Para Aktivis Gender Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 Disertai Argumen-Argumen Yang Melatarbelakangi Persepsi Mereka 1. Zaitunnah Subhan Tentang pembagian warisan dalam Islam telah ditegaskan oleh Tuhan dalam al- Qur’an satu prinsip pokok, yaitu pria dan wanita52 sama-sama berhak mendapatkan warisan dari peninggalan kedua orang tua atau kerabat masingmasing. 51
52
Ibid.
Penegasan al-Qur’an bahwa wanita mendapat warisan sebagaimana pria adalah merupakan suatu koreksi terhadap sistem pembagian warisan yang berlaku pada masyarakat arab (wanita dan anak-anak tidak diberi hak waris). Mereka beralasan wanita tidak pernah memanggul senjata, berperang melawan musuh dan sebagainya. Islam memberi hak waris kepada pria dan wanita, tersebut di dalam al- Qur’an surat al- Nisaa’ 4:7 ”bagi pria ada hak dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya; dan bagi wanita ada hak dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit atau banyaknya, menurut bagian yang telah ditetapkan”.
44
Kewarisan wanita (yang semula tidak mendapat bagian) bahkan menjadi barang warisan, telah dibenarkan dan dipraktekkan dengan ketentuan formula dua berbanding satu adalah firman Allah SWT surat al- Nisa/4:11, ”Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu; bahagian anak pria sama dengan dua anak wanita...” Istilah yang digunakan oleh al- Qur’an berkaitan dengan kewarisan ini dengan kata
(zakar= pria) dan (untsa= wanita). Dua kata ini merupakan
pasangan. Kata zakar mempunyai makna fakkara, iftikara, fatana = berpikir, cerdas. Sedangkan untuk kata untsa mempunyai arti lemah lembut dan halus. Menurut tafsir Departemen Agama, hikmah diberikannya kepada anak pria dua bagian dan kepada anak wanita satu bagian, adalah karena pria memerlukan harta untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan nafkah isteri serta anak-anaknya, sedangkan wanita hanya memerlukan biaya untuk dirinya sendiri dan bila telah menikah, keperluannya ditanggung oleh suami. Karena itu, wajar bila wanita mendapatkan satu bagian saja. Menurut Hamka hal ini menunjukkan bahwa pria tidak boleh lepas tanggung jawabnya terhadap wanita. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa hikmah pembagian tersebut (perbandingan 2:1 bagi pria dan wanita) karena akal wanita itu kurang dan hanya separuh dari akal pria. Demikian juga, nafsu wanita lebih keras daripada pria sehingga bila wanita itu diberi warisan banyak, hanya akan dipergunakan untuk membeli perhiasan untuk bersolek dan bergaya. Pendapat ini ditolak oleh Hamka dengan mengatakan bahwa akal yang dimiliki wanita sama dengan akal yang
45
dimiliki oleh pria, kedua-duanya kurang, baru akan cukup bila kedua akal (pada wanita dan pria) digabungkan. Pengalaman-pemgalaman di dalam rumah tangga yang bahagia membuktikan hal itu. Beliau beri contoh bahwa seringkali tidak mendapat keputusan yang tepat sebelum mendapat petunjuk dari isterinya. Sebaliknya, isterinya pun sering salah dalam mengambil keputusan karena tidak bermusyawarah dengan suaminya. Demikian pula alasan bahwa nafsu syahwat wanita lebih besar daripada pria, suka memboroskan uang bila mendapatkan warisan yang banyak. Justru pria yang lebih banyak menghamburkan uang baik dari waris atau dari yang lain guna merayu dan membujuk wanita agar mau menyerahkan kehormatan kepadanya. Cukup banyak wanita yang akan rela menanggalkan perhiasannya untuk membantu suami saat kesusahan. Mahmud Yunus dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat di atas merupakan tuntunan bagaimana membagikan harta pada pusaka mayat yang harus diikuti orang-orang Islam.53 2. Syafiq Hasyim Bentuk lain dari tersubordinasinya perempuan dalam fikih ada dalam kasus pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan yang tidak sebanding. Dalam fiqih dinyatakan bahwa perempuan memperoleh separo dari bagian yang diperoleh laki-laki. Ketentuan ini memang bersumber dari al- Qur’an surah alNisa; (4) ayat 11 yang bunyi harfiahnya adalah:
53
Zaitunnah Subhan, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h.42-55
46
…… È⎦÷⎫u‹sVΡW{$# Åeáym ã≅÷VÏΒ Ìx.©%#Ï9….. li dzakari mitslu hazhzh al- untsayain (bagi seorang laki-laki seperti bagian dua orang perempuan). Menurut sebagian ulama fiqih, ayat tersebut masuk ke dalam kategori ayat qath’i, yang keberlakuannya bersifat absolut dan tidak terbantahkan. Menurut pendapat ini, orang yang menolak kepastian makna ayat ini dapat dianggap telah kafir. Sebenarnya wacana mengenai warisan ini telah mengalami perkembangan sejak kehadiran Islam dan karena itu harus dilihat secara historis. Pada masa jahiliah, wacana tentang warisan hanya menjadi wacana kaum laki-laki. Pelaku, penentu dan penerima warisan adalah kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan dijadikan sebagai objek warisan. Wacana warisan ini berubah total setelah kedatangan Islam. Apabila sejarah sebelumnya menjadikan warisan hanya sebagai hak kaum laki-laki, setelah Islam, perempuan diizinkan atau bahkan diberi hak untuk mendapatkan warisan. Dengan demikian, Islam sebenarnya menghendaki perempuan kuat secara ekonomi. Di negara kita, beberapa tahun lalu telah terjadi diskusi yang cukup panas mengenai pemaknaan ayat ini. Persoalannya berkisar apakah komposisi 1:2 ini merupakan kepastian hukum yang tidak bisa diganggu gugat atau sangat fleksibel sesuai ruang dan waktu.
47
Munawwir Sjadzali, Menteri Agama saat itu, mengemukakan gagasannya mengenai reaktualisasi Islam. Menurut Munawwir, kepastian 1:2 ini seharusnya direaktualisasikan dan disesuaikan dengan perekembangan ruang dan waktu.54 Pada masa awal Islam di tanah Arab, komposisi pembagian 1:2 ini sebenarnya tidak menjadi masalah. Namun, pada akhir-akhir ini, komposisi ini mendapat gugatan dari berbagai kalangan, terutama kalangan pejuang hak-hak perempuan, pada saat ruang dan waktu menuntut adanya penyesuaianpenyesuaian. Perubahan ruang dan waktu inilah yang pada dasarnya menyebabkan komposisi 2:1 dianggap sebagai bentuk diskriminasi fiqih terhadap perempuan. Pertanyaannya selalu, mengapa perempuan mendapat hanya separo dari yang didapatkan kaum laki-laki? Bukankah keduanya sama-sama makhluk Tuhan? Apakah perbedaaan perolehan tersebut dibedakan oleh gender atau biologis? Akan tetapi, baiklah, sebenarnya banyak jalan keluar yang ditawarkan oleh Islam mengenai persoalan ini. Pertama, sebagaimana kita memahami kasuskasus lain, ayat tentang warisan ini pada dasarnya merupakan respons al- Qur’an tehadap sejarah sosial yang berkembang pada masanya. Sebagaimana diketahui, perempuan pada masa itu tidak memiliki hak untuk memiliki apapun yang diberikan kepadanya. Apabila mereka diberi sesuatu, pemberian itu hanya numpang lewat. Pemberian itu biasanya diserahkan kepada kakak atau orang tua 54
Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001) h.236
48
mereka. Secara historis-sosiologis, ayat ini sebenarnya merupakan bentuk dari penyadaran kemanusiaan bahwa perempuan, sebagaimana laki-laki, memiliki hak untuk mempunyai harta. Islam memberikan dua alternatif cara memperoleh harta, yaitu melalui warisan dan melalui mas kawin. Dengan cara pemahaman yang demikian, berarti realitas 2:1 sebenarnya adalah cerminan realitas historissosiologis yang sangat bergantung pada ruang dan waktu.55 Kedua, secara teologis-sosiologis jumlah warisan laki-laki dilebihkan dari jumlah warisan perempuan karena Islam tidak menuntut perempuan memberikan mas kawin dan nafkah kepada keluarga mereka. Meskipun demikian, Islam tetap memberikan jalan keluar apabila orang tua ingin memberikan bagian yang sama kepada anak-anak mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Jalan yang ditawarkan adalah pembagian harta di luar mekanisme warisan, entah itu hibah atau pembagian warisan ketika orang tua masih hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah menyatakan, ”samakanlah di antara anak-anakmu pemberianmu. Jikalau aku boleh melebihkan pada salah satunya, sungguh aku akan melebihkan anak perempuan.” Dua alasan di atas sebenarnya cukup logis untuk menjelaskan mengapa laki-laki memperoleh bagian yang lebih dibandingkan perempuan. Dua alasan ini pula yang menuntun kita kepada kesimpulan bahwa perbedaan perolehan bagian warisan itu bukan disebabkan oleh faktor biologis (kodrati), tetapi semata-mata
55
Ibid. h.237
49
disebabkan oleh persoalan sosial budaya, atau, dengan kata lain persoalan gender. Oleh karena gender, hukum atas persoalan ini pun bisa mengalami perubahan berdasarkan perubahan peranan gender. Bukankah peranan gender semata-mata didasarkan pada konstruksi sosial budaya dan karena itu ia tidak alergi pada perubahan.56 3. Abdul Wahid Maryanto (aktifis PUAN57) Aturan tentang hukum kewarisan Islam ialah aturan qath’i yang sudah tidak perlu diubah-ubah lagi. Mengenai aturan pembagian dua berbanding satu bagi anak laki-laki terhadap perempuan, sudah merupakan ketentuan yang sifatnya mutlak dan mesti dijalankan.58 Sebenarnya, yang menjadi permasalahan bukanlah pada ketentuan pembagiannya, melainkan proses pengelolaannya yang masih sering berjalan tidak sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, seseorang yang mempunyai saham diatas 60 % di sebuah perusahaan mewariskan harta berupa saham kepada tiga orang anaknya, kemudian anak-anak dari pewaris ini selaku ahli waris yang sah membagi saham tersebut sesuai ketentuan yang ada dalam hukum waris. Tentunya setelah pembagian saham tersebut, saham pewaris yang tadinya menguasai perusahaan karena memiliki prosentase di atas 50%
56
Ibid. h.238
57
PUAN adalah sebuah yayasan yang aktif dalam memperjuangkan masalah perempuan dengan nama lengkap Yayasan Puan Amal Hayati. 58
Wawancara pribadi dengan Abdul Wahid Maryanto. Jakarta, 06 oktober 2010.
50
akan menjadi saham yang lebih kecil dan akan berdampak bahwa ahli waris tidak lagi menjadi pemilik saham terbesar dalam perusahaan tersebut. Padahal, jika ahli waris mau bermusyawarah untuk menentukan bahwa harta waris itu sebenarnya tidak mesti dibagikan secara langsung, melainkan hanya secara kekeluargaan bahwa sahamnya tetap dalam kondisi utuh sedangkan yang dibagikan adalah keuntungannya, tentu harta waris itu akan menjadi lebih bermanfaat dan lebih menguntungkan bagi para ahli waris. 59 Maka dari itu, alangkah baiknya jika pengelolaan dari harta waris ini dikelola sedemikian rupa. Bahkan kalau perlu di Negara ini diatur tentang pengelolaan dari harta waris sehingga bukan hanya pengelolaan harta zakat saja yang diatur melainkan harta waris yang juga sering menimbulkan polemik dalam kehidupan masyarakat. 4. M. Taufik Damas (aktifis JIL60) Dalam menanggapi permasalahan kewarisan dua berbanding satu antara anak laki-laki dan anak perempuan, sudah sepatutnya dihadapi dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kekeluargaan. Hal ini karena masalah kewarisan dalam masyarakat indonesia tidak menjadi permasalahan serius selama diselesaikan dengan cara kekeluargaan.61
59
Ibid.
60
JIL adalah singkatan dari Jaringan Islam Liberal
61
Wawancara pribadi dengan M. Taufik Damas. Jakarta, 12 oktober 2010.
51
Adapun ketentuan yang digariskan al- Qur’an itu bisa diinterpretasikan berbeda, artinya tidak harus diartikan secara harfiyah melainkan merespons kondisi zaman dengan melihat keadaan sosial dan budaya dalam masyarakat yang ada. Sebagai contoh, pada masyarakat saat ini, beban dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan relatif sama. Laki-laki bekerja dan perempuan pun bekerja, sehingga akan terjadi kecemburuan sosial bilamana laki-laki yang sudah mapan kehidupannya diberikan porsi yang lebih banyak ketimbang saudara perempuannya yang ekonominya masih butuh bantuan namun diberikan porsi yang lebih sedikit. Maka di sinilah prinsip keadilan dan kekeluargaan yang mesti ditekankan terlebih dahulu. Adapun dalam masalah kewarisan ini apabila kita berbeda penafsiran dengan kebanyakan orang kita tidak perlu serta merta menentang al- Qur’an. Artinya, dalam memahami sebuah ayat dalam al- Qur’an kita mesti memahami betul asbabun nuzul bagaimana ayat itu diturunkan, begitupun dalam hal pembagian harta waris ini. Sebagai contoh dapat kita ambil dari kisah pembagian Ghanimah pada masa Umar Bin Khattab, yang pada intinya dia tidak menggunakan pemahaman kebanyakan orang mengenai ketentuan ghanimah yang sudah diatur, melainkan melihat kondisi pada saat itu. Untuk itu perlu dipahami bahwa ayat kewarisan ini bukanlah ayat yang harus diterapkan seperti kebanyakan ayat lain, melainkan jalan terakhir
52
yang ditempuh dan digunakan apabila sudah tidak bisa lagi diselesaikan secara kekeluargaan.62 5. Masdar F. Mas’udi Menurut Masdar, ayat tentang pembagian waris yang dipersoalkan itu semangat utamanya bukan untuk menyatakan keputusan yang positif dan pasti tentang bagaimana membagi warisan secara adil antara pria dan wanita. Akan tetapi, semangat ayat itu lebih kepada keinginan untuk menggaris bawahi suatu prinsip bahwa “tuntutan tanggung jawab lelaki dalam kehidupan keluarga adalah lebih berat dibanding dengan yang harus dipikul oleh wanita, paling tidak secara kuantitatif seperti pada simbol angka 2:1’’. Bahwa kalau kita benar-benar tersentuh pada soal keadilan, yang akan mengguggah concern kita pastilah bukan pertama kali pada pertanyaan bagaimana mengubah/memodifikasi pola perbandingan waris, tapi mestinya jatuh pada kenyataan bahwa di kalangan masyarakat berbagai negeri, satu pihak kita lihat sekelompok kecil orang yang jika ditinggal mati orang tuanya, mereka dalam keadaan sulit dan serba kekurangan. mereka bukan berpikir “bagaimana warisan akan dibagi’’, melainkan “manakah warisan yang bisa dibagi’’. 63
62
Ibid. M. Wahyuni Nafis. Et.al..(ed), kontekstualisasi ajaran islam 70 tahun Prof. Dr. Munawwir Sjadzali, MA. (Jakarta: Paramadina dan Ikatan persatuan haji indonesia (IPHI), 19995). Cet. Ke-1 h.327 63
53
6. Munawwir Sjadzali Menurutnya, dalam pembagian harta warisan anak laki-laki dan perempuan yaitu membagi sama besar kepada ahli waris anak laki-laki dan perempuan. Gagasan ini dilatar belakangi oleh, pertama: banyaknya sikap mendua di masyarakat Islam. Kedua: adanya pembagian waris dengan memberikan hibah kepada anak laki-laki dan perempuan sebelum orang tua meninggal dunia, ketiga: mengenai konsep keadilan yang berarti pembagian waris sama besar antara anak laki-laki dan perempuan. Adapun argumen yang mendukung gagasannya adalah, pertama, penyimpangan
terhadap nash yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin
Khattab. Contohnya dalam masalah pembagian rampasan perang dan dalam masalah hukum potong tangan. Kedua, adanya ayat nasikh dan mansukh. Contohnya penahapan dalam penetapan hukum khamar dan dalam menetapkan hukum ziarah kubur. ketiga, mengenai dalil qath’i.64 7. Komaruddin Hidayat Menurutnya, bahwa secara historis-sosiologis, al- Qur’an sangat membela hak-hak dan martabat kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki. Jika semangatnya dipegang, maka menjadi Qur’ani jika mengikuti tradisi minang yang memberikan harta waris lebih banyak bagi wanita daripada bagi kaum laki-laki. Dengan demikian ia menawarkan formulasi berbanding terbalik dengan formulasi al- Qur’an, yaitu 1:2 bagi laki-laki dan perempuan. 64
Ibid. h.7
54
Karena rumus 2:1 yang dirumuskan al- Qur’an merupakan respons sosiologis terhadap situasi sosial masyarakat Arab waktu itu yang menganggap wanita sebagai “sesuatu’’, bukannya “seseorang’’.65 Demikianlah persepsi para aktivis gender Indonesia mengenai konsep pembagian harta waris 2:1 terhadap anak laki-laki dan perempuan yang penulis jadikan bahan penelitian.
65
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas, Moralitas Agama Dan Krisis Modernisme, (Jakarta: paramadina, 1999) h.121
54
BAB IV HASIL PENELITIAN MENGENAI PERSEPSI AKTIVIS GENDER INDONESIA TERHADAP SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS 2:1
A. Analisa Penulis Tentang Persepsi Aktivis Gender Indonesia Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam
Memaparkan pemikiran para aktivis gender Indonesia , maka dapat ditarik sebuah sebuah titik terang bahwa reaktualisasi hukum Islam salah satu yang dibahas adalah mengenai pembagian waris anak laki-laki dan perempuan yang selama ini ditawarkan oleh sebagian besar aktivis gender berasal dari kegelisahan mereka akan nasib hukum Islam yang kurang bisa merespons kehidupan yang terus berlanjut. Kalau kita perhatikan dari sekian banyak persepsi aktivis gender yang sudah dipaparkan pada bab III, penulis membagi persepsi mereka ke dalam dua kategori kecenderungan. Kecenderungan yang pertama adalah kecenderungan persepsi yang mendukung atau setuju dengan konsep dua berbanding satu seperti apa yang sudah ditentukan oleh al- Qur’an dalam surat al- Nisa (4) ayat 11. diantara mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah Zaitunnah Subhan, Abdul Wahid Maryanto dan Masdar F. Mas’udi. Kecenderungan yang kedua adalah kecenderungan persepsi yang bertolak belakang atau tidak setuju dengan konsep yang sudah ditentukan al- Qur’an.
55
Diantara mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah M. Taufik Damas, Syafiq Hasyim, Munawwir Sjadzali dan Komaruddin Hidayat. Kalau kita lihat sekilas, memang ayat tentang pembagian waris antara anak laki-laki dan perempuan ini tidak adil. Tapi pemahaman terhadap suatu teks hendaknya jangan dipahami secara tidak menyeluruh, akan tetapi sebaliknya harus dicermati baik-baik secara keseluruhan dengan melihat ayat lain yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. Islam tidak membebankan tanggung jawab material keluarga kepada perempuan kecuali dalam keadaan yang khusus sekali. Di samping itu Islam tidak menghalangi perempuan untuk bekerja mencari nafkah, karena adanya hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal mencari nafkah, demikian pula adanya hak yang sama dalam menikmati hasil usahanya sesuai dengan usaha masing-masing. Bila kenyataan tanggung jawab laki-laki melebihi tanggung jawab perempuan dapat diterima, maka tidak ada pula dasarnya untuk menolak kenyataan jumlah hak yang diterima oleh laki-laki melebihi jumlah hak yang diterima oleh perempuan. Ayat-ayat al- Qur’an yang bersifat qath’i tidak dapat diabaikan walaupun dengan dalih kemaslahatan, karena di mana ada teks yang bersifat qath’i disana pula terdapat kemaslahatan. Namun demikian, harus diakui bahwa teks yang bersifat qath’i sangat sedikit dan boleh jadi satu ayat sebagian penggalannya bersifat qath’i dan penggalan lainnya bersifat zhanni.
56
Perlu kita ingat pula dalam penafsiran al- Qur’an terdapat dua macam cara dalam melakukannya, yaitu dengan metode tafsir bi al- ma’tsur yakni penafsiran yang disandarkan pada al- Qur’an, hadits, atau ijtihad sahabat. Dan juga metode tafsir bi al- Ra’yi yaitu metode tafsir yang menggunakan akal semata. Kedua hal ini akan sangat berpengaruh dalam hal istinbath hukum yang akan kita dapatkan ketika kita menafsirkan al-Qur’an. Namun demikian, tafsir bi al- Ra’yi pun harus diberi batasan agar tidak melenceng jauh dari esensi yang semestinya digariskan oleh al- Qur’an, batasan itu dikemukakan oleh imam al- Zarkasyi, yaitu: 1. Ra’yi tersebut merupakan nukilan yang valid dari Nabi Muhammad SAW. 2. Ra’yi tersebut dari perkataan sahabat Nabi 3. Prinsip-prinsip kebahasan diutamakan 4. Tidak terlepas dari konteks syariah61 Dari hal tersebut penulis menarik suatu benang merah bahwa dari dua kategori kecenderungan persepsi yang sudah diutarakan di awal bab ini, keduanya disebabkan oleh perbedaan metode dalam menafsirkan ayat al- Qur’an. Kategori persepsi yang pertama yakni yang mendukung konsep yang sudah ditentukan alQur’an menggunakan metode tafsir bi al- ma’tsur. Sedangkan kategori persepsi yang kedua yang bertolak belakang dengan apa yang digariskan al- Qur’an menggunakan metode tafsir bi al- Ra’yi.
61
Siti Ruhaini Dzuharyatin, dkk; PSW IAIN Sunan Kalijaga. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, (Yogyakarta: Mc Gill ICHIEP dan Pustaka Pelajar anggota IKAPI, 2002) cet. I, h.153
57
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap persoalan bisa menimbulkan sikap pro dan kontra. Berlapang dada bagi perbedaan memang hal yang sangat diperlukan, apalagi Allah SWT. telah menjanjikan akan memberi ganjaran bagi mujtahid yang keliru. Mengenai masalah hibah, sebaiknya kita memang harus membedakan antara warisan dengan hibah. Warisan merupakan pemberian harta setelah meninggal, sedangkan hibah merupakan pemberian harta dalam keadaan hidup. Dan sesungguhnya hibah bukanlah suatu penyimpangan, melainkan suatu hak yang halal dan dari pemilik harta kekayaan yang dihibahkan. Namun, jika melihat KHI pasal 211 yang berbunyi: ”hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”.62 Boleh jadi pembagian harta tersebut oleh sementara pendapat dianggap sebagai sikap mendua kaum muslimin menghadapi warisan. Di satu sisi ingin melaksanakan hukum waris Islam, namun realisasinya menempuh cara hibah.63 Tetapi inilah realitas yang terjadi pada umat muslim di Indonesia.
62
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelambagaan Islam Proyek Penyuluhan Agama, 1995/1996) H.91 63
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000) cet. Ke-4 h.473.
58
B. Solusi Dalam Menghadapi Sikap Pro Dan Kontra Terhadap Sistem Pembagian Waris 2 : 1 Sikap mendukung (pro) dan menolak (kontra) terhadap penetapan sistem waris ini memang bukan hal yang baru terjadi, melainkan perdebatan yang sudah terjadi sejak lama, maka dari itu pula banyak ulama yang menawarkan berbagai solusi dalam menghadapi permasalahan ini, dan begitu juga penulis akan menawarkan beberapa solusi yang didapatkan dari hasil penelitian ini, diantaranya adalah: 1. Karena harta warisan sering disebut sebagai harta panas, maka harus diselesaikan dengan mengedepankan sikap kekeluargaan dan menjunjung asas keadilan berimbang. 2. Dalam mengedepankan prinsip keadilan dan kekeluargaan itu tidak perlu menentang apa yang digariskan oleh al- Qur’an yang sudah disepakati ketentuannya adalah qath’i. 3. Sedangkan dalam memahami apa yang tertera dalam al- Qur’an itu kita harus terlebih dahulu mencari dan memahami asbabun nuzul ayat tersebut, walaupun tidak semua ayat ada asbabun nuzulnya. Agar kita dapat mengerti apa sebenarnya maqashid al- Syariah yang terkandung di dalamnya. 4. Agar lebih terorganisir, sebaiknya pemerintah pun ikut turun tangan dalam menyelesaikan masalah kewarisan apabila terdapat sengketa. Hal ini tentunya difokuskan dalam hal pengelolaannya saja, sehingga bisa lebih bermanfaat apabila dikelola secara tepat dan akurat. Dan tidak hanya selalu berkutat pada sistem pembagiannya saja.
59
5. Lalu yang terakhir, jadikanlah perbedaan ini sebagai suatu rahmat dan bukan suatu yang harus dianggap buruk. Dan kita harus dapat berlapang dada apabila pendapat kita tidak diterima, karena mungkin pendapat orang lain lebih bermanfaat dan lebih memberikan maslahat.
60
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian penelitian di atas penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan dari persepsi yang diutarakan oleh para aktivis gender Indonesia mengenai sistem waris 2:1 dalam Islam, di antaranya sebagai berikut: 1. Kategori persepsi yang lebih cenderung menyetujui konsep yang ada dalam al- Qur’an, yakni konsep 2:1 terhadap anak laki-laki dan perempuan. Diantara mereka yang termasuk dalam katergori ini: Zaitunnah Subhan, Abdul Wahid Maryanto (aktivis PUAN), dan Masdar F. Mas’udi.
2. Kategori persepsi yang lebih cenderung bertolak belakang atau tidak menetujui konsep 2:1 yang ada dalam al- Qur’an. Diantara mereka yang termasuk dalam katergori ini: Syafiq Hasyim, M. Taufik Damas, Munawwir Sjadzali, dan Komaruddin Hidayat. Adapun solusi yang penulis tawarkan dari penelitian ini yang utama adalah dalam memaknai sesuatu itu tidak mesti menjadikan apa yang kita yakini harus diterapkan oleh orang lain. Karena boleh jadi pendapat orang lain bisa mendatangkan maslahat yang jauh lebih besar dibandingkan maslahat yang didapat dari apa yang kita yakini.
61
B. Saran Adapun saran dari penulis bagi masyarakat Islam yang tetap memegang teguh prinsip kewarisan dalam Islam agar terus mempertahankannya, karena hal tersebut merupakan tuntunan yang merupakan implementasi dari hubungan kita dengan Allah SWT (hablum minallah) dan hubungan kita dengan sesama manusia (hablum minannas). Begitu pula bagi kalangan civitas akademika agar selalu berkarya dan berijtihad dalam menentukan berbagai bentuk pemecahan suatu permasalahan sosial yang menuntut kesinambungan antara produk hukum dan perkembangan zaman, tidak hanya dalam masalah waris saja namun juga masalah sosial lainnya. Untuk itu penulis juga dapat mengajukan saran sebagai berikut: 1. Apapun yang menjadi perbedaan pendapat mengenai apakah sistem waris dua berbanding satu antara anak laki-laki dan perempuan ini masih relevan saat ini ataukah tidak, haruslah disikapi dengan bijaksana. 2. Dalam menghadapi masalah peerbedaan pembagian dalam harta waris sebaiknya para ahli waris mengedepankan semangat kekeluargaan dan keadilan, sehingga kemungkinan konflik akan semakin kecil walaupun sedikit berlainan dengan apa yang digariskan al- Qur’an dalam hal penetapannya. 3. Pemerintah sangat diharapkan kontribusinya dalam menjaga keteraturan pengelolaan harta waris, sehingga kemungkinan-kemungkinan buruk dapat dihindari. Seperti membangun sebuah badan pengelolaan waris, seperti yang sudah ada dalam hal pengelolaan zakat.
62
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Ghani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. al- Jawi, M. Shiddiq. “Menghancurkan Agenda Global Barat; Feminisme”. Moch. Nanan Syaifuddin, harta warisan untuk ahli waris laki-laki dan perempuan menurut hukum islam. Artikel diakses pada tanggal 10 februari 2010 dari www.khilafah1924.org Allusy, Syekh Abi Abdillah Abdussalam, Ibanah Al-Ahkam Fi Syarhi Bulughul Maram Juz III, Beirut: Dar El- Fikr, 2004. Cet.1 al- Sya’rawi, Syekh Mutawalli. Fikih Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan Penghormatan Atas Perempuan, Sampai Wanita Karier, Jakarta: Amzah, 2005. al- Tirmiziy, Abu Isa. al-Jami’u al-Shahih IV, Cairo: Musthafa al-Babiy, 1938. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Ash- Shobuniy, Muhammad Ali. Hukum Waris Islam, Judul Asli Al- Mawarits Fi Asy- Syar’iyyati Islamiyyah ‘Ala Dhaull Kitab Was Sunnah, Surabaya: Alikhlas, 1995. Bhasari, Abu Hamzah Hasan. “Relevansi Hukum Waris, Bias Isu Gender, Egalitarianisme, Pluralisme dan HAM” artikel diakses pada tanggal 10 maret 2010 dari www.mail-archive.com Bhasin, Kamla. Memahami Gender, Jakarta: Teplok Press, Cet. I, 2001. Budi, Setia. Tinjauan Pustaka: Pengertian Persepsi, Artikel diakses pada tanggal 13 April 2010 Dari http://www.damandiri.or.id/file/Setiabudiipbtinjauanpustaka.pdf Dawud, Abu. Sunan Abi Daud II, Cairo: Musthafa al-Babiy, 1952. Departemen Agama RI. Al- Qur’an Al Karim dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al- Qur’an, 1986.
63
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Dzuharyatin, Siti Ruhaini dkk; PSW IAIN Sunan Kalijaga. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, Yogyakarta: Mc Gill ICHIEP dan Pustaka Pelajar anggota IKAPI cet. I, 2002. Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. XII, 1983. Fauzie, Ridjal. Dinamika Gerakan Perempuan Di Indonesia, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1993. Ghazali, Syeikh Muhammad. Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Gayu Media Pratama, 2004. Hasan, M. Ali. Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Hilal, Uun Ru’yatul. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Paraktek Hukum Waris Bagi Rata Pada Masyarakat Desa Bahagia, Kecamatan Babelan Kotamadya Bekasi”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Buku III: Pengantar Teknik Analisa Jender, Jakarta: 1992. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Perspektif Agama Islam, Jakarta: 2004. Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Aldizar dan Fathurrahman, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004. Linsey, Linda L. Gender Roles: a Sociological Perspective, New Jersey: Prentice Hall, 1990. M. Lips, Hilary. Sex and Gender: An Introduction, London: Mayfield Publishing Company, 1993. Majelis Ulama Indonesia. (Rangkuman Hasil Seminar Dan Lokakarya “Kemitrasejajaran Pria Dan Wanita Dalam Perspektif Islam”),Tuntunan Islam Tentang Kemitrasejajaran Pria Dan Wanita, Jakarta: 1999.
64
Maula, Nilayatul. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Konsep Pembagian Waris Anak Laki-Laki Dan Perempuan Menurut Prof. Dr. H. Munawwir Sjadzali, MA.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006. Mufidah Ch, Peta dan Isu Gerakan Perempuan Islam di Indonesia, artikel diakses pada pada tanggal 11 februari 2010 dari http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/651/52/1/2/ Mujib, Abdul. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-qowa’idul fiqhiyyah), Surabaya: Kalam Mulia, 1992. Musa, Kamil. Anak Perempuan dalam Pandangan Islam, Jakarta: CV. Firdaus, 1994. Murniati, A. Nunuk P. Getar Gender (Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga), Magelang: Indonesiatera, 2004. Muthahhari, Murtadha. Wanita dan Hak-Haknya Dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1996. Neufeldt, Victoria (ed.). Webster’s New World Dictionary, New York: Webster’s New World Clevenland, 1984. Nurmalia, Eli.“Respons Perempuan Terhadap Sistem Pembagiam Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam” (Studi di Rt.04/05 Kelurahan Bojongkulur Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor), Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Rofiq, Ahmad. Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar el-Fikr, 1983. Sarmadi, A. Sukris. Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. shaleh, Abdurrahman. dan abdul wahab, muhbib. Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2004. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, Volume 2, 2002. Subhan, Zaitunah. Menggagas Fikih Pemberdayaan Perempuan, Jakarta: el- Kahfi, 2008.
65
______________, Peningkatan Kesetaraan dan Keadilan Jender Dalam Membangun Good Governance, Jakarta: el- Kahfi, 2002. ______________, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender Dalam Tafsir Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 1999. Suryochondro, Sukanti. Potret Pergerakan Wanita Di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1984. Sudarsono. Hukum Waris Dan Sistem Bilateral, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991. Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004. Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Tierney, Helen (ed.). Women’s Studies Encyclopedia, Vol.1, New York: Green Wood Press. Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999. Usman, Suparman. dan Somawinata, Yusuf. Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Walgito, Bimo. Psikologi Sosial; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Andi, 2007. ed.revisi.
Wilson, H.T. Sex and Gender, making cultural sense of civilization, Leiden New York, Kobenhavn, Koln: E.J. Brill, 1989.
Daftar Wawancara : 1. Curiculuum vitae (CV): Nama
: Abdul Wahid Maryanto, Lc., Mba.
TTL
: Cirebon, 03 Mei 1956
Alamat
: Yayasan Puan Amal Hayati (kantor)
Pendidikan
: - MI, MTs, MA. Tebu Ireng, Salafi, Jombang. - S1. al- Azhar University, Cairo. - S2. Eidenbergh, United Kingdom.
Profesi
: Aktivis Puan Amal Hayati
Jabatan
: Pengurus Harian Puan Amal Hayati
Waktu &Tempat PelaksanaanWawancara : Rabu, 06 Oktober 2010 Pukul 11:00 s/d 12:15 WIB di Sekretariat Yayasan Puan Amal Hayati Jl. Warung Silah Mo. 32A. Komplek al- Munawwaroh, Ciganjur Jakarta Selatan.
2. Pertanyaan: A. Apakah anda mengetahui tentang adanya hukum kewarisan yang diatur dalam agama Islam? Apa saja yang anda ketahui? -
Ya, saya sedikit banyak tahu tentang masalah waris dalam islam. Banyak hal yang dibahas dalam waris islam yang membedakannya dengan hukum waris belanda. Seperti dalam hal pembagian, istilah-istilah yang dipakai, teknik pembagiannya, dll.
B. Apakah anda mengetahui dasar-dasar yang dipakai dalam menentukan bagianbagian harta warisan dalam hukum kewarisan Islam? -
Ya, ayat tentang kewarisan diatur oleh al- Qur’an, al- Hadits juga dalam ijma’ sahabat. Seperti dalam surat al- Nisa’ ayat 11 dan beberapa ayat lain
yang berkaitan dengan hal warisan. Dalam beberapa hadits dan juga ijma’ sahabat terdapat pembahasan mengenai warisan.
C. Apakah anda juga mengetahui bahwa dalam hukum kewarisan Islam itu bagian anak laki-laki dengan perempuan berbanding 2:1? Bagaimana menurut anda, setujukah anda dengan aturan seperti ini? Mengapa? -
Tahu, saya dalam hal ini setuju, karena menurut saya aturan ini merupakan aturan yang sudah berifat Qath’iy dan tidak perlu diubah-ubah lagi.
D. Bila dikaitkan dengan kesetaraan gender yang saat ini sedang diperjuangkan, apakah pembagian 2:1 ini masih relevan dengan semangat kesetaraan gender? -
Menurut saya masih relevan, karena banyak hal yang sesuai dengan proporsi pembagian 2:1. Jadi, bukan sistem pembagiannya yang bermasalah melainkan pengelolaannya.
E. Bagaimana solusi yang tepat menurut anda terhadap sikap pro dan kontra akan sistem pembagian 2:1 dalam hukum kewarisan Islam ini? -
Karena yang menjadi permasalahan adalah manajemen pengelolaan warisnya, maka yang perlu dilakukan saat ini adalah membentuk suatu lembaga yang mengatur masalah waris, jadi bukan hanya masalah zakat yang diurus, namun saat ini belum ada yang mengatur masalah ini.
Daftar Wawancara : 3. Curiculuum vitae (CV): Nama
: M Taufik Damas, Lc.
TTL
: Jakarta, 23 Januari 1974
Alamat
: JIL (kantor)
Pendidikan
: S1 Fakultas Ushuluddin Jurusan Akidah Filsafat, Universitas al- Azhar Cairo, 2003.
Profesi
: Aktivis JIL
Jabatan
: Aktivis JIL
Waktu &Tempat PelaksanaanWawancara : Selasa, 12 Oktober 2010 Pukul 13:00 s/d 14:00 WIB di Sekretariat Jaringan Islam Liberal (JIL) Jl. Utan Kayu 68 H Jakarta Pusat
4. Pertanyaan: A. Apakah anda mengetahui tentang adanya hukum kewarisan yang diatur dalam agama Islam? Apa saja yang anda ketahui? -
Ya, saya mengetahui adanya hal tersebut. Seperti adanya istilah-istilah yang dipakai dalam kewarisan Islam seperti dzawil furudh, dzawil arham, ashobah, dll. Dan juga adanya wasiat, hibah dan wakaf yang sering dibahas dalam pembahasan mengenai kewarisan
B. Apakah anda mengetahui dasar-dasar yang dipakai dalam menentukan bagianbagian harta warisan dalam hukum kewarisan Islam? -
Ya, ayat tentang kewarisan diatur oleh al- Qur’an dan al- Hadits seperti dalam surat al- Nisa’ kalau tidak salah ayat 11 dan beberapa ayat lainnya. Dan juga banyak hadits yang menerangkan tentang masalah kewarisan.
C. Apakah anda juga mengetahui bahwa dalam hukum kewarisan Islam itu bagian anak laki-laki dengan perempuan berbanding 2:1? Bagaimana menurut anda, setujukah anda dengan aturan seperti ini? Mengapa? -
Tahu, saya tidak setuju dengan pendapat beberapa kalangan yang menempatkan bagian anak perempuan mendapatkan bagian yang lebih sedikit ketimbang anak laki-laki. Karena menurut saya ketentuan yang ada dalam al- Qur’an harus merespon kondisi zaman. Tidak semua hukum itu harus diterapkan, artinya penerapan hak waris merupakan alternatif atau jalan terakhir yang ditempuh jika perundingan secara kekeluargaan menemui jalan buntu.
D. Bila dikaitkan dengan kesetaraan gender yang saat ini sedang diperjuangkan, apakah pembagian 2:1 ini masih relevan dengan semangat kesetaraan gender? -
Menurut saya hal ini sudah tidak sesuai, karena beban dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan saat ini relatif sama. Yang terpenting adalah mengutamakan prinsip keadilan dan kekeluargan.
E. Bagaimana solusi yang tepat menurut anda terhadap sikap pro dan kontra akan sistem pembagian 2:1 dalam hukum kewarisan Islam ini? -
Perbedaan pendapat sah-sah saja, asalkan penyelesaiannya dilakukan dengan asas kekeluargaan.