BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Persoalan utama di negara berkembang seperti Indonesia di sektor ekonomi seperti kesulitan mencari pekerjaan. Apalagi bagi yang ingin bekerja sesuai dengan keahlian dimilikinya. Banyak lulusan Perguruan Tinggi (PT) yang menganggur atau hanya sebagai buruh/pekerja. Hal ini sesuai dengan temuan BPS, Susenas 2003. Diduga bahwa daya analisis, evaluasi, kreativitas, rasa perca diri, kemandirian serta keberanian mengambil risiko PT masih rendah (Sukirman, 2010). Jika dibuka lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, bukan berarti menjadi jaminan akan diterima dan langsung bekerja. Tahun 2006 Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta mencatat 39.622 pelamar telah melayangkan surat lamaran kerja untuk 950 lowongan yang ditawarkan. Kemudian tahun 2007, 110.000 pelamar kerja bersaing untuk mendapatkan 500 kesempatan kerja di Trans TV dan Trans7. Bekerja di luar negeri dengan menjadi TKI menjadi pilihan kebanyakan warga negara Indonesia, meski selama itu terpisah dengan keluarga bertahun-tahun lamanya dan dianggap rendah dan penuh risiko. Bahkan ketika 6.550 karyawan PT Dirgantara Indonesia terkena PHK tahun 2003, seorang mantan karyawan, sarjana
nuklir yang bekerja sebagai pendesain di bagian
Engineering Research terpaksa berjualan es krim (Ciputra, 2007). Pangkal utama persoalan di atas nampaknya karena ketergantungan untuk bekerja pada orang lain atau instansi tertentu. Padahal kesempatan untuk
1
berkreativitas terbuka lebar di sektor informal yang menurut Abdullah tidaklah terlepas dari konteks sosial budaya, baik yang melahirkan sistem ekonomi itu maupun yang memberi dukungan terhadap kelanjutan suatu sistem ekonomi (Abdullah, 1988: 2). Di kota Banjarmasin, peluang demikian dapat dilakukan melalui industri rumah tangga penjualan kain Sasirangan. Pilihan pada home industri atau industri rumah tangga pada usaha pembuatan dan penjualan kain sasirangan karena usaha ini umumnya dilakukan oleh orang Banjar di Kota Banjarmasin, sedangkan kain sasirangan adalah khas dari suku Banjar. Alasan demikian,
menurut Abdullah lebih mudah melihat
pengaruh kebudayaan terhadap aktivitas ekonomi. Ada hubungan erat antara aspek sosial, budaya, dan ekonomi dalam suatu masyarakat (1988: 2).
B. RUMUSAN MASALAH Penelitian ini tidak membahas pembuatan kain Sasirangan, atau mengenai motif tapi melihat aktivitas home industri dari penjualan dan pengembangan jaringan termasuk perekrutan karyawan. Sehingga rumusan masalah yang diajukan adalah: a. Bagaimanakah industri rumah tangga Benny Sasirangan dijalankan? b. Bagaimana pemilik Benny Sasirangan mengembangkan jaringan usahanya
2
BAB II TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengembangan industri kecil khususnya industri rumah tangga kain Sasirangan di kota Banjarmasin, yakni Benny Sasirangan terutama menjalankan usaha tersebut dari sebuah rumah yang dijadikan tempat usaha sekaligus tempat tinggal. Selanjutnya, penelitian ini bertujuan mengetahui kemampuan pemilik usaha dalam mempertahankan bisnisnya agar tetap lancar dan berkembang meskipun terdapat toko-toko besar yang menjual kain sasirangan di Kota Banjarmasin.
B. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini bagi peneliti sebagai sumbangan pengetahuan terutama mengenai semangat kewirausahaan pemilik industri rumah tangga. Bagi para pembaca atau pengambil kebijakan, industri rumah tangga memberikan peluang kerja di tengah kesulitan mencari lapangan kerja di sektor yang berskala besar baik pemerintahan maupun pihak instansi swasta, seperti perusahaan.
3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Kajian ekonomi dalam perspektif antropologi di Indonesia sebenarnya telah dilakukan oleh orang Barat. Salah satu di antaranya oleh Geertz dalam Penjaja dan Raja. Penelitiannya melakukan komparasi pada dua kota di Indonesia yakni Mujokoto di Jawa dan Tabanan, Bali. Geertz menggunakan perspektif weberian untuk memahami aktivitas kewirausahaan di kalangan santri di Jawa dan golongan bangsawan di Bali (Ahimsa-Putra, 2003: 5). Terdapat perbedaan yang dilakukan Geertz dalam menyajikan hasil penelitiannya. Di Mojokoto, Geertz membagi pembahasan mengenai tipe pasar, arus barang dan jasa, mekanisme pengatur, ciri-ciri sosial dan kebudayaan, ekonomi tipe firma: toko dan perusahaan, tiga buah toko, pertukangan dan perusahaan, industri rumah tangga dan perusahaan dan golongan pertengahan yang baru muncul dan masalah-masalahnya. Mengenai industri rumah tangga, Geertz menyajikan cerita tentang industri pembuatan tahu. Awalnya industri tahu dimonopoli orang Cina, kemudian seorang perempuan Jawa yang pernah bekerja dengan Cina mengembangkan usahanya sendiri sehingga dominasi orang Cina dapat dikalahkan oleh orang Jawa. Kemenangan orang Jawa atas orang Cina yang sangat tidak lumrah ini agaknya terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa industri tahu itu tidak diperlukan modal yang besar dan bahwa perusahaan tahu yang kecil sekalipun bisa mendapat keuntungan (Geertz, 1977: 71). Di Tabanan, Geertz terlebih dahulu menyajikan gambaran struktur masyarakat dan organisasi perekonomian, tipe-tipe pengelompokkan ekonomi,
4
aristokrasi Tabanan dan ekonomi firma, beberapa perusahaan modern dan revolusi kasta atasan dan batas-batas tradisi. Tidak seperti di Mojokoto, Tabanan identik dengan kemodernan dan berdasarkan sistem kelompok seperti Gabungan Dagang Rakyat Tabanan (Gadarata). Irwan Abdullah (1988) meneliti Pedagang Batik di Malioboro bahwa pilihan utama para pedagang menentukan barang jualan berupa batik karena derajat kepercayaan yang tinggi terhadap keuntungan yang bakal diperoleh dari usaha batik Serta dari risiko yang meskipun laba penjualan batik sangat kecil persatuannya. Akan tetapi, batik merupakan barang yang cepat laku dan frekwensi laku relatif teratur dibandingkan jenis barang lain (Abdullah, 1988: 29). Penelitian ekonomi dalam tinjauan antropologi dilakukan Alfisah (2005) terhadap masyarakat Banjar di Sekumpul, Martapura Kalimantan Selatan. Penelitian Alfisyah dengan setting sosial masyarakat Sekumpul yang religius, terutama keberadaan KH. Zaini Ghani atau sering disebut Guru Sekumpul yang membuka pengajian agama dan dihadiri ribuan jamaah setiap minggu. Praktek ekonomi pedagang berusaha memberikan porsi yang seimbang antara bausaha (bekerja) dan baibadah (beribadah). Bahkan salah satu cara memberikan kesan baik dalam usahanya, seorang pedagang menjalin hubungan dengan tuan guru (tokoh agama) dengan cara menghadiri pengajian, silaturahmi ke rumah tuan guru atau menjadi anak angkat tuan guru tersebut (2005: 131). Jika Alfisah meneliti terhadap pengaruh keagamaan orang Banjar dalam berdagang di Sekumpul. Muhaimin melihat pada praktis etika bisnis orang Banjar yang dibandingkan dengan etika dagang orang Cina. Hasil temuan penelitiannya,
5
pebisnis Banjar dari segi pengalaman agama lebih merujuk pada muamalah, tetapi tidak dapat dipercaya dari segi pemenuhan janji. Pebisnis Cina dapat dipercaya mutu kualitas barang, tetapi tidak bisa dipercaya dalam takaran, timbangan atau ukuran. Secara umum Cina lebih mengamalkan etika bisnis dibandingkan pebisnis Banjar (Muhaimin, 2007: 133). Penelitian lain, tentang Home industri Sasirangan di Kota Banjarmasin yang dilakukan oleh mahasiswa Muzakkir, dkk (2010) dari mahasiswa pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unlam Banjarmasin. Permasalahan penelitian tentang pembuatan sasirangan pada home industri Rubiyah Sasirangan dan kreativitas penjualan. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, perhatian peneliti terhadap industri rumah tangga masih menjadi pilihan utama. Namun, belum banyak terungkap adalah cara mengembangkan usaha tersebut agar tetap maju.
6
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian dan Informan Lokasi industri rumah tangga Benny Sasirangan sebagai tempat penelitian ini terletak di Jalan Cengkeh Rt 35 Nomor 79 Banjarmasin. Pilihan lokasi ini cukup menarik karena terletak di ujung jalan dan bukan tempat lintasan angkutan umum maupun pribadi. Artinya kalau orang datang memang benar-benar untuk tujuan membeli atau tertarik untuk melihat produk Benny Sasirangan. Informan dalam penelitian ini adalah Hj Nuriah yang berusia 41 tahun, merupakan pemilik Benny Sasirangan. B. Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan bersifat kualitatif yang dilakukan dengan tiga cara. Pertama, peneliti melakukan wawancara dengan Hj Nuriah mengenai aktivitas pekerjaan industri rumah tangga Benny Sasirangan. Wawancara juga dilakukan untuk menggali pengalaman yang bersangkutan dalam merekrut karyawan dan bisnis dengan pelanggan. Kedua, observasi yang dilakukan pada saat wawancara yakni mengamati aktivitas karyawan. Observasi juga dilakukan pada tata letak ruangan Benny Sasirangan termasuk penempatan kain sasirangan. Setelah beberapa kali kunjungan peneliti, dapat mengetahui jumlah kain Sasirangan sering berkurang. Ini menunjukkan terjadi penjualan kain Sasirangan dalam jumlah banyak. Ketiga, untuk melengkapi wawancara dan observasi, peneliti melakukan pengumpulan data melalui literatur atau buku yang berhubungan dengan penelitian.
7
C. Penyajian dan Analisa Data Dari data yang terkumpul, peneliti menyajikan dalam bentuk deskriptif naratif. Mula-mula peneliti menggambarkan latar penelitian, termasuk tempat untuk memajang kain dan pembuatan kain dengan cara demikian diharapkan memberikan kesan nyata bagi pembaca. Analisa data dilakukan sejak penelitian dilakukan dengan cara menghubungkan berbagai fenomena. Misalnya letak BENNY SASIRANGAN yang tidak jauh dari pertokoan besar, menarik untuk mengetahui hubungan dua tempat itu baik dalam konteks persaingan ataupun relasi.
8
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN a. Lokasi Penelitian Benny Sasirangan terletak di Jalan Cengkeh Rt 35 Nomor 79 Banjarmasin, atau sekitar 600 meter dari jalan Gatot Subroto. Di ujung jalan Gatot Subroto berhubungan langsung dengan jalan utama di Kota Banjarmasin yakni jalan Ahmad Yani. Sepanjang jalan itu terdapat pertokoan seperti Citra Sasirangan dan Irma Sasirangan. Dari namanya, toko-toko besar itu menjual kain Sasirangan, sedangkan jarak pertokoan ini dengan Benny Sasirangan sekitar 2 km. Menemukan toko-toko besar yang menjual kain Sasirangan lebih mudah dibandingkan menemukan letak industri rumah tangga Benny Sasirangan. Selain berada di dalam jalan kecil dan berada hampir di ujung jalan, juga tidak ada papan nama di jalan Gatot Subroto yang menunjukkan arah Benny Sasirangan. Kecuali dengan cara melintasi rumah yang terdapat industri Benny Sasirangan sendiri, cirinya terdapat papan nama di bagian atas pagar rumah dan di tempelkan tepat di samping pintu rumah. Pemilik Benny Sasirangan bernama H. Nuriah berusia 41 tahun, memulai usaha kerajinan Sasirangan sebagai tenaga upahan sekitar tahun 1985. Beberapa tahun kemudian ia memulai usaha sendiri dengan menempati rumah kontrakan di daerah Kelayan. Kemudian sejak tahun 1995, Hj. Nuriah memulai usahanya benar-benar mandiri di rumah sendiri. Hj Nuriah memiliki tiga orang anak dan
9
nama Benny Sasirangan diambil dari nama putra sulungnya yang kini duduk di bangku kuliah. Gambar 1
Ket: Papan nama dan pintu masuk Benny Sasirangan. Foto: Nasrullah
Di rumah pribadinya, ia mengkhususkan dua buah ruangan untuk bisnis home industri kain Sasirangan yakni untuk ruang memajang kain dan ruangan tempat pembuatan kain sasirangan. Untuk ruang pajangan sekaligus penjualan terdapat di salah satu bagian rumah mirip garasi dengan ukuran 3x5 m. Di depan ruangan selain terdapat papan nama, di bagian pintu digantungkan papan yang bisa dibolak-balik dengan tulisan BUKA atau TUTUP. Dari depan pagar tidak terlihat barang pajangan, seperti kain Sasirangan ataupun baju karena terlindung kaca rumah berwarna hitam. Jika tepat berada di depan pintu, akan terlihat samarsamar kain pajangan. Meski pintu tampak selalu tertutup, tapi bagi pengunjung atau pembeli yang datang dapat menekan bel di samping pintu untuk memanggil
10
pemiliknya. Terdapat dua buah kursi untuk pengunjung duduk sejenak menunggu pemilik membuka pintu. b. Menjalankan Usaha: Barang Pajangan hingga Pembuatan Kain Sasirangan Ruangan untuk memajang hasil kerajinan dibagi tiga deretan. Deretan pertama yang terlihat langsung pada bagian pintu masuk, terdapat beberapa buah patung perempuan yang dibalut kain Sasirangan, sehingga memudahkan pengunjung atau pembeli untuk memilih kain. Kain-kain itu terdiri dari untuk pakaian bawahan (daster), kain baju, selendang dan dilengkapi aksesori kalung dari kerajinan batu. Setelah deretan patung, terdapat tempat berbagai jenis baju yang digantungkan. Umumnya baju kaos oblong berukuran M, L dan XL dengan motif sasirangan tersedia berbagai pilihan warna. Selain itu, terdapat baju gaul anak muda. Menurut Hj Nuriah, baju-baju untuk anak muda tersebut dibeli di Surabaya sebagai barang dagangan anaknya, Benny. Masih di deretan pertama, terdapat meja dan kursi duduk digunakan untuk melakukan pembayaran. Tampak beberapa kartu nama bertebaran di atas meja yang ditutupi kaca tembus pandang seukuran selebar meja, di bagian samping ditempelkan beberapa nota penjualan serta catatan pesanan. Di belakang meja itu terdapat pintu yang menghubungkan bagian dalam rumah dan ruangan Benny Sasirangan. Di jejeran tengah terdapat tiga lemari kaca berdempetan dengan ketinggian 1,5 m. Jejeran lemari ini berfungsi sebagai etalase menyimpan berbagai jenis kain Sasirangan dengan berbagai macam motif dan ukurannya. Etalase itu juga berfungsi sebagai pemisah ruangan antara para pembeli maupun penjual untuk mengambil kain. Di atas etalase bagian luar (sebelah kanan pintu masuk) dan
11
bagian dalam terdapat beberapa patung perempuan berukuran separo badan yang dipasangkan pakaian jadi dari kain Sasirangan. Di atas etalase bagian tengah dibiarkan kosong, gunanya selain memudahkan pembeli melihat kain yang terlipat rapi di dalam juga untuk memudahkan menggelar kain oleh penjual dan tawar menawar harga. Etalase ketiga sebagai tempat untuk menggantungkan baju Sasirangan kaum pria yang berbahan dasar kain dengan berbagai ukuran, motif dan pilihan harga. Gambar 2
Jejeran kain Sasirangan Kotak untuk menyiam- Hj Nuriah pemilik yang dibalut pada patung Benny Sasirangan ikut pan kain Sasirangan bekerja menjahit kain dengan tangan
Jejeran ketiga yang berada dekat dinding rumah bagian, terdapat lemari kayu untuk menyimpan kain Sasirangan dan di atasnya dipasang etalase kaca juga sebagai tempat kain sasirangan yang sudah dilipat. Bagian paling atas etalase disusun beberapa buah kotak bertulisan Benny Sasirangan. Di sebelah kanan, lima
12
buah patung perempuan ukuran penuh dengan dibalut kain Sasirangan berbagai motif. Selain tiga jejeran itu, terdapat sebuah lemari berukiran yang diletakkan menghadap keluar di ruang bagian paling dalam untuk meletakkan kain Sasirangan kualitas terbaik. Jenis kain Sasirangan yang tersedia di Benny Sasirangan berbahan dasar Katun, Polisima, Semi Sutra dan Sutra, sedangkan motifnya seperti Turun Dayang, Bayam Raja, Tempuk Manggis, Kulit Kurikit dan motif andalannya adalah Srigading yang bahannya khusus dibuat dari Sutera. Dari jenis bahan kain menentukan harga kain per meter, dan rata-rata kain yang disediakan berukuran dua hingga tiga meter. Untuk kain Sasirangan jenis katun dan polisima Hj. Nuriah mematok harga kain antara Rp. 20.000,- hingga Rp. 40.000,- permeter sedangkan untuk kain dari bahan Sutra dan Semi Sutra harga paling murah Rp. 40.000,permeter. Selain ruangan untuk pajangan kain kain, sekaligus penjualan. Hj. Nuriah memiliki ruangan yang terdapat di bagian dalam rumah berukuran 5 x 5 meter untuk pembuatan kain Sasirangan. Di dalam ruangan itu terdapat 3 orang karyawan direkrut dari keluarganya. Mereka bekerja untuk membuat pola kain dengan cara menjahit secara manual dengan tangan menggunakan benang putih mengikuti lukisan kain yang juga berwarna putih. c. Jejaring Usaha: Dari Karyawan hingga Pelanggan Sebagai industri rumah tangga, kreativitas Hj Nuriah sebagai pemilik sangat diperlukan. Meskipun jumlah karyawan tetap di dalam rumah hanya 3 orang, ia juga mempekerjakan tenaga kerja sesuai order, yakni para penjahit
13
pakaian dan tenaga penjahit untuk pembuatan kain. Tenaga pembuatan kain melalui jahitan manual berjumlah 50 orang dikoordinir oleh tiga orang yang datang setiap minggu ke rumahnya sekaligus mengambil gaji. Tiga orang koordinator itulah yang membagikan gaji 50 orang tenaga penjahit. Benny Sasirangan meskipun hanya sekedar industri rumah tangga, ternyata produk kain Sasirangan tidak hanya dijual kepada pembeli yang datang ke rumah, tapi beberapa toko membeli produk Benny Sasirangan untuk dijual. Citra Sasirangan salah satu toko yang menjual kain Sasirangan di jalan Ahmad Yani km. 4 Banjarmasin, secara rutin mengambil 100 potong (satuan potong adalah 2 meter kain) kain Sasirangan setiap bulan. Menurut Hj. Nuriah, ada beberapa toko kecil di kota Banjarmasin mengambil kain dari Benny Sasirangan. Mendapatkan kain Sasirangan dari Benny Sasirangan dilakukan dengan pesanan baik melalui telepon atau datang langsung, setiap kain Sasirang yang diambil langsung dibayar. Penjualan kain Sasirangan produk Benny Sasirangan, juga merambah di luar kota Banjarmasin hingga ke Pulau Jawa. Di kota Pagatan kabupaten Tanah Bumbu, pemilik toko membeli kain Sasirangan secara rutin setiap bulan sebanyak 100 potong, begitu juga dari Pelaihari membeli 100 potong setiap bulan. Pesanan di Kota Berabai ibukota kabupaten Hulu Sungai Tengah, menurut Hj. Nuriah meskipun ada tetapi jumlah bervariasi setiap bulan. Pelanggan dari pulau Jawa, berasal dari Madiun dan Malang. Namun, usaha ini dilakukan semata-mata atas dasar kepercayaan saja. Menurut Hj. Nuriah, dia tidak pernah tahu usaha atau toko dari para pelanggannya itu. Bahkan ia hanya mengenal orang dari suara melalui telepon saja.
14
Hj Nuriah mengakui khawatir kalau terjadi penipuan, tapi ia tetap bertahan pada sikap saling mempercayai. Ketika kain Sasirangan dikirimkan dan telah diterima oleh pelanggan, ia pun mendapatkan kiriman uang melalui transfer. Meskipun kadang-kadang ia harus bersabar beberapa hari menunggu kiriman uang. Ia juga pernah mengalami menunggu lama hingga menerima pembayaran kain Sasirangan senilai Rp 15 juta dari pelanggannya di Tanjung. “Bagi saya mungkin itu cobaan bagi kita, barangkali ada harta kita yang tidak baik” kata Hj. Nuriah. d. Prinsip Usaha Hj Nuriah Pemilik Benny Sasirangan Bagi Hj Nuriah dalam menjalankan Benny Sasirangan yang telah dilakukan lebih dari 20 tahun menggunakan prinsip saling berbagi keuntungan. Ia tidak pernah menghitung keuntungan pribadi yang didapatkan setiap bulan. Kalau orang bertanya demikian, ia tidak akan dapat menjawab dengan pasti. Ia mengatakan: “Ada ai orang betakun wan aku pendapatan perbulan. Aku kada tahu, kada mahitungnya. Nang penting orang nang bagawi wan aku kawa makan jua” (Ada orang yang bertanya kepada saya jumlah pendapatan perbulan. Saya tidak tahu, tidak menghitungnya. Yang penting orang bisa bekerja dengan aku dan bisa makan juga). Ia juga mengikuti beberapa pelatihan dan dianjurkan untuk menghitung keuntungan setiap bulan, tetapi belum dilaksanakan. Putra pertamanya, Benny juga menganjurkan demikian, serta ingin mengajarkan Hj Nuriah menghitung keuntungan melalui komputer. Nampaknya Hj Nuriah belum melihat angka-angka keuntungan perbulan, tapi ia lebih membandingkan kehidupan masyarakat kecil yang perlu mendapat bantuan. “Mun kita tulak ka Mall tu, kelihatan kalo gaya orang nang pina sugih, kaya kadada susahnya. Padahal mun kita kaluar dari mall, banyak banar
15
orang nang hidup susah, kada kawa menukar baju” (Kalau kita berangkat ke mall, kelihatan sekali gaya orang kaya seperti tidak ada yang miskin. Padahal kalau kita keluar dari mall, banyak sekali orang yang hidup susah tidak bisa membeli baju). Begitu pula kalau Hj Nuriah pergi keluar kota dan usahanya istirahat sementara karena ingin berlibur, terasa sekali ketergantungan orang-orang yang bekerja dengannya. Pengalamannya pergi ke pulau Jawa selama seminggu untuk mengunjungi maka mertua, Hj Nuriah sering mendapat telepon pekerjanya dari Banjarmasin terutama yang bekerja sebagai penjahit menanyakan kapan bekerja kembali. Sehingga ia pun mempercepat kepulangannya. Bagi Hj Nuriah kalau ia bisa membantu nafkah orang melalui usahanya maka orang lain pun akan membantunya. Selama bekerja ada beberapa karyawannya yang berhenti dan membuka usaha sendiri, bagi Hj Nuriah hal demikian bukanlah sebagai saingan. Justru ia bangga karena mantan karyawannya tersebut sudah bisa mandiri. Selain itu, ia pun masih melanjutkan usaha dengan beberapa mantan karyawannya, yakni menjual obat-obatan untuk pewarna kain Sasirangan. Adapun para pelanggan dari luar Banjarmasin hingga dari luar pulau Jawa, benar-benar dijalankan atas prinsip kepercayaan. Meskipun demikian, ia berusaha menghindari kemungkinan penipuan dengan cara sekali mengirimkan kain Sasirangan dengan jumlah tertentu, kemudian menerima pembayaran. Cara itu, setidaknya mengurangi resiko kerugian dalam jumlah banyak dan dilakukan berulang-ulang. Prinsip kepercayaan itulah, bagi Hj Nuriah menjadi modal untuk pemasaran produk. Selain kain Sasirangan dijual dengan harga yang lebih murah dipertokoan dan kualitasnya terjamin, ia mendapat kepercayaan dari pembeli dan promosi
16
disebarkan dari mulut ke mulut. Dalam menawarkan harga kain, Hj Nuriah mematok harga pas kepada pembeli eceran, kalaupun ada penawaran ia beralasan harga itu lebih murah dari toko. Ia bersedia mengurangi harga jual, apabila pembelian dilakukan dalam jumlah yang banyak. Sikap ini meskipun agak kaku, tapi tidak membuat orang jera untuk membeli. Peneliti menemukan kain di dalam etalase sering berkurang atau berganti dengan baru, ini menunjukkan pembelian berjalan dengan lancar. Hj Nuriah tidak khawatir sepi pemesanan, setiap tahun ia menjalani sasamasa sibuk memenuhi pemesanan kain Sasirangan dari bulan Maret hingga bulan Oktober. Ia mengakui sering kewalahan memenuhi pemesanan orang. Oleh karena itu, Hj Nuriah menyadari resiko keterlambatan sehingga disiasati dalam menentukan jadwal akhir menyerahkan kain pesanan. Apabila dirasakan sanggup menyelesaikan tanggal 20 misalnya, Hj Nuriah menjanjikan untuk menyelesaikan tanggal 30 sehingga ia bisa menepati janji. Jeda waktu 10 hari itu dilakukannya untuk melihat kembali kualitas barangnya. Dari usaha yang dijalankan tersebut menimbulkan keyakinan bahwa ada keuntungan yang didapatkan, meskipun bagi oleh pemiliknya tidak dihitung nominal setiap bulan. Namun, bukan berarti keuntungan itu tidak diharapkan. Secara sederhana Hj Nuriah mengatakan: “Yang penting aku kawa membantu laki yang begawi swasta. Imbah itu kawa menguliahkan dan manyakulahakan anak-anakku” (Yang penting aku bisa membantu suami (maksudnya tidak bergantung kepada pekerjaan suami) dan bisa membiayai kuliah dan sekolah (tiga orang) anaknya).
17
B. PEMBAHASAN Dari paparan hasil penelitian dapat diketahui bahwa usaha kain Sasirangan di kota Banjarmasin, memiliki jaringan hingga pelosok kota yang melibatkan masyarakat kelas bawah. Ini menunjukkan terdapat tiga level usaha, yakni yang dilakukan oleh pertokoan besar, industri rumah tangga seperti Benny Sasirangan dan masyarakat penjahit. Penelitian ini melihat home industri berada di level tengah. Selain memproduksi kain Sasirangan di rumah sendiri, juga melibatkan para tenaga kerja lepas masyarakat kelas bawah di kalangan perkotaan untuk menjahit kain Sasirangan. Interaksi bisnis yang dilakukan sangat dilandasi atas saling percaya, serta ketergantungan. Bagi tenaga penjahit memerlukan keberlangsungan pekerjaannya, sedangkan bagi home industri tidak mementingkan keuntungan materi, tapi ada kepuasan dapat membantu masyarakat melalui pekerjaan kain Sasirangan. Jaringan bisnis ini berlangsung seperti simbiosis mutualisme (hubungan saling menguntungkan) sehingga kepercayaan saling terjaga. Oleh karena itu, bagi pengusaha industri rumah tangga, ia sangat bersentuhan dengan kehidupan masyarakat kelas bawah. Sehingga keuntungan tidak hanya dilihat dari angkaangka di atas kertas, melainkan tingkat kepuasan apabila dapat membantu orang lain. Keberadaan toko besar menjual kain Sasirangan yang berada di jalan raya sehingga memudahkan akses orang untuk membeli, ternyata tidak mengganggu keberadaan home industri sasirangan. Justru mereka membutuhkan kain Sasirangan dari pengusaha industri rumah tangga. Pengusaha industri rumah
18
tangga tidak memiliki ketergantungan karena pemasaran yang dilakukan melalui tiga cara: Dijual di rumah itu sendiri, dijual kepada toko-toko dan dipasarkan keluar kota. Terutama kepada para pembeli kain dalam jumlah banyak dari luar daerah, yang ada hanya hubungan bisnis tanpa tatap muka. Kalaupun ada barangkali hanya kepentingan tertentu, selebihnya hubungan dilakukan melalui telepon dan hp. Komunikasi dilakukan apabila ada pemesanan dan pengiriman serta penerimaan uang.
19
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Usaha home industri kerajinan kain Sasirangan melibatkan masyarakat kelas bawah sebagai tenaga kerja. Bagi pemilik home industri dilakukan atas prinsip saling percaya, ketergantungan dan saling membantu. Usaha ini ternyata mampu memberikan kontribusi dari sektor ekonomi bagi kedua belah pihak. Artinya pada saat pekerjaan sulit didapatkan, industri rumah tangga dapat bertahan karena aktivitas yang dilakukan mengakar dalam tradisi sehari-hari. Hingga sekarang unsur saling mempercayai akan memperkuat jaringan usaha, dan terjadi saling ketergantungan. Hal ini tidak hanya berlaku antara pemilik industri rumah tangga dengan karyawan lepas, tetapi juga dengan para pelanggan. Buah dari kepercayaan adalah promosi dari mulut ke mulut yang masih efektif dilakukan.
B. SARAN 1. Hubungan timbal balik antara pengelola industri rumah tangga dan pertokoan perlu dipertahankan agar terhindar dari monopoli penjualan. 2. Pemerintah perlu memperhatikan harga jual Sasirangan di pertokokan, sehingga tidak terjadi perbedaan besar di tingkat bawah.
20
3. Mengingat usaha industri rumah tangga dapat menyerap tenaga kerja, pembinaan terhadap pengembangan industri ini sangat diperlukan sebagai usaha perekonomian rakyat
21
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, 1988. Laporan Penelitian Pedagang Batik di Malioboro Persfektif Antropologi. Pusat Penelitian Kependudukan UGM: Yogyakarta. Ahimsa-Putra, HS (editor). 2003. Ekonomi Moral, Rasional dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa Esei-esei Antropologi Ekonomi. Kepel Press: Yogyakarta. Alfisyah, 2006. Etika Agama dan Perilaku Ekonomi Orang Banjar (Studi Atas Pedagang Sekumpul), Tesis Mahasiswa Pascasarjana Antropologi, Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Ciputra, 2007. Pentingnya Kewirausahaan dalam Pendidikan Tinggi dan Pemecahan Masalah Bangsa. Yayasan Ciputra Entreprenir: Yogyakarta. Geertz, Cilfford, 1989. Penjaja dan Raja. Yayasan Obor Indonesia: Yogyakarta. Muhaimin, 2007. Perbandingan Etika Bisnis Etnik Cina & Pebisnis Lokal, Antarsari Press: Banjarmasin Muzakkir, dkk. 2010. Rubiyah, Home Industri Sasirangan di Kota Banjarmasin, makalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi, FKIP Unlam, Banjarmasin. Sjairin, Sjafri, dkk. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta
22
JARINGAN BISNIS INDUSTRI RUMAH TANGGA BENNY SASIRANGAN KOTA BANJARMASIN
Oleh: Sigit Ruswinarsih, S.Sos (Ketua) Alfisyah, S.Ag., M.Hum (Anggota) Dra. Rochgiyanti, M.Si (Anggota) Nasrullah, S.Sos.I., M.A (Anggota) Syahlan Mattiro, SH, M.Si (Anggota) Dibiayai oleh dana SPP Program Studi Pendidikan Sosiologi
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN OKTOBER 2010
23