Seri Pelaksanaan CWSHP (ADB‐ETESP) di Kab Nagan Raya, NAD (April‐2009)
Pelaksanaan CWSHP (ADB-ETESP) di desa Kuta Teungoh, Beutong Ateuh, Kabupaten Nagan Raya Desa Kuta Teungoh merupakan salah satu dari 4 desa yang ada di Kecamatan (persiapan) Beutong Ateuh yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berarti Betung Atas. Secara geografis desa Kuta Teungoh terletak pada koordinat 40 271 LU, 960 301 BT persis di antara himpitan pegunungan Bukit Barisan dengan titik tertingginya Puncak Gunung Singgahmata (4.000 dpl). Daerah ini memiliki sejarah yang cukup panjang, dimana daerah ini dibangun sejak zaman belanda. Dalam kurun ratusan tahun tersebut terdapat beberapa peristiwa penting yang terjadi. Salah satunya adalah kisah Cut Nyak Dien dan Tengku Cik Citiro yang pernah bertahan menempuh hidup di hutan belantara Beutong Ateuh selama enam tahun. Menurut catatan sejarah, pada tanggal 4 November 1905 atas perintah Kapten Veltman, pasukan Belanda mendatangi Cut Nyak Dien dan menawannya sebelum akhirnya dikirim ke Sumedang di Jawa Barat sampai akhir hayatnya. Walaupun terisolir, berhutan lebat, medannya yang berat, selalu dibungkus kabut dingin, jalan‐jalan penuh batu cadas serta jurang terjal, Beutong Ateuh tetaplah merupakan daerah yang menarik karena memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa. Tanahnya subur, airnya jernih dan melimpah, dan dibawah tanahnya sebagian mengandung emas. Tambang emas telah dieksplorasi yang dirintis oleh Nippon Foundation dan diteruskan oleh salah satu pengusaha asal Aceh terkenal, Surya Paloh. Sebelum dibangun jalan untuk kendaraan roda empat, warga yang ingin ke dalam dan keluar kecamatan ini harus berjalan kaki dua sampai empat hari lamanya dengan menelusuri hutan dan naik‐turun lembah tutur Kepala Mukim Beutong Ateuh. Pada saat ini lintasan sepanjang 75 km dari Jeuram‐Nagan Raya ke Beutong Ateuh dapat ditempuh dalam waktu 3 jam, melalui jalan yang sebagian sudah beraspal dan sebagian dalam tahap pembangunan, ber kelok‐kelok naik turun menembus hutan alam di punggung Gunung Singgamata yang sering kali dibungkus kabut dingin, penuh batu cadas serta jurang terjal. Desa Kuta Teungoh terpilih menjadi desa CWSHP karena berbagai alasan. Pertama, walaupun air bersih melimpah di gunung‐gunung yang mengelilinginya, namun karena letaknya yang jauh dari pemukiman, maka untuk kegiatan yang terkait dengan air seperti mandi, cuci dan buang air besar dilakukan di sungai yang ada di pinggir desa. Cukup berbahaya memang karena sungai tersebut memiliki arus sangat kuat dan dasarnya berbatu sehingga dalam beberapa kejadian, ada penduduk yang hanyut dan meninggal pada saat melakukan kegiatan tersebut di sungai. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan air untuk keperluan makan dan minum, diperoleh dari lubang galian sekedarnya di samping rumah sehingga kurang hygienis khususnya di musim hujan, dimana lubang tersebut dapat terkontaminasi oleh kotoran hewan (sapi, kerbau, kambing, ayam, bebek) yang dibiarkan berkeliaran di desa. Kedua, sarana Buang Air Besar tidak ada sama sekali, karena semua warga melakukannya di sungai.
Jalan berkelok dan menanjak menuju desa Kuta Teungoh
Anak‐anak ke sekolah SD melalui jalan desa
Typical Rumah Kayu masyarakat desa Kuta Teungoh
Ada cerita kecil pada saat pertama kali tim CWSHP diterjunkan ke desa, salah seorang warga bertanya, “CWSHP ini hanya cerita manis namun tidak nyata atau benar‐benar bantuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat Kuta Teungoh”. Tudingan dan kecurigaan masyarakat terhadap CWSHP tersebut bukan tanpa alasan. Berdasarkan pengalaman, sudah beberapa kali bantuan untuk pembangunan untuk Beutong Ateuh sering "habis" di tengah pengunungan, yang dibangun disini hanya sisanya saja atau bahkan tidak sampai sama sekali" seperti dituturkan oleh Yusuf (35 tahun) salah seorang warga desa Kuta Teungoh. Kemana dan siapa yang menerimanya?. Wallahua’lam tutur beberapa warga desa Kuta Teungoh saat itu. Oleh karenanya mereka berharap betul, CWSHP merupakan program yang benar‐ benar berwujud dan bermanfaat bagi masyarakat desa Kuta Teungoh, sebuah tantangan yang harus dijawab dan dibuktikan oleh tim CWSHP. Dengan daerahnya yang subur dan air melimpah hampir seluruh masyarakatnya berprofesi sebagai petani padi. Karena kegiatan bertani padi di sawah tidak harus dilakukan setiap hari, maka masyarakat memanfaatkan waktu luangnya untuk pergi ke hutan. Salah satu produk yang menonjol adalah produk minyak nilam (patchouli oils) yang ditanam di hutan dan hasilnya disuling di sepanjang sungai yang ada. Pada saat CWSHP masuk ke desa ini (2006), desa Kuta Teungoh dihuni sebanyak 416 jiwa dalam 118 KK dan tinggal di 95 rumah. Walaupun memiliki sumber mata air yang melimpah namun masyarakat belum memanfaatkannya sebagai sumber air bersih dan air minum karena beberapa kendala, diantaranya adalah sumber tersebut terletak sekitar 300 meter diatas gunung yang terjal dan adanya sungai yang membatasi desa dengan sumber tersebut dengan lebar sekitar 60 meter. Berdasarkan survey awal dan dari keterangan masyarakat menyatakan bahwa mata air tersebut merupakan mata air permanen, tidak pernah mati sepanjang tahun baik di musim hujan maupun musim kemarau. Dari pengukuran yang dilakukan ternyata debit sangat mencukupi, sekitar 7 liter/detik atau mampu melayani sekitar 7.000 jiwa untuk standar kebutuhan air minum masyarakat pedesaan. Dari Hasil Analisa Air yang dilakukan oleh CRS (Catholic Relief Services) Meulaboh menyatakan bahwa air dari sumber tersebut secara fisik, kimia dan bakteriologis layak dipakai sebagai air bersih maupun air minum, secara fisik tidak berwarna, tidak berasa (odorless), pH 7,2 atau netral, kekeruhan nol, dari segi kimia juga memenuhi syarat, semua masih dibawah batas yang ditentukan dalam Kepmenkes, namun dari segi biologi, kandungan E Coli nya nol tetapi total bakteri nya diatas ambang batas. Dengan kondisi tersebut maka mata air tersebut layak digunakan sebagai sumber air bersih dan air minum, karena terpenuhi criteria ; 1. Mata air permanen, 2. Debit mencukupi, dan 3. Kualitas fisik dan kimia terpenuhi. Namun karena adanya kandungan bakteri maka air tersebut tidak dapat langsung diminum sehingga perlu dimasak dulu untuk mematikan bakteri yang ada. Karena sampel air yang diperiksa diambil langsung dari mata air terbuka maka diharapkan bilamana telah dibuat bangunan Penangkap Mata Air yang baik, akan menghilangkan atau mengurangi kandungan bakteri karena interaksinya yang minimal dengan udara atau air rembesan sebelum sampai ke masyarakat.
Lokasi sumber mata air diatas gunung
Untuk sampai ke sumber harus melalui sungai selebar ±60 meter
Jernih dan tidak terpengaruh musim, debit lebih dari cukup
Khusus untuk sarana air bersih, program yang direncanakan adalah penyediaan air bersih / minum dengan perpipaan gravitasi, dengan memanfaatkan sumber mata air di gunung, meliputi ; pembuatan
penangkap mata air (PMA), trap pasir dan bak penampung di atas gunung, jaringan pipa transmisi melalui tebing gunung yang menggunakan pipa GIP, jembatan penyeberangan pipa air bersih selebar 60 meter, pipa distribusi yang menggunakan pipa PVC, dan 11 buah kran umum.
Sarana Air Bersih yang direncanakan
Sedangkan penempatan sarana yang akan dibangun disesuaikan dengan jumlah dan kepadatan penduduk di masing‐masing area seperti pada gambar berikut
Peta Sarana Air Bersih Yang Direncanakan dan Realisasinya
Proses pelaksanaan kegiatan bukanlah hal yang mudah. Pada awalnya, situasi jalan menuju Beutong Ateuh belum bagus dan material perpipaan khususnya pipa GIP maupun perlengkapan untuk jembatan pipa belum ada di kota Meulaboh, kota terdekat dari Nagan Raya, sehingga direncanakan untuk membeli material tersebut dari Medan. Hal kedua adalah belum percayanya pihak‐pihak terkait CWSH terhadap kemampuan masyarakat desa untuk melaksanakan pembangunan sendiri jembatan pipa yang diperlukan, sehingga dianjurkan untuk men kontrak kan pelaksanaannya kepada pihak ketiga atau kontraktor professional dengan biaya yang cukup mahal. Oleh karenanya dilakukanlah proses re‐engineering / value‐engineering terhadap desain awal dan metoda pelaksanaan pekerjaan yang akan dilakukan sehingga seluruh bangunan yang direncanakan bisa terbangun sesuai persyaratan dan biaya yang dialokasikan mencukupi. Diantaranya adalah ; 1. Konstruksi bangunan dibuat lebih simpel dan sederhana namun tetap memenuhi persyaratan teknis yang diperlukan, 2. Dilakukanya transfer of technology dan knowledge maupun pendampingan secara lebih intensif khususnya untuk pekerjaan pipa dan jembatan, dan 3. Seluruh proses pembangunan akan dilaksanakan sendiri oleh masyarakat desa Kuta Teungoh, termasuk pembangunan jembatan pipa sehingga biaya bisa diminimalkan dan kontribusi dapat dilakukan secara optimal. Dengan dilakukannya proses re‐engineering tersebut, maka Rencana Kerja Masyarakat (RKM) desa Kuta Teungoh yang diajukan untuk keseluruhan program CWSHP meliputi ; kegiatan pemberdayaan masyarakat, kegiatan PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat), pembangunan sarana sanitasi sekolah, pembangunan Sarana Air Bersih dan operasional panitia pelaksana kegiatan, secara keseluruhan berjumlah Rp. 250.000.00,‐ dimana 84% atau Rp 210.000.000,‐ berasal dari CWSHP‐ADB dan sisanya sebesar 16% atau Rp 40.000.000,‐ akan disiapkan masyarakat dalam bentuk material local dan upah tenaga kerja. Di desa Kuta Teungoh walau masyarakatnya kurang berpendidikan namun mereka cukup mengenal teknologi sederhana yang dapat dilihat dari ketrampilan mereka mengoperasikan alat‐alat penyulingan daun nilam yang tersebar disepanjang pinggir sungai maupun di atas gunung. Juga dari aspek konstruksi bangunan rumah yang dapat dilakukan oleh tukang yang ada di desa. Permasalahannya adalah untuk bangunan dan sarana air bersih merupakan hal yang baru untuk mereka, terkait dengan tempat penyimpanan air (bak penangkap dan penampung). Apalagi untuk instalasi pipa, dan terlebih pembuatan jembatan penyeberangan pipa air dengan bentangan yang cukup panjang. Tidaklah mengherankan kalau berbagai pihak meragukan kemampuan masyarakat desa tersebut untuk mampu melaksanakannya. Karena prinsip program CWSHP‐ADB adalah dari‐oleh‐untuk masyarakat sehingga proses perencanaan‐ pelaksanaan‐menikmati hasil kerja harus dilakukan oleh masyarakat, maka untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukanlah pelatihan dan pendampingan yang cukup intensif, khususnya untuk metoda dan cara pembangunan sarana yang terkait dengan perpipaan dan jembatan. Karena pada dasarnya masyarakat desa Kuta Teungoh cukup melek teknologi dan terbuka terhadap pengetahuan baru, maka proses transfer knowledge maupun ketrampilan untuk kedua hal tersebut dapat berjalan dengan baik. Proses transfer of technology dan knowledge untuk pekerjaan perpipaan dan jembatan
Pelatihan Teknik ‐ Pemasangan kawat sling jembatan pipa
Pelatihan Teknik ‐ Pekerjaan Perpipaan
Pendampingan Teknik ‐ Konstruksi Jembatan Pipa
Karena adanya perubahan‐perubahan tersebut, baik perubahan desain maupun perubahan biaya, mengakibatkan proses persiapan pelaksanaan dan persetujuan RKM menyita waktu yang cukup panjang. Namun dibalik lamanya proses tersebut, terdapat situasi yang menguntungkan untuk pelaksanaan pekerjaan. Pertama jalan Medan‐Meulaboh maupun jalan menuju Beutong Ateuh sudah kembali normal sehingga seluruh material dapat diperoleh di Meulaboh maupun Jeuram di Nagan Raya. Kedua proses transfer of technology & knowledge khususnya untuk bangunan air, perpipaan maupun jembatan pipa dapat dilaksanakan dengan mantap. Dalam pelaksanaannya, pengadaan material‐material standard seperti semen‐pasir‐besi beton‐kayu tidak menjadi masalah karena mereka sudah kenal dan sudah biasa dengan material tersebut. Namun untuk material‐material perpipaan dan jembatan yang baru untuk mereka, dilakukan pendampingan yang intensif, mulai dari pemilihan dan pembelian material (pipa GIP, pipa PVC, kawat sling untuk jembatan gantung pipa, accessories perpipaan). Hal ini penting dilakukan karena disamping merupakan barang baru untuk mereka yang belum pernah dilihat, disentuh dan belum tahu mengenai standard kualitas maupun harga dari material yang diperlukan, juga menjaga mereka dari kemungkinan ditipu (maaf) oleh toko penjual material‐material tersebut. Tidak semua toko mau memberikan informasi barang dan harga yang benar kepada orang yang belum kenal barang.
Ketua, bendahara dan UP Teknik TKM didampingi CFT dalam memilih material di toko
Gotong royong membuat titi (jembatan) untuk menyeberangkan material
Pandangan dari ketinggian sumber mata air ke desa Kuta Teungoh
Ketua dan UPT Teknik Memilih pipa GIP
Perempuan ikut partisipasi
Pengukuran elevasi dan Jarak dari mata air ke desa
Pipa GIP sampai di desa Kuta Teungoh dan di cek secara langsung oleh PMC, DIT & CFT
Rame‐rame mengangkat kayu kelapa untuk penahan kabel jembatan material
Keucik desa Kuta Teungoh ikut serta mengukur elevasi & jarak tiang jembatan pipa
Pada pertengahan tahun 2008, selesailah seluruh pekerjaan CWSHP di desa Kuta Teungoh. Dan saat ini seluruh rumah yang ada di desa Kuta Teungoh telah menikmati air bersih / air minum yang diperoleh dari mata air pegunungan. Beberapa catatan menarik selama proses pelaksanaan CWSHP di desa Kuta Teungoh diantaranya ;
Proses Transfer of technology & knowledge. Dengan pola pendekatan yang tepat, pengenalan, pemahaman dan empati terhadap masyarakat desa yang dengan segala keterbatasanya, serta strategi dan proses transfer of technology dan knowledge dengan cara yang sesuai dengan budaya dan kebiasaan masyarakat, mereka ternyata mampu untuk menjalankan CWSHP dengan baik, dari merencanakan sampai melaksanakan pembangunan sarana, walau dengan teknologi, metoda dan material yang relatif baru untuk mereka. Bukan hanya mampu mengerjakan, mereka bahkan mampu mengembangkan dan menerapkan pengetahuan barunya tersebut secara mandiri dengan membuat sebuah sistem baru yang terdiri dari bak penangkap air, pemasangan perpipaan dan pembuatan kran umum di dusun Padang Reu untuk meningkatkan keandalan sistem air bersih yang sudah dibangun.
In‐kind atau kontribusi masyarakat. Terpicu oleh telah mengalirnya air bersih ke pinggir desa mereka, masyarakat menghendaki agar seluruh rumah yang ada di desa Kuta Teungoh dapat memperoleh satu buah kran air sehingga CWSHP benar‐benar bermanfaat secara adil dan merata bagi seluruh warga desa Kuta Teungoh. Untuk itu masyarakat meningkatkan kontribusi mereka untuk menambah kran umum dari rencana awal sebanyak 11 buah dengan 66 titik keran air menjadi 14 buah dengan 96 titik sesuai dengan jumlah rumah yang ada. Demikian juga kebutuhan dana untuk pembangunan sistem PMA‐ Perpipaan‐KU tambahan untuk dusun Padang Reu, dimana material utama merupakan material dari CWSHP sedangkan material local maupun tenaga kerja sepenuhnya berasal dari in‐kind atau iuran masyarakat.
Peningkatan Sarana Secara Mandiri Paska Konstruksi. Dari kunjungan terakhir yang dilakukan tim CWSHP ke desa Kuta Teungoh, terdapat beberapa perkembangan yang cukup menggembirakan. Pertama, karena semua rumah mendapatkan sebuah kran air, saat ini sebagian penduduk telah menyambungkan kran air nya tersebut ke dalam rumah masing‐masing dengan menggunakan selang plastik yang dibeli secara mandiri, sehingga kebutuhan air untuk makan‐minum telah “tersedia di dalam rumah”. Kedua, beberapa rumah telah membuat penampungan air bersih dan ruangan tersendiri untuk kegiatan‐kegiatan yang terkait dengan air bersih, seperti untuk membersihkan diri sehabis kerja, mandi dan tidak kalah pentingnya untuk cuci pakaian dan piring dan gelas setelah digunakan makan minum, sehingga keluarga mereka tidak harus kerepotan ke sungai untuk melakukan kegiatan‐kegiatan tersebut.
Iuran untuk OM. Walaupun telah terbentuk Badan Pengelola Sarana (BPS), iuran untuk OM sarana yang ada tetaplah menjadi permasalahan yang harus ditangani dengan hati‐hati dan strategi yang tepat. Barangkali kita dapat belajar dari kisah kecil berikut sebelum masuk ke iuran untuk OM sarana‐sarana yang telah dibangun CWSHP. Bersamaan dengan pelaksanaan CWSHP, dengan memanfaatkan sungai yang mengalir dari atas gunung, BRR membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hydro (PLTMH) di desa Kuta Teungoh. Pengoperasian PLTMH tersebut dilakukan bekerja sama dengan PLN yang melengkapinya dengan jaringan listrik dan masyarakat sebagai penerima manfaat Listrik yang dihasilkan. Paska pembangunan PLTM telah selesai, diadakan pertemuan antara tokoh‐tokoh masyarakat, BRR, PLN dan unsur Pemerintah Daerah. Dari pertemuan tersebut disepakati bahwa untuk PLTMH, jaringan listrik dan sambungan sampai ke rumah, teknis pemeliharaanya akan dilakukan oleh PLN, sedangkan biaya pengoperasian sistem khususnya tenaga kerja yang mengatur dan memelihara air maupun peralatan PLTMH menjadi tanggung jawab masyarakat yang dikumpulkan melalui Kelompok Pemakai Listrik.
Paska kesepakatan, beroperasilah PLTMH tersebut sehingga masyarakat menikmati listrik dan mendapatkan kenyamanan layaknya penduduk kota. Pada malam hari desa Kuta Teungoh terang benderang dimana sebelumnya gelap gulita. Untuk keluarga yang relatif kaya, mereka membeli peralatan‐peralatan elektronik seperti audio dan TV + parabola. Selama kurang lebih 3 bulan, biaya pengoperasian PLTMH masih ditanggung BRR sehingga masyarakat menikmatinya dengan gratis. Namun untuk masalah iuran dari masyarakat yang telah disepakati, masyarakat tidak mau melakukan nya dengan berbagai alasan. Akhir perioda percobaan, masyarakat tetap belum mau mengumpulkan iuran sehingga tidak ada biaya yang dapat digunakan untuk membayar operator dan pemelihara PLTM yang ada. Akibatnya PLTMH tidak dapat beroperasi secara optimal, mati‐hidup tidak jelas dan lebih banyak matinya dari pada hidup karena tiadanya orang yang khusus mengoperasikan PLTMH. Saat itulah masyarakat tersentak. Kenyamanan yang mereka peroleh selama ini dengan adanya aliran listrik seakan tercabut. Rupanya aliran Listrik yang bersumber dari PLTHM bukan hanya memberi kemudahan dan kenikmatan, namun sudah meningkat derajadnya menjadi kebutuhan sehingga mereka berusaha untuk mendapatkan kembali kenikmatan tersebut. Saat ini mereka telah menjalankan iuran tersebut dan mereka kembali menikmati aliran listrik dari PLTMH yang ada, sehingga bilamana mereka “turun” ke Jeuram di Nagan Raya, kadang meledek penduduk Nagan Raya yang aliran listriknya hidup‐mati seperti layaknya desa Kuta Teungoh sebelum dilakukannya iuran untuk biaya OM PLTMH. “Listrik kami lebih bagus dan handal dari kota Jeuram. Kalaupun mati, paling lama 15 menit sudah hidup lagi karena sudah ada yang mengurusnya”, ujar bang Baharudin dan bang Ucup sambil tersenyum‐senyum bangga pada saat berkunjung ke kantor CWSHP Nagan Raya. Belajar dari pengalaman iuran untuk OM PLTMH, belajar dari proses transfer of technology dan knowledge yang telah dilakukan, belajar dari karakter masyarakat yang walaupun tingkat pendidikannya rendah namun cukup mandiri, ulet, cerdas dan terbuka terhadap hal‐hal baru, belajar dari karakter air bersih yang identik dengan listrik dimana mulai dari kenyamanan dan meningkat menjadi kebutuhan sehingga mereka tidak ingin kebutuhan dan kenikmatannya tercabut, barang kali tidak harus menunggu berhentinya supply air bersih dari mata air karena terjadinya kerusakan pipa misalnya, masyarakat secara bertahap akan memiliki kesadaran melakukan iuran untuk biaya OM bagi sarana yang telah dibantu oleh CWSHP sehingga dapat terpelihara dan beroperasi dengan baik. Dan saat ini telah dimulai adanya iuran rutin khususnya untuk dusun Padang Reu sebesar Rp 5.000,‐ per bulan per rumah. Dana yang terkumpul pertama akan digunakan untuk membeli selang plastik dari Kran‐Umum yang ada ke masing‐masing rumah bagi yang belum memiliki. Yang kedua direncanakan untuk membuat sebuah Kran‐Umum tambahan sehingga lebih mendekatkan ke rumah. Yang ketiga antisipasi bilamana terjadi kerusakan pada sistem air bersih yang ada (PMA‐perpipaan‐KU). Keempat barang kali mereka merencanakan untuk membuat sambungan rumah secara permanen dengan menggunakan pipa bilamana dana yang terkumpul telah mencukupi. Kita berharap bang Bahar dan bang Ucup sambil tersenyum‐senyum bangga juga akan mengatakan “Air bersih kami lebih bagus dari kota Jeuram, sudah masing‐masing rumah dapat sambungan, airnya jernih, sejuk lagi dari mata air gunung” pada saat berkunjung lagi ke kantor CWSHP Nagan Raya Semoga Sukses CWSHP Nagan Raya
(Jeuram, 18April09, Bambang Pur, DIT Nagan,
[email protected])
Gotong royong membangun Bak Penangkap Mata Air di gunung
Air dari sumber mata air sangat jernih dan sudah terkumpul di bak penangkap mata air
Debit Air bersih yang keluar dari Penangkap Mata Air, sangat mencukupi
Air dari sumber mata air ditangkap, disaring kotoran pasirnya dan ditampung di Bak Penampung
Dari bak penampung air disalurkan melalui Pipa Transmisi (pipa GIP) menyusuri tebing gunung
Jembatan pipa sepanjang 60 meter hasil kerja masyarakat telah selesai dikerjakan dan siap digunakan
Air bersih dari mata air gunung sudah mengalir ke tepi jalan desa
Anak‐2 menikmati air dari kran
Pak Dirjen dan ibu Upi mencoba air yang memancar pada saat peninjauan
Spanduk PHBS di SD Kuta Teungoh
Bapak Rusli ditengah kebun Nilam
Kran Umum siap digunakan (8 buah kran air)
Kunjungan ADB, Dirjen, Direktur, CPMU, BRR, Bappenas, Aquatik dll
Anak‐anak mandi dan menikmati air yang memancar
Lumayan tinggi air yang dipancarkan walau valve tidak dibuka penuh
Jak ta Toh ek ‐ Mari kita BAB di kakoh ‐ di Jamban Jeut Jioh Peunyaket ‐ Agar Jauh Penyakit Udep Sehat Seujahtra ‐ Hidup Sehat Sejahtera
Penyulingan minyak nilam (Patchouli Oils) dengan peralatan sederhana
Produk Minyak Nilam Kuto Teungoh termasuk kualitas terbaik didunia