Proyek GAMBUT - UNOPS 96764/2016/TEI-CU/01
Pedoman Pengguna-Akhir untuk Meningkatkan Kapasitas KPH Dalam Mempergunakan FRS Dr. Shiv Someshwar Brittney Melloy
Daftar Isi
Akronim .......................................................................................................................... 2 I. Kata Pengantar ............................................................................................................ 3 II. Ikhtisar Peran, Arsitektur dan Tata Pembiayaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ............................................................................................................................. 5 1. Peran dan Fungsi KPH Saat Ini ........................................................................... 5 2. Arsitektur Institusional KPH ............................................................................... 9 3. Aspek Anggaran KPH ........................................................................................ 10 III. Peran KPH dalam Manajemen Kebakaran Hutan.................................................. 12 IV. Kapasitas Staf KPH ................................................................................................. 14 V. Memanfaatkan FRS untuk Tanggung Jawab KPH dalam Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan ..................................................................................................... 16 VI. Kesimpulan ............................................................................................................ 25 Referensi ...................................................................................................................... 27 Lampiran ..................................................................................................................... 29
Akronim APBN APBD BLU BLUD BMKG BRG Brigdalkarhutla CCROM CU Dalkarhutla FDRS FMU FRS HPH HTI HTR IPB Karhutla KMS KPH KPHK KPHL KPHP M&E KLHK KK POSNAS RBA Renstra SST TRGD UN UNOPS
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Badan Layanan Umum Badan Layanan Umum Daerah Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Badan Restorasi Gambut) Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Center for Climate Risk and Opportunity Management at the Institut Pertanian Bogor Columbia University Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Fire Danger Rating System Forest Management Unit (Kesatuan Pengelolaan Hutan, KPH) Fire Risk System Hak Pengusahaan Hutan Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Rakyat Institut Pertanian Bogor Kebakaran Hutan dan Lahan Karhutla Monitoring System Kesatuan Pengelolaan Hutan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Monitoring and Evaluation Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Kehutanan Prosedur Standar Nasional Pencegahan Karhutla Rencana Bisnis dan Anggaran Rencana Strategis Sea Surface Temperature Tim Restorasi Gambut Daerah United Nations United Nations Office for Project Services
Laporan ini merupakan salah satu rangkaian untuk proyek “Menghasilkan Tindakan Antisipatif untuk Pemanfaatan Lahan Gambut Tropis yang Lebih Baik (GAMBUT)”. Proyek UNOPS Nomor 96764/2016/TEI-CU/01.
I.
KATA PENGANTAR
Sejak berdirinya model Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang pertama pada tahun 2007,1 KPH dipromosikan sebagai kunci bagi pengelolaan hutan lestari di tingkat lapangan, di hutan negara Indonesia. Pengembangan KPH menandai langkah signifikan untuk meningkatkan tata kelola di sektor kehutanan, peka terhadap kebutuhan dan konteks lokal sekaligus memperkuat pengelolaan hutan. Amanat tanggung jawab kenegaraan mereka telah meningkat seiring keberadaan KPH yang terus didirikan di seluruh Indonesia. Yang paling signifikan, peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan, yang diumumkan pada bulan April 2016, menetapkan peran sentral pada KPH dalam mencegah, mengelola dan menekan kebakaran hutan dan lahan.2 Sebelum peraturan tersebut ditetapkan, KPH tidak memiliki peran yang jelas dalam pencegahan kebakaran hutan. Seiring implementasi dari peraturan menteri baru mengenai pengendalian kebakaran hutan dan lahan berlangsung, adalah penting bahwa KPH memiliki alat dan sumber daya yang diperlukan untuk mewujudkan ambisi regulasi tersebut. Sementara sistem manajemen kebakaran hutan di Indonesia cenderung reaktif dalam menanggapi kebakaran setelah terjadi, peraturan baru ini menempatkan penekanan yang sama pada upaya pencegahan, dengan KPH memimpin tindakan pencegahan di lapangan.3 Fire Risk System (FRS) online
1 Landasan
hukum bagi KPH dimandatkan dalam UU No. 41/1999. Dengan nasionalisasi KPH
2 Pemerintah
Indonesia (2016). “Regulasi No. P.32/MenLHK/ Setjen/ Kum.1/3/2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.” (Terjemahan Draft Bahasa Inggris) ditetapkan pada 18 April 2016. Jakarta, Indonesia. 3 Someshwar,
S. and B. Melloy (2016). “Use of Fire Risk System Capabilities to Enhance Effectiveness of POSNAS”. Laporan CU untuk Proyek Gambut UNOPS. (Tidak dipublikasikan).
yang dikembangkan oleh Columbia University (CU), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melengkapi KPH dengan alat yang berharga untuk meramalkan risiko kebakaran probabilistik dan pemetaan kerentanan daerah gambut terhadap api yang diperlukan untuk KPH agar berhasil dalam melakukan tanggung jawab mereka terhadap pencegahan dan pengelolaan kebakaran hutan. Dalam laporan ini, kami memberikan rekomendasi kepada KPH untuk memanfaatkan iklim-informasi pada prakiraan resiko kebakaran hutan dan lahan melalui FRS untuk mencegah dan mengelola kebakaran hutan. Laporan ini membangun dari Laporan CU sebelumnya untuk proyek Gambut pada penggunaan kemampuan FRS dalam pelaksanaan “Prosedur Operasi Standar Nasional tentang Pencegahan Kebakaran' Hutan dan Lahan (Someshwar & Melloy 2016). Fungsi FRS memungkinkan pengembangan strategi risiko kebakaran jangka panjang dan rencana manajemen yang ditekankan dalam POSNAS. Pemanfaatan FRS di tingkat KPH akan meningkatkan sistem pengelolaan kebakaran hutan Indonesia dan mewujudkan komitmen pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan di semua situasi lapangan. Laporan ini disusun dalam empat bagian substantif. Bagian pertama terdiri dari ikhtisar singkat dari peran dan fungsi saat ini, arsitektur institusional, dan aspek anggaran KPH. Bagian kedua menjelaskan peran KPH dalam pengelolaan kebakaran hutan seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri tentang kebakaran hutan dan lahan. Pada bagian ketiga, kami menyoroti kemampuan staf KPH saat ini. Akhirnya, di bagian terakhir kami membahas pemanfaatan fungsionalitas FRS khusus untuk meningkatkan kemampuan KPH dalam mencegah, mengelola dan menekan kebakaran hutan dan lahan.
II. IKHTISAR PERAN, ARSITEKTUR DAN TATA PEMBIAYAAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) Pada bagian ini kita membahas tiga aspek substantif KPH yang menyoroti peran penting dari KPH di sektor kehutanan Indonesia. Mereka adalah peran dan fungsi utama KPH saat ini, perihal arsitektur kelembagaan dan sifat dari dukungan anggaran.
1. Peran dan Fungsi KPH Saat Ini Bagian ini membahas peran dan fungsi KPH saat ini sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan kunci. Landasan hukum bagi KPH pertama kali disahkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Hukum ini diamanatkan untuk pembentukan wilayah pengelolaan hutan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan.4 Fungsi KPH lebih lanjut diartikulasikan dalam Peraturan Pemerintah no. 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Pasal 28 dari peraturan yang terakhir tersebut mengklasifikasikan KPH ke dalam tiga kategori berdasarkan jenis yang paling dominan ditemukan di tiap kategori.5 Kategori-kategori itu adalah: KPH Lindung (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung atau KPHL) untuk melindungi sistem pendukung kehidupan yang dapat mengatur air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah; KPH Produksi (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi atau KPHP) dengan fungsi utama memproduksi hasil hutan; dan KPH Konservasi (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi atau KPHK) dengan fungsi utama konservasi tanaman dan margasatwa.6
4 Pemerintah
Indonesia (1999). “UU No. 41/1999 perihal Kehutanan” (Bahasa Indonesia). Ditetapkan pada 30 September 1999 di Jakarta, Indonesia. 5 Pemerintah
Indonesia (2004). “UU No. 44/2004 perihal Perencanaan Kehutanan” (Bahasa Indonesia). Ditetapkan pada 18 October 2004 di Jakarta Indonesia.
Banyak Konservasi KPH merupakan taman nasional, termasuk cagar alam dan cagar alam. Meskipun kategori tiga klasifikasi, berbagai hutan dapat terdiri dari suatu KPH. Mereka termasuk daerah dengan lisensi yang meliputi wilayah hutan alam dan hutan tanaman, seperti Lisensi Hak Pengusahaan Hutan atau HPH, Hutan Tanaman Industri atau HTI, dan (Hutan Tanaman Rakyat atau HTR, serta area yang lebih kecil meliputi desa, masyarakat, hutan budaya, daerah lisensi desa kecil, dan daerah tanpa lisensi (wilayah Tertentu).7 KPH muncul di garis depan prioritas pembangunan nasional semenjak diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6/2007 tentang Pendirian Sistem Hutan, dan No. 3/2008 tentang Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.6/Menhut-II/2010 pada tahun 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan (di KPHL dan KPHP daerah). Mengalir dari peraturan ini, pekerjaan KPH secara singkat adalah sebagai berikut (Kartodihardjo et al, 2011): •
Melakukan perencanaan penggunaan hutan dan batas demarkasi di wilayah KPH
•
Mempersiapkan rencana pengelolaan hutan untuk wilayah KPH, termasuk rencana pengembangan organisasi KPH
•
Melakukan bimbingan, monitoring dan evaluasi kinerja dalam pengelolaan hutan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan dan izin penggunaan kawasan hutan, termasuk di bidang rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam
6 Djajono, Ali, Lilit Siswanty dan Yosephin Shinta Aprilla (2011).
Legislation related to Forest Management Units (FMU). Jakarta: Direktorat Area Pengelolaan dan Persiapan Pemanfaatan Area Hutan 7 Kartodihardjo,
Hariadi, Bramasto Nugroho and Haryanto R. Purto (2011). Forest Management Unit Development (FMU): Concept, Legislation and Implementation. Ed. Ali Djajono dan Lilit Siswanty. Jakarta: Direktorat Pengelolaan Area dan Persiapan Pemanfaatan Area Hutan.
•
Melakukan rehabilitasi dan reklamasi hutan
•
Melakukan perlindungan hutan dan konservasi alam
•
Melaksanakan pengelolaan hutan di daerah-daerah tertentu untuk KPH yang menerapkan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
•
Inovasi dan operasi pengelolaan hutan
•
Menegakkan dan menjunjung tinggi hukum kehutanan, termasuk melindungi dan mengamankan daerah
•
Mengaktifkan peluang investasi untuk mendukung pencapaian tujuan pengelolaan hutan lestari
Pasal 3 Peraturan Pemerintah P.6/Menhut-II/2010 selanjutnya menetapkan tugas dan fungsi KPH Produksi dan Lindung menjadi sebagai berikut (Djajono et al 2011.): •
•
Melakukan pengelolaan hutan, termasuk: o
Perencanaan penggunaan hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
o
Memantau dan mengendalikan pemanfaatan dan penggunaan hutan oleh pemegang izin
o
Pemanfaatan, rehabilitasi dan reklamasi hutan
o
Perlindungan hutan dan konservasi alam.
Menguraikan pelaksanaan kebijakan kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota
•
Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan termasuk perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
•
Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan pengelolaan hutan
Peraturan ini mendorong pembentukan 120 Model KPH
di tahap pertama
pembangunan KPH sebagai bagian dari Rencana Strategis Departemen Kehutanan (Renstra) untuk 2010-2014.
8
Dari 120 Model KPH yang dikembangkan, 80
merupakan tipe KPHP dan 40 merupakan tipe KPHL.
Renstra Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini untuk 2015-2019 menguraikan rencana Kementerian untuk membangun total 629 KPH, yang terdiri dari 347 KPHP, 182 KPHL dan 100 KPHK (non-Taman Nasional).9 Semua KPH diharapkan akan beroperasi penuh pada tahun 2019.10 Saat ini hanya hutan negara yang berada di bawah lingkup KPH. Namun, pejabat senior dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yakin bahwa ruang lingkup KPH dapat diperluas di masa depan untuk memasukkan tanah pribadi juga.11 Sebuah peran formal di pengendalian dan pengelolaan kebakaran lahan dan hutan tidak dipertimbangkan dalam framing awal dan tahap pengembangan KPH. Dari Peraturan Pemerintah yang ditinjau di sini, adalah jelas bahwa tugas utama mereka ialah pengelolaan hutan, dan secara lebih luas ialah pemeliharaan jasa ekosistem. Walaupun Renstra KLHK untuk 2015-2019 ini mengidentifikasi kebutuhan untuk meningkatkan fasilitas dan prasarana KPH untuk melindungi hutan dan mengendalikan kebakaran hutan, ia tidak menguraikan peran khusus dari KPH dalam mencegah dan menekan kebakaran (Pemerintah Indonesia 2015, Halaman 17). Namun, seperti yang disebutkan sebelumnya, pada bulan April 2016 Peraturan Kementerian tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan tanggung jawab yang signifikan terhadap KPH untuk pencegahan dan 8 Pemerintah
Indonesia (2010). “Kementerian Kehutanan Regulasi No. P.51/Menhut-II/2010 perihal Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2014” (Bahasa Indonesia). Ditetapkan pada 31 December 2010 di Jakarta, Indonesia. 9 Pemerintah
Indonesia (2015). “Lampiran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Regulasi P.39/Menlhk-Setjen/2015 Rencana Strategis 2015-2019” (Bahasa Indonesia). Ditetapkan pada13 August 2015 di Jakarta, Indonesia. 10 Wawancara
dengan pejabat kantor KPHL, Kementerian Lingkungan HIdup dan Kehutanan
Juni 2016. 11 Wawancara
dengan fakultas Departemen Pengelolaan Hutan Institut Pertanian Bogor, Juni 2016.
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Kami membahas perkembangan baru ini dalam bagian III laporan ini.
1. Arsitektur Institusional KPH Wilayah KPH terutama dinyatakan berdasarkan pada karakteristik lahan, batas administrasi, jenis hutan dan izin pemanfaatan, kondisi DAS, hukum adat, dan kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Pemerintah federal, provinsi, dan lokal yang bertugas untuk menetapkan wilayah KPH. Peran dan tanggung jawab dari kabupaten, regional dan pemerintah pusat sehubungan dengan KPH yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah [Pusat], Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota, Sub-sektor 8-18, sebagai berikut:12 •
Pemerintah Pusat: Menetapkan norma-norma, standar, prosedur dan kriteria untuk pembentukan KPH dan menentukan pembentukan dan pelaksanaan KPH Konservasi/Taman Nasional.
•
Pemerintah Provinsi: Menentukan pembentukan dan zonasi KPH Lindung dan Produksi, termasuk penyusunan teknis dan kelembagaan dari KPH yang meliputi lebih dari satu daerah.
•
Pemerintah Kabupaten/Kota: Desain dan mengusulkan pembentukan dan zonasi KPH Lindung dan Produksi, termasuk pembentukan teknis dan kelembagaan mereka.13
Fungsi utama dari KPH adalah praktek pengelolaan hutan lestari. Secara singkat, ini termasuk inventarisasi daerah KPH, mengembangkan dan melakukan kegiatan untuk perencanaan pemanfaatan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi dan reklamasi, dan perlindungan alam dan konservasi.
12 Lihat Lampiran
1 untuk daftar tanggung jawab komprehensif Pemerintah Nasional, Provinsi dan Lokal, dan KPH. 13 Pemerintah
Indonesia (2007). “UU No. 38/2007 perihal Pembagian yang Mengatur Urusan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi , dan Pemerintah Kabupaten/Kota” (Bahasa Indonesia). Ditetapkan pada 9 July 2007 di Jakarta, Indonesia.
Mereka juga diharapkan untuk mendukung kegiatan Kabupaten di wilayah mereka sebagai berikut (Kartodihardjo et al, 2011): •
Mempersiapkan izin lokasi
•
Mempersiapkan inventarisasi lokasi rehabilitasi hutan dan lahan dan melestarikan hasil rehabilitasi hutan dan lahan
•
Mengelola perlindungan hutan
•
Penguatan lembaga masyarakat
•
Melakukan monitoring dan evaluasi, serta pengawasan, di wilayah kerja hutan
•
Mempersiapkan proposal untuk pembentukan produksi, perlindungan dan konservasi daerah hutan, hutan dengan fungsi tertentu, dan hutan dengan perubahan status dan fungsi
•
Mempersiapkan bahan pendukung untuk pengesahan pengelolaan DAS dan rencana rehabilitasi hutan dan lahan
•
Mempersiapkan bahan untuk aspek teknis dalam perizinan yang berada di bawah kewenangan Pemerintah Pusat atau Provinsi
•
Mengelola daerah KPH yang mengikuti penerapan sistem manajemen Badan Layanan Umum (BLU), seperti yang ditentukan oleh Menteri.
2. Aspek Anggaran KPH Saat ini, sumber utama dana untuk pembangunan KPH adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jumlah anggaran bervariasi antar KPH. Beberapa pemerintah daerah menyediakan lebih dari 1 miliar rupiah per tahun sementara pihak lain memberikan sepersepuluh dari itu. Wawancara dilakukan dengan para ahli kehutanan yang akrab mengelola KPH menemukan bahwa anggaran operasional dari KPH rata-rata membutuhkan minimum
enam miliar Rupiah per tahun.14 KPH Yogyakarta memiliki anggaran tahunan tujuh sampai delapan miliar Rupiah untuk operasi, dengan sekitar lima miliar Rupiah untuk gaji pegawai. KPH menghasilkan 10-12 miliar Rupiah dari produksi minyak kayu putih, sehingga memungkinkan untuk membiayai operasi mereka relatif independen dari anggaran pemerintah. Sementara Konservasi KPH diharapkan tergantung pada anggaran daerah, regional dan nasional, KPH Produksi dan Perlindungan diharapkan berfungsi dalam waktu dekat sebagai pembiayaan-mandiri Badan Layanan Umum (BLU) atau sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Sebagai sebuah lembaga, KPH akan memiliki karakteristik ganda publik dan pribadi. Status mereka sebagai organisasi
semi-pemerintah
akan
memberikan
KPH
kebebasan
untuk
mempekerjakan praktek bisnis sektor swasta sementara mengharuskan mereka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memajukan kesejahteraan umum.15 Mereka diharapkan untuk membuka peluang investasi yang sejalan dengan pencapaian tujuan pengelolaan hutan. Sebagai lembaga kuasi-pemerintah, KPH diharapkan untuk secara signifikan mengurangi ketergantungan keuangan mereka pada belanja pemerintah dengan meningkatkan peran kewirausahaan mereka (Nugroho et al, 2013). •
Biaya untuk layanan yang diberikan kepada masyarakat
•
Hibah
•
Pendapatan dari kemitraan
•
Local government budgets (APBDs), with income derived from authorization for sub-national/ local governments’ credit budgets
14 Wawancara
dengan Fakultas Departemen Pengelolaan Hutan Institut Pertanian Bogor, Juni
2016. 15
Nugroho, Bramasto, Hariadi Kartodihardjo, Sudarsono Soedomo, Hefrizal Handra, Agus Setyarso, and Ali Djajono. Financial Management Pattern for Sub-national Public Service Agencies: Towards Independent Forest Management Units (FMU). Ed. Bramasto Nugroho. Jakarta: Direktorat Pengelolaan Area dan Persiapan Pemanfaatan Area Hutan (2013), 3.
•
Anggaran Negara/APBN, dengan penghasilan yang diperoleh dari pemerintah nasional untuk pelaksanaan desentralisasi dan/atau skema pembantuan administrasi, dan
•
Sumber pendapatan lain-lain lain seperti dari penjualan atau pemanfaatan aset, pendapatan bunga.
Semua pendapatan yang diterima oleh KPH sebagai Badan Layanan Umum Daerah dapat digunakan untuk membiayai kegiatannya sesuai dengan rencana bisnis dan anggaran (Rencana Bisnis dan Anggaran, atau RBA) (Nugroho et al, 2013).
III. PERAN KPH DALAM KEBAKARAN HUTAN Sebagaimana
tercatat
sebelumnya,
peraturan
MANAJEMEN
kementerian
terbaru
hal.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 mengamanatkan peran substantif bagi KPH pada pengendalian kebakaran hutan dan lahan.16 Pasal 18 dari regulasi tahun 2016 menetapkan bahwa setiap KPH harus membentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Brigdalkarhutla). Brigade akan didirikan di seluruh KPH sampai 2017.17 Pasal 31 dan 32 mengatur setiap tanggung jawab KPH dalam menyediakan sumber daya manusia untuk Brigdalkarhutla, termasuk untuk Tim Pengendalian Inti Api dan Tim Pengendalian Asisten Api. Tim Pengendalian Inti Api terdiri dari Kepala dan 12 anggota tim. Kepala tim dituntut untuk memiliki kompetensi di bidang pengendalian kebakaran hutan, dibuktikan dengan sertifikat. Tim Pengendalian Asisten Api terdiri dari anggota masyarakat dari desa-desa setempat.
16 Pemerintah Indonesia
(2016). Regulasi Nomor P.32/MenLHK/ Setjen/ Kum.1/3/2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pengendalian Kebakaran Lahan. (Terjemahan Draft Bahasa Inggris). Ditetapkan pada 18 April 2016. Jakarta, Indonesia. 17 Wawancara
dengan pejabat Departemen KPHL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Juni 2016.
Setiap KPH wajib dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai, baik yang keras maupun lunak, dalam rangka mendukung kegiatan Brigdalkarhutla. Ini termasuk kampanye pencegahan dan peningkatan kesadaran akan bahan, alat untuk mengelola kanal di lahan gambut (termasuk peralatan sederhana hidrologi, partisi kanal dan pintu air), posting krisis pengelolaan kebakaran hutan dan lahan, peringatan dini kebakaran hutan dan lahan, dan deteksi dini hutan kebakaran (Pasal 51). Peraturan tersebut juga mengatur bahwa KPH harus melakukan perencanaan dan mengatur upaya pencegahan kebakaran hutan, pemadam kebakaran, dan manajemen pasca-kebakaran (Pasal 66), serta berkoordinasi dengan pemegang izin penggunaan lahan, pengelola hutan masyarakat, pemilik perkebunan, dan pemegang lahan lainnya dalam perencanaan, manajemen pencegahan, pemadaman, dan pasca-penanganan kebakaran hutan dan lahan (Pasal 75). Selain itu, Pasal 109 mengatur bahwa KPH harus mengalokasikan dana operasional tahunan untuk pengelolaan kebakaran hutan dan lahan dan kegiatan pencegahan. Peraturan Menteri tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan tegas menetapkan KPH sebagai aktor garis depan utama untuk pencegahan dan pengelolaan kebakaran hutan di tingkat lokal. Per Peraturan Presiden 1/2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG) Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) mengelola dan mengawasi restorasi lahan gambut di lokasi level.18 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sekretariat Pembangunan Nasional KPH, dan BRG tengah mengembangkan rencana tentang peran KPH di restorasi lahan gambut di tujuh provinsi prioritas BRG (Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua). Tim daerah diharapkan untuk berkoordinasi dengan staf KPH untuk semua kegiatan lahan gambut hidrologi di daerah KPH.19 Dari tujuh provinsi, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah diharapkan menjadi prioritas bagi pengendalian kebakaran hutan dan lahan oleh 18 Pemerintah
Indonesia (2016). “UU Presiden No. 1/2016 perihal Badan Restorasi Gambut” (Bahasa Indonesia). Ditetapkan pada 6 January 2016. Jakarta, Indonesia. 19 Wawancara
dengan pejabat Sekretariat Pembangunan Nasional KPH KLHK, Juni 2016.
KPH. Peraturan menteri tentang pengendalian kebakaran lahan dan hutan (2016) adalah tidak eksplisit mengenai peran KPH dalam mencegah dan atau menekan kebakaran hutan di luar yurisdiksi masing-masing.
IV. KAPASITAS STAF KPH Bagian ini membahas kapasitas teknis yang saat ini diperlukan staf KPH. Gambar 1 menunjukkan dua struktur organisasi yang diizinkan untuk KPH menurut Peraturan Departemen Dalam Negeri Nomor 61/2010. KPH memiliki Kepala dan Sub-Divisi Administrasi, dengan kelompok-kelompok fungsional yang terdiri dari profesional teknis untuk melaksanakan aspek-aspek tertentu dari pengelolaan hutan (page.42/Menhut II/2011, Pasal 5).20 Wilayah KPH dibagi menjadi blokblok tanah yang lebih kecil, yang disebut sebagai resort KPH.21
Kepala
Kepala Sub-Divisi Administrasi
Kelompok Fungsional
Sub-Divisi Administrasi Kelompok Fungsional
Divisi ……….
Divisi
Resort KPH
Resort KPH
Gambar 1: Struktur Organisasi KPH (Sumber: Kartodihardjo et al, 2011).
20 Pemerintah
Indonesia (2011). “Regulasi Kementerian Kehutanan P.42/Menhut II/2011 mengenai Standar Kompetensi dalam Sektor Kehutanan untuk KPHL dan KPHP” (Bahasa Indonesia). Ditetapkan pada 11 May 2011 di Jakarta, Indonesia. 21 Pemerintah
Indonesia (2010). “Kementerian Dalam Negeri, Unit Pengelolaan Hutan dan Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah” (Bahasa Indonesia. Ditetapkan pada 23 December 2010 di Jakarta, Indonesia.
Sebagai pegawai pemerintah, staf KPH diperlukan untuk memenuhi standar kompetensi tertentu untuk ditugaskan (lihat Lampiran 2 untuk daftar lengkap dari standar kompetensi untuk staf KPH). Semua Ketua KPH harus memiliki gelar sarjana di Kehutanan (atau jika dalam studi non-kehutanan harus memiliki pengalaman teknis kehutanan). Kepala Bagian dan Resort harus memiliki ijazah SMK Kehutanan atau diploma tersier di bidang kehutanan atau jika subjek dari non-kehutanan maka membutuhkan pengalaman di bidang kehutanan (hal.42/Menhut-II/2011, Lampiran A dan B). Karyawan KPH diharapkan untuk menunjukkan kompetensi dalam sejumlah bidang termasuk manajemen sumber daya manusia, dan pengelolaan program kegiatan, dan manajemen bisnis. Ketua KPH harus menunjukkan kompetensi dalam pembentukan sistem dan perencanaan hutan, termasuk inventarisasi hutan, administrasi pemanfaatan hutan dll, antara keterampilan terkait kehutanan lainnya. Sebagaimana dicatat sebelumnya, regulasi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menjabarkan kompetensi pengendalian kebakaran hutan untuk Ketua Tim Pengendalian Inti Api KPH ini. Pemerintah daerah diharapkan untuk mempekerjakan mayoritas dari staf KPH. government is expected to hire a majority of the FMU staff. 22 Dewan direksi dari perusahaan milik negara di sektor kehutanan membentuk organisasi KPH dan menunjuk ketua KPH (Djajono et al (2011), 8). Seperti disebutkan di atas, manajemen kehutanan dan pengalaman secara alami mendominasi kisaran yang diharapkan kompetensi staf KPH. Kompetensi Kepala Tim
Inti
Pengendalian
Kebakaran
meliputi
pengendalian
kebakaran.
Sebagaimana dibahas, peran KPH di kebakaran hutan jauh melampaui satu penekanan dan pengendalian. Ini termasuk bekerja dengan peringatan dini kebakaran hutan dan lahan, dan deteksi dini mereka, di samping perencanaan dan pelaksanaan strategi pencegahan kebakaran (Artikel 51, 66, 75 pada Peraturan Menteri tentang Kebakaran Hutan dan Lahan). 22 Setyarso, Agus, and Ali Djajono, Bramasto Nugroho, Christine Wulandari, Eno Suwarno,
Hariadi Kartodihardjo, and Mustofa Agung Sardjono. Strategi Pemgembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia. Ed. Sugiharto. Jakarta: Direktorat Pengelolaan Area dan Persiapan Pemanfaatan Area Hutan (2014), 119.
Keterampilan yang dibutuhkan untuk memanfaatkan peringatan dini dan deteksi kebakaran hutan termasuk memahami cuaca dan iklim yang berdampak pada vegetasi, risiko kebakaran dan probabilitas mereka, mengkomunikasikan informasi ilmiah untuk para pemangku kepentingan lainnya, dan perencanaan dan pelaksanaan penggunaan lahan pencegahan kebakaran. Hal ini penting untuk rentang kompetensi staf KPH untuk menyertakan keterampilan di atas dalam rangka bagi mereka untuk melaksanakan tanggung jawab pencegahan dan manajemen kebakaran mereka secara efektif. Pada bagian berikut kita membahas aspek-aspek kunci dari fungsi FRS yang penting bagi KPH agar dapat melaksanakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan dan tanggung jawab penindasan.
V.
MEMANFAATKAN FRS UNTUK TANGGUNG JAWAB KPH DALAM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Sistem Risiko Kebakaran dikembangkan oleh Pusat Risiko Iklim dan Manajemen Peluang (CCROM) di Institut Pertanian Bogor (IPB), Earth Institute di Columbia University (CU), dan PBB untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar membantu memajukan pendekatan manajemen risiko kebakaran berbasis antisipatif untuk pencegahan, pengendalian, dan penekanan kebakaran.23 Bagian ini memberikan rekomendasi kunci untuk penggunaan fungsi FRS oleh staf KPH dalam melaksanakan tanggung jawab mereka untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran. Sistem Risiko Kebakaran (FRS) menangani secara komprehensif dengan kerentanan dan aspek bahaya dari kebakaran hutan dan lahan (lihat Gambar 2). Bahaya dalam konteks diskusi kita terutama fenomena iklim regional, seperti El Niño dan Dipole Samudera India, dan faktor iklim lokal (termasuk curah hujan dan suhu) yang mempengaruhi aktivitas kebakaran.
23 Di
ambil dari CCROM et al (2015).
Kerentanan api di KPH adalah hasil dari variabel biofisik dan sosial ekonomi. Faktor-faktor ini digabungkan dalam FRS, untuk menentukan kemungkinan terjadinya kebakaran. Seperti dijelaskan di bawah, FRS memiliki kemampuan untuk menganalisa, membandingkan dan memetakan masing-masing pemacu kerentanan dan bahaya yang mempengaruhi resiko kebakaran lahan dan hutan.
Mendefinisikan Resiko Kebakaran
Bahaya
Resiko Kebakaran
Sistem Resiko Kebakaran (FRS) menentukan kemungkinan kejadian kebakaran
Informasi probabilistic mengenai iklim, El Nino dan Osilasi Selatan (ENSO), mempengaruhi kejadian kebakaran. Akhirnya: memprediksi suhu permukaan laut dan curah hujan
Kerentanan
Penilaian beberapa factor kunci yang berkontribusi pada kejadian kebakaran seperti variabel biofisik (sensitivitas), socialekonomi, ekspos dan kapasitas penyesuaian
Untuk infosmasi lebih lanjut kunjungi:
Gambar 2: Komponen Resiko Kebakaran
Kondisi cuaca real-time berdampak langsung terhadap terjadinya dan besarnya kebakaran, terutama di musim kemarau. Kemampuan FRS untuk menganalisis kondisi terakhir cuaca, khususnya curah hujan, suhu udara, kelembaban relatif dan kecepatan dan arah angin, menarik secara praktis bagi staf KPH, berhubungan dengan data hotspot skala cuaca panas dari Sistem Pemantauan Karhutla (KMS), Sipongi dan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (FDRS). Menggunakan kemampuan FRS, Kepala Tim Inti Pengendalian Kebakaran Hutan KPH di daerah resiko kebakaran tinggi juga dapat membandingkan catatan saat ini dengan catatan masa lalu, serta mendapatkan prediksi rasa aktivitas kebakaran mendatang. Seperti 2013 dan 2014 pola api di Riau mengungkapkan, periode kering bahkan di tahun yang basah dapat mengakibatkan wabah api.
Oleh karena itu, kemampuan FRS untuk memantau kondisi cuaca secara real-time dan membandingkannya dengan data historis adalah penting bagi staf KPH, sebagai garis depan pengelola pengendalian kebakaran lahan dan hutan. Hal ini akan memungkinkan Brigdalkarhutla untuk terlibat dengan lembaga pengendalian kebakaran hutan lainnya seperti Manggala Agni dan orang-orang dari perusahaan swasta, untuk menargetkan dan meningkatkan kegiatan pemadaman kebakaran di lokasi tertentu. Dengan fungsi aplikasi pemetaan FRS, staf KPH dapat menggunakan data hot spot MODIS secara real time, dan membuat perbandingan hot spot untuk setiap periode kustom, termasuk harian dan mingguan, atau bulanan dan tahunan, dalam batasbatas mereka. Hal ini mirip dengan data hot spot Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan memiliki keuntungan tambahan karena dapat diakses secara bebas di web. Informasi ini sangat penting untuk Tim Inti Pengendalian Kebakaran Hutan KPH untuk merencanakan lokasi perangkat keras dan sumber daya manusia dalam menekan kebakaran hutan dan untuk mencari kegiatan pencegahan kebakaran jangka panjang. Alat utilitas FRS lain untuk KPH adalah kemampuan perkiraan probabilitas bulanan dan musiman untuk curah hujan (lihat Gambar 3). Prakiraan dapat berlaku satu sampai tiga bulan di permukaan area seluas 25 kilometer persegi, ukuran yang cukup granular untuk sebagian KPH di tujuh provinsi prioritas tinggi pengendalian kebakaran hutan. Menggunakan informasi perkiraan curah hujan FRS, staf KPH dapat memobilisasi kegiatan selama skala mingguan hingga bulanan. Hal ini bisa untuk memastikan bahwa sekat bakar dalam batas-batas KPH berfungsi penuh, atau untuk membantu staf dinas Kabupaten, seperti pertanian dan hortikultura, membujuk pemegang kecil untuk menumbuhkan tanaman alternatif, sembari menghindari pembakaran vegetasi. Di beberapa kabupaten Riau khususnya, staf KPH akan dilayani dengan baik untuk menggunakan informasi di musim kering submusiman untuk mempersiapkan kemungkinan pemadaman kebakaran darurat, mengingat kecenderungan daerah gambut di sana dapat menjadi rentan terhadap wabah kebakaran setelah dua sampai tiga minggu curah hujan yang di bawah normal.
El Niño adalah fenomena iklim yang besar dengan dampak yang mendalam pada Indonesia. Wabah kebakaran yang signifikan di berbagai daerah di Indonesia telah dihasilkan dari peristiwa El Niño sebelumnya. FRS memiliki kemampuan untuk menampilkan variasi Suhu Permukaan Laut (SST) di Pasifik yang dapat menjadi indikasi kondisi El Niño (atau sebaliknya, La Niña). Kemampuan FRS yang berkepentingan khusus untuk staf KPH adalah perkiraan SST, yang memberikan informasi hingga tiga bulan di muka pada kemungkinan pembentukan El Niño, dan karenanya meningkatkan kemungkinan resiko kebakaran di daerah mereka. Membandingkan informasi pada musim mendatang dengan anomali SST serupa sebelumnya dapat membantu dalam mendapatkan perkiraan besarnya aktivitas kebakaran di dalam kawasan KPH mereka. Hal ini sangat penting dalam beberapa tahun ketika situasi El Niño tidak sejelas (baik karena permulaan yang telat atau kondisi dingin yang anomali di wilayah Niño 3,4 di Pasifik). Menggunakan pendekatan komparatif, kepemimpinan KPH dapat dibandingkan dengan situasi yang telah direncanakan untuk dan membuat perubahan sehubungan dengan ketersediaan keuangan dan sumber daya perangkat keras dan kru pemadam kebakaran. Indikasi dari kemungkinan kuatnya El Niño, misalnya, berarti permintaan mendesak untuk sumber daya tambahan dari Anggaran Pemerintah Daerah (APBD). Saat ini, ketergantungan tunggal pada informasi skala cuaca FDRS menghalangi kemungkinan seperti itu.
Gambar 3: web interface prediksi curah hujan FRS. Sumber: kebakaranhutan.or.id
Alat prediksi hotspot di FRS menggunakan data prakiraan pada Suhu Permukaan Laut dan curah hujan. Informasi ini sangat penting untuk perencanaan kegiatan mitigasi risiko kebakaran untuk musim kebakaran mendatang. Hal ini berbeda dengan informasi hot spot termonitor yang berasal dari pengamatan satelit kebakaran yang sudah terjadi. Pada tingkat kabupaten, perkiraan probabilitas untuk curah hujan berada di atas normal, normal, atau di bawah normal digunakan untuk prediksi hotspot, sementara di tingkat provinsi perkiraan Suhu Permukaan Laut digunakan untuk menghasilkan prediksi ini (lihat Gambar 4). Sebagian besar Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi menunjukkan hubungan yang kuat antara curah hujan dan kejadian hotspot. Tidak mengherankan, korelasi yang sangat tinggi ada antara curah hujan dan hot spot di daerah yang menderita insiden kebakaran yang tinggi, sehingga membentuk dasar ilmiah untuk tindakan pencegahan yang diambil oleh KPH. Di daerah risiko kebakaran tinggi (seperti di Riau dan Kalimantan Tengah), kepala Tim Inti Pengendalian Kebakaran Hutan KPH dapat meningkatkan permintaan untuk sumber daya tambahan untuk aksi mitigasi risiko jangka pendek dengan menggunakan prediksi hotspot. Ini mungkin berguna untuk memajukan kemampuan FRS di tingkat spasial KPH, dalam rangka memiliki informasi yang sangat kontekstual pada korelasi antara kepadatan hotspot dan kebakaran di dalam dan sekitar KPH. Mengingat sifat spasial variabel pada hubungan ini, semakin hubungan akurat secara spasial adalah akan lebih berguna untuk membantu tindakan manajemen kebakaran. Ketersediaan data jangka panjang (idealnya dua sampai tiga dekade) di tingkat KPH pada hot spot dan curah hujan akan menjadi suatu keharusan, selain data tentang perubahan penggunaan lahan yang perlu diperhitungkan.
Ganbar 4: Hubungan kepadatan hotspot dan anomaly curah hujan di daerah gambut Kalimantan Tengah
Kerentanan wilayah KPH dan lingkungan tetangganya terhadap kebakaran hutan merupakan informasi penting dalam rancangan penggunaan lahan jangka panjang dan dalam menstrategikan kegiatan-kegiatan preventatif. Peta kerentanan kebakaran dalam FRS merupakan fitur yang mengkalkulasikan kemungkinan kejadian kebakaran terinci dalam sejumlah variabel. Variabelvariabel ini mencerminkan dampak dari elemen-elemen biofisika, social-ekonomi dan infrastruktur. Variabel FRS untuk kerentanan kebakaran termasuk kepadatan penduduk, jarak ke jalan, sungai dan pusat desa, produk domestic bruto, kedalaman gambut, sistem lahan dan tutupan lahan, dan proporsi lahan di bawah kayu, logging dan konsesi minyak kelapa sawit. Aktifitas kebakaran diwakili oleh kepadatan hotspot, dengan kerentanan kebakaran terpetakan di lima kelas yang terdiri dari tingkatan sangat rendah, rendah, normal, tinggi dan sangat tinggi (lihat Gambar 5).
Gambar 5: Provinsi Riau menunjukkan tingkat kerentanan terhadap kebakaran
Merumuskan peta kerentanan kebakaran di tingkat kabupaten sangat penting untuk KPH melihat tanggung jawab mereka untuk pencegahan kebakaran. Seperti yang dapat dilihat pada gambar di atas, perbedaan cukup dapat terlihat di antara dan di dalam kabupaten sehubungan dengan kerentanan terhadap kebakaran. Profil dari kerentanan terhadap kebakaran adalah lokasi-spesifik dan faktor bervariasi secara spasial di dalam dan di antara kabupaten berdasarkan pada keadaan lingkungan dan sosial-ekonomi lokal. Perbedaan tingkat lokal sangat penting bagi KPH untuk dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan kebakaran
hutan mereka, yang memungkinkan untuk pendekatan yang sangat disesuaikan. Idealnya fungsi FRS untuk menghasilkan peta Kerentanan Kebakaran harus diperluas sampai ke tingkat KPH di kabupaten berisiko tinggi yang didominasi oleh hutan gambut. Namun, kurangnya data resolusi tinggi dapat menghalangi kemungkinan tersebut. Mengingat pentingnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus meminta tambahan sumber daya untuk menciptakan data resolusi tinggi yang diperlukan. Dengan menunjukkan wilayah mana saja yang tunduk pada berbagai tingkat kerentanan, staf KPH dapat memprioritaskan pencegahan kebakaran lintas KPH lintas provinsi. Peta kerentanan kebakaran adalah integral untuk memahami kapan dan dimana harus melakukan aksi pencegahan sebelum kebakaran terjadi, seperti pembangunan kanal untuk mengurangi hilangnya kelembapan pada gambut yang sangat rentan seperti kawasan Ex-Mega rice project di Kalimantan Tengah. Penting bahwa dampak praktis dari langkah-langkah mitigasi kebakaran dapat di lacak dengan menggunakan Peta Kerentanan Kebakaran yang menunjukkan perbaikan (atau memburuknya) kerentanan kebakaran yang terjadi karena tindakan pencegahan yang di ambil. Fitur ini memiliki fungsi Pengawasan dan Evaluasi (M&E) yang sangat berguna, memungkinkan pejabat senior Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk lebih mengerti bagaimana performa KPH perihal mitigasi kebakaran dan juga mempelajari bagaimana apa saja yang efektif. FRS mengkombinasikan peta kerentanan dengan komponen lain pada sistem, khususnya prediksi curah hujan, untuk menghasilkan perkiraan resiko kebakaran (lihat gambar 6). Peta Kerentanan Kebakaran menyediakan informasi penting yang diperlukan untuk menginisiasi aksi pencegahan untuk menghindar penggunaan api atau meminimalisir dampaknya berdasarkan kerentanan kebakaran historis dan prediksi musiman yang diperkirakan. Peta-peta ini mengindikasikan tingkat perkiraan pada resiko kebakaran dalam waktu satu hingga tiga bulan lebih awal. Menyatukan kerentanan pada kebakaran dan resiko peningkatan aktifitas kebakaran, peta-peta ini dapat sangat membantu bagi staf KPH untuk menempatkan aksi yang dibutuhkan untuk merendahkan
resiko kebakaran hutan. Informasi FRS dibutuhkan untuk memulai aksi persiapan untuk mencegah kebakaran di jangka pendek dan secara berkelanjutan memitigasi resiko kebakaran pada jangka panjang. FRS ini menambahkan systemsistem yang sudah ada untuk prediksi kebakaran jangka pendek dan deteksi dini kebakaran, seperti sistem-sistem FDRS, KMS, SiPongi dan Global Forest Watch, dimana system yang terakhir menyediakan peringatan kebakaran yang sangat berguna sekitar satu minggu lebih awal.
Kerentanan Sangat rendah Rendah Medium Tinggi Sangat Tinggi
Sangat rendah Rendah Medium Tinggi Sangat Tinggi
Gambar 6: Peta prediksi hotspot (kiri), Kerentanan Kebakaran (tengah), dan Resiko Kebakaran (kanan) untuk Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Peta Kerentanan Kebakaran dirilis pada bualn Februari untuk bulan April.
Pada daerah yang memiliki resiko kebakaran tinggi seperti Riau dan Kalimantan Tengah, peta resiko kebakaran juga harus mengarahkan rencana pengelolaan kehutanan KPH dengan menghargai pilihan aset-aset produktif yang harus dipertimbangkan, dan praktek silviculture yang harus diadopsi. Pada wilayah gambut yang sangat terdegradasi yang sangat rentan terhadap resiko kebakaran, adalah menguntungkan jika pengelolaan kehutanan untuk menargetkan diversifikasi mencakup agroforestry berbasis karet. Pada lingkungan seperti ini, menstabilkan ekosistem dan mengaktifkan pembalikan gambut yang hilang mungkin lebih penting daripada mencari keuntungan dari pemungutan panen. Tren jangka panjang keberlanjutan lahan gambut dapat secara lebih baik dimengerti jika menyandingkan resiko kebakaran FRS
dan peta-peta kerentanan dengan aliran pendapatan tahunan. KPH yang sangat menguntungkan tidak menjamin keberlanjutannya jika resiko kebakarandan kerentanan data menyarankan bahwa terjadi kemunduran dasar-dasar ekologi. Pada tingkat federal, membandingkan resiko kebakaran dan kerentanan KPH di dalam dan lintas provinsi dapat menghasilkan informasi bernilai mengenai apa yang bisa berhasil apa yang tidak dalam hal pencegahan dan pengelolaan kebakaran, dan dengan ekstensi perihal kemanjuran perusahaan KPH sendiri. Informasi
ini
dapat
menjadi
berharga
untuk
membantu
KPH-KPH
menyeimbangkan kepentingan pencarian pendapatan dengan peran mereka dalam pemeliharaan ekosistem. KPH-KPH yang telah melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam pemeliharaan keseimbangan (hijau) yang positif dapat menjadi model bagi yang lain, dengan staff KPH yang diberi insentif dalam program nasional.
VI. KESIMPULAN Dengan Regulasi Kementerian 2016 perihal Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, KPH kini memiliki mandat yang jelas untuk mencegah, mengendalikan, dan mengelola kebakaran hutan. Ini menambahkan pada fungsi inti mereka mengenai pengelolaan hutan berkelanjutan. Dalam laporan ini kami telah menguraikan beberapa cara dimana fungsionalitas FRS dapat menjadi bantuan yang besar bagi staf KPH tidak hanya dalam mengurangi resiko kebakaran hutan, namun juga menempatkan pengendalian kebakaran dan tindakan penekanan yang lebih baik. Ini termasuk menganalisis secara real-time kondisi cuaca untuk memantau aktivitas kebakaran yang akan datang dan membandingkan dengan data sejarah, memobilisasi kegiatan pencegahan kebakaran mingguan atau bulanan lebih awal berdasarkan prediksi curah hujan, menilai kembali sumber keuangan dan perangkat keras dan kru pemadam kebakaran berdasarkan anomali SST, memperkuat permintaan sumber daya
tambahan untuk mitigasi risiko kebakaran jangka pendek menggunakan prediksi hot spot, dan memprioritaskan pencegahan kebakaran di wilayah dengan kerentanan tertinggi berdasarkan peta kerentanan kebakaran. Seperti yang sudah kami catat, FRS dapat memerankan peran yang berguna dalam M&E keberhasilan KPH dalam encegah kebakaran hutan. Sebagai badan pelayanan umum swadana, KPH harus menyeimbangkan penghasilan pendapatandengan keberlanjutan sumber daya yang mereka kelola. Seperti yang sudah di diskusikan, FRS dapat membantu bagi KPH untuk menemukan keseimbangan yang tepat, dengan mengerti implikasi praktikpraktikny dalam hal dampaknya pada resiko kebakaran dan kerentanan jangka panjang KPH. Maka dari itu, FRS adalah penting bagi KPH untuk merealisasikan target keberlanjutan dalam pengelolaan kehutanan.
Proyek CU yang akan datang mendiskusikan isu-isu berikut untuk meningkatkan reduksi kerentanan pada kebakaran hutan yang lebih berjangka panjang dan meningkatkan manajemen risiko kebakaran antisipatif terutama pada daerah gambut Indonesia: •
Desain insentif kebijakan yang dipimpin sevara partisipatif untuk kabupaten dengan resiko kebakaran tinggi di Riau
•
Pedoman untuk protokol komunikasi menggunakan sistem notifikasi siaga FRS SMS
•
Studi cakupan menilai implikasi masa depan resiko kebakaran hutan gambut dari proses pembukaan lahan di provinsi Papua
•
Dinamika kelembagaan provinsi Kalimantan Barat perihal pengelolaan kebakaran hutan gambut
Referensi Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pacific of Institut Pertanian Bogor, Earth Institute of Columbia University, and United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (2015). “Development of the Fire Risk System”. (Unpublished Draft). Government of Indonesia (1999). “Law No. 41/1999 on Forestry” (In Bahasa Indonesia). Enacted on 30 September 1999 in Jakarta, Indonesia. Government of Indonesia (2004). “Law No. 44/2004 on Forestry Planning” (In Bahasa Indonesia). Enacted on 18 October 2004 in Jakarta Indonesia. Government of Indonesia (2007). “Law No. 38/2007 on The Division of Governing Affairs Between [Central] Government, Provincial Government and Regency/Municipal Government” (In Bahasa Indonesia). Enacted on 9 July 2007 in Jakarta, Indonesia. Government of Indonesia (2010a). “Ministry of Home Affairs Regulation No. 61/2010 on Organizational Guidelines and Working System of Protection Forest Management Unit and Production Forest Management Unit in Regions” (In Bahasa Indonesia. Enacted on 23 December 2010 in Jakarta, Indonesia. Government of Indonesia (2010b). “Ministry of Forestry Regulation No. P.51/Menhut-II/2010 on the Ministry of Forestry’s Strategic Plan for 2010- 2014” (In Bahasa Indonesia). Enacted on 31 December 2010 in Jakarta, Indonesia. Government of Indonesia (2011). “Ministry of Forestry Regulation P.42/Menhut II/2011 on Competence Standard in the Forestry Sector for KPHL and KPHP” (In Bahasa Indonesia). Enacted on 11 May 2011 in Jakarta, Indonesia. Government of Indonesia (2015). “Annex to Ministry of Environment and Forestry Regulation P.39/Menlhk-Setjen/2015 Strategic Plan 2015-2019” (In Bahasa Indonesia). Enacted on 13 August 2015 in Jakarta, Indonesia. Government of Indonesia (2016a). “Presidential Law No. 1/2016 on Peatland Restoration Agency” (In Bahasa Indonesia). Enacted on 6 January 2016 in Jakarta, Indonesia.
Government of Indonesia (2016b). Regulation Number P.32/MenLHK/ Setjen/ Kum.1/3/2016, Ministry of the Environment and Forestry on Forest and Land Fire Control. (Draft English Translation). Enacted on 18 April 2016 in Jakarta, Indonesia. Kartodihardjo, Hariadi, Bramasto Nugroho and Haryanto R. Purto (2011). Forest Management Unit Development (FMU): Concept, Legislation and Implementation. Ed. Ali Djajono and Lilit Siswanty. Jakarta: Directorate of Area Management and Preparation of Forest Area Utilization. Djajono, Ali, Lilit Siswanty and Yosephin Shinta Aprilla (2011). Legislation related to Forest Management Units (FMU). Jakarta: Directorate of Area Management and Preparation of Forest Area Utilization. Nugroho, Bramasto, Hariadi Kartodihardjo, Sudarsono Soedomo, Hefrizal Handra, Agus Setyarso, and Ali Djajono (2013). Financial Management Pattern for Subnational Public Service Agencies: Towards Independent Forest Management Units (FMU). Ed. Bramasto Nugroho. Jakarta: Directorate of Area Management and Preparation of Forest Area Utilization. Setyarso, Agus, Ali Djajono, Bramasto Nugroho, Christine Wulandari, Eno Suwarno, Hariadi Kartodihardjo, and Mustofa Agung Sardjono (2014). Strategi Pemgembangan KPH dan Perubahan Struktur Kehutanan Indonesia. Ed. Sugiharto. Jakarta: Directorate of Area Management and Preparation of Forest Area Utilization.
Lampiran Lampiran 1: Tugas dan Fungsi yang Dilaksanakan oleh KLHK, Pelayanan Kehutanan dan KPH
Sumber: Kartodihardjo, et al. 2011.
Lampiran 2: Kompetensi Staf KPH
Sumber: Djajono et al, 2011.