ANALISIS MASALAH DAN STRATEGI PENGELOLAAN SUMUR TUA DI BLOK CEPU STUDI KASUS TAMBANG RAKYAT MINYAK BUMI DI DESA WONOCOLO KABUPATEN BOJONEGORO
MARWOTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua Di Blok Cepu (Studi Kasus Tambang Rakyat Minyak Bumi Di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Marwoto NRP P052090061
iii ABSTRACT
MARWOTO. Analysis Of Problems And Management Strategies Of Old Wells In The Cepu Block (A Case Study Of Petroleum In The Mining Village Of Wonocolo, Bojonegoro) in guided by HARIADI KARTODIHARDJO and IIN ICHWANDI. Mine people’s is done on older wells often cause problems due to various factors. Failure to manage these factors will cause problems that harm all parties. Policy is an instrument that is expected to serve as guidelines in the management of old wells and stakeholders who are perpetrators of management activities old well in Cepu be an important component in implementation of the management of old wells. Access theory is used to identify who will actually benefit from something and through a process of what they can do.So that access empirically focused on the issue of "who is using what and who is not, in what ways, and when (what conditions)". Important elements in this concept is a natural resource as something that is disputed and power range that affect people's ability to take advantage of the resources. Research results showed that the legality of activities, pollution and illegal treatment due to lack of law enforcement authorities. On the other hand people who feel they have for the existence of old wells that are entitled tothe benefits of natural resources produced on the basis of his ability in the capital, labor and technology. Empowerment of communities around the area of abandoned and oils old wells are not functioning public institutions which is a requirement of legalization of mining exploitation of petroleum in the oils old well is another issue that is not managed by the local government so that the management is not currently for local government gave the benefits and negative impacts can not be in to control. Policy is an instrument that is expected to serve as guidelines in the management of oils old wells and stakeholders who are perpetrators of management activities in Cepu oils old well be an important component in implementation of the management of oils old wells. These two elements are the focus in this study in order to obtain an alternative formulation of appropriate strategies so that the exploitation of oil from oils old wells are economically beneficial to all parties, socially and culturally and ecologically accountable while maintaining environmental sustainability. In the present study also shows that there are different perceptions between stakeholders with applicable regulations.
Keywords: People's Oil Mine, Wonocolo, Petroleum People
iv RINGKASAN MARWOTO. Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua di Blok Cepu (Studi Kasus Tambang Rakyat Minyak Bumi Di desa Wonocolo, Kabupaten bojonegoro) di bimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan IIN ICHWANDI. Sumur Tua Minyak Bumi di Blok Cepu merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat disekitar lokasi sumur tua tersebut dan merupakan potensi Pendapatan Asli Daerah bagi Pemerintah Daerah kabupaten Bojonegoro. Potensi tersebut harus dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan meminimalkan dampak pencemaran yang terjadi pada proses eksploitasinya. Peneltian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua dan memberikan rekomendasi kebijakan pengelolaannya dengan mengetahui karakteristik sumberdaya alam minyak bumi, bagaimana masyarakat memperoleh akses terhadap sumberdaya tersebut serta implimentasi kebijakan yang terkait sehingga dapat diketahui permasalahan yang menjadi isu dalam pengelolaan sumur tua. Data berasal dari observasi lapangan, wawancara mendalam dan data sekunder lain yang terkait serta penelitian yang pernah dilakukan pada kawasan tersebut. Kegiatan pengelolaan digambarkan secara deskriptif, identifikasi stakeholders dilakukan dengan wawancara mendalam dan rekomendasi kebijakan digambarkan secara deskriptif berdasarkan hasil olah data observasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitan menunjukan bahwa legalitas kegiatan, pencemaran dan pengolahan yang ilegal disebabkan karena lemahnya penegakan hukum dari pihak yang berwenang. Disisi lain masyarakat yang merasa memiliki atas keberadaan sumur-sumur tua tersebut berhak atas manfaat sumberdaya alam yang dihasilkan atas dasar kemampuanya dalam modal, tenaga kerja dan teknnologi. Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan sumur tua yang terabaikan dan tidak berfungsinya lembaga masyarakat yang merupakan syarat legalisasi pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua merupakan masalah lain yang tidak di dikelola oleh Pemerintah Daerah sehingga pengelolaan saat ini tidak meberikan manfaat bagi Pemerintah Daerah dan dampak negatif tidak bisa di kendalikan. Kebijakan merupakan instrumen yang diharapkan dapat menjadi pedoman dalam pengelolaan sumur tua dan stakeholders yang merupakan pelaku dari kegiatan pengelolaan sumur tua di blok cepu menjadi komponen penting pada pelaksanaan pengelolaan sumur tua. Kedua elemen ini menjadi fokus dalam penelitian ini agar diperoleh rumusan alternative strategi yang tepat sehingga pengusahaan minyak bumi dari sumursumur tua secara ekonomi menguntungkan semua pihak, secara sosial dan budaya bisa dipertanggungjawabkan dan secara ekologi tetap menjaga kelestarian lingkungan. Dalam penelitian ini juga menunjukan bahwa ada persepsi yang berbeda antara stakeholders dengan peraturan yang berlaku.
Kata Kunci: Tambang Minyak Rakyat, Wonocolo, Minyak Bumi Rakyat
v
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi
ANALISIS MASALAH DAN STRATEGI PENGELOLAAN SUMUR TUA DI BLOK CEPU STUDI KASUS TAMBANG RAKYAT MINYAK BUMI DI DESA WONOCOLO KABUPATEN BOJONEGORO
MARWOTO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
vii Judul tesis
Nama NRP
: Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua Di Blok Cepu (Studi Kasus Tambang Rakyat Minyak Bumi Di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro) : Marwoto : P052090061
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua
Dr.Ir. Iin Ichwandi, M.Sc. For Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 6 Januari 2011
Tanggal Lulus:
viii KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat, karunia dan perkenanNya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul Analisis Masalah Dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua Di Blok Cepu (Studi Kasus Tambang Rakyat Minyak Bumi Di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro). Tesis ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan serta bimbingan kepada penulis, yaitu: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, M. Scselaku anggota Komisi Pembimbing. 2. Bupati Kabupaten Bojonegoro Drs. H. Suyoto, M.Si beserta staf dan Dinas terkait dengan penelitian yang telah memberikan bantuan baik materi maupun imateri. 3. Camat Kedewan Gunardi, SH berserta staff yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan penelitian serta memandu penulis selama melakukan kegiatan di lapangan. 4. Kepala Desa Wonocolo Bapak Jasmin yang dengan setia membimbing dan mengarahkan penulis selama melakukan penelitiann di lapangan. 5. Bapak Gubernur Jambi melalui Dinas pendidikan propinsi Jambi yang telah memberikan dukungan materiil selama penelitian. 6. Masyarakat Penambang, Penyuling, Pengusaha, LSM Merah Putih, aparat Polsek Kedewan, Perengkek semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penambangan trdisional di Desa Wonocolo yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.. 7. Teman-teman kuliah Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan lingkungan yang telah membantu selama proses penulisan dan pengolahan data. Dalam menyelesaikan karya ini penulis banyak mendapat masukan dan kritikan yang begitu berarti dalam memperkaya isi tulisan ini. Rasa terimakasih mendalam juga penulis berikan buat teman-teman yang telah setia mendampingi dan membantu penulis selama menyelesaikan studi. Akhirnya, terima kasih dan hormat yang sangat mendalam penulis persembahkan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu telah memberikan dukungan doa, perhatian, pengertian dan dorongan moril maupun materiil yang tidak ternilai buat penulis. Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin. Bogor, Januari 2012 Penulis
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Krajan, Kabupaten Klaten Jawa Tengah, pada tanggal 15 Agusutus 1968 dari Ayah Kadya Sukirno dan Ibu Sukirni, merupakan anak ke-3 dari 4(empat) Saudara. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Tehnologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1989 dan lulus pada Tahun 1995. Penulis bekerja di PT. Wirakarya Sakti Jambi yang bergerak pada pengelolaan Hutan Tanaman Industrii dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2001. Tahun 2001 sampai sekarang Penulis tercatat sebagai Dosen di jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian universitas Jambi, selanjutnya pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S-2 pada Program Studi pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ................................................................... I
II
III
xii xiii xiv xv
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1.2 Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................. 1.3 Perumusan Masalah ................................................................................. 1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................
1 3 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertambangan Rakyat .............................................................................. 2.2 Permasalahan dalam Pertambangan Rakyat ........................................... 2.2.1 Faktor Kebijakan ................................................................................. 2.2.2 Faktor Modalalitas .............................................................................. 2.2.3 Faktor Kelembagaan ........................................................................... 2.2.4 Faktor Teknologi dan Pengelolaan Lingkungan .................................. 2.3 Landasan Hukum Pengelolaan Sumur tua ............................................... 2.4 Landasan Teori ........................................................................................ 2.4.1 Teori Akses ......................................................................................... 2.4.2 Analisis Isi Kebijakan .......................................................................... 2.4.3 Konsep pemberdayaan ....................................................................... 2.4.4 Konsep kelembagaan ......................................................................... 2.4.5 Teori Kelompok .................................................................................. 2.4.6 Teori Koalisi ........................................................................................ 2.4.7 Analisis Stakeholders .......................................................................... 2.4.8 Analisis Triangulasi .............................................................................
6 7 7 8 9 9 10 11 11 13 16 19 22 24 26 27
METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Peneitian .................................................................... 3.2 Tahap penelitian ...................................................................................... 3.3 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 3.4 Teknik Pengambilan contoh ..................................................................... 3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................ 3.5.1 Analisis Isi Kebijakan ........................................................................... 3.5.2 Analisis Stakeholders .......................................................................... 3.5.3 Analisis Triangulasi .............................................................................
30 30 30 31 32 32 32 36
3.6 Metodologi Penelitian .............................................................................. 37 IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Desa Wonocolo ....................................................................................... 4.1.1 Kondisi Fisik ........................................................................................ 4.1.2 Kondisi Ekonomi, sosial dan Budaya .................................................. 4.1.3 Peta Desa Wonocolo .......................................................................... 4.2 Peta Pertambangan Blok Cepu ................................................................ 4.3 Proses Pertambangan Rakyat Minyak Bumi di Desa Wonocolo ...............
38 38 39 40 40 42
xi
V
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Mekanisme Akses Pengusahaan Pertambangan Rakyat pada Sumur Tua di Desa Wonocolo ............................................................................. 5.1.1 Karakteristik Minyak Bumi dari Sumur Tua ......................................... 5.1.2 Karakteristik Sumur Tua minyak Bumi ................................................ 5.1.3 Mekanisme Akses ............................................................................... 5.2 Identifikasi Masalah dalam Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua di Desa Wonocolo ......................................................... 5.2.1 Hak pengelolaan (Property Right) dalam Pengambilan Minyak Bumi .. 5.2.2 Legalitas Kegiatan Pengolahan dan Perdagangan Minyak Olahan tidak sesuai kebijakan yang berlaku ................................................... 5.2.3 Pencemaran Lingkungan .................................................................... 5.3 Analisis Isi Kebijakan ................................................................................ 5.3.1 Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ..................................................... 5.3.2 Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi ....................................................... 5.3.3 Pencemaran Lingkungan .................................................................... 5.3.4 Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan Sektor Minyak dan Gas Bumi tidak dapat direalisasikan ................................................... 5.4 Analisis Stakeholders .............................................................................. 5.4.1 Kepentingan (Interest) Stakeholders ................................................... 5.4.2 Pengaruh Stakeholders ....................................................................... 5.4.3 Klasifikasi Stakeholders ....................................................................... 5.4.4 Pemetaan Stakeholders dalam Bingkai Masalah (problem frame) ...... 5.5 Konsep Strategi Pengelolaan Sumur Tua Di Wonocolo .......................... 5.5.1 Pemberdayaan Masyarakat Penambang ............................................ 5.5.2 Penguatan Kelembagaan .................................................................... 5.5.3 Penegakan Hukum (Pemberantasan Pengolahan Dan Perdagangan Minyak Hasil Olahan)...........................................................................
48 48 49 50 53 53 55 57 58 58 59 60 61 61 64 65 66 70 72 73 75 76
VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ................................................................................................. 79 6.2 Saran ....................................................................................................... 80 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 81
xii
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Jenis dan Sumber Data Sekunder yang Diperlukan dalam Penelitian ............ 31
2.
Stakeholders dalam Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo ................... 32
3.
Ukuran Kuantitatif Terhadap Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders ......... 33
4.
Tingkat Kepentingan Stakeholders Terhadap Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo ............................................................................................ 34
5.
Instrumen dan Sumber Kekuatan Stakeholders ............................................. 35
6.
Tingkat Pengaruh Stakeholders Terhadap Pertambangan Rakyat Minyak Bumi di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro ............................................ 35
7.
Sumber dan Teknik Analisis Data Berdasarkan Tujuan Penelitian ................. 37
8.
Pola pemanfaatan Lahan dan Sarana Prasarana Desa Wonocolo ................. 38
9.
Jenis Pekerjaan dan Jumlah Penduduk Desa Wonocolo ............................... 39
10. Sejarah Pengelolaan Lapangan Minyak Blok Cepu ........................................ 41 11. Jumlah Sumur Tua dan Dapur Sulingan di Desa Wonocolo ........................... 41 12. Identifikasi Stakeholders ................................................................................ 62 13. Skoring Kepentingan (Importance) Stakeholders dalam Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo ................................................................................... 65 14. Skoring Pengaruh Stakeholders dalam Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo ....................................................................................................... 66 15. Jumlah Skoring Pengaruh dan Kepentingan Stakeholders pada Pengelolaan Pertambangan Minyak Bumi Rakyat di Desa Wonocolo ................................. 66
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Pertambangan Rakyat Minyak Bumi Blok Cepu Desa Wonocolo ................. 3
2.
Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua di Blok Cepu Desa Wonocolo .................................................................................................... 5
3.
Diagram Alir Tahapan Penelitian Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua di Blok Cepu Desa Wonocolo ............................... 30
4.
Matriks Pengaruh dan Kepentingan (Diadaptasi dari Eden dan Ackermann, 1998 dalam Bryson, 2004 dan Reed et al, 2009) ......................................... 36
5.
Kondisi Fisik Desa Wonocolo ...................................................................... 39
6.
Peta Lokasi Penelitian Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur .............................................................................. 40
7.
Peta Wilayah Kerja PT. PERTAMINA Region Jawa Area Cepu .................... 40
8.
Proses Perbaikan Sumur Secara Tradisional Dengan Menggunakan Tenaga Manusia .......................................................................................... 43
9.
Proses pengambilan Minyak Mentah dengan Teknologi Sederhana pada Pengelolaan Sumur Tua .............................................................................. 44
10.
Proses Pengolahan Minyak Mentah Menjadi Solar/Minyak Tanah/Bensin ... 46
11.
Kelompok Perengkek/Pedagang Minyak Hasil Penyulingan ........................ 47
12.
Mekanisme Akses Pengusahaan pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua Sumur Tua di Desa Wonocolo. diadaptasi dari Ostrom (2011), Ribot dan Peluso (2003). ...................................................................................... 52
13.
Identifikasi Masalah Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo. ................ 55
14.
Klasifikasi Stakeholders berdasarkan Pengaruh dan Kepentingannya dalam Pertambangan Minyak Bumi Rakyat di Desa Wonocolo, diadaptasi dari Eden dan Ackermann 1998 dalam Bryson 2004 dan Reed et al. 2009 ....... 67
15.
Pemetaan Stakeholders Dalam Bingkai Masalah Pengelolaan Pertambangan Rakyat Minyak Bumi Di Desa Wonocolo (Bryson 2004, diadaptasi dari Nutt dan Backoff 1992) ........................................................ 70
16.
Bagan Konsep StrategiPengelolaan Pertambangan Minyak Bumi Rakyat di Desa Wonocolo ........................................................................................... 73
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Panduan Wawancara Mendalam Stakeholders .............................................. 85
2.
Hasil Wawancara Mendalam .......................................................................... 89
3.
Peta Desa Wonocolo Kecamatan Kedewan ................................................... 105
4.
Peta Wilayah Kerja PT. PERTAMINA Region Jawa Area Cepu ..................... 105
5.
Analisis Stakeholder Berdasarkan Kepentingan dan Aspirasinya ................... 106
6.
Analisis Isi Kebijakan Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua di Blok Cepu Desa Wonocolo ...................................................... 109
xv
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
AMDAL Aplusan BAPPEDA Beking BUMD BUMN Ciduk DPRD II ESDM HMN IPR Kerjo Lantung LH LSM Mancal/sopir Mel Mblandut
: : : : : : : : : : : : : : : : : :
Mergawe Nimbel Njarangi
: : :
Ngajok Nyiduk PAD Perencek Perengkek Permen Penyuling
: : : : : : :
PERTAMINA PETI Rengkek
:
SDA SDM Stakeholders Sumber WPR
: : : : :
:
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Bekerja secara bergantian/Shift Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Dukungan secara politik dan kekuatan Badan Usaha Milik Daerah. Badan Usaha Milik Negara Alat untuk mengambil minya mentah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Energi dan Sumberdaya Mineral Hak Menguasai Negara Ijin Pertambangan Rakyat Gotong-royong memperbaiki sumur minyak tanpa upah. Minyak mentah. Lingkungan Hidup Lembaga Swadaya masyarkat. Mengoperasikan mobil penimba minyak mentah. Memberikan uang suap untuk aparat. Mengangkut minyak mentah dari sumur ke tempat penyulingan. Bekerja pada perusahaan. Pengarah timba minyak mentah Mengurangi kadar air minyak mentah dengan cara dipanaskan Mengangkut minyak mentah Memisahkan minyak mentah dengan air Pendapatan Asli Daerah Pencari kayu untuk bahan bakar penyulingan Pembeli/pedagang minyak hasil penyulingan Peraturan Menteri Orang yang bekerja melakukan penyulingan minyak mentah menjadi solar/minyaktanah/bensin. Perusahaan Minyak dan Gas Negara Pertamabangan Tanpa Ijin Alat untuk mengangkut minyak hasil penyulingan yang terdiri dari jerigen dan pengait pada motor. Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Para pihak Sumur minyak tua yang sedang di eksploitasi. Wialayah Pertambangan Rakyat
xvi
Penyuling
:
PERTAMINA PETI Rengkek
:
SDA SDM Stakeholders Sumber WPR
: : : : :
:
Orang yang bekerja melakukan penyulingan minyak mentah menjadi solar/minyaktanah/bensin. Perusahaan Minyak dan Gas Negara Pertamabangan Tanpa Ijin Alat untuk mengangkut minyak hasil penyulingan yang terdiri dari jerigen dan pengait pada motor. Sumberdaya Alam Sumberdaya Manusia Para pihak Sumur minyak tua yang sedang di eksploitasi. Wialayah Pertambangan Rakyat
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Peranan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH) sangat penting
dalam pembangunan nasional dan pendukung sistem kehidupan. Sesuai dengan fungsinya tersebut, SDA dan LH perlu dikelola dengan bijaksana agar pembangunan serta keberlangsungan kehidupan manusia dapat terjaga dan lestari saat ini dan di masa yang akan datang. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pembahasan mengenai hak atas sumberdaya alam di Indonesia tidak akan terlepas dari penjabaran hak menguasai oleh negara (HMN). Dalam kaitan ini, Mahkamah Konstitusi telah menafsirkannya dalam putusan nomor 002/PUU-I/2003 tentang Penafsiran konsep Penguasaan Negara Berdasarkan pasal 33 UUD 1945, sebagai berikut: 1 1) Pemilikan sumberdaya alam bukan hanya dalam arti private (keperdataan) melainkan juga mencakup kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam Indonesia; 2) Mandat Negara untuk “mengadakan kebijakan“ (beleid) dan membuat “tindakan pengurusan“ (bestuurs-daad). Dalam hal ini negara memberi mandat kepada pemerintah untuk mengeluarkan dan mencabut perijinan, lisensi, dan konsesi. 3) Menjalankan “pengaturan“ (regelen-daad). Hal ini dijalankan melalui kewenangan legislasi DPR bersama pemerintah dan regulasi oleh pemerintah. 4) Melakukan
“Pengelolaan”
(beheers-daad).
Dilakukan
melalui
mekanisme
pemilikan saham dan atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN sebagai instrumen kelembagaan. 5) Pengawasan
(toezichthoudens-daad).
Dilakukan
oleh
pemerintah
agar
penjabaran HMN berjalan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 1
Penjelasan tentang penafsiran penguasaan negara dalam Kartodihardjo “Sumberdaya Alam, Komoditi dan Arah Pengelolaannya”
2
Dengan demikian, makna HMN terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap sumber daya alam, tidak menafikan kemungkinan perorangan atau swasta berperan, asalkan lima peranan negara sebagaimana tersebut di atas masih tetap dipenuhi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 22 tahun 2004 tentang Minyak dan Gas Bumi ketentuan pasal 1 angka 5 UU No. 22 Tahun 2001, Kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang berarti pemerintah mempunyai wewenang untuk melakukan pengaturan yang berkaitan dengan Usaha Minyak dan Gas Bumi. Sebagaimana diatur dalam Permen ESDM no. 1 tahun 2008, bahwa sumur tua boleh diusahakan melalui Koperasi Unit Desa atau Badan Usaha Milik Daerah. Sumur tua adalah sumur minyak bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksi serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu Wilayah Kerja (WK). Sumur tua tersebut tidak lagi dikelola oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas (KKS Migas), karena secara ekonomis tidak menguntungkan lagi. tetapi sumur tua tersebut masih memiliki potensi khususnya minyak yang jika dikelola oleh unit usaha yang dikelola oleh BUMD atau KUD masih menjanjikan keuntungan. Kebijakan ini telah membuka kesempatan kepada Koperasi Unit Desa sebagai pelaksana kegiatan dalam pengelolaan sumur tua sebagaimana disebutkan pada pasal 2 ayat (1) “Kontraktor mempunyai kewajiban untuk mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua yang masih terdapat kandungan minyak bumi berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomi dan ayat (2) dalam hal kontraktor tidak mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua sebagaimana di atur pada ayat (1), KUD dan BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi setelah mendapat persetujuan Menteri. Pemberian peran kepada KUD dalam pengusahaan sumur tua telah memberikan peran kepada masyarakat dalam pengusahaan sumur tua dalam usaha hulu berupa pengambilan minyak bumi dari sumur tua. Minyak bumi yang berasal dari sumur tua merupakan potensi yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaannya. Tercatat total sumur tua di Indonesia sebanyak 13.824 buah sumur (www.esdm.go.id), yang tersebar : 1). Sumatera bagian selatan (3.623 buah sumur); Sumatera bagian utara (2.392 buah sumur); Sumatera bagian tengah (1.633 buah sumur); 2). Kalimantan Timur(3.143 buah sumur) dan Kalimantan selatan (100 buah); 3). Jawa tengah, Timur dan Madura (2.496 buah); 4). Papua (208 buah) dan Seram (229 buah).
3
1.2
Kerangka Pemikiran Penelitian. Masalah pertambangan rakyat di Desa Wonocolo pada umumnya juga terjadi
pada pertambangan rakyat di Indonesia, kesenjangan antara kebijakan dengan implentasi dilapangan menimbulkan implikasi negatif karena faktor-faktor yang berpengaruh tidak dikelola dengan baik. Langkah yang harus dilakukan adalah membuat suatu kebijakan sebagai strategi pengelolaan terencana dan terpadu yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan pemanfaatan dari berbagai sektor dan stakeholders melalui kebijakan pengelolaan yang dapat menampung aspirasi dari semua stakeholders yang terlibat, sehingga nantinya akan diperoleh konsep pengelolaan pertambangan rakyat yang ideal. Berdasarkan analisis masalah tersebut secara skematik, kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan dalam Gambar 1. Sumur Tua Minyak Bumi PERTAMINA
Pemda
Masyarakat
Karakteristik minyak bumi,mekanisme akses, implementasi kebijakan dan Identifikasi Masalah Analisis akses, analisis isi kebijakan, analisis triangulasi dan analisis stakeholders Rumusan strategi pengelolaan
Pemberdayaan
Penegakan hukum
Kelembagaan
Pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Pertambangan Rakyat Minyak Bumi Desa Wonocolo. 1.3
Perumusan Masalah Penelitian Sumur tua Minyak Bumi yang berada di Desa Wonocolo merupakan aset
negara yang telah diserahkan pengusahaannya kepada pemerintah daerah sesuai dengan Permen ESDM No. 01 tahun 2008 tentang Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua. Sebagai aset sumberdaya alam yang bersifat state property maka segala pengusahaan harus berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada kenyataannya keberadaan sumur tua saat ini berada pada kondisi
open
acces.
Kondisi
tersebut
menyebabkan
masyarakat
mampu
memanfaatkan sumberdaya alam minyak bumi yang terkandung didalam sumursumur tua karena keberadaannya yang tidak dapat diproteksi oleh pemerintah daerah dan adanya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan dan mengambil
4
keuntungan sumberdaya minyak bumi tersebut. Kemampuan masyarakat berupa modal, teknologi dan tenaga kerja. Oleh karena itu masyarakat secara de facto menjadi pemilik dari sumur-sumur tua minyak bumi. Pemilik disini bukan selalu berarti bentuk kepemilikan (ownership right) tetapi berupa “rasa memiliki terhadap benda, kondisi atau situasi tertentu (Kartodihardjo, 2008). Karakteristik minyak bumi sebagai komoditi dan berpotensi menjadi bahan pencemar menyebabkan masalah dalam pengelolaannya karena teknologi yang digunakan dalam pengambilan minyak mentah yang masih sederhana. Partisipasi masyarakat khususnya masyarakat di sekitar kawasan tambang secara ekonomi mengupayakan agar masyarakat memahami peran dan fungsinya dalam regulasi pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua dan dapat melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara bijaksana. Berdasarkan
uraian
diatas
diharapkan
diperoleh
rumusan
kebijakan
pengelolaan melalui pendekatan aspek ekologi, ekonomi dan sosial-budaya dengan mengintegrasikan konsep kelembagaan, pemberdayaan dan penegakan hukum yang hasilnya merupakan konsep atau desain pengelolaan pertambangan rakyat yang secara teknis bisa diterapkan, secara ekonomi menguntungkan semua pihak, secara sosial-budaya dapat dipertanggungjawabkan, dan secara ekologi tetap menjaga
kelestarian
lingkungan.
Secara
skematik
analisis
masalah
dari
pertambangan rakyat dapat dilihat dalam Gambar 2: Sumur Minyak Tua
State Property
Open Access Mekanisme Akses
Eksploitasi Pemda
Minyak Bumi
PERTAMINA
Komoditi
Pengambilan
Koperasi
Keterangan:
Pencemaran
Pengolahan
Masyarakat lokal
Perdagangan
Masyarakat pendatang
Proses melanggar hukum (Illegal)
Gambar 2 Perumusan Masalah Penelitian Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua di Blok di Blok Cepu Desa Wonocolo. 1.4
Tujuan Penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah dalam pendahuluan di atas dapat
dirumuskan tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
5
1)
Mengetahui karakteristik SDA (minyak bumi) dan mekanisme kepemilikan serta implementasi kebijakan yang terkait dengan pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo.
2)
Identifikasi masalah yang terkait pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo.
3)
Merumuskan konsep alternatif strategi yang tepat dan komprehensif dalam pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo.
1.5
Manfaat Penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi bagi
pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo dengan mempertimbangkan potensi masyarakat yang ada. Hasil studi ini juga diharapkan mampu memperkaya khasanah studi sosial di Indonesia.
6
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pertambangan Rakyat Pertambangan rakyat menurut World Bank dalam Zulkarnain et al (2007)
adalah suatu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, keluarga atau koperasi dengan peralatan mekanik yang minimal atau tanpa peralatan mekanik serta sering berada pada sektor informal pasar. Selanjutnya Zulkarnain et al (2007) menyatakan pertambangan rakyat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1)
Sangat sedikit menggunakan bantuan peralatan mekanik dan lebih didominasi oleh tenaga fisik penambang;
2)
Tingkat keselamatan dan kesehatan kerja yang rendah;
3)
Memiliki keragaman kualifikasi SDM pada level operasi yang sama;
4)
Proses eksploitasi dan pengolahan yang tidak efisien (low recovery values), serta tingkat produksi yang rendah;
5)
Tingkat gaji dan penghasilan yang rendah;
6)
Intensitas kegiatan sangat tergantung kepada perkembangan harga pasar;
7)
Tingkat kepedulian sosial dan lingkungan yang kurang memadai;
8)
Dukungan organisasi dan modal yang rendah;
9)
Kebanyakan beroperasi tanpa ijin resmi atau illegal. Aspek legalitas merupakan hal yang sering menjadi masalah dalam kegiatan
pertambangan rakyat, hal ini disebabkan karena status open acces dari sumberdaya yang diusahakan dan adanya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, sementara itu keinginan pemerintah untuk menertibkan pertambangan rakyat adalah untuk mendapatkan sejumlah uang iuran dari penambang-penambang rakyat (Zulkarnain et al 2007). Pada kenyataannya penertiban dan pembinaan tidak memberikan solusi pertambangan rakyat dan tidak terdapat
catatan
yang
pasti
terhadap
pembinaan
yang
dilakukan
oleh
pemerintah. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah ini merupakan indikasi dari pengelolaan pertambangan rakyat (Zulkarnain et al 2007) yakni: 1)
Berbagai
pengaturan
pertambangan
rakyat
dalam
berbagai
paraturan
perundangan memberikan pembatasan keleluasaan rakyat menambang. 2)
Ketidak pastian usaha pertambangan rakyat karena kalau ada pemegang Kontrak Karya atau kontrak pertambangan lain, maka penambang rakyat harus menyingkir.
7
3)
Penertiban dan pembinaan yang dilakukan oleh Negara dengan imbalan sejumlah pungutan dari penambang, meskipun pembinaan tersebut tidak jelas dan diserahkan kepada pemda setempat.
2.2.
Permasalahan dalam Pertambangan Rakyat. Pertambangan rakyat merupakan salah satu sektor kegiatan ekonomi bidang
pertambangan yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dari para pelakunya, menurut Zulkarnain (2008) terdapat 4 (empat) faktor yang mempengaruhi kegiatan pertambangan rakyat ini, yaitu: 2.2.1 Faktor Kebijakan Kegiatan penambangan oleh masyarakat umumnya berlangsung di lahanlahan negara, terutama di bekas tambang Belanda dan kawasan hutan, pada lahan masyarakat dan bahkan di dalam areal konsesi perusahaan. Penggalian secara ilegal tersebut bukan saja merugikan negara dan mengancam keselamatan lingkungan, tetapi juga menimbulkan persoalan yang serius bagi sektor lainnya, seperti sektor kehutanan dan lingkungan hidup, ketika mereka menambang di kawasan hutan konservasi dengan teknologi yang kurang berwawasan lingkungan. Namun penanganan persoalan masyarakat penambang masih belum menjadi prioritas pemerintah di Indonesia. Bahkan di era otonomi daerah saat ini, banyak Pemda yang belum memiliki Perda untuk mengatur kegiatan tersebut dan kalaupun ada yang sudah memiliki umumnya belum diimplementasikan. Keberadaan sumur tua minyak bumi ternyata tidak dimanfaatkan oleh pemda dengan mekanisme yang benar dan mengesankan ada “pembiaran” terhadap keberadaan sumur tua. Timbulnya permasalahan pengusahaan pertambangan rakyat
disebabkan oleh beberapa faktor, menurut Zulkarnain et al (2004) ada
beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah melakukan hal tersebut, yakni: 1)
Ketidak mampuan pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja pengganti.
2)
Lokasi penambangan umumnya berada di daerah terpencil (remote area).
3)
Penambangan dilakukan berdasarkan intuisi tanpa data eksplorasi yang lengkap, sehingga potensi komoditi tambang tidak diketahui dengan pasti.
4)
Adanya oknum aparat, baik pemerintah maupun keamanan, yang ”melindungi” dan ”bermain” dalam kegiatan tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok. Pada beberapa kasus, pemerintah mencoba melakukan tindakan penertiban
untuk memutus hubungan antara penambang dengan para oknum yang melindungi mereka. Namun hal itu hanyalah satu mata rantai dari persoalan yang demikian
8
rumit di kawasan pertambangan. Seharusnya pemerintah melakukan suatu solusi yang holistik dan terencana untuk menata dan mengatur kegiatan pertambangan rakyat tersebut sehingga dapat memberikan manfaat yang maksimal dengan dampak seminimal mungkin. 2.2.2
Faktor Modalitas. Unsur modalitas yang paling berperan adalah kualitas sumberdaya manusia
dan tingkat perekonomian masyarakat itu sendiri. Secara formal tingkat pendidikan mereka relatif rendah, yakni dominan SD, SLTP dan sedikit SLTA. Pendidikan yang relatif rendah membuat mereka tidak mampu untuk berkompetisi dalam memperoleh pekerjaan yang memadai, sehingga kegiatan menambang menjadi pilihan yang menarik, karena selain tidak memerlukan keahlian khusus juga dapat mendatangkan uang secara cepat dan kadang dalam jumlah yang cukup banyak. Kemiskinan dan tingkat perekonomian yang rendah membuat mereka bersedia melakukan kegiatan tersebut dengan segala resikonya. Sementara itu, bagi masyarakat yang memang tumbuh dalam budaya menambang, selain kedua faktor di atas, budaya yang mereka warisi telah melahirkan sebuah sikap atau pilihan hidup yang mengalahkan segalanya karena menambang bagi mereka bukanlah hanya sekedar sebuah profesi tetapi telah menjadi bagian dari hidup yang mereka nikmati. Kondisi yang terakhir ini akan menyebabkan masyarakat tersebut akan sangat sulit untuk dapat beralih ke profesi yang lain. Kerugian sosial yang perlu mendapat perhatian dalam aspek modalitas ini, antara lain: 1)
Terbentuknya cara pandang dan sikap hidup para penambang yang kehilangan kepatuhan terhadap aturan-aturan hukum yang berlaku.
2)
Cenderung berorientasi kepada tujuan jangka pendek dengan mengambil segala resiko.
3)
Sikap individualistis dan tidak mempunyai komitmen komunal yang kuat walau bekerja secara berkelompok dan sangat toleran terhadap komunitasnya.
4)
Kurang memiliki tanggungjawab dan seringkali cenderung bersikap tidak jujur.
2.2.3
Faktor Kelembagaan Secara
umum
kelembagaan
atau
organisasi
belum
ditemui
dalam
masyarakat yang melakukan kegiatan penambangan karena tingkat SDM dan kemampuan mereka yang terbatas. Ketiadaan lembaga ini mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan bagi masyarakat yang menambang, baik persoalan internal maupun eksternal Akibat dari persoalan tiadanya lembaga pada penambangan yang dilakukan oleh masyarakat yakni;
9
1)
Kegiatan penambangan yang mereka lakukan tidak terlindungi secara hukum, sehingga mereka seringkali memilih untuk menyembunyikan kehadiran mereka dan main kucing-kucingan dengan aparat pemerintah dalam melakukan aktivitas penambangan. Kondisi ini berdampak pada tidak optimalnya usaha yang mereka lakukan sehingga merugikan mereka secara ekonomi.
2)
Kemampuan modal mereka yang terbatas dan tanpa adanya payung hukum yang jelas berdampak pada adanya tindakan eksploitasi yang mereka alami, baik oleh para pemodal maupun oknum aparat.
3)
Menimbulkan persoalan bagi negara atau pemerintah karena terjadinya kerusakan lingkungan tanpa adanya pihak yang bertanggungjawab untuk melakukan pencegahan dampak kerusakan lingkungan.
4)
Berkurangnya potensi penerimaan negara karena sebagian besar kegiatan masyarakat
yang
menambang
tidak
berbadan
hukum
sehingga
tidak
memberikan kontribusi berupa royalti kepada negara. 2.2.4
Faktor Teknologi dan Pengelolaan Lingkungan Aspek teknologi meliputi teknik penambangan dan pengolahan, sedangkan
aspek
pengelolaan
lingkungan
lebih
terfokus
kepada
persoalan-persoalan
penanganan limbah penambangan dan pengolahan. Sejumlah masalah, baik yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja maupun yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungan, ditimbulkan oleh kegiatan masyarakat yang menambang, baik yang disebabkan oleh teknologi penambangan dan pengolahan yang belum efisien maupun oleh cara pengelolaan lingkungan yang belum berwawasan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat yang melakukan penambangan belum melakukan atau bahkan belum memberikan perhatian terhadap pengelolaan lingkungan. Kalaupun ada kegiatan mereka yang terlihat bersentuhan dengan pengelolaan limbah, maka pada dasarnya kegiatan tersebut dilandaskan pada keinginan untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi dan bukan karena kesadaran akan pentingnya melakukan pengelolaan lingkungan. Pada sebagian besar kegiatan masyarakat yang menambang, terutama di wilayah barat Indonesia, para penambang hampir selalu membuang limbah (baik air maupun ampas pengolahannya) langsung ke sungai. 2.3.
Landasan Hukum Pengelolaan Sumur Tua Pada tahun 2001 diterbitkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi pada bab II pasal 2 menyebutkan “Penyelenggaraan kegiatan
10
usaha Minyak dan Gas Bumi berasaskan pada ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan dan keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan, kemudian pada pasal 3 UU No. 22 tahun 2001 kegiatan bertujuan sebagai berikut : 1)
Terlaksana dan terkendalinya Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan tidak terbarukan.
2)
Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing secara wajar, sehat dan transparan
3)
Meningkatnya pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang sebesarbesarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan memperkuat industri dan perdagangan Indonesia;
4)
Menciptakan
lapangan
kerja,
memperbaiki
lingkungan,
meningkatnya
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Secara khusus dasar hukum dari pertambangan minyak Bumi pada sumursumur tua adalah sebagaimana diatur dalam Permen ESDM no. 1 tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada sumur-sumur tua, bahwa sumur tua boleh diusahakan melalui Koperasi Unit Desa maupun Badan Usaha Milik Daerah. Sumur tua adalah sumur-sumur Minyak Bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksi serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu Wilayah Kerja yang terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan lagi oleh Kontraktor. Filosofi pengelolaan pertambangan minyak rakyat adalah; a). Optimalisasi pemanfaatan sumur-sumur tua; b). Memberdayakan ekonomi rakyat disekitar lokasi sumur tua, hal ini menunjukan bahwa kegiatan pertambangan minyak bumi pada sumur-sumur tua tidak termasuk kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang melampaui batas dan dapat diusahakan oleh masyarakat melalui prosedur dan tata cara yang sesuai dengan peraturan yang ada. 2.4.
Landasan Teori
2.4.1 Teori Akses. A. Definisi Akses Peluso dan Ribot (2003) mendefinisikan akses sebagai kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu, termasuk diantaranya objek material, perorangan, institusi, dan simbol. Dengan menfokuskan pada kemampuan dibandingkan dengan kepemilikan yang ada dalam teori properti. Formulasi ini memberikan perhatian pada wilayah yang lebih luas pada hubungan sosial yang memungkinkan orang untuk mendapatkan keuntungan dari sumber daya tanpa
11
melihat pada hubungan properti semata. Perubahan proses dan hubungan akses dengan sumber daya dapat dipetakan dengan melihat susunan jaringan akses. Teori akses digunakan untuk mengidentifikasikan siapa yang sebenarnya mendapatkan
keuntungan dari sesuatu dan melalui proses apa mereka dapat
melakukannya. Sehingga secara empiris akses berfokus pada isu “siapa yang menggunakan apa dan siapa yang bukan, dalam cara-cara apa, dan kapan (dalam kondisi apa)”. Elemen penting dalam konsep ini adalah sumberdaya alam sebagai sesuatu yang dipermasalahkan dan jajaran kekuasaan (range of powers) yang mempengaruhi kemampuan orang-orang untuk mengambil keuntungan dari sumberdaya (Ribot dan Peluso, 2003). Kekuasaan yang dimaksud adalah material, budaya, ekonomi serta politik dalam “ikatan (bundles)” dan “jaring-jaring (webs)” kekuasaan yang mengatur akses sumberdaya. Ada orang-orang dan lembaga yang “mengontrol” akses sumberdaya sementara yang lain “memelihara” akses mereka melalui mereka yang mempunyai kontrol. Pembedaan dalam hubungan akses ini merupakan salah satu cara teori akses dapat dilihat sebagai suatu analisis yang dinamis, sehingga dapat membantu memahami mengapa ada orang atau lembaga yang mengambil keuntungan dari sumberdaya, baik memiliki hak atau tidak atas sumberdaya tersebut. Analisis akses dilakukan dengan mengidentifikasi obyek yang diteliti, terutama keuntungan yang berasal dari sumberdaya tertentu. Setelah itu dapat dilanjutkan dengan analisis berbagai mekanisme di mana individu, kelompok atau institusi memperoleh, mengontrol atau memelihara akses dalam kondisi politik dan budaya tertentu. Mekanisme yang membentuk proses dan hubungan akses dapat dikategorikan dalam akses berdasarkan hak (rights based access) dan akses yang merupakan faktor tambahan yang merupakan mekanisme akses yang bersifat struktural dan relasional (structural and relational mechanisms). Faktor-faktor tersebut adalah: teknologi, modal, tenaga kerja, pengetahuan, wewenang, identitas dan relasi-relasi sosial (Ribot dan Peluso, 2003). Aspek politik-ekonomi dalam konsep ini menjadi nyata ketika memisahkan tindakan sosial ke dalam pengendalian akses dan mempertahankan akses. Penegendalian akses adalah kemampuan untuk memediasi akses lainnya. Pengendalian mengarah pada pemeriksaan dan dan pengawasan tindakan, fungsi atau kekuatan yang mengawasi dan mengatur tindakan bebas. Mempertahankan akses memerlukan kuasaan untuk menjaga sebagian sumber daya akses yang terbuka. Baik pengendalian dan pengontrolan merupakan dua hal yang saling melengkapi. Keduanya membentuk hubungan diantara aktor dalam hubungan
12
terhadap sumber daya, manajemen, dan penggunaan. Disaat yang sama, makna dan nilai sumberdaya menyangga antara siapa yang mengontrol dan siapa yang mempertahankan akses, seperti akses pengendalian dan mempertahankan sumberdaya. B.
Mekanisme Akses.
Mekanisme akses bisa di lihat berdasarkan berdasarkan kepemilikan (rightbased access), menurut Ribot dan Peluso (2003) mekanisme akses meliputi: 1)
Akses Legal Merupakan kemampuan mendapatkan keuntungan dari sesuatu yang berasal
dari kepemilikan yang diakui oleh hukum, adat istiadat, atau konvensi. Arti kepemilikan berdasarkan akses adalah menyatakan secara tidak langsung melibatkan komuniti, negara, atau pemerintah untuk mengklaim sesuatu.hukum, adat istiadat atau konvensi sehingga menyebabkan suatu legitimasi atas kepemilikan sesuatu. Namun disisi lain ada sebuah ambigunitas yang terjadi antara hukum, adat-istiadat dan konvensi. Ambigunitas ini terjadi manakala ketiga perangkat legal tersebut sama-sama melegitimasi suatu barang yang sama sehingga yang terjadi adalah saling mengklaim. 2)
Akses Illegal Merupakan bentuk akses yang diberikan berdasarkan sanksi hukum, adat
istiadat, dan konvensi atau bisa dikatakan bahwa akses illegal mengarah pada mendapatkan keuntungan dari sesuatu dengan cara yang tidak direstui oleh negara atau masyarakat. Akses illegal beroperasi melalui paksaan (kekuatan atau ancaman) dan secara diam-diam, hal ini dilakukan untuk mendapatkan penambahan, pengendalian, dan mempertahankan akses. 2.4.2. Teori Aksi bersama (Collective Action). Menurut Marshal (1998) mengartikan aksi kolektif sebagai aksi yang dilakukan oleh sebuah kelompok, baik secara langsung atau atas nama organisasi, dalam mencapai apa yang oleh anggota kelompok itu dianggap sebagai kepentingan bersama. Aksi kolektif dilaksanakan secara sukarela oleh partisipannya yang membedakannya dengan usaha kolektif oleh kelompok-kelompok pekerja yang dibayar. Aksi kolektif diperlukan ketika isu pengelolaan sumber daya alam meliputi integrasi spasial pada tingkatan yang lebih tinggi. Pengelolaan kehutanan, irigasi, dan perikanan adalah kegiatan-kegiatan yang secara spasial mencakup wilayah yang luas, karena itu kebutuhan untuk melakukan aksi kolektif lebih besar (Marshal, 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap aksi kolektif senaniasa melibatkan
13
organisasi untuk mendisain aturan-aturan main dan melaksanakan aksi kolektif yang disepakati, menggalang proses partisipasi, dan menegakan aturan-aturan yang telah diterima, yang dianggap akan memberikan manfaat bagi kelompok. Meskipun terdapat banyak manfaat non material yang diperoleh melalui aksi-aksi kolektif, namun terdapat banyak bukti bahwa manfaat yang bersifat material juga mempengaruhi kemuncuan berbagai aksi kolektif. Dalam kasus penggembalaan ternak di India, misalnya, aksi kolektif memberikan manfaat yang bersifat finansial selama periode ketika harga daging meningkat. Sebagai antisipasi untuk meraih manfaat dari penjualan daging itu, para usaha peternakan lokal untuk mengorganisir diri dan secara kolektif membeli ahan padang rumput dan menginvestasikan dana untuk menanam pakan ternak yang disarankan oleh para ahli. Menurut Eggertsson (1990), dalam Nugroho (2004), masalah-masalah penting dalam aksi bersama adalah (a) munculnya perilaku free riding sehubungan dengan keinginan individu untuk memaksimumkan utilitasnya, (b) biaya aksi kolektif (collective
action
cost)
sehubungan
dengan
pembuatan
dan
penegakan
kesepakatan, (c) ukuran kelompok (group size) , dan (d) koordinasi antar pelaku. 2.4.3. Analisis Isi Kebijakan A. Teori Kebijakan Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa istilah kebijakan (policy) diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Kebijakan dalam makna tersebut merupakan suatu deklarasi mengenai dasar pedoman untuk bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana. Pedoman tersebut dapat berbentuk sangat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit dan sebagainya (Wahab, 1997). Menurut Anderson dalam Wahab (1997) kebijakan merupakan langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seprang aktor atau sejumlah kelompok aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Aktor yang dimaksud adalah pejabat, instansi pemerintah, seorang atau sekolompok orang yang diberi wewenang baik secara hukum atau berdasarkan kesepakatan bersama untuk menentukan atau membuat suatu kebijakan. Aktor ini sering disebut sebagai pembuat kebijakan (policy maker). Pengertian ini memberikan implikasi bahwa: 1). Kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2). Kebijakan berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah; 3). Kebijakan merupakan apa yang benarbenar dilakukan oleh pemerintah, bukan apa yang pemerintah bermaksud akan
14
melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu; 4). Kebijakan dapat bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti memberikan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan 5), kebijakan didasarkan atau selalu berlandaskan pada peraturan-peraturan perundangundangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Mayer et al (1982) dalam Sahwan (2002) mendifinikan kebijakan adalah suatu keputusan untuk bertindak yang dibuat atas nama suatu kelompok sosial yang memiliki implikasi yang komplek dan bermaksud mempengaruhi anggota kelompok dengan penetapan sanksi-sanksi. Menurut Islamy (1997) mendefinisikan “suatu keputusan” adalah suatu pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai suatu hal. Selanjutnya disebutkan pula bahwa salah sati faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bulti-bukti yang sulit disimpulkan. Oleh karena itu dalam mengambil keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu. B. Kesenjangan (Gap) Kebijakan Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. 2 Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi, kelompok sektor swasta, dan individu. Suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat yang mana penyusunannya melalui berbagai tahapan sering kali lebih dikenal sebagai kebijakan publik (Dunn, 2003)). Kebijakan publik ini muncul dikarenakan adanya suatu masalah di masyarakat sehingga harapannya dengan adanya kebijakan publik ini, maka pemerintah sebagai salah satu stakeholders dan selaku pembuat kebijakan di suatu negara, dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat tersebut. Implementasinya tidak jarang sesuai dengan tujuan, sasaran, dan indikator yang ditetapkan. Namun, sering kali implementasi kebijakan tersebut juga tidak sesuai dengan tujuan, indikator, ataupun tepat sasaran. Oleh karena itu, implementasi suatu kebijakan publik juga memerlukan adanya evaluasi. Evaluasi adalah suatu upaya untuk menghasilkan informasi tentang nilai-nilai yang telah tercapai dari kinerja kebijakan tertentu. Menurut Michael Scriven dalam Dunn (2003), evaluasi merupakan persoalan fakta dan logika dan lebih penting dari 2
Definsi berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia
15
yang paling penting, hal ini dikarenakan evaluasi ini berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan yang mana memberi sumbangan pada tujuan atau sasaran sehingga ketika suatu kebijakan telah mencapai tingkat kinerja tertentu dapat dianalisis apakah ada perbedaan yang telah dibuat sebelum dan sesudah adanya kebijakan tersebut. Hal ini juga untuk melihat tingkat keberhasilan kebijakan tersebut sehingga bisa dijadikan rekomendasi untuk perumusan kebijakan selanjutnya. Menurut Dunn (2003) kesenjangan kebijakan dapat diketahui dengan melakukan evaluasi terhadap dokumen formal mengenai suatu kebijakan atau program sehingga diperoleh kondisi faktual dengan kondisi yang direncanakan yang dapat dinilai dan direkomendasikan suatu tindakan perubahan terhadap kebijakan selanjutnya untuk menyempurnakan kebijakan sebelumnya. Evaluasi kesenjangan kebijakan ini menggunakan kriteria sebagai berikut: 1). Efektivitas adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai hasil atau akibat dari implementasi suatu kebijakan publik berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan dalam dokumen kebijakan tersebut; 2). Efisiensi adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai rasio efektivitas biaya impelementasi kebijakan publik tersebut, apakah lebih tinggi dari efisiensi marjinal atau malah lebih rendah dari efisiensi marjinalnya; 3). Kecukupan adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai seberapa jauh kebijakan publik tersebut dapat mengatasi permasalahan yang menjadi latar belakang pembentukan kebijakan publik; 4). Perataan adalah suatu kriteria yang digunakan
untuk
menilai
apakah
implementasi
kebijakan
publik
tersebut
menghasilkan lebih banyak distribusi yang adil terhadap sumber daya yang ada dalam masyarakat; 5). Responsivitas adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai apakah kebijakan publik tersebut mampu memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai-nilai rakyat. Termasuk juga untuk menilai tanggapan masyarakat atau penerima kebijakan terhadap kebijakan publik yang ditetapkan; 6). Ketepatan adalah suatu kriteria yang digunakan untuk menilai apakah hasil (dari tujuan) kebijakan publik tersebut benar-benar berguna atau bernilai. 2.4.4. Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang
berkembang
belakangan.
Berkenaan
dengan
pemaknaan
pemberdayaan masyarakat, Ife,1995 dalam Hadi (2007) menyatakan bahwa :
konsep
16
Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system,’ and so on. Definisi tersebut di atas mengartikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. Di sisi lain Paul (1987) dalam Hadi (2007) mengatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan pada kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Pemberdayaan adalah sebuah proses di mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagi pengontrolan dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, 2008). Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain: pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan gambaran
seolah
berseberangan,
namun
seringkali
untuk
mewujudkan
kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu (Sumodiningrat, 1999). Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu (Sumodiningrat, 1999) ; 1)
Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun
17
daya itu dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. 2)
Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya
modern,
seperti
kerja
keras,
hemat,
keterbukaan
dan
kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting
disini
adalah
peningkatan
partisipasi
rakyat
dalam
proses
pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya, oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengamalan demokrasi. 3)
Memberdayakan
mengandung
pula
arti
melindungi.
Dalam
proses
pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurang-berdayaan dalam menghadapi yang kuat. Perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka
18
pemberdayaan
masyarakat
harus
mengikuti
pendekatan
sebagai
berikut
(Sumodiningrat, 1999) ; 1)
Upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan. Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
2)
Program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikut sertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain
itu,
pengalaman
sekaligus dalam
meningkatkan merancang,
kemampuan
masyarakat
melaksanakan,
dengan
mengelola,
dan
mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. 3)
Menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien.
2.4.5. Konsep Kelembagaan Sistem kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan, yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mempunyai peran yang sangat penting dalam memecahkam masalah-masalah nyata dalam pembangunan. Kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak pemilikan, aturan representasi atau batas yurisdiksi. Dalam dunia nyata, kelembagaan dapat menjadi
peubah
eksogen
dalam
proses
pembangunan,
dengan
demikian
kelembagaan menyebabkan perubahan. Di pihak lain, kelembagaan dapat menjadi peubah endogen dalam proses pembangunan, dengan demikian perubahan kelembagaan merupakan akibat dari perubahan pada sistem sosial yang lain. 3 Perbedaan pandangan mengenai definisi lembaga sebagai organisasi dan lembaga sebagai institusi serta definisi kelembagaan (institusi) masih diperdebatkan oleh para ahli sosiologi sampai sekarang. Berdasarkan definisi dan gambaran mengenai kelembagaan dan pengembangan kelembagaan menurut para ahli. Syahyuti (2003) merumuskan “kelembagaan” sebagai hubungan kerja yang 3
Hariadi Kartodihardjo “Kelembagaan: Pengertian dan Ruang Lingkup”
19
sistematis, teratur dan saling mendukung di antara beberapa lembaga, baik sejenis maupun tidak sejenis dan terikat dengan seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama dalam rangka mencapai satu atau lebih tujuan yang menguntungkan semua pihak yang ada di dalam kelembagaan itu sendiri dan keuntungan bagi pihak-pihak di luar kelembagaan tersebut. Pemahaman mengenai “pengembangan kelembagaan” adalah seperangkat metoda, strategi dan cara untuk memulihkan, memperbaiki dan meningkatkan sinkronisasi hubungan kerja dalam kelembagaan sehingga meningkat prestasinya. Selanjutnya Syahyuti menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) ciri Kelembagaan, yakni: 1). Kelembagaan cenderung tradisional dan berakar pada budaya setempat; 2). Kelembagaan berasal dari masyarakat itu sendiri; 3). Kelembagaan adalah organisasi yang sudah melembaga; 4). Kelembagaan bisa terdiri dari beberapa organisasi dan Kelembagaan (institusi) memberi tekanan pada lima hal, yaitu : 1). Berkenaan dengan aspek sosial, 2). Berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku individu dalam sistem sosial, 3). Berkaitan dengan perilaku atau seperangkat tata kelakuan atau cara bertindak yang mantap dan sudah berjalan lama dalam kehidupan masyarakat, 4). Ditekankan pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi dalam kehidupan masyarakat dan 5). Pelaksanaan kelembagaan diarahkan pada cara-cara yang baku untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam sistem sosial tertentu (Syahyuti, 2003). Rumusan operasional kelembagaan mungkin akan lebih mudah digambarkan dengan
contoh
bahwa
apabila
perangkat
komputer
dianalogkan
sebagai
kelembagaan maka software yang dapat menggerakkan komputer agar bisa digunakan adalah organisasi. Contoh lain: apabila tubuh manusia dianalogkan sebagai suatu kelembagaan maka mekanisme aliran darah atau sirkulasi darah atau mekanisme pencernaan adalah organisasinya. Dilihat dari komponen penyusunnya kelembagaan mempunyai 4 (empat) komponen yang saling terkait (Syahyuti, 2003), yakni: 1)
Person (orang). Orang-orang yang terlibat di dalam satu kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas.
2)
Kepentingan. Orang-orang tersebut sedang diikat oleh satu kepentingan/ tujuan,sehingga mereka terpaksa harus saling berinteraksi.
3)
Aturan. Setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam lembaga tersebut.
20
4)
Struktur. Setiap orang memiliki posisi dan peran yang harus dijalankannya secara benar.serta tidak bisa merubah-rubah posisinya dengan kemauan sendiri. Ada dua jalan utama bagaimana kelembagaan terbentuk, yaitu melalui aspek
kelembagaan atau aspek keorganisasian, melalui aspek kelembagaan terjadi pada kelembagaan yang bersifat pokok dan seolah tumbuh dengan sendirinya (crescive institution) dan bersifat alamiah, sedang melalui aspek keorganisasian disebabkan karena adanya kebutuhan yang dirasakan (inacted institution) dan bersifat rekayasa (Syahyuti, 2003). Kelembagaan yang terbentuk secara alamiah bermula dari pematangan suatu norma sebagai bagian pokoknya yang akan terbentuk secara bertahap mulai dari cara berperilau (usage), meningkat menjadi kebiasaan (folkways), menjadi tata kelakuan (mores) dan mantap ketika menjadi kebiasaan
(custom), inilah yang
disebut dengan pelembagaan (institutionalization), yaitu proses yang dialami oleh norma baru untuk menjadi bagian dari kelembagaan (Syahyuti, 2003),. Kelembagaan yang terbentuk melalui aspek keorganisasian, yaitu dengan membangun lebih dahulu strukturnya, pada umumnya dijumpai pada kelembagaan yang diintroduksikan dari luar, misalnya kelompok tani atau koperasi. Struktur kelembagaan dibentuk terlebih dahulu dengan orang-orang didudukan sebagai pengurus, sebelum para anggota termasuk pengurus paham tentang nilai, norma, hukum dan aturan yang harus dipahaminya agar dapat memainkan perannya dengan baik. Menurut Syahyuti (2003), dalam membangun struktur perlu dipertimbangkan 3 (tiga) komponen yakni: kompleksitas (complexity), formalitas (formalization) dan sentralitas (centralization). Suatu organisasi yang baru ada susunan perannya saja namun belum ada nilai-nilainya berarti organisasi tersebut belum melembaga, harus menuju kepada proses pelembagaan. Organisasi yang melembaga atau kelembagaan yang dibungkus dalam organisasi yang berisi kompleks nilai dan norma serta perilaku yang berpola merupakan bentuk ideal yang diinginkan. Ada 4 (empat) dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan (Mackay et al, 1998 dalam Syahyuti, 2003), yaitu : 1)
Kondisi Lingkungan Eksternal (the external environment) Lingkungan sosial dimana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh sesuatu kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan tersebut berupa kondisi
politik
dan
pemerintahan
(administrative
and
external
policies
environment), sosiokultural (sociocultural environment), teknologi (technological
21
environment),
kondisi
perekonomian
(economic
environment),
berbagai
kelompok kepentingan (stakeholders), infrastruktur, serta kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya alam (policy natural resources environment). Seluruh komponen
lingkungan
tersebut
perlu
dipelajari
dan
dianalisis
bentuk
pengaruhnya terhadap kelembagaan yang dipelajari. Sebagian memiliki pengaruh yang lebih kuat dan langsung, sebagian tidak. Implikasi kebijakan yang disusun dapat dialamatkan kepada lingkungan tersebut, jika disimpulkan telah menjadi faktor penghambat terhadap operasional suatu kelembagaan. 2)
Motivasi Kelembagaan (institutional motivation). Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri, terdapat empat aspek yang bisa dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yakni; sejarah kelembagaan (institutional history), misi yang diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan berperilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut (incentive schemes). Suatu fakta sosial adalah fakta historik, sejarah perjalanan kelembagaan merupakan pintu
masuk
yang
baik
untuk
mengenali
secara
cepat
aspek-aspek
kelembagaan yang lain. 3)
Kapasitas Kelembagaan (institutional capacity) Kapasitas Kelembagaan dilihat bagaiman kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya sendiri. Kemampuan tersebut diukur dari 5 (lima) aspek, yakni; strategi kepemimpinan (strategic leadership); perencanaan program (progran planning), manajemen dan pelaksanaannya (management and execution); alokasi sumberdaya yang dimiliki (resource allocation) dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners, government policymakers dan external donors.
4)
Kinerja Kelembagaan (institutional performance) Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuan-tujuannya, efisiensi penggunaan sumberdaya dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan di luarnya. Terkesan di sini bahwa kalkulasi secara ekonomi merupakan prinsip yang menjadi latar belakangnya. Untuk mengukur keefektifan dan efisiensi misalnya dapat digunakan analisis kuantitatif sederhana, misalnya dengan membuat rasio antara perolehan yang seharusnya dengan yang aktual tercapai serta rasio biaya dengan produktivitas.
22
2.4.6
Teori Kelompok Kelompok menurut Hare (1962) merupakan suatu kesatuan sosial yang
terdiri dari sejumlah individu yang mempunyai hubungan saling tergantung sesuai dengan status dan perannya. Secara tertulis ada norma yang mengatur tingkah laku anggota. Ciri-ciri suatu kelompok menurut Hare (1962): 1). Para anggota kelompok selalu mengadakan hubungan tatap muka secara berkala; 2). Mempunyai tujuan, perasaan dan sikap bersama; 3). Memiliki norma; 4). Mempunyai status; 5). Memiliki rasa ketergantungan satu dengan yang lainnya. Suatu inovasi yang diperkenalkan melalui kelompok akan berbeda dengan individu, dimana di dalam kelompok menurut Lionberger (1968) adanya tekanantekanan
untuk
bertindak
sesuai
dengan
harapan
kelompok.
Kelompok
mengembangkan norma-norma dan mempengaruhi anggota untuk berubah. Ada proses komunikasi kelompok mengawali setiap tindakan tersebut. Menurut Soekanto (1982), suatu proses komunikasi kelompok ditandai dengan interaksi sosial dan dinamika kelompok. Interaksi antara kebutuhan perorangan, tujuan dan peranan kelompok, norma-norma dan konflik dalam berfungsinya kelompok di antara anggota-anggota yang bergabung didalamnya dinamakan dinamika kelompok (Pace dan Faules, 1998). Dinamika kelompok adalah kekuatan-kekuatan di dalam kelompok yang menentukan perilaku anggota kelompok. Menurut Carwright dan Zander (1968) dinamika kelompok adalah: 1)
Suatu cara sebuah kelompok diorganisasikan dan dikelola. Ideologi ini menekankan pentingnya kepemimpinan yang demokratik, partisipasi anggota dalam keputusan dan memperoleh/mencapai tujuan kelompok maupun individu melalui kegiatan kelompok yang kooperatif.
2)
Sejumlah teknik seperti role playing, membicarakan desas-desus (buzz sessions), pengamatan serta umpan balik dari proses kelompok dan keputusan kelompok.
3)
Mencari keterangan untuk memperoleh pengetahuan tentang sifat dasar kelompok, aturan-aturan mengenai perkembangan mereka dan hubungan masing-masing individu dalam kelompok dengan individu lainnya, atau dengan kelompok lain dan institusi/lembaga yang lebih besar. Menelaah dinamika kelompok berarti menelaah kekuatan-kekuatan yang
muncul dari berbagai sumber di dalam kelompok. Kekuatan-kekuatan didalam kelompok tersebut menurut Cartwright dan Zander (1968) adalah:
23
1)
Tujuan kelompok, merupakan gambaran tentang sesuatu hasil yang diharapkan dicapai oleh kelompok. Anggota kelompok berbuat sesuai tujuan kelompok karena kelompok mempunyai tujuan yang jelas dan anggota kelompok mengetahui arah kelompok.
2)
Struktur kelompok, yaitu hubungan antara individu di dalam kelompok yang disesuaikan dengan posisi dan peranan masing-masing individu. Kelompok yang telah memiliki struktur yaitu kelompok yang telah memiliki hubungan yang stabil antar anggota kelompok
3)
Fungsi tugas, adalah segala kegiatan yang harus dilakukan kelompok sehingga tujuannya tercapai.
4)
Pembinaan
kelompok,
dimaksudkan
sebagai
usaha
mempertahankan
kehidupan kelompok. 5)
Kekompakan kelompok. Anggota yang tingkat kekompakkannya tinggi lebih terangsang untuk aktif mencapai tujuan kelompok dibandingkan anggota kelompok yang tingkat kekompakkannya rendah.
6)
Suasana kelompok. Kelompok mempunyai suasana yang menentukan reaksi anggota terhadap kelompoknya. Suasana kelompok yang dimaksud yaitu rasa hangat dan setia kawan, rasa takut dan saling mencurigai, sikap saling menerima dan sebagainya.
7)
Tekanan pada kelompok, adalah segala sesuatu yang menimbulkan tegangan pada kelompok untuk mendapatkan dorongan berbuat sesuatu dan tercapainya tujuan kelompok.
8)
Efektivitas kelompok, dilihat dari segi produktivitas, moral dan kepuasan anggota. Selanjutnya Pace dan Faules (1998) mengatakan bahwa ada dua tujuan
besar interaksi anggota dan dinamika kelompok yakni: 1)
Untuk mempertahankan kelompok atau tim agar tetap utuh dan berfungsi lancar (untuk mempertahankan kelompok yang amat padu).
2)
Untuk mempertahankan agar kelompok atau tim melaksanakan pekerjaan yang mereka hadapi (untuk mempertahankan sikap berorientasi tugas melalui pendekatan sistematis terhadap pemecahan masalah).
2.4.7
Teori Koalisi Koalisi dalam
teori politik
ialah penggabungan sekelompok parpol yang
berkompetisi, secara bersama-sama memiliki persepsi tentang kepentingan, atau
24
dalam menghadapi ancaman serta dalam penggalangan energi secara kolektif (Heywood 2002 dalam Nurbaya, 2004). Menurut Mason (2011) koalisi terjadi ketika para anggota kelompok mengatur untuk mendukung mereka tentang isu tertentu. Koalisi merupakan respon atas isu tertentu. Koalisi dibentuk untuk mempertahankan dan meningkatkan kepentingan diri sendiri, orang-orang dari individu atau kelompok dengan tujuan mencapai keseimbangan kekuatan yang menguntungkan serta memadai untuk keuntungan anggota koalisi itu.
Definisi yang lebih lengkap adalah kelompok yang dibentuk
untuk menyusun strategi yang akan menguntungkan mereka yang langsung terkena dampak. Adapun karakteristik umum yang ditemukan dalam koalisi, yakni: 1). Bertindak sebagai anggota kelompok; 2). Mempunyai tujuan tertentu; 3). Berisi sekelompok individu berinteraksi; 4). Independen dari struktur formal organisasi; 5). Tidak memiliki struktur formal; 6). Berorientasi pada masalah yang spesifik untuk memajukan tujuan kelompok; 7). Mempunyai persepsi sama diantara anggota; 7). Memiliki fokus eksternal. Koalisi merupakan sebuah basis yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan yang sifatnya sementara. Bentuk lain dari koalisi adalah aliansi dan geng yang merupakan sebuah jaringan yang berbasis masyarakat umum yang bekerjasama untuk mengejar kepentingan diri sendiri (Mason, 2011). Selanjutnya menurut Mason (2011) keberadaan sebuah koalisi di sebakan oleh beberapa kodisi, yakni: 1). Harus ada satu masalah atau isu yang memerlukan tindakan atau sikap bersama karena persepsi yang sama terhadap masalah atau isu tersebut; 2). Mempunyai keyakinan bahwa mereka akan berhasil dengan membangun sebuah koalisi; 3). Mempunyai kesepakatan bahwa tindakan atau sikap harus dilakukan bersama-sama. Ketika respon kolektif ini mengarah ke tindakan terhadap suatu masalah atau isu dan berhasil berdasarkan tujuannya, maka koalisi akan dapat tumbuh dengan cepat. Koalisi yang berhasil mencapai tujuan akan menjadi koalisi yang berkuasa dan berpengaruh dalam sebuah sistem sosial. Pada umumnya koalisi terbentuk berkaitan dengan masalah distribusi sumberdaya alam yang disebabkan karena keterbatasan sumberdaya alam tersebut atau distribusi sumberdaya alam yang tidak adil (Mason, 2011) Berkaitan dengan pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo para penambang, penyuling dan pedagang membentuk sebuah koalisi yang lebih besar organisasinya dibanding dengan kelompoknya. Koalisi ini terbentuk dengan motivasi utama bidang ekonomi. Dengan terbentuknya koalisi ini hasil minyak mentah dapat
25
diolah menjadi solar dan minyak tanah sehingga minyak mentah mempunyai nilai tambah secara ekonomi. 2.4.8 Analisis Stakeholders Stakeholders
merupakan
pihak-pihak
yang
berkepentingan
terhadap
pertambangan rakyat, yang mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh tujuan pengelolaan pertambangan rakyat
tersebut, baik individu, kelompok ataupun
organisasi. Sementara itu, Eden dan Ackermann dalam Bryson (2004) menyebutkan bahwa stakeholders merupakan orang atau kelompok yang mempunyai power (kekuatan) untuk mempengaruhi secara langsung masa depan suatu organisasi. Dalam menentukan para stakeholders, harus dilakukan secara teliti, hal ini dikarenakan berpotensi mengesampingkan kelompok yang sebenarnya relevan dengan permasalahan utama, yang berakibat pada biasnya hasil penelitian. Oleh karena itu Reed et al (2009) menyebutkan bahwa analisis stakeholders perlu dilakukan dengan: 1) mendefinisikan aspek-aspek fenomena alam dan sosial yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau tindakan; 2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau mempengaruhi fenomena tersebut; dan 3) memprioritaskan individu dan kelompok untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Lebih lanjut,
analisis
stakeholders mempelajari bagaimana manusia
berhubungan satu sama lain dalam pemanfaatan suberdaya alam dengan cara memisahkan peran stakeholders ke dalam rights (hak), responsibilities (tanggung jawab), revenues (pendapatan) serta relationship (menilai hubungan antar peran tersebut) (Mayers 2005; Reed et al. 2009). Untuk mengetahui karakteristik permasalahan pengelolaan pertambangan rakyat dari aspek pengaruh dan kepentingannya, dilakukan dengan analisis stakeholders. Menurut Reed et al (2009), analisis stakeholders dilaksanakan dengan cara;
1).
Melakukan
identifikasi
stakeholders;
2).
Mengelompokkan
dan
membedakan antar stakeholders; 3). Menyelidiki hubungan antar stakeholders. Identifikasi stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui permasalahan pengelolaan pertambangan rakyat. Jika pembatasan stakeholders telah ditetapkan sejak awal, maka stakeholders memang dapat lebih mudah teridentifikasi, tetapi hal ini mengandung resiko bahwa beberapa stakeholders akan terabaikan, dan tentu saja identifikasi ini menjadi tidak relevan lagi.
26
Setelah para stakeholders
teridentifikasi, maka langkah selanjutnya yaitu
mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders. Menurut Eden dan Ackermann (1998) yang dikutip oleh Bryson (2004) dan Reed et al (2009) metode analisis yang digunakan yaitu menggunakan matriks pengaruh dan kepentingan dengan mengklasifikasikan stakeholders ke dalam key players, context setters, subjects, dan crowd. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan (power) yang dimiliki stakeholders untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan stakeholders di dalam pencapaian output dan tujuan (Hartrisari 2007; Reed et al. 2009). Key players merupakan stakeholders yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap permasalahan dan konflik pengelolaan sumur tua. Context setters memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi resiko yang signifikan sehingga harus dipantau. Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada, tetapi mereka dapat menjadi berpengaruh jika membentuk aliansi dengan stakeholders lainnya. Crowd merupakan stakeholders yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan. 2.4.9
Analisis Triangulasi. Triangulasi adalah istilah yang diperkenalkan oleh N.K.Denzin
dengan
meminjam peristilahan dari dunia navigasi dan militer, yang merujuk pada penggabungan berbagai metode dalam suatu kajian tentang satu gejala tertentu Moleong (2010). Keandalan dan kesahihan data dijamin dengan membandingkan data yang diperoleh dari satu sumber atau metode tertentu dengan data yang di dapat dari sumber atau metode lain. Konsep ini dilandasi asumsi bahwa setiap bias yang inheren dalam sumber data, peneliti, atau metode tertentu, akan dinetralkan oleh sumber data, peneliti atau metode lainnya. Istilah triangulasi yang dikemukakan oleh Denzin dikenal sebagai penggabungan antara metode kualitatif dan metode kuantitatif yang digunakan secara bersama-sama dalam suatu penelitian. Metode penelitian dengan teknik triangulasi digunakan dengan adanya dua asumsi yaitu yang pertama, pada level pendekatan, teknik triangulasi digunakan karena adanya keinginan melakukan penelitian dengan menggunakan dua metode sekaligus yakni, metode penelitian kualitatif dan metode penelitian kuantitatif. Hal ini
27
didasarkan karena masing-masing metode memiliki kelemahan dan kelebihan tertentu, dan memiliki pendapat dan anggapan yang berbeda dalam memandang dan menanggapi suatu permasalahan. Suatu masalah jika dilihat dengan menggunakan suatu metode akan berbeda jika dilihat dengan menggunakan metode yang lain, oleh karena itu akan sangat bermanfaat apabila kedua sudut pandang yang berbeda tersebut digunakan secara bersama-samaa dalam menanggapi suatu permasalahan sehingga diharapkan dapat memperoleh hasil yang lebih lengkap dan sempurna. Dalam penelitian dengan mengunakan metode triangulasi, peneliti dapat menekankan pada metode kualitaitif, metode kuantitaif atau dapat juga dengan menekankan pada kedua metode. Menurut Moleong (2010), apabila peneliti menekankan pada metode kualitatif, maka metode kuantitatif dapat digunakan sebagai fasilitator dalam membantu melancarkan kegiatan penelitian, dan sebaliknya jika menekankan metode kuantitatif. Sebagai contoh proses kerja triangulasi yakni, dalam suatu penelitian dengan menggunakan wawancara mendalam dan observasi partisipasi untuk pengumpulan data, perlu dipastikan terhimpunnya catatan harian setiap harinya dari wawancara dan observasi tersebut. Kemudian dilakukan uji silang terhadap materi catatancatatan harian tersebut untuk memastikan tidak ada informasi yang bertentangan antara catatan harian wawancara dan observasi. Adapun teknik triangulasi yang banyak digunakan dalam pemeriksaan keabsahan data adalah pemeriksaan melalui sumber
lainnya.
Menurut
Denzin
(1978)
dalam
Moleong
membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik
(2010),
Denzin
pemeriksaan yang
memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajad kepercayaan suatu informasi yang diperoleh dengan waktu dan alat yang berbeda. Dalam triangulasi dengan sumber yang terpenting adalah mengetahui adanya alasan-alasan terjadinya perbedaan tersebut. Sedangkan triangulasi dengan metode terdapat dua strategi yakni, pengecekan derajad kepercayaan penemuan hasil
penelitian
beberapa
teknik
pengumpulan
dan
pengecekan
derajad
kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. Triangulasi dengan memanfatkan penggunaan penyidik atau pengamat yang lainnya
membantu
mengurangi
penyimpangan
dalam
pengumpulan
data.
Sedangkan triangulasi dengan teori berdasarkan anggapan bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajad kepercayaannya dengan satu atau lebih teori (Lincoln dan Guba 1978, dalam Moleong, 2010).
28
Dalam mengecek keabsahan atau validitas data menggunakan teknik triangulasi. data atau informasi dari satu pihak harus dicek kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain, misalnya dari pihak kedua, ketiga dan seterusnya dengan menggunakan metode yang berbeda-beda. Tujuannya ialah membandingkan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh dari berbagai pihak, agar ada jaminan tentang tingkat kepercayaan data, cara ini juga mencegah bahaya-bahaya subyektif (Moleong, 2010). Triangulasi ini merupakan teknik yang didasari pola pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif, artinya untuk menarik kesimpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang. Dari beberapa cara pandang tersebut akan bisa dipertimbangkan beragam fenomena yang muncul, dan selanjutnya dapat ditarik kesimpulan yang lebih mantap dan lebih bisa diterima kebenarannya (Moleong, 2010).
29
III.
3.1
M ETODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan,
Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur dan direncanakan Bulan Februari sampai dengan Mei 2011. 3.2
Tahapan Penelitian Dalam penelitian ini dibagi dalam 3 (tiga) tahap penelitian, seperti dalam
gambar 3 di bawah ini: Mulai 1.
Studi Pustaka 2. Survey Lapangan
TAHAP PERTAMA
1) Penetapan Tujuan Penelitian; 2) Formulasi Permasalahan
Karakteristik minyak bumi,mekanisme akses, implementasi kebijakan dan Identifikasi Masalah
TAHAP KEDUA
Analisis Isi Kebijakan,Akses, Trianggulasi dan Stakeholders
TAHAP KETIGA
Rekomendasi Strategi Pengelolaan
Selesai
Gambar 3 3.3
Diagram Alir Tahapan Penelitian Analisis Masalah dan Strategi Pengelolaan Sumur Tua di Blok Cepu Desa Wonocolo.
Teknik Pengumpulan Data. Tehnik
pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
beberapa cara: 1) Studi Pustaka, yaitu pengumpulan data-data sekunder berupa dokumen dari berbagai sumber yang berkaitan dengan penelitian ini dan sumbersumber lain yang terkait dan relevan. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen hasil studi/penelitian terdahulu (jika ada), peraturan perundang-undangan dan data pendukung lainnya sebagai kompilasi kebijakan dari berbagai sektor baik nasional maupun lokal yang dikeluarkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dari Dinas/Instansi yang terkait
30
2)
3)
Survey/Observasi Lapangan, yaitu melakukan observasi langsung di lokasi penelitian untuk mendapatkan situasi kondisi fisik/gambaran umum lokasi penelitian. Wawancara mendalam untuk memperoleh data primer, yaitu dengan melakukan pengkajian bersama dengan para stakeholders yang terkait untuk mendapatkan data-data dan informasi yang mendukung dalam penelitian ini.
Tabel 1 Jenis Dan Sumber Data Sekunder yang Diperlukan dalam Penelitian No 1
Jenis Data Peraturan perundangan-undangan yang terkait
Sumber Data Pemda TK II
masalah pertambangan rakyat 2
Sejarah Kawasan Pertambangan
Dinas Pertambangan
3
Peta Adiministrasi dan Peta Pertambangan
Dinas Pertambangan
4
Data Kebijakan terkait pertambangan yang telah di
Pemda TK II
implementasikan 5
Monografi Kecamatan/Desa
Dispenda TK II
6
Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat
Kantor Camat/Desa
7
Kasus-kasus yang pernah terjadi berkaitan dengan
Dinas Pertambangan
pertambangan rakyat
Dan Kepolisian
Data Penunjang Lainnya
Instansi yang terkait
8
3.4
Tehnik Pengambilan Contoh Teknik pengambilan contoh untuk data primer dilakukan secara sengaja
(Purpossive Sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah masyarakat yang berada di sekitar kawasan dan merupakan pelaku (individu atau lembaga) yang mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan pertambangan rakyat. Juga dilakukan pengamatan/observasi langsung terhadap objek penelitian di lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi secara riil. Teknik pengambilan contoh yang digunakan untuk menganalisis kepentingan dan pengaruh stakeholders dilakukan dengan teknik snowball sampling. Penentua jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 15 responden dengan teknik snowball tabel 2.
31
Tabel 2 Stakeholders dalam Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo No
Stakeholders
Keterangan
1
Penambang
Dipengaruhi
2
Penyuling
Dipengaruhi
3
Pedagang/pedagang
Dipengruhi
4
Kepala Desa Wonocolo
Mempengaruhi
5
Camat Kedewan
Mempengaruhi
6
PERTAMINA
Mempengaruhi
7
BAPPEDA
Mempengaruhi
8
Kantor Lingkungan Hidup
Mempengaruhi
9
Dinas Pertambangan
Mempengaruhi
10
Biro Ekonomi
Mempengaruhi
11
Polsek Kedewan
Mempengaruhi
12
Koperasi Bogasasono
Mempengaruhi/dipengaruhi
13
DPRD II
Mempengaruhi
14
Pengusaha
Dipengaruhi
15
LSM Merah Putih
Mempengaruhi
Untuk pengambilan contoh pada wawancara mendalam digunakan tehnik purposive sampling dengan responden yang dipilih secara hati-hati dengan persyaratan tertentu yaitu status sosial atau pekerjaan yang terkait dengan pertambangan rakyat dan mempunyai komitmen pada pengelolaan sumur tua serta responden mau terbuka dalam menerima pendapat responden lain (Warner 1997 dan Rijsberman 1999 dalam Abbas 2005). 3.5
Teknik Analisis Data 3.5.1. Analisis Isi Kebijakan Metode analisis data yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab masalah pengelolaan pertambangan rakyat dengan menganalisis isi kebijakan yang berlaku untuk melihat implementasi dan implikasinya di lapangan dengan cara melakukan studi pustaka dan wawancara terhadap responden. 3.5.2. Analisis Stakeholders Untuk mengetahui karakteristik permasalahan pengelolaan pertambangan rakyat dari aspek pengaruh dan kepentingannya, dilakukan dengan analisis stakeholders. Menurut Reed et al. (2009), analisis stakeholders dilaksanakan
32
dengan cara: 1) melakukan identifikasi stakeholders, 2) mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders, dan 3) menyelidiki hubungan antar stakeholders Identifikasi stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui konsep pengelolaan pertambangan rakyat. Jika pembatasan stakeholders telah ditetapkan sejak awal, maka stakeholder memang dapat lebih mudah teridentifikasi, tetapi hal ini mengandung resiko bahwa beberapa stakeholders akan terabaikan, dan tentu saja identifikasi ini menjadi tidak relevan lagi. Setelah para stakeholders
teridentifikasi, maka langkah selanjutnya yaitu
mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders. Menurut Eden dan Ackermann (1998) yang dikutip oleh Bryson (2004) dan Reed et al. (2009) metode analisis yang digunakan yaitu menggunakan matriks pengaruh dan kepentingan dengan mengklasifikasikan stakeholders ke dalam key players, context setters, subjects, dan crowd. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan (power) yang dimiliki stakeholders untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan stakeholders di dalam pencapaian output dan tujuan (Hartrisari 2007; Reed et al. 2009). Penyusunan matriks pengaruh dan kepentingan dilakukan atas dasar pada deskripsi pernyataan responden yang dinyatakan dalam ukuran kuantitatif (skor), dan selanjutnya dikelompokkan menurut kriterianya. Penetapan skoring pertanyaan mengacu pada model yang dikembangkan oleh Abbas (2005) yaitu pengukuran data berjenjang lima yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Ukuran Kuantitatif Terhadap Kepentingan Dan Pengaruh Stakeholders Skor
Kriteria
Keterangan Kepentingan Stakeholder
5
Sangat tinggi
Sangat tergantung pada Pertambangan Rakyat
4
Tinggi
Ketergantungan tinggi pada Pertambangan Rakyat
3
Cukup tinggi
Cukup tergantung pada Pertambangan Rakyat
2
Kurang tinggi
Ketergantungan pada Pertambangan Rakyat
1
Rendah
Tidak tergantung pada Pertambangan Rakyat Pengaruh Stakeholders
5
Sangat Tinggi
Jika responnya berpengaruh nyata terhadap aktifitas stakeholder lain
4
Tinggi
Jika responnya berpengaruh besar terhadap aktifitas stakeholder lain
3
Cukup tinggi
Jika responnya cukup berpengaruh terhadap aktifitas stakeholder lain
2
Kurang tinggi
Jika responnya berpengaruh kecil terhadap aktifitas stakeholder lain
1
Rendah
Jika responnya tidak berpengaruh terhadap aktifitas stakeholder lain
33
Skoring untuk mengetahuai tingkat kepenting Stakeholders terhadap fungsi dan manfaat sumur tua di Desa Wonocolo memeperhatikan lima aspek, yakni: Tabel 4 Tingkat Kepentingan Stakeholders Terhadap Pengelolaan Sumur Tua Aspek Fungsi Sumur Tua Desa Wonocolo No
Stakeholders
Kebijakan
Ekonomi
Ekologi
Sosial
Budaya
Jumlah
1
Penambang
____
____
____
____
____
____
2
Penyuling
____
____
____
____
____
____
3
Perengkek/Pedagang
____
____
____
____
____
____
4
Kepala Desa Wonocolo
____
____
____
____
____
____
5
Camat Kedewan
____
____
____
____
____
____
6
PERTAMINA
____
____
____
____
____
____
7
BAPPEDA
____
____
____
____
____
____
8
Kantor Lingkungan Hidup
____
____
____
____
____
____
9
Dinas Pertambangan
____
____
____
____
____
____
10
Biro Ekonomi
____
____
____
____
____
____
11
Polsek Kedewan
____
____
____
____
____
____
12
Koperasi Bogasasono
____
____
____
____
____
____
13
Paguyuban Penambang
____
____
____
____
____
____
14
Pengusaha
____
____
____
____
____
____
15
LSM Merah Putih
____
____
____
____
____
____
Skor: 1 = Rendah, 2 = Kurang Tinggi, 3 = Cukup Tinggi, 4 = Tinggi, 5 =. Sangat Tinggi
Untuk mengetahui besarnya tingkat pengaruh masing-masing stakeholders terhadap pengelolaan sumur tua, maka perlu diketahui informasi terhadap kekuatan stakeholders dalam mempengaruhi stakeholders lain. Pengaruh merupakan kekuatan stakeholders tertentu untuk mempengaruhi stakeholders lainnya karena kekuatan
uang/kekayaan,
opini,
informasi,
massa,
peraturan/sanksi,
atau
kepemimpinan. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan interpretasi terhadap pengaruh stakeholders menurut instrumen dan sumber kekuatannya. Tabel 5 menunjukan kriteri yang digunakan untuk melakukan interpratasi pengaruh stakholders terhadap stakeholders lainnya.
34
Tabel 5 Instrumen dan Sumber Kekuatan Stakeholders Instumen Kekuatan Condign Power Compensatory Power Conditioning Power
Pengertian Mempunyai kekuatan atau kekuasaan karena mempunyai jabatan dalam sebuah indtitusi/lembaga pemerintahan Mempunyai kekuatan atau kekuasaan sebagai kompensasi dari peran yang dalam suatu komunitas Mempunyai kekuatan karena mempunyai kelebihan atau di percaya oleh suatu komunitas karena jasa dan kelebihannya
Sumber Kekuatan Personality Organitation
Pengertian Mempunyai kekuatan atau kekuasaan karena karisma, kekayaan atau karena tingkat pendidikan/pengetahuan Mempunyai kekuatan atau kekuasaan karena perannya disuatu organisasi yang diakui oleh sebuah komunitas
Tabel 6 Tingkat Pengaruh Stakeholders Terhadap Pertambangan Rakyat Minyak Bumi di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro Instrumen Kekuasaan No
Stakeholders
Sumber Kekuatan
Condign
Compen satory
Condit ioning
Person ality
Organitat ion
Jumlah
1
Penambang
____
____
____
____
____
____
2
Penyuling
____
____
____
____
____
____
3
Perengkek/Pedagang
____
____
____
____
____
____
4
Kepala Desa Wonocolo
____
____
____
____
____
____
5
Camat Kedewan
____
____
____
____
____
____
6
PERTAMINA
____
____
____
____
____
____
7
BAPPEDA
____
____
____
____
____
____
8
Kantor Lingkungan Hidup
____
____
____
____
____
____
9
Dinas Pertambangan
____
____
____
____
____
____
10
Biro Ekonomi
____
____
____
____
____
____
11
Polsek Kedewan
____
____
____
____
____
____
12
Koperasi Bogasasono
____
____
____
____
____
____
13
Paguyuban Penambang
____
____
____
____
____
____
14
Pengusaha
____
____
____
____
____
____
15
LSM Merah Putih
____
____
____
____
____
____
Skor: 1 = Rendah, 2 = Kurang Tinggi, 3 = Cukup Tinggi, 4 = Tinggi, 5 =. Sangat Tinggi
Berdasarkan data jawaban stakeholders yang teridentifikasi terhadap tingkat kepentingan dan pengaruhnya, dilakukan skoring menggunakan Microsoft Excel untuk menentukan angka pada setiap indikatornya yang kemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat. Hasil analisis ini diilustrasikan seperti Gambar 4.
35
Gambar 4 Matriks pengaruh dan kepentingan (diadaptasi dari Eden Ackermann 1998 dalam Bryson 2004 dan Reed et al 2009).
dan
3.5.3. Analisis Trianggulasi Menurut (Denzin, 1978 dalam Moleong 2010), membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka ditempuh langkah: 1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; 2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; 3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; 4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas; 5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang terkait. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini fenomenologis. Dikatakan demikian karena pendekatan kualitatif pada penelitian ini mempunyai ciri-ciri antara lain: mempunyai setting yang aktual, peneliti adalah instrumen kunci, bersifat deskriptif, menekan pada proses, analisis data bersifat induktif dan pemaknaan tiap even adalah merupakan perhatian yang esensial dalam penelitian ini (Moleong, 2010).
36
3.6. Metodologi Penelitian Tabel 7 Sumber dan Teknik Analisis Data Berdasarkan Tujuan Penelitian Tujuan penelitian
Variabel yang diukur
Mengetahui karakteristik SDA (minyak bumi) dan mekanisme akses terhadap SDA (minyak bumi) serta implementasi kebijakan yang terkait dengan pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo.
Kejelasan hak dan tanggung-jawab stakeholders
Identifikasi masalah yang terkait pengusahaan pertambangan minyak bumi sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo
Pengaruh dan kepentingan stakeholders
Merumuskan konsep alternatif strategi yang tepat dan komprehensif dalam pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo.
Kesesuaian strategi pengelolaan
Sumber data Stakehol ders Pustaka
Teknik pengumpulan data Observasi dan wawancara mendalam
Implementasi kebijakan yang terkait
Teknik analisis data Analisis isi kebijakan Analisis akses Analisis Triangulasi
Output yang diharapkan Mengetahui kondisi existing penerapan kebijakan dalam sektor pertambangan. Mengetahui mekanisme akses terhadap sumur tua Mengetahui karakteristik SDA (minyak bumi)
Stakehol ders Pustaka
Hasil olah data
Observasi, studi literatur dan wawancara mendalam
Analisis Triangulasi dan stakehol ders
Melihat bobot kepentingan dan pengaruh stakeholders dan Formulasi masalah
Deskriptif kualitatif
Analisis diskriptif
Rumusan strategi pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi pada sumur tua di Blok Cepu Desa Wonocolo..
37 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Desa Wonocolo 4.1.1 Kondisi Fisik Desa Wonocolo secara administrasi termasuk kedalam wilayah
Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro, berjarak ±26 Km di sebelah Timur Laut Kota Cepu, merupakan daerah antiklin dengan panjang ±5 Km dan lebar ±2 Km dengan luas wilayah 11.7 Km2 (Kecamatan kedewan dalam angka, 2010). Wilayah ini dominasi oleh lahan kering (90%), hal ini menyebabkan sulitnya mengembangkan pertanian secara intensif. Kekurangan air di musim kemarau adalah persoalan yang dihadapi warga Desa setiap tahunnya. Aksesibilitas menuju Desa Wonocolo dapat ditempuh melalui jalan dari kota Cepu dengan jarak ± 26 Km dan dari Kabupaten Tuban dengan jarak ±52 Km. Tabel 8 Pola Pemanfaatan Lahan dan Sarana Prasarana Desa Wonocolo Uraian A. -
Luas Desa (Ha): Sawah Ladang Pekarangan Hutan Penggunaan Lain
B. -
Sarana dan Prasarana Jalan Desa aspal (Km) Jembatan Sekolah Tempat Ibadah Lain-lain
Jumlah 1.137 4 93 43 993 4 8 2 2 6 1
%
Keterangan
0,3 8,3 3,8 87,3 0,3
Sekolah Dasar 1 Mesjid, 5 Mushola Balai Pertemuan Desa
Sumber: Kecamatan Kedewan dalam Angka, 2009
Gambar 5 Kondisi Fisik Desa Wonocolo (Sumber: Hasil survey, 2011)
38
4.1.2 Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya Penduduk Desa Wonocolo tidak mempunyai pekerjaan tetap dan bekerja di sektor non formal sebagai tukang kayu, tukang batu, pedagang dan petani/buruh tani (bagi yang karena tidak memiliki lahan pertanian). Salah satu mata pencaharian penduduk Desa Wonocolo adalah memanfaatkan sumur tua peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Pemanfaatan sumur tua tersebut menerapkan sistem bagi hasil berdasarkan jumlah sumur yang dikelola dan jumlah anggota kelompok. Hal ini menyebabkan tingkat pendapatan antar anggota dalam kelompok maupun dengan kelompok lainnya bervariasi. Tingkat pendapatan dipengaruhi oleh potensi minyak pada sumur tua. Oleh karena itu usaha pemanfaatan minyak dari sumur tua di desa Wonocolo merupakan usaha yang tidak pasti, karena sangat di pengaruhi oleh jumlah cadangan minyak bumi yang masih tersedia didalam sumur tua. Tabel 9 Jenis Pekerjaan dan Jumlah Penduduk Desa Wonocolo. Uraian
Jumlah
A. Penduduk - Laki-laki - Perempuan
874 880
A. -
13 229 37 130
Pekerjaan PNS Petani Pedagang Penambang
Sumber: Kecamatan Kedewan dalam Angka, 2009
Keterangan
39
4.1.3
Peta Desa Wonocolo
Peta Tanpa Skala
Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro(Sumber: Kecamatan Kedewan Dalam Angka, 2010). 4.2
Peta Pertambangan Blok Cepu
Wonocolo
:
Gambar 7 Peta Wilayah Kerja PT. PERTAMINA Region Jawa Area Cepu (Sumber: Pertamina EP Region Jawa Area Cepu, 2006)
40 Tabel 10. Sejarah Pengelolaan Lapangan Minyak Blok Cepu No
Periode
1 2 3 4 5 5 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1888 1893 1911 1942 1948 1950 1957 1961 1966 1978 1984 1988 1995 1998 2000 2003 2005-
Pengelola Deutche Petroleum Maatschappij (DPM) Kegiatan Eksplorasi pertama di Cepu Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) Jepang Perusahaan tambang Minyak Nasional (PTMN) Administrasi Sumber Minyak (ASM Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMRI) PN Permigan Pusdik Migas (Bagian Lemigas-Jakarta) Pusat Pengembangan Tenaga Perminyakan dan Gas Bumi (PPTMGBLEMIGAS)
Pusat Pengembangan Tenaga Perminyakan dan Gas Bumi (PPT Migas) PERTAMINA Unit EP III Cepu PERTAMINA Operasi EP Cepu PERTAMINA Daerah Operasi Hulu Cepu PERTAMINA Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Timur PT PERTAMINA (Persero) Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Timur
PT PERTAMINA EP Region Jawa Area Cepu
Sekarang
Sumber: Pertamina EP Region Jawa Area Cepu, 2006
Dari data Bappeda dalam Kabupaten Bojonegoro dalam Data Makro 2009 diperoleh data mengenai pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo dan disajikan pada tabel 11. Tabel 11 Jumlah Sumur Tua dan Dapur Sulingan di Desa Wonocolo. Uraian A. Sumur Aktip B. Sumur Tidak Aktif - Rusak - Belum Produksi - Belum Ketemu - Sumur mengambang C. Jumlah Dapur Suling D. Kelompok Penambang E. Kelompok Penyuling F. Penambang Berbadan Hukum/Perusahaan swasta
Jumlah 110 223 36 45 31 1 150
Keterangan
- Sumur dikelola Perusahaan = 8 - Sumur di kelola Masyarakat = 102
46 115 1
Sumber : Kabupaten Bojonegoro dalam Data Makro 2009
Sumur aktif dalam tabel 11 di atas terdiri dari: A.
Sumur yang dikelola perusahaan (PT. Trifika) sebanyak 8 (delapan) sumur: W144, W178, W30, W174, W107, W 191, W 227 dan D 159.
B.
Sumur yang dikelola masyarakat sebanyak 102 (seratus dua) sumur: W114, W192, W28, W195, W03, W57,W155, W53, W67, W23, W34, W186, W197,
41 W101, W51, W117, W228, W143, W160, W189, W 219, W26, W41, W167, W44, W62, W172, W220, W97, W129, W116, W42, W98, W157, W179, W135, W161, W204, W33, W162, W233, W64, W141, W47, W127, W145, W214, W231, W187, W188, W99, W133, W95, W109, W146, W66, W100, W148, W19, W22, W37, W108, W184, W190, W121, W138, W202, W15, W25, W65, W03, W05, W175, W59, W152, W217, W206, W234, W208, W168, W47, W181, W129, W139, W153, W04, W40, W02, W04, W05, W08 W77, W87, W81, W82, W111, W55, W64, W94, W91, W83 dan W10. 4.3. Koperasi Bogasasono. Pada 1942, rakyat minta izin penguasa waktu itu, untuk menambang sendiri dengan cara tradisional dan kegiatan ini berkembang. Di zaman kemerdekaan mereka bisa menjual minyak sampai ke Solo, Jawa Tengah, antara lain untuk pembakaran kapur. Izin di zaman Jepang itu kemudian diperbarui pada 1977 dengan dikeluarkanya SK Bupati Bojonegoro, waktu itu Bupati Soeyono. Pada 1981, pemberian izin tersebut diteruskan dengan catatan, hasil penjualan minyak harus dimanfaatkan untuk keperluan desa. (ANTARA Jawa Timur News, 15 Juni 2010). Periode paling maju dalam pengelolaan sumur tua di desa Wonocolo terjadi mulai tahun 1960 pada saat desa Wonocolo di pimpin oleh Watah Wiryaosentono (Mbah Watah) sebagai kepala desa. Pada periode ini masyarakat desa Wonocolo bisa bekerja di tambang tradisional dan bisa hidup layak dari upah yang diperolehnya. Namun era kekuasaan besar kepala desa sebagai pengatur bisnis minyak mentah ini berakhir pada tahun 1987, setelah muncul reaksi dari penambang akibat ketidakadilan pendapatan. Pada tahun 1987, Ditjen Migas menunjuk KUD Bogasasono sebagai kontraktor jasa angkut minyak mentah. Semua hasil minyak mentah harus dijual kepada Ditjen Migas. Sebagai imbalannya, KUD Bogasasono mendapatkan kompensasi jasa angkut. Hasil jasa ongkos angkut ini dikembalikan kepada penambang, setelah dipotong biaya operasional koperasi, mulai dari sewa lahan untuk penampungan minyak mentah di lahan hutan milik Perhutani, gaji karyawan, sumbangan desa, kerugian akibat susut minyak. Kerjasama antara Ditjen Migas dengan KUD Bogasasono sudah berakhir pada 31 Maret 1988, kemudia Pertamina Daerah Operasi Hulu (DOH) sejak 1 April 1988 menggantikan posisi Ditjen Migas untuk melakukan kontrak kerjasama dengan KUD Bogasasono periode tahun 2004-2009 tetapi pada kerjasama ini masyarakat sudah merasa mengalami kerugian karena besarnya biaya operasional tidak sesuai dengan harga beli yang ditetapkan oleh Pertamina
42 dan sejak saat inilah masyarakat tidak lagi menjual produksi minyak mentahnya kepada koperasi. 4.4
Proses Pertambangan Rakyat Minyak Bumi di Desa Wonocolo. A.
Perbaikan Sumur Tua. 4 Proses pembukaan sumur tua membutuhkan waktu yang cukup lama
dari satu bulan hingga satu tahun bahkan lebih. Pada masa-masa awal pembukaan inilah yang dirasakan sangat berat bagi para penambang. Selain menanggung resiko kegagalan, mereka belum menikmati hasilnya sama sekali. Masyarakat Desa Wonocolo yang tergabung dalam kelompok penambang mengatur jadwal kerja pembukaan sumur tua disesuaikan dengan pekerjaan lainnya. Dinamakan Sumur Tua, karena sumur-sumur minyak yang rata-rata dibor pada jaman sebelum kemerdekaan. Sumur-sumur tersebut sebagian besar rusak dan ditutup secara permanen oleh pemerintah kolonial Belanda.
Gambar 8 Proses Perbaikan Sumur Secara Tradisional Dengan Menggunakan Tenaga Manusia. (Sumber: Hasil survey, 2011). Beberapa kendala untuk memproduksikan sumur tua, adalah; ada masalah kandungan lumpur dan pasir; terjadi water blocking; pipa rusak; sumur terlalu banyak kotoran (tanah, kayu, batu). Pada umumnya sumur tua telah turun kemampuan produksinya dan lokasinya berada didaerah terpencil. B.
Pengurasan Sumur. 5 Sumur tua yang sudah lama tidak diproduksi (setelah dibersihkan
mencapai kedalaman awalnya) pada umumnya harus dilakukan pengurasan air/lumpur. Disamping itu ada sumur-sumur yang telah diblokir air, sehingga pengurasan membutuhkan kecepatan dan ketelatenan operator, pada
4 5
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 1 dan 2 Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 2
43 umumnya jika debit air yang terkuras makin banyak, kandungan minyaknya juga masih banyak. Sumur tua yang telah berhasil dibuka harus dibersihkan sebelum siap beroperasi. Pekerjaan ini dilakukan secara gotong royong sampai sumur mulai berproduksi yang diperhitungkan pada saat sudah dilakukan pengangkatan minyak. Pada tahap ini tidak semua anggota penambang ikut serta bekerja tetapi hanya dibutuhkan tenaga kerja 2-4 orang saja. Orang yang bekerja mengoperasikan tambang ini disebut operator yang terdiri dari sopir dan tukang nimbel. Sopir bertugas menarik timba dengan mobil dan timbel bertugas menumpahkan minyak ke bak penampung, penyiduk yakni orang yang tugas memisahkan minyak mentah dengan air dan tukang penjarangan yakni orang tugasnya melakukan pemekatan minyak mentah dengan cara perebusan. C.
Pengambilan Minyak Bumi/Mluntur. 6 Proses
mluntur
atau
pengangkatan
minyak
merupakan
proses
pengambilan minyak mentah dengan cara di timba dengan menggunakan pipa besi berdiameter 8-12 inchi yang ditarik dengan sling menggunakan mesin mobil/truk yang telah dimodifikasi sehingga bisa digunakan untuk menarik timba minyak. Pada proses ini di dilakukan oleh beberapa orang dengan tugas yang berbeda. Operator/sopir bertugas mengoperasikan mobil untuk penarikan timba minyak, kemudian penimbel/tukang timbel bertugas mengarahkan penumpahan timba minyak ke dalam kolam penampung. Setelah minyak mentah terkumpul di bak penampung, minyak dipisahkan dengan air dengan cara di saring atau diciduki oleh pekerja khusus yang bertugas memisahkan minyak mentah dengan air, selanjutnya proses terakhir yang dilakukan adalah melakukan pemekatan dengan cara perebusan minyak mentah yang sudah ditampung di dalam drum, proses ini bertujuan menguapkan campuran air yang masih terbawa dalam proses penyaringan dengan tujuan meningkatkan kualitas minyak mentah.
6
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 2
44
Pengangkatan Minyak
Pengangkutan
Penampungan
Pemisahan
Minyak Mentah
Pemekatan
Gambar 9 Proses Pengambilan Minyak Mentah Dengan Teknologi Sederhana Pada Pengelolaan Sumur Tua. (Sumber: Hasil survey, 2011). D.
Pengolahan/Penyulingan Minyak Mentah 7. Proses penyulingan ini bertujuan untuk memperoleh hasil minyak berupa
solar, minyak tanah dan bensin. Kegiatan ini dilakukan 2-4 orang pekerja termasuk pekerja yang bertugas mengangkut minyak mentah dari sumber ke lokasi penyulingan. Minyak mentah dimasukan ke dalam drum yang telah dimodifikasi sehingga volumenya menjadi 1.5 kali dari volume normal (200 liter) sehingga volume drum penyulingan ini ±300 liter dengan tujuan agar pada saat minyak mendidih tidak tumpah. Drum ini kemudian diisi dengan minyak mentah sebanyak 7 (tujuh) jerigen kapasitas 35 liter. Proses selanjutnya adalah merebus drum yang berisi minyak mentah, setelah mendidih drum tersebut ditutup dan ditimbun dengan tanah agar uapnya tidak keluar. Drum penyuling dihubungkan dengan pipa 0,5 inci dan di lewatkan dibawah kolam pendingin. Ujung pipa pengeluaran hasil kondensasi uap minyak mentah di beri drum penampung hasil penyulingan. Proses penyulingan ini berlangsung selama 3-5 jam dan dari proses penyulingan ini diperoleh minyak tanah 1(satu) jerigen sebanyak 35 liter dan solar 4(empat) jerigen sebanyak 140 liter. Kelompok penyuling terdiri atas dua kelompok yakni: kelompok yang merupakan anggota kelompok penambang, bahan baku minyak mentah hanya bisa diperoleh dari kelompok penambangnya. Kelompok penyuling yang lain adalah kelompok indpendence, kelompok ini bukan anggota dari kelompok penambang, jika dilihat dari asalnya pada kelompok ini pada umumnya berasal 7
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 3
45 dari luar Desa Wonocolo, bahan baku lantung/minyak mentah diperoleh dari para penambang yang lantungnya tidak dikelola/disuling sendiri. Kelebihan dari minyak hasil olahan ini adalah dari sisi harganya lebih murah dibandingkan harga minyak resmi. Setiap jerigen berisi 35 liter untuk minyak solar dihargai Rp.100.000,- yang berarti berharga Rp. 2.860,-/liter sementara harga solar resmi bersubsidi adalah Rp. 4.500,-/liter, untuk minyak tanah, 1 jerigen 35 liter dihargai Rp. 150.000,- yang berarti berharga Rp. 4.285,-/liter dan harga minyak tanah resmi adalah Rp. 7.000,-/liter. Perbedaan harga yang tinggi ini disebabkan karena biaya produksi pengolahan tradisional yang rendah dan bebas dari pajak. Berdasarkan hasil pengamatan penulis dilapangan kendaraan bermotor yang menggunakan minyak solar dari pengolahan tradisional ini asap kendaraan lebih banyak dan lebih pekat serta tenaga mesin dari kendaraan lebih lemah dibandingkan dengan penggunaan solar resmi. Resiko lain dari penggunaan solar olahan tradisional ini juga akan menyebabkan kerusakan pada mesin kendaraan. 8 Minyak Mentah
Pengambilan
Perebusan
Produk Lain
Destilasi
Produk Utama
Gambar 10 Proses Pengolahan Minyak Mentah Menjadi Solar/Minyak Tanah. E.
Pemasaran Hasil Pengolahan 9. Pada proses penyulingan secara tradisional ini akan diperoleh hasil
berupa solar dan minyak tanah. Pada dasarnya pemasaran minyak hasil penyulingan ini tidak mengalami masalah yang berarti bahkan jumlah permintaan lebih besar dari produksi yang dihasilkan para penyuling.
8 9
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 8 Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 4
46 Para pedagang minyak akan mendatangi lokasi penyulingan sehingga penyuling tidak mengeluarkan biaya tranportasi untuk pemasaran, bahkan seringkali terjadi perebutan untuk mendapatkan minyak solar/minyak tanah antar pedagang. Kelompok pedagang ini sering disebut sebagai perengkek berasal dari luar Desa Wonocolo. Keberadaan para perengkek merupakan pendorong bagi kelompok penambang untuk melakukan penyulingan. Kelompok perengkek membeli minyak solar dari penambang tradisional ini ada yang di jual sendiri ada juga yang dijual kepada penampung besar baik yang ada di Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro maupun Kabupaten Blora, mereka akan mendapatkan untung lebih besar jika bisa menjual sendiri sebagai campuran solar resmi dari SPBU tetapi untuk sistem ini diperlukan modal yang cukup besar. Kebanyakan kelompok ini berperan sebagai pemasok bagi penampung besar karena dengan sistem ini mereka tidak memerlukan modal yang besar dan sistem pembayarannya adalah kontan, sehingga dalam sehari mereka bisa membeli minyak solar ke penambang tradisional lebih dari sekali sehingga meskipun keuntungannya sedikit setiap tripnya tetapi jumlah yang diperoleh akan lebih besar.
Gambar 11 Kelompok Perengkek/Pedagang Minyak Hasil Penyulingan. (Sumber: Hasil survey, 2011)
47 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Mekanisme Akses Pengusahaan Pertambangan Rakyat pada Sumur Tua di Desa Wonocolo. 5.1.1 Karakteristik Minyak Bumi dari Sumur Tua. Sumberdaya alam dalam pengertian tradisional merupakan barang maupun jasa yang dapat dimanfaatkan secara langsung, pandangan tersebut saat ini telah berubah jika dilihat dari fungsinya karena disamping mempunyai manfaat langsung sumberdaya juga mempunyai manfaat tidak langsung (Kartodihardjo, 2006). Minyak bumi merupakan sumberdaya alam yang mempunyai fungsi langsung untuk memenuhi kebutuhan manusia akan energi serta produk non energi turunannya. Karakteristiknya minyak bumi sebagai sumberdaya alam berdasarkan tujuan pemanfaatan termasuk dalam jenis komoditi untuk diperdagangkan sedangkan berdasarkan tingkat aktivitas untuk mengadakan termasuk dalam SDA yang memerlukan aktivitas manusia untuk pemanfaatnya (Kartodihardjo, 2006). Selanjutnya menurut Kartodihardjo (2006) karakteristik SDA jenis ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1)
Secara umum jenis sumberdaya alam ini diproduksi dari sumberdaya yang bersifat subtractable, yaitu apabila dimanfaatkan oleh pihak tertentu, pihak lain tidak memperolehnya (private atau common pool goods);
2)
Dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu, hak untuk memanfaatkan jenis-jenis sumberdaya dalam pengertian tradisional (ikan, kayu, bahan tambang, dll) bersifat independen satu dengan lainnya. Hal ini bukannya tidak
memungkinkan
kelompok
secara
keseluruhan
menguasasi
sumberdaya ini secara bersama-sama. Demikian pula, hak untuk memanfaatkan jasa ekosistem juga bersifat independen dari hak penguasaan oleh kelompok terhadap jasa ekosistem tersebut; 3)
Masalah keadilan pemanfaatan sumberdaya ini maupun masalah kelestarian
fungsinya
adalah
masalah
manajemen
pengelolaan
sumberdaya tersebut. Pada era otonomi daerah saat ini kepedulian pemerintah daerah terhadap sumberdaya alam semakin intensif karena semangat dalam peningkatan PAD, semangat ini pula yang sering menimbulkan ketegangan
48 dengan masyarakat ketika masyarakat tidak mau mengikuti keinginan pemerintah setempat. 5.1.2 Karakteristik Sumur Tua Minyak Bumi. Sebagaimana diatur dalam Permen ESDM no. 1 tahun 2008, bahwa sumur tua boleh diusahakan melalui Koperasi Unit Desa atau Badan Usaha Milik Daerah. Sumur Tua adalah sumur-sumur Minyak Bumi yang dibor sebelum tahun 1970 dan pernah diproduksi serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu Wilayah Kerja yang terikat Kontrak Kerja Sama dan tidak diusahakan lagi oleh Kontraktor. Sumur tua tersebut tidak lagi dikelola oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas (KKS Migas), karena secara ekonomis tidak menguntungkan lagi. tetapi sumur tua tersebut masih memiliki potensi khususnya minyak yang jika dikelola oleh unit usaha yang dikelola oleh BUMD atau KUD masih menjanjikan keuntungan. Pengelolaan sumur tua minyak bumi dilakukan dengan cara sederhana dan dilakukan secara gotong-royong baik dari permodalan maupun tenaga kerja, karena tidak ada proses pengeboran yang memerlukan teknologi tinggi
10
. Masyarakat hanya melakukan perbaikan pada sumur tua sebelum
mengambil minyak bumi yang terkandung di dalamnya. Kegiatan pengelolaan sumur tua dilakukan secara turun-temurun karena kebutuhan akan pekerjaan dan penghidupan bagi masyarkat. Faktor-faktor yang mendorong masyarakat bekerja di sektor pertambangan minyak bumi ini adalah: 1)
Teknologi
Teknologi yang digunakan dalam kegiatan pengelolaan sumur tua tergolong teknologi yang sederhana, pada awalnya dilakukan dengan cara manual, yakni dengan
menggunakan
tenaga
manusia
untuk
menarik
timba
dalam
pengangkatan minyak mentah. Saat ini tenaga manusia tersebut diganti dengan menggunakan mesin mobil yang telah dimodifikasi untuk melakukan penarikan timba dalam pengambilan minyak mentah 2)
Modal dan tenaga kerja
Budaya gotong-royong merupakan budaya yang dimiliki oleh masyarakat desa, tak terkecuali masyarakat Desa Wonocolo. Pada pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua dilakukan dengan cara gotong royong, baik dari tenaga kerja maupun dari modal kerja. Selama sumur belum berproduksi semua pekerjaan perbaikan dilakukan dengan cara gotong-royong
10
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 2
49 tanpa mendapatkan upah. Dalam hal modal kerja dilakukan dengan cara ditanggung bersama-sama atau lebih dikenal dengan tanggung-renteng. 11 Kemampuan akan teknologi, modal dan tenaga kerja inilah yang mendorong masyarakat untuk bekerja disektor pertambangan minyak bumi rakyat di kawasan blok Cepu. 5.1.3 Mekanisme Akses Kawasan sumur tua yang ada di blok Cepu secara de jure merupakan kawasan milik negara (state property) sesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 2001 dan Permen ESDM No. 01 tahun 2008. Menurut Ostrom (2011) arena aksi adalah ruang sosial dimana individu berinteraksi, bertukar barang dan jasa, memecahkan masalah, mendominasi satu sama lain, atau melawan (di antara banyak hal yang orang lakukan dalam situasi tindakan). Kawasan sumur tua merupakan arena aksi tambang rakyat minyak bumi. Dalam rangka pengelolaan sumur tua yang dilakukan secara tradisional di Desa Wonocolo terdiri
atas
tiga
kegiatan
yakni:
pengambilan
minyak
mentah;
pengolahan/penyulingan; dan distribusi atau niaga minyak hasil olahan. Kegiatan tambang rakyat yang dilakukan oleh masyarakat Desa Wonocolo
merupakan
bentuk
bagaimana
“kemampuan”
menyebabkan
individu/kelompok individu bisa mengambil keuntungan dari suatu sumberdaya tanpa harus memiliki hak atas sumberdaya tersebut (Ribot dan Peluso, 2003). Ada dua mekanisme yang mendasari kasus tambang rakyat Desa Wonocolo yakni berdasarkan kepemilikan (right based access) dimana masyarakat memperoleh hak secara illegal. Merupakan bentuk akses yang diberikan berdasarkan sanksi hukum, adat istiadat, dan konvensi atau bisa dikatakan bahwa akses illegal mengarah pada mendapatkan keuntungan dari sesuatu dengan cara yang tidak direstui oleh negara. Akses illegal beroperasi melalui paksaan (kekuatan atau ancaman) dan secara diam-diam, hal ini dilakukan untuk mendapatkan penambahan, pengendalian, dan mempertahankan akses (Ribot dan Peluso, 2003). Mekanisme yang kedua adalah bersifat stuktural dan relasional (structural and relational mechanism) yang didasari oleh faktorfaktor: teknologi, modal, tenaga kerja, pengetahuan, wewenang, identitas dan relasi sosial (Ribot dan Peluso, 2003). Mekanisme kedua ini dimiliki oleh masyarakat berdasarkan modal, tenaga kerja dan relasi sosial. Masyarakat bisa mengambil keuntungan atas sumberdaya alam berupa minyak bumi dari 11
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 2
50 sumur tua atas kemampuanya dalam menyediakan tenaga kerja, relasi sosial dan modal. 12 Masyarakat
Desa
Wonocolo
mempunyai
kemampuan
dalam
menyediakan tenaga kerja serta menyediakan modal meskipun dilakukan secara bersama-sama (gotong-royong) dalam mengelola sumur tua. Relasi sosial diperoleh berdasarkan konvensi bahwa bagi siapapun yang berhasil menemukan sumur tua maka berhak atas keuntungan dari sumberdaya alam yang dihasilkan dari sumur tua tersebut berupa minyak bumi. Kondisi ini menyebabkan perubahan sifat state property yang close access secara de jure berubah menjadi open acces secara de facto. Kondisi ini menimbulkan opportunity sets, yang memberikan kesempatan bagi orang-orang baik yang terdesak oleh keadaan ekonomi atau orang-orang yang secara ekonomi kuat tetapi ingin mendapatkan manfaat dari sumberdaya minyak bumi yang berasal dari sumur tua. Munculnya masalah disebabkan maraknya kegiatan pengolahan dan perdagangan minyak hasil olahan. Hal ini disebabkan karena lemahnya pengawasan oleh lembaga-lembaga yang berkompeten. Permasalahan semakin sulit untuk di atasi karena adanya fragmentasi oleh aparat baik sipil maupun militer (kepolisian) yang ikut bermain dan mendukung kegiatan ini secara tidak sah dengan menjadi cukong/pemodal dan beking/dukungan dengan imbalan sejumlah uang/suap. Untuk menggambarkan situasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 12. Sumur Tua (State Property)
De Facto Open Access
Opportunity Sets
Masyarakat Desa Wonocolo - Penambang dan Penyuling
Masyarakat Pendatang - Penyuling dan Pedagang
Dukungan Aparat Sipil/Militer Secara Tidak Sah - Modal, Beking,Suap/Pungli/Upeti
Gambar 12 Mekanisme Akses Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua Sumur Tua di Desa Wonocolo. diadaptasi dari Ostrom (2011), Ribot dan Peluso (2003). 12
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 2
51 Sumur tua seperti yang diatur pada Permen ESDM No. 01 tahun 2008 secara de jure merupakan state property yang sifatnya close acces yang pengelolaannya diserahkan oleh Negara kepada Pemerintah, dalam kasus sumur
tua
diserahkan
kepada
Pemerintah
Daerah
Propinsi
dan
Kabupaten/Kota. Keberadaan sumur tua yang tidak dikelola dan dibiarkan begitu saja mendorong masyarakat untuk mengelolanya dengan cara dan teknologi
yang
mereka
kuasai.
Lemahnya
kelembagaan
pemerintah
menyebabkan sumur tua secara de facto menjadi open access dan siap saja dapat mengelola sumur tua tersebut. Keadaan ini menimbulkan opportunity sets, yaitu member kesempatan kepada orang-orang baik yang terdesak oleh keadaan ekonomi atau orang-orang yang secara ekonomi kuat tetapi ingin mendapatkan manfaat dari sumberdaya minyak yang berasal dari sumur tua. Mekanisme yang membentuk proses dan hubungan akses dapat dikategorikan dalam akses berdasarkan hak (rights based access) dan akses yang merupakan sejumlah faktor tambahan yang merupakan mekanisme akses yang bersifat struktural dan relasional (structural and relational mechanisms). Faktor-faktor tersebut adalah: teknologi, modal, tenaga kerja, pengetahuan, wewenang, identitas dan relasi-relasi sosial (Ribot dan Peluso, 2003). Faktor tenaga kerja dan relasi sosial menjadi faktor yang mendorong masyarakat
untuk
mengambil
manfaat
dari
keberadaan
sumur
tua,
kemampuan menyediakan tenaga kerja oleh masyarakat Desa Wonocolo menyebabkan masyarakat bisa mengambil keuntungan dari sumberdaya alam berupa minyak bumi dari sumur tua dan relasi sosial yang berupa konvensi diantara komunitas kelompok masyarakat yang menyatakan bahwa “barang siapa” menemukan sumur tua yang berada di Blok Cepu maka mereka merupakan “pemilik” dari sumur tua tersebut meskipun secara hukum tidak diakui hak kepemilikan tersebut. Kondisi riil sekarang adalah sumur tua telah dikelola oleh masyarakat dan perusahaan tanpa hak kelola secara sah, sehingga secara yuridis tidak bisa
di
tuntut
pertanggung-jawaban
terhadap
dampak
negatif
yang
ditimbulkannya. Hal ini juga di perparah dengan peran aparat baik sipil maupun militer yang memberikan dukungan secara tidak sah baik sebagai pemodal
maupun
beking
kegiatan
dengan
imbalan
sejumlah
uang
(upeti/pungli/suap). Ada 3(tiga) kegiatan dalam pengelolaan sumur tua ini terdiri atas pengambilan minyak, penyulingan/pengolahan minyak mentah dan perdagangan hasil olahan minyak mentah.
52 5.2 Identifikasi Masalah dalam Pengelolaan Pertambangan Rakyat di Desa Wonocolo. Identifikasi masalah pada pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo ditujukan untuk lebih memudahkan dalam mencari solusi dan strategi yang tepat dalam pengelolaannya. Identifikasi ini diperlukan agar masalah yang terjadi di kawasan sumur tua dapat dipahami secara lebih komprehensif. Pada pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua terdapat 2 (dua) masalah utama yang menimbulkan masalah lain sebagai turunannya. Masalah tersebut meliputi hak pengelolaan (property right) dalam pengambilan minyak bumi dari sumur tua dan legalitas kegiatan pengolahan minyak mentah dan perdagangan minyak solar dan minyak tanah hasil pengolahan. 5.2.1
Hak Pengelolaan (Property Right) dalam Pengambilan Minyak Bumi Pengangkatan minyak mentah merupakan proses lanjutan setelah sumur
berhasil diperbaiki, sistem kerja yang masih tradisional dan penggunaan alat yang sederhana menyebabkan optimalisasi hasil minyak mentah akan sulit diwujudkan. Pengambilan minyak mentah ini secara de facto diakui dan direstui oleh pemerintah setempat (Kecamatan dan Desa) tetapi secara de jure merupakan kegiatan illegal sesuai dengan Permen ESDM No. 1 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa pengelolaan sumur tua dapat di laksanakan oleh KUD/BUMD. Hal tersebut menegaskan bahwa pengelolaan sumur tua hanya bisa dilaksanakan oleh KUD atau BUMD dengan ijin Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral. Akses masyarakat Desa Wonocolo terhadap sumur tua tidak didasarkan pada hak (right) tetapi bedasarkan pada mekanisme struktur dan relasional berupa faktor modal, teknologi, tenaga kerja dan relasi sosial.Akses bukan berdasarkan hak ini secara formal digolongkan sebagai aktivitas illegal sehingga tidak memiliki kekuatan hukum (tidak dilindungi secara hak). Kondisi ini akan menyebabkan rawan intervensi gangguan dari pihak-pihak yang berwenang. Impilikasinya dari kondisi ini adalah aktivitas pengelolaan berikutnya juga illegal (pengolahan dan perdagangan minyak olahan). Mengacu pada Permen ESDM no. 01 tahun 2008 tentang pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua, masyarakat akan mendapatkan hak menambang secara legal jika membentuk koperasi dan minyak bumi dijual kepada PERTAMINA. Ketentuan ini bisa dilihat pada pasal 2 ayat (2) dalam hal kontraktor tidak mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua sebagaimana di atur pada ayat (1), KUD dan BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi setelah mendapat persetujuan Menteri ESDM sehingga seluruh
53 kegiatan pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua yang tidak mendapatkan ijin dari menteri merupakan kegiatan illegal. Penyebab dari kondisi ini adalah: 1). Tidak ada pilihan pekerjaan masyarakat selain melakukan penambangan minyak bumi dari sumur tua; 2). Tidak berfungsinya koperasi sebagai lembaga formal sebagai wadah bagi masyarakat dalam pengelolaan sumur tua hal ini disebabkan karena masyarakat tidak mau menjual minyak hasil menambang karena harganya lebih murah dibanding harga pasar gelap. Dampak negatif dari tidak adanya hak pengelolaan ini akan menyebabkan sulitnya penindakan hukum jika terjadi pelanggaran hukum karena tidak ada penanggung-jawab kegiatan (pemrakarsa) seperti jika terjadi pencemaran lingkungan. Dampak lainnya adalah pemerintah daerah tidak bisa mendapatkan pendapatan dari kegiatan penguahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua karena tidak ada mekanisme untuk mendapatkan retribusi/pajak dari kegiatan yang tidak berbadan hukum dan illegal. Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat pada gambar 13, sebagai berikut: Karakteristik SDA (Minyak bumi)
Mekanisme Akses
PERDAGANGAN • Solar • Minyak tanah
Kebijakan
Stakeholders
DRIVER POWER • Permintaan tinggi • Disparitas harga Aktor yg mendukung kegiatan tetap illegal
Minyak bumi - Komoditi - Pencemar
SUMUR TUA - Tidak ekonomis dlm skala besar dan teknologi tinggi - Ekonomis dengan teknologi sederhana
Relasi Informal
Relasi Formal
Akses oleh masyarakat lokal
PENGOLAHAN • Solar • Minyak tanah
PENGAMBILAN • Minyak mentah
Illegal
Dukungan kelembagaan tdk sah
Terjadi karena:
• Harga jual minyak mentah lebih tinggi kpd pengolah • Harga minyak olahan lebih rendah di pasaran • Permintaan tinggi thd minyak olahan
KOPERASI/BUMD • Menyalurkan minyak mentah
PERTAMINA • Minyak mentah untuk di olah
Legal
Dukungan Kebijakan
Tidak terjadi karena:
• Tidak didukung oleh kebijakan Pemda • Koperasi tidak berfungsi krn tidak ada kecocokan dengan penambang (harga lebih rendah)
Free Riders
Kegiatan pengusahaan minyak bumi pd sumur tua illegal: • Rawan pungli • Tidak mendapat jaminan hukum
STRATEGI: • Penguatan kelembagaan (Pemda dan Koperasi) • Pemberdayaan masyarakat penambang • Penegakan hukum kegiatan ilegal (Pengolahan, perdagangan dan pencemaran)
Gambar 13 Identifikasi Masalah Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo.
54 5.2.2 Legalitas Kegiatan Pengolahan Dan Perdagangan Minyak Olahan tidak Sesuai Kebijakan yang Berlaku A. Pengolahan Minyak Mentah. Proses pengolahan ini dilakukan oleh penambang dengan alasan dapat meningkat nilai ekonomi dari minyak mentah sendiri. Pada awalnya kegiatan ini di sebabkan kesulitan para penambang memasarkan minyak mentah hasil mereka karena kerjasama dengan koperasi Bogasasono sudah berakhir secara sepihak dan para penambang tidak mau menyetorkan hasil minyak mentahnya kepada koperasi disebabkan tidak ada kesepakatan harga. Dengan adanya pengolahan minyak mentah ini akan menyebabkan nilai tambah bagi minyak mentah hasil para penambang sehingga harga minyak mentah akan lebih mahal jika dijual kepada penyuling hal inilah yang menyebabkan masyarakat tidak mau menjual kepada koperasi. Penyebab masalah ini adalah lemahnya penegakan hukum oleh aparat baik aparat keamanan maupun aparat pemerintah terkait. Tingginya nilai ekonomi hasil olahan minyak mentah inilah menjadi pemicu permasalahan pada pengelolaan sumur tua 13. Dengan adanya pengolahan minyak mentah di lokasi penambangan menarik para pendatang dari luar Desa Wonocolo untuk ikut melakukan pengolahan minyak mentah hal ini menyebabkan semakin sulitnya pemberantasan kegiatan ini karena kekuatan massa yang besar dan rentan konflik horisontal jika pemerintah berniat untuk melakukan pemberantasan secara represif. Dampak dari aktivitas ini adalah persaingan untuk mendapat bahan baku berupa minyak mentah menjadi tinggi sehingga harga minyak mentah menjadi tinggi. 14 Kondisi ini menyebabkan para penambang tidak mau menjual hasil minyak mentah kepada koperasi karena harga beli koperasi lebih rendah. B. Perdagangan Minyak Olahan. Para pedagang berasal dari luar Desa Wonocolo seperti Kabupaten Tuban, Bojonegoro dan Blora. Kelompok pedagang membeli minyak solar dari penambang tradisional untuk di jual sendiri ada juga yang dijual kepada penampung besar, baik yang ada di Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro maupun Kabupaten Blora, mereka akan mendapatkan untung lebih besar jika bisa menjual sendiri sebagai campuran solar resmi dari SPBU tetapi untuk sistem ini diperlukan modal yang cukup besar. 15
13
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 3 Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 2 15 Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 4 14
55 Keberadaan kelompok ini merupakan faktor utama marakanya kegiatan penambanganan minyak bumi karena dari kelompok ini transaksi jual beli dilakukan secara tunai yang merupakan dana untuk membiayai semua kegiatan yang berkaitan dengan penambangan minyak bumi dan dari kelompok ini penghasilan para penambang di peroleh. Dari sisi kebijakan kegiatan ini merupakan bentuk pelanggaran Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengenai distribusi produk olahan minyak bumi. Dalam pasal 23 angka 1 dan 2 bahwa usaha pengangkutan dan niaga minyak olahan harus mendapat ijin dari pemerintah dan PERTAMINA merupakan badan usaha yang ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana usaha hilir minyak bumi. Penyebab dari aktivitas ini bisa berlangsung karena lemahnya penegakan hukum oleh aparat keamanan. Dampak dari aktivitas ini adalah harga minyak olahan berupa solar dan minyak tanah yang lebih rendah dari harga resmi di pasaran, hal ini menyebabkan permintaan akan solar dan minyak tanah menjadi tinggi. Tingginya permintaan akan minyak olahan menyebabkan maraknya aktivitas tanpa bisa dikendalikan oleh pemerintah daerah. 5.2.3 Pencemaran Lingkungan. Kesadaran akan permasalahan lingkungan hidup mendorong negara untuk mulai
mempersoalkan
hubungan
antara
lingkungan
hidup
dan
prioritas
pembangunan yang sangat mendesak seperti pengusahaan pertambangan. Pengusahaan pertambangan disadari termasuk salah satu kegiatan yang cukup banyak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Subsektor pada sektor pertambangan dan Energi, tiga diantaranya yaitu; subsektor pertambangan umum, minyak dan gas bumi, listrik dan pengembangan energi baru merupakan subsektor yang kegiatannnya berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan berupa perusakan dan pencemaran lingkungan perairan, tanah dan udara. Pencemaran tersebut selanjutnya akan menimbulkan dampak turunan yang akhirnya dapat menimbulkan persepsi negatif masyarakat terhadap kegiatan usaha pertambangan. Pengelolaan lingkungan hidup dalam usaha pertambangan adalah dua hal yang saling bertentangan. Untuk itu perlu dilakukan tindakan yang tegas untuk usaha pertambangan diwajibkan untuk melakukan pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan. Menurut Priyanto (2010) pencemaran tanah terjadi disekitar sumur tua dan sekitar lokasi penyulingan, sementara pencemaran air terjadi pada
56 badan sungai yang mengalir di kawasan pertambangan rakyat. Hal ini juga terjadi pada lokasi kegiatan pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo. 16 Pasal 33 UUD 1945 (hasil amandemen), sebagai dasar konstitusional pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya alam pertambangan sudah mencakup perlindungan lingkungan hidup dalam ayat (4) yang intinya “prinsip pengelolaan
sumberdaya
alam
nasional,
berkeadilan,
berkelanjutan
dan
berwawasan lingkungan, serta kemandirian dan menjaga keseimbangan”. 5.3
Analisis Isi Kebijakan. Analisis isi kebijakan mencakup deskripsi tentang kebijakan dan bagaimana ia
berkembang dalam hubungannya dengan kebijakan sebelumnya (Parsons, 2008). Berbagai kebijakan yang berkaitan tentang pengelolaan sumur tua diterapkan untuk dapat melihat bagaimana implementasi dan implikasinya di lapangan dapat membantu dalam penyusunan strategi kebijakan dalam pengelolaan sumur tua 17. 5.3.1 Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Pada tanggal 23 Nopember 2001 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa penguasaan atas Migas tetap berada pada Negara, namun pelaksanaannya diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5, Kuasa Pertambangan adalah
wewenang
yang
diberikan
Negara
kepada
Pemerintah
untuk
menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi. PERTAMINA sesuai dengan Undang-undang tersebut berperan sebagai pelaksana usaha mulai hulu sampai hilir. Secara khusus persoalan sumur tua di atur dalam Permen ESDM no. 01 tahun 2008 tentang Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua yang memberikan peluang kepada KUD atau BUMD untuk mengelola sumur tua setelah menjalin perjanjian kerjasama dengan kontraktor yang diketahui oleh Badan Pelaksana. Dalam Permen tersebut juga disebutkan bahwa semua produksi dari sumur tua harus diserahkan kepada kontraktor dengan mutu dan spesifikasi tertentu. Kedua hal tersebut sulit dilaksanakan saat ini karena kemampuan yang terbatas dari penambang tradisional dalam hal mutu hasil minyak mentah yang diproduksi.
16 17
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 1 Lihat lampiran 6 Analisis Isi Kebijakan Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua di Blok Cepu Desa Wonocolo.
57 Lahirnya Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral ini dilandasi oleh keinginan menertibkan pengelolaan sumur tua melalui pembinaan dan penyempurnaan serta kemungkinan pengembangannya melelui wadah Koperasi dan Badan Usaha Milik Daerah sehingga perlu memberi landasan hukum bagi pengusahaannya.
Pada
kasus
pertambangan
rakyat
di
Desa
Wonocolo
pengelolaan sumur tua dilakukan secara kelompok dan tidak menjalin kerjasama dengan koperasi hal ini disebabkan karena kesalahan menejemen koperasi dan masyarakat tidak mau menyetorkan hasil produksinya kepada koperasi di sebabkan tidak adanya kesepakatan harga dan cara pembayaran 18. Pada saat ini pembayaran atas hasil produksi minyak produksi penambang dilakukan secara tunai dan harga ditentukan oleh harga pasar dikawasan tambang tersebut. 19 Pemerintah daerah harus berupaya untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan persoalan ini dengan berupaya menjalin kerjasama dengan PERTAMINA dalam hal finansial. Upaya pemeberian talangan dana kepada koperasi agar sistem pembayaran dalam pembelian minyak mentah dari penambang dilakukan dengan cara tunai dan berkaitan dengan harga perlu dilakukan melalui negosiasi dengan para penambang. 5.3.2 Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Usaha hilir minyak bumi meliputi pengolahan, pemurnian, pengangkutan, penyimpanan dan niaga seperti yang ditentukan oleh Undang-undang no. 22 tahun 2001 pada pasal 23. Dalam undang-undang tersebut disebutkan PERTAMINA merupakan pelaksana usaha dari kegiatan sesuai yang disebutkan pasal 23. Penyulingan yang dilakukan oleh masyarakat pada kasus pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo pada dasarnya merupakan usaha pengolahan seperti yang disebutkan pada Undang-undang no 22 tahun 2001. Usaha ini secara kebijakan hanya bisa dilakukan oleh PERTAMINA sebagai kuasa pertambangan di Wilayah blok Cepu, oleh karena itu semua usaha penyulinga/pengolahan minyak mentah hasil pertambangan rakyat di desa Wonocolo merupakan kegiatan ilegal. Distrusi/pengangkutan dan
niaga/perdagangan
minyak
olahan
juga
merupakan kegiatan usaha hilir dari pertambangan minyak bumi yang telah diatur dalam pasal 23 Undang-undang no. 22 tahun 2001. Usaha hilir ini juga menetapkan bahwa PERTAMINA merupakan pelaksana usahanya. Masalah yang terjadi bukan masalah kegiatan pengangkutan dan perdagangannya saja akan tetapi masalah standart mutu minyak hasil olahan yang dilakukan secara 18 19
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 7 Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 2 dan 7
58 tradisional ini belum pernah dilakukan pengujian, jika ternyata standart mutunya tidak sesuai dengan standart mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah hal ini akan merugikan konsumen dan jika hal tersebut terjadi maka PERTAMINA sebagai badan usaha yang berwenang akan menjadi pihak yang dirugikan. 20 5.3.3
Pencemaran Lingkungan Kegiatan pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo telah menyebabkan
pencemaran logam berat pada tanah dan air serta pencemaran udara (Priyanto, 2010). Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup pada usaha pertambangan inilah pemerintah mengeluarkan Undang- undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Bab VI Pasal 18 ayat (1) menyebutkan; “Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan”. Kemudian di sebutkan juga pada Bab V pasal 13 ayat 3 bahwa “Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Mewujudkan kondisi pengelolaan sumber daya alam bukan merupakan hal yang mudah antara lain karena upaya pencegahan eksploitasi secara tidah sah mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup terhambat dengan pelaksanaan penegakan hukum yang lemah. 21 Hingga saat ini belum ada kasus pengelolaan tambang minyak bumi rakyat dan
dampak pencemaranya yang telah mendapat penanganan hukum yang
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Beberapa hambatan yang ada adalah tidak jelasnya intitusi yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan sumur tua, terkooptasinya aparat keamanan oleh pihak yang mengelola sumur tua (penambang, pengulah dan pedagang) dengan menggunakan uang suap, terlibatnya aparat baik aparat sipil maupun keamanan dalam bisnis pengelolaan sumur tua menyebabkan kegiatan pengelolaan sumur bisa berjalan dengan aman dan lancar (Kontras, 2004). Permasalahannya adalah dalam kasus pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo tidak
20 21
ada pemrakarsa/penanggungjawab usaha sehingga akan
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 8 Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 7
59 menyulitkan dalam penindakan pelanggaran dibidang hukum lingkungan karena kegiatan dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tidak berbadan hukum. 22 5.3.4 Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan Sektor Minyak dan Gas Bumi tidak dapat Dipungut. Undang-undang UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan:
69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah
Pusat ; 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk daerah. Selanjutnya dari 30 % tersebut di bagikan dengan ketentuan; a. 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; b. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota
penghasil;
c.
12%
(dua
belas
persen)
dibagikan
untuk
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan. Pada kasus pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo Pemerintah daerah tidak mempunyai data mengenai jumlah produksi dari sumur tua karena hasil produksi tidak disetorkan ke PERTAMINA. Para penambang lebih suka menjual ke penyuling atau dilakukan penyulingan sendiri sehingga hasilnya akan lebih tinggi. Data produksi minyak mentah ytang disetorkan ke PERTAMINA merupakan dasar untuk menghitung dana perimbangan yang akan diperoleh oleh Pemda. 5.4
Analisis Stakeholders Stakeholders merupakan pihak-pihak berkepentingan yang mempengaruhi
ataupun dipengaruhi oleh tujuan pengelolaan pertambangan rakyat tersebut, baik individu, kelompok ataupun organisasi 23. Identifikasi stakeholders menggunakan wawancara mendalam dan teknik snowball menetapkan sebanyak 15 (limabelas) stakeholders dengan deskripsi seperti disajikan Tabel 12.
22 23
Berdasarkan hasil wawancara pada lampiran 2 wawancara 7 Lihat lempira 5 Analisis stakeholders berdasarkan kepentingan dan aspirasinya
60 Tabel 12 Identifikasi Stakehoders No 1 2 3 4
Stakeholders Penambang Penyuling Pedagang Kades Wonocolo
Status Kelompok Kelompok Kelompok Institusi
Job Description - Bekerja pada proses penambangan - Bekerja pada proses pengolahan - Membeli dan menjual minyak olahan penyuling - Menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembanguan, kemasyarakatan dan tugas lainnya sesuai UU dengan prinsip efisiensi dan peningkatan akuntabilitas publik
5
Camat Kedewan
Institusi
PERTAMINA BAPPEDA
Institusi Institusi
-Menangani
sebagian
urusan
otonomi
dan
menyelenggarkan tugas umum pemerintahan lainnya yang sesuai UU.
6 7
- BUMN Bidang Industri Hilir Minyak dan Gas Bumi - Melakukan koordinasi perencanaan program Rencana Kerja Pemerintah Daerah kegiatan pembangunan diantara Dinas - Kantor Daerah dan satuan unit Organisasi Lembaga Teknis Daerah lainnya dalam penyusunan Rencana Pembangunan Daerah.
8
Ka. Lingkungan Hidup
Institusi
- Perumusan kebijakan teknis bidang lingkungan hidup ; Pembinaan, fasilitasi dan pelaksanaan tugas di bidang pengembangan kapasitas dan pengamanan lingkungan hidup, pengkajian dampak dan pengembangan teknologi lingkungan hidup, pengendalian pencemaran, kerusakan dan konservasi lingkungan hidup.
9
Dinas Pertambangan
Institusi
- Pembinaan
dan
pelaksanaan
kegiatan
dibidang
pertambangan dan energi ; Pelaksanaan dan pengawasan dan
pengendalian
operasional
teknis
dibidang
pertambangan dan energi ; Pelaksanaan pengawasan terhadap mutu bahan bakar minyak di dalam wilayah kabupaten; Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumber daya mineral dan energi
10
Biro Ekonomi
Institusi
- Menyelenggarkan perumusan bahan kebijakan umum dan koordinasi,
pemantauan
dan
evaluasi
industri,
perdagangan dan penanaman modal, koperasi, UMKM dan
BUMD
serta
jasa
Keuangan
dan
Perbankan,
Pariwisata, Pertambangan, Perhubungan serta pekerjaan umum.
11 12
Polsek Kedewan
Institusi Institusi
- Menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan
Institusi
- Mewakili dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam
13
Koperasi Bogasasono DPRD II
14
Pengusaha
PT. Trifika - Satu-satunya perusahaan swasta yang ikut mengelola
15
LSM Merah Putih
Institusi
- Menyalurkan
hasil
produksi
minyak
mentah
yang
dihasilkan penambang rangka pembangunan. sumur tua - Lembaga sosial yang bergerak dalam pendampingan penambang dalam rangka pemberdayaan masyarakat penambang
Sumber: Hasil Olah Data
61 Masyarakat penambang dan penyuling kebanyakan merupakan masyarakat Desa wonocolo, mereka sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan tindakan dalam pengelolaan sumur tua. Disamping itu, tempat tinggalnya berdekatan dengan lokasi sumur tua. Masyarakat sangat bergantung dan dipengaruhi oleh keberadaan sumursumur tua secara ekonomi yaitu merupakan tempat untuk mendapatkan uang yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ketergantungan masyarakat yang tinggi kepada hasil dari sumur-sumur tua ini akibat kemiskinan karena lahan pertanian tadah hujan yang ada di Desa Wonocolo tidak memberikan hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat bekerja mengelola sumursumur tua pada dasarnya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tidak adanya jaminan masa depan, karena tidak ada investasi untuk pendidikan dan keluarga, serta ketrampilan berusaha dan berwiraswasta sangat rendah yang menyebabkan
tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja. Oleh karena itu,
masyarakat yang merupakan stakeholders inti dalam pengelolaan sumur-sumur tua di Desa Wonocolo. Pedagang minyak olahan kebanyakan berasal dari luar Desa Wonocolo, kelompok
merupakan
kelompok
oportunis
yang
mengambil
kesempatan
memanfaatkan hasil penyulingan minyak mentah menjadi solar/minyak tanah. Pada kelompok ini motivasi ekonomi merupakan pendorong utamanya, keberadaan kelompok ini secara langsung berpengaruh pada kegiatan penyulingan minyak mentah. Hasil wawancara mendalam dengan informan di lokasi penelitian menyebutkan bahwa penambang dan penyuling
merasa memiliki hak secara
historis atas hasil minyak dari sumur tua tersebut, karena pengelolaan sumur tua dilakukan secara turun temurun, oleh karena itu mereka selalu berusahan mencari sumur-sumur tua yang belum ditemukan agar dapat dikelola secara berkelompok atau dijual kepada pengusaha atau pemodal dengan imbalan berupa jatah hasil minyak mentah jika sumur tersebut menghasilkan. Kepala Desa Wonocolo dan Camat Kedewan juga berkepentingan dalam pengelolaan sumur tua yaitu menjaga stabilitas sosial dan peningkatan kesejahteraan warganya. PERTAMINA
merupakan
BUMN
yang
berwenang
untuk
mengelola
pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia mempunyai kepentingan berupa minyak mentah yang dihasilkan dari pengelolaan sumur-sumur tua. Sebagai pelaksana usaha pada pengelolaan sumur tua PERTAMINA berpengaruh secara administrasi dan hal-hal teknis yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dari sumur-sumur tua ini.
62 DPRD II, BAPPEDA, Dinas Pertambangan, Kantor Lingkungan Hidup, Biro Ekonomi Pemda Bojonegoro memiliki misi mengelola sumur-sumur tua yang dapat meningkatkan mengurangi
PAD, dampak
meningkatkan kegiatan
kesejahteraan
terhadap
masyarakat
lingkungan
dan
penambang, meningkatkan
pemberdayaan masyarakat. Hal di atas menyebabkan stakeholders pemerintah daerah Kabupaten Bojonegoro sangat mempengaruhi kebijakan yang diambil serta tindakan yang akan dilakukan dalam pengelolaan sumur-sumur tua, oleh karena itu perlu dilakukan koordinasi antara keempat intansi kabupaten tersebut dengan PERTAMINA. Koperasi
Bogasasono
yang
memegang
mandat
sebagai
pelaksana
operasional pengelolaan sumur tua sesuai Permen ESDM No.01 Tahun 2008 berkepentingan atas hasil minyak mentah dan berpengaruh pada koordinasi dan pengaturan para penambang dalam memperoduksi minyak mentah dari sumursumur tua. Keberhasilan menejemen Koperasi Bogasasono akan menentukan keberhasilan pengelolaan sumur-sumur tua, baik dari sisi finansial, teknis maupun dari sisi pembinaan. Lembaga
swadaya
masyarakat
(LSM)
yang
turut
berperan
dalam
pengelolaan sumur tua yakni: LSM Merah Putih melaksanakan kegiatannya di bidang pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan, pendidikan dan pelatihan. LSM ini secara khusus berupaya melakukan penguatan hak-hak masyarakat atas sumberdaya alam dan advokasi kebijakan pada pengelolaan sumur tua. Pelibatan LSM dalam pengelolaan sumur tua bertujuan untuk mengupayakan dan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap para pemodal sekaligus mencarikan alternatif solusi kearah penguatan kapasitas masyarakat serta penyampaian informasi perlindungan dan peningkatan kesadaran hukum dalam pengelolaan sumur-sumur tua. Oleh karena itu LSM Merah Putih merupakan stakeholders yang dapat mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan sumur-sumur tua 5.4.1
Kepentingan (Interest) Stakeholders Pengelolaan sumur tua, dalam pelaksanaannya melibatkan stakeholders
atau pihak yang berkepentingan dan terkait baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholders tersebut merupakan bagian dari sistem pengelolaan yang masing-masing memiliki kepentingan (interest) tersendiri terhadap sistem atau mekanisme pengelolaan sumur tua. Terkait dengan hasil dari analisis kepentingan (interest) dan aspirasi stakeholders tersebut, pada prinsipnya masing-masing stakeholders memiliki kepentingan yang bersifat spesifik. Hal ini berhubungan dengan kewenangan,
63 otoritas, peran, dan tanggung jawab yang terdapat pada masing-masing stakeholders terkait pengelolaan sumur tua. Hasil skoring tingkat kepetingan stakeholders dapat dilihat pada tabel 13. Tabel 13 Skoring Kepentingan (Importance) Stakeholders dalam Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo No
Aspek Fungsi Sumur Tua Desa Wonocolo Kebijakan Ekonomii Ekologi Sosial Budaya
Stakeholders
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penambang Penyuling Pedagang/pedagang Kepala Desa Wonocolo Camat Kedewan PERTAMINA BAPPEDA Kantor Lingkungan Hidup Dinas Pertambangan Biro Ekonomi Polsek Kedewan Koperasi Bogasasono DPRD II Pengusaha LSM Merah Putih
5.4.2
5 3 3 4 3 2 2 3 4 2 3 4 4 4 1
5 5 5 5 4 1 2 2 4 4 2 4 4 4 1
2 2 2 3 3 2 2 5 4 3 3 2 4 3 1
4 5 5 5 4 3 1 2 4 3 2 2 4 2 2
1 1 1 3 3 4 4 2 4 1 1 1 3 1 3
Jumlah 17 16 16 20 17 12 11 13 11 10 11 13 19 14 8
Pengaruh Stakeholders. Menurut Reed et al (2009), untuk melihat besarnya tingkat pengaruh masing-
masing stakeholders terhadap pengelolaan sumur tua, maka perlu diketahui informasi terhadap kekuatan stakeholders dalam mempengaruhi pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo selama ini. Skoring tingkat pengaruh stakeholders dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Skoring Pengaruh Stakeholders dalam Pengelolaan Sumur Tua di Desa Wonocolo Instrumen Kekuatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stakeholders Penambang Penyuling Pedagang/Pedagang Kades Wonocolo Camat Kedewan PERTAMINA BAPPEDA Kantor LH Dinas Pertambangan Biro Ekonomi Polsek Kedewan Koperasi Bogasasono DPRD II Pengusaha LSM Merah Putih
Condign
CompenSatory
4 4 5 3 2 2 2 2 2 1 2 2 3 1 2
4 5 5 3 3 1 2 2 3 1 2 1 3 1 2
Sumber Kekuatan
Conditioning 4 5 5 2 2 1 1 1 2 1 3 1 3 2 3
Personality 4 3 3 3 2 2 1 1 2 1 3 2 3 2 2
Organisasi 5 5 5 3 1 3 2 2 2 1 4 1 4 2 2
Jumlah 21 22 23 14 10 9 8 8 11 6 14 7 16 8 11
64 5.4.3
Klasifikasi Stakeholders. Nilai penting (importance) tabel 13 dan pengaruh stakeholders pada Tabel
14, yang dijumlahkan dalam Tabel 15, kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk gambar dengan menempatkan posisi masing-masing stakeholders ke dalam empat kategori. Gambar 15 menunjukkan posisi masing-masing stakeholders tersebut dalam konteks keberhasilan pengelolaan sumur tua di Blok Cepu. Tabel 15 Jumlah Skoring Pengaruh dan Kepentingan Stakeholders pada Pengelolaan Pertambangan Minyak bumi Rakyat di Desa Wonocolo. No
Stakeholders
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Penambang Penyuling Pedagang Kades Wonocolo Camat Kedewan PERTAMINA BAPPEDA Kantor Lingkungan Hidup Dinas Pertambangan Biro Ekonomi Polsek Kedewan Koperasi Bogasasono DPRD II Pengusaha LSM Merah Putih
Pengaruh
Kepentingan
21 22 23 14 10 9 8 8 11 6 14 7 16 8 11
17 16 16 20 17 12 11 13 11 10 11 13 19 14 8
Tinggi
65
4 5
13
1
KEPENTINGAN
14
12
2
3
8
Subjects
Key Players 7
6 11 9
10
Rendah
15
Crowd
Context Setters
Rendah
Tinggi
PENGARUH Keterangan: 1. Penambang; 2. Penyuling; 3. Pedagang; 4. Kades Wonocolo; 5. Camat Kedewan; 6. PERTAMINA; 7. BAPPEDA; 8. Kantor LH; 9. Dinas Pertambangan; 10. Biro Ekonomi; 11. Polsek Kedewan; 12. Koperasi Bogasasono; 13. DPRD II Bojonegoro; 14. Pengusaha; 15. LSM Merah Putih.
Gambar 14 Klasifikasi Stakeholders berdasarkan Pengaruh dan Kepentingannya dalam Pertambangan Minyak Bumi Rakyat di Desa Wonocolo, diadaptasi dari Eden dan Ackermann 1998 dalam Bryson 2004 dan Reed et al. 2009. Analisis kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam penelitian ini dilakukan untuk memetakan tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo. Terdapat 15 (lima belas) stakeholders yang memiliki kepentingan dan pengaruh dalam pengelolaan kawasan tersebut yang dapat dibedakan dalam tiga kelompok yaitu kelompok yang mewakili stakeholders pemerintah, dunia usaha dan masyarakat yakni; 1. Penambang; 2. Penyuling; 3. Pedagang; 4. Kades Wonocolo; 5. Camat Kedewan; 6. PERTAMINA; 7. BAPPEDA; 8. Kantor LH; 9. Dinas Pertambangan; 10. Biro Ekonomi; 11. Polsek Kedewan; 12. Koperasi Bogasasono; 13. DPRD II Bojonegoro; 14. Pengusaha; 15. LSM Merah Putih. Selanjutnya setiap stakeholders dipetakan berdasarkan tingkat kepentingan dalam pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo serta pengaruh antar satu stakeholders terhadap stakeholders lainnya. Pemetaan stakeholders dilakukan berdasarkan matriks pengaruh dan kepentingan (diadaptasi dari Eden dan Ackermann 1998 dalam Bryson 2004 dan Reed et al. 2009). Ada dua hal yang dilakukan dalam analisis ini yaitu menjaring seluruh stakeholders yang terkait dalam pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo dan
66 selanjutnya pemberian penilaian (skoring) berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh antar stakeholders. Terdapat 5 (lima) stakeholders yang berada pada kuadran ke III (key players) merupakan stakholders yang aktif karena mempunyai kepentingan dan pengaruh tinggi terhadap permasalahan pengelolaan sumur tua, yakni DPRD II, Kades Wonocolo, Penambang, Penyuling dan Pedagang. Semua stakeholders tersebut memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi dalam pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo. Tingginya pengaruh dari setiap stakeholders tersebut dapat dilihat dari peran masing-masing stakeholders terhadap pengelolaan sumur tua. Stakeholders dari birokrat (Kades Wonocolo) memiliki peran sebagai regulator, fasilitator dan evaluator dalam pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo. DPRD II sebagai lembaga legislasi memberikan pengaruh kepada stakeholders lainnya yaitu pihak eksekutif dalam menentukan arah kebijakan sekaligus melakukan pengontrolan terhadap kinerja pemerintah dalam pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo berdasarkan regulasi yang telah dirumuskan dan ditetapkan bersama eksekutif. Sedangkan pedagang merupakan stakeholders yang paling tinggi pengaruhnya. Pedagang akan memberikan pengaruh terhadap stakeholders lainnya yakni penyuling dan penambang. Eksistensi pedagang ini merupakan kunci dari penyelesaian permasalahan pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo. Pada kuadran ke IV terdapat 4 (empat) stakeholders yaitu:, camat Kedewan, Kantor LH, Koperasi Bogasasono dan Pengusaha. Stakeholders yang berada pada kuadran ini pada dasarnya memiliki kepentingan yang tinggi dalam pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo, tetapi pengaruhnya terhadap stakeholders lainnya rendah. Hal ini terjadi karena kelompok stakeholders ini tidak memiliki kewenangan untuk mempengaruhi stakeholders lainnya, namun sebagai institusi mempunyai kepentingan yang tinggi sehubungan dengan tugas dan fungsi kelembagaan yang diembannya. Stakeholders yang berada di kuadran ini merupakan pihak yang penting untuk dilibatkan secara aktip dalam pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo. Kantor LH berkepentingan atas dampak pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh eksploitasi sumur tua dan penyulingan minyak
mentah. Sumur tua secara ekonomi berpotensi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena potensi pertanian yang rendah untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Pengusaha
berkepentingan
mengembangkan usaha dan peningkatan pendapatan perusahaan dari sektor minyak bumi. Kelompok stakeholders ini mempunyai pengaruh rendah, meskipun mereka mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada,
67 tetapi mereka dapat menjadi berpengaruh jika membentuk aliansi/koalisi dengan stakeholders lainnya. Pada kuadran I terdapat 5 (lima) stakeholders yaitu: PERTAMINA, BAPPEDA, Dinas Pertambangan, Biro Ekonomi dan LSM Merah Putih, LSM Merah Putih merupakan stakeholders yang paling lemah, artinya pengaruh dan kepentingan rendah pada kasus pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo, hal ini disebabkan secara hukum tidak memiliki kewenangan untuk mempengaruhi stakeholders lain dan kepentingannya hanya bersifat administratip, tetapi LSM Merah Putih sebagai lembaga pengontrol yang memiliki misi dan visi sosial untuk memberikan kritik ketika stakeholders lainnya yang memanfaatkan kawasan tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan cenderung menyebabkan terjadinya ekploitasi berlebihan pada sumberdaya alam dan penurunan kualitas lingkungan. Meskipun pengaruh dan kepentingannya rendah terhadap hasil yang diinginkan tetapi kelompok ini harus dipertimbangkan untuk diikutsertakan dalam pengambilan keputusan. Pada kuadran II terdapat 1 (satu) stakeholders yaitu: Polsek Kedewan, stakeholders ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap stakeholders lainnya dikarenakan tugas dan fungsi yang menjadi tanggungjawabnya yaitu menjaga ketertiban dan keamanan dikawasan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo, pengaruh yang besar ini bisa mempengaruhi stakeholders yang lain, oleh karena itu dapat menjadi resiko yang signifikan sehingga harus dipantau. 5.4.4
Pemetaan Stakeholders dalam Bingkai Masalah (Problem-Frame). Menurut Bryson (2004) memetakan stakeholders dalam bingkai masalah
(problem frame) akan memudahkan untuk mengidentifikasi stakeholders dalam. Hal ini penting untuk didefinisikan agar dapat mengetahui stakeholders atau kelompok stakeholders mana yang mendukung atau menentang pada permasalahan yang dihadapi. Pemetaan ini juga bertujuan agar dapat diketahui apa yang memotivasi tindakan stakeholders untuk menyikapi permasalahan yang ada. Gambar 15 menjelaskan posisi stakeholders dalam bingkai masalah yang dikembangkan oleh Bryson (2004) diadaptasi dari Nutt dan Backoff (1992).
68
High
2
Support
15
3 1
14 Weak Supports
Low
Strong Supports
Low
Opposition
11
13
7
9 10
5 6
High
Weak Opponents
8
12 4
Strong Opponents
Stakeholders Power Keterangan: 1. Penambang; 2. Penyuling; 3. Pedagang; 4. Kades Wonocolo; 5. Camat Kedewan; 6. PERTAMINA; 7. BAPPEDA; 8. Kantor LH; 9. Dinas Pertambangan; 10. Biro Ekonomi; 11. Polsek Kedewan; 12. Koperasi Bogasasono; 13. DPRD II Bojonegoro; 14. Pengusaha; 15. LSM Merah Putih.
Gambar
15
Pemetaan Stakeholders dalam Bingkai Masalah Pengelolaan Pertambangan rakyat Minyak Bumi di Desa Wonocolo (Bryson 2004 diadaptasi dari Nutt dan Backoff 1992)
Pada gambar 15 menunjukan bahwa kebanyakan stakeholders berada pada posisi strong opponent atau pihak yang menentang kuat permasalahan yang terjadi pada pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo stakeholders tersebut yakni: Kades Wonocolo; Camat Kedewan; PERTAMINA, Kantor LH; Dinas Pertambangan; Polsek Kedewan; Koperasi Bogasasono; DPRD II. Stakeholders pada posisi ini menentang karena secara kelembagaan merupakan pihak yang bertanggungjawab dan pihak yang dirugikan pada permasalahan pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo. Pihak strong opponent tidak memperoleh manfaat secara ekonomi. Pada posisi strong opponent ini merupakan lawan dari strong supoorts yakni: Pedagang; Penyuling; Penambang dan Pengusaha. Stakeholders yang mendukung
permasalahan
riil
di
lapangan
disebabkan
karena
menikmati
keuntungan yang besar dari situasi yang ada terutama secara ekonomi. Pada posisi weak supports hanya ditempati oleh LSM Merah Putih, pada dasarnya LSM mendukung terhadap penyelesaian masalah yang terjadi pada pengelolaan pertambangan rakyat di Desa Wonocolo dengan catatan ada win-win solution, tetapi LSM mempunyai kewenangan rendah dari sisi kebijakan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi.
69 BAPPEDA dan Biro Ekonomi Setda Bojonegoro merupakan stakeholders yang menentang tetapi kekuatannya lemah di sebabkan tidak mempunyai kapasitas yang cukup sehubungan dengan Tupoksi dari stakeholders tersebut. Berdasakan pemetaan diatas dapat ditentukan stakeholders yang harus di mendapat perhatian terlebih dahulu adalah yang berada di posisi strong supports dengan program-program yang dapat mengkompensasi keuntungan yang mereka dapatkan saat ini. Dilihat dari klasifikasi dari stakeholders ada 3 (tiga) stakeholders yang
merupakan
strong
supports
(penambang,
penyuling
dan
pedagang)
merupakan stakeholders kunci (key players) dan 1 (satu) masuk klasifikasi subject (pengusaha). Menurut Mason (2011) koalisi terjadi ketika para anggota kelompok mengatur untuk mendukung mereka tentang isu tertentu. Koalisi merupaka respon atas isu tertentu. Koalisi dibentuk untuk mempertahankan dan meningkatkan kepentingan diri sendiri, orang-orang dari individu atau kelompok dengan tujuan mencapai keseimbangan kekuatan yang menguntungkan serta memadai untuk keuntungan anggota koalisi itu. Pada kasus pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo terdapat dua koalisi besar yang terbentuk yaitu koalisi yang menentang pengelolaan sumur tua saat ini yang menginginkan agar pengelolaan sumur tua bisa dilakukan dengan lebih baik. Koalisi yang kedua merupakan koalisi yang terbentuk karena merasakan keuntungan yang sama pada situasi pengelolaan sumur tua saat ini, motif ekonomi merupakan pendorong utama terbentuknya koalisi ini. 5.5
Konsep Strategi Pengelolaan Sumur Tua Di Desa Wonocolo. Berdasarkan mekanisme akses terhadap sumur tua, kemampuan masyarakat
memanfaatkan minyak bumi dari sumur tua atas dasar struktural dan relasional. Faktor yang menyebabkan berupa modal, teknologi, tenaga kerja dan relasi sosial, secara formal aktivitas pengelolaan sumur tua adalah illegal karena tidak dilindungi aspek legal berupa perijinan. Aktivitas illegal ini tetap dilakukan oleh masyarakat disebabkan kebutuhan ekonomi masyarakat dan hasil minyak bumi dari sumur tua merupakan pilihan yang bisa dikerjakan oleh masyarakat Wesa Wonocolo. Kondisi ini disebabkan oleh terabaikannya pemberdayaan masyarakat oleh Pemda Bojonegoro hal ini bisa dilihat dari tingkat pendidikan masyarkat yang masih rendah dan kondisi fisik desa. Maraknya aktivitas pengelolaan sumur tua juga disebabkan oleh
lemahnya
kinerja
kelembagaan
Pemda
dalam
mengendalikan
dan
mempertahankan akses terhadap sumur tua, sehingga pengelolaan secara ilegal bisa di cegah. Persoalan pencemaran lingkungan juga merupakan akibat tidak adanya hak pengelolaan sehingga tidak ada yang bertanggungjawab secara hukum jika terjadi pelanggaran pencemaran dari aktivitas pengelolaan sumur tua.
70 Berdasarkan
identifikasi
masalah
didapatkan
kenyataan
bahwa
hak
pengelolaan merupakan masalah yang sampai saat ini belum bisa direalisasikan karena tidak berfungsinya koperasi sebagai lembaga yang diberi amanat dalam pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua akibat dari keengganan masyarakat menjual hasil produksinya kepada koperasi karena belum ada kesepakatan harga karena harga yang iminta koperasi lebih rendah dibanding dengan harga di pasar gelap kepada para pengolah/penyuling. Aktivitas pengolahan minyak bumi dan perdagangan hasil olahan adalah aktivitas illegal yang merupakan lanjutan dari proses pengambilan minyak bumi dari sumur tua dan merupakan aktivitas yang menjadi kekuatan pengendali dari seluruh aktivitas pengelolaan sumur tua. Hal ini diakibatkan karena lemahnya penegakan hukum oleh pihak-pihak yang terkait. Masalah ini juga menunjukan adanya kelemahan lembaga dalam pengontrolan terhadap sumberdaya alam minyak bumi dari sumur tua. Masalah pemberdayaan masyarakat, lemahnya kelembagaan dan lemahnya penegakan hukum merupakan faktor yang menjadi penyebab atas permasalan yang timbul dari pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Desa Wonocolo. Menurut Andrews (1980), strategi adalah kekuatan motivasi untuk stakeholders, debtholders, manajer, karyawan, konsumen, komunitas, pemerintah, dan sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung menerima keuntungan atau biaya yang ditimbulkan oleh semua tindakan yang dilakukan oleh perusahaan. Diperlukan
aksi
bersama
dari
semua
stakeholders
untuk
membuat
kesepakatan bersama sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing. Dalam kesepakatan ini masing-masing stakeholders harus memahami bahwa semua aktivitas ilegal dihentikan yang didahului dengan proses pemeberdayaan pada pihak yang kehilangan kesempatan berusaha dengan mengalihkan profesi pengolah dan pedagang untuk bekerja pada proses pengambilan minyak, dukungan yang diberikan oleh stakeholders secara tidak sah yang berupa modal dan suap/upeti tidak dilakukan lagi dan pemda lebih aktip dalam rangka pengawasan dan pembinaan kepada para penambang dengan penekanan pada penguatan dan restrukturisasi menejemen koperasi baik dari sisi organisasi, sumberddaya manusia maupun modal sehingga penambang mau menjual hasil produksi minyak bumi kepada koperasi. Gambar 16 menunjukan proses menyusun strategi berdasarkan permasalahan yang ada.
71
Pencemar
Minyak Bumi
Komoditi
Sumur Tua State Property
Pemda
PERTAMINA
Open Access
Status
Masyarakat Lokal
EKPLOITASI
Pengusaha
Pengambilan
Masyarakat Pendatang
Pengolahan
Penegak Hukum
Oknum Pemda
Perdagangan
Oknum Aparat
SOLUSI Aksi bersama dan Penegakan hukum
Koperasi
Pemberdayaan Kelembagaan
Gambar
16
Bagan Konsep Strategi Pengelolaan Pertambangan Minyak Bumi Rakyat di Desa Wonocolo.
5.5.1 Pemberdayaan Masyarakat Penambang Menurut
Sumodiningrat (1999),
bahwa pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Pemberdayaan
pada
dasarnya
adalah
proses
pembinaan
dan
pengawasan, menurut Awandana (2010) pemberdayaan adalah suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisasian masyarakat. Definisi tersebut menggambarkan tiga tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat dan mengorganisir diri masyarakat. Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan antara lain: kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk
72 mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Pemberdayaan adalah bukan hanya konsep ekonomi, atau hanya konsep politik.
Pemberdayaan
adalah
konsep
yang
menyeluruh
atau
holistic
(Kartasasmita, 1997). Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan secara penuh potensinya melalui pemberdayaan diharapkan akan meningkat bukan hanya ekonominya, melainkan juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya. Hal ini dapat diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung
pada program-program
pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambunagan. Persoalan di kawasan pertambangan hampir selalu terjadi antara masyarakat penambang dengan pemerintah. Hal ini terjadi karena harapan masyarakat yang tidak terealisir ataupun karena keinginan masyarakat untuk ikut mengakses sumberdaya tambang tersebut tidak tercapai. Semua itu disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sangat terbatas akibat belitan kemiskinan di tengah keterbatasan keahlian yang mereka miliki. PERTAMINA sebagai lembaga yang mempunyai infrastuktur, financial dan teknologi yang memungkinkan untuk membuat sistem pemberdayaan yang sesuai dengan keinginan penambang. Pembentukan lembaga yang beroriantasi ekonomi dan bermodal kuat, seperti koperasi karyawan PERTAMINA merupakan alternative yang paling rasional untuk mengatasi masalah financial yang selama ini dialami oleh koperasi yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Pada dasarnya para penambang tidak akan menolak atau menentang apapun kebijakan yang di terapkan oleh Pemerintah Daerah, prinsip utamanya adalah mereka bekerja dan mendapatkan hasil atas pekerjaan ini, pembelian kontan atas hasil kerja mereka merupakan salah satu solusi yang bisa menjadi awal dari berbagai persoalan yang timbul dari pertambangan minyak bumi rakyat di Desa Wonocolo.
73 Langkah
selanjutnya
adalah
dengan
mendata
jumlah
kelompok
penambang dan identitas anggota kelompok sehingga secara administrasi jumlah penambang akan terdata dan terkontrol dengan baik. Langkah ini juga untuk menjadikan mereka sebagai penambang yang legal yang secara psikologis memberikan rasa aman dalam berusaha. Semua kegiatan ini harus di fasilitasi oleh Pemerintah Daerah setempat dan di dukung oleh payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda). Pendataan jumlah penambang dan kelompok penambang ini juga dimaksudkan agar pemerintah dapat membuat program pembinaan dan pengawasan agar kegiatan penambangan ini tidak berdampak negatip terhadap keseimbangan lingkungan atau dapat meminimalisir pencemaran lingkungan. Pembinaan dan pengawasan ini diperlukan karena pada umumnya tingkat pengetahuan masyarakat penambang tentang pencemaran masih rendah. 5.5.2
Penguatan Kelembagaan Kelembagaan (institusi) memberi tekanan pada lima hal, yaitu : 1)
berkenaan dengan aspek sosial, 2) berkaitan dengan hal-hal yang abstrak yang menentukan perilaku individu dalam sistem sosial, 3) berkaitan dengan perilaku, seperangkat tata kelakuan atau cara bertindak yang mantap dan sudah berjalan lama dalam kehidupan masyarakat, 4) ditekankan pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi dalam kehidupan masyarakat dan 5) pelaksanaan kelembagaan diarahkan pada cara-cara baku untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam sistem sosial tertentu (Syahyuti 2003). Dalam rangka pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua diperlukan kebijaksanaan pengembangan sistem pertambangan rakyat secara terpadu, yang mengkaitkan seluruh komponen dan mekanisme pelaksanaan operasional pertambangan rakyat, meliputi; jumlah sumur yang dikelola, jumlah penambang aktif, organisasi penambang yang sudah ada, infrastruktur yang ada, teknologi pertambangan yang digunakan dan lain-lain. Kebijaksanaan yang menyeluruh tersebut harus didukung oleh kebijaksanaan lintas sektoral dan keterpaduan antar Dinas dan Instansi yang terkait dengan pertambangan. Penguatan
kelembagaan
informal
berupa
pendataan
kelompok-
kelompok penambang yang ada untuk memudahkan dalam pembinaan dan pengawasan. Pembinaan meliputi bidang teknologi penambangan yang ramah lingkungan dan menejemen organisasi. Kelemahan kelembagaan pemerintah terlihat dengan maraknya aktivitas masyarakat dalam pengambilan, pengolahan dan pemasaran hasil olahan minyak
74 bumi. Pemerintah daerah tidak mampu mengendalikan dan mempertahankan akses terhadap sumur tua. Hal itu tidak akan terjadi jika peran kelembagaan berjalan sesuai kapasitasnya, karena pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua sudah mempunyai aspek legalitas yakni Permen ESDM no, 01 tahun 2008 tentang Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua. Kompleksitas permasalahan pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua khususnya dalam mengendalikan peredaran dan penjualan minyak mentah kepada para penyuling diperlukan langkah-langkah yang tepat. Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) prinsip kerjasama dalam pengembangan kelembagaan pertambangan minyak bumi rakyat di Desa Wonocolo, yakni; 1). Sinergi dan kemitraan, yaitu para penambang dituntut untuk berbagi peran dan fungsi di dalam pengelolaan sumur tua; 2). Partisipatif, yaitu melalui pelibatan seluruh pelaku di bidang tersebut, yang merupakan pengembangan dari tiga unsur utama pelaku pertambangan rakyat, yaitu: Pemerintah, PERTAMINA dan Masyarakat; 3). Bersifat holistik (multisektoral dan multidimensional), yaitu dengan didukung oleh struktur organisasi, administrasi dan mekanisme kerja lembaga yang terkait dengan pengelolaan sumur tua. Selain itu didukung pula oleh faktor perundang-undangan atau peraturan daerah yang terkait dengan bidang pertambangan rakyat khususnya pengelolaan sumur tua. 5.5.3 Aksi Bersama dan Penegakan Hukum. Menurut Marshal (1998) mengartikan aksi kolektif sebagai aksi yang dilakukan oleh sebuah kelompok, baik secara langsung atau atas nama organisasi, dalam mencapai apa yang oleh anggota kelompok itu dianggap sebagai kepentingan bersama. Aksi kolektif dilaksanakan secara sukarela oleh partisipannya yang membedakannya dengan usaha kolektif oleh kelompokkelompok pekerja yang dibayar. Akasi bersama ini diperlukan dalam pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo dengan melakukan kesepakatan diantara para stakeholders yang terkait dengan tujuan untuk mendapatkan hak pengelolaan secara sah atas pengambilan minyak mentah dengan cara meniadakan aktivitas pengolahan dan perdagangan minyak olahan. Sebagai kompensasi dari peniadaan aktivitas pengolahan dan perdagangan minyak olahan para pedagang dan pengolah dialihkan pekerjaannya pada aktivitas pengambilan minyak. Hal lain dalam rangka aksi bersama ini juga harus dibarengi dengan penguatan koperasi dengan merubah sistem pembelian minyak mentah dari para penambang dengan harga sesuai dengan harga pasar dan dilakukan secara tunai.
75 Sementara itu definisi penegakan hukum (law inforcement) secara luas menurut Hamzah (1997), meliputi kegiatan preventif yang meliputi negosiasi, supervisi, penerangan dan nasehat) dan represif yang meliputi mulai dari kegiatan penyelidikan,penyidikan sampai penerapan sanksi baik administratif maupun hukum pidana. Penegakan hukum merupakan mata rantai terakhir dalam dalam siklus pengaturan (regulatory chain) perencanaan kebijakan. Urutan siklus pengaturan perencanaan kebijakan yakni: 1) perundang-undangan (legislation); 2) penentuan standar (standard setting); 3) pemberian izin (lizensing); 4) penerapan (implementation); 5) penegakan hukum (law enforcement). Lemahnya kelembagaan pada aktivitas pengelolaan sumur tua khususnya pada aktivitas pengolahan dan perdagangan minyak olahan yang dibiarkan berlangsung tanpa ada penindakan tegas kepada para pelaku karena dari aspek legal kegiatan ini tidak mempunyai dasar hukum, hal ini juga menunjukan lemahnya penegakan hukum. Lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum oleh masyarakat. Bila penegakan hukum oleh aparat lemah, masyarakat akan beranggapan bahwa hukum di lingkungannya tidak ada atau seolah berada dalam hutan rimba yang tanpa aturan. Penegakan hukum sangat diperlukan dalam pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Desa Wonocolo terutama dalam kegiatan pengolahan/penyulingan karena kegiatan ini merupakan awal dari pelanggaran berkaitan dengan ijin dan kualitas hasil olahan yang dihasilkan. Kegiatan selanjutnya yang melanggar hukum adalah distribusi hasil olehan yang berupa minyak solar dan minyak tanah, dimana kewenangan yang ada berada di pihak PERTAMINA seperti yang diatur dalam Undang-undang no. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sesuai pasal 1 ayat 20 yang menyebutkan bahwa kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba harus mendapatkan ijin usaha. Penegakan hukum dalam pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Desa Wonocolo ini diperlukan koordinasi dengan aparat penegak hukum seperti Polres Bojonegoro, Polres Tuban dan Polres Blora, Kejaksaan/ Pengadilan Negeri Bojonegoro, Kejaksaan/Pengadilan Negeri Tuban dan Kejaksaan/Pengadilan
Negeri
Blora.
Kegiatan-kegiatan
dalam
rangka
pengawasan dan pencegahan pengolahan minyak mentah dan distribusinya dilaksanakan melalui tindakan represif seperti patroli rutin, operasi gabungan, operasi fungsional dan tindakan preventif melalui penyuluhan. Keberhasilan penegakan hukum pengelolaan sumur tua di desa Wonocolo dipengaruhi oleh
76 kemampuan penegak hukum dalam mengatasi hambatan dan kendala yakni: 1). Hambatan dan kendala yang berupa tingkat pengetahuan masyarakat yang beragam yang dapat menyebabkan persepsi hukum yang berbeda; 2). Kesadaran hukum masyarakat masih rendah; 3). Belum jelasnya peraturan hukum terkait pengelolaan sumur tua; 4). Integritas penegak hukum yang masih rendah; 5). Masalah pembiayaan.
77 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 1.
Kesimpulan Minyak bumi sebagai sumberdaya alam mempunyai karakteristik sebagai komoditi yang memerlukan aktivitas manusia untuk pemanfaatannya. Akses masyarakat untuk memanfaatkan minyak bumi dari sumur tua berdasarkan pada faktor modal, tenaga dan teknologi. Pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua di Desa Wonocolo telah melanggar kebijakan Permen ESDM no. 01 tahun 2008 tentang Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua pada kegiatan pengambilam minyak bumi dalam hal hak pengelolaan dan melanggar PP no. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengenai legalitas kegiatan pengolahan minyak bumi dan perdagangan minyak hasil olahan berupa solar dan minyak tanah, hal ini terjadi disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum.
2.
Permasalahan pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua terjadi disebabkan hak pengelolaan oleh masyarakat dalam kegiatan pengambilan minyak bumi tidak bisa diakomodir oleh Pemda karena tidak berfungsinya koperasi
sebagai
lembaga
yang
di
tunjuk
sebagai
pelaksana dalam
pengusahaan pertambangan minyak bumi pada sumur tua hal ini terjadi karena pemberdayaan masyarakat yang terabaikan dan lemahnya kelembagaan Pemda Bojonegoro. Kegiatan pengolahan minyak bumi dan perdagangan minyak hasil olahan merupakan kegiatan yang illegal dan merupakan kegiatan yang menjadi kekuatan pengendali (driver power), hal ini terjadi disebakan oleh lemahnya penegakan hukum. 3.
Konsep strategi: pemberdayaan masyarakat penambang, penegakan hukum berupa
pemberantasan
penyulingan
dan
perdagangan
minyak
olahan,
penguatan kelembagaan dengan melakukan restrukturisasi menejemen dan sumberdaya manusia pengurus koperasi unit desa. Untuk itu Pemda harus melakukan pengendalian akses masyarakat terhadap sumur tua dengan lebih aktif melakukan pembinaan dan pengawasan dan mempertahankan akses terhadap keberadaan sumur tua dengan melakukan inventarisasi dan pemetaan serta melakukan penandaan (marking) sehingg sifatnya open acces tetap menjadi state property yang close access dengan membuat kebijakan berupa Peraturan Daerah (Perda). Disamping itu perlu dilakun aksi bersama stakeholders terkait dalam pengelolaan sumur tua dan penegakan hukum pada
78 kegiatan yang tidak di diakomodir oleh peraturan-perundangan/kebijakan (pengolahan dan perdagangan hasil olahan). 6.2. 1.
Saran Pemda Kabupaten Bojonegoro harus
lebih aktip dalam
pengusahaan
pertambangan minyak bumi pada sumur tua berkaitan dengan pelimpahan wewenang
dalam
pengelolaanya
dengan
tujuan
agar
pemberdayaan
masyarakat bisa diterapkan dan pendapatan daerah bisa meningkat untuk kepentingan pembangunan daerah. 2.
Pengawasan terhadap pencemaran harus disertai dengan pembinaan terhadap para penambang mengenai sistem pertambangan yang ramah lingkungan bekerjasama
dengan
PERTAMINA
sebagai
lembaga
yang
kapabilitas
teknologinya memadai dalam pengelolaan limbah. 3.
Untuk meminimalisir terjadinya konflik antara masyarakat pelaku pertambangan rakyat dengan pemerintah dan aparat kepolisian, perlu diperjelas lagi mengenai ketentuan yang mengatur tentang tanggung-jawab pemerintah terhadap penghargaan hak-hak masyarakat sekitar sumur tua, termasuk mekanisme penyelesaiannya.
4.
Pemerintah Daerah Bojonegoro secepatnya membuat Perda (Peraturan Daerah) yang mengatur teknis pelaksanaan dan mekanisme perijinan yang sederhana sehingga masyarakat tidak kesulitan untuk mengurusnya.
5.
Perlu dilakukan penelitian tentang peranan sumur tua minyak bumi terhadap ekonomi masyarakat pelaku pertambangan rakyat minyak bumi.
79 DAFTAR PUSTAKA
Abbas R. 2005. Mekanisme Perencanaan Partisipasi Stakeholder Taman Nasional Gunung Rinjani [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Awandana. 2010. Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat. http://id.shvoong.com/ social-sciences/1867898-konsepsi-pemberdayaan-masyarakat/. Andrews KR. 1980. The Concept of Corporate Strategy. Homewood. New York. Asikin M. 2001. Stakeholders Participation in SME Policy Design and Implementation. ADB technical Assistance SME Development. Jakarta. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Bojonegoro dalam Data Makro. Bojonegoro.
Daerah.
2009.
Kabupaten
Bryson JM. 2004. What to Do when Stakeholders Matter: Stakeholder Identification and Analysis Techniques. Public Management Review Vol 6 issue 1: 21-53. Cartwright D. and A. Zander. 1968. Group Dinamic: Research and Theory. Third Edition. Harper and Row, Publisher. New York. Departemen ESDM. 2010. PERTAMINA Serahkan Pengeolaan 24 Sumur Tua Kepada KUD Wargo Tani Makmur http://www.esdm.go.id/berita/migas/40migas/2388-PERTAMINA-ep-serahkan-pengelolaam-24-sumur-tua-kepadakud-wargo-tani-makmur.html Dunn
WN. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Jogjakarta.
Fisher S, Ludin J, Williams S, Abdi ID dan R. Smith. 2001. Mengelola Konflik Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak. The British Council Indonesia. Jakarta Hadi AP. 2007. Konsep Pemberdayaan, partisipasi dan Kelembagaan dalam Pembangunan. Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya. Bogor. Hare AP. 1962. Handbook of Small Group Research. The Free Press. New York. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik, Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri & Lingkungan. Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology. Bogor. Islamy MI. 1997. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Bumi Aksara. Jakarta Kartasasmita G. 1996, Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta. Kartasasmita G. 1997. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Sarasehan DPD Golkar TK I Jawa Timur. Surabaya. Kartodihardjo H. 2004. Analisis Kebijakan Perbatasan Indonesia Dalam Permasalahan Sosial, Budaya, Dan Ekonomi Wilayah Perbatasan. bahan presentasi departemen dalam negeri. Jakarta. Kartodihardjo H. 2006. Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan Kehutanan Studi: Tiga Kasus (Problem of Istitusional Capacity of Forestry
80 Policy: Three Case Study). Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. 12, No. 3:14-25. [Kemen ESDM] Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2001. Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Jakarta. [Kemen ESDM] Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral.. 2008. Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua, Jakarta. [Kontras] Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan, 2004. Laporan Penelitian Bisnis Militer di Perusahaan Pengeboran Minyak Bojonegoro Jawa Timur. Jakarta. [Kemen LH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2009. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta. Lionberger HF. 1968. Adoption of New Ideas and Practice. The Iowa State University Press. USA Malik IB, Wijardjo N, Fauzi, Royo A. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan. Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumberdya Alam. Yayasan Kemala. Jakarta. Marshall, G. 1998. A dictionary of sociology. Oxford University Press. New York. Mason
HW 2011. Coalition Building. http://www.referenceforbusiness.com/ management/Bun-Comp/Coalition-Building.html. Internet.
[MK] Mahkamah Konstitusi. 2003. Putusan Perkara Nomomor 002/PUU-I/2003 tentang Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Jakarta. Moleong LJ. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Aditya Media. Yogyakarta. Nahib I. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Tidak Pulih Berbasis Ekonomi Sumberdaya (Studi Kasus : Tambang Minyak Blok Cepu). Gramedia Volume 12. Jakarta. Nugroho Y. 2004. Negara, Masyarakat Lokal, dan Taman Nasional Gunung Merapi. Yogyakarta. Ostrom E. 2011. Background on The Institusional Analysis and Development Framework. The Policy Studies Journal, Vol. 39, No. 1: 7-27. Pace RW. dan FD. Faules. 1998. Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Remaja Rosdakarya. Bandung. Parsons W. 2008. Public Policy. Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta Peluso NL. 1992. Structures of Access Control, Reportoires of Resistance in Rich Forest, Poor People. University of California Press. Berkley. [PPT Migas] Pusat Pendidikan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. 1995. 100 Tahun Perminyakan di Cepu. Cepu: PPT Migas. Prijono OS, Pranarka AMW. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Penerbit Centre for Strategic and International Studies. Jakarta. Priyanto B. 2010. Pengembangan Teknologi Fitoremediasi untuk Menanggulangi Penyebaran Pencemaran Minyak Bumi. Balai Teknologi Lingkungan. BPPT. Jakarta
81 Ramdan H, Yusran. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah : Kajian Kebijakan dan Valuasi Ekonomi [Thesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Reed MS et al. 2009. Who’s in and why? A Typology of Stakeholder Analysis Methods for Natural Resource Management. Journal of Environmental Management . Vol. 30, 4: 1 - 17. Ribot JC, Peluso NL. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology. Vol. 68, No.2: 153-181. Sahwan. 2002. Analisis kebijakan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Studi Kasus Tahura Sesaot Provinsi Nusa Tenggara Barat) [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Salim E. 1991. “Merenungi Bumi.” Tempo, 27 April 1991. Salim E. 2005. “Pertambangan dalam Berkelanjutan Pembangaunan.” Kompas, 4 Maret 2005. Salim HS. 2004. Hukum Pertambangan Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Suharto E. 2005. Analisis Kebijakan Publik Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan kebijakan Sosial. CV. Alfabeta. Bandung. Soekanto S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sumarwoto O. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan pembangunan. Djambatan. Jakarta. Sumodiningrat G. (1999). Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Gramedia. Jakarta. Suporaharjo. 1999. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka Latin. Bogor. Susilo DR. 2008. Sosiologi Lingkungan. PT. Rajagrafindo Persada. Malang. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam penelitian Pertanian. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Bina Rena Pariwara .Jakarta. Wahab SA. 1997. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Bina Aksara. Jakarta. Wahab SA. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. UMM Press. Malang. Yasmi Y. 2003. Understanding Conflict In The Co-Management Of Forest: The Case Of Bulungan Research Forest. International Forestry Review 5 (1): 38-44. Zulkarnain I, Pudjiastuti TN. 2006. Panduan Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan Pertambangan. Program Kompetitif Pengembangan Iptek-LIPI Press. Jakarta. Zulkarnain I, Pudjiastuti TN, Karomah U. 2003. Potensi Konflik di Daerah Pertambangan: Kasus Pongkor dan Cikotok. LIPI Press. Jakarta. Zulkarnain I, Pudjiastuti TN, Saidi A, Mulyaningsih Y. 2004. Konflik di Daerah Pertambangan: Menuju Penyusunan Konsep Solusi Awal dengan Kasus pada Pertambangan Emas dan Batubara. LIPI Press. Jakarta.
82 Zulkarnain I, Erman E, Pudjiastuti TN, Mulyaningsih Y. 2005. Konflik di Kawasan Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi. LIPI Press. Jakarta. Zulkarnain I, Pudjiastuti TN, Sumarnadi ET, Sari BR. 2007. Dinamika dan Peran Pertambangan Rakyat di indonesia. LIPI Press. Jakarta. ------------. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Bina Rena Pariwara. Jakarta. ------------. 2008, Konsep Pertambangan Rakyat dalam Kerangka Pengelolaan Sumber Daya Tambang yang Berkelanjutan. Program Kompetetif Pengembangan Iptek-LIPI Press. Jakarta. ------------. 2010. Kecamatan Kedewan Dalam Angka 2010. Bojonegoro.
83
Lampiran 1: Panduan Wawancara Mendalam stakeholders
ANALISIS MASALAH DAN STRATEGI PENGELOLAAN SUMUR TUA DI BLOK CEPU STUDI KASUS TAMBANG RAKYAT MINYAK BUMI DI DESA WONOCOLO KABUPATEN BOJONEGORO
MARWOTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
84
WAWANCARA MENDALAM STAKEHOLDERS Nama Jabatan Instansi Pendidikan Umur Alamat/Tlp/HP a.
: : : : : :
………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………
Persepsi Stakeholders Terhadap Pengelolaan Pertambangan Rakyat (PR) Minyak Bumi di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro.
No.
Pertanyaan
1
Bagaimana pendapat Anda tentang pengelolaan Pertambangan Rakyat di desa Wonocolo?
2
Apakah pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan PR sudah bertindak sesuai dengan wewenang, hak, kewajiban dan tugas masing-masing ?
3
Apakah pengelolaan Pertambangan Rakyat sudah menguntungkan secara ekonomi semua pihak ?
4
Apakah terjadi pencemaran dalam proses pengolahan dan penambangan minyak bumi ? Apakah merasa dirugikan jika ada pencemaran ?
5
Bagaimana proses perijinan dalam pengusahaan tambang minyak bumi ini ?
6
Apakah ada larangan untuk menambang minyak ? Pernahkan terjadi pelarangan secara paksa ?
7
Pihak mana saja yang sering mendatangi lokasi pertambangan rakyat di desa Wonocolo ? Apa yang mereka lakukan ?
8
Bagaimana jika pertambangan ini ditutup oleh pemerintah?
9
Dalam melakukan penambangan, bekerja sendirisendiri atau berkelompok ?
10
Apakah sudah ada organisasi yang mewadahi para penambang untuk memudahkan dalam berurusan dengan pihak lain?
11
Apakah ada iuran/pajak yang dibayarkan oleh para penambang ? Kepada siapa dibayarkan ? Berapa besarnnya ?
12
Apakah pernah terjadi konflik diantara sesama penambang/pihak lain ? Jika pernah terjadi apa pemicunya ?
13
Apakah ada perubahan budaya masyarakat dengan keberadaan pertambangan minyak ini ?
14
Apakah pernah ada penyuluhan atau pembinaan dari aparat pemerintah atau pihak lain ?
15
Apa harapan dimasa depan dengan kegiatan pertambangan rakyat di desa Wonocolo ?
Uraian Pendapat
85
Skoring untuk mengetahuai tingkat kepenting Stakeholders terhadap Fungsi dan manfaat Sumur Tua di Desa Wonocolo memeperhatikan lima aspek, yaitu: Aspek Kebijakan
Pengelolaan sumur tua harus sesuai dengan peraturan yang berlaku
Ekonomi
Peningkatan pedampatan dan kesejahteraan penambang, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Ekologi
Terjaganya keseimbangan lingkungan hidup dengan meminimalisir dampak kegiatan penambangan
Sosial
Perluasan lapangan kerja dan berusaha
Budaya b.
Implementasi
Menjadi sumber informasi dan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata
Tingkat Kepentingan Stakeholders Terhadap Pertambangan Rakyat (PR) Minyak Bumi di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro Aspek Fungsi Sumur Tua Desa Wonocolo
No
Stakeholders
1
Penambang
2
Penyuling
3
Perengkek/Pedagang
4
Kepala Desa Wonocolo
5
Camat Kedewan
6
PERTAMINA
7
BAPPEDA
8
Kantor Lingkungan Hidup
9
Dinas Pertambangan
10
Biro Ekonomi
11
Polsek Kedewan
12
Koperasi Bogasasono
13
DPRD II
14
Pengusaha
15
LSM Merah Putih
Kebijakan
Ekonomi
Ekologi
Sosial
Budaya
Jumlah
Keterangan : 1 = Rendah, 2 = Kurang Tinggi, 3 = Cukup Tinggi, 2 = Tinggi, 5 =. Sangat Tinggi Untuk melihat besarnya tingkat pengaruh masing-masing stakeholders terhadap pengelolaan sumur tua, maka perlu diketahui informasi terhadap kekuatan stakeholders dalam mempengaruhi pengelolaan sumur tua di desa Wonocolo selama ini. Pengaruh merupakan kekuatan stakeholders tertentu untuk mempengaruhi stakeholders lainnya karena kekuatan uang/kekayaan, opini, informasi, massa, peraturan/sanksi, atau kepemimpinan. Sehubungan dengan hal tersebut maka dilakukan interpretasi terhadap pengaruh stakeholders menurut instrumen dan sumber kekuatannya, yaitu:
86
Instumen Kekuatan
Pengertian
Condign Power
Mempunyai kekuatan atau kekuasaan karena mempunyai jabatan dalam sebuah indtitusi/lembaga pemerintahan
Compensatory Power
Mempunyai kekuatan atau kekuasaan sebagai kompensasi dari peran yang dalam suatu komunitas
Conditioning Power
Mempunyai kekuatan karena mempunyai kelebihan atau di percaya oleh suatu komunitas karena jasa dan kelebihannya
Sumber Kekuatan
Pengertian
Personality
Mempunyai kekuatan atau kekuasaan karena karisma, kekayaan atau karena tingkat pendidikan/pengetahuan
Organitation
Mempujnyai kekuatan atau kekuasaan karena perannya disuatu organisasi yang diakui oleh sebuah komunitas
c.
Tingkat Pengaruh Stakeholders Terhadap Pertambangan Rakyat (PR) Minyak Bumi di Desa Wonocolo Kabupaten Bojonegoro Instrumen Kekuasaan
No
Stakeholders Condign
1
Penambang
2
Penyuling
3
Perengkek/Pedagang
4
Kepala Desa Wonocolo
5
Camat Kedewan
6
PERTAMINA
7
BAPPEDA
8
Kantor Lingkungan Hidup
9
Dinas Pertambangan
10
Biro Ekonomi
11
Polsek Kedewan
12
Koperasi Bogasasono
13
DPRD II
14
Pengusaha
15
LSM Merah Putih
Compen satory
Condit ioning
Sumber Kekuatan Person ality
Jumlah
Organitat ion
Keterangan : 1 = Rendah, 2 = Kurang Tinggi, 3 = Cukup Tinggi, 2 = Tinggi, 5 =. Sangat
87
Lampiran 2: Hasil Wawancara Mendalam WAWANCARA 1 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Kamis, 3 Februari 2011, pukul 08.00-12.00, tempat: Balai Desa Wonocolo, Jumat, 4 Februari 2011, pukul 09.30 - 10.00, tempat: Rumah Pak Kades, Senin, 7 Februari 2011, pukul 10.00-15.30.30 Responden: Jasmin, Kades Wonocolo Lokasi: Desa Wonocolo (Rumah Pak Kades). Hari itu, Senin penulis berkunjung ke rumah Bapak Jasmin untuk menyerahkan berkas perijinan unutk melakukan penelitian di Desa Wonocolo, sekaligus mengumpulkan informasi untuk kepentingan penulisan tesis. Penulis tidak melakukan wawancara secara resmi. Maka saat itu sengaja tidak melakukan pencatatan wawancara karena penulis anggap kurang etis. Alat perekam dan kamera juga tidak dibawa. Hasil wawancara hanya diingat saja kemudian baru dituliskan setelah wawancara selesai. Semula penulis sampaikan maksud kedatangan ke Wonocolo bahwa akan melanjutkan penelitian tentang penambangan minyak tradisional untuk itu penulis mohon bantuan Bapak Jasmin selaku kepala Desa Wonocolo untuk dapat membantu. Penulis juga minta maaf karena baru saat itu sempat datang ke Wonocolo lagi setelah bulan Oktober 2010 pernah datang untuk melakukan survey pendahuluan. Setelah suasana lebih santai lagi penulis baru menanyakan hal hal yang berkaitan dengan fokus penelitian. Penulis membuka pertanyaan dengan menanyakan apakah Pak Jasmin memiliki sumur penambangan? “Saya punya tiga yang sudah berproduksi dan masih ada empat lagi yang lagi dalam tahap perbaikan. Tetapi hasilnya sudah tidak seperti dulu. Saat ini dapat lima 7 drum setiap sumur saja sudah bagus. Sebulan rata-rata mendapatkan seratus limapuluh sampai dua ratus drum dari setiap sumur itu. Dulu bisa lebih dari itu produksinya. Tetapi saat ini turun”. Berapa besar modal yang bapak keluarkan untuk membuka tambang? “Kalau modal ya hanya gotong royong saja. Kalau dihitung ya banyak. Hitung saja untuk membayar orang dua puluh sampai dua puluh lima orang selama katakan tiga bulan, itu sudah berapa. Belum lagi jaminannya (makan). Kalau uang ya nggak ada. Kalau yang mompa itu biasanya ya itu modalnya mobil. Ada siapa yang nanggung solar. Kalau dulu kan solar masih murah. Jadi semuanya patungan. Yang punya tenaga pakai tenaga, yang punya mobil pake mobil, yang mau solar ya nyumbang solar. Kalau modal uang langsung, ndak ada”. Bagaimana caranya menjadi anggota? “Yang jelas ya harus orang Wonocolo ber-KTP Wonocolo. Ya berapa orang membentuk kelompok terserah. Kemudian mengajukan ijin kepada Kepala Desa. Biasanya sudah punya nomor sumur yang mau dibuka. Lalu nunggu jawaban. Sehabis itu ya kerja bergotong royong tadi”. Ada tidak pendapatan desa dari penambangan itu? “Tidak ada. Kalau ada kegiatan apa 17-an itu, biasanya ada. Tapi kalau yang sifatnya rutin dan langsung (kontinyu) seperti itu tidak ada. Jalan yang kemarin di aspal itu kan dari APBDes, masyarakat swadaya tenaganya, ya begitu saja. Semuanya dari APBDes dan swadaya masyarakat”. Selanjutnya penulis lebih banyak berbasa-basi karena untuk mengakrabkan dan suasana. Selain itu penulis hanya membuka pembicaraan yang sewaktu-waktu akan bisa penulis sambung lagi. Karena sudah siang dan Pak Kades akan pergi ke sumur penambangan penulis minta ijin pulang. Pada wawancara kedua penulis membawa alat perekam dan pak Kades sudah menunggu di rumahnya karena sudah ada janji ketemu sebelumnya. Wawancara masih
88
sekitar peranan penambangan minyak dalam pembangunan desa menjadi lebih hangat dan terbuka. Bagimana dengan kontribusi penambang kepada pembangunan desa ? “Ndak ada tarikan khusus penambang untuk pembangunan. Kalau ada kegiatan sebagai warga biasa ya mereka ditarik tidak berbeda dengan warga yang lainnya. Penambang punya kas sendiri tapi untuk kegiatan mereka sendiri. Kas penambangan ya untuk penambang. Kecuali 17-an ya itu ada. Kalau untuk pembangunan khusus nggak ada. Pernah ada dikatakan Rp. 500 ribu sebulan tapi belum ada realisasinya. Ada berjalan berapa bulan habis itu ndak ada lagi. Tahun 2005 itu realisasinya berjalan berapa bulan. Habis itu ya ndak ada realisasinya”. clxvii Bagaimana dengan asuransi tenaga kerja? “Tidak ada pak, hal itu tidak pernah terpikir oleh para penambang”. Bagaimana dengan limbahnya? “Sampai saat ini belum ada sangsi atau hukuman bagi penambang dikaikan dengan limbah atau pencemaran karena warga desa tidak merasakan akibat dari limbah penambangan dan penyulingan. Kadang-kadang ada protes dari desa bawah karena sungainya mengandung lantung dan tidak bisa digunakan airnya, tetapi tidak pernah ada masalah besar yang berhubungan dengan limbah”. Bagaimana dengan pencurian kayu? “Ya sudah berkurang. Ada satu dua. Tetapi secara umum nggak ada lagi?” Karena sudah tidak ada hal hal baru lagi maka wawancara dirasakan sudah cukup. WAWANCARA 2 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Rabu, 9 Februari 2011, pukul 09.30 - 14.50. Responden: 1) Tukirah, 62 tahun, Ketua kelompok. 2) Tarji, 52 tahun, Anggota penambang. 3) Saimun, 56 tahun, Anggota penambang. Lokasi: Desa Wonocolo (Sumur W. 57). Wawancara dilakukan di lokasi sumur no W. 57 yang merupakan sumur kelompok Pak Saimun. Saat itu kelompok Pak Saimun sedang memeperbaiki sumur karena sudah tidak keluar minyaknya tetapi justru gas yang keluar, tetapi dari gas ini juga bisa dijual kepada para penyuling dengan harga 25 ribu untuk sekali menyuling. Disamping pak Saimun ada pak Tarji yangsedang sibuk memperbaiki sumur minyak. Tetapi Pak Tarji agak pasif karena sedang membersihkan mesin untuk menimba minyak Sumur 57 yang sedang rusak. Setelah wawancara berjalan beberapa saat, penulis berusaha secara diam-diam menghidupkan alat perekam, dan berusaha agar subjek tidak curiga. Karena dalam pertemuan sebelumnya pernah menyampaikan bahwa kelompok penambang di Wonocolo agak tertutup terhadap wartawan, LSM dan pihak-pihak luar yang dicurigai akan membuat suasana tidak kondusif di penambangan minyak tradisional. Suasana tersebut perlu dijaga dengan hati-hati dan berusaha untuk menangkal segala provokasi yang pada akhirnya dirasakan hanya akan merugikan kelompok penambang sendiri. Semula Pak Tukirah bersemangat cerita tentang penambangan minyak tradisional di Wonocolo yang tidak henti-hentinya didera masalah. Dari tuntutan kenaikan harga minyak, masuknya banyak kepentingan dari pihak luar seperti LSM yang mengatas namakan kepentingan penambang, mendorong penambang demo, sampai pengolahan minyak sendiri oleh masyarakat Wonocolo. Tetapi kemudian minta ijin pergi karena ada kepentingan ke Cepu mengantarkan seseorang yang belum sempat penulis kenali untuk berbelanja peralatan mesin. Selanjutnya perbincangan dalam Bahasa Jawa hanya diikuti 2 orang yaitu Pak Tarji yang tetap sambil membersihkan mesin-mesin, dan Pak Saimun duduk di pojok pilar. Pak Saimun menceritakan perbedaan penambangan minyak
89
tradisional di Dandangilo dengan di Wonocolo, di mana ada perbedaan karakter masyarakat dalam menangani pengelolaan penambangan minyak tradisional. “Tiyang mriko (Dandangilo) niku mboten kados tiyang mriki (Wonocolo). Mriko jalukane minggon bayaran napa dinan. Nek tiyang mriki jalukane nduwe saham ten mriku. Bekne ora mergawe ningo ben bulan nampa (bayaran). Kaya dene pangsiun. Kerja mati-matian ora enek bayarane dadi nek wus metu asile kanggo selawase”. (Orang Dandangilo tidak seperti orang Wonocolo. Di Dandangilo orang minta dibayar mingguan atau harian. Kalau orang di sini (Wonocolo) mintanya seperti memiliki saham. Meskipun tidak bekerja tetapi biar setiap bulan menerima uang. Seperti halnya pensiun. Bekerja mati-matian tidak ada upahnya, jadi jika sudah berhasil untuk selamanya). Sumur minyak di Wonocolo sebagian besar sudah ditambang. Masih ada beberapa sumur yang belum ditambang tetapi sudah susah dalam pengerjaannya. Selanjutnya Pak Saimun menceritakan awal kegiatan penambangan minyak tradisional yang diikutinya hampir 5 (lima) tahun. Tiga tahun pertama dirasakan sangat berat karena setidaknya dia harus dapat menyediakan uang sebesar Rp. 3.000 untuk anaknya yang sekolah. Maka setiap kali ke hutan untuk kegiatan membuka tambang minyak yang dilakukannya kira-kira hingga jam 11 siang, dilanjutkan dengan mencari kayu bakar dan dibawa pulang turun untuk dijual seperti penuturannya berikut ini. “Waune, telung tahun, nggih gebes-gebes niku. Yen mulih pundhake dimoti rencek. Soale nduwe wong sekolah. Dadi mlebu alas kudu mulih entuk asil. Telung ewu-telung ewu. Lha piye wong pegaweane kaya iki tukang adol rencek kon piye” (Semula ditiga tahun awal penambangan terasa sangat berat. Kalau pulang dari membuka sumur minyak pundak dibebani kayu bakar. Soalnya memiliki anak yang masih sekolah. Jadi kalau masuk hutan keluarnya harus membawa hasil. Tiga ribu rupiah harus diperoleh. Bagaimana lagi, karena pekerjaannya memang seperti itu menjual kayu bakar). Saat ini Pak Saimun tidak lagi mencari kayu bakar. Tinggal datang mengontrol sumursumur minyaknya. Meskipun sumur minyaknya yang berjumlah 6 (enam) buah sumber minyaknya kecil. Tetapi dari hasilnya saat ini Pak Saimun sudah memiliki sepeda motor. Tetapi dibandingkan dengan mencari kayu bakar sudah sangat berbeda. Mencari kayu bakarpun saat ini hanya untuk kebutuhan sendiri dan sudah dibawa dengan sepeda motor. Selain menambang Pak Saimun tetap menjalankan aktivitasnya sebagai petani. “Nggih kalih tani sithik-sithik. Dadi tani ampun pedhot. Ket mbiyen nggih esuk macul, yah keten niki laut trus budhal ten gunung. Mangkih ten gunung leren nggih bakda mergawe ten sumuran leren padhos renceke. Dados mangkih nek rampung pun angsal. Dadi cara sedina ora oleh asil telung ewu nggih rekasa. Mangkih anake ora nduwe celengan nggo sangu” clxiii (Ya bertani sedikit sedikit. Kegiatan pertanian tidak terputus, pagi mencangkul, jam segini (kira-kira jam sebelas) istirahat. Kemudian pergi ke hutan membuka sumur. Disela-sela istirahat membuka sumur dimanfaatkan untuk mencari kayu bakar. Sehingga kalau sudah berhenti kayu bakar sudah diperoleh. Jadi kalau sehari tidak mendapatkan hasil Rp. 3.000, ya susah. Nanti anak tidak mendapatkan uang saku untuk sekolah). Pak Saimun kemudian menjelaskan penambangan minyak tradisional di Wonocolo. Kalau di Wonocolo sifatnya seperti hak milik. Anggotanya berkisar antara sepuluh hiingga tigapuluh orang. Semua anggota berasal dari Desa Wonocolo, karena sudah memiliki pengalaman dalam melakukan eksploitasi minyak dengan cara menimba. “King kanca, carane mandore sapa carane sing melu sapa. Trus wongmu piro. Kantun sing purun nderek sinten. Sing purun nderek nggih onten sing kadang kandha, nek kandha karepmu nek kene ngejak emoh, nggih nek asil. Nek mboten asil ndak ra penak”. (Dengan teman. Dengan menunjuk siapa pengawas/mandornya, siapa yang ikut. Kemudian berapa orang. Tinggal siapa yang mau ikut, kadang-kadang yang mau ikut mau bilang. Kalau mau bilang terserah, tetapi kalau mengajak nggak mau. Nanti kalau tidak berhasil menjadikan tidak enak).
90
Ketika penulis menanyakan kapan penambangan minyak tradisional di Wonocolo dimulai, pembicaraan kemudian beralih kepenjarahan hutan karena yang diingat Pak Saimun mulainya penambangan minyak tradisional di Wonocolo sudah berlangsung sejak jaman Belanda. Penduduk Desa Wonocolo juga ikut menjarah, tetapi bukan untuk dijual kayunya melainkan hanya untuk digunakan sendiri. Sehingga hutan jati di Wonocolo, kerusakannya tidak separah hutan-hutan lainnya. Pak Tarji juga menimpali: “mBoten enten sak niki, jarah-jarahan mboten enten sak niki. Umpami mboten wonten penambangan nggih alas mriki telas. Umpami mboten telas nggih tetep nyolong kayu soale tiyang bade nyambut gae napa malih”. (Tidak ada sekarang, penjarahan sudah tidak ada. Seandainya tidak ada penambangan, hutan di sini akan habis. Atau kalau tidak habis tetap ada pencurian kayu, soalnya orang mau bekerja apalagi?). Pak Saimun kemudian menuturkan perbedaan perasaannya sebelum dan sesudah adanya penambangan minyak: “Nggih bentene niku ayem, nek masalah kebutuhan nggih padha mawon. Cuma rasane awak niku ora krenggosan ngaten. Mlakune barang niku kok kemaki numpak motor. Nggo rencek ya numpak motor. Nggih kendel utang sak niki. Sing marahi enek sing dijagakke” (Bedanya itu tenang, kalau masalah kebutuhan ya sama saja. Hanya rasanya tidak terengah-engah. Pergi saja sekarang sombong naik motor, bawa kayu bakar pakai motor. Dan sekarang berani hutang. Sebab ada yang diharapkan). Sumur Pak Saimun memang sumbernya kecil, tetapi ada satu yang bisa diharapkan menjadi sumber pendapatannya setiap bulan. Tidak kurang satu juta rupiah dia terima setiap bulannya. Kehidupan masyarakat Wonocolo terbantu dengan adanya penambangan minyak ini. “Nggih nek sing purun merdamel nderek perminyakan padha lumayan lah. Tiyang niku mboten sami. Kadang-kadang maune enek sing mergawe nungsang njempalik polahe gak karuan ora entuk bayaran. Lah mergawe badhog apane, ngoteniku nggih wonten. Lah berubung wis sukses, entuk asil randak memper, kowe ngono ngono nde bayaran, gelem mergawe, kula nggih ngoten. Ngono-ngono di ndha, ngko nek cara kejeglong di ndha. Wonten sing pun tumut krungu omongan sing mboten bener pedhot, mboten nderek. Ngoten nggih wonten” (Kalau yang mau ikut bekerja di minyak/menambang kehidupannya lumayan. Karena orang itu tidak sama. Tadinya orang bekerja membanting tulang memeras keringat tidak ada yang memberi upah dibilang kerja tanpa hasil, ada orang begitu. Berhubung telah sukses, mendapatkan hasil agak bagus dibilang kamu gitu gitu punya bayaran. Karena mau kerja (di penambangan) saya bilang begitu. Begini jadi omongan, nanti seandainya jatuh jadi omongan juga. Ada yang sudah ikut karena terpengaruh mendengan omongan yang tidak benar menjadi putus tidak jadi ikut. Itu juga ada). Kemudian penulis menanyakan tentang modal kerja dan biaya berapa saja yang dihabiskannya untuk membuka penambangan. Pak Saimun menjelaskan: “Nggih kerja bakti. Modal-modale piyambak. Kula gek jaman niku jeh nggarap tegal.Cara diukur walah... menyok niku angger seminggu kadhang mbeto ping kalih ten nggunung kangge jaminan nek awan. Enek sik ngusahakna kopi kalih gula. Kadhang wong njero, wong pabrik melok andhil. Nek kula rasah nganggo thethek mbengek asal doyan tak gawakna. Enten sik dibakar, enten sik seneng direbus sukani gendhis, kadhang enek sing dimbuhi klapa napa santen” (Ya kerja bakti. Modal modal sendiri. Saya waktu itu juga mengerjakan kebun. Seandainya diukur tidak ternilai... ubi kayu itu setiap minggu kadang-kadang membawa sampai dua kali ke gunung (hutan) untuk makan kalau siang. Ada yang membawa kopi dan gula. Kadangkadang orang dalam, orang pabrik ikut menanam saham. Kalau saya tidak usah dengan berbagai alasan asal mau saya bawakan. Ada yang mau dibakar, ada yang suka direbus pakai gula merah, ada yang suka dengan kelapa atau santan).
91
“Sedoyo sami kerjo sareng-sareng, sakderenge medal lantung kabetahan mangan, tenogo lan sanesipun paitan piyambak-piyambak menawi sumber mboten medal lantungipun nggeh resikonipun di pun tanggel sareng-sareng, menawi sumber sampun kasil nggeh dipun dum sami-sami lan di etang awrat entengipun anggenipun kerjo” (Semua bekerja secara gotong-royong, sebelum menghasilkan lantung kebutuhan makan, tenaga dan lain-lainnya dibiayai sendiri, jika sumber tidak menghasilkan lantung resiko ditanggung bersama (tanggung-renteng) dan jika sumber sudah menghasilkan lantung maka pembagian hasilnya disepakati berdasarkan berat-ringannya pekerjaan dalam mengelola sumur tua) Selanjutnya berapa lama proses pembukaan sumur minyak tua tersebut dilakukan, Pak Saimun menjelaskan: “Nek nuju niku nggih langkung sewulan. Tigang wulan dereng dadi nggih ngalami. Kadhang-kadhang setaun. Kadhang-kadhang sewulan produksi nggih ngalami. Nek setaun niku nggih ngangge leren pados camikane. Kadhang-kadhang esuk ngolek produksi napa sore manjing, duka pirang jam ngoten. Dadi ora buru-buru. Mengko nek ngepen ngono tok dandange njomplang. Diatur carane ben lancar”. (Kalau beruntung sebulan bisa lebih. Tiga bulan belum jadi juga pernah mengalami. Kadang-kadang sampai satu tahun. Sebulan berproduksi juga pernah saya alami. Kalau setahun itu ya pakai istirahat mencari bekal makan. Kadang-kadang pagi mencari produksi sore istirahat, sekitar berapa jam begitu. Jadi tidak terburu-buru. Nanti kalau mengutamakan itu saja (membuka tambang minyak) dapur tidak bisa hancur. Diatur caranya biar lancar semua). Paka Saimun terlihat sudah kurang antusias lagi tetapi penulis mencoba menanyakan bagaimana proses pembagian hasilnya setelah sumur berproduksi. “Operator borongan nek empun produksi. Karo sing hak sumur akeh operatore. Karo sing nimbel ya akeh sing nimbel. Niku kalih sak sumur mawon padha. Itungane iku olehe timbele. Carane entuk sak juta kene intuk sangangatus”. (Operator bekerja sistem borongan kalau sumur telah berproduksi. Dengan yang anggota lebih banyak operator. Dengan yang nimbel-orang yang menarik timba menumpahkan minyak dekat sumur- juga lebih banyak. Itu dengan satu sumur saja sama. Hitungannya pendapatan timbel seandainya dia dapat satu juta, sini (sopir) mendapatkan sembilan ratus). Pembicaraan terhenti karena ada seorang penambang datang dan karena nampak Pak Saimun kurang antusias lagi dan Pak Tarji sudah selesai membersihkan mesin dan mulai membersihkan tempat kerjanya, penulis menghentikan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian.
WAWANCARA 3 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Minggu, 13 Maret 2011, Jam 10.30 - 14.30 Selasa, 15 Maret 2011, Jam 09.00 – 11.30 Responden: 1) Juwanto, 39 tahun, Penyuling 2) Tukiran, 52 Tahun, Penyuling dan anggota penambang 3) Edy, 26 tahun, Penyuling 4) Sapar, 54 tahun, Penyuling Lokasi: Desa Wonocolo (Tempat penyulingan) Wawancara dengan kelompok penyuling ini harus dilakukan dengan hati-hati karena pengalaman penulis pada saat wawancara dengan kelompok penyuling sempat di tolak karena membawa buku catatan, alat rekam dan kamera, penulis melakukan wawancara dengan diselingi canda tawa agar lebih rileks dan tidak dicurigai oleh kelompok penambang. Beikut hasil wawancara dengan kelompok penyuling:
92
Bagaimana sistem kerja dan penjualan minyak sulingan ? “Untuk dapat menyuling harus mempunyai dapur suling yang dibuat dengan cara di upahkan pada penduduk lokal (Wonocolo) dengan upah Rp. 850.000,-, kemudian harus membeli drum yang sudah di modifikasi disambung dengan ½ derum lagi sehingga ukuran lebih besar. Sekali menyuling dibutuhkan minyak mentah sebanyak 7 jerigen (35 liter) yang dibeli dengan harga Rp. 400.000 s/d Rp. 500.000, tergantung kualitas lantungnya.Modal lainya upah untuk ngajok/angkut lantung sebesar Rp. 30.000 dan membeli bahan bakar (rencek) Rp. 40.000,- sekali masak Dalam sehari bisa dilakukan 2 kali masak, itu tergantung ketersediaan lantungnya, karena sekarang lantung sudah sulit karena banyak saingan diantara penyuling.” “Dari sekali masak akan di peroleh Solar sebanyak 4 jerigen (35 liter) dan Minyak Tanah 1 jerigen (35 liter), untuk minyak tanah dihargai Rp. 150.000,- per Jerigen dan Solar Rp. 100.000,- per jerigen. Unutk menjual minyak hasil sulingan tidak sulit karena para pedagang akan datang ke lokasi penyulingan untuk membelinya. Semua Pembayaran disini dilakukan dengan cara tunai.” Kemudian pak Tukiran menimpali “Nyuling meniko sampun dados pedamelan kulo ingkang pokok, amergi kulo mboten gadhah pedamelan sanesipun, sedinten kulo saget nyuling ping kalih ngantos ping tiga, sedoyo meniko kantun kasilipun saking sumber, tinimbang lantung dipun sade dateng tiyang sanes luwih sekeco menawi dipun suling anggota kelompok piyambak trus menawi lantung dipun suling riyen reginipun nggeh luweh awis tinimbang disade lantung” (Penyulingan ini sudah menjadi pekerjaan utama saya, karena saya tidak punya pekerjaan yang lain, sehari saya bisa menyuling 2-3 kali tergantung hasil dari sumber, daripada lantung dijual pada orang lain lebih menguntungkan jika disuling oleh anggota kelompok sendiri demikian juga dengan melakukan penyulingan harganya akan lebih mahal). Pak tukiran merupakan penyuling yang sekaligus sebagai anggota kelompok penambang di sumur 57. “Radi susah menawi dados penyuling bebas ngaten niki, amergi lantung mboten saget dipun jagakaken saking kelompok sumber mriki, menawi kados mekaten kepekso nggeh tumbas lantung limbah saking Pertamina, menawi asilipun nggeh elek sanget, mboten wonten lengo gas ipun namung angsal solar werninipun soklat semu abang, niku reginipun nggeh radi mirah dibandingaken kaleh lantung saking mriki” (Agak susah jika menjadi penyuling bebas seperti ini tidak bisa mendapatkan kepastian lantung dari kelompok penambang disini, jika keadaannya seperti itu ya terpaksa membeli lantung yang berasal dari limbah Pertamina, hasil penyulingannya berkualitas jelek dan tidak diperoleh minyak tanah dan solar yang dihasilkan berwarna coklat kemerahan dan dari harganya lebih murah dari lantung dadi sini). Pak Juwanto merupakan penyuling yang berasal dari Desa Hargomulyo yang pekerjaannya hanya sebagai penyuling dilokasi pertambangan desa Wonocolo. Apakah bapak tahu kalau penyulingan itu di larang ? “Ya Tahu, tapi gimana lagi.....ternyata banyak orang yang melakukan kegiatan ini lho....kalau seperti ini apanya yang ga boleh atau dilarang ? Sebenarnya secara pribadi juga merasa takut, tapi karena ini demi anak istri, apapun ya akan dilakukan, dulu pernah ada kabar mau dilakukan operasi oleh pemerintah, tetapi kami semua sepakat akan melawan...apapun itu taruhannya. Kami merasa tidak melakukan hal yang merugikan orang lain kok di larang, mau di tangkep....coba itu koruptor seperti berita di TV ...kami ini hanya sekedar mencari uang untuk makan saja.” Bagaimana dengan limbah ini pak ? (penulis menunjuk limbah yang ada dilokasi penyulingan) “Kalau limbah ini pasti ada pak, tetapi selama ini tidak ada yang marah kepada kami mengenai limbah ini, selama limbah ini ga bisa saya jual ya saya buang saja “.
93
WAWANCARA 4 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Kamis, 17 Maret 2011, pukul 08.00 – 10.00 Responden: 1). Miswan, Perengkek/Pedagang 2). Supriyatno Lokasi: Desa Kedewan Kelompok pedagang/perengkek biasanya berkumpul disebuah warung kopi di Desa kedewan sambil menunggu solar/minyak tanah hasil penyulingan siap diambil, kira-kira jam 14.00 sampai sore. Wawancara dengan para pedagang ini harus hati-hati karena mereka sangat rapat menjaga rahasia. Mereka sadar bahwa pekerjaan yang mereka tekuni merupakan pekerjaan illegal. Sampun ndangu mergawe kados ngaten pak lan asile pinten ? (Sudah lama bekerja seperti ini (pedagang) hasilnya berapa ?) “Nggeh sampun pak, kinten-kinten 3 tahunan. Ten mriki kulo namung merdamel pocokan amergi kulo gadhah pedamelan tuakang kayu, menawi kulo namung mendetke solar niki kangge juragan kulo setunggal trip kulo nggeh angsal bathi lumayan, kolo-kolo kulo saget tumbas solar saking mriki ngantos 3-4 trip, niku gari wonten-mbotenipun kasil tiang ingkang nyuling, kanthi pedamelan niki kulo saget kridit motor lan saget nyekapi kebetahan sanesipun, malah asilipun sok-sok luwih kathah timbang merdamel dados tukang kayu” (Sudah lama Pak kira-kira 3 tahunan. Pekerjaan ini sebenarnya pekerjaan sampingan, karena pekerjaan utama saya adalah tukang kayu, saya cuma membeli solar dan saya setorkan ke Juragan, dalam 1(satu) trip bisa dapat untung lumayan besar, dalam sehari saya bisa membeli 3-4 trip hal itu tergantung dari besarnya hasil dari para penyuling, dengan pekerjaan ini saya bisa kredit motor dan mencukupi kebutuhan lainnya, kadangkadang hasil dari pekerjaan sampingan saya ini lebih besar dari hasil pekerjaan utama saya sebagai tukang kayu). Kemudian pedagang yang lain (Suprayitno) menimpali: “Sedinten kulo namung saget tumbas solar saking mriki setunggal trip, amargi solar niki kulo sade piyambak kangge campuran solar saking SPBU, bathinipun nggeh lumayan ageng menawi dipun sade piyambak, nanging kedah kiat paitanipun” (Sehari saya Cuma bisa membeli solar dari sini 1(satu) trip, karena solar ini saya jual sendiri untuk campuran solar resmi dari SPBU, untungnya lumayan besar jika dijual sendiri tetapi harus kuat modalnya) Sanesipun di sade piyambak solar niki di sade ten pundi mawon ? (Selain dijual sendiri solar ini di jual kemana saja ?) “Duko nggeh pak, nek sanjange rencang sanese wonten sing di sade dateng juragan wonten Tuban, nanging kulo mboten yakin lho soale menawi dipun sade ten juragan untunge mboten ageng, nek masalah niku jane nggeh urusane piyambak-piyambak.” (Nggak tau ya pak, menurut cerita teman ada yang menjual minyak niki kepada juragan di Tuban, tetapi saya juga tidak yakin dengan cerita itu tetapi kalau dijual kepada juragan untungnya tidak besar). Menawi mutu solare pripun pak trus reginipun pinten, nate onten sing protes mboten saking sing tumbas solar niki ? Kalau mutu solarnya bagaimana pak, harganya berapa pak, pernah ada yang komplain dari para pembeli solar ini ?. Mereka kadang-kadang memakai bahasa Indonesia dalam menjawab pertanyaan penulis. “Kalau mutu saya kurang tahu pak dan saya nggak perduli mutunya kayak apa yang penting saya jual ada yang beli, kalau saya jual eceran untuk truk-truk di pantura (Daerah tuban sampai Lamongan) harganya sekitar Rp. 3.900 s/d Rp. 4.200 per liter. Tetapi kalau di jual kepada juragan saya kurang tau berapa di beli”. Kemudian pak Miswan menimpali:
94
“Menawi dipun ecer piyambak nggeh lumayan pak untunge, nanging menawi disetorke ten juragan paling-paling di regani patang ewuan niku kadang-kadang di utang, mabayare semingguan. Menawi bab mutu solar niki kangge kulo mboten masalah soale meangke nggeh di campur malih kalian solar resmi saking SPBU. Ngantos seprene dereng nate wonten tiyang sing protes....lha wong sing tuku yo tambah okeh tur ketoke kroso marem....hahahaha...” (Jika dijual sendiri untungnya bisa lumayan, tetapi kalau disetorkan kepada juragan dihargai sekitar Rp. 4.000,- an dan pembayaranya seminggu kemudian. Mengenai mutu solar tidak masalah karena nanti jua di campur solar resmi dari SPBU. Sampai sekarang belum pernah ada komplain dari para pembeli, kenyataannya yang membeli bertambah banyak....dan mereka kelihatnnya merasa puas...hahaha...”) Suasana sudah akrab dan penulis sudah bisa bertanya dalam Bahasa Indonesia karena mereka sudah tidak curiga lagi dengan penulis. Jika suatu saat perdagangan solar ini di larang bapak mau kerja apa lagi ? Kalau saya tidak ada masalah pak, karena pekerjaan ini cuma sampingan dan tidak setiap hari ada minyak, karena sekarang pedagang semakin banyak dan persaingan untuk mendapatkan minyak semakin sengit, kadang dapat kadang pulang tidak bawa apa-apa. Tetapi rasanya sulit kalau hal ini dilarang olah pemerintah para penambang dan penyuling sudah merasa enaknya dengan cara ini, mereka mendapat hasil yang lebih besar. Saya dulu juga pernah dengar mau ada operasi untuk melarang penyulingan tetapi temen-temen semua melawan dan akan mempertahankan walaupun harus berdarah-darah. Kami juga dari kelompok perengkek ini kompak akan membantu mereka untuk menolak pelarangan penyulingan. Apakah polisi tidak melarang bapak mengangkut minyak ini sampai ke rumah bapak? Selama kita ngerti sama ngerti ya aman-aman saja pak. Wawancara kami sudahi sekitar pukul 10.00 WIB karena rombongan perengkek akan membeli solar dari para penyuling. WAWANCARA 5 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Kamis, 19 Maret 2011, pukul 08.00 – 12.00 Responden: Sapuan, warga Desa Wonocolo Lokasi: Desa Wonocolo (Rumah Pak Sapuan). Penulis berusaha mendapatkan persepsi masyarakat umum yang bukan anggota penambang. Wawancara denga pak Sapuan dimaksudkan agar dapat di ketahui bagaimana kontribusi pertambangan rakyat di Desa Wonocolo terhadap kesejahteraan masyarakat di lihat dari persepsi orang lain. Pak Sapuan termasuk orang tua yang disegani (tokoh masyarakat Desa Wonocolo). Nderek nambang pak ? (Ikut menambang pak ?) “Mboten, walah mpun tuwo. Wong nek jenengane nderek sumuran niku rekasane. Lha niku sik dereng berhasil nggih kathah. Mpun nelaske sapi ngge sangu. Wong niku sak derenge niku nggoleki. Arah arahe mriki trus nduduk 5 meter napa 6 meter onten 10 meter. Kadang kadang nggih mboten temok. Mangke temok, kepanggih niku. kadangkadang njero keseselan napa. Niku kan diresiki pipane kadang keropos. Ning sik berhasil nggih kathah”. (Tidak sudah tua. Yang namanya ikut menambang itu sengsara. Yang belum berhasil juga banyak. Sudah habis sapi untuk modal. Karena sebelum dibuka sumurnya, kira-kira diketahui lokasinya, lalu digali 5 -6 meter bahkan 10 meter. Kadang-kadang tidak diketemukan. Nanti ketemu, didalamnya tersumbat apa? Itu dibersihkan dahulu. Pipanya kadang keropos. Tetapi yang berhasil juga banyak”.
95
“Rombongan sik berhasil niku per bulan mboten mati telung yuta. Niku malah sing gadhah kendaraan niku, niku sing omah apik wetan niku, setunggal wulane mboten mati pitung yuta enem yuta, soale mobil. Kan nggene piyambak. Nek liyane nggih mung sewulan 150. Niku sek mboten derek mompa. Dadi pertama nderek niku pompake wong. Sak rombongan niku kan paling mboten tiyange kathah. Puluhan paling mboten. Sing sumure gede sedinten 5 drum. Onten sik kalih dinten 1 drum, seminggu sak drum. Pokoke kantun asile. Nek sumure sumber tesih gede nggih gede. Ning sing mboten berhasil nggih kathah. Puluhan juta nggih telas, nek tanah griya di sade mboten wonten. Mung ternak ngoten. Ning nek mboten onten penambangan nggih pun. Soale masyarakat mriki sik mboten pegawai nggih nyolong kayu. Trus sak niki nggih sami ten sumuran” (Rombongan yang berhasil itu setiap bulannya tidak kurang bisa memperoleh tiga juta. Itu yang punya kendaraan, itu yang rumahnya bagus disebelah timur itu, satu bulannya tidak kurang tujuh juta enam juta, sebab punya mobil sendiri. Kalau lainnya ya sebulan paling Rp. 150.000. Itu yang tidak ikut menimba. Jadi pertama ikut itu ditimba orang. Satu rombongan itu kan banyak orang. Puluhan orang paling tidak. Yang sumurnya besar sehari 5 drum. Ada yang dua hari satu drum, seminggu satu drum. Pokoknya tinggal hasilnya. Kalau sumbernya masih besar ya besar. Tetapi yang tidak berhasil juga banyak. Puluhan juta juga habis. Tetapi tidak sampai menjual tanah dan rumah. Hanya ternak saja. Tetapi kalau tidak ada penambang ya sudah... sebab masyarakat di sini kalau tidak pegawai ya mencuri kayu. Terus sekarang ya bekerja di penambangan. WAWANCARA 6 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Selasa, 19 April 2011, pukul 10.15-13.00 Responden: Pertamina Cepu Lokasi: Mess Pertamina Cepu. Wawancara dilakukan di Mess Pertamina Cepu. Sehingga wawancaranya bisa santai. Ringkasan jawaban pertanyaan penulis yang antara lain perlu disampaikan disini adalah: Apakah ada rencana pengembangan program seperti di Wonocolo ke tempat lainnya, mengingat wilayah penambangan yang ada di bawah Pertamina Cepu umumnya adalah penambangan tua peninggalan Belanda? “Sudah dilakukan pengembangan program seperti di Wonocolo. Tetapi kurang berhasil. Karena ternyata sifat masyarakatnya yang berbeda. Antara lain dilakukan di Dandangilo, dan Gabus.Di Dandangilo target produksi yang di patok Pertamina tidak terpenuhi, selama saya terlibat di sana lebih banyak berurusan dengan permasalahan Internal. Kemudian perbedaan Wonocolo dengan tempat lainnya, di Wonocolo orang bekerja dalam posisi yang sama. Tidak ada owner,sehingga kalau ada kenaikan harga mereka menikmati semua. Kalau di tempat lain lebih bersifat kepada pekerja. Kalau ada kenaikan harga orang lain yang menikmati, kalau kondisi seperti saat ini penambang hanya orang upahan. Tidak akan pernah menikmati kenaikan harga. Tergantung owner saja” Apakah ada perkiraan sampai berapa umur tambang di Wonocolo? “Evaluasi terhadap tingkat produksi selalu dilakukan, selama ini masih cukup stabil. Sekitar 30.000 liter per hari. Untuk perkiraan waktunya saya pribadi lo yah, kurang mengetahui. Karena memang kalau dilihat skalanya memang sudah kecil. Maka tidak dilakukan eksploitasi oleh Pertamina sendiri. Hanya masih cukup menguntungkan untuk ditambang masyarakat. Bisa memberikan kesempatan kerja, mengurangi pengangguran bahkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sehingga otomatis beban desa berkurang. Sementara kalau sampai berapa lama bisa ditambang, itu agak susah diperkirakan. Karena seperti Wonocolo, tiba tiba saja minyaknya menyembur ke luar. Prinsip oil industri yang high cost, higt risk, dan mestinya high tech juga. Maka ada juga resiko kegagalan”. Lalu bagaimana tentang lapangan Wonocolo ? Mengenai lapangan Wonocolo khususnya sumur tua yang dikelola oleh masyarakat sana, untuk saat ini Pertamina tidak banyak berkontribusi. Banyak faktor non teknis yang
96
menjadi pertimbangan kami mengapa kami “vakum” ikut serta dalam pengelolaannya. Masalah sosial dan budaya masyarakat desa tersebut yang membuat kami sangat berhati-hati untuk bertindak. Saat ini kondisi pengelolaannya sudah semakin rumit karena ada kegiatan penyulingan yang jelas-jelas merupakan pelanggaran dan kami adalah pihak yang paling dirugikan, seperti kita tahu bahwa minyak hasil olahan dari daerah tersebut juga beredar dipasaran, dari sisi harga dipasaran kami tidak begitu kawatir tetapi dari sisi kualitas hal itu akan berdampak secara hukum bagi Pertamina.Seandainya ada komplain mengenai kualitas minyak olahan dari daerah tersebut, siapa yang menjadi tertuduh ?. Pasti Pertamina ! Awal keruwetan pengelolaan sumur tua adalah di biarkannya kegiatan penyulingan di daerah tersebut. Sudah pernah ada komplain dari konsumen ? Sampai saat ini belum pernah ada kasus itu Pernah menempuh jalur hukum untuk memberantas kegiatan penyulingan di lapangan wonocolo ? Berbicara masalah hukum dalam kasus ini bukan merupakan masalah yang mudah. Kita selalu berpikir apa dampak yang akan kami terima jika hal itu dilakukan. Kami menjaga agar masalah diluar hukum yang lebih sulit mengatasinya akan menimpa kami. Bagi mereka minyak dari sumur tua merupakan hidupnya. Jadi apa yang bisa kami lakukan ? Sudah pernah ada pembicaraan dengan Pemda Bojonegoro ? Untuk pembicaraan khusus mengenai pengelolaan sumur tua di lapangan Wonocolo khusunya masalah penyulingan dan distribusi atau perdagangan minyak olahan belum secara khusus kami bicarakan, tetapi pembicaraan ke arah itu selalu mendapat hambatan psikologis. Kami selalu angkat tangan jika ditanya, siapa yang akan menjadi leader dalam program ini ? Sudah tidak ada lagi informasi baru yang penulis dapatkan sehingga wawancara di rasakan cukup. WAWANCARA 7 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Kamis , 21 April 2011, pukul 11.00-16.00 Responden: Bappeda, Dinas Pertambangan, Ka. LH, Biro Ekonomi, DPRD II, Camat Kedewan Lokasi: Aula Bappeda Bojonegoro Wawancara dilakukan secara panel karena permintaan dari pihak Sekertaris Daerah dan Ketua DPRD II dengan alasan agar jawaban pertanyaan lebih komprehensif. Berikut petikan wawancara yang sudah diedit dan disarikan. Bagaimana pendapat Anda tentang pengelolaan Pertambangan Rakyat di desa Wonocolo? Pengelolaan Pertambangan Rakyat di Wonocolo saat ini dikelola secara kelompok dan juga ada suatu badan usaha swasta (PT) yang ikut mengelola. Kondisi pengelolaan sampai saat ini status hukumnya masih ilegal pasca diputusnya perjanjian KUD Bogosasono dengan PT. Pertamina Apakah pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan PR sudah bertindak sesuai dengan wewenang, hak, kewajiban dan tugas masing-masing ? Pihak-pihak yang terkait terutama pemerintah daerah sudah berusaha bertindak sesuai dengan wewenang, kewajiban dan ketentuan yang berlaku dengan keterbatasanketerbatasan yang ada.Untuk kondisi saat ini pemda belum bisa berbuat banyak karena masih ada masalah-masalah yang harus di selesaikan dulu. Apakah pengelolaan Pertambangan Rakyat sudah menguntungkan secara ekonomi semua pihak ? Dengan kondisi yang ada (ilegal) saat ini pengelolaan Pertambangan Rakyat hanya menguntungkan pihak penambang beserta dengan pelaku-pelaku lainnya di sana
97
sedangkan pemasukan untuk pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah lewat bagi hasil migas tidak ada. Apakah terjadi pencemaran dalam proses pengolahan dan penambangan minyak bumi ? Apakah merasa dirugikan jika ada pencemaran ? Terjadi pencemaran dalam proses penambangan dan pengolahan minyak bumi. Tentu pemilik wilayah dan pemerintah daerah sangat dirugikan bahkan seringkali pencemaran tersebut sudah melampaui desa di luar kawasan yang tersebar melewati badan sungai yang mengalir di kawasan pertambangan rakyat. Bagaimana proses perijinan dalam pengusahaan tambang minyak bumi ini ? Proses perijinan dalam pengusahaan minyak bumi khusus sumur tua sebagaimana tersebut dalam tata cara pada Peraturan Menteri ESDM nomor 1 tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Bumi Pada Sumur Tua. Untuk tambang rakyat masih didisusun formula yang tepat dalam rangka penyluhan agar kegiatan tersebut tidak melanggar atura yang ada. Apakah ada larangan untuk menambang minyak ? Pernahkan terjadi pelarangan secara paksa ? Penambangan minyak bumi pada sumur tua tidak dilarang sepanjang sesuai dengan aturan yang berlaku. Belum pernah. Kondisi saat ini semua kegiatan tambang rakyat belum memnuhi aturan yang berlaku Pihak mana saja yang sering mendatangi lokasi pertambangan rakyat di desa Wonocolo ? Apa yang mereka lakukan ? Pihak yang sering mendatangi adalah Pihak Pemda (untuk kegiatan kunjungan lapangan), Investor (untuk mencoba mencaripeluang investasi di sana), dll. Bagaimana jika pertambangan ini ditutup oleh pemerintah? Jika penambangan ditutup oleh pemerintah perlu dicarikan alternatif mata pencaharian penambang karena secara turun menurun sudah menambang sejak zaman belanda.Hal ini juga berhubungan dengan tingkat pendidikan dan keahlian masyarakat yang masih rendah sehingga sulit untuk mengarahkan berubah profesi selain sebagai penambang Dalam melakukan penambangan, bekerja sendiri-sendiri atau berkelompok ? Sepanjang yang kami ketahui penambangan dilaksanakan secara berkelompok. Apakah sudah ada organisasi yang mewadahi para penambang untuk memudahkan dalam berurusan dengan pihak lain? Dahulu ada KUD Bogosasono, karena kontraknya diputus oleh pemerintah sekarang terjadi kevakuman organisasi, kondisi saat ini sudah ada 2 (dua) KUD yang memperoleh rekomendasi Bupati dan persetujuan gubernur jatim dan saat ini sedang menyelesaikan perijinan di pusat. Kondisi saat ini ijin tersebut belum turun. Apakah ada iuran/pajak yang dibayarkan oleh para penambang ? Kepada siapa dibayarkan ? Berapa besarnnya ? Untuk pajak yang dibayarkan adalah PPN dan PPH sesuai dengan ketentuan, dibayarkan kepada kantor pajak pratama besarannya sesuai dengan aturan yang berlaku.Tapi secara khusus pajak unutk tambang rakyat belum terealisasi disebabkan mekanisme/aturan belum ada karena para penambang/kelompok penambang tidak berbadan hukum dan kegiatannya masih ilegal. Apakah pernah terjadi konflik diantara sesama penambang/pihak lain ? Jika pernah terjadi apa pemicunya ? Pernah ada konflik antara penambang dengan penyuling, terjadi karena ada penambang yang tidak mau memberikan hasilnya kepada penyuling sehingga hamper saja terjadi bentrokan. Kejadian ini sudah diselesaikan oleh muspika. Apakah ada perubahan budaya masyarakat dengan keberadaan pertambangan minyak ini ?
98
Terjadinya perubahan budaya masyarakat sangat kecil karena penambangan ini sudah berlangsung sejak jaman penjajahan belanda. Apakah pernah ada penyuluhan atau pembinaan dari aparat pemerintah atau pihak lain ? Untuk penyuluhan dan pembinaan dari pemerintah sudah sering dilaksanakan antara lain pembinaan perkoperasian, pembinaan peraturan lingkungan dan peraturan yang lainnya, serta memberikan bantuan peralatan penambangan lewat wadah/organisasi yang ada. Apa harapan dimasa depan dengan kegiatan pertambangan rakyat di desa Wonocolo ? Harapan dimasa depan kegiatan penambangan rakyat ini dapat mensejahterakan masyarakat di desa penghasil serta ada alternatif mata pencaharian bagi masyarakat penambang sehingga tidak hanya mengandalkan pada kegiatan penambangan saja. WAWANCARA 8 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Sabtu, 23 April 2011, pukul 15.00-17.00 Responden: Rudi , Sopir Truk Lokasi: Lamongan Wawancara dengan sopir mobil yang beroperasi di daerah pantura khususnya yang melewati jalur Tuban-Surabaya. Kebetulan kami melihat ada sebuah truk tronton dari arah Tuban akan menuju Surabaya sedang mengisi solar dari pedagang eceran di daerah tuban. Kami tidak langsung menanyakan di tempat pembelian tetapi kami sengaja mengikuti sampai berjalan kembali dan mencari kesempatan pada saat beristirahat (biasanya diwarung). Berikut ini hasil wawancara yang sudah diedit. Apakah bapak tahu solar yang dibeli tadi solar bukan dari Pertamina ? Apa alasan membeli solar tersebut ? Tahu, dan kami sudah langganan tetapi tidak setiap hari ada solar tersebut, karena jumlahnya tidak banyak dan tidak cukup memenuhi kebutuhan untuk kendaraan yang biasa lewat di sini. Alasan yang paling penting karena harganya lebih murah, kalau beli di SPBU harganya Rp. 4500,- per liter tetapi saya biasa beli ditempat tadi Rp. 4100 s/d Rp. 4300 per liter. Coba bapak hitung sendiri jika sekali membeli 150 liter, kan lumayan bisa untuk makan pak. Masalah kualitas bagaimana pak ? Kalau masalah kualitas saya tidak tahu pasti, tetapi yang jelas tenaga mobilnya akan lebih lemah jika dibanding solar SPBU dan bapak mungkin bisa lihat sendiri tadi, asapnya lebih banyak dan lebih pekat, menurut cerita teman yang pernah mengalami masalah dengan solar ini ada resiko mobil sering mogok dan mesinnya lebih cepat berkerak. Semakin sore semakin banyak mobil truk yang parkir dan suasana sudah tidak nyaman karena penulis takut ada prasangka buruk penulis merasa sudah cukup infomasi dari bapak Rudi. WAWANCARA 9 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Minggu, 24 April 2011, pukul 19.00-21.00 Responden: Wadjinah, SH , Wakil ketua LSM Merah Putih Lokasi: Cepu Wawancara dilakukan di rumah ibu wadjinah yang merupakan cucu dari mbah Watah Wirosentono mantan Kades Wonocolo era 1960 sd 1990 an. Berikut petikan wawancara yang sudah diedit dan disarikan. Bagaimana pendapat Anda tentang pengelolaan Pertambangan Rakyat di desa Wonocolo? Pertambangan rakyat di Desa Wonocolo merupakan kegiatan yang dilakukan secara turun temurun, sebelum era reformasi hasil tambang tersebut mampu memberikan
99
penghidupan rakyat tanpa menimbulkan masalah sosial. Pada umumnya masyarakat tidak mempunyai banyak pilihan pekerjaan sehingga pertambangan minyak bumi tradisional merupakan satu-satunya pilihan yang mungkin dan mampu dikerjakan oleh masyarakat. Apakah pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan PR sudah bertindak sesuai dengan wewenang, hak, kewajiban dan tugas masing-masing ? Faktanya dilapangan menunjukan bahwa para pihak yang terkait belum bekerja secara masimal agar pengelolaan tambang rakyat sesuai dengan aturan yang berlaku. Apakah pengelolaan Pertambangan Rakyat sudah menguntungkan secara ekonomi semua pihak ? Secara ekonomi sudah menguntung bagi masyarakat, tapi ada pihak yang tidak mendapat manfaat ekonomi yaitu Pemda. Apakah terjadi pencemaran dalam proses pengolahan dan penambangan minyak bumi ? Apakah merasa dirugikan jika ada pencemaran ? Sudah pasti pencemaran terjadi, karena teknologi yang digunakan masyarakat dalam penambangan masih sederhana. Bagaimana proses perijinan dalam pengusahaan tambang minyak bumi ini ? Menurut saya prosesnya sangat berbelit dan diluar kemampuan masyarakat untuk dapat mengurusnya. Apakah ada larangan untuk menambang minyak ? Pernahkan terjadi pelarangan secara paksa ? Selama ini belum ada kebijakan untuk melarang kegiatan pertambangan rakyat di Desa Wonocolo. Pihak mana saja yang sering mendatangi lokasi pertambangan rakyat di desa Wonocolo ? Apa yang mereka lakukan ? Setahu saya yang sering mendatangi lokasi pertambangan adalah para oportunis yang akan mengambil keuntungan dari kegiatan tambang rakyat seperti pengusaha, anggota DPRD yang mencari simpati dan aparat pemda yang hanya sekedar numpak lewat saja. Bagaimana jika pertambangan ini ditutup oleh pemerintah? Asal pemda siap dengan resiko benturan dengan masyarkat ya silahkan aja. Terlalu besar resiko jika hal tersebut dilakukan. Dalam melakukan penambangan, bekerja sendiri-sendiri atau berkelompok ? Berkelompok.Hal ini berkaitan dengan kemampuan masyarakat dari sisi modal karena tidak mungkin masyarakat melakukan sendiri. Apakah sudah ada organisasi yang mewadahi para penambang untuk memudahkan dalam berurusan dengan pihak lain? Dahulu ada koperasi yang mewadahi dengan menampung produksi para penambang dan menyetorkan kepada pertamina atau dijual ketempat lain sebagai bahan bakar. Apakah pernah terjadi konflik diantara sesama penambang/pihak lain ? Jika pernah terjadi apa pemicunya ? Kalau konflik sekala kecil antar penambang atau penambang dengan penyuling sering terjadi tetapi masih bisa diatasi oleh mereka. Apakah ada perubahan budaya masyarakat dengan keberadaan pertambangan minyak ini ? Perubahan secara ekonomi pasti terjadi tetapi secara sosial tidak begitu kentara karena tambang ini sudah dilakukan sejak dahulu dan berlangsung secara turun temurun. Apakah pernah ada penyuluhan atau pembinaan dari pemerintah atau pihak lain ?
100
Saya belum pernah melihat ada penyuluhan dari pemda berkaitan dengan tambang rakyat tetapi kami dari LSM Merah Putih sering melakukan pendampingan kelompok penambang jika ada masalah dengan mereka. Apa harapan dimasa depan dengan kegiatan pertambangan rakyat di desa Wonocolo ? Untuk masa depan sebaiknya pemerintah melakukan pengaturan yang bijaksana agar kegiatan ini tetap bisa bermanfaat dan mengunutngkan masyarakat. WAWANCARA 10 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Senin, 25 April 2011, pukul 10.00-12.00 Responden: Heri , GM PT. Trifika Lokasi: Desa Balun (Kantor PT. Trifika) Wawancara dilakukan dilakukan dengan situasi yang santai di kantor PT. Trifika. Berikut petikan wawancara yang telah diedit dan disarikan. Bagaimana pendapat Anda tentang pengelolaan Pertambangan Rakyat di desa Wonocolo? Dilihat dari sisi ekonomi kegitan ini sepertinya cukup ekonomis bagi masyarakat Desa Wonocolo karena sudah dilakukan sejak lama dan turun temurun. Permasalahan yang terlihat adalah mereka bekerja tanpa ijin dari pemerintah, hal ini dimungkinkan karena masyarakat merasa berhak atas hasil minyak bumi dari sumur-sumur tua dan pada umumnya mereka tidak punya alternatip pekerjaan yang lain. Apakah pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan PR sudah bertindak sesuai dengan wewenang, hak, kewajiban dan tugas masing-masing ? Jika diperhatikan sesuai dengan faktanya para pihak kayaknya belum bertindak sesuai tugas dan fungsinya, artinya pemerintah sendiri belum mampu mengelola sumur tua sesuai dengan aturan yang ada sehingga pihak pemerintah sendiri belum mendapatkan manfaat dari sumur tua tersebut demikian juga masyarakat belum bisa bekerja dan berusaha dengan tenang disebabkan belum adanya ijin resmi dari pemerintah. Apakah pengelolaan Pertambangan Rakyat sudah menguntungkan secara ekonomi semua pihak ? Kayaknya belum, saat ini yang merasa untung hanya masyarakat, baik sebagai penambang, penyuling maupun pedagang minyak olahan. Apakah terjadi pencemaran dalam proses pengolahan dan penambangan minyak bumi ? Apakah merasa dirugikan jika ada pencemaran ? Pencemaran pasti terjadi karena sistem yang dipakai masih sangat sederhana (teknologi) dan ini sulit untuk dicegah/diminimalisir oleh penambang. Bagaimana proses perijinan dalam pengusahaan tambang minyak bumi ini ? Untuk penambang rakyat saya kurang tahu apakan proses perijinannya sudah di urus, tetapi untuk perusahaan kami sudah diurus bahkan sudah setahun yang lalu tetapi sampai saat ini belum turun ijinnya. Saat ini kami bekerja berdasarkan ijin non formal dari pemerintah (ijin lisan). Bagaimana jika pertambangan ini ditutup oleh pemerintah? Kalau sampai aktivitas ini ditutup/dilarang pemerintah mungkin akan ribut, karena aktivitas ini merupakan “kehidupan” bagi masyarakat setempat dan menurut saya akan berpotensi terjadi keributan. Apakah ada iuran/pajak yang dibayarkan oleh para penambang ? Kepada siapa dibayarkan ? Berapa besarnnya ? Untuk maslah itu saya kurang paham, tetapi kalau dari pihak kami ada semacam uang lelah untuk aparat yang datang ke lokasi saya. Apakah pernah terjadi konflik diantara sesama penambang/pihak lain ? Jika pernah terjadi apa pemicunya ?
101
Kurang paham, saya pernah mendengar pernah terjadi tetapi skalanya tidak besar Apa harapan dimasa depan dengan kegiatan pertambangan rakyat di desa Wonocolo ? Sebaiknya pemerintah lebih serius dalam mengelola pertambangan ini karena ternyata potensinya cukup besar dan manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat pelaku pertambangan. WAWANCARA 11 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Rabu, 27 April 2011, pukul 15.00-17.00 Responden: Polsek Kedewan. Lokasi: Desa kedewan. Wawancara dilakukan non formal karena bagi pihak polsek masalah ini cukup sensitip. Berikut petikan wawancara yang sudah diedit dan disarikan. Bagaimana Wonocolo?
pendapat Anda tentang pengelolaan Pertambangan Rakyat di desa
Secara umum terlihat masyarakat mendapat keuntungan dari kegiatan pertambangan ini, tetapi dari sisi sosial pertambangan ini sangat rentan terhadap pertentangan anatar penambang hal ini akan menjadi kerawanan sosial karena jika tidak baik penangannanya akan berpotensi konflik, apalagi sekarang sudah banyak masuk orang dari luar desa yang ikut berusaha dan bekerja dalam pertambangan ini. Apakah pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan PR sudah bertindak sesuai dengan wewenang, hak, kewajiban dan tugas masing-masing ? Pihak yang terkait terutama pemda dan PERTAMINA kurang begitu berperan dalam pengelolaan tambang rakyat ini, hal ini terlihat bahwa seolah-olah masyarakat bekerja sendiri tanpa ada aturan, pembinaan atau hal lain yang menunjukan hubungan kerja. Apakah terjadi pencemaran dalam proses pengolahan dan penambangan minyak bumi ? Apakah merasa dirugikan jika ada pencemaran ? Secara kasat mata terlihat ada pencemaran, tetapi spertinya masyarkat tidak perduli dengan masalah ini. Apakah ada larangan untuk menambang minyak ? Pernahkan terjadi pelarangan secara paksa ? Seperti yang terlihat kegiatan ini masih bisa berjalan sampai sekarang, berarti tidak ada pelarangan. Bagaimana jika pertambangan ini ditutup oleh pemerintah? Bagi kami ditutup atau tidak itu bukan masalah secara kedinasan, tetapi masalahnya yang perlu dipikirkan adalah dampak dari penutupan tambang ini, pekerjaan dibidang pertambangan merupakan mata pencaharian utama dari penduduk desa Wonocolo, saya tidak yakin jika tambang ini ditutup masyarakat akan bisa menerima keputusan tersebut, ibaratnya jika mata pencaharian kita dihilangkan secara paksa tentunya kita akan melawan. Apakah pernah terjadi konflik diantara sesama penambang/pihak lain ? Jika pernah terjadi apa pemicunya ? Konflik kecil-kecilan sering terjadi tetapi itu hanya konflik secara individu dan selalu bisa diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi unutk konflik sekala besar belum pernah terjadi. Bagaimana dengan sikap kepolisian terhadap kegiatan pertambangan ini, karena sebenarnay kegiatan tersebut pada dasarnya adalah illegal, apakan ada program sehubungan dengan kegiatan ini ? Prinsip kami bekerja berdasarkan laporan dari pihak terkait dengan masalah yang ada, selagi tidak ada laporan tetntang pelanggaran maka kami tidak akan bertindak, tugas pokok kami disini adalah menjaga keamanan dan ketertiban wilayah kecamatan Kedewan.
102
WAWANCARA 12 (INDEPTH INTERVIEW) Hari/Tanggal: Sabtu, 30 April 2011, pukul 10.00-14.00 Responden: Ketua Koperasi Bogasasono Lokasi: Desa Wonocolo. Wawancara dilakukan di rumah bpk Zainuri di Desa Wonocolo agar suasana lebih santai dan informasi yang diperoleh lebih mengena pada substansi masalah riil. Berikut petikan wawancara yang sudah diedit dan disarikan. Bagaimana Wonocolo?
pendapat Anda tentang pengelolaan Pertambangan Rakyat di desa
Tambang tradisional di Desa Wonocolo merupakan urat nadi perekonomian bagi rakyat, pada saat ini pengelolaan cenderung liar dan berjalan tidak sesuai aturan. Mereka bekerja tanpa ijin dan hasil produksinya dipasarkan secara bebas kepada para penyuling atau disuling sendiri kemudian hasilnya dijual kepada para perengkek. Apakah pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan PR sudah bertindak sesuai dengan wewenang, hak, kewajiban dan tugas masing-masing ? Pada kenyataannya pihak pemerintah dan PERTAMINA tidak bertindak sesuai dengan kewenangannya, ada kesan takut dan ragu untuk bertindak karena situasinya sudah berubah tidak seperti pada saat koperasi masih aktif, hal ini terjadi karena terjadinya kenaikan harga minyak sehingga harga pasaran minyak juga ikut naik sementara PERTAMINA tidak mau menaikan harga belinya dengan alasan kualitas minyak mentah yang jelek. Bagaimana peran koperasi sendiri ? Sebenarnya peran koperasi hanya sebagai perantara bagi para penambang untuk menyalurkan produksi minyak mentah kepada PERTAMINA, masalah harga dan kualitas ada ketentuan dari PERTAMINA. Apa alasan penambang tidak mau menjual kepada koperasi? Pada awalnya dulu masyarakat hanya b isa menjual kepada koperasi hasil minyak mentahnya, satu drum (210 liter) dulu dihargai Rp.40.000 sd Rp 65,000, tetapi situasi sekarang berubah kami sudah menaikan harga menjadi Rp. 90.000 sd Rp. 110.000, mereka masih merasa terlalu murah karena mereka mampu menjual 7 jerigen (245 liter) dengan harga Rp.350.000 sd Rp. 450.000 kondisi inilah yang meyebabkan mereka lebih suka menjual kepada para penyuling dan sistem pembayaran mereka tunai sementara koperasi membayarnya sebulan sekali. Pernahkan dilakuka negosiasi kepada para penambang? Sudah pernah, tetapi kendala harga menjadi penyebab mandegnya perundingan karena kemampuan kami hanya segitu. Kemudian apakah ada usaha lain dari koperasi agar ? Usaha lain yang pernah dilakukan untuk negosiasi tidak pernah dilakukan lagi karena itu akan sia-sia, tetapi pada tahun 2010 kemarin pernah dilakukan rapat dengan pemda untuk membahas masalah itu tetapi hasilnya juga nihil Bagaimana jika pertambangan ini ditutup oleh pemerintah? Saya pikir itu sebuah tindakan konyol jika dilakukan karena ini menyangkut perut orang banyak, bisa-bisa akan terjadi keributan besar Apa harapan dimasa depan dengan kegiatan pertambangan rakyat di desa Wonocolo ? Harapan kami dimasa depan agar maslah perijinan kepada para penambang bisa direalisasikan dan masyarakat tidak menjual kepada para penyuling, para penyuling ditertibkan (dilarang) sehingga koperasi lebih berperan menjadi perantara penyaluran produksi para penambang sehingga koperasi hidup kembali.
103
Lampiran 3: Peta Desa Wonocolo Kecamatan Kedewan.
Lampiran 4: Peta Wilayah Kerja PT. PERTAMINA Region Jawa Area Cepu
WONOCOLO
104
Lampira 5 Analisis Stakeholder Berdasarkan Kepentingan dan Aspirasinya Stakeholders Penambang, Penyuling, Koperasi Bogasasono, Pengusaha
Kepentingan
Aspirasi
- Mempunyai hak yang di atur - Legalisasi kegiatan dalam undang-undang atas penambangan dengan sumberdaya alam berupa memberikan ijin secara minyak bumi dari pengelolaan berkelompok atas sumur tua pengelolaan sumur tua. - Berusaha dengan tenang tanpa - Dipermudah dalam ada ketakutan karena masalah pengurusan ijin usaha perijinan yang tidak mampu pertambangan rakyat mereka dapatkan (IPR)
- Meningkatkan pendapatan dan - Dapat menjual minyak kesejahteraan mentah secara bebas dengan harga pasar - Memperoleh kesempatan bekerja dan berusaha - Dapat melakukan penyulingan minyak mentah sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan membuka lapangan kerja baru
Pengaruh
Implikasi
- Secara individu tidak berpngaruh besar tetapi secara berkelompok akan menyebabkan potensi kerawanan sosial.
- Jika ketiga stakeholders ini berkoalisasi dan menyuarakan isu yang sama akan memicu terjadinya konflik dengan pemda - Munculnya tengkulak dan pemodal yang akan meningkatkan kompetisi dalam pengambilan minyak secara tradisional - Penambang dengan bebas dapat menjual kepada siapa saja tanpa harus melalui koperasi. - Akan muncul para penyuling baru dari luar daerah karena usaha ini dapat menghasilkan keuntungan yang cukup besar dalam waktu singkat
105
Lanjutan....... Kepala Desa Wonocolo, Camat Kedewan
- Memperoleh pendapatan untuk - Proses perijinan kepentingan Desa dan pertambangan Kecamatan dari retribusi dipermudah dan dipercepat - Membuka kesempatan kerja dan berusaha bagi warga - Proses perijinan hanya diberikan kepada - Meningkatkan kesejahteraan penambang masyarakat
- Merupakan tokoh masyarakat lokal yang disegani oleh warga, karena budaya jawa yang cenderung patronisme
- Secara individu dapat menggerakkan massa yang terlibat dalam pengelolaan sumur tua
PERTAMINA,
- Mendapatkan minyak mentah hasil pertambangan trasional
- Mempunyai wewenang bersama aparat keamanan untuk melakukan pemberantasan penyulingan
- Berpotensi terjadi konflik horisontal dengan penambang, penyuling dan pedagang/pembeli
- Secara hukum bisa melakukan pelarangan dan penindakan kepada pelaku pertambangan jika ditemukan pelanggaran dalam pelaksanaanya
- Berpotensi konflik horisontal dengan pelaku pertambangan jika melakukan tindakan represif dan pelarangan pengelolaan tambang rakyat
- Membuka lapangan kerja baru
BAPPEDA, Kantor Lingkungan Hidup, Dinas Pertambangan, Biro Ekonomi
- Berhentinya kegiatan pengolahan minyak bumi tradisional
- Meningkatkan kesejahteraan - Dilakukan penertiban masyarakat dengan terbukanya pengelolaan kesempatan bekerja dan pertambangan rakyat berusaha dalam pengelolaan bekerja sama dengan pertambangan rakyat minyak aparat keamanan dan bumi di Desa Wonocolo PERTAMINA - Memperoleh Pendapatan Asli Daerah
- Proses perijinan dipermudah di tingkat propinsi dan pusat - Pengendalan pencemaran lingkungan
106
Lanjutan.......
Polsek Kedewan
- Menjaga ketertiban dan keamanan kawasan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo
- Dibuat aturan baku tentang pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo
- Secara hukum dapat melakukan tindakan pencegahan dan penindakan jika ada pelanggaran pada pengelolaan sumur tua di Desa Wonocolo
- Pelaksanaan penertiban yang represif berpotensi konflik secara horisontal dengan pelaku pertambangan rakyat
LSM Merah Putih
- Mendorong pemerintah untuk memberdayakan dan melindungi kegiatan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo
- Berharap dibuatkan program yang jelas dan transparan dalam pengelolaan pertambangan rakyat minyak bumi di Desa Wonocolo
- Dapat menggerakan massa pelaku pertambangan karena faktor kedekatan
- Jika kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan aspirasi penambang bisa mempengaruhi pelaku pertambangan dan sekaligus bisa menggerakan massa untuk melakukan perlawananan
- Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat penambang oleh instansi terkait agar segera tercapai kesejaheteraan penambang
107
Lampiran 6 Analisis Isi Kebijakan Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua di Blok Cepu Desa Wonocolo KEBIJAKAN
ISI
PROBLEM
Usaha Hulu: - Penyerahan wewenang - Pengelolaan sumur tua Permen ESDM No.01 pengelolaan sumur tua dari dilakukan oleh kelompok th 2008 tentang Pemerintah Pusat Kepada Pemda tanpa ada ijin (tdk PEDOMAN - Pemberian peran KUD/BUMD berbadan hukum) PENGUSAHAAN untuk mengelola sumur tua. - Kelompok penambang PERTAMBANGAN - Hasil produksi sumur tua harus tidak mau bermitra dg MINYAK BUMI PD diserahkan kepada PERTAMINA koperasi. SUMUR TUA sebagai pelaksana usaha di bidang - Hail produksi minyak mentah dijual secara minyak bumi bebas kepada penyuling sehingga kontrol jumlah produksi tdk bisa dilakukan Usaha Hilir: - PERTAMINA Pelaksana usaha Hilir - Kegiatan Penyulingan UU No. 22 TH 2001 minyak dan gas bumi dan perdagangan tentang MINYAK dibiarkan DAN GAS BUMI - Permintaan minyak olahan yang tinggi PENCEMARAN: UU No. 32 th 2009 tentang PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
- Setiap usaha dan/atau kegiatan - Terjadi pencemaran yang menimbulkan dampak besar tanah dan air oleh logam dan penting terhadap lingkungan berat pada proses hidup wajib memiliki analisis pengambilan minyak mengenai dampak lingkungan mentah - Terjadi pencemaran hidup untuk memperoleh izin udara dan logam berat melakukan usaha dan/atau pada tanah dan air pd kegiatan - Pengendalian pencemaran proses penyulingan dan/atau kerusakan lingkungan hidup ........Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan .........., dan tanggung jawab masingmasing.
PENYEBAB
GAP
- Tidak ada penanggungjawab - Tidak ada bukti legal secara kelembagaan sehingga tentang ijin pengelolaan sulit dilakukan tindakan jika sumur tua ada pelanggaran. - Tidak ada bukti legal - Tdk ada data produksi dari tentang pemrakarsa/ sumur tua. penanggung jawab kegiatan - PERTAMINA tidak mendapat pengelolaan sumur tua pasokan minyak mentah dari - Penegakan hukum lemah produksi sumur tua oleh aparat terkait
- PERTAMINA di rugikan secara ekonomi karena ada disparitas harga - Peredaran minyak olahan berpotensi merugikan konsumen krn kualitas - Harga jual kepada penyuling lebih tinggi - Dengan melakukan pengolahan sendiri penambang mendapat hasil lebih besar dibanding dijual dalam bentuk minyak mentah - Masyarat pelaku pertambangan tidak merasa takut melakukan kegiatan ilegal ini disebabkan mereka telah memberikan uang keamanan kepada aparat keamanan
- Tidak ada penindakan oleh aparat hukum dalam proses penyulingan dan perdagangan minyak olahan - Lemahnya lembaga terkait dalam melakukan pengawasan - Lemahnya penegakan hukum - Tidak ada pembinaan dan pengawasan kepada para pelaku penambangan karena tidak ada konsep yang jelas untuk solusi masalah yang ada
108
PAD dan Dana Perimbangan: UU No. 33 th 2004 tentang PERIMBANGAN KEUANGANG ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
- Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah ........ dibagi dengan imbangan: 69,5% Pemerintah Pusat dan 30,5% untuk Daerah; 6% untuk provinsi bersangkutan; 12% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan 12% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan.
- Semua hasil produksi tidak diserahkan kepada PERTAMINA sehingga tdk ada data produksi yang jelas. - Semua produksi dijual kepada penyuling atau di suling/olah sendiri dan hasilnya dijual secara tunai kepada para pedagang. - Tanpa perijinan kegiatan penambangan, penyulingan dan perdagangan adalah ilegal
- Harga jual kepada penyuling - Lemahnya lembaga terkait lebih tinggi dalam melakukan - Dengan melakukan pengawasan - Lemahnya penegakan pengolahan sendiri hukum penambang mendapat hasil - Tidak ada pembinaan dan lebih besar dibanding dijual dalam bentuk minyak mentah pengawasan kepada para pelaku penambangan - Masyarat pelaku karena tidak ada konsep pertambangan tidak merasa yang jelas untuk solusi takut melakukan kegiatan masalah yang ada ilegal ini disebabkan mereka telah memberikan uang keamanan kepada aparat keamanan
109