Pecahan Widya Rahayu
Aku menunggu. Masih saja memaksakan diri untuk tepat waktu di tengah budaya ini. Aku suka menunggu, karena artinya aku tidak terburu. Karena artinya aku punya waktu untuk membaca. Membaca wajah-wajah manusia yang berlalu-lalang di hadapanku. Tapi aku tidak suka tempat ini. Kata orang, baunya tidak menyenangkan. Ada juga yang tidak suka pemandangannya. Bagiku tempat ini mengingatkan pada hal sedih. Seorang wanita yang ternyata kukenal keluar dari sebuah ruangan yang menandakan bagian kesehatan mulut. Dia terlalu jauh untuk dapat menyadari keberadaanku dan aku terlalu malas mengeluarkan suara. Aku sedang sibuk menghadapi kepanikan di dalam diri. Pria yang duduk selang satu bangku di sebelahku seketika berdiri, menghampiri wanita yansg kukenal itu. Sepertinya dia menemani dan sepertinya dia agak mengenaliku karena dia sempat memandangiku saat aku baru datang ke ruangan ini. Mungkin aku bukan yang paling muda dan bukan hanya satu yang datang sendirian. Tapi sepertinya aku yang paling muda yang datang sendirian di tengah antrian ini. Ada juga bocah-bocah yang ditemani ibu muda yang ribut sambil memakan es krimnya. Ada bapak tua yang duduk dengan tenang di atas kursi rodanya sambil memandangi televisi. Ada satu, dua, tiga yang memakai kursi roda. Ada satu yang memakai penyangga. Dan hampir semua memegang map dengan muka gambar yang berbeda-beda. Ketika aku baru masuk, aku berjalanan sendirian merasa asing dan tersesat. Tanpa penyangga, tanpa map, tanpa bebat, dan aku berjalan seolah tanpa beban. Mungkin semua di ruangan ini saling mempertanyakan hal yang sama, ‘sakit apa?’ Pecahan
79
Selama beberapa waktu tidak ada nama yang dipanggil dari balik pintu yang terpajang foto orang yang kukenal. Tahun lalu aku juga datang di hari sabtu di bulan desember ketika aku mendengar berita tidak menyenangkan itu. Ketika aku menunggu dua jam di depan pintu kliniknya kemudian untuk pertama kalinya aku melihatnya tanpa jas putih. Mukanya kusut dan seperti sedang terburu-buru. Ketika akhirnya aku masuk ke ruangannya, aku kembali melihat dia yang biasa kulihat di kamis malam, wajah dokter yang ramah dan penuh senyum dengan jas putih. Dengan senyum itu juga dia bilang, ‘tahun depan aja ya dilepasnya.’ Merusak rencanaku yang sudah rapi. Akhirnya aku tiba di ‘tahun depan’ itu. Aku melihat sosoknya yang sudah lama tidak terlihat itu melewati koridor pendek dan dengan langkah cepatnya masuk keruangan dibalik pintu yang terpajang fotonya. Satu-per satu nama dipanggil oleh suster berbaju hijau toska. Lalu namaku. Ini pertama kalinya aku memasuki ruangannya sendirian tanpa ibuku. Dia dengan tanpa jas putih memandangku yang tiba di ambang pintu, aku menebak-nebak apakah dia mengingatku. Pertanyaannya masih sama, ‘gimana, Hen?’ tapi kali ini dengan tambahan, ‘gak sama ibu?’ aku hanya bisa melempar senyum jika tidak tahu harus menjawab apa. ‘udah gak sakit kan?’ Tanyanya sambil tanpa kata meyuruhku mengikuti gerakannya mengangkat tangan ke atas. Di satu hingga dua bulan pertama aku hampir tidak bisa menggeser tangan kananku apalagi menggangkatnya hingga membentuk sudut 15 derajat sekali pun. Beberapa seniorku suka menggodaku dengan menggangkat tangan mereka tinggi-tinggi, ‘bisa gini gak, Hen?’ dan aku hanya bisa ikut tertawa. Sekarang membuat sudut 180 derajat pun tidak masalah. Toh sudah dua tahun lebih. Aku pernah terlihat baik-baik saja di luar tapi pecah di dalam. Secara harfiah dan tidak. Tidak ada yang benar-benar kebetulan dan tidak ada yang tiba-tiba di dunia ini. Semua terjadi karena akibat dari sebab-sebab kecil yang bertumpuk lalu terjadi seolah tiba-tiba. Tiba-tiba aku terjatuh dari motor tanpa luka luar yang serius hanya lecet di ujung dagu dan kedua punggung tangan. Tapi di dalam, tulang bahu kanan bagian depan pecah. Pecah, bukan retak dan bukan patah, tapi pecah menjadi kepingan-kepingan kecil. Di unit gawat darurat itu lah pertama kali aku melihat dokter orthopedic yang menanganiku. Sepertinya dia tidak pernah santai, 80
Pecahan
selalu terlihat seperti sedang terburu. Dia memegang sebuah lembaran plastic hitam, foto rontgen bahu kananku yang tidak bisa digerakkan. Seolah dengan mudah dia menjelaskan bahuku pecah menjadi bagian kecil sehingga harus dipasangi pelat besi dengan operasi. Dengan mudah dia membuatku tidak ragu untuk mengikuti kata-katanya. Setelah itu aku punya ketakutan tidak terdefinisi pada ruang operasi. Setahun berikutnya pun dia membuat aku dengan tanpa ragu mengikuti sarannya. Ketika aku memperiksakan diri bermaksud untuk melepas pelat yang telah menyanggaku selama hampir satu tahun itu. Namun pertumbuhan tulang bahuku tidak sesuai dengan harapan. Bahkan setelah sebulan dibanjiri kalsium, tidak ada perubahan signifikan pada pertumbuhannya. Katanya aku salah karena tidak banyak konsultasi di awal pemasangan plat. Dan juga karena tidak banyak mengkonsumsi kalsium. Ketika dia bilang untuk mencangkok tulang bahuku melalui operasi, aku sama sekali tidak ragu. Pada janjinya yang satu bulan setelahnya bisa lepas pelat yang kemudian dia tunda jadi ‘tahun depan aja ya.’ itulah entah bagaimana seluruh kepercayaanku padanya luruh. Tanganku masih di atas kepala ketika dia membolak-balik kan lembaran kertas berwarna merah muda seperti sedang mencari – cari sesuatu. ‘operasinya kapan sih dulu?’ aku tidak ingat tepatnya, tidak kah ada di catatan di lembaran berwarna pink itu. Apakah hilang karena kliniknya sudah pindah dari tempat sebelumnya, sehingga data milikku pun hilang. Dia menarik lembaran form laboratorium tetangga dan menyuruhku melakukan foto rontgen di sana, katanya biar lebih jelas. ‘kalau sudah dapat hasilnya, tunjukkan ke saya ya.’ Katanya sambil menuliskan huruf-huruf tak terbaca di form itu. Aku kebingungan, ‘nanti saya ke sini lagi?’ tanyaku. ‘sms dulu. Takutnya saya udah gak di sini.’ Jawabnya. Aku masih bingung, sebenarnya aku selalu lambat menangkap maksud dari perintahnya. Padahal kalau di kelas aku termasuk ke dalam murid yang cepat menangkap pelajaran. Banyak yang masih ingin aku perjelas tapi akhirnya aku hanya bisa bertanya, ‘nomornya?’ dan dia pun memberikanku kartu namanya. Dan bahasa tubuhnya menyuruhku segera keluar dari ruangan. Setelahnya aku menyelesaikan pembayaran dan keluar dari gedung rumah sakit masih menebak-nebak bagaimana teknis Pecahan
81
rencana si dokter. Aku mencatatkan nomor ponsel yang tertera di kartu namanya ke dalam memori ponselku. Lalu dengan angkutan aku menuju laboratorium tetangga. Aku sudah sering mendengar nama laboratorium ini. Berbeda jauh dengan rumah sakit yang kukunjungi sebelumnya sebuah bangunan tua baik luar maupun dalam, laboratorium ini muda baik luar maupun dalam. Disambut dengan senyum hangat mbak cantik yang mencatatkan nama, keperluan dan pembayaran. Untungnya hari itu aku tidak perlu antri. Dalam lima belas menit aku sudah mendapatkan foto rontgen yang dokterku minta. Namun ketika kukabari lewat pesan singkat ternyata dia sudah berada di rumah sakit yang berbeda. Sudah kuduga. Aku terduduk di depan taman dalam masih di laboratorium yang sama. Aku mengambil foto rontgennya, memcoba membacanya. Aku menghela nafas panjang. Sepertinya tidak ada bedanya dengan hasil di tahun lalu. Pandanganku mengambang di hijau rerumputan taman. Aku sudah menghindar dari mengambil foto ini sejak Sembilan bulan lalu. Di tahun lalu dokter menyuruhku control setiap tiga bulan untuk memantau perkembangan. Dan aku yang tidak mau mengulang kesalahan yang sama dengan tahun sebelumnya telah membuat resolusi dan merancang diet bergizi demi pertumbuhan tulang yang baik. Namun program diet itu berantakan di bulan ke empat karena aku terdistraksi oleh masalah. Pola makanku berantakan, minum kopi berlebihan dan asupan makanan sampah berlebihan. Menjadikan aku tidak berani menghadapi kenyataan bahwa aku tidak punya kemampuan menyayangi diriku sendiri. Aku menghindari control tiga bulanan hingga satu tahun setelahnya. Dan aku masih belum bisa menghadapi kenyataan kalau aku harus mendengar kabar buruk akibat dari kelalaianku sendiri. Aku tidak langsung menuju rumah sakit yang kedua. Aku menuju sebuah rumah ibadah di dekat mantan kampusku. Aku butuh ketenangan untuk menghindarkanku dari melakukan tidakan bodoh kecil yang bisa memperburuk suasana. Menghadapi ini sendirian sungguh tidak mudah. Tidak ada seseorang didekatku yang aku bisa pura-pura kuat padanya. Hanya sendirian membuat aku ingin lari. Di tengah hari yang terik itu aku membasuh diri, mencium tanah, melepas diri. Pasrah. Bagiku, keberadaan pelat besi di bahu adalah simbolisasi fisik yang terjadi pada kejiwaan diri. Bagaimana ia menjadi pecah. 82
Pecahan
Bagaimana kehadiran pelat sementara ini akan meninggalkan bekas luka yang tidak bisa hilang. Bahwa kehadirannya hanya untuk sementara. Bahwa butuh bagiku lebih lama dari waktu yang biasa untuk bisa sembuh. Itu pun tidak akan pernah benar-benar sama dengan mulanya. Bagaimana aku berusaha memulihkan diri agar tidak lagi perlu disangga. Bahwa aku dengan mudah terdistraksi dan meninggalkan semua usaha menjadikannya tak berarti. Bahwa bagi aku, melepaskan diri dari pelat ini punya arti aku bisa melanjut pada pelajaran hidup berikutnya. Bahwa punya arti akhirnya aku bisa melepas diri dari apapun yang kumenggantung dan atau yang menyanggaku karena ketidak berdayaanku. Aku hampir tidak pernah ke rumah sakit yang kedua ini. Aku tidak tahu harus kemana. Dan ketika aku mendatangi bilik bertuliskan ‘informasi’ tidak ada orang di sana. Akhirnya aku bertanya pada satpam yang berdiri di depan pintu gawat darurat. Bertanya dimanakah klinik bagian orthopedic. Dia berkata, begitu juga dengan dua satpam lain yang kutanyakan setelahnya, bahwa bagian klinik itu tutup di hari sabtu dan minggu tapi aku tetap di arah kan ke tempat itu. Bagian klinik-klinik spesialis yang pintunya tertutup di bagian gedung yang berbeda. Aku menyampaikan lewat pesan singkat pada dokterku, bahwa aku telah tiba. Dan dia bilang untuk menunggu di bagian klinik spesialis. Aku merasa sudah berada di tempat yang benar, jadi aku menunggu, sendirian. Aku bolak balik sambil memandangi pintu-pintu yang sepi, membayangkan kehectican nya di hari kerja. Ruang-ruang yang sepertinya terbentuk dengan terpaksa karena bangunan tua yang fungsi dan kebutuhannya terus bertambah. Sepuluh menit berikutnya telepon masuk, namanya muncul di layar. ‘kamu dimana?’ tanyanya. Ternyata aku salah tempat. Dengan setengah berlari aku kembali ke tempat pertama tadi aku masuk. Pandanganku menyapu keramaian di bawah penerangan yang buruk. Aku melihatnya. Sosoknya yang berdiri tegap dan berisi. Di sebelahnya ada seorang yang lebih kecil dengan jas putih. Dia tidak memakai jas putih, tidak juga saat di klinik tadi. Setengah berlari aku mendatanginya, menyodorinya map foto hasil rontgen ku. Dia membuatku berjalan mengikuti langkahnya yang terburu dari belakang. Dan dibelakangku ada si pria berjas putih yang lebih kecil mengikuti. Kami memasuki sebuah ruangan klinik yang sudah dibereskan. Dia dengan tangannya sendiri mencolokan kabel ke Pecahan
83
outlet menjadikan sebuah kotak putih berisi lampu menyala. Pria kecil berjas putih mengambil map ku, mengeluarkan lembaran plastic hitam di dalamnya dan meletakkannya di depan kotak putih yang sedang menyala itu. Yang kusuka dari dia, dia hampir tidak pernah basa-basi panjang. Dia langsung bilang, ‘sudah bagus ya. Kapan mau dilepas?’ Dan aku selalu terlambat mengikuti. Aku masih mengatur nafasku. Aku harus membuatnya mengulang-ulang pernyataan dan pertanyaan barusan hingga akhirnya aku bisa yakin bahwa aku tidak salah tangkap maksud. Bahwa akhirnya penyangga yang telah tinggal di bahuku ini akhirnya bisa diangkat juga. Bahwa kekhawatiranku selama setahun ini akhirnya bisa berakhir juga. Beberapa orang teman pernah menanyakan hal yang sama, ‘memangnya harus dilepas?’ keberadaan plat besi di dalam tubuh bila terlalu lama dapat menimbulkan reaksi penolakan dari tubuh. Dapat berbentuk iritasi dan beragam komplikai. Plat tersebut dirancang untuk ditanam hanya sementara karena belum diuji kecocokannya dengan tubuh. Sehingga disarankan untuk tidak menggunakannya lebih dari tiga tahun karena bahkan dokter pun tidak dapat menduga apa yang mungkin terjadi. Lagi, dia kembali melangkah dengan terburu, meninggalkan aku yang belum bergerak dari ruangan. Dia berbalik dan mengatakan, ‘diminum terus ya kalsiumnya.’ Aku hanya sempat memberikan senyum yang melengkung sedari tadi dan sebuah anggukan kecil mengantarnya pergi menjauh. Pria kecil berjas putih tersenyum canggung kepadaku lalu dengan terburu mengejar dia yang telah lebih dulu melangkah jauh. Aku tidak khawatir. Dua tahun ini aku melihat dengan cara yang berbeda karenanya. Keberadaannya membuat aku menyadari pentingnya mensyukuri dan menjaga apa yang sudah ada. Dia membuat aku menyadari ketidakberdayaanku tanpanya. Dan atas apa yang telah terjadi, dia telah menjejak jauh lebih dalam di hati. Aku sedih. Aku tahu kita masih akan bertemu lagi. Mungkin untuk yang terakhir kali.
84
Pecahan