Ide Utama
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT), LIKU KEHIDUPAN DAN PERSPEKTIF ISLAM TENTANGNYA Annisa Listiana*) ABSTRACT: A domestic Worker (PRT) is anyone who works within the scope of the household either male or female, young or old, even a child. Actually, they have given a huge contribution to their family in Indonesia, and donated income for the country. But on top of legal documents, they are not recognized by the Labor Law as an appropriate form of formal employment that deserve to be given protection by the existing laws and regulations. In the Islamic perspective, women and men are required to work in accordance with the potential and capacity in order to obtain a decent living or to meet family needs. Al Quran does not mention a specific job for a certain gender. Women and men can work inside or outside the home. Working as a domestic worker is not lower than other professions as long as conducted by and for the good purpose. Keywords: Domestic Workers (PRT), Islamic Perspectives.
A. Pendahuluan Fenomena di bawah ini seringkali ditayangkan di televisi dan bahkan kita seringkali melihat dan mendengar berita di sekitar kita yang menceritakan tentang berbagai macam permasalahan pekerja rumah tangga (PRT) atau yang lebih sering orang menyebut pembantu rumah tangga, berikut ilustrasi beberapa PRT yang dapat kita baca dan kita cermati: Adalah Yanti seorang PRT berasal dari Purwodadi yang berusia 15 tahun, dengan harapan ingin membahagiakan orangtuanya, dia berangkat ke kota Jakarta untuk bekerja. Di Jakarta karena )
Penulis adalah Dosen STAIN Kudus
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana)
hanya lulusan SMP dia terpaksa harus jadi Pekerja Rumah tangga. Dia berangkat ke Jakarta diajak temannya yang juga bekerja sebagai PRT. Tidak seperti keinginannya ternyata dia bekerja untuk menggantikan temannya dengan upah 150.000 rupiah selama satu bulan. Kemudian dia pindah ke tempat lainnya, di tempat yang baru ini juga tidak seperti harapannya, ia sering disalahkan oleh majikannya yang berujung pada penganiayaaan, tidak diberi makan teratur, akhirnya dia tidak tahan dengan siksaan majikan, ia kabur dari rumah dan minta tolong kepada temannya yang membawanya ke Jakarta untuk pulang kembali ke desanya dengan tidak membawa uang gaji ataupun uang saku. (wawancara tanggal 02 Juli 2009) Kasus yang lain misalnya Sanah yang bekerja di sebuah warung makan sebagai tukang masak, dia dipekerjakan mulai jam 4 pagi sampai jam 11 menjelang tidur, istirahat hanya makan dan melaksanakan ibadah dengan gaji hanya dengan 300 ribu per bulan tanpa uang lembur ataupun bonus, sementara dia harus meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil ke tetangganya dengan upah sehari 10 ribu. Dia bangun jam 3 pagi kemudian saat berangkat bekerja anaknya masih tidur dan pulang anaknya sudah tidur, itupun harus mengantarkan ke tetangganya dan juga menjemput anaknya tengah malam. Dia bertahan hingga 6 bulan karena badannya terasa sakit-sakit dan upahnya tidak seberapa. (wawancara tanggal 05 Juli 2010) Bagi daerah-daerah tertentu yang daerah pertaniannya tandus ataupun tidak ada perusahaan, pekerja rumah tangga (PRT) lebih banyak diburu. Mereka memilih pekerjaan PRT di sejumlah kota besar misalnya Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan tidak sedikit yang rela meninggalkan kampung halaman demi bekerja sebagai TKI atau TKW juga sebagai PRT di negeri seberang misalnya Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, Abu Dhabi, Libya, dll. Mereka menjadi TKI atau TKW sebagai PRT karena keterpaksaaan. Di rumah tidak bisa melakukan apa-apa karena untuk berdagang tidak punya modal, untuk bekerja di pabrik harus ada ijazah minimal SMA, padahal rata-rata PRT sekarang adalah tamatan SMP yang tidak mempunyai skill. Harapan mereka bisa pergi dari rumah untuk mencari kehidupan yang lebih baik meski ternyata tidak sesuai dengan harapannya.
231
232
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Permasalahan yang terjadi pada PRT di antaranya adalah proses perekrutannya yang terkadang melibatkan calo, agen, kemudian tidak tahu majikannya bagaimana, jenis pekerjaannya seperti apa, kalau terjadi sesuatu harus bagaimana dan harus kemana? Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis berusaha merangkum dari beberapa realitas yang terjadi dan juga dari beberapa buku.
B. Perempuan dan Kerja Domestik: PRT (Pekerja Rumah Tangga) Dalam masyarakat, ada anggapan bahwa PRT merupakan pekerjaan perempuan. Anggapan seperti ini bukanlah hal baru dan menarik. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana proses pembentukan wacana tersebut bergulir sehingga menempatkan perempuan akhirnya identik dengan PRT. Wacana bahwa perempuan identik dengan PRT bukanlah wacana transendential, namun ia merupakan konstruksi sosial masyarakat. Jika dikaji lebih serius, pandangan bahwa perempuan merupakan pihak yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga (pekerjaan rumah) merupakan fondasi konstruksi wacana identiknya perempuan dengan PRT. Jennifer Soul (2003: 137) menyatakan bahwa pembagian tugas seperti ini berawal dari pandangan bahwa kehidupan rumah tangga merupakan wilayah personal yang tidak boleh disamakan dengan kehidupan wilayah publik yang politis. Menurut Soul, keluarga dibentuk oleh dan membentuk faktor yang sudah jelas bermuatan politis yang dapat menjelma, misalnya melalui pola mendidik, penerapan hukum dan pembagian kerja. Akibatnya, paham yang memandang bahwa perempuan haruslah pihak yang bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan perkembangan anak-anak ditempatkan sebagai sesuatu yang tidak politis. Sebuah paham yang akhirnya ditempatkan sebagai paham personal dan dianggap benar atau wajar Konstruksi wacana sebagaimana di atas dihadirkan dan ditanamkan dengan kuat melalui berbagai medium, mulai dari bangku pendidikan, buku bacaan dan bahkan media massa. Berita tentang buruh migran perempuan begitu menghiasi media massa Indonesia. Masyarakat selalu disuguhi dengan film, sinetron, hingga iklan yang menempatkan perempuan dalam posisi biner yang monoton, perempuan/laki-laki, rumah/luar
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana)
rumah. Memang ada beberapa acara televisi yang menayangkan tayangan alternatif wacana, misalnya dengan menghadirkan PRT yang diperankan oleh laki-laki. Begitu juga di majalah yang menghadirkan perawatan anak menghadirkan laki-laki dan anak-anak mereka sebagai bintang sampul majalah dalam beberapa penerbitan. Sayangnya konstruksi wacana seperti itu jumlahnya masih terlalu sedikit untuk memberikan pilihan kerangka pikir masyarakat. Dalam konteks Indonesia, konstruksi wacana perempuan terutama dalam konstruksi perempuan Jawa keraton, menunjukkan bahwa kedudukan perempuan baik secara ekonomi, sosial, ekonomi maupun politik berada pada struktur bawah. Perempuan dipandang sebagai konco wingking (istri menurut pada suami), karena itu perempuan diibaratkan suwargo nunut neroko katut (kemanapun suami, istri harus ikut) terhadap eksistensinya, bahkan perempuan hanya pantas sebagai masak (memasak), macak (berhias), dan manak (melahirkan) yang semuanya identik bahwa pekerjaan perempuan bersifat domestik (Zainuddin Fanani, 2000: 177). Dalam dunia pendidikan, buku-buku pelajaran sering menghadirkan sosok perempuan yang identik sebagai pengurus rumah tangga dan pengasuh anak saja. Sosok anak perempuan pun biasanya tidak jauh dari kehidupan boneka dan masakmemasak. Materi ilustratif yang disajikan dalam tayangan media massa dan buku-buku pelajaran di dunia pendidikan merupakan kerja representasi yang tidak netral. Menurut Wittgeinstein dalam tractatus Logico Philosophicus (2004: 236) melalui teori picture theories menyatakan bahwa sebuah gambar merupakan bentuk representasi yang benar ataupun keliru. Selanjutnya, ia mengungkapkan bahwa dari sebuah gambar kita dapat melihat kemungkinan atas sebuah masalah, gambar yang ada merupakan hasil dari pengalaman empiris manusia dan dibahasakan oleh manusia. Jadi, dari sebuah gambar bisa muncul beraneka interpretasi tergantung sudut pandang manusia Jika kita menggunakan materi ilustratif yang mengiringi buku cerita anak-anak dalam bahasa Inggris yang berjudul “The Trouble with Jack”, pada halaman belakangnya tertulis bahwa buku tersebut merupakan buku cerita domestik yang realistis, yang dengan karakter yang mengagumkan hasil ciptaan pengarang dan
233
234
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
ilustratornya (Shirley Hughes, 1989: 14). Dalam buku tersebut ada sebuah gambar yang menarik, yang di dalamnya terdapat gambar seluruh anggota keluarga yang sedang bepergian. dan dalam gambar tersebut si Ibu mengurus kedua anaknya, sedangkan si Bapak hanya memperhatikan sambil berdiri tegak. Gambar tersebut bersesuaian dengan gambar-gambar lainnya dalam buku tersebut yang menempatkan si Ibu pada posisi yang identik dengan child care dan pekerjaan domestik. Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa wilayah domestik dan child care direpresentasikan oleh perempuan (JP, 2005: 62). Sebagaimana pandangan Wittgeinstein, representasi ini bisa benar ataupun bisa salah. Representasi ini pada dasarnya membuka beragam kemungkinan pula. Berkenaan dengan buku cerita yang disinggung di atas, kemungkinan yang bisa dihadirkan adalah si Bapak yang akan bersama-sama mengurus anak dan rumah mereka. Kemungkinan lainnya adalah ditiadakannya sosok ayah, dan ibu hadir sebagai orang tua tunggal, atau sebaliknya. Masalah representasi dalam gambar seperti itu tidak hanya hadir lewat buku cerita di atas, melainkan dalam beragam buku cerita dan buku pelajaran dalam beragam bahasa pula. Wacana keterkaitan perempuan dengan peran domestiknya begitu merajai teks dunia hingga menjadi apa disebut oleh Foucault sebagai rejim wacana (Nickie Charles, 2000; 119). Wacana perempuan yang identik dengan wilayah domestik seringkali dijadikan alat beragam kampanye, mulai dari kampanye anti perang hingga kampanye anti kekerasan. Tayangan iklan kampanye anti kekerasan yang hadir di media televisi akhir-akhir ini merupakan salah satu contohnya. Dalam sebuah adegan dihadirkan sesosok perempuan yang membentak pekerja rumah tangganya, yang merupakan perempuan pula. Sekilas iklan tersebut dapat dianggap sebagai sarana pembantu yang efektif untuk menghentikan kekerasan, mengingat televisi merupakan medium diseminasi informasi yang sangat ampuh. Namun di sisi lain, adegan tersebut menghadirkan dan melanggengkan wacana keterkaitan perempuan dengan wilayah rumah tangga perempuan dengan representasi PRT. Bahkan jika boleh perpendapat bahwa iklan tersebut merupakan bukti yang sangat tepat dari pendapat Saul bahwa keluarga ternyata bukan wilayah yang bersifat personal semata. Keluarga, beserta seluruh pembagian kerja dan operasi posisi biner perempuan
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana)
dan laki-laki merupakan hal yang bersifat politis pula (Jennifer Saul, 2003: 141). Pandangan Saul juga berseberangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa perempuan sudah secara alamiah cocok dengan pekerjaan mengurus rumah. Menurutnya, sebenarnya ini hanyalah masalah seberapa jauh seseorang terlatih untuk mengerjakan sesuatu. Di Indonesia, sejak kecil biasanya perempuan telah dilatih untuk membantu ibunya dalam membersihkan rumah. Anak laki-laki biasanya tidak diajarkan hal serupa, mereka biasanya diajak oleh ayahnya untuk pergi dan berkegiatan di luar rumah misalnya ke bengkel, ke tempat berolah raga dan petualangan alam. Anak perempuan yang bepergian biasanya akan dibawa ke tempat perbelanjaan— menurut Saul, belanja adalah salah satu pekerjaan domestik pula—atau ke pasar-pasar tradisional (Jennifer Saul, 2003: 157). Wacana perempuan berkiprah di arena domestik demikian kental dan dianggap sebagai suatu kebenaran karena berkaitan dengan relasi kekuasaan, dengan demikian sesuatu dianggap benar dalam masyarakat jika diletakkan dalam kerangka relasi kekuasaan masyarakat yang berkuasa. Apabila yang berkuasa laki-laki maka perempuan menjadi lemah dan mematuhi apa yang dikatakan yang berkuasa (Nickie Charles, 2000: 89). Dari paparan di atas yang dapat disimpulkan adalah dari kecil hingga dewasa terdapat dikotomi dan reduksi perempuan ke wilayah domestik. Jejaring makna yang menyatakan bahwa perempuan identik dengan wilayah domestik dan child care, pada akhirnya membuat perempuan identik dengan PRT. C. Kekerasan terhadap PRT Perjalanan kerja seorang PRT, dari daerah asal sampai ke tempat kerja merupakan medan yang terjal untuk dilalui. Seorang PRT sudah akan berhadapan dengan calo yang sangat potensial melakukan tindak kekerasan terhadapnya, baik secara fisik, psikis, maupun ekonomi. Dari berbagai kasus, banyak calo yang minta persenan dalam beberapa bulan PRT bekerja, melakukan penganiayaan apabila seorang PRT dipandang kritis terhadap persoalan, bahkan ada calo yang melakukan pelecehan seksual, mulai dari meraba, membelai sampai melakukan coitus, demikian juga dengan teman yang membawanya bekerja,
235
236
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
meskipun sedikit namun tetap minta balas jasa. Ancaman kekerasan juga selalu membayangi PRT di tempat ia bekerja. Rumah majikan bukan merupakan tempat yang nyaman, mengingat profesinya hanya sebagai seorang pekerja rumah tangga. Tidak ada spesifikasi jenis pekerjaan yang mesti dilakukan atau tidak dilakukan. Mulai dari semua jenis pekerjaan di rumah tangga, memasak, mencuci dan menyeterika, bersihbersih, merawat anak sampai dengan pijat memijat pun menjadi pekerjaan pokok seorang PRT, dan apabila tidak dikerjakan akan mendapatkan penilaian yang buruk. Pembantu malas, pembantu tidak becus, pembantu durhaka, sampai dengan tidak layak menjadi seorang pembantu. Adapun yang lebih kejam lagi tidak manusiawi, majikan tega melakukan penganiayaan terhadap PRT dengan berbagai bentuk kekerasan. Mulai dari upah yang tidak segera dibayarkan sampai dengan penyiksaan sampai buta atau lumpuh. (Jawa Pos, 2005: 8). Kekerasan yang dialami PRT seringkali didiamkan sampai pada batas PRT tersebut kesakitan atau dikembalikan pada keluarganya dengan alasan kecelakaan. PRT tidak berani untuk melaporkan karena diancam atau tidak kuasa untuk melaporkan karena posisi lemahnya.
D. Stereotip terhadap PRT Beban berat lain yang harus dipikul PRT adalah stereotip PRT sebagai pekerja yang mendapat citra buruk dari masyarakat. Meskipun mempunyai peran sangat penting, baik bagi majikan, keluarganya, daerahnya, bahkan bagi negara, namun mereka mewarisi pandangan konvensional selama ini sebagai pembantu, babu atau jongos. Mereka boleh diperlakukan apapun oleh majikannya, dan masyarakat yang memberikan cap padanya atas berbagai perlakuan itu. Tidak sedikit didengar, jika PRT mengalami kekerasan dan ketidakadilan dari majikannya, hal itu dianggap sebagai bukan persoalan. Dianggap wajar apabila PRT mengalami ketidakadilan dan kekerasan itu. Lebih parah lagi bahwa ternyata tidak sedikit di antara kita yang justru menimpakan kesalahan pada para PRT. Mereka sering dituduh tidak bekerja yang memuaskan, sehingga layak mendapat hukuman. Stereotip itu juga telah menginternalisasi dalam kesadaran para PRT sendiri. Banyak di antara mereka menganggap layak
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana)
dihukum dengan berbagai perlakukan kekerasan oleh majikannya jika melakukan kekeliruan atau pekerjaannya tidak memuaskan. Pada batas tertentu, stereotip sebagai pembantu menghadirkan problem tersendiri dengan pembatasan kesempatan belajar dan bergaul secara sosial dengan wajar. Mereka pembantu yang kebutuhan sosialnya terbatas, keperluan untuk berkembangnya juga terbatas, untuk apa mempunyai kesempatan belajar dan mengembangkan diri? Pandangan seperti ini, tidak hanya dimiliki oleh majikan, tetapi juga oleh para PRT sendiri. Di sini jelas, pekerjaan PRT dalam situasi seperti itu akan sulit menjadi tempat berkembang bagi para PRT sendiri, dan tidak korelatif dengan pemberdayaan. Inilah salah satu kondisi yang menyebabkan berbagai bentuk kekerasan yang dialami PRT (JP, 2005). Implikasi wacana dominan yang menghadirkan makna bahwa perempuan identik dengan wilayah domestik dapat terasa dalam bidang pendidikan. Sangat ajegnya wacana tersebut menjadikan masyarakat Indonesia masih banyak yang menganggap sebagai sebuah kebenaran. Banyak perempuan Indonesia, terutama di wilayah pedesaan, tidak menempuh pendidikan yang lebih tinggi dari SMA. Seringkali mereka hanya disekolahkan oleh orang tua mereka hanya sampai jenjang SMP. Biasanya bila tidak dinikahkan oleh orang tua, mereka akan bekerja sebagai PRT, entah di daerah mereka ataupun di luar daerah mereka. Jenjang pendidikan yang rendah mengakibatkan minimnya lowongan pekerjaan yang dapat dimasuki perempuan. Oleh karena itu PRT merupakan lahan berkerja yang paling tersedia bagi para perempuan muda tersebut. Hal ini bukan hal yang baru, namun kehadiran masalah terebut secara terus menerus menyiratkan adanya kekuasaan wacana yang bermain dalam masyarakat mengenai pendidikan perempuan dan hubungan dengan PRT. Maraknya berita mengenai TKW dengan segala cerita sedihnya merupakan bukti keterkaitan antara rendahnya tingkat pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja sebagai PRT. Apalagi dalam berita-berita tersebut sering terungkap belianya umur perempuan TKW. Dalam usia belasan tahun mereka tidak melanjutkan sekolah mereka dan bekerja (berusaha mencari kerja) sebagai PRT. Ketika menjadi PRT pun mereka dianggap tidak layak untuk melanjutkan pendidikan karena selama ini PRT adalah pekerjaan nomor dua yang tidak penting
237
238
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
dan pandangan ini tidak terlepas dari kekeliruan perspektif pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi karena pekerjaan rumah tangga dianggap tidak produktif (Vandana Shilva, 1997: 128).
E. Ketidakadilan Gender dalam PRT Ketidakadilan gender merupakan suatu masalah dalam bagi PRT. Hal ini karena hampir 90% dari jumlah PRT di negeri ini utamanya berjenis kelamin perempuan. Masalah PRT tidak hanya berhubungan dengan representasi perempuan dan tingkat pendidikan yang rendah, tetapi juga berhubungan dengan hakhaknya sebagai pekerja. Rendahnya tingkat pendidikan juga memberi sumbangan ketidakpahaman PRT dengan hak-haknya sebagai seorang pekerja. Banyak sekali PRT yang bekerja tanpa bayaran, atau dibayar namun tidak memadai. Kasus seperti ini selain terjadi dalam kehidupan sehari-hari, juga banyak diangkat melalui media massa (Jurnal Perempuan: 24). Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan kenyataan bahwa para pekerja rumah tangga tersebut tidak memiliki keahlian lainnya, akibat tingkat pendidikan yang rendah, sehingga hanya dari mereka tidak mampu berbuat banyak dalam mengatasi masalah pemberangusan hak mereka. Tingkat pendidikan yang rendah seringkali membuat mereka tidak menyadari pilihan yang mereka miliki atas hidupnya sejak awal. Materi pendidikan dasar yang mereduksi peran perempuan pun memperburuk pola pikir perempuan belia yang berpendidikan rendah. Ketidakberdayaan, ketidakmandirian, dan pekerjaan sebagai PRT dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam banyak kelompok masyarakat. Buruknya kondisi PRT dapat ditanggulangi dengan memperlakukan PRT seperti seorang karyawan yang memiliki hak-hak sebagai pekerja. PRT selama ini cenderung dianggap sebagai pekerjaan sampingan, rendahan, tidak membutuhkan keterampilan, diisi orang-orang dari kelompok sosial yang dipandang rendah pula. Paham seperti ini menyebabkan PRT tidak memiliki budaya kerja yang sehat. PRT seharusnya dianggap sebagai pekerja profesional karena apa yang mereka lakukan pun sebenarnya membutuhkan keterampilan yang memadai. Sebagai pekerja profesional, mereka pun berhak
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana)
mendapat upah yang layak dan lingkungan kerja yang sehat. Sesungguhnya kebutuhan terhadap PRT sangat tinggi sehingga sudah sewajarnya hak-hak PRT sebagai pekerja lebih diperhatikan.
F. Perlindungan Hukum dan Advokasi terhadap PRT Indonesia, negara yang ditengarai sebagai negara pengirim sekaligus negara pemakai terbesar jasa PRT, hingga kini belum memiliki peraturan setingkat undang-undang untuk mengatur dan melindungi nasib PRT secara legal. UU No 23 tahun 2004 tentang ketenagakerjaan. Contohnya, tidak secara khusus mengatur persoalan PRT, apalagi memberikan dasar bagi perlindungan hukum. Padahal perlindungan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian, menjaga, dan mempertahankan hak, jika dilanggar. Pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan adalah pekerja sektor formal, mereka yang bekerja dalam sebuah unit produksi atau perusahaan, bukan orang-orang yang bekerja dalam lembaga keluarga, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sekalipun esensinya sama. Menurut UU ketenagakerjaan, PRT dapat dikategorikan sebagai pekerja yang disewa oleh seorang atau oleh sebuah perusahaan (UU Ketenagakerjaan No. 13, Tahun 2003). Karena pada kenyataannya PRT adalah pekerja. Mereka memberi kontribusi yang luar biasa besar bagi keluarga di Indonesia, dan menyumbangkan devisa bagi pendapatan dalam negeri. Akan tetapi di atas dokumen hukum, PRT tidak diakui oleh UU Ketenagakerjaan sebagai bentuk pekerjaan formal yang layak diberikan perlindungan oleh peraturan dan hukum yang ada. Kalangan hukum, aktivis buruh, dan aktivis perempuan, menilai bahwa marjinalisasi formalistik itu pada prakteknya telah membuka peluang dan potensi bagi bentuk-bentuk eksploitasi, ekonomi, fisik, maupun psikis terhadap PRT. Implikasinya, banyak kekerasan terhadap PRT hanya dipandang sebagai tindakan kejahatan minor bahkan dinilai sebagai urusan domestik yang privat. Meskipun demikian, peraturan yang mengatur secara khusus masalah pekerja domestik hanya terdapat pada tingkat Peraturan Daerah (Perda). Itu pun masih memiliki banyak
239
240
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
kelemahan yang bersifat fundamental. Perda Pemerintah Provinsi Jakarta No. 6 Tahun 1993 misalnya, adalah salah satu peraturan yang berkenaan dengan masalah PRT. Dalam peraturan tersebut, PRT disebut sebagai eufemisme Pramuwisma. Pramuwisma adalah tenaga kerja pembantu rumah tangga yang melakukan perkerjaan rumah tangga dengan menerima upah. Namun jika dianalisis, definisi yang demikian itu ternyata masih menggunakan istilah pekerja rumah tangga dan tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pembantu rumah tangga. Di dalamnya hanya menyebutkan melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa penjelasan bekerja pada siapa. Dengan demikian sepertinya hal tersebut menghilangkan unsur di bawah perintah yang merupakan unsur pengertian buruh dalam hukum perburuhan. Hal yang tak boleh dilupakan berkaitan dengan PRT adalah advokasi atau pendampingan. Dalam konteks ini, kegiatan pendampingan tidak asal pendampingan akan tetapi bersifat mempengaruhi dan mengupayakan proses penyadaran pada PRT, proses ini dilakukan secara kreatif sesuai dengan konteks kebutuhan PRT (Anthony Yeo, 1999: 58).
G. PRT (Pembantu Rumah Tangga) dalam Perspektif Islam Dalam konsep Islam, manusia, apapun jenis kelaminnya, adalah ciptaan Tuhan yang paling terhormat dibanding ciptaanNya yang lain. Kehormatan ini diberikan karena manusia adalah makhluk berpikir, berkarya, dan bekerja. Tiga ciri ini merupakan ciri khusus bagi manusia, dan menjadi cara manusia untuk mempertahankan, meningkatkan kesejahteraan hidup, dan menyempurnakan eksistensinya. (QS. Hud [11]: 61). Oleh karena itu, bekerja menjadi hak asasi manusia. Beberapa ayat Al-Quran menyerukan manusia untuk bekerja di manapun, kapanpun, dan apapun sesuai dengan kecenderungan dan pilihan masingmasing. (QS. al-Mulk [67]: 15), (QS. al-Jumu’ah [62]: 10), dan (QS. al-Isra’ [17]: 84). Dari beberapa ayat Al-Quran di atas disampaikan bahwa bekerja adalah bagian dari pengabdian kepada Allah, dan karenanya ia bernilai ibadah. Apapun pekerjaan tersebut, sepanjang dimaksudkan untuk membuatnya eksis dan dilakukan
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana)
dengan cara yang baik ( ), maka hal tersebut termasuk kategori ibadah. Bahkan, bekerja juga bisa bernilai (berjuang di jalan Allah), jika dimaksudkan untuk membantu keluarga atau orang lain. Hal ini berlaku bagi siapapun, laki-laki atau perempuan. Perempuan maupun laki-laki, dituntut untuk bekerja guna memperoleh penghidupan yang layak atau memenuhi kebutuhan keluarga. Siapapun dapat memilih pekerjaan apapun sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimiliki. Al-Quran tidak menyebut pekerjaan tertentu untuk jenis kelamin tertentu. Perempuan dan laki-laki dapat bekerja di dalam maupun di luar rumah. Bekerja sebagai PRT tidaklah lebih rendah dibanding profesi lain selama dilakukan dengan cara dan untuk tujuan yang baik ”Siapapun yang bekerja dengan baik, laki-laki maupun perempuan, maka Kami (Tuhan) akan memberinya kehidupan yang baik dan akan Kami beri mereka balasan terbaik atas pekerjaan baik yang telah mereka lakukan.” (Q.S. al-Nahl [16]: 97). Profesi PRT memang sering dianggap rendah, namun dalam banyak hal peran dan jasa yang diberikan oleh mereka sangat besar sekali terutama bagi majikannya. Jika direnungkan labih jauh, tugas PRT di dalam rumah turut andil dalam kesuksesan majikan di luar rumah. Bayangkan, betapa pusingnya para pemilik rumah besar manakala tidak ada para PRT yang menjaga dan mengurus segala keperluan dalam rumah tangga. Para majikan tidak perlu lagi bingung memikirkan urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci, atau bersihbersih. Nabi dengan jelas menyatakan, ” ”, (sesungguhnya kalian ditolong dan diberi rezeki oleh orang-orang yang lemah di antara kalian). Hadis ini cukup memberi petunjuk untuk menghargai kelompok orang yang dianggap lemah, baik atas dasar profesi maupun jenis kelamin. Memang Al-Quran tidak menyebut secara rinci persoalan PRT ini, namun terdapat banyak hadits Nabi yang menguraikannya. Beberapa hal yang dapat diketahui dari hadits Nabi adalah sesungguhnya para pekerja –termasuk PRT- adalah manusia sebagaimana manusia yang lain. Dia memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik, diberikan upah, dan dicukupi
241
242
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
kebutuhannya. Sebuah hadis Nabi menyatakan: ”Siapa saja yang mempekerjakan orang, maka jika si pekerja tidak punya isteri, maka dia hendaknya mencarikan isteri baginya. Jika dia tidak mempunyai pembantu, majikan hendaknya menyediakan pembantu. Jika dia tidak mempunyai rumah, majikan hendaknya menyediakan rumah” (HR. Abu Daud). Para ulama sepakat di antara hak yang harus didapat oleh PRT adalah kewajiban diberi makan dan pakaian layak bagi PRT seperti makanan dan pakaian majikannya, terutama mengajak mereka makan bersama. Hak PRT dan kewajiban majikan yang lain adalah bahwa mereka tidak boleh diperlakukan dengan cara-cara kekerasan. Nabi bersabda: ”Jangan kamu pukul hamba-hamba Allah yang perempuan.” Siti Aisyah, isterinya yang tercinta, memberikan kesaksian dengan mengatakan, ”Nabi saw., tidak pernah memukul isteri maupun pembantunya sama sekali.” Dan, manakala makanan yang dimasaknya tidak cukup sedap, Nabi tidak pernah memarahinya. Jika majikan melakukan kesalahan baik disengaja atau tidak, maka etika Islam mewajibkannya untuk meminta maaf. Meski tak pernah melukai pembantunya Nabi adalah orang yang paling banyak meminta maaf kepadanya. Ketika beliau ditanya berapa kali seorang majikan mesti meminta maaf kepada pembantunya, beliau menjawab tujuh puluh kali dalam sehari. Nabi juga selalu mengucapkan terima kasih atas pelayanan mereka. Hak-hak ekonomi PRT juga wajib dipenuhi majikan. Dalam salah satu sabdanya Nabi memperingatkan kepada para majikan agar memenuhi hak-hak pekerja sebagaimana yang sudah ditetapkan di dalam kontrak. Kelalaian majikan memberikan upah merupakan sebuah pengkhianatan. Tindakan majikan tidak hanya melanggar aturan negara yang patut dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku, tetapi juga diancam Tuhan dengan hukuman di akhirat. ”Tiga orang yang akan menjadi musuh saya pada hari kiamat: orang yang berjanji atas nama saya tetapi mengkhianati; orang yang menjual orang merdeka lalu hasil penjualannya dimakan; dan orang yang mempekerjakan orang lain tetapi tidak memberikan upahnya padahal dia (pekerja) telah memenuhi pekerjaannya.” (HR. Ahmad dan Bukhari dalam Shaukani, VI: 35-36). ”Nabi melarang mempekerjakan orang tanpa menjelaskan upahnya
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana)
lebih dahulu.” (HR. Ahmad dalam , VI: 32). Dalam hadits lain disebutkan: ”Siapa saja yang mempekerjakan orang dia wajib menyebutkan upahnya.” ( , VI: 33). Upah harus dibayarkan sebelum ”keringatnya kering”, (tidak ditunda-tunda). Nabi saw mengatakan: ”Berikan segera upah pekerja sebelum keringatnya kering.” ( I: 76). Upah adalah hak pekerja dan kewajiban majikan. Jika majikan tidak memberi upah, maka pekerja berhak menuntutnya. Sebagian ahli fikih menegaskan bahwa pekerja boleh menahan barang milik majikan yang dihasilkan dari kerjanya sebagai jaminan jika majikan tidak membayarnya tanpa harus menunggu keputusan pengadilan/pemerintah. (Al-Kasani, IV: 204). PRT adalah manusia dengan seluruh kapasitas fisiknya yang terbatas. Ia berhak untuk mendapatkan istirahat yang cukup. Karena itu para majikan tidak dibenarkan membebani para pekerjanya di luar kemampuannya. Al-Quran mengajarkan bahwa Tuhan pun tidak pernah membebani makhluk-Nya dengan kewajiban-kewajiban yang tidak mampu ditanggungnya: ”Tuhan tidak membebani orang di luar kemampuannya.” (QS. alBaqarah [2]: 286). Nabi Muhammad saw., pernah menyatakan: “Sesungguhnya tubuhmu mempunyai hak.” Hak tubuh adalah hak untuk istirahat yang cukup, hak untuk sehat, hak untuk berdaya, dan hak untuk dihormati. Hak-hak pekerja–termasuk PRT di dalamnya-harus mendapatkan perlindungan. Sebab dalam etika Islam, seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain dan tidak dibenarkan menyakiti atau merendahkan sesamanya. Apa yang menjadi penderitaan seseorang seharusnya juga menjadi derita bagi dirinya. Terlepas dari semua itu, Negara harus menjadi ujung tombak dalam memberikan perlindungan dan jaminan atas hak-hak warganya apapun jenis kelamin, profesi, termasuk PRT. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 Huruf ayat 4 menyatakan, ”Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.” Pada ayat sebelumnya (ayat 2) UUD itu menegaskan, ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
243
244
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
G. Penutup Berdasarkan uraian di atas, pekerja rumah tangga merupakan pekerjaan yang identik dengan perempuan yang mengalami kekerasan baik dari rumah sampai kepada majikan dan juga ada stereotip serta ada ketidak adilan gender. Ini disebabkan karena konstruksi budaya masyarakat dari awal yang mengidentikkan perempuan sebagai pekerja domestik. Jarang sekali pekerja rumah tangga yang mendapatkan perlakuan seperti pekerja lainnya atau dianggap sebagai keluarga misalnya diberi kamar yang layak, diberi baju yang bagus, diberi waktu untuk ibadah, diberi waktu untuk kegiatan, diberi kepercayaan memegang uang, disekolahkan, bahkan dihormati ataupun dihargai seperti manusia pada umumnya. Ketika Pekerja Rumah Tangga ada masalah atau terjadi sesuatu yang berkaitan dengan kekerasan yang dialaminya baik fisik ataupun psikis, hukum tidak terjangkau olehnya karena sampai detik ini hukum belum mengatur sepenuhnya tentang pekerja rumah tangga yang ternyata menyumbang devisa negara yang cukup besar. Pekerjaan rumah bagi pemerintah, baik eksekutif, legislatif, Yudikatif, LSM, maupun masyarakat pada umumnya untuk dapat memanusiakan pekerja rumah tangga (PRT) dengan aturan dan perlakuan yang sewajarnya sebagai manusia samasama ciptaan Tuhan. Bagi kita sebagai masyarakat dan juga sesama makhluk, tidak ada salahnya ketika kita menghargai pekerja rumah tangga karena disadari ataupun tidak, kita sangat terbantu dengan adanya pekerja rumah tangga (PRT). Dalam perspektif Islam, pembantu rumah tangga tak ada bedanya dengan pekerja lain seperti pegawai pemerintah, pekerja kantor, pekerja perusahaan ataupun pekerja bagi individu lainnya. Definisi pekerja adalah setiap orang yang dipekerjakan dengan kompensasi upah atau gaji, apakah mereka menjadi pekerja pada individu, kelompok ataupun pekerja bagi negara. Pembantu rumah tangga termasuk kategori pekerja tersebut. Oleh sebab itu berlaku bagi dia hukum yang terkait dengan pekerja. Yaitu hukum dalam akad kerja mulai dari bentuk dan jenis pekerjaan, masa kerja, upah dan tenaga yang dicurahkan. Islam mengatur pergaulan suatu keluarga dengan khodimatnya. Keberadaan mereka memiliki posisi yang sangat
PEKERJA RUMAH TANGGA (PRT) _ (Annisa Listiana)
penting dalam kaitannya meringankan segala kesulitan muslim lainnya. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh sebab itu kita harus memperlakukan mereka dengan baik dan hormat sebagai sesama manusia muslim. Imam Ahmad dalam musnadnya mengeluarkan hadits: “Orang Mukmin adalah orang yang dikasihi. Tidak ada kebaikan, bagi siapa saja yang tidak mengasihi dan tidak dikasihi.” Khodimat adalah orang yang membantu meringankan pekerjaan rumah tangga. Karena sifatnya membantu maka ia tidak mengerjakan semua hal. Oleh karena itu perlu adanya kejelasan mengenai jenis pekerjaan apa saja yang akan dikerjakan oleh mereka. Ketentuan jenis pekerjaan ini harus jelas sejak awal mereka mulai bekerja. Demikian juga waktu bekerja mereka harus ada kejelasan. Kapan mereka harus istirahat dan mengerjakan keperluan pribadinya.
245
246
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
SUMBER RUJUKAN
Abu Bakar bin Mas’ud, Beirut: Dar al Fikr, 1996. Charles, Nickie, Feminism, The State and Social Policy, Hongkong: Macmillan Press, 2000. Hughes, Shirley The Troble With Jack, Portugal: Picture Corgi, 1989. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet.II, 1997. Marhamah Mujib, Kekerasan dalam Rumah Tangga Panduan bagi Konselor, Jakarta: Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan dan The Asia Foundation, 2000. Saul, Jennifer, Feminisme; Issues and Arguments: New York: Oxford University Press, 2003. al Suyuthi, Jalaluddin, Surabaya: al Hidayah, tt. As Syaukani, , Mesir: Maktabah Musthofa Al Baabi al Halaby wa Aulaadih, tt. Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13, Tahun 2003. Vandana Shiva, Bebas dari Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997. Wittgenstein, Ludwig, Tractatus Logico Phylosophicus, Terj. Inggris, London, Newyork: Routledge, 2004. Yayasan Jurnal Perempuan (Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan), Vol. 39, Jakarta, Cetakan Pertama, Januari, 2005. Yeo, Anthony, Konseling Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah, Jakarta: BPK Gunung Agung, 1999. Zainuddin Fannani, Restrukturisasi Budaya Jawa, 2000, Muhammadiyah Press, Cet.I.