PELAKSANAAN KEBIJAKAN HULU MINYAK BUMI PADA SUMUR SUKOWATI OLEH PEMDA KABUPATEN BOJONEGORO
Sukma Prima Setyabekti, S.AP., M.PA Alumni Pascasarjana Ilmu Adminsitrasi Negara FISIPOL UGM Email:
[email protected]
ABSTRACT Implementation of the policy on the upstream petroleum wells in Sukowati Bojonegoro have a tendency to conflict at the level of horizontal and vertical. The study will describe the implementation of public policy by using the model synthesis approaches (hybrid theories), and then the analysis through formal and informal mechanisms developed by local governments. The lack of involvement and opportunities for local government as a producing region directly involved in the petroleum upstream activities, and the lack of understanding of the region has implemented the policy of uniformity as an autonomous region in general, it would severely limit the autonomous regional authority to manage the area according to their characteristics. The high community participation is not accompanied by the strengthening of the law. The existence of additional authority to the autonomous oil-producing regions of the earth to participate directly in policy formulation were deemed still centralized. Providing public space to generate discourse between central and local governments will make a localization element in public policy on matters of decentralized options. The local government more actively used its right to issue an equivalent policy to support the decentralization of public policy, and the central government can control it with a general policy, while local governments were given the right to determine certain criteria based on central government policy. Strengthening the presence of the community for advocacy, facilitation, litigation practices, even opposition to counterbalance the hegemonic power of the state or at least were the alternatives discourse outside the bureaucratic apparatus. Key word: execution of public policy, decentralization, autonomous regions.
PENDAHULUAN
28 Blok Migas dalam tahap eksplorasi. Pengelolaan minyak bumi di Bojonegoro diantaranya Sumur Sukowati bagian dari Blok Tuban yang berada di wilayah kecamatan Bojonegoro (desa Campurejo) yang dikelola oleh PetroChina. Pengelolaan Sumur Sukowati (Blok Tuban) adalah dengan Joint Operating Body PertaminaPetroChina East Java (JOB P-PEJ). Dengan demikian pengelolaan minyak bumi secara industri melibatkan pihak swasta dalam penentuan pelaksanaan kebijakannya.
Sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Indonesia tersebar pada hampir seluruh wilayah Indonesia. Meskipun menyebar pada seluruh wilayah pemerintah daerah, tidak serta merta kepemilikan dan pengelolaannya ditangani oleh pemerintah daerah yang terlahir dari konsep desentralisasi yang dipakai pemerintahan Indonesia pasca reformasi. Data WALHI pada tahun 2006, saat ini Propinsi Jawa Timur menopang 40% Migas nasional dengan
22
Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro 23
Sebagaimana diketahui bahwa kerjasama produksi minyak bumi di Indonesia berbentuk Kontrak Kerja Sama (KKS) di sektor minyak bumi. KKS yang merupakan bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor, dan jenis kontrak bagi hasil yang banyak dipakai di Indonesia adalah Production Sharing Contract (PSC). Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa demokrasi ekonomi kebijakan hulu minyak bumi adalah pada skala industri dan melibatkan pihak swasta, pemerintah pusat yang mempunyai andil besar dalam implementasi kebijakan serta pemerintah daerah sebagai penghasil minyak bumi dapat diuntungkan dalam kontrak kerja sama tersebut1. Peraturan-Pemerintah No. 38 Tahun 2007 menjelaskan bahwa kewenangan Pemerintah daerah sebagai implementator meliputi kegiatan; 1) Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah, 2) Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan Migas pada wilayah kabupaten/kota, dan 3) Pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor Migas. Selama ini kebijakankebijakan yang ada masih terkesan sebagai kebijakan parsial yang tidak ada aliran strategis terhadap program jangka panjangnya. Dengan kondisi ini maka perlu kebijakan yang berlandaskan paradigma baru (Sugiono, 2004), oleh karena itu semangat responsibilitas administratif dan politis harus melekat juga pada diri administrator publik, sehingga ia dapat 1
Lihat pada UU Migas No. 22 tahun 2001 pasal 1 nomor 19, bahwa Kontrak Kerja Sama (KKS) adalah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract, PSC) atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksploitasi dan Eksplorasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.
ADMINISTRATIO
menjalankan peran profesionalnya dengan baik. Jika kepentingan publik adalah sentral maka menjadikan administrtor publik sebagai profesional yang proaktif adalah mutlak, yaitu administrator publik yang selalu berusaha meningkatkan responsibilitas obyektif dan subyektifnya serta meningkatkan aktualisasi dirinya (Islamy dalam Putra, 2003). Analisis implementasi kebijakan hulu minyak bumi berupa lifting, pemberian rekomendasi dan ijin lahan coba dilihat melalui format, mekanisme, dan dinamika dalam pemerintah daerah yang kemudian dikaji melalui mekanisme formal dan mekanisme informal yang dikembangkan pemerintah daerah kabupaten Bojonegoro sebagai pemegang “mineral right” dalam implementasi kebijakan hulu minyak bumi. Namun, walaupun demikian negara tidak salah jika dalam pelaksanaan dari hak penguasaan itu menyerahkannya pada pihak lain. Permasalahannya kemudian adalah bagaimana penyerahan itu dilakukan? (Muhajir, 2006). Mengingat Wahab (2005), Implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik melalui prosedur birokrasi. Melainkan lebih dari itu, ia menyangkut konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Atas dasar tersebut, pelaksanaan kebijakan hulu minyak bumi di kabupaten Bojonegoro pada tahun 2004-2009 menjadi sorotan, seberapa besar implementasi kebijakan dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing sektor dari tiga sektor penting yang terlibat, yaitu antara Pemerintahan Daerah (Pemda), PetroChina, dan masyarakat untuk melihat dinamika implementasi inter organisasi dalam bentuk network oleh policy subsystem dalam proses politik dan kebijakan serta
ISSN : 2087-0825
24
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari – Juni 2010
kejadian di luar subsystem kebijakan tersebut. Sementara itu kajian tentang hal tersebut masih belum banyak diketahui, oleh karena itu penelitian yang mendasar dan komprehensif diperlukan.
KERANGKA TEORI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK Kajian administrasi publik dapat didefinisikan dengan kebijakan itu tersendiri, sebenarnya masih merupakan ajang perdebatan diantara para ahli mengenai kebijakan tersebut. Harrold D. Laswell dan Abraham Caplan (Islamy,1997) mengatakan bahwa kebijakan adalah “a projected program of goals, values and practices” (kebijakan adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai dan praktek yang terarah). Beberapa pakar mengartikan kebijakan adalah upaya/aksi untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan (Muhammadi et al. 2001). Kebijakan publik adalah pilihan aksi yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah (Dye, 1978); menunjuk pada keputusan saling berhubungan yang dibuat oleh satu atau sekelompok aktor dan diperjuangkan dalam situasi spesifik yang memungkinkan (Jenkins, 1996). Van Meter dan Van Horn (dalam Wahab, 1997) merumuskan proses implementasi sebagai “those actions by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (tindakantindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan). Analisis kebijakan sebagai pekerjaan intelektual memilah dan mengelompokkan upaya/aksi untuk
ADMINISTRATIO
memahami cara strategis mempengaruhi sistem (mencapai tujuan). Analisis mengkaji berbagai alternatif aksi untuk akselerasi pencapaian hasil positif, antisipasi dampak negatif, dan perlambatan pencapaian titik yang tidak diharapkan. Analisis melalui intervensi struktural dan fungsional (Muhammadi et al, 2001). Selain analisis yang perlu dipahami pula adalah model, model suatu kebijkan publik khususnya implementasi kebijakan. Pandangan mengenai model (teori) implementasi kebijakan banyak ditemukan dalam berbagai literatur yang akan dijabarkan lebih gamblang. Sebagai perbandingan analisis dalam model implementasi mengutip dari Parsons (1997) membagi garis besar model implementasi kebijakan menjadi empat yaitu: 1) The Analysis of failure (model analisis kegagalan), 2) Model Rasional (top down) untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang membuat implementasi sukses, 3) Model pendekatan Bottom-up kritikan terhadap model pendekatan top-down dalam kaitannya dengan pentingnya faktor-faktor lain dan interaksi organisasi, 4) Teori-teori hasil sintesis (hybrid theories). Untuk keperluan penelitian, akan diambil beberapa pandangan mengenai implementasi, masingmasing pandangan mewakili tiga dari empat perkembangan model yang dikemukakan Parsons (1997) dan beberapa model-model implementasi kebijakan seperti yang dikutip Wahab (2005) dan Dwijowijoto (2006), dan menurut peneliti cocok dengan tema penelitian model tersebut. Model yang akan dipakai sekiranya dapat menganalisis implementasi kebijakan
ISSN : 2087-0825
Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro 25
pada individu yang dikenai kebijakan, diantaranya masyarakat, pemerintah serta pihak swasta. Kebijakan apapun bentuknya sebenarnya mengandung resiko untuk gagal. Hoogwood dan Gunn (dalam Azwar, 2003; dan Solichin,1991), membagi pengertian kegagalan kebijakan (policy failure) ke dalam dua kategori yaitu non implementation (tidak terimplementasikan) dan unsuccesful implementation (implementasi yang tidak berhasil). Implementasi yang tidak berhasil terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi peristiwa penggantian kekuasaan, bencana alam, dan sebagainya), kebijaksanaan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Terkadang kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya sendiri jelek (bad policy) atau kebijakan itu memang bernasib jelek (bad luck) (dalam Wahab, 1997).
Implementasi Kebijakan Publik Oleh Pemerintah Daerah Di Era Desentralisasi Reformasi di Indonesia membawa paradigma baru dalam bentuk pemerintahan sebelumnya yang lebih cenderung bersifat sentralistik kepada pemerintahan desentralisasi. Konotasi dari kata desentralisasi ini mencerminkan adanya kewenangan dari bagian atau bawahannya untuk melaksanakan sesuatu yang diserahkan dari pusat, dengan tetap adanya hubungan antara pusat dengan bagian atau bawahannya. Sarundajang (dalam Tangkilisan 2004)
ADMINISTRATIO
mengemukakan pengertian desentralisasi sebagai suatu transfer perencanaan, pembuatan keputusan, atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi dan institusi Pemerintah Daerah (Pemda) dengan sistem demokrasi sebagai inti diterapkannya desentralisasi pasca reformasi dari sistem pemerintahan sebelumnya yang cenderung terbatasi dan sentralisasi. Kebijakan publik selama beberapa dekade, cenderung pada kepentingan untuk kepentingan individu, kelompok, dan aliran membuat lebih banyak memperjuangkan “publik yang terbatas” yaitu para konstituen kekuasaan politik, dari pada masyarakat luas. Tidak mengherankan jika selama ini kebijakan publik yang dirumuskan oleh sebagian besar daerah otonom maupun pemerintah pusat acap kali keluar dari kebijakan publik yang lain, bertentangan dengan kepentingan publik. Permasalahan tersebut ternyata sama tuanya dengan kebijakan publik yang sudah berkembang sejak 1920-an, yang dipelopori Woodrow Wilson dengan kredonya when politics ends, administration begins. Namun tetap saja, para pengambil keputusan banyak melibatkan ego politiknya dan tidak bersedia menguranginya. Sebagaimana dapat dikutip dari Hank C. Jenkins-Smith (dalam Dwidjowijoto, 2007), bahwa analisis kebijakan hanya akan diakui mengerosi “kekuatan politik”, termasuk di dalamnya “demokrasi”. Penelitian akan membahas sedikit banyak tentang kebijakan publik tersebut. Terutama tentang implementasi kebijakan publik yang dipengaruhi oleh ekonomi – politik dalam pengelolaan sumber daya hulu minyak bumi di pemerintahan daerah sebagai daerah otonom.
ISSN : 2087-0825
26
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari – Juni 2010
Politik implementasi kebijakan publik oleh implementator baik publik maupun privat dipengari oleh tujuan dasar yang dibawa oleh masing-masing aktor implementator yang terlibat. Implementator kebijakan hulu minyak bumi pada daerah penghasil yang tidak hanya mempunyai latar belakang maupun tujuan yang sama, namun kebijakan tersebut ditujukan pada sektor publik maupun privat. Implikasi nyata adalah bahwa penghormatan atas sebuah keputusan perlindungan lebih pada barang-barang publik yang jelas berakibat penting untuk keduanya yaitu pembangunan ekonomi dan demokrasi. (Remmer, 2007). Setelah menguraikan banyak tentang implementasi dan desentralisasi, perlulah kiranya menyertakan dampak serta evaluasi dan monitoring oleh Pemda pada implementasi kebijakan hulu minyak bumi pada pemerintah daerah otonom. Perlu diperhatikan bahwa implemetasi kebijaksaan tidak selamanya bisa berjalan mulus seperti yang telah direncanakan karena ketika kebijaksanaan tersebut diimplementasikan akan muncul banyak hambatan-hambatan yang ada, dan bisa saja muncul tuntutantuntutan baru yang harus ditransformasikan kembali kedalam mekanisme perumusan kebijakan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini memfokuskan pada: Bagaimana pelaksanaan kebijakan hulu minyak bumi pada sumur Sukowati oleh Pemda kabupaten Bojonegoro pada tahun 2004-2009. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, metode dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara riil mengenai pelaksanaan kebijakan hulu minyak bumi oleh Pemda kabupaten
ADMINISTRATIO
Bojonegoro dari fenomena secara aktual dan teratur.
PEMBAHASAN PENGHITUNGAN PRODUKSI DAN REALISASI LIFTING MINYAK BUMI DI DAERAH Revisi Undang-Undang desentralisasi yang baru memiliki dampak yang beragam. Dalam hal pendapatan per kapita alokasi demikian akan meningkatkan pemerataan, namun dari sudut rasio penerimaan pemerintah daerah terhadap kebutuhan pengeluarannya, maka alokasi demikian akan berdampak pada distribusi fiskal yang kurang merata (Granado, 2007). Produksi Sumur Sukowati hingga akhir tahun 2009 sebagaimana dijelaskan oleh Catur Susilo (dalam Antara Jawa Timur News, 2009) 2., berdasarkan data JOB PPJEV, jumlah produksi minyak dari lapangan Sukowati A dan Sukowati B, menjadi sekitar 40/bph. Kegiatan eksploitasi minyak bumi Sumur Sukowati oleh PetroChina sebagai pelaksana pada awal tahun 2005, meskipun pada kenyataannya eksploitasi minyak bumi telah belangsung pada tahun 2004 dan dinyatakan oleh PetroChina bahwa dalam kurun waktu tahun 2004-2005 merupakan masa percobaan/uji coba dalam eksploitasi minyak bumi Sumur Sukowati. Pada pelaksanaannya pemerintah daerah kabupaten Bojonegoro hingga tahun 2006 belum mendapatkan laporan dari PetroChina atas kewajibannya sebagai pengelola sumur Sukowati (Blok Tuban) di Desa Campurejo. 2
Pernyataan humas Joint Operating Body (JOB) Pertamina – PetroChina East Java kepada Antara Jawa Timur News, 29 Desember 2009, memberitakan bahwa Sumur Minyak Sukowati 14 Berproduksi, http://www.antarajatim.com/lihat/berita/24 640/Sumur-Minyak-Sukowati-14-MulaiBerproduksi-Rabu.
ISSN : 2087-0825
Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro 27
Batas urusan Pemda dalam penghitungan produksi dan lifting minyak bumi pelaksanaan atas rencana produksi yang dilakukan anatara BP Migas dan PetroChina (Kontraktor Kontrak Kerja Sama/KKKS). Kemudian kebijakan tersebut ditindaklanjuti oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (MESDM) untuk menjadi pandangan atas wilayah yang diputuskan sebagai wilayah penghasil minyak bumi, dan atas hasil tersebut pemerintah pusat menentukan prognosa serta peraturan berupa keputusan MESDM atas perkiraan kandungan minyak yang ada pada wilayah operasi adalah Sumur Sukowati. Kemudian data mengenai potensi produksi minyak bumi pada kurun waktu satu tahunan akan disesuaikan dengan kurs dan harga jual minyak mentah dunia untuk Indonesia, kemudian dikeluarkan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai proyeksi daerah pengahasil dalam sumber penerimaan daerah dalam bentuk Dana Perimbangan yang digolongkan dalam Dana Bagi Hasil (DBH). Peningkatan anggaran pendapatan Pemkab Bojonegoro memang terlihat mengalami perubahan sangat drastis, dengan hadirnya kontraktor luar dalam memproduksi potensi daerah berupa minyak dan gas bumi. Akan tetapi jika menilik dari sejarah minyak bumi yang telah lama sudah ada dan diproduksi, maka dapat dikatakan pemkab Bojonegoro telah kecolongan atas potensi daerah yang dimiliki. Pemerintah daerah pada pelaksanaan kebijakan hulu minyak bumi dalam perhitungan produksi dan lifting minyak bumi kurun waktu tahun 2004- 2009 dapat dijelaskan, bahwa dalam kurun waktu tersebut terdapat dua kepemimpinan daerah yang berbeda antara tahun anggaran 20032008 dan tahun anggaran 2008-2013. Dan masa kinerja legislatif (DPRD)
ADMINISTRATIO
yang berbeda, yaitu masa jabatan DPRD tahun 2004-2009 dan masa jabatan tahun 2009-2014. Realisasi pendapatan daerah kabupaten Bojonegoro tahun 2004 hingga tahun 2008 dibawah kepemimpinan Bupati Santoso. Seiring dengan eksploitasi yang terjadi di kabupaten Bojonegoro, menjadikan kabupaten Bojonegoro oleh invesor sebagai lahan yang sangat potensial untuk menanamkan modal investasinya dari segala bidang. Tuntutan kabupaten Bojonegoro sebagai penghasil minyak dan bersifat sebagai commanditair menjadi semangat tersendiri oleh Bupati Santoso, mendorong pemkab Bojonegoro untuk melakukan peningkatan pembangunan disegala bidang dengan program pembangunan yang bersifat ‘Mega Proyek’, diantaranya RSI (Rumah Sakit Internasional)/tipe b, SMK Migas, Pembangunan Jembatan Malo. Namun, sampai dengan 2009, kenyataaannya banguan ‘mangkrak’ (tidak difungsikan) dan menyisakan hutang. Pemilihan umum Pemkab Bojonegoro juga memberi pengaruh besar akan otoritas pembangunan yang akan diusung melalui visi dan misi oleh kepala daerah baru. Setelah PJMD 2003-2008, dilanjutkan Bupati Suyoto 2008-2012. Tanggal 12 Maret 2008 Suyoto dilantik sebagai Bupati Bojonegoro untuk masa jabatan selanjutnya3. Orientasi Pemkab atas 3
Adapun konsep Bupati Suyoto dalam membangun Bojonegoro seperti yang disampikannya pada Buletin Inovasi: “Saya menggunakan Teori min (-) ke nol (0) dan nol ke plus. Disebut plus, kalau produktivitas meningkat/PDRB meningkat. Saya bayangkan Bojonegoro merupakan sebuah corporation, sebuah korporasi besar. Karena itu saya bukan pemimpin administrasi, tetapi pemimpin enterpreneurship yang dikelola dalam pemerintahan. Untuk masalah minyak begini, saya tak pernah mengajak rakyat saya untuk bermimpi tentang minyak, karena merupakan belong to nation, milik
ISSN : 2087-0825
28
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari – Juni 2010
realisasi lifting minyak bumi dilihat dari pemanfaatan DHB tersebut. Dari dua kepala daerah pada kurun waktu penelitian tahun 2004-2009 terlihat bahwa, kepemimpinan bupati sebelumnya yang berlatar belakang dan personaliti militer cenderung tertutup dan komunikasi publik bersifat top-down. Kepala daerah terakhir dengan latar belakang akademisi, kebijakan lebih terprogram dan komunikasi bersifat bottom-up. Perkembangan peran serta Pemkab dalam implementasi kebijakan publik yang terdesentralisasi juga dipengaruhi oleh kebijakan pusat. Opsi tentang pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintah juga menjadi pertimbangan lain, yaitu dengan areal division of power atau dengan capital division of power. Dengan demikian setiap daerah otonom mempunyai caranya sendiri dalam perumusan kebijakan daerahnya sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas daerah masing-masing. Namun, pelaksanaan kebijakan hulu minyak bumi sumur Sukowati oleh Pemkab Bojonegoro terkesan terlambat. Dengan Surat Keputusan Bupati Bojonegoro No. 7 tahun 2009 atas Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, sampai dengan sekarang Perda yang mengatur tentang kewenangan atas sumber daya mineral dan energi serta air negara, hanya sedikit yang bisa diakses, namun itupun saya dorong untuk mempunyai nilai ekonomi tinggi karena time life industri Migas tidak lama. Kalau ingin makmur, Bojonegoro harus bisa mengembangkan potensi ekonominya di sektor-sektor yang lain”. Uraian tersebut secara tidak langsung menggambarkan adanya pengaruh personal kepala daerah dalam pelaksanaan kebijakan pada daerah otonom.
ADMINISTRATIO
bawah tanah, dan pengelolaan sumber daya mineral dan Migas sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika kebijakan tersebut sejak awal Produksi minyak bumi telah dirumuskan, Pemkab dapat mendapatkan ganti atas sumber daya mineral dan energi serta air bawah tanah yang akan masuk dalam penerimaan daerah dari retribusi dan pajak daerah atas pemanfaatannya. Peran kepala daerah dalam hal ini Bupati kabupaten Bojonegoro selama periode 2004-2009, dalam perumusan kebijakan pemanfaatan minyak bumi cenderung bersifat topdown. Belum ada bahkan tidak ada inisiatif pemerintah daerah dalam pembuatan kebijakannya melibatkan masyarakat sebagai pedampak dari kebijakan minyak bumi. Khususnya masyarakat seputar Blok Tuban dan secara umum masyarakat 4 Bojonegoro . Ruang publik sebagai sarana tanggung gugat Pemda tidak ada. Kebijakan yang diambil didasarkan atas keterwakilan masyarakat dalam kursi DPRD dan Bupati mengambil peranan dominan didalamnya. Kehadiran masyarakat hanya sebatas pada sosialisai kebijakan dan dampak dari implementasi kebijakan. Hubungan antara Pemkab Bojonegoro dengan PeroChina terlihat masih sangat tertutup. Perbedaan orientasi dalam kegiatan hulu minyak bumi menjadi pemicu mengapa pihak PetroChina tidak membuka akses dalam informasinya secara penuh kepada masyarakat maupun terhadap Pemkab Bojonegoro. Namun, PetroChina juga telah melaksanakan kewajibannya meskipun terkadang masih banyak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya. Semangat responsibilitas seharusnya dapat 4
Wawancara dengan Usman, anggota DPRD masa bakti 2004-2009 dari fraksi PAN, pada tanggal 8 Oktober 2009.
ISSN : 2087-0825
Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro 29
menjalankan peran profesional PetroChina dengan baik, jika kepentingan publik adalah sentral. Konflik antara masyarakat sekitar pertambangan sebagai pemilik sumberdaya alam dengan kontraktor yang telah diberi kuasa oleh pemerintah untuk mengelola sumberdaya alam, bermula dari penerapan sistem pendekatan yang salah. Gie (1995) sebagai akademisi dan pemerhati perekonomian Indonesia mengaitkan ekonomi dan politik dalam kebijakan publik, bahwa: Tingkat perkembangan ekonomi sangat menentukan pola pikir dan toleransi di bidang politik. Tidak jarang terjadi bahwa ketidak puasan dalam bidang ekonomi tampil sebagai tuntutan ke arah demokratisasi politik yang lebih besar, karena melalui kesempatan partisipasi pengambilan keputusan dalam bidang politik, maka bidang ekonomi dengan sendirinya akan terpengaruhi. Paparan tersebut menjelaskan ada toleransi politik dalam memandang ekonomi pada kebijakan publik. Berdasar atas asumsi tersebut, kebijakan publik hulu minyak bumi diimplementasikan pada daerah otonom dengan tidak menyertakan secara langsung daerah pada proses formulasi kebijakannya akan menimbulkan ketidakpuasan didalamnya. Tuntutan baru yang dimunculkan pemerintah daerah untuk menyesuaikan suatu kebijakan dalam proses desentralisasi ke arah demokratisasi politik yang lebih besar. Dengan demikian melalui kesempatan partisipasi implementor daerah dalam bidang politik, dan bidang ekonomi dengan sendirinya akan terpengaruhi mengingat kebijakan hulu minyak bumi dikelola secara industri. Disisi lain
ADMINISTRATIO
implementasi kebijakan hulu minyak bumi pada daerah otonom terdapat perusahaan yang berusaha meningkatkan kesejahteraan “dirinya sendiri”, dimana sistem etika yang digunakan adalah egoisme. Perusahaan tidak pernah peduli dengan kondisi disekitarnya, yang penting perusahaan dapat meraup untung yang sebesar-besarnya selama kontrak karya diberikan kepadanya. Jika perusahaan terpaksa harus peduli dan memikirkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya, hal tersebut dilakukan tetap dalam kerangka pengeluaran biaya yang seminimal mungkin (Nahib, 2006). Partisipasi dilihat segi politik lebih memprioritaskan participatory dibanding demokrasi perwakilan (representative democracy) sebagai hak demokrasi dan setiap orang dan dengan demikian publik secara umum, untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi publik juga akan membantu Pemkab Bojonegoro untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai permintaan-permintaan dan aspirasi konstituen mereka atau semua pihak yang akan terpengaruh, dan sensivitas pembuatan keputusan untuk melaksanakan kebijan dengan maksimal jika ditangani secara tepat. Dari segi planning partisipasi menyediakan sebuah forum untuk saling tukar gagasan dan prioritas, nilai akan public interest dalam dinamikanya serta dinamikanya serta diterimanya proposal-proposal perencanaan. Aset Pemkab Bojonegoro melalui kepemilikikan tanah masyarakat dapat didata dan meminimalisir penggunaan lebih lahan masyarakat dengan tidak bertanggungjawab. Adanya ruang publik sebagai bentuk dari penguatan proses desentralisasi kabupaten Bojonegoro, memberikan pendasaran baru dalam implementasi kebijakan publik di daerah melalui diskursus rasional
ISSN : 2087-0825
30
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari – Juni 2010
oleh warga negara. Melalui diskursus yang menuntut kesamaan hak dalam diskusi dijamin dan bebas dari segala bentuk dominasi. Berdasarkan hal tersebut, demokrasi dalam implementasi kebijakan publik telah menyediakan suatu dasar untuk mengawasi dan memastikan agar kekuasaan digunakan demi kepentingan bersama yang setara. Dengan adanya diskursus dalam dua tingkat pembentukan opini dan kehendak memungkinkan lahirnya kebijakan maupun implementasi kebijakan daerah yang membela masyarakat. Jadi, ruang publik sebagai lokus diskursus adalah jawaban untuk mengatasi permasalahan keterbatasan kewenangan daerah otonom atas sebuah kebijakan publik yang diformulasikan oleh pemerintah pusat dengan melihat daerah-daerah otonom segara umum tanpa melihat karakteristik khusus daerah otonom. Bagi Habermas (dalam Zauhar, 2007), diskursus dalam ruang publik bertujuan membentuk opini dan kehendak (opinion and will formations) yang mengandung kemungkinan kepentingan masyarakat akan menjadi prioritas.
Sumber: Data diolah.
desentralisasi pada sistem masyarakat (civil society). Pelaksanaan kebijakan publik pada sebuah masyarakat adalah terwujudnya kerjasama, pemerataan kekuasaan, adanya dorongan/harapan yang besar, dan adanya keterlibatan sosial yang tinggi dalam pengambilan keputusan. Pada sisi lain digambarkan bahwa, pemerintahan dengan sifat militeristik dan kaku, kekuasaan terpusat pada satu pihak sehingga keterlibatan masyarakat minim bahkan tidak ada sama sekali dan adanya hukum yang sangat mengikat masyarakat sebagai warga negara (citizenship). Melihat hubungan masyarakat dengan negara, civil society dianggap memiliki tiga fungsi; Pertama, sebagai komplementer di mana elemenelemen civil society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan dengan memajukan kegiatan yang ditujukan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau countervailing forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara. Dengan konsep tersebut hubungan antara tiga sektor yang terlibat dapat melahirkan proses yang dinamis dan saling menguntungkan, sehingga konflikpun dapat diminimalisir dan dihindari.
Gambar tersebut menerangkan Penerapan demokrasi sebagai penguat dalam kerangka
PEMBERIAN REKOMENDASI DAN IZIN PENGGUNAAN WILAYAH KERJA
Gambar 1. Perbandingan Negara dengan Penguatan demokrasi dalam Desentralisasi dan Kekuatan Civil Society
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825
Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro 31
KONTRAK KERJA SAMA MINYAK BUMI DI DAERAH Lahan merupakan sumber daya pembangunan yang memiliki karakteristik unik, dengan kesesuaian tersendiri dalam menampung kegiatan masyarakat yang cenderung spesifik. Oleh karena itu, penggunaan lahan perlu diarahkan untuk dimanfaatkan untuk kegiatan yang paling sesuai dengan sifat fisiknya serta dikelola agar mampu menampung kegiatan masyarakat yang terus berkembang. (Hermanto dalam Ahmada, 2008). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 214 Tahun 2007 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Pengembangan Lapangan Minyak Dan Gas Bumi Blok Tuban West Area Di Kabupaten Bojonegoro Dan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur Oleh JOB PertaminaPetrochina East Java. Keputusan tersebut merupakan kebijakan yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan kebijakan hulu minyak bumi dalam pemberian rekomendasi dan perijinan. Dalam ketetapan dijelaskan bahwa setelah Tim Izin Lokasi selesai memberikan rekomendasinya, maka ijin yang akan dikeluarkan berupa Surat keputusan (SK) Bupati Bojonegoro sebagai Daerah Penghasil. Namun pada kenyataannya proses pemberian ijin dari tahun 2004 hingga 2009 tidak ada SK Bupati yang disebut sebagai dasar pemberian Ijin Lokasi5. 5
Adapun kenyataan tersebut diperkuat oleh Evi Rahmawati, Kasubag Tata Pemerintahan dan Pertanahan, bahwa: Tidak ada Perda maupun SK Bupati Bojonegoro yang mengatur tentang perijinan yang mengatur khusus wilayah eksploitasi minyak bumi. Pada tahun 2004 dengan adanya eksploitasi minyak sumur Sukowati ditangani langsung oleh Badan Pertanahanan Nasional. Dan dengan adanya UU No. 41 tahun 2007, Dinas Perijinan baru dibentuk dalam SKPD Bojonegoro tahun 2009
ADMINISTRATIO
Berdasarkan konsep desentralisasi, kebijakan yang telah diserahkan pada Pemkab Bojonegoro dapat lebih memaksimalkan kebijakan dalam pelaksanaannya. Jika dalam pelaksanaan kebijakan formal tidak dapat memaksimalkan pengelolaan wilayah hulu minyak bumi, maka pelaksanaan secara informal dengan adanya karaktersitik tertentu dari sebuah kebijakan yang tidak bisa diterapkan di kabupaten Bojonegoro. Karena rekomendasi dan pemberian izin tersebut tidak hanya untuk waktu yang relatif sebentar dan melibatkan sektor swasta yaitu PetroChina for East Java. Dilain pihak PetroChina juga harus lebih transparan sebagai partner Pemkab. Pemberian rekomendasi rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan Migas pada wilayah kabupaten/kota, dan pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor Migas dari Pemerintah kabupaten Bojonegoro kepada PetroChina. Ladang minyak pada desa Campurejo Kecamatan Bojonegoro yang telah ada pada tahun 1990-an dikelola oleh SFER pada tahun 1998-1999 telah berproduksi dengan adanya eksploitasi minyak bumi pada sumur 1 dan 2 Sumur Sukowati di desa Campurejo. Pada 2000-2001 ladang minyak SFER melalui jual beli akhirnya berpindah tangan kepada Devon Energy, kemudian dibeli oleh PeroChina, dimana ladang minyak di desa Campurejo merupakan salah satu dari Blok Tuban yang dikelola oleh PertoChina. Peran Pemkab Bojonegoro dalam pelaksanaannya adalah sebagai fasilitator dalam pemberian rekomendasi dan ijin penggunaan wilayah, diawali adanya instruksi dari Bupati yang menyampaikan adanya (wawancara tanggal 4 Desember 2009, pukul 11.45 wib)
ISSN : 2087-0825
32
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari – Juni 2010
permohonan untuk wilayah tertentu dari BP Migas atas PetroChina dalam eksplorasi dan ekspoitasi minyak bumi pada desa Campurejo. Jika dicermati, keberadaan wilayah pertambangan di kabupaten Bojonegoro sudah ada sejak lama, bahkan sebelum PetroChina menjadi pengelola pada tahun 2000-an. Namun, kebijakan dari pemerintah pusat mengenai wilayah tersebut terkesan lamban dan baru keluar pada tahun 2007 tepatnya 3 tahun dari produksi awal pada Juli 2004. Dalam kurun waktu 3 tahun bisa dinominalkan, bahkan dihitung kerugian yang harus ditanggung Pemkab. Rekomendasi dan pemberiaan izin penggunaan wilayah kepada PetroChina seharusnya diputuskan melalui Surat Keputusan Bupati pada awal dimulainya sejak tahun 2000-an. Namun pada kenyataannya tidak ada kebijakan turunan oleh Pemkab Bojonegoro yang dijadikan acuan sehingga jika ditilik dari kepentingan publik, sangat melemahkan hak maupun kepentingan publik pemilik lahan desa Campurejo. Pada tahun 2006 baru diterbitkan Peraturan Bupati Bojonegoro No. 06 tentang Regulasi Perizinan di Kabupaten Bojonegoro dijadikan dasar dalam Pengawasan merupakan upaya-upaya untuk menjaga kesatuan pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang secara umum, dan tidak mengatur lebih rinci mengenai lahan industri pertambangan yang mempunyai intensitas dan kecenderungan konflik yang lebih besar dari pemberian rekomendasi dan pemberiaan izin penggunaan lahan untuk kegiatan yang lain. Pengawasan yang perlu dijadikan acuan oleh Pemkab Bojonegoro oleh SKPD yang terkait dari permasalahan yang telah dijelaskan dalam penyajian data adalah perubahan pemanfaatan ruang (kegiatan
ADMINISTRATIO
pembangunan fisik) yang terjadi, baik yanng sesuai maupun tidak sesuai dengan rencana beserta besaranbesaran perubahannya. Objek pengawasan SKPD6 terkait pengendalian pemanfaatan ruang melalui penetapan perizinan. Peran pemerintah daerah dalam pemberian rekomendasi dan pemberian ijin penggunaan wilayah kontrak kerjasama sumur Sukowati mulai dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 adalah sebagai fasilitator, pengawas dan evaluasi sebagaimana telah diatur dalam UU dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yang telah dijelaskan sebelumnya. Kewajiban PetroChina yang menjadi hak Pemkab Bojonegoro dalam mendapat informasi kegiatan atas pelaksanaan pemboran sumur Sukowati keberapa yang sedang dibor dan juga melaporkan penyelesaian pengeboran maupun segala bentuk kegiatan terkait. Informasi tersebut wajib diinformasikan pada Sekretaris Daerah, Kapolres, Ketua DPRD, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Dandim, Kepala desa Campurejo. Otoritas Pemerintah kabupaten (Pemkab) Bojonegoro pada poin ketiga atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 214 Tahun 2007 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Pengembangan Lapangan Minyak Dan Gas Bumi Blok Tuban West Area Di Kabupaten Bojonegoro Dan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa Timur Oleh Job Pertamina-Petrochina East Java. Sebagai fasilitator, pengawas dan evaluasi yang dimiliki Pemkab Bojonegoro dalam rekomendasi dan pemberian ijin lahan coba dilihat melalui format, mekanisme, dan dinamika dalam 6
Sesuai dengan Draft Rencana: Penyusunan RDTR Kawasan Perkotaan Kecamatan Kapas Kabupaten Bojonegoro Beserta Draf Rancangan Perda Tahun 2009, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, hal.V-2.
ISSN : 2087-0825
Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro 33
pemerintah daerah yang kemudian dikaji melalui mekanisme formal dan mekanisme informal yang dikembangkan pemerintah daerah kabupaten Bojonegoro sebagai pemegang “mineral right” dalam implementasi kebijakan hulu minyak bumi berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan. Peran Pemkab Bojonegoro sebagai fasilitator sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yaitu bertindak berdasarkan instruksi dari Bupati yang menyampaikan adanya permohonan wilayah tertentu dari BP Migas atas PetroChina dalam eksplorasi dan ekspoitasi minyak bumi pada desa Campurejo. Permohonan tersebut lalu ditindak lanjuti oleh Tim Izin Lokasi, yang terdiri dari Diperta sebagai pemberi rekomendasi klasifikasi penggunaan tanah, Bappeda sebagai pemberi rekomendasi tata ruang dan BPN sebagai Rekomendasi tata guna tanah. Rekomendasi dan perijinan diproses selama ± 12 hari, diputuskan melalui rapat lintas sektoral bersama Bupati, kemudian diserahkan pakepada BP Migas dan PetroChina. Minimnya peran dan partisipasi pasif Pemkab Bojonegoro sangat terlihat dalam pelaksanaan kebijakan hulu dalam pemberian rekomendasi dan ijin wilayah pertambangan tersebut. Pemkab sebagai fasilitator terkesan sebagai pemenuhan formalitas administrasi dari pemerintah pusat dalam hal ini BPMigas. Hal serupa juga diutarakan oleh Bidang Sumber Daya Alam (SDA), bahwa Pemkab tidak banyak dilibatkan dalam proses penentuan wilayah antara BP Migas dengan PetroChina. Dengan demikian dapat dikatakan Pemkab hanya bertindak sebagai pemenuhan formalitas administrasi dan lemah dalam intervensi kebijakan yang ditebtukan pemerintah pusat, meskipun
ADMINISTRATIO
pelaksanaan kebijakan berada pada tingkat daerah otonom. Kewenangan terbatas yang dimiliki oleh Pemkab Bojonegoro dalam rekomendasi dan pemberian ijin, menimbulkan dampak yang bervariasi atas minimnya pengawasan secara intensif dari Pemkab Bojonegoro. Komunikasi yang dibangun pada pemerintahan Bupati Santoso dilapangan menggambarkan komunikasi yang terbangun cenderung bersifat vertikal, dan pada pemerintahan Bupati Suyoto dengan menerapkan Dialog Publik lebih cenderung cepat serta efektif dalam merespon permasalahan masyarakat. Pemkab Bojonegoro, dalam hal tersebut DPRD kabupaten Bojonegoro terkesan pasif mengiringi masyarakat dalam pengawasan dan evaluasi akan pengelolaan lahan yang telah mendapatkan rekomendasi dan ijin atas penggunaannya oleh PetroChina. Pemkab cenderung bergerak jika sudah terjadi permasalahan. Selama ini pemerintah desa sebagai bagian daerah otonomi yang bebas mengusur rumah tangganya sendiri selam tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah daerah kabupaten. Sistem hearing selama ini dilakukan oleh komisi A DPRD kabupaten Bojonegoro dan komisi lain yang terkait dalam menanggapi tuntutan masyarakat akan eksploitasi. Seharusnya DPRD membuka forum untuk mengadakan pembahasan atas permasalahan yang terjadi akibat ketidak cocokan antara warga dengan JOB Pertaminan-PetroChina dalam waktu yang berkala. Dengan demikian permasalahan yang timbul akan segera terselesaikan dan tidak terjadi penumpukan permasalahn yang akan berakibat konflik yang berkepanjangan. Dilain pihak SKDP (pembantu eksekutif) dan DPRD (legislatif) sendiri, lebih pada menunggu permasalahan timbul dibandingkan untuk mengantisipasinya dengan sistem
ISSN : 2087-0825
34
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari – Juni 2010
jemput bola dan memberikan perhatian khusus kepada kegiatan hulu Migas dalam rekomendasi dan juga perizinan. Hadirnya penambangan minyak bumi Blok Tuban di desa Campurejo, tidak hanya berdampak pada pendapatan melalui lifting, namun juga banyaknya permasalahan yang ditimbulkan dari proses pelaksanaan kebijakan hulu Sumur Sukowati. Sebagaimana diungkapkan aparat TNI, bahwa memang ada permainan politik dalam eskploitasi minyak bumi dengan pihak pemerintah baik yang berada di desa maupun di kabupaten, untuk memberikan pengarahanpengarahan secara tidak langsung pada masyarakat tentang apa-apa yang dapat mereka peroleh dengan keberadaan eksploitasi pada desa penghasil. Keadaan tersebut sangat merugikan masyarakat, karena dapat mempengaruhi keputusan PetroChina dalam proses produksi. Ditambah lagi sumber daya manusia ahli pemahaman mengenai pertambangan pada desa penghasil dirasa sangat kurang bahkan tidak ada. Hubungan antara Pemkab Bojonegoro dengan pemerintah pusat sifatnya hanya sebagai saksi dalam pelaksanaan realisasi penghitungan lifting minyak bumi, dan juga berperan sebagai fasilitator dalam proses pemberian rekomendasi dan ijin secara formalitas sebagai tindak lanjut kebijakan pusat (ESDM) di daerah. Selain fasilitator, Pemkab juga berperan sebagai pengawas dan evaluasi kebijakan hulu minyak bumi oleh PetroChina. PetroChina sebagai kontraktor KKS dengan Pertamina dengan job operating body (JOB), berkewajiban memberikan keterangan berupa laporan kinerja dari setiap kegiatan produksi sumur Sukowati (Blok Tuban) pada tiap bulannya, sedangkan hubungan Pemkab dengan masyarakat terbatas sebagai fasilitator dan mediator
ADMINISTRATIO
dengan PetroChina maupun dengan pemerintah pusat. Kesuksesan implementasi kebijakan publik dalam desentralisasi tidak tergantung pada kegiatan kolektif warga negara, tetapi pada terlembaganya keterhubungan prosedur dan kondisi-kondisi komunikasi. Dalam model tersebut struktur demokrasi membentuk opini dan kehendak yang memungkinkan terjadinya kesepakatan rasional. Individu tidak lagi dipahami sebagai individu yang lepas dari sebuah komunitas, sebagaimana dipahami dipahami oleh masyarakat liberal. Individu juga, tidak lagi dikenali sebagai bagian dari suatu komunitas tertentu. Dalam implementasi kebijakan publik dengan mengikutsertakan demokrasi, individu mengambil peran sebagai warga negara yang berorientasi pada keseluruhan. Individu tersebut, meminjam istilah F. Budi Hardiman dikutip oleh Zauhar (2007), disebut “individu diskursif”. Individu diskursif adalah individu yang memperoleh identitasnya dari proses pembentukan identitas baru yang dirancang bersama secara diskursif. Terdapat pro dan kontra dalam hal apakah demokrasi yang tertuang dalam sistem desentralisasi dibutuhkan atau tidak dalam civil society oleh para pakar maupun akademisi dalam diskusi-diskusi selama, sebagaimana gambaran pro dan kontra demokratisasi dalam civil society: Kewarganegaraan demokratis bukanlah konsep dimana ‘birokrat dermawan’ menjadi pengganti atas kebijakan mereka untuk pejabat terpilih (Bourgon, 2007) Pernyataan tersebut menjelaskan tentang kontra penguatan akan desentralisasi dalam civil society, sedangkan pendapat pro demokrasi
ISSN : 2087-0825
Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro 35
dalam civil bahwa:
society
menyatakan
civil society merupakan faktor yang dipercaya sangat penting untuk memperkuat demokrasi” (Putnam dan Schimitte dalam Bourgon, 2007). Civil society dipercaya memperkuat political engagement, dan pada gilirannya political engagement memperkuat partisipasi politik yang merupakan inti dari demokrasi (Verba, Schlozman, and Brady, dalam Bourgon, 2007). Gambar 2. Democratic Citizenship Sebagai Perwujudan Penguatan Civil Society
Sumber: Data diolah. Proses demokrasi dengan tumbuh dan aktifnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kelompok masyarakat yang mempunyai kekuatan hukum dalam menghimpun aspirasi masyarakat yang akan menumbuhkan tatanan masyarakat yang berpihak pada publik (civil society). Menanggapi hal tersebut, mengambil poin penting dari tulisan Bourgon (2007) tentang konsep democratic citizenship membuat perspektif baru, bahwa: Peran administrator publik tidak bisa direduksi menjadi hanya menanggapi pengguna
ADMINISTRATIO
'permintaan atau melaksanakan perintah. Melibatkan: 1) Membangun hubungan kolaboratif dengan warga dan kelompok warga negara. 2) Mendorong tanggung jawab bersama. 3) Menyebarkan informasi untuk meningkatkan wacana publik. 4) Menumbuhkan pemahaman bersama tentang isu-isu publik. 5) Mencari peluang untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan pemerintahan. Digambarkan implementasi kebijakan hulu minyak bumi di Pemkab Bojonegoro, dari dinamika antara pemerintah, swasta dan masyarakat pada era desentralisasi dengan demokrasi dijadikan acuan. Interaksi tersebut dimungkinkan terciptanya civil society dengan democracy citizenship yang menempatkan pada keseimbangan dan saling menguntungkan antara pihak. Permasalahan utama dalam menganalisis implementasi kebijakan hulu minyak bumi dengan penguatan lokalisasi (daerah otonom) adalah adanya tiga element good governance pada Pemkab Bojonegoro dalam implementasi kebijakan di tingkat pemerintah daerah penghasil, yaitu pemerintah, pihak swasta dan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut didapat indikator kegagalan demokrasi implementasi kebijakan publik hulu minyak bumi meliputi tidak adanya aspek dasar seperti tidak adanya interaksi, tidak ada transparansi dan cenderung tertutup, tidak ada kesepemahaman emosional antar aktor publik yang terlibat, prosedur yang berbeli-belit, dan berorientasi untuk kepentingan kelompok yang cerderung tidak rasional.
ISSN : 2087-0825
36
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari – Juni 2010
Implementasi kebijakan publik yang bertumpu pada desentralisasi tidak dibangun atas dasar kebebasan individu atau suara mayoritas, tetapi lebih merupakan aksi para partisipan melalui tindakan saling pengertian, berargumentasi, dan perjanjian dalam struktur pembentukan opini dan kehendak7. Sebuah institusi dibentuk guna mengakui pelbagai kepentingan kelompok yang terbangun dalam proses deliberasi kolektif, yang mencangkup rasionalitas, kebebasan, dan kesetaraan individu. Dengan demikian maka hasil yang dicapai adalah rasionalitas dan legitimasi. Dalam hal ini dapat diperoleh melalui proses pembentukan opini dan kehendak. Proseduralisasi kedaulatan rakyat dipahami sebagai bentuk komunikasi tanpa subjek (subjektlose kommunikationsformen) dalam model demokrasi tidak lain dari pada konsep ruang publik politis8. Maka, ruang publik politis tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang denganya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung. Sesuai dengan pendapat tersebut, dipahami bahwa ruang publik politis tersebut sebagai prosedur komunikasi. Ruang publik memungkinkan para warganegara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik tersebut menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan para warganegara untuk menggunakan kekuatan 7
8
Sebagaimana disampaikan oleh Zauhar 7 (2007) , bahwa tujuan demokrasi deliberatif yang dianggap peneliti baik untuk menyelesaikan konflik di lapangan adalah memperoleh legitimasi yang didasarkan pada rasionalitas yang mumpuni dalam proses memutuskan sebuah kebijakan. Seperti dikutip dari Hardiman (2009) aspirasi politis umum terbangun secara komunikatif.
ADMINISTRATIO
argumen. Di dalam ruang publik politis sebagai kondisi komunikasi yang dapat menumbuhkan kekuasaan solidaritas yang menguntungkan sebuah masyarakat dalam perlawanannya terhadap sumbersumber lain.
PENUTUP Penelitian yang mengkaji analisis tingkat pelaksanaan Pemda dalam Kebijakan Hulu Minyak Bumi pada Sumur Sukowati (Blok Tuban) di Kabupaten Bojonegoro disimpulkan sebagai berikut: bahwa masih minimnya keterlibatan dan peluang Pemkab sebagai daerah penghasil untuk terlibat secara langsung dalam perhitungan lifting. Kebijakan publik pada tataran daerah otonom penghasil minyak bumi kurang memperhatikan diversitas daerah dan kapasitas pemerintah daerah. Pemerintah daerah kurang mengembangkan aparatur yang sesuai dengan kebutuhan akan kegiatan hulu minyak bumi. Pemkab bertindak sebagai fasilitator, evaluasi dan monitoring, dengan kebijakan sangat terbatas dalam pelaksanaan pemberian rekomendasi dan izin penggunaan wilayah kontrak kerja sama minyak bumi. Selain hal tersebut kesepahaman atas kebijakan karena minimnya sosialisasi atas kebijakan yang diimplementasikan didaerah mempunyai keseragaman seperti daerah otonom pada umumnya, hal tersebut sangat membatasi kewenangan daerah otonom dalam mengelola daerah sesuai dengan karakteristiknya. Ditambah tingginya partisipasi masyarakat tidak dibarengi dengan penguatan dari segi hukum. Saran sebagai solusi dari eksploitasi minyak bumi di pemerintahan daerah kabupaten Bojonegoro adalah adanya kewenangan tambahan kepada
ISSN : 2087-0825
Sukma Prima S, Pelaksanaan Kebijakan Hulu Minyak Bumi Pada Sumur Sukowati Oleh Pemkab Bojonegoro 37
daerah otonom penghasil minyak bumi untuk dapat terlibat secara langsung dalam perumusan kebijakan yang selama ini masih dirasa sentralistik. Memberikan ruang publik untuk menghasilkan diskursus antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk dapat menambahkan beberapa usulan tambahan dalam kebijakan yang didesentrlisasikan sesuai dengan kondisi sosial masyarakatnya. Kewenangan daerah otonom dalam menentukan kebijakan hulu minyak bumi pada tataran pemerintah daerah selayaknya menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat dalam memberikan urusan umum kepada daerah untuk menentukan ukuran, komposisi dan kompetensi daerah sebagai penghasil minyak bumi. Selain hal tersebut, perlu adanya unsur lokalisasi pada kebijakan publik atas urusan pilihan yang terdesentralisasi, sehingga pemerintah daerah tidak hanya sebagai formalitas dan melakukan apa yang pemerintah pusat telah lakukan atas pemberian rekomendasi dan ijin penggunaan wilayah kontrak kerja sama. Pemkab lebih aktif memanfaatkan haknya dalam menerbitkan kebijakan daerah dalam surat keputusan maupun kebijakan setara untuk mendukung desentralisasi kebijakan publik, serta penguatan aspirasi masyarakat dalam kelompok-kelompok yang berbadan hukum. Penguatan keberadaan masyarakat dimungkinkan untuk advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara.
DAFTAR PUSTAKA BUKU DAN JURNAL: Ahmada. Rifqi, 2008, Strategi Pegedalia Perubahan Pegguana Lahan Untuk Kepetigan
ADMINISTRATIO
Pembaguan (Studi Tentang Ijin Lokasi Penggunaan Lahan Pertanian Untuk Perumahan dan Industri Di Kabupaten Gresik), Konsentrasi Administrasi Pembangunan, Fakultas Ilmu Administrasi, UNIBRAW, Malang. Dwijowijoyo, Riant Nugroho. 2006. Kebijakan Publik Untuk NegaraNegara Berkembang, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Dwidjowijoto. Riant.N, 2007, Analisis Kebijakan, PT. Alex Media Komputindo, Jakarta. Gie,
Kwik Kian. 1995. Analisis Ekonomi Politik Indonesia, cetaka keempat. PT Ikrar Mandiri Abadi. Jakarta.
Islamy. Irfan, 1997, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Jenkins, T. 1996. Public Administration. MacDonald & Evans. London. Muhammadi. Aminullah, E. dan Soesilo, B. 2001. Analisis Sistem Dinamis. UMJ. Jakarta. Parsons. Wayne, 1997, Public Policy: An Introduction to the Theory and Practise of Policy Analysis. Edward Elgar, Cheltenham, UK Lyme. US. Putra. Fadilah, 2003, Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik: Perubahan Dan Inovasi Kebijakan Publik Dan Ruang Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Kebijakan Publik Cetakan Kedua, Pustaka Pelajar, Surabaya. Remmer. Karen L., May 2007, The Political Economy of Patronage: Expenditure Patterns in the Argentine Provinces, 1983–2003, The Journal of Politics, Vol. 69, No. 2, Southern Political
ISSN : 2087-0825
38
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.1, No.1, Januari – Juni 2010
Science Association, University.
Duke
Setyabekti. Sukma Prima, 2008, skripsi: Dampak Eksploitasi Minyak Bumi Pada Pendapatan Daerah Dan Masyarakat (Studi Pada Eksploitasi Minyak Bumi Oleh Petrochina Di Desa Campurejo Kecamatan Bojonegoro Kabupaten Bojonegoro). Fakultas Ilmu Administrasi Publik, UNIBRAW, Malang. Tangkilisan Hessel,S.N, 2004, Strategi Pengembangan Sumber Daya Birokrasi Publik, YPAPI, Yogyakarta. Wahab, Abdul.S. 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi. Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta
ARTIKEL DAN DOKUMEN: Akbar. Wanda Ali, 2009, Pembahasan Keekonomian Pada Usulan Perpanjangan Kontrak Kerja Sama Migas. Makalah disampaikan pada Dies Emas ITB, Sarasehan Nasional “Mencari Solusi Untuk Bangsa” di Kampus ITB 4-5 Maret 2009. Buletin Inovasi, 2009, Bojonegoro Dalam Lintasan Pembangunan, Muhajir, Mumu. 2006. Concept Paper “Qua Vadis: Kemandirian Bangsa Dalam Bidang Energi.” Institut Sumber Daya Alam. Sugiono. Agus, 2004, Perubahan Paradigma Kebijakan Energi Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan, BPPT.
Wahab, Solichin Abdul. 2005. Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara: Edisi Kedua. Bumi Aksara, Jakarta. Zauhar. Soesilo, 2007, Administrasi Publik Deliberatif Dalam Masyarakat Neokrofilia. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Vol.9 No.1 September. LPD, FIA UNIBRAW, Malang. INTERNET: Granado. Arze del, F.J. 2005. Fiscal Equalization Impact of Changes to the DAU Allocation Mechanism. Policy note. World Bank, Jakarta Office. http://siteresources. worldbank.org/INTINDONESIA/R esources/2262711168333550999/ PERHBAB7DesentralisasiFiskalKe senjanganDaerah.pdf, Diakses tanggal 1 April 2007. Walhi, 2006,http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/0607 30_lapindo_cu/
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825