”PELAKSANAAN FUNGSI LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA” Oleh: KEVEN TOTOUW
PENDAHULUAN Pada tanggal 1 mei tahun 1969 Papua resmi di integrasi ke Negara kesatuan repoblik Indonesia dan di bentuklah provinsi paling timur di Indonesia. Sesuai dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907); bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilainilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undangundang bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan mengha rgai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus bahwa penduduk asli di Provinsi Papua. papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari sukusuku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, di Indonesia dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan
kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga Negara bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua bahwa berdasarkan hal-hal tersebut dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang-undang no 21 tahun 2001. undang-undang . Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 21 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan Di Provinsi papua dalam peleksanan pembangaunan di provinsi sesuai dengan undang-undang no 21 tahun 2001 sangat berbeda dengan daerah lain di indonsia karena kekhusussannya kekhususnya yaitu ada beberappa hal atau kewenangan yang diberikan kepada pememerintah provinsi papua dan dewan perwakilan rakyat papua (DPRP) kewenangan adalah untuk tertipnya penyelenggaraan pemerintahan daerah maka DPRP perlu membentukan peraturan daerah provinsi (PERDASI) Dan (PERDASUS) Peraturan daerah khusus yang baik dan benar yang nantinya akan di terapkan di tengah-tengah kehidupan masyarakat provinsi papua agar mencapai cita-cita bangsa kita yaitu mencapai pada mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mencapai pada masyarakat yang adil dan makmur. Dan Gerakan Reformasi 1998 telah membawa angin perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Sistem pemerintahan yang sentralistis dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah digantikan dengan pemerintahan yang desentralistis. Artinya sejumlah wewenang pemerintahan diserahkan oleh Pemerintah kepada daerah otonom, kecuali urusan pemerintahan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan dan yustisi yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Prinsip otonomi daerah menekankan pada pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menjadi kewenangannya dalam kerangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelembagaan Otonomi daerah bukan hanya diartikulasi sebagai final destination (tujuan akhir), tetapi lebih sebagai mechanism (mekanisme) dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan sendiri oleh daerah otonom. Di antara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah
pemerintahan daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, badan perwakilan (local representative body) yang kita kenal dengan nama DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, atau Kota) memiliki beberapa fungsi dan salah satunya adalah fungsi legislasi sebagai wahana utama untuk merefleksikan aspirasi dan kepentingan rakyat (publik) dalam formulasi peraturan daerah. Salah satu sarana dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan adalah dibentuknya Peraturan Daerah. Dengan kata lain Peraturan Daerah merupakan sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah dan tugas-tugas pembantuan. Dalam Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah antara lain mengemukakan: “Penyelenggaraan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya serta atas kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah. Perubahan konsepsi dalam pengimplementasian fungsi legislasi pada tataran pemerintahan pusat, sekaligus berimbas pada pengimplementasian fungsi legislasi pada tataran pemerintahan daerah. Jika pada saat berlakunya UU No.5 Tahun 1974 berkaitan dengan legislasi dinyatakan, bahwa: Kewajiban DPRD bersama-sama Kepala Daerah menyusun Peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah. Dalam konteks fungsi legislasi di bawah UU No. 5 Tahun 1974 ada dua catatan penting, yakni; Pertama, peran DPRD dalam membentuk Peraturan Daerah adalah merupakan kewajiban. Kedua, DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah, sehingga Peraturan Daerah ditanda tangani bersama-sama Kepala daerah dan DPRD. Salah satu fungsi Dewan Perwaklan Rakyat Daerah adalah fungsi legislasi. Fungsi legislasi DPRD yang merupakan fungsi untuk membentuk peraturan daerah bersama Kepala daerah.Dibentuknya peraturan daerah sebagai bahan pengelolaan hukum di tingkat daerah guna mewujudkan kebutuhan-kebutuhan perangkat peraturan perundang-undangan guna melaksanakan pemerintahan daerah serta sebagai yang menampung aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, perlu dilihat bagaimana peranan fungsi legislasi DPRD dalam pembentukan peraturan daerah di Indonesia dewasa ini yang menjadi bahan pembicaraan di kalangan bangsawan, kalangan elit- elit politik dan masyarakakat tentang tata kelola pemerintahan yang sesuai koridor atau sesuai peraturang perundang-undangan yang berlaku, dan sistem pemerintahan kita ini menganut sistem pemerintahan daerah. Di dalamnya di bagi menjadi otonomi daerah, daerah otonomi khusus hingga daerah istimewa dengan memberikan kewenganan kepada kepala daerah dan DPRD untuk membuat kebijikan- kebijkan pemerintahan daerah tentang strategi pembangunan daeran di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan infrastrutur dalam pembuatan kebijakan itu tidak terlepas dari peran lembaga legislatif dalam mengendepankan fungsinya yaitu fungsi legislasi pembuatan peraturan daerah ( PERDA) agar suatu kebijakan yang di ambil oleh pemerintah untuk kepengtingan rakyat itu di dasari oleh dasar hukum. Karena landasan hukumlah yang mengakomodir kepengtingan rakyat.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pelaksanaan, Pelaksanaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh suatu badan atau wadah secara berencana, teratur dan terarah guna mencapai tujuan yang diharapkan, Pengertian Implementasi atau pelaksanaan menurut Westa (1985 : 17) Implementasi atau pelaksanaan merupakan aktifitas atau usaha-usaha yang dilaksanakan untuk melaksanakan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah dirumuskan dan ditetapkan dengan dilengkapi segala kebutuhan, alat-alat yang diperlukan, siapa yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya mulai dan bagaimana cara yang harus dilaksanakan. Implementasi atau Pelaksanaan merupakan aktifitas atau usaha-usaha yang dilaksanakan yang dikemukakan oleh Abdullah (1987): bahwa Implementasi adalah suatu proses rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah program atau kebijaksanaan ditetapkan yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah yang strategis maupun operasional atau kebijaksanaan menjadi kenyataan guna mencapai sasaran dari program yang ditetepkan semula. Dari pengertian yang dikemukakan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya pelaksanaan suatu program yang telah ditetapkan oleh pemerintah harus sejalan dengan kondisi yang ada, baik itu di lapangan maupun di luar lapangan. Yang mana dalam kegiatannya melibatkan beberapa unsur disertai dengan usaha-usaha dan didukung oleh alat-alat penunjang. Selain itu perlu adanya batasan waktu dan penentuan tata cara pelaksanaan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai jujuannya. Studi inplementasi merupakan suatu kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan dari suatu kebijakan. Dalam prakteknya inplementasi kebijakan merupakan suatu proses kompleks dan tidak jarang bermuatan politis dengan adanya intervensi berbagai kepentingan.Untuk melikiskan kerumitan dalam proses inplementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan yaitu cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang keliahatnya bagus di atas kertas. Sedangkan,van meter dan horn dalam agustino(2008) mendefinisikan inplementasi kebijakan sebagai berikut: Dari dari definisi diatas kami ambil gambaran untuk mencapai implementasi mengandung tiga hal yaitu ; 1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan 2. Adanya aktivitas kegiatan mencapaian tujuan 3. Adanya hasil kegiatan Tindakan-tindakan yang di lakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang di arahkan pada tercapainya tujuan-tujuan
yang telah di gariskan dalam kepeutusan kebijaksanaan. Anderson dalam bukunya persons (2006:464) kebijakan di buat saat ia sedang di atur dan diatur Ia sedang di buat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut undang-undang no 21 tahun 2001 Pasal 7 DPRP mempunyai tugas dan wewenang : 1. Memilih Gubernur dan Wakil Gubernur mengusulkan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia; 2. Mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur kepada Presiden Republik Indonesia; 3. Menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah danprogram pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan Gubernur; 4. Membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama dengan Gubernur; 5. Membahas rancangan Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur; 6. Menetapkan Perdasus dan Perdasi; bersama Gubernur menyusun dan menetapkan Pola Dasar Pembangunan ProvinsiPapua dengan berpedoman pada Program Pembangunan Nasional dan memperhatikankekhususan Provinsi Papua; 7. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papuaterhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah; 8. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan penduduk Provinsi Papua; dan memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan RakyatRepublik Indonesia. DPRP mempunyai tugas melaksanakan pengawasan terhadap: 1. Pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan Gubernur dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya; 2. Pelaksanaan pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi Papua; 3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 4. Pelaksanaan kerjasama internasional di Provinsi Papua. Menurut Undang-undang NO 17 tentang MPR, DPR, DPD, Dan DPRD Tahun 2014 Pasal 317 DPRD Provinsi mempunyai wewenang dan tugas : 1. Membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur;
2. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang di ajukan oleh gubernur. 3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi. 4. Mengusulkan pengan pengangkatan dan pemberhentian gubernur dan / wakil gubernur kepada presiden melalui menteri dalam negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan / atau pemberhentian. 5. Memiliki wakil gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil gubernur; 6. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di daerah. 7. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi. 8. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan daerah provinsi; 9. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah; 10. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 11. Melaksanakan wewenang atau tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Undang-undang NO 21 Tahun 2001 Pasal 9 DPRP mempunyai hak : 1. Meminta pertanggungjawaban Gubernur; 2. Meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota serta pihak-pihak yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 3. Mengadakan penyelidikan; 4. Mengadakan perubahan atas Rancangan Perdasus dan Perdasi; 5. Mengajukan pernyataan pendapat; 6. Mengajukan Rancangan Perdasus dan Perdasi; 7. Mengadakan penyusunan, pengesahan, perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 8. Mengadakan penyusunan, pengesahan, perubahan dan perhitungan Anggaran Belanja DPRP sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 9. Menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRP 10. Setiap anggota DPRP Mempunyai Hak: 11. Mengajukan pertanyaan; 12. Menyampaikan usul dan pendapat; 13. Imunitas; 14. Protokoler; dan 15. Keuangan/administrasi.
Menurut undang-undang no 17 Tahun 2014 tentang MD3 Pasal 322 DPRD Provinsi berhak : Interpelasi ; Angket ; dan Menyatakan pendapat. Hak interpelasi adalah hak DPRD provinsi untuk meminta keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernagara. Hak angket adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah , dan Negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundagan-undangan. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD provinsi untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Menurut undang no 21 Tahun 2001 pasal 10 DPRP mempunyai kewajiban: 1. Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sert menaati segala perundang-undangan; 3. Membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; 4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; 5. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Menurut UU NO 17 Tahun 2014 tentang MD3 Pasal 324 Anggota DPRD provinsi berkewajiban : 1. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; 2. Melaksanakan undang-undang dasar Negara republic Indonesia tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan ; 3. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara kesatuan republic Indonesia ; 4. Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok ,dan golongan; 5. Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat ; 6. Menaati prinsip demokrasi dalam penyenlenggaraan pemerintahan daerah ; 7. Menaati tata tertib dank ode etik ; 8. Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi ;
9. Menyarap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala ; 10. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat ; dan 11. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Undang-undang (gezets) adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan, yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasar atas hukum, yang menghendaki dapat diperkirakannya akibat suatu aturan hukum, dan adanya kepastian dalam hukum. Menurut pendapat Peter Badura, dalam pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia, undang-undang ialah produk yang dibentuk bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan presiden, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 hasil perubahan Pertama). Peraturan perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan terjemahan dari wettelijke regeling. Kata wettelijk berarti sesuai dengan wet atau berdasarkan wet. Kata wet pada umumnya diterjemahkan dengan undang-undang dan bukan dengan undang. Sehubungan dengan kata dasar undang-undang, maka terjemahan wettelijke regeling ialah peraturan perundangundangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya ialah pembentukan normanorma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum dalam arti yang luas.Peraturan perundangundangan adalah keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum.Bersifat dan berlaku secara umum, maksudnya tidak mengidentifikasikan individu tertentu, sehingga berlaku bagi setiap subjek hukum yang memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai pola tingkah laku tersebut.Pada kenyataannya, terdapat juga peraturan perundang-undangan seperti undangundang yang berlaku untuk kelompok orang-orang tertentu, objek tertentu, daerah dan waktu tertentu. Dengan demikian, mengikat secara umum pada saat ini sekadar menunjukkan tidak menentukan secara konkret (nyata) identitas individu atau objeknya dalam bentuk lain peraturan perundang-undangan juga diar-tikan sebagai: "... keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum.18 Bersifat dan berlaku secara umum, yaitu tidak mengidentifikasikan individu tertentu sehingga berlaku bagi setiap subjek hukum yang memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai pola tingkah laku tersebut. Dalam kenyataan, terdapat juga peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah seperti undang-undang atau peraturang daerah yang berlaku untuk kelompok orang-orang tertentu, objek tertentu, daerah dan waktu tertentu.Dengan demikian, mengikat Wara umum pada saat ini sekadar menunjukkan tidak menentukan secara konkret (nyata) identitas individu atau objeknya." Dijelaskan oleh Bagir Manan, bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundangundangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh
lembaga dan/atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.20 Dengan pengertian yang lebih luas dibandingkan Bagir Manan, Reed Dickerson, dalam bukunya The Fundamentals of Legal Drafting (1986), sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan dan Kuntana Magnar, mengemukakan peraturan perundang-undangan adalah: "... aturan-aturan tingkah laku yang mengikat secara umum dapat berisi ketentuanketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan. Karena hal-hal yang diatur bersifat umum, maka peraturan perundang-undangan juga bersifat abstrak.Secara singkat lazim disebut bahwa ciri-ciri dari kaidah peraturan-peraturan perundang-undangan adalah abstrakumum atau umum-abstrak." Di dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, pembentukan peraturan perundang-undangan (wettelijke regels) merupakan sesuatu yang sangat penting demi keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan negara. Berkenaan dengan aktivitas penyelenggaraan pemerintahan, S.J. Fockema Andrea mengemukakan dalam bukunya yang berjudul "Rechtsgeleerd Handwoorden Boek," bahwa perundang-undangan atau diistilahkan dengan legislation/wetgeving/gezetgebung mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu: Pertama, perundang-undangan merupakan proses pembentukan/ proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; dan Kedua, perundang-undangan adalah segala peraturan-peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan dari suatu lembaga negara atau lembaga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan atribusi dan delegasi. Dalam rumusan lain dapat juga diartikan, bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Dalam pandangan Jimly Asshidiqie, pengertian peraturan per¬ndang-undangan adalah: "... keseluruhan susunan hierarkis peraturan perundang-un¬dangan yang berbentuk undangundang ke bawah, yaitu semua produk hukum yang melibatkan peran lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah ataupun yang melibatkan peran pemerintah karena kedudukan politiknya dalam melaksanakan produk legislatif yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan pemerintah menurut tingkatannya masing-masing. Di samping itu, yang juga termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan ialah: "... segala perangkat peraturan yang tingkatannya di bawah UU dan dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan yang termuat dalam bentuk peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Sebagai konsekuensi dianutnya ajaran pemisahan kekuasaan legislatif dan eksekutif secara tegas,
maka para pejabat yang dapat dianggap memiliki kewenangan demikian adalah presiden, menteri, dan pejabat setingkat menteri." Sedangkan M. Solly Lubis, mengistilahkan peraturan perun-dang-undangan dengan "peraturan negara," dan memberi tafsir pada "perundang-undangan" sebagai proses pembuatan peraturan negara. Dalam Kamus Hukum Fockema Andre, padanan istilah peraturan perundangundangan adalah wetgeving, diartikan: 1) De handeling van het wetgeven in formele zin; 2) Het resultaat, het geheel van de gestelde wetten betreffende enig onderdeel van het recht, met de destreffende benamingen. Secara umum, pelbagai pandangan Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara, khususnya di Indonesia, mendefinisikan peraturan perundang-undangan sebagai, aturan tertulis yang dibentuk/dibuat oleh lembaga/pejabat yang berwenang untuk itu, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang isinya mengikat secara umum. Menurut John Austin, dengan ajarannya legisme ataupositivisme, memulai pemahaman hukum, dengan menyatakan bahwa hukum itu semata-mata kehendak dari penguasa (command of sovereign), dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Karenanya dinyatakan tidak ada hukum di luar peraturan atau perundang-undangan Dalam perkembangannya, peristilahan peraturan perundang-undangan digunakan secara beranekaragam.Istilah perundang-undangan, digunakan bergantian antara perundang-undangan dan peraturan perundangan.Perbedaan penggunaan istilah tersebut, dimaksudkan untuk menjelaskan konteks yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya untuk menjelaskan beragam bentuk dan jenis perundang-undangan. Selain itu, digunakan pula untuk menentukan tingkatan Aierarki dari perundang-undangan, dan juga untuk mengetahui proses pembentukannya. Lazimnya, pembentukan suatu peraturan perundang-undang¬an, bersumber pada suatu kewenangan, baik yang bersifat atribusi maupun yang bersifat delegasi. Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar dan/atau undang-undang kepada lembaga negara dalam hal ini presiden, akan melekat secara terus-menerus. Dengan kewenangan ini, presiden dapat berprakarsa secara mandiri untuk mengajukan pembentukan peraturan perundang-undangan setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan UUD dan/atau UU. Hal ini sebagaimana dijelaskan, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, disebutkan: "... Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Di sisi lain, ada delegasi kewenangan, yaitu pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan itu dinyatakan dengan tegas atau tidak. Delegasi kewenangan tidak diberikan, melainkan "diwakilkan."Selain itu, kewenangan delegasi ini bersifat sementara, dalam arti kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada. Contoh delegasi ini adalah
kewenangan pemerintah menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945)." Sedangkan usulan pembentukan peraturan perundang-undang-an yang bersumber pada kewenangan legislatif bersifat: "(1) umum; (2) abstrak; dan (3) terus-menerus. Peraturan perundang-undangan bersifat umum, dalam arti ditujukan untuk masyarakat pada umumnya, bukan hanya untuk pribadi tertentu atau kalangan internal suatu lembaga. Oleh karena itu, surat edaran secara teori tidak dapat dimasukkan dalam kelompok peraturan perundang-undangan. Isinya juga harus abstrak, bukan mengatur hal yang konkret atau kasuistik. Sifat lain dari peraturan perundang-undangan adalah berlaku terus-menerus (dauerhaftig) ." Dengan memahami prinsip-prinsip tentang peraturan perun¬dang-undangan, khususnya pada fungsi, dasar kewenangan, dan materi muatan (substansi), terlihat bahwa: "... fungsi peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah untuk menyelenggarakan fungsi legislatif. Kemudian, dilihat dari dasar kewenangannya bersumber dari atribusi dan delegasi. Sedangkan dilihat dari materi muatan (substansi), peraturan perundangundangan berisi ketentuan yang mengatur tata kehidupan masyarakat yang mendasar, yang dapat mengurangi, membatasi hak asasi warga negara/penduduk, bersisi norma suruhan/larangan, serta dapat memuat sanksi pidana dan sanksi lainnya." Setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jika ditelaah menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pengertian dari istilah peraturan perundang-undangan yang dipakai dalam undang-undang tersebut telah memunculkan pelbagai kritik dari banyak pihak. Philipus M. Hadjon, mengemukakan, bahwa istilah peraturan perundang-undangan digunakan dalam pengertian yang sangat luas, meliputi: UUD, legislasi dan regulasi (delegated regulation). Dalam pandangan Philipus M. Hadjon, penyebutan istilah peraturan perundangundangan, dilihat dari perkembangannya perlu dikaji kembali karena: "... penggunaan istilah peraturan perundang-undangan dalam pengertian yang begitu luas bukan baru pertama kali (TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966). Dalam perjalanan waktu yang sekian lama, sulit kiranya untuk mengubah istilah itu dengan suatu istilah yang lebih tepat.Namun demikian, istilah peraturan perundang-undangan perlu dikaji kembali." Diuraikan lebih lanjut: "... istilah peraturan jelas merujuk pada aturan hukum namun istilah perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jelas tidak merujuk istilah undang-undang. Istilah undangundang dalam hukum tata negara kita mengandung makna khas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945: DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dikaitkan dengan Pasal 20A UUD 1945: DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, undang-undang merupakan produk legislasi."
Terkait dengan peristilahan wet, dijelaskan oleh Philipus M. Hadjon, bahwa: "... konsep undang-undang dalam hukum tata negara kita janganlah disamakan dengan konsep wet dalam hukum tata negara Belanda sebelum Perang Dunia II. Konsep wet sebelum perang dunia dibedakan: wet informele zin dan wet in materiele zin. Konsep undang-undang dalam hukum tata negara kita, sejajar dengan konsep wet informele zin. Hukum tata negara kita tidak membedakan konsep undang-undang dalam arti formal dan undang-undang dalam arti materiil." Dengan uraian demikian, Philipus M. Hadjon kemudian menyatakan bahwa: "... istilah perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak tepat, karena ruang lingkup perundang-undangan yang begitu luas. Di samping itu dengan jangkauan yang begitu luas maka istilah aturan hukum adalah lebih tepat, karena dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tidak hanya meliputiwetgeving seperti halnya AB (Algemene bepalingen van wetgeving voor Indonesie-S. 1847-23) yang hanya mengatur pembentukan wet (undang-undang). Kalau dimaksudkan menjangkau semua aturan hukum (tidak hanya undang-undang) istilah yang lebih tepat adalah aturan hukum (regelgeving)." Dengan alasan yang demikian, selanjutnya Philipus M. Hadjon mengusulkan alternatif lain, agar judul Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dapat diganti dengan Undang-Undang tentang Pembentukan Aturan Hukum. Setelah di atas menjelaskan makna dari undang-undang dan peraturan perundangundangan, dalam uraian berikut akan dijelaskan mengenai bentuk-bentuk peraturan perundangundangan. Secara teoretik, pembahasan tentang bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konsep hierarki norma hukum. Konsep ini merujuk pada pandangan Hans Kelsen yang terkenal dengan sebutan teori hierarki norma hukum (stufenbau des rechts) atau ada yang menyebut dengan (stufenbau theorie). Meskipun disadari, konsep Hans Kelsen, dalam perkembangan berikutnya mendapat pelbagai sanggahan dan kritikan. Namun demikian, setidaknya pandangan Klesen masih bisa ditempatkan sebagai acuan utama dalam mempelajari hierarki norma hukum. Berkaitan dengan kedudukan dan keberadaan norma, Hans Kelsen menjelaskan bahwa: "... norma-norma (termasuk norma hukum) itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu grundnorm (norma dasar)."
Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnyayang bernama Adolf Merkl, yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das doppelte rechtsantlitz). Adolf Merkl berpandangan: "... suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang di bawahnya tercabut atau terhapus pula." Berdasarkan teori Adolf Merkel dapat dijelaskan bahwa, "... teori jenjang normanya Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya." Teori Hans Kelsen, kemudian dikembangkan oleh muridnya Hans Nawiasky, dengan teori jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechstlehre, mengemukakan bahwa selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum juga berkelompok-kelompok. Berkaitan dengan bentuk-bentuk peraturan perundang-undang-an yang ada di Indonesia, khususnya dalam konteks pembentukan undang-undang, teori tentang norma hukum setidaknya akan dapat memberikan pemahaman dan memudahkan dalam mengidentifikasi, serta melihat pelbagai problematik dalam sistem perundang-undangan. Banyak dasar dan ukuran untuk menentukan jenis dan bentuk peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia.Pertama, dapat dilihat dari fase perjalanan ketatanegaraan, yakni masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia (zaman Hindia Belanda), dan masa setelah kemerdekaan.Dalam fase setelah kemerdekaan, untuk menentukan bentuk peraturan perundangundangan, dapat dilihat dari berlakunya pelbagai Undang-Undang Dasar (Konstitusi).Kedua, bentuk peraturan perundang-undangan dilihat dari pelbagai ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang jenis dan bentuk peraturan perundang-undangan. Memang, untuk menjelaskan tentang bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan, pada akhirnya perlu mengkaji tata urutan peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.Dalam pelbagai pandangan, dengan merujuk pada sistem hukum positif di dunia, senyatanya tidak ada satu negara pun yang secara khusus mengatur tata urutan perundang-undangan, sebagaimana halnya di Indonesia. Kondisi demikian disebabkan: "... secara hukum tidak ada larangan mengatur tata urutan peraturan perundangundangan, karena sistem hukum itu tidak hanya terbatas pada sistem peraturan perundangundangan, karena pengaturan itu juga dapat dilihat dari sudut tujuan yang hendak diraih
("doelmatigeheid") .M Kalaupun ada pengaturan, hanya terbatas pada asas, atau dalam hal UUD terdapat ungkapan "the supreme law of the land" (Pasal 6 UUD Amerika Serikat)." Menurut Bagir Manan, ada beberapa faktor yang dapat dijadikan alasan mengapa tata urutan tidak diatur secara khusus: Pertama, karena tata urutan itu mempunyai konsekuensi, bahkan setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.Peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Apabila ternyata peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan bahkan batal demi hukum (van rechtswege nietig).Kedua, sistem hukum positif tidak hanya berupa peraturan perundang-undangan, melainkan meliputi juga hukum-hukum tidak tertulis (yurisprudensi, hukum adat, atau hukum kebiasaan).Kaidah-kaidah hukum tidak tertulis ini dapat juga dipergunakan untuk menguji peraturan perundang-undangan atau sebaliknya, walaupun tidak bertalian dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. Dengan mengambil perbandingan di Inggris, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (delegated legislation) dapat diuji terhadap common law dan prinsip-prinsip umum seperti prinsip "bias, ultra vires" dan Iain-lain. Sedangkan di Belanda, peraturan atau keputusan administrasi negara dapat diuji terhadap asas-asas umum penyelenggaraan administasi negara yang baik.
TAHAPAN PROSES LEGISLSI DPRP Prosedur penyusunan peraturan daerah adalah merupakan rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan peraturan daerah terdiri dari tiga tahapan: Proses penyiapan rancangan Peraturan Daerah Provinsi , yang merupakan proses penyusunan dan rancangan di lingkungan DPRP atau di lingkungan Pemerintah Daerah/GUBERNUR PAPUA (Dalam hal ini Raperdasi/raperdasus usul inisiatif). Proses ini termasuk menyusun naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic draft) dan naskah rancangan peraturan daerah provinsi/naska peraturan daerah khusus (legal draft). Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRP. Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Biro/Bagian Hukum. Proses Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah provinsi/ Peraturan daerah khusus Sebagaimana halnya DPR, dalam konteks Daerah, DPRP memegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah dan anggota DPRP berhak mengajukan usul Rancangan Peraturan
Daerah. Dalam pelaksanaannya RAPERDASI/ RAPERDASUS dari lingkungan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRP. Pembahasan Rancangan Peraturan DaerahProvinsi/peraturan daerah khusus atas inisiatif DPRP akan dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau Pejabat Unit Kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah /GUBERNUR untuk bertanggungjawab atas pembahasan lebih lanjut di tingkat eksekutif. Setelah itu maka akan dibentuk tim asistensi dengan Sekretaris yang berada di Biro/ Bagian Hukum.
Proses Penyiapan RAPERDASI/RAPERDASUS di Lingkungan Pemerintah provinsi papua Pada proses penyiapan Peraturan Daerah Provinsi/peraturan daerah khusus yang berasal dari Pemerintah Daerah diawali adanya prakarsa dari Pimpinan Unit Kerja untuk mengusulkan suatu produk hukum daerah Provinsi(Raperdasi)/peraturan daerah khusus (Raperdasus). Rencana Penyusunan RAPERDASI/RAPERDSUS ini diajukan oleh pimpinan Unit Kerja kepada Sekretaris Daerah untuk dilakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Yang dimaksud dengan Pimpinan Unit Kerja yaitu Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Biro/Bagian di lingkungan sekretariat dapat mengajukan prakarsa kepada Sekretaris Daerah Provinsi Papua yang memuat urgensi, argumentasi, maksud dan tujuan pengaturan, materi yang akan diatur serta keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain yang akan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah tersebut. Beberapa hal yang mesti dilampirkan dalam usulan awal RAPERDASI/ RAPERDASUS dari pimpinan Unit Kerja antara lain memuat isi pokok-pokok pikiran terdiri: Maksud dan Tujuan Pengaturan Dasar Hukum Materi yang diatur; dan Keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain. Setelah prakarsa tersebut dikaji oleh Sekretariat Daerah mengenai urgensi, argumentasi dan pokok-pokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan dalam RAPERDASI/RAPERDASUS tersebut, maka sekretaris Daerah akan mengambil keputusan . Sekretaris Daerah juga menugaskan kepala Biro/ Bagian Hukum untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Apabila Sekretaris Daerah menyetujui, pimpinan Unit Kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan . Pembahasan ini harus melibatkan Biro/ Bagian Hukum, Unit Kerja terkait dan masyarakat. Setelah itu Unit Kerja Dapat mendelegasikan kepada Biro/ Bagian Hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan produk hukum daerah (raperda) terebut. Rencana Peraturan Daerah Provinsi/peraturan daerah khusus yang sudah melewati tahapan di atas akan disampaikan oleh Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur bersama DPRP untuk dilakukan pembahasan.
Proses Mendapatkan Persetujuan (Pembahasan di DPRP) Raperda yang masuk ke Sekretariat DPRP baik atas usul inisiatif DPRP maupun atas inisiatif Pemerintah Daerah, selanjutnya akan dilakukan pembahasan oleh DPRP bersama Gubernur Papua . Dalam hal ini Pemerintah Daerah akan membentuk Tim Asistensi dengan Sekretaris berada di Biro/ Bagian Hukum. Pada tahapan pembahasan di DPRP ini dilakukan beberapa tingkatan pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan ini dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna. Secara lebih detail mengenai pembahasan di DPRP baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif DPRP akan ditentukan oleh Peraturan Tata Tertib DPRP. Khusus untuk RAPERDASI/RAPERADASUS atas inisiatif DPRP, Dan Gubernur papua akan menunjuk Sekretaris Daerah atau Pejabat Unit Kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut. Proses Pengesahan dan Pengundangan Apabila pembicaraan RAPERDASI/RAPERDASUS dalam rapat paripurna akhir di DPRP telah selesai dan RAPERDASI/RAPERDASUS tersebut telah disetujui oleh DPRP maka selanjutnya akan dikirim oleh Pimpinan DPRP kepada Kepala GUBERBERNUR PAPUA melalui Sekretariat Daerah dalam hal ini Biro/Bagian Hukum untuk mendapatkan pengesahan. Penomoran Perdasi/perdasus akan dilakukan oleh Biro/ Bagian Hukum dan Kepala Biro/Bagian Hukum akan melakukan autentikasi. Selanjutnya gubernuur akan mengesahkan Peraturan Daerah tersebut dengan cara menanadatangani Peraturan Daerah provinsi dan peraturan daerah khusus tersebut. Setelah Perdasi/perdasus tersebut disahkan oleh Gubernur, agar perdasi/perdasus tersebut dapat berlaku dan mengikat umum, kemudian Perdasi/perdasus tersebut akan diundangkan oleh Sekretaris Daerah. Stelah itu Biro/Bagian Hukum bertanggungjawab terhadap penggandaan, pendistribusian, dan pendokumentasian Perda Tersebut. Dalam hal diketahui masih ada kesalahan teknik penyusunan Perdasi/perdasus, Sekretaris DPRP dengan persetujuan pimpinan DPRP dan GUBERNUR dapat menyempurnakan teknik penyusunan RAPERDASI/ RAPERDASUS yang telah disetujui oleh DPRP sebelum disampaikan kepada GUBERNUR PAPUA. Jika masih terdapat kesalahan teknis penyusunan setelah RAPERDA disampaikan kepada GUBERNUR PAPUA, GUBERNUR dapat menyempurnakan teknik penyusunan RAPERDASI/RAPERDASUS yang telah disetujui oleh DPRP dengan persetujuan pimpinan DPRP. Seteleh Perdasi/perdasus diundangkan, tetapi masih terdapat kesalahan teknik penyusunan, Sekretaris Daerah dengan persetujuan Pimpinan DPRP dapat meralat kesalahan tersebut tanpa merubah substansi Peraturan Daerah Provinsi /Peraturan daerah khusus melalui Lembaran Daerah. Setelah itu berdasarkan hukum yang berlaku, Pemerintah Provinsi papua wajib
menyebarluaskan Perdasi/Perdasus yang tekah diundangkan dalam Lembaran Daerah agar semua masyarakat di daerah papua itu dan pihak yang terkait mengetahuinya. Drs. Bambang, Msi STAF AHLI BADAN LEGISLASI DAEARAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA Mengatakan bahwa, Pelaksanaan fungsi legisladi di dewan perwakilan rakyat papua (DPRP) Sudah berjalan optimal karena sudah sesuai dengan undang-undang no 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan karena dalam tahap persiapan raperdasi dan raperdasus di dalam pembuatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah ksusus sudah melibatkan akademisi dalam tahap mempersiapkan naskah akademik dari beberapa aspek, aspek sosiologis, aspek yuridis, aspek filosofis dan aspek politik. Dari aspek sosiologis kebutuhan masyarakat akan pelayanan pemerintah provinsi papua dalam jalannya roda pemerintahan di provinsi papua akan di akomodir dalam peraturan daerah ini untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan yang baik melalui kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur lainnya. Dari aspek yuridis peraturan daerah provinsi dan perarturan daerah khusus yang di buat oleh dewan perwakilan rakyat papua bersama gubernur papua tidak bertentangan dengan undangundang dasar 1945 dan undang-undang no 12 tahun 2011 karena sudah sesuai dengan tata penyususnan peraturan perundang-undangan berlaku.
RUBEN MAGAI, SIP. WAKIL KETUA BADAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA Mengatakan bahwa, dalam pelaksanaan fungsi legislagi dewan perwakilan rakyat papua akan terlihat pada saat DPRP bersama Gubernur papua menetapkan beberapa peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah khusus karena fungsi legislasi akan terlaksana jika terlihat produk- produk hukum di di daerah provinsi papua sudah berjalan sesuai dangan yang DI amanatkan dalam undang-undang no 21 tahun 2001 bab 5 pasal 4 tentang DPRP Dan MRP Dan undang-undang tentang 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR,DPR,DPD DAN DPRD BAB 5 PASAL 317 ayat 1 huruf ( a. )Membentuk peraturan daerah provinsi bersama gubernur; (b.) Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang di ajukan oleh gubernur.
Kasubag hukum bidang perdasi/perdasus provinsi papua : Nelwan sagrip, SH, MHum, Mengatakan bahwa, Program legislasi daerah pada Tahun 2013 yang diajukan oleh pemerintah kepada DPRP ada 23 program legislasi daerah yang kami ajukan namun yang
disahkan pada saat itu hanya mencapai 19 prolegda. Dan beliau mengatakan bahwa, kami mempunyai hak untuk rancangan raperdasi/raperdasus namun proses penetapan menjadi suatu produk hukum yang sah itu akan terlaksana ketika DPRP Dan Gubernur papua telah menetapkan raperdasi/rapedasus menjadi Peraturan daerah provinsi dan Peraturan daerah khusus (Perdasi/Perdasus pada saat sidang paripurna tahunan oleh DPRP bersama Gubernur Papua)
PROLEGDA PADA TAHUN 2013 ADA 29 PROLEGDA
PROLEGADA INISIATIF DPRP ADA 6 PROLEGDA PADA TAHUN 2013
PROLEGDA YANG DI AJUKAN DARI PEMERINTAH KE DPRP ADA 23 PROLEGDA PADA TAHUN 2013
DARI 24 RANPERDASI/RANPERDASUS DI ATAS YANG DISAHKAN OLEH DPRP BERSAMA PEMERINTAH PADA YANG MASUK JADI RANPERDASI/RANPERDASUS PADA TAHUN 2013 TERDAPAT 24 RANPERDASI/RANPERDASUS TAHUN 2013 TERDAPAT 24 PERDASI/PERDASUS YANG DI HASILKAN DALAM SIDANG PARIPURNA PADA TAHUN 2013
PROLEGDA YANG TIDAK TERLAKSAN PADA TAHUN 2013 ADA 5 PROLEGDA YANG TIDAK TERLAKSANA MENJADI RANPERDASI/RANPERDASUS ATAUPUN MENJADI PERDASI/PERDASUS PADA Tahun 2013
Pada tahun 2013 program legislasi daerah di dewan perwakilan rakyat papua tercatat dan terprogram pada tahun 2013 sebanyak 29 program legislasi daerah masing-masing yang di ajukan oleh Inisiatif DPRP ada 6 prolegda dan dari pemerintah 23 prolegda namun yang di hasilkan menjadi rancangan peraturan daerah provinsi (raperperdasi)/ rancangan peraturan daerah khusus ( raperdasus) hanya mencapai 24 raperdasi /raperdasus kemudian yang di sahkan menjadi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah khusus ada 24 peraturan daerah. Yang tidak terlaksana adalah 5 prolegda yang tidak disahkan menjadi perdasi/perdasus. Dilihat dari fungsi legisilasi dewan perwakilan rakyat papua yang di laksanankan di tingkat daerah papua sudah berjalan optimal, karena pada tahun 2013 dua pula empat raperdasi/raperdasus yang ajukan dan semua disahkan di hasilkan menjadi perdasi/perdasus pada tahun 2013. Namun masih terdapat beberapa kekurangan yang perlu di benahi dan di perahatikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat papua dan pimpinan sekertariat dewan perwakilan rakyat daerah yaitu:
1.Menambahkan tenaga ahli (staf ahli bidang hukum ) di badan legislasi daerah agar dapat membantu dalam mengotimalisasikan proses pelaksanaan fungsi legislasi di dewan perwakialan rakyat papua. 2.Menambahkan anggaran untuk dapat membiayai tenaga- tenaga ahli di badan legislasi daeran guna mengoptimalisasikan kegiatan proses legislasi di dewan perwakilan rakyat papua. Beberapa hal yang penulis amati dari hasil-hasil produk hukum daerah provinsi papua pada tahun 2013 hanya untuk pemerintah maupun untuk DPRP itu sendiri dan muncullah Pertanyaan, produk hukum manakah yang untuk rakyat kepentingan rakyatyang ada di provinsi papua secara keseluruhan agar kemajuan di negeri ini bisa sama dengan daerah lain di Indonesia? Karena di provinsi papua perluh adanya produk hukum daerah tentang ha katas tanah adat, hasil laut, perluh adanya produk hukum tentang tambang rakyat, perlu adanya produk hukum tentang memberantas kemiskinan di provinsi papua, namu pemerintah belum menyiapkan produkproduk hukum daerah tersebut. Harapan penulis kedepannya pemerintah bersama DPRP agar membuat produk-produk tentang ke emapat hal ini, namu pada tahun2013 pemerintah lebih mementingkan internalnya sendiri ketimbang kepentingan rakyat papua secara keseluruhan. Realita yang terjadi di papua masalah pertanahan memjadai masalah yang urgen bagi masyarakat papua dan pemerintah papua karena setiap pembangunan di provinsi papua salah satu pemeghambat pembagunan di papua seperti masalah lahan untuk pembagunan infrakstruktur, jalan dan jembatan baru mau di bangun di tetapi biasanya dibatasi oleh masyarakat adat tentang haK katas tanah adat, jadi ini perlu perahatian dari pemerintah bersama DPRP guna mengatur secara tata kelolah masalah pertanahan berupa tahah adat dan tahah pemerintah melalui perdasi/perdasus guna memgoptimalisasikan permasalahan-permasalahan tentang pertahanan di negeri bumi cenderawasih ini. Berikut masalah tambang rakyat yang ada di provinsi papua ini perlu di atur oleh pemerintah melalui peraturan daerah provinsi/ peraturan daerah khusus agar tata kelolah tambang rakyat di negeri yang kaya dengan kekayaan alam ini bisa memakmurkan kesejahteraan rakyat dengan sendirinya, dan juga bagi pihak pemerintah provinsi papua bisa dapat keuntungan yang akan masuk dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna mendorrong pemebngunan di provinsi papua Selanjutnya masalah perikanan di provinsi papua ini perlu regulasi atau peraturan daerah tentang keberpihakan terhadap nelayan local agar kepentingan masyarakat di bidang perikanan di negeri ini bisa terjawab melalui produdk hukum ini, karena dengan adanya peraturan daerah tentang perikanan maka tata kelolahnya bisa atur dengan baik, guna demi kesejahteran rakyat papua itu sendiri.
IV. Kesimpulan
Dalam Pelaksanaan fungsi legislasi dewan perawkilan rakyat papua, di provinsi papua belum berjalan dengan baik kerena sesungguhnya dimana Dewan perwakilan rakyat papua sebagai lembaga yang membawa aspirasi masyarakyat tetapi belum dapat mengartikulasikan apa yang sesunggunya menjadi kebutuhan masyararakat yang mendesak. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Dewan perwakilan rakyat papua penulis temukan program legislasi daerah pada tahun 2013 sebanyak 29 program legislasi daerah namun yang direalisasikan pada tahun 2013 menjadi peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah khusus sebanyak 24 peraturan daerah. Pemerintah lebih mementingkan internalnya sendiri ketimbang kepentingan rakyat. Sebenarnya ada beberapa masalah-masalah yang perluh di pecahkan oleh peraturan daerah tetapi justru tidak di programkan contohnya masalah peraturan daerah tentang pengendalian minuman keras (miras) masalah hak ulayat, masalah tambang rakyat,masalah pengelolaan sumber daya perikanan di provinsi papua tetatpi belum di buat landasan hukum daerah guna mengoptimalisakan permasalahan-permasalahan di masing-masing bidang ini. Di dalam prolegda belum tercermin adanya koordinasi dengan semua Pemangku kepentingan terutama tentang program perioritas yang menjadi kebutuhan mendesak dari masyarakat papua anatar lain penulis temukan tidak adanya koordinasi yang baik antara lembaga- lembaga seperti lembaga Adat (MRP) LSM, maupun perguruan tinggi –perguruan tinggi yang ada di provinsi papua. Dalam berbagai penyususunan peraturan daerah provinsi/ peraturan daerah khusus belum disertai dengan kajian atau naskah akademik yang koprehenship sehingga dalam inplementasi pelaksanaannya menemui hambatan-hambatan dalam proses penyunanan peraturan daerah.
Saran Dan Kritik Dalam pelaksanaan fungsi legislasi Dewan perwakilan rakyat papua DPRP wajib sosialisaikan kepada masyarakat tentang ranperdasi/ranperdasus agar supaya masyarakat dapat memberikann masukan –masukan tentang apa yang sesungguhnya menjadi kebutuhan mendasar oleh masyarakat dan perlu di pecahkan memlalui peraturan daerah tersebut. Dewan perwakilan rakyat papua dan pemerintah provinsi papua wajib sosialisaiakn peraturan daerah yang sudah di realisasikan dalam sidang tahaunan agar masyarakat dapat mengetahui peraturan daerah yang telah di tetapkan itu, supaya peraturan daerah tersebut dapat dilaksanakan oleh semua pihak demi peningkatan kemajuan di bidang pengatruan itu sendriri. dalam pelaksanaan fungsi legislasi/pembuatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah khusus DPRP sebaiknya berkordinasi dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) Karena MRP adalah representatatif masyarakat papua, agar supaya bisa dapat mengakomodir kepentingankepentingan rakyat melalui masing- masing Perwakilan yang ada di MRP.
beberapa kekurangan yang perlu di benahi dan di perahatikan oleh pimpinan dewan perwakilan rakyat papua dan pimpinan sekertariat dewan perwakilan rakyat daerah yaitu: Menambahkan tenaga ahli (staf ahli bidang hukum ) di badan legislasi daerah agar dapat membantu dalam mengotimalisasikan proses pelaksanaan fungsi legislasi di dewan perwakialan rakyat papua. Menambahkan anggaran untuk dapat membiayai tenaga- tenaga ahli di badan legislasi daerah guna mengoptimalisasikan kegiatan proses legislasi di dewan perwakilan rakyat papua. Raperdasi/raperdasus yang ajukan oleh hak inisiatif DPRP Supaya meningkat dari sebelumnya hanya 6 raperdasi/raperdasus bisa meningkat menajadi lebih dari 6 agar pelaksanaaan fungsi legislasi dewan perwakilan rakyat papua itu bisa dikatakan sudah sangat optimal
DAFTAR PUSTAKA Bambang Setyady, Pembentukan peraturan daerah, Buletin Hukum Perbankan Dan Kebangsentralan 1 Volume 5, Nomor 2, Agustus 2007 Boy Yendra Tamin, SH.MH, Fungsi legislasi DPRD Dan Pembentukan peraturan daerah, di unduh dari htt://boyyendratamin.com/artikel-9 fungsi legislasi DPRD Dan Pembentukan peraturan daerah.html, tanggal 10 juli 2009 Jimly Assidigie, 2005, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Konpres Jakarta Jimly Assidugie,2006 perihal undang-undang Konpres, Jakarta. Mulyana W. Kusumah, 1986. Perspektif teori, dan kebijaksanaan hukum, Raja wali, Jakarta Philippe Nonet & Selniick.Hukum Responsif Pilhan di masa depan Huma Jakarta 2003 Soenobo Wirjasoergirto.2004 Proses dan perencanaan peraturan perundang-undangan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Dr. Inu kencana Syafiie, M.si Proses legislative (social politik aditama 2014) Frof.dr.Yuliandri,SH, M,H Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Gagasan pemebentukan peraturan perundang-undangan yang berkelanjutan (Raja Wali pers juli 2009) Hadi setya Tunggal, SH. Perundang-undanagn lengkap.(havariando 2014)
otonomi khusus bagi provinsi papua edisi
Sumber lain : Undamg-undang Dasar Negara Repoblik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang no 12 Tahun 2011 Tentang pembentukan Perundang-undangan Materi Bimbingan Teknis, DPRD Kab bolmong (Peningkatan Kapasitas pimpinan dan Anggota DPRD melaksanakan fungsinya serta kemitraan dengan pemerintah daerah. Undang-undang no 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah Undang-undang no 17 tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD, DAN DPRD Undang-undang no 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi papua Perpu no 35Tahun 2008 tentang Otonomi khusus bagi provinsi papua dan papua barat.