REUSAM GAMPOENG MEUNASAH KRUENG KECAMATAN BEUTONG KABUPATEN NAGAN RAYA NOMOR : 01 TAHUN 2010
TENTANG
PENYELAMATAN HUTAN DAN PELESTARIAN SUMBER DAYA ALAM GAMPOENG ” ADAT PEULARA UTEUN”
PEMERINTAH KABUPATEN NAGAN RAYA KECAMATAN BEUTONG KEMUKIMAN BUNGONG IE TALOE GAMPOENG MEUNASAH KRUENG 2010
REUSAM GAMPONG MEUNASAH KRUENG KECAMATAN BEUTONG KABUPATEN NAGAN RAYA NOMOR : 01 TAHUN 2010 TENTANG PENYELAMATAN HUTAN DAN PELESTARIAN SUMBER DAYA ALAM GAMPOENG ” ADAT PEULARA UTEUN ”
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA KEUCHIK GAMPONG MEUNASAH KRUENG KECAMATAN BEUTONG KABUPATEN NAGAN RAYA
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh sebgaai provinsi Nanggroe Aceh darusslam, maka perlu pengaturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masing-masing gampong untuk mendapat hak kelolalanya sendiri; b. bahwa dengan berlakunya otonomi khusus tersebut, maka diperlukan penataan kembali tugas, fungsi dan wewenang pemerintah gampong, terutama dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (adat peulara uteun) yang mereka miliki dengan menerapkankan kembali kearifan lokal yang yang sudah ada sejak zaman indatu dulu (nenek moyang); c. bahwa dari waktu ke waktu degadasi dan deforestrasi terus terjadi, sehingga sangat mengkhawatirkan kita akan keberlangsungan hidup masyarakat yang tinggal didalam dan sekitasr kawasan hutan serta menggatungkan hidup dn ekonomi keluarganya pada sumberdaya alam yang ada di hutan; d. bahwa dari waktu ke waktu akibat dari kerusakan hutan yang semakin parah sehingga meningkatkan intensitas bencana semakin tinggi; e. bahwa pada masa Kerajaan Aceh pernah dijadikan landasan Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putro Phang dan Reusam Bak Laksamana. Dimana Adat, Hukum, Qanun dan Reusam di gampong dipegang oleh Tuha Peut, Tuha Lapan dan Pemuka Adat, kemudian dijalankan dan dipatuhi dengan sebaik-baiknya oleh pemerintahan Gampong dan masyarakat; f.
1
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d dan e, maka perlu dibuat sebuah peraturan gampong/desa (Reusam) yang sesuai dengan hasil musyawarah masyarakat gampong guna terciptanya ketertiban dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang ada di gampong dimaksud.
Mengingat :
1.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
2.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888);
3.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158);
5.
Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser
6.
Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor 75 Tahun 2004 tentang Masalah Hukum Adat dan Tuntutan Kompensasi/Ganti Rugi Oleh Masyarakat Hukum Adat;
7.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006, tentang Pedoman Pembentukan Dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa;
8.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa.
9.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 57 Seri E Nomor 6);
10. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 20 Tahun 2002 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2002 Nomor 63 Seri E Nomor 10); 11. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 18 Seri D Nomor 8); 12. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03);
2
Dengan persetujuan bersama; TUHA PEUT GAMPONG Dan KEUCHIK GAMPONG MEUNASAH KRUENG MEMUTUSKAN Menetapkan : REUSAM GAMPONG TENTANG PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM /ADAT PEULARA UTEUN
DAN
PEMANFAATAN
BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Pertama Pengertian Pasal 1 Dalam Reusam Gampong Meunasah kreung yang dimaksud dengan : (1) Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintah terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. (2) Tuha Peuet gampong atau nama lain, adalah Badan Perwakilan Gampong yang terdiri dari unsur ulama, tokoh adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai yang ada di Gampong. (3) Reusam Gampong atau nama lain adalah aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, adat istiadat yang diterapkan oleh Keuchik setelah mendapat persetujuan Tuha Peuet Gampong (4) Pemerintah Gampong, adalah Keuchik dan Tengku Imeum Meunasah berserta Perangkat Gampong, (5) Pemerintahan Gampong, adalah penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Gampong dan Tuha Peuet Gampong. (6) Pawang gle dan atau pawang uteun atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat yang berkenaan dengan sengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan, (7) Peutua Seuneubok adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan-ketentuan tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan/perkebunan. (8) Seuneboek adalah suatu wilayah baru di luar gampong, yang pada mulanya berupa hutan yang dikemudian dijadikan kebun (ladang). (9) Wasee Gle adalah segala hasil hutan seperti cula badak, air madu, lebah, gading gajah, getah ramong (perca) sarang burung, rotan, kayu-kayuan yang bukan untuk rumah sendiri atau untuk dijual, dammar dan sebagainyaPelanggar reusam adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku didalam reusam, baik dengan disengaja maupun yang tidak disengaja. 3
(10) Pelanggar reusam adalah seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku didalam reusam, baik dengan disengaja maupun yang tidak disengaja. (11) Sumberdaya Alam adalah komponen lingkungan hidup, baik hayati maupun non hayati. (12) Sumberdaya Alam hayati adalah Sumberdaya Alam yang terdiri dari flora dan fauna. (13) Sumberdaya Alam nonhayati adalah Sumberdaya Alam yang meliputi air, tanah, udara, bahan galian dan formasi geologi. (14) Pengelolaan Sumberdaya Alam adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi Sumberdaya Alam yang meliputi kebijaksanaan penataan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian pemanfaatan Sumberdaya Alam. (15) Orang adalah orang perseorangan, dan/ atau kelompok orang, dan/ atau badan hukum. (16) Masyarakat adalah kelompok orang yang bertempat tinggal disuatu wilayah tertentu. (17) Masyarakat adat adalah sekelompok orang yang tinggal dalam kawasan tertentu secara turuntemurun berdasarkan kesamaan tempat tinggal dan atau hubungan darah yang memiliki wilayah adat dan pranata-pranata adat tersendiri. (18) Masyarakat setempat adalah sekelompok orang yang tinggal di dan sekitar kawasan yang berdasarkan pada kesamaan wilayah tempat tinggal. Bagian Kedua Azas, Tujuan dan Sasaran Pasal 2 Pengelolaan Sumber Daya Alam berdasarkan azas kemanfaatan, keadilan, keefesienan, kelestarian, kerakyatan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Pasal 3 Pengelolaan Sumber Daya Alam bartujuan untuk manjamin kelestarian fungsi Sumber Daya Alam dan keseimbangan lingkungan sehingga dapat mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pasal 4 Sasaran pengelolaan Sumber Daya Alam diarahkan pada : a. b. c. d.
Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan alam; Terjaminnya Sumber Daya Alam bagi kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang; Terkendalinya pemanfaatan Sumber Daya Alam; Terarahnya kebijakan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam.
4
BAB II TUGAS DAN WEWENANG KELEMBAGAAN GAMPONG Bagian Pertama KEWENANGAN GAMPONG Pasal 5 (1) Pemerintah Gampong berwenang mengelola Sumberdaya Alam di Gampong yang menjadi kewenangannya sesuai dangan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga mengelola Sumberdaya Alam yang dilimpahkan menjadi tugas perbantuan. (2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Lembaga Adat Gampong. (3) Pemberdayaan potensi Sumberdaya alam Gampong untuk meningkatkan sumber pendapatan Gampong dapat dilakukan dengan mendirikan Badan Usaha Milik Gampong, kerjasama antar Gampong atau melakukan pinjaman.
Pasal 6 (1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, Pemerintah Gampong berwenang untuk : a. Mengatur dan mengembangkan kebijakan dalam rangka pengelolaan Sumberdaya alam; b. Mengatur pengendalian, peruntukan dan penggunaan Sumberdaya Alam; c. Mengendalikan kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak dalam pemanfaatan Sumberdaya Alam; d. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian Sumberdaya Alam dan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian kedua Tugas lembaga adat gampong Panglima Uteun Pasal 7 (1) Panglima uteun merupakan pihak yang memiliki otoritas menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan bagaimana etika memasuki dan mengelola hutan adat (meuglee). (2) Panglima uteun memberi nasihat dalam mengelola dan memanfaatkan hutan. Nasehat tersebut berisikan tatanan normatif apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kaitannya dengan pengurusan hutan adat. Selain itu, disampaikan pula petunjuk perjalanan dalam hutan sehingga jangan sampai orang tersesat, atau mendapat gangguan dari jin dan binatang-binatang buas lainnya. (3) Mengawasi dan menerapkan larangan adat glee, Melindungi pohon yang menjadi tempat sarang lebah madu dan berhak melarang penebangan liar 5
(4) Dalam pengurusan hutan panglima uteun berfungsi sebagai pemungut wasee glee dan mengkoordinir pemanfaatan hasil hutan (5) Menegakkan aturan/reusam yang sudah disepakati bersama masyarakat. (6) Sebagai hakim dalam menyelesaikan setiap perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee.
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Peutua Seuneubok Pasal 8 Bersama dengan Tuha Peut beserta Keuchik mengawasi, mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam kawasan Seuneubok atau nama lain. membantu tugas pemerintah bidang perkebunan dan kehutanan Bersama dengan petani seuneuboknya, melakukan perencanaan dalam upaya melakukan pengembangan, pemanfaatan kebun yang diketahui oleh Keuchik. Menjaga pohon-pohon disepanjang tali air baik sungai besar, anak sungai, alue, sumber-sumber air. mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat dalam wilayah Seuneubok atau nama lain Menyelesaikan persengketaan yang terjadi ditingkat seuneubok. Menegakkan aturan/reusam yang sudah disepakati bersama masyarakat
BAB III PERSYARATAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM Bagian Pertama Prinsip-Prinsip Pengelolaan (1) (2) (3) (4)
Pasal 9 Sumberdaya Alam merupakan unsur lingkungan hidup yang harus dikelola secara arif dan bijaksana sehingga mampu mendukung dan menjamin kelangsungan kehidupan makhluk lainnya. Pengelolaan Sumberdaya Alam harus dilaksanakan secara seimbang dan selaras antara upaya pemanfaatan dan upaya pelestariannya. Setiap warga gampong berhak terhadap Sumberdaya Alam yang ada dalam wilayah Gampong, namun pemanfaatan dan pengelolaannya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang dan keputusan Gampong Keputusan Gampong dibuat melalui musyawarah Gampong dengan mempertimbangkan azas manfaat, keadilan, kelestarian (keberlanjutan) Sumberdaya Alam tersebut, serta dampak negatif yang ditimbulkan
Pasal 10 Pengelolaan Sumberdaya Alam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia harus dilaksanakan dengan memperhatikan daya dukung untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pasal 11 Pengelolaan Sumberdaya Alam yang tidak dapat diperbaharui (non reneweble) harus dilakukan secara efisien sehingga dapat memungkinkan ketersediaannya dan upaya pemanfaatannya berlangsung dalam waktu relatif lama. 6
Pasal 12 Pengelolaan Sumberdaya Alam yang dapat dipulihkan (renewable) harus dilakukan secara hati-hati dan bijaksana sesuai dengan potensi dan daya dukungnya dengan tetap menjaga kondisi ekosistem dan lingkungannya yang layak sehingga memungkinkan Sumberdaya Alam tersebut memperbaharui dirinya. Pasal 13 Pengelolaan Sumberdaya Alam yang terdapat pada suatu kawasan lindung dilarang, bila mengganggu fungsi lindung. Pasal 14 Pengelolaan Sumberdaya Alam pada suatu kawasan harus dilaksanakan dengan mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atau masyarakat setempat serta mengakui hukum-hukum adat yang berlaku pada kawasan tersebut.
Bagian Kedua Perizinan Pasal 15 (1) Setiap orang dalam lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama atas pemanfaatan Sumberdaya Alam. (2) Setiap usaha dan / atau kegiatan pemanfaatan Sumberdaya Alam wajib memperoleh izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 16 (1) Dalam menerbitkan izin melakukan usaha dan / atau kegiatan wajib diperhatikan : a. rencana tata ruang b. pendapat masyarakat; dan c. pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut. (2) Keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan dan mendapat persetujuan masyarakat Gampong.
7
BAB IV PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM Pertama Hasil Hutan Kayu Pasal 17 (1) Setiap orang yang melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu diwajibkan melapor atau meminta izin kepada atau dari pemerintah gampong (2) Setiap pohon yang telah diberi tanda dilarang dimanfaatkan oleh orang lain. (3) Tidak boleh menebang saat padi sedang berisi/berbuah. (4) Perusahaan perkebunan atau pertambangan dilarang melakukan aktivitas didalam kawasan hutan kecuali atas persetujuan dari hasil musyawarah Gampong. (5) Setiap hasil hutan kayu yang diambil masyarakat untuk keperluan ekonomi dikenakan wasee untuk gampong sebesar ; a. 2 % untuk masyarakat Gampong Meunasah Krueng b. 5 % Untuk masyarakat Luar Gampong Meunasah Krueng (6) Dilarang untuk menebang pohon tempat bersarangnya lebah (7) Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan kayu-kayu besar lain yang bisa dijadikan perahu atau tongkang, kecuali atas seizin dari musyawarah Gampong. (8) Dilarang memotong sebatang kayu dalam rimba yang sudah ditetak (ditakik) sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar kayu yang disangkut dengan daun-daun. (9) Pemungutan wase gle dapat dilakukan oleh Pawang hutuen dan kemudian menyerahkan kepada pemerintah gampong yang digunakan untuk pembangunan gampong.
Kedua Hasil Hutan Non Kayu Pasal 18 (1) Masyarakat gampong berhak untuk melakukan pemanfaatan hasil hutan non kayu didalam kawasan hutan selama tidak mengganggu fungsi dan daya dukung kawasan hutan serta tetap memperhatikan keberadaan dari jenis Sumberdaya hutan tersebut. (2) Setiap orang dilarang untuk melakukan pemanfaatan dan atau mengambil hasil hutan non kayu yang telah langka atau hampir punah. (3) Setiap orang yang akan memanfaatkan hasil hutan non kayu sebagaimana yang tercantum dalam ayat (1 dan 2) diwajibkan untuk melapor dan atau meminta izin kepada dan atau dari pemerintahan gampong. (4) Setiap orang didalam gampong dianjurkan untuk menggunakan alat tradisional untuk melakukan pemanfaatan atau mengambil atau memburu hasil hutan non kayu. (5) Setiap orang didalam gampong dan luar gampong diwajibkan memberikan kontribusi atau wase gle terhadap gampong. (6) Setiap hasil hutan non kayu yang dimanfaatkan masyarakat untuk keperluan ekonomi dikenakan wasee untuk gampong sebesar 5 %. (7) Pemungutan wase gle dapat dilakukan oleh pawang utuen, Adat gampong dan kemudian menyerahkan kepada pemerintah gampong yang digunakan untuk pembangunan gampong. 8
Ketiga Sungai Dan Sumber Air Pasal 19 (1) Setiap orang dilarang menangkap ikan dengan menggunakan racun kimia, strom, bom ikan yang mengakibatkan kepunahan ikan dan biota sungai lainnya secara massal (2) Setiap masyarakat dilarang untuk membuka kawasan hutan yang merusakkan sumber mata air (3) Setiap warga dilarang untuk membuka kawasan hutan dengan kemiringan 40 derajat (4) Jarak 100 meter dari kiri kanan tepi sungai besar tidak boleh ditebang pohon. (5) Jarak 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai (alue) dilarang menebang pohon, namun menanamnya sangat dianjurkan. (6) Tidak boleh mengambil bahan bangunan tanpa izin pemerintahan gampong. Pengelolaan Seuneubok Pasal 20 (1) Pembukaan ladang atau seunebok harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seunebok dan lingkungan hidup itu sendiri. (2) Apabila ada lahan/lampoh yang tumpang tindih harus dibicarakan dengan peutua seuneubok. (3) Apabila ada lahan yang ditelantarkan lebih dari 3 (tiga) tahun, peutua seuneubok harus menegur yang punya lahan, jika dalam waktu 3 (tiga) bulan tidak dikelola wajib dicabut. (4) Pelaksanaan tugas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1, 2 dan 3) dilakukan dengan mengkoordinasikan dengan keuchik gampong (5) Dilarang memanjat atau melempar durian muda yang bukan miliknya. (6) Tidak dibenarkan berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan seuneboek. (7) Tidak dibenarkan mengambil hasil kebun orang lain, kecuali buah durian yang jatuh walaupun bukan di kebun miliknya. (8) Tidak dibenarkan memotong kayu dan membuka lahan didalam kawasan hutan lindung.
BAB V PERLINDUNGAN SUMBERDAYA ALAM Pasal 21 (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan pencemaran dan perusakan terhadap Sumberdaya alam dan lingkungannya serta kegiatan yang dapat mengancam kelestariannya. (2) Pemerintah gampong dapat menetapkan kawasan perlindungan setempat dengan segala kearifan yang dimiliki untuk menjaga kelestarian Sumberdaya alam dan mempertahankan keanekaragaman hayati serta kelestarian plasma nutfah. (3) Pengelolaan terhadap daerah kawasan lindung dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
9
BAB VI PENGAWASAN Pasal 22 (1) Keuchik melakukan pengawasan terhadap penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan di bidang pengelolaan Sumberdaya alam di wilayah gampong. (2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Keuchik dapat menetapkan pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan. (1)
(2) (3) (4)
Pasal 23 Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam pasal 27, berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/ atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu untuk mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/ atau kegiatannya. Penanggung jawab atas usaha dan/ atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat melibatkan masyarakat. Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/ atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut. BAB VII PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 24 (1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan pengelolaan Sumberdaya Alam secara adil, demokratis dan berkelanjutan sesuai dengan kearifan tradisional. (2) Pemerintah Gampong kewajiban mendorong peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan Sumberdaya alam sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan yang baik. (3) Dalam melakukan kegiatan pengelolaan Sumberdaya alam, masyarakat dapat secara langsung bekerjasama dengan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan/atau pihak lain. Pasal 25 Masyarakat yang berada di lokasi Sumberdaya alam memiliki prioritas utama untuk berperan seluasluasnya dalam pengelolaan Sumberdaya alam. Pasal 26 (1) Setiap kegiatan dilakukan oleh pemerintah dan dunia usaha yang berkaitan dengan pengelolaan Sumberdaya alam yang berdampak terhadap lingkungan hidup wajib dipertanggungjawabkan kepada publik. (2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Keuchik. Pasal 27 (1) Sebelum kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan Sumberdaya alam dilaksanakan di suatu daerah, pihak pelaksana wajib mensosialisasikan maksudnya kepada masyarakat adat dan/ atau 10
masyarakat setempat guna mendapatkan masukan sebagai bahan pengambil keputusan baik bagi pelaksana maupun bagi pejabat yang berwenang. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk menjelaskan kerugian yang akan dialami dan keuntungan yang akan diperoleh masyarakat sejak perencanaan hingga pasca operasi. (3) Pada waktu pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pihak perencana wajib menyertakan wakil dari instansi yang mengelola dampak lingkungan, legislatif dan organisasi lingkungan hidup. (4) Masukan dari masyarakat adat dan/ atau setempat harus dinilai secara objektif dan rasional baik melalui pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Pasal 28 (1) Kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Alam wajib dievaluasi sedikitnya sekali dalam 2 (dua) tahun. (2) Monitoring dapat dilakukan setiap saat, bila diperlukan. (3) Setiap evaluasi wajib menyertakan masyarakat terutama yang berdomisili disekitar lokasi kegiatan pengelolaan Sumberdaya Alam.
BAB VIII HUBUNGAN PEMEGANG IZIN DENGAN PEMEGANG HAK ATAS TANAH (1)
(2) (3) (4) (5) (6)
Pasal 29 Pemegang izin usaha dan/ atau kegiatan pemanfaatan dan/ atau eksploitasi dan/ atau eksplorasi Sumberdaya Alam wajib mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu yang berada diatas tanah kepada yang berhak atas tanah didalam lingkungan daerah kegiatan usaha maupun di luarnya dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih dahulu. Besarnya nilai ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan bersama antara pemegang izin usaha dan/ atau kegiatan dengan yang berhak atas tanah atas dasar musyawarah dan mufakat. Jika kedua pihak tidak dapat mencapai kata mufakat tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka penentuan diserahkan kepada Bupati dengan memperhatikan hasil musyawarah dan mufakat antara pihak pemegang izin usaha dan/ atau pemegang hak atas tanah. Wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada Bupati/ Walikota. Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan bupati tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) maka penentuannya diserahkan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah atau wilayah yang bersangkutan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3) dan (4) beserta segala yang berhubungan dengan itu, dibebankan kepada pemegang izin usaha yang bersangkutan.
11
BAB IX GUGATAN PERWAKILAN Pasal 30 (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/ atau melaporkan ke penegak hukum terhadap kerusakan dan pencemaran Sumberdaya Alam yang merugikan kehidupan masyarakat. (2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbatas pada tuntutan terhadap pengelolaan Sumberdaya alam yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 31 Jika diketahui bahwa masyarakat menderita akibat kerusakan dan/ atau pencemaran Sumberdaya Alam dan lingkungan hidup sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat, maka instansi Pemerintah kabupaten yang bertanggung jawab dibidangnya dapat melakukan gugatan untuk kepentingan masyarakat. Pasal 32 (1) Dalam rangka tanggung jawab pengelolaan Sumberdaya alam, organisasi yang bergerak di bidang itu berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi Sumberdaya Alam. (2) Organisasi bidang Sumberdaya Alam yang berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Berbentuk badan hukum; b. Organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan pelestarian fungsi Sumberdaya alam; dan c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. BAB X PENYELESAIAN SENGKETA SUMBERDAYA ALAM Pasal 33 (1) Penyelesaian sengketa Sumberdaya Alam dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. (2) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tercapai kesepakatan antara para pihak yang bersengketa. Pasal 34 (1) Penyelesaian sengketa Sumberdaya Alam diluar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam Reusam ini. (2) Penyelesaian sengketa Sumberdaya Alam diluar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengambilan sesuatu hak, besarnya ganti rugi, dan/ atau mengenai tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk mengalihkan fungsi Sumberdaya Alam. (3) Dalam penyesaian sengketa Sumberdaya Alam diluar pengadilan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk oleh bersama para pihak dan/ atau perdampingan organisasi non pemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa Sumberdaya Alam.
12
Pasal 35 (1) Penyelesaian sengketa Sumberdaya Alam melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengambilan suatu hak, besarnya ganti rugi dan/ atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa. (2) Selain untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat(1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari.
BAB XI SANKSI Pasal 36 (1) Pelanggaran terhadap Pasal (17) ayat (1, 2 dan 3) akan dikenakan denda berdasarkan hasil musyawarah gampong (2) Pelanggaran terhadap pasal (17) ayat (4) akan di kenakan Sanksi berdasarkan hasil musyawarah Gampong. (3) Pelanggaran terhadap pasal (17) ayat (5) akan diberikan peringatan, apabila peringatan tersebut tidak diindahkan maka hasil hutan yang diambil akan disita dan nantinya akan digunakan untuk kas gampong. (4) Pelanggaran terhadap pasal (17) ayat ( 6, 7 dan 8) tersebut diatas, maka akan dikenakan denda 1 (satu) ekor kambing dewasa dan kenduri atau peusijuk. (5) Pelanggaran terhadap Pasal (18) ayat ( 2) akan dikenakan sanksi berdasarkan hasil musyawarah gampong. (6) Pelanggaran terhadap Pasal (18) ayat (3) akan diberikan peringatan, apabila peringatan tersebut tidak diindahkan maka akan dikenakan sanksi adat berdasarkan musyawarah gampong. (7) Pelanggaran terhadap Pasal (18) ayat (4, 5 dan 6 ) akan dikenakan sanksi adat berupa denda 1 (satu) ekor kambing. (8) Pelanggaran terhadap Pasal (19) ayat (1) akan dikenakan denda Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah). (9) Pelanggaran terhadap Pasal (19) ayat (2, 3, 4, 5 dan 6 ) akan dikenakan sanksi adat berdasarkan hasil musyawarah gampong. (10) Pelanggaran terhadap Pasal (20) ayat (1, 2 dan 3 ) dapat dikenakan sanksi adat berdasarkan hasil musyawarah gampong (11) Pelanggaran terhadap Pasal (20) ayat (4, 5, 6, 7 dan 8 ) akan dikenakan sanksi adat berupa denda 1 (satu) ekor kambing dan kenduri atau peusijuk
BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 37 Pada saat berlakunya Reusam ini, maka segala ketentuan yang ada dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Reusam ini. 13
BAB XII KETENTUAN PENUTUP (1) (2) (3) (4)
Pasal 38 Pada saat Reusam ini ditetapkan semua peraturan Gampong yang bertentangan dangan Reusam ini tidak berlaku lagi. Hal-hal yang belum diatur dalam reusam ini akan ditetapkan dalam keputusan gampong Penyelesaian hal-hal yang tidak diatur dalam reusam ini akan dilakukan dalam musyawarah gampong dengan merujuk pada aturan-aturan lainnya dan norma yang berlaku didalam gampong. Reusam ini dapat direvisi dalam musyawarah gampong
Pasal 39 Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan dalam Reusam ini, secara teknis dan operasional ditugaskan kepada Tuha Peut Gampong, Kepala Dusun dan ketua Pemuda Gampong Pasal 40 Reusam ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
14
15
16