KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM PEMBAGIAN WARISAN MENURUT HUKUM WARIS ADAT DI DESA NGRINGO KECAMATAN JATEN KABUPATEN KARANGANYAR Oleh: ACHMAD SUPARDI Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK Pewarisan adalah suatu bagian yang sangat penting, proses pewarisan atau beralihnya barang-barang warisan dari pewaris kepada ahli waris, baik berlangsung semenjak pewaris masih hidup maupun setelah pewaris meninggal dunia. Baik hukum adat, hukum perdata maupun hukum Islam, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat. Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan apabila ada anak kandung menurut hukum waris adat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. 2) Mengetahui kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan apabila tidak ada anak kandung menurut hukum waris adat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Metode pendekatan dalam penulisan ini adalah yuridis sosiologis, artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta, yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah. Data ini kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif yaitu, prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan cara memaparkan data yang diperoleh kemudian dianalisis dalam bentuk kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa di Kampung Karangrejo Desa Ngringo Jaten Kabupaten Karanganyar telah ada empat kasus tentang warisan yang ada anak angkat, semuanya bisa terselesaikan dengan baik tanpa adanya konflik, sistem pembagian warisan dilaksanakan dengan cara musyawarah bersama-sama pewaris yang bersangkutan. Kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan apabila ada anak kandung menurut hukum waris adat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar belum ditemui ciri yang khusus dalam pembagian warisan, sistem pembagian warisan dilaksanakan dengan cara musyawarah dan dibagi sama, sehingga kedudukan anak angkat walaupun ada anak kandung dianggap sama tanpa membeda-bedakan antara anak kandung dan anak angkat. Sedangkan kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan apabila tidak ada anak kandung menurut hukum waris adat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dilakukan dengan dua cara yaitu warisan dibagikan sebelum adanya peristiwa kematian dan warisan dibagikan setelah adanya peristiwa kematian. Golongan harta yang biasanya diberikan bagi anak angkat sebelum adanya kematian adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak seperti rumah dan tanah (harta gono gini). Proses pembagian warisan setelah kematian biasanya berupa harta pusaka, harta bawaan diwariskan kepada saudara-saudara si pewaris, yang pembagiannya dihadiri oleh sesepuh desa serta Bapak Bayan dan Bapak RT untuk meminimalisir konflik yang kemungkinan terjadi di sela-sela proses musyawarah pembagian warisan.
1
LATAR BELAKANG MASALAH Anak merupakan salah satu tujuan dari suatu perkawinan yaitu untuk meneruskan keturunannya, anak merupakan unsur yang penting serta mutlak bagi suatu keluarga yang menginginkannya, agar supaya ada generasi penerusnya. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa anak selalu dilihat sebagai penerus generasinya, juga dipandang sebagai wadah dimana semua harapan orang tuanya kelak di kemudian hari ditumpahkan dan dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak apabila orang tua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah serta sebagai ahli waris dalam pewarisan hartanya. Pewarisan adalah suatu bagian yang sangat penting dan tidak diabaikan begitu saja. Di Indonesia mempuanyai berbagai suku dengan hukum adat yang berbeda-beda, tentu saja cara penyelenggaraan pewarisan juga berbeda, hal ini tergantung dari adat istiadat daerah masing-masing. Proses pewarisan atau beralihnya barang-barang warisan dari pewaris kepada ahli waris, baik berlangsung semenjak pewaris masih hidup maupun setelah pewaris meninggal dunia. Baik hukum adat, hukum perdata maupun hukum Islam, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat. Menurut Buddiarto, Hukum waris adat sebagai berikut: Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, Jawa misalnya pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya. 1 Menurut Buddiarto,Hukum waris Islam sebagai berikut: Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah,
1
Buddiarto, 1991, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Akapress, Yogyakarta, Hal.
14.
2
hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Menurut Peraturan Per-Undang-undangan hukum perdata barat atau BW sebagai berikut: Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut. Karena status anak angkat sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya maka dengan demikian pembagian harta warisan berlaku sama dengan anak kandung seperti tertuang dalam Pasal 857 KUHPerdata dan berlaku “legitieme portie” Pasal 913 sampai dengan Pasal 929. Menurut Soepomo “Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengatur barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak berwujud benda (imateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.” 2 Dalam pengertian pewarisan tersebut memperlihatkan, adanya tiga unsur yang penting yaitu : 1) Seorang peninggal warisan atau pewaris yang pada waktu meninggalnya meninggalkan harta kekayaan; 2) Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu atau pewaris; 3) Harta warisan atau harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan dan sekaligus beralih kepada ahli waris. Ketiga unsur ini pada proses pelaksanaan penerusan atau pengoperan kepada yang berhak menerima selalu menimbulkan persoalan sebagao berikut: 1) Unsur pertama menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana hubungan seorang peningggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana di peninggal warisan itu berada; 2) Unsur kedua manimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris; 3) Unsur ketiga menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu dipengaruhi oleh
2
Soepomo, 1996, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Cetakan Ke-14, Pradya Paramita, Jakarta,
Hal 79.
3
sifat lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal warisan dan ahli waris bersamasama berada. 3 Masalah akan timbul apabila pewaris mengangkat seorang anak. Tentunya anak angkat mempunyai hak atas bagian warisan orang tua angkatnya. Hal itu sesuai dengan pengertian anak angkat menurut Muderis Zaini, adalah: “Seseorang yang bukan keturunan dua orang suami istri yang dipelihara dan diperlakukan sebagai anak angkat keturunannya sendiri.” 4 Dengan adanya pengangkatan anak, maka status anak angkat akan berubah dimana anak yang bukan anak kandung sendiri secara lahir batin dianggap sebagai anak kandungnya berarti anak tersebut mendapat pengakuan yang sama seperti halnya anak kandung. Satu hal yang menarik tentang kedudukan anak angkat dalam pembagian warisan. setiap anak mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Sedangkan kedudukan anak angkat antara satu daerah dengan daerah yang lain di Indonesia terdapat perbedaan, sebagaimana dikatakan oleh Soepomo, bahwa: Di daerah Jawa, khususnya di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar, pengangkatan anak tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak yang diangkat dengan orang tuanya sendiri. Anak angkat masuk kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya, sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi ia tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsinya untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya. Fungsi anak angkat adalah sama dengan anak kandung. Oleh karena itu harapan orang tua angkat adalah agar si anak angkat akan meladeninya bila sudah tua dan tidak mampu untuk melanjutkan kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat. Maka orang tua itu akan luput dari keadaan cauput yaitu keadaan yang tanpa keturunan dan ia akan memperoleh pelanjut dalam tata cara kehidupan adat di desa yang menyangkut masalah hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sebagai warga desa. Seorang anak angkat diharapkan melakukan darmanya sebagaimana dilakukannya terhadap orang tua kandungnya sendiri. Namun apabila dalam suatu keluarga yang melakukan pengangkatan anak sudah ada anak kandung,
3
Surojo Wignjodipuro, 1990, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, Hal 162. 4 Muderis Zaini, 1985, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Bina Aksara, Jakarta, Hal 20.
4
maka hak-hak dan kewajiban-kewjiban itu akan dibebankan kepada semua anakanaknya baik itu terhadap anak angkat maupun terhadap anak kandungnya. Disamping itu adanya kaitan yang sangat erat dengan warisan, sehingga dalam prakteknya di masyarakat sering timbul masalah dalam pewarisan. Maka dari itu kedudukan anak angkat dalam pewarisan sangat penting untuk diketahui kepastian hukumnya, sehingga dengan demikian dapat diharapkan melindungi hak-hak serta menentukan kewajiban-kewajiban dari anak angkat terhadap orang tua angkatnya. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah kedudukan anak angkat apabila ada anak kandung dalam pembagian harta warisan menurut hukum waris adat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar?. 2. Bagaimanakah kedudukan anak angkat apabila tidak ada anak kandung dalam pembagian harta warisan menurut hukum waris adat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar?.
TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui kedudukan anak angkat apabila ada anak kandung dalam pembagian harta warisan menurut hukum waris adat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. 2. Mengetahui kedudukan anak angkat apabila tidak ada anak kandung dalam pembagian harta warisan menurut hukum waris adat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. METODE PENELITIAN Metode pendekatan dalam penulisan ini adalah yuridis sosiologis, artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta, yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah. Data ini kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif yaitu, prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan cara memaparkan data yang diperoleh kemudian dianalisis dalam bentuk kesimpulan.
5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kedudukan Anak Angkat Apabila Ada Anak Kandung Dalam Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Waris Adat Di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Sebelum peneliti membahas mengenai kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan, terlebih dahulu peneliti jelaskan mengenai kedudukan anak angkat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Dalam menentukan garis keturunannya, warga Desa Ngringo tidak pernah membedakan apakah ia keturunan laki-laki ataupun perempuan, melainkan menarik keturunan langsung dari dua garis. Begitu pula dengan pembagian warisan terhadap para ahli waris di Desa Ngringo. Menurut penjelasan Bapak Temon Mulyono selaku sesepuh Desa Ngringo menyatakan bahwa memang seharusnya dalam konsepsi hukum adat terutama hukum adat Jawa yang dikenal istilah sepikul dan segendong hal ini bisa saja di terapkan. Tetapi kebanyakan warga Desa Ngringo tidak ada yang melakukan hal itu seperti misalnya memberikan dua bagian kepada ahli waris laki-laki dan satu bagian kepada ahli waris perempuan. Tidak digunakannya konsepsi adat Jawa ini karena kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sama. Sebab masyarakat di Desa Ngringo yang berkewajiban mencari nafkah untuk keluarga tidak hanya laki-laki saja, tetapi pihak perempuan juga membantu keluarganya baik ayah, kakak, maupun suaminya karena hal itu sudah merupakan kewajiban yang harus ditanggung bersama oleh keluarga dan hasilnya nanti juga dinikmati bersama-sama sekeluarga sehingga hasilnya anak laki-laki dan perempuan akan mendapatkan bagian harta yang sama karena kedudukan mereka dianggap seimbang dalam keluarga. Begitu pula dengan kedudukan anak angkat dalam keluarga di Desa Ngringo. Anak angkat memang bukan anak kandung dan kedudukan anak angkat di dalam hukum formil Indonesia memang sangat tidak bisa disandingkan dengan kedudukan anak kandung, kecuali memang ada perjanjian atau sesuatu yang telah diatur sebelumnya oleh keluarga pengangkat anak. Menurut Bapak Suyatno menyatakan bahwa kedudukan anak angkat di dalam keluarganya adalah memang sebagai anak angkat dan tidak bisa dinaikkan statusnya menjadi anak kandung. Tetapi hal ini bukan alasan bagi keluarga bapak Suyatno untuk tidak memperlakukan anak
6
angkatnya dengan sebaik mungkin, melainkan memperlakukan anak angkat tersebut seperti anak kandungnya sendiri, baik dari segi kasih sayang dan segi pengasuhan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bapak Mustofa selaku orang yang mengangkat anak. Dari hasil pengamatan yang peneliti lakukan selama melakukan penelitian, terlihat sangat jelas bahwa Bapak Mustofa tidak memperlakukan anak angkatnya dengan cara yang berbeda, melainkan memperlakukan anak tersebut dengan penuh kasih sayang dan memberikan pendidikan yang baik. Pelaksanaan pembagian warisan terhadap anak angkat, di Desa Ngringo masih belum ada atau belum ditemui ciri yang khusus. Seperti keterangan dari wawancara dengan Bapak Suyatno selaku orang yang mengangkat anak, mengatakan bahwa anak angkat apabila sudah diangkat, berarti akan menjadi anak dari yang mengangkat. Namun Bapak Suyatno tidak pernah membatasi atau menyembunyikan identitas orang tua kandung dari anak yang diangkat karena orang tua angkat dari anak angkat mereka sama-sama masih satu desa, dan masih memiliki hubungan kerabat dekat. Menurut penuturan Bapak Suyatno yang saat ini anak angkatnya sudah memasuki usia dewasa, beliau mengatakan “walaupun anak perempuan itu merupakan anak angkat saya, namun saya sangat menyayanginya seperti anak kandung saya yang lainnya sehingga nantinya mungkin warisan bisa saya bagi rata bersama”. Hal ini berarti bahwa anak angkat yang diangkat sudah sangat disayangi bahkan dianggap sebagai anak kandung sendiri oleh keluarga yang mengangkatnya karena kebanyakan dari anak tersebut diangkat pada waktu usia yang masih sangat kecil sehingga terjalin kuat hubungan batin antara orang tua dan anak angkat. Menurut beberapa warga di Desa Ngringo yang ditanyai mengenai anak angkat dan pembagian warisannya, diperoleh penjelasan dari warga bahwa anak angkat berhak mendapatkan warisan dari kedua orang tua, baik itu orang tua kandung maupun orang tua angkat. Tetapi hal ini biasanya hanya sebatas terhadap harta asal orang tua, bukan harta gono-gini. Tetapi untuk masalah pembagian harta warisan sejatinya dikembalikan lagi kepada orang tua masing-masing anak angkat dan anak kandung terhadap bagaimana sistem mereka membagi warisnya. Namun berdasarkan penelitian dan hasil wawancara dari narasumber yang telah disebutkan di atas, yang terjadi di Desa Ngringo adalah para anak angkat mendapat harta waris dari orang tua
7
angkat saja. Hal ini dikarenakan adanya anak angkat yang sudah yatim piatu dan keluarga asalnya tidak mapan secara ekonomi sehingga ia tidak memiliki warisan. Harta dalam konsep hukum adat terbagi atas tiga, yaitu harta pusaka, harta asal dan harta gono-gini. Untuk sifat penguasannya tentu saja berbeda satu sama lainnya, seperti harta pusaka, baik itu harta pusaka adat dan harta pusaka keluarga yang pewarisannya dapat dikuasakan kepada satu orang pewaris, atau beberapa pewaris bersama-sama dan biasanya harta pusaka tersebut tidak dapat dialih fungsikan kepada orang yang bukan bagian dari keluarga tersebut. Harta asal atau yang biasa disebut dengan harta bawaan, merupakan harta yang dibawa masingmasing pihak, baik laki-laki dan perempuan sebelum terjadinya ikatan pernikahan dan penguasaannya hanya sebatas kepada diri mereka masing-masing. Harta gonogini adalah harta, baik harta benda bergerak maupun benda tetap yang didapatkan selama perkawinan berlangsung sehingga penguasannya bisa dikuasakan kepada suami maupun isteri dan anak-anaknya, namun apabila terjadi perceraian, maka mutlak harta gono-gini harus dibagi dua untuk masing-masing pihak. Pelaksanaan pembagian harta warisan dari ahli waris kepada pewaris di Desa Ngringo sebenarnya sampai saat ini belum pernah menemukan suatu kesulitan yang akhirnya menimbulkan konflik. Metode pembagian warisan diserahkan sepenuhnya kepada keluarga yang memiliki kepentingan dalam membagikan waris, baik itu sebelum ahli waris meninggal dunia dan setelah ahli waris meninggal dunia. Pembagian harta warisan di desa Ngringo dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sebelum pewaris wafat dan setelah pewaris wafat. Namun pembagian warisan lebih nyata terlihat ketika pewaris masih hidup hal ini dikarenakan untuk meminimalisir konflik. Menurut Bapak Suyatno terkait dengan pembagian banyaknya warisan, pada dasarnya para anak baik laki-laki maupun perempuan tetap akan mendapatkan bagian yang sama. Tetapi akan berbeda jika misalkan orang tuanya ada ikut di salah satu anak kandungnya. Misalkan keluarga Z memiliki empat orang anak, A, B, C dan D. Keluarga Z kedua orang tuanya masih hidup dan sekarang sudah tua sehingga dipelihara oleh si B. Karena orang tua di pelihara oleh B semasa hidupnya sampai dengan wafatnya, maka dalam musyawarah keluarga Z, yang dihadiri Bapak Bayan beserta Bapak RT, si B akan mendapatkan bagian warisan lebih banyak daripada saudaranya yang lain, baik itu dari benda bergerak
8
maupun dari benda tetap. Beberapa kali ada pembagian warisan dengan sistem seperti itu di Desa Ngringo dan dihadiri oleh Bapak Bayan serta Bapak RT demi mengurangi kemungkinan timbulnya konflik berkaitan dengan masalah mewaris. Begitu pula dengan adanya anak angkat di antara anak kandung. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa si anak angkat akan mewaris bersama anak kandung pula tetapi jumlah bagian anak angkat dipastikan akan lebih sedikit dibandingkan dengan anak kandung kecuali ada hal lain yang mempertimbangkan bahwa si anak angkat bisa mewaris lebih besar, seperti penjelasannya mengenai penjagaan dan perawatan orang tua di masa tua. Berdasarkan pertanyaan yang diajukan kepada bapak Suyatno terkait dengan bagaimana status warisan untuk anak angkatnya yang sudah mencapai usia dewasa, beliau mengatakan bahwa anak angkatnya sudah diberikan bekal yang cukup seperti kendaraan bermotor, sebagian tanah sawah dan sepetak rumah. Beliau menuturkan bahwa benda-benda itu diberikan kepada anak angkatnya sebagai rasa kasih sayang dan bentuk tanggung jawab bapak Suyatno terhadap masa depan anak angkatnya. Pola kehidupan masyarakat Desa Ngringo yang dari dulu menganut sistem guyub rukun dan musyawarah mufakat merupakan keunggulan tersendiri bagi masyarakat desa tersebut untuk menyelesaikan konflik secara damai yang nantinya diharapkan
tidak
akan
menimbulkan
perselisihan
yang
mengakar
dan
berkepanjangan. Seperti yang diketahui dalam sistem hukum positif Indonesia, dimana hukum adat menjadi bagian di dalamnya dan dalam poin ini menggaris bawahi mengenai kedudukan waris anak angkat, tidak semuanya serta merta mendapatkan warisan. Konsep pengangkatan anak dalam hukum adat dibagi menjadi dua yaitu secara terang dan tunai atau tidak terang juga tidak tunai membawa dampak dalam pembagian harta warisan. Banyak daerah yang melakukan pengangkatan terang dan tunai yang berdampak bahwa si anak langsung putus hubungan lahiriah dengan orang tua kandungnya, seperti yang terjadi di daerah Bali. Namun ada juga orang tua yang mengangkat anak dengan memilih tidak terang dan tidak tunai sehingga sang anak masih memiliki hubugan baik batin maupun lahirnya, seperti yang terjadi di pulau Jawa. Pengangkatan anak seperti ini tentunya membawa implikasi bahwa dalam membagi harta warisan juga harus dilihat seperti apa dulunya si anak angkat
9
diangkat. Semisal ia diangkat secara terang dan tunai, maka ia tidak berhak mendapat warisan dari orang tua kandungnya dan hanya akan dapat aharta warisan dari orang tua angkatnya. Namun jika ia diangkat secara tidak terang dan tidak tunai, maka masih ada kemungkinan bagi si anak angkat untuk mendapatkan harta warisan dari kedua belah pihak orang tua, baik orang tua kandung maupun orang tua angkat namun dibatasi dengan orang tua angkat hanya boleh memberi harta hibah dan tidak mengganggu harta asal dan harta gono-gini yang sejatinya merupakan hak dari anak kandung. Menurut Bapak Suyatno, dalam pembagian warisan terutama dalam keluarga yang memiliki anak angkat dan anak kandung seharusnya dilakukan musyawarah mufakat dulu bersama dengan seluruh keluarga agar nantinya tidak ada salah paham terkait penguasaan dan pemberian harta. Namun sebagaimana lazimnya orang desa, bahkan juga diakui oleh Bapak Temon Mulyono selaku sesepuh Desa Ngringo, warga desa biasanya mengangkat anak tidak dengan mengurus surat resmi di instansi pemerintahan, seperti halnya aturan mengangkat anak yang sudah diatur oleh undang-undang. Warga desa biasanya mengangkat anak hanya dengan cara melapor kepada kepala desa bahwa ia mengangkat anak, tanpa adanya surat-surat formil yang harus dilampirkan sesuai hukum yang berlaku. Berbagai macam alasan beredar misalnya anak tersebut masih kecil jadi tidak perlu surat, sehingga mereka pikir tidak masalah jika tidak mengurus surat yang penting mereka bertanggung jawab terhadap anak tersebut. Sistem kehidupan masyarakat desa yang guyub rukun dan mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat sampai dengan saat ini ternyata sangat membuahkan hasil dengan terbuktinya tidak ada sengketa masalah mewaris baik itu yang dilakukan antar keluarga kandung maupun antara anak angkat dan keluarga anak kandung yang masuk ke ranah hukum. Hambatan-hambatan dalam pembagian warisan biasanya hanya terpaku pada berapa harusnya besaran jumlah harta yang didapat oleh anak angkat karena semasa hidup, orang tua kandungnya sudah pasti memiliki keluarga, dan ada juga yang kemudian memiliki anak kandung setelah mengangkat anak tersebut. Hambatan tersebut tidak berlangsung lama bahkan jauh dari kata konflik. Masyarakat desa Ngringo dalam menyelesaikan masalah mereka
10
tetap berpatokan kepada hukum adat dan musyawarah bersama agar tercipta kerukunan dan kedamaian diantara sesama.
Kedudukan Anak Angkat Apabila Tidak Ada Anak Kandung Dalam Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Waris Adat Di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar Pembagian harta warisan di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar tidak membedakan antara kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam menentukan garis keturunan, tetapi dalam hal pembagian waris kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan memiliki hak yang agak berbeda. Anak laki-laki menerima warisan lebih banyak dari pada anak perempuan. Istilah dalam masyarakat Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar, laki-laki menerima jatah sepikul dan perempuan mendapatkan segendong. Hal tersebut berlaku jika memang mempunyai anak laki-laki dan juga perempuan. Pelaksanaan pembagian harta warisan terhadap anak angkat, ketika orang tua angkat tidak mempunyai anak kandung, maka anak angkat tersebutlah yang mewarisi semua harta dari orang tua angkatnya, tentunya dengan terlebih dahulu bermusyawarah dengan keluarga yang lain. Dengan catatan harta yang diwariskan kepada anak angkat adalah harta hasil perkawinan orang tua angkat, maka orang tua angkat sebenarnya memang masih bisa juga mewariskan harta asalnya tentu harus dengan persetujuan ahli waris lainnya yang berhak terhadap harta warisan asal tersebut, tapi untuk pemberian warisan harta asal pada umumnya tidak diwariskan kepada anak angkat, karena biasanya harta asal akan kembali kepada ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan si pewaris. Di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar sistem hukum waris dilakukan penunjukan atau pembagian harta warisan dapat dilakukan pada saat pewaris masih hidup ataupun setelah pewaris meninggal dunia. Kebanyakan para orang tua pada masyarakat Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar melakukan penunjukan atau pembagian terhadap harta warisan kepada anak-anak mereka dilakukan pada saat si pewaris (orang tua) masih hidup. Menurut Bapak Temon Mulyono selaku sesepuh Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar menyatakan bahwa “biasanya dalam pembagian harta
11
warisan dibagikan pas orang tua masih hidup, tujuannya agar tidak terjadi perselisihan antar ahli waris”. Namun penyerahan atau pengoperannya barang warisan secara resmi bisa dilakukan sewaktu pewaris (orang tua) sudah meninggal dunia. Ataupun bisa juga penyerahannya dilakukan ketika si anak akan kawin dan memulai kehidupan yang baru dengan suami/istrinya. Tujuan dari pada pembagian warisan pada waktu si pewaris masih hidup adalah supaya warisan yang akan dibagikan itu jatuh pada orang yang tepat atau cocok sebagai ahli waris dari pada pewaris tersebut, selain itu untuk menghindari perselisihan atau persengketaan pembagian harta warisan tersebut antar sesama ahli waris. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa mayoritas masyarakat Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar masih menggunakan hukum waris adat karena hukum waris adat lebih menitik beratkan pada kompromi atau permusyawarahan atau kegotongroyongan yang selalu digunakan dalam usaha menyelesaikan permasalahan secara damai dan kekeluargaan. Adapun mengenai besarnya jumlah harta warisan dari orang tua angkat yang dapat dimiliki oleh anak angkat adalah seluruh harta hasil perkawinan orang tua angkatnya, dan juga bisa mendapatkan harta asal yang dimiliki orang tua angkat jika ada persetujuan dari ahli waris lainnya yang sah, tentunya hal ini dilakukan untuk menghindari adanya sengketa nantinya.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam skripsi ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Kedudukan anak angkat apabila ada anak kandung dalam pembagian harta warisan menurut hukum waris adat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar belum ditemui ciri yang khusus dalam pembagian warisan, sistem pembagian warisan dilaksanakan dengan cara musyawarah dan dibagi sama, sehingga kedudukan anak angkat walaupun ada anak kandung dianggap sama tanpa membeda-bedakan antara anak kandung dan anak angkat. 2) Kedudukan anak angkat apabila tidak ada anak kandung dalam pembagian harta warisan menurut hukum waris adat di Desa Ngringo Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar dilaksanakan dengan musyawarah antara anak angkat dengan ahli waris lainnya, sistem pembagian harta warisan didasarkan atas kesepakatan para pihak.
12
DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Ahmad Azhar Basyir, 1995, Hukum Waris Islam. Yogyakarta : UII Press. Buddiarto, 1991, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Akapress, Yogyakarta. B. Bastian Tafal, 1983, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibatakibat Hukumnya di Kemudian Hari, Jakarta : Rajawali. Djaja S. Meliala, 1982, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Bandung: Tarsito. Hilman Hadikusuma, 1999, Hukum Waris Indonesia menurut: Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Citra aditya Bakti, Bandung. Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Waris Adat. Bandung : Citra Aditya Bakti. J. Satrio, 1992, Hukum Waris. Bandung : PT. Alumni. Mg. Sri Wiyarti, 2000, Hukum Adat Dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bagian B. Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Muderis Zaini, 1995, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Muslich Maruzi, 1981, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang : Mujahidin. R. Soetojo Prawirohamidjojo, 1993, Hukum Waris Kodifikasi. Surabaya : AirLangga University Press. Shanty Dellyana, 1988, Wanita dan Anak di Mata Hukum, Yogyakarta: Liberty. Soepomo, 1996, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Cetakan Ke-14, Pradya Paramita, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1995, Intisari Hukum Keluarga, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soejono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Soedaryo Saimin 1992, Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta : Sinar Grafika. Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta : PT. Prestasi Pustaka.
13