RENCANA TATA RUANG KAWASAN JABODETABEKPUNJUR : UPAYA MENYEIMBANGKAN PERTUMBUHAN EKONOMI DENGAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP oleh: Ruchyat Deni Djakapermana Sekretaris Direktorat Jenderal Penataan Ruang Posisi dan Peran Jabodetabekpunjur Jabotadetabekpunjur adalah sebuah kawasan metropolitan yang meliputi wilayah DKI Jakarta sebagai kota inti dan wilayah sekitarnya sebagai kota pendukung yang mencakup dua wilayah provinsi, yaitu Kabupaten dan Kota Bekasi, Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten dan Kota Tangerang di Provinsi Banten, Kabupaten dan Kota Depok dan sebagian wilayah Kabupaten Cianjur di Provinsi Jawa Barat. Kawasan Jabodetabekpunjur telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). KSN merupakan wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan dan rencana tata ruangnya ditetapkan oleh peraturan presiden karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, hankam, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Selain itu, Kawasan Jabodetabekpunjur termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia menurut UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Berdasarkan hal tersebut, Kawasan Jabodetabekpunjur mempunyai peran sebagai pusat pengembangan kegiatan perekonomian wilayah dan nasional sekaligus sebagai kawasan konservasi air dan tanah serta keanekaragaman hayati yang dapat menjamin tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakatnya.
Juta rupiah
Secara geopolitik, kawasan Jabodetabekpunjur merupakan 350,000 potret dari sistem negara. 300,000 Keberhasilan pengelolaan 250,000 pembangunan di DKI Jakarta 200,000 Jabodetabekpunjur merupakan Jawa Barat cerminan keberhasilan 150,000 Banten pembangunan di Indonesia. 100,000 Dengan demikian, kawasan 50,000 Jabodetabekpunjur perlu dikelola 0 dengan baik, karena kedua fungsi 2000 2001 2002 2003 2004 2005 utama yang sering didikotomikan, Tahun yaitu fungsi ekonomi dan fungsi lingkungan berada pada kawasan Gambar 1. Perkembangan DPRB Provinsi DKI Jakarta, Jabar, dan Banten ini. Secara ekonomi, kawasan Jabodetabekpunjur memberikan share yang tinggi terhadap perekonomian nasional. Sekitar 70 % (2006) investasi nasional berada di Jawa-Bali dan hampir sebagian besar didominasi olh atau berada dalam lingkup Kawasan Jabodetabekpunjur, yaitu Provinsi DKI Jakarta 22 %, Banten 11 %, dan Jawa Barat 27 %, dengan pusat kegiatan ekonomi dan sosial berada di Jakarta. DKI Jakarta memberikan share yang tinggi terhadap PDRB wilayah seluruh Jabodetabekpunjur. PDRB total di kawasan Jabodedtabekpunjur dibandingkan dengan kawasan metropolitan lainnya di Indonesia sangat tinggi. Perkembangan PDRB dan investasi ini didukung oleh infrastruktur ekonomi dan sosial yang sudah maju dan terpusat di Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi. Keunggulan infrastruktur ini juga menjadi daya tarik urbanisasi. Tingginya tingkat urbanisasi mengakibatkan daya tampung lahan untuk permukiman dan aktivitas ekonomi wilayah menjadi terbatas.
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (juta rupiah) di Kawasan Metropolitan
Ja b Ba ode n d tab un e Ke g R k du a ng y a G s er Ke e p b a rt u ng am r -k an er to tul su M si la e M b am ida m ng in as at a
350.000.000 300.000.000 250.000.000 200.000.000 150.000.000 100.000.000 50.000.000 0
PDRB atas dasar harga berlaku (juta rupiah)
1
Gambar 2. Perbandingan PDPRB beberapa Kawasan Metropolitan Di Indonesia
Keunggulan ini akan mendorong peningkatan pemanfaatan lahan di wilayah sekitar Jakarta yakni Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur. Perkembangan aktivitas ekonomi sejalan dengan peningkatan pembangunan infrastruktur, khususnya untuk menunjang pengembangan permukiman. Infrastruktur yang terbangun tersebar di seluruh kawasan permukiman. Perkembangan permukiman saat ini sangat sporadis sehingga tidak ekonomis dan tidak efisien dalam penyediaan infrastruktur. Secara sosial, kawasan Jabodetabekpunjur memiliki tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi sejalan dengan perkembangan perkotaan yang pesat. Urbanisasi di kawasan Jabodetabekpunjur sangat pesat (tumbuh 5 kali lipat dari 1950 – 2005). Sekitar 22,8 juta penduduk tinggal di wilayah Jabodetabekpunjur. Kepadatan penduduk masing-masing provinsi adalah DKI Jakarta 13.668 jiwa/km2, Jawa Barat 2.320 jiwa/km2, dan Banten 3.756 jiwa/km2. Pertumbuhan penduduk Provinsi DKI Jakarta (2000 – 2005) mencapai 1,09% dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi di wilayah Jakarta Barat (4,3%), namun pada saat yang sama terdapat penurunan laju pertumbuhan penduduk di wilayah Kota Jakarta Pusat (0,72%). Pertumbuhan penduduk di Jabodetabekpunjur dipacu oleh laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat sebesar rata-rata 2% per tahun semenjak tahun 2002 (BPS, 2005). Selain aspek-aspek tersebut, aspek pertahanan keamaman dan politis Jakarta sebagai Ibukota negara dan pusat lembaga-lembaga tinggi negara menjadi prioritas utama untuk dijaga keberlanjutan lokasi ruangnya. Secara ekologis, cakupan Jabodetabekpunjur adalah kawasan yang meliputi tiga daerah aliran sungai (DAS) utama, yaitu DAS Ciliwung, DAS Cisadane, dan DAS Bekasi, yang memiliki luas area keseluruhan sekitar 2.027 km2 dengan curah hujan berkisar antara 1.500-4.000 mm per tahun. Hulu Sungai Ciliwung berada di kawasan Puncak dan mengalir sepanjang 119 km dengan debit rata-rata bulanan 882 m3 per detik (di Manggarai) ke arah muara Jakarta. Daerah permukiman di hulu DAS Ciliwung, dalam kurun waktu enam tahun (1990-1996) meningkat dari 6,25 km2 menjadi 19,26 km2 dan 10 tahun kemudian (2004) menjadi 26,61 km2.
100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 1970
1980 hutan
1990 pemukiman
2000 sawah
2010 RTH
Gambar 3. Trend luas hutan, permukiman, sawah dan RTH di Jabodetabek 1970-2005
Dalam 35 tahun terakhir, secara regional Jabodetabekpunjur telah kehilangan 27% ruang terbuka hijau (termasuk hutan dan perkebunan tanaman tahunan/keras) diantaranya akibat hilanganya 46% kawasan hutan. 2
Kawasan terbangun (permukiman) tumbuh lebih dari 12 kali lipat, menyebabkan daya dukung lingkungan menjadi sangat terbatas, terutama kemampuan lahan di dalam meresapkan air ke dalam tanah terutama di Jakarta. Pertumbuhan Permukiman dan perkotaan yang tak terkendali di sepanjang dan di sekitar daerah aliran sungai, tidak berfungsinya kanal-kanal dan tidak adanya sistem drainase yang memadai mengakibatkan semakin terhambatnya aliran air ke laut, yang mengakibatkan Jakarta dan kawasan di sepanjang daerah aliran sungai menjadi sangat rentan terhadap banjir. Permasalahan DAS Ciliwung lainnya adalah penurunan kualitas dan kuantitas air sungai, pemanfatan ruang di sempadan sungai, yang menimbulkan permukiman kumuh, perubahan tata guna lahan, penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan, kekeringan dan erosi/longsor.
Penataan Ruang Kawasan JABODETABEKPUNJUR Keinginan untuk melakukan penataan ruang di Kawasan Jabodetabekpunjur dimulai sejak adanya Perpres 79/1985 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur yang khusus menangani pengaturan di kawasan hulu DAS Ciliwung, dan kemudian diperbaharui dengan Kepres 114/1999 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. Namun dalam implementasinya, Keppres tersebut masih sulit untuk diterapkan, dan permasalahan banjir, kerusakan lingkungan, dan lain-lain, masih tetap terjadi karena hanya mengatur secara parsial di bagian hulu. Di sisi lain, persoalan banjir lebih banyak terjadi di hilir. Penanganan pembangunan DAS harus terintegrasi dalam satu manjemen dan bukan hanya terkait tata pengelolaan air saja, karena di dalamnya juga akan tekait pengaturan ruang berbagai kepentingan sektor. Penanganan penataan ruang di Kawasan Jabodetabekpunjur masih hanya dilakukan secara parsial, hanya ditangani di kawasan hulu, dan tidak sampai ke bagian tengah dan hilir sistem DAS. Selain itu tidak ada konsistensi dan komitmen bersama untuk melaksanakan penghijauan (hutan) di hulu dan bantaran sungai. Hal ini dikarenakan tidak adanya sanksi yang tegas. Masalah lain karena adanya pertumbuhan dan dinamika kegiatan dan aktivitas penduduk yang pesat dan sulit diantisipasi. Sejalan dengan tujuan untuk mengatasi berbagai permasalahan sebagaimana disebutkan di atas, sesuai dengan amanat UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan penetapan Kawasan Jabodetabekpunjur sebagai Kawasan Strategis Nasional dalam satu sistem pengaturan ruang dari hulu, tengah dan hilir oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2007 tentang RTRWN maka telah ditetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No 54 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Paket pengaturan ini perlu disikapi secara optimis, karena berbeda dengan peraturan sebelumnya, dimana di dalamnya ada ketentuan sanksi yang tegas, jelas dan memberatkan bagi pelanggar/penyimpangan atas ketentuan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, selain ketentuan yang memberikan porsi kepada masyarakat untuk berperan aktif memberikan laporan kepada penyidik (PPNS dan Polisi) atas perbuatan tindak pidana tersebut sebagi salah satu bentuk pengawasan.
Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Jabodetabekpunjur Penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur dimaksudkan untuk menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan agar tujuan pembangunan (meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mempertahankan kelestarian lingkungan hidup) dapat tercapai. Penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur memiliki peran sebagai acuan bagi penyelenggaraan pembangunan yang berkaitan dengan upaya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, penanggulangan banjir, dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Fungsi penataan ruang kawasan Jabodetabekpunjur adalah menjadi pedoman pelaku pembangunan yang terlibat langsung ataupun tidak langsung di dalam penyelenggaraan penataan ruang secara terpadu, antardaerah provinsi, kabupaten, dan kota di Kawasan Jabodetabekpunjur, melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pokok-pokok kebijakan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur meliputi arahan untuk rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, dan pengawasan pemanfaatan ruang. Strategi penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur merupakan pelaksanaan dari kebijakan penataan ruang yang meliputi: (1) Mendorong terselenggaranya pengembangan kawasan yang berdasar atas keterpaduan antar Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan; (2) Mendorong terselenggaranya pembangunan kawasan yang dapat menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta penanggulangan banjir, serta mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan; dan (3) Mendorong pengembangan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah, bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan. 3
Struktur Ruang Struktur Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur meliputi: Sistem pusat permukiman dan Sistem prasarana dan sarana wilayah yang terdiri atas sistem transportasi darat, laut, udara, penyediaan air baku, pengelolaan air limbah, pengelolaan limbah B3, sistem drainase dan pengendalian banjir, dan pengelolaan persampahan. Pola Pemanfaatan Ruang di Kawasan Jabodetabekpunjur meliputi Kawasan Lindung yang mencakup zona yang sangat ketat/absolut dan zona-zona lindung yang masih ditoleransi dengan rekayasa, sementara Kawasan Budidaya dengan gradasi tergantung tingkat rekayasanya, dan Kawasan Penyangga. a. Pengaturan Struktur Pusat Pelayanan Pengembangan sistem pusat permukiman adalah untuk mendorong pengembangan Pusat Kegiatan Nasional kawasan perkotaan Jakarta, dengan kota inti adalah Kota Jakarta dan kota satelit adalah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Pemanfaatan ruang Kota Jakarta sebagai kota inti diarahkan untuk perumahan hunian dengan kepadatan tinggi, perdagangan dan jasa dengan skala nasional dan internasional, industri ringan non polutan dan berorientasi pasar, dan khusus di Pantura Jakarta sebagian untuk perumahan hunian rendah dengan KDB maksimum 40% dan 50% Pemanfaatan ruang Kota Tangerang maupun Kota Bekasi sebagai kota satelit diarahkan terutama untuk perumahan hunian dengan kepadatan tinggi dan sebagian rendah, perdagangan dan jasa dengan skala nasional, industri ringan non polutan yang berorientasi pasar dan tenaga kerja, sebagian kecil pertanian/ ladang, perikanan, peternakan, agroindustri. Pemanfaatan ruang Kota Bogor maupun Kota Depok sebagai kota satelit diarahkan untuk perumahan hunian kepadatan tinggi dan sebagian rendah, pusat perdagangan dan jasa dengan skala nasional, industri ringan non polutan dan berorientasi pasar, pertanian/ladang, perkebunan terbatas, perikanan, peternakan, dan agroindustri, serta Taman Nasional (Bogor). Pemanfaatan ruang Kabupaten Tangerang maupun Kabupaten Bekasi sebagai kawasan perkotaan dan perdesaan diarahkan terutama untuk perumahan hunian padat dan rendah, perdagangan dan jasa skala setempat, industri berorientasi tenaga kerja, pertanian/ladang, pertanian lahan basah (irigasi teknis) dan pertanian lahan kering dengan teknologi tepat guna, perkebunan, perikanan, peternakan, agroindustri, hutan produksi, kawasan lindung dan suaka alam. Pemanfaatan ruang Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Cianjur sebagai kawasan perkotaan dan perdesaan diarahkan untuk perumahan hunian sedang/rendah, perdagangan dan jasa skala setempat, pertanian/ladang, pertanian lahan basah/kering dengan teknologi tepat guna, perkebunan, perikanan, peternakan, agroindustri, hutan produksi, kawasan lindung dan cagar alam b. Pengaturan Sistem Transportasi Sistem transportasi darat diarahkan pada pengembangan sistem transportasi massal cepat (termasuk busway, perkeretaapian monorel, dan moda transportasi lainnya), dan pengembangan sistem jaringan jalan lintas wilayah. Sistem transportasi laut diarahkan untuk mendukung kelancaran keluar masuk arus barang dan penumpang dari dan keluar kawasan Jabodetabekpunjur, dengan prioritas pengembangan kawasan pelabuhan laut. Sistem transportasi udara diarahkan untuk mendukung kelancaran keluar masuk arus barang dan penumpang dari dan keluar kawasan Jabodetabekpunjur, dengan prioritas pengembangan kawasan Bandara Soekarno-Hatta. c. Sistem, Strategi dan Arahan Pengendalian Banjir Sistem pengendalian banjir diarahkan untuk mengurangi bahaya banjir dan genangan air bagi permukiman, industri, perdagangan, perkantoran, persawahan, dan jalan. Dilaksanakan dengan pengelolaan sungai terpadu dengan sistem drainase wilayah, pengendalian debit air sungai, peningkatan kapasitas sungai, peningkatan fungsi situ-situ dan waduk sebagai daerah penampungan air dan sistem polder, pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung dan kawasan budidaya dilaksanakan dengan ketat pada kawasan hulu hingga sepanjang daerah aliran sungai, pembuatan sudetan sungai dan pengendalian pembangunan pada sempadan sungai. Arahan pengembangan prasarana pengendali banjir di Kawasan Jabodetabekpunjur meliputi reboisasi, penataan kawasan sungai, normalisasi sungai-sungai, pengembangan waduk-waduk, situ-situ serta daerah retensi air, pembangunan prasarana dan pengendali banjir, serta pembangunan prasarana drainase.
Pola Ruang Pola ruang kawasan Jabodetabekpunjur mencakup: pengaturan ruang terbuka hijau regional, pengaturan kawasan resapan air, pengaturan situ, pengaturan kawasan lindung dengan zonasi, pengendalian pemanfaatan ruang, pengawasan, dan kelembagaan, peran masyarakat dan pembinaan. 4
Hulu: Kawasan Bopunjur diarahkan sebagai kawasan lindung: Sebagai kawasan resapan air, kawasan dengan kemiringan di atas 40%, sempadan sungai, kawasan sekitar waduk/danau/situ, kawasan sekitar mata air, rawa, kawasan rawan bencana alam geologi, kawasan suaka alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya, serta perumahan hunian sedang/rendah secara terbatas Tengah: Kawasan Penyangga Jabodetabek. Diarahkan sebagai perumahan hunian sedang/rendah, perdagangan dan jasa, industri ringan non-polutan berorientasi tenaga kerja dan berorientasi pasar. Perumahan hunian rendah dengan menggunakan rekayasa teknis, pertanian/ ladang, pertanian lahan basah/ kering (dengan teknologi tepat guna), perkebunan, perikanan, peternakan agroindustri, hutan produksi. Hilir: Kawasan andalan Jakarta diarahkan sebagai kawasan budidaya perumahan hunian padat, perdagangan dan jasa, industri ringan non-polutan dan berorientasi pasar, dengan tetap menjaga dan mengupayakan total RTH pada kawasan perkotaan sebesar 30 %. Di bagian barat dan timur untuk industri padat tenaga kerja, pertanian lahan basah/kering, perkebunan, perikanan, peternakan, agro industri, hutan produksi, pertanian lahan basah beririgasi teknis. Di bagian pantai Muara Kapuk diarahkan untuk permukiman hunian rendah dengan menggunakan rekayasa teknis dengan KDB maksimum 50%, dan perumahan dengan menggunakan rekayasa teknis dengan KDB maksimum 40%.
Harmonisasi Pertumbuhan Jabodetabekpunjur
Ekonomi
dan
Kelestarian
Lingkungan
Hidup
Kawasan
Dalam pengelolaan sumberdaya alam telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi yang disebut sebagai pembangunan berkelanjutan. Tujuan pembangunan berkelanjutan adalah konservasi sumberdaya, harmonisasi pembangunan dengan pemanfaatan lingkungan fisik, keadilan sosial, dan partisipasi politik (Blowers 1995). Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, perencanaan pembangunan harus mempertimbangkan seluruh aspek terkait dengan ekonomi, demografi, sosial budaya, lingkungan dan sumberdaya alam. Kesemua aspek tersebut harus pula dilihat dalam interaksi diantaranya. Oleh sebab itu, pendekatan yang bersifat komprehensif sangat diperlukan dalam menyusun perencanaan pembangunan (Djakapermana, 2006). Dalam pendekatan komprehensif kegiatan tersebut dimulai dari perencanaan tata ruang. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam secara rasional untuk mencapai tujuan produksi yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin. Ekosistem DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air. Aktivitas perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transport sedimen serta material terlarut lainnnya atau non-point pollution. Dengan adanya bentuk keterkaitan daerah hulu – hilir tersebut maka kondisi suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan (Gambar 4).
5
JKT
2000 m dpl
S. Ciliwung
t0
DPK BGR
Hulu (dominasi hutan dan t1 tanaman tahunan/keras)
Tengah (ruang terbuka hijau dan t2 Hilir permukiman terbatas serta t3 tanaman lahan basah/kering) (dominasi permukiman dan kegiatan ekonomi serta RTH 30 %)
Gambar 4. Konsep Pemanfaatan Ruang di Kawasan Jabodetabek-Punjur
Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air. Air adalah bagian integral dari ekosistem dan merupakan barang sosial dan ekonomi yang kualitas dan kuantitasnya menentukan sifat penggunaannya. Pengelolaan air secara terpadu merupakan suatu proses untuk mendorong koordinasi dalam pengembangan dan pengelolaan air, lahan dan sumberdaya terkait, yang bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara merata tanpa mengabaikan kelestarian ekosistem (Global Water Partnership, 2000). Tantangan penerapan Perpres No.54/2008 adalah bagaimana kebijakan tata ruang Jabodetabekpunjur harus dikaitkan dengan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, perubahan iklim global terhadap kondisi kawasan, dan pertumbuhan penduduk. Ketentuan-ketentuan terkait enforcement perlu menjadi pegangan dalam pelaksanaannya. Implikasi pemberlakuan UU Ruang Publik Penataan Ruang maupun PP tentang RTRWN Berbagai kota besar di dunia, seperti New York, Manchester, terhadap penataan ruang Kawasan Singapura, Beijing, Shanghai, dan Melbourne, telah menerapkan Jabodetabekpunjur tetap memberikan porsi yang konsep ’green cities’ dengan meningkatkan proporsi luasan RTH seimbang bagi prinsip pelestarian lingkungan, hingga mencapai lebih 20% dari total luas kota, demi kesehatan, kenyamanan dan kesegaran warga kotanya. Penerapan konsep sosial, dan ekonomi sebagai asas keberlanjutan. tersebut secara konsisten dan didukung persepsi serta kerjasama Keseimbangan tidak berarti bahwa proporsi alokasi ruang dan fungsi ruangnya harus sama misal masing-masing 33.3 % untuk lingkungan, sosial, dan ekonomi. Tetapi harus dicermati tataran skala pengamatan lokasi/zona/kawasan/wilayah, karakateristik fisik dan fungsi ruangnya (tentu berdasarkan hasil kajian tata ruang). Pada kawasan hulu dengan fungsi konservasinya yang kuat maka alokasi ruang harus didominasi oleh sejenis hutan lindung/konservasi, hutan wisata/produksi/tanaman keras bertajuk lebar. Sementara itu masih dimungkinkan ada kegiatan ekonomi seperti taman wisata, wana wisata (penginapan dan rekreasi/outbound), perdagangan buah2an/sayuran, dsb. yang dapat membangkitkan pendapatan besar. Jumlas luas hutan di DAS sungai Ciliwung pun harus mencapai minimal 30% dan dapat dibuat “tumpangsari” kegiatan ekonomi wana-wisata tadi.
semua pemangku kepentingan kota-kota tersebut, ternyata telah mampu memberi manfaat ekonomi sebagai akibat meningkatnya citra kota yang ramah lingkungan, dan ruang visual yang indah sehingga memiliki ’nilai jual’ tersendiri bagi pengembangan pariwisata. Sementara, di berbagai kota besar di Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung justru mengurangi luasan RTH dari 35% awal tahun 1970-an menjadi kurang dari 10% terhadap luas kota secara keseluruhan, akibat telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan. Dalam penerapan standar luasan ruang publik, khususnya terkait dengan pelayanan fasilitas olahraga ’outdoor’, rasio yang berlaku di Jepang adalah 5 m2/penduduk, Inggris 7 – 11,5 m2/penduduk, Malaysia 2 m2/penduduk. Sementara, Bandung mencapai 0,45 m2/penduduk dan di Jakarta 0,55 m2/penduduk. Untuk itu, kebutuhan produk hukum yang dapat memayungi kewajiban penyediaan ruang publik pada saat ini, sangatlah mendesak.
Pada bagian tengah dapat diproporsikan alokasi ruang yang mungkin fungsi untuk kegiatan ekonomi, sosial, dan lingkungannya bisa sama 6
(misalnya 33 %), dan perlu dijabarkan dalam pengaturan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang jelas dan tegas sebagai prinsip resapan air, oleh pemda dalam bentuk pengaturan zonasi. Alokasi ruang kegiatan ekonomi pada bagian ini dapat berupa pertanian lahan basah/kering, perkebunan, pertokoan dan perdagangan, serta industri terbatas dan non polutan dengan KDB yang rendah. Pada bagian hilir tentu dominasinya adalah untuk kegiatan permukiman dan aktifitas ekonomi yang dominan, namun tetap memperhatikan 30 % RTH secara makro luas wilayah/kawasan. Kegiatan ekonomi pada kawasan hilir dapat berfungsi sebagai hunian padat barvariasi pada skala kegiatan ekonomi di perumahan (lokal), pertokoan, industri besar dan kecil, mal, jasa dan perdagangan baik yang berskala regional, nasional maupun internasional. Pengaturan KDB pada masing-masing kawasan/zona perlu ditetapkan dalam pengaturan zona (zonning regulation) yang ditetapkan oleh peraturan daerah dan sesuai dengan RTRW kab/kotanya. Ketentuan RTH pada masing-masing kota dan perkotaan di kabupaten/kota yang ada di Jabodetabekpunjur harus mengalokasikan minimal 30% dari luas wilayahnya untuk Ruang Terbuka Hijau, terdiri dari minimal 20% RTH Publik dan minimal 10% RTH Privat. Implikasi lainnya adalah masing-masing RTRW Kab/Kota di dalam kawasan metropolitan Jabodetabekjur perlu direview kembali dan disesuaikan dengan arahan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang Upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi syarat minimal RTH dan hutan di DAS Ciliwung yaitu pengadaan lahan untuk dijadikan RTH publik di perkotaan atau hutan di DAS, di kawasan perkotaan perlu dilakukan pembatasan pembangunan horizontal dan perlu didorong pembangunan vertikal (flat) untuk efisiensi konsumsi lahan, menetapkan arahan pemanfaatan ruang dengan KDB kecil sebagai dasar perijinan, dan menerapkan pola insentif dan disinsentif (misalnya melalui pembatasan infrastruktur). Sesuai UU Penataan Ruang, pemerintah daerah sebaiknya menerima rencana yang mengatur tentang sistem nasional. Kerjasama di Kawasan Jabodetabekpunjur perlu ditingkatkan agar koordinasi antar wilayah dapat berjalan dengan baik, serta penerapan sanksi secara ketat terhadap pelanggaran penataan ruang (permukiman illegal/tanpa izin, tidak sesuai dengan aturan zonasi dalam RTR). Selain itu perlu pula adanya penegasan adanya standar pelayanan minimal yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan penataan ruang, misalnya antara lain frekuensi dialog dengan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang, standar pelayanan minimal ruang terbuka hijau, standar pelayanan minimal simpangan/deviasi antara rencana dan implementasi rencana.
Kesimpulan dan Implikasi Pengaturan ruang kawasan Jabodetabekpunjur sebagaimana diatur dalam Perpres No. 54 tahun 2008 bukan solusi final melainkan awal dari proses panjang yang kontinu, partisipatif dan incremental menuju pembangunan yang berkelanjutan yang menyeimbangkan pengembangan ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Kawasan Jabodetabekpunjur mempunyai peran menyeimbangkan alokasi ruang sebagai pusat pengembangan kegiatan ekonomi wilayah dan nasional sekaligus sebagai kawasan konservasi air dan tanah, keanekaragaman hayati dalam sistem DAS Ciliwung serta dapat menjamin tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kontribusinya terhadap pengembangan ekonomi wilayah dan nasional. Tata ruang Kawasan Jabodetabekpunjur akan memberikan kesempatan kerja yang menyebar, peningkatan kegiatan ekonomi baik, pada kawasan lindung (kegiatan ekonomi khusus dan spesifik), pada kawasan tengah maupun pada bagian hilir, serta menjamin ketersediaan air dan konservasi sumberdaya air di kawasan Jabodetabekpunjur, dan tingkat pertumbuhan kota-kota secara terstruktur sehingga pelayanan pembangunan infrastruktur dapat lebih efisien. Hal ini ikut mendukung upaya harmonisasi pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Implikasi pengaturan ruang di Kawasan Jabodetabekpunjur ini adalah pemerintah daerah segera melakukan review RTRW kabupaten dan kotanya serta menetapkan perda pengaturan zonasi pada kawasan-kawasan yang mendesak secara bertahap.
Daftar Pustaka Blower, A.1995. Planning For Sustainable Development. Eartscan Ltd. London BPS. 2005. Statistik Indonesia. Jakarta Djakapermana, RD. 2006. Disain Kebijakan dan Strategi Dalam Pemanfaatan Ruang Pulau Kalimantan. Disertasi IPB. Bogor. Djakapermana, RD. 2008. Kebijakan Penataan Ruang Jabodetabekpunjur. Makalah Seminar Air ITB. Bandung.
7
Djakapermana, RD. 2006 - 2008. Kumpulan berbagai presentasi tayangan pribadi (file powerpoint) terkait penataan ruang. Jakarta. (GWP). Global Water Partnership. 2000. Toward Security: A Framework For Action. GWP Stockholm. Swedia. Keppres No. 79 Tahun 1985 dan No 114 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Bopunjur. Jakarta. LUCC – P4W IPB. 2006. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kawasan Jabodetabek. Bogor. Peppres No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Jakarta Peppres No. 54 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Jakarta. P4W IPB, 2006. Kumpulan Bahan Tayangan: Seminar Jabodetabek. Bogor. Undang- Undang No. 26 Tahun 2007. Tentang Penataan Ruang. Jakarta.
8