PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN Emi Roslinda Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Email :
[email protected]
ABSTRAK Secara konvensional PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) selama ini dipergunakan untuk mengukur keberhasilan kinerja pembangunan suatu daerah (Kabupaten/Provinsi) yaitu jumlah nilai rupiah barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu perekonomian daerah untuk waktu satu tahun. PDRB Hijau yang telah dipergunakan ternyata memiliki kelemahan yaitu hanya berisikan unsur disinsentif berupa deplesi dan degradasi sumberdaya alam, sehingga nilai PDRB Hijau akan selalu dibawah nilai PDRB konvensional. Kelemahan tersebut ketika dikoreksi dengan memasukkan unsur insentif jasa lingkungan dengan syarat kabupaten/provinsi mengelola sumberdaya alam/hutannya dengan baik maka akan diperoleh nilai PDRB Hijau yang lebih tinggi daripada PDRB konvensionalnya. Nilai PDRB Hijau sektor kehutanan di Kalimantan Barat ternyata meningkat sangat signifikan ketika memperhitungkan nilai guna tak langsung jasa lingkungan hutan. Penerapan PDRB Hijau ini diharapkan dapat digunakan sebagai neraca pendamping bagi PDRB konvensional yang sudah umum dipergunakan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Kata kunci: PDRB Hijau, jasa lingkungan, pembangunan berkelanjutan.
PENDAHULUAN Hutan mempunyai bermacam fungsi dan manfaat, dikarenakan hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU 41 1999 tentang Kehutanan). Kondisi tersebut menyebabkan hutan mempunyai fungsi dan manfaat yang beraneka ragam (multiple benefits). Fungsi dan manfaat yang beraneka ragam, sumber daya hutan dapat menyediakan berbagai kebutuhan dan keinginan manusia, mulai dari fungsi produksi barang dan jasa untuk kepentingan konsumsi langsung maupun tidak langsung, berbagai jasa pengaturan mekanisme dalam alam seperti pengaturan tata air, siklus hara, penyerapan CO2, bahkan berbagai fungsi lain yang sampai saat ini belum diketahui atau terpikirkan oleh manusia (Fakultas Kehutanan IPB, 1999). Hutan tidak hanya berfungsi produksi, melainkan juga berfungsi konservasi dan fungsi lindung. Namun, hingga saat ini hanya hutan berfungsi produksi (terutama kayu) yang dianggap dapat memberikan manfaat langsung kepada perekonomian karena produk hutan yang dihasilkan. Sesungguhnya nilai hutan tidak hanya berupa nilai kayu melainkan juga fungsi lingkungan seperti kemampuan mencegah erosi, sedimentasi, tata air, keanekaragaman hayati, dan kemampuan menyerap karbon. Hasil penelitian Roslinda (2002) menunjukkan nilai tangible dari Hutan Pendidikan Gunung Walat di Kabupaten Sukabumi sebesar 29,01% dari nilai ekonomi totalnya dimana nilai dari kayu
hanya 15,28%, sementara selebihnya sebesar 70,99% adalah nilai intangible berupa jasa-jasa lingkungan hutan. Selanjutnya Roslinda (2013) juga menunjukkan bahwa nilai intangible Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) di Kalimantan Barat jauh lebih tinggi daripada nilai tangible, yaitu 87% nilai ekonomi total TNDS adalah nilai intangible berupa jasa-jasa lingkungan. Secara teoritis diyakini bahwa hutan memiliki nilai ekonomi yang sangat besar, tetapi hanya sebagian kecil dari sumber daya hutan yang berkontribusi secara riil terhadap penerimaan negara dan masyarakat. Penerimaan negara ataupun kontribusi suatu sektor seringkali hanya dilihat dari Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor, dan PDRB sektor Kehutanan semakin tahun semakin kecil karena kayu sudah semakin habis. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu pendekatan pembangunan yang melihat nilai ekonomi sumber daya hutan secara menyeluruh dan dapat dimanfaatkan secara nyata dalam pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif
dalam penghitungan PDRB sektor
kehutanan dimana nilai ekonomi potensial jasa lingkungan hutan dapat diperhitungkan dan dapat memberikan kontribusi ekonomi yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
METODE Metode yang digunakan dalam perhitungan PDRB Hijau sektor Kehutanan di Kalimantan Barat ini mengacu pada Nurrochmat et al (2009), dengan tahapan sebagai berikut: 1. Membagi sektor perekonomian menjadi 9 sektor (Pembagian sektor perekonomian ini disesuaikan dengan pembagian sektor perekonomian menurut Sistem Neraca Nasional yang diterbitkan oleh BPS) yaitu: 1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, 2) Pertambangan dan penggalian, 3) Perindustrian Pengolahan, 4) Listrik, Gas, dan Air Bersih, 5) Bangunan (konstruksi), 6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, 7) Angkutan dan Komunikasi, 8) Keuangan, Persewaan dan jasa Perusahaan, dan 9) Jasa-jasa 2. Menghitung nilai tambah dalam satu tahun. Nilai tambah ini disebut juga sebagai sumbangan masing-masing sektor usaha kepada PDRB konvensional. 3. Mengidentifikasi jenis dan volume sumberdaya alam yang diambil untuk setiap sektor kegiatan ekonomi. 4. Menghitung nilai ekonomi dari pengurangan sumberdaya alam akibat adanya suatu aktivitas ekonomi (deplesi) . 5. Mengurangi nilai PDRB konvensional dengan nilai deplesi sehingga diperoleh nilai PDRB Semi Hijau. 6. Mengidentifikasi, menghitung, dan menentukan nilai ekonomi dari kerusakan atau degradasi lingkungan yang terjadi akibat pengambilan sumberdaya hutan. 7. Mengurangkan nilai degradasi dan menambahkan nilai manfaat jasa lingkungan terhadap PDRB Semi Hijau sehingga diperoleh nilai PDRB Hijau.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pendekatan perhitungan PDRB yang biasa digunakan di indonesia adalah pendekatan nilai tambah, dengan membagi sektor perekonomian menjadi sembilan sektor. Nilai PDRB Kalimantan Barat per-sektor perekonomian tahun 2008-2011 disajikan pada Tabel berikut: Tabel 1. PDRB Kalimantan Barat Menurut Lapangan Usaha 2008-2011 No 1
2 3
4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha
Tahun (Rp juta) 2009 2010 13,955 15,166 4,830 5,233 4,793 5,304 1,392 1,497 1,532 1,584 1,406 1,557 1,048 1,205 10,291 11,138 0,0 0,0 10,291 11,138 0,284 0,315 4,809 5,586 12,125 13,766 3,867 4,437 2,619 2,907 5,280 6,018 54,281 60,541
2008 12,834 4,052 4,313 1,261 1,469 1,287 0,919 9,578 0,00 9,578 0,267 4,180 11,018 3,323 2,380 4,630 49,132
Pertanian Tanaman bahan makanan Tanaman perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Pertambangan dan penggalian Industri Pengolahan Industri Migas Industri Non Migas Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan Jasa-jasa PDRB
2011 16,812 5,754 6,200 1,561 1,644 1,651 1,355 12,005 0,0 12,005 0,332 6,650 15,074 4,946 3,253 6,482 66,913
Sumber: BPS Provinsi Kalbar 2013 Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa secara nominal PDRB Kehutanan mengalami peningkatan walau dalam jumlah yang kecil. Pada Tahun 2008 PDRB Kehutanan mencapai sekitar Rp 1,4 milyar dan terus meningkat berturut-turut menjadi Rp 1,5 miliar pada tahun 2009 dan 2010 dan mencapai Rp 1, 6 miliar pada tahun 2011. Walaupun secara nominal nilai PDRB subsektor Kehutanan mengalami kenaikan, namun kontribusi nilai PDRB subsektor Kehutanan sangat rendah dibandingkan nilai PDRB Kalimantan Barat (Gambar 1). 66,913
2011
1,644 60,541
2010
1,584 54,281
2009
1,532 49,132
2008
1,469 0
10
20
30
40
Kalbar
Kehutanan
50
60
70
Gambar 1. Perbandingan Nilai PDRB Kehutanan dan PDRB Kalimantan Barat 2008-2012
80
Kecilnya penilaian sumbangan sub sektor kehutanan terhadap PDRB Provinsi Kalimantan Barat ini sejalan dengan penilaian kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDB Nasional dimana sejak tahun 2005 sub sektor kehutanan ‘hanya’ menyumbang sekitar 1% terhadap PDB, dan bahkan tahun 2009 menurun, hanya sebesar 0,8%. Kecilnya kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB/PDB ini disebabkan karena hanya dihitung dari komoditi primer, yaitu kayu log, rotan, dan jasa kehutanan lainnya, sedangkan nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan hasil hutan dihitung sebagai kontribusi dari sektor lain, sehingga kontribusi sub sektor kehutanan terlihat sangat kecil jika dibandingkan dengan luas kawasan dan sumberdaya hutan yang ada. Rendahnya kontribusi relatif subsektor kehutanan terhadap PDRB Kalimantan Barat, sebenarnya tidak relevan dan tidak dapat digunakan sebagai standar ukuran semakin melemahnya peran sektor kehutanan terhadap pembangunan daerah. Perlu digarisbawahi bahwa PDRB hanyalah salah satu parameter pembangunan. Selain PDRB masih ada beberapa parameter pembangunan lain yang dapat dipergunakan sebagai standar pengukuran kontribusi suatu sektor perekonomian terhadap pembangunan daerah, misalnya keterkaitan (linkages) dan efek pengganda (multiplier effect). Oleh karena itu, diperlukan metode pendekatan penghitungan PDRB secara lebih komprehensif sehingga nilai PDRB semakin dapat menggambarkan situasi yang sebenarnya. Salah satu konsep yang diharapkan dapat meminimalisir gap perhitungan nilai PDRB dengan realitas adalah PDRB Hijau, yang mengintegrasikan nilai deplesi, degradasi, dan jasa lingkungan. Estimasi nilai deplesi sumber daya hutan Setiap produksi atau kegiatan penciptaan nilai tambah yang mengurangi sediaan seharusnya dihitung sebagai beban atau biaya. Hal ini tidak dilakukan dalam PDRB konvensional. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, deplesi terjadi apabila jumlah pengambilan sumberdaya hutan melebihi kemampuan regenerasi. Dalam ekonomi kehutanan, deplesi terjadi jika total volume kayu yang ditebang setiap tahunnya melampaui batas penebangan lestari yang diijinkan atau yang dikenal dengan AAC (Annual Allowable Cut). Maka secara ringkas nilai deplesi hasil hutan kayu dapat dihitung dengan total volume kayu yang ditebang dikurangi AAC, dan untuk mengetahui nominalnya, hasil pengurangan tersebut dikalikan dengan harga kayu (unit rent) dari kayu yang ditebang. Pada kondisi ideal, nilai unit rent ini seharusnya setara dengan rente ekonomi yang diterima negara dari pemanfaatan kayu, yakni Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Maka dalam kajian ini nilai deplesi dihitung berdasarkan besarnya nilai rente ekonomi negara (PSDH dan DR) dari data kayu resmi yang ditebang per tahun. Asumsi yang digunakan adalah deplesi terjadi karena secara umum kegiatan logging saat ini tidak dapat menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Tabel 2 Estimasi nilai deplesi berdasarkan pembayaran PSDH dan DR 2008-2011 No 1 2
Realisasi PSDH DR Total
2008 15,237 30,954 46,191
Tahun (Rp Juta) 2009 2010 16.843 15.536 45,888 39.641 62,731 55.177
Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat 2012
2011 25.630 66.826 92.456
Asumsi perhitungan nilai deplesi dari pendekatan nilai PSDH dan DR akan cenderung lebih rendah (underestimate) dari nilai sebenarnya jika volume kayu ilegal yang beredar lebih besar dibanding kayu legal dan sebaliknya. Nilai deplesi cenderung semakin berkurang besarnya, karena dari tahun ke tahun penebangan kayu yang tercatat juga semakin berkurang jumlahnya. Keaadan ini terjadi kemungkinan dikarenakan kondisi hutan yang semakin rusak dan semakin sedikit kayu yang bernilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan. Estimasi nilai degradasi sumber daya hutan Nilai kerugian ekonomi akibat kerusakan sumber daya hutan didekati dari data luas deforestrasi berdasarkan perubahan tutupan lahan hutan yang diperoleh dari citra landsat tahun terakhir (Tabel 3) Tabel 3 Estimasi nilai degradasi sumber daya hutan Kalimantan Barat Deforestasi Total Nilai Ekonomi Jasa Hutan Nilai Jasa Hutan yang hilang akibat (ha)*) (Rp/ha/thn)**) deforestrasi (Rp miliar/thn) 121.446,32 38.399.400 4,663 *) laju deforestasi berdasarkan buku potret hutan Kalimantan Barat 2011 **) estimasi nilai kerusakan berdasarkan laporan NRM (2002) dalam Departemen Kehutanan (2007) Nilai kerugian akibat degradasi sumber daya hutan dihitung dengan menggunakan basis nilai berdasarkan hasil studi penilaian ekonomi sumber daya hutan yang dilakukan sebelumnya. Basis nilai tersebut masih cukup relevan karena dihitung dalam satuan US dolar, sehingga relatif tidak terpengaruh fluktuasi nilai rupiah. Basis perhitungan ini juga digunakan oleh Departemen Kehutanan dalam Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Saektor Kehutanan (Departemen Kehutanan 2007). Estimasi nilai PDRB Hijau tanpa memperhitungkan jasa lingkungan hutan Konsep perhitungan PDRB Hijau yang telah diujicobakan di beberapa tempat saat ini, pada umumnya dilakukan dengan cara mengurangkan nilai PDRB konvensional dengan nilai deplesi dan nilai degradasi. Berdasarkan rumus tersebut, nilai PDRB Hijau kehutanan akan menjadi negatif. Ini berarti nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor kehutanan selama ini ternyata lebih kecil dibandingkan pengurangan dan kerusakan sumber daya hutan yang terjadi. Tabel 4 Estimasi nilai PDRB Hijau Kehutanan 2008-2011 Nilai PDRB PDRB Konvensional Kehutanan (-) Deplesi Sumber daya Hutan PDRB Semi Hijau Kehutanan (-) Degradasi Sumber daya Hutan PDRB Hijau Kehutanan tanpa Jasa Lingkungan Hutan
2008 1,469 0,461 1,008 4,663 (3,655)
Tahun (Rp Milliar) 2009 2010 1,532 1,584 0,627 0,551 0,905 1,033 4,663 4,663 (3,758) (3,630)
2011 1,644 0,924 0,520 4,663 (4,143)
Penurunan PDRB sub sektor kehutanan akan berdampak pula terhadap penurunan PDRB Kalimantan Barat, yang dihitung dengan menggunakan pendekatan PDRB Hijau. Penyempurnaan perhitungan PDRB Hijau dengan memasukkan nilai jasa lingkungan hutan Pada umumnya nilai PDRB Hijau yang dihitung dengan mempergunakan formula yang berlaku sekarang sangat rendah bahkan dalam beberapa kasus nilainya negatif. Ini mengakibatkan terjadinya
resistensi dari para pengambil kebijakan baik para kepala daerah maupun para pemegang otoritas kehutanan terhadap pendekatan perhitungan PDRB Hijau. Ini terjadi karena sampai saat ini tolok ukur keberhasilan pembangunan yang utama adalah besarnya nilai PDRB. Untuk mencegah supaya resistensi tersebut tidak berlanjut, diperlukan adanya formulasi perhitungan PDRB Hijau yang lebih rasional dan dapat mendorong para pengambil kebijakan untuk menerapkan berbagai upaya pengelolaan sumberdaya hutan yang ramah lingkungan (Nurrochmat et al. 2009). Salah satu kelemahan fundamental dari formula perhitungan PDRB Hijau yang berlaku saat ini adalah konsep tersebut hanya memuat sisi disinsentif, yakni berupa pengurangan nilai deplesi dan degradasi terhadap nilai PDRB konvensional untuk memperoleh nilai PDRB Hijau. Dengan metode perhitungan yang demikian, maka nilai PDB Hijau tidak akan pernah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai PDRB konvensional (Nurrochmat, 2008). Oleh karena itu, kelemahan formula perhitungan PDRB Hijau hams dikoreksi dengan memasukkan unsur insentif (rewards)
jasa
lingkungan. Dengan memerhitungkan nilai jasa lingkungan sebagai faktor insentif, maka suatu daerah atau negara yang dapat mengelola sumberdaya alamnya dengan baik memiliki pengharapan memperoleh nilai PDRB Hijau, khususnya PDB Hijau kehutanan, lebih besar dibandingkan dengan PDRB konvensionalnya (Nurrochmat et al. 2009). Nilai ekonomi jasa hutan dibedakan atas nilai penggunaan langsung, misalnya kayu, hasil hutan bukan kayu dan konsumsi air yang berperan atas 52,39% dari total nilai jasa hutan, nilai penggunaan tak langsung seperti konservasi tanah dan air, penyerap karbon, pencegah banjir, transportasi air, dan keanekaragaman hayati yang berperan sekitar 43,03% dari total nilai jasa hutan, dan nilai atas dasar bukan penggunaan (nilai opsi dan nilai keberadaan) yang memiliki nilai 4,94% dari total nilai jasa hutan (NRM 2002 dalam Departemen Kehutanan 2007). Dalam kajian ini estimasi nilai PDRB Hijau kehutanan hanya dihitung dari nilai manfaat penggunaan tidak langsung dari sumberdaya hutan. Nilai penggunaan langsung tidak lagi dihitung karena nilai tersebut telah diperhitungkan dalam PDRB konvensional. Tabel 5 Estimasi nilai PDRB Hijau Kehutanan dengan menghitung nilai manfaat total jasa nilai penggunaan tidak langsung Tahun (Rp miliar) Nilai PDRB 2008 2009 2010 PDRB Konvensional Kehutanan 1,469 1,532 1,584 (-) Deplesi Sumberdaya Hutan 0,461 0,627 0,551 PDRB Semi Hijau Kehutanan 1,008 0,905 1,033 (-) Degradasi Sumberdaya Hutan 4,663 4,663 4,663 PDRB Kehutanan Tanpa Jasa Lingkungan (3,655) (3,758) (3,630) (+) Nilai Manfaat Total Nilai Penggunaan Tak 146,900 146,900 139,630 Langsung Jasa Lingkungan Hutan PDRB Hijau Kehutanan + Total Nilai Penggunaan Tak Langsung Jasa Lingkungan 143,245 143,115 136,000 Hutan
hutan dari
2011 1,644 0,924 0,520 4,663 (4,143) 139,630 135,487
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nilai PDRB Hijau Kehutanan akan jauh lebih tinggi apabila jasa lingkungan hutan diintegrasikan dalam perhitungan. Demikian juga perhitungan untuk seluruh sektor, nilai PDRB Hijau Provinsi Kalimantan Barat akan lebih tinggi daripada nilai PDRB Konvensional apabila jasa lingkungan hutan diintegrasikan dalam perhitungan. Dengan melakukan simulasi perhitungan optimis yang memasukkam semua nilai tak langsung dari jasa lingkungan hutan menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Hijau Kalimantan Barat akan meningkat secara signifikan menjadi lebih 66 persen dari PDRB Hijau Kalimantan Barat. Atau jika dibandingkan dengan kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB konvensional yang berlaku saat ini terjadi peningkatan setidaknya 66 kali lipat (Tabel 6).
Nilai ini
lebih besar dari nilai nasional yaitu yang mengalami kenaikan 25 kali lipat (Nurrochmat et al. 2009), hal ini diduga karena hutan di Kalimantan Barat kondisinya masih cukup baik, sehingga memberikan jasa lingkungan yang cukup besar nilainya. Tabel 6 Estimasi Kontribusi Kehutanan terhadap PDRB Hijau dengan memperhitungkan nilai total jasa lingkungan hutan Model Perhitungan PDRB PDRB Hijau Kehutanan dengan Jasa Lingkungan PDRB Hijau KalBar dengan Jasa Lingkungan Kontribusi Kehutanan terhadap PDRB Hijau
Tahun (Rp Miliar) 2008 2009 2010 2011 143,245 143,115 136,000 135,487 192,377 197,396 196,541 202,400 74,46% 72,50% 69,19% 66,94%
Adapun cara yang efektif untuk dapat merealisasikan nilai potensi jasa lingkungan menjadi nilai ekonomi riil adalah dengan menerapkan kebijakan fiskal pro-lingkungan (green fiscal policy).
KESIMPULAN Setelah melakukan perhitungan PDRB hijau sektor kehutanan melalui pendekatan pendapatan dari jasa lingkungan dari sektor kehutanan dapat diketahui bahwa nilai PDRB Hijau Kehutanan akan jauh lebih tinggi apabila jasa lingkungan hutan diintegrasikan dalam perhitungan. Demikian juga perhitungan untuk seluruh sektor, nilai PDRB Hijau Provinsi Kalimantan Barat akan lebih tinggi daripada nilai PDRB Konvensional apabila jasa lingkungan hutan diintegrasikan dalam perhitungan. Dengan melakukan simulasi perhitungan optimis yang memasukkam semua nilai tak langsung dari jasa lingkungan hutan menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Hijau Kalimantan Barat akan meningkat secara signifikan menjadi lebih 67 persen dari PDRB Hijau Kalimantan Barat. Atau jika dibandingkan dengan kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB konvensional yang berlaku saat ini terjadi peningkatan setidaknya 67 kali lipat.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2013. Kalimantan Barat dalam Angka 2013. BPS Kalimantan Barat. Pontianak.
Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III. 2012. Neraca Sumberdaya Hutan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2011. Kementerian Kehutanan Dirjen Planologi Kehutanan BPKH III. Pontianak. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III. 2011. Potret Hutan Provinsi Kalimantan Barat. Kementerian Kehutanan Dirjen Planologi Kehutanan BPKH III. Pontianak. Departemen Kehutanan, 2007. Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Fakultas Kehutanan IPB. 1999. Sistem Nilai Hutan Produksi. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Nurrochmat DR. 2008. Promoting Close to Nature Forestry Trough Green Fiscal Policy. Paper presented at the Symposium on Close to Nature Forestry-Practices for Asia-Pacific towards the Millennium Development Goal Challenges 17-20 December 2008, Kuala Lumpur. Nurrochmat DR, Solihin I, Ekayani M, Hadianto A. 2009. Formulasi Kebijakan Fiskal Hijau: Mengintegrasikan Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Hutan dalam Neraca Pembangunan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2009. Bogor. Roslinda E. 2002. Nilai Ekonomi Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Kontribusinya Terhadap Masyarakat Sekitar. Tesis (Tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. ................. 2013. Pilihan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suparmoko M dan Nurrochmat DR. 2005. Urgensi Implementasi PDRB Hijau Sektor Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta.